RINGKASAN EKSEKUTIF Pemulihan ekonomi di negara maju yang belum merata serta ekonomi dan tingkat inflasi Eropa mendorong Bank melambatnya pertumbuhan emerging market economies Sentral Eropa (ECB) untuk memperpanjang kebijakan (EMEs) khususnya Tiongkok, telah berkontribusi terhadap serta menambah volume quantitative easing (QE). peningkatan risiko global. Pada semester II 2015, pemulihan Arah kebijakan yang sama juga diterapkan oleh Bank ekonomi Amerika Serikat (AS) yang masih tertahan di Sentral Jepang yang mulai memberlakukan kebijakan bawah ekspektasi sejalan dengan belum membaiknya suku sektor konsumsi, manufaktur serta sektor perumahan Tiongkok memilih strategi kebijakan devaluasi Yuan telah menggeser estimasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR). dan penerapan sistem nilai tukar yang lebih fleksibel. bunga negatif. Sementara itu, Bank Sentral Risiko di pasar keuangan internasional yang bersumber dari xi ketidakpastian kenaikan FFR juga berdampak pada pasar Risiko ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia, penurunan komoditas dunia. Penguatan mata uang dolar AS semakin harga komoditas dan respon kebijakan moneter yang memberikan permintaan bervariasi telah mendorong peningkatan ketidakpastian komoditas, di sisi lain supply komoditas cenderung di pasar keuangan global. Hal tersebut terindikasi dari meningkat. Hal tersebut semakin mendorong berlanjutnya meningkatnya spread credit default swap (CDS) dan risiko penurunan harga komoditas terutama minyak, batubara, pembalikan modal asing dari EMEs. Namun demikian, crude palm oil (CPO) dan karet. Kondisi perekonomian kenaikan FFR sebesar 25 bps pada Desember 2015 telah global tersebut menyebabkan munculnya respon kebijakan dapat diantisipasi pelaku pasar sehingga dampak di pasar moneter yang bervariasi. Masih lemahnya pertumbuhan keuangan global cukup terkendali. Penurunan VIX indeks tekanan pada lemahnya yang menggambarkan ekspektasi pasar terhadap volatilitas perlambatan ekonomi domestik serta pasar uang dan pasar saham dalam 30 hari ke depan paska kenaikan suku pasar modal yang masih tersegmentasi dan dangkal bunga acuan AS, mengkonfirmasi perilaku investor yang juga mempengaruhi kondisi pasar keuangan domestik. telah memperhitungkan ekspektasi normalisasi kebijakan moneter oleh bank sentral AS dalam kegiatan investasinya. Dari sisi risiko, pasar keuangan domestik masih relatif terjaga di tengah tekanan yang cenderung meningkat Perkembangan kondisi keuangan global tersebut, sedikit terutama di pasar uang antar bank (PUAB), valas, banyak memberikan tekanan dan meningkatkan risiko saham dan Surat Berharga Negara (SBN). Hal tersebut pada pasar keuangan domestik. Peningkatan risiko tersebut tidak terlepas dari upaya mitigasi risiko dan langkah- terutama berasal dari penurunan aliran masuk modal asing langkah pendalaman pasar keuangan yang dilakukan serta penurunan permintaan dan harga sektor komoditas oleh Bank Indonesia, otoritas lainnya serta industri. yang memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap tekanan nilai tukar dan neraca pembayaran. Penurunan Peningkatan risiko di PUAB rupiah tercermin dari kenaikan aliran masuk modal asing sebesar 2,9 miliar dolar AS volatilitas suku bunga PUAB di akhir semester II 2015 berdampak cukup besar pada defisit Neraca Pembayaran sebagai dampak peningkatan kebutuhan likuiditas pada Indonesia (NPI) 2015 sehingga menyebabkan nilai tukar akhir tahun serta antisipasi pemenuhan Liquidity Coverage tertekan yang pada akhirnya berdampak pada penurunan Ratio (LCR) oleh perbankan seiring dengan perubahan kinerja korporasi. Lebih jauh lagi, posisi utang luar negeri pola pengeluaran pemerintah. Di pasar valuta asing, (ULN) sektor swasta yang cukup tinggi menambah intensitas intensitas tekanan semakin besar akibat penguatan nilai tekanan pada kinerja korporasi. Penurunan kinerja tukar dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. korporasi selanjutnya akan memperkecil penerimaan Namun demikian, peningkatan volatilitas nilai tukar pajak sehingga ruang fiskal menjadi semakin terbatas. rupiah masih berada di bawah rata-rata negara kawasan. Di sisi lain, dampak pelemahan harga komoditas Tekanan di pasar SBN tercermin dari penurunan indeks IDMA serta penurunan permintaan domestik pada kinerja sebesar 4,2% dan kenaikan yield SBN untuk semua tenor institusi keuangan relatif terbatas. Terjaganya kinerja terutama pada tenor pendek. Hal tersebut menunjukkan institusi keuangan domestik ditopang oleh permodalan masih tingginya risiko jangka pendek pada perekonomian yang cukup kuat dan likuiditas yang masih memadai Indonesia. Tekanan di pasar SBN tersebut diikuti dengan di prosiklikalitas penurunan minat investor asing. Namun yield SBN yang lebih perbankan. Pada semester II 2015, Indeks Stabilitas tinggi dibandingkan dengan peer countries masih menjadi Sistem Keuangan (ISSK) masih berada pada zona normal daya tarik bagi investor asing untuk tetap memiliki SBN. tengah kecenderungan perilaku namun meningkat dibandingkan semester sebelumnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi sistem Sejalan keuangan masih terjaga di tengah meningkatnya risiko risiko di pasar obligasi korporasi juga mencatat peningkatan baik pada perekonomian global maupun domestik. yang diindikasikan dengan naiknya yield dan volatilitas. Gejolak berdampak Sebagai kompensasi dari pelemahan kinerja korporasi pada kondisi pasar keuangan domestik. Selain itu, domestik, investor mengharapkan yield yang lebih tinggi perekonomian dunia turut dengan peningkatan risiko di pasar SBN, xii untuk semua peringkat obligasi korporasi. Selain itu, rata- serta penurunan interest coverage ratio (ICR). Di samping rata volatilitas yield obligasi korporasi semua tenor juga itu, peningkatan utang korporasi baik utang luar negeri meningkat dari 10,66% di semester I menjadi 11,43%. maupun utang dalam negeri valas juga meningkatkan potensi risiko di sektor korporasi. Namun demikian, Peningkatan risiko juga terjadi di pasar saham Indonesia. dunia usaha memandang bahwa kondisi ekonomi pada Hal tersebut tercermin pada pelemahan IHSG sebesar akhir 2015 masih cukup kondusif dan diperkirakan 6,47% pada akhir semester II 2015, sebagaimana terjadi akan terjadi peningkatan kegiatan usaha pada 2016. pula di beberapa negara kawasan. Sektor pertambangan, pertanian dan industri dasar memberikan kontribusi besar Di tengah berbagai gejolak dan kerentanan baik global terhadap pelemahan harga saham di bursa Indonesia. maupun domestik, ketahanan industri perbankan pada Sejalan dengan koreksi harga saham, nilai perdagangan di semester II 2015 masih relatif terjaga dengan tingkat pasar saham juga menunjukkan penurunan. Sementara itu, kecukupan modal yang tinggi dan profitabilitas yang net jual investor nonresiden tercatat sebesar Rp26,33 triliun. positif. Capital Adequacy Ratio (CAR) sebagai indikator dari tingkat kecukupan permodalan industri perbankan berada (RT), di level 21,39% pada akhir semester laporan. Tingginya perkembangan kinerjanya secara umum menunjukkan CAR industri perbankan tersebut merupakan upaya bank perlambatan pada semester II 2015. Sebagai dampak dalam mengantisipasi pemenuhan aturan permodalan dari perlambatan ekonomi, pertumbuhan konsumsi RT sesuai Basel III dan potensi risiko yang mungkin timbul. yang selama ini menjadi kontributor utama PDB masih Ketentuan permodalan tersebut mewajibkan bank untuk melambat dari 5,21% di 2014 menjadi 4,94% di 2015. Di menambah modal berupa capital conservation buffer, tengah perlambatan pertumbuhan konsumsi RT tersebut, countercyclical buffer dan capital surcharge untuk bank- potensi risiko yang perlu diwaspadai adalah peningkatan bank yang tergolong sistemik, yang mulai berlaku awal 2016. Sementara dari sisi sektor rumah tangga debt service ratio (DSR) khususnya pada kelompok RT berpendapatan rendah serta perlambatan pertumbuhan Dari sisi profitabilitas, laba industri perbankan yang kredit perbankan debitur perseorangan yang disertai dengan tercermin dari rasio Return On Asset (ROA) dan Net Interest peningkatan non performing loan (NPL). Namun demikian, Margin (NIM) masih menunjukkan sedikit kenaikan di survei menunjukkan masih terdapatnya optimisme dari tengah melambatnya ekonomi dan kredit. Sementara itu sektor RT terhadap kondisi perekonomian pada 2016. efisiensi industri menunjukkan penurunan, sebagaimana terlihat dari peningkatan rasio Beban Operasional terhadap xiii Searah dengan sektor RT, korporasi juga mencatat Pendapatan Operasional (BOPO) dan Cost to Income Ratio perlambatan kinerja di semua sektor terutama komoditas. (CIR). Kondisi likuiditas industri perbankan secara umum Indikator kinerja keuangan korporasi yang tercermin cenderung membaik dibandingkan dengan semester dari produktivitas, profitabilitas, solvabilitas, likuiditas, sebelumnya, sejalan dengan ekspansi keuangan pemerintah dan debt equity ratio (DER) cenderung mengalami pada periode laporan yang mendorong kenaikan alat likuid penurunan. Penurunan kinerja tersebut berdampak pada (AL) bank. Meskipun demikian, masih terdapat potensi kemampuan korporasi untuk membayar kewajibannya, tekanan likuiditas perbankan pada 2016, terutama karena yang ditunjukkan oleh peningkatan debt service ratio (DSR) perubahan pola ekspansi keuangan pemerintah dan konversi sebagian Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi meningkat, risiko pasar yang bersumber dari risiko nilai tukar Hasil (DBH) menjadi SBN serta potensi pergeseran sebagian relatif rendah pada semester II 2015. Hal ini disebabkan DPK lembaga keuangan nonbank dari deposito menjadi SBN. aset valas perbankan yang mencatat posisi net long valas, serta Posisi Devisa Neto (PDN) perbankan yang masih Membaiknya perekonomian pada triwulan IV 2015 rendah. Seiring dengan tren perlambatan pertumbuhan memberikan dampak pada peningkatan pertumbuhan kredit, bank mengalokasikan sebagian dana/likuiditas kredit. Pertumbuhan kredit bergerak naik dari 10,38% (yoy) pada SBN karena risiko di SBN yang relatif masih terjaga. pada akhir semester I 2015 menjadi 10,45% (yoy) pada Dari sisi risiko kredit, dengan menggunakan scenario based akhir semester laporan. Sementara itu, pertumbuhan DPK analysis (macro stress test) pada skenario sangat buruk, pada akhir semester II 2015 tercatat sebesar 7,26% (yoy), permodalan perbankan secara umum masih mampu lebih rendah dibanding akhir semester I 2015 sebesar menyerap potensi kerugian yang terjadi. Dengan demikian, 12,65%. Perlambatan DPK tersebut antara lain dipengaruhi ketahanan industri perbankan secara umum masih relatif oleh daya tarik dari penerbitan SBN serta penarikan pajak kuat dalam menghadapi risiko pasar dan risiko kredit. pada akhir semester II 2015. Namun demikian, perlambatan tersebut diperkirakan akan tertahan oleh ekspansi Sementara itu, seiring dengan pertumbuhan kredit keuangan pemerintah yang tinggi seiring mulai berjalannya perbankan, pertumbuhan kredit Usaha Mikro, Kecil, dan proyek-proyek infrastruktur sejak awal triwulan I 2016. Menengah (UMKM) juga mengalami peningkatan, disertai dengan risiko kredit yang terjaga. Penyaluran kredit UMKM Sebagai hasil dari upaya perbaikan kualitas kredit yang tumbuh 8,0% (yoy), meningkat dibandingkan dengan dilakukan oleh perbankan pada akhir tahun, risiko kredit semester sebelumnya sebesar 6,78%. Di tengah perlambatan cenderung membaik yang diindikasikan oleh rasio NPL gross yang terjadi, penyaluran kredit UMKM ke beberapa sektor pada semester laporan yaitu 2,49%, relatif terjaga di bawah ekonomi masih menunjukkan peningkatan pertumbuhan, thresholdnya (5%). Rasio NPL tersebut lebih rendah jika diantaranya ke sektor Pertanian dan Kehutanan serta dibandingkan dengan semester I 2015 (2,56%), meskipun Industri Pengolahan. Pada akhir periode laporan, risiko masih lebih tinggi dari tahun sebelumnya (2,16%) sebagai kredit UMKM mengalami perbaikan dari 4,65% pada dampak dari berlanjutnya perlambatan ekonomi, penurunan semester I 2015 menjadi 4,20% pada akhir 2015 seiring harga komoditas dan penurunan kinerja korporasi pada upaya perbaikan kualitas kredit yang dilakukan perbankan. 2015. Dari sisi penggunaan kredit, kenaikan NPL terbesar terjadi pada kredit modal kerja (KMK). Sementara Pada semester II 2015, kinerja Industri Keuangan berdasarkan sektor ekonomi, peningkatan NPL gross Non Bank (IKNB) masih terjaga meskipun cenderung terjadi hampir di semua sektor kecuali sektor konstruksi. melambat, sebagaimana ditunjukkan dengan perlambatan pertumbuhan aset Perusahaan Pembiayaan (PP) dan asuransi. Dari sisi risiko pasar, gejolak pasar keuangan global pada Perlambatan ekonomi yang disertai dengan pelemahan 2015 memberikan dampak yang relatif terbatas pada daya beli masyarakat mengakibatkan volume pembiayaan perbankan nasional. Risiko suku bunga terkait dengan turun sehingga aset PP tumbuh melambat menjadi sebesar aktivitas penghimpunan dan penyaluran dana masih relatif 1,29% (yoy). Di sisi lain, risiko kredit PP relatif terjaga terjaga. Di tengah volatilitas nilai tukar yang cenderung tercermin dari rasio Non Performing Financing (NPF) yang xiv relatif rendah yakni sebesar 1,45%. Sebagaimana PP, kinerja penggunaan infrastruktur sistem pembayaran sepanjang industri asuransi masih terjaga walaupun total aset tumbuh periode laporan. Kebijakan tersebut berupa implementasi melambat sebesar 6,93% (yoy) pada semester laporan. sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI Adapun risiko industri asuransi cenderung meningkat RTGS) dan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement dibanding periode yang sama pada 2014 yang terindikasi System (BI-SSSS) Generasi II pada 16 November 2015, yang dari peningkatan Rasio Klaim Bruto terhadap Premi Bruto ditujukan untuk memperkuat infrastruktur pembayaran dari 62,40% menjadi 68,90% pada semester II 2015. bernilai besar. Kebijakan dalam sistem pembayaran juga dilakukan melalui penyelarasan ketentuan Bank Indonesia keuangan guna memitigasi risiko sistemik maupun operasional konvensional, kinerja sektor keuangan syariah secara umum dan penyesuaian batas nominal transaksi BI-RTGS. Searah dengan perkembangan sektor tetap berada dalam zona positif meskipun mengalami tekanan di pasar keuangan Risiko pada sistem pembayaran masih terjaga, baik pada syariah terlihat dari kenaikan yield sukuk, pelemahan indeks risiko setelmen, risiko likuiditas, risiko operasional dan risiko harga saham syariah, serta penurunan volume transaksi Pasar sistemik. Risiko setelmen relatif masih rendah, terindikasi Uang Antar Bank Syariah (PUAS). Pangsa pasar keuangan dari kecilnya nilai dan volume transaksi pembayaran melalui syariah terhadap pasar keuangan secara keseluruhan masih sistem BI-RTGS yang tidak dapat diselesaikan (unsettled relatif terbatas. Sebagai upaya pengembangan instrumen transaction) sampai berakhirnya waktu operasional (window dan pendalaman pasar keuangan syariah, Bank Indonesia time). Kondisi yang sama juga terlihat pada risiko likuiditas, telah menerbitkan ketentuan terkait repo syariah pada 2015 dimana penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) yang dan hedging syariah di awal 2016. Di sisi institusi keuangan, merupakan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada permodalan perbankan syariah cukup kuat dengan rasio bank dengan cara repurchase agreement (repo) surat CAR yang meningkat menjadi 15,31% pada semester berharga relatif minimal. Sebagai langkah mitigasi risiko laporan, ditopang oleh suntikan modal kepada beberapa operasional, Bank Indonesia terus berusaha meminimalkan bank syariah dari perusahaan induknya. Risiko likuiditas risiko tersebut melalui Business Continuity Plan (BCP), perbankan syariah mengalami penurunan sebagaimana termasuk ketersediaan infrastruktur back up system. Selain tercermin dari peningkatan rasio alat likuid (AL/NCD dan itu, Bank Indonesia tetap melakukan pemantauan terhadap AL/DPK). Arah perbaikan juga ditunjukkan oleh risiko potensi risiko sistemik yang timbul dari keterkaitan antar kredit yang menurun dari 5,09% menjadi 4,84% untuk peserta (interconnectedness) dalam sistem BI-RTGS. tekanan. Representasi dari Bank Umum Syariah (BUS) dan 3,76% menjadi 3,03% untuk Unit Usaha Syariah (UUS), hal ini antara lain didorong oleh Penguatan infrastruktur keuangan juga dilakukan dengan restrukturisasi kredit dan konsolidasi perbankan syariah. memperkuat akses keuangan dari masyarakat antara lain melalui Layanan Keuangan Digital (LKD). Salah satu indikator xv Dari sisi infrastruktur sistem keuangan, penyelenggaraan yang digunakan untuk menunjukkan akses keuangan sistem pembayaran selama semester II 2015 telah berjalan masyarakat adalah indeks inklusivitas. Pada akhir periode dengan aman, lancar dan efisien. Bank Indonesia sebagai 2015, indeks ini mencapai level medium yaitu 35,8% penyelenggara sistem pembayaran telah mengambil dengan tren yang cenderung meningkat. Selain itu, LKD kebijakan yang memberikan dampak positif terhadap menunjukkan perkembangan yang positif, diindikasikan dari bertambahnya bank penyelenggara LKD dan agen LKD, serta SSK di Indonesia. Hal tersebut antara lain dilakukan meningkatnya transaksi uang elektronik pada agen LKD. melalui Sebagai respon atas hasil asesmen yang telah dilakukan, antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia selama semester II 2015 telah mengeluarkan koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah, koordinasi kebijakan makroprudensial berupa pelonggaran pemberian Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), kredit properti dan uang muka kredit kendaraan bermotor Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) (Loan to Value Ratio/Financing to Value Ratio (LTV/FTV)) dalam dan GWM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta keanggotaan dalam berbagai fora internasional. koordinasi rangka makroprudensial-mikroprudensial pencegahan dan penanganan krisis, melalui pertumbuhan kredit perbankan, serta kebijakan countercyclical guna menjaga stabilitas sistem keuangan. Ke depan, perkembangan SSK di 2016 diperkirakan masih Pelonggaran rasio LTV/FTV mulai berdampak pada akan dipengaruhi oleh berbagai tantangan, baik dari sisi peningkatan penyaluran kredit properti. Sementara upaya eksternal maupun internal yang berpotensi mengganggu mendorong intermediasi perbankan melalui kebijakan SSK. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat dalam pendalaman pasar keuangan dan penyaluran kredit ke mengidentifikasi potensi risiko serta upaya mitigasinya. sektor produktif (Loan to Funding Ratio/LFR yang dikaitkan Di sisi eksternal, kondisi global yang berdampak pada SSK dengan GWM) telah memperlonggar ruang penyaluran diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi dunia yang kredit dan mulai mendorong bank untuk meningkatkan relatif stagnan, harga komoditas yang masih melemah, serta penerbitan SSB. Bank Indonesia juga menerbitkan berlanjutnya perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok ketentuan Countercyclical Buffer (CCB) dalam rangka sebagai salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia. mencegah peningkatan risiko sistemik dari pertumbuhan kredit yang berlebihan serta menyerap kerugian yang dapat Risiko perlambatan pertumbuhan kredit dan peningkatan ditimbulkan. Kombinasi kebijakan makroprudensial tersebut NPL sebagai dampak dari penurunan harga komoditas secara umum dapat menahan perlambatan kredit dan tetap perlu diwaspadai. Harga komoditas diperkirakan mengendalikan risiko yang timbul pada sistem keuangan. belum akan menguat di 2016 sebagai akibat dari prospek ekonomi global, faktor penawaran-permintaan, dan Dalam rangka menjaga SSK dan melindungi bank dari pengaruh geopolitik. Tingginya downside risks mengacu perilaku risk taking yang berlebihan, Bank Indonesia pada tren pelemahan harga komoditas minyak dunia juga melakukan surveillance sistem keuangan termasuk antara lain akibat penurunan permintaan dari Uni Eropa pemeriksaan bank yang bersifat tematik maupun kepatuhan (EU) dan Tiongkok. Sementara penawaran minyak mentah (compliance audit) terhadap ketentuan Bank Indonesia. diperkirakan cukup melimpah khususnya terkait dengan Surveillance tersebut dilakukan terutama kepada bank- kebijakan pasokan dari negara Timur Tengah untuk bank besar guna mengidentifikasi faktor kerentanan dan mempertahankan pangsa pasarnya. Di sisi lain, terdapat volatilitas sehingga mampu mendeteksi potensi tekanan upside risk dari perbaikan kondisi ekonomi beberapa mitra yang berdampak sistemik pada sistem keuangan. Selain dagang utama lainnya seperti AS dan India yang diharapkan itu, Bank Indonesia juga terus memperkuat koordinasi berdampak positif pada kinerja ekspor Indonesia sehingga kebijakan merespon dapat mendorong pertumbuhan kredit pada 2016. tantangan perekonomian yang berpotensi mengganggu Ketidakpastian pasar keuangan global di awal tahun 2016 dengan otoritas terkait guna xvi diperkirakan akan mereda setelah adanya kepastian diharapkan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. kenaikan FFR sebesar 0,25 bps di Desember 2015. Pertumbuhan kredit dan pembiayaan perbankan pada Perkembangan prospek ekonomi AS akan menentukan 2016 diperkirakan dalam kisaran 12-14%. Sementara itu, risiko normalisasi kebijakan the Fed ke depan yang estimasi pertumbuhan DPK mencapai 13%-15% seiring selanjutnya dapat mempengaruhi pergerakan aliran dengan meningkatnya pertumbuhan kredit dan operasi modal dan nilai tukar. Potensi risiko dari volatilitas nilai keuangan Pemerintah yang lebih ekspansif. Proses tukar yang tinggi akan berdampak negatif terhadap intermediasi berpotensi menghadapi tantangan selama kondisi neraca korporasi dan perbankan sehingga dapat 2016 khususnya terkait dengan penghimpunan DPK, menyebabkan timbulnya risiko nilai tukar terhadap SSK. diantaranya sebagai dampak peningkatan kebutuhan uang kartal periode Ramadhan, pengalihan sebagian dana perbankan, perbaikan kinerja perimbangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) ke dalam ekonomi serta masih kuatnya konsumsi domestik dapat bentuk SBN serta efek crowding out dari penerbitan SBN. Dari sisi intermediasi menjadi pendorong pertumbuhan DPK dan kredit di 2016. Program percepatan pembangunan infrastruktur Mencermati peluang dan tantangan ke depan, arah Pemerintah merupakan salah satu kunci penggerak kebijakan Bank Indonesia dititikberatkan pada penguatan kredit karena memiliki efek pengganda bauran kebijakan makroprudensial, kebijakan moneter, (multiplier) yang relatif tinggi kepada sektor lainnya. serta kebijakan sistem pembayaran dan pengedaran Kebijakan makroprudensial berupa pelonggaran LTV dan uang rupiah. Dari sisi makroprudensial, kebijakan Bank LFR, kebijakan moneter berupa penurunan GWM primer Indonesia difokuskan untuk menjaga SSK melalui penguatan serta penurunan BI Rate pada awal 2016 diharapkan dapat ketahanan permodalan perbankan, menjaga kecukupan semakin mendorong intermediasi perbankan secara likuiditas dan pendalaman pasar keuangan. Sebagai upaya optimal. Sementara itu, upaya mendorong pertumbuhan pemerataan pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia akan ekonomi yang mendorong fungsi intermediasi perbankan di lingkup sejumlah tantangan pertumbuhan berkesinambungan struktural, dihadapkan antara lain pada masih nasional dan regional dengan memfasilitasi pemberian melemahnya kredit/pembiayaan ke sektor-sektor ekonomi produktif kontribusi ekspor, rentannya kecukupan pangan dan energi, yang menjadi prioritas Pemerintah dan bernilai tambah serta masih dangkalnya struktur pasar keuangan. Sedangkan signifikan terhadap perekonomian nasional. Bank Indonesia di sisi likuiditas perbankan, perlu diwaspadai penurunan bersama-sama dengan OJK dan Pemerintah juga terus ekspansi likuiditas rupiah dan aliran keluar modal asing. mengembangkan peran ekonomi dan sistem keuangan syariah dominannya konsumsi rumah tangga, dalam perekonomian Indonesia melalui pengembangan Proyeksi perekonomian Indonesia di 2016 berada pada instrumen moneter berbasis syariah dan pengembangan kisaran 5,2-5,6% dengan laju inflasi yang terkendali instrumen keuangan berbasis syariah baik untuk tujuan menuju sasaran yang ditetapkan 4±1%. Sementara itu, investasi maupun pengelolaan likuiditas. Selain itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan sedikit meningkat penguatan peran UMKM juga menjadi fokus Bank Indonesia dibandingkan 2015 sejalan dengan intensifnya proyek yang diimplementasikan melalui perluasan dan pendalaman infrastruktur, namun tetap di bawah level 3%. Sejalan infrastruktur keuangan serta peningkatan kapasitas UMKM. dengan arah perbaikan ekonomi, prospek SSK Indonesia xvii