Climate Change Projection based on Regional

advertisement
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim menjadi kajian penting
dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan
iklim dipicu oleh pemanasan global yang
menyebabkan
suhu
udara
naik.
Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC ; 2007) melaporkan bahwa selama 100
tahun terakhir (periode tahun 1906-2005)
telah terjadi kenaikan suhu rata-rata global
sebesar 0,740 C. Kenaikan suhu global akan
mengakibatkan kenaikan penguapan air,
penguapan
yang
meningkat
akan
menyebabkan meningkatnya kelembaban
yang membentuk hujan.
Hasil kajian perubahan iklim di Indonesia
menunjukan bahwa dalam periode tahun
1931-1990 telah terjadi penurunan curah
hujan (Kaimuddin 2000). Selain itu, hasil
studi Boer et al. (2007) dalam Ministry of
Environment (2007) di 33 stasiun meteorologi
di Indonesia mengindikasikan adanya
kenaikan suhu udara dalam periode tahun
1980-2002.
Susandi
et
al.
(2008)
menambahkan ada beberapa dampak yang
dapat ditimbulkan akibat perubahan iklim
diantaranya adalah pergeseran musim dan
perubahan pola hujan, peningkatan suhu udara
yang mengakibatkan kebakaran hutan,
menurunkan produktivitas pertanian, dan
meningkatnya frekuensi kejadian ekstrim.
Kajian perubahan iklim dapat dilakukan
dengan menggunakan model iklim global
(Global Climate Model/GCM). Model iklim
dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk
memahami iklim melalui simulasi dan
membuat proyeksi perubahan iklim masa
mendatang berdasarkan skenario perubahan
emisi. Namun, resolusi spasial GCM yang
rendah tidak dapat memberikan informasi
yang detail untuk kajian perubahan iklim
skala lokal/regional. Oleh karena itu,
diperlukan model iklim yang memiliki
kemampuan resolusi spasial yang lebih detail
untuk mensimulasi iklim lokal/regional.
Salah satu model yang berkembang saat
ini adalah model iklim regional (regional
climate model/RCM). RCM
merupakan
model dinamik yang dapat digunakan dalam
skala lokal dengan resolusi tinggi. Teknik
yang digunakan untuk mendapatkan informasi
iklim dalam skala lokal dengan resolusi tinggi
disebut dengan teknik downscaling. Teknik
tersebut dilakukan dengan mensimulasikan
iklim dalam suatu area yang terbatas dengan
memanfaatkan data model iklim global
(global climate model/GCM) atau reanalysis.
Dalam penelitian ini, model iklim
regional yang digunakan adalah Regional
Climate Model Version 3 (RegCM3). RegCM3
dapat menghasilkan keluaran berupa suhu
udara dan curah hujan masa mendatang.
Wilayah kajian adalah Kabupaten Indramayu
dan Kabupaten Pacitan. Kedua wilayah
tersebut merupakan salah satu sentra produksi
padi
di Pulau Jawa. Namun demikian,
Kabupaten Indramayu dan Pacitan rentan
terhadap anomali dan perubahan iklim.
Dengan adanya informasi proyeksi perubahan
iklim, diharapkan dapat menjadi landasan
saintifik dalam pemilihan langkah adaptasi
sehingga dampak yang mungkin ditimbulkan
dapat diminimalkan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mempelajari penggunaan RCM
untuk kajian perubahan iklim
2. Menganalisis proyeksi perubahan
iklim di Kabupaten Indramayu dan
Kabupaten Pacitan.
3. Menganalisis kejadian hujan ekstrim
(extreme rainfall) akibat perubahan
iklim.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian
2.1.1
Kabupaten Indramayu
Indramayu merupakan salah satu
kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang
terletak pada 107052’ – 108036’ BT dan 6015’
– 6040’ LS. Bagian utara Kabupaten
Indramayu berbatasan langsung dengan Laut
Jawa, di bagian selatan berbatasan dengan
Kabupaten
Cirebon,
Sumedang,
dan
Majalengka, di bagian barat berbatasan
dengan Kabupaten Subang, serta pada bagian
timur berbatasan dengan Cirebon dan Laut
Jawa. Luas Kabupaten Indramayu sekitar
204.011 Ha yang terbagi menjadi 118.513 Ha
sawah, 32.299 Ha hutan, 3.505 Ha hutan
industri, 19.472 Ha pemukiman, 6.058 Ha
perkebunan, 16.231 Ha tambak/rawa/kolam
dan 5.916 Ha lain-lain.
Topografi Kabupaten Indramayu secara
umum adalah dataran rendah pada ketinggian
0-3 mdpl dengan kemiringan tanah antara 02%. Keadaan ini berpengaruh terhadap
drainase, bila curah hujan cukup tinggi, maka
di daerah-daerah tertentu akan terjadi
genangan air. Kabupaten Indramayu terletak
di pesisir utara Pulau Jawa (Pantura) dan
2
memiliki 10 kecamatan dengan 35 desa yang
berbatasan langsung dengan laut dengan
panjang garis pantai 114,1 Km.
Menurut klasifikasi iklim SchmidtFerguson Kabupaten Indramayu termasuk
kedalam tipe D (iklim sedang). Suhu udara
harian berkisar 26-270C dengan suhu tertinggi
300C dan terendah 180C. Kelembaban udara
70-80% dengan curah hujan rata-rata tahunan
sebesar 1428 mm, dengan jumlah hari hujan
75 hari. Kecamatan yang mengalami curah
hujan cukup tinggi antara lain: Kecamatan
Anjatan, Cikedung, dan Heurgeulis, dengan
curah hujan berturut-turut adalah 2167 mm/th,
1869 mm/th, dan 1865 mm/th. Ketiga
kecamatan tersebut berada di indramayu
bagian barat (Jabarprov.go.id 2011).
Gambar 1 Peta wilayah Kabupaten Indramayu.
2.1.2
Kabupaten Pacitan
Kabupaten Pacitan terletak di ujung barat
daya Propinsi Jawa Timur. Wilayahnya
berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo di
bagian utara, Kabupaten Trenggalek di bagian
timur, Samudra Hindia di bagian selatan, serta
Kabupaten Wonogiri di bagian barat.
Sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan
yaitu kurang lebih 85 %, gunung-gunung kecil
kurang lebih 300 buah menyebar diseluruh
wilayah Kabupaten Pacitan dan jurang terjal
yang termasuk dalam deretan Pegunungan
Seribu yang membujur sepanjang selatan
Pulau Jawa, sedang selebihnya merupakan
dataran rendah.
Secara geografis, Kabupaten Pacitan
terletak pada 110055’-111025’ BT dan 7055’8017’ LS dengan luas wilayah 1.389,87 Km2.
Pacitan terdiri dari 12 Kecamatan, 5 kelurahan
dan 159 desa dengan total jumlah penduduk
pada Sensus Penduduk 2010 sebanyak
540.516 jiwa (Wikipedia.org 2011).
Gambar 2 Peta wilayah Kabupaten Pacitan.
2.2 Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah perubahan unsurunsur iklim dalam jangka panjang (50 tahun100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan
manusia yang menghasilkan emisi gas rumah
kaca (GRK ; Murdiyarso 2003). Kementrian
Lingkungan Hidup (2004) menyatakan bahwa
unsur-unsur
klimatologi
utama
yang
mengalami perubahan adalah suhu udara dan
curah hujan. IPCC (2007) menyatakan bahwa
perubahan iklim terutama disebabkan oleh
tingginya konsentrasi GRK di atmosfer.
Peningkatan GRK tersebut akibat dari aktifitas
manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil
(batubara dan minyak bumi) dan perubahan
penggunaan lahan. Dalam konvensi PBB
mengenai perubahan iklim (United Nations
Framework
Convention
on
Climate
Change/UNFCCC), digolongkan 6 jenis GRK
yaitu karbondioksida (CO2), dinitroksida
(N2O), metana (CH4), sulfurheksaflourida
(SF6),
perfluorokarbon
(PFCs)
dan
hidrofluorokarbon (HFCs). Lebih dari 75%
komposisi GRK di atmosfer adalah CO2
(karbondioksida).
Radiasi matahari memiliki kemampuan
untuk menembus atmosfer bumi. Radiasi
matahari yang masuk tersebut sebagian akan
direfleksikan keluar atmosfer, sebagian lagi
akan diabsorpsi oleh benda-benda yang berada
di permukaan bumi. Radiasi yang diabsorpsi
oleh benda-benda tersebut akan diradiasikan
kembali dalam bentuk radiasi gelombang
panjang. Sebagian besar gelombang panjang
ini tidak dapat melewati atmosfer bumi
melainkan akan diabsorpsi oleh atmosfer.
Proses tersebut menyebabkan akumulasi
energi (bahang) yang akan meningkatkan suhu
permukaan bumi. Peningkatan suhu tersebut
akan memicu terjadinya perubahan unsur
iklim lainnya yang kemudian menyebabkan
perubahan iklim (Dasanto dan Impron 2008).
3
Gambar 3 Skema representasi fenomena efek rumah kaca (sumber:
http://maps.grida.no/go/graphic/greenhouse-effect).
Beberapa dampak dari perubahan iklim
adalah (Susandi et al. 2008):
1. Meningkatnya jenis penyakit
2. Meningkatnya frekuensi bancana
alam/cuaca ekstrim (tanah longsor,
banjir, kekeringan, dan badai tropis)
3. Pergeseran musim dan pola curah
hujan
4. Meningkatnya suhu udara yang
mengakibatkan kebakaran hutan
5. Kenaikan muka air laut dan
berkurangnya garis pantai
6. Menurunkan produktivitas pertanian
Peningkatan suhu udara terbesar
terjadi pada daerah lintang tinggi. Hal tersebut
membawa
dampak
pada
perubahan
lingkungan global terkait dengan pencairan es
di kutub, keanekaragaman hayati, dan
penyebaran vegetasi. Sementara itu, pada
daerah lintang rendah pengaruh perubahan
iklim lebih terlihat pada sektor pertanian dan
penyebaran penyakit. Peningkatan suhu yang
terjadi cenderung akan mengubah pola dan
distribusi curah hujan. Kecenderungannya
adalah bahwa daerah kering akan menjadi
semakin kering dan daerah basah akan
semakin
basah
sehingga
kelestarian
sumberdaya air akan terganggu (Murdiyarso
2003).
2.3 Perubahan Iklim Indonesia
Menurut hasil penelitian menyatakan
bahwa iklim di Indonesia telah berubah.
Selama abad 20, suhu rata-rata tahunan
meningkat sekitar 0,30C sejak tahun 1900
dengan suhu tahun 1990-an merupakan
dekade terhangat dalam abad ini. Sementara
itu terjadi perubahan cuaca dan musim yang
ditandai oleh peningkatan curah hujan di satu
wilayah sedangkan wilayah lain terjadi
penurunan curah hujan sebesar 2-3% dengan
pengurangan tertinggi terjadi selama periode
bulan Desember-Februari yang merupakan
musim terbasah dalam setahun (Hulme dan
Sheard 1999). Beberapa kajian untuk wilayah
Indonesia juga dilakukan berdasarkan data
observasi dengan adanya peningkatan suhu
udara dan perubahan curah hujan yang
cenderung menurun (Boer et al. 2007 dalam
Ministry of Environment 2007; Kaimuddin
2000).
Perubahan iklim di masa mendatang
dapat diproyeksikan dengan menggunakan
model iklim berdasarkan skenario perubahan
emisi tertentu. Hasil proyeksi perubahan iklim
di
Indonesia
berdasarkan
model
mengindikasikan adanya peningkatan suhu
udara, penurunan curah hujan di sebagian
wilayah sedangkan di wilayah lain mengalami
peningkatan (Alfyanti 2011; Kusaeri 2010;
Sarah dan Tohari 2009; Susandi et al. 2008;
Susandi 2006).
2.4 Skenario Perubahan Iklim
Skenario dapat diartikan sebagai proyeksi
kejadian masa depan berdasarkan logika yang
jelas dan alur cerita yang terukur. Dalam
menghadapi kondisi perubahan iklim, IPCC
menerbitkan satu set skenario untuk
digunakan dalam laporan yang ketiga (Third
Assessment Report/TAR) yang disebut
sebagai Special Report on Emission Scenarios
(SRES). Skenario SRES dibangun untuk
melihat perkembangan masa depan secara
4
konsisten di lingkungan global terhadap
produksi emisi GRK dan polutan lain di masa
yang akan datang (IPCC 2000).
Secara sederhana, ada empat storyline
emisi GRK utama yang disusun oleh IPCC.
Empat storyline tersebut menggabungkan dua
set kecenderungan yang berbeda yaitu antara
nilai-nilai ekonomi dan nilai-nilai lingkungan
yang dilihat secara global maupun regional.
Kondisi tersebut dijelaskan dalam Tabel 1
(IPCC 2000 dalam Kurniawan et al. 2009 ).
Tabel 1 Skenario SRES berdasarkan storyline (IPCC 2000 dalam Kurniawan et al. 2009)
Lebih difokuskan pada
Lebih difokuskan pada
sektor ekonomi
sektor lingkungan
A1
B1
Pertumbuhan ekonomi yang Penanganan
lingkungan
cepat.
global yang berkelanjutan.
Globalisasi (dunia yang
(Grup : A1T/A1B/A1F1)
Perkiraan kenaikan suhu
homogen)
Perkiraan kenaikan suhu udara udara tahun 2100 antara 1,1tahun 2100 antara 1,4-6,40C
2,90C
A2
B2
Pembangunan ekonomi yang Penanganan lingkungan lokal
berorientasi regional.
yang berkelanjutan.
Regionalisasi (dunia yang
Perkiraan kenaikan suhu udara Perkiraan kenaikan suhu
heterogen)
tahun 2100 antara 2,0-5,40C
udara tahun 2100 antara 1,43,80C
1.
Skenario emisi grup A1 (SRESA1)
SRESA1 menggambarkan bahwa
pada masa mendatang pertumbuhan
ekonomi terjadi sangat cepat, populasi
global meningkat pada pertengahan abad
21 dan akan menurun setelahnya, dan
cepatnya pengenalan teknologi baru yang
lebih efisien. SRESA1 dibagi menjadi
tiga famili yang mengkarakteristikkan
pengembangan
alternatif
teknologi.
Pertama adalah A1F1 yang menggunakan
bahan bakar fosil secara intensif. Kedua
adalah A1B yang menggunakan energi
yang seimbang antara bahan bakar fosil
dan non-fosil. Terakhir adalah A1T yang
menggunakan bahan bakar non-fosil
secara intensif.
2. Skenario emisi grup A2 (SRESA2)
Asumsi yang digunakan dalam
SRESA2 adalah bahwa pada masa
mendatang kondisi wilayah sangat
beragam, kerjasama antar wilayah sangat
lemah dan cenderung lebih bersifat
individu. Pembangunan ekonomi sangat
berorientasi wilayah sehingga akan terjadi
fragmentasi
antar
wilayah
baik
pertumbuhan,
pendapatan
perkapita
maupun perubahan teknologi.
3. Skenario emisi grup B1 (SRESB1)
Skenario grup B1 menggunakan
asumsi yang sama seperti pada grup A1.
Akan tetapi pada skenario ini ditambah
dengan asumsi bahwa terjadi perubahan
struktur ekonomi yang cepat melalui
peningkatan pelayanan dan informasi
ekonomi,
menurunnya
intensitas
penggunaan
bahan
bakar,
serta
diperkenalkannya teknologi yang bersih
dan penggunaan sumberdaya yang lebih
efisien. Penekanan pada skenario ini
terletak pada penyelesaian masalah global
berkaitan dengan ekonomi, sosial dan
lingkungan, termasuk peningkatan tingkat
kesamaan akan tetapi tanpa ada inisiatif
khusus berkaitan dengan perubahan iklim.
4. Skenario emisi grup B2 (SRESB2)
Skenario ini menekankan pada upaya
penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan
lingkungan secara lokal. Populasi global
terus meningkat tetapi dengan laju sedikit
lebih rendah dari skenario emisi grup A2,
pembangunan ekonomi pada tingkat
sedang, perubahan teknologi sedikit lebih
lambat dari B1 dan A1. Skenario ini juga
berorientasi
pada
perlindungan
lingkungan dan kesamaan sosial yang
difokuskan pada tingkat lokal dan
regional.
Skenario SRES masih digunakan untuk
Fourth Assessment Report (AR4) yang
dikeluarkan tahun 2007. Dalam Fourth
Assessment Report dinyatakan bahwa emisi
gas rumah kaca secara global masih akan
bertambah dalam beberapa dekade kedepan
(Gambar 4) (IPCC 2000).
5
Gambar 4 Skenario emisi GRK (CO2) tahun 1990-2100 (sumber: IPCC 2000).
2.5 Model Perubahan Iklim
2.5.1
Global Climate Model (GCM)
Global Climate Model (GCM) merupakan
model dinamik berdasarkan pemahaman yang
mendalam mengenai sistem iklim saat ini
untuk mensimulasikan proses-proses fisik
atmosfer dan lautan, yang dapat menduga
iklim global. GCM dapat digunakan untuk
menduga iklim saat ini dan juga menduga
kepekaan iklim terhadap kondisi yang berbeda
seperti
perubahan
komposisi
GRK
(Kaimuddin 2000). GCM memodelkan
perubahan iklim dengan menggunakan
skenario. Model skenario yang paling umum
digunakan adalah skenario perubahan emisi
CO2 di atmosfer.
Model GCM banyak dikembangkan di
beberapa negara dengan tujuan dan aplikasi
masing-masing. Contoh model GCM antara
lain adalah model GCM CSIRO Mk3.0 yang
dikembangkan oleh CSIRO Atmospheric
Research (Australia) (Gordan et al. 2002
dalam Kusaeri 2010), Model GCM GFDL
yang dikembangkan oleh Geophysical Fluid
Dynamics Laboratory (USA) (Wittenberg et
al. 2004 dalam Kusaeri 2010), dan model
GCM CGCM3 yang dikembangkan oleh
Canadian Centre for Climate Modeling &
Analysis (Canada) (CCCma 2010 dalam
Kusaeri, 2010).
Model GCM mampu mensimulasikan
kondisi iklim dengan resolusi rendah,
sehingga
tidak
mampu
menghasilkan
informasi penting dengan resolusi yang lebih
tinggi, misalnya suhu udara dan curah hujan
dalam skala lokal. Dengan resolusi yang
rendah, hasil yang diperoleh dari model GCM
memberikan ketidakcocokan skala spasial
antara prediksi iklim yang tersedia dan skala
yang dibutuhkan oleh pengguna prediksi iklim
(Kusaeri 2010). Di lain sisi, model GCM
dapat digunakan untuk mengetahui informasi
yang berguna terutama mengenai prosesproses yang terjadi di atmosfer. Model GCM
memberikan pemahaman kepada kita tentang
keterlibatan manusia dalam perubahan iklim,
dan kemampuan untuk melakukan adaptasi
dengan berbagai skenario perubahan iklim
(Mearns 2003).
2.5.2
Regional Climate Model (RCM)
Regional
Climate
Model
(RCM)
merupakan model perubahan iklim yang
memberikan
resolusi
lebih
tinggi
dibandingkan dengan Global Climate Model
(GCM) atau reanalysis (Park et al. 2008). Hal
ini karena RCM memiliki ukuran sel grid
yang lebih kecil sehingga menghasilkan
keluaran yang lebih baik dalam skala lokal.
RCM telah banyak digunakan dalam studi
berbasis analisis iklim dengan skala lokal. Di
beberapa belahan dunia seperti Eropa,
Amerika, dan Afrika studi analisis iklim
menggunakan RCM dirasa memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan
menggunakan model GCM. Selain itu, RCM
memberikan hasil yang konsisten di setiap
simulasi yang dilakukan (Park et al. 2008).
Ada beberapa tipe dari RCM yang
dikembangkan, salah satunya adalah Regional
Climate Model version 3 (RegCM3). RegCM3
merupakan suatu model yang dikembangkan
oleh ICTP (International Centre for
Theoretical Physics), Trieste, Italy. Model ini
dapat digunakan untuk mensimulasikan
parameter iklim seperti curah hujan, suhu,
tekanan udara, kelembaban, medan angin,
radiasi, kelembaban tanah, aliran permukaan
(runoff), fraksi awan dan lain-lain. Model
RegCM3 memiliki beberapa parameter fisik
6
dan dinamik yang dapat dipilih untuk
memperoleh hasil yang terbaik. Dinamika
RegCM3 berdasarkan kondisi batas lateral.
Kondisi fisik RegCM3 meliputi skema radiasi,
model permukaan tanah, dan skema konvektif
untuk hujan.
2.6 Hujan Ekstrim (extreme rainfall)
Hujan merupakan salah satu bentuk
presipitasi. Hujan merupakan unsur iklim
yang memiliki keragaman cukup tinggi baik
menurut ruang maupun waktu. Dengan
keragaman yang cukup tinggi, seringkali
terjadi penyimpangan terhadap kondisi hujan
di suatu wilayah seperti terjadinya hujan
ekstrim. Hujan ekstrim biasanya dilihat dari
beberapa indikator yang dapat dihitung
berdasarkan metode statistik. Indikator
tersebut adalah kedalaman hujan dan
intensitas hujan maksimum (Nielsen et al.
1994). BMKG (2010) menyatakan bahwa
hujan ektrim adalah kejadian hujan yang
sangat lebat secara terus menerus dengan
intensitas lebih dari 50mm/24 jam.
Hujan ekstrim biasanya berimplikasi pada
kejadian banjir di suatu wilayah. Beberapa
kejadian banjir di Kabupaten Indramayu dan
Pacitan dinyatakan sebagai akibat dari hujan
lebat yang terjadi secara terus menerus selama
beberapa hari (detiknews.com 2011). Selain
menyebabkan kerugian material, kejadian
banjir juga dapat menyebabkan korban jiwa.
Namun demikian, dalam penelitian ini tidak
dianalisis kejadian hujan ekstrim yang
menyebabkan banjir disuatu wilayah. Namun,
hanya pada seberapa besar kejadian hujan
ekstrim yang terjadi.
Pengairan Kabupaten Indramayu melalui
CCROM-SEAP, sedangkan data curah
hujan Kabupaten Pacitan diperoleh dari
Dinas Pekerjaan Umum Pengairan
Kabupaten Pacitan melalui CCROMSEAP.
2. Data suhu udara rata-rata bulanan
Kabupaten Indramayu dan Kabupaten
Pacitan yang diperoleh dari Climate
Research Unit (CRU) yang merupakan
data interpolasi dengan resolusi spasial
0.5 degree. Data yang digunakan adalah
CRU TS 2.02 dan dapat diunduh dari
situs sebagai berikut:
http://users.ictp.it/~pubregcm/RegCM3/gl
obedat.htm
3. Simulasi model RegCM3 menggunakan
data initial and boundary condition
(ICBC) dari model GCM EH5OM dengan
resolusi temporal yang digunakan 3 jaman untuk periode baseline (tahun 19801999) dan proyeksi (tahun 2021-2080)
berdasarkan skenario SRES A1B.
Peralatan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan sistem operasi Linux Fedora 12 untuk
aplikasi model RegCM3 dan Ferret dan sistem
operasi Windows untuk aplikasi Ms. Office
Word dan Excel 2007, Arc View GIS 3.3,
Surfer 9, dan Minitab 15.
3.3 Tahapan Penelitian
Analisis perubahan iklim pada penelitian
ini menggunakan hasil luaran model RegCM3
berupa baseline dan proyeksi. Dari data
tersebut kemudian dihitung persentase
perubahan yang selanjutnya akan digunakan
untuk memprediksi kondisi iklim di masa
yang akan datang.
III. DATA DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Februari sampai dengan Juni 2011 di
Laboratorium
Klimatologi
Departemen
Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian
Bogor dan Centre for Climate Risk
Management in Southeast Asia and Pacific
(CCROM-SEAP) Baranang Siang.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan atau data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data curah hujan bulanan Kabupaten
Indramayu (tahun 1980-2009) dan
Kabupaten Pacitan (tahun 1985-2009).
Data curah hujan Kabupaten Indramayu
diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum
3.3.1
Pembuatan Curah Hujan Wilayah
Dalam penelitian ini, curah hujan wilayah
ditentukan berdasarkan metode isohyet.
Pembuatan isohyet dilakukan menggunakan
metode interpolasi dengan bantuan perangkat
lunak Arcview. Secara teori penentuan curah
hujan wilayah dilakukan dengan cara
mengalikan antara curah hujan dengan luasan
masing-masing wilayah yang kemudian dibagi
dengan luasan total dari seluruh wilayah.
Secara matematis dapat diformulasikan
sebagai berikut:
Download