1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim menjadi kajian penting dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan iklim dipicu oleh pemanasan global yang menyebabkan suhu udara naik. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC ; 2007) melaporkan bahwa selama 100 tahun terakhir (periode tahun 1906-2005) telah terjadi kenaikan suhu rata-rata global sebesar 0,740 C. Kenaikan suhu global akan mengakibatkan kenaikan penguapan air, penguapan yang meningkat akan menyebabkan meningkatnya kelembaban yang membentuk hujan. Hasil kajian perubahan iklim di Indonesia menunjukan bahwa dalam periode tahun 1931-1990 telah terjadi penurunan curah hujan (Kaimuddin 2000). Selain itu, hasil studi Boer et al. (2007) dalam Ministry of Environment (2007) di 33 stasiun meteorologi di Indonesia mengindikasikan adanya kenaikan suhu udara dalam periode tahun 1980-2002. Susandi et al. (2008) menambahkan ada beberapa dampak yang dapat ditimbulkan akibat perubahan iklim diantaranya adalah pergeseran musim dan perubahan pola hujan, peningkatan suhu udara yang mengakibatkan kebakaran hutan, menurunkan produktivitas pertanian, dan meningkatnya frekuensi kejadian ekstrim. Kajian perubahan iklim dapat dilakukan dengan menggunakan model iklim global (Global Climate Model/GCM). Model iklim dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk memahami iklim melalui simulasi dan membuat proyeksi perubahan iklim masa mendatang berdasarkan skenario perubahan emisi. Namun, resolusi spasial GCM yang rendah tidak dapat memberikan informasi yang detail untuk kajian perubahan iklim skala lokal/regional. Oleh karena itu, diperlukan model iklim yang memiliki kemampuan resolusi spasial yang lebih detail untuk mensimulasi iklim lokal/regional. Salah satu model yang berkembang saat ini adalah model iklim regional (regional climate model/RCM). RCM merupakan model dinamik yang dapat digunakan dalam skala lokal dengan resolusi tinggi. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan informasi iklim dalam skala lokal dengan resolusi tinggi disebut dengan teknik downscaling. Teknik tersebut dilakukan dengan mensimulasikan iklim dalam suatu area yang terbatas dengan memanfaatkan data model iklim global (global climate model/GCM) atau reanalysis. Dalam penelitian ini, model iklim regional yang digunakan adalah Regional Climate Model Version 3 (RegCM3). RegCM3 dapat menghasilkan keluaran berupa suhu udara dan curah hujan masa mendatang. Wilayah kajian adalah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Pacitan. Kedua wilayah tersebut merupakan salah satu sentra produksi padi di Pulau Jawa. Namun demikian, Kabupaten Indramayu dan Pacitan rentan terhadap anomali dan perubahan iklim. Dengan adanya informasi proyeksi perubahan iklim, diharapkan dapat menjadi landasan saintifik dalam pemilihan langkah adaptasi sehingga dampak yang mungkin ditimbulkan dapat diminimalkan. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari penggunaan RCM untuk kajian perubahan iklim 2. Menganalisis proyeksi perubahan iklim di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Pacitan. 3. Menganalisis kejadian hujan ekstrim (extreme rainfall) akibat perubahan iklim. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian 2.1.1 Kabupaten Indramayu Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang terletak pada 107052’ – 108036’ BT dan 6015’ – 6040’ LS. Bagian utara Kabupaten Indramayu berbatasan langsung dengan Laut Jawa, di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Cirebon, Sumedang, dan Majalengka, di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Subang, serta pada bagian timur berbatasan dengan Cirebon dan Laut Jawa. Luas Kabupaten Indramayu sekitar 204.011 Ha yang terbagi menjadi 118.513 Ha sawah, 32.299 Ha hutan, 3.505 Ha hutan industri, 19.472 Ha pemukiman, 6.058 Ha perkebunan, 16.231 Ha tambak/rawa/kolam dan 5.916 Ha lain-lain. Topografi Kabupaten Indramayu secara umum adalah dataran rendah pada ketinggian 0-3 mdpl dengan kemiringan tanah antara 02%. Keadaan ini berpengaruh terhadap drainase, bila curah hujan cukup tinggi, maka di daerah-daerah tertentu akan terjadi genangan air. Kabupaten Indramayu terletak di pesisir utara Pulau Jawa (Pantura) dan 2 memiliki 10 kecamatan dengan 35 desa yang berbatasan langsung dengan laut dengan panjang garis pantai 114,1 Km. Menurut klasifikasi iklim SchmidtFerguson Kabupaten Indramayu termasuk kedalam tipe D (iklim sedang). Suhu udara harian berkisar 26-270C dengan suhu tertinggi 300C dan terendah 180C. Kelembaban udara 70-80% dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1428 mm, dengan jumlah hari hujan 75 hari. Kecamatan yang mengalami curah hujan cukup tinggi antara lain: Kecamatan Anjatan, Cikedung, dan Heurgeulis, dengan curah hujan berturut-turut adalah 2167 mm/th, 1869 mm/th, dan 1865 mm/th. Ketiga kecamatan tersebut berada di indramayu bagian barat (Jabarprov.go.id 2011). Gambar 1 Peta wilayah Kabupaten Indramayu. 2.1.2 Kabupaten Pacitan Kabupaten Pacitan terletak di ujung barat daya Propinsi Jawa Timur. Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo di bagian utara, Kabupaten Trenggalek di bagian timur, Samudra Hindia di bagian selatan, serta Kabupaten Wonogiri di bagian barat. Sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan yaitu kurang lebih 85 %, gunung-gunung kecil kurang lebih 300 buah menyebar diseluruh wilayah Kabupaten Pacitan dan jurang terjal yang termasuk dalam deretan Pegunungan Seribu yang membujur sepanjang selatan Pulau Jawa, sedang selebihnya merupakan dataran rendah. Secara geografis, Kabupaten Pacitan terletak pada 110055’-111025’ BT dan 7055’8017’ LS dengan luas wilayah 1.389,87 Km2. Pacitan terdiri dari 12 Kecamatan, 5 kelurahan dan 159 desa dengan total jumlah penduduk pada Sensus Penduduk 2010 sebanyak 540.516 jiwa (Wikipedia.org 2011). Gambar 2 Peta wilayah Kabupaten Pacitan. 2.2 Perubahan Iklim Perubahan iklim adalah perubahan unsurunsur iklim dalam jangka panjang (50 tahun100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK ; Murdiyarso 2003). Kementrian Lingkungan Hidup (2004) menyatakan bahwa unsur-unsur klimatologi utama yang mengalami perubahan adalah suhu udara dan curah hujan. IPCC (2007) menyatakan bahwa perubahan iklim terutama disebabkan oleh tingginya konsentrasi GRK di atmosfer. Peningkatan GRK tersebut akibat dari aktifitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil (batubara dan minyak bumi) dan perubahan penggunaan lahan. Dalam konvensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), digolongkan 6 jenis GRK yaitu karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflourida (SF6), perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs). Lebih dari 75% komposisi GRK di atmosfer adalah CO2 (karbondioksida). Radiasi matahari memiliki kemampuan untuk menembus atmosfer bumi. Radiasi matahari yang masuk tersebut sebagian akan direfleksikan keluar atmosfer, sebagian lagi akan diabsorpsi oleh benda-benda yang berada di permukaan bumi. Radiasi yang diabsorpsi oleh benda-benda tersebut akan diradiasikan kembali dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Sebagian besar gelombang panjang ini tidak dapat melewati atmosfer bumi melainkan akan diabsorpsi oleh atmosfer. Proses tersebut menyebabkan akumulasi energi (bahang) yang akan meningkatkan suhu permukaan bumi. Peningkatan suhu tersebut akan memicu terjadinya perubahan unsur iklim lainnya yang kemudian menyebabkan perubahan iklim (Dasanto dan Impron 2008). 3 Gambar 3 Skema representasi fenomena efek rumah kaca (sumber: http://maps.grida.no/go/graphic/greenhouse-effect). Beberapa dampak dari perubahan iklim adalah (Susandi et al. 2008): 1. Meningkatnya jenis penyakit 2. Meningkatnya frekuensi bancana alam/cuaca ekstrim (tanah longsor, banjir, kekeringan, dan badai tropis) 3. Pergeseran musim dan pola curah hujan 4. Meningkatnya suhu udara yang mengakibatkan kebakaran hutan 5. Kenaikan muka air laut dan berkurangnya garis pantai 6. Menurunkan produktivitas pertanian Peningkatan suhu udara terbesar terjadi pada daerah lintang tinggi. Hal tersebut membawa dampak pada perubahan lingkungan global terkait dengan pencairan es di kutub, keanekaragaman hayati, dan penyebaran vegetasi. Sementara itu, pada daerah lintang rendah pengaruh perubahan iklim lebih terlihat pada sektor pertanian dan penyebaran penyakit. Peningkatan suhu yang terjadi cenderung akan mengubah pola dan distribusi curah hujan. Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi semakin kering dan daerah basah akan semakin basah sehingga kelestarian sumberdaya air akan terganggu (Murdiyarso 2003). 2.3 Perubahan Iklim Indonesia Menurut hasil penelitian menyatakan bahwa iklim di Indonesia telah berubah. Selama abad 20, suhu rata-rata tahunan meningkat sekitar 0,30C sejak tahun 1900 dengan suhu tahun 1990-an merupakan dekade terhangat dalam abad ini. Sementara itu terjadi perubahan cuaca dan musim yang ditandai oleh peningkatan curah hujan di satu wilayah sedangkan wilayah lain terjadi penurunan curah hujan sebesar 2-3% dengan pengurangan tertinggi terjadi selama periode bulan Desember-Februari yang merupakan musim terbasah dalam setahun (Hulme dan Sheard 1999). Beberapa kajian untuk wilayah Indonesia juga dilakukan berdasarkan data observasi dengan adanya peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan yang cenderung menurun (Boer et al. 2007 dalam Ministry of Environment 2007; Kaimuddin 2000). Perubahan iklim di masa mendatang dapat diproyeksikan dengan menggunakan model iklim berdasarkan skenario perubahan emisi tertentu. Hasil proyeksi perubahan iklim di Indonesia berdasarkan model mengindikasikan adanya peningkatan suhu udara, penurunan curah hujan di sebagian wilayah sedangkan di wilayah lain mengalami peningkatan (Alfyanti 2011; Kusaeri 2010; Sarah dan Tohari 2009; Susandi et al. 2008; Susandi 2006). 2.4 Skenario Perubahan Iklim Skenario dapat diartikan sebagai proyeksi kejadian masa depan berdasarkan logika yang jelas dan alur cerita yang terukur. Dalam menghadapi kondisi perubahan iklim, IPCC menerbitkan satu set skenario untuk digunakan dalam laporan yang ketiga (Third Assessment Report/TAR) yang disebut sebagai Special Report on Emission Scenarios (SRES). Skenario SRES dibangun untuk melihat perkembangan masa depan secara 4 konsisten di lingkungan global terhadap produksi emisi GRK dan polutan lain di masa yang akan datang (IPCC 2000). Secara sederhana, ada empat storyline emisi GRK utama yang disusun oleh IPCC. Empat storyline tersebut menggabungkan dua set kecenderungan yang berbeda yaitu antara nilai-nilai ekonomi dan nilai-nilai lingkungan yang dilihat secara global maupun regional. Kondisi tersebut dijelaskan dalam Tabel 1 (IPCC 2000 dalam Kurniawan et al. 2009 ). Tabel 1 Skenario SRES berdasarkan storyline (IPCC 2000 dalam Kurniawan et al. 2009) Lebih difokuskan pada Lebih difokuskan pada sektor ekonomi sektor lingkungan A1 B1 Pertumbuhan ekonomi yang Penanganan lingkungan cepat. global yang berkelanjutan. Globalisasi (dunia yang (Grup : A1T/A1B/A1F1) Perkiraan kenaikan suhu homogen) Perkiraan kenaikan suhu udara udara tahun 2100 antara 1,1tahun 2100 antara 1,4-6,40C 2,90C A2 B2 Pembangunan ekonomi yang Penanganan lingkungan lokal berorientasi regional. yang berkelanjutan. Regionalisasi (dunia yang Perkiraan kenaikan suhu udara Perkiraan kenaikan suhu heterogen) tahun 2100 antara 2,0-5,40C udara tahun 2100 antara 1,43,80C 1. Skenario emisi grup A1 (SRESA1) SRESA1 menggambarkan bahwa pada masa mendatang pertumbuhan ekonomi terjadi sangat cepat, populasi global meningkat pada pertengahan abad 21 dan akan menurun setelahnya, dan cepatnya pengenalan teknologi baru yang lebih efisien. SRESA1 dibagi menjadi tiga famili yang mengkarakteristikkan pengembangan alternatif teknologi. Pertama adalah A1F1 yang menggunakan bahan bakar fosil secara intensif. Kedua adalah A1B yang menggunakan energi yang seimbang antara bahan bakar fosil dan non-fosil. Terakhir adalah A1T yang menggunakan bahan bakar non-fosil secara intensif. 2. Skenario emisi grup A2 (SRESA2) Asumsi yang digunakan dalam SRESA2 adalah bahwa pada masa mendatang kondisi wilayah sangat beragam, kerjasama antar wilayah sangat lemah dan cenderung lebih bersifat individu. Pembangunan ekonomi sangat berorientasi wilayah sehingga akan terjadi fragmentasi antar wilayah baik pertumbuhan, pendapatan perkapita maupun perubahan teknologi. 3. Skenario emisi grup B1 (SRESB1) Skenario grup B1 menggunakan asumsi yang sama seperti pada grup A1. Akan tetapi pada skenario ini ditambah dengan asumsi bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi yang cepat melalui peningkatan pelayanan dan informasi ekonomi, menurunnya intensitas penggunaan bahan bakar, serta diperkenalkannya teknologi yang bersih dan penggunaan sumberdaya yang lebih efisien. Penekanan pada skenario ini terletak pada penyelesaian masalah global berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan, termasuk peningkatan tingkat kesamaan akan tetapi tanpa ada inisiatif khusus berkaitan dengan perubahan iklim. 4. Skenario emisi grup B2 (SRESB2) Skenario ini menekankan pada upaya penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan lingkungan secara lokal. Populasi global terus meningkat tetapi dengan laju sedikit lebih rendah dari skenario emisi grup A2, pembangunan ekonomi pada tingkat sedang, perubahan teknologi sedikit lebih lambat dari B1 dan A1. Skenario ini juga berorientasi pada perlindungan lingkungan dan kesamaan sosial yang difokuskan pada tingkat lokal dan regional. Skenario SRES masih digunakan untuk Fourth Assessment Report (AR4) yang dikeluarkan tahun 2007. Dalam Fourth Assessment Report dinyatakan bahwa emisi gas rumah kaca secara global masih akan bertambah dalam beberapa dekade kedepan (Gambar 4) (IPCC 2000). 5 Gambar 4 Skenario emisi GRK (CO2) tahun 1990-2100 (sumber: IPCC 2000). 2.5 Model Perubahan Iklim 2.5.1 Global Climate Model (GCM) Global Climate Model (GCM) merupakan model dinamik berdasarkan pemahaman yang mendalam mengenai sistem iklim saat ini untuk mensimulasikan proses-proses fisik atmosfer dan lautan, yang dapat menduga iklim global. GCM dapat digunakan untuk menduga iklim saat ini dan juga menduga kepekaan iklim terhadap kondisi yang berbeda seperti perubahan komposisi GRK (Kaimuddin 2000). GCM memodelkan perubahan iklim dengan menggunakan skenario. Model skenario yang paling umum digunakan adalah skenario perubahan emisi CO2 di atmosfer. Model GCM banyak dikembangkan di beberapa negara dengan tujuan dan aplikasi masing-masing. Contoh model GCM antara lain adalah model GCM CSIRO Mk3.0 yang dikembangkan oleh CSIRO Atmospheric Research (Australia) (Gordan et al. 2002 dalam Kusaeri 2010), Model GCM GFDL yang dikembangkan oleh Geophysical Fluid Dynamics Laboratory (USA) (Wittenberg et al. 2004 dalam Kusaeri 2010), dan model GCM CGCM3 yang dikembangkan oleh Canadian Centre for Climate Modeling & Analysis (Canada) (CCCma 2010 dalam Kusaeri, 2010). Model GCM mampu mensimulasikan kondisi iklim dengan resolusi rendah, sehingga tidak mampu menghasilkan informasi penting dengan resolusi yang lebih tinggi, misalnya suhu udara dan curah hujan dalam skala lokal. Dengan resolusi yang rendah, hasil yang diperoleh dari model GCM memberikan ketidakcocokan skala spasial antara prediksi iklim yang tersedia dan skala yang dibutuhkan oleh pengguna prediksi iklim (Kusaeri 2010). Di lain sisi, model GCM dapat digunakan untuk mengetahui informasi yang berguna terutama mengenai prosesproses yang terjadi di atmosfer. Model GCM memberikan pemahaman kepada kita tentang keterlibatan manusia dalam perubahan iklim, dan kemampuan untuk melakukan adaptasi dengan berbagai skenario perubahan iklim (Mearns 2003). 2.5.2 Regional Climate Model (RCM) Regional Climate Model (RCM) merupakan model perubahan iklim yang memberikan resolusi lebih tinggi dibandingkan dengan Global Climate Model (GCM) atau reanalysis (Park et al. 2008). Hal ini karena RCM memiliki ukuran sel grid yang lebih kecil sehingga menghasilkan keluaran yang lebih baik dalam skala lokal. RCM telah banyak digunakan dalam studi berbasis analisis iklim dengan skala lokal. Di beberapa belahan dunia seperti Eropa, Amerika, dan Afrika studi analisis iklim menggunakan RCM dirasa memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model GCM. Selain itu, RCM memberikan hasil yang konsisten di setiap simulasi yang dilakukan (Park et al. 2008). Ada beberapa tipe dari RCM yang dikembangkan, salah satunya adalah Regional Climate Model version 3 (RegCM3). RegCM3 merupakan suatu model yang dikembangkan oleh ICTP (International Centre for Theoretical Physics), Trieste, Italy. Model ini dapat digunakan untuk mensimulasikan parameter iklim seperti curah hujan, suhu, tekanan udara, kelembaban, medan angin, radiasi, kelembaban tanah, aliran permukaan (runoff), fraksi awan dan lain-lain. Model RegCM3 memiliki beberapa parameter fisik 6 dan dinamik yang dapat dipilih untuk memperoleh hasil yang terbaik. Dinamika RegCM3 berdasarkan kondisi batas lateral. Kondisi fisik RegCM3 meliputi skema radiasi, model permukaan tanah, dan skema konvektif untuk hujan. 2.6 Hujan Ekstrim (extreme rainfall) Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi. Hujan merupakan unsur iklim yang memiliki keragaman cukup tinggi baik menurut ruang maupun waktu. Dengan keragaman yang cukup tinggi, seringkali terjadi penyimpangan terhadap kondisi hujan di suatu wilayah seperti terjadinya hujan ekstrim. Hujan ekstrim biasanya dilihat dari beberapa indikator yang dapat dihitung berdasarkan metode statistik. Indikator tersebut adalah kedalaman hujan dan intensitas hujan maksimum (Nielsen et al. 1994). BMKG (2010) menyatakan bahwa hujan ektrim adalah kejadian hujan yang sangat lebat secara terus menerus dengan intensitas lebih dari 50mm/24 jam. Hujan ekstrim biasanya berimplikasi pada kejadian banjir di suatu wilayah. Beberapa kejadian banjir di Kabupaten Indramayu dan Pacitan dinyatakan sebagai akibat dari hujan lebat yang terjadi secara terus menerus selama beberapa hari (detiknews.com 2011). Selain menyebabkan kerugian material, kejadian banjir juga dapat menyebabkan korban jiwa. Namun demikian, dalam penelitian ini tidak dianalisis kejadian hujan ekstrim yang menyebabkan banjir disuatu wilayah. Namun, hanya pada seberapa besar kejadian hujan ekstrim yang terjadi. Pengairan Kabupaten Indramayu melalui CCROM-SEAP, sedangkan data curah hujan Kabupaten Pacitan diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Kabupaten Pacitan melalui CCROMSEAP. 2. Data suhu udara rata-rata bulanan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Pacitan yang diperoleh dari Climate Research Unit (CRU) yang merupakan data interpolasi dengan resolusi spasial 0.5 degree. Data yang digunakan adalah CRU TS 2.02 dan dapat diunduh dari situs sebagai berikut: http://users.ictp.it/~pubregcm/RegCM3/gl obedat.htm 3. Simulasi model RegCM3 menggunakan data initial and boundary condition (ICBC) dari model GCM EH5OM dengan resolusi temporal yang digunakan 3 jaman untuk periode baseline (tahun 19801999) dan proyeksi (tahun 2021-2080) berdasarkan skenario SRES A1B. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan sistem operasi Linux Fedora 12 untuk aplikasi model RegCM3 dan Ferret dan sistem operasi Windows untuk aplikasi Ms. Office Word dan Excel 2007, Arc View GIS 3.3, Surfer 9, dan Minitab 15. 3.3 Tahapan Penelitian Analisis perubahan iklim pada penelitian ini menggunakan hasil luaran model RegCM3 berupa baseline dan proyeksi. Dari data tersebut kemudian dihitung persentase perubahan yang selanjutnya akan digunakan untuk memprediksi kondisi iklim di masa yang akan datang. III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2011 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor dan Centre for Climate Risk Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) Baranang Siang. 3.2 Bahan dan Alat Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data curah hujan bulanan Kabupaten Indramayu (tahun 1980-2009) dan Kabupaten Pacitan (tahun 1985-2009). Data curah hujan Kabupaten Indramayu diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum 3.3.1 Pembuatan Curah Hujan Wilayah Dalam penelitian ini, curah hujan wilayah ditentukan berdasarkan metode isohyet. Pembuatan isohyet dilakukan menggunakan metode interpolasi dengan bantuan perangkat lunak Arcview. Secara teori penentuan curah hujan wilayah dilakukan dengan cara mengalikan antara curah hujan dengan luasan masing-masing wilayah yang kemudian dibagi dengan luasan total dari seluruh wilayah. Secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut: