Kebudayaan Kekuasaan atau Sosiologi Kekuasaan?

advertisement
Kebudayaan
Kekuasaan atau
Sosiologi
Kekuasaan?*
Nomor 14, September - 2007
Redaksi:
Edi Cahyono, Maxim
Napitupulu, Maulana
Mahendra, Muhammad
Husni Thamrin, Hemasari
Dharmabumi
Arief Budiman**
KEKUASAAN negara, bisa menjadi terlalu besar, dapat
menjadi kekuasaan yang totaliter. Pengertian kekuasaan
totaliter pada mulanya merujuk kepada rejim fasis di Italia
pada tahun 1920-an. Kemudian pengertian ini dikenakan
juga pada pemerintah Nazi di Jerman dan pemerintah
komunis di Rusia, terutama ketika rejim Stalin. Istilah
totaliter kemudian menjadi populer di kalangan ahli ilmu
sosial dan wartawan Barat semasa perang dingin. Carl
Friedrich kemudian memberikan enam ciri rejim totaliter
yang membedakanya dengan rejim otokratis lainnya (dan
tentu saja dengan rejim demokratis). Keenam ciri tersebut
adalah: adanya sebuah ideologi yang menyeluruh; adanya
satu partai yang menganut ideologi ini; adanya polisi rahasia
yang canggih; dan adanya tiga monopoli kontrol – yakni
terhadap media massa, sarana pelaksana dan semua
organisasi yang ada termasuk organisasi ekonomi.
Diterbitkan oleh:
Yayasan Penebar
pEnEbar
e-news terbit
sebagai media pertukaran
dan perdebatan soal-soal
perburuhan dan globalisasi.
Kami mendukung gerak antiglobalisasi masyarakat
Indonesia. Globalisasi dan
perdagangan bebas
merupakan jebakan negerinegeri imperialis untuk
menjadikan negeri-negeri
miskin terus menjadi koloni
dan dihisap oleh negerinegeri maju. Kami menerima
tulisan-tulisan yang sejalan
dengan misi kami untuk
dimasukkan dan diedarkan
melalui e-news ini.
Rejim fasis muncul sesudah Perang Dunia I, khususnya di
Italia dan Jerman. Rejim-rejim ini menjadi kuat dan
mencapai kejayaannya ketika Perang Dunia II sampai mereka
*
Pernah dimuat dalam Prisma 3, Maret 1987.
Arief Budiman lahir tahun 1941 di Jakarta; tamat dari Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, 1968 dan memperoleh gelar Ph.D. di bidang sosiologi
dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1980 dengan disertasi
“The Mobilization and the State Strategies in the Democratic Transition to
Socialism: The Case of Allende’s Chile.”
**
Yayasan Penebar ~ Jl. Makmur, no. 15, Rt. 009/Rw.02, Kelurahan Susukan, Jakarta 13750, Indonesia • Tel./
Facs. ~ (+ 62 21) 841 2546 • email ~ [email protected] • website ~ http://www.geocities.com/ypenebar/
akhirnya dikalahkan. Dalam ensiklopedia, dinyatakan: “Secara
negatif, fasisme dapat didefinisikan sebagai sistem yang menolak
liberalisme dan parlementarisme. Secara positif fasisme
didefinisikan sebagai kekuasaan negara yang tidak terbatas dalam
melaksanakan kegiatan kenegaraannya.” Selanjutnya dikatakan:
Bangsa menjelma menjadi semacam corpus mysticum atau badan
gaib yang menjelma dari generasi ke generasi dibekali sebuah
misi yang harus dibuat menjadi kenyataan. Tugas individu adalah
mengangkat dirinya ke taraf kesadaran nasional ini, dan
meleburkan identitas dirinya sampai tuntas ke dalamnya. Dia
hanya memiliki hak-hak individu sepanjang hak-hak ini tidak
bertubrukan dengan kepentingan negara yang berkedaulatan
penuh dan mutlak.1
Berbeda dengan pemerintah totaliter komunis yang mendasarkan
dirinya pada sistem sosialis, pemerintah totaliter fasis
mendasarkan dirinya pada sistem kapitalis, khususnya kapitalisme
monopoli. Rejim fasis biasanya didukung oleh kelas menengah.
Seperti yang dikatakan oleh Otto Bauer, salah satu proses yang
mengakibatkan timbulnya fasisme di Eropa adalah krisis ekonomi
sesudah Perang Dunia I yang mengurangi keuntungan kaum
pengusaha. Mereka butuh mengeksploitir buruh-buruhnya secara
lebih berat. Adanya gerakan kaum sosialis dan komunis yang kuat,
tidak memungkinkan hal ini dilaksanakan dalam kerangka sistem
yang demokratis. Karena itulah kaum pengusaha kapitalis
mendukung sebuah rejim yang totaliter, yang dapat membendung
gerakan kaum buruh yang makin agresif ini.2
Rejim totaliter komunis tentu saja berlainan dengan yang fasis.
Munculnya juga disebabkan karena terjadinya krisis kapitalisme.
Tapi berbeda dengan rejim fasis, dalam krisis ini kaum buruh
berhasil muncul sebagai pemimpin dan mendirikan negara komunis.
1
Encyclopaedia of Social Sciences, Vol. 5, 6, 1957, hal. 134.
Tom Bottomore (ed.), A Dictionary of Marxist Thought, Cambridge: Harvard University
Press, 1983, hal. 162.
2
| 2 |
Nomor 14, September - 2007
Negara ini kemudian menjadi totaliter, ekstrimnya terlihat di
Rusia ketika pemerintahan dipimpin oleh Stalin.3
Rejim Totaliter di Dunia Ketiga
Sementara itu, di Dunia Ketiga muncul pula rejim-rejim totaliter
dengan pelbagai variasinya. Rejim-rejim ini mirip dengan rejim
fasis di Eropa setelah Perang Dunia I. Pemerintah berkuasa penuh,
dan menganut sistem kapitalis. Yang berkuasa biasanya kaum
militer, yang juga merebut kekuasaan karena sistem kapitalis liberal
yang sebelumnya dianut, mengalami krisis. Karena kelas menengah
masih lemah, maka pada mulanya tampak gerakan buruh yang
dipimpin oleh partai-partai sosialis atau komunis yang berada di
atas angin, sampai pada akhirnya muncul kaum militer yang datang
“memenuhi panggilan sejarah untuk menyelamatkan negara.”
Contoh misalnya yang terjadi di Chili pada permulaan 1970-an.
Pemerintah presiden Eduardo Frei (1964-1970) mengalami krisis
karena meskipun kelas menengah mengalami kemajuan dalam
kehidupan ekonomi mereka, kelas bawah merasa janji-janji
pemerintah Frei ketika kampanye pemilihan umum dulu tidak
dipenuhi. Maka terjadi mobilisasi kelas ini oleh gabungan partai
sosialis dan komunis serta gerakan-gerakan yang berhaluan Marxis
lainnya. Di bawah sebuah federasi politik yang bernama Unidad
Popular (Persatuan Rakyat), gabungan partai-partai ini berhasil
menang dalam pemilihan umum tahun 1970 dengan Salvador Allende
sebagai calon presidennya.
3
Tidak semua negara komunis menganut sistem totaliter. Ada banyak variasi pada rejim
di negara-negara komunis ini. Di Rusia sendiri, rejim yang paling totaliter adalah ketika
zaman Stalin. Semua lawan politiknya disingkirkan, kalau perlu dengan pembunuhan,
seperti yang terjadi pada salah seorang pendiri negara Rusia itu sendiri, yakni Leon
Trotzky. Pada zaman Kruschev misalnya, terjadi pelunakan-pelunakan sistem. Kini,
Gorbachev melanjutkan pelunakan-pelunakan yang telah dirintis pendahulunya ini,
sehingga beberapa intelektual terkenal yang dttahan pada saat ini mulai dibebaskan.
Variasi ini juga terjadi antar negara. Di negara-negara Eropa Timur misalnya, terdapat
rejim-rejim yang otoriterisme dan totaliterismenya berbeda-beda kadarnya.
| 3 |
Setelah Allende dilantik menjadi presiden, pemerintah yang
dipimpinnya berkiblat ke kelas bawah dan kelas menengah kecil.
Kaum kapitalis besar yang memonopoli pasar, dimusuhi. Termasuk
juga perusahaan-perusahaan asing yang berperan besar, kalau tidak
menguasai, perekonomian Chili. Kelompok kapitalis besar ini
kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan melalui jalan
demokratis, tapi mereka gagal. Pada pemilihan umum tahun 1973
untuk anggota-anggota DPR, usaha untuk merebut dua-pertiga
mayoritas suara di parlemen (sehingga mereka dapat menjatuhkan
presiden secara konstitusional) tidak berhasil, meskipun pemilihan
itu dilakukan dalam tingkat inflasi yang sangat tinggi, sehingga
sebenarnya sangat merugikan pemerintah Allende. Karena itulah,
perebutan kekuasaan dilakukan melalui kudeta militer, dan kelas
menengah yang tadinya mendukung pemerintah yang demokratis,
kini beralih pada pemerintah militer yang otoriter.4 Hasilnya
adalah pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Auguste Pinochet
yang berkuasa sampai sekarang tanpa melalui pemilihan umum.5
Pertanyaan kita, apakah pemerintah Pinochet di Chili, dan
pemerintah-pemerintah lainnya yang sejenis (seperti pemerintah
militer di Argentina dan Brasil sebelum kembali ke pemerintah
yang demokratis yang sekarang ini; pemerintah di Iran ketika
zaman Shah; pemerintah militer di Pakistan dan Bangladesh
sekarang; pemerintah di Uganda ketika zaman Idi Amin; dan
banyak lagi contoh lainnya) merupakan rejim-rejim fasis? Ciricirinya tampaknya sama: pemerintah memiliki kekuasaan yang
besar, tidak demokrasis dan menjalankan sistem kapitalisme
4
Dengan otoriter dimaksudkan pemerintahan yang mendasarkan dirinya pada
kekuasaan yang tersentralisir. Partai-partai di luar partai pemerintah mungkin ada,
ideologi-ideologi lain di samping ideologi yang dianut pemerintah mungkin dibiarkan
tumbuh tapi pemerintahan dijalankan atas dasar kekuasaan yang besar yang terpusat
pada tangan pemerintah. Ini jelas berbeda dengan rejim yang totaliter, di mana semuanya
serta diseragamkan. Dengan demikian, totaliterisme merupakan salah satu bentuk dari
otoriterisme.
5
Uraian yang lebih rinci tentang proses perkembangan di Chili ketika itu dapat dilihat
pada Budiman, Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chili di Bawah Allende,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
| 4 |
Nomor 14, September - 2007
monopoli yang menekan kebebasan buruh untuk berserikat. Juga
biasanya nasionalisme sangat ditekankan, seakan-akan semua yang
dibuat pemerintah adalah untuk kepentingan bangsa. Negara
diidentikkan dengan bangsa. Kalau ada seorang individu berbeda
pendapat dengan negara, maka dia adalah pengkhianat bangsa.
Semua ini tidak syak lagi merupakan ciri dari rejim fasis. Karena
itu memang ada ahli-ahli ilmu sosial yang menamakannya sebagai
rejim fasis Dunia Ketiga.6
Tapi kalau kita amati secara lebih seksama, maka tampak ada
sesuatu yang absen pada rejim-rejim di Dunia Ketiga ini: tidak
ada ideologi kuat yang mengikat. Bahkan terjadi proses depolitisasi dan de-ideologisasi dari massa. Rejim di Dunia Ketiga
ini seringkali hanya menekankan aspek teknokratis dari
pembangunan. Rakyat pada dasarnya dihambat untuk berpartisipasi
dalam politik. Ini jelas berbeda dengan rejim totaliter fasis dan
komunis, di mana rakyat digerakan secara emosional melalui
sebuah ideologi politik yang kuat.
Menurut O’Brien,7 fasisme dimulai dengan sebuah partai politik
dengan ideologi yang kuat, yang kemudian mendapat dukungan
massa, terutama dari kelas menengah. “Yang membuat fasisme
kuat dan sukses adalah karena ia berhasil membentuk sebuah
gerakan massa di kalangan kelas menengah dan memakai gerakan
massa ini sebagai basis dari sebuah rejim yang otoriter. Karena
itulah, fasisme hanya terkalahkan, harus kita ingat, melalui sebuah
6
Beberapa ahli ilmu sosial di Amerika Latin beranggapan bahwa rejim-rejim militer
yang otoriter di kawasan tersebut merupakan rejim fasis. Tapi rejim-rejim ini memang
berbeda dengan rejim fasis yang ada di Eropa, karena negara-negara di sini merupakan
negara bekas jajahan yang ekonominya tergantung pada negara-negara kapitalis industri
besar. Marcos Kaplan menyebutnya sebagai Fasisme Amerika Latin, Helio Jaguaribe
sebagai Fasisme Kolonial dengan ciri, bila di Eropa negara bersekutu dengan kelas
menengah, di Amerika Latin negara bersekutu dengan modal asing sebagai ganti kelas
menengah yang masih lemah di negara-negara Dunia Ketiga. Lihat Phil O-Brien, “The
Emperor has no Clothes: Class and State in Latin America” dalam Fitzgerald et.all., (eds),
1976, hal. 43.
7
Phil O’Brien, op.cit.
| 5 |
perang dunia,” demikian O’Brien.
Lalu apa nama rejim otoriter dan totaliter yang menggejala di
Dunia Ketiga, kalau bukan rejim fasis? O’Donnell8 menamakan
sebagai negara otoriter birokratis. Ciri-ciri negara ini memang
di samping otoriter, juga sifatnya yang birokratis. Artinya segala
sesuatu diselesaikan melalui prosedur kantor yang “dingin.” Tidak
dengan ideologi politik yang lebih “panas.”
Sifat teknokratis-birokratis ini dapat dipahami kalau kita
mempelajari sebab-sebab munculnya negara otoriter birokratis
ini. Menurut O’Donnell, negara ini timbul karena terjadinya krisis
dalam pembangunan pada taraf industri substitusi impor. Pada
satu titik, proses ISI ini mengalami kejenuhan di pasar dalam
negerinya. Untuk berekspansi, dibutuhkan industri yang
berorientasi ekspor. Untuk ini dibutuhkan modal yang besar untuk
melakukan proses industrialisasi hulu. Modal ini, karena jumlahnya
yang besar, hanya bisa dikumpulkan melalui kerjasama dengan
pengusaha-pengusaha asing, khususnya perusahaan-perusahaan
transnasional.
Untuk dapat menarik modal asing, diperlukan sebuah pemerintah
yang dapat menjamin stabilitas politik. Para penanam modal jelas
tidak akan mau menanamkan modalnya di suatu negara di man
pemerintahnya lemah dan gejolak politik sering terjadi. Dari studi
kasus di Argentina, O’Donnell berhasil menunjukkan bahwa modal
asing yang dibutuhkan baru mau masuk pada saat pemerintah di
bawah Juan Peron yang kurang stabil digulingkan dan diganti oleh
sebuah pemerintah militer yang otoriter. Berbeda dengan Peron
yang mengembangkan ideologi Peronisme, pemerintah militer
yang baru bersikap teknokratis dan birokratis. Massa cenderung
dihambat keterlibatannya ke dalam politik.9
8
Guillermo O’Donnell, “Reflections on the Patterns of Change in the Bureaucratic
Authoritarian State,” dalam Latin America Research Review 12, No. 1, winter 1978.
9
Guillermo O’Donnell, Modernization and Bureaucratic Authoritarianism: Studies in
South American Politics, Berkeley: Institute of International Studies, University of
| 6 |
Nomor 14, September - 2007
Dengan demikian negara otoriter birokratis memang mirip dengan
konsep Helio Jaguaribe tentang negara fasis kolonial, yakni sebuah
negara yang otoriter, yang bekerjasama dengan modal
internasional.
Satu usaha lain untuk menggolongkan tipe rejim di Amerika Latin
dilakukan oleh Schmitter. Menurut dia, rejim yang menggejala di
Amerika Latin adalah rejim korporatis. Rejim ini muncul akibat
tersendatnya proses pembangunan. Maka negara melakukan inisiatif
untuk mengambil alih kepemimpinan pembangunan dengan cara
memaksakan stabilitas politik. Massa dipecah menjadi golongangolongan fungsional, dan pemerintah tidak langsung berhubungan
dengan massa tapi melalui perwakilan dan golongan-golongan ini.
Negara korporatis di sini merupakan sesuatu yang dipaksakan,
semacam proses modernisasi defensif dari atas, yang tujuan
akhirnya adalah meningkatkan proses pembangunan melalui cara
depolitisasi massa.10
Maka muncullah sebuah negara otoriter yang menghambat
partisipasi massa. Pembangunan secara teknokratis dijalankan oleh
negara. Massa diwakili oleh wakil-wakilnya, dan wakil-wakil ini
makin lama makin lebih mendekatkan dirinya ke atas (kepada
siapa mereka tergantung) daripada mendekati massa di bawah.
Maka korporatisme lebih merupakan ideologi untuk mengabsahkan
kekuasaan negara daripada mengikutsertakan partisipasi massa
secara nyata melalui perwakilannya.11
Dari pendapat-pendapat tadi, kita tampaknya mendapatkan kesan
yang kuat bahwa memang sudah muncul sebuah bentuk rejim
otoriter (dan kadang-kadang juga totaliter) baru di Dunia Ketiga,
yang berlainan dengan rejim fasis di Eropa. Ciri-ciri rejim ini
adalah sifatnya yang otoriter (dan totaliter), bersifat teknokratis
California, 1973.
10
Philippe Schmitter, “Still the Century of Corporation?,” dalam The Review of Politics
36, No. 1, Januari 1974.
11
Phil O’Brien, op.cit., hal. 41-42.
| 7 |
dalam menjalankan pembangunannya, melakukan depolitisasi
massa, dan bekerjasama dengan kapitalisme internasional. Nama
rejim ini, apakah negara otoriter birokratis, atau fasisme Dunia
Ketiga, atau negara korporatis tampaknya kurang penting. Yang
jelas rejim seperti ini ada.
Barangkali sudah tiba waktunya sekarang untuk menanyakan
mengapa rejim-rejim otoriter dan totaliter ini bermunculan di
zaman modern? Faktor-faktor apa yang mendukungnya?
Ada tiga kelompok teori yang mencoba menjelaskan gejala ini,
kelompok teori psikologi, kebudayaan dan sosial historis.
Kelompok teori psikologi menyoroti dari analisis psikologi
individual. Kelompok teori ini berkembang di Barat, di kalangan
ahli ilmu sosial liberal. Teori kebudayaan tampaknya kurang
mengakar di dunia Barat, karena kebudayaan mereka yang
moderen, rasional, pragmatis dan individualistis sulit menerima
adanya nilai-nilai yang otoriter. Kelompok teori kebudayaan lebih
berkembang di Timur, di mana masyarakat masih mengalami
kebudayaan peralihan dari feodalisme ke modernisme, dari
kolektivisme ke individualisme. Sedangkan teori sosial historis
atau struktural historis berkembang di Barat maupun di Timur.
Teori ini menjelaskan adanya rejim otoriter dan totaliter dari
sejarah perkembangan kelompok-kelompok masyarakat yang ada,
kekuatan politik mereka dan kepentingan ekonominya.
Teori psikologi misalnya dikemukakan oleh filsuf Italia, Benedetto
Croce yang menjelaskan fasisme sebagai akibat dari „kehancuran
hati nurani, depresi dan keracunan warga akibat perang.“ Maka
kesadaran akan pentingnya kemerdekaan jadi berkurang. 12
Friedrich Meinecke mengatakan hal yang hampir sama. Fasisme
timbul karena keseimbangan kejiwaan antara impuls rasional dan
irasional terganggu. Gangguan ini terjadi karena dirangsangnya
keserakahan manusia terhadap kekayaan material pada zaman
12
Dikutip dari Ernesto Laclan, Politics and Ideology in Marxist Theory, London: New
Left Book, 1977, hal. 82.
| 8 |
Nomor 14, September - 2007
Pencerahan dan ketika terjadi proses industrialisasi moderen.13
Kemudian Erich Fromm, seorang ahli ilmu jiwa menguraikan bahwa
manusia yang bangkit menjadi individu dihadapkan pada dua
pilihan. Atau dia bersatu dengan dunia yang berdasarkan cinta
kasih dan produktivitas, atau dia mencari keselamatan secara
buta dengan meleburkan dirinya ke dalam kekuatan luar dan
menghancurkan kemerdekaan dan kemandiriannya sebagai
individu. Pada pilihan yang kedua ini orang memang jadi merasa
„bahagia“ karena tak usah berpikir sendiri dan tidak usah
bertanggungjawab. Meskipun harga yang harus dia bayar adalah
kemerdekaannya sendiri. Gejala inilah yang oleh Fromm kemudian
dinamakan sebagai kecenderungan kebanyakan manusia untuk takut
kepada kemerdekaan, karena kemerdekaan berarti tanggung jawab
terhadap pilihannya. Gejala inilah yang menimbulkan fasisme.14
Teori kebudayaan berkembang di masyarakat yang masih setengah
feodal, Indonesia tidak terkecuali. 15 Dalam menjelaskan
kebudayaan politik di Indonesia, Mattulada misalnya membagi
masyarakat menjadi tiga lapisan: kelompok penguasa yang
memperoleh kekuasaannya melalui kekuatan adikodrati, kelompok
pengabdi penguasa yang memegang jabatan, dan kelompok rakyat
jelata yang biasanya menurut saja kepada atasan. Tentang
kolompok ketiga ini, Mattulada berkata:
Pola-pola tindakannya dalam masyarakat, terutama sejauh yang
menyangkut urusan kekuasaan adalah sejauh mungkin
„mengiyakan“ dan lebih lanjut mengikutinya dengan setia.16
Sikap seperti ini jelas menyuburkan tumbuhnya otoriterisme dan
totaliterisme. Dalam keadaan seperti ini, perubahan masyarakat
13
Ibid.
Ibid.
15
Miriam Budiardjo (ed), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1984.
16
Mattulada, “Kebudayaan Politikm dan Keadilan Sosial: Tinjauan Historis” dalam Ismid
Hadad (ed), Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, Jakarta: LP3ES, 1979, hal. 105.
14
| 9 |
„baru akan mungkin terjadi kalau dimulai dari lapisan atas
masyarakat.“17
Secara lebih canggih, ahli Indonesia yang terkenal, Benedict
Anderson menjelaskan mengapa dalam konsep kekuasaan budaya
Jawa tidak dikenal adanya oposisi. Dalam salah satu artikelnya
yang terkenal, dia menjelaskan bahwa dalam Kebudayaan Jawa,
kekuasaan merupakan sesuatu benda yang konkrit, yang jumlahnya
terbatas dalam jagad raya ini.18 Jumlah kekuasaan yang ada ini
tetap, tidak bisa bertambah atau berkurang. Karena itu, setiap
penguasa bila kepingin aman, harus mengumpulkan kekuasaan
sebanyak-banyaknya. Kekuasaan yang ada di luar dirinya, misalnya
pada kaum oposisi, berarti mengurangi porsi kekuasaan di
tangannya. Kekuasaan tersebar menurut prinsip zero-sum-game.
Akibat adanya persepsi kebudayaan seperti ini, maka penguasa
Jawa pada dasarnya bersikap alergis terhadap oposisi. Kekuasaan
mau dipegang sebanyak-banyaknya di dalam tangannya. Dengan
kata lain, penguasa Jawa mempunyai kecenderungan untuk menjadi
otoriter dan totaliter. Kritik terhadap penguasa memang masih
mungkin, tapi harus dinyatakan dalam bentuk yang tidak
menunjukkan adanya kekuasaan tandingan. Menurut Anderson,
kritik dapat dinyatakan oleh para petapa dan para resi, yang
jelas menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik pada kekuasaan
duniawi. Atau dapat juga kritik dinyatakan oleh para punakawan,
badut istana, dalam bentuk setengah lelucon. Semua kritik yang
menunjukkan ciri-ciri kekuasaan tandingan akan dibasmi.
Kelompok teori sosio historis atau struktural historis lebih melihat
kepada kekuatan-kekuatan dan kepentingan kelompok-kelompok
masyarakat yang ada. Timbulnya fasisme memang cukup
mengejutkan masyarakat Barat, karena bukankah kehidupan
masyarakat sipil (civil society) sudah sangat kuat dan demokrasi
17
Ibid.
Benedict Anderson, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa” dalam
Miriam Budiardjo (ed.), op.cit.
18
| 10 |
Nomor 14, September - 2007
sudah mentradisi? Mengapa tiba-tiba muncul sebuah pemerintah
yang totaliter, dan pemerintah ini didukung oleh massa? Apalagi
pemerintah yang seperti ini muncul di Jerman yang tradisi
kebudayaannya sudah dapat dianggap sangat tinggi.
Salah satu dari prototipe dari pendekatan sosio historis adalah
uraian dari Marx tentang negara Bonapartis. Dalam menguraikan
bentuk negara ini, Marx dihadapi sautu pertanyaan bagaimana
sebuah negara bisa menjadi otonom, berdiri di atas kelas-kelas
yang ada dan bukan sekedar alat dari kelas yang dominan. Marx
akhirnya sampai pada kesimpulan, karena kelas yang seharusnya
menjadi dominan dalam masyarakat tertentu gagal untuk
menegakkan hegemoni kelasnya atas kelas-kelas lainnya. Kalau
pertentangan antara kelas yang (seharusnya) dominan ini melawan
kelas lainnya yang makin bertambah kuat itu dibiarkan, maka ada
kemungkinan sistem yang ada bisa hancur. Karena itulah negara
melakukan intervensi untuk menyelamatkan sistem, dan lahirlah
negara Bonapartis yang mengatasi kelas-kelas yang ada.19
Otto Bauer, yang sebagian penjelasannya sudah dikutip pada
permulaan tulisan ini, termasuk salah seorang penganut teori sosio
historis. Dalam menguraikan timbulnya fasisme, dia menyebut
terjadinya tiga proses sejarah yang saling berkaitan.
(1). Perang Dunia I mengakibatkan jatuhnya banyak orang dari
kehidupan kelas menangah. Orang-orang ini kemudian membentuk
kelompok fasis.
(2). Krisis ekonomi sesudah perang juga memiskinkan orang-orang
dari kelas menengah bawah dan kaum tani. Orang-orang ini
kemudian memindahkan dukungannya dari partai-partai yang
memperjuangkan demokrasi kepada partai-partai atau kelompok
yang lebih militan.
Karl Marx, The Eighteeth Brumaire of Louis Bonaparte, New York: International
Publisher, 1963.
19
| 11 |
(3). Krisis ekonomi ini juga mengurangi keuntungan kaum kapitalis
besar. Mereka butuh mengeksploitir buruh-buruhnya secara lebih
intensif. Hal ini tak dapat dilakukan dalam suatu sistem yang
demokratis. Karena itu mereka lalu berpaling kepada kelompok
fasis sebagai jalan keluar.20
Masih banyak contoh yang dapat diberikan dari kelompok teori
sosio historis ini. Tapi, kedua contoh tadi kiranya cukup untuk
memberikan gambaran apa kira-kira dari teori sosio historis, dan
apa bedanya dengan kelompok teori psikologi dan kebudayaan.
Indonesia
Bagaimana keadaannya di Indonesia? Apakah Indonesia pada saat
ini dapat digolongkan menjadi rejim yang otoriter atau totaliter?
Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab.
Hal ini disebabkan, dalam kenyataannya realitas selalu lebih
majemuk daripada teori. Teori selalu menuju pada penggambaran
idiel dari tipe yang diuraikan, sedangkan realitas merupakan
campuran dari pelbagai tipe, yang satu lebih dominan daripada
yang lainnya.
Untuk Indonesia sekarang, sulit untuk dibantah, bahwa memang
sumber kekuasaan sekarang ada di tangan pemerintah. Hampir
semua kemauan pemerintah pada dasarnya tidak dapat ditentang,
karena lembaga-lembaga nonpemerintah tidak cukup kuat (secara
politis) untuk menentangnya. Pemerintah hanya dapat dikritik
dalam hal-hal yang bersifat teknis belaka, misalnya pelaksanaan
program tertentu kurang baik dijalankan, karena pelaksanaannya
kurang kompeten; atau perusahaan-perusahaan negara sebaiknya
diswastakan karena orang-orang yang mengurus kurang bekerja
secara efisien, dan sebagainya. Ini pun tergantung pada
pemerintah, mau melayani atau tidak kritik-kritik ini.
20
Tom Bottomore (ed.), op.cit., hal. 162.
| 12 |
Nomor 14, September - 2007
Apakah pemerintah yang sekarang merupakan pemerintah yang
totaliter? Kalau menurut definisi formalnya, jelas tidak. Di
Indonesia tidak hanya ada satu partai, tapi tiga. Ada pemilihan
umum setiap lima tahun sekali. Ada parlemen, dan sebagainya.
Tapi, juga tidak dapat disangkal bahwa kecenderungan ke arah
totaliterisme memang ada. Misalnya, meski ada tiga partai,
tampaknya partai yang mendukung pemerintah sangat berkuasa
dan sangat menentukan. Juga ada kecenderungan untuk
memaksakan berlakunya satu ideologi politik saja. Adanya
kecenderungan untuk memonopoli kontrol terhadap media massa,
sarana-sarana pelaksana dan organisasi kemasyarakatan yang ada.
Adalah tugas kita semua, baik yang di pemerintah maupun di luar
pemerintah, untuk mencegah supaya hal ini tidak terjadi.
Sesudah mengatakan hal ini, maka pertanyaan kita adalah faktorfaktor apa yang menyebabkan terjadinya kecenderungankecenderungan ini? Teori yang dominan, seperti dikatakan
sebelumnya dalam tulisan ini, adalah teori kebudayaan.
Kecenderungan otoriterisme dan totaliterisme merupakan
penjelmaan dari kehidupan kebudayaan yang ada, khususnya
kebudayaan Jawa. Teori psikologi biasanya dikembalikan kepada
teori kebudayaan ini. Pada diri individu ada kecenderungan untuk
manut ke atas, karena itulah nilai kebudayaan yang ada.21
Kelemahan dari teori kebudayaan ini pertama-tama karena sifatnya
yang a-historis. Kebudayaan kurang dikaitkan dengan kejadiankejadian atau peristiwa sosial yang terjadi di sekitarnya, ia seakanakan tidak tersentuh oleh peristiwa-peristiwa sosial yang ada.
Kalaupun ada beberapa ahli yang menyatakan bahwa kaitan ini
ada, mereka pada umumnya tidak dapat menjelaskan bagaimana
persisnya interaksi antara nilai-nilai budaya dengan peristiwaperistiwa sosial di sekitarnya.
Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit
PT. Gramedia, 1974.
21
| 13 |
Akibatnya, nilai-nilai budaya seakan-akan terus ada pada suatu
masyarakat, dari dulu sampai sekarang. Dinamika perkembangan
dan perubahan nilai-nilai ini tidak atau belum dapat dijelaskan.
Nilai-nilai ini memang kemudian berbenturan dengan nilai-nilai
kebudayaan Barat yang masuk ke Indonesia, tapi tidak dapat
dijelaskan mengapa kemudian nilai-nilai Barat yang menang, atau
mengapa nilai-nilai kebudayaan Jawa pada dasarnya masih terus
hidup dan menjelma dalam pelbagai bentuk kehidupan. Apa yang
menjadi kekuatan dan kelemahan nilai-nilai kebudayaan ini?
Kelemahan kedua dari teori kebudayaan adalah persangkaannya
bahwa masyarakat merupakan sesuatu yang homogen, tidak terdiri
dari kelompok-kelompok atau kelas yang berbeda. Misalnya, dalam
masyarakat orang Jawa dapat dipertanyakan, apakah benar semua
lapisan masyarakat Jawa mengikuti apa yang disebut nilai-nilai
kebudayaan Jawa? Koentjaraningrat, salah seorang ahli paling
canggih di Indonesia yang menganut teori kebudayaan, secara
selintas telah menunjukkan bahwa jawabannya tidak. Dalam
bukunya yang sangat populer,22 dia menunjukkan bahwa ada
perbedaan nilai, misalnya kemandirian, atau sikap vertikal atau
selalu manut ke atas antara kaum priyayi (kelas menengah) dan
wong cilik (kelas bawah).23
Demikian juga tentang teori kebudayaan mengenai kekuasaan
(Jawa), kelemahan yang disebut tadi dapat dipakai sebagai kritik
terhadapnya. Sampai berapa jauh nilai-nilai kebudayaan tentang
kekuasaan dan tentang pengabdian masih tetap berlaku di
Indonesia moderen sekarang? Kemudian, tidakkah terdapat
perbedaan dalam cara dan intensitas penghayatan nilai-nilai ini
Ibid., hal. 43-47.
Dalam tulisannya yang lain yang membahas konsep kekuasaan Koentjaraningrat
bahkan membicarakan perubahan konsep ini dalam beberapa kurun waktu, serta
perbedaan dalam masyarakat kecil dan besar. Meskipun demikian, pembahasannya
tidak atau kurang menekankan kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Yang lebih
ditekankan adalah perbedaan/perubahan persepsi kekuasaan. Lihat Koentjaraningrat
“Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” dalam
Miriam Budiardjo (ed.) op.cit.
22
23
| 14 |
Nomor 14, September - 2007
pada kaum priyayi (kelas menengah dan atas, kelompok yang
dominan dalam masyarakat) dan pada wong cilik (kelas bawah,
rakyat jelata?) Juga tidakkah terdapat perbedaan antara
masyarakat yang hidup di kota-kota besar dengan masyarakat
yang hidup di desa-desa. Suatu penelitian yang intensif mengenai
sub-kebudayaan yang ada di Indonesia, dan bukan hanya
kebudayaan yang makro saja, masih merupakan agenda yang harus
dilaksanakan. Tapi yang lebih penting lagi, diperlukan suatu teori
kebudayaan yang dapat menjelaskan dinamika dakhil atau internal
dari perkembangan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.
Kritik-kritik ini tidak mengatakan bahwa nilai-nilai kebudayaan
tentang kekuasaan dan pengabdian merupakan sesuatu yang tidak
ada di Indonesia. Nilai-nilai ini ada dan memang berperan dalam
perkembangan masyarakat politik kita. Tapi penjelasan yang datang
dari kubu teori kebudayaan saya anggap masih belum memuaskan.
Kecenderungan otoriter dan totaliter dari negara kita barangkali
dapat dijelaskan dengan melihat perkembangan negara itu sendiri
dan kelompok-kelompok masyarakat di sekitarnya sepanjang
sejarah.
Mari kita mulai dengan zaman kolonial. Negara kolonial dulu
memang dibuat menjadi kuat, karena dimaksudkan untuk
menjajah. Negara kolonial dulu kira-kira sesuai dengan apa yang
dinyatakan oleh Alavi, bahwa negara seperti ini dibuat untuk
mengatasi semua kelas dan kelompok yang ada di masyarakat
yang dijajah.24 Aparatur negara berkembang sedemikian rupa,
sehingga dalam hal kekuatan politik dan militernya, tak ada
kelompok dalam masyarakat tersebut yang dapat menandinginya.
Pada zaman kolonial masyarakat Indonesia terbagi menjadi
beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orangorang Eropa yang kebanyakan terdiri dari orang Belanda. Mereka
merupakan kelompok kelas atas, terdiri dari orang-orang di
24
Hamzah Alavi, “The State in Post Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh.”
| 15 |
pemerintahan dan para pengusaha besar (pemilik perkebunan,
industrialis, pedagang internasional, dan sebagainya). Kelompok
kedua adalah orang Cina (dan orang Asia lainnya, seperti Jepang,
India, dan lain-lain). Orang-orang Cina ini menguasai perdagangan
dalam negeri. Kebanyakan mereka tergolong kelas menengah.
Kelompok orang-orang Indonesia asli atau pribumi sendiri
kebanyakan adalah petani. Sebagian dari mereka masuk ke dalam
pemerintahan kolonial Belanda, menjadi pamong praja. Sebagian
ada yang berdagang, terutama yang dari Sumatera. Tapi mayoritas
dari mereka adalah petani miskin. Sehingga kelompok ini termasuk
ke dalam kelas bawah.
Keadaan ekonomi ketiga kelompok ini pada tahun 1930 dinyatakan
oleh Paauw sebagai berikut:
Kalau pendapatan rata-rata dari orang Indonesia yang bekerja
diberi indeks satu, maka pendapatan rata-rata orang Asia yang
bekerja adalah lima, dan orang Eropa empat-puluh-tujuh. Pada
tahun 1939 perbedaan ini jauh lebih menyolok lagi: Indonesia
satu, Asia delapan dan Eropa enam-puluh-satu.25
Pemerintah kolonial memang sengaja menghalangi orang-orang
pribumi untuk menjadi pengusaha. Sebagai kekuatan kolonial yang
kecil (bandingkan dengan Inggris atau Spanyol), mereka sangat
tergantung pada pengusaha-pengusaha pribumi untuk membantu
mereka memerintah. Dengan demikian, kaum bangsawan
dirangkulnya, dan diberi kekuasaan administratif, meski terbatas.
Kekuatan administrator pribumi ini akan menjadi berbahaya bagi
pemerintah kolonial kalau mereka juga memiliki kekuatan
ekonomi. Karena itulah, kegiatan ekonomi dipegang oleh orangorang Belanda dan Cina. Burjuasi pribumi dengan demikian gagal
tumbuh di Indonesia. Sebagai gantinya yang muncul dari kalangan
pribumi adalah kelompok pamong praja.
25
Douglas S. Paauw, “Frustrated Laour-Intensive Development: The Case of Indonesia,”
dalam Eddy Led (ed.), 1981.
| 16 |
Nomor 14, September - 2007
Burjuasi Cina yang muncul, pada titik tertentu, juga dianggap
berbahaya. Pembantaian orang-orang Cina pada tahun 1740 di
Jakarta merupakan usaha pemerintah Belanda untuk mencegah
tumbuhnya dan menjadi kuatnya burjuasi ini. Kaum ibu dan anakanak pun turut menjadi korban dalam peristiwa itu. Ini semua
membuktikan betapa kejamnya kekuasaan kolonial,26 (Kemasang,
1986).
Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan, struktur
kemasyarakatan kolonial ini masih bertahan, yakni, perusahaanperusahaan besar, industri dan perkebunan dikuasai oleh
pengusaha-pengusaha Belanda, perdagangan dalam negeri oleh
orang-orang Cina, sedangkan orang-orang pribumi menjadi petani,
ditambah dengan pembesar-pembesar negara. Tapi pembesar
negara ini tidak memiliki sumber-sumber ekonomi. Burjuasi
pribumi tidak ada, dan usaha untuk membentuknya melalui Program
Benteng pada tahun 1950-an gagal.27
Negara yang memiliki kekuatan politik ini baru memperoleh
kekuatan ekonominya setelah terjadi nasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda (kemudian juga perusahaan-perusahaan Inggris
dan Amerika) yang dimulai pada tahun 1957. Perusahan-perusahaan
ini kemudian dikuasai negara, dan dikelola oleh militer. Pada
titik ini dimulailah peran militer dalam sektor ekonomi.
Sejak tahun 1985, peran kamu militer bertambah lagi dengan
beralihnya kekuasaan politik ke tangan mereka. Pemerintah yang
kemudian dikenal dengan pemerintah orde baru pada dasarnya
merupakan pemerintah yang didominir oleh kaum militer, yang
menguasai aparat-aparat birokrasi politik, dan prasarana ekonomi.
26
A.R.T. Kemasang, “Bagaimana Penjajah Belanda Mengebiri Burjuasi Domestik di
Jawa,” Krisis (Salatiga), No. 1, Tahun 1, Juli 1986.
27
K.D. Thomas dan J. Panglaykim, Indonesia – The Effect of Past Politics and President
Suharto’s Plans for the Future, Australia: Committee for Economic Development of
Australia, 1973.
| 17 |
Bagaimana dengan lembaga atau kelompok-kelompok di luar
pemerintah? Apakah mereka cukup kuat mengimbangi pemerintah,
dan menuntut supaya kepentingannya diperhatikan?
Di sektor ekonomi, terdapat pengusaha asing, pengusahapengusaha Indonesia keturunan Cina (non-pribumi) dan pengusahapengusaha Indonesia asli (pribumi). Pengusaha asing jelas kuat
dalam segala hal: modal, teknologi dan jalur pemasaran. Mereka
dibutuhkan oleh pemerintah karena kekuatan mereka di ketiga
sektor ini, plus bantuan pinjaman-pinjaman dari negara asal
pengusaha terebut. Pengusaha asing ini menekan pemerintah
Indonesia untuk sistem ekonomi yang terbuka dan kompetitif,
baik di dalam maupun di luar negeri. Tentu saja ini sesuatu yang
wajar bagi kepentingan mereka. Dengan kekuatan mereka, mereka
bisa berkompetisi dengan siapa saja di kalangan pengusaha
nasional.
Kemudian terdapat sektor pemerintah. Sektor ini praktis
menguasai sebagian besar perekonomian Indonesia, melalui ratusan
BUMN termasuk perusahaan tambang minyak Pertamina, bankbank negara, dan sebagainya.28 Dengan adanya sektor negara yang
besar ini, maka sektor swasta sebenarnya hanya berperan secara
periferik dalam kehidupan ekonomi. Bahkan sebagian orang
mengatakan peran swasta hanyalah merupakan subkontraktor
proyek-proyek pemerintah.
Setelah sektor pemerintah, maka sektor non-pemerintah dikuasai
oleh pengusaha-pengusaha non-pribumi. Sebuah penelitian tentang
penanaman modal menunjukkan angka-angka sebagai berikut:
28
Jumlah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) semuanya ada 215 buah, termasuk
Pertamina. Untuk menggambarkan besarnya kawasan perusahaan negara ini, di sektor
perbankan misalnya, 70% kredit yang beredar berasal dari bank-bank negara. Belum
lagi diperhitungkan saham-saham bank negara di lembaga-lembaga non bank. Di bidang
produksi, misalnya di sektor pertambangan adanya perusahan-perusahaan raksasa milik
negara seperti Pertamina, PT. Timah dan PN Batubara sudah menggambarkan posisi
kuat dari pemerintah. (Kompas, 14 Februari 1987).
| 18 |
Nomor 14, September - 2007
Penanaman Modal Dalam Negeri
Negara
58,75%
Non-Pribumi
26,95%
Pribumi
11,20%
Lain-lain
3,10%
SUMBER: Tempo, 14 Maret 1981: 71.
Suatu hal yang menarik dari pengusaha non-pribumi ini adalah
bahwa posisi politik mereka sangat lemah. Ketika zaman kolonial
pengusaha Cina ini mendapat perlindungan dari pemerintah
kolonial dalam rangka menghambat pengusaha pribumi untuk
berkembang. Sebagai akibat, pengusaha Cina atau non-pribumi
ini kurang disukai, terutama oleh mereka yang terlibat dalam
dunia bisnis. Keadaan ini masih berlangsung sampai sekarang.
Karena itu, pengusaha-pengusaha non-pribumi sangat membutuhkan
perlindungan dari pemerintah yang berkuasa.
Dari pihak pemerintah, tampaknya ada kebutuhan untuk memakai
pengusaha non-pribumi sebagai salah satu cara untuk
mempertahankan kekuasaan. Adanya burjuasi pribumi yang kuat
dan mandiri akan merupakan tantangan bagi pemerintah yang
berkuasa, paling sedikit membatasi kekuasaan pemerintah. Hal
ini tidak terjadi kalau burjuasi yang muncul adalah burjuasi nonpribumi yang secara politis lemah.
Lalu, bagaimana dengan burjuasi pribumi? Menarik sekali ternyata
pengusaha-pengusaha pribumi ini muncul dan menjadi kuat karena
koneksinya dengan para birokrat negara, baik koneksi bisnis
maupun koneksi kekeluargaan. Dengan adanya hubungan yang dekat
antara birokrat negara dan pengusaha pribumi, maka kekuasaan
politik para birokrat ini jadi tidak terganggu, karena pengusaha
pribumi ini tergantung pada fasilitas yang diberikan negara.
Kebanyakan pengusaha pribumi ini memang bukan pengusaha yang
produktif, bukan entrepreneur, sehingga kesuksesan usahanya
sangat tergantung pada fasilitas yang diberikan. Dengan demikian,
| 19 |
pengusaha-pengusaha ini pun tidak dapat diangap sebagai burjuasi,
dalam arti mereka bukan pengusaha kuat yang mandiri yang dapat
menampilkan dirinya sebagai kekuatan tandingan terhadap negara.
Dalam keadaan seperti ini, posisi pemerintah orde baru tampaknya
cukup kuat dalam menghadapi tantangan kelas menengah. Kelas
menengah yang ada terlalu lemah, kelas burjuasi tampaknya belum
muncul di Indonesia. Sedikitnya untuk masa yang sekarang ini.
Tantangan yang datang dari kelas bawah kelihatannya juga lemah.
Kelas bawah, baik kaum tani maupun kaum buruh, tampaknya
belum berhasil mengorganisir dirinya menjadi kekuatan yang
mandiri. Ini mungkin disebabkan karena trauma 1965, yakni ketika
PKI mencoba mengorganisir mereka tapi emudian berakhir dengan
terumpasnya gerakan ini. Sejak itu, pemerintah tampaknya secara
ketat mengatasi segala macam gerakan di kalangan kelas bawah,
supaya semacam peristiwa tahun 1965 tidak terjadi lagi. Segala
macam gerakan yang mengarah kepada kemungkinan terjadinya
pertentangan kelas, segera ditumpas secara dini. Karena itu
pertentangan yang terjadi tampaknya beralih kepada
persengketaan suku, khususnya Islam dan Kristen. Persengketaan
ini, tidak dapat disangkal, sedikit banyak berbau pertentangan
kelas juga. Golongan pribumidan Islam mewakili orang-orang kelas
bawah, sedangkan golongan non-pribumi/Cina dan Kristen mewakili
kelas menengah.
Kalau kita mau berbicara tentang tipe, lalu tipe apakah negara
Indonesia yang sekarang? Sekali lagi, seperti sudah dinyatakan
sebelumnya, kenyataan selalu lebih majemuk daripada teorinya.
Indonesia jelas bukan negara otoriter ataupun totaliter, meskipun
kecenderungan ke arah itu ada. Kecenderungan ini disebabkan
karena pelbagai faktor, antara lain nilai-nilai kebudayaan yang
masih ada di mana rakyat kelas bawah cenderung untuk menerima
dan patuh kepada kekuasaan, dan juga perkembangan sejarah
kelompok-kelompok masyarakat yang ada memang lemah dalam
| 20 |
Nomor 14, September - 2007
menghadapi negara. Juga jelas Indonesia bukan merupakan negara
totaliter mkomunis.
Apakah Indonesia termasuk tipe negara fasis? Ini juga sulit
dikatakan. Memang ada beberapa ciri fasisme yang dapat
dikenakan, tapi kemudian terdapat ciri-ciri lain yang
menyangkalnya. Misalnya, ada kecenderungan kuat untuk
mengidentifkan keinginan negara sebagai keinginan bangsa.
Individu yang berpendapat dan cenderung dituduh sebagai tidak
patuh kepada cita-cita bangsa ini. Kemudian ada partai pelopor
yang kuat yang mendukung pemerintah, tapi harus dicatat bahwa
partai ini terbentuk sesudah pemerintah yang kuat lahir, bukan
sebelumnya. Ideologi yang dianut oleh partai ini juga merupakan
ideologi negara yang disebarluaskan ke masyarakat. Bahkan
masyarakat diharuskan menganut ideologi ini. Tapi harus dicatat
pula bahwa ideologi ini lebih merupakan ideologi pemersatu
bangsa, bukan ideologi yang secara emosional dapat menggerakkan
massa seperti halnya komunisme ataupun Nazi-isme. Bahkan ada
kecenderungan yang kuat pemerintah Orde Baru berusaha untuk
melakukan depolitisasi massa.
Apakah ini berarti bahwa Indonesia lebih mirip dengan rejimrejim yang ada di Dunia Ketiga? Kemudian, rejim yang mana:
negara birokratis otoriter, atau negara korporatis? Sekali lagi kita
mengalami kesulitan untuk memasukkan Indonesia ke dalam salah
satu kotak secara bulat. Adanya proses depolitisasi massa memang
lebih mendekatkan Indonesia pada rejim-rejim yang ada di Dunia
Ketiga. Tapi sulit untuk dikatakan bahwa Indonesia merupakan
rejim otoriter birokratis, karena pemerintah otoriter yang kuat
sudah ada di Indonesia bahkan ketika dilakukan proses industri
substitusi impor.29 Padahal, menurut orang yang melahirkan konsep
ini, Guillermo O’Donnell, negara otoriter birokratis muncul pada
saat peralihan dan proses industri substitusi impor ke industri
29
Arief Budiman, “The Emergence of The Capitalist Bureaucratic State in Indonesia.”
Mimeograph, 1986.
| 21 |
yang berorientasi ekspor.
Negara korporatis juga sukar untuk dikatakan sebagai tipe negara
kita sekarang. Memang ada kecenderungan yang kuat, dimulai
sejak presiden Soekarno, untuk mengelola sistem politik kita
berdasarkan sistem perwakilan golongan fungsional, seperti wakil
buruh, wakil tani, wakil pemuda, dan sebagainya. Lahirnya
Golongan Karya juga disebabkan adanya pemikiran ini. Tapi dalam
kenyataannya, pada pemerintah yang sekarang golongan-golongan
fungsional ini kurang diberi peran politik oleh pemerintah.
Golongan Karya sendiri tidak terlalu menekankan dirinya sebagai
kelompok dari orang-orang yang berkarya (ini pun suatu konsep
yang terlalu luas, karena praktis seluruh penduduk Indonesia dapat
dimasukkan ke dalam kategori ini), tapi lebih menekankan ideologi
Pancasila dan Pembangunan dalam memainkan kartu politiknya.
Maka sekarang tentunya terpulang kepada kita untuk menentukan,
tipe mana yang menurut kita paling dekat dalam menggolongkan
pemerintah Orde Baru yang sekarang.
Kembali kepada judul tulisan ini, kebudayaan kekuasaan atau
sosiologi kekuasaan, pilihan saya sendiri jatuh kepada telaah
kekuasaan dari sudut sosiologi. Bagi saya pendekatan sosiologi
dalam mempelajari gejala kekuasaan lebih memberikan penjelasan
dan kejelasan tentang gejala kekuasaan ini, bukan saja sebagai
gejala, tapi juga asal mula perkembangannya serta kemungkinan
perubahannya.
Ini tidak berarti nilai-nilai kebudayaan tidak ada, paling sedikit
sebagai gejala. Tapi, untuk saya sendiri, saya lebih senang
menjelaskan adanya nilai-nilai kebudayaan ini dengan melihat
struktur masyarakat di mana nilai-nilai tersebut menggejala, dan
kemudian menjelaskan timbulnya nilai-nilai tersebut dari interaksi
kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Misalnya, dalam melihat
masyarakat yang berorientasi vertikal ke atas, selalu menunggu
petunjuk dari atas, maka yang harus dipertanyakan adalah apakah
| 22 |
Nomor 14, September - 2007
nilai-nilai ini tidak berubah bila misalnya kelompok di bawah ini
bisa hidup secara lebih mandiri? Pertanyaan-pertanyaan ini
merupakan pertanyaan dari suatu pendekatan sosiologis.
Akhirnya yang perlu saya katakan bahwa tulisan ini bertujuan untuk
melemparkan gagasan-gagasan, yang semoga dapat membuat kita
berpikir kembali dalam menelah persoalan yang dibahas, termasuk
saya sendiri.
>>><<<
Yayasan Penebar adalah institusi nir-laba independen.
Kami berharap saudara/i (individu) maupun organisasi
bersedia mendukung aktivitas kami. Kami menerima donasi,
hibah dan dukungan tak mengikat dalam bentuk apapun. Bila
saudara/i bermaksud mendukung kami dengan mendonasikan
uang, rekening bank kami adalah: BCA (Cabang Cimanggis),
rekening Tahapan BCA, nomor account: 166 1746276.
| 23 |
Download