Uploaded by User107545

Tugas Essay Kelompok

advertisement
KOMPARASI TEORI KONTRAKTUALISME/KONTRAKTARIANISME
THOMAS HOBBES DAN JOHN LOCKE
ANGGOTA KELOMPOK
1. Danu Saifulloh Rahmadhani
(20/458551/FI/04787)
2. Doni Andika Pradana
(20/461357/FI/04845)
3. Eki Septian Tri Wulansari
(20/461361/FI/04849)
A. TEORI KONTRAKTUALISME THOMAS HOBBES
Thomas Hobbes adalah filsuf empirisme berkebangsaan Inggris yang hidup
pada kurun waktu 1588-1679. Corak Pemikiran Thomas Hobbes dikenal bersifat deterministis dan materialistis, yang artinya pemikiran Thomas Hobbes tidak memberi
ruang pada kebebasan dan tidak mengakui adanya unsur rohani (Kees Bertens, 2018).
Adapun karya Thomas Hobbes yang paling berpengaruh yaitu Leviathan yang di dalamnya banyak membahas mengenai filsafat politik yang meliputi struktur atau
tatanan masyarakat hingga konsep tentang kontrak sosial.
Pemikiran Thomas Hobbes yang akan dibahas dalam uraian ini adalah
mengenai teori kontrak sosial. Pemikiran Thomas Hobbes tentang teori kontrak sosial
pada dasarnya berangkat dari keadaan alamiah (The State of Nature), Hobbes
menekankan bahwa keadaan tersebut merupakan keadaan yang kacau balau karena
setiap manusia berusaha menyelamatkan dan mempertahankan segala sesuatu yang
dimiliki dengan kekuasaannya masing-masing (Kees Bertens, 2018). Kondisi yang
kacau balau tersebut juga tercipta karena sifat alamiah manusia yang senantiasa berusaha memenuhi keinginan diri (desire) dan berusaha menghindarkan diri dari halhal yang tidak disukai (aversion) (Wijaya, 2016). Bahkan Hobbes menggambarkan
keadaan alamiah tersebut dengan semboyan bellum omnium contra omnes (perang
semua orang melawan semua) dan semboyan homo homini lupus (manusia adalah
serigala bagi manusia lain).
Dengan melihat kondisi alamiah seperti itu, maka Hobbes menyimpulkan
bahwa permasalahan yang paling mendesak dalam kehidupan masyarakat adalah selfpreservation atau penyelamatan diri. Oleh karena itu, menurut Hobbes agar manusia
dapat bebas dari bahaya kehancuran semacam itu diperlukan sebuah tuntutan supaya
tiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendak sendiri, yakni dengan
bersatu dan bersama-sama membuat suatu perjanjian bahwa mereka akan tunduk
kepada suatu instansi pusat (Hadiwijono, 1980).
Kontrak sosial yang diilhami oleh Hobbes pada dasarnya menekankan pada
penyerahan kebebasan semua orang kepada instansi atau pihak yang memiliki
kewajiban melindungi mereka, mengingat kebebasan menurut Hobbes didefinisikan
sebagai suatu ancaman bagi orang lain (Kees Bertens, 2018). Selain itu, hadirnya instansi atau orang yang memiliki kewajiban melindungi semua orang tersebut berfungsi sebagai otoritas yang memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk memaksakan
aturan dan kesepakatan demi menjamin keselamatan bersama dan demi melindungi
serta menegakkan kepentingan umum (Graham, 2018). Hobbes juga menyadari
bahwa kekuasaan bersama yang tercermin dalam kontrak sosial merupakan suatu hal
yang penting bagi menciptakan tatanan masyarakat yang damai dan kondusif untuk
mewujudkan kesejahteraan serta kemakmuran dalam masyarakat.
Hobbes juga menegaskan bahwa atas dasar kesepakatan bersama tersebut berakhirlah segala hak individu yang ada dan berganti menjadi kewajiban untuk mentaati kuasa yang ada. Selain itu, dalam perjanjian ini yang terikat adalah individu yang
bersepakat dalam perjanjian sedangkan penguasa tidak turut serta membuat perjanjian
tersebut. Oleh karena itu, tiap individu tidak berhak untuk memberontak. Hobbes menyebut orang banyak yang dipersatukan demikian sebagai commonwealth dalam
bukunya Leviathan (Hadiwijono, 1980).
Kemudian dengan adanya kontrak sosial tersebut otomatis menimbulkan suatu
konsekuensi tersendiri bagi masyarakat yang harus patuh terhadap setiap aturan yang
dikeluarkan oleh institusi yang memiliki otoritas mengeluarkan aturan tersebut. Adapun aturan yang dikeluarkan oleh institusi tersebut harus bersifat mengabdi pada
kepentingan umum dan demi keselamatan bersama. Selain itu, suatu instansi atau
orang yang memiliki kewajiban melindungi masyarakat tersebut dibenarkan
menggunakan paksaan agar setiap individu bertindak sesuai dengan aturan (Graham,
2018).
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran kontraktualisme
Hobbes yang tercermin dalam teori kontrak sosialnya adalah suatu alternatif atau solusi untuk mengatasi kondisi bellum omnium contra omnes. Sifat alamiah manusia
yang senantiasa berusaha memenuhi keinginan (desire), senantiasa berusaha
menghindar dari hal-hal yang tidak disukai (aversion), dan senantiasa haus dengan
kekuasaan merupakan bentuk keegoisan manusia, bahkan, apabila keegoisan tersebut
terus dipelihara maka kehidupan manusia tidak akan menemui kedamaian atau ketentraman. Oleh karena itu, dengan kontrak sosial yang ditandai dengan penyerahan
hak dan kebebasan setiap individu kepada suatu instansi menandai beralihnya
masyarakat yang egois menjadi masyarakat yang patuh terhadap aturan yang dibuat
oleh penguasa untuk mewujudkan masyarakat yang bermartabat dan beretika.
B. TEORI KONTRAKTARIANISME JOHN LOCKE
John Locke (1632-1704) merupakan seorang filsuf asal Inggris dengan
pemikiran empirisme yang melekat dalam dirinya. Dianggap sebagai pendiri empirisme tak lain adalah akibat doktrinnya mengenai pengetahuan (kecuali logika dan matematika) yang berasal dari pengalaman. John Locke hidup saat terjadi konflik antara
raja dan kekuatan parlemen di Inggris dan ketertarikannya pada bidang politik, sama
seperti ayahnya yang menjadi seorang ahli hukum yang berpihak pada parlemen
membawanya pada karya-karya dan pemikiran politik berbentuk praktek maupun teori yang diikuti oleh para politisi dan filsuf. Bahkan, Konstitusi Inggris yang didasarkan oleh ajaran Locke juga diadopsi oleh Prancis pada 1871. Karya berjudul “Two
Treatises of Government” dan “First Letter Concerning Toleration” adalah yang berpengaruh dalam kontribusinya di bidang politik.
Seperti halnya dengan Hobbes, pemikiran Locke mengenai politik dan
pemerintahan berpangkal pada keadaan alamiah manusia. Namun, ada perbedaan
mendasar diantara keduanya, menurut Locke keadaan alamiah tersebut bukanlah
keadaan perang yang total, seperti yang diajarkan Hobbes. Orang juga mendasari diri
pada hukum akal, dimana mereka mengejar untuk tidak merugikan orang lain, baik
dalam hidupnya atau hal materi miliknya (Hadiwijono, 1980). Poin utama dari Treatise adalah berhubungan langsung mengenai kewajiban individu atas orang lain, tetapi
karyanya tersebut merupakan sebuah karya filsafat politik karena ia tidak membahas
tentang fondasi atau kesepakatan moral (Graham, 2018).
Selain itu, keadaan alamiah yang dikehendaki oleh Locke digambarkan bahwa
manusia sudah mengenal hukum kodrat dan berdasar hukum kodrat tersebut ditegaskan bahwa manusia memiliki hak-hak kodrati (natural rights). Adapun hak-hak ko-
drati itu terdiri atas hak atas kehidupan, hak kepemilikan, dan hak kebebasan. Walaupun apabila dicermati lagi hak yang paling dasar adalah hak kepemilikan, mengingat
pada dasarnya hak kehidupan dan hak kebebasan akhirnya dimiliki oleh setiap manusia (Kees Bertens, 2018). Hak-hak tersebut yang kemudian memunculkan teori
hukum sebagai bentuk pandangan Locke bahwa hak-hak individu sebagai suatu hal
yang harus dilindungi oleh negara. Dengan kata lain, hak-hak tersebut yang kemudian
dikembalikan lagi kepada filsafatnya mengenai keadaan alamiah yang kemudian
identik dengan aturan moral yang ditetapkan oleh Tuhan dan didapati dalam Alkitab.
Berangkat dari keadaan alamiah tersebut, Locke juga mengakui perlunya kontrak sosial dalam masyarakat. Mengingat setiap manusia pada dasarnya memiliki
keinginan masing-masing sehingga riskan sekali timbul permasalahan dan dapat berujung pada konflik atau peperangan. Oleh karena itu, kontrak sosial dibutuhkan untuk
melindungi hak-hak kodrati tiap-tiap manusia. Bahkan kontrak sosial dipercaya sebagai jalan alternatif untuk menciptakan masyarakat yang beradab (Wijaya, 2016).
Kontrak sosial yang ditawarkan oleh Locke mengindikasikan pada penaklukan diri
kepada seorang penguasa negara yang berkewajiban untuk melindungi hak-hak kodrati setiap rakyatnya sehingga muncul konsekuensi bagi si penguasa yang terpilih
untuk memperinci dan melembagakan hukum kodrat dengan hukum positif atau dalam artian lain peraturan yang dibentuk dalam teori kontrak sosial Locke didasarkan
pada hukum kodrat bukan kuasa semata.
Berbeda dengan Hobbes yang tampak memberikan pandangannya bahwa ia
mengagungkan kekuasaan, Locke dalam filsafatnya lebih meyakini bahwa kesenangan adalah sesuatu yang baik. Dalam hal berfilsafat, Locke menerapkan doktrin
bahwa setiap memutuskan suatu persoalan dapat dilakukan dengan diskusi bebas dan
berkeyakinan akan timbul pembaharuan bertahap karena adanya metode diskusi
bebas tersebut. Dari pandangan mengenai diskusi bebas itulah yang menghadirkan
pandangan bahwa perang adalah suatu bentuk tindakan bodoh dan membawa pengikut Locke beraliansi dengan kapitalis (Russel, 1946).
Beberapa poin penting dapat diambil dari sedikit pemaparan mengenai filsafat
kontraktarianisme milik Locke seperti mengenai cara mengatasi persoalan-persoalan
penting, hak milik, dan juga pengaruh Locke yang membawa perubahan signifikan
dalam fungsi negara pada saat itu. Namun, negara alami tersebut nyatanya hanya
dapat berlaku antarnegara. Pemikiran Locke umumnya menyerukan kepentingan diri
dengan tujuan meningkatkan kebahagiaan, dan bukan penderitaan bagi umat manusia,
yang tentu berkebalikan dengan aliran yang mengatasnamakan heroisme dan pengorbanan diri (Russel, 1946). Selain itu, Locke juga menghendaki adanya kontrak sosial
sebagai suatu jalan untuk menciptakan masyarakat yang beradab dan dapat menghargai hak masing-masing setiap individu guna menghalau permasalahan atau konflik
yang merugikan masyarakat itu sendiri.
C. ARGUMENTASI KELOMPOK MENGENAI KONTRAKTUALISME SEBAGAI SEBUAH TEORI ETIKA
Kontraktualisme/Kontraktarianisme adalah sebuah teori etika yang mendasarkan diri pada konsep bahwa persoalan mengenai moralitas adalah berdasar pada apa
yang disebut sebagai persetujuan. Yang kemudian oleh beberapa tokoh yang telah
kami uraikan diatas dielaborasi menjadi sebuah konsepsi apa yang disebut persetujuan
bersama (kontrak sosial) dengan cara mengabstraksi struktur sosial & politik yang
ada. Dalam hal ini, kita mesti menyepakati konsep dari moralitas itu sendiri terlebih
dahulu sebagai sebuah aturan dan prinsip yang harus dijalankan ketika kita
menginginkan tatanan masyarakat yang berjalan dengan baik.
Berdasarkan literatur yang sudah kami himpun, memang kebanyakan tokoh
yang membahas mengenai konsep kontraktualisme ini kebanyakan adalah seorang
filsuf yang berkutat pada pemikiran filsafat politik sehingga sulit sekali membedakan
dimana letak pembahasan mengenai moralitas dalam pemikiran mereka. Misalnya
saja, menurut dua tokoh yang telah kami uraikan diatas, Hobbes dan Locke, keduanya
merupakan filsuf besar yang memang dikenal dengan pemikirannya mengenai negara
bukan tentang etika.
Teori Hobbes mengenai kontrak sosial menekankan kepada tegaknya sebuah
otoritas memang memiliki dasar argumentasi yang kuat mengingat bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang egois serta persoalan sosial memang seringkali
tidak dapat diselesaikan dengan mudah apabila tidak ada suatu paksaan yang tegas
terhadapnya. Oleh karena itu, dalam hal ini teori Hobbes memiliki kekuatan dalam
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang teratur dan tertib ketika pemilik otoritas
tersebut juga mampu menerapkan kebijaksanaan praktis. Namun, sedikit kritik terhadap teorinya tersebut adalah sangat berbahaya ketika otoritas yang tercipta justru
kekuasaan otoriter yang kaku sehingga aturan dan prinsip yang baik (moralitas
masyarakat) tidak akan mudah untuk berjalan karena tidak ada jaminan yang pasti
bahwa pemegang otoritas tersebut mampu menegakkan dan melindungi kepentingan
umum.
Sementara itu, dalam teori Locke yang menyangkut kontrak sosial lebih
menekankan pada kebebasan dan hak individu memiliki alasan yang kuat juga untuk
menciptakan sebuah aturan dan prinsip umum yang baik (moralitas masyarakat). Hal
ini tentu menjadikan kontrak sosial miliknya seakan lebih fleksibel dalam upayanya
mempertimbangkan berbagai keputusan dari pandangan-pandangan lain, juga membuat pemerintahan seolah memiliki “kebebasan” dalam menyalurkan aspirasi mereka
dalam rangka memajukan pemerintahan itu sendiri menjadi lebih baik dan terbarukan.
Selain itu, kontrak sosial milik Locke lebih menjurus pada peningkatan nilai dalam
diri manusia dan dengan adanya kebebasan disini dimaksudkan Locke tak lain adalah
sebagai bentuk pengembangan dalam diri manusia tersebut agar berpandangan luas
dan tidak takut menyuarakan pendapatnya dalam upaya menjadikan pemerintahan
lebih baik, karena rakyat yang mampu bersuara atau menyatakan pandangannya
seolah dipercaya juga mampu mengembangkan negara/pemerintahan tersebut. Teori
mengenai kekerasan dalam upaya menyatukan nampaknya tidak berlaku dalam teori
kontraktarianisme Locke, mengingat tujuan baik dalam mengupayakan negara yang
maju, haruslah dapat dicapai dengan jalan yang baik, dan dengan begitulah Locke
mempercayai bahwa kebahagiaan atau kesenangan akan timbul dari hal-hal baik seperti halnya dengan menyuarakan pendapat, bukan dengan berperang.
Sayangnya, mengenai kebebasan itu sendiri ada hal yang mesti digarisbawahi
yakni mengenai tanggungjawab yang timbul di balik kebebasan. Tidak ada yang bisa
menjamin bahwa setiap individu akan melaksanakan tanggung jawab yang timbul
akibat kebebasan yang dimiliki. Apabila Locke menekankan pada pentingnya
partisipasi semua orang kita mesti mengkritisi bahwa partisipasi seseorang dalam
masyarakat tidak dapat menjadi alasan yang kuat atau minimal mencukupi untuk
membuat orang tersebut setuju dengan apa yang menjadi prinsip-prinsip dasar moralitas masyarakat.
Pemikiran kontraktualisme atau kontraktarianisme, baik dari pemikiran
Thomas Hobbes maupun John Locke, pada dasarnya memiliki perbedaan dan persamaan tersendiri. Adapun perbedaan tersebut terlihat dalam keadaan alamiah yang
dikemukakan oleh Hobbes dan Locke, mengingat keadaan alamiah ini akan berpengaruh pada pemikiran kontraktualisme masing-masing tokoh yang tercermin dalam teori kontrak sosial mereka. Hobbes menghendaki bahwa keadaan alamiah manusia digambarkan dengan perang semua orang melawan semua dan manusia sebagai
serigala bagi manusia lainnya. Berangkat dari keadaan alamiah yang kacau balau dan
tidak beradab tersebut mengilhami teori kontrak sosial ala Hobbes yang terkenal lugas
dan kaku, hal tersebut terlihat dalam teori kontrak sosialnya yang menekankan pada
penyerahan kebebasan dan hak setiap individu kepada suatu instansi yang berotoritas
membuat suatu peraturan. Selain itu, dengan adanya kontrak sosial ini setiap individu
mendapat konsekuensi untuk selalu taat dan patuh terhadap aturan yang telah dibuat
oleh pihak yang berotoritas tersebut. Sedangkan, keadaan alamiah yang dikehendaki
Locke tidak separah apa yang digambarkan oleh Hobbes karena menurut Locke
manusia sebenarnya sudah mengenal hukum kodrat yang didalam hukum kodrat tersebut terkandung hak-hak kodrati (hak hidup, hak milik, dan hak bebas). Dengan
demikian, kontrak sosial Locke ditujukan untuk melindungi hak-hak kodrati tiap-tiap
individu, selain itu kontrak sosial Locke juga bersifat lebih fleksibel dan dinamis karena berpegang teguh pada hak-hak kodrati manusia. Tidak seperti kontrak sosial
Hobbes yang deterministis.
Pemikiran kontraktualisme yang tercermin dalam teori kontrak sosial dari
kedua tokoh tersebut juga memiliki persamaan yang mendasar. Hal tersebut terlihat
dari tujuan teori kontrak sosial itu sendiri, baik milik Hobbes maupun Locke,
keduanya bertujuan untuk mengatasi keadaan yang tidak diharapkan. Misalnya kontrak sosial Hobbes ditujukan untuk mengatasi keadaan perang semua melawan semua,
sedangkan kontrak sosial Locke ditujukan untuk melindungi hak-hak kodrati manusia
dari tindak kesewenang-wenangan pihak lain. Dengan demikian teori kontrak sosial
dipilih menjadi alternatif solusi mengatasi keegoisan manusia untuk mewujudkan
manusia yang beradab dan memiliki tatanan sosial yang teratur.
REFERENCES
Graham, G. (2018). Teori-teori Etika. (I. M. Zakkie, Trans.) Yogyakarta: Nusa Media.
Hadiwijono, H. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: PT. Kanisius.
Kees Bertens, J. O. (2018). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Russel, B. (1946). History of Western Philosophy. London: George Allen and UNWIN
LTD.
Wijaya, D. N. (2016, Desember 2). Kontrak Sosial menurut Thomas Hobbes dan John
Locke.
Jurnal
Sosiologi
Pendidikan
http://journal.um.ac.id/index.php/jsph
Humanis,
1,
183-193.
From
Download