Perkembangan Ilmu Pengetahuan Modern

advertisement
Created By :
Imaduddin Akbar Habibie
201310220311011
Fakultas Pertanian- Peternakan / Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Muhammadiyah Malang
Pada abad pertengahan di beberapa wilayah kekuasaan Islam, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan walaupun
tidak lebih maju daripada masa jayanya Daulah Abbasiyah dan tidak mampu menyaingi kemajuan bangsa Eropa.
Di India pada masa pemerintahan kerajaan Mogul telah dibangun sekolah sekolah yang di dalamnya diajarkan ilmu
pengetahuan umum, seperti logika, filsafat, geometri, geografi, sejarah, politik, dan matematika. Tatkala Sultan Syah
Jehan dan Aurangzeb memerintah telah dibangun sekolah-sekolah tinggi, selain pusat pengajaran di Sueknon. Selain
itu, pada tahun 1641 M perpustakaan di Agra telah memiliki 24.000 judul buku dalam berbagai disiplin ilmu.
Di Mesir tatkala diperintah oleh Dinasti Mamluk (1250-1517 M) telah muncul para cendekiawan muslim seperti:
1.Ibnu Abi Usaibiah penulis buku “Uyun Al Anba fi Tabaqat Al Atibba” (penyampai informasi dalam tingkatan para
dokter).
2.Abu Al Fida, Ibnu Tagri Badri Atabaki, dan Al Maqrizi, terkenal sebagai penulis sejarah kedokteran.
3.Abu Hasan Ali Nafis (wafat 1288 M) kepala rumah sakit Kairo yang menemukan susunan dan peredaran darah dalam
paru-paru manusia, tiga abad lebih dulu dari Servetus (orang Portugis).
4.Nasiruddin At-Tusi (1201-1274 M) seorang ahli observatorium dan Abu Faraj Tabari (1226-1286) seorang ahli
matematika.
Selain itu, ada seorang cendekiawan muslim yang ahli dalam ilmu geografi yang bernama Ibnu Batutah (703-779 H)
dan juga pengembara muslim yang telah berkeliling dunia serta pernah singgah sebanyak dua kali di Samudera Pasai
(Aceh). Beliau telah menyusun buku yang berjudul Rihlah Ibnu Batutah, berisi tentang perjalanan Ibnu Batutah dalam
berkeliling dunia. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berpuluh-puluh bahasa dunia.
Perlu pula diketahui bahwa pada awal abad pertengahan ini, telah pula disusun kitab Mausu’at, yaitu buku yang sangat
tebal, berisi tentang kumpulan berbagai ilmu pengetahuan, yang pada masa sekarang disebut ensiklopedi. Di antara
cendekiawan muslim yang menyusun Mausu’at adalah An-Nuwairy (wafat: 722 H), Ibnu Fadlullah (700-748 H), dan
Jalaluddin As-Suytiti (849-911 H). Setelah kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam di berbagai wilayah dari benua
Asia dan Afrika mengalami kemunduran di bidang politik dan ekonomi, akibat dijajah oleh bangsa Eropa, umat Islam
tidak mampu lagi untuk menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
ISLAM adalah agama yang memicu perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan memiliki peradaban yang
sangat mengagumkan Dunia. Bisa dikatakan jika Islam tidak ada, maka dunia selamanya akan gelap dengan
kebodohan, seperti pada masa-masa keajaiban. Mengapa? karena Islam adalah penggerak perkembangan Ilmu
pengetahuan dan Peradaban yang sekarang biasa kita nikmati hasilnya.
Dunia saat ini sedang disibukkan dengan kampanye globalisasi besar-besaran “penghilangan identitas” umat Islam.
Dan yang terjadi sekarang bukanlah perang dalam bentuk kontak senjata tetapi perang dalam bentuk pemikiran. Untuk
memuluskan proyek ini, salah satu cara yang dilakukan oleh Barat ialah mencuci otak pelajar-pelajar Muslim yang
belajar di Barat. Bahkan saat ini jenggot, baju koko, gamis, jilbab, dan cadar selalu distigmakan sebagai “costum”
teroris.
Ilmu yang hanya bersandarkan humanistik yang dikembangkan Barat saat ini, telah menghasilkan masyarakat yang
kehilangan orientasi hidup. Berbeda dengan Barat, Islam memandang ilmu sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Ilmu
dalam Islam selalu disandarkan pada pijakan theistik. Padahal dalam Islam, mencari ilmu bagi setiap muslim dan
muslimat adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi
“tradegi Gereja Abad Pertengahan”, dan kebinggungan polarisasi ilmu dengan teologi.
Para Filsuf Yunani, bisa bangkit dari jeratan “mitos” menuju “logos” mengandalkan kemampuan berpikir “deduktif
(umum-khusus)” yang menghasilkan pengetahuan spekulatif (kira-kira/prediksi). Sementara membawa semangat
rasionalistik Yunani, Islam mampu menciptakan pola logika “induktif” lewat observasi. Sehingga pengetahuan yang
didapatkan tidak lagi berupa kira-kira/prasangka, tapi sudah memasuki ranah pembuktian secara objektif di lapangan.
Satu hal yang sangat menarik bagi kita adalah originilitas pemikiran Thomas Aquinas, salah satu filsuf abad
pertengahan yang dielu-elukan oleh kaum Nasrani. Pengamat pemikiran Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, MA. M.Phil,
mengatakan, karya hebat Aquinas, “Summa Theologia” adalah plagiasi dari karya Al Farabi dan Ibnu Rusyd.
Dalam ajaran Islam, pencarian ilmu, ataupun penyebarannya memiliki akar yang sangat kuat Ini dapat di buktikan
dengan banyaknya hadist dan ayat al-Quran yang menerangkan akan hal tersebut. Salah satu hadist yang bisa
dikutipkan sebagai ilustrasi mengenai pentingnya ilmu adalah salah satu sabda Rasulullah yang menyatakan
keunggulan seorang berilmu dibandingkan dengan orang yang beribadah seperti terangnya bulan purnama dan bintangbintang.
Begitu pentingnya masalah ilmu ini, buku-buku klasik Islam –semacam kitab-kitab hadist seperti Sahih Bukhari
atau Sahih Muslim atau kitab klasik Ihya Ulumuddin karangan Al Ghazali– memulai dengan bab nya mengenai
ilmu. Peran penting ilmu ini bahkan diungkapkan oleh Imam Bukhari.
Kata-kata bijak Al Ghazali bisa dikutip untuk mengilustrasikan pentingnya ilmu dalam kehidupan. Beliau
mengatakan, “Orang-orang yang selalu belajar akan sangat dihormati dan semua kekuatan yang tidak dilandasi
pengetahuan akan runtuh.”
Seorang ulama kontemporer, Yusuf Qaradawi, mengungkapkan bahwa ilmu merupakan pembuka jalan bagi
kehidupan spiritual yang terbimbing, ilmu merupakan petunjuk iman, penuntun amal; ilmu juga yang membimbing
keyakinan dan cinta. Dalam risalahnya mengenai prioritas masa depan gerakan Islam, beliau menempatkan
prioritas sisi intelektual dan pengetahuan melalui pengembangan fiqh baru sebagai prioritas awal.
Konsep ilmu pengetahuan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tubuh peradaban dan mengairi segi-segi
peradaban Islam. Peradaban Islam, sebagaimana terwujudkan dalam sejarah klasiknya, dapat diidentikkan dengan
kejayaan pengetahuan, sebagaiman seorang orientalis, Franz Rosenthal, memberi judul bukunya mengenai deskripsi
dan peran pengetahuan dalam peradaban Islam sebagai, ‘The Knowledge Triumphant: The concept of Knowledge in
Medievel Islam’.
Pada tulisan yang lain dia mengungkapkan, “Sebuah peradaban muslim tanpa pengetahuan tidaklah terbayangkan oleh
generasi muslim pertengahan.”
Tetapi ada juga serangan yang menyudutkan umat Islam, dengan mengatakan “tradisi ilmiah dalam Islam mundur
dikarenakan pemikiran dan karya-karya Al-Ghazali”. Padahal menurut ucapan ini merupakan pendapat orientalis yang
salah memahami pemikiran Al-Ghazali.
Pengarag Ihya ‘Ulumuddin ini sebenarnya mengkritisi pandangan Ibnu Sina yang mengatakan “ilmu yang rasionalistik
tidak perlu dijustifikasi lewat kebenaran teologis”. Pandangan Ibnu Sina ini mempengaruhi Ibnu Rusyd, sehingga
lahirlah “double truth” yang saat kemudian dalam tradisi Nasrani dan modern terpolarisasi menjadi “kebenaran
Tuhan” dan “kebenaran ilmiah”.
Prof Wan Moh. Nor Wan Daud pernah mengungkapkan bahwa pencapain-pencapaian peradaban Islam dahulu
amat sangat terkait dengan adanya budaya ilmu di dalamnya, dan hal ini sudah tercatat dalam sejarah. Dari
perspektif sejarah Wan Daud mengungkapkan bahwa sebuah bangsa yang kuat tetapi tidak ditunjang oleh oleh
budaya ilmu yang baik, akan mengadopsi ciri dan kekhasan bangsa yang ditaklukkannya tetapi memiliki budaya
ilmu yang baik. Bangsa Tartar yang mengobrak-abrik peradaban Islam di Baghdad dahulu kala justru malah
terislamisasikan. Selanjutnya beliau menyebutkan budaya ilmu ini bisa dicirikan dengan terwujudnya masyarakat
yang melibatkan diri dalam kegiatan keilmuan, ilmu merupakan keutamaan tertinggi dalam sistem nilai pribadi dan
masyarakat. Munculnya penemuan-penemuan saintifik atau kemajuan teknologi di dunia Islam pada masa silam
tidaklah terbayangkan tanpa adanya budaya ilmu yang menggerakkannya, karena pencapaian-pencapaian itu adalah
manifestasi dari budaya ilmu tersebut. Syed Husein Alatas mengembangkan konsep “bebalisme” secara sosiologis
terhadap kebiasaan, tradisi atau budaya anti-ilmu, anti-pembahasan, anti-penalaran dalam sebuah masyarakat.
Dalam abad modern ini dimana kebangkitan umat (resurrection people) didengungkan pembinaan budaya ilmu
merupakan keharusan. Satu sisi yang juga bisa diberikan apresiasi dari budaya Ilmu dalam peradaban islam adalah
penggunaan medium buku sebagai sarana penyebaran pengetahuan di dunia Islam. Lembaga penulisan buku –
waraq–, perdagangan buku, perpustakaan – baik pribadi maupun lembaga kenegaraan– , sangat berkembang di
dunia Islam ketika itu. Sebagaimana juga munculnya lingkaran studi di mesjid-mesjid, diskusi ilmiah di istanaistana penguasa, atau munculnya lembaga-lembaga pengajaran dari tingkat dasar hingga univesitas (kulliyah).
Di zaman klasik, setiap kota besar di dunia Islam memiliki bazaar buku masing-masing, suq al waraqa. Aktivitas
para pedagang buku tidak semata-mata menjualbelikan buku, tetapi toko-toko mereka juga berperan sebagai
tempat-tempat diskusi. Sebuah karya indeks mengenai buku-buku di dunia Islam sudah ada di masa itu. Al Fihrist,
sebuah karya yang terkenal dikalangan sejarawan dikarang oleh Ibn Nadim seorang pedagang buku. Kajian
mengenai penyebaran buku di dunia Islam juga bisa kita lihat dari karya seorang orientalis Denmark, J Pedersen
dalam bukunya “Fajar Inteletualisme Islam.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan masa modern adalah munculnya pandangan baru yang merupakan kritik terhadap
pandangan Aristoteles, yaitu ilmu pengetahuan harus mencari untung, artinya untuk memperkuat kemampuan
manusia di bumi ini. Pada abad-abad berikutnya, di dunia barat dan dunia diluar barat dapat dijumpai keyakinan dan
kepercayaan bahwa ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru yang disebut ilmu pengetahuan.
Eropa dari Islam, ketika umat Islam larut dalam kegemilangan sehingga tidak memperhatikan lagi pendidikan, maka
Eropa tampil mencuri ilmu pengetahuan dan belajar dari Islam. Eropa kemudian bangkit dan Islam mulai dijajah dan
mengalami kemunduran. Hampir seluruh wilayah dunia Islam dijajah oleh Bangsa Eropa.
Penemuan-penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi muncul di Eropa. Misalnya dalam bidang
mesin, listrik, radio, yang semuanya itu menunjang semakin kuatnya Eropa terhadap dunia Timur.
Dalam membuka mata kaum muslimin akan kelemahan dan keterbelakangannya, sehingga akhirnya timbul berbagai
macam usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan, untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan,
termasuk usaha-usaha dibidang pendidikan.
Kebangkitan kembali umat Islam khususnya bidang pendidikan Islam adalah dalam rangka untuk pemurnian
kembali ajaran-ajaran Islam dengan pelopor-pelopor di berbagai daerah masing-masing. Adapun mereka
mengemukakan opini kebangkitan dengan mengacu kepada tema yang sama yaitu adalah :
a. Mengembalikan ajaran Islam kepada unsur-unsur aslinya, dengan bersumberkan kepada Al-Qur’an, Hadist dan
membuang segala bid’ah, khurafat, tahayul, dan mistik.
b. Menyatakan dan membuka kembali pintu ijtihad setelah beberapa abad dinyatakan ditutup.
Dan inilah artikel singkat tentang Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang mengangkat sedikit perjalanan adanya ilmu
pengetahuan. Referensi yang dituliskan bersumber dari banyak artikel dan mengambil kesimpulan seperti diatas.
Download