Membangun Citra Positif Polri (Sebuah Strategi Menguasai Media Massa & Media Sosial) ABDULLAH KHUSAIRI Makalah ini dihidangkan dalam Diskusi Terbatas dengan Kabid Humas Polda Sumbar Januari 2016 Bukalah situs Youtube.com, domain penyedia sarana siaran video gratis di internet dengan key word “Polantas”, akan ditemukan beberapa video yang mungkin saja mengagetkan. Umumnya video tentang Polisi Lalu Lintas (Polantas) yang direkam entah oleh siapa, lalu diunggah sehingga setiap orang bisa menonton, setiap waktu, dimana saja. Konten tontonan itu sungguh membuat citra baik polisi tercoreng. Karena ada oknum-oknum Polantas yang nakal memermainkan hukum di lapangan. Tentu saja tindakan ini tidak bisa terjadi sepihak saja. Ada dua pihak, antara oknum Polantas dan anggota masyarakat. Mereka bernegoisasi dan akhirnya melanggar hukum yang sudah disepakati. Tilang tak jadi, urusan selesai setelah negoisasi saling menguntungkan terjadi. Menariknya, di salah satu video itu, ketika berakhir tertera katakata, jangan ditiru, masih banyak polisi yang jujur! Sumber Opini Negatif Lembaga Kepolisian Negara Indonesia sudah menyadari pentingannya gerakan untuk membangun opini positif di tengah arus opini negatif terhadap aparat hukum pada era informasi ini. Jajaran petinggi Polri menyadari arus informasi bisa memutar yang baik menjadi buruk, yang buruk menjadi baik. Era keterbukaan dan kemajuan teknologi informasi harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk citra baik lembaga kepolisian. Sejauh ini, gerakan membangun citra baik yang sudah dilakukan belum signifikan dibanding dengan serangan opini negatif terhadap polisi. Ini dimaklumi karena, lembaga penegak hukum sebesar Polri memiliki banyak lawan yang tidak kelihatan (enemy of silent). Diduga, mereka muncul karena pernah merasa dirugikan pihak Polisi ketika menjalankan tugas, mereka yang benar-benar tertekan oleh oknum-oknum yang nakal di lapangan, juga tak menutup kemungkinan di dalam tubuh Polri sendiri yang kecewa dengan sistem. Dari sinilah awalnya, di samping yang iseng-iseng, mendapat kesempatan untuk mematahkan semua hal yang sudah dilakukan oleh Polri. Membasmi Opini Negatif Hasil suatu penelitian terhadap seratus top eksekutif di bidang produksi barang dan jasa, lebih dari 50 persen mengaku penting sekali untuk memelihara citra baik di hadapan publik. ( Soemirat& Ardianto, 2002:111). Namun hal itu tidak bisa datang sendiri. Harus ada gerakan bersama dalam sebuah lembaga agar persepsi publik bisa berubah dari pendulum negatif ke positif. Selain ada gerakan tentu ada proses, strategi, juga evaluasi terus menerus. Mengingat dinamika di lapangan tidak bisa serta merta diatur. Perubahan sangat dinamis di tengah publik seiring arus informasi yang dinamis. Gerakan Citra Baik Kampanye untuk citra yang baik sudah dilakukan secara terprogram oleh lembaga kepolisian di setiap daerah hingga ke pusat. Begitu pula sebaliknya. Tetapi belum mampu melawan citra negatif yang datang menyerang secara masif. Diduga, hal ini karena prosedur di kepolisian membutuhkan administrasi dan instruksi ketat. Struktur kepemimpinan dan alur komunikasi membuatnya pola dan iklimnya seperti itu. Dapatkan merobah struktur dan alur komunikasi tersebut? Bisa. Tergantung pola kepemimpinan yang sedang berjalan. Sudah dapat dipercaya, kinerja polisi sudah berjalan sebagaimana mana mestinya di rel aturan-aturan hukum yang mengaturnya. Ada banyak prestasi polisi yang dicatat, terdokumentasi dan diberitakan, namun itu semua belum mampu mengalahkan opini negatif yang berkembang. Sering lembaga kepolisian mengalami degradasi citra karena ulah satu dua orang oknum saja. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Strategi Membangun Citra Tidaklah sulit melakukan sebuah gerakan bila telah tumbuh kesadaran atas apa yang sudah terjadi di lapangan. Apalagi saat ini, media massa yang sudah bercorak industri murni, sudah bisa diajak bekerja sama dalam berbagai bentuk sehingga bisa menguntungkan antara lembaga media massa dengan lembaga kepolisian. Misalnya, menggunakan jalur pariwara, periklanan dan adventorial. Persoalan yang masih mengganjal, adakah kerja sama itu bisa membangun citra? Belum tentu. Karena publik sudah cerdas. Aparat bertugas untuk membangun citra, di semua jajaran, harus mengerti tentang watak media dan watak publik dalam membaca, mendengar dan menonton media yang ada di hadapannya. Watak media, akan selalu tampak tampil independen dan kritis, bahkan cenderung menyalahkan, ini disebabkan, nilai berita yang dianut bad news good news. Pengertian berita anjing menggigit manusia, bukan berita. Manusia menggigit anjilah, yang berita. Sejalan dengan itu, sudah tertanam dalam watak publik, akan sangat suka yang jelek dari pada yang bagus. Istilah lain, berita jual kecap nomor satu tidak akan mampu mengalahkan nilai berita negatif tentang kecap. Berangkat dari pernyataan itu, senyatanya pariwara dan sejenisnya tidak akan mampu mengangkat citra polisi. Ia hanya mampu membangun relationship antar dua lembaga secara normal dan biasa-biasa saja. Tidak ada yang luar biasa. Bagaimanakah melahirkan yang luar biasa? Menarik minat media juga minat insani publik? Di sinilah perlu kreativitas. Hanya saja, di lembaga seperti Polri, kreativitas bisa dianggap tabu bila meloncat rambu-rambu hukum dan konsesus. Bisa dianggap tidak baik dan tidak nyaman bagi pimpinan. Kasus Norman Kamaru, contoh kecil untuk ini. Strategi yang sangat memungkinkan adalah, jajaran pimpinan yang langsung bersentuhan dengan publik, setiap saat mau berbagi informasi secara aktif. Tidak menyimpan dan menunggu. Tersedia setiap waktu, di luar pertanyaan wartawan yang ingin tahu setiap kasus, isu-isu strategis bersifat menaikkan citra. Tidak hanya berita rutin semisal penangkapan semata yang sudah saban hari ada sehingga tak lagi menjadi sesuatu yang besar. Tetapi bagaimana yang unik dan langka. Sekadar misal, ada anggota polisi yang ternyata berprestasi di bidang olahraga, polisi di luar kedinasan melaksanakan kegiatan kemanusiaan, baik secara personal maupun secara kelompok dan kesatuan. Ini tentu perlu didiskusikan secara mendalam dampak lainnya. Satu lagi, ada anggota polisi yang bekerja di luar kapasitas yang mesti dipertimbangkan. Misalnya, ada foto anggota Polisi Wanita (Polwan) yang bersepeda membawa kotak suara Pemilu ke daerah terpencil. Ini justru lebih menarik diekspos tanpa menyinggung siapapun, tanpa perlu menepuk dada, tetapi diceritakan apa adanya. Ini pengalaman, setiap pagi pada jam dinas, melihat anggota Polantas mengatur lalu lintas yang padat dan tentu penuh debu. Sementara, para pengendera tidak memedulikan mereka. Tugas ini sangat mulia agar tidak terjadi kemacetan dan merugikan masyarakat. Tetapi pandangan masyarakat dan mungkin saja bagi pimpinan, dianggap sudah tugas biasa. Ini bisa menjadi berita luar biasa, jika dikemas dengan kreatif. Mengatur masyarakat urban yang sungguh tergesa-gesa pergi kerja bukanlah persoalan yang mudah. Semuanya ingin mendahului, sementara polisi hanya beberapa orang saja di persimpangan. Secara teoritis ilmu jurnalistik, semua hal bisa dijadikan berita asalkan para jurnalis mampu dan memiliki motivasi memberitakannya. Mengemas sesuatu yang biasa menjadi luar biasa adalah pekerjaan para jurnalis, aparat kepolisian harus memberi ruang untuk itu kepada jurnalis yang ditunjuk secara profesional. Dinamika Wartawan Media massa dapat dipandang sebagai lembaga industri informasi yang bisa diajak kerja sama secara strategis saling menguntungkan. Kapan perlu bisa dilakukan secara gratis karena nilai berita yang bagus dan dibutuhkan media massa tersebut. Khususnya cetak, di lokal, biasanya mau bekerja sama dengan baik. Hal itu juga terjadi dengan media elektronik, radio dan televisi lokal. Hanya perlu membuka akses dan duduk bersama. Tentunya, ini sudah dilakukan, tinggal lagi bagaimana lebih intens dan mendalam. Mungkin yang perlu dikelola secara khusus dan berani, pihak aparat mengajak awak media yang benar-benar jelas medianya. Bukan mereka para jurnalis yang tidak memiliki kartu identitas. Ada dua jenis identitas tersimpan di saku jurnalis profesional. Pertama, kartu dari lembaga pers tempat mereka menjadi karyawan perusahaan pers. Kedua, juga ada kartu uji kompetensi wartawan yang dikeluarkan lembaga profesi, seperti PWI, AJI dan beberapa lembaga lain yang ditunjuk Dewan Pers. Dua kartu ini harus menjadi persyaratan, mengingat banyaknya wartawan yang tidak mau memperlihatkan identitas tetapi bergentayangan melacur diri untuk mendapatkan amplop dari nara sumber. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan UU Pers No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menjelaskan hal ini. Kapan perlu, jika memang ada oknum yang berlagak tidak sesuai dengan KEJ dan UU Pers, aparat polisi tak perlu menunggu laporan untuk menindaknya. Ini perlu, untuk melindungi wartawan yang resmi dan bisa diajak kerja sama secara profesional dan lembaga pers sebagai mitra lembaga kepolisian. Memahami Media Sosial Ada perbedaan yang sangat krusial antara watak media sosial dengan media massa. Media massa memiliki badan hukum dan awak redaksi yang jelas dan resmi. Sementara media sosial, dimiliki oleh perorangan. Sungguhpun ada yang dimiliki secara lembaga, namun tentu sangat kecil kemungkinan mampu memberikan penetrasi karena aturan pada lembaganya. Akun-akun media sosial milik perorangan, sering sekali menarik perhatian karena konten yang diunggahnya. Analogi akun-akun liar anonim, pada dasarnya di online sama halnya pemilik kenderaan bodong di lalu lintas. Harus ditangkap dan dilarang. Persoalannya, bagi polisi tidaklah sulit untuk melakukannya. Peran Cyber Police sangat penting di sini. Di Indonesia, Facebook menduduki peringkat tertinggi sebagai media sosial yang paling banyak digunakan, disusul twitter, instagram, path, linked, dll. Sementara itu, untuk chatting, fasilitas massenger, selain Blackberry, juga diramaikan Whatapps, Lines, Telegram dll. Sejauh ini, opini negatif bagi polisi banyak berada di sini media sosial ini, di sela-sela opini positif yang belum dikemas secara rapi dan menarik. Penutup Beranjak pemikiran di atas perlu dilaksanakan gerakan komunikasi efektif ke dalam ke luar lembaga kepolisian untuk melahirkan strategi-strategi yang matang demi tercapainya citra positif lembaga kepolisian. ”The management of communication between an organization and its public.” (Baskin, Aronoff dan Lattimore, 1997:5) Manajemen komunikasi untuk publik itu tidak bisa hanya sekadar memenuhi hasrat ingin tahu semata. Harus pula dipenuhi selera dan hal-hal yang di luar batas keingintahuan. Kaidah nilai berita bisa digunakan untuk ini. Nilai berita lebih tinggi dari berita-berita rutin selama ini. Kerja sama dengan para pihak untuk mengelola sistem informasi yang efektif dan strategis perlu ditingkatkan. Era ini, tidak mungkin lagi menutup akses informasi, yang perlu dilakukan adalah membuka saluran dan mengarahkannya secara benar agar opini publik tidak dimainkan oleh kelompok kepentingan di luar lembaga Polri. Media massa dan media sosial butuh informasi, lembaga Polri adalah gudang informasi yang perlu kemasan dengan daya kejut yang luar biasa. Kemasan komunikasi itulah yang perlu kreasi dinamis. Semoga bisa dilakukan segera untuk citra positif di masa depan. Salam.[] Sumber Bacaan Grunig, J.E. 1992. Excellence in Public Relations and Communication Management. New Jersey, Lawrence Erlbaum Associate, Inc. I Gusti Ngurah Putra. 1999.Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit UAJ. Jefkins, Frank. 1996. Public Relations (terjemahan). Jakarta: penerbit Erlangga. Rosady Ruslan.1999. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. https://www.youtube.com/watch?v=Rv-wGMbgw6A https://www.youtube.com/watch?v=S3YIiGWCoXw&spfreload=10 ABDULLAH KHUSAIRI, S.Ag., MA., adalah penulis buku Di Bawah Kuasa Media Massa (2014), staf pengajar di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah & Ilmu Komunikasi IAIN Imam Bonjol Padang. Sempat menjalankan profesi jurnalis selama 10 tahun di Harian Pagi Padang Ekspres, Padang TV, POSMETRO PADANG. Kini masih aktif menulis di Harian Umum Independen SINGGALANG.