MEMBANGKITKAN KEMBALI WACANA TENTANG TELEVISI PENDIDIKAN1 A.DARMANTO Pendahuluan Televisi merupakan media massa yang mengalami perkembangan paling fenomenal di dunia. Meski lahir paling belakangan dibanding media massa cetak, dan radio, namun pada akhirnya paling banyak diakses oleh masyarakat di mana pun di dunia ini. Menurut DeFleur dan Dennis (1985), 98% rumah tangga di Amerika Serikat memiliki pesawat tv, dan bahkan 50% di antaranya memiliki lebih dari satu pesawat. Dalam hal penggunaannya pun juga sangat pantastis. Berdasarkan hasil penelitian, Haney dan Ullmer (1975) seperti dikutip Miarso (2004), seorang tamatan sekolah lanjutan di Amerika Serikat telah menghabiskan waktu 15.000 jam di depan pesawat televisi. Bahkan menurut Postman (1995), banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi oleh seorang tamatan SMTA mencapai 16.000 jam. Sedangkan waktu yang dihabiskan untuk sekolah hanya 11.000 jam, menonton film, mendengarkan radio dan kaset hanya 5.000 jam (Miarso, op.cit). Sumber lain menyebutkan bahwa waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi sebanyak lima kali lipat dari yang dipergunakan untuk membaca koran, dan 11 kali dibandingkan waktu yang mereka pergunakan untuk membaca majalah (Hamalik:1989). Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah kecenderungan menonton tv juga lebih tinggi dibandingkan membaca koran dan mendengarkan radio? Jawabannya pasti,”ya”. Hasil Susenas 1998 dan 2000 memperlihatkan kecenderungan masyarakat dalam hal mendengarkan radio, menonton tv, dan membaca surat kabar. Rata-rata secara nasional, waktu mendengarkan radio ada penurunan dari 62,7% (1998) menjadi 43,3%, menonton tv dari 79,8% turun menjadi 78,9%, dan membaca surat kabar dari 25,8% pada tahun 1998 turun, tinggal 17% pada tahun 2000. Kemudian dari sejumlah survei yang dilakukan 1 Pointer dari artikel initelah disampaikan pada peserta Diklat Education TV Program yang diselenggarakan Diklat Ahli Multi Media MMTC Yogyakarta, 25 Januari s.d 7 Februari 2007 secara terpisah oleh lembaga yang berbeda selama 2005-2006 diketahui bahwa kecenderungan menonton tv telah meningkat rata-rata di atas 80%, sedangkan kegiatan membaca koran semakin rendah, demikian pula kegiatan mendengarkan radio. Paparan data di atas menunjukkan betapa besar pengaruh media televisi bagi kehidupan manusia modern. Banyak aspek kehidupan manusia dari mengenai jadwal tidur, menu makan, jenis minuman, memilih sabun mandi, sampo, minyak rambut, parfum, fashion, mode tata rambut, tempat tamasya, topik perbincangan, humor, pilihan lagu, dan lain-lain; semuanya dipengaruhi oleh tayangan televisi. Oleh karena besarnya pengaruh televisi bagi kehidupan manusia modern maka kemudian muncul keinginan untuk memanfaatkan televisi sebagai media pendidikan. Kalau saja media yang sangat berpengaruh itu dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan tentu akan memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan peradaban manusia. Harapan demikian itulah yang mendorong munculnya upaya-upaya di berbagai negara untuk mewujudkan televisi sebagai media pendidikan, lalu muncullah istilah tv pendidikan atau TV-E (Educational television). Dalam konteks negara kita, wacana mengenai televisi pendidikan sempat berkembang sejak pertengahan 1970-an, terutama di kalangan ahli teknologi pendidikan. Bahkan langkah konkret ke arah itu sudah disiapkan oleh pemerintah yang dimotori oleh Pustekomdikbud (Pusat Teknologi Pendidikan dan Kebudayaan), sebuah lembaga yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Namun upaya tersebut berhenti ketika inisiatif untuk mewujudkan televisi pendidikan diambil alih oleh Hardiyati Rukmana atau yang lebih populer dipanggil Mbak Tutut dengan mendirikan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) yang pada awalnya bersiaran melalui frekuensi TVRI. Proyek televisi pendidikan itu akhirnya sekarang dilanjutkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Kejuruan (Dikmenjur) Departemen Pendidikan Akan tetapi proyek itu berjalan tanpa payung hukum yang jelas karena UU No.32 Tahun 2002 tidak mengatur keberadaan televisi pendidikan. Sesuai dengan perkembangan zaman, hal mana media televisi semakin menyita kehidupan masyarakat maka wacana untuk mewujudkan televisi pendidikan di Indonesia perlu dibangkitkan kembali agar menjadi perhatian publik dan pada akhirnya mendapat respon dari para pengambil kebijakan (policy maker). Sehubungan dengan maksud tersebut tulisan ini bertujuan membuka kembali perbincangan mengenai televisi pendidikan di Indonesia. Sesuai dengan tujuan penulisan maka artikel ini berisi uraian mengenai aspek kekuatan dan kelemahan televisi sebagai media pendidikan, fungsi siaran pendidikan, prinsip penyelenggaraan dan standar program pendidikan di televisi. Kekuatan dan Kelemahan Televisi Sebagai media massa yang tumbuh belakangan, dan merupakan konvergensi dari media radio, surat kabar, industri musik, pertunjukan panggung, dan sebagainya, televisi memiliki kekuatan yang sangat besar dibanding jenis media massa lain. Meskipun teknologi internet hadir dengan berbagai kelebihannya, namun sampai saat ini internet belum mampu menggeser dominasi televisi. Di mana-mana persentase penggunaan jenis media massa masih dikuasai oleh televisi. Kemampuan televisi mendominasi media lain karena media ini mempunyai sejumlah kelebihan, antara lain serbagai berikut. Bersifat dengar-pandang. Tidak seperti halnya media radio yang hanya bisa dinikmati melalui indera dengar, media tv bisa dinikmati pula secara visual melalui indera penglihatan. Faktor melihat itu menjadi sangat penting, karena seperti dikatakan oleh Confusius,”saya mendengar maka saya lupa; saya melihat maka saya ingat”, dan saya melakukan maka saya paham”. Dengan melihat sendiri, seseorang merasa terlibat secara langsung dalam suatu peristiwa sehingga memiliki kekuatan sugestif yang tinggi. Jika potensi ini dioptimalisasikan untuk praksis pembelajaran tentu akan memiliki pengaruh positif bagi peningkatan kualitas pendidikan. Akan tetapi sifat televisi yang hanya dengar pandang itu sekaligus mengandung titik lemah bagi program pembelajaran. Siaran televisi yang bersifat sekilas tersebut menimbulkan masalah tersendiri dalam hal ingatan khalayak (audience). Televisi tidak mampu menyampaikan hal-hal yang membutuhkan kedalaman dan penjelasan panjang lebar sebagaimana yang dibutuhkan dalam praksis pembelajaran. Namun jika ada kreativitas yang mampu mengatasi kelemahan ini niscaya akan dapat meningkatkan fungsi pendidikan dari media televisi itu sendiri. Menghadirkan realitas sosial. Terkait dengan potensi yang baru saja disebutkan, televisi memiliki kemampuan menghadirkan realitas sosial seolah-olah seperti aslinya, atau dalam istilah Piliang sebagai hiperealitas. Kemampuan teknologi kamera dalam merekam realitas sebagaimana aslinya, menjadikan tayangan televisi memiliki pengaruh sangat kuat pada diri khalayak. Meskipun orang yang berada di balik pengoperasionalan kamera sering memiliki agenda seting tersendiri dan melakukan framing atas realitas yang direkam, namun khalayak percaya bahwa gambar dan suara yang mereka ikuti di layar televisi mencerminkan realitas social yang ada. Visualisasi yang didukung oleh kekuatan suara pada kenyataannya sangat membantu memahamkan seseorang terhadap sesuatu yang sulit menjadi mudah untuk dimengerti. Kekuatan ini tentu dapat dimanfaatkan secara optimal untuk tujuan pendidikan Simultaneous. Kekuatan lain yang dimiliki media televisi adalah kemampuan menyampaikan segala sesuatu secara serempak sehingga mampu menyampaikan informasi kepada banyak orang yang tersebar di berbagai tempat dalam waktu yang sama persis. Aspek simultaneous sebenarnya juga dimiliki oleh media radio, hanya saja keserempakan yang terjadi dalam media televisi tidak hanya bersifat auditif tetapi juga visual sehingga kesan yang diterima audience sangat kuat. Sifat simultaneous itu tidak dimiliki oleh media massa cetak yang membutuhkan sistem distribusi sangat panjang sehingga lokasi yang berada jauh dari tempat pencetakan akan menerima informasi lebih lambat dibandingkan dengan yang berada di dekat pusat penerbitan. Jika kekuatan yang satu ini dikelola secara baik untuk tujuan pembelajaran tentu akan sangat efektif untuk memajukan dunia pendidikan. Memberi rasa intim/kedekatan. Tayangan program tv secara umum disajikan dengan pendekatan yang persuasif terhadap khalayaknya. Dengan menggunakan sapaan yang memberi kesan dekat, tidak berjarak, bahasa tutur sehari-hari, gesture yang wajar menciptakan suasana intim antara presenter program dengan khalayak. Hal yang demikian tidak kita temukan dalam media cetak. Media radio memiliki sifat yang mirip namun hanya mengandalkan audio sehingga daya tariknya relatif rendah, sedangkan televisi didukung oleh visual yang menarim. Jika potensi yang demikian dikelola secara baik untuk misi pendidikan, niscaya pengaruh yang ditimbulkan pun cukup besar. Menghibur. Meskipun secara konseptual fungsi tv sama dengan media massa lainnya, yaitu informatif, edukatif, dan menghibur, namun fungsi terbesar dari media televisi adalah menghibur. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa motif utama orang menonton tv adalah mencari hiburan, setelah itu mencari informasi, dan paling akhir adalah mencari pengetahuan/pendidikan. Jadi memang benar yang dikatakan Neil Postman bahwa esensi media televisi adalah hiburan sehingga ia memperolok khalayak dengan sindiran, ”menghibur diri sampai mati”. Oleh karena itu dalam memproduksi program apa pun untuk TV senantiasa mempertimbangkan aspek menghibur. Potensi menghibur ini pada satu sisi dapat dipahami sbagai ancaman bagi dunia pendidikan, tetapi pada sisi lain justru menjadi keunggulan terutama jika dikaitkan dengan teknologi pembelajaran yang mengembangkan konsep belajar secara menyenangkan (joyfull learning). Selain beberapa kelebihan yang dimilikli, media TV juga mengandung kelemahan yang kurang menguntungkan bagi pengguna. Dalam konteks penyelenggaraan program pendidikan, dan atau pengembangan televisi pendidikan; jenis-jenis kelemahan tersebut antara lain sebagai berikut. Sulit menentukan kelompok pemirsa yang dituju. Karena sifat siaran televisi simultaneous, maka setiap kali penayangan sebuah program langsung dapat diakses oleh berbagai kalangan dari balita sampai kakek-nenek, cicit banyak kalangan maupun latar belakang sosial ekonomi, budaya, dan psikografi yang berbeda. Sejauh ini belum ada sistem yang dapat mengendalikan siaran agar bisa diakses oleh target sasaran tertentu saja. Bahkan TV berlangganan pun tidak dapat menjamin bahwa acara yang mereka tujukan kepada kelompok tertentu benar-benar hanya diakses oleh target sasaran yang mereka maksudkan. Hal yang demikian dapat menjadi titik lemah televisi sebagai media pendidikan untuk dapat menyampaikan materi pembelajaran secara efektif pada kelompok usia atau kelas tertentu. Mengingat tayangan program dilihat secara simultan oleh berbagai kalangan yang berbeda latar belakangnya maka produser acara biasanya melakukan kompromi agar khalayak yang tidak menjadi kelompok sasaran pun dapat mengikutinya secara nyaman. Akan tetapi kelemahan ini bisa juga menjadi kekuatan untuk proses pembelajaran secara simultan antara anak, orang tua dan masyarakat. Artinya, jika semua kalangan dapat menyimak program yang sama maka terjadi proses penyamaan persepsi terhadap suatu materi pembelajaran sehingga kalau ada anak yang menjadi kelompok sasaran program mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran yang disiarkan melalui televisi, orang lain dapat membantu menjelaskannya. Persoalannya, hingga kini belum tumbuh suatu kebiasaan dalam keluarga untuk menyimak secara bersama-sama suatu tayangan program edukasi yang bersifat pembelajaran. Cenderung mengabaikan isu-isu mendalam. Menyadari bahwa setiap program secara otomatis akan diikuti oleh berbagai kalangan, maka dalam proses produksi pihak produser selalu mempertimbangkan aspek kemudahan untuk dicerna. Meskipun isu yang diangkat sangat serius dan rumit, seperti masalah cloning tetapi penyajiannya harus mudah dipahami oleh khalayak. Kalau pada menit-menit pertama penyajian program terasa tidak menarik, dan membosankan tentu banyak pemirsa akan segera mengalihkan channel TV-nya. Karena kompromi dengan kepentingan menciptakan daya tarik agar khalayak bertahan di depan layar kaca, maka persoalan serumit apa pun harus dipermudah, diperingan, dan konskuensinya tentu tidak bisa mendalam. Pembahasan hanya menyentuh pada aspek-aspek yang dianggap menonjol dan menjadi pusat perhatian umum. Padahal, akar permasalahan dari suatu kasus biasanya justru terletak pada bagian yang rumit, dan tidak terlihat secara mencolok. Ketidakmampuan menjelaskan sesuatu secara mendalam ini memang menjadi titik lemah tersendiri bagi televisi sebagai media pendidikan. Kurang berkesinambungan. Secara umum tayangan program di televisi jarang memperhatikan aspek kesinambungan antara program satu dengan lainnya. Untuk dapat mengikuti sebuah tayangan televisi, khalayak tidak dipersyaratkan mengikuti program yang ditayangkan sebelumnya. Seperti kata Postman, setiap program televisi merupakan paket mandiri yang tidak mensyaratkan pengetahuan tertentu untuk memahaminya. Orang dapat mengikuti tayangan program televisi dari bagian mana saja, bisa dari awal, tengah, bahkan mungkin hanya di akhir program. Karakteristik media televisi yang seperti itu jelas kurang mendukung bagi upaya menanamkan nilai-nilai edukasi yang harus dilakukan secara berkesinambungan dengan intensitas tinggi, dan keteladanan. Karakter program yang tidak berkesinambungan itu menjadi salah satu kelemahan yang mendasar untuk menjadikan televisi sebagai media pendidikan. Impersonal. Kelemahan media televisi adalah sifatnya yang impersonal sehingga proses komunikasi sesungguhnya berlangsung secara tidak alami. Penyaji program sebagai komunikator tidak mengenal khalayak yang diajak bicara, dan khalayak sendiri juga tidak saling mengenalnya. Jadi hubungan antara satu dengan lainnya betul-betul impersonal, tidak saling mengetahui. Sifat demikian itu tidak sesuai dengan praktik penyelenggaraan pendidikan yang baik, di mana antara pendidik dan peserta didik saling mengenal sehingga tahu jenis kebutuhan yang harus diberikan, dan metode yang paling tepat untuk diterapkan. Impersonalitas itu tentu akan berpengaruh terhadap tingkat tanggung jawab moral produser terhadap khalayaknya. Jika dalam praktik pembelajaran di sekolah terjadi unsur interaksi antara pendidik dengan peserta didik sehingga ada proses evaluasi dan rasa tanggung jawab terhadap keberhasilan pembelajaran pada diri pendidik, hal itu tidak terjadi di televisi. Seandainya program yang ditayangkan tidak jelas tujuannya pun, tetap running way dan tidak akan berhenti sebelum waktunya seperti halnya kalau mengajar langsung di depan murid. Biaya tinggi. Meskipun teknologi komunikasi sudah berhasil menyederhanakan perangkat kerja produksi televisi, namun ongkos yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan program-program pendidikan melalui televisi tetap saja tinggi. Alasannya, untuk dapat menyajikan program televisi yang berkualitas dan menarik memang membutuhkan pemikiran mendalam, proses kerja lama, dukungan fasilitas yang beragam, dan melibatkan banyak kru dengan berbagai kemampuan yang berbeda. Untuk menjaga kontinuitas program siaran, sudah tentu frekuensi produksinya sangat tinggi, dan hal itu berkorelasi dengan besarnya ongkos yang mesti dikeluarkan. Oleh karena itu meskipun perangkat kerja televisi berhasil disederhanakan, namun ongkos produksi secara keseluruhan untuk siaran televisi tetap tinggi. TV sebagai Media Pendidikan Upaya menjadikan TV sebagai media pendidikan telah dilakukan sejak dekade awal munculnya media itu. Pada 1932 State Universirty of Iowa mengembangkan tv pendidikan dalam bentuk sirkuit tertutup (close circuit). Kemudian New York University bekerjasama dengan NBC pada 1938 mengujicoba penyelenggaraan siaran tv pendidikan. Perkembangan yang pesat terjadi setelah Perang Dunia II, yakni dengan dibentuknya Joint Committee on Educational Television (JCET) pada tahun 1950-an (Miarso:2004, h 415). Sepuluh tahun kemudian keluar sejumlah laporan penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh besar penggunaan media TV dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Almstead dan Graf (1960) melakukan penelitian terhadap siswa kelas 10 yang belajar tentang geometri. Mereka disuruh belajar lewat televisi saja, ternyata 85% di antara mereka lulus ujian New York Regent, dan 30% di antaranya mencapai skor lebih dari 90. Hasil itu setara dengan yang dicapai oleh mereka yang belajar di sekolah-sekolah biasa. Tiga tahun kemudian, laporan yang dikeluarkan Dewan Sekolah Anaheim mempaparkan bahwa uji coba yang dilakukan di California menunjukkan bahwa dari 48 kasus yang diamati sebelum dan sesudah menonton tv, ternyata hasil dari kelompok yang menonton tv jauh lebih baik dibanding yang tidak menonton. Berdasarkan hasil penelitiannya pula, Chu dan Schramm (1967) menyimpulkan bahwa anak-anak dan orang dewasa belajar banyak dari televisi instruksional (Wilkinson: 1984 h.18-22). Namun menjelang akhir millennium kedua, muncul kritik yang sifatnya mendekonstruksi keyakinan besarnnya pengaruh televisi terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Menurut George Comstock dan timnya seperti dikutip oleh Postman, berdasarkan kajian atas 2.800 hasil studi yang bertopik sekitar pengaruh televisi terhadap tingkah laku, dan kemampuan kognitif, ternyata tidak ditemukan bukti yang mendukung pernyataan bahwa proses belajar dimudahkan jika informasi ditampilkan dalam setting dramatis sebagaimana ditampilkan oleh media tv. Postman bahkan berkesimpulan sangat ekstrim bahwa menonton tv tidaklah memperbaiki proses belajar, dan cenderung kurang mengembangkan kemampuan berpikir dalam tingkat kompleksitas yang tinggi (Postman, opcit. h. 159). Dalam konteks sekarang, pendapat Postman agaknya yang paling mendekati realitas. Siaran TV memang menyiarkan banyak informasi, namun karena sifatnya hanya sekilas dengar dan pandang maka sedikit pula yang bisa mengendap dalam ingatan khalayak. Khalayak hanya memperoleh informasi secara sepotong-sepotong sehingga sulit untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. Realitasnya, siaran tv memang memperkaya kepemilikan informasi pada khalayak, namun teramat sedikit yang bisa dikutip dari siaran TV untuk referensi ilmiah. Hal itu membuktikan rendahnya otoritas program tv sebagai karya ilmiah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa siaran televisi lebih banyak dipandang sebagai hiburan semata. Di Indonesia, usaha untuk menyelenggarakan TV pendidikan sudah muncul sejak Repelita I (1969). Akan tetapi langkah konkret baru terlihat pada tahun 1978 dengan dibentuknya Pusat Teknologi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekomdikbud). Tersendatsendatnya langkah ke arah itu disebabkan oleh sikap monopolistik TVRI. Pada 23 Nopember 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI serta Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan Belanda menandatangani naskah kerjasama tentang penggunaan teknologi pendidikan, dan salah satu poin pentingnya adalah dukungan pihak kerajaan Belanda bagi Indonesia untuk menyelenggarakan TV pendidikan. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, pada Mei 1988 berhasil disepakati rencana induk yang meliputi empat kategori kegiatan, yaitu (1) mediated instrucational system; (2) broadcasted Educational Program; (3) Instrucsional and Communication System Reseach; dan (4) Instrucational Development. Akan tetapi belum sampai program tersebut direalisasi sudah muncul inisiatif dari pihak swasta, yakni pengusaha Hardiyanti Rukmana yang lebih dikenal dengan sebutan Mbak Tutut berniat mendirikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sehingga televisi pendidikan yang menjadi program pemerintah justru tidak dapat direalisasi (Miarso: 2004). Pada awal kemunculannya siaran TPI menggunakan fasilitas pemancar dan frekuensi milik TVRI. Program-program yang ditayangkan pun sebagian besar produksi Pustekomdikbud. Kenyataan itu memang terasa amat janggal mengingat pemerintah sendiri sebenarnya punya rencana mendirikan televisi pendidikan namun realisasinya justru oleh pihak swasta namun menggunakan sumber daya milik negara. Celakanya, dalam perjalanan waktu TPI berbelok arah dan menjadi televisi komersial yang kepemilikan sahamnya dikuasai oleh putri sulung penguasa Orde Baru, Soeharto. Kegagalan TPI menjaga eksistensi sebagai televisi pendidikan memberikan preseden buruk bagi pihak lain yang ingin mendirikan televisi pendidikan, sekaligus meninggalkan citra negatif bahwa program-program televisi pendidikan sebagai hal yang membosankan dan tidak menarik untuk ditonton. Di tengah melemahnya minat pihak swasta untuk mendirikan televisi swasta, kini pihak Direktorat Jenderal Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia giat merintis penyelenggaraan televisi pendidikan (TVE). Sayangnya, upaya itu tidak didukung oleh payung hukum yang memadai karena UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak memberikan hak hidup bagi televisi pendidikan. Fungsi Program Pendidikan di TV Seperti halnya media massa lain, media tv juga berfungsi menyampaikan informasi, hiburan, dan pendidikan. Namun fungsi edukasi media televisi bisa lebih optimal dibandingkan jenis media msaa lain karena sifat khas yang dimiliki oleh media itu sendiri. Menurut Matsuda (1991:1), siaran pendidikan melalui televisi berfungsi (1) meningkatkan kesadaran nasional warga Negara; (2) modernisasi nasional; (3) suplemen bagi pendidikan sekolah; (4) mempercepat penyampaian informasi baru tentang pendidikan kepada sekolah; (5) penyelenggaraan pendidikan bagi semua kalangan dengan isi yang sama untuk skala nasional; (6) menggantikan fungsi kehadiran guru profesional dan profesor; (7) menambah materi pengajaran dan bacaan buku, (8) modernisasi dalam penyampaian materi dan mengembangkan metode mengajar; (9) mengikuti pendidikan kembali bagi guru-guru; (10) mencukupkan informasi dan pendidikan bagi kelompok kecil; (11) membantu mereka yang tidak mampu melanjutkan sekolah karena tidak memiliki waktu dan keterbatasan ekonomi; (12) persiapan belajar untuk menghadapi ujian nasional. Optimalisasi fungsi-fungsi tersebut sudah tentu akan dapat membantu mengatasi sebagian permasalahan dunia pendidikan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyampaian informasi kebijakan, mengatasi keterbatasan guru di daerah-daerah terpencil, pemerataan kualitas pengajaran, dan penambahahan atau pengayaan materi pelajaran di sekolah. Hal itu dimungkinkan karena sifat media televisi yang mampu menyampaikan informasi secara cepat, serempak, memiliki jangkauan luas, dan bersifat dengar pandang sehingga mudah dimengerti oleh khalayak. Persoalannya memang, seberapa besar perhatian kita, terutama para pengambil kebijakan terhadap fungsi edukasi dari media televisi. Rasanya, terlalu utopia kalau kita berharap kepada dunia swasta mau menginvestasikan uangnya untuk mendirikan televisi pendidikan. Oleh karena itu negaralah yang semestinya mengambil inisiatif untuk mendirikan televisi pendidikan. Kategori Program pendidikan di TV Implementasi fungsi televisi sebagai media pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk program siaran yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu siaran pendidikan sekolah (school broadcast), dan pendidikan ketrampilan hidup (life skill broadcast). Untuk jenis terakhir itu NHK mengistilahkannya dengan “Life long Education Program” (program pendidikan untuk seumur hidup), dan ada pula yang menyebutnya sebagai “social educational broadcast” atau siaran pendidikan sosial. Dalam artikel ini penulis memilih menggunakan istilah “siaran pendidikan sosial karena memberikan pengertian yang cukup jelas dan lebih implementatif. Secara kategorial siaran pendidikan melalui TV dapat digambarkan dalam skema berikut. Siaran sekolah (school broadcast) Program Acara Pendidikan Siaran Pendidikan Sosial (Social Educational) Prasekolah Sekolah Dasar (Klas I-IX) SMTA (SMA dan SMK) SekolahTerbuka (SMP & SMA) Perguruan Tinggi Konvensional Universitas Terbuka Tujuan Khusus: Program Penyetaraan, Guru,dll Kebudayaan (culture) Bahasa dan Sastra Kegiatan Ekonomi Pertanian, perikanan Kesehatan, dan olah raga Peningkatan Peran Perempuan Kursus-kursus Ketrampilan Program khusus untuk Difabel Sumber: Shigeki Ueno (1991), dan Darwanto SS (1995) dengan beberapa penyesuaian oleh penulis. 1. Siaran Sekolah Siaran pendidikan di televisi (juga di radio) dikategorikan sebagai siaran sekolah karena program tersebut dibuat berdasarkan kurikulum yang berlaku di sekolah. Program siaran sekolah selama ini banyak diproduksi oleh Pustekom dan disiarkan antara lain melalui TPI (dulu), TVRI, dan TVE milik sekolah-sekolah yang berkolaborasi dengan Dikmenjur. Di negara-negara yang siaran pendidikannya maju seperti Jepang, programming atau penataan acara siaran pihak NHK terintegrasi dengan jadwal kegiatan belajar di sekolah. Hal itu dimaksudkan agar ketika sebuah program siaran sekolah ditayangkan oleh NHK pada waktu yang sama pula kegiatan belajar di sekolah mempelajari tentang materi yang sama dengan yang disiarkan televisi sehingga murid dan guru dapat mengikutinya bersama-sama. Adapun larakteristik dari siaran sekolah, yaitu (1) penyelenggaraan programnya terstruktur; (2) materinya dibuat berdasarkan kurikulum yang berlaku; (3) target khalayak setiap program bersifat khusus; (4) tujuannya membantu pelajar memecahkan soal-soal di sekolah, memudahkan siswa dalam memahami topik-topik yang diajarkan guru, memperkarya materi pelajaran di sekolah, dan membantu guru dalam mengajarkan topic yang sama di sekolah; (5) penjadwalannya harus terintegrasi dengan jadwal pelajaran di sekolah; (6) sifatnya komplementer dan tidak bertentangan dengan program pengajaran di sekolah; (7) disediakan buku penyerta (panduan) yang dibagikan kepada sekolah-sekolah jauh hari sebelum tiba waktunya penayangan program; dan (8) cakupan materi siaran bisa juga mengenai kebijakan Negara di bidang pendidikan. 2. Siaran Pendidikan Sosial Berbeda dengan siaran sekolah yang proses pembuatannya harus mengacu pada kurikulum yang berlaku di sekolah, siaran pendidikan jenis kedua atau siaran pendidikan sosial dibuat dengan pendekatan yang lebih bebas. Tidak ada ketentuan harus mengacu pada kurikulum tertentu, tetapi yang penting mengandung muatan edukasi dan cenderung mengajarkan ketrampilan. Tujuan akhir dari siaran pendidikan sosial ádalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, mendorong semangat kerja, menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu yang berkembang dalam kehidupan social mereka. Dalam implementasinya di bidang siaran, acara pendidikan sosial ini muncul dalam bentuk siaran keagamaan, ilmu pengetahuan, pendidikan ketrampilan, acara perdesaan, dan sebagainya. Adapun karakteristik siaran pendidikan sosial di televisi, antara lain (1) penyusunan program didasarkan pada prioritas kepentingan yang bisa sangat subyektif ditentukan oleh produser; (2) tidak ada acuan kurikulum yang mengikat dalam pembuatan program ini; (3) target khalayaknya tidak terfokus pada kelompok tertentu, dan rentangannya bisa sangat longgar; (4) tujuannya bisa untuk menambah pengetahuan, memberi pencerahan, mengajak berefleksi, mengajarkan ketrampilan atau kecakapan tertentu; (5) penjadwalan disesuaikan dengan spesifikasi materi dan target khalayak utama yang ingin dituju; dan (6) tidak terikat ketentuan untuk menyediakan buku penyerta. Penyajian Program Pendidikan Secara garis besar, penyajian program pendidikan melalui tv (juga radio) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pendekatan instruksional, dan non instruksional. Bentuk penyajian tidak berkorelasi dengan kategori program pendidikan seperti tersebut di atas. Dengan demikian program siaran sekolah tidak identik dengan pendekatan instruksional, tetapi bisa juga menggunakan pola non instruksional. Begitu pula siaran pendidikan sosial dapat saja disajikan dalam bentuk instruksional kalau memang itu pilihan yang paling tepat, seperti dalam program masak-memasak atau membuat kerajinan tertentu. Pilihan pendekatan lebih ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai setiap program, bukan oleh jenis kategorinya. Pendekatan instruksional sering dipakai jika tujuan program yang ingin dicapai adalah pemahaman proses, dan penguasaan ketrampilan tertentu, Sedangkan pendekatan non instruksional dipakai jika proses pemaknaan pesan program diserahkan sepenuhnya kepada khalayak. Adapun karakteristik dari pendekatan instruksional dan non instruksional sebagai berikut. 1. Program Instruksional Program instruksional berfungsi untuk (1) menggantikan kehadiran guru/dosen/ pembimbing/pendamping belajar (selanjutnya ditulis guru), dan (2) sebagai pembanding bagi guru dalam hal pembelajaran. Dalam konteks siaran sekolah, fungsi pertama terasa sangat urgen untuk daerah-daerah yang masuk kategori terpencil. Perlu diketahui bahwa sampai penghujung 2006 masih banyak sekolah di wilayah Sumatera, Kalimantan, Papua (semua provinsi), NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, yang masih kekurangan guru sehingga seorang guru terpaksa mengajar beberapa kelas (kelas rangkap) untuk setiap harinya. Bahkan masih banyak sekolah yang hanya mempunyai seorang guru sehingga harus mengajar dari kelas I (satu) sampai VI (Enam), sekaligus sbertindak ebagai kepala sekolah. Bagi guru yang mengajar rangkap, tersedianya program instruksional yang relevan sangat diperlukan. Untuk menggantikan kehadiran guru di kelas, peserta ajar disuruh menyimak program yang tersedia dan kemudian mengerjakan tugas-tugas seperti yang diperintahkan dalam program. Program instruksional yang berfungsi untuk menggantikan kehadiran guru, juga diterapkan pada penyelenggaraan SMP/SMA Terbuka, program penyetaraan atau pendidikan profesi secara terstruktur dan mengacu pada tingkatan tertentu untuk meningkatkan kapasitas guru. Sedangkan realisasi fungsi kedua, dilaksanakan dengan cara memproduksi model pembelajaran yang bagus agar dijadikan acuan bagi para guru.. Adapun manfaat dari program pendidikan TV yang diproduksi dengan pendekatan instruksional sebagai berikut. a. Mengurangi ketergantungan kepada guru b. mengatasi keterbatasan ruang dan waktu sehingga memberi kesempatan kepada kelompok usia tua yang dulu kurang beruntung untuk memperoleh pendidikan yang bersifat formal. c. Membantu mengatasi kekurangan guru, dan memberi kesempatan bagi anak-anak di daerah terpencil untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. d. Memberi kemungkinan kepada semua pihak untuk sama-sama mendapatkan pelajaran dengan guru yang berkualitas. e. Memberi kesempatan pengulangan penjelasan materi pelajaran yang sama secara berkali-kali tanpa ada perbedaan kualitas materi, bahasa, nuansa dan etos dari pihak penyampai. f. Membantu memecahkan kesulitan dalam praktik pembelajaran g. Menjadi bahan pembanding dan acuan bagi guru dalam mengajarkan mata pelajaran tertentu secara baik. h. Mengoptimalkan fungsi produk teknologi komunikasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Karakteristik dari pendekatan instruksional adalah menekankan ketaatan asas pada prinsip pembelajaran seperti di sekolah. Penyampaian materi dilakukan secara bertahap dengan sistematika yang menyerupai kegiatan di kelas, yakni guru memulai dengan memperkenalkan pokok bahasan, menyampaikan apersepsi, menjelaskan materi utama, menyimpulkan, dan kemudian memberikan evaluasi. Bahasa yang digunakan pun cenderung baku sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar. Dalam pola instruksional, kehadiran presenter lebih mencerminkan fungsi seorang guru yang tengah mengajar dari pada seorang telangkai. Secara keseluruhan karakter program yang sifatnya instruksional memang kurang santai, kaku, minim hiburan, sarat pesan, dan cenderung membosankan. 2. Program Non Instruksional Acara program pendidikan yang disajikan dengan pola non instruksional dapat berfungsi sebagai (1) peraga atau alat bantu dalam kegiatan pembelajaran; dan (2) sebagai sumber belajar. Adapun manfaat dari program yang bersifat non instruksional, yaitu (1) meningkatkan daya tarik siswa terhadap topic yang akan dibicarakan; (2) memudahkan guru memberikan gambaran yang lebih nyata tentang hal yang akan dibahas dengan cara menampilkan contoh-contoh; (3) memperkaya bahan pengajaran; (4) menambah variasi pengajaran;( 5) menambah daya kreasi dan imajinasi guru/siswa; dan (6) membantu guru menciptakan ice breaking dalam kegiatan pembelajaran. Pembuatan program yang bersifat non intruksional tidak terikat pada kaidahkaidah pembelajaran di kelas, lebih bebas, dan dapat disesuaikan dengan tujuan dan target khalayak yang ingin dituju. Dalam membuat program yang non instruksional dapat menggunakan berbagai pendekatan produksi (formal atau informal situation, display, dll). Bahasa yang digunakan pun bisa lebih bebas sesuai dengan konteks program, yang penting mudah dipahami. Kriteria yang mesti dipenuhi dalam paket program yang bersifat non instruksional, yaitu (1) jika dimaksudkan untuk menjadi alat peraga maka harus betul-betul membantu memperjelas permasalahan yang akan diterangkan; (2) singkat, padat; (3) memiliki daya tarik tinggi; (4) mudah dipahami: dan (5) tujuan yang akan disampaikan jelas. Prinsip Program Pendidikan di TV Menjelang akhir millennium kedua, Gordon Dryden dan Jeannette Vos mengeluarkan tesis baru yang sangat populer, yaitu revolusi cara belajar. Intinya, kegiatan pembelajaran akan berlangsung efektif kalau dilaksanakan dalam suasana senang (fun). Hal itu merupakan dampak dari kemajuan teknologi yang telah berhasil meningkatkan kualitas hidup manusia. Jika pada tahun 1930 harapan hidup orang Amerika rata-rata 60 tahun (525.000 jam), maka pada 2000 telah meningkat menjadi 75 tahun (657.000 jam). Dengan harapan hidup seperti itu maka waktu yang dibutuhkan untuk tidur 175.000 jam, bekerja 100.000 jam, dan masa kanak-kanak, sekolah, bersantai, hobi, olah raga sebanyak 250.000 jam. Sekarang, dengan harapan hidup yang lebih panjang maka penggunaaan waktu oleh orang-orang di Negara maju mengalami pergeseran signifikan, yaitu waktu untuk tidur 219.000 jam, bekerja 50.000 jam, masa kanak-kanak, pendidikan seumur hidup, bersantai, hobi, olah raga, perjalanan mencapai 388.000 jam. Itu sebabnya Dryeden menyebutnya sebagai era baru kesenangan (Dryeden dan Vos: 2003,h.65-67) Mengacu pendapat Dryden tersebut, maka dalam membuat program pendidikan untuk televisi fungsi menghibur menjadi prinsip yang utama. Sebagaimana dikatakan oleh Hofman (1999: 55-57), dalam kebudayaan audiovisual segala-galanya paling sedikit mempunyai unsur menghibur. Televisi sebagai bentuk kebudayaan lisan kedua, mempunyai karakter yang mirip dengan budaya lisan pertama, yaitu antara hiburan dan pendidikan menjadi satu. Hal senada juga dikatakan oleh Postman (opcit. h. 154-155) yang menawarkan tiga prinsip dalam produksi program televisi, yaitu (1) tiap program tv haruslah merupakan paket mandiri yang tidk mensyaratkan suatu pengetahuan tertentu untuk dapat memahaminya; (2) dalam pengajaran ala televisi, kebingungan merupakan jalan tol menuju peringkat yang rendah; (3) pengajaran melalui televisi selalu mengambil bentuk penuturan cerita, melalui gambar-gambar yang dinamis dan diiringi musik. Standar program pendidikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan oleh KPI (2004) tidak secara eksplisit mencatumkan bab tersendiri tentang program pendidikan di radio dan televisi. Akan tetapi banyak pasal yang memuat pengaturan program siaran agama, anak-anak, perempuan, dan lainya. Undang-undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pun sama sekali tidak memberi jaminan atas eksistensi tv pendidikan. Dalam rencana Induk pendirian televisi pendidikan di Indonesia yang dirintis oleh Pustekkom Dikbud sebenarnya telah dirumuskan pedoman dasar pengembangan, yaitu (Miarso: 2004,h.418) sebagai berikut. 1. Program siaran harus diusahakan sesuai dengan kebutuhan para khalayak yang dituju (intended audience). 2. Isi siaran harus diusahakan sesuai dengan nilai-nilai budaya yang diterima oleh masyarakat Indonesia. 3. Program siaran diusahakan untuk berkaitan dengan kegiatan yang ada di masyarakat, paling tidak harus serasi dengan pola tindak yang ada pada masyarakat. 4. Tiap acara diusahakan untuk dikembangkan dalam bentuk paket yang berkesinambungan. 5. Tiap program harus dibuat dengan arah dan tujuan tertentu. Sayangnya pedoman dasar tersebut tidak di-breakdown lebih rinci lagi akibat macetnya proyek pendirian televisi pendidikan di Indonesia. Para praktisi televisi di Indonesia pun juga belum merumuskan standar program pendidikan yang dapat diakses oleh publik. Namun dari buku yang diterbitkan oleh NHK (1986) dapat diketahui standar program pendidikan yang mereka buat. Dalam perumusan standar NHK, mereka membagi menjadi tiga kategori sebagai berikut. 1. Standar Program Pendidikan untuk umum, yaitu: a. Isi dari program-program siaran harus sesuai dan bermanfaat untuk khalayak yang dikehendaki. b. Guna mencapai hasil pendidikan terbaik, program-program harus tersusun dengan baik secara berkesinambungan. c. Kesempatan yang sama dalam pendidikan harus disampaikan dalam penyiaran 2. Standar Program Siaran Sekolah, yaitu: d. Semua usaha harus dibuat untuk menyiapkan materi pendidikan yang dapat disampaikan dengan baik melalui penyiaran, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. e. Penyampaian materi yang berkaitan dengan sikap-sikap belajar yang baik, dan pengembangan jasmani dan rokhani anak-anak harus diprioritaskan. f. Model pembelajaran di kelas harus disampaikan dalam penyiaran. 3. Standar Program untuk Anak-anak, yaitu: g. Memberi perhatian besar mengenai pengaruh televisi terhadap anak-anak, program-program betujuan membangkitkan berbagai perasaan senang, dan bermanfaat. h. Program-program harus menghindari unsur-unsur yang dapat ditiru oleh anakanak dan bersifat merusak atau menimbulkan kesalahan interpretasi mereka. i. Program harus tidak menimbulkan ketakutan berlebihan pada anak-anak. j. Tidak diizinkan membuat program mengenai takhayul yang dapat membahayakan anak-anak. Penutup Anak-anak yang kini berusia sekolah, dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan mahasiswa S-1 pada dasarnya adalah anak-anak televisi. Mereka sudah terbiasa banyak menghabiskan waktunya di depan televisi sambil memainkan remote control untuk memilih program yang mereka senangi. Anak-anak televisi kurang begitu akrab dengan radio, dan surat kabar maupun majalah. Bagi mereka televisi adalah sumber informasi, dan hiburan yang tiada habisnya. Oleh karena itu mengoptimalisasikan fungsi edukasi dari media televisi merupakan langkah yang mendesak untuk dilakukan agar anak-anak yang terlanjur menghabiskan waktunya lebih banyak di depan televisi tidak semata-mata menikmati hiburan tetapi juga memperoleh pendidikan yang sehat. Mengingat banyaknya hambatan ekonomi, sosial, dan budaya yang ada saat ini maka upaya mewujudkan televisi pendidikan di Indonesia harus dilakukan dengan pendekatan politik, yakni mendorong para pengambil kebijakan untuk peduli mengenai masalah itu. Upaya yang telah ditempuh Dikmenjur harus dilakukan penguatan dengan memberi payung hukum berupa undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menjamin keberadaan televisi pendidikan. Daftar Pustaka Chen, Milton, 1996. Anak-anak dan Televisi, Buku Panduan Orangtua Mendampingi Anak-anak Menonton Televisi, Jakarta: Gramedia. DeFleur, Melvin L, Everette E.Dennis, Understanding Mass Communication (second edition), Illinois: Houghton Mifflin Company. Dryden, Gordon, Jeannette Vos, 2003. Revolusi Cara Belajar (terjemahan), Bandung: KAIFA. Hamalik, Oemar, 1989, Media Pendidikan, Bandung: Citra Aditya Bakti Hidayati, Arini, 1998. Televisi dan Perkembangan Sosial Anak, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hofmann, Ruedi, Dasar-dasar Apresiasi Program Televisi, 1999. Jakarta: Grassindo Kitley, Philip, Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (Terjemahan), Jakarta: LSPP, ISAI dan PT Media Lintas. KPI, 2004. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, Jakarta Matsuda, Yoshiharu, 1989, Am Introduction for The Educational Broadcasting (manual diklat), Yogyakarta: MMTC-JICA Miarso, Yusufhadi, 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media dan Pustekkom Diknas. NHK, 1986. NHK School Broadcast, NHK Postman, Neil, 1995. Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi (terjemahan), Jakarta: Sinar Harapan. Subroto, Darwanto Sastro, 1995. Televisi Sebagai Media Pendidikan, Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Ueno, Shigeki, 1991. Bagaimana Memproduksi Acara Pendidikan, Yogyakarta: MMTCJICA Wilkonson, Gene L, 1984. Media Dalam Pembelajaran Penelitian Selama 60 Tahun (terjemahan), Jakarta: Pustekkom Dikbud dan CV Rajawali. Biodata Penulis A.Darmanto, Peneliti di Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi (BPPI) Wilayah IV, Balitbang Depkominfo. Sebelumnya (1983-awal 2004) bekerja di RRI Yogyakarta. Menjadi Dosen Luar Biasa di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UNY sejak 1992, Dosen Tamu di MMTC (1998-sekarang), Dosen Tamu Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2002-sekarang), Akademi Komunikasi Yogyakarta (2000-sekarang), UPN “Veteran” (2002-2004), PPKP (2000-2002). Menjadi Peneliti di Institut Pengembangan Demokrasi dan HAM Sejas tahun 2000. Pengurus Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta, Sekretaris Yayasan (Pendidikan) Bina Muda Panggang, Gunungkidul, Trainer di bidang media dan teknik pembelajaran. Konsultan LGSP-USAID untuk penyusunan buku Radio Komuitas dan Good Governance, konsultan WVI untuk kegiatan di Halmahera Utara, Ternate, NTT, dan Kalimantan Barat; konsultan KfW Jerman untuk riset RRI Programa 1 di Batam, Subang, Singkawang, Nunukan, dan Jayapura. Buku yang pernah ditulisnya antara lain Teknik Penulisan Naskah Acara Siaran Radio (Penerbit UAJY, 1998), Tradisi Sastra Jawa Radio (Penerbit Kalika dan Ford Foundation, 2001), Pengelolaan Radio Komunitas (CRI-ARNET, 2006). Alamat kontak: [email protected].