PERAN KEPOLISIAN TERHADAP EKSPLOITASI ANAK TERHADAP TINDAK PIDANA KESUSILAAN Oleh: A.M. Anugerah Edyawan B011191084 MPPH B FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN 2021 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini secara tegas dicantumkan dalam penjelasan umum UndangUndang 1945. Negara Hukum bertujuan agar hukum ditegakkan tanpa terkecuali, artinya segala perbuatan oleh warga masyarakat maupun instansi pemerintahan harus didasarkan oleh hukum yang berlaku. Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum dan wajib menjunjung hukum tersebut. Dalam tujuan Negara Republik Indonesia tersebut, termaksud didalamnya adanya perlindungan bagi masyarakat dan ada hak-hak masyarakat yang dijamin dalam setiap aspek kehidupannya. Namun, fakta yang terjadi di masyarakat ternyata mulai berbanding terbalik dengan tujuan negara kita.Dewasa ini, berbagai macam permasalahan hukum mulai terjadi. Pola tingkah laku manusiapun menjadi semakin menyimpang dan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang pada akhirnya dapat berujung pada terjadinya suatu pelanggaran bahkan kejahatan. Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi semakin tinggi dan beragam pula tingkat kejahatan maupun pelanggaran yang terjadi setiap tahunnya. Sementara itu, keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu syarat terselenggaranya proses pembangunan nasional. Hal ini membuat para aparat penegak hukum bekerja semakin intensif dan lebih serius dalam menangani masalah-masalah kejahatan yang sering muncul di dalam masyarakat. Salah satu bentuk kejahatan yang berkembang di tengah masyarakat dan merupakan sebuah tindak pidana adalah kekerasan. Kekerasan merupakan suatu tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis. Tindak pidana kekerasan ini biasanya ditujukan kepada orang yang lemah seperti perempuan dan anak.Namun seiring berkembangnya waktu, faktanya, anak bukan saja menjadi korban, namun anak juga telah menjadi pelaku dalam tindak pidana ini. Anak dalam konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa: “Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus citacita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi”. Hal ini diatur juga dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Anak Indonesia sebagai anak bangsa sebagian besar mempunyai kemampuan dalam mengembangkan dirinya untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan bermanfaat untuk sesama manusia. Anak merupakan aset yang akan menentukan nasib masa depan bangsa. Ketika terjadi kekerasan yang dilakukan oleh anak, tentunya itu sangat meresahkan warga masyarakat dan mengakibatkan ketidaknyamanan dalam lingkungan bermasyarakat, keadaan seperti itu tentu tidak diinginkan oleh setiap warga masyarakat sehingga masyarakat cenderung melakukan peningkatan kewaspadaan dan upaya-upaya penanggulangan agar tindak pidana yang dilakukan oleh anak bisa berkurang. Oleh karena itu pihak Kepolisian Republik Indonesia sebagai tugas dan tanggung jawab diwajibkan mengambil tindakan apabila seorang Anak dinyatakan melakukan Tindak Pidana. Didalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia telah mengatur fungsi dan tugas aparat Kepolisian. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 13 tentang tugas Kepolisian : “Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Berdasarkan apa yang telah dicantumkan dalam undang-undang, maka peran kepolisian sangat penting dalam penanggulangan tindak pidana. Dalam hal ini Polisi sebagai salah satu unsur utama sistem peradilan yang mempunyai peranan pokok dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan yang harus dilaksanakan dengan baik dan tepat tanpa adanya unsur pengecualian karena didalam Undangundang yang mengatur tugas dan wewenang Kepolisian dijelaskan bahwa pihak Kepolisian memiliki Tanggung Jawab untuk menanggulangi seluruh pelaku Tindak Pidana dalam bentuk upaya maupun pencegahan, maka Polisi Republik Indonesia mempunyai tugas-tugas yang berat karena mencakup keseluruhan penjagaan keamanan khususnya keamanan dalam negeri. Di samping hal tersebut, dalam tugasnya, Polisi Republik Indonesia berada dalam dua posisi yaitu sebagai alat penegak hukum dan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Beberapa jenis tindak pidana kekerasan yang kerap dilakukan oleh anak sehingga menyebabkan keresahan di dalam masyarakat diantaranya : kejahatan kesusilaan, kejahatan terhadap nyawa orang lain, pencurian disertai kekerasan dan penganiayaan baik ringan maupun berat. Jika dilihat dari berbagai macam kekerasan yang sering terjadi didalam lingkungan masyarakat khususnya kota Pinrang yang melibatkan anak sebagai pelaku maupun korban dari tindakan kekerasan, maka terlepas dari pentingnya peranan kepolisian, masyarakat secara umum juga memiliki peran yang sama pentingnya dalam hal tersebut, Baik yang berkecimpung dalam suatu organisasiorganisasi masyarakat maupun lembagalembaga daerah seperti dinas pendidikan. Dinas pendidikan merupakan suatu lembaga yang juga harus turut andil dalam menangani kekerasankekerasan yang ditimbulkan oleh anak sebagai pelaku kejahatan maupun korban, mengingat seringkali kekerasan atau kejahatan ini melibatkan seorang pelajar (siswa-siswi) sebagai pelaku ataupun korbannya. Seringkali kekerasan yang melibatkan seorang pelajar tidak diperhatikan oleh lembaga yang pada dasarnya memiliki peran yang sama dengan kepolisian dalam mencegah dan menyelesaikan hal tersebut. 1.2. Permasalahan Berdasarkan rumusan masalah yang telah uraikan diatas, maka dapat ditarik beberapa masalah yang menarik untuk dikaji, yaitu : 1. Bagaimanakah kualifikasi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak dalam pandangan hukum pidana ? 2. Bagaimanakah peranan kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak ? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kualifikasi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak dalam pandangan hukum pidana 2. Untuk mengetahui peranan kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak II. METODE PENELITIAN Metode yang dilakukan adalah merupakan penelitian normatif. Dalam upaya pemecahan masalah maka pendekatan dilakukan secara konseptual, dengan studi dokumen terhadap perundang-undangan yang sedang berlaku di Indonesia. Pendekatan masalah dalam penelitian ini bersifat konseptual yang bertujuan memberi gambaran struktur hukum secara vertikal. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer adalah UUDNRI 1945 dan KUHP. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa pandanganpandangan para sarjana dalam buku-buku literatur maupun artikel yang menunjang pemahaman bahan hukum primer, dibantu dengan informasi melalui internet. III. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan Setiap orang pasti akan memiliki peran dalam kehidupan ini, misalnya dilingkungan sekolah, di lingkungan tersebut tentunya akan terdapat peran yang diambil tiap masing-masing individu, seperti peran sebagai Rektor, peran sebagai Dosen, peran sebagai mahasiswa, dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan iniakan dibatasi pada peranan kepolisian dan dinas pendidikan. Sebelum membahas lebih jauh akan lebih baik jika kita mengetahui apa pengetian dari peran itu sendiri. Teori Peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi, maupun disiplin ilmu.Istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seseorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Selain itu, peranan atau role (Bruce J. Cohen, 1992: 25) juga memiliki beberapa bagian, yaitu: 1. Peranan nyata (Anacted Role) adalah suatu cara yang betul-betul dijalankan seseorang dalam menjalankan suatu peranan. 2. Peranan yang dianjurkan (Prescribed Role) adalah cara yang diharapkan masyarakat dari kita dalam menjalankan peranan tertentu. 3. Konflik peranan (Role Conflick) adalah suatu kondisi yang dialami seseorang yang menduduki suatu status atau lebih yang menuntut harapan dan tujuan peranan yang saling bertentangan satu sama lain. 4. Kesenjangan Peranan (Role Distance) adalah Pelaksanaan Peranan secara emosional. 5. Kegagalan Peran (Role Failure) adalah kagagalan seseorang dalam menjalankan peranan tertentu. 6. Model peranan (Role Model) adalah seseorang yang tingkah lakunya kita contoh, tiru, diikuti. 7. Rangkaian atau lingkup peranan (Role Set) adalah hubungan seseorang dengan individu lainnya pada saat dia sedang menjalankan perannya. 8. Ketegangan peranan (Role Strain) adalah kondisi yang timbul bila seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi harapan atau tujuan peranan yang dijalankan dikarenakan adanya ketidakserasiaan yang bertentangan satu sama lain. Peranan yang dimaksud dalam penelitiaan ini adalah perilaku seseorang sesuai dengan status kedudukannya dalam masyarakat. Pengertian Peranan diungkapkan oleh Soerjono Soekanto:“Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorangmelaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan”(Soerjono Soekanto, 1990: 268). Terdapat dalam ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial peranan adalah “tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu” (Koentjoroningrat, 1986:35). Pendapat lain dikemukakan oleh Livinson yang dikutip oleh Soerjono Soekanto bahwa : a. Peranan meliputi norma – norma yang diungkapkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting sebagai struktur sosial masyarakat (Soerjono Suekanto, 1990:221). Berdasarkan pengertiaan diatas, peranan dapat diartikan sebagai suatu prilaku atau tingkah laku seseorang yang meliputi norma-norma yang diungkapkan dengan posisi dalam masyarakat. Pendapat lain dalam buku sosiologi suatu pengantar bahwa “Peranan adalah suatu prilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu”. (Bruce J Cohen, 1992:76). Wirutomo dalam David Berry (1981: 99–101) bahwa “peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan menjalankan kewajibankewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya”. Peranan didefinisikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Peranan ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukandikenakan kepada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Peranan ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan masyarakat di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam peranan-peranan yang lain. Peranan terdapat dua macam harapan, yaitu: pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan kedua harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya. Dalam pandangan David Berry, peranan-peranan dapat dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat sehingga struktur masyarakat dapat dilihat sebagai pola-pola peranan yang saling berhubungan. Pendapat lain Alvin L.Bertran yang diterjemahkan oleh soeleman B. Taneko bahwa “Peranan adalah pola tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memangku status atau kedudukan tertentu”. (Soeleman B. Taneko, 1986: 220) Berdasarkan Pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa peranan merupakan aspek dinamis berupa tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh orang atau badan atau lembaga yang menempati atau mengaku suatu posisi dalam sistem sosial. B. Kepolisian 1. Pengertian Kepolisian Dalam Kamus Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwodarmita dikemukakan bahwa istilah polisi mengandung arti : - Badan pemerintah (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum - Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum. Dalam pengertian ini istilah polisi mengandung dua makna yaitu, polisi tugas dan sebagai organnya. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa istilah polisi mengandung 4 (empat) pengertian, yaitu : 1) sebagai tugas dalam arti pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, 2) sebagai organ berarti badan atau wadah yang bertugas dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban, 3) sebagai pejabat petugas dalam arti orang yang dibebani tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat itu, 4) sebagai ilmu pengetahuan yang berarti ilmu yang mempelajari segala hal ikhwal kepolisian. Dalam Undang-Undang 13 Tahun 1961 Pasal 1 ayat (1) tentang KetentuanKetentuan Pokok Kepolisian Negara dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara, ialah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri. Dan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4 menyatakan : “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggarakannya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” 2. Tugas dan Wewenang kepolisian Tugas pokok kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 Pasal 13, yaitu : Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : 1). Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, 2). Menegakkan Hukum, dan 3). Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pada dasarnya tugas pokok polisi adalah “ menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat “. Dan menurut C.H. Niewhuis ( M. Faal 1991 : 42 ) untuk melaksanakan tugas pokok itu polisi memiliki 2 (dua) fungsi utama yaitu : 1). Fungsi Preventif untuk pencegahan, yang berarti bahwa Polisi itu berkewajiban melindungi negara beserta lembagalembaganya, ketertiban dan ketatanan umum, orang-orang dan harta bendanya, dengan jalan mencegah dilakukannya perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatanperbuatan lainnya yang pada hakikatnya dapat mengancam dan membahayakan ketertiban dan ketenteraman. 2). Fungsi represif atau pengendalian, yang berartibahwa Polisi itu berkewajiban menyidik perkaraperkara tindak pidana, menangkap pelaku-pelakunya dan menyerahkannya kepada penyidikan untuk penghukuman. 3. kewenangan Polisi dalam Proses Pidana Khusus dibidang proses pidana, POLRI mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang berbunyi : (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia. Kewenangan polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri (diskresi), dapat dilakukan dalam keadaan : a. Keadaan yang sangat perlu b. Tidak bertentangan dengan perundang-undangan c. Tidak bertentangan dengan kode etik kepolisian. C. Tinjauan Umum Tentang Anak 1. pengertian Anak Berbicara tentang anak saat ini semakin menarik karena di balik itu semua terdapat fakta-fakta menarik tentang permasalahan anak. Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak adalah aset bangsa. Masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada di tangan anak sekarang. Semakin baik kepribadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila kepribadian anak tersebut buruk maka akan buruk pula kehidupan bangsa yang akan datang. Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan. Bagi kehidupan anak, masa kanakkanak seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa mereka bukan lagi anak-anak tapi orang dewasa. Untuk dapat memahami pengertian tentang anak itu sendiri sehingga mendekati makna yang benar, diperlukan suatu pengelompokan yang dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, yaitu ; 1. Pengertian Anak Dari Aspek Agama. Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini adalah agama Islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan.Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberi nafkah baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat, bangsa dan negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lil’alamin dan sebagai pewaris ajaran islam pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh orang tua, masyarakat , bangsa dan negara. 2. Pengertian Anak Dari Aspek Ekonomi. Dalam pengertian ekonomi, anak–anak Indonesia yang cerdas dan berwawasan luas dapat bermain dalam perkembangan ekonomi global. Anak dikelompokkan pada golongan non-produktif. Apabila terdapat kemampuan yang persuasif pada kelompok anak.Hal itu disebabkan karena anak mengalami transformasi finansial sebagai akibat terjadinya interaksi dalam lingkungan keluarga yang didasarkan nilai kemanusiaan.Fakta-fakta yang timbul di masyarakat anak sering diproses untuk melakukan kegiatan ekonomi atau produktivitas yang dapat menghasilkan nilai-nilai ekonomi. Kelompok pengertian anak dalam bidang ekonomi mengarah pada konsepsi kesejahteraan anak sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yaitu anak berhak atas kepeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan , dalam lingkungan masyarakat yang dapat menghambat atau membahayakan perkembangannya, sehingga anak tidak lagi menjadi korban dari ketidakmampuan ekonomi keluarga dan masyarakat. 3. Pengertian Anak Dari Aspek Sosiologis Dalam aspek sosiologis anak diartikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang senantiasa berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai status sosial yang lebih rendah dari masyarakat di lingkungan tempat berinteraksi.Makna anak dalam aspek sosial ini lebih mengarah pada perlindungan kodrati anak itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasanketerbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa, misalnya terbatasnya kemajuan anak karena anak tersebut berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa. 4. Pengertian Anak Dari Aspek Hukum. Dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak. Hal ini adalah sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai peraturan anak itu sendiri. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek hukum. a. Pengertian Anak Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian anak dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat di dalam Pasal 34 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Anak merupakan manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. b. Pengertian Anak Berdasarkan Undang-Undang no.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Berdasrkan pasal 1 ayat 2, 3, 4, dan 5 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak di jelaskan : Pasal 1 ayat 2 : Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pasal 1 ayat 3 : Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pasal 1 ayat 4 : Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Dan Pasal 1 ayat 5: Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terahadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan dari bentuk pertanggungjawaban sebagaimana layaknya seseorang subjek hukum yang normal. Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik. Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah memberikan perlindungan terhadap anakanak yang kehilangan kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada usia yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala kepentingan dan perlu mendapatkan hakhak khusus yang diberikan oleh negara atau pemerintah. Jadi dari berbagi defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang dimaksud dengan anak dan berbagai konsekuensi yang diperolehnya sebagi penyandang gelar anak tersebut. c. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang–Undang Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai umur 21 tahun mendapat izin kedua orang tua. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa anak adalah orang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah. d. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata. Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan pengertian anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai batas usia legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata. Dalam ketentuan hukum perdata anak mempunyai kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah pembagian harta warisan, sehingga anak yang berada dalam kandungan seseorang dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendaki sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 2 KUHPerdata. D. Tindak Pidana Kekerasan 1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan Bila ditinjau dari segi bahasa, kekerasan berasal dari kata “keras”.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan berarti: “bersifat keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; atau dapat diartikan sebagai paksaan”. Didalam KUHP tidak diberikan pengertian khusus mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan, namun dalam Pasal 89 KUHP disebutkan bahwa: “Melakukan kekerasan itu artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Yang disamakan dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah : membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya (lemah)”. Yang dimaksud “pingsan” dalam Pasal 89 KUHP berarti tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. Sedangkan “tidak berdaya” berarti tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, namun orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Pengertian kekerasan dalam konteks anak yang berhadapan dengan hukum menurut Pasal 1 angka 16 dalam Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak berarti: “Setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum”. Tindak pidana kekerasan menurut ahli kriminologi yang dikemukakan oleh Stephen Schafer dalam ( mulyana w. kusuma, 1984:24 ) “kejahatan kekerasan yang utama yaitu pembunuhan, penganiayaan, pencurian dengan kekerasan”. F. Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan Sutherland mengungkapkan penanggulangan kejahatan melalui 2 (dua) metode yaitu: 1. Metode reformasi, yaitu suatu cara yang ditunjukan kepada pengurangan jumlah recidivist atau kejahatan ulangan. Metode ini meliputi: a. Metode reformasi dinamik, metode ini berkaitan dengan cara bagaimana merubah penjahat dari kebiasaan yang tidak baik. b. Metode reformasi klinis, metode ini kondisi individulah yang menyebabkan kejahatan, karenannya perhatian dipusatkan lebih besar pada penjahat dari pada kejahatan itu sendiri. c. Metode hubungan kelompok dalam reformasi, menurut metode ini tingkah laku seseorang dikatakan sebagai hasil dari kelompok pergaulannya lebih besar dari pada sumbangan yang diberikan individu dalam tingkahlakunya yang khas ataupun karakternya. 2. Metode prevensi, yaitu suatu cara yang diarahkan kepada suatu usaha pencegahan terhadap kejahatan yang pertama kali akan dilakukan seseorang. Penanggulangan kejahatan mencakup kegiatan mencegah sebelum terjadi dan memperbaiki pelaku yang dinyatakan bersalah dan dihukum dalam penjara atau lembaga pemasyarakatan. Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dilakukan melalui 2 (dua) metode, yaitu : 1) Metode Moralistik Metode Moralistik dilakukan dengan cara membina mental spiritual yang dapat dilakukan oleh para ulama, para pendidik, dan lain-lain. 2) Metode Abolisionistik Metode abolisinistik adalah cara penanggulangan yang bersifat konseptual yang harus direncanakan dengandasar penelitian kriminologi dan menggali sebab musababnya dari berbagai faktor yang berhubungan. IV. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian bab sebelumnya, maka Penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kualifikasi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh Anak dalam pandangan hukum pidana khususnya di Kabupaten Pinrang adalah kejahatan penganiayaan, kejahatan terhadap nyawa orang lain, kejahatan pencurian dengan kekerasan, kejahatan terhadap kesusilaan, dan kejahatan terhadap ketertiban umum. 2. Usaha penanganan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan pihak kepolisian yaitu memberikan sosialisasi kepada anggota masyarakat tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak, memberikan pembinaan kepada anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan, mendirikan ruang dan pelayanan khusus dan membentuk unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). B. Saran Sebagai pelengkap dalam penulisan ini, maka penulis menyumbangkan beberapa pemikiran-pemikiran yang kemudian penulis tuangkan dalam bentuk saran yaitu : 1. Penulis menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali, agar selalu ikut serta dalam upaya pencegahan. Tanpa didukung masyarakat, usaha dari pihak kepolisian tidak akan memberi hasil yang maksimal. 2. Perhatian keluarga terhadap seorang anak sangat penting karena dapat mengontrol seorang anak untuk tidak melakukan tindak pidana penganiayaan. 3. Setidaknya lembaga-lembaga yang terkait dan bertanggung jawab dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak khususnya di Kabupaten Pinrang kiranya lebih berperan aktif dalam hal penanggulangannya serta memikirkan langkah-langkah yang konkrit dan efisien. DAFTAR PUSTAKA Buku : Abdussalam, 2016, Hukum Perlindungan Anak, PTIK, Jakarta Adami Chazawi. 2010. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Andi Hamzah. 2004.Asas-Asas Hukum Pidana (EdisiRevisi). Raneka Cipta. Jakarta Andi Muhammad Sofyan dan NurAzizah. 2016. Hukum Pidana, Pustaka Pena: Makassar. Dirdjosisworo, Soedjono. 1976. Penanggulangan Kejahatan. Alumni, Bandung LedenMarpaung. 2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya). Sinar Grafika: Jakarta. Maidin Gultom. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Refika Aditama: Bandung. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak