PROPOSAL PENELITIAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI YANG MELAKUKAN TINDAKAN MELAWAN HUKUM Diajukan Dalam Rangka memenuhi Tugas Akhir Metode Penelitian Hukum Oleh : LIA KUMALA DEWI NIM : 12.2008.0034 Program Studi : Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Islam Assyafiiyah 2011 PROPOSAL PENELITIAN 0 KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirahim. Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur Penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Proposal Metode Penelitian Hukum ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Karya ilmiah dalam bentuk proposal ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, sehingga penulis harus melengkapi syarat tersebut dengan proposal yang berjudul : “Tanggung Jawab Direksi Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum ” Dalam penulisan ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, oleh karnanya Penulis sangat berterima kasih. Rasa terima kasih tersebut secara khusus Penulis sampaikan kepada dosen pembimbing dan penguji yaitu : Bapak Slamet Rahardjo,SH, atas segala bimbingan, koreksi dan perbaikan yang diberikan guna penyempurnaan penulisan ini. Lia Kumala Dewi : Tanggung Jawab Direksi Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum, 2011 1 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..….1 DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..…2 BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………..……4 A. Latar Berlakang………………………………………………..…….4 B. Perumusan Masalah………………………………………….……11 C. Tujuan Penelitian……………………………………………..…….11 D. Manfaat Penelitian…………………………………………..……..12 E. Tinjauan Teoritis/Kepustakaan…………………………….….…..12 F. Metode Penelitian…………………………………………….….…18 G. Sistematika Penulisan……………………………………….….…21 BAB II TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN……………..……..23 A. Tanggung Jawab Direksi berdasarkan Ketentuan UUPT Nomor 40 Tahun 2007…………………………………..……..…23 1. Tanggung Jawab Renteng Antar Sesama Anggota Direksi……………………………………..…...…25 . 2. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menyelenggarakan RUPS……………………………………………………..…27 3. Tanggung Jawab Direksi Kepada Pemegang Saham…31 . 4. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menjalankan CSR….…33 B. Tanggung Jawab Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan…...34 1. Standar Kehati – hatian Dalam Pengelolaan Perseroan Oleh Direksi……………………………………………….…36 2. Prinsip Pengelolaan Perseroan Yang Baik (GCG)….…..40 2 BAB III TANGGUNG JAWAB DIREKSI YANG MELAKUKAN TINDAKAN MELAWAN HUKUM……………………………….…43 A. Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule Menurut UU No. 40 tahun 2007................................................................43 1. Berlakunya Fiduciary Duty dan Judgment Rule bagi Direksi....44 2. Pertanggung Jawaban Perdata Direksi Perseroan...................50 3. Pertanggung Jawaban Pidana Direksi Perseroan.....................55 B.Contoh Kasus Sarijaya.................................................................57 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................59 A.Kesimpulan...................................................................................59 B. Saran...........................................................................................62 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................64 3 TANGGUNG JAWAB DIREKSI YANG MELAKUKAN TINDAKAN MELAWAN HUKUM A. LATAR BELAKANG MASALAH Undang-Undang No 40 tahun 2007, yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PT, adalah peraturan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas (PT). Di dalamnya banyak hal yang diatur kembali yang berbeda dengan peraturan sebelumnya yaitu UU No.1 tahun 1995. Sebelum membahas kepada pokok persoalan Direksi, maka perlu kita fahami dahulu apa itu Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas, menurut UU No.40 tahun 2007 pasal satu ayat (1), adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Sebagai badan hukum, dia memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut sebagai artificial person. Oleh karenanya perseroan terbatas ini merupakan subjek hukum yang menyandang hak dan/ atau kewajiban yang diakui oleh hukum. Sebagai artificial person, PT juga memiliki organ, sebagaimana layaknya manusia. Hanya saja organ PT cuma ada tiga, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Tulisan ini hanya di fokuskan pada Direksi, yang menurut UU PT didefinisikan sebagai organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 4 Direksi adalah salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan Perseroan, disebut cukup penting, karena Direksilah yang mengendalikan perusahaan dan kegiatan sehari – hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika masyarakat awam berpandangan posisi Direksi dalam suatu perusahaan acapkali di identikan dengan pemilik perusahaan. Pandangan yang demikian tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan, terlebih lagi dalam Perseroan tertutup dimana pemegang sahamnya didominasi oleh kalangan keluarga, hampir dapat dipastikan yang duduk diposisi Direksi pun adalah dari kalangan perusahaan sendiri. Akan tetapi dalam peta bisnis modern posisi Direksi tidak selamanya dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para professional di bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara professional, kemungkinan terjadinya konflik dalam mengelola perusahaan dapat dicegah sedini mungkin. Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham untuk menjadi organ Perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan Perseroan, serta kepentingan seluruh Pemegang Saham yang mengangkat dan mempercayakan sebagai satu – satunya organ yang mengurus dan mengelola Perseroan. Setelah Rapat Umum Pemegang Saham menyetujui pengangkatan Direksi Perseroan, maka seluruh Pemegang Saham tidak lagi berhubungan dengan Direksi Perseroan, dan oleh karena itu maka Direksi tidak dapat mempergunakan kepercayan yang diberikan kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas, meskipun tindakan yang dilakukannya tersebut baik bagi Perseroan, menurut pertimbangannya. Dalam hubungan hukum, di satu sisi Direksi diperlakukan sebagai penerima kuasa dari Perseroan untuk menjalankan Perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan Perseroan sebagaimana telah digariskan 5 dalam anggaran dasar Perseroan, dan disisi lain diperlakukan sebagai karyawan Perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Disinilah sifat pertanggungjawaban renteng dan pertanggungjawaban pribadi Direksi sangat relevan, dalam hal ini Direksi melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah Perseroan, untuk kepentingan Perseroan. Keberadaan Direksi dalam suatu Perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata lain Perseroan wajib memiliki Direksi, karena Perseroan sebagai artifical person tidak dapat berbuat apa – apa tanpa adanya bantuan dari anggota Direksi sebagai natural person. Direksi dan Perseroan Terbatas ibarat nyawa bagi Perseroan. Tidak mungkin suatu Perseroan tanpa adanya Direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada Direksi tanpa adanya Perseroan. Oleh karena itu keberadaan Direksi bagi Perseroan sangat penting. Sekalipun Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah dengan Direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa Perseroan dianggap seakan – akan sebagai subyek hukum, sama seperti manusia. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan. Didalam menjalankan tugasnya tersebut, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekwensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan Perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran dasar Perseroan, selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar Perseroan, maka Perseroanlah yang akan menanggung akibat dari perbuatan Direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan – tindakan Direksi yang merugikan Perseroan, yang dilakukan diluar batas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasar, dapat tidak diakui oleh perusahaan. Dengan ini 6 berarti Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya diluar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar Perseroan. Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap Perseroan tersebut, Direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap Perseroan dan para pemegang saham Perseroan, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dan terkait dengan Perseroan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan. Oleh karena itu seorang Direksi harus bertindak Hati - hati dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang Direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk dimintai pertanggung jawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya. Fiduciary duty dari seorang Direksi dalam hal ini adalah tugas yang terbit secara hukum (by the opration of law) dari suatu hubungan fiduciary antara Direksi dan Perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan Direksi berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang Direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaan dengan derajad yang tinggi. Karena kedudukannya yang bersifat fiduciary, yang dalam Undang – Undang Perseroan Terbatas sampai batas - batas tertentu diakui, maka tanggung jawab Direksi menjadi sangat tinggi. Tidak hanya bertanggung jawab atas ketidak jujuran yang disengaja (dishonestly), tetapi ia bertanggung jawab juga secara hukum terhadap tindakan missmanagement, kelalaian, gagal, atau tidak melakukan perbuatan yang penting bagi Perseroan. 7 Pelanggaran terhadap fiduciary duty, sebagaimana halnya pelanggaran – pelanggaran hukum lainnya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dan atas namanya melakukan gugatan terhadap pihak yang menerbitkan kerugian tersebut. Terjadi tidaknya pelanggaran terhadap fiduciary duty oleh Direksi dalam suatu Perseroan diukur dengan mempergunakan business judgment rule. Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahannya timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut Direksi melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka muncul teori business judgment rule yang merupakan salah satu teori yang sangat populer untuk menjamin kedilan bagi para Direksi sebuah Perseroan Terbatas dalam melakukan keputusan bisnis. Dalam ilmu hukum, teori business judgment rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku Direksi pada sebuah situasi dimana setelah pemeriksaan secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur, dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata – mata untuk kepentingan Perusahaan. Oleh karena itu penting bagi Direksi untuk menjamin telah melakukan hal – hal yang sesuai dengan standard dan prosedur yang terdapat dalam perusahaannya sebelum mengambil sebuah keputusan bisnis. Dengan demikian, sebenarnya inti dari pemberlakuan teori business judgment rule ini adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus 8 menghormati putusan bisnis yang diambil oleh orang – orang yang memang mengerti dan berpengalaman dibidang bisnisnya, terutama sekali terhadap masalah – masalah bisnis yang kompleks. Karena itu, kepada mereka patut diberikan diskresi yang besar. Mereka yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan tentang bisnis tentunya adalah pihak Direksi. Oleh karenanya didalam menjalankan usaha Perseroan, sekurang – kurangnya ada 3(tiga) kepentingan yang harus diperhatikan oleh Direksi Perseroan, yaitu : a. Kepentingan Perseroan. b. Kepentingan pemegang saham Perseroan khususnya pemegang saham minoritas. c. Kepentingan pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan Perseroan, khususnya kepentingan dari para kreditur Perseroan. Pada mulanya, dalam keadaan normal, Direksi bertindak untuk kepentingan Perseroan. Dalam konteks yang demikian berarti, jika terjadi kerugian pada harta kekayaan Perseroan, yang disebabkan oleh tindakan Direksi yang salah, lalai atau mempunyai benturan kepentingan atau perbuatan melawan hukum, maka Peseroan adalah satu – satunya pihak yang berhak untuk menuntut kerugian tersebut. Oleh karena harta kekayaan Perseroan juga adalah harta kekayaan pemegang saham, maka undang – undang memberi hak derivative (derivative action) kepada pemegang saham Perseroan yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan, atas nama Perseroan, melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahannya atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah kepentingan pemegang saham minoritas, maka hak tersebut diberikan kepada individu pemegang saham. 9 Menyadari begitu besarnya peran direksi di dalam menentukan keberhasilan perseroan, UU ini juga secara umum mengatur syarat-syarat untuk menjadi Direktur yang dapat dilihat pada pasal 93. Bahkan untuk Perbankan, Bank Indonesia mengaturnya lebih ketat di dalam aturan tersendiri. Tanggung jawab Direktur diatur dengan azas kolegial, independen dan tanggung renteng. Sehingga di dalam menjalankan tugasnya mereka dituntut untuk profesional, independen baik terhadap pihak di luar perseroan maupun di dalam perseroan termasuk terhadap direktur lainnya, serta memiliki tanggung jawab yang sama dihadapan hukum. Di sisi lain, kerja sama di antara Direktur didalam mengelola perseroan tetap dibutuhkan. Oleh karenanya proses fit and proper test mutlak harus dilakukan sebelum direktur diangkat. Proses fit and proper test harus dilakukan oleh lembaga yang berkompeten, pakar yang ahli di bidangnya serta dilaksanakan secara jujur dan independen. Dengan proses ini akan dapat dinilai tingkat kompetensi, integritas dan team work direksi. Sedangkan untuk menguji apakah calon Direksi tersebut dapat bekerjasama dalam satu tim (board), maka dapat dinilai melalui beberapa faktor seperti visi, rencana kerja, cara pandang dan pemikiran oleh masing-masing calon. Caloncalon Direktur yang memiliki kesamaan, kesejalanan atau saling bersinergi, pada faktor-faktor tersebut adalah mereka yang bisa bekerjasama. Dengan cara ini, maka indepedensi masing-masing direktur dapat dijaga sejak dini. Sedangkan untuk memilih direktur utama harus dipilih calon yang memiliki kemampuan leadership yang paling kuat karena di dalam UU PT ini, peran direktur utama bukan lagi sebagai pimpinan mutlak tetapi lebih berperan sebagai koordinator Direksi. Berdasarkan pada pokok-pokok pikiran di atas, maka dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum (MPH) penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul : 10 TANGGUNG JAWAB DIREKSI YANG MELAKUKAN TINDAKAN MELAWAN HUKUM B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan pada latar belakang di atas, maka pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana tanggung jawab direksi yang melakukan tindakan melawan hukum? Pokok masalah tersebut dapat diperinci dalam beberapa sub pokok masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan tanggung jawab direksi dalam peraturan perundang - undangan ? 2. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab direksi di perusahaan? 3. Bagaimana penegakan hukum terhadap direksi yang melakukan perbuatan melawan hukum ? C. TUJUAN PENELITIAN Sejalan dengan perumusan masalah tersebut di atas, pokok tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab direksi yang melakukan tindakan melawan hukum Adapun sub pokok tujuan penelitian adalah : 1. Untuk mengetahui pengaturan tanggung jawab direksi dalam peraturan perundang – undangan. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan tanggung jawab direksi di perusahaan. 3. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap direksi yang melakukan perbuatan melawan hukum. 4. 11 D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pihak yang berkepentingan, antara lain : 1. Bagi setiap orang yang merupakan anggota direksi perseroan, dewan komisaris dan pemegang saham, agar lebih profesional dan berhati – hati dalam melakukan pengurusan perseroan. 2. Bagi para pihak yang terkait dengan penanggulangan penyalah gunaan wewenang oleh direksi dalam mengambil kebijakan /keputusan oleh komisaris maupun RUPS. 3. Bagi fakultas hukum UIA, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam rangka pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu hukum perusahaan. E. TINJAUAN TEORITIS/KEPUSTAKAAN 1. Kerangka Teori Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran - pemikiran teoritis oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisa dan kontruksi data. Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukan masalah penelitian yang telah merumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori hukum mengatakan jika pemegang hak dan kewajiban adalah manusia, berarti yang dibicarakan oleh tradisional adalah orang secara fisik ( physical persona), dan apabila pemegang hak dan kewajiban itu entitas lain, berarti yang dibicarakan teori tradisional itu adalah badan hukum ( juristic person) beberapa teori pertanggung jawaban badan hukum yang mampu menjawab permasalahan ini antara lain adalah: Teori Fiduciary Duty Teori ini di Indonesia masih relatif baru berkembang sehingga diperlukan pengembangan dan aplikasi yang tepat dalam sistem hukum Indonesia. Prinsip direksi sebagai pemegang amanah karena sumber kewenangan direksi berasal dari trust atau fiducia, tetapi amanah yang diemban direksi perseroan adalah 12 amanah perseroan dan bukan amanah dari pemegang saham yang hendak menciptakan direksi boneka. Pemikiran ini berakibatkan perlunya kualifikasi tertentu dari direksi, baik syarat menjadi direksi atau prosedur pemilihannya, dalam opini demikian maka direksi seakan -akan mirip dengan profesional. Undang-Undang Perseroan Terbatas mensyaratkan bahwa anggota direksi haruslah orang perseroan, ini berarti dalam sistem hukum perseroan Indonesia tidak dikenal adanya pengurus perseroan dari badan hukum perseroan lainnya, maupun oleh badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum selanjutnya orang perseroan tersebut adalah mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum, tidak pernah menyatakan pailit oleh pengadilan, maupun menjadi anggota direksi atau dewan komisaris perseron lain yang pernah dinyatakan bersalah menyebabkan kepailitan perseroan tersebut, dan belum pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung penggangkatannya. Setiap anggota sireksi yang bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dalam melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan dari usaha perseroan akan bertanggung jawab penuh secara pribadi untuk seluruh harta kekayaannya. Dalam menjalankan tugasnya mengurus perseroan, direksi tidak boleh menerima manfaat dalam dirinya sendiri. Berarti bahwa kepentingan perseroan harus didahulukan. Tanggung jawab mengurus perseroan yang dibebankan kepada direksi dilimpahkan kepada karyawannya atas dasar kuasa dari direksi, berarti tidak mungkin ada karyawan tanpa adanya direksi dan tidak mungkin direksi dapat menjalankan tugasnya tanpa ada karyawan. Oleh karna itu antara direksi dan karyawan mempunyai hubungan fiducia, yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Dalam teori tentang perseroan terbatas mengenai kewajiban direksi perseroan, dianut pendapat bahwa direksi perseroan memiliki 2 (dua) macam kewajiban, yaitu kewajiban berdasarkan Statutory Duties dan kewajiban berdasarkan Fiduciary Duty. Kewajiban direksi perseroan berdasarkan Statutory Duties adalah suatu kewajiban dari direksi yang secara tegas dinyatakan dalam dinyatakan dalam perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan. Sedangkan kewajiban direksi perseroan berdasarkan Fiduciary Duty adalah suatu kepercayaan yang diberikan dari pihak perseroan kepada direksi untuk menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan loyalitas yang tinggi. Philiph Lipton dan Abraham Herzberg membagi Fiduciary Duty kedalam: a. Duty to Act Bona Fide in the interes of the Company 13 Kewajiban Direksi untuk melakukan kepengurusan perseroan hanya untuk kepentinagan perseroan semata-mata untuk menentukan sampai seberapa jauh suatu tindakan yang diambil oleh direksi perseroan telah dilakukan untuk kepentingan perseroan, maka hal tersebut harus dipulangkan kembali kepada direksi perseroan.direksi perseroan harus mengetahui dan memiliki penilaian sendiri tentang tindakan yang menurut pertimbangannyaadalah sesuatu yang harus atau tidak dilakukan untuk kepentingan perseroan. b. Duty to Exercise Power for Proper Purposes Kewajiban Direksi untuk mengelola harta kekayaan Perseroan, karena Direksi sebagai organ dalam Perseroan yang diberikan hak dan wewenang untuk bertindak, untuk dan atas nama Perseroan serta bagi kepentingan Perseroan. Hal ini membawa konsekwensi bahwa jalannya Perseroan, termasuk pengelolaan harta kekayaan Perseroan bergantung sepenuhnya pada Direksi Perseroan. Sebagai orang kepercayaan Perseroan, yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang saham untuk kepentingan para pemegang saham secara keseluruhan, Direksi diharapkan dapat bertindak adil dalam memberikan manfaat yang optimum bagi pemegang saham. c. Duty to retain discretion Direksi, dalam undang- undang dan anggaran dasar dan kadang kala melalui rapat umum pegang saham telah diberikan kewenangan fiduciary untuk bertindak seluas-luasnya, namun demikian hal tersebut haruslah dilakukan dan diselenggarakan untuk kepentingan Perseroan, dan oleh karena itu maka tidak selayaknya jika Direksi kemudian melakukan pembatasan diri, atau membuat suatu perjanjian yang akan mengekang kebebasan mereka untuk bertindak untuk tujuan dan kepentingan perseroan. Pada saat perjanjian yang mengikat tersebut dibuat dan ditandatangani Direksi sudah harus memiliki pandangan , sikap dan kepastian bahwa tindakan yang melakukan tersebut hanyalah memberikan kepentingan perseroan semata-mata. d. Duty to avoid conflict of interest Kewajiban Direksi untuk menghindari diadakan, dibuat, atau ditandatangani perjanjian, atau dilakukannya perbuatan yang menempatkan direksi tersebut pada suatu keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk bertindak secara wajar demi tujuan dan kepentingan perseroan. Kewajiban ini bertujuan untuk mencengah Direksi secara tidak layak memperoleh keuntungan dari perseroan, yang menggangkat dirinya menjadi Direksi, lebih jauh lagi kewajiban ini sebenernya melarang dengan mencengah direksi untuk kepentingan mereka sendiri, pada saat bersamaan mereka harus bertindak mewakili untuk atas nama Perseroan. Sesungguhnya kewajiban tersebut bukan 14 untuk melakukan penghukuman atas terjadinya suatu tindakan yang mengandung unsur benturan kepentingan, melainkan merupakan suatu bentuk pencegahan sebelum suatu tindakan, perbuatan atau keputusan tersebut dilaksanakan. e. Duties of Care and Duties of Diligence Direksi sebagai organ kepercayaan perseroan diharapkan dapat menjalankan hingga memberikan keutungan bagi Perseroan. Direksi diberikan fleksibelitas dalam bertindak melaksanakan fungsi kegiatan manajemen, dengan mengambil resiko dan peluang masa depan. Ini berarti Direksi tidak hanya semata-mata mengambil keputusan bagi jalannya usaha untuk kepentingan Perseroan yang sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, namun demikian Direksi juga berkewajiban un tuk melakukan` pengawasan atas seluruh jalannya perseroan dengan baik. Secara historis, pada prinsipnya teori fiduciary duty dalam ilmu hukum perusahaan dibebankan kepada Direksi. Karna itu banyak argumentasi , pengaturan dan yudisprudensi yang telah dibuat untuk bertanggung jawabkan direksi dalam hubungan dengan melaksanakan tugas fiduciary berdasarkan hubungan fiduciary antara direksi dengan pelaksanaan tugas fiduciary berdasarkan hubungan fiducyary antara direksi dengan perseroan ini. Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian, prinsip fiduciary duty oleh direksi ini sampai batas-batas tertentu dikembangkan dan diterapkan pula terhadap beberapa pihak lain dalam perseroan, yaitu pihak pemegang saham dan pekerjan di perusahan tersebut. Dengan demikian, yang harus diperhatikan dari seorang direksi bukan hanya perusahaan yang dipimpinnya, melainkan juga kepentingan pemegang saham dan kepentingan pekerja di perusahaan tersebut. Dalam menjalankan kepengurusan dan perwakilan perseroan, Direksi harus bertindak secara berhati- hati, patut atau sebaik-baiknya sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar. Seandainya dalam pengurusan dan perwakilan perseroan tersebut Direksi melakukan perbuatan atau tindakan yang melanggar batas kewenangan atau sesuatu ketentuan yang telah ditetapkan dalan anggaran dasar, kepadanya dapat dimintai pertangungjawaban secara pribadi oleh pihak ketiga, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk seluruhnya. Perseroan tidak bertanggung jawab atas perbutan Direksi yang melapaui wewenang yang diberikan anggaran dasar kepadanya. Kerugian yang diderita pihak ketiga bukan menjadi tanggung jawab perseron, melainkan menjadi tanggung jawab pribadi dari Direksi, tidak bertanggung jawab secara pribadi kepada pihak ketiga, seandainya dapat membuktikan bahwa Direksi telah menjalankan kepengurusan dan perwakilan perseroan dengan sebaik-baiknya dengan batas wewenangan yang diberikan anggaran dasar. Dalam keadaan demikian, Perseroanlah yang memikul 15 tanggung jawab atas segala akibat hukum dari perikatan Perseroan yang dilakukanya dengan pihak ketiga dan direksi terbebas dari tanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga yang telah melakukan perikatan dengan perseroan. Sebagai konsekuensi dari pemberlakukan teori Fiduciary Duty ini, maka lahirlah teori business juddgement rule, teori ini berasal dari Amerika. Bertujuan mencegah pengadilan- pengadilan di Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi , yang diambil dengan itikad baikk, tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggung jawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan Perseroan. Aturan business judgment rule didasarkan pada konsepsi bahwa Direksi lebih tahu dari siapapun juga mengenai keadaan perusahaannya dan karenanya landasan dari setiap keputusan yang diambil olehnya, Untuk itu maka Direksi selama dan sepanjang dalam mengambil keputusan, Direksi tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang memberikan manfaat pribadi atau tidak mempunyai kepentingan pribadi dan telah melaksanakan prisip kehati-hatian dengan itikad baik. Doktrin business judgment rule ini berkaitan erat dengan doktrin fiduciary duty. guna mengukur kepercayaan yang diberikan oleh perseron kepada Direksi, berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka diberikan organ Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagai mana maksud dan tujuan Perseroan, Direksi tentu dihadapkan kepada resiko bisnis. Risiko itu terkadang berada diluar kemampuan maksimal Direksi. Oleh karena itu, guna melindungi ketindakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka Direksi dilindungi oleh doctrine businnes judgment rule Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangan, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang. Seorang Direksi bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam menjalankan usahanya, karena kekeliruan adalah kelengkapan manusia, Jadi sudah sepantasnya seorang Direksi Perseroan tidak di generalisir untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan unsur manusiawi. Doctrine businnes judgment rule memberikan perlindungan kepada Direksi Perseroan atas kemungkinan adanya keslahan yang diakibatkan oleh suatu keadaann yang wajar dan manusiawi. 16 2. Kerangka Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstaksi yang di genelisirkan dari hal-hal yang khusus defisi operasional. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merukan suatu pengarah , atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. Pentingnya definisi operasional bertujuan menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa defini konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapka, yaitu : a. Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. b. Tanggung Jawab Direksi adalah semua kewajiban yang harus dijalankan Direksi sebagai wakil Perseroan yang dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, baik kepada Perseroan, Pemegang Saham Perseroan, maupun kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan. c. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing , baik secara langsung maupun yang timbul dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atu undangundang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. d. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya tersebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didikan berdasarkan perjanjian , melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksaannya. e. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. 17 f. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunsannaya dapat ditagih dimuka pengadilan. g. Business Judgment Rule adalah aturan yang diberikan kekebalan atau perlindungan bagi manajemen bagi dari transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut telah dilakukan dengan memperhatikan standar kehatian-hatian dan itikad baik. h. Fiduciary Duty adalah suatu tugas dari seseorang yang disebutkan dengan trustee yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee tersebut dengan pihak lain yang disebut dengan beneficiary, dimana pihak beneficiary memiliki kepercayaan yang tinggi kepada pihak trustee, dan sebaliknya pihak trustee juga mempunyai kewajiban yang tinggi untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin , dengan itikad baik yang tinggi, fair dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya atau untuk mengelola harta/atau aset milik beneficiary dan untuk kepentingan beneficiary, baik yang terbit dari hubungan hukum atau jabatannya selaku trustee (secara teknikal) atau dari jabatan- jabatan lain seperti lawyer dengan kliennya, perwakilan (guardian), executor, broker, kurator , pejabat publik, atau Direksi dari suatu Perseroan . i. Trustee adalah pihak yang memegang sesuatu secara kepercayaan pihak lain. j. Beneficiary adalah pihak yang memberikan kepercayaan kepada kepada lain mengelola harta bendanyanya secara baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. F. METODE PENELITIAN Penelitian hukum ini dilakukan melalui serangkaian langkah ilmiah yang sistematis dan terukur. Adapu metode yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Tipe Penelitian dan Pendekatan a. Tipe penelitian 1. Penelitian hukum ini tergolong berdasarkan pada studi kepustakaan. 18 penelitian normatif. Karena 2. Berdasarkan tujuannya, penelitian hukum ini termasuk penelitian problem identification. Cara Identifikasi digunakan untuk mengumpulkan data kepustakaan yang berupa arsip, dokumen resmi, data pustaka lainnya yang berkaitan erat dengan permasalahan penelitian. Metode penelitian yang digunakan terbatas pada indentifikasi isi (“content identification”). Maksud pemberian identitas data terbatas pada substansi data yang bersangkutan dikaitkan dengan kebijakan penal. 3. Berdasarkan tempat pengumpulan datanya penelitian ini termasuk penelitan kepustkaan. Data pustaka (data sekunder) dianalisis dengan pola pikir deduktif dan induktif secara kombinasi. Hasil akhir pengolahan data dikualitatifkan. Selanjutnya dianalisis dengan metode kualitatif-normatif, dalam hal ini dilakukan bahasan teoritik ilmu hukum perusahaan, metoda penafsiran dalam ilmu hukum, serta menginterpretasikan data berdasarkan teori-teori sebagaimana tersebut dalam tinjauan pustaka, kaitannya dengan peraturan perundang-undangan Perseroan Terbatas tentang Tugas dan Tanggung Jawab Direksi. 4. Berdasarkan sifatnya peneltian ini termasuk penelitian deskriptif. yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai perumusan Tanggung Jawab Direksi yang melakukan tindakan melawan hukum. b. Pendekatan Sesuai bidang penelitiannya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan normatif/sosiologis karena berdasarkan pada pendekatannya : yuridis normatif (doctrinal legal research) yang melalui studi kepustakaan dan analisis perundangundangan yang ada. Di sini melihat hukum diutamakan sebagai peraturan hukum positif. Dalam hal ini UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bersifa t deskriptif, yaitu suatu penelitian yang 19 bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya, dalam produk legistif yakni UU No. 40 Tahun 2007. Materinya berupa peraturan-peraturan hukum yang terkait dengan Perusahaan, dalam hal ini terutama Tanggung Jawab Direksi. 2. Jenis dan Sumber Data Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji bahwa yang menjadi sumber data utama dalam penelitian hukum normatif ini adalah data skunder, yaitu yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yag terdiri dari : 1. hukum primer lainnya yang terkait. 2. Bahan hukum Skunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan. Mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undan, karya-karya akademik, baik yang berupa diskriptif, komentar-komentar dan kritik yang berkaitan dengan penelitian.14 Bahwa sumber hukum skunder ini kegunaannya menurut Burhan Ashshofa adalah : a. Untuk dirujuk pertama – tama sebagai sumber materiil; b. untuk meningkatkan mutu interprestasi atas hukum positif yang berlaku; 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian hukum normatif seperti ini menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji bahwa tehnik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi perpustakaan (library research), yaitu dengan melakukan analisa terhadap isi buku-buku, literature, peraturan perundang-undangan, dokumen serta tulisan- tulisan lain yang berhubungan dengan obyek penelitian. Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Tebatas, data elektronik dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penulisan ini. 20 Bahan Hukum tersier dalam penulisan ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. 4. Teknik Analisis Data Tehnik analisa data terhadap data penelitian yang merupakan data skunder menurut Setiono dilakukan dengan analisis secara kualitatif. Pola pikir yang dipergunakan bersifat deduktif. Setelah seluruh bahan penelitian hukum terkumpul, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data berdasarkan logika deduksi. Kemudian menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke arah yang bersifat khusus. Dalam penelitian ini analisa dilakukan terhadap pasal-pasal dalam undang-undang Perseroan Terbatas, untuk memperoleh suatu kesimpulan dari penulisan penelitian ini. Diharapkan melaui penelitian ini dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas lagi, mengenai bagaimana pertanggung jawaban Direksi Perseroan sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang asaa – asas hukum atau kaedah – kaedah hukum guna penyempurnaan ataupun penyesuaian pengaturan mengenai tanggung jawab Direksi yang melakukan tindakan melawan hukum. G. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I Pendahuluan (dari Proposal) A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Tinjauan Teoritis/Kepustakaan F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan 21 BAB II TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN A. Tanggung Jawab Direksi berdasarkan Ketentuan UUPT Nomor 40 Tahun 2007 1. Tanggung Jawab Renteng Antar Sesama Anggota Direksi 2. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menyelenggarakan RUPS 3. Tanggung Jawab Direksi Kepada Pemegang Saham 4. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menjalankan CSR B. Tanggung Jawab Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan 1. Berlakunya fiduciary duty dan Judgment rule bagi Direksi 2. Standar Kehati – hatian Dalam Pengelolaan Perseroan Oleh Direksi 3. Prinsip Pengelolaan Perseroan Yang Baik (GCG) BAB III TANGGUNG JAWAB DIREKSI TINDAKAN MELAWAN HUKUM YANG MELAKUKAN A. Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule Menurut UU No. 40 tahun 2007 1. Pertanggung Jawaban Perdata Direksi Perseroan 2. Pertanggung Jawaban Pidana Direksi Perseroan B.Contoh Kasus Sarijaya BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA 22 BAB II TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN A. Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Ketentuan UUPT Nomor 40 Tahun 2007 Sebagai organ Perseroan, Direksi bertanggung jawab penuh kegiatan pengurus Perseroan untuk kepentingan dan dalam mencapai tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan dalam melakukan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan . Pasal 92 Undang - Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menunjukan bahwa, apa yang menjadi "kepentingan Perseroan" dan apa yang menjadi “maksud dan tujuan Perseroan” adalah mengandung syarat “kumulatif mutlak”. Artinya jika yang dilakukan oleh anggota Direksi itu hanya dengan alasan kepentingan Perseroan namun bertetangan dengan maksud dan tujuan Perseroan atau sebaliknya , maka tindakan tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 92 UUPT Nomor 40 tahun 2007. Undang - Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007 telah membuat batasan yaitu pengurusan itu adalah untuk “kepentingan” Perseroan dan harus “sesuai dengan maksud dan tujuan” Perseroan anggota Direksi harus mengelola Perseroan untuk kepentingan Perseroan, bukan untuk kepentingan pribadi. Tidak dibenarkan anggota Direksi mengejar keuntungan untuk diri sendiri. Oleh karena itu, untuk memahami konsep pengurusan Perseroan oleh Direksi, harus dipahami apa yang menjadi "kepentingan Perseroan” dan apa pula yang menjadi "maksud dan tujuan Perseroan”. Kepentingan Perseroan sebenarnya adalah kepentingan bisnis yang berorientasi kepada keinginan mendapatkan keuntungan, dalam hal ini berarti pengelolaan harta kekayaan Perseroan dimaksudkan adalah untuk mendapatkan keuntungan demi kepentingan Perseroan, namun walaupun begitu harus sesuai 23 dengan maksud dan tujuan Perseroan yang dicantumkan dalam anggaran dasar Perseroan. Dalam melaksanakan pengelolaan Perseroan, Direksi harus mengarahkan pengeloaan tersebut agar tetap sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Konsep tugas yang harus dijalankan Direksi dalam hal ini adalah sesuai ketentuan Pasal 92 UUPT Nomor 40 tahun 2007. Pada sisi lain sebagai efek samping pengelolaannya Perseroan, yang menimbulkan kerugian pada Perseroan, tidak terlepas dari pertanggung jawaban Direksi. Begitu juga dengan persoalan mengenai tanggung jawab Direksi tentu tidak terlepas dari penyelenggaraan tugasnya. Demikian satu selalu terkait dengan dengan yang lain, penciptaan Norma pada satu pihak mencerminkan pelaksanaan Norma itu pada pihak yang lain. ketentuan yuridis tentang "pengaturan" tugas pengelolaan Perseroan oleh Direksi telah diatur dalm ketentuan Pasal 92 UUPT Nomor 40 2007, sedangkan pengaturan “tanggung jawab” Direksi diatur pada ketentuan Pasal 97 UUPT Nomor 40 tahun 2007. Adapun rumusan lengkap dari Pasal 97 UUPT NOMOR 40 tahun 2007 dimaksud adalah sebagai berikut di bawah ini: (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. (3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal Direksi terdiri dari 2 ( dua) anggota Direksi atau lebih tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung rentang bagi setiap anggota Direksi. (5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan : 24 a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalainya; b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatianuntukn kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya kerugian terse but. (6) Atas nama Perseroan, Pemegang Saham yang mewakili sedikitnya 1/10 ( satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalainya menimbulkan kerugian pada Perseroan; (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan. Dari pengkajian terhadap ketentuan Pasal 97 ini, terlihat bagaimana sebenarnya konsep tugas dan tanggung jawab anggota Direksi yang diinginkan oleh UUPT Nomor 40 tahun 2007, adapun pertanggung jawabannya yang terdapat di dalam Undang - Undang Perseroan Terbatas tersebut , diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Tanggung Jawab Renteng Antar Sesama Anggota Direksi UUPT Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menganut prinsip persumi bersalah (presuption of guilt) untuk pertanggung jawaban Direksi, bagi setiap anggota direksi. Artinya hukum semua anggota Direksi bertanggung jawab renteng (personal and / or jointly) yaitu secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama atas seluruh kerugian pihak lain, tanggung jawab mana berlaku 25 atas segala perbuatan yang dilakukan oleh Direksi untuk dan atas nama Perseroan, meskipun anggota Direksi tersebut tidak ikut melakukan bahkan tidak mengetahui adanya tindakan tersebut. Jadi dalam hal ini direksi dilihat secara keseluruhan dalam satu kesatuan meskipun dalam kenyataannya tindakan tersebut hanya dilakukan oleh seorang Direksi saja. Karena hal tersebut bersifat “presumsi” bersalah, maka ini berarti masih terbuka kemungkinan bagi seorang atau lebih anggota Direksi untuk membuktikan bahwa dia sebenarnya tidak bersalah, Pembuktian tidak tersebut misalnya dalam hal sebagai berikut : 1. Seorang anggota Direksi sengaja dikucilkan oleh pihak anggota Direksi yang lain. 2. Seorang Direksi tidak diberikan informasi yang cukup oleh Direksi yang lain. 3. Seorang Direksi diberikan informasi keliru oleh Direksi yang lain. 4. Bagaimana jika seorang tidak setuju dengan tindakan tersebut, tetapi dia kalah dalam voting suara rapat Direksi? Karena informasi kepadanya cukup diberikan, hal ini mestinya belum bisa menghilangkan tanggung jawab nya dan selayaknya ikut menanggung risiko dari tindakan tersebut. Hanya saja tanggung jawabnya menjadi lebih ringan dibandingkan dengan tanggung jawab anggota Direksi lain yang menyetujui tindakan tersebut dalam rapat Direksi. Jika anggota Direksi yang tidak setuju dengan tindakan tersebut, agar bisa mengelak dari tanggung jawab dari tindakan Direksi yang membawa kerugian bagi pihak perusahaan atau bagi pihak lain , maka dia dipersilahkan untuk mengundurkan diri sebagai Direksi perusahaan tersebut. Dengan ketentuan tanggung jawab renteng tersebut , maka setiap anggota Direksi diharapkan menjadi "controller" satu terhadap yang lainnya, namun demikian dalam prakteknya, fungsi control melalui mekanisme chek and balance sulit dilakukan. Untuk itu maka diperlukan pembagian tugas dan wewenang serta tanggung jawab yang jelas. Dengan adanya pembagian tersebut, maka masalah pembuktian anggota Direksi yang sebenarnya harus 26 bertanggung jawab atas tindakannya yang merugikan kepentingan Perseroan menjadi lebih mudah, Dalam hampir setiap rumusan pertanggung jawaban Direksi, setiap anggota Direksi selalu dihadapkan pada pertanggung jawaban renteng diantara sesama mereka, kecuali mereka dapat membuktikan bahwa pertanggung jawaban yang dibebankan tersebut adalah diluar kesalahan dan kealalaiannya. Rumusan- rumusan yang diberikan dalam UUPT tersebut bertujuan untuk menegaskan kembali fungsi Direksi sebagai suatu organ (dan bukan masingmasing pribadi anggota Direksi) yang berkewajiban untuk dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan, meskipun masing-masing anggota Direksi berwenang untuk bertindak mewakili untuk dan atas nama Perseroan baik diluar maupun di dalam pengadilan. Dengan pertanggung jawabkan renteng ini diharapkan dapat terjadi saling mengawasi diantara sesama anggota Direksi Perseroan atas setiap perbuatan Direksi yang dapat merugikan, baik Perseroan, Pemegang Saham Perseroan, maupun pihak ketiga yang beritikad baik. Meskipun UUPT memberikan ketentuan berupa sanksi perdata yang sangat berat kepada setiap anggota Direksi Perseroan atas setiap kesalahan atau kelalaiannya, namun pelaksanaan pemberian sanksi itu sendiri sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan, sesama anggota Direksi yang bersangkutan bertindak sesuai dengan dan tidak menyimpang dari aturan main yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar Perseroan , dan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Para Pemegang Saham Perseroan maupun pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh tindakan Direksi harus dapat membuktikan apakah memang benar kerugian tersebut terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaian Direksi. 2. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menyelenggarakan RUPS Perseroan adalah artificial person, sesuatu yang fiksi , yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berusaha yang bertransaksi. Perseroan tidak mungkin memiliki kehendak , dan karenanya juga 27 tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. Untuk membantu Perseroan dalam melaksanakan tugasnya dibentuknya organ-organ, secara teroritis ini disebut dengan organtheory. Untuk itu maka dikenal adanya tiga organ Perseroan Terbatas , yaitu: 1. Direksi; 2. Dewan Komisaris; dan 3. Rapat umum Pemegang Saham (RUPS). Ketiga organ tersebut dalam Perseroan tidak ada yang paling tinggi , masingmasing melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan diperintahkan oleh Undang - Undang, dalam hal ini Undang - Undang Nomor. 40 tahun 2007. Dari ketiga organ tersebut Direksi merupakan satu-satunya organ dalam Perseroan yang melaksanakan fungsi pengurus Perseroan di bawah pengawasan Dewan Komisaris. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan, dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dewan komisaris melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi, bila perlu. Sedangkan Rapat Umum Pemegang Saham hanya melaksanakan seluruh tugas dan fungsi Perseroan yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Dewan Komisaris. Selain organtheory , dikenal juga teori-teori lainnya, seperti teori tentang perwakilan yang menyatakan bahwa badan hukum bertindak melalui suatu sistem perwakilan yang ada pada tangan para pengurusnya (dalam hal ini direksi di bawah pengawasan Dewan Komisaris). Seperti telah disinggung di atas , organ Perseroan Terbatas terdiri dari : 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang terdiri dari : a. RUPS tahunan (RUPST/ RUT) dan b. RUPS luar biasa ( RUPLSB/ RULB); RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi , video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpastisipasi dalam rapat. Selain itu dimungkinkan juga bagi 28 seluruh Pemegang Saham untuk mengambil keputusan yang mengikat tanpa melalui Rapat umum Pemegang Saham, dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan dalam bentuk resolusi Pemegang Saham pengganti Rapat Umum Pemegang Saham. 2. Dewan Komisaris (Board of Commissioners) 3. Direksi (Board of Directors) Rapat umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ Perseroan yang mewakili kepentingan seluruh Pemegang Saham dalam Perseroan tersebut. Rapat umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ Perseroan yang mewakili kewenangan sisa yang tidak diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris. RUPS mewakili kehendak dari Pemegang Saham secara keseluruhan, baik sebagai akibat putusan dengan musyawarah maupun putusan hasil pemungutan suara yang sesuai dan sejalan dengan ketentuan Undang - Undang Perseroan Terbatas dan atau anggaran dasar. Keputusan RUPS tersebut berlaku sebagai aturan internal bagi Perseroan. Dalam hal keputusan tersebut kemudian disetujui oleh/diberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM, didaftarkan dalam Daftar Perseroan, serta diumumkan dalam Berita Negara, maka putusan tersebut mengikat pihak ketiga/masyarakat luas. Asas publisitas berlaku dalam hal yang disebutkan terakhir. Jadi RUPS tidak mewakili kepentingan dari hanya satu atau lebih Pemegang Saham, melainkan seluruh Pemegang Saham Perseroan. Pemegang Saham adalah subjek hukum yang merupakan pemilik dari setiap lembar saham yang dikeluarkan oleh Perseroan. Pemegang Saham bukanlah organ Perseroan dan karenanya setiap tindakan Pemegang Saham, yang dilakukan secara individuil tidaklah mengikat para Pemegang Saham lainnya. Dalam setiap forum, RUPS hanya dapat membicarakan agenda yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam hal yang demikian, maka Pemegang Saham berhak memperoleh 29 keterangan yang berkaitan dengan perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentimgan Perseroan. Hal tersebut juga secara tidak langsung membawa konsekuensi hukum bahwa, RUPS tidak berhak untuk membicarakan apalagi mengambil putusan dalam mata acara lain-lain, kecuali semua Pemegang Saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS tersebut menyetujui penambahan mata acara rapat. Dengan demikian berarti keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus menyetujui dengan suara bulat. Tujuan dilaksanakan RUPS pada Perseroan adalah untuk menyetujui mengesahkan, mengambil keputusan ataupun menolak mengenai pertanggung jawaban Direksi, laporan keuangan yang disampaikan Direksi, rancangan rencana kerja pengurus untuk satu tahun kerja berikutnya, rencana penambahan modal, pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris, rencana penjualan aset dan pemberian jaminan hutang sebagian besar atau seluruh kekayaan Perseroan, rencana penggabungan, peleburan dan pengambil alihan Perseroan. Keberadaan RUPS sebagai organ Perseroan yang mempunyai kekuasaan tertinggi pada Perseroan yang mempunyai peranan yang penting, dimana keberadaan RUPS merupakan suatu wadah untuk menentukan operasional dari Perseroan. Kehendak Pemegang Saham bersama-sama dijelmakan dalam suatu keputusan yang dianggap sebagai kehendak Perseroan, yang tidak dapat ditentang oleh siapapun dalam Perseroan, kecuali jika keputusan itu bertentangan dengan dimaksud dan tujuan Perseroan dan hal ini telah sesuai dengan tugas dan wewenang RUPS sebagaimana diatur dalam UUPT dan anggaran dasar Perseroan. Adapun tanggung jawab Direksi dalam kaitannya RUPS pada Perseroan adalah merupakan sebagian tugas dan wewenang Direksi terhadap Perseroan, dimana Direksi kewajiban dan bertanggung jawab kepada RUPS untuk ,memberikan laporan pertanggung jawaban mengenai segala pelaksanaan tugas dan wewenangnya terhadap Perseroan, membuat risalah RUPS, melaksanakan pemanggilan dan penyelenggaraan RUPS tahunan untuk menyempaikan laporan pertanggung jawaban, menyelenggarakan 30 RUPS lainnya untuk kepentingan Perseroan, menjalankan semua keputusan RUPS yang telah disahkan, memberitahukan hasil keputusan RUPS kepada para Pemegang Saham, meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang, seluruh atau sebagainya kekayan Perseroan, perubahan anggaran dasar, penambahan modal Perseroan, penggabungan, peleburan, pengambil alihan dan pembubaran Perseroan. Pelaksaan tugas Direksi untuk menjalankan Perseroan berdasarkan pada rencana kerja yang telah disusun dan disahkan pada RUPS sesuai dengan peraturan perundang – undangan dan anggaran dasar adalah merupakan tanggung jawab kedalam dari Direksi yg mewakili dan menjalankan Perseroan bersama-sama pengurus dan karyawan Perseroan, yang akan diminta kembali pertanggung jawaban pada akhir tahun buku berikutnya. Keputusan RUPS merupakan acuan dari pelaksanaan tugas Direksi, ini merupakan hubungan antara keputusan atau hasil RUPS dengan pelaksanaan tugas Direksi. 3. Tanggung Jawab Direksi Kepada Pemegang Saham Karateristik dari suatu Perseroan Terbatas adalah adanya pemisahan antara pemilikan (saham) dalam Perseroan dan pengurusan Perseroan Terbatas. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pengembangan Good Corporate Governance. Makin tidak terlibat pemegang saham dengan kegiatan operasional Perseroan, makin tinggi nilai Good Corporate Governance bagi suatu Perseroan Terbatas, namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa pemegang saham tetap menginginkan kontrol atau pengawasan terhadap jalannya Perseroan. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa dalam suatu Perseroan Terbatas, pendiri atau pemegang saham, dewasa ini seringkali tidak lagi menjadi pengurus atau pengelola dari Perseroan yang didirikan. Dalam hal yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa para pendiri atau pemegang saham tersebut memerlukan jaminan dan kepastian bahwa harta kekayaan mereka pribadi tidak akan diganggu gugat sehubungan dengan kegiatan usaha yang diselenggarakan atau dilaksanakan oleh Perseroan Terbatas tersebut. 31 Dalam konteks yang demikian pertanggungjawaban terbatas pendiri atau pemegang saham menjadi penting artinya. Pendiri atau pemegang saham hanya akan menanggung kerugian yang tidak lebih dari bagian penyertaan yang telah disetujuinya untuk diambil bagian, guna penyelenggaraan dan pengelolaan jalannya Perseroan dengan baik. Keperluan adanya tanggung jawab terbatas bagi harta kekayaan pribadi pendiri atau pemegang saham, memberikan manfaat kepada pemegang saham bahwa tidak setiap kegiatan dari pengurus Perseroan Terbatas memerlukan pengetahuan atau bahkan persetujuan dari pendiri atau pemegang saham. Konteks ini pada akhirnya mengurangi peran pemegang saham dalam keterlibatannya terhadap kegiatan operasional Perseroan, bahkan juga untuk melakukan pengawasan secara terus menerus dan dari waktu ke waktu terhadap jalannya kegiatan pengelolaan Perseroan secara langsung. Peran pemegang saham ini kemudian disederhanakan menjadi peran yang diletakkan dalam suatu Rapat Umum Pemegang Saham pada setiap tahunnya dalam bentuk Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. Dalam hal tertentu, yang diperkirakan membawa akibat pengaruh finansial atau kebijakan yang luas dan besar bagi Perseroan, keterlibatan pemegang saham dapat juga dimintakan, yang terwujud dalam bentuk penyelenggaraan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham. Hal tersebut di atas, disadari atau tidak, pada akhimya memberikan kebebasan kepada pengurus Perseroan untuk mengelola Perseroan dan mencari keuntungan bagi Perseroan, dengan tetap berpedoman pada maksud dan tujuan serta untuk kepentingan Perseroan. Hal ini jugalah yang nantinya mendasari kebijakan bagi lahirnya prinsip business judgment rule yang memberikan perlindungan bagi setiap keputusan usaha atau bisnis yang diambil oleh Direksi yang telah dilakukannya dengan penuh kehati-hatian, dengan itikad baik sesuai dengan maksud dan tujuan serta untuk kepentingan Perseroan. Sebagai bagian dari upaya untuk tetap mempertahankan konsep bahwa pendiri atau pemegang saham tetap dapat melakukan monitoring atau pengawasan atau bahkan penentuan kebijakan pengurusan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, kepada para pendiri atau pemegang sa 32 ham ini kemudian diberikanlah saham-saham yang merefleksikan sampai seberapa jauh pemegang saham tersebut dapat melakukan monitoring atau pengawasan atau bahkan penentuan kebijakan pengurusan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Makin besar jumlah saham yang dimiliki, makin besar kewenangan yang dimilikinya dalam Rapat Umum Pemegang Saham. 4. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menjalankan CSR Sebagai sebuah konsep yang baru dimasukkan kedalam Undang Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pemerintah diharapkan tidak salah dalam menafsirkan konsep CSR ini. Kontroversi yang terjadi dikalangan pengusaha sejak diwajibkannya pelaksanaan CSR bagi sebuah Perseroan adalah karena ketidakpahaman sejumlah kalangan pengusaha dalam mengartikan CSR dan adanya ketakutan bahwa pemerintah juga salah tafsir sehingga pada akhirnya perusahaan akan dirugikan melalui kewajiban pelaksanaan CSR ini. Salah satu hal yang terutama dikhawatirkan adalah bahwa CSR ini menjadi philanthropy dengan bagian persentase yang dikaitkan dengan pengeluaran ( spending ) Dengan tanpa memperhatikan keuntungan ( profit ) dan atau kesanggupan Perseroan, khususnya terkait dengan likuiditas dana yang tersedia. jika ini yang terjadi maka CSR akan menjadi bencana besar bagi dunia usaha dan masyarakat konsumen. CSR yang demikian tidak hanya merugikan kepentingan pengusaha tetapi juga seluruh stakeholders perusahaan, khususnya masyarakat banyak sebagai konsumen. Ini benar-benar bertolak belakang dengan kosep CSR yang sesungguhnya. Bunyi Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang PT yang mewajibkan CSR bagi Perseroan Terbatas adalah: 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang d an /atau berkaitan dengan sumber daya alam Jawab Sosial dan Lingkungan. 33 wajib melaksanakan Tanggung 2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung jawab Sos ial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. B. Tanggung Jawab Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan Direksi dalam Perseroan Terbatas sebagai gabungan dari 2 (dua) macam persetujuan atau perjanjian, yaitu: 1) perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi, dan 2) perjanjian kerja atau perburuhan, di sisi yang lain. Direksi di satu sisi, diperlakukan sebagai penerima kuasa dari Perseroan untuk menjalankan Perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan Perseroan sebagaimana telah digariskan dalam Anggaran Dasar Perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan Perseroan, dalam hubungan atasan-bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Tugas utama seorang Direksi adalah melaksanakan pengurusan Perseroan sebaik-baiknya untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan, sehingga maksud dan tujuan Perseroan akan tercapai. Tugas kepengurusan Direksi tidak terbatas pada kegiatan rutin, melainkan juga berwenang dan wajib mengambil inisiatif membuat 34 rencana dan perkiraan mengenai perkembangan Perseroan untuk mas a mendatang dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan perseroan. Direksi merupakan salah satu organ Perseroan yang vital, yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan (Pasal 98 ayat (1) UUPT). Dalam hal ini, ada dua kewenangan Direksi, yaitu pengurusan dan perwakilan. Pengurusan berbicara soal hubungan internal antara pengurus dan orang yang hartanya berada dalam pengurusan pengurus, maka perwakilan berbicara soal hubungan eksternal, yaitu hubungan antara pengurus dan harta kekayaan yang diurus oleh pengurus tersebut, dengan pihak ketiga dengan siapa suatu perbuatan hukum dilakukan oleh pengurus dalam kapasitasnya sebagai pengurus harta kekayaan milik orang lain. Dengan demikian, pengurusan Perseroan berbicara tentang hubungan internal, yaitu hubungan antara Direksi dengan Perseroan dan pemegang saham (RUPS). Adapun perwakilan Perseroan berbicara tentang hubungan eksternal yaitu hubungan antara Direksi dengan pihak ketiga dalam melakukan perbuatanhukum untuk dan atas nama Perseroan. Oleh karena itu, tanggung jawab Direksi pun dapat dibedakan ke dalam: 1) Tanggung jawab internal Direksi yang meliputi tanggung jawab Direksi terhadap Perseroan dan pemegang saham Perseroan; 2) Tanggung jawab eksternal Direksi, yang meliputi tanggung jawab Direksi kepada pihak ketiga yang melakukan hubungan hukum, baik langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan. Tanggung jawab Direksi Perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban Direksi untuk melakukan keterbukaan ( disclosure ) terhadap pihak ketiga atas setiap kegiatan Perseroan, yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan Perseroan. Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang anggota Direksi, maka yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi kecuali ditentukan lain dalam UUPT dan/atau Anggaran Dasar. Hal ini disebabkan oleh 35 UUPT menganut sistem perwakilan kolegial, artinya bahwa tiap-tiap anggota Direksi berwenang mewakili Perseroan. Oleh karena itu, kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan tersebut adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UUPT, anggaran dasar, atau keputusan RUPS. Keputusan RUPS tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUPT dan/atau anggaran dasar Perseroan. 1. Standar Kehati-hatian Dalam Pengeolaan Perseroan Oleh Direksi Berbeda dengan orang perseorangan (manusia), karena Perseroan, sekalipun merupakan subjek hukum mandiri, adalah suatu artificia person, maka Perseroan mutlak memerlukan Direksi sebagai wakilnya. Dapat dikatakan bahwa Perseroan tidak akan dapat berfungsi yaitu menjalankan hakdan kewajibannya, tanpa bantuan Direksi. Direksi merupakan organ yang mewakili kepentingan Perseroan selaku subj ek hukum mandiri. Tugas dan tanggung jawab pengurusan dan perwakilan yang dimiliki Direksi itu bersumber pada dua hal, yaitu: kebergantungan Perseroan pada Direksi dipercayakan dengan kepengurusan dan perwakilan Perseroan dan Per ser oan adalah sebab bagi keberadaan Direksi, apabila tidak ada Perseroan, juga ti dak ada Direksi . Karena itu, tepat dikatakan bahwa antara Perseroan dan Direksi terdapat fiduciary relationship (hubungan kepercayaan) yang melahirkan fiduciary duties bagi para anggota Direksi. Disamping itu,pengurusan dan perwakilan Perseroan yang dilakukan Direksi juga berpedoman pada kemampuan dan kehati-hatiannya dalam bertindak (duty of skill and care). Menurut sistem hukum di Indonesia, demikian juga hukum di kebanyakan negara yang menganut sistem Civil Law, hubungan antara Direksi dengan perusahaan adalah bersifat kontraktual. Artinya, sungguhpun antara perusahaan dengan Direksinya tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi oleh hukum dianggap ada kontrak pemberian kuasa. Karena itu, hubungan antara Direksi dengan perusahaan tidak merupakan hubungan antara "trustee" dengan "beneficiary" seperti dalam system Anglo Saxon. Sebagai konsekuensi 36 yuridisnya, Direksi sebagai pemegang kuasa tidak boleh bertindak melebihi dari kekuasaan yang di beri kan kepa danya. Sebera pa ja uh kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar pe usahaan yang bersangkutan. Apabila Direksi bertindak melampaui wewenang yang diberikan kepadanya tersebut, Direksi tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan yang bersangkutan kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup ditampung oleh harta perusahaan (harta pailit), maka Direksi pun ikut bertanggung jawab secara renteng. Lain halnya hukum di negara-negara yang menganut system Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika. Di sana Direksi berkedudukan sebagai agen ( trustee ) dari perusahaan, yang mempunyai tugas serta Hubungan fiduciary. Dalam hal tersebut, Direksi haruslah selalu melakukan " duty of care " terhadap perusahaan yang dipimpinnya. Jika dia melanggar prinsip "duty of care" tersebut, dia akan bertanggung jawab pribadi, termasuk dalam hal perusahaan pailit atau dilikuidasi. Dalam hukum USA, Direksi akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar tertentu, misalnya Direksi dengan sengaja menyalahgunakan w ew ena ng ata u menya lahgunakan dana perusahaan. Juga akan bertanggung jawab secara pribadi jika mengisukan saham sebagai saham yang disetor penuh padahal secara faktual, saham tersebut belum disetor sama sekali. Di samping itu, menurut hukum di USA, tanggung jawab Direksi secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai Direksi, tetapi untuk dibebankan tanggung jawab, Direksi tersebut harus telah melakukan hal-hal sebagai berikut ini terhadap tindakan perusahaan: 1. Direksi mengizinkan perbuatan tersebut, atau 2. Direksi meratifikasi perbuatan tersebut, atau 3. Ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut. Di negara-negara yang menganut common law system acuan yang dipakai adalah standard of care atau standar kehati-hatian. Apabila Direksi telah 37 bersikap dan bertindak melanggar standar of care, Direksi tersebut dianggap telah melanggar duty of care- nya, sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas perbuatan hukum yang dilakukannya yang melampaui standar kehati-hatian. Sebagai contoh dari "standar kehati-hatian" itu, antara lain misalnya sebagai berikut: 1. Anggota Direksi tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban biaya Perseroan, apabila tidak memberikan sama sekali atau member ikan sangat kecil manfaat pribadi yang diperoleh oleh anggota Direksi yang bersangkutan. Meskipun demikian, hal itu dapat dikecualikan, apabila dila kukan atas beban biaya representasi jabatan dari anggota Direksi yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS; 2. Anggota Direksi tidak boleh menjadi pesaing bagi Perseroan yang dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seyogianya disalurkan k epada Per seroan lain yang didalam nya terdapat kepentingan pribadi anggota Direksi itu; 3. Anggota Direksi harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan dapat mengakibatkan Perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sehingga Perseroan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya dicabut izin usahanya ata u dibekukan kegiatan usahanya, atau digugat oleh pihak lain; 4. Anggota Direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya te1ah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi Perseroan; 5. Anggota Direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan D aya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan Perseroan. UUPT ternyata mengakui prinsip personal liability dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian anggota Direksi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 104 ayat (2) UUPT. Menurut Pasal 104 ayat (2) UUPT, 38 bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. Ketentuan ini ada persamaan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) KUHD yang menyatakan bahwa apabila Perseroan menderita kerugian sebesar 75% dari modal dasar, Perseroan itu demi hukum bubar dan para pengurusnya dengan diri sendiri secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap pihak ketiga atas segala perikatan yang telah mereka lakukan. Karena itu, berdasarkan Pasal 104 ayat (2) UUPT ini, seorang anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban hukum ketika Perseroan pailit sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam mengurusi Perseroan. Dari bunyi Pasal 104 ayat (2) UUPT tersebut, dapat diketahui pula kalau UU PT membuat beberapa pengecualian terhadap tanggung jawab anggota Direksi dalam hal Perseroan pailit, yaitu: 1. Anggota Direksi hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika Perseroan dinyatakan pailit sesuai dengan prosedur yang berlaku. Artinya, jika Perseroan dibubarkan t anpa me lalui prosedur kepailitan, dengan sendirinya anggota Direksi terlepas dari tanggung jawab secara pribadi tersebut; 2. Ada unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan Direksi dalam mengurusi dan mewakili Perseroan. Artinya, tanggung jawab secara pribadi anggota Direksi akan terkait dengan ada atau tidaknya kes alahan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota Direksi dalam mengurusi dan mewakili Perseroan; 3. Tanggung jawab anggota Direksi tersebut bersifat residual, artinya anggota Direksi hanya akan bertanggung jawab bila kekayaan Perseroan tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut; 4. Tanggung jawab anggota Direksi tersebut juga bersifat tangg ung renteng, artinya walaupun kesalahan atau kelalaian itu dilakukan seorang 39 anggota Direksi, tetapi yang lain juga dipresumsi untuk ikut bertanggung jawab. Sebab menurut UUPT tugas dan kewajiban pengurusan dan perwakilan Perseroan dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota Direksi. Pengecualian ini sejalan dengan prinsip tanggung jawab kolegial yang dianut UUPT. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut UUPT anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi jika Perseroan pailit sebagai akibat dari kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan yang mengakibatkan Perseroan jatuh pailit. Meskipun demikian, UUPT masih membuat beberapa pengecualian, atas tanggung jaw ab pr ibadi anggota Direksi dalam hal Perseroan pailit, yaitu: Perseroan di bubarka n ka rena pailit; adanya kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan tugas, kewajiban, tanggung jawab dan kewenangannya; tanggung jawab anggota Direksi bersifat residual dan secara renteng diantara anggota Direksi. Dalam hal ini menurut UUPT yang bertanggung jawab tidak hanya perusahaan, tetapi juga adalah anggota Direksinya. Sementara itu, menurut sistem hukum Common Law, tanggung jawab pribadi seorang Direksi akan terjadi bila dirinya memenuhi syarat-syarat tertentu mengenai keterlibatannya dalam perbuatan yang dilakukannya. Direksi yang bersangkutan dapat pula dibebaskan dari tanggung jawab pribadi jika perbuatan atau tindakan yang dilakukannya didasarkan pada standar kehati-hatian atau doktrin business judgment rule. 2. Prinsip Pengelolaan Perseroan Yang Baik (GCG) Belakangan ini istilah good corporate governance makin sering terdengar dikalangan dunia usaha terutama perusahaan besar dan perusahaan yang sahamnya sudah di perjualbelikan di bursa efek. Konsep ini dibeberapa negara telah lama di perkenalkan dan bagi kita konsep ini belum banyak penerapannya. Good corporate Governance adalah perangkat yang maksudnya pengurusan 40 yang baik untuk memperhatikan kepentingan semua stakeholders , yang berprinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Hal tersebut, dalam keberadaannya penting dikarenakan dua hal. Hal yang pertama , cepatnya perubahan lingkungan yang berdampak pada peta persaingan global. Sedangkan sebab kedua karena semakin banyak dan kompleksitas stakeholders termasuk struktur kepemilikan bisnis. Seperti diketahui kepentingan Stakeholders (pihak-pihak yang mempunyai kepentingan pada Perseroan) cukup banyak dan beraneka ragam, tidak sama bahkan dalam beberapa hal dapat bertentangan antara yang satu dengan yang lain, dan stakeholders yang paling utama adalah pemilik Perseroan atau pemegang saham. Good corporate governance meliputi semua aspek mengenai pelaksanaan manajemen perusahaan yang tujuannya antara lain tanggungjawab sesuai dengan fungsinya dengan cara memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumen maupun semua perusahaan ( stakeholders ). pihak yang mempunyai kepentingan pada Suatu Perseroan didirikan oleh pemilik atau pemegang saham untuk melekukan usaha yang tujuannya mencari keuntungan untuk kepentingan pemiliknya. Laba yang sebesar- besarnya masih sering disebut sebagai tujuan utama Perseroan. Pandangan yang sekarang masih tetap berpegang kepada motif mencari keuntungan, namun laba yang sebesarbesarnya bukan lagi menjadi tujuan utama. Undang-undang menyebutkan beberapa kali ketentuan tentang kepentingan Perseroan, tanpa ada penjelasan yang dimaksud dengan itu. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kepentinga Perseroan tersebut sejalan dengan kepentingan organ Perseroan yaitu pemegang saham, Dewan Komisaris dan Direksi, bahkan kepentingan Stakeholders lain. Dapat dikatakan bahwa, jangankan antara organ Perseroan, antara para pemegang saham sendiri sering terjadi perbedaan kepentingan terutama antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Dengan demikian kepentingan Perseroan tidak selalu ditafsirkan sama bahkan setiap pihak dapat melihat dari sudut pandangnya sendiri. Stakeholders 41 adalah semua pihak yang terkait yang mempertaruhkan nilai materiel atau immateriel dan mempunyai kepentingan dalam Perseroan. Gambaran ini akan lebih tidak jelas lagi apabila Stakeholders yang lain, seperti kreditur, karyawan, pemerintah, masyarakat setempat, konsumen, yang melihat kepentingan dari sudut pandang mereka sendiri. Adalah merupakan tugas Perseroan melalui Direksi dan Dewan Komisaris untuk dapat melihat semua kepentingan ini dan mengakomodasikan dalam misinya serta menyimpulkan yang terbaik untuk para pemilik perusahaan. Khususnya pemegang saham yang mempertaruhkan penyertaannya melelui kepercayaan yang diberikan kepada Direksi dan kemungkinan juga kepada Dewan Komisaris, masalah kepentingannya dan perlindungannya terhadap kekayaan yang mereka kelola, merupakan faktor yang terpenting untuk pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris. Perseroan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya akan dipengaruhi oleh suatu kerangka tata kelola ( corporate governance framework ) . Kerangka tersebut dibentuk hukum dan regulasi, anggaran dasar, kode etik, perjanjianperjanjian yang dibuat dengan kreditur, karyawan, konsumen dan lain sebagainya. Agar perusahaan memiliki kelangsungan jangka panjang, shareholders dan stakeholders perlu mempertimbangkan tata kelola yang baik (good corporate governance). Suatu System corporate governance yang efektif seharusnya mampu mengatur kewenangan Direksi, yang bertujuan dapat menahan Direksi untuk tidak menyalahgunakan kewenangan tersebut dan untuk memastikan bahwa Direksi bekerja semata mata untuk kepentingan perusahaan. Corporate governance memusatkan perhatian pada isu fundamental seperti bagaimana seharusnya para pengurus Perseroan dimonitor dan dipengaruhi oleh industri perbankan, pasar modal, dan mekanisme pembiayaan lainnya. Pemantauan tersebut akan berguna untuk menilai kinerja Direksi berdasarkan kepentingan para pemegang saham, dan peningkatan discounted present value Perseroan dengan agency costs yang seminimal mungkin. 42 BAB III Tanggung jawab Direksi yang melakukan tindakan melawan hukum A. Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule Menurut UU No. 40 tahun 2007 UUPT telah memiliki aturan - aturan yang tegas mengatur mengenai kewenangan masing -masing organ yang ada dalam perseroan terbatas, yaitu RUPS, Direksi dan dewan Komisaris, yaitu sebagai berikut : 1. Pasal 75 ayat (1) UUPT mengatur mengenai kewenangan RUPS dimana dijelaskan bahwa RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris; 2. Pasal 92 ayat (1) UUPT mengatur mengenai kewenangan direksi, dimana dikatakan bahwa direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Selanjutnya dalam Pasal 97 ayat (1) UUPT juga diberikan penjelasan lebih lanjut bahwa direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan. 3. Pasal 108 ayat (1) UUPT mengatur mengenai kewenangan dewan komisaris di mana disebutkan bahwa dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberikan nasihat kepada Direksi. Dalam pasal 114 ayat (1) UUPT menegaskan kembali bahwa dewan komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan. Seperti telah dijelaskan diatas, Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule yang berlaku bagi Direksi dan Dewan Komisaris secara bersama - sama, tanpa ada yang dikecualikan, dengan ketentuan bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sedangkan Dewan Komisaris bertanggung jawab atas Pengawasan Perseroan. 43 1. Berlakunya Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule bagi Direksi Untuk mengetahui bagaimana berlakunya, Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule bagi Direksi Perseroan dalam UUPT, maka harus diperhatikan ketentuan yang mengatur mengenai tugas pengurusan, kewajiban, dan khususnya tanggung jawab Direksi Perseroan terbatas dalam UUPT. Terkait dengan kegiatan melakukan pengurusan perseroan yang diatur dalam UUPT dengan kewajiban fiducia (fiduciary duty) dan aturan business judgment rule, dapat dikatakan bahwa ketentuan mendasar yang mengatur mengenai fiduciary duty dan aturan business judgment rule dalam undang - undang No. 40 tahun 2007 dapat ditemukan aturan atau ketentuan umumnya dalam Pasal 97 UUPT tersebut. ketentuan umum tersebut selanjutnya menyebar dalam berbagai pasal lainnya dalam UUPT. Berikut di bawah ini akan diuraikan dan dijelaskan eksistensi fiduciary duty dan aturan business judgment rule dalam pasal 97 UUPT dan pasal - pasal yang terkait lainnya. Fiduciary Duty dan prinsip Business Judgment Rule dalam Pasal 97 UUPT Ketentuan Pasal 97 UUPT diawali dengan rumusan ayat (1) yang menyatakan bahwa "Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal 92 ayat (1)". Jika diperhatikan ketentuan ini adalah penegasan dari aturan yang ditetapkan dalam pasal 92 ayat (1) UUPT, dimana dikatakan bahwa direksi dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus : a. Memperhatikan kepentingan Perseroan. b. Sesuai dengan maksud dan tujuan PT (intr vires act); c. Memperhatikan ketentuan mengenai larangan dan batasan yang diberikan dalam undang - undang (khususnya UUPT) dan anggaran dasar Dari ketentuan ini diketahui bahwa tindakan direksi adalah tindakan yang memiliki tanggung jawab keperdataan. Sebagai pengurus Perseroan, Direksi adalah agen dari perseroan, dan karenanya tidak dapat bertindak sesuka hatinya. Apa yang dilakukan oleh Direksi yang berada diluar batasan kewenangan yang diberikan kepadanya harus dapat dipertanggung jawabkan olehnya. dalam hal ini ada 3 jenis pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh direksi, yaitu : a. Pertanggung jawaban kepada Perseroan. b. Pertanggung jawaban terhadap pemegang saham, dan terakhir 44 adalah c. Pertanggung jawaban terhadap kreditor. Bentuk tanggung jawab direksi terhadap perseroan, pemegang saham dan kreditor ini selanjutnya tercermin dalam berbagai ketentuan atau pasal dalam UUPT, beberapa diantaranya dapat disebutkan yaitu : a. Pasal 37 ayat (3) UUPT yang menyatakan bahwa direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali saham oleh Perseroan yang batal karena hukum. b. Pasal 69 ayat (3) UUPT menyatakan dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota Direksi (dan anggota dewan komisaris) secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan; c. Pasal 95 ayat (5) UUPT menyatakan bahwa dalam hal ternyata pengangkatan anggota Direksi menjadi batal sebagai akibat tidak memenuhi persyaratan pengangkatannya, maka meskipun perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama perseroan oleh anggota direksi sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan, namun demikian anggota Direksi yang bersangkutan tetap bertanggung jawab terhadap kerugian Perseroan. d. Pasal 97 ayat (3) menyatakan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. e. Pasal 101 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa setiap anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajibannya melaporkan kepada Perseroan saham yang dimiliki anggota direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus, dan akibatnya menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan. f. Pasal 104 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung rentengbertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut; g. Pasal 97 ayat (6) UUPT yang memberikan hak kepada pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah 45 seluruh saham dengan hak suara, atas nama perseroan, untuk mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Selanjutnya untuk dapat mengukur sampai seberapa jauh tanggung jawab direksi dalam melakukan pengurusan dalam mencapai tujuan PT yang sudah ditetapkan dalam anggaran dasar, direksi harus membuat dan melaksanakan rencana kerja tahunan. Pencapaian dari hasil kerja merupakan bahan evaluasi dalam penilaian kinerja direksi yang dituangkan dalam laporan tahunan yang diserahkan kepada dan untuk disahkan oleh RUPS. Kegiatan pengurusan Perseroan ini tidak pernah dapat dipisahkan dari perwakilan direksi yang diatur dalam Pasal 98 ayat (2) UUPT. Sebagai pengurus Perseroan, direksi akan mewakili perseroan dalam setiap tindakan atau perbuatan hukum perseroan dengan pihak ketiga. dalam hal ini jelas, direksi merupakan agen bagi Perseroan. Rumusan selanjutnya dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa " Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab". sejalan dengan sifat pertanggung jawaban perdata yang melekat padaa direksi dalam melakukan pengurusan terhadap perseroan, Pasal 97 ayat (2) UUPT menekankan pada arti itikad baik, dan sesuai dengan kewenangan yang diberikan atau dibebankan kepadanya serta menurut aturan main yang berlaku. Selama dan sepanjang direksi melakukan pengurusan dengan itikad baik, dan dalam batasan atau koridor serta menurut ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya, maka direksi senantiasa dilindungi oleh business judgment rule. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, itikad baik merupakan salah satu unsur penting bagi direksi untuk memperoleh perlindungan business judgment rule, yang melibatkan dua hal yaitu proses dan subtansi, dalam proses business judgment rule melibatkan formalitas pengambilan keputusan dalam perseroan. Sebagai subtansi, dalam mengambil keputusan bisnis, direksi dari suatu perusahaan bertindak atas dasar informasi yang dimiliki dengan itikad baik dan dengan keyakinan bahwa tindakan yang diambil adalah semata - mata untuk kepentingan perusahaan. Jadi, jelaslah bahwa pasal 97 ayat (2) UUPT ini, anggota direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan itikad baik (in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab (and with full sense of responbility). Apabila direksi tersebut ternyata terbukti bersalah karena sengaja atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty-nya tersebut, maka terhadap kerugian yang diderita 46 perseroan, perseroan berhak untuk menuntutnya dari direksi tersebut. Tanggung Jawab terhadap kerugian perseroan ini dapat ditunjukan baik terhadap perseroan itu sendiri, tiap - tiap pemegang saham atau kreditor (dalam hal terjadinya kepailitan Perseroan). Dalam konteks yang demikian berarti baik Perseroan, pemegang saham atau kreditor yang dirugikan sebagai akibat berkurangnya harta kekayaan Perseroan karena tidak adanya itikad baik direksi yang terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam bertindak, berbuat atau mengambil keputusan, berhak untuk menggugat direksi. Yang mewakili Perseroan sebagai penggugat adalah para pemegang saham yang secara sendiri - sendiri atau bersama - sama mewkili jumlah 1/10 (satu per sepuluh) pemegang saham perseroan. Gugatan dilakukan untuk dan atas nama Perseroan terhadap direksi Perseroan, yang atas kesalahan atau kelalaiannya telah menyebabkan kerugian pada perseroan (derivative action). Selain itu setiap pemegang saham yang dirugikan juga dapat secara sendiri - sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas nama pribadipemegang saham terhadap Direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan direksi Perseroan yang merugikan pemegang saham. Bagi kreditor yang digugat adalah tanggung jawab sepenuhnya atas setiap ketidak benaran informasi yang disampaikan oleh Perseroan terhadap pihak ketiga, yang mengakibatkan terjadinya kerugian pada harta kekayaan Perseroan sehingga tidak cukup membayar kewajiban Perseroan terhadap pihak ketiga. Ketentuan selanjutnya yang diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa : "Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ". Pada dasarnya ketentuan tersebut merupakan kelanjutan dari dua ayat sebelumnya dalam Pasal yang sama. Dalam ketentuan pasal 97 ayat (3) UUPT ini, yang ditekankan adalah akibat dari tindakan atau perbuatan direksi yang salah karena disengaja ataupun lalai untuk berbuat, bertindak, atau mengambil keputusan secara itikad baik, Dalam hal tersebut, direksi bertanggung jawab penuh terhadap kerugian Perseroan. pasal 1131 KUHPer berlaku bagi harta kekayaan anggota direksi yang bersangkutan. Selanjutnya Pasal 97 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa : "Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi " Pasal 97 ayat (4) UUPT menegaskan mengenai tanggung jawab kolegial dari direksi sebagai satu dewan, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UUPT. 47 Tanggung jawab secara renteng direksi sebagai satu kesatuan adalah tanggung jawab bersama secara kolektif yang berlaku bagi seluruh anggota direksi. Dengan diberiannya tanggung jawab kolegial ini, dimaksudkan agar sesama anggota direksi: a. Dilakukan keterbukaan atau tranparansi, atau disclosure sesama anggota direksi, mengenai setiap tindakan dan atau perbuatan hukum yang hendak diambil atau telah diambil oleh satu atau lebih masing - masing anggota direksi atas hal - hal yang berada dalam kewenangannya, demikian pula kepemilikan saham yang dimiliki anggota direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain agar dalam daftar khusus. b. Dilakukan check and balance tentang kegiatan, tindakan atau keputusan yang menghendaki agar sedapat mungkin atau seyogyanya diambil berdasarkan pada keputusan rapat direksi. Dengan pertanggung jawaban secara tanggung renteng ini diharapkan dapat terjadi saling mengawasi di antara sesama anggota direksi Perseroan atas setiap perbuatan, tindakan atau keputusan direksi Perseroan dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap fiduciary duty, yang menyebabkan tidak berlakunya business judgment rule. Ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT menggambarkan dengan jelas makna dari itikad baik (good faith) dan prinsip kehati - hatian (due care) dalam business judgment rule bagi setiap anggota direksi. Setiap pembuktian yang secara tegas dan jelas menyatakan bahwa direksi telah melanggar fiduciary duty atau telah melakukan kelalaian berat (gross negligence), kecurangan (fraud), hal - hal yang didalamnya memiliki unsur atau menerbitkan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan yang melanggar hukum (illegality), maka prinsip business judgment rule tidak lagi melindungi direksi secara keseluruhan. Dengan aturan pasal 97 (4) UUPT, tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab renteng bagi seluruh anggota direksi. Jadi bagi anggota direksi yang ingin lepas dari tanggung jawab renteng tersebut maka ia harus dapat membuktikan sebaliknya, bahwa : a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati - hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan 48 d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Rumusan Pasal 97 ayat (5) UUPT ini secara tidak langsung memberikan beban pembuktian pada pihak yang menyatakan bahwa direksi tidak berhak atas perlindungan business judgment rule. dengan demikian berarti seorang yang hendak menggugat direksi harus membuktikan : a. Kesalahan atau kelalaian telah dilakukan oleh direksi; b. Direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati hatian; c. Mempunyai benturan kepentingan atau sesama anggota direksi dan atau keluarganya baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; d. Direksi tidak telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Berhasilnya pembuktian tersebut membawa akibat bahwa seluruh anggota direksi menjadi bertanggung jawab renteng atas seluruh kewajiban sebagai akibat kerugian yang disebabkan oleh keputusan direksi yang bersangkutan. Dengan demikian jelaslah bahwa ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT merupakan pasal pamungkas bagi anggota direksi untuk dibebaskan dari kewajiban tanggung jawab renteng yang dibebankan dalam pasal 97 ayat (4) UUPT. Pasal 97 ayat (6) UUPT mengatur mengenai hak gugatan derivative terhadap direksi sebagai satu dewan. Perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tidak dapat dibaca lepas dari ketentuan Pasal 114 ayat (6) UUPT mengenai hal yang sama namun berlaku bagi dewan komisaris. Jadi dalam hal ini jelaslah bahwa oleh karena tidak ada yang dapat mewakili perseroan untuk menggugat direksi dan dewan komisaris secara bersama - sama, maka kepada pemegang saham ini haruslah diberikan hak turunan yang dinamakan hak derivative. Menurut ketentuan Pasal 114 ayat (6) UUPT ini, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, atas nama perseroan, dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Ketentuan Pasal 97 ayat (7) UUPT menyatakan bahwa "ketentuan ayat 49 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota direksi lain dan/atau anggota dewan komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan'. Jelas merupakan refleksi bahwa yang seharusnya mewakili Perseroan adalah anggota direksi yang tidak melakukan pelanggaran terhadap fiduciary duty direksi. 2. Pertanggungjawaban Perdata Direksi Perseroan Jika Perseroan sudah mendapatkan predikat sebagai badan hukum, maka Perseroan diakui sebagai subjek hukum mandiri. Jika demikian halnya, maka timbul pertanyaan apakah suatu Perseroan dapat dimintai pertanggungjawaban, bukankah Perseroan sesuatu yang abstrak? Maksud dari abstrak adalah yang tampak keluar hanya para pengurus Perseroan. Apabila demikian halnya, maka siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, apakah para pengurus Perseroan? Untuk dapat menjawab permasalahan ini, ada beberapa teori yang membahas tentang keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Salah satu di antaranya adalah teori organ yang mengemukakan bahwa Perseroan diwakili oleh organ (manajemennya). Hal ini berarti pertanggungjawaban Perseroan dapat dituntut kepada Direksi yang sehariharinya mengelola Perseroan. Namun hal yang perlu ditekankan disini bahwa secara teknis yuridis yang tetap diminta bertanggung jawab adalah Perseroan sebagai badan hukum, walaupun nanti dalam praktiknya Perseroan akan diwakili oleh Direksi. Sedangkan pemilik perusahaan atau pemegang saham mempunyai tanggung jawab sebesar modal yang dimasukkannya. Seperti yang dikemukakan oleh R. Soekar dono, bahwa tiap-tiap Peseroan hanya bertanggung jawab sebatas modal yang dimasukkannya kedalam Perseroan. Pemegang saham dapat dimintai pertanggung jawaban sepanjang pemegang saham memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT: a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; 50 b. Pemegang saham yang bersangkutan langsung maupun tidak langsung, dengan itikad buruk me ma nfaat kan Perseroa n sem at a-ma ta unt uk kepentingan pribadi; c. Pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan huk um yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaaan Perseroan yang mengakibatkan kekayaan Perser oan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Mangingat adanya pembatasan tanggung jawab dari para pemegang saham, maka sebagai salah satu syarat pendirian Perseroan harus ada modal yang telah dicantumkan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Untuk itulah, mengapa sebelum suatu Perseroan berdiri secara resmi, akta pendirian dan anggaran dasar Perseroan tersebut harus diperiksa terlebih dahulu oleh Menteri Hukum d an HAM. (Lihat Pasal 7, 8, 9 UUPT). Pada dasarnya bahwa tindakan Direksi dapat menjadi tanggung jawab Perseroan sepanjang perbuatan tersebut sesuai dengan wewenangnya yang tercantum dalam anggaran dasar Perseroan, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan Perseroan. Pada umumnya, dalam anggaran dasar Perseroan telah dijabarkan wewenang dan tugas Direksi dan bahkan dalam perbuatan hukum tertentu, harus ada persetujuan dari Dewan Komisaris. Oleh karena itu, Direksi sebagai wakil Perseroan pada dasarnya mendapat kuasa dari Perseroan itu sendiri. Jadi, dalam hal ini berlaku asas menjalankan kuasa yakni tidak boleh melampaui apa yang diberikan kepadanya. Jika Direksi melakukan tindakan diluar batas wewenangnya, maka Direksi pula yang har us mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pribadi. (Lihat Pasal 97 UUPT). Dalam memahami pertanggungjawa ban D ireks i s ecara hukum perdata, perlu pula dipaha mi arti perbuatan melanggar hukum atau melawan hukum secara perdata ( onrechtmatigedaad ) terkait dalam pengelolaan Perseroan. Setiap anggota Direksi perlu memahami sifat, arti dan akibat perbuatan 51 melanggar hukum serta hal-hal lainnya yang terkait dengan pengertian perbuatan melanggar hukum itu sendiri. Untuk memahami sifat dan arti perbuatan melanggar hukum, ada baiknya terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan “hukum” itu sendiri. Namun walaupun begitu, pembahasan terhadap apakah “hukum” itu sampai sekarang masih menyisakan pertentangan diantara para ahli hukum. Hingga saat ini pendapat tentang perlunya suatu definisi hukum mas ih dipertentangkan. Sebahagian menyatakan bahwa definisi tentang hukum diperlukan, terutama bagi yang baru mempelajari hukum, setidak-tidaknya merupakan suatu pegangan pendahuluan untuk mempelajari lebih lanjut. Dengan perumusan hukum, dapat diketahui apa yang dimaksud dengan hukum itu sehingga dapat dihindari perbuatan yang melanggar atau sering disebut melawan hukum. Adanya definisi hukum, akan membantu yang baru mempelajari hukum menunjukkan jalan, ke arah mana harus berjalan. Sajipto Raharjo 109 melihat hukum sebagai perwujudan dari : 1) nilai-nilai tertentu; 2) norma- norma abstrak dan 3) alat yang dipakai untuk mengatur masyarakat. Pertanggungjawaban hukum berdasarkan ketentuan pasal 1365 dan juga p asal 1366 KUHPerdata adalah berdasarkan titik tolak perbuatan atas perbuatan sendiri, namun selain itu, masih ada pertanggungjawaban selain atas perbuatan sendiri juga karena perbuatan orang lain yang melanggar hukum. Hal ini diatur dalam pasal 1367 KUHPerdata yang menyatakan : Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk ke rugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya". Ketentuan ini sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pengganti ( vicarious liability ) . Undang-Undang dapat menentukan vicarious liability, jika ada terjadi hal-hal yaitu: seorang dapat dipertanggungjawabkan a tas perbuatan- 52 perbuatan yang dilakukan orang lain, apabila seseorang itu mendelegasikan kewenangannya menurut Undang-Undang kepada orang lain. Dalam hal ini diperlukan suatu syarat atau prinsip tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle ). Pengangkatan anggota Direksi melahirkan hubungan hukum,melahirkan hak dan kewajiban. Pelanggaran terhadap “kewajiban” seperti inilah yang kemudian menimbulkan “hak” menuntut. Hal ini tentu identikdengan prinsip pertanggung jawaban hukum yang selalu terkait dengan perbuatan hukum, baik perbuatan sendiri maupun perbuatan orang lain yang berada di bawah tanggung jawabnya. Oleh karena itu Direksi bukan saja bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, tetapi dapat juga bertanggung jawab atas perbuatan yang kuasanya atau bawahannya yang melanggar hukum. Secara umum prinsip pertanggung jawaban perdata muncul karena adanya kerugian bagi satu pihak akibat perbuatan pihak lain. Kerugian yang dimaksud dalam hal ini adalah yang sejalan dengan pengertian Pasal 1246 KUHPerdata yaitu: 1) Berupa biaya, yaitu segala dana pengeluaran atau ongkosongkos yang secara fakt uil telah dikeluarkan; 2) Berupa kerugian, yaitu segala kerugian akibat kerusakan barang-barang milik kreditur yang disebabkan kelalaian debitur; 3) Berupa bunga, yaitu segala keuntungan yang h ar us menjadi hak kreditur Jika debitur tidak melakukan suatu kelalaian. Pembahasan terhadap hukum perdata ini menunjukkan bahwa semua persetujuan-persetujuan yang dibuat secara sah, baik secara tegas dicantumkan maupun yang tidak tegas namun karena menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang berlaku mengikat ( binding ) dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Demikian juga dengan pengelolaan Perseroan oleh Direksi, wajib dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Prinsip ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan : Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak 53 dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Demikian juga pada Pasal 1339 yang menyatakan : Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Dalam hukum perdata, selain ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang telah diuraikan di atas, jika dalam pelaksanaan tugasnya anggota Direksi melakukan pelanggaran hukum, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan : Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan kar ena perbuatannya, tetapi juga dapat yang disebabkan karena kelalaiannya atau karena kekur ang hati-hatiannya. Oleh karena itu prinsip pengelolaan Perseroan yang diatur secara normative dalam UUPT Nomor 40 tahun 2007, bila dilanggar dapat dimintakan pertanggung 112 jawaban secara hukum perdata. Pertanggung jawaban secara perdata oleh Direksi ini adalah sebagai akibat dari pengelolaan Perseroan yang salah, atau telah melakukan pelanggaran dan melanggar prinsip itikad baik yang mengakibatkan kerugian. Dengan demikian prinsip pertanggungjawaban secara hukum perdata terhadap Direksi dalam pengelolaan Perseroan adalah dengan prinsip pertanggungjawaban hukum untuk mengganti kerugian atas perbuatan melanggar atau melawan hukum. 54 3. Pertanggungjawaban Pidana Direksi Perseroan Didalam Pasal 155 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 disebutkan bahwa, ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana. Hal ini berarti bahwa, organ-organ Perseroan seperti Direksi dan Dewan Komisaris dapat dikenai sanksi pidana apabila Direksi dan Dewan Komisaris tersebut melakukan pelanggaran pidana dalam hal melakukan pengurusan maupun pengawasan terhadap Perseroan. Ketentuan pidana mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tersebar dalam beberapa ketentuan, yakni pasal 226 dan 396 sampai pasal 403 KUHP. Ketentuan pidana dalam KUHP tersebut berkaitan dengan pelaksanaan pemberesan harta pailit lebih lanjut dalam hal status pailit sudah diputuskan oleh hakim (pasal 226, pasal 396, pasal 400 sampai Pasal 402 KUHP) serta penyebab adanya kepailitan (Pasal 396, 397, 398, 399, 403 KUHP). Pengaturan pidana dalam KUHP yang berkaitan dengan kepailitan berkaitan dengan perbuatan-perbuatan sebagai berikut: 1) Tidak mau hadir atau tidak memberikan/memberikan keterangan yang menyesatkan dalam proses pemberesan pailit (Pasal 226 KUHP); 2) Perbuatan debitur pailit yang merugikan kreditur (Pasal 396 KUHP); 3) Perbuatan debitur yang memindahtangankan harta sehingga merugikan para kreditor dan menyebabkan pailit (Pasal 397 KUHP); 4) Perbuatan Direksi atau Dewan Komisaris Perseroan yang menyebabkan kerugian Perseroan baik sebelum atau setelah pailit (Pasal 398 dan 399 KUHP); 5) Perbuatan menipu oleh debitur pailit kepada para kreditur (Pasal 400 KUHP); 6) Kesepakatan curang antara debitur pailit dengan kreditur dalam rangka penawaran perdamaian kepailitan (Pasal 401 KUHP); 55 7) Tindakan debitur pailit yang mengurangi hak-hak kreditur (Pasal 402 KUHP); 8) Perbuatan Direksi Perseroan Terbatas yang bertentangan dengan anggaran dasar (Pasal 403 KUHP). Apabila yang pailit adalah Perseroan, maka ketentuan pidana akan dikenakan pada Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan bahkan pemegang saham pun tidak b isa lep as dari k etentuan pidan a. Jika debitur pailit adalah Perseroan, maka yang bisa dijerat oleh ketentuan Pasal 398 dan 399 KUHP adalah Direktur maupun Komisarisnya, jika mereka melakukan: a. Turut serta atau memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang melanggar anggaran dasar Perseroan dan perbuatan-perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian berat sehingga Perseroan jatuh pailit. b. Turut serta dalam atau memberi persetujuan atas pinjaman dengan persyaratan yang memberatkan dengan maksud menunda kepailitan Perseroan. c. Lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana itu diwajibkan oleh UUPT dan anggaran dasar Perseroan. Meskipun dalam Pasal 396, Pasal 397, dan Pasal 403 KUHP mengatur mengenai penyebab adanya kepailitan dapat dipidana, namun hal itu harus memenuhi kriteria pidananya, yakni dalam hal pasal 396 KUHP (bangkrut sederhana): 1. Pengeluaran melewati batas kehidupan sehari-hari/terlalu boros; atau 2. Meminjam uang/modal dengan bunga yang tinggi padahal diketahui bahwa hal itu tidak menolong kepailitannya; atau 3. Tidak dapat memperlihatkan secara utuh tanpa perubahan-perubahan (coretan- coretan atau tulisan-tulisan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 KUHD Sedangkan dalam hal kepailitan terjadi karena kecurangan dalam pasal 397 KUHP, yakni: 56 1. Ada tiga macam perbuatan: Mengarang perbuatan yang tidak pernah ada Tidak membukukan suatu pendapatan Menyisihkan atau menarik suatu barang dari budel 2. Tindakan melepas suatu barang dari budel, secara cuma-cuma atau dengan terang-terangan di bawah harga 3. Tindakan berupa apa saja, menguntungkan salah seorang kreditur 4. Tindakan berupa penyimpangan dari ketentuan Pasal 6 KUHD. Hal ini berarti bahwa suatu kepailitan bukanlah sebuah kriminalitas, meskipun nantinya dalam proses kepailitan akan dimungkinkan adanya kejahatan kepailitan. Kepailitan adalah berkaitan dengan proses pemberesan harta kekayaan debitur untuk membayar uatang-utangnya. Dengan demikian subjek hukum yang telah dinyatakan pailit tidak sama dengan bahwa la telah melakukan sebuah tindakan kriminal. Untuk dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana harus memenuhi unsur-unsurdan kriteria sebagaimana yang diatur dalam KUHP tersebut di atas. B. Contoh Kasus Kasus Sarijaya Kasus Sarijaya Sekuritas berawal dari tindakan Presiden Komisaris Utama dan pemiliknya, Herman Ramly yang secara ilegal menggunakan dana milik 8.700 nasabahnya. Dana sebesar Rp 240 miliar tersebut dia pergunakan untuk membeli saham dan memberi pinjaman dana melalui 17 rekening baru yang fiktif. Modus yang dilakukannya adalah menggunakan dana nasabah yang seharusnya dibelikan saham sesuai instruksi nasabah dan dicatat oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia, sebagai dana pribadi. Pemilik Sarijaya Sekuritas lalu menggunakan dana para nasabahnya untuk melakukan transaksi pribadi. Sebagai tindak lanjut penyelesaian kasus penggelapan dana nasabah Sarijaya Sekuritas. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) menyatakan bersalah dan dicekal terhadap seluruh direksi Sarijaya. 57 Direksi Sarijaya ikut bertanggungjawab dalam kasus penggelapan dana nasabah oleh Komisaris Utama. Alasan ditetapkannya status cekal serta meminta tanggung jawab direksi dalam kasus ini,adalah karena direksi mengizinkan komisaris meminjam uang para nasabah perusahaan tersebut. 58 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Tanggung Jawab Direksi Yang Melakukan Tindakan Melawan Hukum 1) Tanggung direksi berdasarkan prinsip fiduciary duty Seorang direksi dalam suatu perusahaan merupakan seseorang yang dipercaya dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik untuk dan atas nama perseroan. Seorang anggota direksi memiliki tugas fiduciary duties dalam perseroan yang terbit secara hukum akibat adanya suatu hubungan fiduciary antara seorang direksi dan perusahaan. Hal ini menempatkan direksi sebagai trustee, sehingga dituntut untuk memiliki kepedulian dan kemampuan, itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya. Berdasarkan prinsip ini, seorang anggota direksi memiliki tanggung jawab yang sangat tinggi. Tidak hanya dia bertanggung jawab atas ketidakjujuran yang disengaja, tetapi dia bertanggung juga secara hukum terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perusahaan. Prinsip Fiduciary duty membebankan tanggung jawab kepada direksi dalam menjalankan tugasnya, agar : Dilakukan dengan itikad baik Dilakukan dengan proper purpose Dilakukan tidak dengan kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Tidak memiliki benturan tugas dan kepentingan. Seorang direksi dikatakan telah melakukan tugasnya dengan baik, jika anggota direksi tersebut telah melakukan tugas pengurusan dan perwakilan seperti yang diamanatkan, semaksimal mungkin mengerahkan segala pengetahuan dan kemampuannya secara reasonable. Direksi harus bersungguh-sungguh memperhatikan kepentingan perusahaan, pemegang saham, para pekerja. Juga 59 dalam menjalankan tugasnya tidak boleh melanggar hukum, anggaran dasar, dan kepentingan umum. 2) Tanggung jawab berdasarkan prinsip ultra vires Prinsip ultra vires, merupaka sebuah doktrin yang mengatur akibat hukum bilamana terjadi suatu tindakan perseroan yang melampaui batas kewenangan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar. Meskipun dalam sejarah hukum secara universal terlihat trend yang semakin mengendorkan diberlakukan berlakunya di banyak prinsip ultra Negara, vires, termasuk tetapi juga prinsip ini masih Indonesia. Istilahultra vires diterapkan dalam arti yang luas, yakni termasuk tidak hanya kegiatan yang dilarang oleh anggaran dasar, tetapi juga termasuk tindakan yang tidak dilarang, tetapi melampaui yang diberikan kepadanya. Suatu perbuatan hukum dipandang berada diluar maksud dan tujuan perseroan manakala memenuhi salah satu kriteria; Perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh anggaran dasar. Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan akan menunjang kegiatan-kegiatan yang disebut dalam anggaran dasar. Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat diartikan sebagai menunjang kepentingan perseroan terbatas. UU Perseroan Terbatas menempatkan maksud dan tujuan perseroan pada posisi yang sangat sentral dalam anggaran dasar. Perubahan maksud dan tujuan dalam anggaran dasar harus disetujui oleh RUPS sesuai dengan ketentuan perundan-undangan yang berlaku. Di samping itu, perubahan maksud dan tujuan dalam anggaran tersebut haruslah mendapat persetujuan oleh Menteri Kehakiman, didaftarkan dalam daftar perusahaan dan diumumkan dalam berita negara. Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan yang diatur dengan Undang-Undang dan maksud dan tujuan yang telah ditentukan dalam anggaran dasar perseroan. Setiap tindakan dari direksi yang diluar wewenangnya tidak mengikat perseroan. 60 Prinsip ultra vires bertujuan untuk melindungi investor atau para pemegang saham dari tindakan direksi yang diluar wewenang atau kemudian untuk memperoleh ganti rugi. Tindakan ultra vires menyebabkan perbuatan tersebut menjadi tidak sah dan batal demi hukum, dan jika ada pihak yang dirugikan, maka pihak direksilah yang mesti bertanggung jawab secara pribadi. 3) Tanggung jawab pribadi direksi Seorang anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan jika : Bersalah dalam menjalankan tugasnya; Lalai menjalankan tugasnya Tugas pengurusan dan perwakilan yang dilakukan direksi secara tidak bertanggung jawab dan tanpa itikad baik akan mengakibatkan direksi bertangguh jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang terjadi. Dalam menjalankan tugas pengurusan perseroan, wajib dilakukan dengan itikad baik yang meliputi aspek : Wajib dipercaya, selamanya dapat dipercaya dan selamanya harus jujur; Wajib melaksanakan pengurusan untuk tujuan yang wajar atau layak (proper purpose); Wajib menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty or duty obedience); Wajib loyal terhadap perseroan (loyality duty), tidak menggunakan kekayaan perseroan untuk kepentingan pribadi; Wajib menghindari terjadinya benturan kepentingan pribadi dengan kepentingan perseroan. Tidak mengambil atau menahan keuntungan perseroan demi keuntungan pribadi, tidak bersaing dengan perseroan. Jika anggota direksi lalai melaksanakan kewajiban itu atau melanggar apa yang dilarang atas pengurusan itu, dan kelalaian atau pelanggaran itu menimbulkan kerugian terhadap perseroan, maka anggota direksi itu, bertanggung jawab penuh secara pribadi (persoonlijk, personally liable) atas kerugian perseroan tersebut. 4) Tangung jawab secara tanggung renteng anggota direksi 61 Pasal 97 ayat (4) menentukan, dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi. Penegakkan penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng dalam hukum perseroan Indonesia, baru dikenal dalam UU Perseran Terbatas 2007. Sebelumnya baik pada KUHD dan UUPT 1995, yang ditegakkan adalah prinsip tanggung jawab pribadi yang digantungkan kepada faktor siapa pelaku yang melakukan kesalahn, kelalaian, atau pelanggaran itu. Berdasarkan ketentuan ini, apabila salah seorang anggota direksi lalai atau melanggar kewajibannya atau tidak menjalankannya dengan itikad baik sehingga menimbulkan kerugian, maka setiap anggota direksi secara bersama-sama bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. Meskipun, anggota direksi lain tidak ikut melakukan tindakan yang dimaksud, mereka tetap ikut bertanggung jawab atas kerugian perusahaan secara tanggung renteng. Artinya, hukum menganggap semua anggota direksi bertanggung jawab renteng (personally and/or jointly), yaitu secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama atas seluruh kerugian pihak lain, tanggung jawab mana berlaku atas segala perbuatan yang dilakukan oleh direksi untuk dan atas nama perseroan, meskipun anggota direksi tersebut tidak ikut melakukan bahkan tidak mengetahui adanya tindakan tersebut. B. Saran Fungsi Fit and Proper Test Menyadari begitu besarnya peran direksi di dalam menentukan keberhasilan perseroan, UU ini juga secara umum mengatur syarat-syarat untuk menjadi Direktur yang dapat dilihat pada pasal 93. Bahkan untuk Perbankan, Bank Indonesia mengaturnya lebih ketat di dalam aturan tersendiri. Tanggung jawab Direktur diatur dengan azas kolegial, independen dan tanggung renteng. Sehingga di dalam menjalankan tugasnya mereka dituntut untuk profesional, independen baik terhadap pihak di luar perseroan maupun di dalam perseroan termasuk terhadap direktur lainnya, serta memiliki tanggung jawab yang sama 62 dihadapan hukum. Di sisi lain, kerja sama di antara Direktur didalam mengelola perseroan tetap dibutuhkan. Oleh karenanya proses fit and proper test mutlak harus dilakukan sebelum direktur diangkat. Proses fit and proper test harus dilakukan oleh lembaga yang berkompeten, pakar yang ahli di bidangnya serta dilaksanakan secara jujur dan independen. Dengan proses ini akan dapat dinilai tingkat kompetensi, integritas dan team work direksi. Sedangkan untuk menguji apakah calon Direksi tersebut dapat bekerjasama dalam satu tim (board), maka dapat dinilai melalui beberapa faktor seperti visi, rencana kerja, cara pandang dan pemikiran oleh masing-masing calon. Caloncalon Direktur yang memiliki kesamaan, kesejalanan atau saling bersinergi, pada faktor-faktor tersebut adalah mereka yang bisa bekerjasama. Dengan cara ini, maka indepedensi masing-masing direktur dapat dijaga sejak dini. Sedangkan untuk memilih direktur utama harus dipilih calon yang memiliki kemampuan leadership yang paling kuat karena di dalam UU PT ini, peran direktur utama bukan lagi sebagai pimpinan mutlak tetapi lebih berperan sebagai koordinator Direksi. 63 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Griya Media, 2011. Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Forum Sahabat, 2008. Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, 2008. Disertai dengan Ulasan Menurut UU No. 40 Thn. 2007 dan Peraturan lain terkait perseroan. Gunawan Widjaja, 2008. Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung : PT. Alumni, 1991. Brata, Samadi Surya, Metodologi Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998. Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004. Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, buku ketiga, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Made, Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta : Andi, 2006. Muhammad, Abdulkadir,Hukum Perseroan Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti,2002. Muhammad Suwarsono, Strategi Penyehatan Perusahaan: Generik dan Kontekstual,Yogyakarta : Ekonisia, 2001. Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000. Rasjidi, Lili,Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Bandung : Remaja Rosdakarya,1998. Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahan Tentang Perseroan Terbatas, Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2006. Sawir, Agnes,Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan, Jakarta :Gramedia Pustaka Utama, 2004. Simanungkalit Parasian, Rapat Umum Pemegang Saham Kaitannya dengan Tanggung Jawab Direksi Pada Perseroan Terbatas, Jakarta : Yayasan Wajar Hidup, 2006. Usman, Rachmadi,Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung : PT.Alumni, 2004. 64 B. Internet, Proposal Amirudin, Badriyah Rifai, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governance di Tubuh Perusahaan Publik” http://researchengines.com/badriyahamirudin.html Kasim, Umar,Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan atau Likuidasi, http://helmilaw-helmi.blogspot.com/2008/07/ tanggung-jawab-krporasi-dalam-hal.html Mulyana, Iman,Good Corporate Governance, http://id.shvoong.com/business-management/management/1658624good-corporate-governance/. Remy Sjandeini, Sutan,Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris. Jurnal Hukum Bisnis Volume 14, Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001. C. Undang-Undang Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas. 65