Dr. Muhamad Ali Misri, M.Si. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-0834-40-5 Judul Buku Struktur Grup Penulis Dr. Muhamad Ali Misri, M.Si. Editor Reza Oktiana Akbar, M.Pd. Lay out & Tata Letak Bilqis Print Di Terbitkan oleh: (CV.CONFIDENT) Anggota IKAPI Jabar Jl. Pluto Selatan III. No.51. Margahayu Raya Bandung Jl. Karang Anyar No. 17. Jamblang Cirebon Telp/Fax (0231) 341 253. Hp : 0821 74000 567 Kode Pos 45156 Jawa Barat Email : [email protected] Edisi Desember 2017 Hak Cipta ada pada penulis dan dilindungi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, Pasal 2, Ayat (1) dan Pasal 72 Ayat (1) dan (2) tentang Hak Cipta. Dilarang memperbanyak buku ini, tanpa ijin dari penulis dan penerbit Confident. PRAKATA Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung begitu pesatnya. Penggunaan produk ilmu pengetahuan melahirkan teknologi yang mempermudah hidup manusia modern. Setiap produk pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan tidak lepas dari peran matematika sebagai alat di dalamnya. Matematika sendiri tidak bisa begitu saja dapat dipahami dan digunakan sesuai perkembangan. Ada kajian tersendiri sehingga matematika dapat dipahami dan menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan. Kajian tersebut di antaranya mengenai struktur grup. Kajian ini mendasari teori gelanggang dan modul dalam aljabar. Kondisi ini menuntut kita untuk dapat mempelajari struktur grup agar dapat meningkatkan kemampuan aljabar. Buku ini ditulis untuk memperkenalkan konsep grup berdasarkan pengalaman mengajar penulis pada level sarjana matematika/ pendidikan matematika. Buku ini merupakan edisi revisi dari buku pengantar aljabar abstrak: grup (2014). Pengalaman mengajar dengan melakukan pengamatan langsung pada aktivitas dan kemampuan mahasiswa menghasilkan berbagai materi tambahan dan perbaikan dari edisi sebelumnya. Perubahan nama dilakukan mengingat materi pada buku ini fokus pada struktur grup. Kehadiran buku ini diharapkan dapat membantu mahasiswa pemula dalam mempelajari struktur grup, terutama bagi mahasiswa yang belum mampu belajar dengan menggunakan buku teks berbahasa asing. Buku ini menjelaskan konsep struktur grup secara berjenjang dan sistematis agar mudah dipahami. Penjelasan konsep dimulai dari pendahuluan, konsep dasar grup, kelas khusus pada grup dan kesamaan grup. Semuanya itu disusun menjadi enam pokok bahasan, yaitu: pendahuluan, grup, grup simetri, grup siklis, grup faktor dan homomorfisma grup. Bagian pendahuluan membekali pembaca kemampuan membentuk pernyataan dan membuktikannya serta kemampuan dalam himpunan, partisi dan relasinya. Penguasaan pada bagian ini menjadi syarat untuk mempelajari bagian lainnya. Selanjutnya bagian grup. Pada bagian ini disajikan konsep dasar grup dan subgrup serta beberapa sifat dasar yang harus dikuasai pembaca sehingga memiliki pemahaman dasar grup. Setelah pembaca menguasai bagian grup, pembaca dapat melanjutkan ke bagian grup simetri, grup siklis dan grup faktor untuk memperkaya pengetahuan tentang sifat-sifat grup. Terakhir, bagian homomorfisma. Pada bagian ini, pembaca diperkenalkan alat untuk iii membandingkan struktur grup. Bagian ini menjadi penting karena tidak semua grup berukuran hingga dan tidak semua grup sudah terklasifikasi. Untuk dapat mengetahui struktur grup yang seperti itu diperlukan homomorfisma. Selain itu, pada bagian ini disajikan Teorema Cayley dan teorema dasar homomorfisma. Kedua teorema ini menjadi puncak bahasan dalam buku ini. Dengan Teorema Cayley, kita dapat membandingkan semua struktur dengan struktur grup simetri. Struktur semua grup akan sama dengan struktur suatu subgrup dari grup simetri. Penulis menyadari bahwa dalam buku ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, saran-saran dari semua pihak sangat diperlukan demi sempurnanya buku ini. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga buku ini bisa dinikmati pembaca. Cirebon, Desember 2017 Dr. Muhamad Ali Misri, M. Si iv DAFTAR ISI Prakata ................................................................................................................. iii Daftar Isi ................................................................................................................ v Daftar Tabel ........................................................................................................ vii Daftar Gambar ......................................................................................................ix Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................. 1 1.1 Pernyataan dan bentuknya .............................................................. 1 1.2 Kuantor dan pernyataan berkuantor .............................................. 6 1.3 Teknik dalam pembuktian ............................................................... 7 1.4 Himpunan ....................................................................................... 11 1.5 Relasi himpunan ............................................................................. 15 Bab 2 Grup ......................................................................................................... 29 2.1 Struktur aljabar .............................................................................. 29 2.2 Grup dan sifat dasar grup .............................................................. 35 2.3 Subgrup dan sifatnya ..................................................................... 41 2.4 Orde grup dan anggota grup .......................................................... 44 Bab 3 Grup Simetri ........................................................................................... 47 3.1 Permutasi ........................................................................................ 47 3.2 Grup simetri .................................................................................... 54 3.3 Grup permutasi............................................................................... 56 Bab 4 Grup Siklis............................................................................................... 63 Bab 5 Grup Faktor ............................................................................................. 69 5.1 Koset dan subgrup normal ............................................................. 69 5.2 Grup faktor ..................................................................................... 75 Bab 6 Homomorfisma Grup............................................................................... 79 6.1 Konsep dasar................................................................................... 79 6.2 Macam-macam homomorfisma beserta sifatnya ........................... 82 6.3 Teorema Dasar Homomorfisma ..................................................... 90 Daftar Pustaka..................................................................................................... 95 v Riwayat Hidup Penulis ....................................................................................... 97 vi DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 1.3 Tabel 1.4 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6 Tabel 3.7 Tabel 3.8 Tabel 3.9 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 6.1 Kebenaran bentuk pernyataan ........................................................... 2 Kebenaran (𝒫 → 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ 𝒬) .......................................................... 3 Kebenaran kontrapositif, konvers dan invers 𝒫 → 𝒬 ......................... 4 Kebenaran ¬𝒫 → ¬𝒬 ........................................................................... 5 Operasi ∗ pada himpunan {𝑎, 𝑏, 𝑐} ..................................................... 30 Operasi ⊕ pada himpunan bilangan jam 12-an .............................. 30 Operasi ⊙ pada himpunan bilangan jam 12-an .............................. 32 Operasi ⊕ pada grup ℤ𝟑 .................................................................... 45 Operasi ∘ pada grup simetri 𝑆2 ......................................................... 56 Operasi ∘ pada grup simetri 𝑆3 ......................................................... 56 Operasi ∘ pada grup permutasi segitiga sama kaki ......................... 58 Operasi ∘ pada grup permutasi bujur sangkar ................................ 59 Operasi ∘ pada grup permutasi persegi panjang ............................. 60 Operasi ∘ pada grup permutasi belah ketupat ................................. 60 Operasi ∘ pada grup permutasi jajar genjang .................................. 61 Operasi ∘ pada grup permutasi layang-layang ................................ 62 Operasi ∘ pada grup permutasi trapesium sama kaki ..................... 62 Operasi koset pada grup ℤ/2ℤ .......................................................... 76 Operasi pada grup 𝑆3 /𝑁 .................................................................... 77 Operasi ⊕ pada ℤ𝟑 dan Operasi ∘ pada 〈(1 2 3)〉 .............................. 84 vii DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Himpunan bilangan ...................................................................... 12 Gambar 1.2 Partisi himpunan .......................................................................... 14 Gambar 1.3 Pemetaan 𝛼 dari himpunan 𝑆 ke himpunan 𝑇 ............................. 20 Gambar 1.4 Pemetaan 𝛽 dari himpunan 𝑆 ke himpunan 𝑇 ............................. 21 Gambar 1.5 Relasi bukan pemetaan ................................................................. 21 Gambar 1.6 Peta subhimpunan 𝐴 oleh 𝛼 .......................................................... 22 Gambar 1.7 Pemetaan surjektif dan bukan surjektif ...................................... 23 Gambar 1.8 Pemetaan satu-satu dan bukan satu-satu ................................... 23 Gambar 1.9 Komposisi dua buah pemetaan 𝑓 dan 𝑔 ....................................... 24 Gambar 1.10 Contoh komposisi pemetaan 𝑓 dan 𝑔........................................... 25 Gambar 3.1 Siklus pada permutasi 𝜌 dan 𝜏 ................................................... 52 Gambar 3.2 Simetri pada segitiga sama sisi .................................................... 57 Gambar 3.3 Simetri pada segitiga sama kaki .................................................. 58 Gambar 3.4 Simetri pada segitiga sembarang ................................................. 58 Gambar 3.5 Simetri pada bujur sangkar .......................................................... 59 Gambar 3.6 Simetri pada persegi panjang ....................................................... 59 Gambar 3.7 Simetri pada belah ketupat .......................................................... 60 Gambar 3.8 Simetri pada jajar genjang............................................................ 61 Gambar 3.9 Simetri pada layang-layang .......................................................... 61 Gambar 3.10 Simetri pada trapesium sama kaki ............................................. 62 Gambar 5.1 Koleksi koset kanan di grup 𝐺 ...................................................... 73 Gambar 6.1 Isomorfisma 𝜂 dari ℤ𝟑 ke 〈(1 2 3)〉 ................................................. 84 Gambar 6.2 Pemetaan 𝜂 dari Grup 𝑆3 ke Grup 𝑆3 /𝑁 ....................................... 91 Gambar 6.3 Teorema dasar homomorfisma ..................................................... 92 Gambar 6.4 Isomorfisma 𝜙 dari ℤ12 /〈2̅〉 ke ℤ𝟐 .................................................. 93 ix BAB 1 PENDAHULUAN Argumen terdiri atas bentuk pernyataan yang disebut dengan premis (hipotesis) dan bentuk pernyataan yang disebut konklusi (kesimpulan). Suatu argumen disebut sah (valid) jika konklusinya benar ketika semua premisnya benar. Keabsahan suatu argumen ditentukan oleh nilai kebenaran pernyataanpernyataan pembentuknya. Untuk itu, diperlukan kemampuan dalam membuktikan pernyataan-pernyataan tersebut. Tentu saja, penguasaan bentuk-bentuk pernyataan dan teknik pembuktiannya diperlukan dalam buku ini. Selain itu, penguasaan konsep himpunan juga diperlukan, mengingat objek kajian dalam buku ini berupa himpunan. 1.1 Pernyataan dan bentuknya Pernyataan merupakan suatu kalimat yang benar atau salah, tetapi tidak keduanya. Suatu pernyataan disebut benar jika nilai kebenaran pernyataan tersebut benar. Sebaliknya, suatu pernyataan disebut salah jika nilai kebenaran pernyataan tersebut salah. Pernyataan disebut juga dengan proposisi dan ditandai menggunakan huruf kapital skrip, seperti: 𝒫, 𝒬, atau ℛ. Nilai kebenaran benar ditandai menggunakan huruf kapital 𝑇 sementara nilai kebenaran salah menggunakan huruf kapital 𝐹. Contoh 1.1 Kalimat “dua itu bilangan ganjil” adalah pernyataan salah. Sementara itu, kalimat “di manakah kau temukan itu?” bukan pernyataan. Pernyataan dapat dibentuk dari pernyataan-pernyataan yang ada sebelumnya. Pernyataan hasil bentukan ini disebut bentuk pernyataan. Lima bentuk pernyataan dasar diperoleh dengan cara menegasikan atau merangkai pernyataan menggunakan penghubung logika: ‘dan’, ‘atau’, ‘jika maka’ serta ‘jika dan hanya jika’. Bentuk pernyataan lainnya berasal dari lima bentuk dasar tersebut. Misalkan 𝒫 dan 𝒬 dua buah pernyataan. Bentuk pernyataan “tidak 𝒫”, ditulis: ¬𝒫, disebut negasi 𝒫. Bentuk pernyataan “𝒫 atau 𝒬”, ditulis: 𝒫 ∨ 𝒬, disebut disjungsi. Bentuk pernyataan “𝒫 dan 𝒬” ditulis: 𝒫 ∧ 𝒬, disebut konjungsi. Bentuk pernyataan “Jika 𝒫, maka 𝒬”, dapat ditulis: 𝒫 → 𝒬, disebut implikasi. Terakhir, bentuk pernyataan “𝒫 jika dan hanya jika 𝒬”, dapat ditulis: 𝒫 ↔ 𝒬, disebut biimplikasi. Berikut ini disajikan tabel kebenaran lima bentuk pernyataan dasar tersebut. 1 𝓟 T T F F 𝓠 ¬𝓟 𝓟∨𝓠 𝓟∧𝓠 𝓟→𝓠 T F T T T F F T F F T T T F T F T F F T Tabel 1.1 Kebenaran bentuk pernyataan 𝓟↔𝓠 T F F T Pada implikasi, pernyataan 𝒫 disebut hipotesis, anteseden atau premis sementara pernyataan 𝒬 disebut konklusi. Berikut ini cara menyatakan implikasi. Jika 𝒫, 𝒬; 𝒫 mengakibatkan 𝒬; 𝒫 syarat cukup bagi 𝒬 ( artinya 𝒫 cukup untuk membuat 𝒬 terjadi); 𝒬 jika 𝒫; 𝒬 syarat perlu bagi 𝒫 ( artinya jika 𝒫 terjadi, maka 𝒬 harus terjadi); 𝒬 bilamana 𝒫. Contoh 1.2 Perhatikan bentuk-bentuk pernyataan berikut ini. Saya lapar; Saya makan; Saya tidak lapar; Saya tidak makan; Saya lapar tetapi tidak makan; Saya makan atau saya lapar; Jika saya lapar, saya makan; Saya lapar jika dan hanya jika saya tidak makan. Nilai kebenaran semua bentuk pernyataan di atas dapat ditentukan dengan menggunakan Tabel 1.1. Contoh 1.3 Perhatikan bentuk pernyataan “Jika kamu telah membereskan kamarmu, maka kamu boleh pergi ke rumah temanmu.”!. Ketika bentuk pernyataan ini diucapkan kepada anak kita, kapan ia merasakan bahwa kita berbohong? Pada contoh, antesedennya “kamu telah membereskan kamarmu” dan konklusinya “kamu boleh pergi ke rumah temanmu.”. Ketika anak kita telah membereskan kamarnya dan kita membolehkannya pergi ke rumah temannya, tentu saja ia akan senang karena kita tidak berbohong. Implikasi tersebut menjadi benar. Jadi, ketika antesedennya benar dan konklusinya juga benar, pernyataan secara keseluruhan menjadi benar. 2 Ketika kita membolehkan anak kita pergi ke rumah temannya meskipun ia belum membereskan kamarnya, kita tidak berbohong. Jadi, pernyataan secara keseluruhan tetap benar meskipun antesedennya salah. Ketika kita tidak membolehkan anak kita pergi ke rumah temannya karena ia belum membereskan kamarnya, kita juga tidak berbohong. Implikasi tersebut menjadi benar. Jadi, ketika antesedennya salah dan konklusinya juga salah, pernyataan secara keseluruhan menjadi benar. Ketika anak kita telah membereskan kamarnya tetapi kita tidak membolehkannya pergi ke rumah temannya, kita berbohong. Jadi, ketika antesedennya benar tetapi konklusinya salah, implikasinya menjadi salah. Suatu bentuk pernyataan disebut tautologi jika nilai kebenaran bentuk pernyataan tersebut pada tabel kebenaran semuanya “T”. Sebaliknya, suatu bentuk pernyataan disebut kontradiksi jika nilai kebenaran bentuk pernyataan tersebut pada tabel kebenaran semuanya “F”. Dua bentuk pernyataan 𝒫 dan 𝒬 disebut ekuivalen (secara logis), ditulis: 𝒫 ⇔ 𝒬, jika 𝒫 ↔ 𝒬 adalah tautologi. Perlu diperhatikan bahwa tanda ⇔ bukan penghubung logika dan dengan demikian, 𝒫 ⇔ 𝒬 bukan bentuk pernyataan. Ia hanya bermakna bahwa 𝒫 ↔ 𝒬 adalah tautologi. Contoh 1.4 Pandang bentuk pernyataan 𝒫 → 𝒬 dan bentuk pernyataan ¬𝒫 ∨ 𝒬. Dua bentuk pernyataan tersebut ekuivalen, ditulis: (𝒫 → 𝒬) ⇔ (¬𝒫 ∨ 𝒬), mengingat bentuk pernyataan (𝒫 → 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ 𝒬) suatu tautologi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Tabel 1.2. 𝓟 T T F F 𝓠 ¬𝓟 ¬𝓟 ∨ 𝓠 𝓟 → 𝓠 (𝓟 → 𝓠) ↔ (¬𝓟 ∨ 𝓠) T F T T T F F F F T T T T T T F T T T T Tabel 1.2 Kebenaran (𝒫 → 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ 𝒬) Kolom terakhir pada Tabel 1.2 memperlihatkan bahwa bentuk pernyataan (𝒫 → 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ 𝒬) suatu tautologi. Sifat 1.1 Dua bentuk pernyataan 𝒫 dan 𝒬 ekuivalen jika dan hanya jika kedua bentuk pernyataan tersebut memiliki nilai kebenaran yang sama. Contoh 1.5 Perhatikan Tabel 1.2. Nilai kebenaran ¬𝒫 ∨ 𝒬 pada kolom 4 sama dengan nilai kebenaran 𝒫 → 𝒬 pada kolom 5. Untuk itu, kedua bentuk pernyataan tersebut ekuivalen. 3 Sifat 1.2 Misalkan 𝒫 dan 𝒬 dua buah pernyataan. Berikut ini tautologi. 1. ¬(𝒫 ∨ 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∧ ¬𝒬); 2. ¬(𝒫 ∧ 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ ¬𝒬); 3. (𝒫 → 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ 𝒬); 4. ¬(𝒫 → 𝒬) ↔ (𝒫 ∧ ¬𝒬); 5. ¬(¬𝒫) ↔ 𝒫. Sifat 1.2 dapat ditunjukkan dengan tabel kebenaran. Silakan coba buktikan sebagai bagian latihan. Selanjutnya perhatikan sifat berikut. Sifat 1.3 Misalkan 𝒫, 𝒬 dan ℛ tiga buah pernyataan. Berikut ini tautologi. 1. Sifat 𝑑𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑡𝑖𝑓 a. (𝒫 ∧ (𝒬 ∨ ℛ)) ↔ ((𝒫 ∧ 𝒬) ∨ (𝒫 ∧ ℛ)); b. (𝒫 ∨ (𝒬 ∧ ℛ)) ↔ ((𝒫 ∨ 𝒬) ∧ (𝒫 ∨ ℛ)) 2. Sifat 𝑎𝑠𝑜𝑠𝑖𝑎𝑡𝑖𝑓 a. (𝒫 ∨ (𝒬 ∨ ℛ)) ↔ ((𝒫 ∨ 𝒬) ∨ ℛ); b. (𝒫 ∧ (𝒬 ∧ ℛ)) ↔ ((𝒫 ∧ 𝒬) ∧ ℛ) 3. Sifat 𝑘𝑜𝑚𝑢𝑡𝑎𝑡𝑖𝑓 a. (𝒫 ∨ 𝒬) ↔ (𝒬 ∨ 𝒫); b. (𝒫 ∧ 𝒬) ↔ (𝒬 ∧ 𝒫). Dengan mengacu pada Sifat 1.2, diperoleh ¬(𝒫 ∨ 𝒬) ⇔ (¬𝒫 ∧ ¬𝒬), ¬(𝒫 ∧ 𝒬) ⇔ (¬𝒫 ∨ ¬𝒬), (𝒫 → 𝒬) ⇔ (¬𝒫 ∨ 𝒬), ¬(𝒫 → 𝒬) ⇔ (𝒫 ∧ ¬𝒬) dan ¬(¬𝒫) ⇔ 𝒫. Sementara itu, dari Sifat 1.3 diperoleh, (𝒫 ∧ (𝒬 ∨ ℛ)) ⇔ ((𝒫 ∧ 𝒬) ∨ (𝒫 ∧ ℛ)), (𝒫 ∨ (𝒬 ∧ ℛ)) ⇔ ((𝒫 ∨ 𝒬) ∧ (𝒫 ∨ ℛ)), (𝒫 ∨ (𝒬 ∨ ℛ)) ⇔ ((𝒫 ∨ 𝒬) ∨ ℛ), (𝒫 ∧ (𝒬 ∧ ℛ)) ⇔ ((𝒫 ∧ 𝒬) ∧ ℛ), (𝒫 ∨ 𝒬) ⇔ (𝒬 ∨ 𝒫) dan (𝒫 ∧ 𝒬) ⇔ (𝒬 ∧ 𝒫). Misalkan 𝒫 dan 𝒬 dua pernyataan. Bentuk pernyataan ¬𝒬 → ¬𝒫 disebut kontrapositif implikasi 𝒫 → 𝒬. Bentuk pernyataan 𝒬 → 𝒫 disebut konvers implikasi 𝒫 → 𝒬. Sementara itu, bentuk pernyataan ¬𝒫 → ¬𝒬 disebut invers implikasi 𝒫 → 𝒬. Jelas implikasi dan kontrapositifnya ekuivalen, implikasi dan konversnya tidak ekuivalen, sementara implikasi dan inversnya juga tidak ekuivalen. Silakan perhatikan tabel kebenaran berikut. 𝓟 T T F F Tabel 1.3 𝓠 𝓟→𝓠 ¬𝓟 → ¬𝓠 ¬𝓠 → ¬𝓟 𝓠→𝓟 T T T T T F F T F T T T F T F F T T T T Kebenaran kontrapositif, konvers dan invers 𝒫 → 𝒬 Contoh 1.6 Implikasi 𝒫 → 𝒬 dapat dibentuk menggunakan sembarang pernyataan 𝒫 dan 𝒬 tanpa harus saling berkait satu sama lain. Misalnya, “jika 4 2 + 3 = 5, saya akan berlibur ke Bali”. Implikasi tersebut tidak pernah ditemukan dalam bahasa. Contoh 1.7 Perhatikan kalimat “jika saya selesai mengerjakan tugas lebih awal, saya akan menjemputmu sebelum makan siang”. Kalimat tersebut berbentuk implikasi 𝒫 → 𝒬 dengan 𝒫 “saya selesai mengerjakan tugas lebih awal” dan 𝒬 “saya akan menjemputmu sebelum makan siang.” Interpretasi umum yang menyatakan bahwa bentuk ¬𝒫 → ¬𝒬: “jika saya belum selesai mengerjakan tugas lebih awal, saya tidak akan menjemputmu sebelum makan siang” adalah benar, bukan disebabkan oleh implikasi 𝒫 → 𝒬. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Tabel 1.4. Pada tabel ini terlihat bahwa ¬𝒫 → ¬𝒬 ⇎ 𝒫 → 𝒬. Bahasa memang tidak setepat logika. 𝓟 T T F F 𝓠 T F T F ¬𝓟 ¬𝓠 𝓟→𝓠 F F T F T F T F T T T T Tabel 1.4 Kebenaran ¬𝒫 → ¬𝒬 ¬𝓟 → ¬𝓠 T T F T Latihan 1.1 1. Apakah kalimat berikut proposisi? a. Jumlah dua bilangan prima adalah genap. b. 3 + 4 = 7. c. 𝑥 + 𝑦 ≤ 10. d. Apakah sedang hujan? e. Ayo kemari! f. 𝑛 bilangan prima. g. Roti terbuat dari singkong. 2. Negasikan bentuk pernyataan berikut! a. Jika saya muslim, saya salat lima waktu. b. Jika suatu bilangan tidak terbagi oleh dua, bilangan tersebut bukan genap. c. Hidup sebagai muslim atau mati syahid. d. Saya seorang mahasiswa sementara ia bukan. e. Saya muslim jika dan hanya jika saya melaksanakan rukun iman dan rukun Islam. 3. Carilah kontrapositif, konvers dan invers dari implikasi berikut. a. Jika saya muslim, saya salat lima waktu. b. Jika suatu bilangan tidak terbagi oleh dua, bilangan tersebut bukan genap. 4. Pandang implikasi 𝒫 → 𝒬. a. Tulis negasi dari konvers implikasi tersebut dalam bentuk yang sesederhana mungkin! 5 b. Tulis negasi dari kontrapositif implikasi tersebut dalam bentuk yang sesederhana mungkin! c. Tulis negasi dari invers implikasi tersebut dalam bentuk yang sesederhana mungkin! 5. Lengkapi implikasi berikut ini jika memang diperlukan sehingga nilai kebenarannya dapat ditentukan! Selanjutnya tentukan nilai kebenarannya menggunakan tabel kebenaran. a. Jika 𝑥 ≥ 2 maka 𝑥 2 ≥ 4. b. Jika 𝑥 2 ≥ 4 maka 𝑥 ≥ 2. c. Jika 𝑥 2 ≤ 4 maka 𝑥 ≤ 2. d. Jika (𝑥 + 𝑥)(𝑥 − 𝑥) = 𝑥(𝑥 − 𝑥) maka 𝑥 = 0.4. 1.2 Kuantor dan pernyataan berkuantor Dalam kajian matematika, untuk menentukan benar salahnya suatu pernyataan, perlu mengetahui terlebih dahulu apakah objek yang sedang dibicarakan tersebut sembarang (bersifat umum) atau tertentu (khusus). Ungkapan “untuk setiap”, “untuk semua”, “untuk suatu”, “ada” dan “terdapat” disebut kuantor. Khususnya, ungkapan “untuk setiap” dan “untuk semua” disebut kuantor umum (universal), ditulis: ∀ sementara ungkapan “untuk suatu”, “ada” dan “terdapat” disebut kuantor khusus, ditulis: ∃. Keberadaan kuantor membuat setiap pernyataan menjadi jelas. Misalkan 𝑥 objek yang sedang dibicarakan dan 𝒫 suatu pernyataan yang memuat 𝑥. Pernyataan 𝒫 ditulis 𝒫(𝑥). Dengan memberikan kuantor umum, pernyataan 𝒫(𝑥) berubah menjadi: “∀𝑥, 𝒫(𝑥)” dibaca: “untuk setiap 𝑥, 𝑥 memiliki sifat 𝒫” atau “untuk setiap 𝑥, berlaku 𝒫(𝑥)”. Jika pernyataan 𝒫(𝑥) diberikan kuantor khusus, maka diperoleh pernyataan: “∃𝑥, 𝒫(𝑥)” dibaca: “untuk suatu 𝑥, 𝑥 memiliki sifat 𝒫” atau “untuk suatu 𝑥, berlaku 𝒫(𝑥)”. Negasi dari pernyataan “∀𝑥, 𝒫(𝑥)” adalah “∃𝑥, ¬𝒫(𝑥)” sementara negasi pernyataan: “∃𝑥, 𝒫(𝑥)” adalah “∀𝑥, ¬𝒫(𝑥)”. Contoh 1.8 Pandang pernyataan “setiap jeruk rasanya asam”. Bagaimana dengan negasi pernyataan ini? Pernyataan “tidak setiap jeruk rasanya asam” merupakan negasinya, tetapi kurang bermanfaat. Lebih baik dengan menyatakan “beberapa jeruk tidak asam” sebagai negasinya, karena lebih bermanfaat. Selanjutnya pandang pernyataan “Ada burung berwarna merah”. Negasi pernyataan tersebut adalah “tidak ada burung berwarna merah”. Contoh 1.9 Pandang kalimat “Mahasiswa yang berprestasi pantang menyontek”. Misalkan 𝑥 menyatakan mahasiswa, 𝒫(𝑥) menyatakan 𝑥 berprestasi dan 𝒬(𝑥) menyatakan 𝑥 menyontek. Kalimat ini menjadi “untuk setiap 𝑥, jika 𝒫(𝑥) maka ¬𝒬(𝑥)”. Untuk menegasikannya, perhatikan langkahlangkah berikut. 6 ¬ (∀𝑥, (𝒫(𝑥) → ¬𝒬(𝑥))) ⇔ ∃𝑥, ¬(𝒫(𝑥) → ¬𝒬(𝑥)) ⇔ ∃𝑥, ¬(¬𝒫(𝑥) ∨ ¬𝒬(𝑥)) ⇔ ∃𝑥, (𝒫(𝑥) ∧ 𝒬(𝑥)) Negasi tersebut terlihat pada langkah terakhir yaitu ∃𝑥, (𝒫(𝑥) ∧ 𝒬(𝑥)), artinya terdapat mahasiswa yang berprestasi tetapi menyontek. Bisa juga diartikan ada mahasiswa berprestasi yang nyontek. Ada hal penting yang perlu diperhatikan di sini. Pada kalimat “Mahasiswa yang berprestasi pantang menyontek”, kuantor tidak diberikan secara jelas. Ketika menemukan kalimat yang seperti itu, berikanlah kuantor umum. Latihan 1.2 1. Pandang kalimat “untuk setiap 𝑥 memenuhi 𝒫(𝑥) → 𝒬(𝑥)”. a. Tuliskan konversi kalimat tersebut? b. Tuliskan inversi kalimat tersebut? c. Tuliskan kontrapositif kalimat tersebut? 2. Negasikan kalimat-kalimat berikut! a. Untuk semua 𝑥 bilangan riil, 𝑥 2 ≥ 0. b. Setiap bilangan bulat ganjil tidak sama dengan nol. c. Ada 𝑥 sehingga 𝑓(𝑥) > 0. d. Untuk setiap 𝑥 ada 𝑦 demikian sehingga 𝑥𝑦 = 1. e. Ada 𝑦 demikian sehingga 𝑥𝑦 = 0 untuk setiap x. f. Jika 𝑥 ≠ 0, maka ada 𝑦 demikian sehingga 𝑥𝑦 = 1. g. Jika 𝑥 > 0, maka 𝑥𝑦 2 ≥ 0 untuk setiap 𝑦. h. Untuk setiap 𝜀 > 0, terdapat 𝛿 > 0 sehingga jika 𝑥 bilangan real yang memenuhi |𝑥 − 1| < 𝛿, maka |𝑥 2 − 1| < 𝜀. i. Untuk setiap bilangan real 𝑀, terdapat bilangan real 𝑁 sehingga |𝑓(𝑛)| > 𝑀 untuk semua 𝑛 > 𝑁. 3. Putuskan apakah pernyataan (3) benar, jika pernyataan (1) dan (2) semuanya benar, atau sebaliknya. Sertai jawaban dengan alasan yang tepat dan benar. Ketiga pernyataan tersebut adalah (1) Jika 𝑙 bilangan asli, maka ada bilangan real 𝑚 sehingga 𝑚 > 𝑙; (2) setiap bilangan real 𝑚 kurang dari 𝑡; (3) bilangan real 𝑡 bukan bilangan asli. 1.3 Teknik dalam pembuktian Pengembangan topik matematika secara formal dimulai dari konsep primitif, suatu konsep yang tidak memerlukan definisi, dan aksioma. Konsep primitif dianggap benar. Aksioma merupakan pernyataan matematis yang digunakan sebagai titik awal untuk menurunkan pernyataan lain secara logis. Konsep primitif dan aksioma digunakan untuk mendefinisikan konsep baru dan 7 membentuk teorema, pernyataan puncak. Untuk membuktikan teorema kadang diperlukan pernyataan yang disebut lemma. Pernyataan yang dihasilkan dari teorema disebut akibat. Dalam buku ini pernyataan lema, teorema dan akibat disebut sifat. Hampir semua sifat dinyatakan dalam bentuk implikasi. Sifat yang tidak dinyatakan dalam bentuk implikasi dapat dirubah ke dalam bentuk implikasi yang ekuivalen. Perubahan bentuk mestinya mengacu pada aturan yang sudah dibahas pada subbab sebelumnya. Untuk menentukan kebenaran suatu sifat, diperlukan teknik-teknik dalam pembuktiannya. Ada enam teknik yang biasa digunakan dalam pembuktian, yaitu: metode pembuktian langsung, metode kontraposisi, pembuktian dengan kontradiksi, pembuktian dengan induksi, metode konstruksi dan pembuktian pernyataan biimplikasi. Ada beberapa langkah dalam menuliskan bukti pernyataan. Pertama kenali dahulu masalahnya sehingga menjadi paham. Langkah berikutnya merancang rencana dan merealisasikannya dengan menuliskan bukti tersebut. Terakhir lihat kembali bukti yang telah ditulis tersebut sehingga tidak ditemukan lagi kesalahan. Jika bukti yang ditulis tersebut telah benar, tambahkan kotak kecil ∎ pada akhir bukti. Ada juga yang menggunakan 𝑄. 𝐸. 𝐷 sebagai pengganti ∎. Kata “𝑄. 𝐸. 𝐷” sendiri merupakan singkatan dari quod erat demonstrandum, yang berarti “telah didemonstrasikan (ditunjukkan)”. Metode Pembuktian Langsung. Metode pembuktian ini sangat bergantung pada kaidah logika dasar dalam penarikan kesimpulan yang disebut modus ponen: jika ℛ suatu pernyataan yang bernilai benar dan begitu juga dengan bentuk implikasi “ℛ ⟶ 𝒮”, maka pernyataan 𝒮 bernilai benar. Untuk menunjukkan bentuk pernyataan implikasi “jika 𝒫 maka 𝒬” benar, menggunakan pembuktian langsung, dimulai dengan mengasumsikan premis atau hipotesis 𝒫 benar. Selanjutnya temukan sederetan pernyataan 𝒫1 , 𝒫2 , ⋯ , 𝒫n−1 , 𝒫n dan pastikan setiap implikasi 𝒫 ⟶ 𝒫1 , 𝒫1 ⟶ 𝒫2 , 𝒫2 ⟶ 𝒫3 , ⋯, 𝒫n−1 ⟶ 𝒫n dan 𝒫n ⟶ 𝒬 adalah benar. Dengan menggunakan kaidah modus ponen, diperoleh konklusi 𝒬 benar. Sederetan implikasi tadi tidak lain adalah informasi yang diberikan dalam pernyataan implikasi yang akan dibuktikan, baik tersirat maupun tidak. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah langkahlangkah pembuktian Sifat 1.4. Sifat 1.4 Misalkan 𝑥 bilangan bulat. Jika 𝑥 ganjil maka 𝑥 2 juga ganjil. Sebelum proses pembuktian dimulai, kenali dahulu mana hipotesis dan konklusinya. Hipotesis pada Sifat 1.4 ialah “𝑥 bilangan bulat ganjil”. Pembuktian dimulai dari hipotesis itu. Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan bilangan bulat ganjil? Suatu bilangan bulat 𝑥 disebut ganjil jika ada suatu bilangan bulat 𝑛 sehingga 𝑥 = 2𝑛 + 1. Mengingat definisi yang diperlukan telah 8 diketahui, masalah dalam pembuktian telah dikuasai sehingga nyaman untuk melanjutkannya. Apa konklusi yang hendak diperlihatkan? Konklusi tersebut ialah “𝑥 2 bilangan bulat ganjil” dan tentunya dapat dipahami mengingat definisi bilangan bulat ganjil telah dipahami. Bukti. Ambil 𝑥 sembarang bilangan bulat ganjil. Tentu saja pengambilan tersebut mengakibatkan adanya bilangan bulat 𝑛 sehingga 𝑥 = 2𝑛 + 1. Untuk itu, 𝑥 2 = (2𝑛 + 1)2 = (2𝑛)2 + 4𝑛 + 1 = 2(2𝑛2 + 2𝑛) + 1. Dengan memisalkan 𝑚 = 2𝑛2 + 2𝑛, diperoleh 𝑥 2 = 2𝑚 + 1 dan 𝑚 bilangan bulat. Akibatnya, 𝑥 2 juga ganjil. ∎ Metode Kontraposisi. Misalkan akan menunjukkan pernyataan implikasi “jika 𝒫 maka 𝒬” benar. Mengingat setiap implikasi ekuivalen dengan kontraposisinya, dengan metode ini, kita tinggal membuktikan “jika ¬𝒬 maka ¬𝒫” benar. Jika terbukti benar, kesimpulannya bahwa implikasi “jika 𝒫 maka 𝒬” juga benar. Sebagai contoh, pembuktian Sifat 1.4, menggunakan metode kontraposisi, dilakukan dengan membuktikan pernyataan kontraposisinya: “Misalkan 𝑥 bilangan bulat. Jika 𝑥 2 genap maka 𝑥 genap”. Dengan membuktikan pernyataan ini benar, pernyataan “Misalkan 𝑥 bilangan bulat. Jika 𝑥 ganjil maka 𝑥 2 ganjil” juga benar. Pembuktian dengan Kontradiksi. Misalkan akan menunjukkan pernyataan implikasi “jika 𝒫 maka 𝒬” benar, menggunakan pembuktian dengan kontradiksi. Pembuktian menggunakan cara ini, dimulai dengan mengasumsikan premis atau hipotesis 𝒫 benar dan menerapkan kalimat pembuka dengan mengasumsikan bahwa ¬𝒬 benar. Selanjutnya temukan pernyataan yang menunjukan bahwa ¬𝒬 → 𝒮 dengan 𝒮 suatu pernyataan yang salah, sebagai pertentangan. Akibatnya, pernyataan ¬𝒬 haruslah salah. Pernyataan ¬𝒬 salah terjadi tepatnya saat pernyataan 𝒬 benar. Untuk itu, pernyataan 𝒬 benar dan pernyataan “jika 𝒫 maka 𝒬” terbukti benar. Bukti Sifat 1.5 menggunakan Pembuktian dengan kontradiksi. Sifat 1.5 √2 bukan bilangan rasional. Sebelum memulai pembuktian, pastikan dahulu telah mengetahui semua maksud kata-kata yang digunakan, apa asumsi yang digunakan dan apa yang digunakan untuk membuktikan. Bilangan rasional adalah bilangan yang berbentuk 𝑎𝑏 dengan 𝑎 dan 𝑏 keduanya bilangan bulat dan 𝑏 tak nol. Kita akan menunjukkan bahwa √2 tidak berbentuk seperti itu, yakni tidak ada 𝑎 dan 𝑏 dengan 𝑏 ≠ 0 sehingga √2 = 𝑎𝑏. Buat asumsi √2 = 𝑎𝑏 dengan 𝑏 ≠ 0. Lihat apa yang terjadi!. Ini ide dibalik pembuktian menggunakan kontradiksi. 9 Bukti. Andaikan √2 bilangan rasional. Akibatnya, ada 𝑎 dan 𝑏 keduanya bilangan bulat dan 𝑏 tak nol yang memenuhi √2 = 𝑎𝑏. Jika faktor persekutuan bilangan bulat 𝑎 dan 𝑏 tidak ada, maka ia memenuhi √2𝑏 = 𝑎. Dengan memberikan kuadrat pada kedua ruas, hasil tadi berubah menjadi 2𝑏 2 = 𝑎2 yang mengakibatkan 𝑎2 genap. Menurut Sifat 1.4, 𝑎 harus genap. Untuk itu, ada 𝑚 bilangan bulat sehingga 𝑎 = 2𝑚 dan diperoleh 2𝑏 2 = 𝑎2 = (2𝑚)2 = 4𝑚2 . Dengan membagi kedua ruas oleh dua, diperoleh 𝑏 2 = 2𝑚2 yang artinya 𝑏 2 genap. Kembali gunakan Sifat 1.4, sehingga diperoleh bahwa 𝑏 juga genap. Jadi, faktor persekutuan 𝑎 dan 𝑏 adalah 2. Pernyataan tersebut kontradiksi dengan pernyataan “𝑎 dan 𝑏 tidak memiliki faktor persekutuan”. Artinya, pengandaian bahwa “√2 bilangan rasional” pasti salah dan dengan demikian bukti telah lengkap. ∎ Pembuktian dengan Induksi. Pernyataan 𝒫(𝑛) benar untuk setiap 𝑛 bilangan cacah jika memenuhi 1. 𝒫(0) adalah pernyataan yang benar; dan 2. Jika pernyataan 𝒫(𝑘) benar maka pernyataan 𝒫(𝑘 + 1) juga benar. Pembuktian menggunakan induksi yaitu pembuktian yang dilakukan dengan cara menunjukan dua sifat di atas. Metode Konstruksi. Metode ini lebih tepat untuk pembuktian pernyataan berkuantor, khususnya untuk kuantor khusus (eksistensial). Untuk menunjukkan keberadaan, kita perlu mengkonstruksi dengan cara mencari, memilih, membentuk, mengira dan lain sebagainya. Meskipun contoh cukup untuk menunjukan keberadaan suatu pernyataan, tapi contoh tidak akan pernah bisa menunjukkan kebenaran suatu pernyataan yang memuat kuantor universal baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menyangkal suatu pernyataan cukup dengan memberikan contoh penyangkal. Pembuktian Pernyataan Biimplikasi. Untuk membuktikan pernyataan biimplikasi ”𝒫 jika dan hanya jika 𝒬” benar, kita harus membuktikan implikasi ”jika 𝒫 maka 𝒬” dan ”jika 𝒬 maka 𝒫” semuanya benar. Pernyataan berbentuk: “Pernyataan berikut ekuivalen (PBE): 𝒫, 𝒬, ℛ, 𝒮” disebut pernyataan multiimplikasi dan berarti setiap salah satu dari pernyataan 𝒫, 𝒬, ℛ atau 𝒮 mengakibatkan setiap salah satu yang lain. Penulisan bentuk ini kependekan dari 𝒫 ⟷ 𝒬, 𝒫 ⟷ ℛ, 𝒫 ⟷ 𝒮, 𝒬 ⟷ ℛ, 𝒬 ⟷ 𝒮 dan ℛ ⟷ 𝒮. Untuk membuktikan bentuk pernyataan seperti ini cukup dengan membuktikan: 𝒫 ⟶ 𝒬 dan 𝒬 ⟶ ℛ dan ℛ ⟶ 𝒮 dan 𝒮 ⟶ 𝒫. Latihan 1.3 1. Tunjukkan bahwa jika 𝑛 dan 𝑚 dua buah bilangan bulat tak nol, maka 𝑛2 − 𝑚2 ≠ 1! 2. Berikan contoh penyangkal untuk setiap pernyataan berikut. 10 a. b. c. d. Setiap bilangan ganjil itu prima. Setiap bilangan prima itu ganjil. Untuk setiap bilangan real 𝑥, memenuhi 𝑥 2 > 0. 1 Untuk setiap bilangan real 𝑥 ≠ 0, memenuhi 𝑥 > 0. 3. Misalkan 𝑛 suatu bilangan bulat. Tunjukan bahwa jika 𝑛2 habis dibagi 3, maka 𝑛 habis dibagi 3! 4. Tunjukkan pernyataan berikut ini benar! a. √3 bukan bilangan rasional! b. Akar bilangan bulat tidak dapat berbentuk 3𝑘 + 2 untuk suatu 𝑘 bilangan bulat! c. sin2 𝑥 ≤ |sin 𝑥| untuk semua 𝑥 ∈ ℝ! d. Jika 𝑥 dan 𝑦 dua buah bilangan real maka |𝑥 + 𝑦| ≤ |𝑥| + |𝑦|! 5. Misalkan 𝑛 bilangan asli, 𝑎0 , 𝑎1 , ⋯ , 𝑎𝑛 ∈ ℝ dan 𝑎𝑛 ≠ 0. Tunjukan bahwa suku banyak 𝑝(𝑥) = 𝑎𝑛 𝑥 𝑛 + 𝑎𝑛−1 𝑥 𝑛−1 + ⋯ + 𝑎0 memiliki hampir 𝑛 buah akar yang berbeda! 1.4 Himpunan Keberadaan definisi yang baik sangat diperlukan dalam mengkaji konsep apa pun sebagai pendukung keberadaan konsep tersebut. Akan tetapi, dengan adanya keterbatasan bahasa, tidak memungkinkan untuk mendefinisikan semua konsep. Untuk itu, muncul istilah konsep primitif. Konsep ini tidak memerlukan definisi dalam memahaminya dan dijadikan sebagai titik awal dalam mendefinisikan konsep lain dalam kajian matematika. Konsep himpunan merupakan salah satunya. Untuk membantu memahami dan menggunakan konsep himpunan, perhatikan fakta berikut ini. 1. Hanya ada satu himpunan tanpa anggota, yakni himpunan hampa atau himpunan kosong, ditulis: ∅. 2. Misalkan 𝑆 suatu himpunan yang memiliki anggota. Tanda 𝑎 ∈ 𝑆, dibaca: “unsur 𝑎 anggota 𝑆” atau “𝑎 anggota 𝑆” atau “unsur a di 𝑆”, atau ”𝑎 di 𝑆” atau “unsur 𝑎 milik 𝑆”, atau “𝑎 milik 𝑆”. Sementara itu, tanda 𝑎 ∉ 𝑆, dibaca: “unsur 𝑎 bukan anggota 𝑆” atau “𝑎 bukan anggota 𝑆” atau “unsur a tidak di 𝑆”, atau”𝑎 tidak di 𝑆” atau “unsur 𝑎 bukan milik 𝑆”, atau “𝑎 bukan milik 𝑆” 3. Himpunan dinyatakan dengan mendaftarkan anggotanya atau dengan menuliskan sifat anggotanya. Saat menyatakan himpunan dengan mendaftarkan anggotanya, setiap anggota dipisahkan dengan tanda koma dan diapit oleh tanda kurung kurawal buka dan tutup, contohnya {1, 2, 3}. Sementara itu, untuk menyatakan himpunan dengan menuliskan sifat anggotanya. Misalkan 𝒫(𝑥) sifat unsur 𝑥. Himpunan semua unsur 𝑥 yang mempunyai sifat 𝒫(𝑥) atau himpunan semua 𝑥 yang memenuhi 𝒫(𝑥), ditulis: { 𝑥 | 𝒫(𝑥)}. Contohnya: {𝑥 | 𝑥 bilangan asli kurang dari 4 }. 11 4. Himpunan selalu terdefinisi dengan baik. Artinya, jika 𝑆 suatu himpunan dan 𝑎 suatu unsur maka berlaku 𝑎 ∈ 𝑆 atau 𝑎 ∉ 𝑆. Contohnya, misalkan 𝑇 himpunan bilangan prima. Tentu saja setiap kali mengambil sembarang bilangan, bilangan tersebut masuk ke kelompok prima atau bukan prima dan tidak ada yang tidak masuk ke salah satunya. Berikut ini beberapa tanda himpunan yang sudah umum dan sebagian digunakan dalam buku ini. : Himpunan Bilangan Cacah : { 0,1, 2, ⋯ } ℤ : Himpunan Bilangan Bulat : {⋯ , −2, −1, 0, 1, 2, ⋯ } 2ℤ : Himpunan Bilangan Bulat Genap : {2𝑥 ∣ 𝑥 ∈ ℤ} = {⋯ , −2, 0, 2, ⋯ } 2ℤ + 1 : Himpunan Bilangan Bulat Ganjil : {2𝑥 + 1 ∣ 𝑥 ∈ ℤ} = {⋯ , −3 − 1, 1, 3, ⋯ } + ℤ : Himpunan Bilangan Asli (Bulat Positif ) : {𝑥 |𝑥 ∈ ℤ, 𝑥 > 0} = {1, 2, ⋯ } − ℤ : Himpunan Bilangan Bulat Negatif : {𝑥 |𝑥 ∈ ℤ, 𝑥 < 0} = {−1, −2, ⋯ } ℚ : Himpunan Bilangan Rasional (Pecahan) : {𝑎𝑏 | 𝑎, 𝑏 ∈ ℤ, 𝑏 ≠ 0} ℝ : Himpunan Bilangan Real : Titik-titik pada garis lurus ℂ : Himpunan Bilangan Kompleks : {𝑎 + 𝑏𝑖 | 𝑎, 𝑏 ∈ ℝ} ℕ Gambar 1.1 Himpunan bilangan Misalkan 𝐴 dan 𝐵 dua buah himpunan. Irisan kedua himpunan tersebut, ditulis: 𝐴 ∩ 𝐵, tidak lain himpunan yang setiap anggotanya berada di kedua himpunan tersebut. Dengan kata lain, 𝐴 ∩ 𝐵 = {𝑥 ∣ 𝑥 ∈ 𝐴 ∧ 𝑥 ∈ 𝐵}. Sementara untuk gabungannya, ditulis: 𝐴 ∪ 𝐵, tidak lain himpunan yang anggotanya berada di himpunan 𝐴 atau 𝐵. Untuk gabungan ditulis: 𝐴 ∪ 𝐵 = {𝑥 ∣ 𝑥 ∈ 𝐴 ∨ 𝑥 ∈ 12 𝐵}. Kedua konsep itu akan digunakan pada buku ini, misalnya untuk konsep saling lepas dan partisi himpunan. Misalkan 𝑆 suatu himpunan. Bilangan |𝑆|, lebih dikenal dengan istilah kardinal, menyatakan banyaknya anggota 𝑆. Himpunan 𝑆 disebut hingga jika memuat 𝑛 buah anggota berbeda, ditulis: |𝑆| = 𝑛, untuk suatu 𝑛 ∈ ℕ. Jika sebaliknya, himpunan 𝑆 disebut tak hingga. Dua himpunan A dan B disebut ekuivalen jika kedua himpunan tersebut kardinalnya sama besar, ditulis: |𝐴| = |𝐵|. Dua himpunan A dan B disebut saling lepas (terpisah) jika tidak beririsan, ditulis: 𝐴 ∩ 𝐵 = ∅. Definisi 1.1 Misalkan 𝑆 dan 𝐻 dua buah himpunan. Himpunan 𝐻 disebut subhimpunan 𝑆 jika setiap anggota 𝐻 juga menjadi anggota 𝑆, ditulis: 𝐻 ⊆ 𝑆 atau 𝑆 ⊇ 𝐻. penulis lain menyebut subhimpunan di dalam bukunya dengan nama himpunan bagian atau subset. Ketika 𝐻 menjadi subhimpunan 𝑆, kita dapat mengatakan himpunan 𝐻 termuat di himpunan 𝑆. Setiap himpunan merupakan subhimpunan atas dirinya sendiri. Khusus bagi himpunan hampa, selain menjadi subhimpunan atas dirinya, ia juga subhimpunan semua himpunan. Misalkan 𝑆 suatu himpunan. Semua subhimpunan 𝑆 berjumlah 2|𝑆| . Misalkan 𝑇 ⊆ 𝑆 dan 𝑇 ≠ ∅. Subhimpunan 𝑇 disebut subhimpunan sejati jika ia selain subhimpunan 𝑆, yakni 𝑇 ≠ 𝑆. Sebaliknya, himpunan hampa dan 𝑆 itu sendiri disebut dengan subhimpunan tak sejati. Contoh 1.10. Misalkan 𝑆 = {1, 2, 3}. Kita memiliki subhimpunan 𝑆 sebanyak 8 buah, yaitu: ∅, {1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3}, {2, 3} dan {1, 2, 3}. Subhimpunan sejatinya adalah {1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3} dan {2, 3}. Koleksi himpunan adalah suatu himpunan yang beranggotakan himpunan. Untuk membedakannya dengan himpunan secara umum, koleksi himpunan dapat ditulis dengan menggunakan huruf kapital fraktur atau dengan memadukan huruf kapital dan tanda baca lainnya seperti angka. Perhatikan Contoh 1.10. Anggota koleksi subhimpunan sejati dari 𝑆 adalah {1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3} dan {2, 3}. Koleksi subhimpunan ini ditulis: 𝔖 = {{1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3}, {2, 3}} Himpunan kuasa atas 𝑆, ditulis: 2𝑆 , adalah koleksi semua subhimpunan 𝑆. Jika himpunan 𝑆 seperti disebutkan pada Contoh 1.10, maka diperoleh himpunan kuasa 2𝑆 = {∅, {1}, {2}, {3}, {1, 2}, {1, 3}, {2, 3}, 𝑆}. 13 Banyaknya anggota himpunan kuasa atas 𝑆 , ditulis: |2𝑆 |, adalah 2|𝑆| . Dengan menerapkannya pada koleksi 2𝑆 , kita peroleh |2𝑆 | = 2|𝑆| = 23 = 8. Definisi 1.2 Misalkan 𝑆 suatu himpunan tak hampa dan 𝔓 koleksi subhimpunan 𝑆. Koleksi 𝔓 disebut partisi himpunan 𝑆 jika memenuhi tiga syarat berikut. 1. Untuk setiap 𝐴 ∈ 𝔓, 𝐴 tidak hampa, 2. ⋃𝐴∈𝔓 𝐴 = 𝑆, dan 3. untuk setiap 𝐴, 𝐵 ∈ 𝔓, jika 𝐴 ∩ 𝐵 ≠ ∅ maka 𝐴 = 𝐵. Ketika koleksi 𝔓 membentuk partisi, setiap anggota 𝔓 disebut sel partisi. Himpunan disebut terpartisi (terbagi) menjadi sel-sel partisi jika partisi himpunan tersebut tidak hampa. Misalkan 𝔓 partisi himpunan 𝑆 dan |𝔓| = 𝑛. Dalam hal ini, himpunan 𝑆 terpartisi menjadi 𝑛 buah sel partisi. Untuk memahami Definisi 1.2, mari kita perhatikan contoh berikut ini. Contoh 1.11. Misalkan 𝑆 = {1, 2, 3, 4, 5, 6, 7}. Koleksi subhimpunan, 𝔓 = {{1, 2, 5}, {3, 6, 7}, {4}} tidak lain partisi himpunan 𝑆. Partisi 𝔓 mengakibatkan himpunan 𝑆 ini terbagi menjadi tiga buah himpunan bagian yang terpisah (saling lepas), yaitu: {1, 2, 5}, {3, 6, 7} dan {4}. Himpunan bagian {1, 2, 5}, {3, 6, 7} dan {4} disebut dengan sel partisi. Akan tetapi, koleksi subhimpunan {{1, 2, 4, 5}, {7}, {3, 4, 6}} bukan partisi himpunan 𝑆 mengingat 4 berada pada kedua anggota koleksi ini. Begitu pun dengan koleksi subhimpunan {{1, 2, 5}, {7}, {3, 6}} mengingat 4 tidak masuk ke dalam anggota mana pun dalam koleksi tersebut. Dengan demikian, setiap sel partisi selalu saling lepas. Berikut ini ilustrasi untuk Contoh 1.11. Gambar 1.2 Partisi himpunan Pada Gambar 1.2(a), ketiga sel terlihat saling lepas, sedangkan pada Gambar 1.2(b), tampak adanya irisan. Garis putus-putus pada gambar di atas menunjukkan irisan kedua sel. 14 Contoh 1.12. Misalkan 𝐴𝑛 = [−𝑛, 𝑛] untuk setiap 𝑛 ∈ ℕ. Koleksi 𝔄 = {𝐴𝑛 |𝑛 ∈ ℕ} tidak membentuk partisi himpunan ℝ. Akan tetapi, jika 𝐵𝑛 = [𝑛, 𝑛 + 1) maka koleksi 𝔅 = {𝐵𝑛 |𝑛 ∈ ℤ} membentuk partisi himpunan ℝ. Koleksi 𝔄 bukan partisi himpunan ℝ mengingat syarat (3) tidak terpenuhi: 𝐴1 ∩ 𝐴2 ≠ ∅ padahal 𝐴1 ≠ 𝐴2 . Sebaliknya, koleksi 𝔅 memenuhi semua syarat partisi, seperti uraian berikut ini. Jelas 𝐵𝑛 ≠ ∅ untuk semua 𝑛 ∈ ℤ. Perhatikan bahwa ⋃ 𝐵∈𝔅 𝐵=⋃ 𝐵𝑛 = ⋃ 𝑛∈ℤ 𝑛∈ℤ [𝑛, 𝑛 + 1) = ℝ Terakhir, ambil 𝐵𝑛 , 𝐵𝑚 ∈ 𝔅 dengan 𝐵𝑛 ∩ 𝐵𝑚 ≠ ∅. Hal ini mengakibatkan [𝑛, 𝑛 + 1) ∩ [𝑚, 𝑚 + 1) ≠ ∅. Mengingat 𝑛 dan 𝑚 semuanya bilangan bulat, selang [𝑛, 𝑛 + 1) dan [𝑚, 𝑚 + 1) pasti saling lepas atau sama. Kesimpulannya, 𝐵𝑛 = [𝑛, 𝑛 + 1) = [𝑚, 𝑚 + 1) = 𝐵𝑚 . Latihan 1.4 1. Misalkan 𝑆 suatu himpunan dan 𝑎 suatu unsur. Manakah pernyataan berikut yang benar? a. 𝑎 ⊆ 𝑆 atau 𝑎 ⊈ 𝑆. b. Jika 𝑇 suatu himpunan, maka 𝑆 ∈ 𝑇 atau 𝑆 ∉ 𝑇. 2. Misalkan 𝑆 suatu himpunan. Manakah pernyataan berikut yang benar? a. 𝑆 ∈ 2𝑆 . b. ∅ ⊆ 2𝑆 . c. ∅ = 2∅ . d. {∅} = 2∅ . e. Jika 𝑎 ∈ 𝑆 maka {𝑎} ⊆ 2𝑆 . 3. Nyatakan himpunan berikut dengan cara mendaftarkan setiap anggotanya! a. {𝑥 ∈ ℝ | 𝑥 2 = 3}. b. {𝑚 ∈ ℤ | 𝑚2 = 3}. c. {𝑚 ∈ ℤ | 𝑚𝑛 = 60 untuk suatu 𝑛 ∈ ℤ}. d. {𝑚 ∈ ℤ | 𝑚2 − 𝑚 ≤ 20}. 4. Misalkan 𝑆 = {1, 2, 3, 4} a. Tentukan koleksi subhimpunan sejati dari 𝑆! b. Tentukan koleksi subhimpunan tak sejati dari 𝑆! c. Tentukan himpunan kuasa atas 𝑆 dan berapa nilai kardinalnya! d. Beri contoh partisi himpunan 𝑆! 1.5 Relasi himpunan Misalkan 𝑆𝑖 himpunan, 𝑎𝑖𝑗 ∈ 𝑆𝑖 , 1 ≤ 𝑖, 𝑗 ≤ 𝑛 dan 𝑛 ∈ ℤ+ . Unsur (𝑎1𝑗1 , 𝑎2𝑗2 , ⋯ 𝑎𝑛𝑗𝑛 ) ∈ 𝑆1 × 𝑆2 × ⋯ × 𝑆𝑛 disebut pasangan terurut n-unsur sementara 𝑆1 × 𝑆2 × ⋯ × 𝑆𝑛 disebut produk (hasil kali) 𝑛 buah himpunan. Jika 15 𝑆1 = 𝑆2 = ⋯ = 𝑆𝑛 = 𝑆, maka 𝑆1 × 𝑆2 × ⋯ × 𝑆𝑛 = 𝑆 × 𝑆 × ⋯ × 𝑆 = 𝑆 𝑛 . Unsur (𝑎1 , 𝑎2 , ⋯ 𝑎𝑛 ) ∈ 𝑆 𝑛 disebut pasangan terurut n-unsur pada himpunan 𝑆. Misalkan 𝐴 dan 𝐵 dua buah himpunan. Produk (hasil kali) himpunan 𝐴 dan 𝐵, ditulis: 𝐴 × 𝐵, didefinisikan sebagai berikut. 𝐴 × 𝐵 = {(𝑎, 𝑏) | 𝑎 ∈ 𝐴, 𝑏 ∈ 𝐵}. Unsur (𝑎, 𝑏) ∈ 𝐴 × 𝐵 ini cukup disebut dengan pasangan terurut. Sifat pasangan terurut yang sangat penting yakni: (𝑎, 𝑏) = (𝑐, 𝑑) jika dan hanya jika 𝑎 = 𝑐 dan 𝑏 = 𝑑. Produk himpunan disebut juga dengan produk Cartesius. Himpunan 𝐴 × 𝐵 dengan 𝐴 dan 𝐵 dua himpunan tak hampa akan digunakan untuk mendefinisikan relasi himpunan seperti berikut ini. Definisi 1.3 Misalkan 𝐴 dan 𝐵 dua buah himpunan tak hampa. Suatu himpunan ℛ disebut relasi dari 𝐴 ke 𝐵 jika ℛ tidak hampa dan ℛ ⊆ 𝐴 × 𝐵. Relasi dari himpunan 𝐴 ke 𝐴 disebut relasi pada 𝐴. Unsur (𝑎, 𝑏) ∈ ℛ artinya “a berelasi dengan b”. Sebaliknya, (𝑎, 𝑏) ∉ ℛ artinya “a tidak berelasi dengan b”. Tanda (𝑎, 𝑏) ∈ ℛ dapat diganti dengan aℛb, sementara tanda (a, b) ∉ ℛ dengan . Relasi disebut juga dengan istilah pemasangan. Ada juga yang menyebutnya dengan aturan dalam mengaitkan. Untuk itu, (𝑎, 𝑏) ∈ ℛ artinya: “unsur 𝑎 ∈ 𝐴 dipasangkan (dikaitkan) dengan unsur 𝑏 ∈ 𝐵. Selain dengan tanda tadi, relasi ℛ dari 𝐴 ke 𝐵, dapat juga ditandai dengan ℛ: 𝐴 ⟶ 𝐵 sementara tanda aℛb dapat diganti 𝑎 ↦ 𝑏. Pandang 𝐴 sebagai himpunan dosen pengampu mata kuliah sementara 𝐵 himpunan mata kuliah pada suatu universitas. Misalkan relasi ℛ didefinisikan sebagai pemasangan unsur 𝑎 ∈ 𝐴 dengan unsur 𝑏 ∈ 𝐵, yakni: dosen 𝑎 mengampu mata kuliah 𝑏. Relasi ini ditulis: ℛ = {(𝑎, 𝑏)|𝑎 ∈ 𝐴, 𝑏 ∈ 𝐵} atau ℛ: 𝐴 ⟶ 𝐵 dengan 𝑎 ↦ 𝑏. Misalkan Mahira seorang dosen pengampu mata kuliah dan matematika sebuah mata kuliah pada universitas tersebut. Mahira seorang dosen pengampu mata kuliah matematika atau Mahira mengampu mata kuliah matematika dapat ditulis dengan tanda relasi menjadi (Mahira, Matematika) ∈ ℛ atau Mahira ↦ Matematika. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh relasi berikut ini. Contoh 1.13. Relasi yang tidak asing dengan kita ialah relasi kesamaan. Relasi ini merupakan relasi pada himpunan, katakanlah himpunan 𝑆. Relasi kesamaan, disebut juga dengan nama “sama dengan”, ditulis: =, didefinisikan sebagai {(𝑥, 𝑥) |𝑥 ∈ 𝑆} ⊆ 𝑆 × 𝑆. 16 Unsur (𝑥, 𝑦) ∈ = artinya 𝑥 = 𝑦. Sebaliknya, (𝑥, 𝑦) ∉ = artinya 𝑥 ≠ 𝑦 untuk semua 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆. 1.5.1 Relasi ekuivalen Relasi ekuivalen ialah relasi pada suatu himpunan yang bersifat refleksif, simetris dan transitif. Secara formal, definisi relasi ekuivalen diberikan oleh definisi berikut. Definisi 1.4 Misalkan ∼ suatu relasi pada himpunan 𝑆. Relasi ∼ disebut ekuivalen jika untuk setiap 𝑥, 𝑦, 𝑧 ∈ 𝑆 memenuhi tiga sifat berikut. 1. Refleksif: 𝑥 ∼ 𝑥. 2. Simetris: jika 𝑥 ∼ 𝑦, maka 𝑦 ∼ 𝑥. 3. Transitif: jika 𝑥 ∼ 𝑦 dan 𝑦 ∼ 𝑧, maka 𝑥 ∼ 𝑧. Contoh 1.14. a. Untuk suatu himpunan tak hampa 𝑆, relasi kesamaan ′ = ′ yang didefinisikan sebagai subhimpunan {(𝑥, 𝑥) |𝑥 ∈ 𝑆} dari 𝑆 × 𝑆 merupakan relasi ekuivalen. b. Relasi ~ pada himpunan ℤ yang didefinisikan oleh 𝑥 ~ 𝑦 jika dan hanya jika 𝑥𝑦 ≥ 0, merupakan relasi ekuivalen. c. Relasi ~ pada himpunan ℝ yang didefinisikan oleh 𝑥 ~ 𝑦 jika dan hanya jika 𝑥 − 𝑦 ∈ ℤ, merupakan relasi ekuivalen. Sifat 1.6 Jika ∼ suatu relasi ekuivalen pada himpunan tak hampa 𝑆 maka himpunan tersebut terpartisi dengan 𝑎 = {𝑥 ∈ 𝑆 |𝑥 ∼ 𝑎} sel partisi yang memuat 𝑎 untuk setiap 𝑎 ∈ 𝑆. Sebaliknya, jika himpunan 𝑆 terpartisi maka akan memunculkan relasi ekuivalen ∼ jika relasi tersebut didefinisikan: 𝑎 ∼ 𝑏 jika dan hanya jika 𝑎 ∈ 𝑏 (dibaca: 𝑎 dan 𝑏 saling berelasi jika dan hanya jika berada pada sel partisi yang sama, yakni sel partisi 𝑏). Bukti. Misalkan 𝔓 = {𝑎 | 𝑎 ∈ 𝑆}. Untuk menunjukkan 𝔓 partisi himpunan 𝑆, akan ditunjukkan tiga syarat berikut. 1. Setiap subhimpunan 𝑎 ∈ 𝔓 tidak hampa, 2. ⋃𝑎∈𝔓 𝑎 = 𝑆, dan 3. untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝔓, jika 𝑎 ∩ 𝑏 ≠ ∅ maka 𝑎 = 𝑏. (1) Ambil sembarang 𝑎 ∈ 𝔓 dengan 𝑎 ∈ 𝑆. Mengingat relasi ∼ bersifat refleksif, kita memperoleh 𝑎 ∼ 𝑎 dan mengakibatkan 𝑎 ∈ 𝑎. Dengan demikian 17 terlihat bahwa 𝑎 ≠ ∅. (2) ⋃𝑎∈𝔓 𝑎 = ⋃𝑎∈𝑆{𝑥 ∈ 𝑆 |𝑥 ∼ 𝑎} = {𝑎|𝑎 ∈ 𝑆} = 𝑆. (3). Ambil 𝑎, 𝑏 ∈ 𝔓. Misalkan ada 𝑦 ∈ 𝑎 ∩ 𝑏, akan ditunjukkan bahwa 𝑎 = 𝑏. Ambil 𝑥 ∈ 𝑎. Berdasarkan definisi ∼, kita mendapatkan 𝑥 ∼ 𝑎. Selain itu, mengingat 𝑦 ∈ 𝑎 ∩ 𝑏, kita memperoleh 𝑦 ∈ 𝑎 dan 𝑦 ∈ 𝑏. Itu artinya 𝑦 ∼ 𝑎 dan 𝑦 ∼ 𝑏. Mengingat ∼ bersifat simetris dan transitif, kita memperoleh 𝑎 ∼ 𝑏 dan mengakibatkan 𝑥 ∼ 𝑏. Dengan demikian, 𝑥 ∈ 𝑏 sehingga 𝑎 ⊆ 𝑏. Sebaliknya, ambil 𝑥 ∈ 𝑏. Berdasarkan definisi, kita memperoleh 𝑥 ∼ 𝑏. Selain itu, mengingat 𝑦 ∈ 𝑎 ∩ 𝑏, diperoleh 𝑎 ∼ 𝑏 dan mengakibatkan 𝑏 ∼ a. Karena ∼ bersifat transitif, kita memperoleh 𝑥 ∼ 𝑎 dan dengan demikian 𝑏 ⊆ 𝑎. Uraian tersebut menunjukan bahwa 𝑎 = 𝑏.∎ Setiap sel partisi yang dihasilkan oleh relasi ekuivalen disebut kelas ekuivalen. Perhatikan kembali sifat di atas. Sel partisi 𝑎 dan 𝑏 termasuk kelas ekuivalen dari himpunan 𝑆. Misalkan 𝑟 dan 𝑠 dua buah bilangan bulat. Bilangan bulat 𝑟 disebut terbagi oleh 𝑠, ditulis: 𝑠 | 𝑟, jika terdapat bilangan bulat 𝑞 yang memenuhi 𝑟 = 𝑞𝑠. Jika 𝑟 terbagi oleh 𝑠, kita sebut 𝑠 membagi 𝑟 atau 𝑠 faktor dari 𝑟 atau 𝑟 kelipatan 𝑠. Sebaliknya, jika 𝑟 tidak terbagi oleh 𝑠 cukup kita tulis: 𝑠 ∤ 𝑟. Dengan memperhatikan adanya bilangan 2 sehingga memenuhi 8 = 4 ⋅ 2, diperoleh 4 | 8. Sebaliknya, 3 ∤ 8. Bilangan bulat 𝑝 disebut prima jika 𝑝 > 1 dan 𝑝 tidak terbagi oleh bilangan asli lain selain 1 dan dirinya sendiri. Bilangan 3 adalah prima karena faktornya hanya 1 dan 3. Misalkan 𝑎 | 𝑏. Pemisalan ini mengakibatkan adanya suatu 𝑞 sehingga 𝑏 = 𝑞𝑎. Mengingat −𝑏 = −𝑞𝑎 = (−𝑞)𝑎, diperoleh 𝑎 | (−𝑏). Oleh karena itu, jika 𝑎 | 𝑏, maka 𝑎 | (−𝑏). Selanjutnya, misalkan 𝑚 | 𝑎 dan 𝑚 | 𝑏. Akibatnya ada 𝑞 dan 𝑠 yang memenuhi 𝑎 = 𝑞𝑚 dan 𝑏 = 𝑠𝑚. Mengingat ada 𝑞 + 𝑠 ∈ ℤ sehingga 𝑎 + 𝑏 = 𝑞𝑚 + 𝑠𝑚 = (𝑞 + 𝑠)𝑚, kita dapat menyimpulkan 𝑚 | (𝑎 + 𝑏). Selain itu, mengingat ada 𝑞 − 𝑠 ∈ ℤ sehingga 𝑎 − 𝑏 = 𝑞𝑚 − 𝑠𝑚 = (𝑞 − 𝑠)𝑚, kita juga menyimpulkan 𝑚 | (𝑎 − 𝑏). Jadi, jika 𝑚 | 𝑎 dan 𝑚 | 𝑏 maka 𝑚 | (𝑎 + 𝑏) dan 𝑚 | (𝑎 − 𝑏). Definisi 1.5 Misalkan 𝑛 bilangan asli. Bilangan bulat 𝑎 dan 𝑏 disebut kongruen 𝒎𝒐𝒅𝒖𝒍𝒐 𝑛, ditulis: 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛), jika 𝑛 | (𝑎 − 𝑏). Contoh 1.15. Pilih buah bilangan bulat 6 dan 12. Akibatnya, 12 ≡ 6 (𝑚𝑜𝑑 3) karena 3 | (12 − 6). Di sisi lain, 12 ≢ 6 (𝑚𝑜𝑑 5) karena 5 ∤ (12 − 6). Misalkan 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛). Akibatnya ada 𝑞 ∈ ℤ sehingga 𝑎 − 𝑏 = 𝑞𝑛 karena 𝑛 | (𝑎 − 𝑏). Jadi, 𝑎 = 𝑏 + 𝑞𝑛. Begitu juga sebaliknya, jika ada 𝑞 ∈ ℤ sehingga 𝑎 = 𝑏 + 𝑞𝑛, maka berlaku 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛). Dengan demikian, 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛) jika dan hanya jika ada 𝑞 ∈ ℤ sehingga 𝑎 = 𝑏 + 𝑞𝑛. 18 Sifat 1.7 Kongruen 𝑚𝑜𝑑𝑢𝑙𝑜 𝑛 merupakan relasi ekuivalen pada himpunan bilangan bulat, untuk setiap bilangan asli 𝑛. Bukti. Ambil 𝑎 ∈ ℤ. Jelas 𝑎 ≡ 𝑎 (𝑚𝑜𝑑 𝑛) karena 𝑎 = 𝑎 + 0 ⋅ 𝑛. Jadi, relasi ≡ bersifat refleksif. Selanjutnya ambil 𝑏 ∈ ℤ dan 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛). Akibatnya ada 𝑞 ∈ ℤ yang memenuhi 𝑎 = 𝑏 + 𝑞𝑛. Mengingat 𝑏 = 𝑎 + (−𝑞)𝑛, diperoleh 𝑏 ≡ 𝑎 (𝑚𝑜𝑑 𝑛). Jadi, relasi ≡ bersifat simetris. Terakhir, ambil 𝑐 ∈ ℤ dengan 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛) dan 𝑏 ≡ 𝑐 (𝑚𝑜𝑑 𝑛). Hal ini mengakibatkan adanya 𝑞, 𝑟 ∈ ℤ yang memenuhi 𝑎 = 𝑏 + 𝑞𝑛 dan 𝑏 = 𝑐 + 𝑟𝑛. Karena 𝑎 = (𝑐 + 𝑟𝑛) + 𝑞𝑛 = 𝑐 + (𝑟 + 𝑞)𝑛, kita memperoleh 𝑎 ≡ 𝑐 (𝑚𝑜𝑑 𝑛). Jadi, relasi ≡ bersifat transitif. Dengan terpenuhinya ketiga sifat ini menunjukkan ≡ (kongruen modulo 𝑛) relasi ekuivalen. ∎ Mengingat kongruen 𝑚𝑜𝑑𝑢𝑙𝑜 𝑛 suatu relasi ekuivalen pada himpunan bilangan bulat, tentu saja relasi ini mengakibatkan himpunan bilangan bulat terpartisi menjadi kelas-kelas ekuivalen. Kelas ekuivalen yang diakibatkan oleh relasi kongruen 𝑚𝑜𝑑𝑢𝑙𝑜 𝑛 disebut kelas kongruen 𝒎𝒐𝒅 𝒏. Misalkan 𝑛 ∈ ℤ+ , tentunya ada sebanyak 𝑛 kelas kongruen 𝑚𝑜𝑑 𝑛. Misalkan nilai 𝑛 tetap. Untuk semua 𝑘 ∈ ℤ, 𝑘̅ menyatakan kelas kongruen 𝑚𝑜𝑑 𝑛 yang memuat 𝑘: 𝑘̅ {𝑙 ∈ ℤ | 𝑙 ≡ 𝑘 (𝑚𝑜𝑑 𝑛)} = = {𝑙 ∈ ℤ | 𝑙 = 𝑘 + 𝑞𝑛, 𝑞 ∈ ℤ} {𝑘 + 𝑞𝑛 | 𝑞 ∈ ℤ} = Untuk 𝑛 = 12, kita dapatkan kelas-kelas kongruen 𝑚𝑜𝑑 12 sebagai berikut. 0̅ 1̅ ⋮ ̅̅ ̅̅ 11 = = ⋮ = {… , −36, −24, −12, 0, 12, 24, 36, … } {… − 35, −23, −11,1,13, 25,37, … } ⋮ {… − 25, −13, −1,11,23, 35,47, … } ̅̅̅ = ⋯. Setelah menyeleksi ̅̅ = ̅24 ̅̅̅ = ⋯ , 1̅ = ̅13 ̅̅̅ = ̅25 Perhatikan kelas 0̅ = ̅̅ 12 ̅̅ }, dan mendata semua kelas yang berbeda, diperoleh himpunan {0̅, 1̅, … , ̅̅ 11 disebut himpunan bilangan bulat 𝑚𝑜𝑑 12, ditulis: ℤ12 . Himpunan ini lebih dikenal dengan sebutan himpunan bilangan jam. Secara umum, ℤ𝑛 = {0̅, 1̅, … , ̅̅̅̅̅̅̅ 𝑛 − 1 } disebut dengan himpunan bilangan bulat 𝑚𝑜𝑑 n. Ambil sembarang 𝑘̅, 𝑙 ̅ ∈ ℤ𝑛 sehingga 𝑘̅ = 𝑙 .̅ Misalkan 𝑎 ∈ 𝑘̅. Hal ini menimbulkan adanya 𝑞 ∈ ℤ sehingga 𝑎 = 𝑘 + 𝑞𝑛. Selain itu, mengingat 𝑎 ∈ 𝑘̅ dan 𝑘̅ = 𝑙 ,̅ tentu saja 𝑎 ∈ 𝑙 ̅ sehingga ada 𝑟 ∈ ℤ dan 𝑎 = 𝑙 + 𝑟𝑛. Dengan menyubstitusikan kedua tadi, kita memperoleh hasil berikut. 19 𝑘 + 𝑞𝑛 ⇔ 𝑘 + 𝑞𝑛 ⇔ 𝑘 ⇔ 𝑘 = 𝑎 = 𝑙 + 𝑟𝑛 = (𝑙 + 𝑟𝑛) − 𝑞𝑛 = 𝑙 + (𝑟 − 𝑞)𝑛 Akibatnya, untuk setiap 𝑘̅, 𝑙 ̅ ∈ ℤ𝑛 dengan 𝑘̅ = 𝑙 ̅ mengakibatkan adanya unsur 𝑠 = 𝑟 − 𝑞 ∈ ℤ yang memenuhi 𝑘 = 𝑙 + 𝑠𝑛. Dengan kata lain, pada ℤ𝑛 berlaku 𝑙 ̅ = ̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝑙 + 𝑠𝑛 untuk 𝑠 ∈ ℤ. Ini berarti bahwa dua unsur yang saling kongruen dimasukkan pada kelas kongruen yang sama. 1.5.2 Pemetaan Suatu relasi yang memasangkan unsur 𝑎 anggota himpunan 𝐴 dengan unsur 𝑏 anggota himpunan 𝐵 yang ditetapkan secara khusus yakni setiap 𝑎 ∈ 𝐴 dipasangkan tepat satu dengan 𝑏 ∈ 𝐵 kita namakan pemetaan. Ada juga yang menyebut pemetaan dengan fungsi. Secara formal, definisi pemetaan yaitu sebagai berikut. Definisi 1.6 Suatu relasi dari 𝑆 ke 𝑇 disebut pemetaan dari 𝑆 ke 𝑇 jika relasi itu memasangkan setiap anggota 𝑆 tepat satu dengan anggota 𝑇. Himpunan 𝑆 disebut domain dan himpunan 𝑇 disebut 𝒌𝒐𝒅𝒐𝒎𝒂𝒊𝒏. Pemetaan dari 𝑆 ke 𝑆 disebut pemetaan pada 𝑆. Pemetaan biasanya ditulis menggunakan abjad Yunani kuno atau menggunakan huruf kecil (lower case) sebagai pengganti tanda ℛ. Untuk menyatakan 𝛼 sebagai pemetaan dari 𝑆 ke 𝑇, kita menuliskannya 𝛼 menggunakan tanda 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 atau 𝑆 → 𝑇. Jika 𝑥 ∈ 𝑆 maka 𝛼(𝑥) adalah unsur di 𝑇 yang dipasangkan dengan 𝑥. Unsur 𝛼(𝑥) disebut peta 𝑥 oleh pemetaan 𝛼 sementara unsur 𝑥 disebut 𝐩𝐫𝐚𝐩𝐞𝐭𝐚 𝛼(𝑥). Pemetaan 𝛼 disebut terdefinisi dengan baik jika untuk setiap 𝑥1 , 𝑥2 ∈ 𝑆 dengan 𝑥1 = 𝑥2 mengakibatkan 𝛼(𝑥1 ) = 𝛼(𝑥2 ). 𝛼 1 𝑥 2 𝑦 3 𝑧 S T Gambar 1.3 Pemetaan 𝛼 dari himpunan 𝑆 ke himpunan 𝑇 Contoh 1.16. Misalkan 𝑆 = {1,2 3} dan 𝑇 = {𝑥, 𝑦, 𝑧}. Jika kita buat 𝛼(1) = 𝑥; 𝛼(2) = 𝑧; dan 𝛼(3) = 𝑦, relasi 𝛼 suatu pemetaan mengingat setiap anggota 𝑆 20 dipasangkan tepat satu dengan anggota 𝑇. Relasi 𝛼 dapat dilihat pada Gambar 1.3. Kita juga bisa mendefinisikan relasi 𝛽 dengan 𝛽(1) = 𝑥, 𝛽(2) = 𝑥, dan 𝛽(3) = 𝑦. Relasi 𝛽 yang semacam ini masih pemetaan. 𝛽 1 𝑥 2 𝑦 3 𝑧 S T Gambar 1.4 Pemetaan 𝛽 dari himpunan 𝑆 ke himpunan 𝑇 Sebaliknya, jika kita definisikan 𝛾(1) = 𝑥, 𝛾(1) = 𝑧, dan 𝛾(3) = 𝑦 maka 𝛾 yang semacam ini bukan pemetaan, mengingat relasi yang semacam itu tidak memberikan pemetaan yang terdefinisi dengan baik. 1 𝑥 2 𝑦 3 𝑧 S T Gambar 1.5 Relasi bukan pemetaan Definisi 1.7 Misalkan 𝛼 dan 𝛽 dua buah pemetaan dengan 𝛼, 𝛽: 𝑆 ⟶ 𝑇 . Pemetaan 𝛼 dan 𝛽 disebut sama jika 𝛼(𝑥) = 𝛽(𝑥) untuk semua 𝑥 ∈ 𝑆. Pada Contoh 1.16, pemetaan 𝛼 ≠ 𝛽. Hal tersebut terjadi karena adanya unsur 2 ∈ 𝑆 sehingga mengakibatkan 𝛼(2) = 𝑧 ≠ 𝑥 = 𝛽(2). Pemetaan pada suatu himpunan yang memasangkan setiap anggotanya dengan diri sendiri disebut pemetaan identitas. Pemetaan identitas pada himpunan 𝑆, ditulis: 𝜄: 𝑆 ⟶ 𝑆 dengan 𝜄(𝑥) = 𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆 (𝜄 dibaca iota). Untuk menandai 𝜄 sebagai pemetaan pada 𝑆, kita tambahkan huruf 𝑆 sebagai indeks 𝜄 sehingga menjadi 𝜄𝑆 . 21 Jika diberikan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 dan 𝐴 ⊆ 𝑆, maka 𝛼(𝐴) menyatakan himpunan semua anggota 𝑇 yang menjadi peta anggota 𝐴 oleh pemetaan 𝛼, ditulis: 𝛼(𝐴) = {𝛼(𝑥) | 𝑥 ∈ 𝐴}. Himpunan 𝛼(𝐴) disebut juga sebagai himpunan semua peta anggota 𝐴 pada 𝑇 oleh pemetaan 𝛼. Himpunan 𝛼(𝐴) juga bisa disebut dengan peta subhimpunan 𝐴 pada himpunan 𝑇 oleh pemetaan 𝛼. 𝛼 A 𝛼(𝐴) S T Gambar 1.6 Peta subhimpunan 𝐴 oleh 𝛼 Contoh 1.17. Perhatikan kembali Contoh 1.16. Peta subhimpunan {1, 2} dan {2, 3} secara beruntun yaitu: 𝛼({1, 2}) = {𝑥, 𝑧} dan 𝛽({2, 3}) = {𝑥, 𝑦}. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 1.3 dan Gambar 1.4. Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan dan 𝑌 ⊆ 𝑇. Tanda 𝛼 −1 (𝑌) menyatakan himpunan semua anggota 𝑆 yang dipasangkan dengan anggota 𝑌 oleh pemetaan 𝛼, ditulis: 𝛼 −1 (𝑌) = { 𝑥 ∈ 𝑆 ∣ 𝛼(𝑥) ∈ 𝑌}. Jika unsur 𝑥 ∈ 𝑆 dipasangkan dengan 𝑦 ∈ 𝑇 oleh pemetaan 𝛼, maka berlaku 𝛼 −1 (𝑦) = 𝑥. Pernyataan 𝛼 −1 (𝑦) = 𝑥 ekuivalen 𝛼(𝑥) = 𝑦. Pemetaan 𝛼 −1 (𝑦) tidak selalu ada untuk setiap 𝑦 ∈ 𝑇. Selain itu, ia juga tidak perlu tunggal. Artinya 𝛼 −1 (𝑦) boleh lebih dari satu buah untuk suatu 𝑦 ∈ 𝑇 tergantung pemetaan 𝛼. Untuk itu, relasi 𝛼 −1 : 𝑇 ⟶ 𝑆 tidak selalu membentuk pemetaan. Definisi 1.8 Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan. Pemetaan 𝛼 disebut 𝒔𝒖𝒓𝒋𝒆𝒌𝒕𝒊𝒇 (pada) jika 𝛼(𝑆) = 𝑇. Pernyataan “𝛼(𝑆) = 𝑇” ini ekuivalen dengan pernyataan: “untuk setiap 𝑦 ∈ 𝑇 ada 𝑥 ∈ 𝑆 sehingga 𝛼(𝑥) = 𝑦”. Dengan demikian, untuk menunjukkan 𝛼(𝑆) = 𝑇 cukup dengan menunjukkan untuk setiap 𝑦 ∈ 𝑇 ada 𝑥 ∈ 𝑆 demikian sehingga 𝛼(𝑥) = 𝑦. Begitu pun sebaliknya, untuk menunjukkan pernyataan “untuk setiap 𝑦 ∈ 𝑇 ada 𝑥 ∈ 𝑆 sehingga 𝛼(𝑥) = 𝑦” cukup dengan menunjukkan 𝛼(𝑆) = 𝑇. 22 Contoh 1.18. Perhatikan pemetaan 𝛼: ℝ ⟶ ℝ dengan 𝛼(𝑥) = 𝑥 2 . Pemetaan 𝛼 tidak bersifat surjektif (pada) disebabkan semua bilangan real negatif tidak mempunyai prapeta sehingga 𝛼(ℝ) ≠ ℝ. Akan tetapi, jika kodomain kita batasi menjadi ℝ+ ∪ {0} sehingga 𝛼: ℝ ⟶ ℝ+ ∪ {0} dengan 𝛼(𝑥) = 𝑥 2 untuk setiap 𝑥 ∈ ℝ, maka pemetaan 𝛼 menjadi surjektif mengingat 𝛼(ℝ) = ℝ+ ∪ {0}. Contoh 1.19. Perhatikan gambar berikut. 𝜂 𝛾 𝛾(𝑆) S 𝜂(𝑆) S T T Gambar 1.7 Pemetaan surjektif dan bukan surjektif Pemetaan 𝛾 tidak surjektif karena 𝛾(𝑆) ≠ 𝑇 sedangkan pemetaan 𝜂 surjektif. Definisi 1.9 Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan. Pemetaan 𝛼 disebut 𝒊𝒏𝒋𝒆𝒌𝒕𝒊𝒇 (satu-satu) jika untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 dengan 𝛼(𝑥) = 𝛼(𝑦) mengakibatkan 𝑥 = 𝑦. Contoh 1.20. Perhatikan gambar berikut. 𝛽 1 𝛾 𝑎 2 𝑏 3 S T 1 𝑎 2 𝑏 3 𝑐 S T Gambar 1.8 Pemetaan satu-satu dan bukan satu-satu Pemetaan 𝛾 satu-satu, sedangkan pemetaan 𝛽 tidak satu-satu. Pemetaan satu-satu dan pada disebut pemetaan 𝐛𝐢𝐣𝐞𝐤𝐭𝐢𝐟. Pemetaan 𝛾 merupakan pemetaan bijektif karena selain satu-satu, ia juga termasuk surjektif. 23 Definisi 1.10 Dua buah himpunan, 𝑋 dan 𝑌, disebut mempunyai bilangan 𝑘𝑎𝑟𝑑𝑖𝑛𝑎𝑙 sama, ditulis: |𝑋| = |𝑌|, jika terdapat pemetaan 𝑏𝑖𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 di antara kedua himpunan tersebut. Contoh 1.21. Perhatikan pemetaan 𝑓: ℝ ⟶ ℝ dengan 𝑓(𝑥) = 𝑥 2 . Pemetaan 𝑓 tidak satu-satu mengingat ada 4 = 𝑓(2) = 𝑓(−2) ∈ ℝ tetapi 2 ≠ −2. Pemetaan 𝑓 juga tidak pada karena semua bilangan real negatifnya tidak mempunyai prapeta yang mengakibatkan 𝑓(ℝ) ≠ ℝ. Sekarang perhatikanlah pemetaan 𝑔: ℝ ⟶ ℝ dengan 𝑔(𝑥) = 𝑥 3 . Pemetaan 𝑔 tersebut bijektif. Adanya pemetaan 𝑔 menjadi alasan |ℝ| = |ℝ|. Pandang 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 dan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑈 dua buah pemetaan. Jika dari dua buah pemetaan tersebut dibentuk relasi dari 𝑆 ke 𝑈 dengan cara memasangkan semua anggota 𝑆 dengan anggota 𝑈 jika ada anggota 𝑇 yang menghubungkannya, seperti tampak pada Gambar 1.9. Relasi seperti ini disebut komposisi pemetaan 𝑓 dan 𝑔 dari 𝑆 ke 𝑈. Komposisi tersebut membentuk suatu pemetaan. Pada pemetaan ini, setiap 𝑥 ∈ 𝑆 dipasangkan tepat satu dengan 𝑓(𝑥) ∈ 𝑇 lalu dipasangkan lagi tepat satu dengan 𝑔(𝑓(𝑥)) ∈ 𝑈. 𝑔 𝑓 𝑥 𝑓(𝑥) 𝑔(𝑓(𝑥)) S T U Gambar 1.9 Komposisi dua buah pemetaan 𝑓 dan 𝑔 Definisi 1.11 Komposisi pemetaan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 dan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑈, ditulis: 𝑔 ∘ 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑈, didefinisikan sebagai berikut. (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥) = 𝑔(𝑓(𝑥)) untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆. 24 Contoh 1.22. Pandang himpunan 𝑆 = {𝑥, 𝑦, 𝑧}, 𝑇 = {1, 2, 3} dan 𝑈 = {𝑎, 𝑏, 𝑐}. Kemudian definisikan pemetaan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 dengan 𝑓(𝑥) = 2, 𝑓(𝑦) = 3 dan 𝑓(𝑧) = 1. Definisikan juga pemetaan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑈 dengan 𝑔(1) = 𝑐, 𝑔(2) = 𝑎 dan 𝑔(3) = 𝑏. Komposisi pemetaan 𝑓 dan 𝑔 adalah sebagai berikut. (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥) = 𝑔(𝑓(𝑥)) = 𝑔(2) = 𝑎 (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑦) = 𝑔(𝑓(𝑦)) = 𝑔(3) = 𝑏 (𝑔 ∘ f)(𝑧) = 𝑔(𝑓(𝑧)) = 𝑔(1) = 𝑐 Berikut ini grafik komposisi 𝑓 dan 𝑔 di atas. 𝑔 𝑓 𝑥 1 𝑎 𝑦 2 𝑏 𝑧 3 𝑐 T U S Gambar 1.10 Contoh komposisi pemetaan 𝑓 dan 𝑔 Contoh 1.23. Misalkan 𝑓: ℝ → ℝ dan 𝑔: ℝ → ℝ, dua buah pemetaan pada himpunan bilangan real dengan 𝑓(𝑥) = 𝑥 2 − 𝑥 dan 𝑔(𝑥) = 𝑥 − 1 untuk setiap 𝑥 ∈ ℝ. Pemetaan komposisi 𝑓 dan 𝑔 yaitu (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥) = 𝑔(𝑓(𝑥)) = 𝑔(𝑥 2 − 𝑥) = 𝑥2 − 𝑥 − 1 dan (𝑓 ∘ 𝑔)(𝑥) = = = = 𝑓(𝑔(𝑥)) 𝑓(𝑥 − 1) (𝑥 − 1)2 − (𝑥 − 1) 𝑥 2 − 3𝑥 + 2 Pada dasarnya dengan definisi dan dua contoh di atas sudah cukup memberikan penjelasan mengenai pemetaan 𝑓 ∘ 𝑔 dan 𝑔 ∘ 𝑓. Namun demikian, sifat berikut ini perlu juga diperhatikan untuk menambah penguasaan pemahaman kita. Sifat 1.8 Misalkan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 dan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑈 dua buah pemetaan. a. Jika 𝑓 dan 𝑔 dua-duanya 𝑠𝑢𝑟𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 maka 𝑔 ∘ 𝑓 juga 𝑠𝑢𝑟𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 25 b. Jika 𝑓 dan 𝑔 dua-duanya 𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 maka 𝑔 ∘ 𝑓 juga 𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 c. Jika 𝑔 ∘ 𝑓 𝑠𝑢𝑟𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 maka 𝑔 juga 𝑠𝑢𝑟𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 d. Jika 𝑔 ∘ 𝑓 𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 maka 𝑓 juga 𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 Bukti. (𝑎). Ambil 𝑧 ∈ 𝑈. Mengingat 𝑔 surjektif, ada 𝑦 ∈ 𝑇 yang memenuhi 𝑧 = 𝑔(𝑦). Selain itu, 𝑓 juga 𝑠𝑢𝑟𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓, artinya ada 𝑥 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑦 = 𝑓(𝑥). Untuk itu, diperoleh 𝑧 = = = 𝑔(𝑦) 𝑔(𝑓(𝑥)) (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥). Jadi, pemetaan 𝑔 ∘ 𝑓 surjektif karena untuk setiap 𝑧 ∈ 𝑈 terdapat 𝑥 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑧 = (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥). (𝑏). Ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 dengan (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥) = (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑦). Berdasarkan definisi komposisi pemetaan, 𝑔(𝑓(𝑥)) = 𝑔(𝑓(𝑦)). Mengingat pemetaan 𝑔 bersifat satusatu, diperoleh 𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑦). Selain itu, mengingat pemetaan 𝑓 juga satu-satu, hasil tersebut menyebabkan 𝑥 = 𝑦. Jadi, komposisi 𝑔 ∘ 𝑓 merupakan pemetaan satu-satu mengingat untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 dengan (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥) = (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑦) telah memenuhi 𝑥 = 𝑦. (𝑐). Ambil 𝑧 ∈ 𝑈. Mengingat 𝑔 ∘ 𝑓 surjektif, ada 𝑥 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑧 = (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥) = 𝑔(𝑓(𝑥)). Misalkan 𝑦 = 𝑓(𝑥). Jelas 𝑦 ∈ 𝑇 dan 𝑧 = 𝑔(𝑦). Jadi, untuk setiap 𝑧 ∈ 𝑈 ada 𝑦 ∈ 𝑇 yang memenuhi 𝑧 = 𝑔(𝑦) dan 𝑔 surjektif. (𝑑). Ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 dengan 𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑦). Mengingat 𝑔 suatu pemetaan, diperoleh 𝑔(𝑓(𝑥)) = 𝑔(𝑓(𝑦)) dan ditulis menjadi (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥) = (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑦). Selanjutnya, sifat injektif 𝑔 ∘ 𝑓 menyebabkan 𝑥 = 𝑦. Jadi, mengingat untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 dengan 𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑦) mengakibatkan 𝑥 = 𝑦, pemetaan 𝑓 bersifat injektif. ∎ Telah disinggung sebelumnya, jika kita membentuk pemetaan dari S ke T, belum tentu terbentuk lagi pemetaan dari T ke S sebagai pemetaan balikannya. Berikut ini uraian mengenai definisi pemetaan balikan beserta syarat yang harus dipenuhi agar setiap pemetaan senantiasa memiliki balikan. Definisi 1.12 Pemetaan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 disebut 𝒊𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔 (balikan) pemetaan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑆 jika 𝑔 ∘ 𝑓 = 𝜄𝑆 dan 𝑓 ∘ 𝑔 = 𝜄 𝑇 . pemetaan 𝑓 disebut dapat dibalik (invertible) jika ia memiliki 𝑖𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠 (balikan). Contoh 1.24. Pemetaan 𝑓 pada Contoh 1.22 merupakan pemetaan yang dapat dibalik (invertible). Balikan (invers) pemetaan 𝑓, adalah 𝑓 −1 : 𝑇 ⟶ 𝑆 yang didefinisikan dengan 𝑓 −1 (1) = 𝑧, 𝑓 −1 (2) = 𝑥 dan 𝑓 −1 (3) = 𝑦. 26 Sifat 1.9 Suatu pemetaan dapat dibalik (memiliki inversnya) jika dan hanya jika pemetaan tersebut 𝑏𝑖𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓. Bukti. (⟹) Misalkan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan dan 𝑔 pemetaan balikan dari 𝑓. Untuk menunjukkan pemetaan 𝑓 bijektif cukup menunjukkan pemetaan 𝑓 injektif dan surjektif. Ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 dengan 𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑦). Mengingat 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑆 suatu pemetaan, diperoleh 𝑔(𝑓(𝑥)) = 𝑔(𝑓(𝑦)) dan berakibat 𝜄𝑆 (𝑥) = (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥) = (𝑔 ∘ 𝑓)(𝑦) = 𝜄𝑆 (𝑦) karena 𝑔 juga balikan 𝑓. Dengan demikian, 𝑥 = 𝑦 dan pemetaan 𝑓 injektif. Ambil unsur 𝑡 ∈ 𝑇. Mengingat karena 𝑔 balikan 𝑓, 𝑡 = 𝜄 𝑇 (𝑡) = (𝑓 ∘ 𝑔)(𝑡) = 𝑓(𝑔(𝑡)). Dengan memilih unsur 𝑥 = 𝑔(𝑡) ∈ 𝑆, diperoleh 𝑡 = 𝑓(𝑥). Jadi, untuk setiap 𝑡 ∈ 𝑇 terdapat 𝑥 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑡 = 𝑓(𝑥). Artinya, pemetaan 𝑓 surjektif. (⟸) Misalkan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan bijektif, akan ditunjukkan bahwa pemetaan 𝑓 dapat dibalik. Untuk menunjukkan hal tersebut cukup dengan menunjukkan adanya pemetaan 𝑔 sehingga g ∘ f = ιS dan f ∘ g = ιT . Ambil 𝑡 ∈ 𝑇. Karena 𝑓 surjektif, ada 𝑠 ∈ 𝑆 sehingga 𝑓(𝑠) = 𝑡. Di sisi lain, 𝑓 juga satu-satu. Ini artinya, setiap unsur 𝑡 ∈ 𝑇 dipasangkan tepat satu dengan 𝑠 ∈ 𝑆. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan pemetaan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑆 sehingga 𝑔 ∘ 𝑓 = 𝜄𝑆 dan 𝑓 ∘ 𝑔 = 𝜄𝑇 . Dengan demikian pemetaan 𝑓 adalah invertible.∎ Latihan 1.5 1. Misalkan 𝑇 = {𝑣, 𝑤, 𝑥, 𝑦, 𝑧} serta 𝑤 ∼ 𝑥 dan 𝑥 ∼ 𝑦. Apakah setiap pernyataan berikut ini benar jika ∼ relasi ekuivalen pada T? Sertai jawaban dengan alasan! a. 𝑧 ∼ 𝑧 b. 𝑥 ∼ 𝑤 c. 𝑣 ∼ 𝑧 d. 𝑦 ∼ 𝑤 2. Definisikan relasi ∼ pada ℝ, yaitu: 𝑎 ∼ 𝑏 jika dan hanya jika |𝑎| = |𝑏| untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ ℝ. a. Tunjukkan bahwa ∼ suatu relasi ekuivalen pada ℝ! b. Tuliskan kelas-kelas ekuivalennya! 3. Tentukan apakah pemetaan berikut satu-satu, pada atau keduanya, jika 𝑓: ℝ ⟶ ℝ dengan a. 𝑓(𝑥) = 2𝑥 b. 𝑓(𝑥) = 𝑥 2 + 1 c. 𝑓(𝑥) = 𝑒 𝑥 4. Tunjukkan ada pemetaan pada suatu himpunan yang injektif tetapi tidak surjektif jika dan hanya jika ada pemetaan yang surjektif pada himpunan yang sama tetapi tidak injektif 27 5. Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan, 𝑋 ⊆ 𝑆 dan 𝑌 ⊆ 𝑆. Tunjukkan bahwa pernyataan berikut ini benar! a. Jika 𝑋 ⊆ 𝑌 maka 𝛼(𝑋) ⊆ 𝛼(𝑌). b. 𝛼(𝑋 ∪ 𝑌) = 𝛼(𝑌) ∪ 𝛼(𝑌), dan c. 𝛼(𝑋 ∩ 𝑌) ⊆ 𝛼(𝑌) ∩ 𝛼(𝑌) 6. Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan, 𝑋 ⊆ 𝑇 dan 𝑌 ⊆ 𝑇. Tunjukkan bahwa pernyataan berikut ini benar! a. Jika 𝑋 ⊆ 𝑌 maka 𝛼 −1 (𝑋) ⊆ 𝛼 −1 (𝑌). b. 𝛼 −1 (𝑋 ∪ 𝑌) = 𝛼 −1 (𝑌) ∪ 𝛼 −1 (𝑌), dan c. 𝛼 −1 (𝑋 ∩ 𝑌) = 𝛼 −1 (𝑌) ∩ 𝛼 −1 (𝑌). 28 BAB 2 GRUP Fokus kajian himpunan pada bagian pendahuluan secara umum belum memandang operasi sebagai satu kesatuan. Operasi jumlah dan kali yang dibicarakan di sana, misalnya ketika membahas relasi kongruen modulo n pada himpunan bilangan bulat, tidak sampai membahas apakah operasi tersebut terdefinisi dengan baik atau tidak pada himpunan tersebut. Operasi di sana kebutuhannya hanya sebatas menjelaskan relasi pada himpunan bilangan bulat, yakni menjelaskan relasi ekuivalen. Tidak memandang himpunan bilangan bulat ketika dilengkapi operasi tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh. Himpunan yang dilengkapi operasi disebut struktur. Struktur pada dasarnya dapat diterapkan pada himpunan mana pun, tidak hanya pada himpunan bilangan, asalkan operasi yang dilekatkan terdefinisi dengan baik. Pada bagian ini akan kita kaji struktur himpunan khususnya grup. Namun sebelum itu, kita bahas operasi terlebih dahulu. 2.1 Struktur aljabar Di awal telah disinggung istilah operasi. Namun apakah itu operasi yang dimaksud di sini. Untuk jelasnya cermati definisi operasi berikut ini. Definisi 2.1 Misalkan ∗ suatu pemetaan dari 𝑆 × 𝑆 ke 𝑆 dengan (𝑎, 𝑏) ↦ 𝑎 ∗ 𝑏 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆. Pemetaan ∗ disebut operasi biner pada himpunan 𝑆. Mengingat operasi ∗ suatu pemetaan, tentunya dua kondisi berikut harus terpenuhi. Pertama, setiap unsur (𝑎1 , 𝑏1 ), (𝑎2 , 𝑏2 ) ∈ 𝑆 × 𝑆 dengan (𝑎1 , 𝑏1 ) = (𝑎2 , 𝑏2 ), memenuhi keadaan 𝑎1 ∗ 𝑏1 = 𝑎2 ∗ 𝑏2 . Pernyataan tersebut ekuivalen dengan pernyataan: setiap unsur 𝑎1 , 𝑎2 , 𝑏1 , 𝑏2 ∈ 𝑆 dengan 𝑎1 = 𝑎2 dan 𝑏1 = 𝑏2 , memenuhi 𝑎1 ∗ 𝑏1 = 𝑎2 ∗ 𝑏2 . Kedua, setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆 memenuhi 𝑎 ∗ 𝑏 ∈ 𝑆, himpunan 𝑆 tertutup terhadap operasi ∗. Operasi ∗ disebut terdefinisi dengan baik pada himpunan 𝑆 jika kedua kondisi tadi terpenuhi. Dengan demikian, ketika operasi ∗ terdefinisi dengan baik pada himpunan 𝑆 pasti himpunan 𝑆 tertutup terhadap operasi ∗. Selanjutnya, yang dimaksud dengan operasi dalam buku ini operasi biner. Contoh 2.1. Pandang himpunan bilangan asli ℤ+ . Kali pada himpunan tersebut tidak lain berupa pemetaan (𝑎, 𝑏) ↦ 𝑎𝑏 dengan 𝑎𝑏 menyatakan 𝑎 kali 𝑏. Untuk 29 itu, kali merupakan operasi pada ℤ+ . Sebaliknya, bagi bukan operasi pada ℤ+ 𝑎 mengingat ada 𝑎, 𝑏 ∈ ℤ+ yang menyebabkan 𝑎⁄𝑏 = 𝑏 ∉ ℤ+ . Di sini ada dua 2 bilangan positif 𝑎 dan 𝑏 tetapi 𝑏 tidak habis membagi 𝑎, misalnya (2,3) ↦ 3 ∉ ℤ+ . Jumlah, (𝑎, 𝑏) ↦ 𝑎 + 𝑏, merupakan operasi pada himpunan bilangan asli ℤ+ . Sama halnya dengan bagi, kurang juga bukan operasi pada ℤ+ . Pada himpunan berhingga 𝑆, khususnya ketika 𝑆 hanya memiliki sedikit anggota, operasi pada himpunan 𝑆 dapat disajikan dalam suatu tabel yang dikenal dengan sebutan Tabel Cayley. Penamaan ini merujuk pada seorang nama matematikawan Inggris Arthur Cayley yang hidup pada masa 1821 – 1895. Pada Tabel Cayley, kita letakkan nilai 𝑎 ∗ 𝑏 pada baris ke-𝑎 kolom ke-𝑏. Contoh 2.2. Misalkan operasi ∗ pada himpunan {𝑎, 𝑏, 𝑐} disajikan pada tabel berikut. ∗ 𝒂 𝒃 𝒄 𝒂 𝑎 𝑐 𝑐 𝒃 𝑏 𝑏 𝑏 𝒄 𝑐 𝑎 𝑎 Tabel 2.1 Operasi ∗ pada himpunan {𝑎, 𝑏, 𝑐} Lihat tabel di atas dengan memperhatikan cara membacanya. Nilai 𝑎 ∗ 𝑏 adalah 𝑐, sedangkan nilai 𝑏 ∗ 𝑎 adalah 𝑏. Begitu juga 𝑏 ∗ 𝑐 menghasilkan 𝑏. Sebaliknya, 𝑐 ∗ 𝑏 menghasilkan nilai 𝑎. Silakan coba untuk yang lain. Contoh 2.3. Pandang himpunan bilangan jam 12-an dan ⊕ operasi jumlah pada himpunan tersebut. Operasi ini dapat kita lihat pada tabel Cayley berikut. ⊕ ̅ 𝟎 ̅ 𝟏 ̅ 𝟐 ̅ 𝟑 ̅ 𝟒 ̅ 𝟓 ̅ 𝟔 ̅ 𝟕 ̅ 𝟖 ̅ 𝟗 ̅̅̅̅ 𝟏𝟎 ̅̅̅̅ 𝟏𝟏 ̅ 𝟎 ̅ 𝟏 ̅ 𝟐 0̅ 1̅ 2̅ 1̅ 2̅ 3̅ 3̅ 4̅ 5̅ 4̅ 5̅ 6̅ 7̅ 8̅ 7̅ 8̅ 9̅ 8̅ 9̅ ̅10 ̅̅̅ 9̅ ̅̅̅̅ 10 ̅11 ̅̅̅ ̅̅̅̅ 10 ̅̅̅̅ 11 0̅ ̅̅̅̅ 11 0̅ 1̅ 3̅ 4̅ 5̅ 4̅ 5̅ ̅ 𝟔 ̅ 𝟕 ̅ 𝟖 6̅ 7̅ 8̅ 6̅ 7̅ 8̅ 9̅ 6̅ 7̅ 8̅ 9̅ ̅̅̅̅ 10 6̅ 7̅ 8̅ 9̅ ̅̅̅̅ 10 ̅̅̅̅ 11 6̅ 7̅ 8̅ 9̅ ̅10 ̅̅̅ ̅̅̅̅ 11 0̅ 5̅ 6̅ 7̅ ̅ 𝟑 ̅ 𝟒 ̅ 𝟓 2̅ 3̅ 4̅ 5̅ 8̅ 9̅ ̅̅̅̅ 10 ̅11 ̅̅̅ 0̅ 1̅ 9̅ ̅̅̅̅ 10 ̅̅̅̅ 11 0̅ 1̅ 2̅ ̅10 ̅̅̅ ̅̅̅̅ 11 0̅ 1̅ 2̅ 3̅ 0̅ 1̅ 2̅ 3̅ 4̅ 5̅ 1̅ 2̅ 3̅ 4̅ 5̅ 2̅ 3̅ 4̅ 5̅ ̅ 𝟗 ̅̅̅̅ 𝟏𝟎 ̅̅̅̅ 𝟏𝟏 9̅ ̅10 ̅̅̅ ̅̅̅̅ 11 ̅10 ̅̅̅ ̅11 ̅̅̅ 0̅ ̅11 ̅̅̅ 0̅ 1̅ 0̅ 1̅ 2̅ 1̅ 2̅ 3̅ 2̅ 3̅ 4̅ 3̅ 4̅ 5̅ 4̅ 5̅ ̅11 ̅̅̅ 0̅ 1̅ 2̅ 3̅ 4̅ 5̅ 6̅ 6̅ 7̅ 6̅ 7̅ 8̅ 6̅ 7̅ 8̅ 9̅ 6̅ 7̅ 8̅ 9̅ ̅̅̅̅ 10 Tabel 2.2 Operasi ⊕ pada himpunan bilangan jam 12-an Pada Tabel 2.2, terlihat hasil 8̅ ⊕ 6̅ = 2̅ sedangkan 2̅ ⊕ 3̅ = 5̅. Untuk operasi unsur lainnya bisa dilihat sendiri. 30 Definisi 2.2 Suatu himpunan tak hampa disebut struktur aljabar (sistem matematika) jika himpunan tersebut dilengkapi dengan operasi. Pada hakikatnya, setiap struktur aljabar boleh memiliki lebih dari satu buah operasi. Misalkan 𝑆 suatu himpunan serta ∗ dan ∘ dua buah operasi pada himpunan 𝑆. Tanda (𝑆,∗) digunakan untuk menyatakan struktur aljabar 𝑆 (yang dilengkapi) dengan operasi ∗ sementara tanda (𝑆,∗ ,∘ ) atau (𝑆,∘ ,∗ ) digunakan untuk menyatakan struktur aljabar 𝑆 dengan dua buah operasi, ∗ dan ∘. Untuk selanjutnya, kata struktur digunakan sebagai pengganti kata struktur aljabar sementara sistem sebagai pengganti kata sistem matematika. Untuk menunjukkan sembarang himpunan tak hampa membentuk struktur, tentu saja harus menunjukkan himpunan tersebut dilengkapi operasi. Untuk itu, cukup menunjukkan bahwa operasinya terdefinisi dengan baik pada himpunan tersebut. Pada bahasan operasi telah dijelaskan bahwa jumlah merupakan operasi pada himpunan bilangan bulat. Untuk itu, himpunan bilangan bulat membentuk struktur dengan operasi +, ditulis: (ℤ , + ). Di sisi lain, himpunan bilangan bulat juga membentuk struktur dengan operasi ×, ditulis: (ℤ , ×). Dengan demikian, (ℤ , + , ×) merupakan struktur dengan dua buah operasi, + dan ×. Sekarang pandang himpunan ℤ𝑛 = {0̅, 1̅, … , ̅̅̅̅̅̅̅ 𝑛 − 1 } dengan operasi jumlah, ditulis: ⊕, dan operasi kali, ditulis: ⊙, pada ℤ𝑛 untuk suatu 𝑛 ∈ ℤ+ diberikan: 𝑎̅ ⊕ 𝑏̅ = ̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎 + 𝑏 untuk setiap 𝑎̅, 𝑏̅ ∈ ℤ𝑛 . 𝑎̅ ⊙ 𝑏̅ = ̅̅̅ 𝑎𝑏 untuk setiap 𝑎̅, 𝑏̅ ∈ ℤ𝑛 . Ambil unsur 𝑎̅1 , 𝑎̅2 , 𝑏̅1 , 𝑏̅2 ∈ ℤ𝑛 dengan 𝑎̅1 = 𝑎̅2 dan 𝑏̅1 = 𝑏̅2 . Pengambilan unsur ini semua mengakibatkan adanya unsur 𝑞, 𝑟 ∈ ℤ yang memenuhi 𝑎1 = 𝑎2 + 𝑞𝑛 dan 𝑏1 = 𝑏2 + 𝑟𝑛. Dengan menggunakan penjumlahan kita peroleh 𝑎1 + 𝑏1 (𝑎1 + 𝑏1 ) − (𝑎2 + 𝑏2 ) = = = (𝑎2 + 𝑞𝑛) + (𝑏2 + 𝑟𝑛) (𝑎2 + 𝑏2 ) + (𝑞 + 𝑟)𝑛 (𝑞 + 𝑟)𝑛 Dari hasil di atas kita dapatkan (𝑎1 + 𝑏1 ) − (𝑎2 + 𝑏2 ) kelipatan n, ini berarti bahwa 𝑎1 + 𝑏1 ≡ 𝑎2 + 𝑏2 (mod n). Untuk itu, ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎1 + 𝑏1 = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎2 + 𝑏2 dan mengakibatkan 𝑎̅1 ⊕ 𝑏̅1 = = = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎1 + 𝑏1 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎2 + 𝑏2 𝑎̅2 ⊕ 𝑏̅2 . 31 Selanjutnya, ambil 𝑎̅, 𝑏̅ ∈ ℤ𝑛 . Perhatikan hasil berikut ini. 𝑎̅ ⊕ 𝑏̅ = = ∈ ̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎+𝑏 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ (𝑎 + 𝑏) + 𝑞𝑛 ℤ𝑛 Dua hasil tadi memperlihatkan bahwa operasi ⊕ terdefinisi dengan baik pada himpunan ℤ𝑛 . Ini artinya himpunan ℤ𝑛 tidak lain struktur dengan operasi ⊕. Di sisi lain, himpunan ℤ𝑛 juga membentuk struktur dengan operasi ⊙. Dengan demikian, jelaslah bahwa (ℤ𝑛 , ⊕, ⊙) struktur (sistem) bilangan bulat 𝒎𝒐𝒅 𝒏 (dibaca: modulo 𝑛). Khususnya, untuk 𝑛 = 12 kita mengenalnya dengan sebutan struktur (sistem) bilangan jam. Operasi ⊕ untuk sistem bilangan jam dapat dilihat pada Tabel 2.2 sementara untuk operasi ⊙ dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini. ⊙ ̅ 𝟎 ̅ 𝟏 ̅ 𝟐 ̅ 𝟑 ̅ 𝟒 ̅ 𝟓 ̅ 𝟔 ̅ 𝟕 ̅ 𝟖 ̅ 𝟗 ̅̅̅̅ 𝟏𝟎 ̅̅̅̅ 𝟏𝟏 ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅̅̅̅ ̅ ̅ 𝟕 𝟎 𝟏 𝟐 𝟑 𝟒 𝟔 𝟖 𝟗 𝟏𝟎 𝟓 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ ̅0 ̅1 ̅2 ̅3 ̅6 ̅7 ̅8 ̅9 ̅10 ̅̅̅ ̅4 ̅5 ̅̅ ̅̅ 0̅ 2̅ 4̅ 6̅ 8̅ 10 0̅ 2̅ 4̅ 6̅ 8̅ 0̅ 3̅ 6̅ 9̅ 0̅ 3̅ 6̅ 9̅ 0̅ 3̅ 6̅ 0̅ 4̅ 8̅ 0̅ 4̅ 8̅ 0̅ 4̅ 8̅ 0̅ 4̅ ̅0 ̅10 ̅̅̅ ̅3 ̅8 ̅1 ̅6 ̅11 ̅̅̅ ̅9 ̅5 ̅4 2̅ 0̅ 6̅ 0̅ 6̅ 0̅ 6̅ 0̅ 6̅ 0̅ 6̅ 0̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ 7̅ 0̅ 2̅ 9̅ 4̅ 11 6̅ 1̅ 8̅ 3̅ 10 0̅ 8̅ 4̅ 0̅ 8̅ 4̅ 0̅ 8̅ 4̅ 0̅ 8̅ ̅0 ̅9 ̅6 ̅3 ̅0 ̅9 ̅6 ̅3 ̅0 ̅9 6̅ ̅̅ ̅̅ ̅10 ̅̅̅ 0̅ 10 8̅ 6̅ 4̅ 2̅ 0̅ 8̅ 6̅ 4̅ ̅̅̅̅ 10 ̅̅̅̅ 7̅ 4̅ 0̅ 11 9̅ 8̅ 6̅ 3̅ 2̅ 5̅ Tabel 2.3 Operasi ⊙ pada himpunan bilangan jam 12-an ̅̅̅̅ 𝟏𝟏 0̅ ̅̅ ̅̅ 11 ̅̅ ̅̅ 10 9̅ 8̅ 7̅ 6̅ 5̅ 4̅ 3̅ 2̅ 1̅ Misalkan (𝑆, ∗) suatu struktur dan 𝑇 ⊆ 𝑆. Subhimpunan 𝑇 dengan operasi ∗ disebut substruktur dari struktur (𝑆, ∗) jika (𝑇,∗) juga suatu struktur. Mengingat (𝑆, ∗) suatu struktur, tentu saja untuk setiap unsur 𝑎1 , 𝑎2 , 𝑏1 , 𝑏2 ∈ 𝑆 dengan 𝑎1 = 𝑎2 dan 𝑏1 = 𝑏2 , memenuhi 𝑎1 ∗ 𝑏1 = 𝑎2 ∗ 𝑏2 . Sekarang ambil unsur 𝑎3 , 𝑎4 , 𝑏3 , 𝑏4 ∈ 𝑇 dengan 𝑎3 = 𝑎4 dan 𝑏3 = 𝑏4 . Mengingat 𝑇 ⊆ 𝑆, pasti didapatkan hasil 𝑎3 ∗ 𝑏3 = 𝑎4 ∗ 𝑏3. Selain itu, tentu saja subhimpunan 𝑇 tidak hampa. Dengan demikian, untuk menunjukkan subhimpunan 𝑇 substruktur dari struktur (𝑆, ∗) cukup memperlihatkan bahwa subhimpunan 𝑇 tidak hampa dan tertutup terhadap operasi ∗. Artinya, cukup dengan memperlihatkan bahwa 𝑇 ≠ ∅ dan semua unsur 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑇 memenuhi 𝑎 ∗ 𝑏 ∈ 𝑇. Contoh 2.4. Pandang himpunan bilangan cacah ℕ. Struktur (ℕ, +) merupakan substruktur dari struktur (ℤ, +). Struktur (ℕ, ×) juga membentuk substruktur dari struktur (ℤ, ×). 32 Untuk selanjutnya, jika operasi yang dimaksud jelas, maka penulisan (𝑆, ∗) cukup dengan 𝑆 saja. Untuk itu, struktur bilangan bulat (ℤ , + , ×) cukup ditulis dengan struktur ℤ. Berikut ini disajikan beberapa istilah terkait struktur dan operasinya. Definisi 2.3 Misalkan ∗ operasi pada struktur 𝑆. Operasi ∗ disebut bersifat asosiatif jika untuk setiap 𝑎, 𝑏, 𝑐 ∈ 𝑆 memenuhi (𝑎 ∗ 𝑏) ∗ 𝑐 = 𝑎 ∗ (𝑏 ∗ 𝑐). Berdasarkan definisi di atas, terlihat bahwa langkah pengerjaan dalam mengoperasikan ketiga anggota 𝑆, mengoperasikan unsur yang berada di dalam kurung terlebih dahulu, tidak berpengaruh pada hasil operasi yang diperoleh. Contoh operasi yang asosiatif adalah jumlah dan kali pada struktur bilangan bulat sedangkan yang tidak asosiatif ialah pengurangan pada himpunan bilangan bulat. Definisi 2.4 Misalkan ∗ operasi pada struktur 𝑆 dan 𝑒 ∈ 𝑆. Unsur e disebut identitas struktur 𝑆 jika 𝑒 ∗ 𝑎 = 𝑎 ∗ 𝑒 = 𝑎 untuk setiap 𝑎 ∈ 𝑆. Struktur bilangan bulat yang dilengkapi dengan operasi jumlah mempunyai identitas 0, karena untuk setiap 𝑎 ∈ ℤ berlaku 𝑎 + 0 = 0 + 𝑎 = 𝑎. Sifat 2.1 Unsur identitas setiap struktur senantiasa tunggal. Bukti. Misalkan 𝑒, 𝑓 ∈ 𝑆 dua buah unsur identitas dan ∗ operasi pada 𝑆. Karena 𝑒 identitas, ia memenuhi sifat 𝑒 ∗ 𝑓 = 𝑓. Dengan cara yang sama 𝑓 juga memenuhi sifat 𝑒 ∗ 𝑓 = 𝑒. Dua hal ini mengakibatkan 𝑓 = 𝑒 ∗ 𝑓 = 𝑒. Hasil terakhir ini meyakinkan kita bahwa unsur identitas setiap struktur bersifat tunggal.∎ Definisi 2.5 Misalkan ∗ operasi pada struktur 𝑆 dan 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆. Unsur 𝑏 disebut invers (balikan) 𝑎 jika 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑏 ∗ 𝑎 = 𝑒. Misalkan 𝑎 ∈ ℤ. Jika operasi pada ℤ berupa jumlah, maka invers 𝑎 adalah – 𝑎 mengingat 𝑎 + (−𝑎) = 0. Sifat 2.2 Misalkan 𝑆 suatu struktur, 𝑒 identitas 𝑆 dan 𝑎 ∈ 𝑆 memiliki balikan. Jika operasi pada struktur 𝑆 asosiatif maka balikan 𝑎 tunggal. 33 Bukti. Misalkan 𝑏 dan 𝑐 dua buah balikan unsur 𝑎 terhadap operasi ∗, tentu saja 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑏 ∗ 𝑎 = 𝑒 = 𝑎 ∗ 𝑐 = 𝑐 ∗ 𝑎. Sementara itu, mengingat operasi ∗ asosiatif, kita memperoleh unsur 𝑏 = 𝑏 ∗ 𝑒 = 𝑏 ∗ (𝑎 ∗ 𝑐) = (𝑏 ∗ 𝑎) ∗ 𝑐 = 𝑒 ∗ 𝑐 = 𝑐 seperti yang diinginkan. ∎ Definisi 2.6 Misalkan ∗ operasi pada struktur 𝑆. Operasi ∗ disebut bersifat komutatif jika untuk setiap unsur 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆 memenuhi 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑏 ∗ 𝑎. Operasi jumlah dan kali pada struktur bilangan bulat bersifat komutatif sementara operasi perkalian matriks pada struktur matriks 2𝑥2 yang determinannya tidak nol tidak komutatif. Misalkan 𝑆 himpunan tak hampa, 𝑀(𝑆) himpunan semua pemetaan pada 𝑆 dan ∘ menyatakan komposisi pemetaan. Di sini (𝑓 ∘ 𝑔)(𝑥) = 𝑓(𝑔(𝑥)) untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆. Jelas ∘ operasi pada himpunan 𝑀(𝑆) sehingga 𝑀(𝑆) membentuk struktur dengan operasi itu. Berikut ini sifat komposisi sebagai suatu operasi. Sifat 2.3 Misalkan 𝑆 himpunan tak hampa, 𝑀(𝑆) himpunan pemetaan pada 𝑆 dan ∘ menyatakan operasi komposisi. a. Operasi komposisi pada 𝑀(𝑆) bersifat asosiatif dan 𝑖𝑆 ∈ 𝑀(𝑆) adalah identitas. b. Komposisi pada 𝑁 = {𝑓 ∈ 𝑀(𝑆)|𝑓 dapat dibalik} merupakan operasi yang bersifat asosiatif dan 𝑖𝑆 ∈ 𝑁adalah identitas. Bukti. (a). Ambil 𝑓, 𝑔, ℎ ∈ 𝑀(𝑆). Perhatikan bahwa ((𝑓 ∘ 𝑔) ∘ ℎ)(𝑥) = (𝑓 ∘ 𝑔)(ℎ(𝑥)) = 𝑓 (𝑔(ℎ(𝑥))) = 𝑓((𝑔 ∘ ℎ)(𝑥)) (𝑓 ∘ (𝑔 ∘ ℎ))(𝑥) = Dengan demikian, (𝑓 ∘ 𝑔) ∘ ℎ = 𝑓 ∘ (𝑔 ∘ ℎ). Sekarang pilih 𝑖𝑆 ∈ 𝑀(𝑆). Perhatikan 𝑓 ∘ 𝑖𝑆 = 𝑓 karena (𝑓 ∘ 𝑖𝑆 )(𝑥) = 𝑓(𝑖𝑆 (𝑥)) = 𝑓(𝑥), Sementara itu, 𝑖𝑆 ∘ 𝑓 = 𝑓 karena (𝑖𝑆 ∘ 𝑓)(𝑥) = 𝑖𝑆 (𝑓(𝑥)) = 𝑓(𝑥). Dengan demikian, 𝑖𝑆 identitas. (b). Ambil 𝑓, 𝑔 ∈ N. Di sini 𝑓 dan 𝑔 dapat dibalik. Artinya, pemetaan 𝑓 dan 𝑔 keduanya bijektif. Untuk itu, komposisi 𝑓 ∘ 𝑔 juga bijektif sehingga mengakibatkan 𝑓 ∘ 𝑔 dapat dibalik. Jadi dengan kata lain, komposisi operasi pada 𝑁. Langkah selanjutnya serupa dengan (a). ∎ Latihan 2.1 1. Jelaskan apakah ∗ merupakan operasi pada bilangan bulat jika untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ ℤ, diberikan: 34 a. b. c. d. e. f. g. h. 𝑎∗𝑏 𝑎∗𝑏 𝑎∗𝑏 𝑎∗𝑏 𝑎∗𝑏 𝑎∗𝑏 𝑎∗𝑏 𝑎∗𝑏 = 𝑎𝑏 + 1 = (𝑎 + 𝑏)/2 =𝑏 = 𝑎𝑏 2 = 𝑎2 + 𝑏 2 = 2𝑎𝑏 =3 = √𝑎𝑏 2. Apakah operasi berikut (∗) membuat himpunan yang diberikan membentuk suatu struktur aljabar? lengkapi jawaban dengan alasan. a. Operasi ∗ pada ℤ didefinisikan dengan 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑎𝑏 b. Operasi ∗ pada himpunan 2ℤ = {2𝑛 | 𝑛 ∈ ℤ} didefinisikan dengan 𝑎 ∗ 𝑏=𝑎+𝑏 c. Operasi ∗ pada ℝ+ didefinisikan dengan 𝑎 ∗ 𝑏 = √𝑎𝑏 d. Operasi ∗ pada ℚ didefinisikan dengan 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑎𝑏 𝑎 e. Operasi ∗ pada ℝ\{0} didefinisikan dengan 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑏 f. Operasi ∗ pada ℂ didefinisikan dengan 𝑎 ∗ 𝑏 = |𝑎𝑏| 3. Lengkapi tabel berikut sehingga operasi ∗ menjadi komutatif. ∗ 𝒂 𝒃 𝒄 𝒅 𝒂 𝑎 𝑐 𝒃 𝑏 𝑐 𝑑 𝑎 𝒄 𝒅 𝑑 𝑎 𝑏 2.2 Grup dan sifat dasar grup Dari struktur yang ada, hanya struktur dengan satu operasi saja yang akan dibahas pada buku ini. Struktur dengan satu operasi yang akan dibahas kali ini berupa grup. Mari perhatikan definisi formal grup seperti berikut ini. Definisi 2.7 Suatu struktur (𝐺, ∗) disebut grup jika memenuhi aksioma berikut. 1. Operasi ∗ pada 𝐺 bersifat asosiatif: untuk setiap 𝑥, 𝑦, 𝑧 ∈ 𝐺 berlaku sifat (𝑥 ∗ 𝑦) ∗ 𝑧 = 𝑥 ∗ (𝑦 ∗ 𝑧) 2. Adanya unsur identitas, ditulis: 𝑒, pada 𝐺: untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺 ada 𝑒 ∈ 𝐺 sehingga berlaku 𝑥 ∗ 𝑒 = 𝑒 ∗ 𝑥 = 𝑥 3. Setiap anggota 𝐺 mempunyai invers: untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺 ada 𝑎 ∈ 𝐺 invers 𝑥 sehingga berlaku 𝑥 ∗ 𝑎 = 𝑎 ∗ 𝑥 = 𝑒. Untuk menunjukkan suatu himpunan dengan operasi tertentu adalah grup, kita harus memastikan terlebih dahulu bahwa himpunan itu tidak hampa dan membentuk struktur dengan operasi yang dimaksud tadi. Selanjutnya baru 35 terapkan Definisi 2.7. Berdasarkan definisi ini, setiap grup senantiasa memiliki anggota, setidaknya unsur identitas. Pandang struktur ℤ𝑛 untuk suatu 𝑛 ∈ ℤ+ . Kemudian ambil tiga buah unsur 𝑎̅, 𝑏̅, 𝑐̅ ∈ ℤ𝑛 . Perhatikanlah kesamaan berikut ini! 𝑎̅ ⊕ (𝑏̅ ⊕ 𝑐̅) = = = = = ̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎̅ ⊕ (𝑏 + 𝑐) ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎 + (𝑏 + 𝑐) ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ (𝑎 + 𝑏) + 𝑐 ̅̅̅̅̅̅̅ (𝑎 + 𝑏) ⊕ 𝑐̅ (𝑎̅ ⊕ 𝑏̅) ⊕ 𝑐̅ Kesamaan tadi memperlihatkan sifat asosiatif operasi ⊕ pada ℤ𝑛 . Selanjutnya, unsur 0̅ ∈ ℤ𝑛 berperan sebagai identitas mengingat untuk setiap 𝑎̅ ∈ ℤ𝑛 ia memenuhi 0̅ ⊕ 𝑎̅ = ̅̅̅̅̅̅̅ 0 + 𝑎 = 𝑎̅ = ̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎 + 0 = 𝑎̅ ⊕ 0̅. Terakhir, unsur −𝑎̅ ∈ ℤ𝑛 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ berperan sebagai invers 𝑎̅ ∈ ℤ𝑛 mengingat 𝑎̅ ⊕ (−𝑎̅) = 𝑎 + (−𝑎) = ̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎 − 𝑎 = 0̅ dan ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅̅̅ (−𝑎̅) ⊕ 𝑎̅ = (−𝑎) + 𝑎 = −𝑎 + 𝑎 = 0̅. Dengan demikian, struktur ℤ𝑛 yang dilengkapi dengan operasi ⊕ membentuk grup. Untuk melihat identitas dan invers tiap unsur pada ℤ12 silakan lihat kembali Tabel 2.2. Perhatikan contoh berikut ini. Pada contoh ini disajikan himpunan yang berupa grup dan bukan grup. Contoh 2.5. Struktur ℤ, ℚ, dan ℝ dengan operasi + membentuk grup. Sebaliknya, baik struktur ℤ, ℚ maupun ℝ dengan operasi × ketiganya bukan grup mengingat Definisi 2.7(3) tidak terpenuhi. Unsur 2 ∈ ℤ tidak mempunyai invers kali begitu juga dengan unsur 0 ∈ ℚ dan 0 ∈ ℝ. Khususnya untuk struktur ℚ dan ℝ dengan operasi ×. Kedua struktur ini masih dapat membentuk grup ketika unsur 0 kita keluarkan dari keduanya, ditulis: ℚ\{0} dan ℝ\{0}. 𝑎 𝑏 Contoh 2.6. Misalkan 𝑀(ℚ) = {( ) ∣ 𝑎, 𝑏, 𝑐, 𝑑 ∈ ℚ}, + operasi jumlah matriks 𝑐 𝑑 dan × operasi kali matriks. Struktur 𝑀(ℚ) dengan operasi + membentuk grup, tetapi dengan operasi × tidak membentuk grup. Misalkan 𝑁 ⊆ 𝑀(ℚ) dan setiap anggota 𝑁 mempunyai invers. Subhimpunan 𝑁 membentuk grup dengan operasi + maupun ×. Definisi 2.8 Suatu grup disebut komutatif jika operasi pada grup tersebut bersifat komutatif. Grup bilangan bulat ℤ, bilangan pecahan ℚ, bilangan riil ℝ dan bilangan kompleks ℂ dengan operasi + pada Contoh 2.5 bersifat komutatif. Sementara itu, grup matriks invertible 𝑀2×2 tidak komutatif. 36 Untuk memudahkan bekerja dengan grup, ada beberapa sifat dasar grup yang perlu kita kuasai. Selain itu, penulisan hasil operasi 𝑎 dan 𝑏 yang sebelumnya ditulis 𝑎 ∗ 𝑏 mulai sekarang cukup dituliskan 𝑎𝑏 saja sementara invers 𝑎 ditulis: 𝑎−1 . Sifat 2.4 Misalkan 𝐺 suatu grup. Untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺 berlaku (𝑥 −1 )−1 = 𝑥 dan (𝑥𝑦)−1 = 𝑦 −1 𝑥 −1 . Bukti. Ambil sembarang unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺. Mengingat 𝐺 suatu grup, ada unsur 𝑥 −1 , 𝑦 −1 ∈ 𝐺 yang mengakibatkan 𝑥 −1 𝑥 = 𝑒 dan 𝑦 −1 𝑦 = 𝑒 untuk suatu 𝑒 unsur identitas grup 𝐺. Oleh karena 𝑥 −1 , 𝑦 −1 ∈ 𝐺, ada (𝑥 −1 )−1 , ( 𝑦 −1 )−1 ∈ 𝐺 yang juga mengakibatkan (𝑥 −1 )−1 𝑥 −1 = 𝑒 dan ( 𝑦 −1 )−1 𝑦 −1 = 𝑒. Dengan demikian, diperoleh (𝑥 −1 )−1 = = = = = (𝑥 −1 )−1 𝑒 (𝑥 −1 )−1 (𝑥 −1 𝑥) ((𝑥 −1 )−1 𝑥 −1 ) 𝑥 𝑒𝑥 𝑥 Selanjutnya, mengingat 𝑥𝑦 ∈ 𝐺 tentu saja (𝑥𝑦)−1 ∈ 𝐺 (𝑥𝑦)−1 (𝑥𝑦) = 𝑒. Hal tersebut mengakibatkan hasil berikut ini. (𝑥 𝑦)−1 (𝑥 𝑦) (𝑥 𝑦)−1 (𝑥 𝑦)( 𝑦 −1 𝑥 −1 ) (𝑥 𝑦)−1 𝑥(𝑦 𝑦 −1 ) 𝑥 −1 (𝑥 𝑦)−1 𝑥𝑒 𝑥 −1 ((𝑥 𝑦)−1 𝑥)(𝑒 𝑥 −1 ) (𝑥 𝑦)−1 (𝑥 𝑥 −1 ) (𝑥 𝑦)−1 𝑒 (𝑥 𝑦)−1 = = = = = = = = sehingga 𝑒 𝑥 −1 ) 𝑦 −1 𝑥 −1 𝑦 −1 𝑥 −1 𝑦 −1 𝑥 −1 𝑦 −1 𝑥 −1 𝑦 −1 𝑥 −1 𝑦 −1 𝑥 −1 ∎ 𝑒 (𝑦 −1 Contoh 2.7. Pandang himpunan bilangan bulat sebagai grup dengan operasi jumlah dan himpunan bilangan rasional tak nol sebagai grup dengan operasi kali. Untuk himpunan bilangan bulat berlaku (2−1 )−1 = (−2)−1 = −(−2) = 2 dan (5)−1 = (2 + 3)−1 = (3)−1 + (2)−1 = (−3) + (−2) = −5. Begitu juga untuk himpunan bilangan rasional tak nol akan memenuhi (2−1 )−1 = (12) −1 = 11⁄2 = 2 dan (6)−1 = (2 × 3)−1 = (3)−1 (2)−1 = (13)(12) = 16. 37 Sifat 2.5 Misalkan 𝑆 suatu struktur asosiatif. Jika 𝑆 memiliki identitas kiri 𝑒 dan untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆 terdapat 𝑢 ∈ 𝑆 sehingga 𝑢𝑥 = 𝑒 maka 𝑆 grup. Bukti. Misalkan 𝑆 suatu struktur asosiatif. Struktur 𝑆 memiliki identitas kiri 𝑒, artinya untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆 berlaku 𝑒𝑥 = 𝑥. Untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆 terdapat 𝑢 ∈ 𝑆 sehingga 𝑢𝑥 = 𝑒. Untuk membuktikan 𝑆 suatu grup cukup dengan menunjukkan bahwa untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆 terdapat 𝑢 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑥𝑢 = 𝑒, kemudian menunjukkan 𝑒 identitas kanan 𝑆. Ambil 𝑥 ∈ 𝑆. Berdasarkan hipotesis, ada 𝑢 ∈ 𝑆 sehingga 𝑢𝑥 = 𝑒. Mengingat 𝑢 ∈ 𝑆¸ dengan alasan yang sama, ada 𝑣 ∈ 𝑆 sehingga 𝑣𝑢 = 𝑒. Perhatikan bahwa 𝑆 struktur asosiatif dan 𝑒 identitas kiri. Akibatnya, 𝑢𝑥𝑢 = (𝑢𝑥)𝑢 = 𝑒𝑢 = 𝑢. Hal tersebut mengakibatkan 𝑥𝑢 = 𝑒(𝑥𝑢) = (𝑣𝑢)(𝑥𝑢) = 𝑣(𝑢𝑥𝑢) = 𝑣𝑢 = 𝑒. Jadi, untuk setiap unsur 𝑥 ∈ 𝑆 terdapat unsur 𝑢 ∈ 𝑆 sehingga 𝑥𝑢 = 𝑒. Selanjutnya, perhatikan bahwa 𝑥𝑒 = 𝑥(𝑢𝑥) = (𝑥𝑢)𝑥 = 𝑒𝑥 = 𝑥. Jadi untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆 berlaku 𝑒𝑥 = 𝑥 = 𝑥𝑒, yaitu 𝑒 unsur identitas di 𝑆. ∎ Sifat 2.6 Misalkan 𝑆 suatu struktur asosiatif. Struktur 𝑆 membentuk grup jika dan hanya jika untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 terdapat secara tunggal 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑎𝑥 = 𝑦 dan 𝑥𝑏 = 𝑦. Bukti. (⇒). Misalkan struktur 𝑆 grup. Ambil unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆. Akibatnya, terdapat 𝑥 −1 , 𝑦 −1 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑦𝑥 −1 , 𝑥 −1 𝑦 ∈ 𝑆. Pilih unsur 𝑎 = 𝑦𝑥 −1 ∈ 𝑆 dan unsur 𝑏 = 𝑥 −1 𝑦 ∈ 𝑆. Untuk itu, diperoleh 𝑎𝑥 = = = = (𝑦𝑥 −1 )𝑥 𝑦(𝑥 −1 𝑥) 𝑦𝑒 𝑦 𝑥𝑏 = = = = 𝑥(𝑥 −1 𝑦) (𝑥𝑥 −1 )𝑦 𝑒𝑦 𝑦 dan Selanjutnya akan ditunjukkan ketunggalan unsur 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆. Misalkan ada 𝑎 , 𝑏 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑎′𝑥 = 𝑦 dan 𝑥𝑏′ = 𝑦. Hal tersebut mengakibatkan 𝑎′ 𝑥 = 𝑦 = 𝑎𝑥 dan 𝑥𝑏 ′ = 𝑦 = 𝑥𝑏. Perhatikan bahwa ′ ′ 38 𝑎′ = = = = = 𝑎′ (𝑥𝑥 −1 ) (𝑎′ 𝑥)𝑥 −1 (𝑎𝑥)𝑥 −1 𝑎(𝑥𝑥 −1 ) 𝑎 𝑏′ = (𝑥 −1 𝑥)𝑏′ = 𝑥 −1 (𝑥𝑏′) = 𝑥 −1 (𝑥𝑏) = (𝑥 −1 𝑥)𝑏 = 𝑏 dan ′ Jadi, 𝑎′ = 𝑎 dan 𝑏 ′ = 𝑏 dan dengan demikian unsur 𝑎 dan 𝑏 tunggal. (⇐). Misalkan 𝑆 struktur asosiatif dan untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 terdapat secara tunggal 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑎𝑥 = 𝑦 dan 𝑥𝑏 = 𝑦. Akan ditunjukkan bahwa 𝑆 grup. Ambil satu unsur 𝑧 ∈ 𝑆. Untuk itu, terdapat 𝑒 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑒𝑧 = 𝑧. Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa 𝑒 identitas kiri. Ambil 𝑥 ∈ 𝑆. Ini mengakibatkan ada 𝑏 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑧𝑏 = 𝑥 sehingga kita memperoleh 𝑒𝑥 = 𝑒(𝑧𝑏) = (𝑒𝑧)𝑏 = 𝑧𝑏 = 𝑥. Karena untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆 berlaku 𝑒𝑥 = 𝑥, kita menyimpulkan 𝑒 identitas kiri 𝑆. Selanjutnya, untuk setiap x ∈ S, terdapat a ∈ S yang memenuhi ax = e. Berdasarkan Sifat 2.5, 𝑆 suatu grup. ∎ Sifat 2.6 di atas sebenarnya sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika berbicara mengenai sistem bilangan bulat dengan operasi jumlah, saat bekerja dengan persamaan 𝑎 + 𝑥 = 𝑦. Setiap kita mengambil dua buah bilangan bulat 𝑥 dan 𝑦, selalu diperoleh bilangan 𝑎, dengan cara mengurangkan dua buah bilangan bulat tersebut, 𝑎 = 𝑦 − 𝑥. Begitu juga ketika dihadapkan dengan struktur bilangan rasional tak nol yang dilengkapi operasi kali (×), kita mempunyai persamaan 𝑎 × 𝑥 = 𝑦. Untuk itu, setiap kita mengambil dua buah bilangan rasional tak nol 𝑥 dan 𝑦, selalu kita 𝑦 temukan bilangan 𝑎, yaitu 𝑎 = 𝑥 . Sifat berikut ini ditimbulkan akibat adanya sifat di atas, untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan. Sifat 2.7 Unsur identitas dan unsur balikan (invers) pada grup senantiasa tunggal. 39 Bukti. Misalkan 𝐺 suatu grup. Ambil 𝑥 ∈ 𝐺. Berdasarkan Sifat 2.6, ada unsur identitas 𝑒 ∈ 𝐺 yang bersifat tunggal memenuhi 𝑒𝑥 = 𝑥 = 𝑥𝑒 dan ada 𝑥 −1 ∈ 𝐺 secara tunggal sehingga 𝑥 −1 𝑥 = 𝑒 = 𝑥𝑥 −1 . ∎ Suatu grup disebut memenuhi hukum pembatalan kiri jika untuk setiap unsur 𝑥, 𝑦, 𝑧 ∈ 𝐺 dengan 𝑥𝑦 = 𝑥𝑧 mengakibatkan 𝑦 = 𝑧. Di sisi lain, suatu grup disebut memenuhi hukum pembatalan kanan jika untuk setiap unsur 𝑥, 𝑦, 𝑧 ∈ 𝐺 dengan 𝑦𝑥 = 𝑧𝑥 mengakibatkan 𝑦 = 𝑧. Grup disebut memenuhi hukum pembatalan jika memenuhi pembatalan kiri maupun kanan. Sifat 2.8 Setiap grup senantiasa memenuhi hukum pembatalan kiri maupun pembatalan kanan. Bukti. Misalkan 𝐺 suatu grup. Ambil 𝑥, 𝑦, 𝑧 ∈ 𝐺 dengan 𝑥𝑦 = 𝑥𝑧. Karena 𝐺 grup, tentu saja terdapat 𝑥 −1 , 𝑦 −1 , 𝑧 −1 ∈ 𝐺 sehingga diperoleh 𝑦 = 𝑒𝑦 −1 (𝑥 = 𝑥)𝑦 −1 (𝑥𝑦) = 𝑥 = 𝑥 −1 (𝑥𝑧) = (𝑥 −1 𝑥)𝑧 = 𝑒𝑧 = 𝑧 𝑦 = = = = = = = dan 𝑦𝑒 𝑦(𝑥𝑥 −1 ) (𝑦𝑥)𝑥 −1 (𝑧𝑥)𝑥 −1 𝑧(𝑥𝑥 −1 ) 𝑧𝑒 𝑧 Jadi setiap grup senantiasa memenuhi hukum pembatalan kiri maupun pembatalan kanan. ∎ Latihan 2.2 1. Perhatikan soal no. 1 pada Latihan 2.1! Mana saja yang merupakan grup dan yang bukan?. Lengkapi jawaban dengan alasan yang tepat! 2. Misalkan 𝑆 himpunan semua bilangan real selain −1 dan ∗ operasi pada 𝑆 yang didefinisikan dengan 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑎 + 𝑏 + 𝑎𝑏. (𝑆, Tunjukkan bahwa ∗) suatu grup! 3. Tunjukkan bahwa ℤ4 × ℤ2 = {(𝑎, 𝑏) | 𝑎 ∈ ℤ4 , 𝑏 ∈ ℤ2 } grup dengan operasi yang didefinisikan oleh 40 (𝑎, 𝑏)(𝑐, 𝑑) = (𝑎 ⊕ 𝑐, 𝑏 ⊕ 𝑑) untuk setiap 𝑎, 𝑐 ∈ ℤ4 dan 𝑏, 𝑑 ∈ ℤ2 . 4. Misalkan 𝐺 suatu grup. Tunjukkanlah pernyataan berikut benar! a. 𝑎𝑏 = 𝑏𝑎 jika dan hanya jika 𝑎−1 𝑏 −1 = 𝑏 −1 𝑎−1 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. b. 𝑎𝑏 = 𝑏𝑎 jika dan hanya jika (𝑎𝑏)2 = 𝑎2 𝑏 2 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. c. Grup 𝐺 komutatif jika dan hanya jika (𝑎𝑏)−1 = 𝑎−1 𝑏 −1 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. 5. Hanya ada satu cara untuk melengkapi tabel berikut sehingga {𝑎, 𝑏, 𝑐} membentuk grup terhadap operasi ∗. Lengkapilah dan jelaskan kenapa hal tersebut terjadi! ∗ 𝒂 𝒂 𝒃 𝒄 𝑏 𝒃 𝒄 2.3 Subgrup dan sifatnya Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 ⊆ 𝐺. Jika 𝐻 mempunyai struktur yang sama dengan 𝐺 maka 𝐻 disebut subgrup 𝐺. Berikut ini disajikan definisi formal subgrup. Definisi 2.9 Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 ⊆ 𝐺. Subhimpunan 𝐻 disebut subgrup 𝐺, ditulis: 𝐻 ≤ 𝐺, jika 𝐻 membentuk grup dengan operasi yang sama pada 𝐺. Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subgrup 𝐺, tentu saja subhimpunan 𝐻 substruktur 𝐺. Lebih jauh lagi, subhimpunan 𝐻 pasti tak hampa dan tertutup terhadap operasi di 𝐺, yakni: setiap unsur 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑎𝑏 ∈ 𝐻. Selanjutnya, substruktur 𝐻 juga memenuhi tiga sifat grup yaitu operasi pada 𝐻 bersifat asosiatif, adanya unsur identitas di 𝐻 dan setiap unsur di 𝐻 memiliki invers. Tidak semua subhimpunan dari sembarang grup membentuk grup. Perhatikanlah struktur bilangan real tak nol dengan operasi kali. Bentuk 3 5 subhimpunan 𝐻1 = {5 , 1, 3 , 2, 3, }. Jelas terlihat subhimpunan 𝐻1 bukan grup mengingat tidak semua unsur di 𝐻1 memiliki invers. Oleh karena itu, 𝐻1 bukan subgrup dari grup bilangan real tak nol dengan operasi kali. Sekarang bentuk subhimpunan 𝐻2 = {−1, 1}. Mengingat subhimpunan 𝐻2 membentuk grup dengan operasi kali, jelas 𝐻2 membentuk subgrup dari grup bilangan real tak nol dengan operasi kali. 41 Contoh 2.8. Berikut ini disajikan beberapa contoh subgrup. 1. Untuk operasi jumlah, grup bilangan bulat dapat dipandang sebagai subgrup dari grup bilangan real. 2. Untuk operasi kali, {1, −1} membentuk subgrup dari himpunan bilangan real tak nol. 3. Setiap grup merupakan subgrup dari dirinya sendiri. 4. Jika 𝑒 identitas grup 𝐺, maka {𝑒} subgrup dari 𝐺. Perhatikan grup 𝐺 dan subhimpunan {𝑒𝐺 } ⊆ 𝐺. Baik grup 𝐺 maupun subhimpunan {𝑒𝐺 }, dua-duanya merupakan subgrup 𝐺. Untuk itu, setiap grup senantiasa memiliki paling tidak subgrup {𝑒𝐺 } dan 𝐺. Subgrup {𝑒𝐺 } disebut subgrup trivial sementara subgrup selain {𝑒𝐺 } disebut subgrup non trivial. Ketika 𝐺 = {𝑒𝐺 }, grup 𝐺 disebut trivial. Subgrup 𝐻 disebut sejati jika subgrup 𝐻 tidak sama dengan grup 𝐺, ditulis: 𝐻 < 𝐺. Tentu saja grup trivial tidak memiliki subgrup sejati. Subgrup trivial {𝑒𝐺 } disebut subgrup identitas, ditulis: 𝒆. Untuk grup trivial, subgrup itu disebut grup identitas. Identitas subgrup tidak lain identitas grup induknya. Begitu juga, invers setiap unsur pada subgrup juga invers unsur tersebut pada grup induknya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan sifat berikut ini. Sifat 2.9 Misal G suatu grup dan 𝐻 subgrup 𝐺. a. Jika 𝑓 identitas 𝐻 dan 𝑒 identitas 𝐺, maka 𝑓 = 𝑒 b. Jika 𝑥 ∈ 𝐻, maka invers 𝑥 di 𝐻 sama dengan invers 𝑥 di 𝐺. Bukti. (𝑎). Misalkan 𝐺 suatu grup dengan unsur identitasnya 𝑒 dan 𝐻 subgrup 𝐺 dengan unsur identitas 𝑓. Mengingat 𝑓 identitas 𝐻, akibatnya 𝑓𝑓 = 𝑓. Selain itu, karena 𝑓 ∈ 𝐻 ⊆ 𝐺, ada 𝑓 −1 ∈ 𝐺 sehingga 𝑓 −1 𝑓 = 𝑓 𝑓 −1 = 𝑒. Dengan demikian, diperoleh bahwa 𝑓 −1 (𝑓𝑓) (𝑓 −1 𝑓)𝑓 𝑒𝑓 𝑓 = = = = 𝑓 −1 𝑓 𝑒 𝑒 𝑒 (b). Ambil 𝑥 ∈ 𝐻. Karena 𝐻 subgrup, tentunya terdapat 𝑎 ∈ 𝐻 invers 𝑥 di 𝐻 sehingga 𝑥𝑎 = 𝑎𝑥 = 𝑒. Selain itu, 𝐻 ⊆ 𝐺 mengakibatkan 𝑥 ∈ 𝐺 dan dengan demikian ada 𝑏 ∈ 𝐺 invers 𝑥 di 𝐺 sehingga 𝑥𝑏 = 𝑏𝑥 = 𝑒. Akan kita tunjukkan bahwa 𝑎 = 𝑏. Dengan menggunakan Sifat 2.7 diperoleh bahwa 𝑎 = 𝑏. ∎ Sifat 2.10 Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subhimpunan 𝐺. 𝐻 subgrup 𝐺 jika dan hanya jika a) Subhimpunan 𝐻 tidak hampa; b) setiap unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥𝑦 ∈ 𝐻; dan 42 c) setiap unsur 𝑥 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥 −1 ∈ 𝐻. Bukti. (⟹). Misalkan 𝐺 grup dan 𝐻 subgrup 𝐺. Berdasarkan definisi subgrup, 𝐻 membentuk grup dengan operasi yang sama pada 𝐺. Berdasarkan Sifat 2.9, unsur identitas 𝑒𝐺 = 𝑒𝐻 ∈ 𝐻, paling tidak 𝐻 memiliki unsur identitas sehingga 𝐻 tak hampa. Begitu juga, mengingat 𝐻 membentuk grup dengan operasi yang sama di 𝐺, tentu saja grup 𝐻 tertutup terhadap operasi itu, yakni semua unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻 mengakibatkan 𝑥𝑦 ∈ 𝐻. Dengan Sifat 2.9, unsur 𝑥 −1 ∈ 𝐻 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐻. (⟸). Misalkan 𝐺 grup dan 𝐻 subhimpunan 𝐺 yang memenuhi syarat: 𝑎). Himpunan tak hampa, 𝑏). setiap unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥𝑦 ∈ 𝐻 dan c). setiap unsur 𝑥 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥 −1 ∈ 𝐻. Akan kita tunjukkan bahwa subhimpunan 𝐻 subgrup 𝐺. Untuk menunjukkan 𝐻 subgrup 𝐺, cukup dengan menunjukkan bahwa 𝐻 membentuk grup dengan operasi yang sama di grup 𝐺. Untuk itu, akan ditunjukkan hal berikut. Pertama, tunjukkan terlebih dahulu subhimpunan 𝐻 membentuk struktur dengan operasi yang sama di 𝐺. Kemudian tinggal terapkan definisi grup, yakni: tunjukkan bahwa operasi pada subhimpunan 𝐻 bersifat asosiatif, subhimpunan 𝐻 memiliki unsur identitas dan semua unsur 𝐻 memiliki invers. Syarat 𝑎) dan 𝑏) menunjukkan subhimpunan 𝐻 suatu struktur dengan operasi yang sama di 𝐺. Mengingat 𝐻 ⊆ 𝐺 dan 𝐻 struktur dengan operasi yang sama di 𝐺, jelas sifat asosiatif operasi pada 𝐺 berlaku juga pada 𝐻. Selanjutnya, berdasarkan syarat 𝑐), terlihat jelas semua anggota 𝐻 memiliki invers. Terakhir, ambil unsur 𝑥 ∈ 𝐻. Akibatnya, terdapat 𝑥 −1 ∈ 𝐻 dan berdasarkan syarat 𝑏) diperoleh 𝑒 = 𝑥 −1 𝑥 ∈ 𝐻. Jadi, 𝐻 memiliki unsur identitas. Mengingat subhimpunan 𝐻 membentuk grup dengan operasi yang sama pada 𝐺, terbukti 𝐻 subgrup 𝐺.∎ Sifat 2.11 Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subhimpunan 𝐺. Subhimpunan 𝐻 membentuk subgrup 𝐺 jika dan hanya jika subhimpunan 𝐻 tidak hampa dan setiap unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐻. Bukti. (⇒). Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subgrup 𝐺. Berdasarkan Sifat 2.10, diperoleh 𝐻 tidak hampa. Ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻. Dengan alasan yang sama diperoleh 𝑥𝑦 ∈ 𝐻 dan 𝑥 −1 , 𝑦 −1 ∈ 𝐻 dan mengakibatkan 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐻. (⇐). Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subhimpunan 𝐺 yang memenuhi sifat 𝐻 tidak hampa dan setiap unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐻. Akan ditunjukkan 𝐻 subgrup 𝐺. 43 Mengingat subhimpunan 𝐻 tidak hampa dan setiap unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐻, tentu saja ada ℎ ∈ 𝐻 yang memenuhi 𝑒 = ℎℎ−1 ∈ 𝐻. Selanjutnya, untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐻 mengakibatkan 𝑥 −1 = 𝑒𝑥 −1 ∈ 𝐻. Terakhir, ambil unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻. Mengingat 𝑦 −1 ∈ 𝐻, hal tersebut mengakibatkan 𝑥𝑦 = 𝑥(𝑦 −1 )−1 ∈ 𝐻. Berdasarkan Sifat 2.10, diperoleh 𝐻 subgrup 𝐺.∎ Latihan 2.3 1. Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subgrup dari 𝐺. Tunjukkan bahwa setiap subgrup dari 𝐻 juga subgrup dari 𝐺! 2. Misalkan 𝐴 dan 𝐵 duanya subgrup 𝐺. Tunjukkan pernyataan berikut ini benar! a. 𝐴 ∩ 𝐵 subgrup 𝐺. b. 𝐴 ∪ 𝐵 subgrup 𝐺 jika dan hanya jika 𝐴 ⊆ 𝐵 atau 𝐵 ⊆ 𝐴. 3. Tunjukkan dengan contoh bahwa 𝐴 ∪ 𝐵 tidak selalu membentuk subgrup 𝐺 untuk setiap 𝐴 dan 𝐵 keduanya subgrup 𝐺! 4. Misalkan 𝐺 suatu grup serta 𝐻 dan 𝐾 subgrup 𝐺. Tunjukkan bahwa subhimpunan 𝐾𝐻 = {𝑥𝑦 | 𝑥 ∈ 𝐾, 𝑦 ∈ 𝐻} subgrup 𝐺 jika dan hanya jika 𝐾𝐻 ⊆ 𝐻𝐾 dengan 𝐻𝐾 = {𝑦𝑥 | 𝑥 ∈ 𝐾, 𝑦 ∈ 𝐻}! 5. Tunjukkan pernyataan soal nomor 4 salah jika grup 𝐺 tidak komutatif! 2.4 Orde grup dan anggota grup Orde grup 𝐺, ditulis: |𝐺| atau 𝑜(𝐺), adalah banyaknya anggota himpunan 𝐺. Suatu grup disebut hingga atau tidak, tergantung pada ordenya. Jika orde grup tersebut hingga, grup itu disebut dengan grup hingga begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, grup hingga adalah grup yang memiliki berhingga buah unsur sedangkan grup tak hingga adalah grup yang memiliki tak hingga buah unsur. Pada pembahasan operasi, telah diperkenalkan tabel Cayley. Mengingat tabel Cayley berfungsi untuk menyajikan operasi pada grup hingga, tabel tersebut tentunya harus memenuhi sifat-sifat grup seperti yang telah kita bahas. Berikut ini beberapa sifat yang harus dimiliki oleh tabel Cayley untuk grup hingga. 1. Terdapat baris (kolom) yang merupakan salinan dari baris (kolom) penunjuk. 2. Setiap baris (kolom) tidak boleh memuat unsur lebih dari satu kali. 3. Unsur identitas harus muncul secara simetris terhadap diagonal utama tabel. 44 Perhatikan tabel Cayley untuk operasi ⊕ pada ℤ3 berikut ini. ⊕ ̅ 𝟎 ̅ 𝟏 ̅ 𝟐 ̅ 𝟎 ̅ 𝟏 0̅ 1̅ 1̅ 2̅ 2̅ 0̅ ̅ 𝟐 2̅ 0̅ 1̅ Tabel 2.4 Operasi ⊕ pada grup ℤ𝟑 Pada Tabel 2.4 terlihat bahwa ketiga syarat tabel Cayley telah terpenuhi. Seperti halnya grup, anggota grup juga memiliki orde. Sebelum bahasan orde unsur disajikan, perhatikan terlebih dahulu definisi berikut ini. Definisi 2.10 Misalkan 𝐺 suatu grup, 𝑎 ∈ 𝐺 dan 𝑛 ∈ ℕ. Pangkat ke-𝑛 unsur 𝑎, ditulis: 𝑎𝑛 , didefinisikan sebagai operasi n buah unsur 𝑎, ditulis: 𝑎0 = 𝑒, 𝑎1 = 𝑎, 𝑎2 = 𝑎𝑎, …, 𝑎𝑛 = 𝑎𝑎 ⏟ … 𝑎. 𝑛 Sementara itu, pangkat ke- −𝑛 unsur 𝑎, ditulis: 𝑎−𝑛 , didefinisikan sebagai operasi n buah unsur 𝑎−1 , ditulis: (−𝑎)(−𝑎) … (−𝑎). 𝑎−𝑛 = (𝑎−1 )𝑛 = ⏟ 𝑛 Berdasarkan induksi matematika, diperoleh 𝑎𝑚 𝑎𝑛 = 𝑎𝑚+𝑛 , (𝑎𝑚 )𝑛 = 𝑎𝑚𝑛 dan (𝑎𝑛 )−1 = 𝑎 −𝑛 untuk semua bilangan bulat 𝑚 dan 𝑛. Untuk operasi +, 𝑎𝑛 = 𝑎 + 𝑎 + ⋯ + 𝑎 = 𝑛𝑎 dan 𝑎 −𝑛 = (𝑎−1 )𝑛 = (−𝑎) + (−𝑎) + ⋯ + (−𝑎) = 𝑛(−𝑎). Dengan demikian, 𝑎𝑚 𝑎𝑛 = 𝑚𝑎 + 𝑛𝑎 = (𝑚 + 𝑛)𝑎 = 𝑎𝑚+𝑛 , (𝑛𝑚)𝑎 = (𝑚𝑛)𝑎 = 𝑎𝑚𝑛 dan (𝑎𝑛 )−1 = −(𝑛𝑎) = (−𝑛)𝑎 = 𝑎−𝑛 . (𝑎𝑚 )𝑛 = 𝑛(𝑚𝑎) = Definisi 2.11 Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑎 ∈ 𝐺. Bilangan asli terkecil 𝑛 disebut orde 𝑎, ditulis: 𝑜(𝑎), jika memenuhi 𝑎𝑛 = 𝑒. Ketika tidak ada 𝑛 yang memenuhi, orde 𝑎 disebut tak hingga. Contoh 2.9. Pandang grup (ℤ6 ,⊕). Himpunan ℤ6 = {0̅, 1̅, 2̅, 3̅, 4̅, 5̅}. Orde grup ℤ6 , yaitu: |ℤ6 | = 6. Orde unsur 2̅, 𝑜(2̅) = 3. Hal tersebut terjadi karena 3 bilangan asli terkecil yang mengakibatkan 2̅3 = 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ = 6̅ = 0̅. Mengingat 6 > 3, ̅̅ = 0̅, 6 bukan orde unsur 2̅. walaupun 2̅6 = 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ = ̅̅ 12 Contoh 2.10. Pandang grup bilangan bulat, ℤ, dengan operasi jumlah. Orde grup ℤ, yaitu: |ℤ| = ∞. Sementara itu, orde unsur 1 ∈ ℤ, yaitu: 𝑜(1) = ∞. Hal ini disebabkan tidak ada 𝑛 ∈ ℤ+ yang membuat 𝑛 = ⏟ 1 + 1 + ⋯ + 1 = 1𝑛 = 𝑒ℤ = 0. 𝑛 45 Latihan 2.4 1. Apakah pada grup komutatif setiap unsur non identitasnya memiliki orde dua? 2. Tunjukkan jika 𝐺 suatu grup dan 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺, pernyataan berikut ini benar! a. 𝑜(𝑎−1 ) = 𝑜(𝑎). b. 𝑜(𝑎−1 𝑏𝑎) = 𝑜(𝑏). c. 𝑜(𝑎𝑏) = 𝑜(𝑏𝑎). 3. Berikan contoh grup yang persamaan 𝑥 2 = 𝑒 memiliki lebih dari dua buah solusi. 4. Berikan contoh grup yang memuat unsur non identitas dengan orde hingga dan tak hingga 5. Apakah setiap grup dengan orde 𝑛 memiliki unsur dengan orde 𝑛? 6. Apakah setiap grup yang mempunyai subgrup dengan orde 𝑛, mempunyai unsur dengan orde 𝑛? 46 BAB 3 GRUP SIMETRI Simetri berasal dari dua akar kata dalam bahasa Yunani, yaitu: syn dan metry. Kata syn artinya bersama, berbarengan, serentak, satu sama lain atau sekalian. Sementara kata metry artinya pengukuran atau ukuran. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, simetri berarti seimbang atau selaras: bentuk ukuran dan sebagainya. Simetri sendiri secara istilah dapat diartikan sebagai gerakan yang tidak dapat dilacak atau dideteksi. Gerakan tersebut bisa berupa pencerminan, rotasi, gabungan keduanya maupun gerakan lainnya yang menyebabkan perubahan posisi benda tidak dapat dilacak. Dalam hal ini, tidak melakukan gerakan (posisi semula) termasuk simetri. Simetri demikian disebut identitas. Simetri identitas didapat dengan cara melakukan rotasi 00 , mengingat rotasi tersebut merupakan posisi awal. Simetri yang diperoleh melalui pencerminan disebut dengan simetri lipat sementara yang melalui rotasi disebut simetri putar. Benda disebut simetris jika memiliki simetri yang tidak hanya berupa simetri identitas. Banyak sekali bangun simetris yang dapat kita jumpai di sekitar kita. Susunan benda-benda identik juga tidak dapat dilacak jika dilakukan gerakan pada susunan benda-benda tersebut. Gerakan pada susunan ini dapat dilakukan dengan memindahkan langsung, memutar, mencerminkan, dan lain sebagainya. Untuk itu, susunan benda identik tersebut juga disebut simetri. Setiap gerakan yang diberikan pada benda, menimbulkan perubahan posisi benda tersebut. Secara umum, susunan anggota himpunan disebut dengan permutasi himpunan. Dalam hal ini, tentu saja semua anggota harus masuk dalam setiap bentuk susunan. 3.1 Permutasi Secara informal, permutasi himpunan tidak lain susunan anggota himpunan tersebut. Untuk dapat memahami pernyataan itu, perhatikanlah contoh berikut. Contoh 3.1. Ada enam permutasi yang mungkin pada himpunan 𝑆 = {1,2,3}. 123 132 213 231 312 321 47 Semua permutasi ini dapat dipandang sebagai pemetaan bijektif dari himpunan 𝑆 ke 𝑆, yaitu dengan cara memetakan 1 ke unsur pertama, 2 ke unsur ke-2 dan 3 ke unsur ke-3 pada setiap permutasi. Pemetaan bijektif yang dimaksud adalah sebagai berikut. Permutasi 1 2 3 dapat dipandang sebagai pemetaan 𝜎1 : 𝑆 ⟶ 𝑆 seperti terlihat di bawah ini. 1 𝜎1 1 2 2 3 3 S S Permutasi 1 3 2 dapat dipandang sebagai pemetaan 𝜎2 : 𝑆 ⟶ 𝑆 seperti terlihat di bawah ini. 𝜎2 1 1 2 2 3 3 S S Permutasi 2 1 3 dapat dipandang sebagai pemetaan 𝜎3 : 𝑆 ⟶ 𝑆 seperti terlihat di bawah ini. 𝜎3 1 1 2 2 3 3 S S 48 Permutasi 2 3 1 dapat dipandang sebagai pemetaan 𝜎4 : 𝑆 ⟶ 𝑆 seperti terlihat di bawah ini. 𝜎4 1 1 2 2 3 3 S S Permutasi 3 1 2 dapat dipandang sebagai pemetaan 𝜎5 : 𝑆 ⟶ 𝑆 seperti terlihat di bawah ini. 𝜎5 1 1 2 2 3 3 S S Permutasi 3 2 1 dapat dipandang sebagai pemetaan 𝜎6 : 𝑆 ⟶ 𝑆 seperti terlihat di bawah ini. 𝜎6 1 1 2 2 3 3 S S Setelah mencermati uraian di atas, jelas bahwa permutasi tidak lain pemetaan bijektif. Untuk selanjutnya, mengingat permutasi suatu pemetaan, permutasi dapat dinyatakan dengan menggunakan tanda pemetaan, yakni dengan menggunakan huruf kecil (lower case) latin atau abjad Yunani. Untuk 49 membedakan dengan pemetaan pada umumnya, permutasi pada buku ini ditulis menggunakan huruf kecil (lower case) Yunani. Definisi 3.1 Misalkan 𝑆 himpunan tak hampa, 𝑀(𝑆) himpunan pemetaan pada 𝑆, ∘ menyatakan komposisi pemetaan pada 𝑀(𝑆) dan 𝜎 ∈ 𝑀(𝑆). Pemetaan 𝜎 disebut permutasi pada 𝑆 jika 𝜎 bijektif. Perhatikan kembali semua permutasi pada 𝑆 = {1,2,3} yang telah diuraikan dalam Contoh 3.1. Selain menggunakan diagram panah, semua permutasi itu dapat juga disajikan dengan cara berikut. Permutasi 𝜎1 memetakan 1 ↦ 1, 2 ↦ 2 dan 3 ↦ 3. Permutasi 𝜎2 memetakan 1 ↦ 1, 2 ↦ 3 dan 3 ↦ 2. Permutasi 𝜎3 memetakan 1 ↦ 2, 2 ↦ 1 dan 3 ↦ 3. Permutasi 𝜎4 memetakan 1 ↦ 2, 2 ↦ 3 dan 3 ↦ 1. Permutasi 𝜎5 memetakan 1 ↦ 3, 2 ↦ 1 dan 3 ↦ 2. Permutasi 𝜎6 memetakan 1 ↦ 3, 2 ↦ 2 dan 3 ↦ 1. Penyajian permutasi dengan menggunakan cara diagram panah terlalu memakan tempat. Sementara penyajian seperti di atas tidak terpadu. Penyajian permutasi berikut ini dapat mengatasi kedua masalah tersebut untuk permutasi pada himpunan hingga. Misalkan 𝑆 = {1,2, ⋯ , 𝑛} dan 𝜎 ∈ 𝑀(𝑆) suatu permutasi. Permutasi 𝜎 ditulis sebagai berikut. 1 2 ( 𝜎(1) 𝜎(2) ⋯ 𝑛 ) ⋯ 𝜎(𝑛) Baris pertama pada tanda permutasi di atas berisi semua anggota domain 𝑆 sementara pada baris ke dua berisi 𝜎(𝑖) ∈ 𝑆 untuk semua 𝑖 ∈ 𝑆. Permutasi 𝜎 memetakan 1 ↦ 𝜎(1), 2 ↦ 𝜎(2), ⋯ , 𝑖 ↦ 𝜎(𝑖), ⋯ , 𝑛 ↦ 𝜎(𝑛). Dengan cara baru ini, semua permutasi pada Contoh 3.1, dapat dituliskan menjadi 1 2 1 2 3 1 2 3 1 ), 𝜎2 = ( ), 𝜎3 = ( 3 1 3 2 2 1 2 2 3 3 1 2 ), 𝜎5 = ( 1 3 1 𝜎1 = ( 𝜎4 = ( 2 3 ), 1 3 3 1 2 3 ), 𝜎6 = ( ) 2 3 2 1 Mari kita perhatikan kembali permutasi 𝜎. Permutasi yang memetakan 1 ↤ 𝜎(1), 2 ↤ 𝜎(2), ⋯ , 𝑖 ↤ 𝜎(𝑖), ⋯ , 𝑛 ↤ 𝜎(𝑛), disebut invers permutasi 𝜎, ditulis: 𝜎 −1 , mengingat permutasi itu memenuhi Definisi 2.5. Untuk itu, kita dapat menentukan invers setiap permutasi pada Contoh 3.1. 1 1 𝜎1−1 = ( 2 3 −1 1 ) =( 2 3 1 2 3 1 ), 𝜎2−1 = ( 2 3 1 50 2 3 −1 1 2 3 ) =( ), 3 2 1 3 2 𝜎3−1 = ( 1 2 2 3 −1 1 ) =( 1 3 2 2 3 1 ), 𝜎4−1 = ( 1 3 2 2 3 −1 1 2 3 ) =( ), 3 1 3 1 2 𝜎5−1 = ( 1 3 2 3 −1 1 ) =( 1 2 2 2 3 1 ), 𝜎6−1 = ( 3 1 3 2 3 −1 1 2 3 ) =( ). 2 1 3 2 1 Selain dengan cara sebelumnya, permutasi juga dapat disajikan dalam bentuk siklus. Misalkan 𝑆 suatu himpunan hingga, |𝑆| = 𝑛, unsur 𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑘 ∈ 𝑆 dengan 𝑘 ≤ 𝑛 dan (𝑎1 𝑎2 … 𝑎𝑘 ) ∈ 𝑀(𝑆) siklus. Siklus (𝑎1 𝑎2 … 𝑎𝑘 ) menyatakan permutasi pada 𝑆 yang mengaitkan 𝑎1 ↦ 𝑎2 ↦ ⋯ ↦ 𝑎𝑘−1 ↦ 𝑎𝑘 ↦ 𝑎1 dan 𝑥 ↦ 𝑥 untuk semua 𝑥 selain 𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑘 dengan 𝑥 ∈ 𝑆. Perlu diperhatikan bahwa pada siklus (𝑎1 𝑎2 … 𝑎𝑘 ), unsur 𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑘 semuanya berbeda dengan 𝑘 disebut panjang siklus (𝑎1 𝑎2 … 𝑎𝑘 ). Siklus (𝑎1 𝑎2 … 𝑎𝑘 ) dan siklus (𝑏1 𝑏2 … 𝑏𝑙 ) disebut saling lepas jika himpunan {𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑘 } dan himpunan {𝑏1 , 𝑏2 , … , 𝑏𝑙 } saling lepas. Setiap permutasi dapat disajikan dalam bentuk siklus tunggal atau komposisi siklus yang saling lepas. Misalkan 𝑆 = {1, 2, … , 𝑛} dan 𝜎 ∈ 𝑀(𝑆). Untuk menyajikan permutasi 𝜎 dalam bentuk siklus, ikuti langkah-langkah berikut. 1. Ambil unsur 1 ∈ 𝑆. Kemudian lihat nilai 𝜎(1), 𝜎(𝜎(1)), ⋯ pada permutasi 𝜎 sehingga didapatkan barisan 1, 𝜎(1), 𝜎(𝜎(1)), … , 𝜎 (… (𝜎(1))) Misalkan diperoleh nilai 𝜎(1) = 𝑎1 , 𝜎(𝜎(1)) = 𝑎2 hingga ditemukan nilai 𝜎 (… (𝜎(1))) = 𝑎𝑘 = 1, satu barisan penuh telah didapatkan, yaitu: 1, 𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑘−1 . dengan 1 ≠ 𝑎1 ≠ 𝑎2 ≠ … , ≠ 𝑎𝑘−1. Dengan demikian, berarti telah diperoleh satu siklus (1 𝑎1 𝑎2 … 𝑎𝑘−1 ). Selanjutnya, jika 𝑘 = 𝑛, permutasi 𝜎 disajikan dalam bentuk satu siklus tunggal mengingat semua anggota 𝑆 masuk ke dalam siklus, ditulis: 𝜎 = (1 𝑎1 𝑎2 … 𝑎𝑘−1 ). 2. Sekarang, jika masih ada anggota 𝑆 yang belum masuk dalam siklus, yaitu: 𝑘 < 𝑛, proses pembentukan siklus harus diteruskan lagi seperti langkah pertama untuk 𝑖 ∈ 𝑆 tetapi 𝑖 ∉ {1, 𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑘−1 }. Pada proses ini, diperoleh barisan 𝑖, 𝜎(𝑖), 𝜎(𝜎(𝑖)), … , 𝜎 (… (𝜎(𝑖))) Proses ini berhenti sampai diperoleh 𝜎 (… (𝜎(𝑖))) = 𝑖 sampai dengan semua anggota 𝑆 habis masuk ke salah satu siklus sehingga 𝜎 menjadi 𝜎 = (1 𝑎1 𝑎2 … 𝑎𝑘−1 )(𝑎𝑘+1 𝑎𝑘+2 … ) … . 51 Pengambilan awal pada langkah pertama tidak harus dimulai dari 1, bisa dimulai dari anggota 𝑆 yang mana saja. Contoh 3.2. Perhatikan himpunan 𝑆 = {1, 2, 3, 4, 5}. Pilih permutasi pada 𝑆, 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 misalnya 𝜌 = ( ) dan 𝜏 = ( ). Bentuk siklus 3 4 5 2 1 2 4 1 5 3 permutasi 𝜌 = (1 3 5)(2 4) dan 𝜏 = (1 2 4 5 3). Untuk mendapatkan bentuk siklus permutasi 𝜌 dalam Contoh 3.2 perhatikan penjelasan berikut ini. 1 2 3 4 5 3 4 5 2 1 = 1 3 5 2 4 Untuk mendapatkan bentuk siklus permutasi 𝜏 dalam Contoh 3.2 dilakukan dengan cara yang sama seperti mendapatkan siklus permutasi 𝜌. Pada permutasi 𝜌, siklus (1 3 5) memiliki panjang 3, sementara siklus (2 4) memiliki panjang 2. Siklus (1 2 4 5 3) pada permutasi 𝜏 memiliki panjang 5. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut ini. Gambar 3.1 Siklus pada permutasi 𝜌 dan 𝜏 Pada Gambar 3.1, terlihat jelas permutasi 𝜌 memiliki dua siklus yang saling lepas, sedangkan permutasi 𝜏 hanya memiliki satu siklus. Penulisan unsur dalam satu siklus tidak harus selalu dimulai dari unsur pertama dalam rangkaian barisan unsur pada siklus tersebut, seperti dalam penjelasan langkah-langkah pembentukan siklus. Misalkan siklus (1 3 5), memetakan 1 ↦ 3 ↦ 5, bisa ditulis dengan (3 5 1). Dalam gambar siklus terlihat jelas kesamaan tersebut. Dua siklus yang saling lepas bersifat komutatif. Untuk itu, 𝜌 = (1 3 5)(2 4) = (2 4)(1 3 5) mengingat siklus (1 3 5) dan (2 4) saling lepas. Contoh 3.3. Semua permutasi dalam Contoh 3.1 dapat dituliskan kembali menjadi bentuk siklus. Perhatikan dahulu penjelasan berikut ini. 𝜎1 = ( 1 2 1 2 3 ) = (1)(2)(3) = (1) = (2) = (3), 3 52 1 2 𝜎2 = ( 1 3 3 ) = (1)(2 3) = (2 3), 2 1 2 𝜎3 = ( 2 1 3 ) = (1 2)(3) = (1 2), 3 1 2 2 3 3 ) = (1 2 3), 1 1 2 3 1 3 ) = (1 3 2), 2 𝜎4 = ( 𝜎5 = ( 1 2 𝜎6 = ( 3 2 3 ) = (1 3)(2) = (1 3). 1 Berdasarkan penjelasan ini, diperoleh bahwa 𝜎1 = (1), 𝜎2 = (2 3), 𝜎3 = (1 2), 𝜎4 = (1 2 3), 𝜎5 = (1 3 2) dan 𝜎6 = (1 3)(2). Siklus dengan panjang dua disebut transposisi. Siklus (1 2), (1 3) dan (2 3) pada Contoh 3.3 merupakan transposisi. Pada contoh itu, permutasi 𝜎2 , 𝜎3 dan 𝜎6 ditulis sebagai komposisi satu buah transposisi. Selanjutnya, perhatikan permutasi 𝜎4 dan 𝜎5 𝜎4 = (1 2 3) = (1 3)(1 2), 𝜎5 = (1 3 2) = (1 2)(1 3), permutasi 𝜎4 dan 𝜎5 keduanya ditulis sebagai komposisi dua transposisi. Permutasi 𝜎4 ditulis sebagai komposisi dua transposisi (1 3)(1 2). Permutasi 𝜎5 ditulis sebagai komposisi dua transposisi (1 2)(1 3). Sisanya, Permutasi 𝜎1 = (1) = (1 2)(1 2) = (1 3)(1 3) = (2 3)(2 3). Permutasi 𝜎1 dapat ditulis sebagai komposisi dua buah transposisi yang sama. Hal tersebut terjadi karena balikan transposisi adalah dirinya sendiri. Tidak semua permutasi dapat dituliskan sebagai komposisi dari transposisi-transposisi yang saling lepas. Meskipun demikian, setiap permutasi bisa dituliskan sebagai komposisi dari beberapa transposisi. Secara umum, siklus yang memuat 𝑘 unsur dapat dituliskan sebagai komposisi 𝑘 − 1 transposisi. (𝑎1 𝑎2 ⋯ 𝑎𝑘−1 𝑎𝑘 ) = (𝑎1 𝑎𝑘 )(𝑎1 𝑎𝑘−1 ) ⋯ (𝑎1 𝑎2 ) Latihan 3.1 1 3 Misalkan permutasi 𝛼 = ( 2 3 4 5 4 1 5 1 2 3 ) dan 𝛽 = ( 2 4 3 1 4 5 ) 5 2 1. Nyatakan permutasi 𝛼 dan 𝛽 dalam bentuk siklus! 2. Apakah siklus yang diperoleh dari permutasi 𝛼 dan 𝛽 saling lepas? 3. Tentukan panjang siklus yang diperoleh dari masing-masing permutasi itu! 53 4. Apakah permutasi 𝛼 dan 𝛽 yang diperoleh pada soal No.1 sudah dalam siklus transposisi? Jika tidak, apakah masih bisa dituliskan dalam transposisi? 5. Tentukan invers dan orde permutasi 𝛼 dan 𝛽! 3.2 Grup simetri Pada bagian pembahasan struktur aljabar, telah dijelaskan bahwa himpunan 𝑀(𝑆) dengan 𝑆 himpunan tak hampa membentuk struktur jika dilengkapi operasi komposisi pemetaan. Untuk setiap 𝜎, 𝜏 ∈ 𝑀(𝑆), komposisi pemetaan pada 𝑀(𝑆) didefinisikan: (𝜎𝜏)(𝑥) = 𝜎(𝜏(𝑥)) untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆. Sekarang pandang himpunan 𝑆𝑖𝑚(𝑆) = {𝜎 ∈ 𝑀(𝑆) | 𝜎 permutasi}. Himpunan 𝑆𝑖𝑚(𝑆) tidak lain himpunan semua permutasi pada 𝑆 dan 𝑆𝑖𝑚(𝑆) ⊆ 𝑀(𝑆). Pilih 𝜄𝑆 ∈ 𝑀(𝑆) dengan 𝜄𝑆 (𝑥) = 𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆. Jelas pemetaan 𝜄𝑆 bijektif dan untuk itu 𝜄𝑆 suatu permutasi. Mengingat 𝜄𝑆 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝑆), jelas subhimpunan 𝑆𝑖𝑚(𝑆) ≠ ∅. Ambil 𝜎, 𝜏 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝑆). Mengingat setiap permutasi itu pemetaan bijektif, menurut Sifat 1.8, komposisi 𝜎𝜏 juga bijektif. Itu artinya 𝜎𝜏 suatu permutasi dan mengakibatkan 𝜎𝜏 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝑆). Semua penjelasan tadi menunjukkan subhimpunan 𝑆𝑖𝑚(𝑆) membentuk substruktur dari 𝑀(𝑆). Menurut Sifat 2.3(b), operasi komposisi pada substruktur 𝑆𝑖𝑚(𝑆) bersifat asosiatif dan permutasi (1) sebagai identitas 𝑆𝑖𝑚(𝑆). Sekarang ambil 𝜎 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝑆). Mengingat permutasi 𝜎 pemetaan yang bijektif, menurut Sifat 1.9, ada pemetaan balikan 𝜏 sehingga 𝜎𝜏 = 𝜏𝜎 = 𝜄𝑆 . Mengingat 𝜏𝜎 bersifat pada, menurut Sifat 1.8, pemetaan 𝜏 juga pada. Di sisi lain, mengingat 𝜎𝜏 satu-satu, dengan alasan yang sama diperoleh 𝜏 juga satu-satu. Dengan begitu, 𝜏 suatu pemetaan bijektif dan mengakibatkan 𝜏 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝑆). Pada akhirnya 𝜎 −1 = 𝜏 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝑆) untuk setiap 𝜎 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝑆). Semua uraian tadi menunjukkan bahwa 𝑆𝑖𝑚(𝑆) membentuk grup dengan operasi komposisi permutasi. Grup 𝑆𝑖𝑚(𝑆) disebut grup simetri. Setiap subgrup dari grup simetri disebut grup permutasi. Jika himpunan 𝑆 hingga dengan |𝑆| = 𝑛 untuk suatu 𝑛 ∈ ℤ+ , tanda 𝑆𝑖𝑚(𝑆) diganti dengan 𝑆𝑛 dengan |𝑆𝑛 | = 𝑛(𝑛 − 1) ⋯ 2 ⋅ 1 = 𝑛! Untuk setiap 𝜎, 𝜏 ∈ 𝑆𝑛 , komposisi permutasi pada 𝑆𝑛 sama dengan operasi pada 𝑀(𝑆), yaitu: (𝜎𝜏)(𝑥) = 𝜎(𝜏(𝑥)) untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆. dengan memisalkan 𝜎=( 1 2 ⋯ 𝜎(1) 𝜎(2) ⋯ 𝑛 ) 𝜎(𝑛) dan 1 𝜏=( 𝜏(1) 2 ⋯ 𝜏(2) ⋯ permutasi komposisi 𝜎𝜏 menjadi 54 𝑛 ), 𝜏 (𝑛 ) 𝜎𝜏 = = 1 2 ( 𝜎𝜏(1) 𝜎𝜏(2) 1 2 (𝜎(𝜏(1)) 𝜎(𝜏(2)) ⋯ 𝑛 ) ⋯ 𝜎𝜏(𝑛) ⋯ 𝑛 ⋯ 𝜎(𝜏(𝑛))) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 ) dan 𝜏 = ( 3 4 5 2 1 2 4 1 5 menentukan komposisi 𝜌𝜏, ikuti dahulu penjelasan berikut. Contoh 3.4. Misalkan 𝜌 = ( 5 ). Sebelum 3 Pada permutasi 𝜏, diperoleh 𝜏(1) = 2, 𝜏(2) = 4, 𝜏(3) = 1, 𝜏(4) = 5 dan 𝜏(5) = 3. Hasil ini semua digunakan untuk menentukan 𝜌(𝜏(1)) = 𝜌(2) = 4; 𝜌(𝜏(4)) = 𝜌(5) = 1 𝜌(𝜏(2)) = 𝜌(4) = 2; 𝜌(𝜏(5)) = 𝜌(3) = 5 𝜌(𝜏(3)) = 𝜌(1) = 3. Masukan nilai ini semua sehingga diperoleh 𝜌𝜏 = ( = = = 1 𝜌(𝜏(1)) 2 𝜌(𝜏(2)) 1 ( 4 (1 3 4 5 ) 𝜌(𝜏(3)) 𝜌(𝜏(4)) 𝜌(𝜏(5)) 2 3 4 5 ) 2 3 1 5 4)(2)(3)(5) (1 4) Secara singkat komposisi 𝜌𝜏 dapat dilihat seperti penjelasan di bawah ini Perhatikan arah anak panah pada komposisi permutasi di atas. Komposisi 𝜌𝜏 memetakan 1 ↦ 4 karena ia memetakan 1 ↦ 2 kemudian 2 ↦ 4. Dengan cara yang sama didapatkan yang lainnya secara berurutan dari kiri ke kanan yaitu: 2 3 1 5 seperti tampak di atas. Contoh 3.5. Untuk 𝑛 = 2, diperoleh grup simetri yang anggotanya semua permutasi pada himpunan 𝑆 = {1,2}, yakni: 𝑆2 = {(1), (1 2)}. Permutasi (1) menjadi identitas 𝑆2 , ditulis: 𝑒𝑆2 = (1). Permutasi (1 2)−1 = (1 2). Grup ini hanya memiliki subgrup trivial, yaitu: {(1)}. Selain itu, grup ini juga bersifat komutatif dan subgrup sejatinya hanya subgrup {(1)} saja. Perhatikan operasi komposisi pada 𝑆2 seperti dalam Tabel 3.1. 55 (𝟏) (𝟏 𝟐) ∘ (𝟏) (1) (1 2) (𝟏 𝟐) (1 2) (1) Tabel 3.1 Operasi ∘ pada grup simetri 𝑆2 Contoh 3.6. Untuk 𝑛 = 3, diperoleh grup simetri yang anggotanya semua permutasi pada himpunan 𝑆 = {1,2,3}, yakni: 𝑆3 = {(1), (1 2), (1 3), (2 3), (1 2 3), (1 3 2)}. Permutasi (1) menjadi identitas 𝑆3 , ditulis: 𝑒𝑆3 = (1). Balikan (invers) setiap anggota 𝑆3 dapat dilihat pada Tabel 3.2. ∘ (𝟏) (𝟏 𝟐) (𝟏 𝟑) (𝟐 𝟑) (𝟏 𝟐 𝟑) (𝟏 𝟑 𝟐) (𝟏) (1) (1 2) (1 3) (2 3) (1 2 3) (𝟏 𝟐) (1 2) (1) (1 3 2) (1 2 3) (2 3) (𝟏 𝟑) (1 3) (1 2 3) (1) (1 3 2) (1 2) (𝟐 𝟑) (2 3) (1 3 2) (1 2 3) (1) (1 3) (𝟏 𝟐 𝟑) (1 2 3) (1 3) (2 3) (1 2) (1 3 2) (𝟏 𝟑 𝟐) (1 3 2) (2 3) (1 2) (1 3) (1) Tabel 3.2 Operasi ∘ pada grup simetri 𝑆3 (1 3 2) (1 3) (2 3) (1 2) (1) (1 2 3) Latihan 3.2 1 2 3 4 1 2 3 4 ) dan 𝛽 = ( ). Hitunglah 1 4 3 2 3 1 4 2 a. 𝛼 ∘ 𝛽 c. 𝛼 −1 e. 𝛼 −1 ∘ 𝛽 −1 g. (𝛼 ∘ 𝛽)−1 b. 𝛽 ∘ 𝛼 d. 𝛽 −1 f. 𝛽 −1 ∘ 𝛼 −1 h. (𝛽 ∘ 𝛼)−1 Tunjukkan bahwa siklus dengan panjang 𝑘 di 𝑆𝑛 memiliki orde 𝑘! Tulis semua permutasi di 𝑆4 ! a. Tentukan invers setiap permutasi di 𝑆4 ! b. Berapa banyak permutasi di 𝑆4 yang memetakan 4 ke 4? Tunjukkan bahwa grup simetri 𝑆𝑛 bukan grup komutatif jika 𝑛 > 2! Misalkan 𝐻 = {𝛼 ∈ 𝑆𝑛 ∣ 𝛼(1) = 1, 𝛼(𝑛) = 𝑛}. Tunjukkan bahwa 𝐻 subgrup 𝑆𝑛 ! 1. Misalkan 𝛼 = ( 2. 3. 4. 5. 3.3 Grup permutasi Grup permutasi yang dibahas pada bagian ini hanya pada segitiga dan segi empat saja. Untuk lebih jelasnya ikuti pembahasan berikut ini. 3.3.1 Segitiga Berdasarkan panjang sisinya, segitiga dikelompokan menjadi tiga: segitiga sama sisi, segitiga sama kaki dan segitiga sembarang. Segitiga disebut sama sisi jika ketiga sisinya sama panjang. 56 r 1 2 𝑔2 𝑔1 3 𝑔3 Gambar 3.2 Simetri pada segitiga sama sisi Segitiga disebut sama kaki jika hanya dua sisi saja yang sama panjang, dari tiga sisi yang dimilikinya. Segitiga disebut sembarang jika tidak ada sisi yang sama panjang. Himpunan simetri lipat dan putar (pencerminan) pada segitiga merupakan subgrup 𝑆3 . Subgrup ini disebut grup permutasi pada segitiga. Pertama kita mulai dari segitiga sama sisi seperti terlihat pada Gambar 3.2. Pada gambar tersebut terlihat sumbu-sumbu untuk mendapatkan simetri pada segitiga sama sisi. Ada enam buah simetri yang diperoleh dari segitiga sama sisi. Tiga buah simetri diperoleh dari hasil pencerminan. Permutasi (1 2) diperoleh dari pencerminan melalui sumbu 𝑔3 . Permutasi (1 3) diperoleh dari pencerminan melalui sumbu 𝑔2 . Permutasi (2 3) diperoleh dari pencerminan melalui sumbu 𝑔1 . Tiga buah simetri sisanya didapat dari hasil rotasi. Permutasi (1) menyatakan posisi awal. Permutasi ini dihasilkan dari rotasi 0∘ . Permutasi (1 2 3) dan (1 3 2) diperoleh dari rotasi melalui sumbu 𝑟 sebesar 120∘ dan 240∘ . Simetri yang dihasilkan dari pencerminan disebut simetri lipat sementara simetri yang dihasilkan dari rotasi disebut simetri putar. Himpunan semua simetri ini bersama dengan operasi komposisi permutasi membentuk grup permutasi. Grup ini sama dengan grup (𝑆3 ,∘). Operasi komposisi pada grup ini terlihat pada Tabel 3.2. Selanjutnya simetri pada segitiga sama kaki, silakan lihat Gambar 3.3. Pada pada gambar tersebut terlihat sumbu-sumbu untuk mendapatkan simetri pada segitiga sama kaki. Berbeda dengan segitiga sama sisi, segitiga sama kaki hanya memiliki dua buah simetri. Simetri pertama berupa permutasi (1 3), diperoleh dari pencerminan melalui sumbu 𝑔2 . Simetri sisanya berupa permutasi (1), didapat dari hasil rotasi 0∘ (posisi awal). Operasi komposisi pada grup ini terlihat pada Tabel 3.3. 57 r 1 2 𝑔2 3 Gambar 3.3 Simetri pada segitiga sama kaki ∘ (𝟏) (𝟏 𝟑) (𝟏) (1) (1 3) (𝟏 𝟑) (1 3) (1) Tabel 3.3 Operasi ∘ pada grup permutasi segitiga sama kaki Terakhir segitiga sembarang. Untuk segitiga jenis ini, hanya ada satu buah permutasi yang dihasilkan dari rotasi 0∘ (posisi awal), permutasi identitas. Untuk itu, grup permutasi yang diperoleh berupa grup identitas, subgrup sejati dari 𝑆3 . r 2 1 3 Gambar 3.4 Simetri pada segitiga sembarang 3.3.2 Segi empat Semua grup permutasi yang dibentuk dari segi empat merupakan subgrup 𝑆4 . Segi empat yang dibahas di sini berupa bujur sangkar, persegi panjang, belah ketupat, jajar genjang, layang-layang dan trapesium. Kita mulai dari bujur sangkar terlebih dahulu. Perhatikan Gambar 3.5. Permutasi (1 3), (2 4), (1 2)(3 4) dan (1 4)(2 3), seperti terlihat pada gambar, tidak lain simetri lipat. Sementara itu, permutasi (1), (1 2 3 4), (1 3)(2 4), dan (1 4 3 2) diperoleh dengan memutar sumbu 𝑟 secara berurutan yaitu: 00 , 900 , 58 1800 dan 2700 . Dengan demikian, diperoleh delapan buah simetri pada bujur sangkar. 1 2 4 3 Gambar 3.5 Simetri pada bujur sangkar Himpunan semua permutasi pada bujur sangkar ini membentuk grup permutasi dengan operasi komposisi. Grup permutasi ini merupakan subgrup 𝑆4 . ∘ (𝟏) (𝟏 𝟑) (𝟐 𝟒) (𝟏 𝟐)(𝟑 𝟒) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (𝟏 𝟒)(𝟐 𝟑) (𝟏 𝟐 𝟑 𝟒) (𝟏 𝟒 𝟑 𝟐) (𝟏) (1) (1 3) (2 4) (1 2)(3 4) (1 3)(2 4) (𝟏 𝟑) (1 3) (𝟐 𝟒) (2 4) (𝟏 𝟐)(𝟑 𝟒) (1 2)(3 4) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (1 3)(2 4) (1) (1 3)(2 4) (1 3)(2 4) (1 4 3 2) (1) (1 2 3 4) (2 4) (1 3) (1 4 3 2) (1 4)(2 3) (1 2 3 4) (1 4 3 2) (1 2 3 4) (2 4) (1 4 3 2) (1 2)(3 4) (1 4)(2 3) (1 4 3 2) (1 3) (1 2 3 4) (1 4)(2 3) (1 2)(3 4) (1) (1 4)(2 3) (1 4)(2 3) (1 3)(2 4) (1) (1 3)(2 4) (1 2)(3 4) (𝟏 𝟒)(𝟐 𝟑) (1 4)(2 3) (1 2 3 4) (1 2)(3 4) (1) (𝟏 𝟐 𝟑 𝟒) (1 2 3 4) (1 4)(2 3) (1 2)(3 4) (1 3) (1 4 3 2) (2 4) (𝟏 𝟒 𝟑 𝟐) (1 4 3 2) (1 2)(3 4) (1 4)(2 3) (2 4) (1 2 3 4) (1 3) (2 4) (1 4 3 2) (1 3) (1 3)(2 4) (1) (1 3) (1 2 3 4) (2 4) (1) (1 3)(2 4) Tabel 3.4 Operasi ∘ pada grup permutasi bujur sangkar Selanjutnya kita temukan semua permutasi pada persegi panjang. Untuk memudahkan, perhatikan Gambar 3.6. 1 2 4 3 Gambar 3.6 Simetri pada persegi panjang 59 Permutasi pada persegi panjang berjumlah empat buah. Permutasi itu adalah (1), (1 2)(3 4), (1 3)(2 4) dan (1 4)(2 3). Permutasi (1) dan (1 3)(2 4) tidak lain simetri putar sementara (1 2)(3 4) dan (1 4)(2 3) simetri lipat. Semua simetri ini membentuk subgrup 𝑆4 . (𝟏) ∘ (𝟏 𝟐)(𝟑 𝟒) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (𝟏 𝟒)(𝟐 𝟑) (𝟏) (1) (1 2)(3 4) (1 3)(2 4) (1 4)(2 3) (𝟏 𝟐)(𝟑 𝟒) (1 2)(3 4) (1) (1 4)(2 3) (1 3)(2 4) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (1 3)(2 4) (1 4)(2 3) (1) (1 2)(3 4) (𝟏 𝟒)(𝟐 𝟑) (1 4)(2 3) (1 3)(2 4) (1 2)(3 4) (1) Tabel 3.5 Operasi ∘ pada grup permutasi persegi panjang Simetri berikutnya pada belah ketupat. Belah ketupat memiliki empat buah simetri, dua buah berupa simetri lipat dan sisanya simetri putar. Simetri lipat pada belah ketupat yaitu permutasi (1 3) dan (2 4). Simetri putarnya berupa permutasi (1) dan (1 3)(2 4). Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 3.7. 2 1 3 4 Gambar 3.7 Simetri pada belah ketupat Himpunan semua simetri pada belah ketupat membentuk grup permutasi. Grup ini merupakan subgrup 𝑆4 . Operasi komposisi pada grup permutasi ini dapat dilihat pada Tabel 3.6. ∘ (𝟏) (𝟏 𝟑) (𝟐 𝟒) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (𝟏) (1) (1 3) (2 4) (1 3)(2 4) (𝟏 𝟑) (1 3) (1) (1 3)(2 4) (2 4) (𝟐 𝟒) (2 4) (1 3)(2 4) (1) (1 3) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (1 3)(2 4) (2 4) (1 3) (1) Tabel 3.6 Operasi ∘ pada grup permutasi belah ketupat 60 Simetri berikutnya pada jajar genjang. Jajar genjang tidak memiliki simetri lipat tetapi masih memiliki dua simetri putar. Simetri ini berupa permutasi (1) dan (1 3)(2 4). Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 3.8 berikut ini. 1 2 4 3 Gambar 3.8 Simetri pada jajar genjang Sama halnya segi empat yang dijelaskan sebelumnya, himpunan semua simetri pada jajar genjang juga membentuk grup permutasi, subgrup 𝑆4 . Operasi komposisi pada grup permutasi ini dapat dilihat pada Tabel 3.7. ∘ (𝟏) (𝟏) (1) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (1 3)(2 4) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (1 3)(2 4) (1) Tabel 3.7 Operasi ∘ pada grup permutasi jajar genjang Sekarang kita beralih pada layang-layang. Berbeda halnya dengan jajar genjang, layang-layang memiliki simetri lipat. Simetri pada layang berupa permutasi (1) dan (1 3). Semua himpunan tersebut membentuk grup permutasi, subgrup dari 𝑆4 . Untuk lebih jelasnya perhatikan sumbu pencerminan dan rotasi layang-layang seperti pada Gambar 3.9. 4 3 2 1 Gambar 3.9 Simetri pada layang-layang Untuk operasi komposisi grup permutasi yang dibentuk oleh layanglayang dapat dilihat pada Tabel 3.8. 61 ∘ (𝟏) (𝟏 𝟑) (𝟏) (1) (1 3) (𝟏 𝟑) (1 3) (1) Tabel 3.8 Operasi ∘ pada grup permutasi layang-layang Akhirnya sampai pada, bangun terakhir, trapesium. Trapesium terbagi menjadi beberapa jenis. Di antaranya ada trapesium sama kaki, trapesium siku-siku dan trapesium sembarang. Trapesium siku-siku dan trapesium sembarang tidak ada yang menarik, mengingat simetri kedua bangun ini hanya berupa simetri identitas saja. Berbeda halnya dengan kedua trapesium tadi, trapesium sama kaki memiliki dua buah simetri, seperti tampak pada Gambar 3.10. Gambar 3.10 Simetri pada trapesium sama kaki Kedua simetri pada trapesium sama kaki berupa permutasi (1) dan (1 2)(3 4). Operasi pada grup permutasi yang diberikan oleh trapesium sama kaki dapat dilihat pada Tabel 3.9. ∘ (𝟏) (𝟏) (1) (𝟏 𝟐)(𝟑 𝟒) (1 2)(3 4) (𝟏 𝟐)(𝟑 𝟒) (1 2)(3 4) (1) Tabel 3.9 Operasi ∘ pada grup permutasi trapesium sama kaki Latihan 3.3 1. 2. 3. 4. 5. Tentukan semua permutasi pada segi lima! Apakah himpunan permutasi itu membentuk grup permutasi! Ulangi soal No.1 dan 2 untuk elips dan lingkaran! Apakah grup yang dihasilkan pada No.1, 2 dan 3 semuanya grup hingga? Buatkan Tabel Cayley untuk operasi komposisi permutasi pada elips! 62 BAB 4 GRUP SIKLIS Pada subbab orde grup dan anggota grup telah dibahas mengenai pangkat bulat anggota grup. Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑎 ∈ 𝐺. Himpunan semua pangkat bulat unsur 𝑎, ditulis: 〈𝑎〉, yaitu: 〈𝑎〉 = {𝑎𝑛 | 𝑛 ∈ ℤ} adalah subgrup 𝐺. Jelas 〈𝑎〉 subhimpunan 𝐺. Subhimpunan 〈𝑎〉 tidak hampa karena 𝑎 = 𝑎1 ∈ 〈𝑎〉. Selanjutnya, ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 〈𝑎〉. Akibatnya, 𝑥 = 𝑎 𝑛1 untuk suatu 𝑛1 ∈ ℤ dan 𝑦 = 𝑎𝑛2 untuk suatu 𝑛2 ∈ ℤ. Mengingat kedua akibat tersebut dan 𝑛1 + 𝑛2 ∈ ℤ, 〈𝑎〉 diperoleh 𝑥𝑦 = 𝑎𝑛1 𝑎𝑛2 = 𝑎 (𝑛1 +𝑛2 ) ∈ 〈𝑎〉. Subhimpunan membentuk substruktur mengingat subhimpunan tersebut tidak hampa dan tertutup terhadap operasi yang sama pada 𝐺. Perhatikan untuk setiap 𝑥 = 𝑎 𝑛1 , ada 𝑥 −1 = 𝑎−𝑛1 yang memenuhi 𝑥 −1 𝑥 = 𝑥𝑥 −1 = 𝑒. Semua alasan tersebut menunjukkan subhimpunan 〈𝑎〉 subgrup 𝐺. Contoh 4.1. Pandang grup (𝑆3 ,∘) yaitu: 𝑆3 = {(1), (1 2), (1 3), (2 3), (1 2 3), (1 3 2)}. Ambil salah satu unsur di 𝑆3 katakanlah (1 2 3). Permutasi (1 2 3)0 = (1 2 3)3 = (1), (1 2 3)1 = (1 2 3) dan (1 2 3)2 = (1 3 2). Dengan demikian, didapatkan himpunan 〈(1 2 3)〉 = {(1), (1 2 3), (1 3 2)} yang merupakan subhimpunan 𝑆3 dan memiliki tiga buah anggota. Menurut penjelasan di atas, subhimpunan 〈(1 2 3)〉 subgrup 𝑆3 . Akibatnya, semua sifat grup dimiliki oleh subhimpunan 〈(1 2 3)〉. Sifat tersebut, yaitu: subhimpunan 〈(1 2 3)〉 membentuk struktur, operasi pada subhimpunan 〈(1 2 3)〉 bersifat asosiatif, ada permutasi yang bertindak sebagai identitas, yaitu permutasi (1), dan setiap permutasi di subhimpunan 〈(1 2 3)〉 memiliki invers. Permutasi (1 2 3)−1 = (1 3 2) dan (1 3 2)−1 = (1 2 3). Definisi 4.1 Misalkan 𝐺 suatu grup. Grup 𝐺 disebut siklis jika 𝐺 = 〈𝑎〉 untuk suatu 𝑎 ∈ 𝐺. Unsur 𝑎 disebut pembangun grup 𝐺. Jika 𝐻 ⊆ 𝐺 dan 63 𝐻 = 〈𝑏〉 untuk suatu 𝑏 ∈ 𝐻 maka 𝐻 disebut subgrup siklis dari 𝐺 (subgrup yang dibangun oleh unsur 𝑏). Contoh 4.2. Grup bilangan bulat dengan operasi jumlah merupakan grup siklis yang dibangun oleh 1 atau −1. Akibatnya, grup bilangan bulat dapat ditulis menjadi ℤ = 〈1〉 = 〈−1〉. Berikutnya contoh subgrup. Subhimpunan 〈(1 2 3)〉 subgrup siklis dari grup 𝑆3 . Sifat 4.1 Setiap grup siklis merupakan grup komutatif. Bukti. Misalkan 𝐺 grup siklis. Untuk suatu unsur 𝑎 ∈ 𝐺, grup 𝐺 memenuhi 𝐺 = 〈𝑎〉. Sekarang ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺. Dua unsur ini dapat ditulis menjadi 𝑥 = 𝑎𝑛1 dan 𝑦 = 𝑎𝑛2 untuk suatu 𝑛1 , 𝑛2 ∈ ℤ. Penulisan ini mengakibatkan 𝑥𝑦 = 𝑎𝑛1 𝑎𝑛2 = 𝑎𝑛1 +𝑛2 = 𝑎 𝑛2 +𝑛1 = 𝑎𝑛2 𝑎𝑛1 = 𝑦𝑥 sesuai yang ingin dibuktikan.∎ Algoritme Pembagian Untuk setiap 𝑚 dan 𝑛 dua bilangan bulat dengan 𝑛 > 0, ada secara tunggal dua buah bilangan bulat 𝑞 dan 𝑟 yang memenuhi 𝑚 = 𝑛𝑞 + 𝑟, 0 ≤ 𝑟 < 𝑛. Algoritme ini digunakan dalam pembuktian Sifat 4.2. Sifat mengutarakan tentang subgrup dari grup siklis yang memiliki orde hingga. Pada sifat ini subgrup yang dimaksud itu bersifat siklis juga. Sifat 4.2 Misalkan 𝐺 suatu grup. Jika grup 𝐺 siklis berorde hingga dan 𝐻 ≤ 𝐺, subgrup 𝐻 siklis. Bukti. Misalkan 𝐺 = 〈𝑎〉 = {𝑒, 𝑎, … , 𝑎𝑛−1 } untuk suatu n ∈ ℤ+ dan H ≤ 𝐺. Jika 𝐻 = {𝑒}, tentu saja 𝐻 = 〈𝑒〉 siklis. Sekarang jika 𝐻 ≠ {𝑒} serta 𝑚 menyatakan bilangan bulat terkecil sehingga 1 ≤ 𝑚 < 𝑛 dan 𝑎𝑚 ∈ 𝐻. Kita akan menunjukkan bahwa 𝐻 = 〈𝑎𝑚 〉. Ambil 𝑎 𝑠 ∈ 𝐻. Berdasarkan algoritma pembagian, ada bilangan bulat 𝑞 dan 𝑟 sehingga 𝑠 = 𝑚𝑞 + 𝑟 dengan 0 ≤ 𝑟 < 𝑚. Perhatikan bahwa 𝑎𝑟 = 𝑎 𝑠−𝑚𝑞 = 𝑎 𝑠 (𝑎𝑚 )−𝑞 karena 𝑎 𝑠 = 𝑎𝑚𝑞+𝑟 . Jadi 𝑎𝑟 ∈ 𝐻 karena 𝑎 𝑠 ∈ 𝐻 dan 𝑎𝑚 ∈ 𝐻. Untuk itu, 𝑟 = 0 mengingat 0 ≤ 𝑟 < 𝑚 dan 𝑚 bilangan bulat terkecil yang memenuhi 𝑎𝑚 ∈ 𝐻. Dengan demikian, 𝑎 𝑠 = (𝑎𝑚 )𝑞 ∈ 𝐻 mengakibatkan 𝐻 = 〈𝑎𝑚 〉 dan subgrup 𝐻 siklis.∎ Sifat 4.3 Misalkan 𝐺 grup. Jika untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐺 ada bilangan bulat berbeda 𝑟 dan 𝑠 sehingga 𝑎𝑟 = 𝑎 𝑠 , maka a. ada bilangan asli terkecil 𝑛 sehingga berlaku 𝑎𝑛 = 𝑒. 64 b. jika 𝑡 suatu bilangan bulat maka 𝑎𝑡 = 𝑒 jika dan hanya jika 𝑛 membagi 𝑡. c. unsur 𝑒 = 𝑎0 , 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 semuanya berbeda satu sama lain dan 〈𝑎〉 = {𝑒, 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 }. Bukti. 𝑎. Misalkan 𝐺 suatu grup. Ambil 𝑎 ∈ 𝐺 sehingga 𝑎𝑟 = 𝑎 𝑠 untuk suatu 𝑟, 𝑠 ∈ ℤ dengan 𝑟 ≠ 𝑠. Jika 𝑟 > 𝑠, pilih 𝑛 = 𝑟 − 𝑠 > 0 sehingga diperoleh 𝑎𝑛 = 𝑎(𝑟−𝑠) = 𝑎𝑟 𝑎−𝑠 = 𝑎0 = 𝑒. Begitu juga untuk sebaliknya, 𝑠 > 𝑟. Selanjutnya, andaikan ada 𝑚 bilangan asli dengan 𝑚 < 𝑛 dan memenuhi 𝑎𝑚 = 𝑒. Mengingat 𝑎𝑛 = 𝑒 = 𝑎𝑚 , tentu saja diperoleh 𝑛 = 𝑚. Ini kontradiksi dengan pengandaian tadi. Jadi haruslah berlaku 𝑛 ≤ 𝑚. Dengan demikian, benar bahwa 𝑛 bilangan asli terkecil. 𝑏. Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑛 membagi 𝑡 untuk suatu 𝑛, 𝑡 ∈ ℤ. Ingat kembali, 𝑛 membagi 𝑡 artinya ada 𝑝 ∈ ℤ sehingga 𝑡 = 𝑝𝑛. Ambil 𝑎 ∈ 𝐺, akibatnya diperoleh 𝑎𝑡 = 𝑎𝑃𝑛 = (𝑎𝑛 )𝑝 = 𝑒 𝑝 = 𝑒. Sekarang kita buktikan arah sebaliknya. Misalkan 𝐺 suatu grup dan untuk suatu unsur 𝑡 ∈ ℤ berlaku 𝑎𝑡 = 𝑒. Akan ditunjukkan bahwa 𝑛 membagi 𝑡. Ambil 𝑡 ∈ ℤ dengan 𝑎𝑡 = 𝑒. Berdasarkan algoritma pembagian, ada bilangan bulat 𝑞 dan 𝑟 sehingga memenuhi 𝑡 = 𝑛𝑞 + 𝑟 dengan 0 ≤ 𝑟 < 𝑛. Oleh karena itu, diperoleh bahwa: 𝑎𝑡 𝑒 𝑎0 𝑎0 𝑎0 = = = = = 𝑎𝑛𝑞+𝑟 𝑎𝑛𝑞 𝑎𝑟 (𝑎𝑛 )𝑞 𝑎𝑟 𝑒 𝑞 𝑎𝑟 𝑎𝑟 sehingga 𝑟 = 0. Jadi 𝑡 = 𝑛𝑞 atau dengan kata lain 𝑛 membagi 𝑡. c. Ambil 𝑎𝑢 , 𝑎𝑣 ∈ 𝐺 dengan 𝑢, 𝑣 ∈ ℤ, 0 ≤ 𝑢 < 𝑛 dan 0 ≤ 𝑣 < 𝑛 sehingga 𝑢 ≠ 𝑣. Akan kita tunjukkan bahwa 𝑎𝑢 ≠ 𝑎𝑣 . Misalkan 𝑢 ≥ 𝑣 sehingga 𝑎𝑢 = 𝑎𝑣 . Akibatnya, 𝑎𝑢−𝑣 = 𝑎𝑢 𝑎−𝑣 = 𝑎𝑣 𝑎−𝑣 = 𝑒 dengan 𝑢 − 𝑣 ≥ 0. Berdasarkan (b), 𝑛 membagi 𝑢 − 𝑣, artinya ada bilangan 𝑞 yang memenuhi 𝑢 − 𝑣 = 𝑞𝑛. Karena 𝑢 − 𝑣 < 𝑛, haruslah 𝑞 = 0 dan 𝑢 − 𝑣 = 0. Jadi 𝑢 = 𝑣. Dengan demikian, jelas bahwa setiap unsur 𝑒 = 𝑎0 , 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 semuanya berbeda satu sama lain. Sekarang kita tunjukkan bahwa 〈𝑎〉 = {𝑒, 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 }. Ambil 𝑎𝑚 ∈ 〈𝑎〉. Berdasarkan algoritma pembagian, ada bilangan bulat 𝑞 dan 𝑟 sehingga memenuhi 𝑚 = 𝑛𝑞 + 𝑟 dengan 0 ≤ 𝑟 < 𝑛. Dengan demikian, 𝑎𝑚 = 𝑎𝑛𝑞+𝑟 = (𝑎𝑛 )𝑞 𝑎𝑟 = 𝑒 𝑞 𝑎𝑟 = 𝑎𝑟 . 65 Jadi, 𝑚 = 𝑟 < 𝑛 atau dapat ditulis 𝑚 = 1, 2, … , 𝑛 − 1. Oleh karena itu, 〈𝑎〉 = {𝑒, 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 }.∎ Definisi 4.2 Misalkan 𝑚 dan 𝑛 dua buah bilangan bulat tak nol. Bilangan asli 𝑑 disebut faktor persekutuan terbesar dari 𝑚 dan 𝑛, ditulis: 𝑑 = 𝐹𝑃𝐵(𝑚, 𝑛), jika memenuhi 1. 𝑑 | 𝑚 dan 𝑑 |𝑛 dan 2. jika 𝑐 bilangan bulat sehingga 𝑐 | 𝑚 dan 𝑐 | 𝑛, maka 𝑐 | 𝑑. Berikut ini disajikan beberapa sifat yang berkaitan dengan persekutuan bilangan bulat. Sifat 4.4 Faktor persekutuan terbesar bilangan bulat tak nol 𝑚 dan 𝑛, yaitu 𝐹𝑃𝐵(𝑚, 𝑛), dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari 𝑚 dan 𝑛: 𝐹𝑃𝐵(𝑚, 𝑛) = 𝑚𝑞 + 𝑛𝑟, untuk suatu 𝑞, 𝑟 ∈ ℤ. Bukti sifat diperoleh dengan menggunakan Definisi 4.2. Selanjutnya perhatikan sifat berikut ini. Sifat 4.5 Jika 𝑟 dan 𝑠 relatif prima serta 𝑟 | 𝑠𝑚 maka 𝑟 | 𝑚. Bukti. Bilangan bulat 𝑟 dan 𝑠 relatif prima artinya terdapat bilangan bulat 𝑣 dan 𝑤 sehingga 1 = 𝑣𝑟 + 𝑤𝑠. Dengan mengalikan bilangan bulat 𝑚 pada masing-masing ruas, kita memperoleh hasil berikut ini. 𝑚 = 𝑣𝑟𝑚 + 𝑤𝑠𝑚 Selain itu, mengingat 𝑟 | 𝑠𝑚, diperoleh 𝑟 | 𝑣𝑟𝑚 dan 𝑟 | 𝑤𝑠𝑚. Akibatnya, mengingat 𝑟 membagi ruas kanan, tentu saja 𝑟 | 𝑚.∎ Sifat 4.6 Jika unsur 𝑎 anggota suatu grup maka 𝑜(𝑎) = |〈𝑎〉|. Pada grup (ℤ6 ,⊕), orde subgrup siklis 〈2̅〉 = {0̅, 2̅, 4̅}, yaitu: |〈2̅〉| = 3. Perhatikan Contoh 2.9 untuk melihat cara mendapatkan nilai 𝑜(2̅). Pada contoh tersebut terlihat 𝑜(2̅) = 3. Akibatnya, 𝑜(2̅) = 3 = |〈2̅〉|. Latihan 4.1 1. Tentukan subgrup siklis dari grup ℤ5 dan 𝑆5 ! 2. Tentukan pembangun dari grup ℤ5 dan 𝑆5 ! 3. Tunjukkan bahwa jika grup 𝐺 tidak mempunyai subgrup selain subgrup identitas, {𝑒}, dan dirinya sendiri, 𝐺, maka grup 𝐺 adalah siklis! 66 4. Apakah setiap grup siklis itu hingga? 5. Apakah orde setiap grup siklis itu hingga? 67 BAB 5 GRUP FAKTOR Pada bagian ini, kita akan mempelajari cara membentuk grup dari grup yang ada. Anggota grup bentukan ini berupa koset-koset subgrup dari grup yang sudah ada tadi. Tidak semua subgrup, himpunan koset-kosetnya dapat membentuk grup. Subgrup yang himpunan koset-kosetnya membentuk grup hanya berupa subgrup normal. Grup bentukan ini disebut grup faktor (kuosien). 5.1 Koset dan subgrup normal Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subgrup 𝐺. Bentuk relasi ~ pada grup 𝐺 dengan ketentuan berikut. 𝑎~𝑏 jika dan hanya jika 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐻 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Relasi ini tidak lain relasi ekuivalen. Untuk lebih jelasnya, perhatikan bukti berikut ini. Ambil 𝑎 ∈ 𝐺. Mengingat 𝐻 subgrup dari 𝐺, diperoleh 𝑒𝐻 = 𝑒𝐺 = 𝑒 dan mengakibatkan 𝑎𝑎−1 = 𝑒𝐺 = 𝑒𝐻 = 𝑒 ∈ 𝐻. Menurut ketentuan di atas, 𝑎 ~ 𝑎 dan dengan kata lain relasi ~ bersifat refleksif. Kemudian kita ambil 𝑏 ∈ 𝐺 sehingga 𝑎 ~ 𝑏. Karena 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐻 dan 𝐻 subgrup 𝐺, 𝑏𝑎 −1 = (𝑏 −1 )−1 𝑎−1 = (𝑎𝑏 −1 )−1 ∈ 𝐻. Jadi 𝑏 ~ 𝑎 dan dengan demikian relasi ~ bersifat simetris. Terakhir, kita ambil unsur 𝑐 ∈ 𝐺 sehingga 𝑎 ~ 𝑏 dan 𝑏 ~ 𝑐. Karena 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐻, 𝑏𝑐 −1 ∈ 𝐻 dan 𝐻 subgrup dari 𝐺 kita mendapatkan 𝑎𝑐 −1 = 𝑎𝑒𝑐 −1 = 𝑎(𝑏 −1 𝑏)𝑐 −1 = (𝑎𝑏 −1 )(𝑏𝑐 −1 ) ∈ 𝐻. Jadi 𝑎 ~ 𝑐 dan dengan demikian relasi ~ ini bersifat transitif. Terlihat jelas tiga syarat relasi ekuivalen terpenuhi oleh relasi ~ ini. Relasi ekuivalen ~ pada 𝐺 membuat grup 𝐺 terpartisi menjadi kelaskelas ekuivalen. Misalkan 𝑎 ∈ 𝐺, kelas ekuivalen yang memuat 𝑎 berupa himpunan 𝑎̅ = {𝑏 ∈ 𝐺 | 𝑏 ~ 𝑎}. Ketika 𝑏 ~ 𝑎, kita dapatkan 𝑏𝑎 −1 = ℎ untuk suatu ℎ ∈ 𝐻 karena 𝑏𝑎 −1 ∈ 𝐻. Dengan kata lain 𝑏 = 𝑏𝑒 = 𝑏(𝑎−1 𝑎) = (𝑏𝑎 −1 )𝑎 = ℎ𝑎. Ini berakibat pada 𝑎̅. Dengan memasukkan hasil tadi, kelas 𝑎̅ menjadi seperti berikut. 𝑎̅ = = = {𝑏 ∈ 𝐺 | 𝑏 ~ 𝑎} {ℎ𝑎 | ℎ ∈ 𝐻} 𝐻𝑎 69 Kelas ekuivalen 𝑎̅ = 𝐻𝑎 disebut koset kanan subgrup 𝐻 yang memuat unsur 𝑎 ∈ 𝐺. Himpunan semua koset kanan subgrup 𝐻 merupakan partisi grup 𝐺. Jadi, koset kanan subgrup 𝐻 merupakan kelas ekuivalen milik partisi yang dihasilkan oleh relasi ekuivalen ~ pada grup 𝐺. Seperti halnya koset kanan, kita pun bisa mendapatkan koset kiri subgrup 𝐻 dengan cara mengganti relasi pada 𝐺 menjadi 𝑎 ~ 𝑏 jika dan hanya jika 𝑎 −1 𝑏 ∈ 𝐻 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Koset kiri ini tidak lain kelas ekuivalen 𝑎̅ = 𝑎𝐻. Himpunan koset kiri sama dengan partisi grup 𝐺. Jika grup 𝐺 bersifat komutatif, tentu saja koset kiri akan sama dengan koset kanan, ditulis: 𝑎𝐻 = 𝐻𝑎. Berikut ini definisi formal koset kiri dan kanan subgrup suatu grup. Definisi 5.1 Misalkan 𝐺 suatu grup, 𝐻 subgrup 𝐺 dan 𝑎 ∈ 𝐺. Subhimpunan 𝑎𝐻 = {𝑎ℎ | ℎ ∈ 𝐻} disebut sebagai koset kiri 𝐻 yang memuat 𝑎 dan subhimpunan 𝐻𝑎 = {ℎ𝑎 | ℎ ∈ 𝐻} disebut sebagai koset kanan 𝐻 yang memuat 𝑎. Sebelum kita membahas sifat-sifat koset, mari kita perhatikan contoh koset berikut ini. Pandang sistem bilangan bulat, ℤ, sebagai grup dengan operasi tambah dan 𝐻 = 〈2〉 subgrup siklis yang dibangun oleh 2. Ambil 𝑎 ∈ ℤ. Koset 𝐻𝑎 = 𝐻 + 𝑎 karena operasi pada grup ℤ berupa jumlah. Sebelum menentukan koset, perhatikan dahulu kesamaan berikut ini. 〈2〉 = {2𝑚 | 𝑚 ∈ ℤ} = {2 ⏟+ 2 + ⋯ + 2 | = = 𝑚 ∈ ℤ} 𝑚 {2𝑚 | 𝑚 ∈ ℤ} 2ℤ Jelas terlihat subgrup 𝐻 = 2ℤ. Sekarang baru kita cari semua koset kanan 𝐻. Kita mulai dari 𝑎 = 0. 𝐻+0 = = = 2ℤ + 0 {2𝑚 + 0 | 𝑚 ∈ ℤ} {⋯ , −4, −2, 0, 2, 4, ⋯ } 𝐻+1 = = = 2ℤ + 1 {2𝑚 + 1 | 𝑚 ∈ ℤ} {⋯ , −3, −1, 1, 3, 5, ⋯ } 70 𝐻+2 = = = = = 𝐻+3 = = = = 2ℤ + 2 {2𝑚 + 2 | 𝑚 ∈ ℤ} {2(𝑚 + 1) | 𝑚 ∈ ℤ} {2𝑘 |𝑘 = 𝑚 + 1 ∈ ℤ} 𝐻+0 2ℤ + 3 {2𝑚 + 3 | 𝑚 ∈ ℤ} {⋯ , −3, −1, 1, 3, 5, ⋯ } 𝐻+1 𝐻 + 0 = 𝐻 = 2ℤ tidak lain himpunan bilangan bulat genap dan 𝐻 + 1 = 2ℤ + 1 himpunan bilangan bulat ganjil. Subgrup 𝐻 hanya memiliki dua buah koset kanan, yakni: 𝐻 dan 𝐻 + 1, karena koset-koset kanan lainnya sama dengan salah satu dari kedua koset kanan ini. Koset kiri 𝐻 = 2ℤ, sama dengan koset kanan yaitu 0 + 𝐻 = 𝐻 = 2ℤ dan 1 + 𝐻 = 1 + 2ℤ = 2ℤ + 1. Misalkan grup 𝐺 = 𝑆3 dan subgrup 𝐻 = {(1), (1 3)}. Untuk semua anggota 𝑆3 , yaitu: (1), (1 2), (1 3), (2 3), (1 2 3), (1 3 2), kita memperoleh koset kanan 𝐻. 𝐻(1) 𝐻(1 2) 𝐻(1 3) 𝐻 (2 3) 𝐻(1 2 3) 𝐻(1 3 2) = = = = = = {(1)(1), (1 3)(1)} = {(1), (1 3)} {(1)(1 2), (1 3)(1 2)} = {(1 2), (1 2 3)} {(1)(1 3), (1 3)(1 3)} = {(1 3), (1)} {(1)(2 3), (1 3)(2 3)} = {(2 3), (1 3 2)} {(1)(1 2 3), (1 3)(1 2 3)} = {(1 2 3), (1 2)} {(1)(1 3 2), (1 3)(1 3 2)} = {(1 3 2), (2 3)} Dari semua koset kanan yang diperoleh ini, ada beberapa yang sama. Berikut ini daftar koset-koset yang sama tadi. 𝐻(1) = 𝐻(1 3) = {(1), (1 3)} 𝐻(1 2) = 𝐻(1 2 3) = {(1 2), (1 2 3)} 𝐻(2 3) = 𝐻(1 3 2) = {(2 3), (1 3 2)} Dengan demikian, subgrup 𝐻 = {(1), (1 3)} hanya memiliki tiga buah koset kanan: 𝐻(1), 𝐻(1 2) dan 𝐻(2 3). Untuk dapat memahami koset dengan lebih baik lagi, kita cermati sifatsifat koset berikut ini. Sifat 5.1 Misalkan 𝐺 suatu grup, 𝐻 subgrup 𝐺 dan 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Pernyataan berikut ekuivalen. 1. 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐻 2. 𝑎 = ℎ𝑏 untuk suatu ℎ ∈ 𝐻 3. 𝑎 ∈ 𝐻𝑏 4. 𝐻𝑎 = 𝐻𝑏 71 Bukti. (1 ⟹ 2). Misalkan 𝐻 subgrup 𝐺 dan 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐻 untuk 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Unsur 𝑎 dapat ditulis menjadi 𝑎 = 𝑎(𝑏 −1 𝑏) = (𝑎𝑏 −1 )𝑏 = ℎ𝑏 mengingat 𝑎𝑏 −1 = ℎ untuk suatu ℎ ∈ 𝐻. (2 ⟹ 3). Jika 𝐻𝑏 = {ℎ𝑏 | ℎ ∈ 𝐻} dan 𝑎 = ℎ𝑏 untuk suatu ℎ ∈ 𝐻, jelas 𝑎 ∈ 𝐻𝑏. (3 ⟹ 4). Jelas 𝐻𝑎 ⊆ 𝐻𝑏 karena untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐻𝑎 mengakibatkan 𝑥 = ℎ1 𝑎 = ℎ1 (ℎ2 𝑏) = (ℎ1 ℎ2 )𝑏 = ℎ3 𝑏 ∈ 𝐻𝑏 dengan ℎ3 = ℎ1 ℎ2 ∈ 𝐻. begitu juga, 𝐻𝑏 ⊆ 𝐻𝑎 karena untuk setiap 𝑦 ∈ 𝐻𝑏 mengakibatkan 𝑦 = ℎ1 𝑏 = ℎ1 (ℎ2−1 𝑎) = (ℎ1 ℎ2−1 )𝑎 = ℎ3 𝑏 ∈ 𝐻𝑏 dengan ℎ3 = ℎ1 ℎ2−1 ∈ 𝐻. (4 ⟹ 1). Misalkan 𝐻𝑎 = 𝐻𝑏. Karena 𝑎 ∈ 𝐻𝑎, tentu saja 𝑎 ∈ 𝐻𝑎 = 𝐻𝑏 dan mengakibatkan unsur 𝑎 dapat ditulis menjadi 𝑎 = ℎ𝑏 untuk suatu ℎ ∈ 𝐻 sehingga 𝑎𝑏 −1 = ℎ ∈ 𝐻 ∎. Berdasarkan sifat di atas, yaitu: jika 𝑏 ∈ 𝐻𝑎 maka 𝐻𝑎 = 𝐻𝑏, setiap koset kanan dapat ditulis dengan lebih dari satu cara. Begitu juga dengan koset kiri, dapat dituliskan lebih dari satu cara pula. Sifat 5.2 Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subgrup 𝐺. Jika orde subgrup 𝐻 hingga, |𝐻| = |𝐻𝑎| untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐺. Bukti. Ambil unsur 𝑎 ∈ 𝐺 lalu konstruksi pengaitan 𝜆 sebagai berikut. 𝜆: 𝐻 ℎ ⟶ ↦ 𝐻𝑎 ℎ𝑎 untuk setiap ℎ ∈ 𝐻. Jelas 𝜆 ini suatu pemetaan karena untuk setiap ℎ, 𝑘 ∈ 𝐻 dengan ℎ = 𝑘 mengakibatkan 𝜆(ℎ) = ℎ𝑎 = 𝑘𝑎 = 𝜆(𝑘). Ambil ℎ, 𝑘 ∈ 𝐻 dengan 𝜆(ℎ) = 𝜆(𝑘). Dengan begitu, kita memperoleh 𝜆(ℎ) ℎ𝑎 (ℎ𝑎)𝑎−1 ℎ(𝑎𝑎−1 ) ℎ = = = = = 𝜆(𝑘) 𝑘𝑎 (𝑘𝑎)𝑎−1 𝑘(𝑎𝑎 −1 ) 𝑘 Ini artinya 𝜆 pemetaan satu-satu. Terakhir kita ambil 𝑦 ∈ 𝐻𝑎. Pengambilan ini mengakibatkan 𝑦 = ℎ𝑎 untuk suatu ℎ ∈ 𝐻. Pilih 𝑥 = ℎ ∈ 𝐻 sehingga 𝑦 = ℎ𝑎 = 𝑥𝑎 = 𝜆(𝑥). Karena untuk setiap 𝑦 ∈ 𝐻𝑎 terdapat 𝑥 ∈ 𝐻 sehingga 𝑦 = 𝜆(𝑥), tentu saja 𝜆 suatu pemetaan pada. 72 Mengingat adanya pemetaan bijektif dari 𝐻 ke 𝐻𝑎, kita simpulkan bahwa |𝐻| = |𝐻𝑎| untuk semua 𝑎 ∈ 𝐺, begitu juga untuk koset kiri. ∎ Indeks 𝐻 di 𝐺, ditulis: |𝐺: 𝐻|, menyatakan banyaknya koset kanan subgrup 𝐻 di grup 𝐺. Sifat berikut ini, lebih dikenal dengan nama Teorema Lagrange, dapat digunakan untuk menghitung banyaknya koset kanan setiap grup jika orde grup dan subgrup tersebut diketahui. Mari kita simak bersamasama Teorema Lagrange dalam sifat berikut ini. Sifat 5.3 (Teorema Lagrange) Misalkan 𝐺 grup hingga dan 𝐻 subgrup 𝐺. Orde grup 𝐺 dan subgrup 𝐻 memenuhi 𝑜(𝐺) = |𝐺: 𝐻| 𝑜(𝐻). Bukti. Misalkan 𝐻 subgrup dari grup 𝐺. Himpunan semua koset kanan 𝐻 di 𝐺 membentuk partisi grup 𝐺 dan di dalam partisi ini ada sebanyak |𝐺: 𝐻| buah koset kanan. Mengingat setiap koset kanan saling lepas dan |𝐻| = |𝐻𝑎𝑖 | untuk semua 𝑎𝑖 ∈ 𝐺, kita mendapat 𝑜(𝐺) = = |𝐻𝑎1 | + |𝐻𝑎2 | + ⋯ + |𝐻𝑎|𝐺:𝐻| | |𝐻| + |𝐻| + ⋯ + |𝐻| ⏟ |𝐺:𝐻| buah = = |𝐺: 𝐻||𝐻| |𝐺: 𝐻| 𝑜(𝐻) ∎ Sebagai ilustrasi, perhatikan gambar berikut ini. Gambar 5.1 Koleksi koset kanan di grup 𝐺 Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subgrup 𝐺. Pada bagian awal telah disinggung sedikit mengenai partisi grup 𝐺. Seperti diketahui bahwa partisi grup 𝐺 tidak lain himpunan semua koset kanan subgrup 𝐻 di grup 𝐺. Partisi ini dapat membentuk struktur jika diberikan operasi yang terdefinisi dengan baik. Untuk mendefinisikan operasi pada partisi ini diperlukan konsep subgrup normal. Berikut ini definisi subgrup normal. Definisi 5.2 Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup 𝐺. Subgrup 𝑁 disebut normal jika 𝑁𝑔 = 𝑔𝑁 untuk setiap 𝑔 ∈ 𝐺. Contoh 5.1. Pandang grup bilangan bulat ℤ dengan operasi jumlah dan subgrup 2ℤ = {… , −2, 0, 2, … }. Koset kanan 2ℤ hanya ada dua buah yaitu 2ℤ dan 73 2ℤ + 1. Begitu juga koset kiri 2ℤ hanya ada dua buah, yaitu 2ℤ dan 1 + 2ℤ. Perhatikan bahwa 2ℤ + 1 = 1 + 2ℤ. Jadi, subgrup 2ℤ normal. Misalkan 𝐺 suatu grup. Grup 𝐺 disebut sederhana jika subgrup normalnya hanya subgrup {𝑒𝐺 } dan grup 𝐺 itu sendiri. Jelas grup bilangan bulat ℤ dengan operasi jumlah seperti dalam Contoh 5.1 bukan grup sederhana. Di sisi lain, grup ℤ2 sederhana untuk operasi jumlah. Selain itu, grup simetri 𝑆1 dan 𝑆2 juga sederhana seperti penjelasan dalam Contoh 3.5. Sifat 5.4 Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup 𝐺. Subgrup 𝑁 normal jika dan hanya jika 𝑔𝑛𝑔−1 ∈ 𝑁 untuk setiap 𝑛 ∈ 𝑁 dan 𝑔 ∈ 𝐺. Bukti. (⟹). Misalkan 𝑁 subgrup normal, berdasarkan Definisi 5.2, 𝑁𝑔 = 𝑔𝑁 untuk setiap 𝑔 ∈ 𝐺. Sekarang ambil 𝑛 ∈ 𝑁. Pengambilan ini mengakibatkan 𝑔𝑛 ∈ 𝑔𝑁 = 𝑁𝑔. Ini artinya ada unsur 𝑚 ∈ 𝑁 yang memenuhi 𝑔𝑛 = 𝑚𝑔 sehingga diperoleh 𝑔𝑛𝑔−1 = (𝑚𝑔)𝑔−1 = 𝑚 ∈ 𝑁. Jadi, 𝑔𝑛𝑔−1 ∈ 𝑁 untuk setiap 𝑛 ∈ 𝑁 dan 𝑔 ∈ 𝐺. (⟸). Misalkan 𝑔𝑛𝑔−1 ∈ 𝑁 untuk setiap 𝑛 ∈ 𝑁 dan 𝑔 ∈ 𝐺. Berdasarkan Sifat 5.1, 𝑔𝑛 ∈ 𝑁𝑔. Ketika semua 𝑔𝑛 ∈ 𝑔𝑁 mengakibatkan 𝑔𝑛 ∈ 𝑁𝑔, diperoleh 𝑔𝑁 ⊆ 𝑁𝑔. Perhatikan bahwa 𝑔𝑛𝑔−1 ∈ 𝑁 untuk setiap 𝑛 ∈ 𝑁 dan 𝑔 ∈ 𝐺. Artinya, 𝑔𝑛𝑔−1 = 𝑚 untuk suatu 𝑚 ∈ 𝑁. Akibatnya, untuk setiap 𝑛 ∈ 𝑁 dan 𝑔 ∈ 𝐺 ada 𝑚 ∈ 𝑁 sehingga memenuhi 𝑔𝑛 = 𝑚𝑔. Sekarang kita ambil 𝑥 ∈ 𝑁𝑔. Akibatnya, untuk suatu 𝑚1 , m2 ∈ 𝑁, 𝑥 dapat ditulis menjadi 𝑥 = 𝑚1 𝑔 = 𝑔𝑚2 ∈ 𝑔𝑁 dan dengan demikian 𝑁𝑔 ⊆ 𝑔𝑁. Akibatnya, 𝑁𝑔 = 𝑔𝑁 untuk setiap 𝑔 ∈ 𝐺.∎ Pandang grup S3 dan subgrup 〈(1 2)〉 = {(1), (1 2)}. Subgrup ini tidak normal karena ada permutasi (1 2 3) ∈ S3 . Permutasi ini menyebabkan (1 2 3)(1 2)(1 3 2) = (2 3) ∉ 〈(1 2)〉. Untuk setiap a ∈ G. Unsur gag −1 disebut konjugat a di G. Oleh karena itu, subgrup N normal di G jika setiap konjugat N juga ada di N. Latihan 5.1 1. Pandang grup ℤ𝑝 untuk suatu 𝑝 bilangan prima. a. Tentukan subgrup normal grup ℤ𝑝 ! b. Apakah grup ℤ𝑝 sederhana? 2. Tentukan koset kiri dan kanan subgrup berikut! 𝑉 = {(1), (1 2)(3 4), (1 3)(2 4), (1 4)(2 3)} Apakah ia membentuk subgrup normal 𝑆4 ? 74 3. Jika 𝐾 dan 𝐿 keduanya subgrup normal 𝐺, tunjukkan 𝐾 ∩ 𝐿 juga subgrup normal 𝐺 4. Misalkan 𝐾 dan 𝑁 keduanya subgrup 𝐺. Tunjukkan pernyataan berikut ini benar a. Jika 𝑁 normal di 𝐺, 𝑁 ∩ 𝐾 subgrup normal 𝐾 b. Jika 𝑁 normal di 𝐺, 𝑁𝐾 = {𝑛𝑘 ∣ 𝑛 ∈ 𝑁, 𝑘 ∈ 𝐾} subgrup 𝐺. c. Jika 𝑁 dan 𝐾 keduanya normal di 𝐺, 𝑁𝐾 subgrup normal. 5. Jika 𝑁 dan 𝐾 keduanya normal di 𝐺 yang memenuhi 𝐾 ∩ 𝑁 = 〈𝑒〉, tunjukkan bahwa 𝑛𝑘 = 𝑘𝑛 untuk semua 𝑛 ∈ 𝑁 dan 𝑘 ∈ 𝐾. 6. Misalkan 𝐺 suatu grup yang semua subgrupnya normal. Tunjukkan bahwa jika 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺, ada bilangan bulat 𝑘 yang memenuhi 𝑎𝑏 = 𝑏𝑎𝑘 . 5.2 Grup faktor Pandang himpunan semua koset kanan subgrup 𝐻 di grup 𝐺, ditulis: 𝐺 ⁄𝐻 = {𝐻𝑎 | 𝑎 ∈ 𝐺}. Himpunan ini tentu saja tak hampa karena kita tahu subgrup 𝐻 = 𝐻𝑒 ∈ 𝐺 ⁄𝐻 . Pada bagian koset dan subgrup normal, himpunan ini tidak lain partisi grup 𝐺. Oleh karena itu, jika 𝐻𝑎 ∩ 𝐻𝑏 ≠ ∅ maka 𝐻𝑎 = 𝐻𝑏. Sekarang definisikan operasi koset pada himpunan 𝐺 ⁄𝐻 sebagai berikut. (𝐻𝑎)(𝐻𝑏) = 𝐻(𝑎𝑏) untuk setiap 𝐻𝑎, 𝐻𝑏 ∈ 𝐺 ⁄𝐻 . Ambil koset 𝐻𝑥, 𝐻𝑦, 𝐻𝑎, 𝐻𝑏 ∈ 𝐺 ⁄𝐻 dengan 𝐻𝑥 = 𝐻𝑎 dan 𝐻𝑦 = 𝐻𝑏 untuk suatu 𝑥, 𝑦, 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Untuk suatu ℎ1 , ℎ2 ∈ 𝐻, unsur 𝑥 dan 𝑦 dapat ditulis menjadi 𝑥 = ℎ1 𝑎 dan 𝑦 = ℎ2 𝑏. 𝑥𝑦 = (ℎ1 𝑎)(ℎ2 𝑏) = ℎ1 (𝑎 ℎ2 )𝑏 Agar operasi koset ini terdefinisi dengan baik, subgrup 𝐻 haruslah normal sehingga 𝑎ℎ2 𝑎−1 = ℎ3 ∈ 𝐻 dan diperoleh hasil 𝑥𝑦 = (ℎ1 𝑎)(ℎ2 𝑏) = ℎ1 (𝑎ℎ2 )𝑏 = ℎ1 (ℎ3 𝑎)𝑏 = (ℎ1 ℎ3 )𝑎𝑏. Hasil ini menyebabkan 𝐻(𝑥𝑦) = 𝐻(𝑎𝑏) sehingga diperoleh 𝐻(𝑥)𝐻(𝑦) = 𝐻(𝑥𝑦) = 𝐻(𝑎𝑏) = 𝐻(𝑎)𝐻(𝑎). Di sisi lain, 𝐻(𝑥)𝐻(𝑦) = 𝐻(𝑥𝑦) ∈ 𝐺 ⁄𝐻 . Berdasarkan uraian tersebut, operasi koset ini terdefinisi dengan baik pada himpunan 𝐺 ⁄𝐻 jika 𝐻 subgrup normal di 𝐺. Dengan kata lain, himpunan 𝐺 ⁄𝐻 membentuk struktur jika subgrup 𝐻 normal. Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup normal 𝐺. Struktur 𝐺 ⁄𝑁 bersifat asosiatif dikarenakan memenuhi (𝑁𝑎𝑁𝑏)𝑁𝑐 = 𝑁(𝑎𝑏)𝑁𝑐 = 𝑁(𝑎𝑏)𝑐 = 𝑁𝑎(𝑏𝑐) = 𝑁𝑎𝑁(𝑏𝑐) = 𝑁𝑎(𝑁𝑏𝑁𝑐). 75 Subgrup normal 𝑁 tidak lain identitas struktur 𝐺 ⁄𝑁 mengingat 𝑁𝑁𝑎 = 𝑁𝑎 dan 𝑁𝑎𝑁 = 𝑁𝑎 untuk setiap 𝑁𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝑁 . Sementara itu, koset 𝑁𝑎 −1 ∈ 𝐺 ⁄𝑁 menjadi invers koset 𝑁𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝑁 disebabkan 𝑁𝑎−1 𝑁𝑎 = 𝑁(𝑎−1 𝑎) = 𝑁 = 𝑁(𝑎𝑎 −1 ) = 𝑁𝑎𝑁𝑎 −1 Melihat semua itu, struktur 𝐺 ⁄𝑁 dengan operasi koset tidak lain grup. Grup semacam ini disebut grup faktor (kuosien). Definisi 5.3 Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup normal 𝐺. Grup faktor dari grup 𝐺 oleh 𝑁, ditulis: 𝐺 ⁄𝑁, adalah himpunan semua koset kanan 𝑁 di 𝐺 dengan operasi koset sebagai berikut. (𝑁𝑎)(𝑁𝑏) = 𝑁(𝑎𝑏) untuk setiap 𝑁𝑎, 𝑁𝑏 ∈ 𝐺 ⁄𝑁 Contoh 5.2. Pandang grup bilangan bulat ℤ dengan operasi jumlah dan subgrup 〈2〉 = {2𝑧 | 𝑧 ∈ ℤ} = {2𝑧 | 𝑧 ∈ ℤ} = 2ℤ. Jelas subgrup 2ℤ normal sehingga kita dapat membentuk grup faktor dari ℤ oleh 2ℤ. Anggota grup ini semua koset kanan subgrup 2ℤ, yaitu: koset 2ℤ dan 2ℤ + 1. Berikut ini operasi pada grup faktor ℤ⁄2ℤ = {2ℤ, 2ℤ + 1}. 𝟐ℤ + 𝟏 𝟐ℤ 𝟐ℤ 2ℤ 2ℤ + 1 𝟐ℤ + 𝟏 2ℤ + 1 2ℤ Tabel 5.1 Operasi koset pada grup ℤ⁄2ℤ Misalkan 𝐺 suatu grup dengan orde hingga. banyaknya anggota grup faktor 𝐺 ⁄𝑁 sejumlah koset kanan 𝑁 di 𝐺 yaitu |𝐺: 𝑁|. Berdasarkan teorema Lagrange kita ketahui bahwa |𝐺| = |𝐺: 𝑁||𝑁|. Oleh karena itu, |𝐺| = |𝐺 ⁄𝑁||𝑁| atau dengan kata lain |𝐺 ⁄𝑁| = |𝐺|⁄|𝑁| Contoh 5.3. Pandang grup simetri {(1), (1 2 3), (1 3 2)}. Perhatikan bahwa 𝑁(1 2) = 𝑁(1 3) = 𝑁(2 3) = 𝑆3 dan subgrup {(1)(1 2), (1 2 3)(1 2), (1 3 2)(1 2)} = {(1)(1 3), (1 2 3)(1 3), (1 3 2)(1 3)} = {(1)(2 3), (1 2 3)(2 3), (1 3 2)(2 3)} = 𝑁 = 〈(1 2 3)〉 = {(1 2), (1 3), (2 3)} {(1 3), (2 3), (1 2)} {(2 3), (1 2), (1 3)} Jadi 𝑆3 ⁄𝑁 = {𝑁, 𝑁(1 2)}, karena 𝑁(1 2) = 𝑁(1 3) = 𝑁(2 3). Perhatikan bahwa jumlah unsur pada grup 𝑆3 ⁄𝑁, yaitu |𝑆3 ⁄𝑁| = 2. Menurut Lagrange, nilai 6 ini bisa diperoleh dari kesamaan |𝑆3 ⁄𝑁| = |𝑆3 |⁄|𝑁| = 3 = 2 tanpa harus mencacah anggota grup S3 . Subgrup normal 𝑁 tidak lain unsur identitas grup 𝑆3 ⁄𝑁 dan invers 𝑁(1 2) ialah dirinya sendiri karena 𝑁(1 2)𝑁(1 2) = 𝑁((1 2)(1 2)) = 𝑁(1) = 𝑁. Untuk 76 lebih jelasnya, mari kita perhatikan operasi pada grup 𝑆3 ⁄𝑁 seperti pada berikut ini. 𝑵(𝟏 𝟐) 𝑵 𝑵 𝑁 𝑁(1 2) 𝑵(𝟏 𝟐) 𝑁(1 2) 𝑁 Tabel 5.2 Operasi pada grup 𝑆3 ⁄𝑁 Latihan 5.2 1. Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup normal 𝐺. Tunjukkan pernyataan berikut ini benar. a. Jika grup 𝐺 komutatif maka begitu juga dengan grup 𝐺/𝑁. b. Jika grup 𝐺/𝑁 komutatif maka 𝑎𝑏𝑎−1 𝑏 −1 ∈ 𝑁 untuk semua 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. 2. Apakah setiap subgrup dari grup komutatif itu normal? 3. Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑍(𝐺) = {𝑐 ∈ 𝐺 ∣ 𝑐𝑔 = 𝑔𝑐, ∀𝑔 ∈ 𝐺}. Tunjukkan bahwa Jika grup 𝐺/𝑍(𝐺) siklis maka grup 𝐺 komutatif! 4. a. Berikan contoh grup non komutatif 𝐺 sehingga grup 𝐺/𝑍(𝐺) komutatif! b. Berikan contoh grup 𝐺 sehingga grup 𝐺/𝑍(𝐺) tidak komutatif! 8 14 48 5. a. Cari orde 9 , 5 , 28 anggota grup ℚ/ℤ dengan operasi jumlah. b. Tunjukkan bahwa setiap anggota ℚ/ℤ memiliki orde hingga! 77 BAB 6 HOMOMORFISMA GRUP Pada bagian ini, kita pelajari alat pembanding dua struktur grup, yaitu homomorfisma grup. Dengan homomorfisma kita dapat mengetahui apa yang dimiliki oleh dua buah grup yang strukturnya sama. Alat ini sangat penting dalam mempelajari struktur grup. Khususnya, ketika kita bekerja pada suatu grup berukuran besar dan rumit. Kita bisa gunakan homomorfisma sehingga kita memperoleh subgrup berukuran kecil dan sederhana, tetapi masih memiliki beberapa sifat esensial dari suatu grup besar dan rumit tersebut. Peta dari homomorfisma serta subgrup berukuran kecil dan sederhana tersebut memberikan gambaran tentang grup besar dan rumit yang kita kaji. 6.1 Konsep dasar Homomorfisma grup tidak lain pemetaan yang mengawetkan operasi. Untuk itu, dua grup yang di antara keduanya dapat dibentuk homomorfisma, memiliki kesamaan struktur. Secara formal homomorfisma didefinisikan sebagai berikut. Definisi 6.1 Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup. Pemetaan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 disebut homomorfisma jika 𝜙(𝑔1 𝑔2) = 𝜙(𝑔1 ) 𝜙(𝑔2 ) untuk setiap 𝑔1 , 𝑔2 ∈ 𝐺. Perlu diperhatikan ketika membaca tanda 𝑔1 𝑔2 . Ketika operasi pada grup 𝐺 disebutkan, sesuai kesepakatan penulisan operasi, tanda 𝑔1 𝑔2 harus disesuaikan dengan operasi di grup 𝐺. Sementara itu, untuk 𝜙(𝑔1 ) 𝜙(𝑔2 ) harus disesuaikan dengan operasi pada grup 𝐻. Contoh 6.1. Pandang pemetaan 𝜃(𝑥) = 𝑒 𝑥 dari grup (ℝ, +) ke grup (ℝ+ , ⋅). Pemetaan ini tidak lain homomorfisma karena untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ ℝ memenuhi: (𝑥 + 𝑦) = = = 𝑒 (𝑥+𝑦) 𝑒 𝑥𝑒𝑦 𝜃(𝑥)𝜃(𝑦) Pada homomorfisma 𝜃 terlihat jelas operasi pada masing-masing grup. Contoh 6.2. Perhatikan grup bilangan bulat (ℤ, +) dan grup bilangan bulat 𝑚𝑜𝑑 𝑛 (ℤ𝑛 ,⊕), untuk suatu bilangan bulat 𝑛. Misalkan kita definisikan 79 pemetaan 𝜆: ℤ ⟶ ℤ𝑛 dengan 𝜆(𝑧) = 𝑧̅ untuk setiap 𝑧 ∈ ℤ. Pemetaan 𝜆 seperti ini tentu saja homomorfisma mengingat untuk setiap 𝑦, 𝑧 ∈ ℤ memenuhi 𝜆(𝑦 + 𝑧) = = = ̅̅̅̅̅̅̅ 𝑦+𝑧 𝑦̅ ⊕ 𝑧̅ 𝜆(𝑦) ⊕ 𝜆(𝑧) Contoh 6.3. Semua pemetaan berikut homomorfisma. 1. 2. 3. 4. 1 2 𝑥 𝑥 Pemetaan 𝑓 ((𝑦)) = (3 1) (𝑦) dari grup (ℝ2 , +) ke grup (ℝ3 , +). 2 4 Pemetaan 𝛼 dari grup (ℤ, +) ke grup (2ℤ, +) dengan 𝛼(𝑧) = 2𝑧 untuk setiap 𝑧 ∈ ℤ. Pemetaan 𝛽 dari grup (ℝ+ , ⋅) ke grup (ℝ, +) dengan 𝛽(𝑥) = 𝑙𝑜𝑔10(𝑥), untuk setiap 𝑥 ∈ ℝ+ . Pemetaan 𝛾(𝑥) = 𝑒𝐻 , pemetaan yang mengaitkan setiap unsur 𝑥 ∈ 𝐺 ke unsur identitas grup 𝐻. Sifat 6.1 Jika 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta pemetaan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu homomorfisma, pernyataan berikut benar. a. 𝜙(𝑒𝐺 ) = 𝑒𝐻 b. 𝜙(𝑔−1 ) = 𝜙 −1 (𝑔) untuk setiap 𝑔 ∈ 𝐺 c. 𝜙(𝑔𝑛 ) = 𝜙 𝑛 (𝑔) untuk setiap 𝑔 ∈ 𝐺, 𝑛 ∈ ℤ d. 𝜙(𝐺), peta homomorfik 𝐺, subgrup 𝐻 Bukti. (𝑎). Misalkan 𝜙 homomorfisma dari grup 𝐺 dengan identitas 𝑒𝐺 ke grup H dengan identitas 𝑒𝐻 . Dengan menggunakan 𝑒𝐺 = 𝑒𝐺 𝑒𝐺 dan 𝜙(𝑒𝐺 ) ∈ 𝐻 kita memperoleh 𝜙(𝑒𝐺 ) 𝑒𝐻 = 𝜙(𝑒𝐺 ) = 𝜙(𝑒𝐺 𝑒𝐺 ) = 𝜙(𝑒𝐺 )𝜙(𝑒𝐺 ) Selanjutnya kita gunakan hukum pembatalan kiri sehingga diperoleh 𝜙(𝑒𝐺 ) = 𝑒𝐻 . (𝑏). Ambil 𝑥 ∈ 𝐺. Akibatnya ada 𝑥 −1 ∈ 𝐺 sehingga 𝑥 −1 𝑥 = 𝑒𝐺 . Selain itu, mengingat 𝜙(𝑥) ∈ 𝐻, tentu saja ada 𝜙 −1 (𝑥) ∈ 𝐻 sehingga 𝜙 −1 (𝑥)𝜙(𝑥) = 𝑒𝐻 . Dengan menggunakan informasi ini semua kita dapatkan 𝜙(𝑒𝐺 ) 𝜙(𝑥 −1 𝑥) 𝜙(𝑥 −1 )𝜙(𝑥) 𝜙(𝑥 −1 ) = 𝑒𝐻 −1 (𝑥)𝜙(𝑥) = 𝜙 = 𝜙 −1 (𝑥)𝜙(𝑥) = 𝜙 −1 (𝑥) 80 (𝑐). Ambil 𝑥 ∈ 𝐺, 𝑛 ∈ ℤ. Untuk menunjukkan 𝜙(𝑥 𝑛 ) = 𝜙 𝑛 (𝑥), kita bagi menjadi tiga kasus, yaitu 𝑛 < 0, 𝑛 = 0 dan 𝑛 > 0. Untuk kasus 𝑛 = 0, jelas karena 𝜙(𝑥 0 ) = 𝜙(𝑒𝐺 ) = 𝑒𝐻 = 𝜙 0 (𝑥). Selanjutnya, untuk kasus 𝑛 > 0 kita gunakan induksi matematika. Untuk 𝑛 = 1 tidak ada yang perlu kita buktikan. Misalkan untuk 𝑛 > 1 berlaku 𝜙(𝑥 𝑛−1 ) = 𝜙 𝑛−1 (𝑥). 𝜙(𝑥 𝑛 ) = = = = 𝜙(𝑥 𝑛−1 𝑥) 𝜙(𝑥 𝑛−1 )𝜙(𝑥) 𝜙 𝑛−1 (𝑥)𝜙(𝑥) 𝜙 𝑛 (𝑥) Terakhir untuk kasus 𝑛 < 0 atau 𝑛 = −|𝑛|. Kita memperoleh 𝜙(𝑥 𝑛 ) = 𝜙(𝑥 −|𝑛| ) −1 = 𝜙 ((𝑥 |𝑛| ) ) = 𝜙 −1 (𝑥 |𝑛| ) = [𝜙(𝑥 |𝑛| )] ([𝜙(𝑥)]−1 )|𝑛| = = = = −1 (𝜙(𝑥)) −|𝑛| 𝑛 (𝜙(𝑥)) 𝜙 𝑛 (𝑥) (𝑑). Jelas 𝜙(𝐺) = {𝜙(𝑥) | 𝑥 ∈ 𝐺} ⊆ 𝐻. Himpunan 𝜙(𝐺) ≠ ∅, karena 𝑒𝐻 = 𝜙(𝑒𝐺 ) ∈ 𝜙(𝐺), Ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝜙(𝐺), Untuk itu, ada 𝑣, 𝑤 ∈ 𝐺 yang memenuhi 𝑥 = 𝜙(𝑣) dan 𝑦 = 𝜙(𝑤). Untuk menunjukkan 𝜙(𝐺) subgrup 𝐻, kita cukup menunjukkan 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝜙(𝐺). Perhatikan bahwa 𝑥𝑦 −1 = 𝜙(𝑣)𝜙 −1 (𝑤) = 𝜙(𝑣)𝜙(𝑤 −1 ) = 𝜙(𝑣𝑤 −1 ) ∈ 𝜙(𝐺) karena 𝑣𝑤 −1 ∈ 𝐺 Jadi, terbukti bahwa 𝜙(𝐺) adalah subgrup dari 𝐻.∎ Sebelum kita melanjutkan ke sifat-sifat berikutnya, mari perhatikan definisi berikut ini. Definisi 6.2 Misalkan 𝐺 dan 𝐻 semuanya grup serta 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu homomorfisma. Himpunan semua unsur di 𝐺 yang dipetakan oleh 𝜙 ke identitas 𝐻 disebut inti homomorfisma, ditulis: 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙). 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) = {𝑥 ∈ 𝐺 | 𝜙(𝑥) = 𝑒𝐻 } Contoh 6.4. Pandang 𝜃: ℝ ⟶ ℝ+ dengan 𝜃(𝑥) = 𝑒 𝑥 seperti dalam Contoh 6.1. Himpunan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) = {0}. Hal ini terjadi disebabkan karena 𝑥 = 𝑙𝑛 𝑒 𝑥 = 𝑙𝑛 𝜃(𝑥) = 𝑙𝑛 1 = 0. 81 Sifat 6.2 Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu pemetaan. Jika pemetaan 𝜙 homomorfisma maka 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) subgrup 𝐺. Bukti. Berdasarkan Definisi 6.2, jelas 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) ⊆ 𝐺. Di sisi lain, menurut Sifat 6.1(a), 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) ≠ ∅. Sekarang ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙). Akibatnya, kita memperoleh 𝜙(𝑥) = 𝑒𝐻 dan 𝜙(𝑦) = 𝑒𝐻 . Perhatikan bahwa 𝜙(𝑥𝑦 −1 ) = 𝜙(𝑥)𝜙(𝑦 −1) = 𝜙(𝑥)𝜙 −1 (𝑦) = 𝑒𝐻 𝑒𝐻−1 = 𝑒𝐻 Dengan demikian 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) dan ini melengkapi bukti kita, yakni 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) subgrup 𝐺.∎ Sifat 6.3 Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu pemetaan. Jika pemetaan 𝜙 homomorfisma maka 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) subgrup normal 𝐺. Bukti. Berdasarkan Sifat 6.2, subhimpunan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) subgrup 𝐺. Untuk itu, cukup menunjukkan subgrup 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) normal di 𝐺. Sekarang ambil 𝑔 ∈ 𝐺 dan 𝑎 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙). Perhatikan bahwa 𝜙(𝑔𝑎𝑔−1 ) = 𝜙(𝑔)𝜙(𝑎)𝜙(𝑔−1 ) = 𝜙(𝑔)𝑒𝐻 𝜙 −1 (𝑔) = 𝑒𝐻 . Mengingat untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) dan 𝑔 ∈ 𝐺 mengakibatkan 𝑔𝑎𝑔−1 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙), subgrup 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) normal di 𝐺. ∎ Latihan 6.1 1. Periksa apakah pemetaan berikut ini suatu homomorfisma! a. 𝑓: ℂ ⟶ ℝ dengan 𝑓(𝑎 + 𝑏𝑖) = 𝑏 b. 𝑓: ℚ × ℤ ⟶ ℤ dengan 𝑓((𝑥, 𝑦)) = 𝑦 2. Tentukan peta homomorfik dan inti homomorfisma jika pemetaan pada soal No.1 homomorfisma! 3. Jika 𝑘, 𝑛, 𝑟 ∈ ℤ+ demikian sehingga 𝑘|𝑛. Tunjukkan bahwa pemetaan 𝑓: ℤ𝑛 ⟶ ℤ𝑘 dengan 𝑓([𝑎]𝑛 ) = [𝑟𝑎]𝑘 suatu homomorfisma! 4. Tentukan inti homomorfisma dan peta homomorfik 𝑓(ℤ𝑛 )! 5. Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup hingga serta pemetaan 𝑓: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu homomorfisma. Tunjukkan bahwa |𝑓(𝐺)| membagi 𝐺 dan 𝐻. 6.2 Macam-macam homomorfisma beserta sifatnya Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu homomorfisma. Homomorfisma 𝜙 disebut endomorfisma jika grup 𝐺 = 𝐻. Endomorfisma yang bersifat bijektif disebut otomorfisma. 82 Berdasarkan sifat pemetaannya, homomorfisma grup terbagi menjadi tiga bagian yaitu: monomorfisma, epimorfisma dan isomorfisma. Suatu homomorfisma disebut monomorfisma jika ia bersifat satu-satu (injektif). Suatu homomorfisma disebut epimorfisma jika ia bersifat pada (surjektif). Terakhir, homomorfisma disebut isomorfisma jika ia bersifat satu-satu dan pada (bijektif). Contoh 6.5. Homomorfisma 𝜃 dalam Contoh 6.1 tidak lain monomorfisma. Homomorfisma 𝜆 dalam Contoh 6.2 merupakan epimorfisma yang bukan monomorfisma sementara homomorfisma 𝛾 dalam Contoh 6.3(4) merupakan homomorfisma yang bukan monomorfisma maupun epimorfisma. Contoh 6.6. Dalam Contoh 6.3(2) telah disebutkan pemetaan 𝛼 dari grup (ℤ, +) ke grup (2ℤ, +) dengan 𝛼(𝑧) = 2𝑧 untuk setiap 𝑧 ∈ ℤ suatu homomorfisma. Sekarang kita tunjukkan 𝛼 bijektif. Ambil 𝑦 ∈ 2ℤ. Untuk suatu 𝑧 ∈ ℤ, kita memperoleh 𝑦 = 2𝑧 = 𝛼(𝑧) dan mengakibatkan 𝛼 bersifat surjektif. Sekarang ambil 𝑣, 𝑤 ∈ ℤ dengan 𝛼(𝑣) = 𝛼(𝑤). Mengingat 2𝑣 = 2𝑤 tentu saja 𝑣 = 𝑤. Jadi homomorfisma ini bersifat injektif. Mengingat homomorfisma 𝛼 bijektif, tentu saja isomorfisma. ∎ Sifat 6.4 Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu homomorfisma grup. Homomorfisma 𝜙 suatu monomorfisma jika dan hanya jika 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) = {𝑒𝐺 }. Bukti. (⟹). Misalkan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 monomorfisma dan 𝑒𝐺 identitas grup 𝐺. Ambil 𝑥 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙). Unsur ini oleh 𝜙 dipetakan ke identitas 𝑒𝐻 , ditulis: 𝜙(𝑥) = 𝑒𝐻 . Berdasarkan Sifat 6.1, kita memperoleh 𝜙(𝑥) = 𝑒𝐻 = 𝜙(𝑒𝐺 ). Selanjutnya dengan menggunakan sifat 𝜙 pemetaan satu-satu, kita mendapatkan 𝑥 = 𝑒𝐺 . Jadi 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) = {𝑒𝐺 }. (⟸). Sekarang kita buktikan sebaliknya. Misal 𝜙 homomorfisma dan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) = {𝑒𝐺 }. Akan kita tunjukkan 𝜙 monomorfisma. Ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺 dengan 𝜙(𝑥) = 𝜙(𝑦). Perhatikan bahwa 𝜙(𝑥)𝜙 −1 (𝑦) = 𝜙(𝑥)𝜙(𝑦 −1 ) = 𝜙(𝑥𝑦 −1 ) = 𝜙(𝑦)𝜙 −1 (𝑦) 𝑒𝐻 𝑒𝐻 Karena 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) = {𝑒𝐺 }, itu artinya 𝑥𝑦 −1 = 𝑒𝐺 . Hal ini mengakibatkan 𝜙 bersifat injektif mengingat 𝑦 = 𝑒𝐺 𝑦 = (𝑥𝑦 −1 )𝑦 = 𝑥(𝑦 −1 𝑦) = 𝑥 𝑒𝐺 = 𝑥. Jadi, homomorfisma 𝜙 suatu monomorfisma. ∎ Definisi 6.3 Kedua grup 𝐺 dan 𝐻 disebut isomorfik, ditulis: 𝐺 ≅ 𝐻, jika ada isomorfisma dari grup 𝐺 ke grup 𝐻. 83 Contoh 6.7. Perhatikan kembali Contoh 6.6. Dalam contoh ini, ℤ ≅ 2ℤ mengingat ada isomorfisma 𝛼: ℤ ⟶ 2ℤ. Contoh 6.8. Pandang grup ℤ3 = {0̅, 1̅, 2̅} dengan operasi jumlah modulo ⊕ dan grup 〈(1 2 3)〉 = {(1), (1 2 3), (1 3 2)} dengan operasi komposisi ∘ seperti terlihat pada tabel Cayley berikut. ̅ 𝟏 ̅ 𝟐 ̅ (𝟏) (𝟏 𝟐 𝟑) (𝟏 𝟑 𝟐) ⊕ 𝟎 ∘ ̅ 0̅ 1̅ 2̅ (1) (1) (1 2 3) (1 3 2) 𝟎 ̅ 1̅ 2̅ 0̅ (1 2 3) (1 2 3) (1 3 2) (1) 𝟏 ̅ ̅ ̅ ̅ (1 3 2) (1 3 2) (1) (1 2 3) 𝟐 2 0 1 Tabel 6.1 Operasi ⊕ pada ℤ𝟑 dan Operasi ∘ pada 〈(1 2 3)〉 Perhatikan bahwa ℤ3 ≅ 〈(1 2 3)〉 karena kita bisa mengkonstruksi pemetaan 𝜂: ℤ3 ⟶ 〈(1 2 3)〉 dengan mengaitkan 0̅ ↦ (1), 1̅ ↦ (1 2 3) dan 2̅ ↦ (1 3 2). 0̅ 𝜂 (1) 1̅ (1 2 3) 2̅ (1 3 2) ℤ3 〈(1 2 3)〉 Gambar 6.1 Isomorfisma 𝜂 dari ℤ𝟑 ke 〈(1 2 3)〉 Sebagai gambaran kesamaan struktur di grup ℤ𝟑 dan grup 〈(1 2 3)〉. Peran 0̅ di grup ℤ𝟑 sama dengan peran (1) di dalam grup 〈(1 2 3)〉, sama-sama sebagai identitas. Peran 1̅ di grup ℤ𝟑 sama dengan peran (1 2 3) di grup 〈(1 2 3)〉. Begitu juga dengan peran 2̅ di grup ℤ𝟑 tentu saja sama dengan peran (1 3 2) di grup 〈(1 2 3)〉. Perhatikan unsur (1 2 3) ∈ 〈(1 2 3)〉. Yang bersesuaian dengan unsur ini di grup ℤ𝟑 tidak lain unsur 1̅. Dapat dilihat bersama pada Tabel 6.1, (1 2 3)−1 = (1 3 2). Unsur (1 3 2) ini ternyata bersesuaian dengan 2̅ dan 2̅ = (1̅)−1 . Sifat 6.5 Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup. Jika 𝐺 ≅ 𝐻 maka pernyataan berikut benar. a. |𝐺| = |𝐻| b. Jika 𝐺 memiliki subgrup berorde 𝑛, maka 𝐻 juga memilikinya c. Jika 𝑜(𝑎) = 𝑛 maka 𝑜(𝜙(𝑎)) = 𝑛 untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐺 dan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu isomorfisma. 84 Bukti. (a). Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup dengan 𝐺 ≅ 𝐻. Akibatnya, ada pemetaan isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻. Tentu saja pemetaan 𝜙 ini bersifat bijektif. Akhirnya, menurut Definisi 1.10, |𝐺| = |𝐻| sesuai yang ingin kita buktikan. (b). Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup dengan 𝐺 ≅ 𝐻. Misalkan K subgrup 𝐺 dengan |𝐾| = 𝑛 dan pemetaan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 isomorfisma. Ada dua alasan penyebab 𝜙(𝐾) = {𝜙(𝑎) ∣ 𝑎 ∈ 𝐾} membentuk subgrup 𝐻. Pertama, 𝜙(𝐾) ≠ ∅. Tentu ini disebabkan adanya 𝑒𝐻 = 𝜙(𝑒𝐾 ) ∈ 𝜙(𝐾) mengingat 𝜙 suatu homomorfisma. Kedua, 𝜙(𝑎)𝜙 −1 (𝑏) = 𝜙(𝑎𝑏 −1 ) ∈ 𝜙(𝐾) karena 𝜙 homomorfisma dan 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐾 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐾. Selanjutnya tinggal menunjukkan |𝜙(𝐾)| = 𝑛. Batasi domain 𝜙 menjadi 𝐾. Pembatasan ini mengakibatkan 𝜙: 𝐾 ⟶ ϕ(𝐾) masih tetap isomorfisma. Dengan menggunakan hasil (𝑎), kita memperoleh |𝜙(𝐾)| = |𝐾| = 𝑛. Jadi ada 𝜙(𝐾) subgrup 𝐻 berorde 𝑛. (c). Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup dengan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu isomorfisma. Ambil 𝑎 ∈ 𝐺 sehingga 𝑜(𝑎) = 𝑛 untuk suatu bilangan asli terkecil 𝑛, ditulis: 𝑎𝑛 = 𝑒𝐺 . Pengambilan ini mengakibatkan 𝑜(𝜙(𝑎)) ≤ 𝑛 karena 𝜙 𝑛 (𝑎) = 𝜙(𝑎𝑛 ) = 𝜙(𝑒𝐺 ) = 𝑒𝐻 . Andaikan 𝑜(𝜙(𝑎)) = 𝑚 < 𝑛. Pengandaian ini memberikan 𝑒𝐻 = 𝜙 𝑚 (𝑎) = 𝜙(𝑎𝑚 ) dan mengakibatkan 𝜙(𝑎𝑛 ) = 𝑒𝐻 = 𝜙(𝑎𝑚 ). Dengan demikian, 𝑒𝐻 = = = = = −1 𝜙(𝑎𝑛 )(𝜙(𝑎𝑚 )) 𝜙(𝑎𝑛 )𝜙 −1 (𝑎𝑚 ) 𝜙(𝑎𝑛 )𝜙((𝑎𝑚 )−1 ) 𝜙(𝑎𝑛 )𝜙(𝑎−𝑚 ) 𝜙(𝑎𝑛−𝑚 ) Untuk itu, 𝑎𝑛−𝑚 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) sehingga 𝑎𝑛−𝑚 = 𝑒𝐺 karena 𝜙 injektif. Hal ini bertentangan dengan pernyataan 𝑜(𝑎) = 𝑛. Jadi, haruslah 𝑜(𝜙(𝑎)) = 𝑛. ∎ Sifat 6.6 Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup yang isomorfik. a. Jika 𝐺 komutatif maka 𝐻 komutatif. b. Jika 𝐺 siklis maka 𝐻 siklis. Bukti. (a). Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup yang isomorfik serta grup 𝐺 komutatif. Bentuk pemetaan isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻. Ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺 dengan 𝑥𝑦 = 𝑦𝑥. Mengingat pemetaan 𝜙 suatu homomorfisma, kita memperoleh 𝜙(𝑥)𝜙(𝑦) = 𝜙(𝑥𝑦) = 𝜙(𝑦𝑥) = 𝜙(𝑦)𝜙(𝑥) untuk setiap 𝜙(𝑦), 𝜙(𝑥) ∈ 𝐻 atau dengan kata lain grup 𝐻 komutatif. (b). Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup yang isomorfik serta grup 𝐺 siklis. Bentuk pemetaan isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻. Ambil 𝑥 ∈ 𝐺 sehingga 𝐺 = 〈𝑥〉 = 85 {𝑥 𝑛 | 𝑛 ∈ ℤ}. Berdasarkan Sifat 6.1, kita memperoleh 𝜙 𝑛 (𝑥) = 𝜙(𝑥 𝑛 ) sehingga diperoleh hasil berikut ini. 𝜙(𝐺) = = = = 𝜙(〈𝑥〉) 𝜙({ 𝑥 | 𝑥 ∈ 𝐺, 𝑛 ∈ ℤ}) {𝜙(𝑥 𝑛 ) | 𝑥 ∈ 𝐺, 𝑛 ∈ ℤ} {𝜙 𝑛 (𝑥) | 𝜙(𝑥) ∈ 𝐻, 𝑛 ∈ ℤ} 𝑛 Sifat pemetaan 𝜙 yang surjektif mengakibatkan 𝜙(𝐺) = 𝐻 dan dengan demikian 𝐻 = 𝜙(𝐺) = {𝜙 𝑛 (𝑥) | 𝜙(𝑥) ∈ 𝐻, 𝑛 ∈ ℤ} = 〈𝜙(𝑥)〉 atau dengan kata lain grup 𝐻 siklis. Sifat 6.7 Isomorfik suatu relasi ekuivalen. Bukti. bentuk relasi ≅ pada himpunan koleksi semua grup sebagai berikut. Untuk setiap grup 𝐺 dan 𝐻, 𝐺 ≅ 𝐻 jika dan hanya jika ada isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 Untuk menunjukkan relasi ≅ ekuivalen, akan kita tunjukkan relasi ini memenuhi sifat refleksif, simetris dan transitif. Misalkan 𝐺 grup. Bentuk pemetaan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐺 dari grup 𝐺 terhadap dirinya sendiri dengan 𝜙(𝑥) = 𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺. Mudah untuk menunjukkan pemetaan ini isomorfisma sehingga 𝐺 ≅ 𝐺 atau dengan kata lain ≅ bersifat refleksif. Misalkan 𝐻 grup dan 𝐺 ≅ 𝐻. Untuk itu, ada isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻. Karena 𝜙 bijektif, menurut Sifat 1.9, tentu saja ada 𝜙 −1 : 𝐻 ⟶ 𝐺 yang bijektif. Ambil 𝑘, 𝑙 ∈ 𝐻 dengan 𝜙 −1 (𝑘) = 𝑥 dan 𝜙 −1 (𝑙) = 𝑦. Pengambilan ini mengakibatkan 𝜙(𝑥) = 𝑘 dan 𝜙(𝑦) = 𝑙 sehingga kita memperoleh 𝜙(𝑥𝑦) = 𝜙(𝑥)𝜙(𝑦) = 𝑘𝑙. Mengingat pemetaan bijektif 𝜙 −1 memenuhi 𝜙 −1 (𝑘𝑙) = 𝑥𝑦 = 𝜙 −1 (𝑘)𝜙 −1 (𝑙), tentu saja 𝜙 −1 suatu isomorfisma. Ini artinya 𝐻 ≅ 𝐺. Jadi ≅ bersifat simetris. Misalkan 𝐾 grup serta 𝐺 ≅ 𝐻 dan 𝐻 ≅ 𝐾. Pemisalan ini mengakibatkan adanya 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 dan 𝜆: 𝐻 ⟶ 𝐾 suatu isomorfisma sehingga 𝜆 ∘ 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐾 bersifat bijektif berdasarkan Sifat 1.8. Ambil unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺. Karena 𝜙 dan 𝜆 suatu homomorfisma, kita memperoleh hasil berikut ini. (𝜆 ∘ 𝜙)(𝑥𝑦) = = 𝜆(𝜙(𝑥𝑦)) 𝜆(𝜙(𝑥)𝜙(𝑦)) = 𝜆(𝜙(𝑥))𝜆(𝜙(𝑦)) = (𝜆 ∘ 𝜙)(𝑥)(𝜆 ∘ 𝜙)(𝑦) 86 Akibatnya komposisi 𝜆 ∘ 𝜙 suatu isomorfisma dan menimbulkan 𝐺 ≅ 𝐾. Dengan kata lain, relasi ≅ bersifat transitif. Uraian semua itu menunjukkan relasi ≅ ekuivalen. ∎ Sifat 6.8 (Teorema Cayley ) Setiap grup 𝐺 isomorfik dengan suatu grup permutasi pada 𝐺. Bukti. Pandang pemetaan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝑆𝑖𝑚(𝐺) dengan 𝜙(𝑎) = 𝜆𝑎 untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐺 dan 𝜆𝑎 : 𝐺 ⟶ 𝐺 dengan 𝜆𝑎 (𝑥) = 𝑎𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺. Subgrup 𝜙(𝐺) ⊆ 𝑆𝑖𝑚(𝐺) adalah grup permutasi pada G. Untuk itu kita tinggal menunjukkan bahwa 𝐺 ≅ 𝜙(𝐺). Ambil sembarang unsur 𝑎 ∈ 𝐺 dan 𝜆𝑎 : 𝐺 ⟶ 𝐺 dengan 𝜆𝑎 (𝑥) = 𝑎𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺. Untuk menunjukkan 𝜆𝑎 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝐺), cukup dengan menunjukkan 𝜆𝑎 pemetaan bijektif. Jelas pemetaan 𝜆𝑎 terdefinisi dengan baik karena untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺 dengan 𝑥 = 𝑦 berlaku 𝜆𝑎 (𝑥) = 𝑎𝑥 = 𝑎𝑦 = 𝜆𝑎 (𝑦). Pemetaan 𝜆𝑎 juga bersifat injektif karena untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺 dengan 𝜆𝑎 (𝑥) = 𝜆𝑎 (𝑦) mengakibatkan 𝑥 = (𝑎−1 𝑎)𝑥 = 𝑎−1 (𝑎𝑥) = 𝑎−1 𝜆𝑎 (𝑥) = 𝑎 −1 𝜆𝑎 (𝑦) = 𝑎−1 (𝑎𝑦) = (𝑎−1 𝑎)𝑦 = 𝑦 Terakhir, akan kita tunjukkan 𝜆𝑎 pemetaan surjektif. Ambil 𝑦 ∈ 𝐺. Berdasarkan Sifat 2.6, terdapat 𝑥 ∈ 𝐺 sehingga 𝑦 = 𝑎𝑥 = 𝜆𝑎 (𝑥) untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐺. Jadi 𝜆𝑎 merupakan pemetaan surjektif. Karena 𝜆𝑎 pemetaan bijektif maka 𝜆𝑎 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝐺). Ambil dua unsur 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺 dengan 𝑎 = 𝑏. Akibatnya, 𝜙(𝑎) = 𝜙(𝑏) karena untuk setiap unsur 𝑥 ∈ 𝐺, memenuhi persamaan 𝜙(𝑎)(𝑥) = 𝜆𝑎 (𝑥) = 𝑎𝑥 = 𝑏𝑥 = 𝜆𝑏 (𝑥) = 𝜙(𝑏)(𝑥). Jadi jelas pemetaan 𝜙 terdefinisi dengan baik mengingat untuk setiap dua unsur 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺 dengan 𝑎 = 𝑏 mengakibatkan 𝜙(𝑎) = 𝜙(𝑏). Selanjutnya kita tunjukkan pemetaan 𝜙 suatu homomorfisma. Sekarang ambil 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Perhatikan bahwa 87 𝜙(𝑎𝑏)(𝑥) = = = = = = = 𝜙(𝑎𝑏) = 𝜆𝑎𝑏 (𝑥) (𝑎𝑏)𝑥 𝑎(𝑏𝑥) 𝜆𝑎 (𝑏𝑥) 𝜆𝑎 (𝜆𝑏 (𝑥)) (𝜆𝑎 ∘ 𝜆𝑏 )(𝑥) (𝜙(𝑎) ∘ 𝜙(𝑏))(𝑥) 𝜙(𝑎) ∘ 𝜙(𝑏) Mengingat 𝜙(𝑎𝑏) = 𝜙(𝑎) ∘ 𝜙(𝑏), pemetaan 𝜙 suatu homomorfisma. Terakhir akan ditunjukkan 𝜙 pemetaan bijektif. Ambil sembarang unsur 𝑔 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝐺). Ini artinya 𝜙(𝑔) = 𝑖𝐺 dengan 𝜙(𝑔)(𝑥) = 𝑖(𝑥) = 𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺 dan 𝑖 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝐺) pemetaan identitas di 𝑆𝑖𝑚(𝐺). Di sisi lain, 𝜙(𝑔)(𝑥) = 𝜆𝑔 (𝑥) = 𝑔𝑥. Untuk itu, 𝑔𝑥 = 𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺 dan mengakibatkan 𝑔 = 𝑔(𝑥𝑥 −1 ) = (𝑔𝑥)𝑥 −1 = 𝑥𝑥 −1 = 𝑒𝐺 sehingga diperoleh 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝐺) = {𝑒𝐺 }. Dengan demikian, homomorfisma 𝜙 injektif berdasarkan Sifat 6.4. Jadi, 𝜙(𝐺) ≅ 𝐺 karena 𝜙(𝐺) subgrup 𝐺. Pandang grup dengan orde tiga ℤ3 = {0̅, 1̅, 2̅} dengan operasi ⊕. Menurut Sifat 6.8, grup ini isomorfik dengan suatu subgrup 𝑆3 (grup permutasi pada ℤ3 ). Bentuk pemetaan homomorfisma 𝜙: ℤ3 𝑎̅ ⟶ ↦ 𝑆3 𝜆𝑎̅ Dengan 𝜆𝑎̅ (𝑥̅ ) = 𝑎̅ ⊕ 𝑥̅ untuk sehingga memenuhi 𝜙(𝑎̅)(𝑥̅ ) = = = 𝜆𝑎̅ (𝑥̅ ) 𝑎̅ ⊕ 𝑥̅ ̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎+𝑥 untuk setiap 𝑥̅ ∈ ℤ3 . Dengan adanya pemetaan 𝜙(𝑎̅), kita dapatkan semua permutasi anggota grup permutasi pada ℤ3 yaitu sebagai berikut. Untuk 𝑎̅ = 0̅ kita memperoleh 𝜙(0̅)(0̅) = ̅̅̅̅̅̅̅ 0+0 𝜙(0̅)(1̅) = ̅̅̅̅̅̅̅ 0+1 ̅ ̅ ̅̅̅̅̅̅̅ 𝜙(0)(2) = 0 + 2 ̅ ̅ Sehingga permutasi 𝜙(0̅) = (0 1 0̅ 1̅ = 0̅ = 1̅ = 2̅ 2̅) 2̅ Untuk 𝑎̅ = 1̅ kita memperoleh 𝜙(1̅)(0̅) = ̅̅̅̅̅̅̅ 1+0 𝜙(1̅)(1̅) = ̅̅̅̅̅̅̅ 1+1 𝜙(1̅)(2̅) = ̅̅̅̅̅̅̅ 1+2 88 = 1̅ = 2̅ = 0̅ ̅ ̅ Sehingga permutasi 𝜙(1̅) = (0 1 1̅ 2̅ 2̅) 0̅ Untuk 𝑎̅ = 2̅ kita memperoleh 𝜙(2̅)(0̅) = ̅̅̅̅̅̅̅ 2+0 𝜙(2̅)(1̅) = ̅̅̅̅̅̅̅ 2+1 𝜙(2̅)(2̅) = ̅̅̅̅̅̅̅ 2+2 ̅ ̅ Sehingga permutasi 𝜙(2̅) = (0 1 2̅ 0̅ = 2̅ = 0̅ = 1̅ 2̅). 1̅ Akhirnya kita memperoleh semua permutasi pada ℤ3 , yaitu: ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ 𝜙(0̅) = (0 1 2), 𝜙(1̅) = (0 1 ̅0 1̅ 2̅ 1̅ 2̅ 2̅) dan 𝜙(2̅) = (0̅ 1̅ 0̅ 2̅ 0̅ 2̅) 1̅ Namun bila diperhatikan, semua permutasi ini masih belum menggunakan notasi baku di dalam penulisannya. Untuk itu, kita perlu menuliskan ulang dengan mengganti tanda 1̅ dengan 1, 2̅ dengan 2 dan 0̅ dengan 3 sehingga penulisan semua permutasi menjadi baku, yaitu: 1 2 𝜙(0̅) = ( 1 2 3 1 2 ), 𝜙(1̅) = ( 3 2 3 3 1 2 3 ) dan 𝜙(2̅) = ( ) 1 3 1 2 dan jika ditulis dalam notasi siklus, permutasi-permutasi ini secara berurutan menjadi 𝜙(0̅) = (1), 𝜙(1̅) = (1 2 3) dan 𝜙(2̅) = (1 3 2). Dengan demikian kita memperoleh 𝜙(ℤ3 ) {𝜙(𝑎̅) ∣ 𝑎̅ ∈ ℤ3 } = {𝜙(0̅), 𝜙(1̅), 𝜙(2̅)} = = {(1), (1 2 3), (1 3 2)} 〈(1 2 3)〉 = Mengingat 𝜙: ℤ3 ⟶ 𝜙(ℤ3 ) isomorfisma dan 𝜙(ℤ3 ) = 〈(1 2 3)〉 ≤ 𝑆3, untuk itu dapat kita simpulkan bahwa ℤ3 ≅ 𝜙(ℤ3 ) = 〈(1 2 3)〉 ≤ 𝑆3 . Dengan kata lain, grup ℤ3 isomorfik dengan grup permutasi 〈(1 2 3)〉 ≤ 𝑆3. Perhatikan kembali Tabel 6.1 dan Gambar 6.1. Latihan 6.2 1. Carilah subgrup 𝑆4 yang isomorf dengan ℤ4 . 2. Tunjukkan bahwa jika 𝑘|𝑛 maka ℤ𝑛 /〈𝑘〉 ≅ ℤ𝑘 . 3. Misalkan 𝑓: 𝐺 ⟶ 𝐻 epimorfisma dengan inti 𝐾. Tunjukkan ada pemetaan bijektif dari himpunan semua subgrup 𝐻 dan himpunan subgrup 𝐺 yang memuat 𝐾! 89 4. Misalkan 𝐺 grup komutatif dengan orde 𝑛, 𝑘 bilangan asli dan 𝑓: 𝐺 ⟶ 𝐺 dengan 𝑓(𝑎) = 𝑎𝑘 . Tunjukkan bahwa jika faktor persekutuan 𝑘 dan 𝑛 ialah 1, pemetaan 𝑓 suatu isomorfisma. 5. Misalkan 𝐺 grup siklis a. Jika 𝐺 tak hingga, maka grup 𝐺 isomorf dengan grup jumlah ℤ. b. Jika 𝐺 hingga dengan orde 𝑛, maka grup 𝐺 isomorf dengan grup jumlah ℤ𝑛 . 6.3 Teorema Dasar Homomorfisma Misalkan 𝑁 subgrup normal grup 𝐺. Kita bisa kaitkan setiap unsur di 𝐺 dengan koset kanan 𝑁 yang memuat unsur tersebut. relasi ini disebut homomorfisma alami dan inti relasi ini membentuk subgrup normal. Untuk lebih jelasnya, perhatikan sifat berikut ini. Sifat 6.9 Jika 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup normal 𝐺, maka pemetaan 𝜂: 𝐺 𝑎 ⟶ ↦ 𝐺 ⁄𝑁 𝑁𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎 ∈ 𝐺 suatu epimorfisma dari 𝐺 ke 𝐺 ⁄𝑁 dengan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) = 𝑁. Bukti. Jelas 𝜂 suatu pemetaan yang terdefinisi dengan baik karena untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺 dengan 𝑎 = 𝑏 mengakibatkan 𝜂(𝑎) = 𝑁𝑎 = 𝑁𝑏 = 𝜂(𝑏). Pemetaan 𝜂 juga dan bersifat surjektif, karena untuk setiap 𝑦 = 𝑁𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝑁 ada unsur 𝑎 ∈ 𝐺 sehingga 𝑦 = 𝑁𝑎 = 𝜂(𝑎). Perhatikan bahwa 𝜂(𝑎𝑏) = 𝑁(𝑎𝑏) = 𝑁𝑎𝑁𝑏 = 𝜂(𝑎)𝜂(𝑏) untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Jadi, pemetaan 𝜂 juga homomorfisma. Dengan demikian, pemetaan 𝜂 suatu epimorfisma. Sekarang ambil 𝑎 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂). Pengambilan ini mengakibatkan 𝜂(𝑎) = 𝑁. Mengingat 𝑁𝑎 = 𝜂(𝑎) = 𝑁, kita memperoleh 𝑎 ∈ 𝑁. Jadi 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) ⊆ 𝑁 karena untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) mengakibatkan 𝑎 ∈ 𝑁. Sebaliknya, jika 𝑎 ∈ 𝑁, 𝑁𝑎 = 𝑁 dan hal ini mengakibatkan 𝜂(𝑎) = 𝑁𝑎 = 𝑁 sehingga kita memperoleh 𝑎 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂). Jadi 𝑁 ⊆ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) karena untuk setiap 𝑎 ∈ 𝑁 mengakibatkan 𝑎 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂). Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) = 𝑁, karena 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) ⊆ 𝑁 dan 𝑁 ⊆ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂).∎ Contoh 6.9. Bentuk pemetaan 𝜂: 𝑆3 ⟶ 𝑆3 ⁄𝑁 dengan subgrup normal 𝑁 = 〈(1 2 3)〉 = {(1), (1 2 3), (1 3 2)} seperti terlihat pada gambar berikut ini. 90 (1) (1 2) 𝑁 (1 3) (2 3) (1 2 3) 𝑁(1 2) (1 3 2) 𝑆3 𝑆3 /𝑁 Gambar 6.2 Pemetaan 𝜂 dari Grup 𝑆3 ke Grup 𝑆3 ⁄𝑁 Pembentukan grup 𝑆3 ⁄𝑁 dapat dilihat dalam Contoh 5.3 sementara untuk tabel operasi koset pada grup ini dapat di lihat dalam Tabel 5.2. Sifat 6.10 (Teorema Dasar Homomorfisma) Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta 𝜃: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu epimorfisma dengan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) = 𝐾. Pemetaan 𝜙: 𝐺 ⁄𝐾 𝐾𝑎 ⟶ 𝐻 𝜃(𝑎) untuk setiap 𝐾𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝐾 suatu isomorfisma dari 𝐺 ⁄𝐾 ke 𝐻. Oleh karena itu, 𝐺 ⁄𝐾 ≅ 𝐻 Bukti. Pertama-tama kita cek dahulu apakah 𝜙 pemetaan yang terdefinisi dengan baik. Selanjutnya, jika pemetaan ini terdefinisi dengan baik, baru kita tunjukkan pemetaan ini isomorfisma. Ambil 𝐾𝑎, 𝐾𝑏 ∈ 𝐺 ⁄𝐾 dengan 𝐾𝑎 = 𝐾𝑏 dan 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Perhatikan bahwa 𝑎 = 𝑘𝑏 untuk suatu 𝑘 ∈ 𝐾 = 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃). Untuk itu, 𝜙(𝐾𝑎) = = = = = = 𝜃(𝑎) 𝜃(𝑘𝑏) 𝜃(𝑘)𝜃(𝑏) 𝑒𝐻 𝜃(𝑏) 𝜃(𝑏) 𝜙(𝐾𝑏) Jadi jelas bahwa pemetaan 𝜙 terdefinisi dengan baik. Untuk menunjukkan pemetaan 𝜙 mengawetkan operasi, ambil dua unsur 𝐾𝑎, 𝐾𝑏 ∈ 𝐺 ⁄𝐾 . Perhatikan bahwa 91 𝜙((𝐾𝑎)(𝐾𝑏)) = = = = 𝜙(𝐾(𝑎𝑏)) 𝜃(𝑎𝑏) 𝜃(𝑎)𝜃(𝑏) 𝜙(𝐾𝑎)𝜙(𝐾𝑏) Jadi jelas 𝜙 homomorfisma atau dengan kata lain 𝜙 mengawetkan operasi. Ambil unsur 𝑦 ∈ 𝐻. Pemetaan 𝜃 surjektif mengakibatkan ada unsur 𝑎 ∈ 𝐺 yang memenuhi 𝑦 = 𝜃(𝑎). Perhatikan bahwa 𝜙(𝐾𝑎) = 𝜃(𝑎) untuk setiap 𝐾𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝐾 . Jadi pemetaan 𝜙 juga bersifat surjektif karena untuk setiap 𝑦 ∈ 𝐻 ada 𝐾𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝐾 sehingga memenuhi 𝑦 = 𝜙(𝐾𝑎). Terakhir, ambil unsur 𝐾𝑎, 𝐾𝑏 ∈ 𝐺 ⁄𝐾 dengan 𝜙(𝐾𝑎) = 𝜙(𝐾𝑏). Di sisi lain, kita tahu bahwa 𝜙(𝐾𝑎) = 𝜃(𝑎) dan 𝜙(𝐾𝑏) = 𝜃(𝑏) sehingga kita memperoleh 𝜃(𝑎) = 𝜃(𝑏). Perhatikan bahwa unsur 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐾 karena 𝜃(𝑎𝑏 −1 ) = 𝜃(𝑎)𝜃 −1 (𝑏) = 𝑒𝐻 dan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) = 𝐾. Berdasarkan Sifat 5.1(4), kita memperoleh 𝐾𝑎 = 𝐾𝑏 karena 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐾. Jadi terbukti 𝜙 satu-satu dan dengan demikian terbukti ada isomorfisma dari 𝐺 ⁄𝐾 ke 𝐻, ditulis: 𝐺 ⁄𝐾 ≅ 𝐻. ∎ Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup. Jika kita membentuk pemetaan epimorfisma 𝜃: 𝐺 ⟶ 𝐻 dengan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) = 𝐾 seperti pada Sifat 6.10, maka akan ada pemetaan isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⁄𝐾 ⟶ 𝐻 sehingga 𝜙 ∘ 𝜂 = 𝜃 dengan 𝜂: 𝐺 ⟶ 𝐺 ⁄𝐾 suatu epimorfisma alami seperti pada gambar berikut. Gambar 6.3 Teorema dasar homomorfisma Contoh 6.10. Pandang grup ℤ12 dan grup ℤ2 . Ambil 𝑎 ∈ ℤ, 𝑎̅12 ∈ ℤ12 dan 𝑎̅2 ∈ ℤ2 . Kemudian definisikan pemetaan 𝜃, yaitu: 𝜃: ℤ12 𝑎̅12 ⟶ ↦ ℤ2 𝑎̅2 untuk setiap 𝑎̅12 ∈ ℤ12 Ambil 𝑎̅12 , 𝑏̅12 ∈ ℤ12 dengan 𝑎̅12 = 𝑏̅12. Karena 12 | (𝑎 − 𝑏), tentu saja 2 | (𝑎 − 𝑏) dan ini mengakibatkan 𝜃(𝑎̅12 ) = 𝑎̅2 = 𝑏̅2 = 𝜃(𝑏̅12 ). Dengan demikian, jelas pemetaan 𝜃 terdefinisi dengan baik. Sekarang perhatikan kesamaan berikut ini. 𝜃(𝑎̅12 ⊕ 𝑏̅12 ) = ̅̅̅̅̅̅̅ 𝜃 ((𝑎 + 𝑏)12 ) ̅̅̅̅̅̅̅ (𝑎 + 𝑏 )2 𝑎̅2 ⊕ 𝑏̅2 = = = 𝜃(𝑎̅12 ) ⊕ 𝜃(𝑏̅12 ) 92 Jadi 𝜃 suatu homomorfisma karena 𝜃(𝑎̅12 ⊕ 𝑏̅12 ) = 𝜃(𝑎̅12 ) ⊕ 𝜃(𝑏̅12 ) untuk setiap 𝑎̅12 , 𝑏̅12 ∈ ℤ12 . Ambil 𝑦̅ ∈ ℤ2 untuk suatu 𝑦 ∈ ℤ pilih 𝑦̅ = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 2𝑘 + 𝑦 ∈ ℤ12 dengan 0 ≤ 𝑘 ≤ 5 sehingga 𝑦̅2 = 𝜃(𝑦̅12 ). Jadi 𝜃 bersifat surjektif. ̅̅̅12 } = 〈2̅12 〉 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) = {0̅12 , 2̅12 , 4̅12 , 6̅12 , 8̅12 , ̅10 Berdasarkan Sifat 6.10, ada isomorfisma 𝜙: ℤ12 ⁄〈2̅12 〉 ⟶ ℤ2 sehingga kita simpulkan ℤ12 ⁄〈2̅12 〉 ≅ ℤ2 seperti terlihat pada gambar di bawah ini. 0̅ 2̅ 4̅ ̅̅̅̅ 6̅ 8̅ 10 0̅ 1̅ 1̅ 3̅ 5̅ ̅̅̅ 7̅ 9̅ ̅11 ℤ12 /〈2̅〉 ℤ2 Gambar 6.4 Isomorfisma 𝜙 dari ℤ12 ⁄〈2̅〉 ke ℤ𝟐 Latihan 6.3 1. Dengan menggunakan teorema dasar homomorfisma, tunjukkan bahwa a. 𝐺 ⁄{𝑒} ≅ 𝐺 untuk suatu grup 𝐺 dan 𝑒 identitas dari 𝐺! b. 𝐺 ⁄𝐺 ≅ {𝑒} untuk suatu grup 𝐺 dan 𝑒 identitas dari 𝐺! c. Jika 𝐺 adalah grup dan 𝜃 adalah suatu homomorfisma dari 𝐺 maka 𝐺 ⁄𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) ≅ 𝜃(𝐺)! 2. Tunjukkan bahwa jika 𝑘|𝑛 maka ℤ𝑛 /〈𝑘〉 ≅ ℤ𝑘 3. Tunjukkan bahwa ℤ12 ≅ ℤ3 × ℤ4 . Catatan: pertimbangkan pemetaan 𝑓: ℤ ⟶ ℤ3 × ℤ4 yang diberikan oleh 𝑓(𝑎) = ([𝑎]3 , [𝑎]4 ). 4. Misalkan 𝐾 dan 𝑁 subgrup 𝐺 dengan 𝑁 normal di 𝐺. Tunjukkan pernyataan berikut ini a. 𝑁𝐾 = {𝑛𝑘 ∣ 𝑛 ∈ 𝑁, 𝑘 ∈ 𝐾} subgrup yang memuat 𝑁 dan 𝐾. b. Subgrup 𝑁 normal di 𝑁𝐾. c. Pemetaan 𝑓: 𝐾 ⟶ 𝑁𝐾/𝑁 dengan 𝑓(𝑘) = 𝑁𝑘 adalah epimorfisma dengan inti 𝐾 ∩ 𝑁. d. 𝐾/𝐾 ∩ 𝑁 ≅ 𝑁𝐾/𝑁 93 DAFTAR PUSTAKA Arifin, A. (2000). Aljabar. Bandung: Penerbit ITB. Choudhary, P. (2008). Abstract Algebra. Jaipur, India: Oxford Book Company. Daepp, U., & Gorkin, P. (2011). Reading, Writing and Proving. New York: Springer. Durbin, J. R. (2009). Modern Algebra: an Introduction (6 ed.). USA: John Wiley & Sons, Inc. Fraleigh, J. B. (t.thn.). A First Course in Abstract Algebra (7 ed.). New York: Addison Wesley. Gallian, J. A. (2013). Contemporary Abstract Algebra. Boston: Brooks/Cole. Gilbert, W. J., & Nicolson, W. K. (2004). Modern Algebra with Application. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Goodman, F. (2006). Algebra: Abstract and Concrete. Iowa city: Semisimple press. Grillet, P. A. (2007). Abstract Algebra (2 ed.). Newyork: Springer. Herstein, I. N. (1996). Abstract Algebra (3 ed.). New Jersey: Prentice-Hall. Hungerford, T. W. (2014). Abstract Algebra: An Introduction (3 ed.). Boston, USA: Brooks/Cole. Meijer, A. R. (2016). Algebra for Cryptologists. Switzerland: Springer International Publishing. Misri, M. A. (2014). Pengantar Aljabar Abstrak: Grup. Cirebon: Syariah Nurjati Press. Muchlis, A., & Astuti, P. (2007). Aljabar 1. Jakarta: Penerbit UT. Paulsen, W. (2016). Abstract Algebra: An Interactive Approach (2 ed.). USA: CRC Press. Ronan, M. (2006). Symmetry and the Monster: One of the greatest quests of mathematics. New York: Oxford University Press. 95 RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis adalah anak kedua dari pasangan Bapak Bocin dan Ibu Siti Husniah, dilahirkan di Kabupaten Tangerang Banten pada hari Jumat tanggal 30 Oktober 1981. Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah pertama di Kabupaten Tangerang. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMUN 2 Tangerang. Selama menempuh pendidikan menengah, penulis berkesempatan mendapat beasiswa. Kemudian pada tahun 2001, penulis diterima di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Jenderal Soedirman dengan beasiswa Damandiri dan memperoleh gelar sarjana sains pada bulan Agustus tahun 2005. Tiga tahun kemudian, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program magister di Departemen Matematika FMIPA Institut Teknologi Bandung dengan beasiswa BPPS. Penulis berhasil menempuh pendidikan tersebut dan memperoleh gelar Magister Sains pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis kembali menerima beasiswa BPPS untuk mengikuti Program Doktor Matematika Institut Teknologi Bandung dan memperoleh gelar doktor matematika pada bulan Oktober 2015. Awal tahun 2011, penulis diterima sebagai Dosen PNS Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon. Kemudian pada hari Jumat tanggal 6 April 2012, penulis menikah dengan Tria Oktiani. Sekarang, penulis telah dikaruniai dua orang putri bernama: Siti Zahratul Misri, lahir pada tanggal 15 April 2013 dan Mahira Farihatul Misri, lahir pada tanggal 16 Mei 2014. Hingga tulisan ini dibuat, penulis berkesempatan untuk melakukan kunjungan penelitian di Department of Mathematics and Statistic, Sultan Qaboos University, Al-Khoud, Oman, di bawah bimbingan Prof. Majid Ali. Program tersebut didanai oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Pengalaman lainnya dalam kegiatan penelitian yaitu pernah menjadi asisten peneliti dalam Tim Penelitian Hibah Desentralisasi DIKTI 2015 dengan judul ”Karakterisasi Modul Prima dan Modul Dedekind dan Aplikasinya dalam Teori Koding” yang diketuai Dr. Intan Muchtadi. Selain itu, pernah menjadi asisten peneliti dalam Tim Penelitian Program Riset dan Inovasi ITB 2014 Batch II dengan judul ”Karakterisasi Modul P-B𝑒́ zout dan P-valuasi” yang diketuai Dr. 97 Hanni Garminia Y. Kedua pengalaman tersebut diperoleh ketika menjadi mahasiswa doktor. Setelah menjadi doktor, penulis masih aktif meneliti sebagai dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Penelitian “Kajian Modul P-B𝑒́ zout dan Idealisasinya untuk Buku Ajar Mata Kuliah Teori Gelanggang Berbasis Riset” dengan anggaran DIPA IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dilakukan tahun 2016. Saat ini penulis masih sedang melakukan penelitian tentang idealisasi modul P-B𝑒́ zout dengan anggaran dana DIPA IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2017. Berikut ini adalah beberapa makalah yang sedang dan telah dibuat serta kegiatan ilmiah yang telah dilakukan peneliti enam tahun terakhir. Hasil karya penelitian dalam bentuk makalah jurnal 1. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2016): A Note on B𝑒́ zout Modules. Far East J. Math. Sci, Vol.99, No.11. 2. Misri, M.A (2016): Kajian Modul P-B𝑒́ zout dan Idealisasinya untuk Buku Ajar Mata Kuliah Teori Gelanggang Berbasis Riset. EduMa, Vol. 5, No. 2. 3. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2013): Generalization of B𝑒́ zout Modules, Far East J. Math. Sci, Vol.72, No.1. 4. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2012): Cyclic and Multiplication P-B𝑒́ zout Modules, International Journal of Algebra, Vol. 6, No. 23. Hasil karya penelitian yang dipresentasikan di konferensi/ seminar 1. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2015): Suatu sifat dari Modul B𝑒́ zout, Seminar Nasional dan Workshop Aljabar dan Pembelajarannya, FMIPA UNRAM, Mataram. 2. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2014): Modul Siklik P-B𝑒́ zout, Seminar Nasional dan Workshop Aljabar dan Pembelajarannya, FMIPA Unhas, Makassar. 3. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2013): Modul P-B𝑒́ zout 2, Seminar Nasional dan Workshop Aljabar dan Pembelajarannya, UM, Malang. 4. Irawati, Misri, M.A., and Garminia, H. (2012): P-B𝑒́ zout Modules, Internasional Conference: Mathematical Science and Applications, Abu Dhabi University, Abu Dhabi-UEA. 5. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2012): Modul P-B𝑒́ zout, KNM XVI, Unpad, Jatinangor. 6. Irawati, Misri, M.A., and Garminia, H. (2011): Generalization of B𝑒́ zout Modules, International Conference in Mathematics and Application (ICMA), University of Economics and Law (UEL), HCMC-Vietnam. 98