Uploaded by common.user107476

Naskah Struktur Grup 2018-02-22 (versi terbit)

advertisement
Dr. Muhamad Ali Misri, M.Si.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN
978-602-0834-40-5
Judul Buku
Struktur Grup
Penulis
Dr. Muhamad Ali Misri, M.Si.
Editor
Reza Oktiana Akbar, M.Pd.
Lay out & Tata Letak
Bilqis Print
Di Terbitkan oleh:
(CV.CONFIDENT)
Anggota IKAPI Jabar
Jl. Pluto Selatan III. No.51. Margahayu Raya Bandung
Jl. Karang Anyar No. 17. Jamblang Cirebon
Telp/Fax (0231) 341 253. Hp : 0821 74000 567 Kode Pos 45156 Jawa Barat
Email : [email protected]
Edisi Desember 2017
Hak Cipta ada pada penulis dan dilindungi Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002, Pasal 2, Ayat (1) dan Pasal 72 Ayat (1) dan (2) tentang Hak Cipta.
Dilarang memperbanyak buku ini, tanpa ijin dari penulis dan penerbit
Confident.
PRAKATA
Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung begitu pesatnya.
Penggunaan produk ilmu pengetahuan melahirkan teknologi yang
mempermudah hidup manusia modern. Setiap produk pengetahuan dan
teknologi yang dihasilkan tidak lepas dari peran matematika sebagai alat di
dalamnya. Matematika sendiri tidak bisa begitu saja dapat dipahami dan
digunakan sesuai perkembangan. Ada kajian tersendiri sehingga matematika
dapat dipahami dan menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan.
Kajian tersebut di antaranya mengenai struktur grup. Kajian ini mendasari
teori gelanggang dan modul dalam aljabar. Kondisi ini menuntut kita untuk
dapat mempelajari struktur grup agar dapat meningkatkan kemampuan
aljabar.
Buku ini ditulis untuk memperkenalkan konsep grup berdasarkan
pengalaman mengajar penulis pada level sarjana matematika/ pendidikan
matematika. Buku ini merupakan edisi revisi dari buku pengantar aljabar
abstrak: grup (2014). Pengalaman mengajar dengan melakukan pengamatan
langsung pada aktivitas dan kemampuan mahasiswa menghasilkan berbagai
materi tambahan dan perbaikan dari edisi sebelumnya. Perubahan nama
dilakukan mengingat materi pada buku ini fokus pada struktur grup.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat membantu mahasiswa pemula dalam
mempelajari struktur grup, terutama bagi mahasiswa yang belum mampu
belajar dengan menggunakan buku teks berbahasa asing.
Buku ini menjelaskan konsep struktur grup secara berjenjang dan
sistematis agar mudah dipahami. Penjelasan konsep dimulai dari pendahuluan,
konsep dasar grup, kelas khusus pada grup dan kesamaan grup. Semuanya itu
disusun menjadi enam pokok bahasan, yaitu: pendahuluan, grup, grup simetri,
grup siklis, grup faktor dan homomorfisma grup. Bagian pendahuluan
membekali
pembaca
kemampuan
membentuk
pernyataan
dan
membuktikannya serta kemampuan dalam himpunan, partisi dan relasinya.
Penguasaan pada bagian ini menjadi syarat untuk mempelajari bagian lainnya.
Selanjutnya bagian grup. Pada bagian ini disajikan konsep dasar grup dan
subgrup serta beberapa sifat dasar yang harus dikuasai pembaca sehingga
memiliki pemahaman dasar grup. Setelah pembaca menguasai bagian grup,
pembaca dapat melanjutkan ke bagian grup simetri, grup siklis dan grup faktor
untuk memperkaya pengetahuan tentang sifat-sifat grup. Terakhir, bagian
homomorfisma. Pada bagian ini, pembaca diperkenalkan alat untuk
iii
membandingkan struktur grup. Bagian ini menjadi penting karena tidak semua
grup berukuran hingga dan tidak semua grup sudah terklasifikasi. Untuk dapat
mengetahui struktur grup yang seperti itu diperlukan homomorfisma. Selain
itu, pada bagian ini disajikan Teorema Cayley dan teorema dasar
homomorfisma. Kedua teorema ini menjadi puncak bahasan dalam buku ini.
Dengan Teorema Cayley, kita dapat membandingkan semua struktur dengan
struktur grup simetri. Struktur semua grup akan sama dengan struktur suatu
subgrup dari grup simetri.
Penulis menyadari bahwa dalam buku ini masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu, saran-saran dari semua pihak sangat diperlukan demi
sempurnanya buku ini. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak sehingga buku ini bisa dinikmati pembaca.
Cirebon, Desember 2017
Dr. Muhamad Ali Misri, M. Si
iv
DAFTAR ISI
Prakata ................................................................................................................. iii
Daftar Isi ................................................................................................................ v
Daftar Tabel ........................................................................................................ vii
Daftar Gambar ......................................................................................................ix
Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................. 1
1.1 Pernyataan dan bentuknya .............................................................. 1
1.2 Kuantor dan pernyataan berkuantor .............................................. 6
1.3 Teknik dalam pembuktian ............................................................... 7
1.4 Himpunan ....................................................................................... 11
1.5 Relasi himpunan ............................................................................. 15
Bab 2 Grup ......................................................................................................... 29
2.1 Struktur aljabar .............................................................................. 29
2.2 Grup dan sifat dasar grup .............................................................. 35
2.3 Subgrup dan sifatnya ..................................................................... 41
2.4 Orde grup dan anggota grup .......................................................... 44
Bab 3 Grup Simetri ........................................................................................... 47
3.1 Permutasi ........................................................................................ 47
3.2 Grup simetri .................................................................................... 54
3.3 Grup permutasi............................................................................... 56
Bab 4 Grup Siklis............................................................................................... 63
Bab 5 Grup Faktor ............................................................................................. 69
5.1 Koset dan subgrup normal ............................................................. 69
5.2 Grup faktor ..................................................................................... 75
Bab 6 Homomorfisma Grup............................................................................... 79
6.1 Konsep dasar................................................................................... 79
6.2 Macam-macam homomorfisma beserta sifatnya ........................... 82
6.3 Teorema Dasar Homomorfisma ..................................................... 90
Daftar Pustaka..................................................................................................... 95
v
Riwayat Hidup Penulis ....................................................................................... 97
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Tabel 1.2
Tabel 1.3
Tabel 1.4
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.5
Tabel 3.6
Tabel 3.7
Tabel 3.8
Tabel 3.9
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 6.1
Kebenaran bentuk pernyataan ........................................................... 2
Kebenaran (š’« → š’¬) ↔ (¬š’« ∨ š’¬) .......................................................... 3
Kebenaran kontrapositif, konvers dan invers š’« → š’¬ ......................... 4
Kebenaran ¬š’« → ¬š’¬ ........................................................................... 5
Operasi ∗ pada himpunan {š‘Ž, š‘, š‘} ..................................................... 30
Operasi ⊕ pada himpunan bilangan jam 12-an .............................. 30
Operasi āŠ™ pada himpunan bilangan jam 12-an .............................. 32
Operasi ⊕ pada grup ā„¤šŸ‘ .................................................................... 45
Operasi āˆ˜ pada grup simetri š‘†2 ......................................................... 56
Operasi āˆ˜ pada grup simetri š‘†3 ......................................................... 56
Operasi āˆ˜ pada grup permutasi segitiga sama kaki ......................... 58
Operasi āˆ˜ pada grup permutasi bujur sangkar ................................ 59
Operasi āˆ˜ pada grup permutasi persegi panjang ............................. 60
Operasi āˆ˜ pada grup permutasi belah ketupat ................................. 60
Operasi āˆ˜ pada grup permutasi jajar genjang .................................. 61
Operasi āˆ˜ pada grup permutasi layang-layang ................................ 62
Operasi āˆ˜ pada grup permutasi trapesium sama kaki ..................... 62
Operasi koset pada grup ā„¤/2ā„¤ .......................................................... 76
Operasi pada grup š‘†3 /š‘ .................................................................... 77
Operasi ⊕ pada ā„¤šŸ‘ dan Operasi āˆ˜ pada ⟨(1 2 3)⟩ .............................. 84
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Himpunan bilangan ...................................................................... 12
Gambar 1.2 Partisi himpunan .......................................................................... 14
Gambar 1.3 Pemetaan š›¼ dari himpunan š‘† ke himpunan š‘‡ ............................. 20
Gambar 1.4 Pemetaan š›½ dari himpunan š‘† ke himpunan š‘‡ ............................. 21
Gambar 1.5 Relasi bukan pemetaan ................................................................. 21
Gambar 1.6 Peta subhimpunan š“ oleh š›¼ .......................................................... 22
Gambar 1.7 Pemetaan surjektif dan bukan surjektif ...................................... 23
Gambar 1.8 Pemetaan satu-satu dan bukan satu-satu ................................... 23
Gambar 1.9 Komposisi dua buah pemetaan š‘“ dan š‘” ....................................... 24
Gambar 1.10 Contoh komposisi pemetaan š‘“ dan š‘”........................................... 25
Gambar 3.1 Siklus pada permutasi šœŒ dan šœ ................................................... 52
Gambar 3.2 Simetri pada segitiga sama sisi .................................................... 57
Gambar 3.3 Simetri pada segitiga sama kaki .................................................. 58
Gambar 3.4 Simetri pada segitiga sembarang ................................................. 58
Gambar 3.5 Simetri pada bujur sangkar .......................................................... 59
Gambar 3.6 Simetri pada persegi panjang ....................................................... 59
Gambar 3.7 Simetri pada belah ketupat .......................................................... 60
Gambar 3.8 Simetri pada jajar genjang............................................................ 61
Gambar 3.9 Simetri pada layang-layang .......................................................... 61
Gambar 3.10 Simetri pada trapesium sama kaki ............................................. 62
Gambar 5.1 Koleksi koset kanan di grup šŗ ...................................................... 73
Gambar 6.1 Isomorfisma šœ‚ dari ā„¤šŸ‘ ke ⟨(1 2 3)⟩ ................................................. 84
Gambar 6.2 Pemetaan šœ‚ dari Grup š‘†3 ke Grup š‘†3 /š‘ ....................................... 91
Gambar 6.3 Teorema dasar homomorfisma ..................................................... 92
Gambar 6.4 Isomorfisma šœ™ dari ā„¤12 /⟨2Ģ…⟩ ke ā„¤šŸ .................................................. 93
ix
BAB 1
PENDAHULUAN
Argumen terdiri atas bentuk pernyataan yang disebut dengan premis
(hipotesis) dan bentuk pernyataan yang disebut konklusi (kesimpulan). Suatu
argumen disebut sah (valid) jika konklusinya benar ketika semua premisnya
benar. Keabsahan suatu argumen ditentukan oleh nilai kebenaran pernyataanpernyataan pembentuknya. Untuk itu, diperlukan kemampuan dalam
membuktikan pernyataan-pernyataan tersebut. Tentu saja, penguasaan
bentuk-bentuk pernyataan dan teknik pembuktiannya diperlukan dalam buku
ini. Selain itu, penguasaan konsep himpunan juga diperlukan, mengingat objek
kajian dalam buku ini berupa himpunan.
1.1 Pernyataan dan bentuknya
Pernyataan merupakan suatu kalimat yang benar atau salah, tetapi
tidak keduanya. Suatu pernyataan disebut benar jika nilai kebenaran
pernyataan tersebut benar. Sebaliknya, suatu pernyataan disebut salah jika
nilai kebenaran pernyataan tersebut salah. Pernyataan disebut juga dengan
proposisi dan ditandai menggunakan huruf kapital skrip, seperti: š’«, š’¬, atau
ā„›. Nilai kebenaran benar ditandai menggunakan huruf kapital š‘‡ sementara
nilai kebenaran salah menggunakan huruf kapital š¹.
Contoh 1.1 Kalimat “dua itu bilangan ganjil” adalah pernyataan salah.
Sementara itu, kalimat “di manakah kau temukan itu?” bukan pernyataan.
Pernyataan dapat dibentuk dari pernyataan-pernyataan yang ada
sebelumnya. Pernyataan hasil bentukan ini disebut bentuk pernyataan.
Lima bentuk pernyataan dasar diperoleh dengan cara menegasikan atau
merangkai pernyataan menggunakan penghubung logika: ‘dan’, ‘atau’, ‘jika
maka’ serta ‘jika dan hanya jika’. Bentuk pernyataan lainnya berasal dari lima
bentuk dasar tersebut. Misalkan š’« dan š’¬ dua buah pernyataan. Bentuk
pernyataan “tidak š’«”, ditulis: ¬š’«, disebut negasi š’«. Bentuk pernyataan “š’«
atau š’¬”, ditulis: š’« ∨ š’¬, disebut disjungsi. Bentuk pernyataan “š’« dan š’¬” ditulis:
š’« ∧ š’¬, disebut konjungsi. Bentuk pernyataan “Jika š’«, maka š’¬”, dapat ditulis:
š’« → š’¬, disebut implikasi. Terakhir, bentuk pernyataan “š’« jika dan hanya jika
š’¬”, dapat ditulis: š’« ↔ š’¬, disebut biimplikasi. Berikut ini disajikan tabel
kebenaran lima bentuk pernyataan dasar tersebut.
1
š“Ÿ
T
T
F
F
š“ 
¬š“Ÿ
š“Ÿ∨š“ 
š“Ÿ∧š“ 
š“Ÿ→š“ 
T
F
T
T
T
F
F
T
F
F
T
T
T
F
T
F
T
F
F
T
Tabel 1.1 Kebenaran bentuk pernyataan
š“Ÿ↔š“ 
T
F
F
T
Pada implikasi, pernyataan š’« disebut hipotesis, anteseden atau
premis sementara pernyataan š’¬ disebut konklusi. Berikut ini cara
menyatakan implikasi.
Jika š’«, š’¬;
š’« mengakibatkan š’¬;
š’« syarat cukup bagi š’¬ ( artinya š’« cukup untuk membuat š’¬ terjadi);
š’¬ jika š’«;
š’¬ syarat perlu bagi š’« ( artinya jika š’« terjadi, maka š’¬ harus terjadi);
š’¬ bilamana š’«.
Contoh 1.2 Perhatikan bentuk-bentuk pernyataan berikut ini.
Saya lapar;
Saya makan;
Saya tidak lapar;
Saya tidak makan;
Saya lapar tetapi tidak makan;
Saya makan atau saya lapar;
Jika saya lapar, saya makan;
Saya lapar jika dan hanya jika saya tidak makan.
Nilai kebenaran semua bentuk pernyataan di atas dapat ditentukan dengan
menggunakan Tabel 1.1.
Contoh 1.3 Perhatikan bentuk pernyataan “Jika kamu telah membereskan
kamarmu, maka kamu boleh pergi ke rumah temanmu.”!.
Ketika bentuk pernyataan ini diucapkan kepada anak kita, kapan ia
merasakan bahwa kita berbohong? Pada contoh, antesedennya “kamu telah
membereskan kamarmu” dan konklusinya “kamu boleh pergi ke rumah
temanmu.”. Ketika anak kita telah membereskan kamarnya dan kita
membolehkannya pergi ke rumah temannya, tentu saja ia akan senang karena
kita tidak berbohong. Implikasi tersebut menjadi benar. Jadi, ketika
antesedennya benar dan konklusinya juga benar, pernyataan secara
keseluruhan menjadi benar.
2
Ketika kita membolehkan anak kita pergi ke rumah temannya meskipun
ia belum membereskan kamarnya, kita tidak berbohong. Jadi, pernyataan
secara keseluruhan tetap benar meskipun antesedennya salah.
Ketika kita tidak membolehkan anak kita pergi ke rumah temannya
karena ia belum membereskan kamarnya, kita juga tidak berbohong. Implikasi
tersebut menjadi benar. Jadi, ketika antesedennya salah dan konklusinya juga
salah, pernyataan secara keseluruhan menjadi benar.
Ketika anak kita telah membereskan kamarnya tetapi kita tidak
membolehkannya pergi ke rumah temannya, kita berbohong. Jadi, ketika
antesedennya benar tetapi konklusinya salah, implikasinya menjadi salah.
Suatu bentuk pernyataan disebut tautologi jika nilai kebenaran bentuk
pernyataan tersebut pada tabel kebenaran semuanya “T”. Sebaliknya, suatu
bentuk pernyataan disebut kontradiksi jika nilai kebenaran bentuk
pernyataan tersebut pada tabel kebenaran semuanya “F”. Dua bentuk
pernyataan š’« dan š’¬ disebut ekuivalen (secara logis), ditulis: š’« ⇔ š’¬, jika š’« ↔
š’¬ adalah tautologi. Perlu diperhatikan bahwa tanda ⇔ bukan penghubung
logika dan dengan demikian, š’« ⇔ š’¬ bukan bentuk pernyataan. Ia hanya
bermakna bahwa š’« ↔ š’¬ adalah tautologi.
Contoh 1.4 Pandang bentuk pernyataan š’« → š’¬ dan bentuk pernyataan ¬š’« ∨
š’¬. Dua bentuk pernyataan tersebut ekuivalen, ditulis: (š’« → š’¬) ⇔ (¬š’« ∨ š’¬),
mengingat bentuk pernyataan (š’« → š’¬) ↔ (¬š’« ∨ š’¬) suatu tautologi. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan Tabel 1.2.
š“Ÿ
T
T
F
F
š“ 
¬š“Ÿ
¬š“Ÿ ∨ š“  š“Ÿ → š“  (š“Ÿ → š“ ) ↔ (¬š“Ÿ ∨ š“ )
T
F
T
T
T
F
F
F
F
T
T
T
T
T
T
F
T
T
T
T
Tabel 1.2 Kebenaran (š’« → š’¬) ↔ (¬š’« ∨ š’¬)
Kolom terakhir pada Tabel 1.2 memperlihatkan bahwa bentuk
pernyataan (š’« → š’¬) ↔ (¬š’« ∨ š’¬) suatu tautologi.
Sifat 1.1
Dua bentuk pernyataan š’« dan š’¬ ekuivalen jika dan hanya jika kedua
bentuk pernyataan tersebut memiliki nilai kebenaran yang sama.
Contoh 1.5 Perhatikan Tabel 1.2. Nilai kebenaran ¬š’« ∨ š’¬ pada kolom 4 sama
dengan nilai kebenaran š’« → š’¬ pada kolom 5. Untuk itu, kedua bentuk
pernyataan tersebut ekuivalen.
3
Sifat 1.2
Misalkan š’« dan š’¬ dua buah pernyataan. Berikut ini tautologi.
1. ¬(š’« ∨ š’¬) ↔ (¬š’« ∧ ¬š’¬);
2. ¬(š’« ∧ š’¬) ↔ (¬š’« ∨ ¬š’¬);
3. (š’« → š’¬) ↔ (¬š’« ∨ š’¬);
4. ¬(š’« → š’¬) ↔ (š’« ∧ ¬š’¬);
5. ¬(¬š’«) ↔ š’«.
Sifat 1.2 dapat ditunjukkan dengan tabel kebenaran. Silakan coba buktikan
sebagai bagian latihan. Selanjutnya perhatikan sifat berikut.
Sifat 1.3
Misalkan š’«, š’¬ dan ā„› tiga buah pernyataan. Berikut ini tautologi.
1. Sifat š‘‘š‘–š‘ š‘”š‘Ÿš‘–š‘š‘¢š‘”š‘–š‘“
a. (š’« ∧ (š’¬ ∨ ā„›)) ↔ ((š’« ∧ š’¬) ∨ (š’« ∧ ā„›));
b. (š’« ∨ (š’¬ ∧ ā„›)) ↔ ((š’« ∨ š’¬) ∧ (š’« ∨ ā„›))
2. Sifat š‘Žš‘ š‘œš‘ š‘–š‘Žš‘”š‘–š‘“
a. (š’« ∨ (š’¬ ∨ ā„›)) ↔ ((š’« ∨ š’¬) ∨ ā„›);
b. (š’« ∧ (š’¬ ∧ ā„›)) ↔ ((š’« ∧ š’¬) ∧ ā„›)
3. Sifat š‘˜š‘œš‘šš‘¢š‘”š‘Žš‘”š‘–š‘“
a. (š’« ∨ š’¬) ↔ (š’¬ ∨ š’«);
b. (š’« ∧ š’¬) ↔ (š’¬ ∧ š’«).
Dengan mengacu pada Sifat 1.2, diperoleh ¬(š’« ∨ š’¬) ⇔ (¬š’« ∧ ¬š’¬), ¬(š’« ∧
š’¬) ⇔ (¬š’« ∨ ¬š’¬), (š’« → š’¬) ⇔ (¬š’« ∨ š’¬), ¬(š’« → š’¬) ⇔ (š’« ∧ ¬š’¬) dan ¬(¬š’«) ⇔ š’«.
Sementara itu, dari Sifat 1.3 diperoleh, (š’« ∧ (š’¬ ∨ ā„›)) ⇔ ((š’« ∧ š’¬) ∨ (š’« ∧ ā„›)), (š’« ∨
(š’¬ ∧ ā„›)) ⇔ ((š’« ∨ š’¬) ∧ (š’« ∨ ā„›)), (š’« ∨ (š’¬ ∨ ā„›)) ⇔ ((š’« ∨ š’¬) ∨ ā„›), (š’« ∧ (š’¬ ∧ ā„›)) ⇔
((š’« ∧ š’¬) ∧ ā„›), (š’« ∨ š’¬) ⇔ (š’¬ ∨ š’«) dan (š’« ∧ š’¬) ⇔ (š’¬ ∧ š’«).
Misalkan š’« dan š’¬ dua pernyataan. Bentuk pernyataan ¬š’¬ → ¬š’« disebut
kontrapositif implikasi š’« → š’¬. Bentuk pernyataan š’¬ → š’« disebut konvers
implikasi š’« → š’¬. Sementara itu, bentuk pernyataan ¬š’« → ¬š’¬ disebut invers
implikasi š’« → š’¬. Jelas implikasi dan kontrapositifnya ekuivalen, implikasi dan
konversnya tidak ekuivalen, sementara implikasi dan inversnya juga tidak
ekuivalen. Silakan perhatikan tabel kebenaran berikut.
š“Ÿ
T
T
F
F
Tabel 1.3
š“ 
š“Ÿ→š“ 
¬š“Ÿ → ¬š“  ¬š“  → ¬š“Ÿ
š“ →š“Ÿ
T
T
T
T
T
F
F
T
F
T
T
T
F
T
F
F
T
T
T
T
Kebenaran kontrapositif, konvers dan invers š’« → š’¬
Contoh 1.6 Implikasi š’« → š’¬ dapat dibentuk menggunakan sembarang
pernyataan š’« dan š’¬ tanpa harus saling berkait satu sama lain. Misalnya, “jika
4
2 + 3 = 5, saya akan berlibur ke Bali”. Implikasi tersebut tidak pernah
ditemukan dalam bahasa.
Contoh 1.7 Perhatikan kalimat “jika saya selesai mengerjakan tugas lebih
awal, saya akan menjemputmu sebelum makan siang”. Kalimat tersebut
berbentuk implikasi š’« → š’¬ dengan š’« “saya selesai mengerjakan tugas lebih
awal” dan š’¬ “saya akan menjemputmu sebelum makan siang.” Interpretasi
umum yang menyatakan bahwa bentuk ¬š’« → ¬š’¬: “jika saya belum selesai
mengerjakan tugas lebih awal, saya tidak akan menjemputmu sebelum makan
siang” adalah benar, bukan disebabkan oleh implikasi š’« → š’¬. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan Tabel 1.4. Pada tabel ini terlihat bahwa ¬š’« → ¬š’¬ ā‡Ž š’« →
š’¬. Bahasa memang tidak setepat logika.
š“Ÿ
T
T
F
F
š“ 
T
F
T
F
¬š“Ÿ
¬š“ 
š“Ÿ→š“ 
F
F
T
F
T
F
T
F
T
T
T
T
Tabel 1.4 Kebenaran ¬š’« → ¬š’¬
¬š“Ÿ → ¬š“ 
T
T
F
T
Latihan 1.1
1. Apakah kalimat berikut proposisi?
a. Jumlah dua bilangan prima adalah genap.
b. 3 + 4 = 7.
c. š‘„ + š‘¦ ≤ 10.
d. Apakah sedang hujan?
e. Ayo kemari!
f. š‘› bilangan prima.
g. Roti terbuat dari singkong.
2. Negasikan bentuk pernyataan berikut!
a. Jika saya muslim, saya salat lima waktu.
b. Jika suatu bilangan tidak terbagi oleh dua, bilangan tersebut bukan
genap.
c. Hidup sebagai muslim atau mati syahid.
d. Saya seorang mahasiswa sementara ia bukan.
e. Saya muslim jika dan hanya jika saya melaksanakan rukun iman dan
rukun Islam.
3. Carilah kontrapositif, konvers dan invers dari implikasi berikut.
a. Jika saya muslim, saya salat lima waktu.
b. Jika suatu bilangan tidak terbagi oleh dua, bilangan tersebut bukan
genap.
4. Pandang implikasi š’« → š’¬.
a. Tulis negasi dari konvers implikasi tersebut dalam bentuk yang
sesederhana mungkin!
5
b. Tulis negasi dari kontrapositif implikasi tersebut dalam bentuk yang
sesederhana mungkin!
c. Tulis negasi dari invers implikasi tersebut dalam bentuk yang
sesederhana mungkin!
5. Lengkapi implikasi berikut ini jika memang diperlukan sehingga nilai
kebenarannya dapat ditentukan! Selanjutnya tentukan nilai kebenarannya
menggunakan tabel kebenaran.
a. Jika š‘„ ≥ 2 maka š‘„ 2 ≥ 4.
b. Jika š‘„ 2 ≥ 4 maka š‘„ ≥ 2.
c. Jika š‘„ 2 ≤ 4 maka š‘„ ≤ 2.
d. Jika (š‘„ + š‘„)(š‘„ − š‘„) = š‘„(š‘„ − š‘„) maka š‘„ = 0.4.
1.2 Kuantor dan pernyataan berkuantor
Dalam kajian matematika, untuk menentukan benar salahnya suatu
pernyataan, perlu mengetahui terlebih dahulu apakah objek yang sedang
dibicarakan tersebut sembarang (bersifat umum) atau tertentu (khusus).
Ungkapan “untuk setiap”, “untuk semua”, “untuk suatu”, “ada” dan “terdapat”
disebut kuantor. Khususnya, ungkapan “untuk setiap” dan “untuk semua”
disebut kuantor umum (universal), ditulis: ∀ sementara ungkapan “untuk
suatu”, “ada” dan “terdapat” disebut kuantor khusus, ditulis: ∃. Keberadaan
kuantor membuat setiap pernyataan menjadi jelas.
Misalkan š‘„ objek yang sedang dibicarakan dan š’« suatu pernyataan yang
memuat š‘„. Pernyataan š’« ditulis š’«(š‘„). Dengan memberikan kuantor umum,
pernyataan š’«(š‘„) berubah menjadi: “∀š‘„, š’«(š‘„)” dibaca: “untuk setiap š‘„, š‘„
memiliki sifat š’«” atau “untuk setiap š‘„, berlaku š’«(š‘„)”. Jika pernyataan š’«(š‘„)
diberikan kuantor khusus, maka diperoleh pernyataan: “∃š‘„, š’«(š‘„)” dibaca:
“untuk suatu š‘„, š‘„ memiliki sifat š’«” atau “untuk suatu š‘„, berlaku š’«(š‘„)”. Negasi
dari pernyataan “∀š‘„, š’«(š‘„)” adalah “∃š‘„, ¬š’«(š‘„)” sementara negasi pernyataan:
“∃š‘„, š’«(š‘„)” adalah “∀š‘„, ¬š’«(š‘„)”.
Contoh 1.8 Pandang pernyataan “setiap jeruk rasanya asam”. Bagaimana
dengan negasi pernyataan ini? Pernyataan “tidak setiap jeruk rasanya asam”
merupakan negasinya, tetapi kurang bermanfaat. Lebih baik dengan
menyatakan “beberapa jeruk tidak asam” sebagai negasinya, karena lebih
bermanfaat. Selanjutnya pandang pernyataan “Ada burung berwarna merah”.
Negasi pernyataan tersebut adalah “tidak ada burung berwarna merah”.
Contoh 1.9 Pandang kalimat “Mahasiswa yang berprestasi pantang
menyontek”. Misalkan š‘„ menyatakan mahasiswa, š’«(š‘„) menyatakan š‘„
berprestasi dan š’¬(š‘„) menyatakan š‘„ menyontek. Kalimat ini menjadi “untuk
setiap š‘„, jika š’«(š‘„) maka ¬š’¬(š‘„)”. Untuk menegasikannya, perhatikan langkahlangkah berikut.
6
¬ (∀š‘„, (š’«(š‘„) → ¬š’¬(š‘„))) ⇔
∃š‘„, ¬(š’«(š‘„) → ¬š’¬(š‘„))
⇔
∃š‘„, ¬(¬š’«(š‘„) ∨ ¬š’¬(š‘„))
⇔
∃š‘„, (š’«(š‘„) ∧ š’¬(š‘„))
Negasi tersebut terlihat pada langkah terakhir yaitu ∃š‘„, (š’«(š‘„) ∧ š’¬(š‘„)), artinya
terdapat mahasiswa yang berprestasi tetapi menyontek. Bisa juga diartikan
ada mahasiswa berprestasi yang nyontek.
Ada hal penting yang perlu diperhatikan di sini. Pada kalimat
“Mahasiswa yang berprestasi pantang menyontek”, kuantor tidak diberikan
secara jelas. Ketika menemukan kalimat yang seperti itu, berikanlah kuantor
umum.
Latihan 1.2
1. Pandang kalimat “untuk setiap š‘„ memenuhi š’«(š‘„) → š’¬(š‘„)”.
a. Tuliskan konversi kalimat tersebut?
b. Tuliskan inversi kalimat tersebut?
c. Tuliskan kontrapositif kalimat tersebut?
2. Negasikan kalimat-kalimat berikut!
a. Untuk semua š‘„ bilangan riil, š‘„ 2 ≥ 0.
b. Setiap bilangan bulat ganjil tidak sama dengan nol.
c. Ada š‘„ sehingga š‘“(š‘„) > 0.
d. Untuk setiap š‘„ ada š‘¦ demikian sehingga š‘„š‘¦ = 1.
e. Ada š‘¦ demikian sehingga š‘„š‘¦ = 0 untuk setiap x.
f. Jika š‘„ ≠ 0, maka ada š‘¦ demikian sehingga š‘„š‘¦ = 1.
g. Jika š‘„ > 0, maka š‘„š‘¦ 2 ≥ 0 untuk setiap š‘¦.
h. Untuk setiap šœ€ > 0, terdapat š›æ > 0 sehingga jika š‘„ bilangan real yang
memenuhi |š‘„ − 1| < š›æ, maka |š‘„ 2 − 1| < šœ€.
i. Untuk setiap bilangan real š‘€, terdapat bilangan real š‘ sehingga
|š‘“(š‘›)| > š‘€ untuk semua š‘› > š‘.
3. Putuskan apakah pernyataan (3) benar, jika pernyataan (1) dan (2)
semuanya benar, atau sebaliknya. Sertai jawaban dengan alasan yang tepat
dan benar. Ketiga pernyataan tersebut adalah
(1) Jika š‘™ bilangan asli, maka ada bilangan real š‘š sehingga š‘š > š‘™;
(2) setiap bilangan real š‘š kurang dari š‘”;
(3) bilangan real š‘” bukan bilangan asli.
1.3 Teknik dalam pembuktian
Pengembangan topik matematika secara formal dimulai dari konsep
primitif, suatu konsep yang tidak memerlukan definisi, dan aksioma. Konsep
primitif dianggap benar. Aksioma merupakan pernyataan matematis yang
digunakan sebagai titik awal untuk menurunkan pernyataan lain secara logis.
Konsep primitif dan aksioma digunakan untuk mendefinisikan konsep baru dan
7
membentuk teorema, pernyataan puncak. Untuk membuktikan teorema
kadang diperlukan pernyataan yang disebut lemma. Pernyataan yang
dihasilkan dari teorema disebut akibat. Dalam buku ini pernyataan lema,
teorema dan akibat disebut sifat.
Hampir semua sifat dinyatakan dalam bentuk implikasi. Sifat yang tidak
dinyatakan dalam bentuk implikasi dapat dirubah ke dalam bentuk implikasi
yang ekuivalen. Perubahan bentuk mestinya mengacu pada aturan yang sudah
dibahas pada subbab sebelumnya. Untuk menentukan kebenaran suatu sifat,
diperlukan teknik-teknik dalam pembuktiannya. Ada enam teknik yang biasa
digunakan dalam pembuktian, yaitu: metode pembuktian langsung, metode
kontraposisi, pembuktian dengan kontradiksi, pembuktian dengan induksi,
metode konstruksi dan pembuktian pernyataan biimplikasi.
Ada beberapa langkah dalam menuliskan bukti pernyataan. Pertama
kenali dahulu masalahnya sehingga menjadi paham. Langkah berikutnya
merancang rencana dan merealisasikannya dengan menuliskan bukti tersebut.
Terakhir lihat kembali bukti yang telah ditulis tersebut sehingga tidak
ditemukan lagi kesalahan. Jika bukti yang ditulis tersebut telah benar,
tambahkan kotak kecil āˆŽ pada akhir bukti. Ada juga yang menggunakan š‘„. šø. š·
sebagai pengganti āˆŽ. Kata “š‘„. šø. š·” sendiri merupakan singkatan dari quod erat
demonstrandum, yang berarti “telah didemonstrasikan (ditunjukkan)”.
Metode Pembuktian Langsung. Metode pembuktian ini sangat
bergantung pada kaidah logika dasar dalam penarikan kesimpulan yang
disebut modus ponen: jika ā„› suatu pernyataan yang bernilai benar dan begitu
juga dengan bentuk implikasi “ā„› āŸ¶ š’®”, maka pernyataan š’® bernilai benar.
Untuk menunjukkan bentuk pernyataan implikasi “jika š’« maka š’¬” benar,
menggunakan pembuktian langsung, dimulai dengan mengasumsikan premis
atau hipotesis š’« benar. Selanjutnya temukan sederetan pernyataan
š’«1 , š’«2 , ā‹Æ , š’«n−1 , š’«n dan pastikan setiap implikasi š’« āŸ¶ š’«1 , š’«1 āŸ¶ š’«2 , š’«2 āŸ¶ š’«3 , ā‹Æ,
š’«n−1 āŸ¶ š’«n dan š’«n āŸ¶ š’¬ adalah benar. Dengan menggunakan kaidah modus
ponen, diperoleh konklusi š’¬ benar. Sederetan implikasi tadi tidak lain adalah
informasi yang diberikan dalam pernyataan implikasi yang akan dibuktikan,
baik tersirat maupun tidak. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah langkahlangkah pembuktian Sifat 1.4.
Sifat 1.4
Misalkan š‘„ bilangan bulat. Jika š‘„ ganjil maka š‘„ 2 juga ganjil.
Sebelum proses pembuktian dimulai, kenali dahulu mana hipotesis dan
konklusinya. Hipotesis pada Sifat 1.4 ialah “š‘„ bilangan bulat ganjil”.
Pembuktian dimulai dari hipotesis itu. Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan
bilangan bulat ganjil? Suatu bilangan bulat š‘„ disebut ganjil jika ada suatu
bilangan bulat š‘› sehingga š‘„ = 2š‘› + 1. Mengingat definisi yang diperlukan telah
8
diketahui, masalah dalam pembuktian telah dikuasai sehingga nyaman untuk
melanjutkannya. Apa konklusi yang hendak diperlihatkan? Konklusi tersebut
ialah “š‘„ 2 bilangan bulat ganjil” dan tentunya dapat dipahami mengingat
definisi bilangan bulat ganjil telah dipahami.
Bukti. Ambil š‘„ sembarang bilangan bulat ganjil. Tentu saja pengambilan
tersebut mengakibatkan adanya bilangan bulat š‘› sehingga š‘„ = 2š‘› + 1. Untuk
itu,
š‘„ 2 = (2š‘› + 1)2 = (2š‘›)2 + 4š‘› + 1 = 2(2š‘›2 + 2š‘›) + 1.
Dengan memisalkan š‘š = 2š‘›2 + 2š‘›, diperoleh š‘„ 2 = 2š‘š + 1 dan š‘š bilangan
bulat. Akibatnya, š‘„ 2 juga ganjil. āˆŽ
Metode Kontraposisi. Misalkan akan menunjukkan pernyataan
implikasi “jika š’« maka š’¬” benar. Mengingat setiap implikasi ekuivalen dengan
kontraposisinya, dengan metode ini, kita tinggal membuktikan “jika ¬š’¬ maka
¬š’«” benar. Jika terbukti benar, kesimpulannya bahwa implikasi “jika š’« maka
š’¬” juga benar. Sebagai contoh, pembuktian Sifat 1.4, menggunakan metode
kontraposisi, dilakukan dengan membuktikan pernyataan kontraposisinya:
“Misalkan š‘„ bilangan bulat. Jika š‘„ 2 genap maka š‘„ genap”.
Dengan membuktikan pernyataan ini benar, pernyataan “Misalkan š‘„ bilangan
bulat. Jika š‘„ ganjil maka š‘„ 2 ganjil” juga benar.
Pembuktian dengan Kontradiksi. Misalkan akan menunjukkan
pernyataan implikasi “jika š’« maka š’¬” benar, menggunakan pembuktian
dengan kontradiksi. Pembuktian menggunakan cara ini, dimulai dengan
mengasumsikan premis atau hipotesis š’« benar dan menerapkan kalimat
pembuka dengan mengasumsikan bahwa ¬š’¬ benar. Selanjutnya temukan
pernyataan yang menunjukan bahwa ¬š’¬ → š’® dengan š’® suatu pernyataan yang
salah, sebagai pertentangan. Akibatnya, pernyataan ¬š’¬ haruslah salah.
Pernyataan ¬š’¬ salah terjadi tepatnya saat pernyataan š’¬ benar. Untuk itu,
pernyataan š’¬ benar dan pernyataan “jika š’« maka š’¬” terbukti benar. Bukti Sifat
1.5 menggunakan Pembuktian dengan kontradiksi.
Sifat 1.5
√2 bukan bilangan rasional.
Sebelum memulai pembuktian, pastikan dahulu telah mengetahui
semua maksud kata-kata yang digunakan, apa asumsi yang digunakan dan apa
yang digunakan untuk membuktikan. Bilangan rasional adalah bilangan yang
berbentuk š‘Žš‘ dengan š‘Ž dan š‘ keduanya bilangan bulat dan š‘ tak nol. Kita akan
menunjukkan bahwa √2 tidak berbentuk seperti itu, yakni tidak ada š‘Ž dan š‘
dengan š‘ ≠ 0 sehingga √2 = š‘Žš‘. Buat asumsi √2 = š‘Žš‘ dengan š‘ ≠ 0. Lihat apa yang
terjadi!. Ini ide dibalik pembuktian menggunakan kontradiksi.
9
Bukti. Andaikan √2 bilangan rasional. Akibatnya, ada š‘Ž dan š‘ keduanya
bilangan bulat dan š‘ tak nol yang memenuhi √2 = š‘Žš‘. Jika faktor persekutuan
bilangan bulat š‘Ž dan š‘ tidak ada, maka ia memenuhi √2š‘ = š‘Ž. Dengan
memberikan kuadrat pada kedua ruas, hasil tadi berubah menjadi 2š‘ 2 = š‘Ž2
yang mengakibatkan š‘Ž2 genap. Menurut Sifat 1.4, š‘Ž harus genap. Untuk itu,
ada š‘š bilangan bulat sehingga š‘Ž = 2š‘š dan diperoleh 2š‘ 2 = š‘Ž2 = (2š‘š)2 = 4š‘š2 .
Dengan membagi kedua ruas oleh dua, diperoleh š‘ 2 = 2š‘š2 yang artinya š‘ 2
genap. Kembali gunakan Sifat 1.4, sehingga diperoleh bahwa š‘ juga genap.
Jadi, faktor persekutuan š‘Ž dan š‘ adalah 2. Pernyataan tersebut kontradiksi
dengan pernyataan “š‘Ž dan š‘ tidak memiliki faktor persekutuan”. Artinya,
pengandaian bahwa “√2 bilangan rasional” pasti salah dan dengan demikian
bukti telah lengkap. āˆŽ
Pembuktian dengan Induksi. Pernyataan š’«(š‘›) benar untuk setiap š‘›
bilangan cacah jika memenuhi
1. š’«(0) adalah pernyataan yang benar; dan
2. Jika pernyataan š’«(š‘˜) benar maka pernyataan š’«(š‘˜ + 1) juga benar.
Pembuktian menggunakan induksi yaitu pembuktian yang dilakukan dengan
cara menunjukan dua sifat di atas.
Metode Konstruksi. Metode ini lebih tepat untuk pembuktian
pernyataan berkuantor, khususnya untuk kuantor khusus (eksistensial).
Untuk menunjukkan keberadaan, kita perlu mengkonstruksi dengan cara
mencari, memilih, membentuk, mengira dan lain sebagainya. Meskipun contoh
cukup untuk menunjukan keberadaan suatu pernyataan, tapi contoh tidak
akan pernah bisa menunjukkan kebenaran suatu pernyataan yang memuat
kuantor universal baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk
menyangkal suatu pernyataan cukup dengan memberikan contoh penyangkal.
Pembuktian Pernyataan Biimplikasi. Untuk membuktikan
pernyataan biimplikasi ”š’« jika dan hanya jika š’¬” benar, kita harus
membuktikan implikasi ”jika š’« maka š’¬” dan ”jika š’¬ maka š’«” semuanya benar.
Pernyataan berbentuk: “Pernyataan berikut ekuivalen (PBE): š’«, š’¬, ā„›, š’®”
disebut pernyataan multiimplikasi dan berarti setiap salah satu dari
pernyataan š’«, š’¬, ā„› atau š’® mengakibatkan setiap salah satu yang lain.
Penulisan bentuk ini kependekan dari š’« āŸ· š’¬, š’« āŸ· ā„›, š’« āŸ· š’®, š’¬ āŸ· ā„›, š’¬ āŸ· š’®
dan ā„› āŸ· š’®. Untuk membuktikan bentuk pernyataan seperti ini cukup dengan
membuktikan: š’« āŸ¶ š’¬ dan š’¬ āŸ¶ ā„› dan ā„› āŸ¶ š’® dan š’® āŸ¶ š’«.
Latihan 1.3
1. Tunjukkan bahwa jika š‘› dan š‘š dua buah bilangan bulat tak nol, maka š‘›2 −
š‘š2 ≠ 1!
2. Berikan contoh penyangkal untuk setiap pernyataan berikut.
10
a.
b.
c.
d.
Setiap bilangan ganjil itu prima.
Setiap bilangan prima itu ganjil.
Untuk setiap bilangan real š‘„, memenuhi š‘„ 2 > 0.
1
Untuk setiap bilangan real š‘„ ≠ 0, memenuhi š‘„ > 0.
3. Misalkan š‘› suatu bilangan bulat. Tunjukan bahwa jika š‘›2 habis dibagi 3,
maka š‘› habis dibagi 3!
4. Tunjukkan pernyataan berikut ini benar!
a. √3 bukan bilangan rasional!
b. Akar bilangan bulat tidak dapat berbentuk 3š‘˜ + 2 untuk suatu š‘˜
bilangan bulat!
c. sin2 š‘„ ≤ |sin š‘„| untuk semua š‘„ ∈ ā„!
d. Jika š‘„ dan š‘¦ dua buah bilangan real maka |š‘„ + š‘¦| ≤ |š‘„| + |š‘¦|!
5. Misalkan š‘› bilangan asli, š‘Ž0 , š‘Ž1 , ā‹Æ , š‘Žš‘› ∈ ā„ dan š‘Žš‘› ≠ 0. Tunjukan bahwa suku
banyak š‘(š‘„) = š‘Žš‘› š‘„ š‘› + š‘Žš‘›−1 š‘„ š‘›−1 + ā‹Æ + š‘Ž0 memiliki hampir š‘› buah akar yang
berbeda!
1.4 Himpunan
Keberadaan definisi yang baik sangat diperlukan dalam mengkaji
konsep apa pun sebagai pendukung keberadaan konsep tersebut. Akan tetapi,
dengan adanya keterbatasan bahasa, tidak memungkinkan untuk
mendefinisikan semua konsep. Untuk itu, muncul istilah konsep primitif.
Konsep ini tidak memerlukan definisi dalam memahaminya dan dijadikan
sebagai titik awal dalam mendefinisikan konsep lain dalam kajian matematika.
Konsep himpunan merupakan salah satunya.
Untuk membantu memahami dan menggunakan konsep himpunan,
perhatikan fakta berikut ini.
1. Hanya ada satu himpunan tanpa anggota, yakni himpunan hampa atau
himpunan kosong, ditulis: ∅.
2. Misalkan š‘† suatu himpunan yang memiliki anggota. Tanda š‘Ž ∈ š‘†, dibaca:
“unsur š‘Ž anggota š‘†” atau “š‘Ž anggota š‘†” atau “unsur a di š‘†”, atau ”š‘Ž di š‘†”
atau “unsur š‘Ž milik š‘†”, atau “š‘Ž milik š‘†”. Sementara itu, tanda š‘Ž ∉ š‘†, dibaca:
“unsur š‘Ž bukan anggota š‘†” atau “š‘Ž bukan anggota š‘†” atau “unsur a tidak di
š‘†”, atau”š‘Ž tidak di š‘†” atau “unsur š‘Ž bukan milik š‘†”, atau “š‘Ž bukan milik š‘†”
3. Himpunan dinyatakan dengan mendaftarkan anggotanya atau dengan
menuliskan sifat anggotanya. Saat menyatakan himpunan dengan
mendaftarkan anggotanya, setiap anggota dipisahkan dengan tanda koma
dan diapit oleh tanda kurung kurawal buka dan tutup, contohnya {1, 2, 3}.
Sementara itu, untuk menyatakan himpunan dengan menuliskan sifat
anggotanya. Misalkan š’«(š‘„) sifat unsur š‘„. Himpunan semua unsur š‘„ yang
mempunyai sifat š’«(š‘„) atau himpunan semua š‘„ yang memenuhi š’«(š‘„),
ditulis: { š‘„ | š’«(š‘„)}. Contohnya: {š‘„ | š‘„ bilangan asli kurang dari 4 }.
11
4. Himpunan selalu terdefinisi dengan baik. Artinya, jika š‘† suatu himpunan
dan š‘Ž suatu unsur maka berlaku š‘Ž ∈ š‘† atau š‘Ž ∉ š‘†. Contohnya, misalkan š‘‡
himpunan bilangan prima. Tentu saja setiap kali mengambil sembarang
bilangan, bilangan tersebut masuk ke kelompok prima atau bukan prima
dan tidak ada yang tidak masuk ke salah satunya.
Berikut ini beberapa tanda himpunan yang sudah umum dan sebagian
digunakan dalam buku ini.
: Himpunan Bilangan Cacah
: { 0,1, 2, ā‹Æ }
ā„¤
: Himpunan Bilangan Bulat
: {ā‹Æ , −2, −1, 0, 1, 2, ā‹Æ }
2ā„¤
: Himpunan Bilangan Bulat Genap
: {2š‘„ āˆ£ š‘„ ∈ ā„¤} = {ā‹Æ , −2, 0, 2, ā‹Æ }
2ā„¤ + 1 : Himpunan Bilangan Bulat Ganjil
: {2š‘„ + 1 āˆ£ š‘„ ∈ ā„¤} = {ā‹Æ , −3 − 1, 1, 3, ā‹Æ }
+
ā„¤
: Himpunan Bilangan Asli (Bulat Positif )
: {š‘„ |š‘„ ∈ ā„¤, š‘„ > 0} = {1, 2, ā‹Æ }
−
ā„¤
: Himpunan Bilangan Bulat Negatif
: {š‘„ |š‘„ ∈ ā„¤, š‘„ < 0} = {−1, −2, ā‹Æ }
ā„š
: Himpunan Bilangan Rasional (Pecahan)
: {š‘Žš‘ | š‘Ž, š‘ ∈ ā„¤, š‘ ≠ 0}
ā„
: Himpunan Bilangan Real
: Titik-titik pada garis lurus
ā„‚
: Himpunan Bilangan Kompleks
: {š‘Ž + š‘š‘– | š‘Ž, š‘ ∈ ā„}
ā„•
Gambar 1.1 Himpunan bilangan
Misalkan š“ dan šµ dua buah himpunan. Irisan kedua himpunan tersebut,
ditulis: š“ ∩ šµ, tidak lain himpunan yang setiap anggotanya berada di kedua
himpunan tersebut. Dengan kata lain, š“ ∩ šµ = {š‘„ āˆ£ š‘„ ∈ š“ ∧ š‘„ ∈ šµ}. Sementara
untuk gabungannya, ditulis: š“ ∪ šµ, tidak lain himpunan yang anggotanya
berada di himpunan š“ atau šµ. Untuk gabungan ditulis: š“ ∪ šµ = {š‘„ āˆ£ š‘„ ∈ š“ ∨ š‘„ ∈
12
šµ}. Kedua konsep itu akan digunakan pada buku ini, misalnya untuk konsep
saling lepas dan partisi himpunan.
Misalkan š‘† suatu himpunan. Bilangan |š‘†|, lebih dikenal dengan istilah
kardinal, menyatakan banyaknya anggota š‘†. Himpunan š‘† disebut hingga jika
memuat š‘› buah anggota berbeda, ditulis: |š‘†| = š‘›, untuk suatu š‘› ∈ ā„•. Jika
sebaliknya, himpunan š‘† disebut tak hingga. Dua himpunan A dan B disebut
ekuivalen jika kedua himpunan tersebut kardinalnya sama besar, ditulis:
|š“| = |šµ|. Dua himpunan A dan B disebut saling lepas (terpisah) jika tidak
beririsan, ditulis: š“ ∩ šµ = ∅.
Definisi 1.1
Misalkan š‘† dan š» dua buah himpunan. Himpunan š» disebut
subhimpunan š‘† jika setiap anggota š» juga menjadi anggota š‘†,
ditulis: š» ⊆ š‘† atau š‘† ⊇ š».
penulis lain menyebut subhimpunan di dalam bukunya dengan nama
himpunan bagian atau subset. Ketika š» menjadi subhimpunan š‘†, kita dapat
mengatakan himpunan š» termuat di himpunan š‘†. Setiap himpunan merupakan
subhimpunan atas dirinya sendiri. Khusus bagi himpunan hampa, selain
menjadi subhimpunan atas dirinya, ia juga subhimpunan semua himpunan.
Misalkan š‘† suatu himpunan. Semua subhimpunan š‘† berjumlah 2|š‘†| .
Misalkan š‘‡ ⊆ š‘† dan š‘‡ ≠ ∅. Subhimpunan š‘‡ disebut subhimpunan
sejati jika ia selain subhimpunan š‘†, yakni š‘‡ ≠ š‘†. Sebaliknya, himpunan hampa
dan š‘† itu sendiri disebut dengan subhimpunan tak sejati.
Contoh 1.10. Misalkan š‘† = {1, 2, 3}. Kita memiliki subhimpunan š‘† sebanyak 8
buah, yaitu: ∅, {1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3}, {2, 3} dan {1, 2, 3}. Subhimpunan
sejatinya adalah {1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3} dan {2, 3}.
Koleksi himpunan adalah suatu himpunan yang beranggotakan
himpunan. Untuk membedakannya dengan himpunan secara umum, koleksi
himpunan dapat ditulis dengan menggunakan huruf kapital fraktur atau
dengan memadukan huruf kapital dan tanda baca lainnya seperti angka.
Perhatikan Contoh 1.10. Anggota koleksi subhimpunan sejati dari š‘† adalah
{1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3} dan {2, 3}. Koleksi subhimpunan ini ditulis:
š”– = {{1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3}, {2, 3}}
Himpunan kuasa atas š‘†, ditulis: 2š‘† , adalah koleksi semua subhimpunan
š‘†. Jika himpunan š‘† seperti disebutkan pada Contoh 1.10, maka diperoleh
himpunan kuasa
2š‘† = {∅, {1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3}, {2, 3}, š‘†}.
13
Banyaknya anggota himpunan kuasa atas š‘† , ditulis: |2š‘† |, adalah 2|š‘†| .
Dengan menerapkannya pada koleksi 2š‘† , kita peroleh |2š‘† | = 2|š‘†| = 23 = 8.
Definisi 1.2
Misalkan š‘† suatu himpunan tak hampa dan š”“ koleksi subhimpunan
š‘†. Koleksi š”“ disebut partisi himpunan š‘† jika memenuhi tiga syarat
berikut.
1. Untuk setiap š“ ∈ š”“, š“ tidak hampa,
2. ā‹ƒš“∈š”“ š“ = š‘†, dan
3. untuk setiap š“, šµ ∈ š”“, jika š“ ∩ šµ ≠ ∅ maka š“ = šµ.
Ketika koleksi š”“ membentuk partisi, setiap anggota š”“ disebut sel partisi.
Himpunan disebut terpartisi (terbagi) menjadi sel-sel partisi jika partisi
himpunan tersebut tidak hampa. Misalkan š”“ partisi himpunan š‘† dan |š”“| = š‘›.
Dalam hal ini, himpunan š‘† terpartisi menjadi š‘› buah sel partisi. Untuk
memahami Definisi 1.2, mari kita perhatikan contoh berikut ini.
Contoh 1.11. Misalkan š‘† = {1, 2, 3, 4, 5, 6, 7}. Koleksi subhimpunan, š”“ =
{{1, 2, 5}, {3, 6, 7}, {4}} tidak lain partisi himpunan š‘†. Partisi š”“ mengakibatkan
himpunan š‘† ini terbagi menjadi tiga buah himpunan bagian yang terpisah
(saling lepas), yaitu: {1, 2, 5}, {3, 6, 7} dan {4}. Himpunan bagian {1, 2, 5}, {3, 6, 7}
dan {4} disebut dengan sel partisi. Akan tetapi, koleksi subhimpunan
{{1, 2, 4, 5}, {7}, {3, 4, 6}} bukan partisi himpunan š‘† mengingat 4 berada pada
kedua anggota koleksi ini. Begitu pun dengan koleksi subhimpunan
{{1, 2, 5}, {7}, {3, 6}} mengingat 4 tidak masuk ke dalam anggota mana pun
dalam koleksi tersebut.
Dengan demikian, setiap sel partisi selalu saling lepas. Berikut ini
ilustrasi untuk Contoh 1.11.
Gambar 1.2 Partisi himpunan
Pada Gambar 1.2(a), ketiga sel terlihat saling lepas, sedangkan pada
Gambar 1.2(b), tampak adanya irisan. Garis putus-putus pada gambar di atas
menunjukkan irisan kedua sel.
14
Contoh 1.12. Misalkan š“š‘› = [−š‘›, š‘›] untuk setiap š‘› ∈ ā„•. Koleksi š”„ = {š“š‘› |š‘› ∈ ā„•}
tidak membentuk partisi himpunan ā„. Akan tetapi, jika šµš‘› = [š‘›, š‘› + 1) maka
koleksi š”… = {šµš‘› |š‘› ∈ ā„¤} membentuk partisi himpunan ā„.
Koleksi š”„ bukan partisi himpunan ā„ mengingat syarat (3) tidak
terpenuhi: š“1 ∩ š“2 ≠ ∅ padahal š“1 ≠ š“2 . Sebaliknya, koleksi š”… memenuhi semua
syarat partisi, seperti uraian berikut ini. Jelas šµš‘› ≠ ∅ untuk semua š‘› ∈ ā„¤.
Perhatikan bahwa
ā‹ƒ
šµ∈š”…
šµ=ā‹ƒ
šµš‘› = ā‹ƒ
š‘›∈ā„¤
š‘›∈ā„¤
[š‘›, š‘› + 1) = ā„
Terakhir, ambil šµš‘› , šµš‘š ∈ š”… dengan šµš‘› ∩ šµš‘š ≠ ∅. Hal ini mengakibatkan
[š‘›, š‘› + 1) ∩ [š‘š, š‘š + 1) ≠ ∅. Mengingat š‘› dan š‘š semuanya bilangan bulat, selang
[š‘›, š‘› + 1) dan [š‘š, š‘š + 1) pasti saling lepas atau sama. Kesimpulannya, šµš‘› =
[š‘›, š‘› + 1) = [š‘š, š‘š + 1) = šµš‘š .
Latihan 1.4
1. Misalkan š‘† suatu himpunan dan š‘Ž suatu unsur. Manakah pernyataan
berikut yang benar?
a. š‘Ž ⊆ š‘† atau š‘Ž āŠˆ š‘†.
b. Jika š‘‡ suatu himpunan, maka š‘† ∈ š‘‡ atau š‘† ∉ š‘‡.
2. Misalkan š‘† suatu himpunan. Manakah pernyataan berikut yang benar?
a. š‘† ∈ 2š‘† .
b. ∅ ⊆ 2š‘† .
c. ∅ = 2∅ .
d. {∅} = 2∅ .
e. Jika š‘Ž ∈ š‘† maka {š‘Ž} ⊆ 2š‘† .
3. Nyatakan himpunan berikut dengan cara mendaftarkan setiap anggotanya!
a. {š‘„ ∈ ā„ | š‘„ 2 = 3}.
b. {š‘š ∈ ā„¤ | š‘š2 = 3}.
c. {š‘š ∈ ā„¤ | š‘šš‘› = 60 untuk suatu š‘› ∈ ā„¤}.
d. {š‘š ∈ ā„¤ | š‘š2 − š‘š ≤ 20}.
4. Misalkan š‘† = {1, 2, 3, 4}
a. Tentukan koleksi subhimpunan sejati dari š‘†!
b. Tentukan koleksi subhimpunan tak sejati dari š‘†!
c. Tentukan himpunan kuasa atas š‘† dan berapa nilai kardinalnya!
d. Beri contoh partisi himpunan š‘†!
1.5 Relasi himpunan
Misalkan š‘†š‘– himpunan, š‘Žš‘–š‘— ∈ š‘†š‘– , 1 ≤ š‘–, š‘— ≤ š‘› dan š‘› ∈ ā„¤+ . Unsur
(š‘Ž1š‘—1 , š‘Ž2š‘—2 , ā‹Æ š‘Žš‘›š‘—š‘› ) ∈ š‘†1 × š‘†2 × ā‹Æ × š‘†š‘› disebut pasangan terurut n-unsur
sementara š‘†1 × š‘†2 × ā‹Æ × š‘†š‘› disebut produk (hasil kali) š‘› buah himpunan. Jika
15
š‘†1 = š‘†2 = ā‹Æ = š‘†š‘› = š‘†, maka š‘†1 × š‘†2 × ā‹Æ × š‘†š‘› = š‘† × š‘† × ā‹Æ × š‘† = š‘† š‘› . Unsur
(š‘Ž1 , š‘Ž2 , ā‹Æ š‘Žš‘› ) ∈ š‘† š‘› disebut pasangan terurut n-unsur pada himpunan š‘†.
Misalkan š“ dan šµ dua buah himpunan. Produk (hasil kali) himpunan š“
dan šµ, ditulis: š“ × šµ, didefinisikan sebagai berikut.
š“ × šµ = {(š‘Ž, š‘) | š‘Ž ∈ š“, š‘ ∈ šµ}.
Unsur (š‘Ž, š‘) ∈ š“ × šµ ini cukup disebut dengan pasangan terurut. Sifat
pasangan terurut yang sangat penting yakni: (š‘Ž, š‘) = (š‘, š‘‘) jika dan hanya jika
š‘Ž = š‘ dan š‘ = š‘‘.
Produk himpunan disebut juga dengan produk Cartesius. Himpunan
š“ × šµ dengan š“ dan šµ dua himpunan tak hampa akan digunakan untuk
mendefinisikan relasi himpunan seperti berikut ini.
Definisi 1.3
Misalkan š“ dan šµ dua buah himpunan tak hampa. Suatu himpunan
ā„› disebut relasi dari š“ ke šµ jika ā„› tidak hampa dan ā„› ⊆ š“ × šµ.
Relasi dari himpunan š“ ke š“ disebut relasi pada š“.
Unsur (š‘Ž, š‘) ∈ ā„› artinya “a berelasi dengan b”. Sebaliknya, (š‘Ž, š‘) ∉ ā„›
artinya “a tidak berelasi dengan b”. Tanda (š‘Ž, š‘) ∈ ā„› dapat diganti dengan aā„›b,
sementara tanda (a, b) ∉ ā„› dengan
. Relasi disebut juga dengan istilah
pemasangan. Ada juga yang menyebutnya dengan aturan dalam mengaitkan.
Untuk itu, (š‘Ž, š‘) ∈ ā„› artinya: “unsur š‘Ž ∈ š“ dipasangkan (dikaitkan) dengan
unsur š‘ ∈ šµ. Selain dengan tanda tadi, relasi ā„› dari š“ ke šµ, dapat juga ditandai
dengan ā„›: š“ āŸ¶ šµ sementara tanda aā„›b dapat diganti š‘Ž ā†¦ š‘.
Pandang š“ sebagai himpunan dosen pengampu mata kuliah sementara
šµ himpunan mata kuliah pada suatu universitas. Misalkan relasi ā„›
didefinisikan sebagai pemasangan unsur š‘Ž ∈ š“ dengan unsur š‘ ∈ šµ, yakni:
dosen š‘Ž mengampu mata kuliah š‘. Relasi ini ditulis: ā„› = {(š‘Ž, š‘)|š‘Ž ∈ š“, š‘ ∈ šµ}
atau ā„›: š“ āŸ¶ šµ dengan š‘Ž ā†¦ š‘. Misalkan Mahira seorang dosen pengampu mata
kuliah dan matematika sebuah mata kuliah pada universitas tersebut. Mahira
seorang dosen pengampu mata kuliah matematika atau Mahira mengampu
mata kuliah matematika dapat ditulis dengan tanda relasi menjadi
(Mahira, Matematika) ∈ ā„› atau Mahira ā†¦ Matematika. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan contoh relasi berikut ini.
Contoh 1.13. Relasi yang tidak asing dengan kita ialah relasi kesamaan. Relasi
ini merupakan relasi pada himpunan, katakanlah himpunan š‘†. Relasi
kesamaan, disebut juga dengan nama “sama dengan”, ditulis: =, didefinisikan
sebagai
{(š‘„, š‘„) |š‘„ ∈ š‘†} ⊆ š‘† × š‘†.
16
Unsur (š‘„, š‘¦) ∈ = artinya š‘„ = š‘¦. Sebaliknya, (š‘„, š‘¦) ∉ = artinya š‘„ ≠ š‘¦ untuk semua
š‘„, š‘¦ ∈ š‘†.
1.5.1 Relasi ekuivalen
Relasi ekuivalen ialah relasi pada suatu himpunan yang bersifat
refleksif, simetris dan transitif. Secara formal, definisi relasi ekuivalen
diberikan oleh definisi berikut.
Definisi 1.4
Misalkan ∼ suatu relasi pada himpunan š‘†. Relasi ∼ disebut
ekuivalen jika untuk setiap š‘„, š‘¦, š‘§ ∈ š‘† memenuhi tiga sifat berikut.
1. Refleksif: š‘„ ∼ š‘„.
2. Simetris: jika š‘„ ∼ š‘¦, maka š‘¦ ∼ š‘„.
3. Transitif: jika š‘„ ∼ š‘¦ dan š‘¦ ∼ š‘§, maka š‘„ ∼ š‘§.
Contoh 1.14.
a. Untuk suatu himpunan tak hampa š‘†, relasi kesamaan ′ = ′ yang
didefinisikan sebagai subhimpunan {(š‘„, š‘„) |š‘„ ∈ š‘†} dari š‘† × š‘† merupakan
relasi ekuivalen.
b. Relasi ~ pada himpunan ā„¤ yang didefinisikan oleh š‘„ ~ š‘¦ jika dan hanya jika
š‘„š‘¦ ≥ 0, merupakan relasi ekuivalen.
c. Relasi ~ pada himpunan ā„ yang didefinisikan oleh š‘„ ~ š‘¦ jika dan hanya jika
š‘„ − š‘¦ ∈ ā„¤, merupakan relasi ekuivalen.
Sifat 1.6
Jika ∼ suatu relasi ekuivalen pada himpunan tak hampa š‘† maka
himpunan tersebut terpartisi dengan
š‘Ž = {š‘„ ∈ š‘† |š‘„ ∼ š‘Ž}
sel partisi yang memuat š‘Ž untuk setiap š‘Ž ∈ š‘†. Sebaliknya, jika
himpunan š‘† terpartisi maka akan memunculkan relasi ekuivalen ∼
jika relasi tersebut didefinisikan: š‘Ž ∼ š‘ jika dan hanya jika š‘Ž ∈ š‘
(dibaca: š‘Ž dan š‘ saling berelasi jika dan hanya jika berada pada sel
partisi yang sama, yakni sel partisi š‘).
Bukti. Misalkan š”“ = {š‘Ž | š‘Ž ∈ š‘†}. Untuk menunjukkan š”“ partisi himpunan š‘†,
akan ditunjukkan tiga syarat berikut.
1. Setiap subhimpunan š‘Ž ∈ š”“ tidak hampa,
2. ā‹ƒš‘Ž∈š”“ š‘Ž = š‘†, dan
3. untuk setiap š‘Ž, š‘ ∈ š”“, jika š‘Ž ∩ š‘ ≠ ∅ maka š‘Ž = š‘.
(1) Ambil sembarang š‘Ž ∈ š”“ dengan š‘Ž ∈ š‘†. Mengingat relasi ∼ bersifat
refleksif, kita memperoleh š‘Ž ∼ š‘Ž dan mengakibatkan š‘Ž ∈ š‘Ž. Dengan demikian
17
terlihat bahwa š‘Ž ≠ ∅. (2) ā‹ƒš‘Ž∈š”“ š‘Ž = ā‹ƒš‘Ž∈š‘†{š‘„ ∈ š‘† |š‘„ ∼ š‘Ž} = {š‘Ž|š‘Ž ∈ š‘†} = š‘†. (3). Ambil
š‘Ž, š‘ ∈ š”“. Misalkan ada š‘¦ ∈ š‘Ž ∩ š‘, akan ditunjukkan bahwa š‘Ž = š‘.
Ambil š‘„ ∈ š‘Ž. Berdasarkan definisi ∼, kita mendapatkan š‘„ ∼ š‘Ž. Selain itu,
mengingat š‘¦ ∈ š‘Ž ∩ š‘, kita memperoleh š‘¦ ∈ š‘Ž dan š‘¦ ∈ š‘. Itu artinya š‘¦ ∼ š‘Ž dan
š‘¦ ∼ š‘. Mengingat ∼ bersifat simetris dan transitif, kita memperoleh š‘Ž ∼ š‘ dan
mengakibatkan š‘„ ∼ š‘. Dengan demikian, š‘„ ∈ š‘ sehingga š‘Ž ⊆ š‘. Sebaliknya,
ambil š‘„ ∈ š‘. Berdasarkan definisi, kita memperoleh š‘„ ∼ š‘. Selain itu,
mengingat š‘¦ ∈ š‘Ž ∩ š‘, diperoleh š‘Ž ∼ š‘ dan mengakibatkan š‘ ∼ a. Karena ∼
bersifat transitif, kita memperoleh š‘„ ∼ š‘Ž dan dengan demikian š‘ ⊆ š‘Ž. Uraian
tersebut menunjukan bahwa š‘Ž = š‘.āˆŽ
Setiap sel partisi yang dihasilkan oleh relasi ekuivalen disebut kelas
ekuivalen. Perhatikan kembali sifat di atas. Sel partisi š‘Ž dan š‘ termasuk kelas
ekuivalen dari himpunan š‘†.
Misalkan š‘Ÿ dan š‘  dua buah bilangan bulat. Bilangan bulat š‘Ÿ disebut
terbagi oleh š‘ , ditulis: š‘  | š‘Ÿ, jika terdapat bilangan bulat š‘ž yang memenuhi š‘Ÿ =
š‘žš‘ . Jika š‘Ÿ terbagi oleh š‘ , kita sebut š‘  membagi š‘Ÿ atau š‘  faktor dari š‘Ÿ atau š‘Ÿ
kelipatan š‘ . Sebaliknya, jika š‘Ÿ tidak terbagi oleh š‘  cukup kita tulis: š‘  āˆ¤ š‘Ÿ.
Dengan memperhatikan adanya bilangan 2 sehingga memenuhi 8 = 4 ⋅ 2,
diperoleh 4 | 8. Sebaliknya, 3 āˆ¤ 8. Bilangan bulat š‘ disebut prima jika š‘ > 1 dan
š‘ tidak terbagi oleh bilangan asli lain selain 1 dan dirinya sendiri. Bilangan 3
adalah prima karena faktornya hanya 1 dan 3.
Misalkan š‘Ž | š‘. Pemisalan ini mengakibatkan adanya suatu š‘ž sehingga
š‘ = š‘žš‘Ž. Mengingat −š‘ = −š‘žš‘Ž = (−š‘ž)š‘Ž, diperoleh š‘Ž | (−š‘). Oleh karena itu, jika
š‘Ž | š‘, maka š‘Ž | (−š‘). Selanjutnya, misalkan š‘š | š‘Ž dan š‘š | š‘. Akibatnya ada š‘ž dan
š‘  yang memenuhi š‘Ž = š‘žš‘š dan š‘ = š‘ š‘š. Mengingat ada š‘ž + š‘  ∈ ā„¤ sehingga š‘Ž + š‘ =
š‘žš‘š + š‘ š‘š = (š‘ž + š‘ )š‘š, kita dapat menyimpulkan š‘š | (š‘Ž + š‘). Selain itu,
mengingat ada š‘ž − š‘  ∈ ā„¤ sehingga š‘Ž − š‘ = š‘žš‘š − š‘ š‘š = (š‘ž − š‘ )š‘š, kita juga
menyimpulkan š‘š | (š‘Ž − š‘). Jadi, jika š‘š | š‘Ž dan š‘š | š‘ maka š‘š | (š‘Ž + š‘) dan
š‘š | (š‘Ž − š‘).
Definisi 1.5
Misalkan š‘› bilangan asli. Bilangan bulat š‘Ž dan š‘ disebut kongruen
š’Žš’š’…š’–š’š’ š‘›, ditulis: š‘Ž ≡ š‘ (š‘šš‘œš‘‘ š‘›), jika š‘› | (š‘Ž − š‘).
Contoh 1.15. Pilih buah bilangan bulat 6 dan 12. Akibatnya, 12 ≡ 6 (š‘šš‘œš‘‘ 3)
karena 3 | (12 − 6). Di sisi lain, 12 ā‰¢ 6 (š‘šš‘œš‘‘ 5) karena 5 āˆ¤ (12 − 6).
Misalkan š‘Ž ≡ š‘ (š‘šš‘œš‘‘ š‘›). Akibatnya ada š‘ž ∈ ā„¤ sehingga š‘Ž − š‘ = š‘žš‘› karena
š‘› | (š‘Ž − š‘). Jadi, š‘Ž = š‘ + š‘žš‘›. Begitu juga sebaliknya, jika ada š‘ž ∈ ā„¤ sehingga š‘Ž =
š‘ + š‘žš‘›, maka berlaku š‘Ž ≡ š‘ (š‘šš‘œš‘‘ š‘›). Dengan demikian, š‘Ž ≡ š‘ (š‘šš‘œš‘‘ š‘›) jika dan
hanya jika ada š‘ž ∈ ā„¤ sehingga š‘Ž = š‘ + š‘žš‘›.
18
Sifat 1.7
Kongruen š‘šš‘œš‘‘š‘¢š‘™š‘œ š‘› merupakan relasi ekuivalen pada himpunan
bilangan bulat, untuk setiap bilangan asli š‘›.
Bukti. Ambil š‘Ž ∈ ā„¤. Jelas š‘Ž ≡ š‘Ž (š‘šš‘œš‘‘ š‘›) karena š‘Ž = š‘Ž + 0 ⋅ š‘›. Jadi, relasi ≡
bersifat refleksif. Selanjutnya ambil š‘ ∈ ā„¤ dan š‘Ž ≡ š‘ (š‘šš‘œš‘‘ š‘›). Akibatnya ada š‘ž ∈
ā„¤ yang memenuhi š‘Ž = š‘ + š‘žš‘›. Mengingat š‘ = š‘Ž + (−š‘ž)š‘›, diperoleh š‘ ≡
š‘Ž (š‘šš‘œš‘‘ š‘›). Jadi, relasi ≡ bersifat simetris. Terakhir, ambil š‘ ∈ ā„¤ dengan š‘Ž ≡
š‘ (š‘šš‘œš‘‘ š‘›) dan š‘ ≡ š‘ (š‘šš‘œš‘‘ š‘›). Hal ini mengakibatkan adanya š‘ž, š‘Ÿ ∈ ā„¤ yang
memenuhi š‘Ž = š‘ + š‘žš‘› dan š‘ = š‘ + š‘Ÿš‘›. Karena š‘Ž = (š‘ + š‘Ÿš‘›) + š‘žš‘› = š‘ + (š‘Ÿ + š‘ž)š‘›,
kita memperoleh š‘Ž ≡ š‘ (š‘šš‘œš‘‘ š‘›). Jadi, relasi ≡ bersifat transitif. Dengan
terpenuhinya ketiga sifat ini menunjukkan ≡ (kongruen modulo š‘›) relasi
ekuivalen. āˆŽ
Mengingat kongruen š‘šš‘œš‘‘š‘¢š‘™š‘œ š‘› suatu relasi ekuivalen pada himpunan
bilangan bulat, tentu saja relasi ini mengakibatkan himpunan bilangan bulat
terpartisi menjadi kelas-kelas ekuivalen. Kelas ekuivalen yang diakibatkan
oleh relasi kongruen š‘šš‘œš‘‘š‘¢š‘™š‘œ š‘› disebut kelas kongruen š’Žš’š’… š’.
Misalkan š‘› ∈ ā„¤+ , tentunya ada sebanyak š‘› kelas kongruen š‘šš‘œš‘‘ š‘›.
Misalkan nilai š‘› tetap. Untuk semua š‘˜ ∈ ā„¤, š‘˜Ģ… menyatakan kelas kongruen
š‘šš‘œš‘‘ š‘› yang memuat š‘˜:
š‘˜Ģ…
{š‘™ ∈ ā„¤ | š‘™ ≡ š‘˜ (š‘šš‘œš‘‘ š‘›)}
=
= {š‘™ ∈ ā„¤ | š‘™ = š‘˜ + š‘žš‘›, š‘ž ∈ ā„¤}
{š‘˜ + š‘žš‘› | š‘ž ∈ ā„¤}
=
Untuk š‘› = 12, kita dapatkan kelas-kelas kongruen š‘šš‘œš‘‘ 12 sebagai berikut.
0Ģ…
1Ģ…
ā‹®
Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…
11
=
=
ā‹®
=
{… , −36, −24, −12, 0, 12, 24, 36, … }
{… − 35, −23, −11,1,13, 25,37, … }
ā‹®
{… − 25, −13, −1,11,23, 35,47, … }
Ģ…Ģ…Ģ… = ā‹Æ. Setelah menyeleksi
Ģ…Ģ… = Ģ…24
Ģ…Ģ…Ģ… = ā‹Æ , 1Ģ… = Ģ…13
Ģ…Ģ…Ģ… = Ģ…25
Perhatikan kelas 0Ģ… = Ģ…Ģ…
12
Ģ…Ģ… },
dan mendata semua kelas yang berbeda, diperoleh himpunan {0Ģ…, 1Ģ…, … , Ģ…Ģ…
11
disebut himpunan bilangan bulat š‘šš‘œš‘‘ 12, ditulis: ā„¤12 . Himpunan ini lebih
dikenal dengan sebutan himpunan bilangan jam. Secara umum, ā„¤š‘› =
{0Ģ…, 1Ģ…, … , Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘› − 1 } disebut dengan himpunan bilangan bulat š‘šš‘œš‘‘ n.
Ambil sembarang š‘˜Ģ…, š‘™ Ģ… ∈ ā„¤š‘› sehingga š‘˜Ģ… = š‘™ .Ģ… Misalkan š‘Ž ∈ š‘˜Ģ…. Hal ini
menimbulkan adanya š‘ž ∈ ā„¤ sehingga š‘Ž = š‘˜ + š‘žš‘›. Selain itu, mengingat š‘Ž ∈ š‘˜Ģ…
dan š‘˜Ģ… = š‘™ ,Ģ… tentu saja š‘Ž ∈ š‘™ Ģ… sehingga ada š‘Ÿ ∈ ā„¤ dan š‘Ž = š‘™ + š‘Ÿš‘›. Dengan
menyubstitusikan kedua tadi, kita memperoleh hasil berikut.
19
š‘˜ + š‘žš‘›
⇔ š‘˜ + š‘žš‘›
⇔
š‘˜
⇔
š‘˜
=
š‘Ž
=
š‘™ + š‘Ÿš‘›
= (š‘™ + š‘Ÿš‘›) − š‘žš‘›
= š‘™ + (š‘Ÿ − š‘ž)š‘›
Akibatnya, untuk setiap š‘˜Ģ…, š‘™ Ģ… ∈ ā„¤š‘› dengan š‘˜Ģ… = š‘™ Ģ… mengakibatkan adanya unsur
š‘  = š‘Ÿ − š‘ž ∈ ā„¤ yang memenuhi š‘˜ = š‘™ + š‘ š‘›. Dengan kata lain, pada ā„¤š‘› berlaku š‘™ Ģ… =
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘™ + š‘ š‘› untuk š‘  ∈ ā„¤. Ini berarti bahwa dua unsur yang saling kongruen
dimasukkan pada kelas kongruen yang sama.
1.5.2 Pemetaan
Suatu relasi yang memasangkan unsur š‘Ž anggota himpunan š“ dengan
unsur š‘ anggota himpunan šµ yang ditetapkan secara khusus yakni setiap š‘Ž ∈ š“
dipasangkan tepat satu dengan š‘ ∈ šµ kita namakan pemetaan. Ada juga yang
menyebut pemetaan dengan fungsi. Secara formal, definisi pemetaan yaitu
sebagai berikut.
Definisi 1.6
Suatu relasi dari š‘† ke š‘‡ disebut pemetaan dari š‘† ke š‘‡ jika relasi itu
memasangkan setiap anggota š‘† tepat satu dengan anggota š‘‡.
Himpunan š‘† disebut domain dan himpunan š‘‡ disebut š’Œš’š’…š’š’Žš’‚š’Šš’.
Pemetaan dari š‘† ke š‘† disebut pemetaan pada š‘†.
Pemetaan biasanya ditulis menggunakan abjad Yunani kuno atau
menggunakan huruf kecil (lower case) sebagai pengganti tanda ā„›. Untuk
menyatakan š›¼ sebagai pemetaan dari š‘† ke š‘‡, kita menuliskannya
š›¼
menggunakan tanda š›¼: š‘† āŸ¶ š‘‡ atau š‘† → š‘‡. Jika š‘„ ∈ š‘† maka š›¼(š‘„) adalah unsur
di š‘‡ yang dipasangkan dengan š‘„. Unsur š›¼(š‘„) disebut peta š‘„ oleh pemetaan š›¼
sementara unsur š‘„ disebut š©š«ššš©šžš­šš š›¼(š‘„). Pemetaan š›¼ disebut terdefinisi
dengan baik jika untuk setiap š‘„1 , š‘„2 ∈ š‘† dengan š‘„1 = š‘„2 mengakibatkan
š›¼(š‘„1 ) = š›¼(š‘„2 ).
š›¼
1
š‘„
2
š‘¦
3
š‘§
S
T
Gambar 1.3
Pemetaan š›¼ dari himpunan š‘† ke himpunan š‘‡
Contoh 1.16. Misalkan š‘† = {1,2 3} dan š‘‡ = {š‘„, š‘¦, š‘§}. Jika kita buat š›¼(1) = š‘„;
š›¼(2) = š‘§; dan š›¼(3) = š‘¦, relasi š›¼ suatu pemetaan mengingat setiap anggota š‘†
20
dipasangkan tepat satu dengan anggota š‘‡. Relasi š›¼ dapat dilihat pada Gambar
1.3. Kita juga bisa mendefinisikan relasi š›½ dengan š›½(1) = š‘„, š›½(2) = š‘„, dan
š›½(3) = š‘¦. Relasi š›½ yang semacam ini masih pemetaan.
š›½
1
š‘„
2
š‘¦
3
š‘§
S
T
Gambar 1.4
Pemetaan š›½ dari himpunan š‘† ke himpunan š‘‡
Sebaliknya, jika kita definisikan š›¾(1) = š‘„, š›¾(1) = š‘§, dan š›¾(3) = š‘¦ maka š›¾
yang semacam ini bukan pemetaan, mengingat relasi yang semacam itu tidak
memberikan pemetaan yang terdefinisi dengan baik.
1
š‘„
2
š‘¦
3
š‘§
S
T
Gambar 1.5
Relasi bukan pemetaan
Definisi 1.7
Misalkan š›¼ dan š›½ dua buah pemetaan dengan š›¼, š›½: š‘† āŸ¶ š‘‡ . Pemetaan
š›¼ dan š›½ disebut sama jika š›¼(š‘„) = š›½(š‘„) untuk semua š‘„ ∈ š‘†.
Pada Contoh 1.16, pemetaan š›¼ ≠ š›½. Hal tersebut terjadi karena adanya unsur
2 ∈ š‘† sehingga mengakibatkan š›¼(2) = š‘§ ≠ š‘„ = š›½(2).
Pemetaan pada suatu himpunan yang memasangkan setiap anggotanya
dengan diri sendiri disebut pemetaan identitas. Pemetaan identitas pada
himpunan š‘†, ditulis: šœ„: š‘† āŸ¶ š‘† dengan šœ„(š‘„) = š‘„ untuk setiap š‘„ ∈ š‘† (šœ„ dibaca iota).
Untuk menandai šœ„ sebagai pemetaan pada š‘†, kita tambahkan huruf š‘† sebagai
indeks šœ„ sehingga menjadi šœ„š‘† .
21
Jika diberikan š›¼: š‘† āŸ¶ š‘‡ dan š“ ⊆ š‘†, maka š›¼(š“) menyatakan himpunan
semua anggota š‘‡ yang menjadi peta anggota š“ oleh pemetaan š›¼, ditulis:
š›¼(š“) = {š›¼(š‘„) | š‘„ ∈ š“}.
Himpunan š›¼(š“) disebut juga sebagai himpunan semua peta anggota š“
pada š‘‡ oleh pemetaan š›¼. Himpunan š›¼(š“) juga bisa disebut dengan peta
subhimpunan š“ pada himpunan š‘‡ oleh pemetaan š›¼.
š›¼
A
š›¼(š“)
S
T
Gambar 1.6 Peta subhimpunan š“ oleh š›¼
Contoh 1.17. Perhatikan kembali Contoh 1.16. Peta subhimpunan {1, 2} dan
{2, 3} secara beruntun yaitu: š›¼({1, 2}) = {š‘„, š‘§} dan š›½({2, 3}) = {š‘„, š‘¦}. Untuk lebih
jelasnya lihat Gambar 1.3 dan Gambar 1.4.
Misalkan š›¼: š‘† āŸ¶ š‘‡ suatu pemetaan dan š‘Œ ⊆ š‘‡. Tanda š›¼ −1 (š‘Œ)
menyatakan himpunan semua anggota š‘† yang dipasangkan dengan anggota š‘Œ
oleh pemetaan š›¼, ditulis:
š›¼ −1 (š‘Œ) = { š‘„ ∈ š‘† āˆ£ š›¼(š‘„) ∈ š‘Œ}.
Jika unsur š‘„ ∈ š‘† dipasangkan dengan š‘¦ ∈ š‘‡ oleh pemetaan š›¼, maka
berlaku š›¼ −1 (š‘¦) = š‘„. Pernyataan š›¼ −1 (š‘¦) = š‘„ ekuivalen š›¼(š‘„) = š‘¦. Pemetaan
š›¼ −1 (š‘¦) tidak selalu ada untuk setiap š‘¦ ∈ š‘‡. Selain itu, ia juga tidak perlu
tunggal. Artinya š›¼ −1 (š‘¦) boleh lebih dari satu buah untuk suatu š‘¦ ∈ š‘‡
tergantung pemetaan š›¼. Untuk itu, relasi š›¼ −1 : š‘‡ āŸ¶ š‘† tidak selalu membentuk
pemetaan.
Definisi 1.8
Misalkan š›¼: š‘† āŸ¶ š‘‡ suatu pemetaan. Pemetaan š›¼ disebut š’”š’–š’“š’‹š’†š’Œš’•š’Šš’‡
(pada) jika š›¼(š‘†) = š‘‡.
Pernyataan “š›¼(š‘†) = š‘‡” ini ekuivalen dengan pernyataan: “untuk setiap š‘¦ ∈ š‘‡
ada š‘„ ∈ š‘† sehingga š›¼(š‘„) = š‘¦”. Dengan demikian, untuk menunjukkan š›¼(š‘†) = š‘‡
cukup dengan menunjukkan untuk setiap š‘¦ ∈ š‘‡ ada š‘„ ∈ š‘† demikian sehingga
š›¼(š‘„) = š‘¦. Begitu pun sebaliknya, untuk menunjukkan pernyataan “untuk
setiap š‘¦ ∈ š‘‡ ada š‘„ ∈ š‘† sehingga š›¼(š‘„) = š‘¦” cukup dengan menunjukkan š›¼(š‘†) = š‘‡.
22
Contoh 1.18. Perhatikan pemetaan š›¼: ā„ āŸ¶ ā„ dengan š›¼(š‘„) = š‘„ 2 . Pemetaan š›¼
tidak bersifat surjektif (pada) disebabkan semua bilangan real negatif tidak
mempunyai prapeta sehingga š›¼(ā„) ≠ ā„. Akan tetapi, jika kodomain kita batasi
menjadi ā„+ ∪ {0} sehingga š›¼: ā„ āŸ¶ ā„+ ∪ {0} dengan š›¼(š‘„) = š‘„ 2 untuk setiap š‘„ ∈
ā„, maka pemetaan š›¼ menjadi surjektif mengingat š›¼(ā„) = ā„+ ∪ {0}.
Contoh 1.19. Perhatikan gambar berikut.
šœ‚
š›¾
š›¾(š‘†)
S
šœ‚(š‘†)
S
T
T
Gambar 1.7
Pemetaan surjektif dan bukan surjektif
Pemetaan š›¾ tidak surjektif karena š›¾(š‘†) ≠ š‘‡ sedangkan pemetaan šœ‚ surjektif.
Definisi 1.9
Misalkan š›¼: š‘† āŸ¶ š‘‡ suatu pemetaan. Pemetaan š›¼ disebut š’Šš’š’‹š’†š’Œš’•š’Šš’‡
(satu-satu) jika untuk setiap š‘„, š‘¦ ∈ š‘† dengan š›¼(š‘„) = š›¼(š‘¦)
mengakibatkan š‘„ = š‘¦.
Contoh 1.20. Perhatikan gambar berikut.
š›½
1
š›¾
š‘Ž
2
š‘
3
S
T
1
š‘Ž
2
š‘
3
š‘
S
T
Gambar 1.8
Pemetaan satu-satu dan bukan satu-satu
Pemetaan š›¾ satu-satu, sedangkan pemetaan š›½ tidak satu-satu. Pemetaan
satu-satu dan pada disebut pemetaan š›š¢š£šžš¤š­š¢šŸ. Pemetaan š›¾ merupakan
pemetaan bijektif karena selain satu-satu, ia juga termasuk surjektif.
23
Definisi 1.10
Dua buah himpunan, š‘‹ dan š‘Œ, disebut mempunyai bilangan š‘˜š‘Žš‘Ÿš‘‘š‘–š‘›š‘Žš‘™
sama, ditulis: |š‘‹| = |š‘Œ|, jika terdapat pemetaan š‘š‘–š‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“ di antara
kedua himpunan tersebut.
Contoh 1.21. Perhatikan pemetaan š‘“: ā„ āŸ¶ ā„ dengan š‘“(š‘„) = š‘„ 2 . Pemetaan š‘“
tidak satu-satu mengingat ada 4 = š‘“(2) = š‘“(−2) ∈ ā„ tetapi 2 ≠ −2. Pemetaan š‘“
juga tidak pada karena semua bilangan real negatifnya tidak mempunyai
prapeta yang mengakibatkan š‘“(ā„) ≠ ā„. Sekarang perhatikanlah pemetaan
š‘”: ā„ āŸ¶ ā„ dengan š‘”(š‘„) = š‘„ 3 . Pemetaan š‘” tersebut bijektif. Adanya pemetaan š‘”
menjadi alasan |ā„| = |ā„|.
Pandang š‘“: š‘† āŸ¶ š‘‡ dan š‘”: š‘‡ āŸ¶ š‘ˆ dua buah pemetaan. Jika dari dua buah
pemetaan tersebut dibentuk relasi dari š‘† ke š‘ˆ dengan cara memasangkan
semua anggota š‘† dengan anggota š‘ˆ jika ada anggota š‘‡ yang
menghubungkannya, seperti tampak pada Gambar 1.9. Relasi seperti ini
disebut komposisi pemetaan š‘“ dan š‘” dari š‘† ke š‘ˆ. Komposisi tersebut
membentuk suatu pemetaan. Pada pemetaan ini, setiap š‘„ ∈ š‘† dipasangkan
tepat satu dengan š‘“(š‘„) ∈ š‘‡ lalu dipasangkan lagi tepat satu dengan š‘”(š‘“(š‘„)) ∈
š‘ˆ.
š‘”
š‘“
š‘„
š‘“(š‘„)
š‘”(š‘“(š‘„))
S
T
U
Gambar 1.9
Komposisi dua buah pemetaan š‘“ dan š‘”
Definisi 1.11
Komposisi pemetaan š‘“: š‘† āŸ¶ š‘‡ dan š‘”: š‘‡ āŸ¶ š‘ˆ, ditulis: š‘” āˆ˜ š‘“: š‘† āŸ¶ š‘ˆ,
didefinisikan sebagai berikut.
(š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„) = š‘”(š‘“(š‘„))
untuk setiap š‘„ ∈ š‘†.
24
Contoh 1.22. Pandang himpunan š‘† = {š‘„, š‘¦, š‘§}, š‘‡ = {1, 2, 3} dan š‘ˆ = {š‘Ž, š‘, š‘}.
Kemudian definisikan pemetaan š‘“: š‘† āŸ¶ š‘‡ dengan š‘“(š‘„) = 2, š‘“(š‘¦) = 3 dan š‘“(š‘§) =
1. Definisikan juga pemetaan š‘”: š‘‡ āŸ¶ š‘ˆ dengan š‘”(1) = š‘, š‘”(2) = š‘Ž dan š‘”(3) = š‘.
Komposisi pemetaan š‘“ dan š‘” adalah sebagai berikut.
(š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„) = š‘”(š‘“(š‘„)) = š‘”(2) = š‘Ž
(š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘¦) = š‘”(š‘“(š‘¦)) = š‘”(3) = š‘
(š‘” āˆ˜ f)(š‘§) = š‘”(š‘“(š‘§)) = š‘”(1) = š‘
Berikut ini grafik komposisi š‘“ dan š‘” di atas.
š‘”
š‘“
š‘„
1
š‘Ž
š‘¦
2
š‘
š‘§
3
š‘
T
U
S
Gambar 1.10
Contoh komposisi pemetaan š‘“ dan š‘”
Contoh 1.23. Misalkan š‘“: ā„ → ā„ dan š‘”: ā„ → ā„, dua buah pemetaan pada
himpunan bilangan real dengan š‘“(š‘„) = š‘„ 2 − š‘„ dan š‘”(š‘„) = š‘„ − 1 untuk setiap š‘„ ∈
ā„. Pemetaan komposisi š‘“ dan š‘” yaitu
(š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„) =
š‘”(š‘“(š‘„))
= š‘”(š‘„ 2 − š‘„)
= š‘„2 − š‘„ − 1
dan
(š‘“ āˆ˜ š‘”)(š‘„) =
=
=
=
š‘“(š‘”(š‘„))
š‘“(š‘„ − 1)
(š‘„ − 1)2 − (š‘„ − 1)
š‘„ 2 − 3š‘„ + 2
Pada dasarnya dengan definisi dan dua contoh di atas sudah cukup
memberikan penjelasan mengenai pemetaan š‘“ āˆ˜ š‘” dan š‘” āˆ˜ š‘“. Namun demikian,
sifat berikut ini perlu juga diperhatikan untuk menambah penguasaan
pemahaman kita.
Sifat 1.8
Misalkan š‘“: š‘† āŸ¶ š‘‡ dan š‘”: š‘‡ āŸ¶ š‘ˆ dua buah pemetaan.
a. Jika š‘“ dan š‘” dua-duanya š‘ š‘¢š‘Ÿš‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“ maka š‘” āˆ˜ š‘“ juga š‘ š‘¢š‘Ÿš‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“
25
b. Jika š‘“ dan š‘” dua-duanya š‘–š‘›š‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“ maka š‘” āˆ˜ š‘“ juga š‘–š‘›š‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“
c. Jika š‘” āˆ˜ š‘“ š‘ š‘¢š‘Ÿš‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“ maka š‘” juga š‘ š‘¢š‘Ÿš‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“
d. Jika š‘” āˆ˜ š‘“ š‘–š‘›š‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“ maka š‘“ juga š‘–š‘›š‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“
Bukti. (š‘Ž). Ambil š‘§ ∈ š‘ˆ. Mengingat š‘” surjektif, ada š‘¦ ∈ š‘‡ yang memenuhi š‘§ =
š‘”(š‘¦). Selain itu, š‘“ juga š‘ š‘¢š‘Ÿš‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“, artinya ada š‘„ ∈ š‘† yang memenuhi š‘¦ = š‘“(š‘„).
Untuk itu, diperoleh
š‘§
=
=
=
š‘”(š‘¦)
š‘”(š‘“(š‘„))
(š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„).
Jadi, pemetaan š‘” āˆ˜ š‘“ surjektif karena untuk setiap š‘§ ∈ š‘ˆ terdapat š‘„ ∈ š‘†
yang memenuhi š‘§ = (š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„).
(š‘). Ambil š‘„, š‘¦ ∈ š‘† dengan (š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„) = (š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘¦). Berdasarkan definisi
komposisi pemetaan, š‘”(š‘“(š‘„)) = š‘”(š‘“(š‘¦)). Mengingat pemetaan š‘” bersifat satusatu, diperoleh š‘“(š‘„) = š‘“(š‘¦). Selain itu, mengingat pemetaan š‘“ juga satu-satu,
hasil tersebut menyebabkan š‘„ = š‘¦. Jadi, komposisi š‘” āˆ˜ š‘“ merupakan pemetaan
satu-satu mengingat untuk setiap š‘„, š‘¦ ∈ š‘† dengan (š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„) = (š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘¦) telah
memenuhi š‘„ = š‘¦.
(š‘). Ambil š‘§ ∈ š‘ˆ. Mengingat š‘” āˆ˜ š‘“ surjektif, ada š‘„ ∈ š‘† yang memenuhi š‘§ =
(š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„) = š‘”(š‘“(š‘„)). Misalkan š‘¦ = š‘“(š‘„). Jelas š‘¦ ∈ š‘‡ dan š‘§ = š‘”(š‘¦). Jadi, untuk
setiap š‘§ ∈ š‘ˆ ada š‘¦ ∈ š‘‡ yang memenuhi š‘§ = š‘”(š‘¦) dan š‘” surjektif.
(š‘‘). Ambil š‘„, š‘¦ ∈ š‘† dengan š‘“(š‘„) = š‘“(š‘¦). Mengingat š‘” suatu pemetaan,
diperoleh š‘”(š‘“(š‘„)) = š‘”(š‘“(š‘¦)) dan ditulis menjadi (š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„) = (š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘¦).
Selanjutnya, sifat injektif š‘” āˆ˜ š‘“ menyebabkan š‘„ = š‘¦. Jadi, mengingat untuk
setiap š‘„, š‘¦ ∈ š‘† dengan š‘“(š‘„) = š‘“(š‘¦) mengakibatkan š‘„ = š‘¦, pemetaan š‘“ bersifat
injektif. āˆŽ
Telah disinggung sebelumnya, jika kita membentuk pemetaan dari S ke
T, belum tentu terbentuk lagi pemetaan dari T ke S sebagai pemetaan
balikannya. Berikut ini uraian mengenai definisi pemetaan balikan beserta
syarat yang harus dipenuhi agar setiap pemetaan senantiasa memiliki balikan.
Definisi 1.12
Pemetaan š‘“: š‘† āŸ¶ š‘‡ disebut š’Šš’š’—š’†š’“š’” (balikan) pemetaan š‘”: š‘‡ āŸ¶ š‘† jika
š‘” āˆ˜ š‘“ = šœ„š‘† dan š‘“ āˆ˜ š‘” = šœ„ š‘‡ . pemetaan š‘“ disebut dapat dibalik
(invertible) jika ia memiliki š‘–š‘›š‘£š‘’š‘Ÿš‘  (balikan).
Contoh 1.24. Pemetaan š‘“ pada Contoh 1.22 merupakan pemetaan yang dapat
dibalik (invertible). Balikan (invers) pemetaan š‘“, adalah š‘“ −1 : š‘‡ āŸ¶ š‘† yang
didefinisikan dengan š‘“ −1 (1) = š‘§, š‘“ −1 (2) = š‘„ dan š‘“ −1 (3) = š‘¦.
26
Sifat 1.9
Suatu pemetaan dapat dibalik (memiliki inversnya) jika dan hanya
jika pemetaan tersebut š‘š‘–š‘—š‘’š‘˜š‘”š‘–š‘“.
Bukti. (āŸ¹) Misalkan š‘“: š‘† āŸ¶ š‘‡ suatu pemetaan dan š‘” pemetaan balikan dari š‘“.
Untuk menunjukkan pemetaan š‘“ bijektif cukup menunjukkan pemetaan š‘“
injektif dan surjektif.
Ambil š‘„, š‘¦ ∈ š‘† dengan š‘“(š‘„) = š‘“(š‘¦). Mengingat š‘”: š‘‡ āŸ¶ š‘† suatu pemetaan,
diperoleh š‘”(š‘“(š‘„)) = š‘”(š‘“(š‘¦)) dan berakibat šœ„š‘† (š‘„) = (š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘„) = (š‘” āˆ˜ š‘“)(š‘¦) = šœ„š‘† (š‘¦)
karena š‘” juga balikan š‘“. Dengan demikian, š‘„ = š‘¦ dan pemetaan š‘“ injektif.
Ambil unsur š‘” ∈ š‘‡. Mengingat karena š‘” balikan š‘“, š‘” = šœ„ š‘‡ (š‘”) = (š‘“ āˆ˜ š‘”)(š‘”) =
š‘“(š‘”(š‘”)). Dengan memilih unsur š‘„ = š‘”(š‘”) ∈ š‘†, diperoleh š‘” = š‘“(š‘„). Jadi, untuk
setiap š‘” ∈ š‘‡ terdapat š‘„ ∈ š‘† yang memenuhi š‘” = š‘“(š‘„). Artinya, pemetaan š‘“
surjektif.
(āŸø) Misalkan š‘“: š‘† āŸ¶ š‘‡ suatu pemetaan bijektif, akan ditunjukkan bahwa
pemetaan š‘“ dapat dibalik. Untuk menunjukkan hal tersebut cukup dengan
menunjukkan adanya pemetaan š‘” sehingga g āˆ˜ f = ιS dan f āˆ˜ g = ιT .
Ambil š‘” ∈ š‘‡. Karena š‘“ surjektif, ada š‘  ∈ š‘† sehingga š‘“(š‘ ) = š‘”. Di sisi lain, š‘“
juga satu-satu. Ini artinya, setiap unsur š‘” ∈ š‘‡ dipasangkan tepat satu dengan
š‘  ∈ š‘†. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan pemetaan š‘”: š‘‡ āŸ¶ š‘† sehingga
š‘” āˆ˜ š‘“ = šœ„š‘† dan š‘“ āˆ˜ š‘” = šœ„š‘‡ . Dengan demikian pemetaan š‘“ adalah invertible.āˆŽ
Latihan 1.5
1. Misalkan š‘‡ = {š‘£, š‘¤, š‘„, š‘¦, š‘§} serta š‘¤ ∼ š‘„ dan š‘„ ∼ š‘¦. Apakah setiap pernyataan
berikut ini benar jika ∼ relasi ekuivalen pada T? Sertai jawaban dengan
alasan!
a. š‘§ ∼ š‘§
b. š‘„ ∼ š‘¤
c. š‘£ ∼ š‘§
d. š‘¦ ∼ š‘¤
2. Definisikan relasi ∼ pada ā„, yaitu: š‘Ž ∼ š‘ jika dan hanya jika |š‘Ž| = |š‘| untuk
setiap š‘Ž, š‘ ∈ ā„.
a. Tunjukkan bahwa ∼ suatu relasi ekuivalen pada ā„!
b. Tuliskan kelas-kelas ekuivalennya!
3. Tentukan apakah pemetaan berikut satu-satu, pada atau keduanya, jika
š‘“: ā„ āŸ¶ ā„ dengan
a. š‘“(š‘„) = 2š‘„
b. š‘“(š‘„) = š‘„ 2 + 1
c. š‘“(š‘„) = š‘’ š‘„
4. Tunjukkan ada pemetaan pada suatu himpunan yang injektif tetapi tidak
surjektif jika dan hanya jika ada pemetaan yang surjektif pada himpunan
yang sama tetapi tidak injektif
27
5. Misalkan š›¼: š‘† āŸ¶ š‘‡ suatu pemetaan, š‘‹ ⊆ š‘† dan š‘Œ ⊆ š‘†. Tunjukkan bahwa
pernyataan berikut ini benar!
a. Jika š‘‹ ⊆ š‘Œ maka š›¼(š‘‹) ⊆ š›¼(š‘Œ).
b. š›¼(š‘‹ ∪ š‘Œ) = š›¼(š‘Œ) ∪ š›¼(š‘Œ), dan
c. š›¼(š‘‹ ∩ š‘Œ) ⊆ š›¼(š‘Œ) ∩ š›¼(š‘Œ)
6. Misalkan š›¼: š‘† āŸ¶ š‘‡ suatu pemetaan, š‘‹ ⊆ š‘‡ dan š‘Œ ⊆ š‘‡. Tunjukkan bahwa
pernyataan berikut ini benar!
a. Jika š‘‹ ⊆ š‘Œ maka š›¼ −1 (š‘‹) ⊆ š›¼ −1 (š‘Œ).
b. š›¼ −1 (š‘‹ ∪ š‘Œ) = š›¼ −1 (š‘Œ) ∪ š›¼ −1 (š‘Œ), dan
c. š›¼ −1 (š‘‹ ∩ š‘Œ) = š›¼ −1 (š‘Œ) ∩ š›¼ −1 (š‘Œ).
28
BAB 2
GRUP
Fokus kajian himpunan pada bagian pendahuluan secara umum belum
memandang operasi sebagai satu kesatuan. Operasi jumlah dan kali yang
dibicarakan di sana, misalnya ketika membahas relasi kongruen modulo n pada
himpunan bilangan bulat, tidak sampai membahas apakah operasi tersebut
terdefinisi dengan baik atau tidak pada himpunan tersebut. Operasi di sana
kebutuhannya hanya sebatas menjelaskan relasi pada himpunan bilangan
bulat, yakni menjelaskan relasi ekuivalen. Tidak memandang himpunan
bilangan bulat ketika dilengkapi operasi tersebut sebagai suatu kesatuan yang
utuh. Himpunan yang dilengkapi operasi disebut struktur. Struktur pada
dasarnya dapat diterapkan pada himpunan mana pun, tidak hanya pada
himpunan bilangan, asalkan operasi yang dilekatkan terdefinisi dengan baik.
Pada bagian ini akan kita kaji struktur himpunan khususnya grup. Namun
sebelum itu, kita bahas operasi terlebih dahulu.
2.1 Struktur aljabar
Di awal telah disinggung istilah operasi. Namun apakah itu operasi yang
dimaksud di sini. Untuk jelasnya cermati definisi operasi berikut ini.
Definisi 2.1
Misalkan ∗ suatu pemetaan dari š‘† × š‘† ke š‘† dengan (š‘Ž, š‘) ā†¦ š‘Ž ∗ š‘ untuk
setiap š‘Ž, š‘ ∈ š‘†. Pemetaan ∗ disebut operasi biner pada himpunan š‘†.
Mengingat operasi ∗ suatu pemetaan, tentunya dua kondisi berikut harus
terpenuhi. Pertama, setiap unsur (š‘Ž1 , š‘1 ), (š‘Ž2 , š‘2 ) ∈ š‘† × š‘† dengan (š‘Ž1 , š‘1 ) =
(š‘Ž2 , š‘2 ), memenuhi keadaan š‘Ž1 ∗ š‘1 = š‘Ž2 ∗ š‘2 . Pernyataan tersebut ekuivalen
dengan pernyataan: setiap unsur š‘Ž1 , š‘Ž2 , š‘1 , š‘2 ∈ š‘† dengan š‘Ž1 = š‘Ž2 dan š‘1 = š‘2 ,
memenuhi š‘Ž1 ∗ š‘1 = š‘Ž2 ∗ š‘2 . Kedua, setiap š‘Ž, š‘ ∈ š‘† memenuhi š‘Ž ∗ š‘ ∈ š‘†,
himpunan š‘† tertutup terhadap operasi ∗. Operasi ∗ disebut terdefinisi
dengan baik pada himpunan š‘† jika kedua kondisi tadi terpenuhi. Dengan
demikian, ketika operasi ∗ terdefinisi dengan baik pada himpunan š‘† pasti
himpunan š‘† tertutup terhadap operasi ∗. Selanjutnya, yang dimaksud dengan
operasi dalam buku ini operasi biner.
Contoh 2.1. Pandang himpunan bilangan asli ā„¤+ . Kali pada himpunan tersebut
tidak lain berupa pemetaan (š‘Ž, š‘) ā†¦ š‘Žš‘ dengan š‘Žš‘ menyatakan š‘Ž kali š‘. Untuk
29
itu, kali merupakan operasi pada ā„¤+ . Sebaliknya, bagi bukan operasi pada ā„¤+
š‘Ž
mengingat ada š‘Ž, š‘ ∈ ā„¤+ yang menyebabkan š‘Ž⁄š‘ = š‘ ∉ ā„¤+ . Di sini ada dua
2
bilangan positif š‘Ž dan š‘ tetapi š‘ tidak habis membagi š‘Ž, misalnya (2,3) ā†¦ 3 ∉
ā„¤+ . Jumlah, (š‘Ž, š‘) ā†¦ š‘Ž + š‘, merupakan operasi pada himpunan bilangan asli ā„¤+ .
Sama halnya dengan bagi, kurang juga bukan operasi pada ā„¤+ .
Pada himpunan berhingga š‘†, khususnya ketika š‘† hanya memiliki sedikit
anggota, operasi pada himpunan š‘† dapat disajikan dalam suatu tabel yang
dikenal dengan sebutan Tabel Cayley. Penamaan ini merujuk pada seorang
nama matematikawan Inggris Arthur Cayley yang hidup pada masa 1821 –
1895. Pada Tabel Cayley, kita letakkan nilai š‘Ž ∗ š‘ pada baris ke-š‘Ž kolom ke-š‘.
Contoh 2.2. Misalkan operasi ∗ pada himpunan {š‘Ž, š‘, š‘} disajikan pada tabel
berikut.
∗
š’‚
š’ƒ
š’„
š’‚
š‘Ž
š‘
š‘
š’ƒ
š‘
š‘
š‘
š’„
š‘
š‘Ž
š‘Ž
Tabel 2.1 Operasi ∗ pada himpunan {š‘Ž, š‘, š‘}
Lihat tabel di atas dengan memperhatikan cara membacanya. Nilai š‘Ž ∗ š‘ adalah
š‘, sedangkan nilai š‘ ∗ š‘Ž adalah š‘. Begitu juga š‘ ∗ š‘ menghasilkan š‘. Sebaliknya,
š‘ ∗ š‘ menghasilkan nilai š‘Ž. Silakan coba untuk yang lain.
Contoh 2.3. Pandang himpunan bilangan jam 12-an dan ⊕ operasi jumlah
pada himpunan tersebut. Operasi ini dapat kita lihat pada tabel Cayley berikut.
⊕
Ģ…
šŸŽ
Ģ…
šŸ
Ģ…
šŸ
Ģ…
šŸ‘
Ģ…
šŸ’
Ģ…
šŸ“
Ģ…
šŸ”
Ģ…
šŸ•
Ģ…
šŸ–
Ģ…
šŸ—
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
šŸšŸŽ
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
šŸšŸ
Ģ…
šŸŽ
Ģ…
šŸ
Ģ…
šŸ
0Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
3Ģ…
3Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
6Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
9Ģ…
8Ģ…
9Ģ…
Ģ…10
Ģ…Ģ…Ģ…
9Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
10
Ģ…11
Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
10
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
11
0Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
11
0Ģ…
1Ģ…
3Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
Ģ…
šŸ”
Ģ…
šŸ•
Ģ…
šŸ–
6Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
6Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
9Ģ…
6Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
9Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
10
6Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
9Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
10
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
11
6Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
9Ģ…
Ģ…10
Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
11
0Ģ…
5Ģ…
6Ģ…
7Ģ…
Ģ…
šŸ‘
Ģ…
šŸ’
Ģ…
šŸ“
2Ģ…
3Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
8Ģ…
9Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
10
Ģ…11
Ģ…Ģ…Ģ…
0Ģ…
1Ģ…
9Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
10
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
11
0Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
Ģ…10
Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
11
0Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
3Ģ…
0Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
3Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
3Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
2Ģ…
3Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
Ģ…
šŸ—
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
šŸšŸŽ
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
šŸšŸ
9Ģ…
Ģ…10
Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
11
Ģ…10
Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…11
Ģ…Ģ…Ģ…
0Ģ…
Ģ…11
Ģ…Ģ…Ģ…
0Ģ…
1Ģ…
0Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
3Ģ…
2Ģ…
3Ģ…
4Ģ…
3Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
Ģ…11
Ģ…Ģ…Ģ…
0Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
3Ģ…
4Ģ…
5Ģ…
6Ģ…
6Ģ…
7Ģ…
6Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
6Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
9Ģ…
6Ģ…
7Ģ…
8Ģ…
9Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
10
Tabel 2.2 Operasi ⊕ pada himpunan bilangan jam 12-an
Pada Tabel 2.2, terlihat hasil 8Ģ… ⊕ 6Ģ… = 2Ģ… sedangkan 2Ģ… ⊕ 3Ģ… = 5Ģ…. Untuk operasi
unsur lainnya bisa dilihat sendiri.
30
Definisi 2.2
Suatu himpunan tak hampa disebut struktur aljabar (sistem
matematika) jika himpunan tersebut dilengkapi dengan operasi.
Pada hakikatnya, setiap struktur aljabar boleh memiliki lebih dari satu buah
operasi. Misalkan š‘† suatu himpunan serta ∗ dan āˆ˜ dua buah operasi pada
himpunan š‘†. Tanda (š‘†,∗) digunakan untuk menyatakan struktur aljabar š‘†
(yang dilengkapi) dengan operasi ∗ sementara tanda (š‘†,∗ ,āˆ˜ ) atau (š‘†,āˆ˜ ,∗ )
digunakan untuk menyatakan struktur aljabar š‘† dengan dua buah operasi, ∗
dan āˆ˜. Untuk selanjutnya, kata struktur digunakan sebagai pengganti kata
struktur aljabar sementara sistem sebagai pengganti kata sistem matematika.
Untuk menunjukkan sembarang himpunan tak hampa membentuk
struktur, tentu saja harus menunjukkan himpunan tersebut dilengkapi operasi.
Untuk itu, cukup menunjukkan bahwa operasinya terdefinisi dengan baik pada
himpunan tersebut.
Pada bahasan operasi telah dijelaskan bahwa jumlah merupakan operasi
pada himpunan bilangan bulat. Untuk itu, himpunan bilangan bulat
membentuk struktur dengan operasi +, ditulis: (ā„¤ , + ). Di sisi lain, himpunan
bilangan bulat juga membentuk struktur dengan operasi ×, ditulis: (ā„¤ , ×).
Dengan demikian, (ā„¤ , + , ×) merupakan struktur dengan dua buah operasi, +
dan ×.
Sekarang pandang himpunan ā„¤š‘› = {0Ģ…, 1Ģ…, … , Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘› − 1 } dengan operasi
jumlah, ditulis: ⊕, dan operasi kali, ditulis: āŠ™, pada ā„¤š‘› untuk suatu š‘› ∈ ā„¤+
diberikan:
š‘ŽĢ… ⊕ š‘Ģ… = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž + š‘ untuk setiap š‘ŽĢ…, š‘Ģ… ∈ ā„¤š‘› .
š‘ŽĢ… āŠ™ š‘Ģ… = Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Žš‘ untuk setiap š‘ŽĢ…, š‘Ģ… ∈ ā„¤š‘› .
Ambil unsur š‘ŽĢ…1 , š‘ŽĢ…2 , š‘Ģ…1 , š‘Ģ…2 ∈ ā„¤š‘› dengan š‘ŽĢ…1 = š‘ŽĢ…2 dan š‘Ģ…1 = š‘Ģ…2 . Pengambilan
unsur ini semua mengakibatkan adanya unsur š‘ž, š‘Ÿ ∈ ā„¤ yang memenuhi š‘Ž1 =
š‘Ž2 + š‘žš‘› dan š‘1 = š‘2 + š‘Ÿš‘›. Dengan menggunakan penjumlahan kita peroleh
š‘Ž1 + š‘1
(š‘Ž1 + š‘1 ) − (š‘Ž2 + š‘2 )
=
=
=
(š‘Ž2 + š‘žš‘›) + (š‘2 + š‘Ÿš‘›)
(š‘Ž2 + š‘2 ) + (š‘ž + š‘Ÿ)š‘›
(š‘ž + š‘Ÿ)š‘›
Dari hasil di atas kita dapatkan (š‘Ž1 + š‘1 ) − (š‘Ž2 + š‘2 ) kelipatan n, ini berarti
bahwa š‘Ž1 + š‘1 ≡ š‘Ž2 + š‘2 (mod n). Untuk itu, Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž1 + š‘1 = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž2 + š‘2 dan
mengakibatkan
š‘ŽĢ…1 ⊕ š‘Ģ…1
=
=
=
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž1 + š‘1
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž2 + š‘2
š‘ŽĢ…2 ⊕ š‘Ģ…2 .
31
Selanjutnya, ambil š‘ŽĢ…, š‘Ģ… ∈ ā„¤š‘› . Perhatikan hasil berikut ini.
š‘ŽĢ… ⊕ š‘Ģ…
=
=
∈
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž+š‘
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
(š‘Ž + š‘) + š‘žš‘›
ā„¤š‘›
Dua hasil tadi memperlihatkan bahwa operasi ⊕ terdefinisi dengan baik
pada himpunan ā„¤š‘› . Ini artinya himpunan ā„¤š‘› tidak lain struktur dengan operasi
⊕. Di sisi lain, himpunan ā„¤š‘› juga membentuk struktur dengan operasi āŠ™.
Dengan demikian, jelaslah bahwa (ā„¤š‘› , ⊕, āŠ™) struktur (sistem) bilangan bulat
š’Žš’š’… š’ (dibaca: modulo š‘›). Khususnya, untuk š‘› = 12 kita mengenalnya dengan
sebutan struktur (sistem) bilangan jam. Operasi ⊕ untuk sistem bilangan jam
dapat dilihat pada Tabel 2.2 sementara untuk operasi āŠ™ dapat dilihat pada
Tabel 2.3 berikut ini.
āŠ™
Ģ…
šŸŽ
Ģ…
šŸ
Ģ…
šŸ
Ģ…
šŸ‘
Ģ…
šŸ’
Ģ…
šŸ“
Ģ…
šŸ”
Ģ…
šŸ•
Ģ…
šŸ–
Ģ…
šŸ—
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
šŸšŸŽ
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
šŸšŸ
Ģ…
Ģ…
Ģ…
Ģ…
Ģ…
Ģ…
Ģ…
Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…
Ģ…
šŸ•
šŸŽ
šŸ
šŸ
šŸ‘
šŸ’
šŸ”
šŸ–
šŸ—
šŸšŸŽ
šŸ“
0Ģ…
0Ģ…
0Ģ…
0Ģ…
0Ģ…
0Ģ…
0Ģ…
0Ģ…
0Ģ…
0Ģ…
0Ģ…
Ģ…0
Ģ…1
Ģ…2
Ģ…3
Ģ…6
Ģ…7
Ģ…8
Ģ…9
Ģ…10
Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…4
Ģ…5
Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…
0Ģ…
2Ģ…
4Ģ…
6Ģ…
8Ģ…
10
0Ģ…
2Ģ…
4Ģ…
6Ģ…
8Ģ…
0Ģ…
3Ģ…
6Ģ…
9Ģ…
0Ģ…
3Ģ…
6Ģ…
9Ģ…
0Ģ…
3Ģ…
6Ģ…
0Ģ…
4Ģ…
8Ģ…
0Ģ…
4Ģ…
8Ģ…
0Ģ…
4Ģ…
8Ģ…
0Ģ…
4Ģ…
Ģ…0
Ģ…10
Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…3
Ģ…8
Ģ…1
Ģ…6
Ģ…11
Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…9
Ģ…5
Ģ…4
2Ģ…
0Ģ…
6Ģ…
0Ģ…
6Ģ…
0Ģ…
6Ģ…
0Ģ…
6Ģ…
0Ģ…
6Ģ…
0Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
7Ģ…
0Ģ…
2Ģ…
9Ģ…
4Ģ…
11
6Ģ…
1Ģ…
8Ģ…
3Ģ…
10
0Ģ…
8Ģ…
4Ģ…
0Ģ…
8Ģ…
4Ģ…
0Ģ…
8Ģ…
4Ģ…
0Ģ…
8Ģ…
Ģ…0
Ģ…9
Ģ…6
Ģ…3
Ģ…0
Ģ…9
Ģ…6
Ģ…3
Ģ…0
Ģ…9
6Ģ…
Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…
Ģ…10
Ģ…Ģ…Ģ…
0Ģ…
10
8Ģ…
6Ģ…
4Ģ…
2Ģ…
0Ģ…
8Ģ…
6Ģ…
4Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ… 10
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
7Ģ…
4Ģ…
0Ģ…
11
9Ģ…
8Ģ…
6Ģ…
3Ģ…
2Ģ…
5Ģ…
Tabel 2.3 Operasi āŠ™ pada himpunan bilangan jam 12-an
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
šŸšŸ
0Ģ…
Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…
11
Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…
10
9Ģ…
8Ģ…
7Ģ…
6Ģ…
5Ģ…
4Ģ…
3Ģ…
2Ģ…
1Ģ…
Misalkan (š‘†, ∗) suatu struktur dan š‘‡ ⊆ š‘†. Subhimpunan š‘‡ dengan
operasi ∗ disebut substruktur dari struktur (š‘†, ∗) jika (š‘‡,∗) juga suatu
struktur. Mengingat (š‘†, ∗) suatu struktur, tentu saja untuk setiap unsur
š‘Ž1 , š‘Ž2 , š‘1 , š‘2 ∈ š‘† dengan š‘Ž1 = š‘Ž2 dan š‘1 = š‘2 , memenuhi š‘Ž1 ∗ š‘1 = š‘Ž2 ∗ š‘2 .
Sekarang ambil unsur š‘Ž3 , š‘Ž4 , š‘3 , š‘4 ∈ š‘‡ dengan š‘Ž3 = š‘Ž4 dan š‘3 = š‘4 . Mengingat
š‘‡ ⊆ š‘†, pasti didapatkan hasil š‘Ž3 ∗ š‘3 = š‘Ž4 ∗ š‘3. Selain itu, tentu saja
subhimpunan š‘‡ tidak hampa. Dengan demikian, untuk menunjukkan
subhimpunan š‘‡ substruktur dari struktur (š‘†, ∗) cukup memperlihatkan bahwa
subhimpunan š‘‡ tidak hampa dan tertutup terhadap operasi ∗. Artinya, cukup
dengan memperlihatkan bahwa š‘‡ ≠ ∅ dan semua unsur š‘Ž, š‘ ∈ š‘‡ memenuhi š‘Ž ∗
š‘ ∈ š‘‡.
Contoh 2.4. Pandang himpunan bilangan cacah ā„•. Struktur (ā„•, +) merupakan
substruktur dari struktur (ā„¤, +). Struktur (ā„•, ×) juga membentuk substruktur
dari struktur (ā„¤, ×).
32
Untuk selanjutnya, jika operasi yang dimaksud jelas, maka penulisan (š‘†,
∗) cukup dengan š‘† saja. Untuk itu, struktur bilangan bulat (ā„¤ , + , ×) cukup
ditulis dengan struktur ā„¤. Berikut ini disajikan beberapa istilah terkait
struktur dan operasinya.
Definisi 2.3
Misalkan ∗ operasi pada struktur š‘†. Operasi ∗ disebut bersifat
asosiatif jika untuk setiap š‘Ž, š‘, š‘ ∈ š‘† memenuhi (š‘Ž ∗ š‘) ∗ š‘ = š‘Ž ∗
(š‘ ∗ š‘).
Berdasarkan definisi di atas, terlihat bahwa langkah pengerjaan dalam
mengoperasikan ketiga anggota š‘†, mengoperasikan unsur yang berada di dalam
kurung terlebih dahulu, tidak berpengaruh pada hasil operasi yang diperoleh.
Contoh operasi yang asosiatif adalah jumlah dan kali pada struktur bilangan
bulat sedangkan yang tidak asosiatif ialah pengurangan pada himpunan
bilangan bulat.
Definisi 2.4
Misalkan ∗ operasi pada struktur š‘† dan š‘’ ∈ š‘†. Unsur e disebut
identitas struktur š‘† jika š‘’ ∗ š‘Ž = š‘Ž ∗ š‘’ = š‘Ž untuk setiap š‘Ž ∈ š‘†.
Struktur bilangan bulat yang dilengkapi dengan operasi jumlah mempunyai
identitas 0, karena untuk setiap š‘Ž ∈ ā„¤ berlaku š‘Ž + 0 = 0 + š‘Ž = š‘Ž.
Sifat 2.1
Unsur identitas setiap struktur senantiasa tunggal.
Bukti. Misalkan š‘’, š‘“ ∈ š‘† dua buah unsur identitas dan ∗ operasi pada š‘†. Karena
š‘’ identitas, ia memenuhi sifat š‘’ ∗ š‘“ = š‘“. Dengan cara yang sama š‘“ juga
memenuhi sifat š‘’ ∗ š‘“ = š‘’. Dua hal ini mengakibatkan š‘“ = š‘’ ∗ š‘“ = š‘’. Hasil
terakhir ini meyakinkan kita bahwa unsur identitas setiap struktur bersifat
tunggal.āˆŽ
Definisi 2.5
Misalkan ∗ operasi pada struktur š‘† dan š‘Ž, š‘ ∈ š‘†. Unsur š‘ disebut
invers (balikan) š‘Ž jika š‘Ž ∗ š‘ = š‘ ∗ š‘Ž = š‘’.
Misalkan š‘Ž ∈ ā„¤. Jika operasi pada ā„¤ berupa jumlah, maka invers š‘Ž adalah – š‘Ž
mengingat š‘Ž + (−š‘Ž) = 0.
Sifat 2.2
Misalkan š‘† suatu struktur, š‘’ identitas š‘† dan š‘Ž ∈ š‘† memiliki balikan.
Jika operasi pada struktur š‘† asosiatif maka balikan š‘Ž tunggal.
33
Bukti. Misalkan š‘ dan š‘ dua buah balikan unsur š‘Ž terhadap operasi ∗, tentu
saja š‘Ž ∗ š‘ = š‘ ∗ š‘Ž = š‘’ = š‘Ž ∗ š‘ = š‘ ∗ š‘Ž. Sementara itu, mengingat operasi ∗
asosiatif, kita memperoleh unsur š‘ = š‘ ∗ š‘’ = š‘ ∗ (š‘Ž ∗ š‘) = (š‘ ∗ š‘Ž) ∗ š‘ = š‘’ ∗ š‘ = š‘
seperti yang diinginkan. āˆŽ
Definisi 2.6
Misalkan ∗ operasi pada struktur š‘†. Operasi ∗ disebut bersifat
komutatif jika untuk setiap unsur š‘Ž, š‘ ∈ š‘† memenuhi š‘Ž ∗ š‘ = š‘ ∗ š‘Ž.
Operasi jumlah dan kali pada struktur bilangan bulat bersifat komutatif
sementara operasi perkalian matriks pada struktur matriks 2š‘„2 yang
determinannya tidak nol tidak komutatif.
Misalkan š‘† himpunan tak hampa, š‘€(š‘†) himpunan semua pemetaan pada
š‘† dan āˆ˜ menyatakan komposisi pemetaan. Di sini (š‘“ āˆ˜ š‘”)(š‘„) = š‘“(š‘”(š‘„)) untuk
setiap š‘„ ∈ š‘†. Jelas āˆ˜ operasi pada himpunan š‘€(š‘†) sehingga š‘€(š‘†) membentuk
struktur dengan operasi itu. Berikut ini sifat komposisi sebagai suatu operasi.
Sifat 2.3
Misalkan š‘† himpunan tak hampa, š‘€(š‘†) himpunan pemetaan pada š‘†
dan āˆ˜ menyatakan operasi komposisi.
a. Operasi komposisi pada š‘€(š‘†) bersifat asosiatif dan š‘–š‘† ∈ š‘€(š‘†)
adalah identitas.
b. Komposisi pada š‘ = {š‘“ ∈ š‘€(š‘†)|š‘“ dapat dibalik} merupakan
operasi yang bersifat asosiatif dan š‘–š‘† ∈ š‘adalah identitas.
Bukti. (a). Ambil š‘“, š‘”, ā„Ž ∈ š‘€(š‘†). Perhatikan bahwa
((š‘“ āˆ˜ š‘”) āˆ˜ ā„Ž)(š‘„)
=
(š‘“ āˆ˜ š‘”)(ā„Ž(š‘„))
=
š‘“ (š‘”(ā„Ž(š‘„)))
=
š‘“((š‘” āˆ˜ ā„Ž)(š‘„))
(š‘“ āˆ˜ (š‘” āˆ˜ ā„Ž))(š‘„)
=
Dengan demikian, (š‘“ āˆ˜ š‘”) āˆ˜ ā„Ž = š‘“ āˆ˜ (š‘” āˆ˜ ā„Ž). Sekarang pilih š‘–š‘† ∈ š‘€(š‘†). Perhatikan
š‘“ āˆ˜ š‘–š‘† = š‘“ karena (š‘“ āˆ˜ š‘–š‘† )(š‘„) = š‘“(š‘–š‘† (š‘„)) = š‘“(š‘„), Sementara itu, š‘–š‘† āˆ˜ š‘“ = š‘“ karena
(š‘–š‘† āˆ˜ š‘“)(š‘„) = š‘–š‘† (š‘“(š‘„)) = š‘“(š‘„). Dengan demikian, š‘–š‘† identitas.
(b). Ambil š‘“, š‘” ∈ N. Di sini š‘“ dan š‘” dapat dibalik. Artinya, pemetaan š‘“ dan
š‘” keduanya bijektif. Untuk itu, komposisi š‘“ āˆ˜ š‘” juga bijektif sehingga
mengakibatkan š‘“ āˆ˜ š‘” dapat dibalik. Jadi dengan kata lain, komposisi operasi
pada š‘. Langkah selanjutnya serupa dengan (a). āˆŽ
Latihan 2.1
1. Jelaskan apakah ∗ merupakan operasi pada bilangan bulat jika untuk
setiap š‘Ž, š‘ ∈ ā„¤, diberikan:
34
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
š‘Ž∗š‘
š‘Ž∗š‘
š‘Ž∗š‘
š‘Ž∗š‘
š‘Ž∗š‘
š‘Ž∗š‘
š‘Ž∗š‘
š‘Ž∗š‘
= š‘Žš‘ + 1
= (š‘Ž + š‘)/2
=š‘
= š‘Žš‘ 2
= š‘Ž2 + š‘ 2
= 2š‘Žš‘
=3
= √š‘Žš‘
2. Apakah operasi berikut (∗) membuat himpunan yang diberikan membentuk
suatu struktur aljabar? lengkapi jawaban dengan alasan.
a. Operasi ∗ pada ā„¤ didefinisikan dengan š‘Ž ∗ š‘ = š‘Žš‘
b. Operasi ∗ pada himpunan 2ā„¤ = {2š‘› | š‘› ∈ ā„¤} didefinisikan dengan š‘Ž ∗
š‘=š‘Ž+š‘
c. Operasi ∗ pada ā„+ didefinisikan dengan š‘Ž ∗ š‘ = √š‘Žš‘
d. Operasi ∗ pada ā„š didefinisikan dengan š‘Ž ∗ š‘ = š‘Žš‘
š‘Ž
e. Operasi ∗ pada ā„\{0} didefinisikan dengan š‘Ž ∗ š‘ = š‘
f. Operasi ∗ pada ā„‚ didefinisikan dengan š‘Ž ∗ š‘ = |š‘Žš‘|
3. Lengkapi tabel berikut sehingga operasi ∗ menjadi komutatif.
∗
š’‚
š’ƒ
š’„
š’…
š’‚
š‘Ž
š‘
š’ƒ
š‘
š‘
š‘‘
š‘Ž
š’„
š’…
š‘‘
š‘Ž
š‘
2.2 Grup dan sifat dasar grup
Dari struktur yang ada, hanya struktur dengan satu operasi saja yang
akan dibahas pada buku ini. Struktur dengan satu operasi yang akan dibahas
kali ini berupa grup. Mari perhatikan definisi formal grup seperti berikut ini.
Definisi 2.7
Suatu struktur (šŗ, ∗) disebut grup jika memenuhi aksioma berikut.
1. Operasi ∗ pada šŗ bersifat asosiatif:
untuk setiap š‘„, š‘¦, š‘§ ∈ šŗ berlaku sifat (š‘„ ∗ š‘¦) ∗ š‘§ = š‘„ ∗ (š‘¦ ∗ š‘§)
2. Adanya unsur identitas, ditulis: š‘’, pada šŗ:
untuk setiap š‘„ ∈ šŗ ada š‘’ ∈ šŗ sehingga berlaku š‘„ ∗ š‘’ = š‘’ ∗ š‘„ = š‘„
3. Setiap anggota šŗ mempunyai invers:
untuk setiap š‘„ ∈ šŗ ada š‘Ž ∈ šŗ invers š‘„ sehingga berlaku š‘„ ∗ š‘Ž = š‘Ž ∗
š‘„ = š‘’.
Untuk menunjukkan suatu himpunan dengan operasi tertentu adalah
grup, kita harus memastikan terlebih dahulu bahwa himpunan itu tidak hampa
dan membentuk struktur dengan operasi yang dimaksud tadi. Selanjutnya baru
35
terapkan Definisi 2.7. Berdasarkan definisi ini, setiap grup senantiasa memiliki
anggota, setidaknya unsur identitas.
Pandang struktur ā„¤š‘› untuk suatu š‘› ∈ ā„¤+ . Kemudian ambil tiga buah
unsur š‘ŽĢ…, š‘Ģ…, š‘Ģ… ∈ ā„¤š‘› . Perhatikanlah kesamaan berikut ini!
š‘ŽĢ… ⊕ (š‘Ģ… ⊕ š‘Ģ…) =
=
=
=
=
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘ŽĢ… ⊕ (š‘
+ š‘)
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž + (š‘ + š‘)
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
(š‘Ž + š‘) + š‘
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
(š‘Ž
+ š‘) ⊕ š‘Ģ…
(š‘ŽĢ… ⊕ š‘Ģ…) ⊕ š‘Ģ…
Kesamaan tadi memperlihatkan sifat asosiatif operasi ⊕ pada ā„¤š‘› .
Selanjutnya, unsur 0Ģ… ∈ ā„¤š‘› berperan sebagai identitas mengingat untuk setiap
š‘ŽĢ… ∈ ā„¤š‘› ia memenuhi 0Ģ… ⊕ š‘ŽĢ… = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
0 + š‘Ž = š‘ŽĢ… = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž + 0 = š‘ŽĢ… ⊕ 0Ģ…. Terakhir, unsur −š‘ŽĢ… ∈ ā„¤š‘›
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
berperan sebagai invers š‘ŽĢ… ∈ ā„¤š‘› mengingat š‘ŽĢ… ⊕ (−š‘ŽĢ…) = š‘Ž
+ (−š‘Ž) = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž − š‘Ž = 0Ģ… dan
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
(−š‘ŽĢ…) ⊕ š‘ŽĢ… = (−š‘Ž)
+ š‘Ž = −š‘Ž
+ š‘Ž = 0Ģ…. Dengan demikian, struktur ā„¤š‘› yang
dilengkapi dengan operasi ⊕ membentuk grup. Untuk melihat identitas dan
invers tiap unsur pada ā„¤12 silakan lihat kembali Tabel 2.2.
Perhatikan contoh berikut ini. Pada contoh ini disajikan himpunan yang
berupa grup dan bukan grup.
Contoh 2.5. Struktur ā„¤, ā„š, dan ā„ dengan operasi + membentuk grup.
Sebaliknya, baik struktur ā„¤, ā„š maupun ā„ dengan operasi × ketiganya bukan
grup mengingat Definisi 2.7(3) tidak terpenuhi. Unsur 2 ∈ ā„¤ tidak mempunyai
invers kali begitu juga dengan unsur 0 ∈ ā„š dan 0 ∈ ā„. Khususnya untuk
struktur ā„š dan ā„ dengan operasi ×. Kedua struktur ini masih dapat
membentuk grup ketika unsur 0 kita keluarkan dari keduanya, ditulis: ā„š\{0}
dan ā„\{0}.
š‘Ž š‘
Contoh 2.6. Misalkan š‘€(ā„š) = {(
) āˆ£ š‘Ž, š‘, š‘, š‘‘ ∈ ā„š}, + operasi jumlah matriks
š‘ š‘‘
dan × operasi kali matriks. Struktur š‘€(ā„š) dengan operasi + membentuk grup,
tetapi dengan operasi × tidak membentuk grup. Misalkan š‘ ⊆ š‘€(ā„š) dan setiap
anggota š‘ mempunyai invers. Subhimpunan š‘ membentuk grup dengan
operasi + maupun ×.
Definisi 2.8
Suatu grup disebut komutatif jika operasi pada grup tersebut
bersifat komutatif.
Grup bilangan bulat ā„¤, bilangan pecahan ā„š, bilangan riil ā„ dan bilangan
kompleks ā„‚ dengan operasi + pada Contoh 2.5 bersifat komutatif. Sementara
itu, grup matriks invertible š‘€2×2 tidak komutatif.
36
Untuk memudahkan bekerja dengan grup, ada beberapa sifat dasar grup
yang perlu kita kuasai. Selain itu, penulisan hasil operasi š‘Ž dan š‘ yang
sebelumnya ditulis š‘Ž ∗ š‘ mulai sekarang cukup dituliskan š‘Žš‘ saja sementara
invers š‘Ž ditulis: š‘Ž−1 .
Sifat 2.4
Misalkan šŗ suatu grup. Untuk setiap š‘„, š‘¦ ∈ šŗ berlaku (š‘„ −1 )−1 = š‘„ dan
(š‘„š‘¦)−1 = š‘¦ −1 š‘„ −1 .
Bukti. Ambil sembarang unsur š‘„, š‘¦ ∈ šŗ. Mengingat šŗ suatu grup, ada unsur
š‘„ −1 , š‘¦ −1 ∈ šŗ yang mengakibatkan š‘„ −1 š‘„ = š‘’ dan š‘¦ −1 š‘¦ = š‘’ untuk suatu š‘’ unsur
identitas grup šŗ. Oleh karena š‘„ −1 , š‘¦ −1 ∈ šŗ, ada (š‘„ −1 )−1 , ( š‘¦ −1 )−1 ∈ šŗ yang juga
mengakibatkan (š‘„ −1 )−1 š‘„ −1 = š‘’ dan ( š‘¦ −1 )−1 š‘¦ −1 = š‘’. Dengan demikian,
diperoleh
(š‘„ −1 )−1
=
=
=
=
=
(š‘„ −1 )−1 š‘’
(š‘„ −1 )−1 (š‘„ −1
š‘„)
((š‘„ −1 )−1 š‘„ −1 ) š‘„
š‘’š‘„
š‘„
Selanjutnya, mengingat š‘„š‘¦ ∈ šŗ tentu saja (š‘„š‘¦)−1 ∈ šŗ
(š‘„š‘¦)−1 (š‘„š‘¦) = š‘’. Hal tersebut mengakibatkan hasil berikut ini.
(š‘„ š‘¦)−1 (š‘„ š‘¦)
(š‘„ š‘¦)−1 (š‘„ š‘¦)( š‘¦ −1 š‘„ −1 )
(š‘„ š‘¦)−1 š‘„(š‘¦ š‘¦ −1 ) š‘„ −1
(š‘„ š‘¦)−1 š‘„š‘’ š‘„ −1
((š‘„ š‘¦)−1 š‘„)(š‘’ š‘„ −1 )
(š‘„ š‘¦)−1 (š‘„ š‘„ −1 )
(š‘„ š‘¦)−1 š‘’
(š‘„ š‘¦)−1
=
=
=
=
=
=
=
=
sehingga
š‘’
š‘„ −1 )
š‘¦ −1 š‘„ −1
š‘¦ −1 š‘„ −1
š‘¦ −1 š‘„ −1
š‘¦ −1 š‘„ −1
š‘¦ −1 š‘„ −1
š‘¦ −1 š‘„ −1 āˆŽ
š‘’
(š‘¦ −1
Contoh 2.7. Pandang himpunan bilangan bulat sebagai grup dengan operasi
jumlah dan himpunan bilangan rasional tak nol sebagai grup dengan operasi
kali. Untuk himpunan bilangan bulat berlaku
(2−1 )−1 = (−2)−1 = −(−2) = 2 dan
(5)−1 = (2 + 3)−1 = (3)−1 + (2)−1 = (−3) + (−2) = −5.
Begitu juga untuk himpunan bilangan rasional tak nol akan memenuhi
(2−1 )−1 = (12)
−1
= 11⁄2 = 2 dan
(6)−1 = (2 × 3)−1 = (3)−1 (2)−1 = (13)(12) = 16.
37
Sifat 2.5
Misalkan š‘† suatu struktur asosiatif. Jika š‘† memiliki identitas kiri š‘’
dan untuk setiap š‘„ ∈ š‘† terdapat š‘¢ ∈ š‘† sehingga š‘¢š‘„ = š‘’ maka š‘† grup.
Bukti. Misalkan š‘† suatu struktur asosiatif. Struktur š‘† memiliki identitas kiri
š‘’, artinya untuk setiap š‘„ ∈ š‘† berlaku š‘’š‘„ = š‘„. Untuk setiap š‘„ ∈ š‘† terdapat š‘¢ ∈ š‘†
sehingga š‘¢š‘„ = š‘’.
Untuk membuktikan š‘† suatu grup cukup dengan menunjukkan bahwa
untuk setiap š‘„ ∈ š‘† terdapat š‘¢ ∈ š‘† yang memenuhi š‘„š‘¢ = š‘’, kemudian
menunjukkan š‘’ identitas kanan š‘†.
Ambil š‘„ ∈ š‘†. Berdasarkan hipotesis, ada š‘¢ ∈ š‘† sehingga š‘¢š‘„ = š‘’.
Mengingat š‘¢ ∈ š‘†¸ dengan alasan yang sama, ada š‘£ ∈ š‘† sehingga š‘£š‘¢ = š‘’.
Perhatikan bahwa š‘† struktur asosiatif dan š‘’ identitas kiri. Akibatnya, š‘¢š‘„š‘¢ =
(š‘¢š‘„)š‘¢ = š‘’š‘¢ = š‘¢. Hal tersebut mengakibatkan š‘„š‘¢ = š‘’(š‘„š‘¢) = (š‘£š‘¢)(š‘„š‘¢) = š‘£(š‘¢š‘„š‘¢) =
š‘£š‘¢ = š‘’. Jadi, untuk setiap unsur š‘„ ∈ š‘† terdapat unsur š‘¢ ∈ š‘† sehingga š‘„š‘¢ = š‘’.
Selanjutnya, perhatikan bahwa š‘„š‘’ = š‘„(š‘¢š‘„) = (š‘„š‘¢)š‘„ = š‘’š‘„ = š‘„. Jadi untuk
setiap š‘„ ∈ š‘† berlaku š‘’š‘„ = š‘„ = š‘„š‘’, yaitu š‘’ unsur identitas di š‘†. āˆŽ
Sifat 2.6
Misalkan š‘† suatu struktur asosiatif. Struktur š‘† membentuk grup jika
dan hanya jika untuk setiap š‘„, š‘¦ ∈ š‘† terdapat secara tunggal š‘Ž, š‘ ∈ š‘†
yang memenuhi š‘Žš‘„ = š‘¦ dan š‘„š‘ = š‘¦.
Bukti. (⇒). Misalkan struktur š‘† grup. Ambil unsur š‘„, š‘¦ ∈ š‘†. Akibatnya,
terdapat š‘„ −1 , š‘¦ −1 ∈ š‘† yang memenuhi š‘¦š‘„ −1 , š‘„ −1 š‘¦ ∈ š‘†. Pilih unsur š‘Ž = š‘¦š‘„ −1 ∈ š‘†
dan unsur š‘ = š‘„ −1 š‘¦ ∈ š‘†. Untuk itu, diperoleh
š‘Žš‘„
=
=
=
=
(š‘¦š‘„ −1 )š‘„
š‘¦(š‘„ −1 š‘„)
š‘¦š‘’
š‘¦
š‘„š‘
=
=
=
=
š‘„(š‘„ −1 š‘¦)
(š‘„š‘„ −1 )š‘¦
š‘’š‘¦
š‘¦
dan
Selanjutnya akan ditunjukkan ketunggalan unsur š‘Ž, š‘ ∈ š‘†. Misalkan ada
š‘Ž , š‘ ∈ š‘† yang memenuhi š‘Ž′š‘„ = š‘¦ dan š‘„š‘′ = š‘¦. Hal tersebut mengakibatkan
š‘Ž′ š‘„ = š‘¦ = š‘Žš‘„ dan š‘„š‘ ′ = š‘¦ = š‘„š‘. Perhatikan bahwa
′
′
38
š‘Ž′
=
=
=
=
=
š‘Ž′ (š‘„š‘„ −1 )
(š‘Ž′ š‘„)š‘„ −1
(š‘Žš‘„)š‘„ −1
š‘Ž(š‘„š‘„ −1 )
š‘Ž
š‘′
= (š‘„ −1 š‘„)š‘′
= š‘„ −1 (š‘„š‘′)
= š‘„ −1 (š‘„š‘)
= (š‘„ −1 š‘„)š‘
=
š‘
dan
′
Jadi, š‘Ž′ = š‘Ž dan š‘ ′ = š‘ dan dengan demikian unsur š‘Ž dan š‘ tunggal.
(⇐). Misalkan š‘† struktur asosiatif dan untuk setiap š‘„, š‘¦ ∈ š‘† terdapat
secara tunggal š‘Ž, š‘ ∈ š‘† yang memenuhi š‘Žš‘„ = š‘¦ dan š‘„š‘ = š‘¦. Akan ditunjukkan
bahwa š‘† grup.
Ambil satu unsur š‘§ ∈ š‘†. Untuk itu, terdapat š‘’ ∈ š‘† yang memenuhi š‘’š‘§ = š‘§.
Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa š‘’ identitas kiri.
Ambil š‘„ ∈ š‘†. Ini mengakibatkan ada š‘ ∈ š‘† yang memenuhi š‘§š‘ = š‘„
sehingga kita memperoleh š‘’š‘„ = š‘’(š‘§š‘) = (š‘’š‘§)š‘ = š‘§š‘ = š‘„. Karena untuk setiap
š‘„ ∈ š‘† berlaku š‘’š‘„ = š‘„, kita menyimpulkan š‘’ identitas kiri š‘†.
Selanjutnya, untuk setiap x ∈ S, terdapat a ∈ S yang memenuhi ax = e.
Berdasarkan Sifat 2.5, š‘† suatu grup. āˆŽ
Sifat 2.6 di atas sebenarnya sudah biasa digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya, ketika berbicara mengenai sistem bilangan bulat dengan
operasi jumlah, saat bekerja dengan persamaan š‘Ž + š‘„ = š‘¦. Setiap kita
mengambil dua buah bilangan bulat š‘„ dan š‘¦, selalu diperoleh bilangan š‘Ž,
dengan cara mengurangkan dua buah bilangan bulat tersebut, š‘Ž = š‘¦ − š‘„. Begitu
juga ketika dihadapkan dengan struktur bilangan rasional tak nol yang
dilengkapi operasi kali (×), kita mempunyai persamaan š‘Ž × š‘„ = š‘¦. Untuk itu,
setiap kita mengambil dua buah bilangan rasional tak nol š‘„ dan š‘¦, selalu kita
š‘¦
temukan bilangan š‘Ž, yaitu š‘Ž = š‘„ .
Sifat berikut ini ditimbulkan akibat adanya sifat di atas, untuk lebih
jelasnya mari kita perhatikan.
Sifat 2.7
Unsur identitas dan unsur balikan (invers) pada grup senantiasa
tunggal.
39
Bukti. Misalkan šŗ suatu grup. Ambil š‘„ ∈ šŗ. Berdasarkan Sifat 2.6, ada unsur
identitas š‘’ ∈ šŗ yang bersifat tunggal memenuhi š‘’š‘„ = š‘„ = š‘„š‘’ dan ada š‘„ −1 ∈ šŗ
secara tunggal sehingga š‘„ −1 š‘„ = š‘’ = š‘„š‘„ −1 . āˆŽ
Suatu grup disebut memenuhi hukum pembatalan kiri jika untuk
setiap unsur š‘„, š‘¦, š‘§ ∈ šŗ dengan š‘„š‘¦ = š‘„š‘§ mengakibatkan š‘¦ = š‘§. Di sisi lain, suatu
grup disebut memenuhi hukum pembatalan kanan jika untuk setiap unsur
š‘„, š‘¦, š‘§ ∈ šŗ dengan š‘¦š‘„ = š‘§š‘„ mengakibatkan š‘¦ = š‘§. Grup disebut memenuhi
hukum pembatalan jika memenuhi pembatalan kiri maupun kanan.
Sifat 2.8
Setiap grup senantiasa memenuhi hukum pembatalan kiri maupun
pembatalan kanan.
Bukti. Misalkan šŗ suatu grup. Ambil š‘„, š‘¦, š‘§ ∈ šŗ dengan š‘„š‘¦ = š‘„š‘§. Karena šŗ grup,
tentu saja terdapat š‘„ −1 , š‘¦ −1 , š‘§ −1 ∈ šŗ sehingga diperoleh
š‘¦
=
š‘’š‘¦
−1
(š‘„
=
š‘„)š‘¦
−1 (š‘„š‘¦)
= š‘„
= š‘„ −1 (š‘„š‘§)
= (š‘„ −1 š‘„)š‘§
=
š‘’š‘§
=
š‘§
š‘¦
=
=
=
=
=
=
=
dan
š‘¦š‘’
š‘¦(š‘„š‘„ −1 )
(š‘¦š‘„)š‘„ −1
(š‘§š‘„)š‘„ −1
š‘§(š‘„š‘„ −1 )
š‘§š‘’
š‘§
Jadi setiap grup senantiasa memenuhi hukum pembatalan kiri maupun
pembatalan kanan. āˆŽ
Latihan 2.2
1. Perhatikan soal no. 1 pada Latihan 2.1! Mana saja yang merupakan grup
dan yang bukan?. Lengkapi jawaban dengan alasan yang tepat!
2. Misalkan š‘† himpunan semua bilangan real selain −1 dan ∗ operasi pada š‘†
yang didefinisikan dengan
š‘Ž ∗ š‘ = š‘Ž + š‘ + š‘Žš‘.
(š‘†,
Tunjukkan bahwa
∗) suatu grup!
3. Tunjukkan bahwa ā„¤4 × ā„¤2 = {(š‘Ž, š‘) | š‘Ž ∈ ā„¤4 , š‘ ∈ ā„¤2 } grup dengan operasi
yang didefinisikan oleh
40
(š‘Ž, š‘)(š‘, š‘‘) = (š‘Ž ⊕ š‘, š‘ ⊕ š‘‘)
untuk setiap š‘Ž, š‘ ∈ ā„¤4 dan š‘, š‘‘ ∈ ā„¤2 .
4. Misalkan šŗ suatu grup. Tunjukkanlah pernyataan berikut benar!
a. š‘Žš‘ = š‘š‘Ž jika dan hanya jika š‘Ž−1 š‘ −1 = š‘ −1 š‘Ž−1 untuk setiap š‘Ž, š‘ ∈ šŗ.
b. š‘Žš‘ = š‘š‘Ž jika dan hanya jika (š‘Žš‘)2 = š‘Ž2 š‘ 2 untuk setiap š‘Ž, š‘ ∈ šŗ.
c. Grup šŗ komutatif jika dan hanya jika (š‘Žš‘)−1 = š‘Ž−1 š‘ −1 untuk setiap
š‘Ž, š‘ ∈ šŗ.
5. Hanya ada satu cara untuk melengkapi tabel berikut sehingga {š‘Ž, š‘, š‘}
membentuk grup terhadap operasi ∗. Lengkapilah dan jelaskan kenapa hal
tersebut terjadi!
∗
š’‚
š’‚
š’ƒ
š’„
š‘
š’ƒ
š’„
2.3 Subgrup dan sifatnya
Misalkan šŗ suatu grup dan š» ⊆ šŗ. Jika š» mempunyai struktur yang
sama dengan šŗ maka š» disebut subgrup šŗ. Berikut ini disajikan definisi formal
subgrup.
Definisi 2.9
Misalkan šŗ suatu grup dan š» ⊆ šŗ. Subhimpunan š» disebut subgrup
šŗ, ditulis: š» ≤ šŗ, jika š» membentuk grup dengan operasi yang sama
pada šŗ.
Misalkan šŗ suatu grup dan š» subgrup šŗ, tentu saja subhimpunan š»
substruktur šŗ. Lebih jauh lagi, subhimpunan š» pasti tak hampa dan tertutup
terhadap operasi di šŗ, yakni: setiap unsur š‘Ž, š‘ ∈ š» memenuhi š‘Žš‘ ∈ š».
Selanjutnya, substruktur š» juga memenuhi tiga sifat grup yaitu operasi pada
š» bersifat asosiatif, adanya unsur identitas di š» dan setiap unsur di š» memiliki
invers.
Tidak semua subhimpunan dari sembarang grup membentuk grup.
Perhatikanlah struktur bilangan real tak nol dengan operasi kali. Bentuk
3
5
subhimpunan š»1 = {5 , 1, 3 , 2, 3, }. Jelas terlihat subhimpunan š»1 bukan grup
mengingat tidak semua unsur di š»1 memiliki invers. Oleh karena itu, š»1 bukan
subgrup dari grup bilangan real tak nol dengan operasi kali. Sekarang bentuk
subhimpunan š»2 = {−1, 1}. Mengingat subhimpunan š»2 membentuk grup
dengan operasi kali, jelas š»2 membentuk subgrup dari grup bilangan real tak
nol dengan operasi kali.
41
Contoh 2.8. Berikut ini disajikan beberapa contoh subgrup.
1. Untuk operasi jumlah, grup bilangan bulat dapat dipandang sebagai
subgrup dari grup bilangan real.
2. Untuk operasi kali, {1, −1} membentuk subgrup dari himpunan bilangan
real tak nol.
3. Setiap grup merupakan subgrup dari dirinya sendiri.
4. Jika š‘’ identitas grup šŗ, maka {š‘’} subgrup dari šŗ.
Perhatikan grup šŗ dan subhimpunan {š‘’šŗ } ⊆ šŗ. Baik grup šŗ maupun
subhimpunan {š‘’šŗ }, dua-duanya merupakan subgrup šŗ. Untuk itu, setiap grup
senantiasa memiliki paling tidak subgrup {š‘’šŗ } dan šŗ. Subgrup {š‘’šŗ } disebut
subgrup trivial sementara subgrup selain {š‘’šŗ } disebut subgrup non trivial.
Ketika šŗ = {š‘’šŗ }, grup šŗ disebut trivial. Subgrup š» disebut sejati jika subgrup
š» tidak sama dengan grup šŗ, ditulis: š» < šŗ. Tentu saja grup trivial tidak
memiliki subgrup sejati. Subgrup trivial {š‘’šŗ } disebut subgrup identitas, ditulis:
š’†. Untuk grup trivial, subgrup itu disebut grup identitas.
Identitas subgrup tidak lain identitas grup induknya. Begitu juga, invers
setiap unsur pada subgrup juga invers unsur tersebut pada grup induknya.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan sifat berikut ini.
Sifat 2.9
Misal G suatu grup dan š» subgrup šŗ.
a. Jika š‘“ identitas š» dan š‘’ identitas šŗ, maka š‘“ = š‘’
b. Jika š‘„ ∈ š», maka invers š‘„ di š» sama dengan invers š‘„ di šŗ.
Bukti. (š‘Ž). Misalkan šŗ suatu grup dengan unsur identitasnya š‘’ dan š» subgrup
šŗ dengan unsur identitas š‘“. Mengingat š‘“ identitas š», akibatnya š‘“š‘“ = š‘“. Selain
itu, karena š‘“ ∈ š» ⊆ šŗ, ada š‘“ −1 ∈ šŗ sehingga š‘“ −1 š‘“ = š‘“ š‘“ −1 = š‘’. Dengan
demikian, diperoleh bahwa
š‘“ −1 (š‘“š‘“)
(š‘“ −1 š‘“)š‘“
š‘’š‘“
š‘“
=
=
=
=
š‘“ −1 š‘“
š‘’
š‘’
š‘’
(b). Ambil š‘„ ∈ š». Karena š» subgrup, tentunya terdapat š‘Ž ∈ š» invers š‘„ di
š» sehingga š‘„š‘Ž = š‘Žš‘„ = š‘’. Selain itu, š» ⊆ šŗ mengakibatkan š‘„ ∈ šŗ dan dengan
demikian ada š‘ ∈ šŗ invers š‘„ di šŗ sehingga š‘„š‘ = š‘š‘„ = š‘’. Akan kita tunjukkan
bahwa š‘Ž = š‘. Dengan menggunakan Sifat 2.7 diperoleh bahwa š‘Ž = š‘. āˆŽ
Sifat 2.10
Misalkan šŗ suatu grup dan š» subhimpunan šŗ. š» subgrup šŗ jika dan
hanya jika
a) Subhimpunan š» tidak hampa;
b) setiap unsur š‘„, š‘¦ ∈ š» memenuhi š‘„š‘¦ ∈ š»; dan
42
c) setiap unsur š‘„ ∈ š» memenuhi š‘„ −1 ∈ š».
Bukti. (āŸ¹). Misalkan šŗ grup dan š» subgrup šŗ. Berdasarkan definisi subgrup,
š» membentuk grup dengan operasi yang sama pada šŗ. Berdasarkan Sifat 2.9,
unsur identitas š‘’šŗ = š‘’š» ∈ š», paling tidak š» memiliki unsur identitas sehingga
š» tak hampa. Begitu juga, mengingat š» membentuk grup dengan operasi yang
sama di šŗ, tentu saja grup š» tertutup terhadap operasi itu, yakni semua unsur
š‘„, š‘¦ ∈ š» mengakibatkan š‘„š‘¦ ∈ š». Dengan Sifat 2.9, unsur š‘„ −1 ∈ š» untuk setiap
š‘„ ∈ š».
(āŸø). Misalkan šŗ grup dan š» subhimpunan šŗ yang memenuhi syarat: š‘Ž).
Himpunan tak hampa, š‘). setiap unsur š‘„, š‘¦ ∈ š» memenuhi š‘„š‘¦ ∈ š» dan c). setiap
unsur š‘„ ∈ š» memenuhi š‘„ −1 ∈ š». Akan kita tunjukkan bahwa subhimpunan š»
subgrup šŗ.
Untuk menunjukkan š» subgrup šŗ, cukup dengan menunjukkan bahwa
š» membentuk grup dengan operasi yang sama di grup šŗ. Untuk itu, akan
ditunjukkan hal berikut. Pertama, tunjukkan terlebih dahulu subhimpunan š»
membentuk struktur dengan operasi yang sama di šŗ. Kemudian tinggal
terapkan definisi grup, yakni: tunjukkan bahwa operasi pada subhimpunan š»
bersifat asosiatif, subhimpunan š» memiliki unsur identitas dan semua unsur
š» memiliki invers.
Syarat š‘Ž) dan š‘) menunjukkan subhimpunan š» suatu struktur dengan
operasi yang sama di šŗ. Mengingat š» ⊆ šŗ dan š» struktur dengan operasi yang
sama di šŗ, jelas sifat asosiatif operasi pada šŗ berlaku juga pada š». Selanjutnya,
berdasarkan syarat š‘), terlihat jelas semua anggota š» memiliki invers.
Terakhir, ambil unsur š‘„ ∈ š». Akibatnya, terdapat š‘„ −1 ∈ š» dan berdasarkan
syarat š‘) diperoleh š‘’ = š‘„ −1 š‘„ ∈ š». Jadi, š» memiliki unsur identitas.
Mengingat subhimpunan š» membentuk grup dengan operasi yang sama
pada šŗ, terbukti š» subgrup šŗ.āˆŽ
Sifat 2.11
Misalkan šŗ suatu grup dan š» subhimpunan šŗ. Subhimpunan š»
membentuk subgrup šŗ jika dan hanya jika subhimpunan š» tidak
hampa dan setiap unsur š‘„, š‘¦ ∈ š» memenuhi š‘„š‘¦ −1 ∈ š».
Bukti. (⇒). Misalkan šŗ suatu grup dan š» subgrup šŗ. Berdasarkan Sifat 2.10,
diperoleh š» tidak hampa. Ambil š‘„, š‘¦ ∈ š». Dengan alasan yang sama diperoleh
š‘„š‘¦ ∈ š» dan š‘„ −1 , š‘¦ −1 ∈ š» dan mengakibatkan š‘„š‘¦ −1 ∈ š».
(⇐). Misalkan šŗ suatu grup dan š» subhimpunan šŗ yang memenuhi sifat
š» tidak hampa dan setiap unsur š‘„, š‘¦ ∈ š» memenuhi š‘„š‘¦ −1 ∈ š». Akan
ditunjukkan š» subgrup šŗ.
43
Mengingat subhimpunan š» tidak hampa dan setiap unsur š‘„, š‘¦ ∈ š»
memenuhi š‘„š‘¦ −1 ∈ š», tentu saja ada ā„Ž ∈ š» yang memenuhi š‘’ = ā„Žā„Ž−1 ∈ š».
Selanjutnya, untuk setiap š‘„ ∈ š» mengakibatkan š‘„ −1 = š‘’š‘„ −1 ∈ š». Terakhir,
ambil unsur š‘„, š‘¦ ∈ š». Mengingat š‘¦ −1 ∈ š», hal tersebut mengakibatkan š‘„š‘¦ =
š‘„(š‘¦ −1 )−1 ∈ š». Berdasarkan Sifat 2.10, diperoleh š» subgrup šŗ.āˆŽ
Latihan 2.3
1. Misalkan šŗ suatu grup dan š» subgrup dari šŗ. Tunjukkan bahwa setiap
subgrup dari š» juga subgrup dari šŗ!
2. Misalkan š“ dan šµ duanya subgrup šŗ. Tunjukkan pernyataan berikut ini
benar!
a. š“ ∩ šµ subgrup šŗ.
b. š“ ∪ šµ subgrup šŗ jika dan hanya jika š“ ⊆ šµ atau šµ ⊆ š“.
3. Tunjukkan dengan contoh bahwa š“ ∪ šµ tidak selalu membentuk subgrup šŗ
untuk setiap š“ dan šµ keduanya subgrup šŗ!
4. Misalkan šŗ suatu grup serta š» dan š¾ subgrup šŗ. Tunjukkan bahwa
subhimpunan š¾š» = {š‘„š‘¦ | š‘„ ∈ š¾, š‘¦ ∈ š»} subgrup šŗ jika dan hanya jika š¾š» ⊆
š»š¾ dengan š»š¾ = {š‘¦š‘„ | š‘„ ∈ š¾, š‘¦ ∈ š»}!
5. Tunjukkan pernyataan soal nomor 4 salah jika grup šŗ tidak komutatif!
2.4 Orde grup dan anggota grup
Orde grup šŗ, ditulis: |šŗ| atau š‘œ(šŗ), adalah banyaknya anggota himpunan
šŗ. Suatu grup disebut hingga atau tidak, tergantung pada ordenya. Jika orde
grup tersebut hingga, grup itu disebut dengan grup hingga begitu juga
sebaliknya. Dengan kata lain, grup hingga adalah grup yang memiliki
berhingga buah unsur sedangkan grup tak hingga adalah grup yang memiliki
tak hingga buah unsur.
Pada pembahasan operasi, telah diperkenalkan tabel Cayley. Mengingat
tabel Cayley berfungsi untuk menyajikan operasi pada grup hingga, tabel
tersebut tentunya harus memenuhi sifat-sifat grup seperti yang telah kita
bahas. Berikut ini beberapa sifat yang harus dimiliki oleh tabel Cayley untuk
grup hingga.
1. Terdapat baris (kolom) yang merupakan salinan dari baris (kolom)
penunjuk.
2. Setiap baris (kolom) tidak boleh memuat unsur lebih dari satu kali.
3. Unsur identitas harus muncul secara simetris terhadap diagonal utama
tabel.
44
Perhatikan tabel Cayley untuk operasi ⊕ pada ā„¤3 berikut ini.
⊕
Ģ…
šŸŽ
Ģ…
šŸ
Ģ…
šŸ
Ģ…
šŸŽ
Ģ…
šŸ
0Ģ…
1Ģ…
1Ģ…
2Ģ…
2Ģ…
0Ģ…
Ģ…
šŸ
2Ģ…
0Ģ…
1Ģ…
Tabel 2.4 Operasi ⊕ pada grup ā„¤šŸ‘
Pada Tabel 2.4 terlihat bahwa ketiga syarat tabel Cayley telah terpenuhi.
Seperti halnya grup, anggota grup juga memiliki orde. Sebelum bahasan
orde unsur disajikan, perhatikan terlebih dahulu definisi berikut ini.
Definisi 2.10
Misalkan šŗ suatu grup, š‘Ž ∈ šŗ dan š‘› ∈ ā„•. Pangkat ke-š‘› unsur š‘Ž,
ditulis: š‘Žš‘› , didefinisikan sebagai operasi n buah unsur š‘Ž, ditulis:
š‘Ž0 = š‘’, š‘Ž1 = š‘Ž, š‘Ž2 = š‘Žš‘Ž, …, š‘Žš‘› = š‘Žš‘Ž
āŸ … š‘Ž.
š‘›
Sementara itu, pangkat ke- −š‘› unsur š‘Ž, ditulis: š‘Ž−š‘› , didefinisikan
sebagai operasi n buah unsur š‘Ž−1 , ditulis:
(−š‘Ž)(−š‘Ž) … (−š‘Ž).
š‘Ž−š‘› = (š‘Ž−1 )š‘› = āŸ
š‘›
Berdasarkan induksi matematika, diperoleh š‘Žš‘š š‘Žš‘› = š‘Žš‘š+š‘› , (š‘Žš‘š )š‘› = š‘Žš‘šš‘›
dan (š‘Žš‘› )−1 = š‘Ž −š‘› untuk semua bilangan bulat š‘š dan š‘›. Untuk operasi +,
š‘Žš‘› = š‘Ž + š‘Ž + ā‹Æ + š‘Ž = š‘›š‘Ž dan
š‘Ž −š‘› = (š‘Ž−1 )š‘› = (−š‘Ž) + (−š‘Ž) + ā‹Æ + (−š‘Ž) = š‘›(−š‘Ž).
Dengan demikian, š‘Žš‘š š‘Žš‘› = š‘šš‘Ž + š‘›š‘Ž = (š‘š + š‘›)š‘Ž = š‘Žš‘š+š‘› ,
(š‘›š‘š)š‘Ž = (š‘šš‘›)š‘Ž = š‘Žš‘šš‘› dan (š‘Žš‘› )−1 = −(š‘›š‘Ž) = (−š‘›)š‘Ž = š‘Ž−š‘› .
(š‘Žš‘š )š‘› = š‘›(š‘šš‘Ž) =
Definisi 2.11
Misalkan šŗ suatu grup dan š‘Ž ∈ šŗ. Bilangan asli terkecil š‘› disebut
orde š‘Ž, ditulis: š‘œ(š‘Ž), jika memenuhi š‘Žš‘› = š‘’. Ketika tidak ada š‘› yang
memenuhi, orde š‘Ž disebut tak hingga.
Contoh 2.9. Pandang grup (ā„¤6 ,⊕). Himpunan ā„¤6 = {0Ģ…, 1Ģ…, 2Ģ…, 3Ģ…, 4Ģ…, 5Ģ…}. Orde grup ā„¤6 ,
yaitu: |ā„¤6 | = 6. Orde unsur 2Ģ…, š‘œ(2Ģ…) = 3. Hal tersebut terjadi karena 3 bilangan
asli terkecil yang mengakibatkan 2Ģ…3 = 2Ģ… ⊕ 2Ģ… ⊕ 2Ģ… = 6Ģ… = 0Ģ…. Mengingat 6 > 3,
Ģ…Ģ… = 0Ģ…, 6 bukan orde unsur 2Ģ….
walaupun 2Ģ…6 = 2Ģ… ⊕ 2Ģ… ⊕ 2Ģ… ⊕ 2Ģ… ⊕ 2Ģ… ⊕ 2Ģ… = Ģ…Ģ…
12
Contoh 2.10. Pandang grup bilangan bulat, ā„¤, dengan operasi jumlah. Orde
grup ā„¤, yaitu: |ā„¤| = ∞. Sementara itu, orde unsur 1 ∈ ā„¤, yaitu: š‘œ(1) = ∞. Hal ini
disebabkan tidak ada š‘› ∈ ā„¤+ yang membuat š‘› = āŸ
1 + 1 + ā‹Æ + 1 = 1š‘› = š‘’ā„¤ = 0.
š‘›
45
Latihan 2.4
1. Apakah pada grup komutatif setiap unsur non identitasnya memiliki
orde dua?
2. Tunjukkan jika šŗ suatu grup dan š‘Ž, š‘ ∈ šŗ, pernyataan berikut ini benar!
a. š‘œ(š‘Ž−1 ) = š‘œ(š‘Ž).
b. š‘œ(š‘Ž−1 š‘š‘Ž) = š‘œ(š‘).
c. š‘œ(š‘Žš‘) = š‘œ(š‘š‘Ž).
3. Berikan contoh grup yang persamaan š‘„ 2 = š‘’ memiliki lebih dari dua
buah solusi.
4. Berikan contoh grup yang memuat unsur non identitas dengan orde
hingga dan tak hingga
5. Apakah setiap grup dengan orde š‘› memiliki unsur dengan orde š‘›?
6. Apakah setiap grup yang mempunyai subgrup dengan orde š‘›,
mempunyai unsur dengan orde š‘›?
46
BAB 3
GRUP SIMETRI
Simetri berasal dari dua akar kata dalam bahasa Yunani, yaitu: syn dan
metry. Kata syn artinya bersama, berbarengan, serentak, satu sama lain atau
sekalian. Sementara kata metry artinya pengukuran atau ukuran. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, simetri berarti seimbang atau selaras: bentuk
ukuran dan sebagainya.
Simetri sendiri secara istilah dapat diartikan sebagai gerakan yang tidak
dapat dilacak atau dideteksi. Gerakan tersebut bisa berupa pencerminan,
rotasi, gabungan keduanya maupun gerakan lainnya yang menyebabkan
perubahan posisi benda tidak dapat dilacak. Dalam hal ini, tidak melakukan
gerakan (posisi semula) termasuk simetri. Simetri demikian disebut identitas.
Simetri identitas didapat dengan cara melakukan rotasi 00 , mengingat rotasi
tersebut merupakan posisi awal. Simetri yang diperoleh melalui pencerminan
disebut dengan simetri lipat sementara yang melalui rotasi disebut simetri
putar. Benda disebut simetris jika memiliki simetri yang tidak hanya berupa
simetri identitas. Banyak sekali bangun simetris yang dapat kita jumpai di
sekitar kita.
Susunan benda-benda identik juga tidak dapat dilacak jika dilakukan
gerakan pada susunan benda-benda tersebut. Gerakan pada susunan ini dapat
dilakukan dengan memindahkan langsung, memutar, mencerminkan, dan lain
sebagainya. Untuk itu, susunan benda identik tersebut juga disebut simetri.
Setiap gerakan yang diberikan pada benda, menimbulkan perubahan posisi
benda tersebut. Secara umum, susunan anggota himpunan disebut dengan
permutasi himpunan. Dalam hal ini, tentu saja semua anggota harus masuk
dalam setiap bentuk susunan.
3.1 Permutasi
Secara informal, permutasi himpunan tidak lain susunan anggota
himpunan tersebut. Untuk dapat memahami pernyataan itu, perhatikanlah
contoh berikut.
Contoh 3.1. Ada enam permutasi yang mungkin pada himpunan š‘† = {1,2,3}.
123 132 213 231 312 321
47
Semua permutasi ini dapat dipandang sebagai pemetaan bijektif dari
himpunan š‘† ke š‘†, yaitu dengan cara memetakan 1 ke unsur pertama, 2 ke unsur
ke-2 dan 3 ke unsur ke-3 pada setiap permutasi. Pemetaan bijektif yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
Permutasi 1 2 3 dapat dipandang sebagai pemetaan šœŽ1 : š‘† āŸ¶ š‘† seperti terlihat di
bawah ini.
1
šœŽ1
1
2
2
3
3
S
S
Permutasi 1 3 2 dapat dipandang sebagai pemetaan šœŽ2 : š‘† āŸ¶ š‘† seperti terlihat di
bawah ini.
šœŽ2
1
1
2
2
3
3
S
S
Permutasi 2 1 3 dapat dipandang sebagai pemetaan šœŽ3 : š‘† āŸ¶ š‘† seperti terlihat di
bawah ini.
šœŽ3
1
1
2
2
3
3
S
S
48
Permutasi 2 3 1 dapat dipandang sebagai pemetaan šœŽ4 : š‘† āŸ¶ š‘† seperti terlihat di
bawah ini.
šœŽ4
1
1
2
2
3
3
S
S
Permutasi 3 1 2 dapat dipandang sebagai pemetaan šœŽ5 : š‘† āŸ¶ š‘† seperti terlihat di
bawah ini.
šœŽ5
1
1
2
2
3
3
S
S
Permutasi 3 2 1 dapat dipandang sebagai pemetaan šœŽ6 : š‘† āŸ¶ š‘† seperti terlihat di
bawah ini.
šœŽ6
1
1
2
2
3
3
S
S
Setelah mencermati uraian di atas, jelas bahwa permutasi tidak lain pemetaan
bijektif. Untuk selanjutnya, mengingat permutasi suatu pemetaan, permutasi
dapat dinyatakan dengan menggunakan tanda pemetaan, yakni dengan
menggunakan huruf kecil (lower case) latin atau abjad Yunani. Untuk
49
membedakan dengan pemetaan pada umumnya, permutasi pada buku ini
ditulis menggunakan huruf kecil (lower case) Yunani.
Definisi 3.1
Misalkan š‘† himpunan tak hampa, š‘€(š‘†) himpunan pemetaan pada š‘†,
āˆ˜ menyatakan komposisi pemetaan pada š‘€(š‘†) dan šœŽ ∈ š‘€(š‘†).
Pemetaan šœŽ disebut permutasi pada š‘† jika šœŽ bijektif.
Perhatikan kembali semua permutasi pada š‘† = {1,2,3} yang telah diuraikan
dalam Contoh 3.1. Selain menggunakan diagram panah, semua permutasi itu
dapat juga disajikan dengan cara berikut.
Permutasi šœŽ1 memetakan 1 ā†¦ 1, 2 ā†¦ 2 dan 3 ā†¦ 3.
Permutasi šœŽ2 memetakan 1 ā†¦ 1, 2 ā†¦ 3 dan 3 ā†¦ 2.
Permutasi šœŽ3 memetakan 1 ā†¦ 2, 2 ā†¦ 1 dan 3 ā†¦ 3.
Permutasi šœŽ4 memetakan 1 ā†¦ 2, 2 ā†¦ 3 dan 3 ā†¦ 1.
Permutasi šœŽ5 memetakan 1 ā†¦ 3, 2 ā†¦ 1 dan 3 ā†¦ 2.
Permutasi šœŽ6 memetakan 1 ā†¦ 3, 2 ā†¦ 2 dan 3 ā†¦ 1.
Penyajian permutasi dengan menggunakan cara diagram panah terlalu
memakan tempat. Sementara penyajian seperti di atas tidak terpadu.
Penyajian permutasi berikut ini dapat mengatasi kedua masalah tersebut
untuk permutasi pada himpunan hingga. Misalkan š‘† = {1,2, ā‹Æ , š‘›} dan šœŽ ∈ š‘€(š‘†)
suatu permutasi. Permutasi šœŽ ditulis sebagai berikut.
1
2
(
šœŽ(1) šœŽ(2)
ā‹Æ
š‘›
)
ā‹Æ šœŽ(š‘›)
Baris pertama pada tanda permutasi di atas berisi semua anggota domain š‘†
sementara pada baris ke dua berisi šœŽ(š‘–) ∈ š‘† untuk semua š‘– ∈ š‘†. Permutasi šœŽ
memetakan 1 ā†¦ šœŽ(1), 2 ā†¦ šœŽ(2), ā‹Æ , š‘– ā†¦ šœŽ(š‘–), ā‹Æ , š‘› ā†¦ šœŽ(š‘›).
Dengan cara baru ini, semua permutasi pada Contoh 3.1, dapat
dituliskan menjadi
1 2
1 2
3
1 2 3
1
), šœŽ2 = (
), šœŽ3 = (
3
1 3 2
2
1 2
2 3
3
1 2
), šœŽ5 = (
1
3 1
šœŽ1 = (
šœŽ4 = (
2 3
),
1 3
3
1 2 3
), šœŽ6 = (
)
2
3 2 1
Mari kita perhatikan kembali permutasi šœŽ. Permutasi yang memetakan
1 ā†¤ šœŽ(1), 2 ā†¤ šœŽ(2), ā‹Æ , š‘– ā†¤ šœŽ(š‘–), ā‹Æ , š‘› ā†¤ šœŽ(š‘›), disebut invers permutasi šœŽ, ditulis:
šœŽ −1 , mengingat permutasi itu memenuhi Definisi 2.5. Untuk itu, kita dapat
menentukan invers setiap permutasi pada Contoh 3.1.
1
1
šœŽ1−1 = (
2 3 −1
1
) =(
2 3
1
2 3
1
), šœŽ2−1 = (
2 3
1
50
2 3 −1
1 2 3
) =(
),
3 2
1 3 2
šœŽ3−1 = (
1
2
2 3 −1
1
) =(
1 3
2
2 3
1
), šœŽ4−1 = (
1 3
2
2 3 −1
1 2 3
) =(
),
3 1
3 1 2
šœŽ5−1 = (
1
3
2 3 −1
1
) =(
1 2
2
2 3
1
), šœŽ6−1 = (
3 1
3
2 3 −1
1 2 3
) =(
).
2 1
3 2 1
Selain dengan cara sebelumnya, permutasi juga dapat disajikan dalam
bentuk siklus. Misalkan š‘† suatu himpunan hingga, |š‘†| = š‘›, unsur š‘Ž1 , š‘Ž2 , … , š‘Žš‘˜ ∈
š‘† dengan š‘˜ ≤ š‘› dan (š‘Ž1 š‘Ž2 … š‘Žš‘˜ ) ∈ š‘€(š‘†) siklus. Siklus (š‘Ž1 š‘Ž2 … š‘Žš‘˜ )
menyatakan permutasi pada š‘† yang mengaitkan š‘Ž1 ā†¦ š‘Ž2 ā†¦ ā‹Æ ā†¦ š‘Žš‘˜−1 ā†¦ š‘Žš‘˜ ā†¦ š‘Ž1
dan š‘„ ā†¦ š‘„ untuk semua š‘„ selain š‘Ž1 , š‘Ž2 , … , š‘Žš‘˜ dengan š‘„ ∈ š‘†.
Perlu diperhatikan bahwa pada siklus (š‘Ž1 š‘Ž2 … š‘Žš‘˜ ), unsur š‘Ž1 , š‘Ž2 , … , š‘Žš‘˜
semuanya berbeda dengan š‘˜ disebut panjang siklus (š‘Ž1 š‘Ž2 … š‘Žš‘˜ ). Siklus
(š‘Ž1 š‘Ž2 … š‘Žš‘˜ ) dan siklus (š‘1 š‘2 … š‘š‘™ ) disebut saling lepas jika himpunan
{š‘Ž1 , š‘Ž2 , … , š‘Žš‘˜ } dan himpunan {š‘1 , š‘2 , … , š‘š‘™ } saling lepas. Setiap permutasi
dapat disajikan dalam bentuk siklus tunggal atau komposisi siklus yang saling
lepas.
Misalkan š‘† = {1, 2, … , š‘›} dan šœŽ ∈ š‘€(š‘†). Untuk menyajikan permutasi šœŽ
dalam bentuk siklus, ikuti langkah-langkah berikut.
1. Ambil unsur 1 ∈ š‘†. Kemudian lihat nilai šœŽ(1), šœŽ(šœŽ(1)), ā‹Æ pada permutasi šœŽ
sehingga didapatkan barisan
1, šœŽ(1), šœŽ(šœŽ(1)), … , šœŽ (… (šœŽ(1)))
Misalkan diperoleh nilai šœŽ(1) = š‘Ž1 , šœŽ(šœŽ(1)) = š‘Ž2 hingga ditemukan nilai
šœŽ (… (šœŽ(1))) = š‘Žš‘˜ = 1, satu barisan penuh telah didapatkan, yaitu:
1, š‘Ž1 , š‘Ž2 , … , š‘Žš‘˜−1 .
dengan 1 ≠ š‘Ž1 ≠ š‘Ž2 ≠ … , ≠ š‘Žš‘˜−1. Dengan demikian, berarti telah diperoleh
satu siklus (1 š‘Ž1 š‘Ž2 … š‘Žš‘˜−1 ). Selanjutnya, jika š‘˜ = š‘›, permutasi šœŽ disajikan
dalam bentuk satu siklus tunggal mengingat semua anggota š‘† masuk ke
dalam siklus, ditulis:
šœŽ = (1 š‘Ž1 š‘Ž2 … š‘Žš‘˜−1 ).
2. Sekarang, jika masih ada anggota š‘† yang belum masuk dalam siklus, yaitu:
š‘˜ < š‘›, proses pembentukan siklus harus diteruskan lagi seperti langkah
pertama untuk š‘– ∈ š‘† tetapi š‘– ∉ {1, š‘Ž1 , š‘Ž2 , … , š‘Žš‘˜−1 }. Pada proses ini,
diperoleh barisan
š‘–, šœŽ(š‘–), šœŽ(šœŽ(š‘–)), … , šœŽ (… (šœŽ(š‘–)))
Proses ini berhenti sampai diperoleh šœŽ (… (šœŽ(š‘–))) = š‘– sampai dengan semua
anggota š‘† habis masuk ke salah satu siklus sehingga šœŽ menjadi
šœŽ = (1 š‘Ž1 š‘Ž2 … š‘Žš‘˜−1 )(š‘Žš‘˜+1 š‘Žš‘˜+2 … ) … .
51
Pengambilan awal pada langkah pertama tidak harus dimulai dari 1, bisa
dimulai dari anggota š‘† yang mana saja.
Contoh 3.2. Perhatikan himpunan š‘† = {1, 2, 3, 4, 5}. Pilih permutasi pada š‘†,
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
misalnya šœŒ = (
) dan šœ = (
). Bentuk siklus
3 4 5 2 1
2 4 1 5 3
permutasi šœŒ = (1 3 5)(2 4) dan šœ = (1 2 4 5 3).
Untuk mendapatkan bentuk siklus permutasi šœŒ dalam Contoh 3.2
perhatikan penjelasan berikut ini.
1
2
3
4
5
3
4
5
2
1
=
1
3
5
2
4
Untuk mendapatkan bentuk siklus permutasi šœ dalam Contoh 3.2 dilakukan
dengan cara yang sama seperti mendapatkan siklus permutasi šœŒ. Pada
permutasi šœŒ, siklus (1 3 5) memiliki panjang 3, sementara siklus (2 4)
memiliki panjang 2. Siklus (1 2 4 5 3) pada permutasi šœ memiliki panjang 5.
Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut ini.
Gambar 3.1 Siklus pada permutasi šœŒ dan šœ
Pada Gambar 3.1, terlihat jelas permutasi šœŒ memiliki dua siklus yang
saling lepas, sedangkan permutasi šœ hanya memiliki satu siklus.
Penulisan unsur dalam satu siklus tidak harus selalu dimulai dari unsur
pertama dalam rangkaian barisan unsur pada siklus tersebut, seperti dalam
penjelasan langkah-langkah pembentukan siklus. Misalkan siklus (1 3 5),
memetakan 1 ā†¦ 3 ā†¦ 5, bisa ditulis dengan (3 5 1). Dalam gambar siklus
terlihat jelas kesamaan tersebut. Dua siklus yang saling lepas bersifat
komutatif. Untuk itu, šœŒ = (1 3 5)(2 4) = (2 4)(1 3 5) mengingat siklus
(1 3 5) dan (2 4) saling lepas.
Contoh 3.3. Semua permutasi dalam Contoh 3.1 dapat dituliskan kembali
menjadi bentuk siklus. Perhatikan dahulu penjelasan berikut ini.
šœŽ1 = (
1 2
1 2
3
) = (1)(2)(3) = (1) = (2) = (3),
3
52
1 2
šœŽ2 = (
1 3
3
) = (1)(2 3) = (2 3),
2
1 2
šœŽ3 = (
2 1
3
) = (1 2)(3) = (1 2),
3
1 2
2 3
3
) = (1 2 3),
1
1 2
3 1
3
) = (1 3 2),
2
šœŽ4 = (
šœŽ5 = (
1 2
šœŽ6 = (
3 2
3
) = (1 3)(2) = (1 3).
1
Berdasarkan penjelasan ini, diperoleh bahwa šœŽ1 = (1), šœŽ2 = (2 3), šœŽ3 = (1 2),
šœŽ4 = (1 2 3), šœŽ5 = (1 3 2) dan šœŽ6 = (1 3)(2).
Siklus dengan panjang dua disebut transposisi. Siklus (1 2), (1 3) dan
(2 3) pada Contoh 3.3 merupakan transposisi. Pada contoh itu, permutasi
šœŽ2 , šœŽ3 dan šœŽ6 ditulis sebagai komposisi satu buah transposisi. Selanjutnya,
perhatikan permutasi šœŽ4 dan šœŽ5
šœŽ4 = (1 2 3) = (1 3)(1 2),
šœŽ5 = (1 3 2) = (1 2)(1 3),
permutasi šœŽ4 dan šœŽ5 keduanya ditulis sebagai komposisi dua transposisi.
Permutasi šœŽ4 ditulis sebagai komposisi dua transposisi (1 3)(1 2). Permutasi šœŽ5
ditulis sebagai komposisi dua transposisi (1 2)(1 3). Sisanya, Permutasi šœŽ1 =
(1) = (1 2)(1 2) = (1 3)(1 3) = (2 3)(2 3). Permutasi šœŽ1 dapat ditulis sebagai
komposisi dua buah transposisi yang sama. Hal tersebut terjadi karena balikan
transposisi adalah dirinya sendiri.
Tidak semua permutasi dapat dituliskan sebagai komposisi dari
transposisi-transposisi yang saling lepas. Meskipun demikian, setiap permutasi
bisa dituliskan sebagai komposisi dari beberapa transposisi. Secara umum,
siklus yang memuat š‘˜ unsur dapat dituliskan sebagai komposisi š‘˜ − 1
transposisi.
(š‘Ž1 š‘Ž2 ā‹Æ š‘Žš‘˜−1 š‘Žš‘˜ ) = (š‘Ž1 š‘Žš‘˜ )(š‘Ž1 š‘Žš‘˜−1 ) ā‹Æ (š‘Ž1 š‘Ž2 )
Latihan 3.1
1
3
Misalkan permutasi š›¼ = (
2 3 4
5 4 1
5
1 2 3
) dan š›½ = (
2
4 3 1
4 5
)
5 2
1. Nyatakan permutasi š›¼ dan š›½ dalam bentuk siklus!
2. Apakah siklus yang diperoleh dari permutasi š›¼ dan š›½ saling lepas?
3. Tentukan panjang siklus yang diperoleh dari masing-masing permutasi itu!
53
4. Apakah permutasi š›¼ dan š›½ yang diperoleh pada soal No.1 sudah dalam
siklus transposisi? Jika tidak, apakah masih bisa dituliskan dalam
transposisi?
5. Tentukan invers dan orde permutasi š›¼ dan š›½!
3.2 Grup simetri
Pada bagian pembahasan struktur aljabar, telah dijelaskan bahwa
himpunan š‘€(š‘†) dengan š‘† himpunan tak hampa membentuk struktur jika
dilengkapi operasi komposisi pemetaan. Untuk setiap šœŽ, šœ ∈ š‘€(š‘†), komposisi
pemetaan pada š‘€(š‘†) didefinisikan:
(šœŽšœ)(š‘„) = šœŽ(šœ(š‘„)) untuk setiap š‘„ ∈ š‘†.
Sekarang pandang himpunan š‘†š‘–š‘š(š‘†) = {šœŽ ∈ š‘€(š‘†) | šœŽ permutasi}. Himpunan
š‘†š‘–š‘š(š‘†) tidak lain himpunan semua permutasi pada š‘† dan š‘†š‘–š‘š(š‘†) ⊆ š‘€(š‘†). Pilih
šœ„š‘† ∈ š‘€(š‘†) dengan šœ„š‘† (š‘„) = š‘„ untuk setiap š‘„ ∈ š‘†. Jelas pemetaan šœ„š‘† bijektif dan
untuk itu šœ„š‘† suatu permutasi. Mengingat šœ„š‘† ∈ š‘†š‘–š‘š(š‘†), jelas subhimpunan
š‘†š‘–š‘š(š‘†) ≠ ∅. Ambil šœŽ, šœ ∈ š‘†š‘–š‘š(š‘†). Mengingat setiap permutasi itu pemetaan
bijektif, menurut Sifat 1.8, komposisi šœŽšœ juga bijektif. Itu artinya šœŽšœ suatu
permutasi dan mengakibatkan šœŽšœ ∈ š‘†š‘–š‘š(š‘†). Semua penjelasan tadi
menunjukkan subhimpunan š‘†š‘–š‘š(š‘†) membentuk substruktur dari š‘€(š‘†).
Menurut Sifat 2.3(b), operasi komposisi pada substruktur š‘†š‘–š‘š(š‘†) bersifat
asosiatif dan permutasi (1) sebagai identitas š‘†š‘–š‘š(š‘†). Sekarang ambil šœŽ ∈
š‘†š‘–š‘š(š‘†). Mengingat permutasi šœŽ pemetaan yang bijektif, menurut Sifat 1.9, ada
pemetaan balikan šœ sehingga šœŽšœ = šœšœŽ = šœ„š‘† . Mengingat šœšœŽ bersifat pada, menurut
Sifat 1.8, pemetaan šœ juga pada. Di sisi lain, mengingat šœŽšœ satu-satu, dengan
alasan yang sama diperoleh šœ juga satu-satu. Dengan begitu, šœ suatu pemetaan
bijektif dan mengakibatkan šœ ∈ š‘†š‘–š‘š(š‘†). Pada akhirnya šœŽ −1 = šœ ∈ š‘†š‘–š‘š(š‘†) untuk
setiap šœŽ ∈ š‘†š‘–š‘š(š‘†). Semua uraian tadi menunjukkan bahwa š‘†š‘–š‘š(š‘†) membentuk
grup dengan operasi komposisi permutasi.
Grup š‘†š‘–š‘š(š‘†) disebut grup simetri. Setiap subgrup dari grup simetri
disebut grup permutasi. Jika himpunan š‘† hingga dengan |š‘†| = š‘› untuk suatu
š‘› ∈ ā„¤+ , tanda š‘†š‘–š‘š(š‘†) diganti dengan š‘†š‘› dengan |š‘†š‘› | = š‘›(š‘› − 1) ā‹Æ 2 ⋅ 1 = š‘›!
Untuk setiap šœŽ, šœ ∈ š‘†š‘› , komposisi permutasi pada š‘†š‘› sama dengan operasi
pada š‘€(š‘†), yaitu: (šœŽšœ)(š‘„) = šœŽ(šœ(š‘„)) untuk setiap š‘„ ∈ š‘†. dengan memisalkan
šœŽ=(
1
2
ā‹Æ
šœŽ(1) šœŽ(2) ā‹Æ
š‘›
)
šœŽ(š‘›)
dan
1
šœ=(
šœ(1)
2
ā‹Æ
šœ(2) ā‹Æ
permutasi komposisi šœŽšœ menjadi
54
š‘›
),
šœ (š‘› )
šœŽšœ
=
=
1
2
(
šœŽšœ(1) šœŽšœ(2)
1
2
(šœŽ(šœ(1)) šœŽ(šœ(2))
ā‹Æ
š‘›
)
ā‹Æ šœŽšœ(š‘›)
ā‹Æ
š‘›
ā‹Æ šœŽ(šœ(š‘›)))
1 2 3 4 5
1 2 3 4
) dan šœ = (
3 4 5 2 1
2 4 1 5
menentukan komposisi šœŒšœ, ikuti dahulu penjelasan berikut.
Contoh 3.4. Misalkan šœŒ = (
5
). Sebelum
3
Pada permutasi šœ, diperoleh šœ(1) = 2, šœ(2) = 4, šœ(3) = 1, šœ(4) = 5 dan šœ(5) = 3.
Hasil ini semua digunakan untuk menentukan
šœŒ(šœ(1)) = šœŒ(2) = 4; šœŒ(šœ(4)) = šœŒ(5) = 1
šœŒ(šœ(2)) = šœŒ(4) = 2; šœŒ(šœ(5)) = šœŒ(3) = 5
šœŒ(šœ(3)) = šœŒ(1) = 3.
Masukan nilai ini semua sehingga diperoleh
šœŒšœ
= (
=
=
=
1
šœŒ(šœ(1))
2
šœŒ(šœ(2))
1
(
4
(1
3
4
5
)
šœŒ(šœ(3)) šœŒ(šœ(4)) šœŒ(šœ(5))
2 3 4 5
)
2 3 1 5
4)(2)(3)(5)
(1 4)
Secara singkat komposisi šœŒšœ dapat dilihat seperti penjelasan di bawah ini
Perhatikan arah anak panah pada komposisi permutasi di atas. Komposisi šœŒšœ
memetakan 1 ā†¦ 4 karena ia memetakan 1 ā†¦ 2 kemudian 2 ā†¦ 4. Dengan cara
yang sama didapatkan yang lainnya secara berurutan dari kiri ke kanan yaitu:
2 3 1 5 seperti tampak di atas.
Contoh 3.5. Untuk š‘› = 2, diperoleh grup simetri yang anggotanya semua
permutasi pada himpunan š‘† = {1,2}, yakni: š‘†2 = {(1), (1 2)}. Permutasi (1)
menjadi identitas š‘†2 , ditulis: š‘’š‘†2 = (1). Permutasi (1 2)−1 = (1 2). Grup ini
hanya memiliki subgrup trivial, yaitu: {(1)}. Selain itu, grup ini juga bersifat
komutatif dan subgrup sejatinya hanya subgrup {(1)} saja. Perhatikan operasi
komposisi pada š‘†2 seperti dalam Tabel 3.1.
55
(šŸ)
(šŸ šŸ)
āˆ˜
(šŸ)
(1)
(1 2)
(šŸ šŸ)
(1 2)
(1)
Tabel 3.1 Operasi āˆ˜ pada grup simetri š‘†2
Contoh 3.6. Untuk š‘› = 3, diperoleh grup simetri yang anggotanya semua
permutasi pada himpunan š‘† = {1,2,3}, yakni:
š‘†3 = {(1), (1 2), (1 3), (2 3), (1 2 3), (1 3 2)}.
Permutasi (1) menjadi identitas š‘†3 , ditulis: š‘’š‘†3 = (1). Balikan (invers) setiap
anggota š‘†3 dapat dilihat pada Tabel 3.2.
āˆ˜
(šŸ)
(šŸ šŸ)
(šŸ šŸ‘)
(šŸ šŸ‘)
(šŸ šŸ šŸ‘) (šŸ šŸ‘ šŸ)
(šŸ)
(1)
(1 2) (1 3) (2 3) (1 2 3)
(šŸ šŸ)
(1 2)
(1)
(1 3 2) (1 2 3)
(2 3)
(šŸ šŸ‘)
(1 3) (1 2 3)
(1)
(1 3 2)
(1 2)
(šŸ šŸ‘)
(2 3) (1 3 2) (1 2 3)
(1)
(1 3)
(šŸ šŸ šŸ‘) (1 2 3) (1 3)
(2 3)
(1 2)
(1 3 2)
(šŸ šŸ‘ šŸ) (1 3 2) (2 3)
(1 2)
(1 3)
(1)
Tabel 3.2 Operasi āˆ˜ pada grup simetri š‘†3
(1 3 2)
(1 3)
(2 3)
(1 2)
(1)
(1 2 3)
Latihan 3.2
1 2 3 4
1 2 3 4
) dan š›½ = (
). Hitunglah
1 4 3 2
3 1 4 2
a. š›¼ āˆ˜ š›½
c. š›¼ −1 e. š›¼ −1 āˆ˜ š›½ −1
g. (š›¼ āˆ˜ š›½)−1
b. š›½ āˆ˜ š›¼
d. š›½ −1
f. š›½ −1 āˆ˜ š›¼ −1
h. (š›½ āˆ˜ š›¼)−1
Tunjukkan bahwa siklus dengan panjang š‘˜ di š‘†š‘› memiliki orde š‘˜!
Tulis semua permutasi di š‘†4 !
a. Tentukan invers setiap permutasi di š‘†4 !
b. Berapa banyak permutasi di š‘†4 yang memetakan 4 ke 4?
Tunjukkan bahwa grup simetri š‘†š‘› bukan grup komutatif jika š‘› > 2!
Misalkan š» = {š›¼ ∈ š‘†š‘› āˆ£ š›¼(1) = 1, š›¼(š‘›) = š‘›}. Tunjukkan bahwa š» subgrup š‘†š‘› !
1. Misalkan š›¼ = (
2.
3.
4.
5.
3.3 Grup permutasi
Grup permutasi yang dibahas pada bagian ini hanya pada segitiga dan
segi empat saja. Untuk lebih jelasnya ikuti pembahasan berikut ini.
3.3.1 Segitiga
Berdasarkan panjang sisinya, segitiga dikelompokan menjadi tiga:
segitiga sama sisi, segitiga sama kaki dan segitiga sembarang. Segitiga disebut
sama sisi jika ketiga sisinya sama panjang.
56
r
1
2
š‘”2
š‘”1
3
š‘”3
Gambar 3.2 Simetri pada segitiga sama sisi
Segitiga disebut sama kaki jika hanya dua sisi saja yang sama panjang,
dari tiga sisi yang dimilikinya. Segitiga disebut sembarang jika tidak ada sisi
yang sama panjang. Himpunan simetri lipat dan putar (pencerminan) pada
segitiga merupakan subgrup š‘†3 . Subgrup ini disebut grup permutasi pada
segitiga.
Pertama kita mulai dari segitiga sama sisi seperti terlihat pada Gambar
3.2. Pada gambar tersebut terlihat sumbu-sumbu untuk mendapatkan simetri
pada segitiga sama sisi. Ada enam buah simetri yang diperoleh dari segitiga
sama sisi.
Tiga buah simetri diperoleh dari hasil pencerminan. Permutasi (1 2)
diperoleh dari pencerminan melalui sumbu š‘”3 . Permutasi (1 3) diperoleh dari
pencerminan melalui sumbu š‘”2 . Permutasi (2 3) diperoleh dari pencerminan
melalui sumbu š‘”1 . Tiga buah simetri sisanya didapat dari hasil rotasi.
Permutasi (1) menyatakan posisi awal. Permutasi ini dihasilkan dari rotasi 0āˆ˜ .
Permutasi (1 2 3) dan (1 3 2) diperoleh dari rotasi melalui sumbu š‘Ÿ sebesar
120āˆ˜ dan 240āˆ˜ .
Simetri yang dihasilkan dari pencerminan disebut simetri lipat
sementara simetri yang dihasilkan dari rotasi disebut simetri putar. Himpunan
semua simetri ini bersama dengan operasi komposisi permutasi membentuk
grup permutasi. Grup ini sama dengan grup (š‘†3 ,āˆ˜). Operasi komposisi pada grup
ini terlihat pada Tabel 3.2.
Selanjutnya simetri pada segitiga sama kaki, silakan lihat Gambar 3.3.
Pada pada gambar tersebut terlihat sumbu-sumbu untuk mendapatkan simetri
pada segitiga sama kaki. Berbeda dengan segitiga sama sisi, segitiga sama kaki
hanya memiliki dua buah simetri. Simetri pertama berupa permutasi (1 3),
diperoleh dari pencerminan melalui sumbu š‘”2 . Simetri sisanya berupa
permutasi (1), didapat dari hasil rotasi 0āˆ˜ (posisi awal). Operasi komposisi pada
grup ini terlihat pada Tabel 3.3.
57
r
1
2
š‘”2
3
Gambar 3.3 Simetri pada segitiga sama kaki
āˆ˜
(šŸ)
(šŸ šŸ‘)
(šŸ)
(1)
(1 3)
(šŸ šŸ‘) (1 3)
(1)
Tabel 3.3 Operasi āˆ˜ pada grup permutasi segitiga sama kaki
Terakhir segitiga sembarang. Untuk segitiga jenis ini, hanya ada satu
buah permutasi yang dihasilkan dari rotasi 0āˆ˜ (posisi awal), permutasi
identitas. Untuk itu, grup permutasi yang diperoleh berupa grup identitas,
subgrup sejati dari š‘†3 .
r
2
1
3
Gambar 3.4 Simetri pada segitiga sembarang
3.3.2 Segi empat
Semua grup permutasi yang dibentuk dari segi empat merupakan
subgrup š‘†4 . Segi empat yang dibahas di sini berupa bujur sangkar, persegi
panjang, belah ketupat, jajar genjang, layang-layang dan trapesium.
Kita mulai dari bujur sangkar terlebih dahulu. Perhatikan Gambar 3.5.
Permutasi (1 3), (2 4), (1 2)(3 4) dan (1 4)(2 3), seperti terlihat pada gambar,
tidak lain simetri lipat. Sementara itu, permutasi (1), (1 2 3 4), (1 3)(2 4), dan
(1 4 3 2) diperoleh dengan memutar sumbu š‘Ÿ secara berurutan yaitu: 00 , 900 ,
58
1800 dan 2700 . Dengan demikian, diperoleh delapan buah simetri pada bujur
sangkar.
1
2
4
3
Gambar 3.5 Simetri pada bujur sangkar
Himpunan semua permutasi pada bujur sangkar ini membentuk grup
permutasi dengan operasi komposisi. Grup permutasi ini merupakan subgrup
š‘†4 .
āˆ˜
(šŸ)
(šŸ šŸ‘)
(šŸ šŸ’)
(šŸ šŸ)(šŸ‘ šŸ’)
(šŸ šŸ‘)(šŸ šŸ’) (šŸ šŸ’)(šŸ šŸ‘) (šŸ šŸ šŸ‘ šŸ’)
(šŸ šŸ’ šŸ‘ šŸ)
(šŸ)
(1)
(1 3)
(2 4)
(1 2)(3 4)
(1 3)(2 4)
(šŸ šŸ‘)
(1 3)
(šŸ šŸ’)
(2 4)
(šŸ šŸ)(šŸ‘ šŸ’) (1 2)(3 4)
(šŸ šŸ‘)(šŸ šŸ’) (1 3)(2 4)
(1)
(1 3)(2 4)
(1 3)(2 4)
(1 4 3 2)
(1)
(1 2 3 4)
(2 4)
(1 3)
(1 4 3 2)
(1 4)(2 3)
(1 2 3 4)
(1 4 3 2)
(1 2 3 4)
(2 4)
(1 4 3 2)
(1 2)(3 4)
(1 4)(2 3)
(1 4 3 2)
(1 3)
(1 2 3 4)
(1 4)(2 3)
(1 2)(3 4)
(1)
(1 4)(2 3)
(1 4)(2 3)
(1 3)(2 4)
(1)
(1 3)(2 4)
(1 2)(3 4)
(šŸ šŸ’)(šŸ šŸ‘) (1 4)(2 3)
(1 2 3 4)
(1 2)(3 4)
(1)
(šŸ šŸ šŸ‘ šŸ’)
(1 2 3 4)
(1 4)(2 3) (1 2)(3 4)
(1 3)
(1 4 3 2)
(2 4)
(šŸ šŸ’ šŸ‘ šŸ)
(1 4 3 2)
(1 2)(3 4) (1 4)(2 3)
(2 4)
(1 2 3 4)
(1 3)
(2 4)
(1 4 3 2)
(1 3)
(1 3)(2 4)
(1)
(1 3)
(1 2 3 4)
(2 4)
(1)
(1 3)(2 4)
Tabel 3.4 Operasi āˆ˜ pada grup permutasi bujur sangkar
Selanjutnya kita temukan semua permutasi pada persegi panjang.
Untuk memudahkan, perhatikan Gambar 3.6.
1
2
4
3
Gambar 3.6 Simetri pada persegi panjang
59
Permutasi pada persegi panjang berjumlah empat buah. Permutasi itu adalah
(1), (1 2)(3 4), (1 3)(2 4) dan (1 4)(2 3). Permutasi (1) dan (1 3)(2 4) tidak
lain simetri putar sementara (1 2)(3 4) dan (1 4)(2 3) simetri lipat. Semua
simetri ini membentuk subgrup š‘†4 .
(šŸ)
āˆ˜
(šŸ šŸ)(šŸ‘ šŸ’)
(šŸ šŸ‘)(šŸ šŸ’)
(šŸ šŸ’)(šŸ šŸ‘)
(šŸ)
(1)
(1 2)(3 4)
(1 3)(2 4)
(1 4)(2 3)
(šŸ šŸ)(šŸ‘ šŸ’) (1 2)(3 4)
(1)
(1 4)(2 3)
(1 3)(2 4)
(šŸ šŸ‘)(šŸ šŸ’) (1 3)(2 4)
(1 4)(2 3)
(1)
(1 2)(3 4)
(šŸ šŸ’)(šŸ šŸ‘) (1 4)(2 3)
(1 3)(2 4)
(1 2)(3 4)
(1)
Tabel 3.5 Operasi āˆ˜ pada grup permutasi persegi panjang
Simetri berikutnya pada belah ketupat. Belah ketupat memiliki empat
buah simetri, dua buah berupa simetri lipat dan sisanya simetri putar. Simetri
lipat pada belah ketupat yaitu permutasi (1 3) dan (2 4). Simetri putarnya
berupa permutasi (1) dan (1 3)(2 4). Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar
3.7.
2
1
3
4
Gambar 3.7 Simetri pada belah ketupat
Himpunan semua simetri pada belah ketupat membentuk grup permutasi.
Grup ini merupakan subgrup š‘†4 . Operasi komposisi pada grup permutasi ini
dapat dilihat pada Tabel 3.6.
āˆ˜
(šŸ)
(šŸ šŸ‘)
(šŸ šŸ’)
(šŸ šŸ‘)(šŸ šŸ’)
(šŸ)
(1)
(1 3)
(2 4)
(1 3)(2 4)
(šŸ šŸ‘)
(1 3)
(1)
(1 3)(2 4)
(2 4)
(šŸ šŸ’)
(2 4)
(1 3)(2 4)
(1)
(1 3)
(šŸ šŸ‘)(šŸ šŸ’) (1 3)(2 4)
(2 4)
(1 3)
(1)
Tabel 3.6 Operasi āˆ˜ pada grup permutasi belah ketupat
60
Simetri berikutnya pada jajar genjang. Jajar genjang tidak memiliki simetri
lipat tetapi masih memiliki dua simetri putar. Simetri ini berupa permutasi (1)
dan (1 3)(2 4). Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 3.8 berikut ini.
1
2
4
3
Gambar 3.8 Simetri pada jajar genjang
Sama halnya segi empat yang dijelaskan sebelumnya, himpunan semua
simetri pada jajar genjang juga membentuk grup permutasi, subgrup š‘†4 .
Operasi komposisi pada grup permutasi ini dapat dilihat pada Tabel 3.7.
āˆ˜
(šŸ)
(šŸ)
(1)
(šŸ šŸ‘)(šŸ šŸ’)
(1 3)(2 4)
(šŸ šŸ‘)(šŸ šŸ’) (1 3)(2 4)
(1)
Tabel 3.7 Operasi āˆ˜ pada grup permutasi jajar genjang
Sekarang kita beralih pada layang-layang. Berbeda halnya dengan jajar
genjang, layang-layang memiliki simetri lipat. Simetri pada layang berupa
permutasi (1) dan (1 3). Semua himpunan tersebut membentuk grup
permutasi, subgrup dari š‘†4 . Untuk lebih jelasnya perhatikan sumbu
pencerminan dan rotasi layang-layang seperti pada Gambar 3.9.
4
3
2
1
Gambar 3.9 Simetri pada layang-layang
Untuk operasi komposisi grup permutasi yang dibentuk oleh layanglayang dapat dilihat pada Tabel 3.8.
61
āˆ˜
(šŸ)
(šŸ šŸ‘)
(šŸ)
(1)
(1 3)
(šŸ šŸ‘) (1 3) (1)
Tabel 3.8 Operasi āˆ˜ pada grup permutasi layang-layang
Akhirnya sampai pada, bangun terakhir, trapesium. Trapesium terbagi
menjadi beberapa jenis. Di antaranya ada trapesium sama kaki, trapesium
siku-siku dan trapesium sembarang. Trapesium siku-siku dan trapesium
sembarang tidak ada yang menarik, mengingat simetri kedua bangun ini hanya
berupa simetri identitas saja. Berbeda halnya dengan kedua trapesium tadi,
trapesium sama kaki memiliki dua buah simetri, seperti tampak pada Gambar
3.10.
Gambar 3.10 Simetri pada trapesium sama kaki
Kedua simetri pada trapesium sama kaki berupa permutasi (1) dan
(1 2)(3 4). Operasi pada grup permutasi yang diberikan oleh trapesium sama
kaki dapat dilihat pada Tabel 3.9.
āˆ˜
(šŸ)
(šŸ)
(1)
(šŸ šŸ)(šŸ‘ šŸ’)
(1 2)(3 4)
(šŸ šŸ)(šŸ‘ šŸ’) (1 2)(3 4)
(1)
Tabel 3.9 Operasi āˆ˜ pada grup permutasi trapesium sama kaki
Latihan 3.3
1.
2.
3.
4.
5.
Tentukan semua permutasi pada segi lima!
Apakah himpunan permutasi itu membentuk grup permutasi!
Ulangi soal No.1 dan 2 untuk elips dan lingkaran!
Apakah grup yang dihasilkan pada No.1, 2 dan 3 semuanya grup hingga?
Buatkan Tabel Cayley untuk operasi komposisi permutasi pada elips!
62
BAB 4
GRUP SIKLIS
Pada subbab orde grup dan anggota grup telah dibahas mengenai
pangkat bulat anggota grup. Misalkan šŗ suatu grup dan š‘Ž ∈ šŗ. Himpunan
semua pangkat bulat unsur š‘Ž, ditulis: ⟨š‘Ž⟩, yaitu:
⟨š‘Ž⟩ = {š‘Žš‘› | š‘› ∈ ā„¤}
adalah subgrup šŗ.
Jelas ⟨š‘Ž⟩ subhimpunan šŗ. Subhimpunan ⟨š‘Ž⟩ tidak hampa karena š‘Ž = š‘Ž1 ∈
⟨š‘Ž⟩. Selanjutnya, ambil š‘„, š‘¦ ∈ ⟨š‘Ž⟩. Akibatnya, š‘„ = š‘Ž š‘›1 untuk suatu š‘›1 ∈ ā„¤ dan š‘¦ =
š‘Žš‘›2 untuk suatu š‘›2 ∈ ā„¤. Mengingat kedua akibat tersebut dan š‘›1 + š‘›2 ∈ ā„¤,
⟨š‘Ž⟩
diperoleh
š‘„š‘¦ = š‘Žš‘›1 š‘Žš‘›2 = š‘Ž (š‘›1 +š‘›2 ) ∈ ⟨š‘Ž⟩.
Subhimpunan
membentuk
substruktur mengingat subhimpunan tersebut tidak hampa dan tertutup
terhadap operasi yang sama pada šŗ. Perhatikan untuk setiap š‘„ = š‘Ž š‘›1 , ada š‘„ −1 =
š‘Ž−š‘›1 yang memenuhi š‘„ −1 š‘„ = š‘„š‘„ −1 = š‘’. Semua alasan tersebut menunjukkan
subhimpunan ⟨š‘Ž⟩ subgrup šŗ.
Contoh 4.1. Pandang grup (š‘†3 ,āˆ˜) yaitu:
š‘†3 = {(1), (1 2), (1 3), (2 3), (1 2 3), (1 3 2)}.
Ambil salah satu unsur di š‘†3 katakanlah (1 2 3). Permutasi (1 2 3)0 =
(1 2 3)3 = (1), (1 2 3)1 = (1 2 3) dan (1 2 3)2 = (1 3 2). Dengan demikian,
didapatkan himpunan
⟨(1 2 3)⟩ = {(1), (1 2 3), (1 3 2)}
yang merupakan subhimpunan š‘†3 dan memiliki tiga buah anggota. Menurut
penjelasan di atas, subhimpunan ⟨(1 2 3)⟩ subgrup š‘†3 . Akibatnya, semua sifat
grup dimiliki oleh subhimpunan ⟨(1 2 3)⟩. Sifat tersebut, yaitu: subhimpunan
⟨(1 2 3)⟩ membentuk struktur, operasi pada subhimpunan ⟨(1 2 3)⟩ bersifat
asosiatif, ada permutasi yang bertindak sebagai identitas, yaitu permutasi (1),
dan setiap permutasi di subhimpunan ⟨(1 2 3)⟩ memiliki invers. Permutasi
(1 2 3)−1 = (1 3 2) dan (1 3 2)−1 = (1 2 3).
Definisi 4.1
Misalkan šŗ suatu grup. Grup šŗ disebut siklis jika šŗ = ⟨š‘Ž⟩ untuk
suatu š‘Ž ∈ šŗ. Unsur š‘Ž disebut pembangun grup šŗ. Jika š» ⊆ šŗ dan
63
š» = ⟨š‘⟩ untuk suatu š‘ ∈ š» maka š» disebut subgrup siklis dari šŗ
(subgrup yang dibangun oleh unsur š‘).
Contoh 4.2. Grup bilangan bulat dengan operasi jumlah merupakan grup siklis
yang dibangun oleh 1 atau −1. Akibatnya, grup bilangan bulat dapat ditulis
menjadi ā„¤ = ⟨1⟩ = ⟨−1⟩. Berikutnya contoh subgrup. Subhimpunan ⟨(1 2 3)⟩
subgrup siklis dari grup š‘†3 .
Sifat 4.1
Setiap grup siklis merupakan grup komutatif.
Bukti. Misalkan šŗ grup siklis. Untuk suatu unsur š‘Ž ∈ šŗ, grup šŗ memenuhi šŗ =
⟨š‘Ž⟩. Sekarang ambil š‘„, š‘¦ ∈ šŗ. Dua unsur ini dapat ditulis menjadi š‘„ = š‘Žš‘›1 dan
š‘¦ = š‘Žš‘›2 untuk suatu š‘›1 , š‘›2 ∈ ā„¤. Penulisan ini mengakibatkan š‘„š‘¦ = š‘Žš‘›1 š‘Žš‘›2 =
š‘Žš‘›1 +š‘›2 = š‘Ž š‘›2 +š‘›1 = š‘Žš‘›2 š‘Žš‘›1 = š‘¦š‘„ sesuai yang ingin dibuktikan.āˆŽ
Algoritme Pembagian
Untuk setiap š‘š dan š‘› dua bilangan bulat dengan š‘› > 0, ada secara
tunggal dua buah bilangan bulat š‘ž dan š‘Ÿ yang memenuhi
š‘š = š‘›š‘ž + š‘Ÿ, 0 ≤ š‘Ÿ < š‘›.
Algoritme ini digunakan dalam pembuktian Sifat 4.2. Sifat mengutarakan
tentang subgrup dari grup siklis yang memiliki orde hingga. Pada sifat ini
subgrup yang dimaksud itu bersifat siklis juga.
Sifat 4.2
Misalkan šŗ suatu grup. Jika grup šŗ siklis berorde hingga dan š» ≤ šŗ,
subgrup š» siklis.
Bukti. Misalkan šŗ = ⟨š‘Ž⟩ = {š‘’, š‘Ž, … , š‘Žš‘›−1 } untuk suatu n ∈ ā„¤+ dan H ≤ šŗ. Jika
š» = {š‘’}, tentu saja š» = ⟨š‘’⟩ siklis. Sekarang jika š» ≠ {š‘’} serta š‘š menyatakan
bilangan bulat terkecil sehingga 1 ≤ š‘š < š‘› dan š‘Žš‘š ∈ š». Kita akan
menunjukkan bahwa š» = ⟨š‘Žš‘š ⟩.
Ambil š‘Ž š‘  ∈ š». Berdasarkan algoritma pembagian, ada bilangan bulat
š‘ž dan š‘Ÿ sehingga š‘  = š‘šš‘ž + š‘Ÿ dengan 0 ≤ š‘Ÿ < š‘š. Perhatikan bahwa š‘Žš‘Ÿ = š‘Ž š‘ −š‘šš‘ž =
š‘Ž š‘  (š‘Žš‘š )−š‘ž karena š‘Ž š‘  = š‘Žš‘šš‘ž+š‘Ÿ . Jadi š‘Žš‘Ÿ ∈ š» karena š‘Ž š‘  ∈ š» dan š‘Žš‘š ∈ š». Untuk itu,
š‘Ÿ = 0 mengingat 0 ≤ š‘Ÿ < š‘š dan š‘š bilangan bulat terkecil yang memenuhi š‘Žš‘š ∈
š». Dengan demikian, š‘Ž š‘  = (š‘Žš‘š )š‘ž ∈ š» mengakibatkan š» = ⟨š‘Žš‘š ⟩ dan subgrup š»
siklis.āˆŽ
Sifat 4.3
Misalkan šŗ grup. Jika untuk setiap š‘Ž ∈ šŗ ada bilangan bulat berbeda
š‘Ÿ dan š‘  sehingga š‘Žš‘Ÿ = š‘Ž š‘  , maka
a. ada bilangan asli terkecil š‘› sehingga berlaku š‘Žš‘› = š‘’.
64
b. jika š‘” suatu bilangan bulat maka š‘Žš‘” = š‘’ jika dan hanya jika š‘›
membagi š‘”.
c. unsur š‘’ = š‘Ž0 , š‘Ž, š‘Ž2 , ..., š‘Žš‘›−1 semuanya berbeda satu sama lain dan
⟨š‘Ž⟩ = {š‘’, š‘Ž, š‘Ž2 , ..., š‘Žš‘›−1 }.
Bukti. š‘Ž. Misalkan šŗ suatu grup. Ambil š‘Ž ∈ šŗ sehingga š‘Žš‘Ÿ = š‘Ž š‘  untuk suatu
š‘Ÿ, š‘  ∈ ā„¤ dengan š‘Ÿ ≠ š‘ . Jika š‘Ÿ > š‘ , pilih š‘› = š‘Ÿ − š‘  > 0 sehingga diperoleh
š‘Žš‘› = š‘Ž(š‘Ÿ−š‘ ) = š‘Žš‘Ÿ š‘Ž−š‘  = š‘Ž0 = š‘’.
Begitu juga untuk sebaliknya, š‘  > š‘Ÿ. Selanjutnya, andaikan ada š‘š
bilangan asli dengan š‘š < š‘› dan memenuhi š‘Žš‘š = š‘’. Mengingat š‘Žš‘› = š‘’ = š‘Žš‘š ,
tentu saja diperoleh š‘› = š‘š. Ini kontradiksi dengan pengandaian tadi. Jadi
haruslah berlaku š‘› ≤ š‘š. Dengan demikian, benar bahwa š‘› bilangan asli
terkecil.
š‘. Misalkan šŗ suatu grup dan š‘› membagi š‘” untuk suatu š‘›, š‘” ∈ ā„¤. Ingat
kembali, š‘› membagi š‘” artinya ada š‘ ∈ ā„¤ sehingga š‘” = š‘š‘›. Ambil š‘Ž ∈ šŗ, akibatnya
diperoleh
š‘Žš‘” = š‘Žš‘ƒš‘› = (š‘Žš‘› )š‘ = š‘’ š‘ = š‘’.
Sekarang kita buktikan arah sebaliknya. Misalkan šŗ suatu grup dan
untuk suatu unsur š‘” ∈ ā„¤ berlaku š‘Žš‘” = š‘’. Akan ditunjukkan bahwa š‘› membagi š‘”.
Ambil š‘” ∈ ā„¤ dengan š‘Žš‘” = š‘’. Berdasarkan algoritma pembagian, ada bilangan
bulat š‘ž dan š‘Ÿ sehingga memenuhi š‘” = š‘›š‘ž + š‘Ÿ dengan 0 ≤ š‘Ÿ < š‘›. Oleh karena itu,
diperoleh bahwa:
š‘Žš‘”
š‘’
š‘Ž0
š‘Ž0
š‘Ž0
=
=
=
=
=
š‘Žš‘›š‘ž+š‘Ÿ
š‘Žš‘›š‘ž š‘Žš‘Ÿ
(š‘Žš‘› )š‘ž š‘Žš‘Ÿ
š‘’ š‘ž š‘Žš‘Ÿ
š‘Žš‘Ÿ
sehingga š‘Ÿ = 0. Jadi š‘” = š‘›š‘ž atau dengan kata lain š‘› membagi š‘”.
c. Ambil š‘Žš‘¢ , š‘Žš‘£ ∈ šŗ dengan š‘¢, š‘£ ∈ ā„¤, 0 ≤ š‘¢ < š‘› dan 0 ≤ š‘£ < š‘› sehingga š‘¢ ≠
š‘£. Akan kita tunjukkan bahwa š‘Žš‘¢ ≠ š‘Žš‘£ . Misalkan š‘¢ ≥ š‘£ sehingga š‘Žš‘¢ = š‘Žš‘£ .
Akibatnya, š‘Žš‘¢−š‘£ = š‘Žš‘¢ š‘Ž−š‘£ = š‘Žš‘£ š‘Ž−š‘£ = š‘’ dengan š‘¢ − š‘£ ≥ 0. Berdasarkan (b), š‘›
membagi š‘¢ − š‘£, artinya ada bilangan š‘ž yang memenuhi š‘¢ − š‘£ = š‘žš‘›. Karena š‘¢ −
š‘£ < š‘›, haruslah š‘ž = 0 dan š‘¢ − š‘£ = 0. Jadi š‘¢ = š‘£. Dengan demikian, jelas bahwa
setiap unsur š‘’ = š‘Ž0 , š‘Ž, š‘Ž2 , ..., š‘Žš‘›−1 semuanya berbeda satu sama lain.
Sekarang kita tunjukkan bahwa ⟨š‘Ž⟩ = {š‘’, š‘Ž, š‘Ž2 , ..., š‘Žš‘›−1 }. Ambil š‘Žš‘š ∈ ⟨š‘Ž⟩.
Berdasarkan algoritma pembagian, ada bilangan bulat š‘ž dan š‘Ÿ sehingga
memenuhi š‘š = š‘›š‘ž + š‘Ÿ dengan 0 ≤ š‘Ÿ < š‘›. Dengan demikian,
š‘Žš‘š = š‘Žš‘›š‘ž+š‘Ÿ = (š‘Žš‘› )š‘ž š‘Žš‘Ÿ = š‘’ š‘ž š‘Žš‘Ÿ = š‘Žš‘Ÿ .
65
Jadi, š‘š = š‘Ÿ < š‘› atau dapat ditulis š‘š = 1, 2, … , š‘› − 1. Oleh karena itu,
⟨š‘Ž⟩ = {š‘’, š‘Ž, š‘Ž2 , ..., š‘Žš‘›−1 }.āˆŽ
Definisi 4.2
Misalkan š‘š dan š‘› dua buah bilangan bulat tak nol. Bilangan asli š‘‘
disebut faktor persekutuan terbesar dari š‘š dan š‘›, ditulis: š‘‘ =
š¹š‘ƒšµ(š‘š, š‘›), jika memenuhi
1. š‘‘ | š‘š dan š‘‘ |š‘› dan
2. jika š‘ bilangan bulat sehingga š‘ | š‘š dan š‘ | š‘›, maka š‘ | š‘‘.
Berikut ini disajikan beberapa sifat yang berkaitan dengan persekutuan
bilangan bulat.
Sifat 4.4
Faktor persekutuan terbesar bilangan bulat tak nol š‘š dan š‘›, yaitu
š¹š‘ƒšµ(š‘š, š‘›), dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari š‘š dan š‘›:
š¹š‘ƒšµ(š‘š, š‘›) = š‘šš‘ž + š‘›š‘Ÿ, untuk suatu š‘ž, š‘Ÿ ∈ ā„¤.
Bukti sifat diperoleh dengan menggunakan Definisi 4.2. Selanjutnya
perhatikan sifat berikut ini.
Sifat 4.5
Jika š‘Ÿ dan š‘  relatif prima serta š‘Ÿ | š‘ š‘š maka š‘Ÿ | š‘š.
Bukti. Bilangan bulat š‘Ÿ dan š‘  relatif prima artinya terdapat bilangan bulat š‘£
dan š‘¤ sehingga 1 = š‘£š‘Ÿ + š‘¤š‘ . Dengan mengalikan bilangan bulat š‘š pada
masing-masing ruas, kita memperoleh hasil berikut ini.
š‘š = š‘£š‘Ÿš‘š + š‘¤š‘ š‘š
Selain itu, mengingat š‘Ÿ | š‘ š‘š, diperoleh š‘Ÿ | š‘£š‘Ÿš‘š dan š‘Ÿ | š‘¤š‘ š‘š. Akibatnya,
mengingat š‘Ÿ membagi ruas kanan, tentu saja š‘Ÿ | š‘š.āˆŽ
Sifat 4.6
Jika unsur š‘Ž anggota suatu grup maka š‘œ(š‘Ž) = |⟨š‘Ž⟩|.
Pada grup (ā„¤6 ,⊕), orde subgrup siklis ⟨2Ģ…⟩ = {0Ģ…, 2Ģ…, 4Ģ…}, yaitu: |⟨2Ģ…⟩| = 3.
Perhatikan Contoh 2.9 untuk melihat cara mendapatkan nilai š‘œ(2Ģ…). Pada
contoh tersebut terlihat š‘œ(2Ģ…) = 3. Akibatnya, š‘œ(2Ģ…) = 3 = |⟨2Ģ…⟩|.
Latihan 4.1
1. Tentukan subgrup siklis dari grup ā„¤5 dan š‘†5 !
2. Tentukan pembangun dari grup ā„¤5 dan š‘†5 !
3. Tunjukkan bahwa jika grup šŗ tidak mempunyai subgrup selain subgrup
identitas, {š‘’}, dan dirinya sendiri, šŗ, maka grup šŗ adalah siklis!
66
4. Apakah setiap grup siklis itu hingga?
5. Apakah orde setiap grup siklis itu hingga?
67
BAB 5
GRUP FAKTOR
Pada bagian ini, kita akan mempelajari cara membentuk grup dari grup
yang ada. Anggota grup bentukan ini berupa koset-koset subgrup dari grup
yang sudah ada tadi. Tidak semua subgrup, himpunan koset-kosetnya dapat
membentuk grup. Subgrup yang himpunan koset-kosetnya membentuk grup
hanya berupa subgrup normal. Grup bentukan ini disebut grup faktor
(kuosien).
5.1 Koset dan subgrup normal
Misalkan šŗ suatu grup dan š» subgrup šŗ. Bentuk relasi ~ pada grup šŗ
dengan ketentuan berikut.
š‘Ž~š‘ jika dan hanya jika š‘Žš‘ −1 ∈ š» untuk setiap š‘Ž, š‘ ∈ šŗ.
Relasi ini tidak lain relasi ekuivalen. Untuk lebih jelasnya, perhatikan bukti
berikut ini.
Ambil š‘Ž ∈ šŗ. Mengingat š» subgrup dari šŗ, diperoleh š‘’š» = š‘’šŗ = š‘’ dan
mengakibatkan š‘Žš‘Ž−1 = š‘’šŗ = š‘’š» = š‘’ ∈ š». Menurut ketentuan di atas, š‘Ž ~ š‘Ž dan
dengan kata lain relasi ~ bersifat refleksif. Kemudian kita ambil š‘ ∈ šŗ sehingga
š‘Ž ~ š‘. Karena š‘Žš‘ −1 ∈ š» dan š» subgrup šŗ, š‘š‘Ž −1 = (š‘ −1 )−1 š‘Ž−1 = (š‘Žš‘ −1 )−1 ∈ š».
Jadi š‘ ~ š‘Ž dan dengan demikian relasi ~ bersifat simetris. Terakhir, kita ambil
unsur š‘ ∈ šŗ sehingga š‘Ž ~ š‘ dan š‘ ~ š‘. Karena š‘Žš‘ −1 ∈ š», š‘š‘ −1 ∈ š» dan š» subgrup
dari šŗ kita mendapatkan š‘Žš‘ −1 = š‘Žš‘’š‘ −1 = š‘Ž(š‘ −1 š‘)š‘ −1 = (š‘Žš‘ −1 )(š‘š‘ −1 ) ∈ š». Jadi
š‘Ž ~ š‘ dan dengan demikian relasi ~ ini bersifat transitif. Terlihat jelas tiga
syarat relasi ekuivalen terpenuhi oleh relasi ~ ini.
Relasi ekuivalen ~ pada šŗ membuat grup šŗ terpartisi menjadi kelaskelas ekuivalen. Misalkan š‘Ž ∈ šŗ, kelas ekuivalen yang memuat š‘Ž berupa
himpunan š‘ŽĢ… = {š‘ ∈ šŗ | š‘ ~ š‘Ž}. Ketika š‘ ~ š‘Ž, kita dapatkan š‘š‘Ž −1 = ā„Ž untuk suatu
ā„Ž ∈ š» karena š‘š‘Ž −1 ∈ š». Dengan kata lain š‘ = š‘š‘’ = š‘(š‘Ž−1 š‘Ž) = (š‘š‘Ž −1 )š‘Ž = ā„Žš‘Ž. Ini
berakibat pada š‘ŽĢ…. Dengan memasukkan hasil tadi, kelas š‘ŽĢ… menjadi seperti
berikut.
š‘ŽĢ…
=
=
=
{š‘ ∈ šŗ | š‘ ~ š‘Ž}
{ā„Žš‘Ž | ā„Ž ∈ š»}
š»š‘Ž
69
Kelas ekuivalen š‘ŽĢ… = š»š‘Ž disebut koset kanan subgrup š» yang memuat
unsur š‘Ž ∈ šŗ. Himpunan semua koset kanan subgrup š» merupakan partisi grup
šŗ. Jadi, koset kanan subgrup š» merupakan kelas ekuivalen milik partisi yang
dihasilkan oleh relasi ekuivalen ~ pada grup šŗ.
Seperti halnya koset kanan, kita pun bisa mendapatkan koset kiri
subgrup š» dengan cara mengganti relasi pada šŗ menjadi
š‘Ž ~ š‘ jika dan hanya jika š‘Ž −1 š‘ ∈ š» untuk setiap š‘Ž, š‘ ∈ šŗ.
Koset kiri ini tidak lain kelas ekuivalen š‘ŽĢ… = š‘Žš». Himpunan koset kiri
sama dengan partisi grup šŗ. Jika grup šŗ bersifat komutatif, tentu saja koset
kiri akan sama dengan koset kanan, ditulis: š‘Žš» = š»š‘Ž.
Berikut ini definisi formal koset kiri dan kanan subgrup suatu grup.
Definisi 5.1
Misalkan šŗ suatu grup, š» subgrup šŗ dan š‘Ž ∈ šŗ. Subhimpunan š‘Žš» =
{š‘Žā„Ž | ā„Ž ∈ š»} disebut sebagai koset kiri š» yang memuat š‘Ž dan
subhimpunan š»š‘Ž = {ā„Žš‘Ž | ā„Ž ∈ š»} disebut sebagai koset kanan š» yang
memuat š‘Ž.
Sebelum kita membahas sifat-sifat koset, mari kita perhatikan contoh koset
berikut ini. Pandang sistem bilangan bulat, ā„¤, sebagai grup dengan operasi
tambah dan š» = ⟨2⟩ subgrup siklis yang dibangun oleh 2. Ambil š‘Ž ∈ ā„¤. Koset
š»š‘Ž = š» + š‘Ž karena operasi pada grup ā„¤ berupa jumlah. Sebelum menentukan
koset, perhatikan dahulu kesamaan berikut ini.
⟨2⟩
=
{2š‘š | š‘š ∈ ā„¤}
= {2
āŸ+ 2 + ā‹Æ + 2 |
=
=
š‘š ∈ ā„¤}
š‘š
{2š‘š | š‘š ∈ ā„¤}
2ā„¤
Jelas terlihat subgrup š» = 2ā„¤. Sekarang baru kita cari semua koset kanan š».
Kita mulai dari š‘Ž = 0.
š»+0 =
=
=
2ā„¤ + 0
{2š‘š + 0 | š‘š ∈ ā„¤}
{ā‹Æ , −4, −2, 0, 2, 4, ā‹Æ }
š»+1 =
=
=
2ā„¤ + 1
{2š‘š + 1 | š‘š ∈ ā„¤}
{ā‹Æ , −3, −1, 1, 3, 5, ā‹Æ }
70
š»+2 =
=
=
=
=
š»+3 =
=
=
=
2ā„¤ + 2
{2š‘š + 2 | š‘š ∈ ā„¤}
{2(š‘š + 1) | š‘š ∈ ā„¤}
{2š‘˜ |š‘˜ = š‘š + 1 ∈ ā„¤}
š»+0
2ā„¤ + 3
{2š‘š + 3 | š‘š ∈ ā„¤}
{ā‹Æ , −3, −1, 1, 3, 5, ā‹Æ }
š»+1
š» + 0 = š» = 2ā„¤ tidak lain himpunan bilangan bulat genap dan š» + 1 =
2ā„¤ + 1 himpunan bilangan bulat ganjil. Subgrup š» hanya memiliki dua buah
koset kanan, yakni: š» dan š» + 1, karena koset-koset kanan lainnya sama
dengan salah satu dari kedua koset kanan ini. Koset kiri š» = 2ā„¤, sama dengan
koset kanan yaitu 0 + š» = š» = 2ā„¤ dan 1 + š» = 1 + 2ā„¤ = 2ā„¤ + 1.
Misalkan grup šŗ = š‘†3 dan subgrup š» = {(1), (1 3)}. Untuk semua anggota
š‘†3 , yaitu: (1), (1 2), (1 3), (2 3), (1 2 3), (1 3 2), kita memperoleh koset kanan š».
š»(1)
š»(1 2)
š»(1 3)
š» (2 3)
š»(1 2 3)
š»(1 3 2)
=
=
=
=
=
=
{(1)(1), (1 3)(1)} = {(1), (1 3)}
{(1)(1 2), (1 3)(1 2)} = {(1 2), (1 2 3)}
{(1)(1 3), (1 3)(1 3)} = {(1 3), (1)}
{(1)(2 3), (1 3)(2 3)} = {(2 3), (1 3 2)}
{(1)(1 2 3), (1 3)(1 2 3)} = {(1 2 3), (1 2)}
{(1)(1 3 2), (1 3)(1 3 2)} = {(1 3 2), (2 3)}
Dari semua koset kanan yang diperoleh ini, ada beberapa yang sama. Berikut
ini daftar koset-koset yang sama tadi.
š»(1) = š»(1 3) = {(1), (1 3)}
š»(1 2) = š»(1 2 3) = {(1 2), (1 2 3)}
š»(2 3) = š»(1 3 2) = {(2 3), (1 3 2)}
Dengan demikian, subgrup š» = {(1), (1 3)} hanya memiliki tiga buah koset
kanan: š»(1), š»(1 2) dan š»(2 3).
Untuk dapat memahami koset dengan lebih baik lagi, kita cermati sifatsifat koset berikut ini.
Sifat 5.1
Misalkan šŗ suatu grup, š» subgrup šŗ dan š‘Ž, š‘ ∈ šŗ. Pernyataan berikut
ekuivalen.
1. š‘Žš‘ −1 ∈ š»
2. š‘Ž = ā„Žš‘ untuk suatu ā„Ž ∈ š»
3. š‘Ž ∈ š»š‘
4. š»š‘Ž = š»š‘
71
Bukti. (1 āŸ¹ 2). Misalkan š» subgrup šŗ dan š‘Žš‘ −1 ∈ š» untuk š‘Ž, š‘ ∈ šŗ. Unsur š‘Ž
dapat ditulis menjadi š‘Ž = š‘Ž(š‘ −1 š‘) = (š‘Žš‘ −1 )š‘ = ā„Žš‘ mengingat š‘Žš‘ −1 = ā„Ž untuk
suatu ā„Ž ∈ š».
(2 āŸ¹ 3). Jika š»š‘ = {ā„Žš‘ | ā„Ž ∈ š»} dan š‘Ž = ā„Žš‘ untuk suatu ā„Ž ∈ š», jelas š‘Ž ∈
š»š‘.
(3 āŸ¹ 4). Jelas š»š‘Ž ⊆ š»š‘ karena untuk setiap š‘„ ∈ š»š‘Ž mengakibatkan š‘„ =
ā„Ž1 š‘Ž = ā„Ž1 (ā„Ž2 š‘) = (ā„Ž1 ā„Ž2 )š‘ = ā„Ž3 š‘ ∈ š»š‘ dengan ā„Ž3 = ā„Ž1 ā„Ž2 ∈ š». begitu juga, š»š‘ ⊆ š»š‘Ž
karena untuk setiap š‘¦ ∈ š»š‘ mengakibatkan
š‘¦ = ā„Ž1 š‘ = ā„Ž1 (ā„Ž2−1 š‘Ž) = (ā„Ž1 ā„Ž2−1 )š‘Ž = ā„Ž3 š‘ ∈ š»š‘
dengan ā„Ž3 = ā„Ž1 ā„Ž2−1 ∈ š».
(4 āŸ¹ 1). Misalkan š»š‘Ž = š»š‘. Karena š‘Ž ∈ š»š‘Ž, tentu saja š‘Ž ∈ š»š‘Ž = š»š‘ dan
mengakibatkan unsur š‘Ž dapat ditulis menjadi š‘Ž = ā„Žš‘ untuk suatu ā„Ž ∈ š»
sehingga š‘Žš‘ −1 = ā„Ž ∈ š» āˆŽ.
Berdasarkan sifat di atas, yaitu: jika š‘ ∈ š»š‘Ž maka š»š‘Ž = š»š‘, setiap koset
kanan dapat ditulis dengan lebih dari satu cara. Begitu juga dengan koset kiri,
dapat dituliskan lebih dari satu cara pula.
Sifat 5.2
Misalkan šŗ suatu grup dan š» subgrup šŗ. Jika orde subgrup š» hingga,
|š»| = |š»š‘Ž| untuk setiap š‘Ž ∈ šŗ.
Bukti. Ambil unsur š‘Ž ∈ šŗ lalu konstruksi pengaitan šœ† sebagai berikut.
šœ†: š»
ā„Ž
āŸ¶
ā†¦
š»š‘Ž
ā„Žš‘Ž
untuk setiap ā„Ž ∈ š».
Jelas šœ† ini suatu pemetaan karena untuk setiap ā„Ž, š‘˜ ∈ š» dengan ā„Ž = š‘˜
mengakibatkan šœ†(ā„Ž) = ā„Žš‘Ž = š‘˜š‘Ž = šœ†(š‘˜).
Ambil ā„Ž, š‘˜ ∈ š» dengan šœ†(ā„Ž) = šœ†(š‘˜). Dengan begitu, kita memperoleh
šœ†(ā„Ž)
ā„Žš‘Ž
(ā„Žš‘Ž)š‘Ž−1
ā„Ž(š‘Žš‘Ž−1 )
ā„Ž
=
=
=
=
=
šœ†(š‘˜)
š‘˜š‘Ž
(š‘˜š‘Ž)š‘Ž−1
š‘˜(š‘Žš‘Ž −1 )
š‘˜
Ini artinya šœ† pemetaan satu-satu.
Terakhir kita ambil š‘¦ ∈ š»š‘Ž. Pengambilan ini mengakibatkan š‘¦ = ā„Žš‘Ž
untuk suatu ā„Ž ∈ š». Pilih š‘„ = ā„Ž ∈ š» sehingga š‘¦ = ā„Žš‘Ž = š‘„š‘Ž = šœ†(š‘„). Karena untuk
setiap š‘¦ ∈ š»š‘Ž terdapat š‘„ ∈ š» sehingga š‘¦ = šœ†(š‘„), tentu saja šœ† suatu pemetaan
pada.
72
Mengingat adanya pemetaan bijektif dari š» ke š»š‘Ž, kita simpulkan bahwa
|š»| = |š»š‘Ž| untuk semua š‘Ž ∈ šŗ, begitu juga untuk koset kiri. āˆŽ
Indeks š» di šŗ, ditulis: |šŗ: š»|, menyatakan banyaknya koset kanan
subgrup š» di grup šŗ. Sifat berikut ini, lebih dikenal dengan nama Teorema
Lagrange, dapat digunakan untuk menghitung banyaknya koset kanan setiap
grup jika orde grup dan subgrup tersebut diketahui. Mari kita simak bersamasama Teorema Lagrange dalam sifat berikut ini.
Sifat 5.3 (Teorema Lagrange)
Misalkan šŗ grup hingga dan š» subgrup šŗ. Orde grup šŗ dan subgrup
š» memenuhi š‘œ(šŗ) = |šŗ: š»| š‘œ(š»).
Bukti. Misalkan š» subgrup dari grup šŗ. Himpunan semua koset kanan š» di šŗ
membentuk partisi grup šŗ dan di dalam partisi ini ada sebanyak |šŗ: š»| buah
koset kanan. Mengingat setiap koset kanan saling lepas dan |š»| = |š»š‘Žš‘– | untuk
semua š‘Žš‘– ∈ šŗ, kita mendapat
š‘œ(šŗ) =
=
|š»š‘Ž1 | + |š»š‘Ž2 | + ā‹Æ + |š»š‘Ž|šŗ:š»| |
|š»| + |š»| + ā‹Æ + |š»|
āŸ
|šŗ:š»| buah
=
=
|šŗ: š»||š»|
|šŗ: š»| š‘œ(š»)
āˆŽ
Sebagai ilustrasi, perhatikan gambar berikut ini.
Gambar 5.1 Koleksi koset kanan di grup šŗ
Misalkan šŗ suatu grup dan š» subgrup šŗ. Pada bagian awal telah
disinggung sedikit mengenai partisi grup šŗ. Seperti diketahui bahwa partisi
grup šŗ tidak lain himpunan semua koset kanan subgrup š» di grup šŗ. Partisi ini
dapat membentuk struktur jika diberikan operasi yang terdefinisi dengan baik.
Untuk mendefinisikan operasi pada partisi ini diperlukan konsep subgrup
normal. Berikut ini definisi subgrup normal.
Definisi 5.2
Misalkan šŗ suatu grup dan š‘ subgrup šŗ. Subgrup š‘ disebut normal
jika š‘š‘” = š‘”š‘ untuk setiap š‘” ∈ šŗ.
Contoh 5.1. Pandang grup bilangan bulat ā„¤ dengan operasi jumlah dan
subgrup 2ā„¤ = {… , −2, 0, 2, … }. Koset kanan 2ā„¤ hanya ada dua buah yaitu 2ā„¤ dan
73
2ā„¤ + 1. Begitu juga koset kiri 2ā„¤ hanya ada dua buah, yaitu 2ā„¤ dan 1 + 2ā„¤.
Perhatikan bahwa 2ā„¤ + 1 = 1 + 2ā„¤. Jadi, subgrup 2ā„¤ normal.
Misalkan šŗ suatu grup. Grup šŗ disebut sederhana jika subgrup
normalnya hanya subgrup {š‘’šŗ } dan grup šŗ itu sendiri. Jelas grup bilangan bulat
ā„¤ dengan operasi jumlah seperti dalam Contoh 5.1 bukan grup sederhana. Di
sisi lain, grup ā„¤2 sederhana untuk operasi jumlah. Selain itu, grup simetri š‘†1
dan š‘†2 juga sederhana seperti penjelasan dalam Contoh 3.5.
Sifat 5.4
Misalkan šŗ suatu grup dan š‘ subgrup šŗ. Subgrup š‘ normal jika dan
hanya jika š‘”š‘›š‘”−1 ∈ š‘ untuk setiap š‘› ∈ š‘ dan š‘” ∈ šŗ.
Bukti. (āŸ¹). Misalkan š‘ subgrup normal, berdasarkan Definisi 5.2, š‘š‘” = š‘”š‘
untuk setiap š‘” ∈ šŗ. Sekarang ambil š‘› ∈ š‘. Pengambilan ini mengakibatkan
š‘”š‘› ∈ š‘”š‘ = š‘š‘”. Ini artinya ada unsur š‘š ∈ š‘ yang memenuhi š‘”š‘› = š‘šš‘” sehingga
diperoleh š‘”š‘›š‘”−1 = (š‘šš‘”)š‘”−1 = š‘š ∈ š‘. Jadi, š‘”š‘›š‘”−1 ∈ š‘ untuk setiap š‘› ∈ š‘ dan
š‘” ∈ šŗ.
(āŸø). Misalkan š‘”š‘›š‘”−1 ∈ š‘ untuk setiap š‘› ∈ š‘ dan š‘” ∈ šŗ. Berdasarkan
Sifat 5.1, š‘”š‘› ∈ š‘š‘”. Ketika semua š‘”š‘› ∈ š‘”š‘ mengakibatkan š‘”š‘› ∈ š‘š‘”, diperoleh
š‘”š‘ ⊆ š‘š‘”.
Perhatikan bahwa š‘”š‘›š‘”−1 ∈ š‘ untuk setiap š‘› ∈ š‘ dan š‘” ∈ šŗ. Artinya,
š‘”š‘›š‘”−1 = š‘š untuk suatu š‘š ∈ š‘. Akibatnya, untuk setiap š‘› ∈ š‘ dan š‘” ∈ šŗ ada
š‘š ∈ š‘ sehingga memenuhi š‘”š‘› = š‘šš‘”.
Sekarang kita ambil š‘„ ∈ š‘š‘”. Akibatnya, untuk suatu š‘š1 , m2 ∈ š‘, š‘„ dapat
ditulis menjadi š‘„ = š‘š1 š‘” = š‘”š‘š2 ∈ š‘”š‘ dan dengan demikian š‘š‘” ⊆ š‘”š‘.
Akibatnya, š‘š‘” = š‘”š‘ untuk setiap š‘” ∈ šŗ.āˆŽ
Pandang grup S3 dan subgrup ⟨(1 2)⟩ = {(1), (1 2)}. Subgrup ini tidak
normal karena ada permutasi (1 2 3) ∈ S3 . Permutasi ini menyebabkan
(1 2 3)(1 2)(1 3 2) = (2 3) ∉ ⟨(1 2)⟩.
Untuk setiap a ∈ G. Unsur gag −1 disebut konjugat a di G. Oleh karena
itu, subgrup N normal di G jika setiap konjugat N juga ada di N.
Latihan 5.1
1. Pandang grup ā„¤š‘ untuk suatu š‘ bilangan prima.
a. Tentukan subgrup normal grup ā„¤š‘ !
b. Apakah grup ā„¤š‘ sederhana?
2. Tentukan koset kiri dan kanan subgrup berikut!
š‘‰ = {(1), (1 2)(3 4), (1 3)(2 4), (1 4)(2 3)}
Apakah ia membentuk subgrup normal š‘†4 ?
74
3. Jika š¾ dan šæ keduanya subgrup normal šŗ, tunjukkan š¾ ∩ šæ juga subgrup
normal šŗ
4. Misalkan š¾ dan š‘ keduanya subgrup šŗ. Tunjukkan pernyataan berikut ini
benar
a. Jika š‘ normal di šŗ, š‘ ∩ š¾ subgrup normal š¾
b. Jika š‘ normal di šŗ, š‘š¾ = {š‘›š‘˜ āˆ£ š‘› ∈ š‘, š‘˜ ∈ š¾} subgrup šŗ.
c. Jika š‘ dan š¾ keduanya normal di šŗ, š‘š¾ subgrup normal.
5. Jika š‘ dan š¾ keduanya normal di šŗ yang memenuhi š¾ ∩ š‘ = ⟨š‘’⟩, tunjukkan
bahwa š‘›š‘˜ = š‘˜š‘› untuk semua š‘› ∈ š‘ dan š‘˜ ∈ š¾.
6. Misalkan šŗ suatu grup yang semua subgrupnya normal. Tunjukkan bahwa
jika š‘Ž, š‘ ∈ šŗ, ada bilangan bulat š‘˜ yang memenuhi š‘Žš‘ = š‘š‘Žš‘˜ .
5.2 Grup faktor
Pandang himpunan semua koset kanan subgrup š» di grup šŗ, ditulis:
šŗ ⁄š» = {š»š‘Ž | š‘Ž ∈ šŗ}. Himpunan ini tentu saja tak hampa karena kita tahu
subgrup š» = š»š‘’ ∈ šŗ ⁄š» . Pada bagian koset dan subgrup normal, himpunan ini
tidak lain partisi grup šŗ. Oleh karena itu, jika š»š‘Ž ∩ š»š‘ ≠ ∅ maka š»š‘Ž = š»š‘.
Sekarang definisikan operasi koset pada himpunan šŗ ⁄š» sebagai berikut.
(š»š‘Ž)(š»š‘) = š»(š‘Žš‘) untuk setiap š»š‘Ž, š»š‘ ∈ šŗ ⁄š» .
Ambil koset š»š‘„, š»š‘¦, š»š‘Ž, š»š‘ ∈ šŗ ⁄š» dengan š»š‘„ = š»š‘Ž dan š»š‘¦ = š»š‘ untuk
suatu š‘„, š‘¦, š‘Ž, š‘ ∈ šŗ. Untuk suatu ā„Ž1 , ā„Ž2 ∈ š», unsur š‘„ dan š‘¦ dapat ditulis menjadi
š‘„ = ā„Ž1 š‘Ž dan š‘¦ = ā„Ž2 š‘.
š‘„š‘¦ = (ā„Ž1 š‘Ž)(ā„Ž2 š‘) = ā„Ž1 (š‘Ž ā„Ž2 )š‘
Agar operasi koset ini terdefinisi dengan baik, subgrup š» haruslah normal
sehingga š‘Žā„Ž2 š‘Ž−1 = ā„Ž3 ∈ š» dan diperoleh hasil
š‘„š‘¦ = (ā„Ž1 š‘Ž)(ā„Ž2 š‘) = ā„Ž1 (š‘Žā„Ž2 )š‘ = ā„Ž1 (ā„Ž3 š‘Ž)š‘ = (ā„Ž1 ā„Ž3 )š‘Žš‘.
Hasil ini menyebabkan š»(š‘„š‘¦) = š»(š‘Žš‘) sehingga diperoleh
š»(š‘„)š»(š‘¦) = š»(š‘„š‘¦) = š»(š‘Žš‘) = š»(š‘Ž)š»(š‘Ž).
Di sisi lain, š»(š‘„)š»(š‘¦) = š»(š‘„š‘¦) ∈ šŗ ⁄š» . Berdasarkan uraian tersebut, operasi
koset ini terdefinisi dengan baik pada himpunan šŗ ⁄š» jika š» subgrup normal di
šŗ. Dengan kata lain, himpunan šŗ ⁄š» membentuk struktur jika subgrup š»
normal.
Misalkan šŗ suatu grup dan š‘ subgrup normal šŗ. Struktur šŗ ⁄š‘ bersifat
asosiatif dikarenakan memenuhi
(š‘š‘Žš‘š‘)š‘š‘ = š‘(š‘Žš‘)š‘š‘ = š‘(š‘Žš‘)š‘ = š‘š‘Ž(š‘š‘) = š‘š‘Žš‘(š‘š‘) = š‘š‘Ž(š‘š‘š‘š‘).
75
Subgrup normal š‘ tidak lain identitas struktur šŗ ⁄š‘ mengingat š‘š‘š‘Ž = š‘š‘Ž dan
š‘š‘Žš‘ = š‘š‘Ž untuk setiap š‘š‘Ž ∈ šŗ ⁄š‘ . Sementara itu, koset š‘š‘Ž −1 ∈ šŗ ⁄š‘ menjadi
invers koset š‘š‘Ž ∈ šŗ ⁄š‘ disebabkan
š‘š‘Ž−1 š‘š‘Ž = š‘(š‘Ž−1 š‘Ž) = š‘ = š‘(š‘Žš‘Ž −1 ) = š‘š‘Žš‘š‘Ž −1
Melihat semua itu, struktur šŗ ⁄š‘ dengan operasi koset tidak lain grup.
Grup semacam ini disebut grup faktor (kuosien).
Definisi 5.3
Misalkan šŗ suatu grup dan š‘ subgrup normal šŗ. Grup faktor dari
grup šŗ oleh š‘, ditulis: šŗ ⁄š‘, adalah himpunan semua koset kanan š‘
di šŗ dengan operasi koset sebagai berikut.
(š‘š‘Ž)(š‘š‘) = š‘(š‘Žš‘) untuk setiap š‘š‘Ž, š‘š‘ ∈ šŗ ⁄š‘
Contoh 5.2. Pandang grup bilangan bulat ā„¤ dengan operasi jumlah dan
subgrup ⟨2⟩ = {2š‘§ | š‘§ ∈ ā„¤} = {2š‘§ | š‘§ ∈ ā„¤} = 2ā„¤. Jelas subgrup 2ā„¤ normal sehingga
kita dapat membentuk grup faktor dari ā„¤ oleh 2ā„¤. Anggota grup ini semua koset
kanan subgrup 2ā„¤, yaitu: koset 2ā„¤ dan 2ā„¤ + 1. Berikut ini operasi pada grup
faktor ā„¤⁄2ā„¤ = {2ā„¤, 2ā„¤ + 1}.
šŸā„¤ + šŸ
šŸā„¤
šŸā„¤
2ā„¤
2ā„¤ + 1
šŸā„¤ + šŸ
2ā„¤ + 1
2ā„¤
Tabel 5.1 Operasi koset pada grup ā„¤⁄2ā„¤
Misalkan šŗ suatu grup dengan orde hingga. banyaknya anggota grup
faktor šŗ ⁄š‘ sejumlah koset kanan š‘ di šŗ yaitu |šŗ: š‘|. Berdasarkan teorema
Lagrange kita ketahui bahwa |šŗ| = |šŗ: š‘||š‘|. Oleh karena itu, |šŗ| = |šŗ ⁄š‘||š‘|
atau dengan kata lain
|šŗ ⁄š‘| = |šŗ|⁄|š‘|
Contoh 5.3. Pandang grup simetri
{(1), (1 2 3), (1 3 2)}. Perhatikan bahwa
š‘(1 2) =
š‘(1 3) =
š‘(2 3) =
š‘†3
dan
subgrup
{(1)(1 2), (1 2 3)(1 2), (1 3 2)(1 2)} =
{(1)(1 3), (1 2 3)(1 3), (1 3 2)(1 3)} =
{(1)(2 3), (1 2 3)(2 3), (1 3 2)(2 3)} =
š‘ = ⟨(1 2 3)⟩ =
{(1 2), (1 3), (2 3)}
{(1 3), (2 3), (1 2)}
{(2 3), (1 2), (1 3)}
Jadi š‘†3 ⁄š‘ = {š‘, š‘(1 2)}, karena š‘(1 2) = š‘(1 3) = š‘(2 3). Perhatikan
bahwa jumlah unsur pada grup š‘†3 ⁄š‘, yaitu |š‘†3 ⁄š‘| = 2. Menurut Lagrange, nilai
6
ini bisa diperoleh dari kesamaan |š‘†3 ⁄š‘| = |š‘†3 |⁄|š‘| = 3 = 2 tanpa harus
mencacah anggota grup S3 .
Subgrup normal š‘ tidak lain unsur identitas grup š‘†3 ⁄š‘ dan invers š‘(1 2)
ialah dirinya sendiri karena š‘(1 2)š‘(1 2) = š‘((1 2)(1 2)) = š‘(1) = š‘. Untuk
76
lebih jelasnya, mari kita perhatikan operasi pada grup š‘†3 ⁄š‘ seperti pada
berikut ini.
š‘µ(šŸ šŸ)
š‘µ
š‘µ
š‘
š‘(1 2)
š‘µ(šŸ šŸ)
š‘(1 2)
š‘
Tabel 5.2 Operasi pada grup š‘†3 ⁄š‘
Latihan 5.2
1. Misalkan šŗ suatu grup dan š‘ subgrup normal šŗ. Tunjukkan pernyataan
berikut ini benar.
a. Jika grup šŗ komutatif maka begitu juga dengan grup šŗ/š‘.
b. Jika grup šŗ/š‘ komutatif maka š‘Žš‘š‘Ž−1 š‘ −1 ∈ š‘ untuk semua š‘Ž, š‘ ∈ šŗ.
2. Apakah setiap subgrup dari grup komutatif itu normal?
3. Misalkan šŗ suatu grup dan š‘(šŗ) = {š‘ ∈ šŗ āˆ£ š‘š‘” = š‘”š‘, ∀š‘” ∈ šŗ}. Tunjukkan
bahwa Jika grup šŗ/š‘(šŗ) siklis maka grup šŗ komutatif!
4. a. Berikan contoh grup non komutatif šŗ sehingga grup šŗ/š‘(šŗ) komutatif!
b. Berikan contoh grup šŗ sehingga grup šŗ/š‘(šŗ) tidak komutatif!
8 14 48
5. a. Cari orde 9 , 5 , 28 anggota grup ā„š/ā„¤ dengan operasi jumlah.
b. Tunjukkan bahwa setiap anggota ā„š/ā„¤ memiliki orde hingga!
77
BAB 6
HOMOMORFISMA GRUP
Pada bagian ini, kita pelajari alat pembanding dua struktur grup, yaitu
homomorfisma grup. Dengan homomorfisma kita dapat mengetahui apa yang
dimiliki oleh dua buah grup yang strukturnya sama. Alat ini sangat penting
dalam mempelajari struktur grup. Khususnya, ketika kita bekerja pada suatu
grup berukuran besar dan rumit. Kita bisa gunakan homomorfisma sehingga
kita memperoleh subgrup berukuran kecil dan sederhana, tetapi masih
memiliki beberapa sifat esensial dari suatu grup besar dan rumit tersebut. Peta
dari homomorfisma serta subgrup berukuran kecil dan sederhana tersebut
memberikan gambaran tentang grup besar dan rumit yang kita kaji.
6.1 Konsep dasar
Homomorfisma grup tidak lain pemetaan yang mengawetkan operasi.
Untuk itu, dua grup yang di antara keduanya dapat dibentuk homomorfisma,
memiliki kesamaan struktur. Secara formal homomorfisma didefinisikan
sebagai berikut.
Definisi 6.1
Misalkan šŗ dan š» dua buah grup. Pemetaan šœ™: šŗ āŸ¶ š» disebut
homomorfisma jika šœ™(š‘”1 š‘”2) = šœ™(š‘”1 ) šœ™(š‘”2 ) untuk setiap š‘”1 , š‘”2 ∈ šŗ.
Perlu diperhatikan ketika membaca tanda š‘”1 š‘”2 . Ketika operasi pada grup šŗ
disebutkan, sesuai kesepakatan penulisan operasi, tanda š‘”1 š‘”2 harus
disesuaikan dengan operasi di grup šŗ. Sementara itu, untuk šœ™(š‘”1 ) šœ™(š‘”2 ) harus
disesuaikan dengan operasi pada grup š».
Contoh 6.1. Pandang pemetaan šœƒ(š‘„) = š‘’ š‘„ dari grup (ā„, +) ke grup (ā„+ , ⋅).
Pemetaan ini tidak lain homomorfisma karena untuk setiap š‘„, š‘¦ ∈ ā„ memenuhi:
(š‘„ + š‘¦) =
=
=
š‘’ (š‘„+š‘¦)
š‘’ š‘„š‘’š‘¦
šœƒ(š‘„)šœƒ(š‘¦)
Pada homomorfisma šœƒ terlihat jelas operasi pada masing-masing grup.
Contoh 6.2. Perhatikan grup bilangan bulat (ā„¤, +) dan grup bilangan bulat
š‘šš‘œš‘‘ š‘› (ā„¤š‘› ,⊕), untuk suatu bilangan bulat š‘›. Misalkan kita definisikan
79
pemetaan šœ†: ā„¤ āŸ¶ ā„¤š‘› dengan šœ†(š‘§) = š‘§Ģ… untuk setiap š‘§ ∈ ā„¤. Pemetaan šœ† seperti ini
tentu saja homomorfisma mengingat untuk setiap š‘¦, š‘§ ∈ ā„¤ memenuhi
šœ†(š‘¦ + š‘§)
=
=
=
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘¦+š‘§
š‘¦Ģ… ⊕ š‘§Ģ…
šœ†(š‘¦) ⊕ šœ†(š‘§)
Contoh 6.3. Semua pemetaan berikut homomorfisma.
1.
2.
3.
4.
1 2 š‘„
š‘„
Pemetaan š‘“ ((š‘¦)) = (3 1) (š‘¦) dari grup (ā„2 , +) ke grup (ā„3 , +).
2 4
Pemetaan š›¼ dari grup (ā„¤, +) ke grup (2ā„¤, +) dengan š›¼(š‘§) = 2š‘§ untuk setiap
š‘§ ∈ ā„¤.
Pemetaan š›½ dari grup (ā„+ , ⋅) ke grup (ā„, +) dengan š›½(š‘„) = š‘™š‘œš‘”10(š‘„), untuk
setiap š‘„ ∈ ā„+ .
Pemetaan š›¾(š‘„) = š‘’š» , pemetaan yang mengaitkan setiap unsur š‘„ ∈ šŗ ke
unsur identitas grup š».
Sifat 6.1
Jika šŗ dan š» dua buah grup serta pemetaan šœ™: šŗ āŸ¶ š» suatu
homomorfisma, pernyataan berikut benar.
a. šœ™(š‘’šŗ ) = š‘’š»
b. šœ™(š‘”−1 ) = šœ™ −1 (š‘”) untuk setiap š‘” ∈ šŗ
c. šœ™(š‘”š‘› ) = šœ™ š‘› (š‘”) untuk setiap š‘” ∈ šŗ, š‘› ∈ ā„¤
d. šœ™(šŗ), peta homomorfik šŗ, subgrup š»
Bukti. (š‘Ž). Misalkan šœ™ homomorfisma dari grup šŗ dengan identitas š‘’šŗ ke grup
H dengan identitas š‘’š» . Dengan menggunakan š‘’šŗ = š‘’šŗ š‘’šŗ dan šœ™(š‘’šŗ ) ∈ š» kita
memperoleh
šœ™(š‘’šŗ ) š‘’š»
=
šœ™(š‘’šŗ )
=
šœ™(š‘’šŗ š‘’šŗ )
= šœ™(š‘’šŗ )šœ™(š‘’šŗ )
Selanjutnya kita gunakan hukum pembatalan kiri sehingga diperoleh
šœ™(š‘’šŗ ) = š‘’š» .
(š‘). Ambil š‘„ ∈ šŗ. Akibatnya ada š‘„ −1 ∈ šŗ sehingga š‘„ −1 š‘„ = š‘’šŗ . Selain itu,
mengingat šœ™(š‘„) ∈ š», tentu saja ada šœ™ −1 (š‘„) ∈ š» sehingga šœ™ −1 (š‘„)šœ™(š‘„) = š‘’š» .
Dengan menggunakan informasi ini semua kita dapatkan
šœ™(š‘’šŗ )
šœ™(š‘„ −1 š‘„)
šœ™(š‘„ −1 )šœ™(š‘„)
šœ™(š‘„ −1 )
=
š‘’š»
−1 (š‘„)šœ™(š‘„)
= šœ™
= šœ™ −1 (š‘„)šœ™(š‘„)
=
šœ™ −1 (š‘„)
80
(š‘). Ambil š‘„ ∈ šŗ, š‘› ∈ ā„¤. Untuk menunjukkan šœ™(š‘„ š‘› ) = šœ™ š‘› (š‘„), kita bagi
menjadi tiga kasus, yaitu š‘› < 0, š‘› = 0 dan š‘› > 0. Untuk kasus š‘› = 0, jelas
karena šœ™(š‘„ 0 ) = šœ™(š‘’šŗ ) = š‘’š» = šœ™ 0 (š‘„).
Selanjutnya, untuk kasus š‘› > 0 kita gunakan induksi matematika.
Untuk š‘› = 1 tidak ada yang perlu kita buktikan. Misalkan untuk š‘› > 1 berlaku
šœ™(š‘„ š‘›−1 ) = šœ™ š‘›−1 (š‘„).
šœ™(š‘„ š‘› ) =
=
=
=
šœ™(š‘„ š‘›−1 š‘„)
šœ™(š‘„ š‘›−1 )šœ™(š‘„)
šœ™ š‘›−1 (š‘„)šœ™(š‘„)
šœ™ š‘› (š‘„)
Terakhir untuk kasus š‘› < 0 atau š‘› = −|š‘›|. Kita memperoleh
šœ™(š‘„ š‘› ) =
šœ™(š‘„ −|š‘›| )
−1
=
šœ™ ((š‘„ |š‘›| ) )
=
šœ™ −1 (š‘„ |š‘›| )
=
[šœ™(š‘„ |š‘›| )]
([šœ™(š‘„)]−1 )|š‘›|
=
=
=
=
−1
(šœ™(š‘„))
−|š‘›|
š‘›
(šœ™(š‘„))
šœ™ š‘› (š‘„)
(š‘‘). Jelas šœ™(šŗ) = {šœ™(š‘„) | š‘„ ∈ šŗ} ⊆ š». Himpunan šœ™(šŗ) ≠ ∅, karena š‘’š» =
šœ™(š‘’šŗ ) ∈ šœ™(šŗ), Ambil š‘„, š‘¦ ∈ šœ™(šŗ), Untuk itu, ada š‘£, š‘¤ ∈ šŗ yang memenuhi š‘„ =
šœ™(š‘£) dan š‘¦ = šœ™(š‘¤). Untuk menunjukkan šœ™(šŗ) subgrup š», kita cukup
menunjukkan
š‘„š‘¦ −1 ∈ šœ™(šŗ).
Perhatikan
bahwa
š‘„š‘¦ −1 = šœ™(š‘£)šœ™ −1 (š‘¤) =
šœ™(š‘£)šœ™(š‘¤ −1 ) = šœ™(š‘£š‘¤ −1 ) ∈ šœ™(šŗ) karena š‘£š‘¤ −1 ∈ šŗ Jadi, terbukti bahwa šœ™(šŗ)
adalah subgrup dari š».āˆŽ
Sebelum kita melanjutkan ke sifat-sifat berikutnya, mari perhatikan
definisi berikut ini.
Definisi 6.2
Misalkan šŗ dan š» semuanya grup serta šœ™: šŗ āŸ¶ š» suatu
homomorfisma. Himpunan semua unsur di šŗ yang dipetakan oleh šœ™
ke identitas š» disebut inti homomorfisma, ditulis: š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™).
š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) = {š‘„ ∈ šŗ | šœ™(š‘„) = š‘’š» }
Contoh 6.4. Pandang šœƒ: ā„ āŸ¶ ā„+ dengan šœƒ(š‘„) = š‘’ š‘„ seperti dalam Contoh 6.1.
Himpunan š¼š‘›š‘”š‘–(šœƒ) = {0}. Hal ini terjadi disebabkan karena š‘„ = š‘™š‘› š‘’ š‘„ = š‘™š‘› šœƒ(š‘„) =
š‘™š‘› 1 = 0.
81
Sifat 6.2
Misalkan šŗ dan š» dua buah grup serta šœ™: šŗ āŸ¶ š» suatu pemetaan.
Jika pemetaan šœ™ homomorfisma maka š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) subgrup šŗ.
Bukti. Berdasarkan Definisi 6.2, jelas š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) ⊆ šŗ. Di sisi lain, menurut Sifat
6.1(a), š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) ≠ ∅. Sekarang ambil š‘„, š‘¦ ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™). Akibatnya, kita memperoleh
šœ™(š‘„) = š‘’š» dan šœ™(š‘¦) = š‘’š» . Perhatikan bahwa
šœ™(š‘„š‘¦ −1 ) = šœ™(š‘„)šœ™(š‘¦ −1)
= šœ™(š‘„)šœ™ −1 (š‘¦)
=
š‘’š» š‘’š»−1
=
š‘’š»
Dengan demikian š‘„š‘¦ −1 ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) dan ini melengkapi bukti kita, yakni
š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) subgrup šŗ.āˆŽ
Sifat 6.3
Misalkan šŗ dan š» dua buah grup serta šœ™: šŗ āŸ¶ š» suatu pemetaan.
Jika pemetaan šœ™ homomorfisma maka š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) subgrup normal šŗ.
Bukti. Berdasarkan Sifat 6.2, subhimpunan š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) subgrup šŗ. Untuk itu,
cukup menunjukkan subgrup š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) normal di šŗ. Sekarang ambil š‘” ∈ šŗ dan
š‘Ž ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™). Perhatikan bahwa
šœ™(š‘”š‘Žš‘”−1 ) = šœ™(š‘”)šœ™(š‘Ž)šœ™(š‘”−1 ) = šœ™(š‘”)š‘’š» šœ™ −1 (š‘”) = š‘’š» .
Mengingat untuk setiap š‘Ž ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) dan š‘” ∈ šŗ mengakibatkan š‘”š‘Žš‘”−1 ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™),
subgrup š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) normal di šŗ. āˆŽ
Latihan 6.1
1. Periksa apakah pemetaan berikut ini suatu homomorfisma!
a. š‘“: ā„‚ āŸ¶ ā„ dengan š‘“(š‘Ž + š‘š‘–) = š‘
b. š‘“: ā„š × ā„¤ āŸ¶ ā„¤ dengan š‘“((š‘„, š‘¦)) = š‘¦
2. Tentukan peta homomorfik dan inti homomorfisma jika pemetaan pada soal
No.1 homomorfisma!
3. Jika š‘˜, š‘›, š‘Ÿ ∈ ā„¤+ demikian sehingga š‘˜|š‘›. Tunjukkan bahwa pemetaan
š‘“: ā„¤š‘› āŸ¶ ā„¤š‘˜ dengan š‘“([š‘Ž]š‘› ) = [š‘Ÿš‘Ž]š‘˜ suatu homomorfisma!
4. Tentukan inti homomorfisma dan peta homomorfik š‘“(ā„¤š‘› )!
5. Misalkan šŗ dan š» dua buah grup hingga serta pemetaan š‘“: šŗ āŸ¶ š» suatu
homomorfisma. Tunjukkan bahwa |š‘“(šŗ)| membagi šŗ dan š».
6.2 Macam-macam homomorfisma beserta sifatnya
Misalkan šŗ dan š» dua buah grup serta šœ™: šŗ āŸ¶ š» suatu homomorfisma.
Homomorfisma šœ™ disebut endomorfisma jika grup šŗ = š». Endomorfisma yang
bersifat bijektif disebut otomorfisma.
82
Berdasarkan sifat pemetaannya, homomorfisma grup terbagi menjadi
tiga bagian yaitu: monomorfisma, epimorfisma dan isomorfisma. Suatu
homomorfisma disebut monomorfisma jika ia bersifat satu-satu (injektif).
Suatu homomorfisma disebut epimorfisma jika ia bersifat pada (surjektif).
Terakhir, homomorfisma disebut isomorfisma jika ia bersifat satu-satu dan
pada (bijektif).
Contoh 6.5. Homomorfisma šœƒ dalam Contoh 6.1 tidak lain monomorfisma.
Homomorfisma šœ† dalam Contoh 6.2 merupakan epimorfisma yang bukan
monomorfisma sementara homomorfisma š›¾ dalam Contoh 6.3(4) merupakan
homomorfisma yang bukan monomorfisma maupun epimorfisma.
Contoh 6.6. Dalam Contoh 6.3(2) telah disebutkan pemetaan š›¼ dari grup
(ā„¤, +) ke grup (2ā„¤, +) dengan š›¼(š‘§) = 2š‘§ untuk setiap š‘§ ∈ ā„¤ suatu homomorfisma.
Sekarang kita tunjukkan š›¼ bijektif. Ambil š‘¦ ∈ 2ā„¤. Untuk suatu š‘§ ∈ ā„¤, kita
memperoleh š‘¦ = 2š‘§ = š›¼(š‘§) dan mengakibatkan š›¼ bersifat surjektif. Sekarang
ambil š‘£, š‘¤ ∈ ā„¤ dengan š›¼(š‘£) = š›¼(š‘¤). Mengingat 2š‘£ = 2š‘¤ tentu saja š‘£ = š‘¤. Jadi
homomorfisma ini bersifat injektif. Mengingat homomorfisma š›¼ bijektif, tentu
saja isomorfisma. āˆŽ
Sifat 6.4
Misalkan šŗ dan š» dua buah grup serta šœ™: šŗ āŸ¶ š» suatu
homomorfisma grup. Homomorfisma šœ™ suatu monomorfisma jika dan
hanya jika š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) = {š‘’šŗ }.
Bukti. (āŸ¹). Misalkan šœ™: šŗ āŸ¶ š» monomorfisma dan š‘’šŗ identitas grup šŗ. Ambil
š‘„ ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™). Unsur ini oleh šœ™ dipetakan ke identitas š‘’š» , ditulis: šœ™(š‘„) = š‘’š» .
Berdasarkan Sifat 6.1, kita memperoleh šœ™(š‘„) = š‘’š» = šœ™(š‘’šŗ ). Selanjutnya dengan
menggunakan sifat šœ™ pemetaan satu-satu, kita mendapatkan š‘„ = š‘’šŗ . Jadi
š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) = {š‘’šŗ }.
(āŸø). Sekarang kita buktikan sebaliknya. Misal šœ™ homomorfisma dan š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) =
{š‘’šŗ }. Akan kita tunjukkan šœ™ monomorfisma. Ambil š‘„, š‘¦ ∈ šŗ dengan šœ™(š‘„) = šœ™(š‘¦).
Perhatikan bahwa
šœ™(š‘„)šœ™ −1 (š‘¦) =
šœ™(š‘„)šœ™(š‘¦ −1 ) =
šœ™(š‘„š‘¦ −1 )
=
šœ™(š‘¦)šœ™ −1 (š‘¦)
š‘’š»
š‘’š»
Karena š‘„š‘¦ −1 ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) = {š‘’šŗ }, itu artinya š‘„š‘¦ −1 = š‘’šŗ . Hal ini
mengakibatkan šœ™ bersifat injektif mengingat š‘¦ = š‘’šŗ š‘¦ = (š‘„š‘¦ −1 )š‘¦ = š‘„(š‘¦ −1 š‘¦) =
š‘„ š‘’šŗ = š‘„. Jadi, homomorfisma šœ™ suatu monomorfisma. āˆŽ
Definisi 6.3
Kedua grup šŗ dan š» disebut isomorfik, ditulis: šŗ ≅ š», jika ada
isomorfisma dari grup šŗ ke grup š».
83
Contoh 6.7. Perhatikan kembali Contoh 6.6. Dalam contoh ini, ā„¤ ≅ 2ā„¤
mengingat ada isomorfisma š›¼: ā„¤ āŸ¶ 2ā„¤.
Contoh 6.8. Pandang grup ā„¤3 = {0Ģ…, 1Ģ…, 2Ģ…} dengan operasi jumlah modulo ⊕ dan
grup ⟨(1 2 3)⟩ = {(1), (1 2 3), (1 3 2)} dengan operasi komposisi āˆ˜ seperti terlihat
pada tabel Cayley berikut.
Ģ… šŸ
Ģ… šŸ
Ģ…
(šŸ)
(šŸ šŸ šŸ‘) (šŸ šŸ‘ šŸ)
⊕ šŸŽ
āˆ˜
Ģ… 0Ģ… 1Ģ… 2Ģ…
(1)
(1)
(1 2 3) (1 3 2)
šŸŽ
Ģ… 1Ģ… 2Ģ… 0Ģ…
(1 2 3) (1 2 3) (1 3 2)
(1)
šŸ
Ģ…
Ģ…
Ģ…
Ģ…
(1 3 2) (1 3 2)
(1)
(1 2 3)
šŸ 2 0 1
Tabel 6.1 Operasi ⊕ pada ā„¤šŸ‘ dan Operasi āˆ˜ pada ⟨(1 2 3)⟩
Perhatikan bahwa ā„¤3 ≅ ⟨(1 2 3)⟩ karena kita bisa mengkonstruksi
pemetaan šœ‚: ā„¤3 āŸ¶ ⟨(1 2 3)⟩ dengan mengaitkan 0Ģ… ā†¦ (1), 1Ģ… ā†¦ (1 2 3) dan 2Ģ… ā†¦
(1 3 2).
0Ģ…
šœ‚
(1)
1Ģ…
(1 2 3)
2Ģ…
(1 3 2)
ā„¤3
⟨(1 2 3)⟩
Gambar 6.1 Isomorfisma šœ‚ dari ā„¤šŸ‘ ke ⟨(1 2 3)⟩
Sebagai gambaran kesamaan struktur di grup ā„¤šŸ‘ dan grup ⟨(1 2 3)⟩.
Peran 0Ģ… di grup ā„¤šŸ‘ sama dengan peran (1) di dalam grup ⟨(1 2 3)⟩, sama-sama
sebagai identitas. Peran 1Ģ… di grup ā„¤šŸ‘ sama dengan peran (1 2 3) di grup
⟨(1 2 3)⟩. Begitu juga dengan peran 2Ģ… di grup ā„¤šŸ‘ tentu saja sama dengan peran
(1 3 2) di grup ⟨(1 2 3)⟩.
Perhatikan unsur (1 2 3) ∈ ⟨(1 2 3)⟩. Yang bersesuaian dengan unsur ini
di grup ā„¤šŸ‘ tidak lain unsur 1Ģ…. Dapat dilihat bersama pada Tabel 6.1, (1 2 3)−1 =
(1 3 2). Unsur (1 3 2) ini ternyata bersesuaian dengan 2Ģ… dan 2Ģ… = (1Ģ…)−1 .
Sifat 6.5
Misalkan šŗ dan š» dua buah grup. Jika šŗ ≅ š» maka pernyataan
berikut benar.
a. |šŗ| = |š»|
b. Jika šŗ memiliki subgrup berorde š‘›, maka š» juga memilikinya
c. Jika š‘œ(š‘Ž) = š‘› maka š‘œ(šœ™(š‘Ž)) = š‘› untuk setiap š‘Ž ∈ šŗ dan šœ™: šŗ āŸ¶ š»
suatu isomorfisma.
84
Bukti. (a). Misalkan šŗ dan š» dua buah grup dengan šŗ ≅ š». Akibatnya,
ada pemetaan isomorfisma šœ™: šŗ āŸ¶ š». Tentu saja pemetaan šœ™ ini bersifat
bijektif. Akhirnya, menurut Definisi 1.10, |šŗ| = |š»| sesuai yang ingin kita
buktikan.
(b). Misalkan šŗ dan š» dua buah grup dengan šŗ ≅ š». Misalkan K subgrup
šŗ dengan |š¾| = š‘› dan pemetaan šœ™: šŗ āŸ¶ š» isomorfisma. Ada dua alasan
penyebab šœ™(š¾) = {šœ™(š‘Ž) āˆ£ š‘Ž ∈ š¾} membentuk subgrup š». Pertama, šœ™(š¾) ≠ ∅.
Tentu ini disebabkan adanya š‘’š» = šœ™(š‘’š¾ ) ∈ šœ™(š¾) mengingat šœ™ suatu
homomorfisma. Kedua, šœ™(š‘Ž)šœ™ −1 (š‘) = šœ™(š‘Žš‘ −1 ) ∈ šœ™(š¾) karena šœ™ homomorfisma
dan š‘Žš‘ −1 ∈ š¾ untuk setiap š‘Ž, š‘ ∈ š¾. Selanjutnya tinggal menunjukkan |šœ™(š¾)| =
š‘›. Batasi domain šœ™ menjadi š¾. Pembatasan ini mengakibatkan šœ™: š¾ āŸ¶ Ļ•(š¾)
masih tetap isomorfisma. Dengan menggunakan hasil (š‘Ž), kita memperoleh
|šœ™(š¾)| = |š¾| = š‘›. Jadi ada šœ™(š¾) subgrup š» berorde š‘›.
(c). Misalkan šŗ dan š» dua buah grup dengan šœ™: šŗ āŸ¶ š» suatu
isomorfisma. Ambil š‘Ž ∈ šŗ sehingga š‘œ(š‘Ž) = š‘› untuk suatu bilangan asli terkecil
š‘›, ditulis: š‘Žš‘› = š‘’šŗ . Pengambilan ini mengakibatkan š‘œ(šœ™(š‘Ž)) ≤ š‘› karena
šœ™ š‘› (š‘Ž) = šœ™(š‘Žš‘› ) = šœ™(š‘’šŗ ) = š‘’š» .
Andaikan š‘œ(šœ™(š‘Ž)) = š‘š < š‘›. Pengandaian ini memberikan š‘’š» = šœ™ š‘š (š‘Ž) =
šœ™(š‘Žš‘š ) dan mengakibatkan šœ™(š‘Žš‘› ) = š‘’š» = šœ™(š‘Žš‘š ). Dengan demikian,
š‘’š»
=
=
=
=
=
−1
šœ™(š‘Žš‘› )(šœ™(š‘Žš‘š ))
šœ™(š‘Žš‘› )šœ™ −1 (š‘Žš‘š )
šœ™(š‘Žš‘› )šœ™((š‘Žš‘š )−1 )
šœ™(š‘Žš‘› )šœ™(š‘Ž−š‘š )
šœ™(š‘Žš‘›−š‘š )
Untuk itu, š‘Žš‘›−š‘š ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ™) sehingga š‘Žš‘›−š‘š = š‘’šŗ karena šœ™ injektif. Hal ini
bertentangan dengan pernyataan š‘œ(š‘Ž) = š‘›. Jadi, haruslah š‘œ(šœ™(š‘Ž)) = š‘›. āˆŽ
Sifat 6.6
Misalkan šŗ dan š» dua buah grup yang isomorfik.
a. Jika šŗ komutatif maka š» komutatif.
b. Jika šŗ siklis maka š» siklis.
Bukti. (a). Misalkan šŗ dan š» dua buah grup yang isomorfik serta grup šŗ
komutatif. Bentuk pemetaan isomorfisma šœ™: šŗ āŸ¶ š». Ambil š‘„, š‘¦ ∈ šŗ dengan š‘„š‘¦ =
š‘¦š‘„. Mengingat pemetaan šœ™ suatu homomorfisma, kita memperoleh
šœ™(š‘„)šœ™(š‘¦) = šœ™(š‘„š‘¦) = šœ™(š‘¦š‘„) = šœ™(š‘¦)šœ™(š‘„)
untuk setiap šœ™(š‘¦), šœ™(š‘„) ∈ š» atau dengan kata lain grup š» komutatif.
(b). Misalkan šŗ dan š» dua buah grup yang isomorfik serta grup šŗ siklis.
Bentuk pemetaan isomorfisma šœ™: šŗ āŸ¶ š». Ambil š‘„ ∈ šŗ sehingga šŗ = ⟨š‘„⟩ =
85
{š‘„ š‘› | š‘› ∈ ā„¤}. Berdasarkan Sifat 6.1, kita memperoleh šœ™ š‘› (š‘„) = šœ™(š‘„ š‘› ) sehingga
diperoleh hasil berikut ini.
šœ™(šŗ) =
=
=
=
šœ™(⟨š‘„⟩)
šœ™({ š‘„ | š‘„ ∈ šŗ, š‘› ∈ ā„¤})
{šœ™(š‘„ š‘› ) | š‘„ ∈ šŗ, š‘› ∈ ā„¤}
{šœ™ š‘› (š‘„) | šœ™(š‘„) ∈ š», š‘› ∈ ā„¤}
š‘›
Sifat pemetaan šœ™ yang surjektif mengakibatkan šœ™(šŗ) = š» dan dengan
demikian š» = šœ™(šŗ) = {šœ™ š‘› (š‘„) | šœ™(š‘„) ∈ š», š‘› ∈ ā„¤} = ⟨šœ™(š‘„)⟩ atau dengan kata lain
grup š» siklis.
Sifat 6.7
Isomorfik suatu relasi ekuivalen.
Bukti. bentuk relasi ≅ pada himpunan koleksi semua grup sebagai berikut.
Untuk setiap grup šŗ dan š»,
šŗ ≅ š» jika dan hanya jika ada isomorfisma šœ™: šŗ āŸ¶ š»
Untuk menunjukkan relasi ≅ ekuivalen, akan kita tunjukkan relasi ini
memenuhi sifat refleksif, simetris dan transitif.
Misalkan šŗ grup. Bentuk pemetaan šœ™: šŗ āŸ¶ šŗ dari grup šŗ terhadap dirinya
sendiri dengan šœ™(š‘„) = š‘„ untuk setiap š‘„ ∈ šŗ. Mudah untuk menunjukkan
pemetaan ini isomorfisma sehingga šŗ ≅ šŗ atau dengan kata lain ≅ bersifat
refleksif.
Misalkan š» grup dan šŗ ≅ š». Untuk itu, ada isomorfisma šœ™: šŗ āŸ¶ š».
Karena šœ™ bijektif, menurut Sifat 1.9, tentu saja ada šœ™ −1 : š» āŸ¶ šŗ yang bijektif.
Ambil š‘˜, š‘™ ∈ š» dengan šœ™ −1 (š‘˜) = š‘„ dan šœ™ −1 (š‘™) = š‘¦. Pengambilan ini
mengakibatkan šœ™(š‘„) = š‘˜ dan šœ™(š‘¦) = š‘™ sehingga kita memperoleh šœ™(š‘„š‘¦) =
šœ™(š‘„)šœ™(š‘¦) = š‘˜š‘™. Mengingat pemetaan bijektif šœ™ −1 memenuhi šœ™ −1 (š‘˜š‘™) = š‘„š‘¦ =
šœ™ −1 (š‘˜)šœ™ −1 (š‘™), tentu saja šœ™ −1 suatu isomorfisma. Ini artinya š» ≅ šŗ. Jadi ≅
bersifat simetris.
Misalkan š¾ grup serta šŗ ≅ š» dan š» ≅ š¾. Pemisalan ini mengakibatkan
adanya šœ™: šŗ āŸ¶ š» dan šœ†: š» āŸ¶ š¾ suatu isomorfisma sehingga šœ† āˆ˜ šœ™: šŗ āŸ¶ š¾
bersifat bijektif berdasarkan Sifat 1.8. Ambil unsur š‘„, š‘¦ ∈ šŗ. Karena šœ™ dan šœ†
suatu homomorfisma, kita memperoleh hasil berikut ini.
(šœ† āˆ˜ šœ™)(š‘„š‘¦) =
=
šœ†(šœ™(š‘„š‘¦))
šœ†(šœ™(š‘„)šœ™(š‘¦))
=
šœ†(šœ™(š‘„))šœ†(šœ™(š‘¦))
= (šœ† āˆ˜ šœ™)(š‘„)(šœ† āˆ˜ šœ™)(š‘¦)
86
Akibatnya komposisi šœ† āˆ˜ šœ™ suatu isomorfisma dan menimbulkan šŗ ≅ š¾.
Dengan kata lain, relasi ≅ bersifat transitif. Uraian semua itu menunjukkan
relasi ≅ ekuivalen. āˆŽ
Sifat 6.8 (Teorema Cayley )
Setiap grup šŗ isomorfik dengan suatu grup permutasi pada šŗ.
Bukti. Pandang pemetaan šœ™: šŗ āŸ¶ š‘†š‘–š‘š(šŗ) dengan šœ™(š‘Ž) = šœ†š‘Ž untuk setiap š‘Ž ∈ šŗ
dan šœ†š‘Ž : šŗ āŸ¶ šŗ dengan šœ†š‘Ž (š‘„) = š‘Žš‘„ untuk setiap š‘„ ∈ šŗ. Subgrup šœ™(šŗ) ⊆ š‘†š‘–š‘š(šŗ)
adalah grup permutasi pada G. Untuk itu kita tinggal menunjukkan bahwa šŗ ≅
šœ™(šŗ).
Ambil sembarang unsur š‘Ž ∈ šŗ dan šœ†š‘Ž : šŗ āŸ¶ šŗ dengan šœ†š‘Ž (š‘„) = š‘Žš‘„ untuk
setiap š‘„ ∈ šŗ. Untuk menunjukkan šœ†š‘Ž ∈ š‘†š‘–š‘š(šŗ), cukup dengan menunjukkan šœ†š‘Ž
pemetaan bijektif. Jelas pemetaan šœ†š‘Ž terdefinisi dengan baik karena untuk
setiap š‘„, š‘¦ ∈ šŗ dengan š‘„ = š‘¦ berlaku šœ†š‘Ž (š‘„) = š‘Žš‘„ = š‘Žš‘¦ = šœ†š‘Ž (š‘¦). Pemetaan šœ†š‘Ž juga
bersifat injektif karena untuk setiap š‘„, š‘¦ ∈ šŗ dengan šœ†š‘Ž (š‘„) = šœ†š‘Ž (š‘¦)
mengakibatkan
š‘„
= (š‘Ž−1 š‘Ž)š‘„
= š‘Ž−1 (š‘Žš‘„)
= š‘Ž−1 šœ†š‘Ž (š‘„)
= š‘Ž −1 šœ†š‘Ž (š‘¦)
= š‘Ž−1 (š‘Žš‘¦)
= (š‘Ž−1 š‘Ž)š‘¦
=
š‘¦
Terakhir, akan kita tunjukkan šœ†š‘Ž pemetaan surjektif. Ambil š‘¦ ∈ šŗ.
Berdasarkan Sifat 2.6, terdapat š‘„ ∈ šŗ sehingga š‘¦ = š‘Žš‘„ = šœ†š‘Ž (š‘„) untuk setiap š‘Ž ∈
šŗ. Jadi šœ†š‘Ž merupakan pemetaan surjektif. Karena šœ†š‘Ž pemetaan bijektif maka
šœ†š‘Ž ∈ š‘†š‘–š‘š(šŗ).
Ambil dua unsur š‘Ž, š‘ ∈ šŗ dengan š‘Ž = š‘. Akibatnya, šœ™(š‘Ž) = šœ™(š‘) karena
untuk setiap unsur š‘„ ∈ šŗ, memenuhi persamaan
šœ™(š‘Ž)(š‘„) = šœ†š‘Ž (š‘„) = š‘Žš‘„ = š‘š‘„ = šœ†š‘ (š‘„) = šœ™(š‘)(š‘„).
Jadi jelas pemetaan šœ™ terdefinisi dengan baik mengingat untuk setiap dua
unsur š‘Ž, š‘ ∈ šŗ dengan š‘Ž = š‘ mengakibatkan šœ™(š‘Ž) = šœ™(š‘).
Selanjutnya kita tunjukkan pemetaan šœ™ suatu homomorfisma. Sekarang
ambil š‘Ž, š‘ ∈ šŗ. Perhatikan bahwa
87
šœ™(š‘Žš‘)(š‘„) =
=
=
=
=
=
=
šœ™(š‘Žš‘)
=
šœ†š‘Žš‘ (š‘„)
(š‘Žš‘)š‘„
š‘Ž(š‘š‘„)
šœ†š‘Ž (š‘š‘„)
šœ†š‘Ž (šœ†š‘ (š‘„))
(šœ†š‘Ž āˆ˜ šœ†š‘ )(š‘„)
(šœ™(š‘Ž) āˆ˜ šœ™(š‘))(š‘„)
šœ™(š‘Ž) āˆ˜ šœ™(š‘)
Mengingat šœ™(š‘Žš‘) = šœ™(š‘Ž) āˆ˜ šœ™(š‘), pemetaan šœ™ suatu homomorfisma.
Terakhir akan ditunjukkan šœ™ pemetaan bijektif. Ambil sembarang unsur
š‘” ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šŗ). Ini artinya šœ™(š‘”) = š‘–šŗ dengan šœ™(š‘”)(š‘„) = š‘–(š‘„) = š‘„ untuk setiap š‘„ ∈ šŗ
dan š‘– ∈ š‘†š‘–š‘š(šŗ) pemetaan identitas di š‘†š‘–š‘š(šŗ). Di sisi lain, šœ™(š‘”)(š‘„) = šœ†š‘” (š‘„) = š‘”š‘„.
Untuk itu, š‘”š‘„ = š‘„ untuk setiap š‘„ ∈ šŗ dan mengakibatkan š‘” = š‘”(š‘„š‘„ −1 ) =
(š‘”š‘„)š‘„ −1 = š‘„š‘„ −1 = š‘’šŗ sehingga diperoleh š¼š‘›š‘”š‘–(šŗ) = {š‘’šŗ }. Dengan demikian,
homomorfisma šœ™ injektif berdasarkan Sifat 6.4. Jadi, šœ™(šŗ) ≅ šŗ karena šœ™(šŗ)
subgrup šŗ.
Pandang grup dengan orde tiga ā„¤3 = {0Ģ…, 1Ģ…, 2Ģ…} dengan operasi ⊕. Menurut
Sifat 6.8, grup ini isomorfik dengan suatu subgrup š‘†3 (grup permutasi pada ā„¤3 ).
Bentuk pemetaan homomorfisma
šœ™:
ā„¤3
š‘ŽĢ…
āŸ¶
ā†¦
š‘†3
šœ†š‘ŽĢ…
Dengan šœ†š‘ŽĢ… (š‘„Ģ… ) = š‘ŽĢ… ⊕ š‘„Ģ… untuk sehingga memenuhi
šœ™(š‘ŽĢ…)(š‘„Ģ… ) =
=
=
šœ†š‘ŽĢ… (š‘„Ģ… )
š‘ŽĢ… ⊕ š‘„Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
š‘Ž+š‘„
untuk setiap š‘„Ģ… ∈ ā„¤3 .
Dengan adanya pemetaan šœ™(š‘ŽĢ…), kita dapatkan semua permutasi anggota
grup permutasi pada ā„¤3 yaitu sebagai berikut.
Untuk š‘ŽĢ… = 0Ģ… kita memperoleh
šœ™(0Ģ…)(0Ģ…) = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
0+0
šœ™(0Ģ…)(1Ģ…) = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
0+1
Ģ…
Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
šœ™(0)(2) = 0 + 2
Ģ… Ģ…
Sehingga permutasi šœ™(0Ģ…) = (0 1
0Ģ… 1Ģ…
= 0Ģ…
= 1Ģ…
= 2Ģ…
2Ģ…)
2Ģ…
Untuk š‘ŽĢ… = 1Ģ… kita memperoleh
šœ™(1Ģ…)(0Ģ…) = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
1+0
šœ™(1Ģ…)(1Ģ…) = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
1+1
šœ™(1Ģ…)(2Ģ…) = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
1+2
88
= 1Ģ…
= 2Ģ…
= 0Ģ…
Ģ… Ģ…
Sehingga permutasi šœ™(1Ģ…) = (0 1
1Ģ… 2Ģ…
2Ģ…)
0Ģ…
Untuk š‘ŽĢ… = 2Ģ… kita memperoleh
šœ™(2Ģ…)(0Ģ…) = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
2+0
šœ™(2Ģ…)(1Ģ…) = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
2+1
šœ™(2Ģ…)(2Ģ…) = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
2+2
Ģ… Ģ…
Sehingga permutasi šœ™(2Ģ…) = (0 1
2Ģ… 0Ģ…
= 2Ģ…
= 0Ģ…
= 1Ģ…
2Ģ…).
1Ģ…
Akhirnya kita memperoleh semua permutasi pada ā„¤3 , yaitu:
Ģ… Ģ… Ģ…
Ģ… Ģ…
šœ™(0Ģ…) = (0 1 2), šœ™(1Ģ…) = (0 1
Ģ…0 1Ģ… 2Ģ…
1Ģ… 2Ģ…
2Ģ…) dan šœ™(2Ģ…) = (0Ģ… 1Ģ…
0Ģ…
2Ģ… 0Ģ…
2Ģ…)
1Ģ…
Namun bila diperhatikan, semua permutasi ini masih belum
menggunakan notasi baku di dalam penulisannya. Untuk itu, kita perlu
menuliskan ulang dengan mengganti tanda 1Ģ… dengan 1, 2Ģ… dengan 2 dan 0Ģ…
dengan 3 sehingga penulisan semua permutasi menjadi baku, yaitu:
1 2
šœ™(0Ģ…) = (
1 2
3
1 2
), šœ™(1Ģ…) = (
3
2 3
3
1 2 3
) dan šœ™(2Ģ…) = (
)
1
3 1 2
dan jika ditulis dalam notasi siklus, permutasi-permutasi ini secara berurutan
menjadi
šœ™(0Ģ…) = (1), šœ™(1Ģ…) = (1 2 3) dan šœ™(2Ģ…) = (1 3 2).
Dengan demikian kita memperoleh
šœ™(ā„¤3 )
{šœ™(š‘ŽĢ…) āˆ£ š‘ŽĢ… ∈ ā„¤3 }
=
{šœ™(0Ģ…), šœ™(1Ģ…), šœ™(2Ģ…)}
=
= {(1), (1 2 3), (1 3 2)}
⟨(1 2 3)⟩
=
Mengingat šœ™: ā„¤3 āŸ¶ šœ™(ā„¤3 ) isomorfisma dan šœ™(ā„¤3 ) = ⟨(1 2 3)⟩ ≤ š‘†3, untuk itu
dapat kita simpulkan bahwa ā„¤3 ≅ šœ™(ā„¤3 ) = ⟨(1 2 3)⟩ ≤ š‘†3 . Dengan kata lain, grup
ā„¤3 isomorfik dengan grup permutasi ⟨(1 2 3)⟩ ≤ š‘†3. Perhatikan kembali Tabel
6.1 dan Gambar 6.1.
Latihan 6.2
1. Carilah subgrup š‘†4 yang isomorf dengan ā„¤4 .
2. Tunjukkan bahwa jika š‘˜|š‘› maka ā„¤š‘› /⟨š‘˜⟩ ≅ ā„¤š‘˜ .
3. Misalkan š‘“: šŗ āŸ¶ š» epimorfisma dengan inti š¾. Tunjukkan ada pemetaan
bijektif dari himpunan semua subgrup š» dan himpunan subgrup šŗ yang
memuat š¾!
89
4. Misalkan šŗ grup komutatif dengan orde š‘›, š‘˜ bilangan asli dan š‘“: šŗ āŸ¶ šŗ
dengan š‘“(š‘Ž) = š‘Žš‘˜ . Tunjukkan bahwa jika faktor persekutuan š‘˜ dan š‘› ialah
1, pemetaan š‘“ suatu isomorfisma.
5. Misalkan šŗ grup siklis
a. Jika šŗ tak hingga, maka grup šŗ isomorf dengan grup jumlah ā„¤.
b. Jika šŗ hingga dengan orde š‘›, maka grup šŗ isomorf dengan grup jumlah
ā„¤š‘› .
6.3 Teorema Dasar Homomorfisma
Misalkan š‘ subgrup normal grup šŗ. Kita bisa kaitkan setiap unsur di šŗ
dengan koset kanan š‘ yang memuat unsur tersebut. relasi ini disebut
homomorfisma alami dan inti relasi ini membentuk subgrup normal. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan sifat berikut ini.
Sifat 6.9
Jika šŗ suatu grup dan š‘ subgrup normal šŗ, maka pemetaan
šœ‚:
šŗ
š‘Ž
āŸ¶
ā†¦
šŗ ⁄š‘
š‘š‘Ž
š‘¢š‘›š‘”š‘¢š‘˜ š‘ š‘’š‘”š‘–š‘Žš‘ š‘Ž ∈ šŗ
suatu epimorfisma dari šŗ ke šŗ ⁄š‘ dengan š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚) = š‘.
Bukti. Jelas šœ‚ suatu pemetaan yang terdefinisi dengan baik karena untuk
setiap š‘Ž, š‘ ∈ šŗ dengan š‘Ž = š‘ mengakibatkan šœ‚(š‘Ž) = š‘š‘Ž = š‘š‘ = šœ‚(š‘). Pemetaan
šœ‚ juga dan bersifat surjektif, karena untuk setiap š‘¦ = š‘š‘Ž ∈ šŗ ⁄š‘ ada unsur š‘Ž ∈
šŗ sehingga š‘¦ = š‘š‘Ž = šœ‚(š‘Ž). Perhatikan bahwa šœ‚(š‘Žš‘) = š‘(š‘Žš‘) = š‘š‘Žš‘š‘ = šœ‚(š‘Ž)šœ‚(š‘)
untuk setiap š‘Ž, š‘ ∈ šŗ. Jadi, pemetaan šœ‚ juga homomorfisma. Dengan demikian,
pemetaan šœ‚ suatu epimorfisma.
Sekarang ambil š‘Ž ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚). Pengambilan ini mengakibatkan šœ‚(š‘Ž) = š‘.
Mengingat š‘š‘Ž = šœ‚(š‘Ž) = š‘, kita memperoleh š‘Ž ∈ š‘. Jadi š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚) ⊆ š‘ karena
untuk setiap š‘Ž ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚) mengakibatkan š‘Ž ∈ š‘. Sebaliknya, jika š‘Ž ∈ š‘, š‘š‘Ž = š‘
dan hal ini mengakibatkan šœ‚(š‘Ž) = š‘š‘Ž = š‘ sehingga kita memperoleh š‘Ž ∈
š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚). Jadi š‘ ⊆ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚) karena untuk setiap š‘Ž ∈ š‘ mengakibatkan š‘Ž ∈ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚).
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚) = š‘, karena š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚) ⊆ š‘
dan š‘ ⊆ š¼š‘›š‘”š‘–(šœ‚).āˆŽ
Contoh 6.9. Bentuk pemetaan šœ‚: š‘†3 āŸ¶ š‘†3 ⁄š‘ dengan subgrup normal š‘ =
⟨(1 2 3)⟩ = {(1), (1 2 3), (1 3 2)} seperti terlihat pada gambar berikut ini.
90
(1)
(1 2)
š‘
(1 3)
(2 3)
(1 2 3)
š‘(1 2)
(1 3 2)
š‘†3
š‘†3 /š‘
Gambar 6.2 Pemetaan šœ‚ dari Grup š‘†3 ke Grup š‘†3 ⁄š‘
Pembentukan grup š‘†3 ⁄š‘ dapat dilihat dalam Contoh 5.3 sementara untuk
tabel operasi koset pada grup ini dapat di lihat dalam Tabel 5.2.
Sifat 6.10 (Teorema Dasar Homomorfisma)
Misalkan šŗ dan š» dua buah grup serta šœƒ: šŗ āŸ¶ š» suatu epimorfisma
dengan š¼š‘›š‘”š‘–(šœƒ) = š¾. Pemetaan
šœ™:
šŗ ⁄š¾
š¾š‘Ž
āŸ¶
š»
šœƒ(š‘Ž)
untuk setiap š¾š‘Ž ∈ šŗ ⁄š¾
suatu isomorfisma dari šŗ ⁄š¾ ke š». Oleh karena itu, šŗ ⁄š¾ ≅ š»
Bukti. Pertama-tama kita cek dahulu apakah šœ™ pemetaan yang terdefinisi
dengan baik. Selanjutnya, jika pemetaan ini terdefinisi dengan baik, baru kita
tunjukkan pemetaan ini isomorfisma.
Ambil š¾š‘Ž, š¾š‘ ∈ šŗ ⁄š¾ dengan š¾š‘Ž = š¾š‘ dan š‘Ž, š‘ ∈ šŗ. Perhatikan bahwa š‘Ž =
š‘˜š‘ untuk suatu š‘˜ ∈ š¾ = š¼š‘›š‘”š‘–(šœƒ). Untuk itu,
šœ™(š¾š‘Ž) =
=
=
=
=
=
šœƒ(š‘Ž)
šœƒ(š‘˜š‘)
šœƒ(š‘˜)šœƒ(š‘)
š‘’š» šœƒ(š‘)
šœƒ(š‘)
šœ™(š¾š‘)
Jadi jelas bahwa pemetaan šœ™ terdefinisi dengan baik.
Untuk menunjukkan pemetaan šœ™ mengawetkan operasi, ambil dua
unsur š¾š‘Ž, š¾š‘ ∈ šŗ ⁄š¾ . Perhatikan bahwa
91
šœ™((š¾š‘Ž)(š¾š‘)) =
=
=
=
šœ™(š¾(š‘Žš‘))
šœƒ(š‘Žš‘)
šœƒ(š‘Ž)šœƒ(š‘)
šœ™(š¾š‘Ž)šœ™(š¾š‘)
Jadi jelas šœ™ homomorfisma atau dengan kata lain šœ™ mengawetkan
operasi.
Ambil unsur š‘¦ ∈ š». Pemetaan šœƒ surjektif mengakibatkan ada unsur š‘Ž ∈
šŗ yang memenuhi š‘¦ = šœƒ(š‘Ž). Perhatikan bahwa šœ™(š¾š‘Ž) = šœƒ(š‘Ž) untuk setiap š¾š‘Ž ∈
šŗ ⁄š¾ . Jadi pemetaan šœ™ juga bersifat surjektif karena untuk setiap š‘¦ ∈ š» ada
š¾š‘Ž ∈ šŗ ⁄š¾ sehingga memenuhi š‘¦ = šœ™(š¾š‘Ž). Terakhir, ambil unsur š¾š‘Ž, š¾š‘ ∈ šŗ ⁄š¾
dengan šœ™(š¾š‘Ž) = šœ™(š¾š‘). Di sisi lain, kita tahu bahwa šœ™(š¾š‘Ž) = šœƒ(š‘Ž) dan šœ™(š¾š‘) =
šœƒ(š‘) sehingga kita memperoleh šœƒ(š‘Ž) = šœƒ(š‘). Perhatikan bahwa unsur š‘Žš‘ −1 ∈ š¾
karena šœƒ(š‘Žš‘ −1 ) = šœƒ(š‘Ž)šœƒ −1 (š‘) = š‘’š» dan š¼š‘›š‘”š‘–(šœƒ) = š¾. Berdasarkan Sifat 5.1(4),
kita memperoleh š¾š‘Ž = š¾š‘ karena š‘Žš‘ −1 ∈ š¾. Jadi terbukti šœ™ satu-satu dan
dengan demikian terbukti ada isomorfisma dari šŗ ⁄š¾ ke š», ditulis: šŗ ⁄š¾ ≅ š». āˆŽ
Misalkan šŗ dan š» dua buah grup. Jika kita membentuk pemetaan
epimorfisma šœƒ: šŗ āŸ¶ š» dengan š¼š‘›š‘”š‘–(šœƒ) = š¾ seperti pada Sifat 6.10, maka akan
ada pemetaan isomorfisma šœ™: šŗ ⁄š¾ āŸ¶ š» sehingga šœ™ āˆ˜ šœ‚ = šœƒ dengan šœ‚: šŗ āŸ¶ šŗ ⁄š¾
suatu epimorfisma alami seperti pada gambar berikut.
Gambar 6.3 Teorema dasar homomorfisma
Contoh 6.10. Pandang grup ā„¤12 dan grup ā„¤2 . Ambil š‘Ž ∈ ā„¤, š‘ŽĢ…12 ∈ ā„¤12 dan š‘ŽĢ…2 ∈ ā„¤2 .
Kemudian definisikan pemetaan šœƒ, yaitu:
šœƒ:
ā„¤12
š‘ŽĢ…12
āŸ¶
ā†¦
ā„¤2
š‘ŽĢ…2
untuk setiap š‘ŽĢ…12 ∈ ā„¤12
Ambil š‘ŽĢ…12 , š‘Ģ…12 ∈ ā„¤12 dengan š‘ŽĢ…12 = š‘Ģ…12. Karena 12 | (š‘Ž − š‘), tentu saja
2 | (š‘Ž − š‘) dan ini mengakibatkan šœƒ(š‘ŽĢ…12 ) = š‘ŽĢ…2 = š‘Ģ…2 = šœƒ(š‘Ģ…12 ). Dengan demikian,
jelas pemetaan šœƒ terdefinisi dengan baik. Sekarang perhatikan kesamaan
berikut ini.
šœƒ(š‘ŽĢ…12 ⊕ š‘Ģ…12 ) =
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
šœƒ ((š‘Ž
+ š‘)12 )
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
(š‘Ž
+ š‘ )2
š‘ŽĢ…2 ⊕ š‘Ģ…2
=
=
=
šœƒ(š‘ŽĢ…12 ) ⊕ šœƒ(š‘Ģ…12 )
92
Jadi šœƒ suatu homomorfisma karena šœƒ(š‘ŽĢ…12 ⊕ š‘Ģ…12 ) = šœƒ(š‘ŽĢ…12 ) ⊕ šœƒ(š‘Ģ…12 )
untuk setiap š‘ŽĢ…12 , š‘Ģ…12 ∈ ā„¤12 . Ambil š‘¦Ģ… ∈ ā„¤2 untuk suatu š‘¦ ∈ ā„¤ pilih š‘¦Ģ… = Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
2š‘˜ + š‘¦ ∈ ā„¤12
dengan 0 ≤ š‘˜ ≤ 5 sehingga š‘¦Ģ…2 = šœƒ(š‘¦Ģ…12 ). Jadi šœƒ bersifat surjektif.
Ģ…Ģ…Ģ…12 } = ⟨2Ģ…12 ⟩
š¼š‘›š‘”š‘–(šœƒ) = {0Ģ…12 , 2Ģ…12 , 4Ģ…12 , 6Ģ…12 , 8Ģ…12 , Ģ…10
Berdasarkan Sifat 6.10, ada isomorfisma šœ™: ā„¤12 ⁄⟨2Ģ…12 ⟩ āŸ¶ ā„¤2 sehingga kita
simpulkan
ā„¤12 ⁄⟨2Ģ…12 ⟩ ≅ ā„¤2
seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
0Ģ… 2Ģ… 4Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…Ģ…
6Ģ… 8Ģ… 10
0Ģ…
1Ģ…
1Ģ… 3Ģ… 5Ģ…
Ģ…Ģ…Ģ…
7Ģ… 9Ģ… Ģ…11
ā„¤12 /⟨2Ģ…⟩
ā„¤2
Gambar 6.4 Isomorfisma šœ™ dari ā„¤12 ⁄⟨2Ģ…⟩ ke ā„¤šŸ
Latihan 6.3
1. Dengan menggunakan teorema dasar homomorfisma, tunjukkan bahwa
a. šŗ ⁄{š‘’} ≅ šŗ untuk suatu grup šŗ dan š‘’ identitas dari šŗ!
b. šŗ ⁄šŗ ≅ {š‘’} untuk suatu grup šŗ dan š‘’ identitas dari šŗ!
c. Jika šŗ adalah grup dan šœƒ adalah suatu homomorfisma dari šŗ maka
šŗ ⁄š¼š‘›š‘”š‘–(šœƒ) ≅ šœƒ(šŗ)!
2. Tunjukkan bahwa jika š‘˜|š‘› maka ā„¤š‘› /⟨š‘˜⟩ ≅ ā„¤š‘˜
3. Tunjukkan bahwa ā„¤12 ≅ ā„¤3 × ā„¤4 .
Catatan: pertimbangkan pemetaan š‘“: ā„¤ āŸ¶ ā„¤3 × ā„¤4 yang diberikan oleh
š‘“(š‘Ž) = ([š‘Ž]3 , [š‘Ž]4 ).
4. Misalkan š¾ dan š‘ subgrup šŗ dengan š‘ normal di šŗ. Tunjukkan pernyataan
berikut ini
a. š‘š¾ = {š‘›š‘˜ āˆ£ š‘› ∈ š‘, š‘˜ ∈ š¾} subgrup yang memuat š‘ dan š¾.
b. Subgrup š‘ normal di š‘š¾.
c. Pemetaan š‘“: š¾ āŸ¶ š‘š¾/š‘ dengan š‘“(š‘˜) = š‘š‘˜ adalah epimorfisma dengan
inti š¾ ∩ š‘.
d. š¾/š¾ ∩ š‘ ≅ š‘š¾/š‘
93
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, A. (2000). Aljabar. Bandung: Penerbit ITB.
Choudhary, P. (2008). Abstract Algebra. Jaipur, India: Oxford Book Company.
Daepp, U., & Gorkin, P. (2011). Reading, Writing and Proving. New York:
Springer.
Durbin, J. R. (2009). Modern Algebra: an Introduction (6 ed.). USA: John Wiley
& Sons, Inc.
Fraleigh, J. B. (t.thn.). A First Course in Abstract Algebra (7 ed.). New York:
Addison Wesley.
Gallian, J. A. (2013). Contemporary Abstract Algebra. Boston: Brooks/Cole.
Gilbert, W. J., & Nicolson, W. K. (2004). Modern Algebra with Application.
Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Goodman, F. (2006). Algebra: Abstract and Concrete. Iowa city: Semisimple
press.
Grillet, P. A. (2007). Abstract Algebra (2 ed.). Newyork: Springer.
Herstein, I. N. (1996). Abstract Algebra (3 ed.). New Jersey: Prentice-Hall.
Hungerford, T. W. (2014). Abstract Algebra: An Introduction (3 ed.). Boston,
USA: Brooks/Cole.
Meijer, A. R. (2016). Algebra for Cryptologists. Switzerland: Springer
International Publishing.
Misri, M. A. (2014). Pengantar Aljabar Abstrak: Grup. Cirebon: Syariah Nurjati
Press.
Muchlis, A., & Astuti, P. (2007). Aljabar 1. Jakarta: Penerbit UT.
Paulsen, W. (2016). Abstract Algebra: An Interactive Approach (2 ed.). USA: CRC
Press.
Ronan, M. (2006). Symmetry and the Monster: One of the greatest quests of
mathematics. New York: Oxford University Press.
95
RIWAYAT
HIDUP PENULIS
Penulis adalah anak kedua dari pasangan Bapak Bocin dan
Ibu Siti Husniah, dilahirkan di Kabupaten Tangerang Banten pada hari Jumat tanggal 30 Oktober 1981.
Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah
pertama di Kabupaten Tangerang. Pada tahun 1998, penulis
melanjutkan pendidikan menengah atas di SMUN 2
Tangerang. Selama menempuh pendidikan menengah,
penulis berkesempatan mendapat beasiswa. Kemudian pada
tahun 2001, penulis diterima di Jurusan Matematika FMIPA Universitas
Jenderal Soedirman dengan beasiswa Damandiri dan memperoleh gelar
sarjana sains pada bulan Agustus tahun 2005.
Tiga tahun kemudian, penulis mendapatkan kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan program magister di Departemen Matematika FMIPA
Institut Teknologi Bandung dengan beasiswa BPPS. Penulis berhasil
menempuh pendidikan tersebut dan memperoleh gelar Magister Sains pada
tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis kembali menerima beasiswa BPPS
untuk mengikuti Program Doktor Matematika Institut Teknologi Bandung dan
memperoleh gelar doktor matematika pada bulan Oktober 2015.
Awal tahun 2011, penulis diterima sebagai Dosen PNS Institut Agama
Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon. Kemudian pada hari Jumat tanggal 6
April 2012, penulis menikah dengan Tria Oktiani. Sekarang, penulis telah
dikaruniai dua orang putri bernama: Siti Zahratul Misri, lahir pada tanggal 15
April 2013 dan Mahira Farihatul Misri, lahir pada tanggal 16 Mei 2014.
Hingga tulisan ini dibuat, penulis berkesempatan untuk melakukan
kunjungan penelitian di Department of Mathematics and Statistic, Sultan
Qaboos University, Al-Khoud, Oman, di bawah bimbingan Prof. Majid Ali.
Program tersebut didanai oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Pengalaman lainnya dalam kegiatan penelitian yaitu pernah menjadi asisten
peneliti dalam Tim Penelitian Hibah Desentralisasi DIKTI 2015 dengan judul
”Karakterisasi Modul Prima dan Modul Dedekind dan Aplikasinya dalam Teori
Koding” yang diketuai Dr. Intan Muchtadi. Selain itu, pernah menjadi asisten
peneliti dalam Tim Penelitian Program Riset dan Inovasi ITB 2014 Batch II
dengan judul ”Karakterisasi Modul P-Bš‘’Ģ zout dan P-valuasi” yang diketuai Dr.
97
Hanni Garminia Y. Kedua pengalaman tersebut diperoleh ketika menjadi
mahasiswa doktor. Setelah menjadi doktor, penulis masih aktif meneliti sebagai
dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Penelitian “Kajian Modul P-Bš‘’Ģ zout dan
Idealisasinya untuk Buku Ajar Mata Kuliah Teori Gelanggang Berbasis Riset”
dengan anggaran DIPA IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dilakukan tahun 2016.
Saat ini penulis masih sedang melakukan penelitian tentang idealisasi modul
P-Bš‘’Ģ zout dengan anggaran dana DIPA IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2017.
Berikut ini adalah beberapa makalah yang sedang dan telah dibuat serta
kegiatan ilmiah yang telah dilakukan peneliti enam tahun terakhir.
Hasil karya penelitian dalam bentuk makalah jurnal
1. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2016): A Note on Bš‘’Ģ zout Modules.
Far East J. Math. Sci, Vol.99, No.11.
2. Misri, M.A (2016): Kajian Modul P-Bš‘’Ģ zout dan Idealisasinya untuk Buku
Ajar Mata Kuliah Teori Gelanggang Berbasis Riset. EduMa, Vol. 5, No.
2.
3. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2013): Generalization of Bš‘’Ģ zout
Modules, Far East J. Math. Sci, Vol.72, No.1.
4. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2012): Cyclic and Multiplication
P-Bš‘’Ģ zout Modules, International Journal of Algebra, Vol. 6, No. 23.
Hasil karya penelitian yang dipresentasikan di konferensi/ seminar
1. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2015): Suatu sifat dari Modul
Bš‘’Ģ zout, Seminar Nasional dan Workshop Aljabar dan Pembelajarannya,
FMIPA UNRAM, Mataram.
2. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2014): Modul Siklik P-Bš‘’Ģ zout,
Seminar Nasional dan Workshop Aljabar dan Pembelajarannya, FMIPA
Unhas, Makassar.
3. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2013): Modul P-Bš‘’Ģ zout 2, Seminar
Nasional dan Workshop Aljabar dan Pembelajarannya, UM, Malang.
4. Irawati, Misri, M.A., and Garminia, H. (2012): P-Bš‘’Ģ zout Modules,
Internasional Conference: Mathematical Science and Applications, Abu
Dhabi University, Abu Dhabi-UEA.
5. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2012): Modul P-Bš‘’Ģ zout, KNM XVI,
Unpad, Jatinangor.
6. Irawati, Misri, M.A., and Garminia, H. (2011): Generalization of Bš‘’Ģ zout
Modules, International Conference in Mathematics and Application (ICMA),
University of Economics and Law (UEL), HCMC-Vietnam.
98
Download