Document

advertisement
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Metode Pengajaran
1.
Pengertian Metode Pengajaran
Metode mengajar adalah suatu cara yang dilakukan oleh seorang
guru dalam menyampaikan pelajarannya. Untuk lebih memperjelas
pemahaman tentang pengertian metode pengajaran, maka dibawah ini
penulis kemukakan pendapat para ahli tentang metode pengajaran sebagai
berikut:
a.
Ahmad Sabri
Metode pembelajaran adalah cara-cara atau teknik penyajian bahan
pelajaran, baik secara idividual maupun kelompok.1
b.
Basyirudin Usman
Metodologi pengajaran adalah ilmu yang membahas atau membicarakan
cara-cara penyajian bahan pelajaran kepada siswa untuk tercapainya
tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.2
1
Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, (Jakarta: PT. Ciputat Press,
2005), hal. 52.
2
Basyirudin Usman, editor Abdul Halim, Metodologi Pembelajran Agama Islam, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hal. 5.
12
13
c.
JJ. Hasibuan dan Moedjiono
Metode mengajar adalah alat yang dapat merupakan bagian dari
perangkat alat dan cara dalam pelaksanaan suatu strategi belajar
mengajar.3
d.
Abu Ahmadi dan Joko Prasetya
“Metode mengajar adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar
yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur”.4
e.
Nur Uhbiyati
Metode megajar adalah jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk
menyampaikan bahan atau materi pengajaran kepada anak didik agar
terwujud cita-cita dalam pengajaran tersebut.5
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli
metode pengajaran adalah suatu cara, jalan, sistem, dalam menyampaikan
bahan pelajaran dari seorang guru kepada peserta didik untuk dapat
menguasai bahan pelajaran yang akhirnya akan tercapai tujuan pengajaran
yang diberikan dari seorang insruktur atau seorang guru.
2.
Macam-Macam Metode Mengajar
Adapun tentang macam-macam metode pengajaran menurut para ahli
adalah sebagai berikut:
3
J.J. Hasibuan, dan Moedjo, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
1992), hal. 3.
4
Abu Ahmadi – Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar Untuk tarbiyah komponen
MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 52.
5
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka
Setia, 2005), hal. 123.
14
a.
Basyiruddin Usman
1) Metode Ceramah
2) Metode Diskusi
3) Metode Tanya Jawab
4) Metode Demonstrasi dan Eksperimen
5) Metode Resitasi
6) Metode Kerja Kelompok
7) Metode Sosio Drama dan Bermain Peranan
8) Metode Karyawisata
9) Metode Drill
10) Metode Sistem Beregu6
b.
Pasaribu dan Simandjuntak
1) Metode Ceramah
2) Metode Diskusi
3) Metode Tanya Jawab
4) Metode Kelompok Jangka Pendek (Buzz Group)
5) Metode Kelompok Jangka Panjang
6) Metode Sosio Drama
7) Metode Karyawisata
8) Metode Pemberian Tugas
9) Metode Latihan Siap (Metode Drill)
6
Basyirudin Usman, Metodologi…, hal. 33-34.
15
10) Metode Problem Solving (Metode Pemecahan Masalah)
11) Metode Demonstrasi
12) Metode Eksperimen (Percobaan)7
c.
Ahmad Sabri
1) Metode Ceramah
2) Metode Tanya Jawab
3) Metode Diskusi
4) Metode Tugas Belajar dan Resitasi
5) Metode Kerja Kelompok
6) Metode Demonstrasi dan Eksperimen
7) Metode Sosio Drama dan Bermain Peran
8) Metode Problem Solving
9) Metode Sistem Regu (Team Teaching)
10) Metode Latihan (Drill)
11) Metode Karyawisata8
d.
Zuhairini, Abdul Ghofir dan Slamet As. Yusuf
1) Metode Ceramah
2) Metode Tanya Jawab
3) Metode Diskusi
4) Metode Tugas Belajar dan Resitasi
7
L.L. Pasaribu dan B. Simanjuntak, Didaktik Dan Metodik, (Bandung: Tarsito, 1986), hal.
8
Ahmad Sabri, Strategi…, hal. 53-65.
86-130.
16
5) Metode Demonstrasi dan Eksperimen
6) Metode Kerja Kelompok
7) Metode Sosio Drama dan Bermain Peranan
8) Metode Karya wisata
9) Metode Drill (Latihan Siap)
10) Metode Sistim Beregu (Team Teaching)9
B. Tinjauan Tentang Metode Drill
1.
Pengertian Metode Drill
Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang pengertian metode
Drill, maka dibawah ini penulis kemukakan pendapat para ahli tentang
metode Drill.
a.
Basyiruddin Usman
Metode Drill atau latihan siap adalah metode pengajaran yang
dimaksudkan untuk memperoleh ketangkasan atau keterampilan latihan
terhadap apa yang dipelajari, karena hanya dengan melakukannya secara
praktis suatu pengetahuan dapat disempurnakan dan disiap-siagakan.10
b.
Pasaribu dan Simandjuntak
Metode Drill atau latihan siap adalah metode pengajaran yang
dimaksudkan untuk memperoleh ketangkasan atau keterampilan
9
Zuhairini, Abdul Ghofir, dan Slamet As. Yusuf, Metodik Khusus Pendidikan Agama,
(Malang: Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1981), hal. 82.
10
Basyirudin Usman, Metodologi…, hal. 55.
17
terhadap apa yang dipelajari anak dengan melakukannya secara praktis
pengetahuan-pengetahuan
yang
dipelajari
anak
itu.
Dan
siap
dipergunakan bila sewaktu-waktu diperlukan.11
c.
Ahmad Sabri
Metode Drill atau latihan siap adalah metode pengajaran yang
pada umumnya digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan atau
keterampilan dari apa yang dipelajari.12
d.
Zuhairini, Abdul Ghofir dan Slamet As. Yusuf
Metode Drill atau latihan siap adalah suatu metode dalam
pendidikan dan pengajaran dengan jalan melatih anak-anak terhadap
bahan pelajaran yang sudah diberikan. metode Drill atau latihan siap
biasanya digunakan pada pelajaran-pelajaran yang bersifat motoris
seperti: pelajaran menulis, pelajaran bahasa, pelajaran keterampilan, dan
pelajaran-pelajaran yang sifatnya kecakapan mental dalam arti melatih
anak-anak berfikir cepat. Metode ini berasal dari metode pengajaran
Herbart, yaitu metode asosiasi dan ulangan tanggapan,
yang
dimaksudkan untuk memperkuat tanggapan pelajaran pada murid-murid.
Pelaksanaannya secara mekanis untuk mengajarkan berbagai mata
pelajaran
11
12
dan
kecakapan,
sehingga
L.L. Pasaribu dan B. Simanjuntak, Didaktik…, 112.
Ahmad Sabri, Strategi…, 64.
menimbulkan
verbalisme
18
pengetahuan murid, kebiasaan menghafal secara mekanis, tanpa
pengertian.13
Dari beberapa uraian dari para tokoh pendidikan tentang pengertian
metode Drill atau latihan siap yaitu suatu metode pengajaran yang pada
dasarnya memberikan keterampilan dan kecakapan terhadap bahan
pelajarannya dengan jalan melatih anak-anak terhadap bahan pelajaran yang
sudah diberikan. Pelajaran yang biasanya menggunakan metode Drill atau
latihan siap yaitu pelajaran yang bersifat motoris seperti: pelajaran menulis,
pelajaran bahasa, pelajaran keterampilan, dan pelajaran-pelajaran yang
sifatnya kecakapan mental dalam arti melatih anak-anak berfikir cepat.
Menurut pendapat saya metode Drill atau latihan siap adalah suatu
metode dalam pendidikan dan pengajaran dengan jalan melatih siswa
terhadap bahan pelajaran yang sudah diberikan dengan tujuan agar dapat
memperoleh ketangkasan atau keterampilan latihan terhadap apa yang
dipelajari anak dengan melakukannya secara praktis pengetahuanpengetahuan yang dipelajari anak itu. Dan siap dipergunakan bila sewaktuwaktu diperlukan.
2.
Langkah-langkah Metode Drill
Adapun langkah-langkah untuk mendapakan kecakapan dalam
metode drill ini terdapat dua fase : fase pertama disebut fase integratif,
13
Zuhairini, Abdul Ghofir, dan Slamet As. Yusuf, Metodik..., hal. 106.
19
dimana kecakapan dikembangkan menurut praktek yang berarti sering
melakukan hubungan fungsional dan aktifitas penyelidikan.
Kedua, fase penyempurnaan atau fase menyelesaikan dimana
ketelitian dikembangkan. Dalam fase ini diperlukan ketelitian dapat
dikembangkan menuntut praktek yang berulang kali. Jadi fariasi praktek
disini ditunjukkan untuk mendalami arti bukan ketangkasan.14
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanakan
metode drill, seperti yang telah diungkapkan oleh M. Basyiruddin Usman
diantaranya adalah :
a.
Harus disadari bahwa pengertian belajar bukan berarti pengulangan
yang persis sama dengan apa yang telah dipelajari sebelumnya oleh
siswa, akan tetapi terjadinya suatu proses belajar dengan latihan siap
adalah adanya situasi yang berbeda serta pengaruh latihan pertama,
maka latihan kedua, ketiga dan seterusnya akan lain sifatnya.
b.
Situasi belajar itulah yang mula-mula harus diulangi untuk mendapat
memperoleh respon dari siswa. Bilamana siswa dihadapkan dengan
berbagai situasi belajar, maka dalam diri siswa akan timbul alasan untuk
memberi respon, sehingga menyebabkan dia melatih keterampilannya.15
14
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta : Ciputat Pers,
2002), hal. 57.
15
Ibid., hal. 55.
20
3.
Kebaikan dan Kelebihan Metode Drill
Pembelajaran dengan menggunakan metode Drill atau latihan siap
pada mata pelajaran yang sifatnya motoris pada siswa, pada dasarnya
memberikan ketangkasan dan keterampilan pada siswa tentang apa yang
diajarkan oleh seorang tutor atau guru. Dengan menggunkan metode Drill
pada mata pelajaran yang sifatnya motoris akan cepat mendapatkan
kecakapan dan ketangkasan dalam materi belajar siswa dengan hanya
menggunkan atau membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat.
Agar lebih jelas dalam pengertian bentuk kebaikan metode Drill,
maka dibawah ini penulis kemukakan pendapat para ahli tentang bentuk
kebaikan metode Drill.
a.
Basyiruddin Usman
1) Siswa akan memperoleh ketangkasan dan kemahiran dalam
melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipelajarinya.
2) Dapat menimbulkan rasa percaya diri bahwa para siswa yang
berhasil dalam belajarnya telah memiliki suatu keterampilan khusus
yang berguna kelak dikemudian hari.
3) Guru lebih mudah mengontrol dan dapat membedakan mana siswa
yang disiplin dalam belajarnya dan mana siswa yang kurang dengan
21
memperhatikan
tindakan
dan
perbuatan
siswa
disaat
berlangsungnya pengajaran.16
b.
Zuhairini, Abdul Ghofir dan Slamet As. Yusuf
1) Dalam waktu yang relatif singkat, cepat dapat diperoleh penguasaan
dan keterampilan yang diharapkan.
2) Para murid akan memiliki pengetahuan siap.
3) Akan menanamkan kebiasaan belajar pada anak-anak kebiasaan
belajar secara rutin dan disiplin.17
c.
Pasaribu dan Simandjuntak
1) Metode Drill akan memberikan kecakapan-kecakapan motoris,
seperti menulis, menghafal, menggunakan alat-alat, pendidikan
jasmani dan lainnya dengan waktu yang relatif singkat.
2) Dalam Pengontrolan hasil belajar akan lebih mudah dilakukan oleh
seorang guru jika pada metode Drill ini karena akan tampak jelas
mana siswa yang disiplin dalam belajar dan mana siswa yang
kurang disiplin dalam belajarnya.
3) Metode ini akan memberikan kecakapan mental: melatih perkalian,
jumlah, mengenal tanda-tanda baca, adat, tata-cara dan lain-lain.18
Basyirudin Usman, Metodologi…, 57.
Zuhairini, Abdul Ghofir, dan Slamet As. Yusuf, Metodik..., 107.
18
L.L. Pasaribu dan B. Simanjuntak, Didaktik…, 113.
16
17
22
Berdasarkan keterangan diatas dapat dikemukakan bahwa kebaikan
atau keunggulan metode Drill adalah siswa akan mendapatkan kecakapan,
keterampilan, ketangkasan, percaya diri dalam keterampilan pada hasil
belajar siswa dan rutinitas dalam belajar serta disiplin serta hanya
membutuhkan relatif lebih sedikit waktu yang dibutuhkan dalam
memberikan materi belajar dengan menggunakan metode ini dalam
mencapai hasil belajar siswa.
4.
Kelemahan dan Kekurangan Metode Drill
Pada suatu model pembelajaran dengan menggunakan bentuk apapun
juga metode apapun pasti ada yang namanya kekurangan didalamnya, begitu
juga pada implementasi metode Drill ini juga sudah pasti ada kekurangan
dan kelemahannya. Dibawah ini akan di paparkan oleh penulis dari beberapa
kelemahan pada metode Drill dari beberapa tokoh dan pakar pendidikan
yaitu sebagai berikut.
a.
Pasaribu dan Simandjuntak
1) Sering menghambat bakat dan daya inisiatif anak.
2) Membentuk kebiasaan-kebiasaan yang kaku, karena anak belajar
dengan mekanis, otomatis.
3) Mungkin menimbulkan verbalisme dan sebagainya.
23
4) Dalam menghadapi lingkungan biasanya kurang praktis dan
sebagainya.19
b.
Basyiruddin Usman
1) Dapat menghambat inisiatif siswa, dimana inisiatif dan minat siswa
yang berbeda dengan petunjuk guru dianggap suatu penyimpangan
dan pelanggaran dalam pengajaran yang diberikannya.
2) Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan. Dalam
kondisi belajar ini pertimbangan inisiatif siswa selalu disorot dan
tidak diberikan keleluasaan. Siswa menyelesaikan tugas secara
status sesuai dengan apa yang diinginkan oleh guru.
3) Membentuk kebiasaan yang kaku, artinya seolah-olah siswa
melakukan sesuatu secara mekanis, dan dalam memberikan
stimulus siswa dibiasakan bertindak secara otomatis.
4) Dapat menimbulkan verbalisme, terutama pelajaran yang sifatnya
menghafal dimana siswa dilatih untuk dapat menguasai bahan
pelajaran secara hafalan dan secara otomatis mengingatkannya bila
ada pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan hafalan tersebut
tanpa suatu proses berfikir secara logis.20
c.
Zuhairini, Abdul Ghofir dan Slamet As. Yusuf
1) Menghambat perkembangan dan daya inisiatif murid.
19
20
Ibid., hal. 113.
Basyirudin Usman, Metodologi…, hal. 57-58.
24
2) Kurang memperhatikan penyesuaiannya dengan lingkungan.
3) Membentuk kebiasaan-kebiasaan yang kaku dan otomatis.
4) Membentuk pengetahuan verbalis dan mekanis.21
Dari beberapa uraian para tokoh dan pakar pendidikan diatas tentang
kelemahan metode Drill dapat dikemukakan bahwa metode Drill akan
membentuk siswa statis kurang inisiatif, verbalisme dalam pemahaman,
tidak bersifat praktis dengan lingkungan dalam menghadapinya dan mekanis
serta otomatis karena tidak terbiasa di ajak berfikir logis dan hanya
mengikuti tutorial dari guru dan pengajar.
5.
Hal-hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Implementasi Metode Drill.
Dalam suatu pengajaran agar pengajaran itu berlangsung dan berjalan
dengan baik yang akhirnya akan tercapai tujuan dari pengajaran tersebut
maka perlu seorang guru memperhatikan apa yang sekiranya perlu
diperhatikan. Misalnya pada pemilihan suatu metode pengajaran seperti
metode Drill. Dalam pemakaian metode Drill tentulah seorang guru harus
memperhatikan hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan bentuk
metode yang dipakainya, yaitu seperti pada persiapan, pelaksanaan, dan
pada penilaian dari hasil kegiatan belajar mengajar pada penggunaan metode
Drill. hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut; dan supaya
lebih jelasnya apa saja yang perlu diperhatikan dalam penggunaan metode
21
Zuhairini, Abdul Ghofir, dan Slamet As. Yusuf, Metodik..., hal. 107.
25
Drill maka dibawah ini penulis kemukakan pendapat para ahli tentang halhal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan metode Drill adalah sebagai
berikut:
a.
Zuhairini, Abdul Ghofir dan Slamet As. Yusuf
1) Sebelum pelajaran dimulai hendaknya diawali terlebih dahulu
dengan pemberian pengertian dasar.
2) Metode ini hanya dipakai untuk bahan pelajaran/ kecekatankecekatan yang bersifat rutin dan otomatis.
3) Diusahakan hendaknya masa latihan sesingkat mungkin, agar tidak
membosankan.
4) Maksud diadakan latihan ulang harus mempunyai tujuan yang lebih
luas.
5) Latihan diatur sedemikian rupa sehingga bersifat menarik, dapat
menimbulkan motivasi belajar pada anak.22
b.
Basyiruddin Usman
1) Pada taraf permulaan jangan diharapkan reproduksi yang sempurna.
2) Pada percobaan kembali harus diteliti kesulitan yang timbul respon
yang benar akhirnya harus dikenal siswa dan siswa memerlukan
waktu untuk fariasi latihan, perkembangan arti dan kontrol.
3) Pertama-tama harus bersifat ketetapan, yang kemudian kecepatan,
yang akhirnya kedua-duanya harus dimiliki siswa.
22
Ibid., hal. 107-108.
26
4) Masa latihan harus relatif singkat, dan sering dilakukan latihanlatihan lanjutan.
5) Kondisi latihan harus menarik minat anak, dan dalam suasana yang
menyenangkan.
6) Proses yang bersifat fundamental harus didahulukan dari latihan
yang sifatnya skunder.
7) Proses latihan juga harus memperhatikan perbedaan kkemampuan
individual.23
c.
Pasaribu dan Simandjuntak
1) Diberikan hanya untuk bahan atau tindakan yang bersifat otomatis.
2) Latihan itu diberikan hanya bermaksud sebagai pelengkap untuk
belajar selanjutnya, untuk kehidupan selanjutnya.
3) Latihan itu hanya sebagai alat diagnosa.
4) Masa latihan harus singkat, akan tetapi jika perlus harus sering
dilakukan.
5) Harus menarik dan menggembirakan.
6) Harus disesuaikan dengan perbedaan individual anak-anak.24
d.
Ahmad Sabri
1) Siswa harus diberikan pengertian yang mendalam sebelum diadakan
latihan tetentu.
23
24
Basyirudin Usman, Metodologi…, hal. 58-59.
L.L. Pasaribu dan B. Simanjuntak, Didaktik…, hal. 113-114.
27
2) Latihan untuk yang pertama kali hendaknya yang bersifat diagnosis,
mula-mula kurang berhasil, lalu diadakan perbaikan untuk
kemudian bisa lebih sempurna.
3) Latihan tidak perlu lama asal sering dilaksanakan.
4) Harus disesuaikan dengan taraf kemampuan siswa.
5) Proses latihan hendaknya mendahulukan hal-hal yang esensial dan
berguna.25
C. Tinjauan Tentang Al-qu’an Hadist
1.
Pengertian Al-qur’an
Secara Bahasa “Qara’a” mempunyai arti mengumpulkan dan
menghimpun dan “qiraah” berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata
satu dengan yang lain dalam satu ucapan yang tersusun rapi. Qur’an pada
mulanya seperti qiraah yaitu masdar dari kata qara’a, qiraatan, quranan.
Allah SWT berfirman:
َ‫َ َثمَفَصَلَتََمَنَََلمدَنََحَكَيَمََخَبَي‬,ََ‫الرََكَتَبََأَحَكَمَتََءَايَتَه‬
Artinya:
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Alloh)
yang Maha bijaksana lagi Mahatahu. (Hud:1).26
25
Ahmad Sabri, Strategi…, hal. 64.
28
Secara Istilah Qur’an memang sukar diberi batasan-batasan dengan
definisi-definisi logika yang mengelompokkan segala jenis bagian-bagian
serta ketentuan-ketentuannya yang khusus mempunyai genus differentia dan
propium sehingga definisi Quran memiliki batasan yang benar-benar
kongkret. Yang kongkret adalah menghadirkannya dalam pikiran atau dalam
realita misalnya kita menunjuk sebagai Qur’an kepada yang tertulis dalam
mushaf atau terbaca dengan lisan. Untuk itu kita katakan Qur’an adalah apa
yang ada di antara dua buku atau kita katakan juga Alquran adala
bismillaahir rahmaanirrahiim alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin-minal jinnati
wannaas. Para ulama menyebutkan definisi Alqur’an yang mendekati
maknanya dengan membedakan dari yang lain dengan menyebutkan bahwa
Alquran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada
Muhammad saw. Yang pembacaannya merupakan ibadah.
2.
Pengertian Hadist
Kata "Hadist" atau al-hadist menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu
yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadist juga
berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan
dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-hadist.
Secara terminologi, ahli hadist dan ahli ushul berbeda pendapat
dalam memberikan pengertian hadist. Di kalangan ulama hadist sendiri ada
26
11.
Qardawi Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-qur’an, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hal.
29
juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang
mendefinisikan hadist, adalah : "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan,
dan hal ihwalnya". Ulama hadist menerangkan bahwa yang termasuk "hal
ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan
dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.
Ulama ahli hadist yang lain merumuskan pengertian hadist dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Ulama hadist yang lain juga mendefiniskan hadist sebagai berikut :
"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para
ahli hadist dalam mendefinisikan hadist. Kasamaan dalam mendefinisikan
hadist ialah hadist dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka
terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadist. Ada ahli
hadist yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadist,
ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadist yang menyebut taqrir
Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadist, tetapi ada
juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
30
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadist sebagai berikut
:"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan
hukum syara".
Berdasarkan rumusan definisi hadist baik dari ahli hadist maupun ahli
ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada
sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggungnyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabiin. Perbedaan mereka terletak
pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadist mencakup segala sesuatu
yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadist ahli ushul hanya
menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk
menetapkan hukum syara.
3.
Hubungan Al-Hadist dan Al-Qur’an
Hubungan Hadist dan Al-Quran, Al-hadist didefinisikan oleh pada
umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai "Segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada Muhammad saw. Baik ucapan, perbuatan dan taqrir
(ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi
maupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadist hanya
pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw yang berkaitan dengan hukum".
Sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang
berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah.
31
Pengertian hadist seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat
dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari
segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang
bersumber dari wahyu Al-Quran. Sementara itu, ulama tafsir mengamati
bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam AlQuran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u
Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah
pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan
dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan
sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat
kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit
oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi
tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu dalam kondisi tertentu.
Walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana
diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil
oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang
dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak di
ikuti dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri
32
sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaranajaran Allah dan Rasul-Nya.
Tetapi, disisi lain harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang
menonjol antara hadist dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian
atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Qur’an
disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar
menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw dan beliau pun langsung
menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi
generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Qur’an itu, dapat dipastikan tidak
mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan
dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara
tawatur oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil akan sepakat
berbohong.
Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini,
berbeda dengan hadist, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per
orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan
redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh
ulama hadist bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis
teks-teks hadist, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan
kebanyakan hadist-hadist yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para
sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadist dari segi otensititasnya
33
adalah zhanniy al-wurud. Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat
keraguan terhadap keabsahan hadist karena sekian banyak faktor baik pada
diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat
ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut
untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadist-hadist Nabi saw.
Fungsi Hadist terhadap Al-Quran. Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw.
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan
atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam
bentuk dan sifat serta fungsinya. “Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh AlAzhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis
bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan
fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara”. Dengan menunjuk
kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang
tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama
dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan
atau menggaris bawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran,
sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian
lahir dari ayat-ayat Al-Quran. Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah
hadist atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum
ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan
pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan,
34
khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang
menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati.
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya
Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada
Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di
atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi AlSunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah
(penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan
penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan,
kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang
seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang
istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka
pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang
dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut. Tentu, jalan keluar ini
tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang
bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadist yang berbeda atau
bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud.
Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali
dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl AlHadist, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum
dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu.
35
Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadist)
yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak
sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama
fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikutpengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu
ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh
hadist. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam
Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa al-hadist dapat
saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat
indikator yang menguatkan hadist tersebut, seperti adanya pengamalan
penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadist dimaksud, atau
adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam
pandangan mereka, hadist yang melarang memadu seorang wanita dengan
bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat AlNisa' ayat 24. Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah
(Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang
sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat.
Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda
dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan
terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan
umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
36
Bahwa penolakan satu hadist yang sanadnya sahih, tidak dilakukan
oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan
membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan,
maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara
meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadist).
Pemahaman atas Makna Hadist. Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam
arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw pada
umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks
hadist tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan
oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang
harus diterapkan oleh para perawi hadist, sebelum mereka diperkenankan
meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks
sebuah hadis masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah
hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks
tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula
mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah
sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang
pemahaman makna hadis. Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam
kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan
tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan
kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu
masyarakat
atau bahkan sebagai
pribadi
dengan kekhususan dan
37
keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan
manusia lainnya.
Setiap hadist dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah
dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan
larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang
tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun
berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara
kontekstual. Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan
menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian),"
dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang
mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di
sini, Ubay memahami hadist tersebut secara tekstual. Dalam peperangan AlAhzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadist tersebut
secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu
kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual,
sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan
yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua
kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami
teks hadist. Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadist,
tidak terkecuali dalam bidang muamalat.
38
Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat
Al-Quran dan hadist-hadist Nabi saw. harus dipertahankan bunyi teksnya,
walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teksteksnya adalah ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat
sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali
jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks. Kajian 'illat, dalam
pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi
untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih
wujud wa 'adam, hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan
terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadist. Itu sebabnya Al-Syafi'i
berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin,
hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi hadist Nabi saw. Menyatakan,
"Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan
melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan
kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam
Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulamaulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang
ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian.
Bidang ini menurutnya adalah ma'qul al-ma'na, dapat dijangkau oleh nalar.
Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan
perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu,
39
menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat
memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks
tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini,
sikapnya terhadap teks-teks hadist menjadi longgar. Karena, seperti
dikemukakan
di
atas,
periwayatan
lafalnya
dengan
makna
dan
penerimaannya bersifat zhanniy. Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam
Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam
teks hadist, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan
membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan
perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari
pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan
pembayaran dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena
kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang
hadist.
Maka jelaslah sudah tinjauan tentang alqur’an dan hadist yaitu
alqur’an sebagai firman Allah yang berbahasakan bahasa Arab yang
berisikan tentang kisah, norma,pahala, ancaman dan kesemuanya aturan
dalam hidup manusia sebagai hamba Allah yang barang siapa yang
membacanya bernilaikan ibadah. Dan hadist seperti yang telah sedikit
penulis uraikan yaitu hadist sebagai penguatan teks alqur’an dan
40
pengembangannya dalam kehidupan manusia agar manusia lebih dapat
memahami dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Berkaitan dengan itu pula dalam pembahasan judul skripsi ini penulis
mencoba menguak implementasi Metode Drill mata pelajaran al-qur’an
hadist di MTsN Pulosari Kelas VIII Kecamatan Ngunut Kabupaten
Tulungagung dimana pendidikan memberikan pengajaran yang akan dapat
memberikan pengetahuan juga pemahaman kepada kitab suci alqur’an dan
hadist sebagai pegangan hidup manusia di dunia ini.
Download