ISI A. Definisi Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan yang terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang mukosa superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema, hemoragi, dan ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muscular dan deposisi jaringan fibrosa dan lemak, yang memberi tampilan usus “pipa timah” akibat penyempitan usus itu sendiri.Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak diketahui, biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat ringan, kronis, atau akut (Asih, 1998). B. Etiologi Etiologi kolitis ulseratif, tidak diketahui. Faktor genetik tampaknya berperanan dalam etiologi, karena terdapat hubungan familial yang jelas antara kolitis ulseratif, penyakit crohn, dan spondilitis ankilosa. Telah dijelaskan beberapa teori mengenai penyebab kolitis ulseratif, namun tidak ada yang terbukti. Teori yang paling terkenal adalah teori reaksi sistem imun tubuh terhadap virus atau bakteri yang menyebabkan terus berlangsungnya peradangan dalam dinding usus. Penderita kolitis ulseratif memang memiliki kelainan sistem imun, tetapi tidak diketahui hal ini merupakan penyebab atau akibat efek ini; kolitis ulseratif tidak disebabkan oleh distress emosional atau sensitifitas terhadap makanan , tetapi faktor-faktor ini mungkin dapat memicu timbulnya gejala pada beberapa orang (Price, 2005). C. Gejala Klinis Kolitis ulseratif memiliki gejala awal seperti diare, perdarahan dari rectum, nyeri abdonmen, demam, malaise, anoreksia, berat badan turun, dan anemia. Anak-anak pada mulanya tampak dengan gejala yang tidak jelas seperti pertumbuhan terganggu, anoreksia, demam, dan nyeri sendi dengan atau tanpa gejala gastrointestinal (Priyanto, 2009). D. Patogenesis Ada bukti aktivasi imun pada (Inflamatory Bowel Disease), dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit,makrofag dan sel-sel lain,meskipun antigen pencetusnya belum jelas dan bakteri sudah diperkirakan sebagai pencetus,namun sedikit yang memdukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non pathogen yang normal mengaktivasi repon imun yang abnormal.hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal.Pada tikus,defek genetic pada funngsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon.Hipotessi ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang dihasillakn oleh epitel intestinal.Pada tikus,defek genetic pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normall kolon.Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD aadalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal.Pada teori ini pasien menghasilkan respon imun melawan antigen luminal,yang tetap dan diperkuat karena keasaman antara antigen llumenal dan protein.Hhipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epithelial oleh sitotoksisiras seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas sel-mediated secara langsung (Damajanti, 2005). Imun respon cell mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD.Ada peningkatan sekresi antibody oleh intestinal,terutama IgG dn IgM yang sel monomuklear melengkapi komplemen.Kolitis ulseratf dihubungkan sengan meningkatnya produksi igG1(oleh limfosit Th2)dan IgG3,subtype yang respon terhadap protein dan antigen T-celldependent.Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi(IL-1,IL6,IL-8 dan tumor necrosis factor) terutama pada aktiasi makrofag dilamamina propria.Sitokin respon.Defek produksi yang sitokin ini lain(IL-10)menurunkan menghasilkan inflamasi imun yang kronis.Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis.aktor imun ynag lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh akitivitas netrofil,mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi,komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yan menyebabkan vasodilatasi dan edema(Damajanti, 2005) Imun respon cell mediated IgG dan IgM meningkat IgG1 dan IgG3 meningkat Peningkatan sitokin pro inflamasi Makrofag makin banyak IL-10 turun Inflamasi kronis pada kolon COLIK ULSERATIF E. Patofisiologi Faktor genetik berpengaruh pada saluran pencernaan, sehingga terjadi reaksi inflamasi pada lapisan dan di dinding usus sehingga terjadi pembengkakan dan ulserasi, sehingga menimbulkan kuman untuk berkembang biak dan mengeluarkan toksin sehingga motilitas (pergearakan) usus dan permeabilitasnya meningkat dan daya absorsinya kurang. 1. Nutrisi kurang dari kebutuhan karena terjadi diare danm absorbs yang kurang 2. Gangguan eliminasi BAB sehingga terjadi Diare 3. Gangguan istirahat tidur 4. Gangguan aktifitas akibat diare dan rasa nyeri Diare yang terjadi secara terus menurus menyebabkan kehilangan cairan dan elekrolit tubuh sehingga masuk dalam tahap dehidrasi sehingga volume cairan kurang dari kebutuhan,terjadinya dehidrasi menyebabkan konsentrasi CES meningkat,tekanan osmotic turun shingga CES menurun yang dapat menimbulkan syok, sehingga timbul gangguan perfusi jaringan. Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan proses patofisiologinya yaitu osmotik, sekretarik, inflamasi, dan perubahan motilitas. Diare osmotik terjadi akibat asupan dari bahan makanan yang tidak dapat diarbsobsi dengan baik, tetapi bahan tersebut larut dalam air sehingga akan menyebabkan retensi air dalam lumen usus. Penyebab terbanyak adalah intoleransi laktosa dan penyerapan antasida yang mengandung magnesium. Diare sekretorik terjadi akibat peningkat sekresi ion-ion dalam lumen usus sehingga terjadi peningkatan jumlah cairan intralumen. Obatobatan, hormone dan toksin dapat menyebabkan aktivitas sekrotik ini. Diare inflamasi atau eksudat terjadi akibat, perubahan mukosa usus sehingga proses absorbsi terganggu dan menyebabkan peningkatan protein dan zat lain dalam lumen usus disertai retensi cairan. Adanya darah atau leukosit dalam tinja biasanya mengindikasikan proses inflamasi. Diare dari peradangan pada usus misalnya colitis ulseratif adalah diare akibat proses inflamasi. Kolitis ulseratif mempengaruhi mukosa superfisisal kolon dan dikarakteristikkan dengan adanya ulserasi multiple, inflamasi menyebar, dan deskuamasi atau pengelupasan epitelium kolonik. Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut, yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuti lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rectum dan akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek dan menebal akibat hipertrofi muskuler dan deposit lemak (Purwono, 2005). Ulserasi menimbulkan lesi pada mukosa, terbentuk abses dan pecah,timbul iritasi mukosa menyebabkan nyeri.Iritasi yang berkelanjutan menimbulkan tukak yang meluas sehingga terjadi perdarahan yang terusmenerus maka dapat terjadi anemia. Tukak yang meluas dan ada pengobatan masuk dalam tahap kronik menimbulkan psikologis sehingga timbul masalah cemas( Price dan Sylvia, 2005). F. Gambaran Histopatologi dan Penjelasannnya Keterangan : 1. Panah biru menggambarkan abses kripte 2. Panah hijau menggambarkan sebukan padat sel radang di lapisan muskularis mukosa 3. Panah merah muda menggambarkan kelnjar yang melebar Proses peradanganterbataspadapermukaanmukosa, lebihsuperfisialdibandingkandengan ‘Crohn’s disease’ Sebagiankelenjarmelebarberisimusindansel-selradang. Pada gambar diatas nampak sebukan padat sel radang pada muskularis mukosa, ada juga kelenjar yang mengalami pelebaran, dan warna keputihan bening berupa cripts absess. Keterangan : 1. panah biru menggambarkan eksudat pada permukaan mukosa 2. panah kuning menggambarkann sebukan sel radang pada mukosa Pada gambar nampak mukosabersebukanpadatselradangakutdankronik.Eksudat padat pada permukaan mukosa juga terlihat jelas. Tsang dan Rotterdam, membagi gambaran histopatologik penyakit kolitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya 2 kriteria mayor harus dipenuhi untuk diagnosis kolitis ulseratif. Kriteria mayor kolitis ulseratif : a. infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa b. basal plasmositosis c. netrofil pada seluruh tebal mukosa d. Abses kripta e. Kriptitis f. distorsi kripta g. Permukaan viliformis Kriteria minor kolitis ulseratif : a. jumlah sel goblet berkurang b. Metaplasia sel paneth, tetapi pada kolitis stadium dini gambarannya tidak terlalu jelas (FK USU, 2008). G. Penegakkan Diagnosis Anamnesis Biasanya pada anamnesis keluhan utama pasien adalah perut terasa sakit. Perut dirasakan seperti keram. Selain itu, tiap kali buang air besar pasien selalu mengeluhkan terdapat darah pada fesesnya, tetapi darah tidak menetes. Kemudian tidak terdapat benjolan saat buang air besar. Buang air besar cair. Badan terasa demam (Glickman, 2000). Pemeriksaan Fisik Biasanya kurang spesifik, bisa terdapat distensi abdomen atau nyeri sepabjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik akan normal, Demam, takikardia, dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat (USU,2008). Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah dalam batas normal, nadi normal, suhu tubuh agak tinggi, frekuensi nafas normal. Pada pemeriksaan bagian abdomen didapatkan nyeri abdomen pada seluruh lapang perut. Pada kasus yang berat dimungkinkan juga adanya penurunan berat badan. Hasil colon in loop : terdapat penebalan dinding usus, haustra tidak tampak pada kolon desenden, terdapat gambaran pipe like sign, dengan kesan kolitis kolon desenden (Glickman, 2000). Pemeriksaan Penunjang 1. Biopsi Rektum Bisa membedakan kolitis injektif yang hanya berlangsung sebentar (Davey, 2006). 2. Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi Digunakan untuk melihat batas luasnya penyakit. Kolitis total yang berlangsung lama merupakan resiko kanker kolon dan setelah 8 tahun penyakit aktif merupakan indikasi untuk pemeriksaan kolonoskopi setahun sekali (Davey, 2006). 3. Foto Polos Abdomen Pada kolitis berat foto polos abdomen bisa memastikan luas penyakit (usus yang meradang tampak kosong) dan menyingkirkan ‘dilatasi toksik’ yaitu suatu komplikasi yang membahayakan jiwa dengan resiko tinggi perforasi, membutuhkan terapi yang sangat agresif (Davey, 2006). 4. Kultur Tinja Dilakukan untuk menyingkirkan diare infektif (Davey, 2006). 5. Barium Enema Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras tunggal maupun dengan kontras ganda yaitu barium sulfat dan udara. Teknik kontras ganda sangat baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan denga teknik kontras tunggal, walaupun prosedur pelaksanaan teknik kontra ganda cukup sulit. Barium enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien dengan kolitis ulseratif. Gambaran foto barium enema pada kasus kolitis ulseratif adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak menjadi kaku seperti tabung. Perubahan muksa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum dan menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum selalu terlibat, walaupun rektum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian proksimalnya (Djojoningrat, 2006). 6. USG Pada pemeriksaan USG kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan penebalan dinding usus yang simetris dengan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristaltik dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau crosssecional. Dengan USG Doppler pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding usus dapat pula dilihat adanya hipervaskular pada dinding usus tersebut (Djojoningrat, 2006). 7. CT Scan dan MRI Kelebihan CT scan dan MRI yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh mana komplikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT sacn adalah mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara jaringan lunak satu sama lainnya (Djojoningrat, 2006). Gambaran CT scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara simetris dan kalau terpotong secara cross sectional maka terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya (Djojoningrat, 2006). H. Terapi Lama Ada dua tujuan dari terapi yaitu menghentikan serangan akut dan simptomatik dan mencegah serangan kambuhan. Menghentikan serangan akut dan simptomatik 1.Asam 5- aminosalisilat Asam 5- minosalisilat atau yang dikenal sebagai sulfasalazine menjadi obat pilihan utama dalam pengobatan kolitis ulseratif yang ringan sampai sedang. Sedikit penelitian yang menerangkan adanya obat baru yang lebih baik dari sulfasalazine dalam mengontrol inflamasi. 20 dari 30% pasien mengalami intoleansi terhadap sulafasalazine atau dapat dikatakan alergi terhadap obat ini (McQuaid, 2005). 2.Kortikosteroid Prednison dengan dosis 40- 60 mg/ hari secara oral terbukti dapat menyembuhkan 75- 90% pasien dengan kolitis ulseratif. Seperti pada penyakit crohn, pengunaan kortikosteroid jangka panjang tidak dianjurkan. Pasien yang diterapi dengan kortikosteroid harus diterapi berbarengan dengan asam 5-aminosalisilat untuk mendapatkan keuntungan obat tersebut yaitu ”steroid sparing effect”. Setelah terlihat adanya perbaikan, maka kortikosteroid di turunkan dngan cara ”tappering off” dalam jangka waktu 6-8 minggu. Pasien yang tidak responsif terhadap asam 5-aminosalisilat, kemudan diterapi dengan hidrocortisone enema (100mg) satu sampai dua kali sehari. Kortikosteroid foam dan suppositoria dapat digunakan untuk pengobatan ulseratif proktitis. Tetapi absorbsi sistemik yang signifikan preparat tersebut dapat menyebabkan Cushing’s sindrome yang cepat (McQuaid, 2005). 3.Obat imunosupresant Ada bukti yang mendukung keuntungan penggunaan analog purin, 6mercaptopurine dan azathioprine untuk terapi kolitis ulseratif. Penggunaan imunosupresant diindikasikan jika pasien tidak respon atau ketergantungan terhadap kortikosteroid. Masih dimungkinkan untuk penggunaan 6mercaptopurin dalam tahap awal penyakit pada beberapa pasien, tetapi penggunaannya jangan menunda keempatan untuk operasi pada kolitis yang ekstensif yang juga beresiko untuk menderita kanker. Penggunaan cyclosporin pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter terhadap kortikosteroid intravena dapat dicoba. Pada kelompok pasien ini cyclosporin intravena tampaknya menginduksi remisi cepat pada lebih 80% pasien. Toksisitas berkaitan dengan cyclosporin berupa kejang, hipertensi, nefrotoksik, dan juga resiko infeksi. Adanya efek samping tersebut harus dipertimbangkan untuk penggunaan jangka lama pada pasien yang gagal dengan terapi 6-mercaptopurin (McQuaid, 2005). Penggunaan methotrexate pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter juga dapat dicoba. Hal yang terpenting adalah penggunaan obat imunosupresant harus dipikirkan kemanjuran dan toksisitasnya dibandingkan dengan outcome operasi (McQuaid, 2005). Mencegah kekambuhan Pasien yang gagal mencapai remisi harus diprogramkan untuk terapi rumatan dengan 5-asam aminosalisilat (Asacol, 800 mg-2.4 g/hari). Untuk penyakit yang ekstensif, sulfasalazine (1 g oral 2x1) atau olsalazine (500 mg atau 1 g 2x1) dapat digunakan. Pasien dengan lesi terbatas dapat diterapi dengan preparat rektal setiap 3 hari sekali. Dosis optimal untuk semua pasien harus diindividualisasikan (McQuaid, 2005). I. Terapi Baru Pembedahan Secara umum indikasi terapi pembedahan adalah klitis ulseratif disertai perforasi, perdarahan hebat, displasia atau kanker, dan tidak respon terhadap 7-10 hari terapi kortikosteroid ataupun cyclosporin. Peran proktokolektomi pada pasien dengan penyakit ekstensif yang lama masih kontroversial. Di masa lalu operasi standar untuk kolitis ulseratif adalah proctokolectomy baik disertai dengan ileostomy (Brooke) atau teknik yang lebih sulit continent ileostomy (Koch). Pada 15 tahun terakhir ilmu pembedahan modern telah menggantikan prosedur proctokolectomy sebelumnya. Prosedur ini adalah abdominal colectomi yang dilakukan dengan membuat anastomosis antara kantong (pouch) distal ileum dengan rektum distal (cuff). Biasanya diverting ileostomy dilakukan juga untuk memungkinkan pouch dan anastomosis menyembuh dalam beberapa bulan. Operasi ini disebut ileoanal pullthrough atau ileal pouch-anal anastomosis. Modifikasi terbaru dari operasi ini dilakukan dengan rectal mucosectomy dimana anastomosis dari ileal pouch ke rectum distal mendekati bagian atas linea dentate (1-4 cm). anastomosis ileal pouchdistal rectum ini lebih mudah dikerjakan terkadang tanpa harus dilakukan lagi diverting ileostomy (McQuaid, 2005). J. Komplikasi Komplikasi yang bisa terjadi pada kolitis ulseratif adalah ‘dilatasi toksik’, yang lebih sering terjadi pada serangan pertama, perdarahan berat, dan selanjutnya, kanker kolon merupakan resiko terbesar aetelah 30 tahun sebesar 20% penderita (Davey, 2006). Komplikai yang sering terjadi pasca operasi adalah pouchitis yang ditandai dengan frekuensi defekasi yang meningkat, urgensi, kram, dan malaise. Hal tersebut berhubungan dengan adanya stasis dalam puoch. Gejala berespon baik terhadap metronidazol (McQuaid, 2005). 1. Kanker Kolon Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca. Colon atau Kanker Usus Besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di dunia barat. Untuk menemukannya diperlukan suatu tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi,.Beberapa faktor resikonya usia, adanya polip pada kolon, riwayat kanker, faktor keturunan, penyakit kolitis (radang kolon) ulseratif yang tidak diobati, dan kebiasaan merokok. Kolitis Ulseratif termasuk dalam salah satu faktor resikonya dan untuk terapinya adalah melalui pembedahan diikuti kemoterapi (Sylvia, 2005). 2. Fistula Rektovaginalis Didefinisikan sebagai saluran yang dibatasi jaringan epitel menghubungkan rektum dengan vaginal. Fistula ini sangat jarang terjadi. Perlukaan usus yang meliputi proktitis dan ulserasi yang menyebabkan komplikasi akut maupun kronik. Daerah yang mengalami perlukaan dapat menimbulkan terjadinya fistula karena jaringan mengalami penurunan kemampuan regenerasi dan tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri (Sylvia. 2005). K. Prognosis Setelah serangan pertama, 5% meninggal dalam waktu <1 tahun, 10% mengalami penyakit aktif berkelanjutan, 75% penyakit aktif intermitten, dan 10% mengalami remisi yang berlangsung lama sekitar >15 tahun (Davey, 2006). KESIMPULAN 1. Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan yang terutama menyerang usus besar (Asih, 1998). 2. Etiologi kolitis ulseratif, tidak diketahui. Faktor genetik tampaknya berperanan dalam etiologi, karena terdapat hubungan familial yang jelas antara kolitis ulseratif, penyakit crohn, dan spondilitis ankilosa (Price, 2005). 3. Kolitis ulseratif memiliki gejala awal seperti diare, perdarahan dari rectum, nyeri abdonmen, demam, malaise, anoreksia, berat badan turun, dan anemia (Priyanto, 2009). 4. Penegakkan diagnosis kolitis ulseratif adalah dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan penunjang seperti : Biopsi Rektum, Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi, foto polos abdomen, kultur tinja, barium enema, USG, CT scan dan MRI (Glickman, 2000). 5. Ada dua tujuan dari terapi dari kolitis ulserative yaitu menghentikan serangan akut dan simptomatik dan mencegah serangan kambuhan (McQuaid, 2005). 6. Komplikasi dari kolitis ulseratif adalah dilatasi toksik dan kanker kolon (Davey, 2006) DAFTAR PUSTAKA Basson, MD. 2012. Collitis Ulcerative. Available at : http://emedicine.medscape.com Betz, C. L., Linda A. S. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Ed.5. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Damajanti V, dkk.2005. Inflammatory Bowel Diseease,colitis Ulseratif dan Penyakit Crohn. Jakarta : Pusat informasi dan penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC Davey, Patrick. 2006. At A Glance Medicine. Jakarta. Erlangga Medical Series. Djojoningrat D. 2006. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia. Dalam Sudoy AW dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakot Dalam Jilid 1. Jakarta : FKUI. Glickman RM. 2000. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan Penyakit Chron). Dalam : Asdie AH,editor. Harrison Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4 Edisi 13. Jakarta :EGC. FK USU. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan Patogenesa. Medan. USU e-Repository. McQuaid, K. R, Alimentary Tract in Current Medical Diagnosis & Treatment, 44th ed. 2005. Mc Graw-Hill companies. Priyanto, A, Sri L. 2009. Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta : Penerbit Salemba Medika Purwono, H. 2005. Referat Kolitis Ulseratif. Yogyakarta : FK UII bagian Ilmu Penyakit Dalam