Document

advertisement
ISI
A. Definisi
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi
kambuhan yang terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu
dan menyerang mukosa superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular,
dilatasi kapiler, edema, hemoragi, dan ulserasi. Hal ini menimbulkan
hipertrofi muscular dan deposisi jaringan fibrosa dan lemak, yang
memberi tampilan usus “pipa timah” akibat penyempitan usus itu
sendiri.Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab
yang tidak diketahui, biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat
ringan, kronis, atau akut (Asih, 1998).
B. Etiologi
Etiologi kolitis ulseratif, tidak diketahui. Faktor genetik tampaknya
berperanan dalam etiologi, karena terdapat hubungan familial yang jelas antara
kolitis ulseratif, penyakit crohn, dan spondilitis ankilosa.
Telah dijelaskan beberapa teori mengenai penyebab kolitis ulseratif,
namun tidak ada yang terbukti. Teori yang paling terkenal adalah teori reaksi
sistem imun tubuh terhadap virus atau bakteri yang menyebabkan terus
berlangsungnya peradangan dalam dinding usus. Penderita kolitis ulseratif
memang memiliki kelainan sistem imun, tetapi tidak diketahui hal ini merupakan
penyebab atau akibat efek ini; kolitis ulseratif tidak disebabkan oleh distress
emosional atau sensitifitas terhadap makanan , tetapi faktor-faktor ini mungkin
dapat memicu timbulnya gejala pada beberapa orang (Price, 2005).
C. Gejala Klinis
Kolitis ulseratif memiliki gejala awal seperti diare, perdarahan dari
rectum, nyeri abdonmen, demam, malaise, anoreksia, berat badan turun,
dan anemia. Anak-anak pada mulanya tampak dengan gejala yang tidak
jelas seperti pertumbuhan terganggu, anoreksia, demam, dan nyeri sendi
dengan atau tanpa gejala gastrointestinal (Priyanto, 2009).
D. Patogenesis
Ada bukti aktivasi imun pada (Inflamatory Bowel Disease), dengan
infiltrasi lamina propria oleh limfosit,makrofag dan sel-sel lain,meskipun
antigen pencetusnya belum jelas dan bakteri sudah diperkirakan sebagai
pencetus,namun sedikit yang memdukung adanya infeksi spesifik yang
menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary
antigen atau agen mikroba non pathogen yang normal mengaktivasi repon
imun yang abnormal.hasilnya suatu mekanisme penghambat yang
gagal.Pada tikus,defek genetic pada funngsi sel T atau produksi sitokin
menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal
kolon.Hipotessi ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu
autoantigen yang dihasillakn oleh epitel intestinal.Pada tikus,defek genetic
pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang
tidak terkontrol pada flora normall kolon.Hipotesis ketiga adalah bahwa
pencetus IBD aadalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel
intestinal.Pada teori ini pasien menghasilkan respon imun melawan
antigen luminal,yang tetap dan diperkuat karena keasaman antara antigen
llumenal dan protein.Hhipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel
epithelial oleh sitotoksisiras seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas
sel-mediated secara langsung (Damajanti, 2005).
Imun respon cell mediated juga terlibat dalam patogenesis
IBD.Ada peningkatan sekresi antibody oleh
intestinal,terutama IgG dn IgM yang
sel monomuklear
melengkapi komplemen.Kolitis
ulseratf dihubungkan sengan meningkatnya produksi igG1(oleh limfosit
Th2)dan IgG3,subtype yang respon terhadap protein dan antigen T-celldependent.Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi(IL-1,IL6,IL-8 dan tumor necrosis factor) terutama pada aktiasi makrofag
dilamamina
propria.Sitokin
respon.Defek
produksi
yang
sitokin
ini
lain(IL-10)menurunkan
menghasilkan
inflamasi
imun
yang
kronis.Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses
fibrosis.aktor imun ynag lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk
produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh akitivitas
netrofil,mediator
soluble
yang
meningkatkan
permeabilitas
dan
merangsang vasodilatasi,komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit
oksida yan menyebabkan vasodilatasi dan edema(Damajanti, 2005)
Imun respon cell mediated
IgG dan IgM meningkat
IgG1 dan IgG3 meningkat
Peningkatan sitokin pro inflamasi
Makrofag makin banyak
IL-10 turun
Inflamasi kronis pada kolon
COLIK ULSERATIF
E. Patofisiologi
Faktor genetik berpengaruh pada saluran pencernaan, sehingga
terjadi reaksi inflamasi pada lapisan dan di dinding usus sehingga terjadi
pembengkakan dan ulserasi, sehingga menimbulkan kuman untuk
berkembang
biak
dan
mengeluarkan
toksin
sehingga
motilitas
(pergearakan) usus dan permeabilitasnya meningkat dan daya absorsinya
kurang.
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan karena terjadi diare danm absorbs yang
kurang
2. Gangguan eliminasi BAB sehingga terjadi Diare
3. Gangguan istirahat tidur
4. Gangguan aktifitas akibat diare dan rasa nyeri
Diare yang terjadi secara terus menurus menyebabkan kehilangan
cairan dan elekrolit tubuh sehingga masuk dalam tahap dehidrasi sehingga
volume cairan kurang dari kebutuhan,terjadinya dehidrasi menyebabkan
konsentrasi CES meningkat,tekanan osmotic turun shingga CES menurun
yang dapat menimbulkan syok, sehingga timbul gangguan perfusi jaringan.
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan proses patofisiologinya
yaitu osmotik, sekretarik, inflamasi, dan perubahan motilitas. Diare
osmotik terjadi akibat asupan dari bahan makanan yang tidak dapat
diarbsobsi dengan baik, tetapi bahan tersebut larut dalam air sehingga akan
menyebabkan retensi air dalam lumen usus. Penyebab terbanyak adalah
intoleransi laktosa dan penyerapan antasida yang mengandung magnesium.
Diare sekretorik terjadi akibat peningkat sekresi ion-ion dalam
lumen usus sehingga terjadi peningkatan jumlah cairan intralumen. Obatobatan, hormone dan toksin dapat menyebabkan aktivitas sekrotik ini.
Diare inflamasi atau eksudat terjadi akibat, perubahan mukosa
usus sehingga proses absorbsi terganggu dan menyebabkan peningkatan
protein dan zat lain dalam lumen usus disertai retensi cairan. Adanya darah
atau leukosit dalam tinja biasanya mengindikasikan proses inflamasi.
Diare dari peradangan pada usus misalnya colitis ulseratif adalah diare
akibat proses inflamasi.
Kolitis ulseratif mempengaruhi mukosa
superfisisal kolon dan dikarakteristikkan dengan adanya ulserasi multiple,
inflamasi menyebar, dan deskuamasi atau pengelupasan epitelium kolonik.
Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut, yang terjadi
satu secara bergiliran, satu lesi diikuti lesi yang lainnya. Proses penyakit
mulai pada rectum dan akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Akhirnya
usus menyempit, memendek dan menebal akibat hipertrofi muskuler dan
deposit lemak (Purwono, 2005).
Ulserasi menimbulkan lesi pada mukosa, terbentuk abses dan
pecah,timbul iritasi mukosa menyebabkan nyeri.Iritasi yang berkelanjutan
menimbulkan tukak yang meluas sehingga terjadi perdarahan yang terusmenerus maka dapat terjadi anemia. Tukak yang meluas dan ada
pengobatan masuk dalam tahap kronik menimbulkan psikologis sehingga
timbul masalah cemas( Price dan Sylvia, 2005).
F. Gambaran Histopatologi dan Penjelasannnya
Keterangan :
1. Panah biru menggambarkan abses kripte
2. Panah hijau menggambarkan sebukan padat sel radang di lapisan
muskularis mukosa
3. Panah merah muda menggambarkan kelnjar yang melebar
Proses peradanganterbataspadapermukaanmukosa,
lebihsuperfisialdibandingkandengan ‘Crohn’s disease’
Sebagiankelenjarmelebarberisimusindansel-selradang. Pada gambar diatas
nampak sebukan padat sel radang pada muskularis mukosa, ada juga
kelenjar yang mengalami pelebaran, dan warna keputihan bening berupa
cripts absess.
Keterangan :
1. panah biru menggambarkan eksudat pada permukaan mukosa
2. panah kuning menggambarkann sebukan sel radang pada mukosa
Pada gambar nampak
mukosabersebukanpadatselradangakutdankronik.Eksudat padat pada
permukaan mukosa juga terlihat jelas.
Tsang dan Rotterdam, membagi gambaran histopatologik penyakit kolitis
ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya 2 kriteria
mayor harus dipenuhi untuk diagnosis kolitis ulseratif. Kriteria mayor
kolitis ulseratif :
a. infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa
b. basal plasmositosis
c. netrofil pada seluruh tebal mukosa
d. Abses kripta
e. Kriptitis
f. distorsi kripta
g. Permukaan viliformis
Kriteria minor kolitis ulseratif :
a. jumlah sel goblet berkurang
b. Metaplasia sel paneth, tetapi pada kolitis stadium dini gambarannya
tidak terlalu jelas (FK USU, 2008).
G. Penegakkan Diagnosis
Anamnesis
Biasanya pada anamnesis keluhan utama pasien adalah perut terasa sakit.
Perut dirasakan seperti keram. Selain itu, tiap kali buang air besar pasien
selalu mengeluhkan terdapat darah pada fesesnya, tetapi darah tidak
menetes. Kemudian tidak terdapat benjolan saat buang air besar. Buang air
besar cair. Badan terasa demam (Glickman, 2000).
Pemeriksaan Fisik
Biasanya kurang spesifik, bisa terdapat distensi abdomen atau nyeri
sepabjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik akan
normal, Demam, takikardia, dan hipotensi postural biasanya berhubungan
dengan penyakit yang lebih berat (USU,2008).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah dalam batas normal, nadi
normal, suhu tubuh agak tinggi, frekuensi nafas normal. Pada pemeriksaan
bagian abdomen didapatkan nyeri abdomen pada seluruh lapang perut.
Pada kasus yang berat dimungkinkan juga adanya penurunan berat badan.
Hasil colon in loop : terdapat penebalan dinding usus, haustra tidak
tampak pada kolon desenden, terdapat gambaran pipe like sign, dengan
kesan kolitis kolon desenden (Glickman, 2000).
Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi Rektum
Bisa membedakan kolitis injektif yang hanya berlangsung sebentar
(Davey, 2006).
2. Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi
Digunakan untuk melihat batas luasnya penyakit. Kolitis total yang
berlangsung lama merupakan resiko kanker kolon dan setelah 8 tahun
penyakit aktif merupakan indikasi untuk pemeriksaan kolonoskopi
setahun sekali (Davey, 2006).
3. Foto Polos Abdomen
Pada kolitis berat foto polos abdomen bisa memastikan luas penyakit
(usus yang meradang tampak kosong) dan menyingkirkan ‘dilatasi
toksik’ yaitu suatu komplikasi yang membahayakan jiwa dengan resiko
tinggi perforasi, membutuhkan terapi yang sangat agresif (Davey,
2006).
4. Kultur Tinja
Dilakukan untuk menyingkirkan diare infektif (Davey, 2006).
5. Barium Enema
Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras
tunggal maupun dengan kontras ganda yaitu barium sulfat dan udara.
Teknik kontras ganda sangat baik untuk menilai mukosa kolon
dibandingkan denga teknik kontras tunggal, walaupun prosedur
pelaksanaan teknik kontra ganda cukup sulit. Barium enema juga
merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien
dengan kolitis ulseratif.
Gambaran foto barium enema pada kasus kolitis ulseratif adalah
mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta
kolon tampak menjadi kaku seperti tabung. Perubahan muksa terjadi
secara difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi
lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh
kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan
kolon kiri selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai
terjadi di rektum dan menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi
rektum selalu terlibat, walaupun rektum dapat mengalami inflamasi
lebih ringan dari bagian proksimalnya (Djojoningrat, 2006).
6. USG
Pada pemeriksaan USG kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan
penebalan dinding usus yang simetris dengan lumen kolon yang
berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur
hipoekoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya
gerakan peristaltik dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target
sign atau pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau crosssecional. Dengan USG Doppler pada kolitis ulseratif selain dapat
dievaluasi penebalan dinding usus dapat pula dilihat adanya
hipervaskular pada dinding usus tersebut (Djojoningrat, 2006).
7. CT Scan dan MRI
Kelebihan CT scan dan MRI yaitu dapat mengevaluasi langsung
keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh
mana komplikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan
kelebihan MRI terhadap CT sacn adalah mengevaluasi jaringan lunak
karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara
jaringan lunak satu sama lainnya (Djojoningrat, 2006).
Gambaran CT scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal
secara simetris dan kalau terpotong secara cross sectional maka terlihat
gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan
baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan abnormalitas yang
melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas memperlihatkan
fistula dan sinus tract-nya (Djojoningrat, 2006).
H. Terapi Lama
Ada dua tujuan dari terapi yaitu menghentikan serangan akut dan
simptomatik dan mencegah serangan kambuhan.
Menghentikan serangan akut dan simptomatik
1.Asam 5- aminosalisilat
Asam 5- minosalisilat atau yang dikenal sebagai sulfasalazine menjadi
obat pilihan utama dalam pengobatan kolitis ulseratif yang ringan sampai
sedang. Sedikit penelitian yang menerangkan adanya obat baru yang lebih
baik dari sulfasalazine dalam mengontrol inflamasi. 20 dari 30% pasien
mengalami intoleansi terhadap sulafasalazine atau dapat dikatakan alergi
terhadap obat ini (McQuaid, 2005).
2.Kortikosteroid
Prednison dengan dosis 40- 60 mg/ hari secara oral terbukti dapat
menyembuhkan 75- 90% pasien dengan kolitis ulseratif. Seperti pada
penyakit crohn, pengunaan kortikosteroid jangka panjang tidak dianjurkan.
Pasien yang diterapi dengan kortikosteroid harus diterapi berbarengan
dengan asam 5-aminosalisilat untuk mendapatkan keuntungan obat
tersebut yaitu ”steroid sparing effect”. Setelah terlihat adanya perbaikan,
maka kortikosteroid di turunkan dngan cara ”tappering off” dalam jangka
waktu 6-8 minggu.
Pasien yang tidak responsif terhadap asam 5-aminosalisilat, kemudan
diterapi dengan hidrocortisone enema (100mg) satu sampai dua kali sehari.
Kortikosteroid foam dan suppositoria dapat digunakan untuk pengobatan
ulseratif proktitis. Tetapi absorbsi sistemik yang signifikan preparat
tersebut dapat menyebabkan Cushing’s sindrome yang cepat (McQuaid,
2005).
3.Obat imunosupresant
Ada bukti yang mendukung keuntungan penggunaan analog purin, 6mercaptopurine dan azathioprine untuk terapi kolitis ulseratif. Penggunaan
imunosupresant diindikasikan jika pasien tidak respon atau ketergantungan
terhadap kortikosteroid. Masih dimungkinkan untuk penggunaan 6mercaptopurin dalam tahap awal penyakit pada beberapa pasien, tetapi
penggunaannya jangan menunda keempatan untuk operasi pada kolitis
yang ekstensif yang juga beresiko untuk menderita kanker. Penggunaan
cyclosporin pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter terhadap
kortikosteroid intravena dapat dicoba. Pada kelompok pasien ini
cyclosporin intravena tampaknya menginduksi remisi cepat pada lebih
80% pasien. Toksisitas berkaitan dengan cyclosporin berupa kejang,
hipertensi, nefrotoksik, dan juga resiko infeksi. Adanya efek samping
tersebut harus dipertimbangkan untuk penggunaan jangka lama pada
pasien yang gagal dengan terapi 6-mercaptopurin (McQuaid, 2005).
Penggunaan methotrexate pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter juga
dapat dicoba. Hal yang terpenting adalah penggunaan obat imunosupresant
harus dipikirkan kemanjuran dan toksisitasnya dibandingkan dengan
outcome operasi (McQuaid, 2005).
Mencegah kekambuhan
Pasien yang gagal mencapai remisi harus diprogramkan untuk terapi
rumatan dengan 5-asam aminosalisilat (Asacol, 800 mg-2.4 g/hari). Untuk
penyakit yang ekstensif, sulfasalazine (1 g oral 2x1) atau olsalazine (500
mg atau 1 g 2x1) dapat digunakan. Pasien dengan lesi terbatas dapat
diterapi dengan preparat rektal setiap 3 hari sekali. Dosis optimal untuk
semua pasien harus diindividualisasikan (McQuaid, 2005).
I.
Terapi Baru
Pembedahan
Secara umum indikasi terapi pembedahan adalah klitis ulseratif disertai
perforasi, perdarahan hebat, displasia atau kanker, dan tidak respon
terhadap 7-10 hari terapi kortikosteroid ataupun cyclosporin. Peran
proktokolektomi pada pasien dengan penyakit ekstensif yang lama masih
kontroversial. Di masa lalu operasi standar untuk kolitis ulseratif adalah
proctokolectomy baik disertai dengan ileostomy (Brooke) atau teknik yang
lebih sulit continent ileostomy (Koch). Pada 15 tahun terakhir ilmu
pembedahan modern telah menggantikan prosedur proctokolectomy
sebelumnya. Prosedur ini adalah abdominal colectomi yang dilakukan
dengan membuat anastomosis antara kantong (pouch) distal ileum dengan
rektum distal (cuff). Biasanya diverting ileostomy dilakukan juga untuk
memungkinkan pouch dan anastomosis menyembuh dalam beberapa
bulan. Operasi ini disebut ileoanal pullthrough atau ileal pouch-anal
anastomosis. Modifikasi terbaru dari operasi ini dilakukan dengan rectal
mucosectomy dimana anastomosis dari ileal pouch ke rectum distal
mendekati bagian atas linea dentate (1-4 cm). anastomosis ileal pouchdistal rectum ini lebih mudah dikerjakan terkadang tanpa harus dilakukan
lagi diverting ileostomy (McQuaid, 2005).
J.
Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada kolitis ulseratif adalah ‘dilatasi toksik’,
yang lebih sering terjadi pada serangan pertama, perdarahan berat, dan
selanjutnya, kanker kolon merupakan resiko terbesar aetelah 30 tahun sebesar
20% penderita (Davey, 2006).
Komplikai yang sering terjadi pasca operasi adalah pouchitis yang ditandai
dengan frekuensi defekasi yang meningkat, urgensi, kram, dan malaise. Hal
tersebut berhubungan dengan adanya stasis dalam puoch. Gejala berespon
baik terhadap metronidazol (McQuaid, 2005).
1. Kanker Kolon
Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca. Colon atau Kanker
Usus Besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon,
rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki
peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab
kematian yang utama di dunia barat. Untuk menemukannya diperlukan
suatu tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi,.Beberapa faktor
resikonya usia, adanya polip pada kolon, riwayat kanker, faktor keturunan,
penyakit kolitis (radang kolon) ulseratif yang tidak diobati, dan kebiasaan
merokok. Kolitis Ulseratif termasuk dalam salah satu faktor resikonya dan
untuk terapinya adalah melalui pembedahan diikuti kemoterapi (Sylvia,
2005).
2. Fistula Rektovaginalis
Didefinisikan sebagai saluran yang dibatasi jaringan epitel
menghubungkan rektum dengan vaginal. Fistula ini sangat jarang terjadi.
Perlukaan usus yang meliputi proktitis dan ulserasi yang menyebabkan
komplikasi akut maupun kronik. Daerah yang mengalami perlukaan dapat
menimbulkan terjadinya fistula karena jaringan mengalami penurunan
kemampuan regenerasi dan tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri
(Sylvia. 2005).
K. Prognosis
Setelah serangan pertama, 5% meninggal dalam waktu <1 tahun, 10%
mengalami penyakit aktif berkelanjutan, 75% penyakit aktif intermitten, dan
10% mengalami remisi yang berlangsung lama sekitar >15 tahun (Davey,
2006).
KESIMPULAN
1. Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi
kambuhan yang terutama menyerang usus besar (Asih, 1998).
2. Etiologi kolitis ulseratif, tidak diketahui. Faktor genetik tampaknya berperanan
dalam etiologi, karena terdapat hubungan familial yang jelas antara kolitis
ulseratif, penyakit crohn, dan spondilitis ankilosa (Price, 2005).
3. Kolitis ulseratif memiliki gejala awal seperti diare, perdarahan dari
rectum, nyeri abdonmen, demam, malaise, anoreksia, berat badan turun,
dan anemia (Priyanto, 2009).
4. Penegakkan diagnosis kolitis ulseratif adalah dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan penunjang seperti : Biopsi
Rektum, Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi, foto polos abdomen,
kultur tinja, barium enema, USG, CT scan dan MRI (Glickman, 2000).
5. Ada dua tujuan dari terapi dari kolitis ulserative yaitu menghentikan
serangan akut dan simptomatik dan mencegah serangan kambuhan
(McQuaid, 2005).
6. Komplikasi dari kolitis ulseratif adalah dilatasi toksik dan kanker kolon
(Davey, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Basson,
MD.
2012.
Collitis
Ulcerative.
Available
at
:
http://emedicine.medscape.com
Betz, C. L., Linda A. S. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Ed.5. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Damajanti V, dkk.2005. Inflammatory Bowel Diseease,colitis Ulseratif dan
Penyakit Crohn. Jakarta : Pusat informasi dan penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Davey, Patrick. 2006. At A Glance Medicine. Jakarta. Erlangga Medical Series.
Djojoningrat D. 2006. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Dalam Sudoy AW dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakot Dalam Jilid 1. Jakarta : FKUI.
Glickman RM. 2000. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan Penyakit
Chron). Dalam : Asdie AH,editor. Harrison Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam Volume 4 Edisi 13. Jakarta :EGC.
FK USU. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan
Patogenesa. Medan. USU e-Repository.
McQuaid, K. R, Alimentary Tract in Current Medical Diagnosis & Treatment,
44th ed. 2005. Mc Graw-Hill companies.
Priyanto, A, Sri L. 2009. Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta : Penerbit Salemba
Medika
Purwono, H. 2005. Referat Kolitis Ulseratif. Yogyakarta : FK UII bagian Ilmu
Penyakit Dalam
Download