Problem Sosiologis Kenaikan Gaji PNS Oleh Syandana Trisa Kawindra Rabu, 30 Maret 2011 Pemerintah akhirnya menaikkan gaji PNS (pegawai negeri sipil) secara diam-diam. Per 1 April hampir 3,7 juta PNS di Indonesia akan mendapatkan kenaikan gaji pokok dengan besaran antara 10-15%. Dengan demikian, gaji pokok PNS golongan IA minimal sebesar Rp1.150.000. Untuk menaikkan gaji PNS yang sebenarnya telah ditetapkan pemerintahan SBY-Boediono dengan persetujuan DPR dalam pembahasan Nota RAPBN 2011, konon, membutuhkan alokasi anggaran sampai menyentuh angka Rp 80 triliun. Kenaikan gaji PNS, yang mencakup anggota TNI/Polri dipandang oleh pemerintah sebagai strategi meningkatkan kesejahteraan para abdi negara. Sekaligus, menjadi bagian upaya mendorong kinerja PNS dalam melayani kepentingan masyarakat. Demikian setidaknya pandangan kalangan pemangku kebijakan negara. Bagi PNS untuk departemen khusus dan anggota TNI/Polri, kenaikan gaji pokok berarti menambah pundi-pundi pendapatan mereka. Ini sekaligus melengkapi pemenuhan kesejahteraan mereka, setelah sebelumnya - untuk beberapa tahun terakhir - pemerintahan SBY memberikan serangkaian program tunjangan kesejahteraan bagi mereka dalam bentuk tunjangan remunerasi, sertifikasi (bagi guru) dan sebagainya. Ada kesan PNS di Indonesia memang cenderung 'dimanjakan' di tengah kondisi kemiskinan yang dialami oleh masyarakat luas. Kenaikan gaji PNS dan anggota TNI/Polri sebesar 10-15% plus paket tunjangan remunerasi dan sertifikasi memang melegakan. Namun, bagi masyarakat pembayar pajak, hal tersebut menggambarkan kondisi yang paradoks dan diskriminatif. Paradoks dengan melihat realitas bahwa kenaikan gaji PNS tidak berjalan paralel dengan peningkatan kinerja personal dan institusional mereka dalam melayani kepentingan masyarakat. Kinerja PNS maupun anggota TNI/Polri masih jauh dari ekspetasi publik. Bahkan, maksud awal pemberian remunerasi untuk mengeliminasi perilaku korupsi tidak terbukti. Skala korupsi yang dilakukan PNS, terutama yang memiliki jabatan dan kesempatan di bebarapa departemen/instansi pemerintahan cenderung mengalami peningkatan signifikan. Ibaratnya hukum matematika. Kenaikan gaji PNS mengikuti deret hitung, sedangkan praktik korupsi mengikuti logika deret ukur. Pemberian tunjangan sertifikasi bagi guru, yang konon dalam pengucurannya di sendat-sendat oleh kepentingan politik birokrasi, juga tidak berdampak signifikan bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Faktanya, kualitas guru saat ini belum mencapai standar kompetensi yang objektif dan bukan hanya dalam pengertian angka-angka. Kenaikan gaji PNS sendiri juga memunculkan situasi dan realitas yang diskriminatif. Kenaikan gaji PNS dan berbagai tunjangan, diambilkan dari pos belanja pegawai APBN yang akhirnya mengurangi porsi belanja publik. Padahal 80% postur APBN berasal dari pajak masyarakat dan 70% dihabiskan untuk belanja pegawai. Sedangkan belanja APBN yang konon diimajinasikan menyentuh volume Rp1000 triliun, ternyata habis bukan untuk program pembangunan. Inikah keadilan? Kenaikan gaji PNS diberlakukan di tengah kondisi kemiskinan yang meningkat dan di tengah standar upah buruh nasional dan upah minimum regional (UMR) untuk setiap daerah - rata-rata masih di bawah standar KHL (kebutuhan hidup layak). Coba kita bayangkan, gaji buruh di berbagai kota di Indonesia rata-rata berkisar Rp550 ribu Rp1,2 juta. Itu pun banyak perusahaan yang menangguhkan pembayaran upah buruh sesuai ketetapan pergub setiap provinsi. Buruh harus bekerja 8 jam sehari di bawah tekanan politik outsourcing yang membuat masa depan mereka tidak berarti. Kenaikan gaji PNS dan berbagai bentuk tunjangan pendorong prestasi, ternyata dalam berbagai riset tidak berdampak bagi upaya penurunan angka korupsi dan kinerja PNS. Hal tersebut disebabkan oleh mentalitas birokrasi yang korup dan kepentingan "rente ekonomi" masih kuat dalam sistem birokrasi di negeri ini. Kenaikan gaji dan berbagai tunjangan hanya akan menciptakan kasta sosial di tengah masyarakat, di mana hanya 3,8 juta PNS (TNI/Polri) meningkat kemakmurannya di tengah ratusan juta masyarakat berstandar hidup di bawah kesejahteraan para abdi negara. Apakah kenaikan gaji PNS memiliki motif politik pencitraan atau dilandasi oleh spirit anti sosial yang bertujuan untuk meningkatkan loyalitas para abdi negara kepada status quo? Kenaikan gaji PNS dan anggota TNI/Polri secara teoritik dan filsafati akan menemukan titik legitimasinya apabila memenuhi etika sosial dan nilai sensitivitas publik. Kenaikan gaji memiliki kepatutan dengan catatan-catatan tertentu. Pertama, postur anggaran negara minimal 60% telah dipergunakan untuk belanja modal (pembangunan) dan berbagai subsidi bagi program pendidikan-kesehatan murah bagi masyarakat. Bukannya dilakukan di tengah postur anggaran negara yang 70% dihabiskan untuk gaji dan belanja PNS (anggota TNI/Polri). Padahal APBN diIndonesia selama puluhan tahun berasal dari pajak masyarakat sebagai sumber pendapatan negara. Kedua, kenaikan gaji PNS dan anggota TNI/Polri dilakukan apabila rasio korupsi birokrasi mengalami realitas penurunan yang aktual dan progresif. Jika korupsi menurun maka pendapatan negara akan bisa diefisiensikan serta dimasukkan dalam rekening negara. Dengan korupsi yang minimal maka selayaknya para PNS termasuk anggota TNI/Polri patut diberikan reward peningkatan gaji. Jangan sampai seperti logika mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Bank Dunia dengan alasan reformasi birokrasi, membuat program remunerasi bagi PNS departemen keuangan, hasilnya (korupsi) tetap merajalela dan bahkan besarannya meningkat. Setidaknya hal tersebut tercermin dari kasus-kasus korupsi yang terungkap di mata publik. Ketiga, kenaikan gaji PNS termasuk pejabat negara harus melihat komparasi dengan perbandingan upah buruh serta skala inflasi di negeri ini. Kenaikan gaji PNS jangan sampai jauh melebihi standar KHL di kalangan pekerja industrial sehingga akan menciptakan sentimentasi sosial yang ujung-ujungnya akan membuat sikap antipati terhadap abdi negara. Dengan sikap demikian, dapat dipastikan kinerja dan pelayanan para PNS akan menemukan titik resistensi. Kenaikan gaji PNS sendiri akan terasa berarti apabila pemerintahan SBY-Boediono mampu menjalankan program ekonomi nasional dengan menurunkan harga kebutuhan dasar masyarakat. Jadi, bukannya malah menaikkan gaji yang imbasnya dapat menaikkan standar harga kebutuhan pokok (dasar) dan ujung-ujungnya akan menambah laju inflasi. Kenaikan gaji PNS harus pula didasari oleh spirit keadilan dengan memperhatikan aspirasi serta kepentingan masyarakat. Jadi, bukannya untuk sekedar menyenangkan para abdi negara namun merugikan hak serta kepentingan "pemilik" negara, yakni masyarakat luas. *** Penulis adalah Koordinator Kajian Filsafat Sosial dan Demokrasi.