perubahan kadar hormon tiroksin (t4)

advertisement
PERUBAHAN KADAR HORMON TIROKSIN (T4) DAN GAMBARAN PROFIL
PITA PROTEIN SERUM PADA HEWAN MODEL TIKUS AUTOIMMUNE
THYROIDITIS (AITD) HASIL INJEKSI TIROGLOBULIN
KAMBING (Capra hircus)
THE SERUM PROTEIN PROFILES AND CHANGES IN THYROXINE (T4)
HORMONE LEVELS OF ANIMAL MODELS AUTOIMMUNE
THYROIDITIS Rattus norvegicus INJECTED WITH CAPRA
THYROGLOBULIN (Capra hircus)
Fitri Amalia Riska*, Agung Pramana Warih Marhendra dan Masdiana C. Padaga
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
*[email protected]
ABSTRAK
Penyakit autoimun yang menyerang organ tiroid disebut dengan Autoimmune
thyroiditis (AITD). Keberadaan hewan coba AITD yang disebut dengan experimental
autoimmune thyroiditis (EAT) diperlukan untuk mempelajari lebih dalam mengenai
patomekanisme terbentuknya penyakit ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
keparahan AITD berdasarkan perubahan kadar hormon tiroksin (T4) dan gambaran profil pita
protein serum pada tikus sebelum dan setelah injeksi tiroglobulin kambing (cTG) dengan
variasi dosis yang berbeda. EAT dibuat dengan cara injeksi cTG yang telah diemulsikan
dengan CFA atau IFA (perbandingan 1:1) sebanyak 0,2 ml pada hari ke-0, 14 dan 28, injeksi
dilakukan secara subcutan cervical. Hasil penelitian menunjukkan bahwa injeksi tiroglobulin
kambing (cTG) akan mengakibatkan kerusakan pada tiroid sehingga mempengaruhi kadar
hormon tiroksin (T4) dan gambaran profil pita protein serum pada tikus (Rattus norvegicus).
Pengukuran kadar hormon tiroksin menggunakan ELISA menunjukkan perbedaan yang
signifikan, semakin tinggi dosis injeksi semakin turun kadar hormonnya. Hasil analisa protein
serum dengan menggunakan metode SDS-PAGE menunjukkan bahwa terdapat protein
spesifik dengan berat molekul 40 kDa.
Kata kunci : Autoimmune thyroiditis, experimental autoimmune thyroiditis, tiroglobulin
kambing, hormon tiroksin (T4), pita protein serum.
ABSTRACT
Autoimmune disease that affecting the thyroid gland called autoimmune thyroiditis
(AITD). The animal models of AITD called experimental autoimmune thyroiditis (EAT) was
required to study the mechanism of this disease. This research aimed to study the changing of
thyroxine (T4) hormone levels and serum protein profiles on rats (Rattus norvegicus) injected
with capra thyroglobulin (cTG) with a variation doses. Capra thyroglobulin (cTG) for
injection emulsified with CFA or IFA (1:1 ratio) in 0.2 ml and were injected by subcutan
cervical method on day 0, 14 and 28. The result showed that the injection of cTG could
damage the thyroid gland thus affected the T4 hormone level and serum protein profiles on
rats. The measurement of thyroxine hormone levels using ELISA showed a significant
decreasing of T4 levels from 1,772 ± 0,123 ng/dL (normal rat) to 1.472 ± 0.041 ng/dL and
1.238 ± 0.119 µg/µL respectively in rats injected with cTG dose of 100 µg/µL and cTG dose
of 200 µg/µL. The higher dose of injection, the lower of T4 level. Analysis of serum proteins
using SDS-PAGE showed that there was a specific protein with a molecular weight of 40
kDa in rat serum injected with cTG.
Keywords:
Autoimmune thyroiditis, experimental autoimmune thyroiditis, capra
thyroglobulin, hormones thyroxine (T4), protein bands profile
PENDAHULUAN
Penyakit autoimun merupakan suatu
penyakit akibat dari kegagalan fungsi
sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan
tubuh menyerang jaringannya sendiri.
Salah satu penyakit autoimun yang
berbahaya adalah autoimmune thyroiditis
(AITD)
(Oto,
2011).
Autoimmune
thyroiditis (AITD) merupakan penyakit
autoimun pada organ spesifik yaitu tiroid.
Penyakit ini selain menyebabkan kerusakan
pada kelenjar tiroid, juga menyebabkan
hipertropi tiroid dan diikuti dengan
stimulasi peningkatan metabolisme tiroid
(Weetman, 2001). Bentuk dari AITD yang
paling umum adalah berupa Hashimoto
thyroiditis (hipotiroiditis) dan Grave’s
disease (hipertiroiditis) (Nhanes, 2011).
Penyakit AITD dapat menyerang
manusia maupun hewan. Penyakit ini lebih
banyak menyerang wanita daripada lakilaki pada rentan usia 30-50 tahun karena
pada wanita terdapat hormon progesteron
yang dapat meningkatkan inisiasi terhadap
produksi sitokin proinflamasi (Nhanes,
2011). Kejadian AITD pada hewan sering
terjadi pada anjing dan merupakan 80%
kasus
penyakit
autoimun
berupa
hipotiroiditis
yang
mengakibatkan
kerusakan pada kelenjar tiroid. Beberapa
ras anjing yang sering terserang penyakit
ini antara lain golden retriever, shetland
sheepdog, american cocker spaniel, boxer,
doberman pincher, collie, labrador
retriever, akita, english setter, old english
sheepdog dan german shepherd (Dodds,
2008).
Pengembangan hewan model AITD
yang
disebut
dengan
experimental
autoimmune thyroiditis (EAT) sudah
banyak dilakukan untuk mengetahui
patomekanisme yang lebih mendalam dari
penyakit autoimun ini. Antigen utama yang
dapat menginduksi EAT ada tiga macam
yaitu tiroglobulin (TG), tiroxine peroxidase
(TPO) dan thyroid stimulating hormone
receptor (TSHR) (Weetman, 2004).
Tiroglobulin lebih banyak dipilih sebagai
inducer karena merupakan glikoprotein
spesifik yang dapat menginduksi AITD
secara signifikan dengan jumlah yang
paling banyak ditemukan pada sel tiroid
yaitu sekitar 75% (Ng et al., 2004).
Tiroglobulin (TG) yang digunakan untuk
membuat EAT selama ini berasal dari
tiroglobulin
tikus
(murine
thyroglobulin/mTG),
babi
(porcine
thyroglobulin/pTG),
sapi
(bovine
thyroglobulin/bTG)
dan
rodensia.
Penggunaan tiroglobulin asal kambing
(capra thyroglobulin/cTG) belum banyak
dikenal dan digunakan, namun tiroglobulin
asal kambing ini juga memiliki potensi
yang sama untuk dapat menginduksi
terjadinya AITD pada EAT karena pada
dasarnya semua tiroglobulin memiliki
kesamaan ditinjau dari keadaan fisik,
biokimia dan kandungan molekul yang
terdapat di dalamnya (Zhou dan Gill,
2005).
Dewasa ini pengujian kadar hormon
tiroksin (T4) banyak dilakukan untuk
identifikasi kelenjar tiroid karena lebih
sensitif dan dapat dijadikan sebagai
indikator fungsi tiroid. Penurunan kadar
hormon T4 menetapkan diagnosa dari
hipotiroidisme, sebaliknya saat kadar
hormon T4 meningkat, maka diagnosanya
adalah hipertiroidisme (Anwar, 2005).
Gambaran pita protein serum darah juga
dapat dijadikan sebagai deteksi awal dalam
melakukan diagnosa dan prognosa terhadap
suatu penyakit (Zaias et al., 2009). Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mempelajari efek injeksi tiroglobulin
kambing (cTG) pada tikus (Rattus
norvegicus) model AITD ditinjau dari
perubahan kadar hormon tiroksin (T4) serta
gambaran profil pita protein serumnya.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui perubahan kadar hormon
tiroksin (T4) serta perbedaan gambaran
profil pita protein serum pada tikus setelah
dilakukan perlakuan injeksi tiroglobulin
kambing. Melalui hewan model AITD
(EAT) hasil induksi dari tiroglobulin
kambing (Capra hircus) diharapkan
patomekanisme AITD dapat diketahui
secara mendalam sehingga dapat digunakan
sebagai media untuk penelitian lebih lanjut
guna menghasilkan prototype, metode
pencegahan serta pengobatan yang tepat.
association of official analytical chemist
(AOAC) (2005). Tikus telah mendapatkan
sertifikat
laik etik dari Komisi Etik
Penelitian Universitas Brawijaya No. 140KEP-UB.
MATERI DAN METODE
Alat dan bahan
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain mortar, sentrifus
(Hettich EBA III), timer, sonikator
(Branson 200), vortex (GUO HUQ),
vacumtainer,
tabung
eppendorf,
mikropipet, yellow tube, blue tube, Rodent
T4 ELISA Test Kit, microtiter plate reader,
plate elektroforesis. Bahan yang digunakan
antara lain organ tiroid kambing, larutan
Phosphat Buffer Saline asida (PBS-asida),
Complete Freud’s Adjuvant/CFA (Sigma F5881,
USA),
Incomplete
Freud’s
Adjuvant/IFA (Sigma F-5506, USA),
larutan Phosphat Buffer Saline TweenPhenyl Methyl Sulfonyl Fluoride (PBSTPMSF), pasir kuarsa, etanol absolut, larutan
Biuret 80%, ddH2O/aquades, T-Akrilamid,
Upper Gel Buffer (UGB), Lower Gel Buffer
(LGB),
Amoniumpersulphate
(APS),
TEMED, Reducing Sample Buffer (RSB)
dan running buffer TBE.
Isolasi Tiroglobulin dari Tiroid Kambing
(cTG)
Tiroid kambing setelah diseparasi dari
trakea ditimbang sebanyak 0.5 gram
kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3
kali untuk dibersihkan dari darah yang
masih tersisa. Kemudian organ digerus
dengan mortar dingin. Ditambahkan pasir
kuarsa serta larutan buffer ekstrak lima kali
volume tiroid ke dalam mortal dan
dihomogenasi. Setelah itu homogenat
dituang ke dalam tabung eppendorf dan
disentrifus pada kecepatan 10.000 rpm pada
suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan
dipindahkan ke dalam tabung eppendorf
baru. Ekstrak protein kasar (crude protein)
yang
didalamnya
terdapat
protein
tiroglobulin selanjutnya diukur kadarnya
menggunakan uji biuret dan diukur
absorbansinya
menggunakan
spektofotometri pada panjang gelombang
540 nm (Amin dkk, 2009).
Perlakuan Hewan Coba
Tikus yang digunakan adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) betina strain
Wistar
yang diperoleh dari Unit
Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP)
UGM Yogyakarta dengan
umur 8-12
minggu dan berat badan antara 100-150
gr. Tikus diadaptasi selama tujuh hari dan
diberi pakan berupa ransum basal yang
komposisinya disusun berdasarkan standar
Persiapan Hewan Coba Tikus
Hewan coba dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu (1) kelompok kontrol
tanpa perlakuan, (2) kelompok AITD
injeksi cTG dengan dosis 100µg/µl, (3)
kelompok AITD injeksi CTg dengan dosis
200µg/µl.
Masing-masing
kelompok
perlakuan terdiri dari enam ekor tikus
sebagai ulangan.
Perhitungan dan Preparasi cTG
Kadar protein cTG kemudian diukur
dengan menggunakan metode uji biuret
kemudian
diabsorbansi
dengan
spektofotometer (Yazid dan Nursanti,
2006). Data absorbansi kemudian dianalisis
dengan kurva baku protein. Hasil analisis
kurva baku protein menunjukkan kadar
protein cTG sebanyak 570 µg/µl. Jumlah
protein yang dibutuhkan dalam perlakuan
adalah 100 µg/µl dan 200 µg/µl.
Injeksi cTG pada Tikus
Injeksi cTG dilakukan secara subcutan
pada daerah cervicalis yang merupakan
metode modifikasi dari metode yang telah
dilakuakan oleh Song et al. (2011). Injeksi
dilakukan sebanyak tiga kali, injeksi
pertama sebanyak 0,2 ml pada hari ke-0
menggunakan
adjuvant
CFA
dosis
100μg/ml untuk kelompok perlakuan I (P1)
dan 200μg/ml untuk kelompok perlakuan II
(P2) kemudian dilakukan booster pada hari
ke-14 dan hari ke-28 yang keduanya
menggunakan adjuvant IFA dengan dosis
100μg/ml untuk P1 dan 200μg/ml untuk P2
masing-masing sebanyak 0,2 ml.
Koleksi Serum Darah
Pengambilan darah dilakukan melalui
vena cocygea yang sebelumnya dibilas
terlebih dahulu dengan air hangat. Darah
yang diperoleh kemudian dimasukkan pada
tabung vacmutainer dan dimiringkan pada
sudut 45° selama kurang lebih tiga jam.
Setelah itu dilakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.
Supernatan yang terbentuk dipisahkan dan
dilakukan setrifugasi lagi selama 15 menit
dengan kecepatan yang sama yaitu 3000
rpm. Setelah sentrifugasi kedua, supernatan
(serum) dipisahkan dan dipindahkan ke
tabung ependorf yang baru lalu disimpan di
dalam
freezer
(Ganong,
2008).
Pengambilan darah dilakukan setiap satu
minggu sekali selama 6 minggu.
Pengamatan Profil Pita Protein Serum
Analisa profil pita protein serum
dilakukan dengan menggunakan metode
SDS-PAGE. Tiga tahapan utama dari
metode SDS-PAGE ini adalah yang
pertama preparasi sampel, pembuatan gel
(stacking gel dan separating gel) dan
running gel. Sampel serum sebanyak 15 µl
ditambah dengan 15 µl RSB (reducing
sample buffer) didenaturasi pada air suhu
100°C selama 5 menit. Sampel kemudian
dimasukkan ke dalam sumuran masingmasing. Running dilakukan pada tegangan
200 volt selama 45 sampai 60 menit. Gel
kemudian dipindahkan pada wadah
kemudian dituangi pewarna (staining)
selama 30 menit. Gel kemudian dicuci
dengan larutan destaining selama 30 menit
sebanyak dua kali. Gel didokumentasi
menggunakan scanner.
Pengukuran Kadar Hormon Tiroksin (T4)
Menurut
penelitian
yang
telah
dilakukan oleh Mikami, et al. (2003), kadar
hormon tiroksin (T4) dapat diukur dari
serum dapat diukur menggunakan metode
ELISA. Kadar hormon T4 dalam penelitian
ini diukur dengan menggunakan Rodent T4
ELISA Test Kit dengan Log No. 030413.
Tahapan pertama adalah memasukkan
larutan standart sebanyak 50 µl ke dalam
well serta serum yang telah diencerkan
sebanyak 50µl ke dalam well yang berbeda.
Lalu ditambahkan 100µl T4 HRPConjugate Reagent ke dalam masingmasing well. Kemudian diinkubasi pada
suhu 37°C selama 60 menit. Selanjutnya
dicuci dengan washing buffer. Lalu
ditambahkan reagen TMB pada masingmasing well kemudian ditutup dengan
alumunium foil dan diinkubasi pada suhu
37°C selama 20 menit. Selanjutnya
ditambahkan stop solution (2N HCl)
sebanyak 50µl pada masing-masing well.
Untuk menganalisa hasil perlu dibuat kurva
baku standar terlebih dulu kemudian dibaca
dengan ELISA READER.
Analisa Data
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisa secara
kualitatif deskripstif untuk gambaran profil
pita protein serta kuantitatif statistik untuk
kadar hormon tiroksin (T4). Kadar hormon
tiroksin (T4) dianalisis menggunakan SPSS
16,0 for Windows dengan analisis ragam
(ANOVA) kemudian dilakukan uji lanjutan
Tukey untuk perbedaan ketiga perlakuan
dengan α=5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Hormon Tiroksin (T4)
Kadar hormon tiroksin (T4) dalam
serum merupakan salah satu indikator
untuk penyakit autoimmune thyroiditis
(AITD). Hasil pengukuran kadar hormon
T4 pada hewan model tikus menggunakan
metode ELISA yang telah dianalisis secara
statistik menunjukkan adanya perbedaan
nyata pada masing-masing perlakuan
(Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata Kadar Hormon Tiroksin pada Tikus
Kadar Hormon T4
Kelompok Perlakuan
(Mean±SD) (ng/dL)
kontrol
1,772c ± 0,123
Dosis cTG 100 µg/µl
1,472b ± 0,041
Dosis cTG 200 µg/µl
1,238a ± 0,119
Keterangan :
Penurunan kadar hormon
T4 terhadap kontrol (%)
0
16,9
53,4
Notasi yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata pada masing-masing perlakuan
(p>0,05)
Rata-rata kadar hormon tiroksin (T4)
pada serum tikus perlakuan mengalami
penurunan dibandingkan pada serum tikus
kontrol (Tabel 5.1). Rata-rata kadar hormon
tiroksin (T4) pada tikus kontrol tanpa
injeksi adalah 1,772±0,123 ng/dL. Kadar
hormon tiroksin (T4) menurun secara
signifikan pada tikus perlakuan. Tikus
perlakuan 1 kadar hormonnya turun
menjadi 1,472±0,041 ng/dL sedangkan
pada tikus perlakuan 2 mencapai
1,238±0,119 ng/dL. Kadar hormon tiroksin
(T4) pada tikus perlakuan 1 dan 2
mengalami penurunan masing-masing
berturut 16,9% dan 53,4% dibandingkan
pada tikus kontrol.
Berdasarkan hasil yang ada, penelitian
ini menunjukkan bahwa injeksi tiroglobulin
kambing (cTG) pada tikus (Rattus
norvegicus) akan menyebabkan perbedaan
kadar hormon tiroksin (T4) pada serum
tikus kontrol dan tikus perlakuan. Variasi
dosis cTG yang diberikan juga memberikan
pengaruh terhadap kadar hormon tiroksin
(T4) pada serum tikus perlakuan. Kadar
hormon tiroksin (T4) pada serum tikus
perlakuan 1 pada lebih banyak daripada
kadar tiroksin (T4) tikus perlakuan 2.
Kenaikan dan penurunan kadar
hormon
T4
dalam
darah
dapat
mengindikasikan
adanya
penyakit
autoimun pada kelenjar tiroid (Ferguson,
2007). Biosintesis hormon T4 terjadi di
dalam kelenjar tiroid yang dikendalikan
oleh mekanisme umpan balik dari
hipotalamus dan hipofisa (Deruiter, 2002;
Ganong, 2008). Kadar hormon T4 pada
kelompok
normal
tanpa
perlakuan
berdasarkan penelitian adalah 1,772±0,123
ng/dL. Keadaan ini sama dengan yang
dilaporkan oleh Piechotta et al. (2010)
bahwa dalam kondisi normal, kadar
hormon T4 dalam serum tikus berkisar
antara 1,60-3,10 ng/dL.
Pemberian cTG terhadap tikus
berpengaruh secara nyata (p > 0,05) dalam
menurunkan kadar hormon T4 pada serum
tikus. Hal tersebut ditunjukkan dengan
penurunan nilai rata-rata kadar hormon T4
pada kelompok pemberian cTG dosis 100
µg/µl dan 200 µg/µl dibandingkan dengan
kelompok kontrol atau tanpa perlakuan.
Penurunan kadar hormon T4 dalam serum
pada hasil penelitian ini disebabkan oleh
rusaknya kelenjar tiroid akibat adanya
autoimunitas hasil injeksi crude protein
tiroglobulin yang mengandung cTG.
Tiroglobulin
kambing
yang
telah
diemulsikan dengan adjuvant tersebut akan
dikenali sebagai antigen oleh MHC II
dengan bantuan APC. Setelah terjadi
pengenalan antigen oleh MHC II, sel
TCD4+ (Th) akan diinisiasi untuk
berpoliferasi menjadi sel T helper 1 (Th1)
dan T helper 2 (Th2). Sel Th1 menginduksi
makrofag untuk menghasilkan sitokin
proinflamasi
sedangkan
Th2
akan
menginisiasi sel B untuk menghasilkan
antibodi. Antibodi yang dihasilkan oleh sel
B akan berikatan dengan cTG dan
tiroglobulin (TG) pada tiroid tikus.
Pengenalan TG sebagai autoantigen
merupakan suatu reaksi autoimun karena
memiliki kesamaan dengan cTG seperti
yang dinyatakan Zhou dan Gill (2005)
bahwa tiroglobulin dari beberapa spesies
memiliki kesamaan fisik, biokimia dan
struktur molekul yang sama. Sel tiroid
mengandung TG dalam jumlah besar,
sehingga penyerangan antibodi terhadap
TG yang dianggap sebagai autoantigen tadi
akan menyebabkan kerusakan pada sel
tiroid dan pelepasan hormon T4 ke dalam
darah menjadi berkurang. Menurut Anwar
(2005), produksi hormon tiroid diawali
dengan perangkaian iodotirosil. Dua
molekul diiodotirosin (DIT) membentuk T4
dan satu molekul DIT ditambah satu
molekul
monoiodotirosin
(MIT)
membentuk
T3
yang
kemudian
pelepasannya dalam darah melibatkan
peran tiroglobulin (TG).
Keadaan autoimunitas tersebut sama
dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Chistiakov (2005), injeksi tiroglobulin
pada hewan model tikus autoimmune
thyroiditis akan menginisiasi pembentukan
autoantibodi terhadap tiroglobulin dalam
sel tiroid sehingga terjadi kerusakan pada
tiroid. Ferguson (2007) menambahkan,
sintesis dan sekresi hormon tiroid sangat
bergantung pada kondisi kelenjar tiroid
serta diatur oleh dua mekanisme utama
yaitu mekanisme autoregulasi berdasarkan
iodida yang tersedia serta mekanisme
umpan balik oleh hipotalamus dan hipofisis
anterior. Hal tersebut sejalan dengan
pernyataan
Deruiter
(2002)
bahwa
penyebab utama disfungsi kelenjar tiroid
adalah autoimmune thyroiditis yang dapat
menghambat produksi hormon tiroid.
Keadaan
yang
menunjukkan
penurunan kadar hormon pada serum tikus
tersebut
mengarah
pada
penyakit
autoimmune
thyroiditis
khususnya
hipotiroidisme. Menurut Piechotta et al.
(2010) penurunan kadar
hormon T4,
menunjukkan hipotiroidisme, sedangkan
peningkatan
jumlahnya
dapat
mengindikasikan penyakit hipertiroidisme.
Pada kondisi hipotiroidisme tiroid tidak
mampu menghasilkan hormon tiroid yang
cukup untuk menjaga kestabilan kerja
organ tubuh (Pace, 2004).
Gambaran Profil Pita Protein Serum
Protein hasil isolasi dari serum tikus
autoimmune thyroiditis yang telah diinjeksi
tiroglobulin kambing (cTG) dianalisa
menggunakan metode SDS-PAGE. Hasil
elektroforesis protein serum pada gel
polyakrilamid akan menggambarkan pola
pita protein serum dengan warna biru
keunguan (Gambar 1).
Gambar 1 . Hasil Profil Pita Protein Serum Tikus Perlakuan. (M=Marker; K=Kontrol;
P=Perlakuan 1 dosis 100µg/µl; P2=Perlakuan 2 dosis 200µg/µl; 0,14,28,34=hari
pengambilan serum).
Pita protein pada serum hari ke-0
menunjukkan pola yang hampir sama baik
pada serum tikus perlakuan 1 maupun tikus
perlakuan 2 dan mulai menunjukkan
perbedaan pada hari ke-14, 28 dan 34. Hari
ke-0 merupakan hari pre-imun atau
sebelum diberi perlakuan injeksi cTG,
sedangkan hari ke-14, 28 dan 38
merupakan hari setelah dilakuan injeksi
pertama, kedua dan ketiga secara berturutturut. Hasil band atau pita protein pada
gambar memiliki tingkat ketebalan yang
berbeda akibat dari perbedaan konsentrasi
dari
masing-masing
protein
yang
terekspresi.
Hewan model AITD yang diinjeksi
tiroglobulin kambing (cTG) menghasilkan
protein spesifik dengan berat molekul 40
kDa. Hal ini menunjukkan bahwa injeksi
tiroglobulin kambing (cTG) pada tikus
mempengaruhi ekspresi protein tertentu
akibat adanya abnormalitas pada tubuh.
Sesuai dengan pernyataan Zaias et al.
(2009) bahwa perubahan ekspresi serta
kadar protein yang terkandung dalam
serum dapat dijadikan sebagai deteksi awal
dalam melakukan diagnosa dan prognosa
terhadap suatu penyakit.
Menurut Tseng et al. (2004), protein
dengan berat molekul 40 kDa merupakan
protein haptoglobin (Hp). Tiroglobulin
kambing (cTG) yang diinjeksikan pada
tikus akan menyebabkan inflamasi sel
tiroid yang berlanjut pada kerusakan sel
tiroid. Kondisi inflamasi ini diinisiasi oleh
sitokin pro-inflamasi seperti IL-1 dan IL-6
yang
dihasilkan
oleh
makrofag.
Keberadaan sitokin pro-inflamasi selain
menginisiasi proses inflamasi juga akan
menginduksi produksi protein penanda
inflamasi seperti yang dinyatakan oleh
Kaisho dan Alkira (2002), sitokin pro
inflamasi seperti interleukin-6 (IL-6),
interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis
factor (TNF) yang dikeluarkan oleh
makrofag menginisiasi produksi protein
penanda inflamasi. Munculnya ekspresi
protein haptoglobin (Hp) dapat dijadikan
sebagai indikasi adanya inflamasi atau
tumor serta kerusakan jaringan, dalam hal
ini jaringan tiroid. Pernyataan tersebut
diperkuat oleh penelitian Mishra et al.
(2010), fungsi utama haptoglobin (Hp)
adalah untuk mengikat hemoglobin bebas
yang dilepaskan eritrosit ke dalam sirkulasi
darah akibat adanya kerusakan jaringan
atau peradangan kemudian membentuk
kompleks haptoglobin-hemoglobin (HpHb). Haptoglobin dapat digunakan sebagai
landasan diagnosa maupun prognosa
terhadap suatu penyakit (Sadrzadeh et al.,
2004).
Castro
dan
Gourley
(2010)
menambahkan, saat terjadi peradangan atau
inflamasi pada jaringan tertentu, beberapa
protein serum seperti CRP (115 KDa),
haptoglobin (40 KDa) dan ferritin (330
KDa) akan diproduksi sebagai respon dari
inflamasi tersebut. Keberadaan protein ini
tidak hanya dapat dijadikan sebagai
penanda inflamasi namun juga dapat
mencerminkan adanya kelainan pada
penyakit autoimun, infeksi, tumor serta
penyakit lainnya Haptoglobin adalah
bagian dari plasma N-glikoprotein.
Keberadaan
protein
ini
memiliki
kepentingan
klinis,
peningkatan
haptoglobin dapat dijadikan sebagai
indikasi adanya kondisi patologis baik pada
manusia maupun hewan (Ulutas et al.,
2007).
Haptoglobin
(Hp)
merupakan
komponen dari imunitas bawaan, yang juga
dapat mempengaruhi kekebalan tubuh serta
terlibat dalam patogenesis tumor dan
infeksi (Levy, et al., 2010). Kaisho dan
Alkira (2002) menambahkan sintesis
haptoglobin diinduksi oleh sitokin setelah
aktivasi sel-sel imunitas bawaan oleh
PAMPs (pathogen associated molecular
patterns) seperti TLR4 (toll like receptor)
activator.
Berdasarkan hasil penelitian kedua
parameter yang telah dipaparkan di atas
dapat disimpulkan bahwa pemberian
perlakuan injeksi cTG pada tikus (Rattus
norvegicus) signifikan dalam menurunkan
kadar hormon tiroksin (T4) dalam serum
dan berbanding lurus dengan dosis yang
diberikan serta menghasilkan suatu protein
yaitu protein penanda inflamasi dengan
berat
molekul
40
kDa
(protein
haptoglobin).
KESIMPULAN
Injeksi tiroglobulin kambing (cTG)
mempengaruhi kadar hormon tiroksin (T4)
yang menyebabkan penurunan dari awalnya
1,772±0,123 ng/dL menjadi 1,472±0,041
ng/dL pada tikus perlakuan injeksi cTG
dosis 100 µg/µl dan 1,238±0,119 ng/dL
pada tikus perlakuan injeksi cTG dosis
µg/µl serta mempengaruhi gambaran profil
pita protein serum pada tikus yaitu
menghasilkan protein spesifik dengan berat
molekul 40 kDa.
SARAN
Perlu dilakukan purifikasi protein
dengan berat molekul 40 kDa untuk
memastikan bahwa protein tersebut
merupakan protein haptoglobin serta diukur
kadarnya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah
mendanai penelitian ini sehingga penelitian
ini dapat selesai sesuai dengan yang
diharapkan. Terimakasih kepada Dr. Agung
Pramana Warih Marhendra, MS, drh.
Masdiana C. Padaga M.App.Sc, Ibu Dyah
Kinasih Wuragil, S,Si., M.P., M.Sc, drh.
Handayu Untari serta staf Laboratorium
Biokimia dan
Laboratorium Fisiologi
Hewan Fakultas MIPA, Universitas
Brawijaya atas dukungan,bantuan, dan
kerjasama yang luar biasa untuk
penyelesaian penelitian ini.
DAFTAR REFERENSI
Anwar, R. 2005. Fungsi Dan Kelainan
Kelenjar Tiroid. Disampaikan
pada
pertemuan
Fertilitas
Endokrinologi Reproduksi bagian
Obstetri
dan
Ginekologi
RSHS/FKUP. Bandung.
AOAC (Association of Official Analytical
Chemist). 2005. Official Methods
of Analysis. Washington DC.
Castro, D. O. C. and M. D. M. Gourley.
2010. Diagnostic Testing and
Interpretation
of
Tests
for
Autoimmunity. J Allergy Clin
Immunol, 125(2 Suppl 2): S238–
S247.
Chistiakov, D.A. 2005. Immunogenetics of
Hashimoto's
thyroiditis.
J.
Autoimmune Diseases Vol.2 No.1
Ciftci G., G. F. Yarım, S. Cenesiz1 and A.
Fındık.
2012.
Age-Related
Changes
In
Haptoglobin
Phenotypes, Some Non-Enzymatic
Antioxidants And Electrophoretic
Profiles Of Serum Proteins In
Rats. Turk J Biochem 37 (4) ; 457–
462.
Deruiter, J. 2002. The Thyroid And Thyroid
Hormones.
Endocrine
Pharmacotherapy
Module.,
London. 1-16.
Dodds, W. J. 2008. Thyroid Disease and
Autoimmune Thyroiditis. Fall.
SALUKI sightings.
Ferguson D. C. 2007. Testing for
hypothyroidism in dogs. Vet Clin
North Am Small Anim Pract,
37:647-669
Gaffar, S. 2007. Buku Ajar Bioteknologi
Molekul. Bandung: FMIPA Kimia
Universitas Padjadjaran.
Ganong W. F. 2008. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Ed. 20. Andrianto P
penerjemah.
Jakarta: EGC.
Terjemahan dari: Review of
Medical Physiology hlm 486-507
Kaisho T. and S. Alkira. 2002. Toll-like
receptors as adjuvant receptors.
Biochem. Biophy. Acta; 1589: 113
Levy AP, R. Asleh, S. Blum, N.S. Levy
and R. Miller-lotan. 2010.
Haptoglobin: Basic and clinical
aspects. Antioxidants & Redox
signalling 12(2): 293-304
Mikami, E., T. Ohno, H. Matsumoto and S.
Sekita. 2003. Detection of
Thyroxine in Dietary Supplements
Using
an
Enzime
LinkedImmunosorbant Assay. J. of
Health Sci. 49(6):547-550
Mishra, S.P., S.S. Siddiqi, A. Kashyap and
Nkagrawal. 2010. Polymorphism
Of Human Haptoglobin And Its
Importance
In
Diabetic
Nephropathy. J. of Nanomaterials
and Bioss, 5(3): 599-603
Ng, H. P., J. P. Banga and A. W. Kung.
2004. Development of A Murine
Model
Of
Autoimmune
Thyroiditis
Induced
with
Homologous Mouse Thyroid
Peroxidase.
Endocrinology
vol.145, no.2, pp. 809–816.
Nhanes. 2011. Autoimmune Thyroid
Disorders.http://www.japi.org/thyr
oid.special_jan_issue_2011/index.
html. [21 Februari 2013]
Oto, I. 2011. Gangguan Autoimun.
http://medicastore.com/penyakit/3
320/ Gangguang_Autoimun.html.
[21 Februari 2013]
Pace,
M.
2004.
Autoimmune
hypothyroidism: T cells caught in
the act. Nature Medicine 10, 895 896 (2004) doi:10.1038/nm0904895
Piechotta M., M. Arndt and H. O. Hoppen.
2010. Autoantibodies against
thyroid hormones and their
influence
on
thyroxine
determination
with
chemiluminescence immunoassay
in dogs. J. Vet. Sci., 11(3):191196
Sadrzadeh S. M. H., J. Bozorgmehr. 2004.
Haptoglobin Phenotypes In Health
And Disorders. Amer J Clin Pathol
121:97–104.
Song, XH, R. Z. Zan, C. H. Yu and F.
Wang. 2010. Effects of Modified
Haizao Yuhu Decoction in
Experimental Autoimmune
Thyroiditis Rats. Journal of
Ethnopharmacology, vol.135:2,
pp. 321-324.
Tseng C. F., H. Y. Huang, Y. T. Yang and
S. J. Mao. 2004. Purification Of
Human Haptoglobin 1-1, 2-1, And
2-2 Using Monoclonal Antibody
Affinity Chromatography. Prot
Expres Purif 33:265–73.
Ulutas B., T. Tan, P.A. Ulutaş, and G.
Bayramli. 2007. Haptoglobin and
serum amyloid A responses in
cattle persistently infected with
Bovine Viral Diarrhea Virus.
Neonatol; 91(1):44–8.
Weetman, A. P. 2001. Determinants of
Autoimmune Thyroid Disease.
Nature Immunology vol. 2, no.9,
pp. 769–770.
Weetman, A. P. 2004. Cellular Immune
Responses
in
Autoimmune
Thyroid
Disease.
Clinical
Endocrinology, vol.61: no.4, pp.
405–413.
Zaias J., M. Mineau., C. Cray., D. Yoon.,
and N. H. Altman. 2009.
Reference Values for Serum
Proteins of Common Laboratory
Rodent Strains. Journal of the
American
Association
for
Laboratory Animal Science. Vol
48(4) : 387-390
Zhou, J. S. and H.S. Gill. 2005.
Immunostimulatory
Probiotic
Lactobacillus rhamnosus HN001
and Bifidobacterium lactis HN019
Do Not Induce Pathological
Inflammation in Mouse Model of
Experimental
Autoimmune
Thyroiditis.
International
Journal of Food Microbiology,
vol.103:1, pp. 97–104.
Download