Uploaded by User113210

Korelasi Pelarutan IVIV

advertisement
-
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep dan penerapan korelasi in vitro-in vivo (IVIVC)
untuk bentuk sediaan farmasi telah menjadi fokus utama perhatian industri farmasi,
akademisi, dan sektor regulasi.
-
Tujuan utama IVIVC adalah sebagai pengganti ketersediaan hayati in vivo.
-
IVIVC juga dapat digunakan untuk menetapkan spesifikasi pelarutan dan untuk
mendukung dan / atau memvalidasi penggunaan metode pelarutan
DEFINISI
-
United State Pharmacopoeia (USP)
Pembentukan hubungan rasional antara properti biologis, atau parameter yang diturunkan dari
properti biologis yang dihasilkan oleh bentuk sediaan, dan sifat fisikokimia atau karakteristik
dari bentuk sediaan yang sama.
-
Administrasi Makanan dan Obat (FDA)
IVIVC adalah model matematika prediktif yang menggambarkan hubungan antara
properti in vitro dari bentuk sediaan dan respons in vivo yang relevan. Secara umum, sifat
in vitro adalah laju atau tingkat pelarutan atau pelepasan obat sedangkan respons in vivo
adalah konsentrasi obat dalam plasma atau jumlah obat yang diserap.
Ekivallensi : Tidak adanya perbedaan signifikan / bermakna pada rate dan zat aktif dari dua
produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik
Pedoman korelasi In Vitro – In Vivo dikembangkan oleh Badan Obat dan Makanan berdasarkan
penelitian ilmiah.
Tujuan Mengembangkan dan mengevaluasi suatu IVIVC adalah :
‘’ Memungkinkan uji disolusi untuk menjadi pengganti dalam uji bioavailabilitas in vivo, yang
bertujuan mengurangi jumlah bioekivalensi yang dibutuhkan “
 Konsep korelasi in vitro in vivo merupakan hasil dari penelitian atas perkembangan obat
yang cepat untuk menemukan hubungan antara pengujian disolusi dan bioavailabilitas
yang dihasilkan.
 Dalam beberapa tahun terakhir, konsep dan penerapan korelase in-vitro-in vivo untuk
bentuk sediaan farmasi telah menjadi fokus utama perhatian industri farmasi, akademisi,
dan sektor regulasi.
 Dari sudut pandang biofarmasi, korelasi in vitro-in vivo (IV-IVC) adalah prediksi
matematika yang menggambarkan hubungan antara sifat in vitro dari bentuk sediaan
(tingkat pelepasan obat) dan respons in vivo yang relevan (konsentrasi obat plasma, urin,
jumlah obat yang diabsorbsi).
 IVIVC merupakan alat untuk pengembangan bentuk sediaan obat, karena IVIVC dapat
membantu dalam pemilihan formulasi obat dengan kriteria disolusi yang sesuai dan dapat
diterima, prediksi tersebut dapat digunakan sebagai perkiraan atau pengganti untuk studi
bioekivalensi lebih lanjut.
 IVIVC memiliki peran penting dalam pengujian produk obat, yaitu :
 yang pertama berfungsi sebagai pengganti dari in vivo dan membantu dalam
mendukung bioavailabilitas,
 kedua untuk mendukung dan atau memvalidasi penggunaan metode pembubaran
serta spesifikasi dan
 yang ketiga membantu dalam kontrol kualitas selama pemilihan formulasi yang
tepat.
Korelasi IVIVC oleh FDA :
Prediksi model matematis yang menggambarkan hubungan antara sifat in vitro dari suatu sediaan
dan reaksi in vivo. Sifat in vitro adalah laju atau tingkat pemisahan obat atau pelepasan obat
sedangkan respon in vivo adalah konsentrasi obat dalam plasma atau jumlah obat yang diserap.
Korelasi IVIVC oleh USP :
Hubungan antara suatu sifat biologi, atau sebuah parameter yang dihasilkan dari sifat biologi
yang dihasilkan dari suatu bentuk sediaan dan sifat fisikokimianya sama dengan bentuk sediaan.
Persamaannya, parameter yang dihasilkan dari sifat bilogi adalah AUC atau Cmakx dan juga
sifat fisikokimianya adalah profil disolusi in vitro
Untuk produk2 obat tertentu, bioavailabilitas dapat ditunjukkan dengan fakta yang diperoleh
secara in vitro yang dilakukan dalam lingkungan seperti in vivo. Obat2 ini bioavailabilitasnya
terutama tergantung pada obat yang berada dalam keadaan terlarut, sehingga laju pelarutan obat
dari produk obat tersebut diukur secara in vitro. Jadi Data laju pelarutan in vitro harus
berhubungan dengan data bioavailabilitas in vivo.
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam menetapkan hubungan antara bioavailabilitas in
vivo dan pelarutan in vitro meliputi :
1. Hubungan antara prosen kandungan obat yang tertera dalam label yang terlarut dan
prosen obat yang terabsorpsi sistemik
2. Hubungan antara laju dan jumlah obat terlarut dan parameter farmakokinetik (tmaks,
AUC, Cmaks, Ka)
3. Hubungan antara laju / jumlah obat terlarut dan efek farmakologik akut
4. Hubungan antara rata-rata waktu dari pelarutan in vitro dan rata-rata waktu tinggal obat
in vivo
Korelasi Pelarutan In vitro - In Vivo
Korelasi in vitro- in vivo menetapkan suatu hubungan antara suatu sifat biologis obat seperti efek
farmakodinamik atau konsentrasi obat dalam plasma dan suatu sifat fisikokimia produk obat
yang mengandung bahan obat seperti laju pelarutan.
1. Sistem klasifikasi obat biofarmasetika (Biopharmaceutic drug Classification-BCS), yang
merupakan suatu pendekatan prediktif untuk mengkaitkan karakteristik fisikokimia
tertentu dari suatu bahan obat dan produk obat terhadap bioavailabilitas in vivo.
2. Laju pelarutan versus laju absorbsi;
Laju pelarutan yang lebiih cepat akan mengakibatkan laju keberadaan obat dalam plasma
yang lebih cepat.
Jika pelarutan obat merupakan laju penentu, maka suatu laju pelarutan yang lebih cepat
dapat mengakibatkan laju keberadaan obat dalam plasma yang lebih cepat, sehingga
memungkinkan untuk menetapkan korelasi antara laju pelaruta dan laju absorbsi obat.
Dalam salah satu studi yang menyangkut tida produk aspirin, “sustained release” waktu
pelarutan untuk sediaan berkorelasi secara linier dengan waktu absorbsi untuk berbagai
jumlah aspirin yang diabsorbsi. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa aspirin
diabsorbsi secara cepat dan sangat bergantung pada laju pelarutan.
3. Persen obat terlarut versus persen obat terabsorbsi;
Jika suatu obat diabsorbsi secara sempurna setelah pelarutan, maka dengan
membandingkan persen obat terabsorbsi terhadap persen obat terlarut dapat diperoleh
suatu korelasi linier. Dalam pemilihan metode pelarutan, harus mempertimbangkan
media pelarutan yang tepat dan menggunakan pengadukan pelarutan yang lambat
sehingga mendekati pelarutan in vivo.
4. Kosentrasi plasma maksimum versus persen obat terlarut in vitro
Jika formulasi obat yang berbeda diuji untuk pelarutan, suatu obat yang diformulasikan
secara tidak baik tidak akan terlarut dan dilepas secara sempurna, sehingga menghasilkan
kosentrasi obat dalam plasma yang lebih rendah. Persen obat yang dilepas pada berbagai
jarak waktu akan lebih besar untuk produk obat yang lebih bioavalabel. Koerlasi linier
antara konsentrasi obat maksimum dalam tubuh dan persen obat terlarut in vitro
5. Kosentrasi obat dalam serum versus persen obat terlarut.
Pada studi absorpsi aspirin, aspirin diabsorpsi cepat dari lambung, maka pelarutan obat
merupakan tahap penentu dan berbagai formulasi dengan laju pelarutan yang berbeda
akan mengakibatkan perbedaan konsentrasi aspirin dalam serum dari menit ke menit.
6. Kegagalan korelasi pelarutan In vitro ke absorbsi In Vivo
Masalah tidak adanya korelasi antara bioavailabilitas dan pelarutan mungkin disebabkan
oleh kekompleksan absorbsi obat dan kelemahan rancangan pelarutan.
Dalam kasus obat kelas I,
dosis lengkap akan dilarutkan di dalam lambung ,asalkan penyerapan dinding usus dapat
diabaikan, pengosongan lambung akanmembatasi kecepatan kelarutan obat. Ini jelas bukan
faktor yang diinginkan dalam ujidisolusi in vitro. Dengan demikian, tidak
diharapkan ada IVIVC untuk obat-obatankelas I selama pelepasan obat lebih cepat dari
pengosongan lambung. Waktu
paruh pengosongan cairan lambung pada saat puasa biasanya 10 menit, meskipun hal ini bisa
bervariasi karena beberapa faktor seperti waktu pemberian obat dalam kaitannyadengan fase
motilitas lambung, dan juga volume cairan. Hubungan antara disolusi invitro, digambarkan
sebagai waktu untuk melarutkan setengah dosis (T50%),
dan puncak konsentrasi plasma (Cmax) untuk menggambarkan obat kelas I adalahdicontohkan
pada Gambar. 21,12. Jenis hubungan in vitro / in vivo hanya diharapkanuntuk variabel
yang dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi,
sedangkan variabelm e n c e r m i n k a n t i n g k a t k e t e r s e d i a a n h a ya t i , m i s a l n ya , A U
C , s e h a r u s n ya t i d a k bergantung pada kecepatan disolusi.Obat kelas II, yaitu
senyawa dengan kelarutan rendah/permeabilitas tinggi,diharapkan memiliki absorpsi
pemisahan terbatas. Dengan demikian, untuk jenis obatyang IVIVC mungkin dapat
ditetapkan dengan menggunakan rancangan yang baik dalam uji disolusi in
vitro.CmaxKecepatan pengosonganlambungBatas laju disolusi
Gambar. 21,12. Tahap pokok C korelasi in vitro / in vivo untuk formula lepas-cepat(IR) obat
kelas I.Salah satu cara untuk meneliti dan menentukan hubungan seperti itu adalahdengan
mempelajari suatu formulasi yang mengandung partikel obat dengan
area permukaan yang berbeda. Salah satu contoh penelitian ditampilkan pada Gambar.21,13,
dimana profil disolusi in vitro (Gambar 21,13 (a)) dan konsentrasi plasma-waktu
(Gambar 21,13 (b)) diberikan untuk administrasi tablet yang
mengandung bahan obat dengan dua ukuran rata-rata partikel yang berbeda. Rata-
rata penurunansekitar 30% di Cmax untuk partikel yang lebih besar diperkirakan agak lambat
dalamdisolusi in vitro.Gambar. 21,13.Disolusi in
Gambar. 21,13. (a) Nilai ratar a t a d i s o l u s i i n v i t r o d a n ( b ) k o n s e n t r a s i t a b l e t candersartan cilexitil dalam
plasma manusia yang mengandung partikel obat dengantiga partikel yang diameter rata-ratanya
berbeda (A, 3,9 mm, B, 5,7 mm; C, 9,1 mm).Dua kasus bisa diidentifikasi untuk obat kelas II
pada saat penetapan IVIVCsyang tidak dapat dikerjakan dengan mudah. Pertama, ada
beberapa dasar
formulasiy a n g d a p a t m e n i n g k a t k a n l a j u d i s o l u s i d a n k e l a r u t a n s e n ya w a d e n
gan kelarutanrendah, seperti dibahas di atas. Hal
ini akan menjadi mungkin untuk
m e n c a p a i pemisahan obat yang cepat dan sempurna dari obat kelas II bahwa dengan pengoson
gan lambung akan membatasi laju larut obat, yaitu, ketersediaan hayati dari bentukbentuk sediaan padat sama halnya dengan larutan oral. Jadi, dalam kasusseperti prasyarat
untuk IVIVC akan identik dengan situasi untuk obat kelas I, yaitu,tidak akan diperoleh
korelasi selama kecepatan disolusi secara signifikan lebih cepatdaripada pengosongan
lambung.Situasi kedua ketika IVIVC tidak seperti untuk obat kelas II dimana absorpsil e b i h
dibatasi oleh kelarutan jenuh di dalam saluran pencernaan
d a r i p a d a l a j u disolusi , seperti yang dibahas lebih terinci di atas. Dalam situasi ini,
konsentrasi obatdalam saluran pencernaan akan dekat dengan kelarutan jenuh, dan
perubahan
lajud i s o l u s i t i d a k a k a n m e m p e n g a r u h i k o n s e n t r a s i p l a s m
ap r o f i l w a k t u d a n bioavailabilitas in vivo. Standar dalam pengujian disolusi in vitro
dilakukan di bawah kondisi sink, yaitu, kondisi pada konsentrasi yang jauh di bawah kelarutan je
nuh. Dengan demikian, efek yang terkait untuk menilai disolusi hanya dapatdiprediksi secara in
vitro. Jika uji disolusi ini lebih menggunakan media fisiologis,
yang tidak harus selalu memberikan kondisi sink, kemungkinan untuk
IVIVC bisad i p e r b a i k i , s e b a g a i m a n a t e l a h d i t u n j u k k a n o l e h h a s i l s t u d
i t e r b a r u d e n g a n menggunakan media simulasi usus.
Absorpsi obat kelas III dibatasi oleh permeabilitas obat tersebut di sekitar dinding
usus. Dengan demikian, karena proses ini sama sekali tidak diperagakan olehkeunggulan
uji disolusi in vitro , tidak ada IVIVC yang diharapkan.
Ketika disolusio b a t m e n j a d i l e b i h l a m b a t d a r i p e n g o s o n g a n l a m b u
n g , p e n u r u n a n t i n g k a t ketersediaan hayati dapat dilihat dari laju disolusi
yang lebih lambat sebagai waktudimana obat yang tersedia akan berkurang karena
diserap oleh permukaan
dindingu s u s d i d a l a m u s u s k e c i l . D e n g a n d e m i k i a n , j e n i s h u b u n g a n
y a n g s a m a d a p a t diharapkan antara bioavailabilitas dan disolusi
in vitro, ditunjukkan pada Gambar.21,12 untuk obat kelas I.
Obat kelas IV memiliki kelarutan yang rendah dan permeabilitas obat yangrendah.
Obat-obatan yang termasuk dalam kelas ini menunjukkan banyak kesulitanuntuk
pemberian oral yang efektif. Misalnya Obat untuk kelas III dan IV masingmasing adalah simetidin dan chlorothiazide
yang tidak harus selalu memberikan kondisi sink, kemungkinan untuk
IVIVC bisad i p e r b a i k i , s e b a g a i m a n a t e l a h d i t u n j u k k a n o l e h h a s i l s t u d
i t e r b a r u d e n g a n menggunakan media simulasi usus.Absorpsi obat kelas III dibatasi
oleh permeabilitas obat tersebut di sekitar dinding usus. Dengan demikian, karena proses
ini sama sekali tidak diperagakan olehkeunggulan uji disolusi in vitro , tidak ada
IVIVC yang diharapkan.
Ketika disolusio b a t m e n j a d i l e b i h l a m b a t d a r i p e n g o s o n g a n l a m b u
n g , p e n u r u n a n t i n g k a t ketersediaan hayati dapat dilihat dari laju disolusi
yang lebih lambat sebagai waktudimana obat yang tersedia akan berkurang karena
diserap oleh permukaan
dindingu s u s d i d a l a m u s u s k e c i l . D e n g a n d e m i k i a n , j e n i s h u b u n g a n
y a n g s a m a d a p a t diharapkan antara bioavailabilitas dan disolusi
in vitro, ditunjukkan pada Gambar.21,12 untuk obat kelas I.Obat kelas IV memiliki
kelarutan yang rendah dan permeabilitas obat yangrendah. Obat-obatan
yang termasuk dalam kelas ini menunjukkan banyak kesulitanuntuk pemberian
oral yang efektif. Misalnya Obat untuk kelas III dan IV masing-masing adalah
simetidin dan chlorothiazide
B C S ( B i o p h a r m a c e u t i c C l a s s i f i c a t i o n S y s t e m ) a t a u s i s t e m k l a s i f i k a s i biofarm
asetika dapat digunakan sebagai batasan untuk memprediksi saat IVIVC bisadiharapkan untuk
produk padat IR (Immediate Release) atau lepas cepat, seperti yangdirangkum dalam Tabel
Baik, karena waktu sdh menunjukkan jam 15.40, sesi diskusi kita berakhir pada hari ini, saya
ucapkan terima kasih atas partisipasi dari teman2 serta bpk dosen pengampuh mata kuliah..
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Download