proposal penelitian

advertisement
PROPOSAL PENELITIAN
TANGGUNG JAWAB DIREKSI YANG MELAKUKAN
TINDAKAN MELAWAN HUKUM
Diajukan Dalam Rangka memenuhi Tugas Akhir Metode Penelitian Hukum
Oleh :
LIA KUMALA DEWI
NIM :
12.2008.0034
Program Studi :
Hukum Bisnis
Fakultas Hukum
Universitas Islam Assyafiiyah
2011
PROPOSAL PENELITIAN
0
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim.
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur Penulis panjatkan kepada ALLAH SWT
atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Proposal Metode
Penelitian Hukum ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Karya ilmiah dalam bentuk proposal ini merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, sehingga penulis harus
melengkapi syarat tersebut dengan proposal yang berjudul :
“Tanggung Jawab Direksi Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum ”
Dalam penulisan ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, oleh
karnanya Penulis sangat berterima kasih. Rasa terima kasih tersebut secara
khusus Penulis sampaikan kepada dosen pembimbing dan penguji yaitu : Bapak
Slamet Rahardjo,SH, atas segala bimbingan, koreksi dan perbaikan yang
diberikan guna penyempurnaan penulisan ini.
Lia Kumala Dewi
: Tanggung Jawab Direksi Yang Melakukan Perbuatan
Melawan Hukum, 2011
1
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR………………………………………………………………………..….1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..…2
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………..……4
A. Latar Berlakang………………………………………………..…….4
B. Perumusan Masalah………………………………………….……11
C. Tujuan Penelitian……………………………………………..…….11
D. Manfaat Penelitian…………………………………………..……..12
E. Tinjauan Teoritis/Kepustakaan…………………………….….…..12
F. Metode Penelitian…………………………………………….….…18
G. Sistematika Penulisan……………………………………….….…21
BAB II
TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN……………..……..23
A. Tanggung Jawab Direksi berdasarkan Ketentuan UUPT
Nomor 40 Tahun 2007…………………………………..……..…23
1. Tanggung Jawab Renteng Antar Sesama
Anggota Direksi……………………………………..…...…25
.
2. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menyelenggarakan
RUPS……………………………………………………..…27
3. Tanggung Jawab Direksi Kepada Pemegang Saham…31
.
4. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menjalankan CSR….…33
B. Tanggung Jawab Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan…...34
1. Standar Kehati – hatian Dalam Pengelolaan Perseroan
Oleh Direksi……………………………………………….…36
2. Prinsip Pengelolaan Perseroan Yang Baik (GCG)….…..40
2
BAB III
TANGGUNG
JAWAB
DIREKSI
YANG
MELAKUKAN
TINDAKAN MELAWAN HUKUM……………………………….…43
A. Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule Menurut
UU No. 40 tahun 2007................................................................43
1. Berlakunya Fiduciary Duty dan Judgment Rule bagi Direksi....44
2. Pertanggung Jawaban Perdata Direksi Perseroan...................50
3. Pertanggung Jawaban Pidana Direksi Perseroan.....................55
B.Contoh Kasus Sarijaya.................................................................57
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................59
A.Kesimpulan...................................................................................59
B. Saran...........................................................................................62
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................64
3
TANGGUNG JAWAB DIREKSI YANG MELAKUKAN
TINDAKAN MELAWAN HUKUM
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Undang-Undang No 40 tahun 2007, yang selanjutnya disebut dengan
Undang-Undang PT, adalah peraturan yang mengatur tentang Perseroan
Terbatas (PT). Di dalamnya banyak hal yang diatur kembali yang berbeda
dengan peraturan sebelumnya yaitu UU No.1 tahun 1995.
Sebelum membahas kepada pokok persoalan Direksi, maka perlu kita fahami
dahulu apa itu Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas, menurut UU No.40
tahun 2007 pasal satu ayat (1), adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan
pelaksanaannya. Sebagai badan hukum, dia memiliki status, kedudukan dan
kewenangan yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut
sebagai artificial person. Oleh karenanya perseroan terbatas ini merupakan
subjek hukum yang menyandang hak dan/ atau kewajiban yang diakui oleh
hukum.
Sebagai artificial person, PT juga memiliki organ, sebagaimana layaknya
manusia. Hanya saja organ PT cuma ada tiga, yaitu Rapat Umum Pemegang
Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Tulisan ini hanya di fokuskan pada
Direksi, yang menurut UU PT didefinisikan sebagai organ Perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
4
Direksi adalah salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan
Perseroan, disebut cukup penting, karena Direksilah yang mengendalikan
perusahaan dan kegiatan sehari – hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika
masyarakat awam berpandangan posisi Direksi dalam suatu perusahaan
acapkali di identikan dengan pemilik perusahaan. Pandangan yang demikian
tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan, terlebih lagi dalam Perseroan tertutup
dimana pemegang sahamnya didominasi oleh kalangan keluarga, hampir dapat
dipastikan yang duduk diposisi Direksi pun adalah dari kalangan perusahaan
sendiri.
Akan tetapi dalam peta bisnis modern posisi Direksi tidak selamanya
dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para professional di
bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara professional,
kemungkinan terjadinya konflik dalam mengelola perusahaan dapat dicegah
sedini mungkin.
Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui
mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham untuk menjadi organ Perseroan
yang akan bekerja untuk kepentingan Perseroan, serta kepentingan seluruh
Pemegang Saham yang mengangkat dan mempercayakan sebagai satu –
satunya organ yang mengurus dan mengelola Perseroan. Setelah Rapat Umum
Pemegang Saham menyetujui pengangkatan Direksi Perseroan, maka seluruh
Pemegang Saham tidak lagi berhubungan dengan Direksi Perseroan, dan oleh
karena itu maka Direksi tidak dapat mempergunakan kepercayan yang diberikan
kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan
kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas, meskipun tindakan
yang dilakukannya tersebut baik bagi Perseroan, menurut pertimbangannya.
Dalam hubungan hukum, di satu sisi Direksi diperlakukan sebagai penerima
kuasa
dari
Perseroan
untuk
menjalankan
Perseroan
sesuai
dengan
kepentingannya untuk mencapai tujuan Perseroan sebagaimana telah digariskan
5
dalam anggaran dasar Perseroan, dan disisi lain diperlakukan sebagai karyawan
Perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu perjanjian
perburuhan yang mana berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melakukan
sesuatu
yang
tidak
atau
bukan
menjadi
tugasnya.
Disinilah
sifat
pertanggungjawaban renteng dan pertanggungjawaban pribadi Direksi sangat
relevan, dalam hal ini Direksi melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah
Perseroan, untuk kepentingan Perseroan.
Keberadaan Direksi dalam suatu Perseroan merupakan suatu keharusan,
atau dengan kata lain Perseroan wajib memiliki Direksi, karena Perseroan
sebagai artifical person tidak dapat berbuat apa – apa tanpa adanya bantuan
dari anggota Direksi sebagai natural person. Direksi dan Perseroan Terbatas
ibarat nyawa bagi Perseroan. Tidak mungkin suatu Perseroan tanpa adanya
Direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada Direksi tanpa adanya Perseroan. Oleh
karena itu keberadaan Direksi bagi Perseroan sangat penting. Sekalipun
Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah
dengan Direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa Perseroan
dianggap seakan – akan sebagai subyek hukum, sama seperti manusia.
Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya Perseroan
untuk kepentingan dan tujuan Perseroan. Didalam menjalankan tugasnya
tersebut, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekwensi
bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap
dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan Perseroan, sepanjang mereka
bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran dasar Perseroan,
selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar Perseroan,
maka Perseroanlah yang akan menanggung akibat dari perbuatan Direksi
tersebut. Sedangkan bagi tindakan – tindakan Direksi yang merugikan
Perseroan, yang dilakukan diluar batas dan kewenangan yang diberikan
kepadanya oleh anggaran dasar, dapat tidak diakui oleh perusahaan. Dengan ini
6
berarti Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya diluar
batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar Perseroan.
Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap Perseroan tersebut, Direksi
tidak hanya bertanggung jawab terhadap Perseroan dan para pemegang saham
Perseroan, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan
hukum dan terkait dengan Perseroan, baik langsung maupun tidak langsung
dengan Perseroan.
Oleh karena itu seorang Direksi harus bertindak Hati - hati dalam melakukan
tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang
Direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan
(duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam
hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk dimintai
pertanggung jawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang
dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.
Fiduciary duty dari seorang Direksi dalam hal ini adalah tugas yang terbit
secara hukum (by the opration of law) dari suatu hubungan fiduciary antara
Direksi dan Perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan Direksi
berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang
Direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill),
itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaan dengan derajad yang
tinggi.
Karena kedudukannya yang bersifat fiduciary, yang dalam Undang – Undang
Perseroan Terbatas sampai batas - batas tertentu diakui, maka tanggung jawab
Direksi menjadi sangat tinggi. Tidak hanya bertanggung jawab atas ketidak
jujuran yang disengaja (dishonestly), tetapi ia bertanggung jawab juga secara
hukum terhadap tindakan missmanagement, kelalaian, gagal, atau tidak
melakukan perbuatan yang penting bagi Perseroan.
7
Pelanggaran terhadap fiduciary duty, sebagaimana halnya pelanggaran –
pelanggaran hukum lainnya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk
dan atas namanya melakukan gugatan terhadap pihak yang menerbitkan
kerugian tersebut. Terjadi tidaknya pelanggaran terhadap fiduciary duty oleh
Direksi dalam suatu Perseroan diukur dengan mempergunakan business
judgment rule.
Dalam
perkembangannya
penerapan
prinsip
fiduciary
duty
telah
menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil
keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk
mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya
persaingan usaha. Permasalahannya timbul ketika keputusan bisnis yang
diambilnya
ternyata
merugikan
perusahaan,
padahal
dalam
mengambil
keputusan tersebut Direksi melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik.
Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka muncul teori
business judgment rule yang merupakan salah satu teori yang sangat populer
untuk menjamin kedilan bagi para Direksi sebuah Perseroan Terbatas dalam
melakukan keputusan bisnis.
Dalam ilmu hukum, teori business judgment rule diartikan sebagai aplikasi
spesifik dari standar tingkah laku Direksi pada sebuah situasi dimana setelah
pemeriksaan secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi
menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur, dan secara
rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata – mata untuk
kepentingan Perusahaan. Oleh karena itu penting bagi Direksi untuk menjamin
telah melakukan hal – hal yang sesuai dengan standard dan prosedur yang
terdapat dalam perusahaannya sebelum mengambil sebuah keputusan bisnis.
Dengan demikian, sebenarnya inti dari pemberlakuan teori business
judgment rule ini adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus
8
menghormati putusan bisnis yang diambil oleh orang – orang yang memang
mengerti dan berpengalaman dibidang bisnisnya, terutama sekali terhadap
masalah – masalah bisnis yang kompleks. Karena itu, kepada mereka patut
diberikan diskresi yang besar. Mereka yang berpengalaman dan mempunyai
pengetahuan tentang bisnis tentunya adalah pihak Direksi.
Oleh karenanya didalam menjalankan usaha Perseroan, sekurang –
kurangnya ada 3(tiga) kepentingan yang harus diperhatikan oleh Direksi
Perseroan, yaitu :
a. Kepentingan Perseroan.
b. Kepentingan pemegang saham Perseroan khususnya pemegang saham
minoritas.
c. Kepentingan pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan Perseroan,
khususnya kepentingan dari para kreditur Perseroan.
Pada mulanya, dalam keadaan normal, Direksi bertindak untuk kepentingan
Perseroan. Dalam konteks yang demikian berarti, jika terjadi kerugian pada harta
kekayaan Perseroan, yang disebabkan oleh tindakan Direksi yang salah, lalai
atau mempunyai benturan kepentingan atau perbuatan melawan hukum, maka
Peseroan adalah satu – satunya pihak yang berhak untuk menuntut kerugian
tersebut. Oleh karena harta kekayaan Perseroan juga adalah harta kekayaan
pemegang saham, maka undang – undang memberi hak derivative (derivative
action) kepada pemegang saham Perseroan yang mewakili paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat
mengajukan gugatan, atas nama Perseroan, melalui pengadilan negeri terhadap
anggota Direksi yang karena kesalahannya atau kelalaiannya menimbulkan
kerugian pada Perseroan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah kepentingan
pemegang saham minoritas, maka hak tersebut diberikan kepada individu
pemegang saham.
9
Menyadari begitu besarnya peran direksi di dalam menentukan keberhasilan
perseroan, UU ini juga secara umum mengatur syarat-syarat untuk menjadi
Direktur yang dapat dilihat pada pasal 93. Bahkan untuk Perbankan, Bank
Indonesia mengaturnya lebih ketat di dalam aturan tersendiri. Tanggung jawab
Direktur
diatur dengan azas kolegial, independen dan tanggung renteng.
Sehingga di dalam menjalankan tugasnya mereka dituntut untuk profesional,
independen baik terhadap pihak di luar perseroan maupun di dalam perseroan
termasuk terhadap direktur lainnya, serta memiliki tanggung jawab yang sama
dihadapan hukum. Di sisi lain, kerja sama di antara Direktur didalam mengelola
perseroan tetap dibutuhkan. Oleh karenanya proses fit and proper test mutlak
harus dilakukan sebelum direktur diangkat. Proses fit and proper test harus
dilakukan oleh lembaga yang berkompeten, pakar yang ahli di bidangnya serta
dilaksanakan secara jujur dan independen. Dengan proses ini akan dapat dinilai
tingkat kompetensi, integritas dan team work direksi.
Sedangkan untuk menguji apakah calon Direksi tersebut dapat bekerjasama
dalam satu tim (board), maka dapat dinilai melalui beberapa faktor seperti visi,
rencana kerja, cara pandang dan pemikiran oleh masing-masing calon. Caloncalon Direktur yang memiliki kesamaan, kesejalanan atau saling bersinergi,
pada faktor-faktor tersebut adalah mereka yang bisa bekerjasama. Dengan cara
ini, maka indepedensi masing-masing direktur dapat dijaga sejak dini.
Sedangkan untuk memilih direktur utama harus dipilih calon yang memiliki
kemampuan leadership yang paling kuat karena di dalam UU PT ini, peran
direktur utama bukan lagi sebagai pimpinan mutlak tetapi lebih berperan sebagai
koordinator Direksi.
Berdasarkan pada pokok-pokok pikiran di atas, maka dalam rangka
memenuhi tugas akhir mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum (MPH) penulis
bermaksud melakukan penelitian dengan judul :
10
TANGGUNG JAWAB DIREKSI YANG MELAKUKAN
TINDAKAN MELAWAN HUKUM
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan pada latar belakang di atas,
maka pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana tanggung jawab direksi
yang melakukan tindakan melawan hukum?
Pokok masalah tersebut dapat diperinci dalam beberapa sub pokok
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan tanggung jawab direksi dalam peraturan
perundang - undangan ?
2. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab direksi di perusahaan?
3. Bagaimana penegakan hukum terhadap direksi yang melakukan
perbuatan melawan hukum ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Sejalan dengan perumusan masalah tersebut di atas, pokok tujuan
penelitian ini adalah
untuk mengetahui tanggung jawab direksi yang
melakukan tindakan melawan hukum
Adapun sub pokok tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan tanggung jawab direksi dalam peraturan
perundang – undangan.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan tanggung jawab direksi di perusahaan.
3. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap direksi yang melakukan
perbuatan melawan hukum.
4.
11
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pihak yang
berkepentingan, antara lain :
1. Bagi setiap orang yang merupakan anggota direksi perseroan, dewan
komisaris dan pemegang saham, agar lebih profesional dan berhati –
hati dalam melakukan pengurusan perseroan.
2. Bagi para pihak yang terkait dengan penanggulangan penyalah gunaan
wewenang oleh direksi dalam mengambil kebijakan /keputusan oleh
komisaris maupun RUPS.
3. Bagi fakultas hukum UIA, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam
rangka pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu hukum perusahaan.
E. TINJAUAN TEORITIS/KEPUSTAKAAN
1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran - pemikiran
teoritis oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan
kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisa dan kontruksi data. Teori
menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukan
masalah penelitian yang telah merumuskan didalam kerangka teoritis yang
relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.
Teori hukum mengatakan jika pemegang hak dan kewajiban adalah
manusia, berarti yang dibicarakan oleh tradisional adalah orang secara fisik (
physical persona), dan apabila pemegang hak dan kewajiban itu entitas lain,
berarti yang dibicarakan teori tradisional itu adalah badan hukum ( juristic
person) beberapa teori pertanggung jawaban badan hukum yang mampu
menjawab permasalahan ini antara lain adalah:
Teori Fiduciary Duty
Teori ini di Indonesia masih relatif baru berkembang sehingga diperlukan
pengembangan dan aplikasi yang tepat dalam sistem hukum Indonesia. Prinsip
direksi sebagai pemegang amanah karena sumber kewenangan direksi berasal
dari trust atau fiducia, tetapi amanah yang diemban direksi perseroan adalah
12
amanah perseroan dan bukan amanah dari pemegang saham yang hendak
menciptakan direksi boneka. Pemikiran ini berakibatkan perlunya kualifikasi
tertentu dari direksi, baik syarat menjadi direksi atau prosedur pemilihannya,
dalam opini demikian maka direksi seakan -akan mirip dengan profesional.
Undang-Undang Perseroan Terbatas mensyaratkan bahwa anggota direksi
haruslah orang perseroan, ini berarti dalam sistem hukum perseroan Indonesia
tidak dikenal adanya pengurus perseroan dari badan hukum perseroan lainnya,
maupun oleh badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum selanjutnya
orang perseroan tersebut adalah mereka yang cakap untuk bertindak dalam
hukum, tidak pernah menyatakan pailit oleh pengadilan, maupun menjadi
anggota direksi atau dewan komisaris perseron lain yang pernah dinyatakan
bersalah menyebabkan kepailitan perseroan tersebut, dan belum pernah
dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung penggangkatannya. Setiap anggota
sireksi yang bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dalam melakukan
kepengurusan perseroan untuk kepentingan dari usaha
perseroan akan
bertanggung jawab penuh secara pribadi untuk seluruh harta kekayaannya.
Dalam menjalankan tugasnya mengurus perseroan, direksi tidak boleh menerima
manfaat dalam dirinya sendiri. Berarti bahwa kepentingan perseroan harus
didahulukan. Tanggung jawab mengurus perseroan yang dibebankan kepada
direksi dilimpahkan kepada karyawannya atas dasar kuasa dari direksi, berarti
tidak mungkin ada karyawan tanpa adanya direksi dan tidak mungkin direksi
dapat menjalankan tugasnya tanpa ada karyawan. Oleh karna itu antara direksi
dan karyawan mempunyai hubungan fiducia, yang saling membutuhkan antara
satu dengan yang lain.
Dalam teori tentang perseroan terbatas mengenai kewajiban direksi
perseroan, dianut pendapat bahwa direksi perseroan memiliki 2 (dua) macam
kewajiban, yaitu kewajiban berdasarkan Statutory Duties dan kewajiban
berdasarkan Fiduciary Duty.
Kewajiban direksi perseroan berdasarkan Statutory Duties adalah suatu
kewajiban dari direksi yang secara tegas dinyatakan dalam dinyatakan dalam
perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan. Sedangkan kewajiban
direksi perseroan berdasarkan Fiduciary Duty adalah suatu kepercayaan yang
diberikan dari pihak perseroan kepada direksi untuk menjalankan tugasnya
dengan itikad baik dan loyalitas yang tinggi.
Philiph Lipton dan Abraham Herzberg membagi Fiduciary Duty kedalam:
a. Duty to Act Bona Fide in the interes of the Company
13
Kewajiban Direksi untuk melakukan kepengurusan perseroan hanya untuk
kepentinagan perseroan semata-mata untuk menentukan sampai seberapa jauh
suatu tindakan yang diambil oleh direksi perseroan telah dilakukan untuk
kepentingan perseroan, maka hal tersebut harus dipulangkan kembali kepada
direksi perseroan.direksi perseroan harus mengetahui dan memiliki penilaian
sendiri tentang tindakan yang menurut pertimbangannyaadalah sesuatu yang
harus atau tidak dilakukan untuk kepentingan perseroan.
b. Duty to Exercise Power for Proper Purposes
Kewajiban Direksi untuk mengelola harta kekayaan Perseroan, karena
Direksi sebagai organ dalam Perseroan yang diberikan hak dan wewenang untuk
bertindak, untuk dan atas nama Perseroan serta bagi kepentingan Perseroan.
Hal ini membawa konsekwensi bahwa jalannya Perseroan, termasuk
pengelolaan harta kekayaan Perseroan bergantung sepenuhnya pada Direksi
Perseroan. Sebagai orang kepercayaan Perseroan, yang diangkat oleh Rapat
Umum Pemegang saham untuk kepentingan para pemegang saham secara
keseluruhan, Direksi diharapkan dapat bertindak adil dalam memberikan manfaat
yang optimum bagi pemegang saham.
c. Duty to retain discretion
Direksi, dalam undang- undang dan anggaran dasar dan kadang kala
melalui rapat umum pegang saham telah diberikan kewenangan fiduciary untuk
bertindak seluas-luasnya, namun demikian hal tersebut haruslah dilakukan dan
diselenggarakan untuk kepentingan Perseroan, dan oleh karena itu maka tidak
selayaknya jika Direksi kemudian melakukan pembatasan diri, atau membuat
suatu perjanjian yang akan mengekang kebebasan mereka untuk bertindak
untuk tujuan dan kepentingan perseroan. Pada saat perjanjian yang mengikat
tersebut dibuat dan ditandatangani Direksi sudah harus memiliki pandangan ,
sikap dan kepastian bahwa tindakan yang melakukan tersebut hanyalah
memberikan kepentingan perseroan semata-mata.
d. Duty to avoid conflict of interest
Kewajiban Direksi untuk menghindari diadakan, dibuat, atau
ditandatangani perjanjian, atau dilakukannya perbuatan yang menempatkan
direksi tersebut pada suatu keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk
bertindak secara wajar demi tujuan dan kepentingan perseroan. Kewajiban ini
bertujuan untuk mencengah Direksi secara tidak layak memperoleh keuntungan
dari perseroan, yang menggangkat dirinya menjadi Direksi, lebih jauh lagi
kewajiban ini sebenernya melarang dengan mencengah direksi untuk
kepentingan mereka sendiri, pada saat bersamaan mereka harus bertindak
mewakili untuk atas nama Perseroan. Sesungguhnya kewajiban tersebut bukan
14
untuk melakukan penghukuman atas terjadinya suatu tindakan yang
mengandung unsur benturan kepentingan, melainkan merupakan suatu bentuk
pencegahan sebelum suatu tindakan, perbuatan atau keputusan tersebut
dilaksanakan.
e. Duties of Care and Duties of Diligence
Direksi sebagai organ kepercayaan perseroan diharapkan dapat
menjalankan hingga memberikan keutungan bagi Perseroan. Direksi diberikan
fleksibelitas dalam bertindak melaksanakan fungsi kegiatan manajemen, dengan
mengambil resiko dan peluang masa depan. Ini berarti Direksi tidak hanya
semata-mata mengambil keputusan bagi jalannya usaha untuk kepentingan
Perseroan yang sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, namun demikian
Direksi juga berkewajiban un tuk melakukan` pengawasan atas seluruh jalannya
perseroan dengan baik. Secara historis, pada prinsipnya teori fiduciary duty
dalam ilmu hukum perusahaan dibebankan kepada Direksi. Karna itu banyak
argumentasi , pengaturan dan yudisprudensi yang telah dibuat untuk
bertanggung jawabkan direksi dalam hubungan dengan melaksanakan tugas
fiduciary berdasarkan hubungan fiduciary antara direksi dengan pelaksanaan
tugas fiduciary berdasarkan hubungan fiducyary antara direksi dengan perseroan
ini. Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian, prinsip fiduciary duty oleh
direksi ini sampai batas-batas tertentu dikembangkan dan diterapkan pula
terhadap beberapa pihak lain dalam perseroan, yaitu pihak pemegang saham
dan pekerjan di perusahan tersebut. Dengan demikian, yang harus diperhatikan
dari seorang direksi bukan hanya perusahaan yang dipimpinnya, melainkan juga
kepentingan pemegang saham dan kepentingan pekerja di perusahaan tersebut.
Dalam menjalankan kepengurusan dan perwakilan perseroan, Direksi
harus bertindak secara berhati- hati, patut atau sebaik-baiknya sesuai dengan
kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar. Seandainya dalam
pengurusan dan perwakilan perseroan tersebut Direksi melakukan perbuatan
atau tindakan yang melanggar batas kewenangan atau sesuatu ketentuan yang
telah ditetapkan dalan anggaran dasar, kepadanya dapat dimintai
pertangungjawaban secara pribadi oleh pihak ketiga, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama untuk seluruhnya. Perseroan tidak bertanggung jawab atas
perbutan Direksi yang melapaui wewenang yang diberikan anggaran dasar
kepadanya. Kerugian yang diderita pihak ketiga bukan menjadi tanggung jawab
perseron, melainkan menjadi tanggung jawab pribadi dari Direksi, tidak
bertanggung jawab secara pribadi kepada pihak ketiga, seandainya dapat
membuktikan bahwa Direksi telah menjalankan kepengurusan dan perwakilan
perseroan dengan sebaik-baiknya dengan batas wewenangan yang diberikan
anggaran dasar. Dalam keadaan demikian, Perseroanlah yang memikul
15
tanggung jawab atas segala akibat hukum dari perikatan Perseroan yang
dilakukanya dengan pihak ketiga dan direksi terbebas dari tanggung jawab
secara pribadi terhadap pihak ketiga yang telah melakukan perikatan dengan
perseroan.
Sebagai konsekuensi dari pemberlakukan teori Fiduciary Duty ini, maka
lahirlah teori business juddgement rule, teori ini berasal dari Amerika. Bertujuan
mencegah pengadilan- pengadilan di Amerika
untuk mempertanyakan
pengambilan keputusan usaha oleh Direksi , yang diambil dengan itikad baikk,
tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggung jawabkan
bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan
Perseroan.
Aturan business judgment rule didasarkan pada konsepsi bahwa Direksi
lebih tahu dari siapapun juga mengenai keadaan perusahaannya dan karenanya
landasan dari setiap keputusan yang diambil olehnya, Untuk itu maka Direksi
selama dan sepanjang dalam mengambil keputusan, Direksi tidak diperbolehkan
untuk melakukan tindakan yang memberikan manfaat pribadi atau tidak
mempunyai kepentingan pribadi dan telah melaksanakan prisip kehati-hatian
dengan itikad baik.
Doktrin business judgment rule ini berkaitan erat dengan doktrin fiduciary
duty. guna mengukur kepercayaan yang diberikan oleh perseron kepada Direksi,
berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka diberikan organ Perseroan yang
menjalankan kegiatan usaha sebagai mana maksud dan tujuan Perseroan,
Direksi tentu dihadapkan kepada resiko bisnis. Risiko itu terkadang berada
diluar kemampuan maksimal Direksi. Oleh karena itu, guna melindungi
ketindakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka
Direksi dilindungi oleh doctrine businnes judgment rule
Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya
dengan segala kekurangan, yang sering mengalami pencapaian atau harapan
dari prediksi yang dirancang. Seorang Direksi bagaimanapun tidak mungkin
selalu benar dalam menjalankan usahanya, karena kekeliruan adalah
kelengkapan manusia, Jadi sudah sepantasnya seorang Direksi Perseroan tidak
di generalisir untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil
keputusan tanpa mempertimbangkan unsur manusiawi. Doctrine businnes
judgment rule memberikan perlindungan kepada Direksi Perseroan atas
kemungkinan adanya keslahan yang diakibatkan oleh suatu keadaann yang
wajar dan manusiawi.
16
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi
dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi antara
abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan
abstaksi yang di genelisirkan dari hal-hal yang khusus defisi operasional.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya
merukan suatu pengarah , atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka
teoritis yang sering kali bersifat abstak, sehingga diperlukan definisi-definisi
operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.
Pentingnya definisi operasional bertujuan menghindari perbedaan salah
pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan
dalam penelitian ini harus dibuat beberapa defini konsep dasar sebagai acuan
agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapka, yaitu :
a.
Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan, baik di dalam maupun diluar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
b.
Tanggung Jawab Direksi adalah semua kewajiban yang harus dijalankan
Direksi sebagai wakil Perseroan yang dilakukan dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab, baik kepada Perseroan, Pemegang Saham
Perseroan, maupun kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum
langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan.
c.
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
mata uang Indonesia atau mata uang asing , baik secara langsung maupun
yang timbul dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atu undangundang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan
hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
debitur.
d.
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya tersebut Perseroan adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didikan berdasarkan
perjanjian , melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksaannya.
e.
Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.
17
f.
Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunsannaya dapat ditagih dimuka pengadilan.
g.
Business Judgment Rule adalah aturan yang diberikan kekebalan atau
perlindungan bagi manajemen bagi dari transaksi atau kegiatan yang
dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan
yang diberikan kepadanya, dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut
telah dilakukan dengan memperhatikan standar kehatian-hatian dan itikad
baik.
h.
Fiduciary Duty adalah suatu tugas dari seseorang yang disebutkan dengan
trustee yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee tersebut
dengan pihak lain yang disebut dengan beneficiary, dimana pihak
beneficiary memiliki kepercayaan yang tinggi kepada pihak trustee, dan
sebaliknya pihak trustee juga mempunyai kewajiban yang tinggi untuk
melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin , dengan itikad baik yang
tinggi, fair dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya atau
untuk mengelola harta/atau aset milik beneficiary dan untuk kepentingan
beneficiary, baik yang terbit dari hubungan hukum atau jabatannya selaku
trustee (secara teknikal) atau dari jabatan- jabatan lain seperti lawyer
dengan kliennya, perwakilan (guardian), executor, broker, kurator , pejabat
publik, atau Direksi dari suatu Perseroan .
i.
Trustee adalah pihak yang memegang sesuatu secara kepercayaan pihak
lain.
j.
Beneficiary adalah pihak yang memberikan kepercayaan kepada kepada
lain mengelola harta bendanyanya secara baik sesuai dengan kepercayaan
yang diberikan kepadanya.
F. METODE PENELITIAN
Penelitian hukum ini dilakukan melalui serangkaian langkah ilmiah yang
sistematis dan terukur. Adapu metode yang digunakan adalah sebagai
berikut :
1. Tipe Penelitian dan Pendekatan
a. Tipe penelitian
1. Penelitian
hukum
ini
tergolong
berdasarkan pada studi kepustakaan.
18
penelitian
normatif.
Karena
2. Berdasarkan tujuannya, penelitian hukum ini termasuk penelitian
problem
identification.
Cara
Identifikasi
digunakan
untuk
mengumpulkan data kepustakaan yang berupa arsip, dokumen
resmi,
data
pustaka
lainnya
yang
berkaitan
erat
dengan
permasalahan penelitian. Metode penelitian yang digunakan terbatas
pada indentifikasi isi (“content identification”). Maksud pemberian
identitas data terbatas pada substansi data yang bersangkutan
dikaitkan dengan kebijakan penal.
3. Berdasarkan tempat pengumpulan datanya penelitian ini termasuk
penelitan kepustkaan. Data pustaka (data sekunder) dianalisis
dengan pola pikir deduktif dan induktif secara kombinasi. Hasil akhir
pengolahan data dikualitatifkan. Selanjutnya dianalisis dengan
metode kualitatif-normatif, dalam hal ini dilakukan bahasan teoritik
ilmu hukum perusahaan, metoda penafsiran dalam ilmu hukum, serta
menginterpretasikan
data
berdasarkan
teori-teori
sebagaimana
tersebut dalam tinjauan pustaka, kaitannya dengan peraturan
perundang-undangan Perseroan Terbatas tentang Tugas dan
Tanggung Jawab Direksi.
4. Berdasarkan sifatnya peneltian ini termasuk penelitian deskriptif.
yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran
secara mendalam mengenai perumusan Tanggung Jawab Direksi
yang melakukan tindakan melawan hukum.
b. Pendekatan
Sesuai bidang penelitiannya, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum ini adalah pendekatan normatif/sosiologis karena
berdasarkan pada
pendekatannya : yuridis normatif (doctrinal legal
research) yang melalui studi kepustakaan dan analisis perundangundangan yang ada. Di sini melihat hukum diutamakan sebagai
peraturan hukum positif. Dalam hal ini UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Bersifa t deskriptif, yaitu suatu penelitian yang
19
bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai
perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya, dalam produk legistif
yakni UU No. 40 Tahun 2007. Materinya berupa peraturan-peraturan
hukum yang terkait dengan Perusahaan, dalam hal ini terutama
Tanggung Jawab Direksi.
2. Jenis dan Sumber Data
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji bahwa yang menjadi sumber
data utama dalam penelitian hukum normatif ini adalah data skunder, yaitu yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka yag terdiri dari :
1. hukum primer lainnya yang terkait.
2. Bahan hukum Skunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan.
Mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undan, karya-karya
akademik, baik yang berupa diskriptif, komentar-komentar dan
kritik
yang
berkaitan dengan penelitian.14 Bahwa sumber hukum skunder ini
kegunaannya menurut Burhan Ashshofa adalah :
a. Untuk dirujuk pertama – tama sebagai sumber materiil;
b. untuk meningkatkan mutu interprestasi atas hukum positif yang berlaku;
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum normatif seperti ini menurut Soerjono Soekanto dan
Sri Mamuji bahwa tehnik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi
perpustakaan (library research), yaitu dengan melakukan analisa
terhadap isi
buku-buku, literature, peraturan perundang-undangan, dokumen
serta tulisan-
tulisan lain yang berhubungan dengan obyek penelitian.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu Undang-undang Nomor
40
Tahun 2007 tentang Perseroan Tebatas, data elektronik dan lain sebagainya
yang berkaitan dengan penulisan ini.
20
Bahan Hukum tersier dalam penulisan ini adalah Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum.
4. Teknik Analisis Data
Tehnik analisa data terhadap data penelitian yang merupakan data
skunder menurut Setiono dilakukan dengan analisis secara kualitatif. Pola pikir
yang dipergunakan bersifat deduktif. Setelah seluruh bahan penelitian hukum
terkumpul, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data berdasarkan
logika deduksi. Kemudian menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum
ke arah yang bersifat khusus. Dalam penelitian ini analisa
dilakukan terhadap
pasal-pasal dalam undang-undang Perseroan Terbatas, untuk memperoleh
suatu kesimpulan dari penulisan penelitian ini.
Diharapkan melaui penelitian ini dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas lagi,
mengenai bagaimana pertanggung jawaban Direksi Perseroan sehingga
nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang asaa – asas hukum atau kaedah
– kaedah hukum guna penyempurnaan ataupun penyesuaian pengaturan
mengenai tanggung jawab Direksi yang melakukan tindakan melawan hukum.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Pendahuluan (dari Proposal)
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Tinjauan Teoritis/Kepustakaan
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
21
BAB II TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN
A. Tanggung Jawab Direksi berdasarkan Ketentuan UUPT Nomor
40 Tahun 2007
1. Tanggung Jawab Renteng Antar Sesama Anggota Direksi
2. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menyelenggarakan RUPS
3. Tanggung Jawab Direksi Kepada Pemegang Saham
4. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menjalankan CSR
B. Tanggung Jawab Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan
1. Berlakunya fiduciary duty dan Judgment rule bagi Direksi
2. Standar Kehati – hatian Dalam Pengelolaan Perseroan Oleh
Direksi
3. Prinsip Pengelolaan Perseroan Yang Baik (GCG)
BAB III
TANGGUNG
JAWAB
DIREKSI
TINDAKAN MELAWAN HUKUM
YANG
MELAKUKAN
A. Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule Menurut UU No. 40
tahun 2007
1. Pertanggung Jawaban Perdata Direksi Perseroan
2. Pertanggung Jawaban Pidana Direksi Perseroan
B.Contoh Kasus Sarijaya
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
22
BAB II
TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN
A. Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Ketentuan UUPT Nomor 40
Tahun 2007
Sebagai organ Perseroan, Direksi bertanggung jawab penuh kegiatan
pengurus Perseroan untuk kepentingan dan dalam mencapai tujuan Perseroan,
serta mewakili Perseroan dalam melakukan tindakannya, baik di dalam maupun
di luar pengadilan .
Pasal 92 Undang - Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas menunjukan bahwa, apa yang menjadi "kepentingan Perseroan" dan
apa yang menjadi “maksud dan tujuan Perseroan” adalah mengandung syarat
“kumulatif mutlak”. Artinya jika yang dilakukan oleh anggota Direksi itu hanya
dengan alasan kepentingan Perseroan namun bertetangan dengan maksud dan
tujuan Perseroan atau sebaliknya , maka tindakan tersebut adalah bertentangan
dengan Pasal 92 UUPT Nomor 40 tahun 2007.
Undang - Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007 telah
membuat batasan yaitu pengurusan itu adalah untuk “kepentingan” Perseroan
dan harus “sesuai dengan maksud dan tujuan” Perseroan anggota Direksi harus
mengelola Perseroan untuk kepentingan Perseroan, bukan untuk kepentingan
pribadi. Tidak dibenarkan anggota Direksi mengejar keuntungan untuk diri
sendiri. Oleh karena itu, untuk memahami konsep pengurusan Perseroan oleh
Direksi, harus dipahami apa yang menjadi "kepentingan Perseroan” dan apa
pula yang menjadi "maksud dan tujuan Perseroan”.
Kepentingan Perseroan sebenarnya adalah kepentingan bisnis yang
berorientasi kepada keinginan mendapatkan keuntungan, dalam hal ini berarti
pengelolaan harta kekayaan Perseroan dimaksudkan adalah untuk mendapatkan
keuntungan demi kepentingan Perseroan, namun walaupun begitu harus sesuai
23
dengan maksud dan tujuan Perseroan yang dicantumkan dalam anggaran dasar
Perseroan.
Dalam
melaksanakan
pengelolaan
Perseroan,
Direksi
harus
mengarahkan pengeloaan tersebut agar tetap sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan. Konsep tugas yang harus dijalankan Direksi dalam hal ini adalah
sesuai ketentuan Pasal 92 UUPT Nomor 40 tahun 2007. Pada sisi lain sebagai
efek samping pengelolaannya Perseroan, yang menimbulkan kerugian pada
Perseroan, tidak terlepas dari pertanggung jawaban Direksi. Begitu juga dengan
persoalan mengenai tanggung jawab Direksi tentu tidak terlepas
dari
penyelenggaraan tugasnya. Demikian satu selalu terkait dengan dengan yang
lain, penciptaan Norma pada satu pihak mencerminkan pelaksanaan Norma itu
pada pihak yang lain. ketentuan yuridis tentang "pengaturan" tugas pengelolaan
Perseroan oleh Direksi telah diatur dalm ketentuan Pasal 92 UUPT Nomor 40
2007, sedangkan pengaturan “tanggung jawab” Direksi diatur pada ketentuan
Pasal 97 UUPT Nomor 40 tahun 2007.
Adapun rumusan lengkap dari Pasal 97 UUPT NOMOR 40 tahun 2007
dimaksud adalah sebagai berikut di bawah ini:
(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan atas pengurusan
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1),
wajib
dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab.
(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi
atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Direksi terdiri dari 2 ( dua) anggota Direksi atau lebih
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku
secara tanggung rentang bagi setiap anggota Direksi.
(5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan :
24
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalainya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatianuntukn kepentingan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan
kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau
berlanjutnya kerugian terse but.
(6) Atas nama Perseroan, Pemegang Saham yang mewakili sedikitnya
1/10 ( satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan
hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri
terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalainya
menimbulkan kerugian pada Perseroan;
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi
hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk
mengajukan gugatan atas nama Perseroan.
Dari pengkajian terhadap ketentuan Pasal 97 ini, terlihat bagaimana
sebenarnya konsep tugas dan tanggung jawab anggota Direksi yang diinginkan
oleh UUPT Nomor 40 tahun 2007, adapun pertanggung jawabannya yang
terdapat di dalam Undang - Undang Perseroan Terbatas tersebut , diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Tanggung Jawab Renteng Antar Sesama Anggota Direksi
UUPT Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menganut
prinsip persumi bersalah (presuption of guilt) untuk pertanggung jawaban Direksi,
bagi setiap anggota direksi. Artinya hukum semua anggota Direksi bertanggung
jawab renteng (personal and / or jointly) yaitu secara sendiri-sendiri dan atau
bersama-sama atas seluruh kerugian pihak lain, tanggung jawab mana berlaku
25
atas segala perbuatan yang dilakukan oleh Direksi untuk dan atas nama
Perseroan, meskipun anggota Direksi tersebut tidak ikut melakukan bahkan tidak
mengetahui adanya tindakan tersebut. Jadi dalam hal ini direksi dilihat secara
keseluruhan dalam satu kesatuan meskipun dalam kenyataannya tindakan
tersebut hanya dilakukan oleh seorang Direksi saja. Karena hal tersebut bersifat
“presumsi” bersalah, maka ini berarti masih terbuka kemungkinan bagi seorang
atau lebih anggota Direksi untuk membuktikan bahwa dia sebenarnya tidak
bersalah, Pembuktian tidak tersebut misalnya dalam hal sebagai berikut :
1.
Seorang anggota Direksi sengaja dikucilkan oleh pihak anggota Direksi
yang lain.
2.
Seorang Direksi tidak diberikan informasi yang cukup oleh Direksi yang
lain.
3.
Seorang Direksi diberikan informasi keliru oleh Direksi yang lain.
4.
Bagaimana jika seorang tidak setuju dengan tindakan tersebut, tetapi dia
kalah dalam voting suara rapat Direksi? Karena informasi kepadanya cukup
diberikan, hal ini mestinya belum bisa menghilangkan tanggung jawab nya
dan selayaknya ikut menanggung risiko dari tindakan tersebut. Hanya saja
tanggung jawabnya menjadi lebih ringan dibandingkan dengan tanggung
jawab anggota Direksi lain yang menyetujui tindakan tersebut dalam rapat
Direksi. Jika anggota Direksi yang tidak setuju dengan tindakan tersebut,
agar bisa mengelak dari tanggung jawab dari tindakan Direksi yang
membawa kerugian bagi pihak perusahaan atau bagi pihak lain , maka dia
dipersilahkan untuk mengundurkan diri sebagai Direksi perusahaan
tersebut.
Dengan ketentuan tanggung jawab renteng tersebut , maka setiap
anggota Direksi diharapkan menjadi "controller" satu terhadap yang lainnya,
namun demikian dalam prakteknya, fungsi control melalui mekanisme chek and
balance sulit dilakukan. Untuk itu maka diperlukan pembagian tugas dan
wewenang serta tanggung jawab yang jelas. Dengan adanya pembagian
tersebut, maka masalah pembuktian anggota Direksi yang sebenarnya harus
26
bertanggung jawab atas tindakannya yang merugikan kepentingan Perseroan
menjadi lebih mudah,
Dalam hampir setiap rumusan pertanggung jawaban Direksi, setiap
anggota Direksi selalu dihadapkan pada pertanggung jawaban renteng diantara
sesama mereka, kecuali mereka dapat membuktikan bahwa pertanggung
jawaban yang dibebankan tersebut adalah diluar kesalahan dan kealalaiannya.
Rumusan- rumusan yang diberikan dalam UUPT tersebut bertujuan untuk
menegaskan kembali fungsi Direksi sebagai suatu organ (dan bukan masingmasing pribadi anggota Direksi) yang berkewajiban untuk dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
Perseroan, meskipun
masing-masing anggota Direksi berwenang untuk
bertindak mewakili untuk dan atas nama Perseroan baik diluar maupun di dalam
pengadilan. Dengan pertanggung jawabkan renteng ini diharapkan dapat terjadi
saling mengawasi diantara sesama anggota Direksi Perseroan atas setiap
perbuatan Direksi yang dapat merugikan, baik Perseroan, Pemegang Saham
Perseroan, maupun pihak ketiga yang beritikad baik. Meskipun UUPT
memberikan ketentuan berupa sanksi perdata yang sangat berat kepada setiap
anggota Direksi Perseroan atas setiap kesalahan atau kelalaiannya, namun
pelaksanaan pemberian sanksi itu sendiri sebenarnya tidak perlu terlalu
dikhawatirkan, sesama anggota Direksi yang bersangkutan bertindak sesuai
dengan dan tidak menyimpang dari aturan main yang telah ditetapkan dalam
anggaran dasar Perseroan , dan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Para Pemegang Saham Perseroan maupun pihak ketiga yang merasa dirugikan
oleh tindakan Direksi harus dapat membuktikan apakah memang benar kerugian
tersebut terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaian Direksi.
2. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menyelenggarakan RUPS
Perseroan adalah artificial person, sesuatu yang fiksi , yang diciptakan
oleh hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berusaha yang
bertransaksi. Perseroan tidak mungkin memiliki kehendak , dan karenanya juga
27
tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. Untuk membantu Perseroan dalam
melaksanakan tugasnya dibentuknya organ-organ, secara teroritis ini disebut
dengan organtheory. Untuk itu maka dikenal adanya tiga organ Perseroan
Terbatas , yaitu:
1. Direksi;
2. Dewan Komisaris; dan
3. Rapat umum Pemegang Saham (RUPS).
Ketiga organ tersebut dalam Perseroan tidak ada yang paling tinggi , masingmasing melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan diperintahkan oleh
Undang - Undang, dalam hal ini Undang - Undang Nomor. 40 tahun 2007. Dari
ketiga organ tersebut Direksi merupakan satu-satunya organ dalam Perseroan
yang melaksanakan fungsi pengurus Perseroan di bawah pengawasan Dewan
Komisaris. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan untuk
kepentingan, dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan baik di dalam
maupun di luar pengadilan. Dewan komisaris melakukan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat kepada Direksi, bila perlu. Sedangkan Rapat Umum
Pemegang Saham hanya melaksanakan seluruh tugas dan fungsi Perseroan
yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Dewan Komisaris.
Selain organtheory , dikenal juga teori-teori lainnya, seperti teori tentang
perwakilan yang menyatakan bahwa badan hukum bertindak melalui suatu
sistem perwakilan yang ada pada tangan para pengurusnya (dalam hal ini direksi
di bawah pengawasan Dewan Komisaris).
Seperti telah disinggung di atas , organ Perseroan Terbatas terdiri dari :
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang terdiri dari :
a. RUPS tahunan (RUPST/ RUT) dan
b. RUPS luar biasa ( RUPLSB/ RULB);
RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi , video
konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan
semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung
serta berpastisipasi dalam rapat. Selain itu dimungkinkan juga bagi
28
seluruh Pemegang Saham untuk mengambil keputusan yang mengikat
tanpa melalui Rapat umum Pemegang Saham, dengan hak suara
menyetujui
secara
tertulis
dengan
menandatangani
usul
yang
bersangkutan dalam bentuk resolusi Pemegang Saham pengganti Rapat
Umum Pemegang Saham.
2. Dewan Komisaris (Board of Commissioners)
3. Direksi (Board of Directors)
Rapat umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ Perseroan yang
mewakili kepentingan seluruh Pemegang Saham dalam Perseroan tersebut.
Rapat umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ Perseroan yang mewakili
kewenangan sisa yang tidak diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris.
RUPS mewakili kehendak dari Pemegang Saham secara keseluruhan, baik
sebagai akibat putusan dengan musyawarah maupun putusan hasil pemungutan
suara yang sesuai dan sejalan dengan ketentuan Undang - Undang Perseroan
Terbatas dan atau anggaran dasar. Keputusan RUPS tersebut berlaku sebagai
aturan internal bagi Perseroan. Dalam hal keputusan tersebut kemudian disetujui
oleh/diberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM, didaftarkan dalam Daftar
Perseroan, serta diumumkan dalam Berita Negara, maka putusan tersebut
mengikat pihak ketiga/masyarakat luas. Asas publisitas berlaku dalam hal yang
disebutkan terakhir.
Jadi RUPS tidak mewakili kepentingan dari hanya satu atau lebih
Pemegang Saham, melainkan seluruh Pemegang Saham Perseroan. Pemegang
Saham adalah subjek hukum yang merupakan pemilik dari setiap lembar saham
yang dikeluarkan oleh Perseroan. Pemegang Saham bukanlah organ Perseroan
dan karenanya setiap tindakan Pemegang Saham, yang dilakukan secara
individuil tidaklah mengikat para Pemegang Saham lainnya. Dalam setiap forum,
RUPS hanya dapat membicarakan agenda yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam hal yang demikian, maka Pemegang Saham berhak memperoleh
29
keterangan yang berkaitan dengan perseroan dari Direksi dan/atau Dewan
Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak
bertentangan dengan kepentimgan Perseroan. Hal tersebut juga secara tidak
langsung
membawa konsekuensi hukum bahwa, RUPS tidak berhak untuk
membicarakan apalagi mengambil putusan dalam mata acara lain-lain, kecuali
semua Pemegang Saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS tersebut
menyetujui penambahan mata acara rapat. Dengan demikian berarti keputusan
atas mata acara rapat yang ditambahkan harus menyetujui dengan suara bulat.
Tujuan dilaksanakan RUPS pada Perseroan adalah untuk menyetujui
mengesahkan, mengambil keputusan ataupun menolak mengenai pertanggung
jawaban Direksi, laporan keuangan yang disampaikan Direksi, rancangan
rencana kerja pengurus untuk satu tahun kerja berikutnya, rencana penambahan
modal, pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan
Komisaris, rencana penjualan aset dan pemberian jaminan hutang sebagian
besar atau seluruh kekayaan Perseroan, rencana penggabungan, peleburan dan
pengambil alihan Perseroan. Keberadaan RUPS sebagai organ Perseroan yang
mempunyai kekuasaan tertinggi pada Perseroan yang mempunyai peranan yang
penting, dimana keberadaan RUPS merupakan suatu wadah untuk menentukan
operasional dari Perseroan. Kehendak Pemegang Saham bersama-sama
dijelmakan dalam suatu keputusan yang dianggap sebagai kehendak Perseroan,
yang tidak dapat ditentang oleh siapapun dalam Perseroan, kecuali jika
keputusan itu bertentangan dengan dimaksud dan tujuan Perseroan dan hal ini
telah sesuai dengan tugas dan wewenang RUPS sebagaimana diatur dalam
UUPT dan anggaran dasar Perseroan.
Adapun tanggung jawab Direksi dalam kaitannya RUPS pada Perseroan
adalah merupakan sebagian tugas dan wewenang Direksi terhadap Perseroan,
dimana Direksi kewajiban dan bertanggung jawab kepada RUPS untuk
,memberikan laporan pertanggung jawaban mengenai segala pelaksanaan tugas
dan wewenangnya terhadap Perseroan, membuat risalah RUPS, melaksanakan
pemanggilan dan penyelenggaraan RUPS tahunan untuk menyempaikan
laporan
pertanggung
jawaban,
menyelenggarakan
30
RUPS
lainnya
untuk
kepentingan Perseroan, menjalankan semua keputusan RUPS yang telah
disahkan, memberitahukan hasil keputusan RUPS kepada para Pemegang
Saham, meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan
jaminan utang, seluruh atau sebagainya kekayan Perseroan, perubahan
anggaran dasar, penambahan modal Perseroan, penggabungan, peleburan,
pengambil alihan dan pembubaran Perseroan. Pelaksaan tugas Direksi untuk
menjalankan Perseroan berdasarkan pada rencana kerja yang telah disusun dan
disahkan pada RUPS sesuai dengan peraturan perundang – undangan dan
anggaran dasar adalah merupakan tanggung jawab kedalam dari Direksi yg
mewakili dan menjalankan Perseroan bersama-sama pengurus dan karyawan
Perseroan, yang akan diminta kembali pertanggung jawaban pada akhir tahun
buku berikutnya. Keputusan RUPS merupakan acuan dari pelaksanaan tugas
Direksi, ini merupakan hubungan antara keputusan atau hasil RUPS dengan
pelaksanaan tugas Direksi.
3. Tanggung Jawab Direksi Kepada Pemegang Saham
Karateristik dari suatu Perseroan Terbatas adalah adanya pemisahan
antara pemilikan (saham) dalam Perseroan dan pengurusan Perseroan
Terbatas. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pengembangan Good
Corporate Governance. Makin tidak terlibat pemegang saham dengan kegiatan
operasional Perseroan, makin tinggi nilai Good Corporate Governance bagi
suatu Perseroan Terbatas, namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa
pemegang saham tetap menginginkan kontrol atau pengawasan terhadap
jalannya Perseroan. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa dalam suatu
Perseroan Terbatas, pendiri atau pemegang saham, dewasa ini seringkali tidak
lagi menjadi pengurus atau pengelola dari Perseroan yang didirikan.
Dalam hal yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa para pendiri atau pemegang
saham tersebut memerlukan jaminan dan kepastian bahwa harta kekayaan
mereka pribadi tidak akan diganggu gugat sehubungan dengan kegiatan usaha
yang diselenggarakan atau dilaksanakan oleh Perseroan Terbatas tersebut.
31
Dalam konteks yang demikian pertanggungjawaban terbatas pendiri atau
pemegang saham menjadi penting artinya. Pendiri atau pemegang saham hanya
akan menanggung kerugian yang tidak lebih dari bagian penyertaan yang telah
disetujuinya untuk diambil bagian, guna penyelenggaraan dan pengelolaan
jalannya Perseroan dengan baik. Keperluan adanya tanggung jawab terbatas
bagi harta kekayaan pribadi pendiri atau pemegang saham, memberikan
manfaat kepada pemegang saham bahwa tidak setiap kegiatan dari pengurus
Perseroan Terbatas memerlukan pengetahuan atau bahkan persetujuan dari
pendiri atau pemegang saham. Konteks ini pada akhirnya mengurangi peran
pemegang saham dalam keterlibatannya terhadap kegiatan operasional
Perseroan, bahkan juga untuk melakukan pengawasan secara terus menerus
dan dari waktu ke waktu terhadap jalannya kegiatan pengelolaan Perseroan
secara langsung. Peran pemegang saham ini kemudian disederhanakan menjadi
peran yang diletakkan dalam suatu Rapat Umum Pemegang Saham pada setiap
tahunnya dalam bentuk Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. Dalam hal
tertentu, yang diperkirakan membawa akibat pengaruh finansial atau kebijakan
yang luas dan besar bagi Perseroan, keterlibatan pemegang saham dapat juga
dimintakan, yang terwujud dalam bentuk penyelenggaraan Rapat Umum Luar
Biasa Pemegang Saham.
Hal tersebut di atas, disadari atau tidak, pada akhimya memberikan
kebebasan kepada pengurus Perseroan untuk mengelola Perseroan dan
mencari keuntungan bagi Perseroan, dengan tetap berpedoman pada maksud
dan tujuan serta untuk kepentingan Perseroan. Hal ini jugalah yang nantinya
mendasari kebijakan bagi lahirnya prinsip business judgment rule yang
memberikan perlindungan bagi setiap keputusan usaha atau bisnis yang diambil
oleh Direksi yang telah dilakukannya dengan penuh kehati-hatian, dengan itikad
baik sesuai dengan maksud dan tujuan serta untuk kepentingan Perseroan.
Sebagai bagian dari upaya untuk tetap mempertahankan konsep bahwa
pendiri atau pemegang saham tetap dapat melakukan monitoring atau
pengawasan atau bahkan penentuan kebijakan pengurusan Perseroan sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan, kepada para pendiri atau pemegang sa
32
ham ini kemudian diberikanlah saham-saham
yang merefleksikan sampai
seberapa jauh pemegang saham tersebut dapat melakukan monitoring atau
pengawasan atau bahkan penentuan kebijakan pengurusan Perseroan sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
Makin besar jumlah saham yang dimiliki, makin besar kewenangan yang
dimilikinya dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
4. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menjalankan CSR
Sebagai sebuah konsep yang baru dimasukkan kedalam Undang Undang
Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pemerintah diharapkan tidak
salah dalam menafsirkan konsep CSR ini. Kontroversi yang terjadi dikalangan
pengusaha sejak diwajibkannya pelaksanaan CSR bagi sebuah Perseroan
adalah
karena
ketidakpahaman
sejumlah
kalangan
pengusaha
dalam
mengartikan CSR dan adanya ketakutan bahwa pemerintah juga salah tafsir
sehingga pada akhirnya perusahaan akan dirugikan melalui kewajiban
pelaksanaan CSR ini. Salah satu hal yang terutama
dikhawatirkan adalah
bahwa CSR ini menjadi philanthropy dengan bagian persentase yang dikaitkan
dengan pengeluaran ( spending ) Dengan tanpa memperhatikan keuntungan (
profit ) dan atau kesanggupan Perseroan, khususnya terkait dengan likuiditas
dana yang tersedia. jika ini yang terjadi maka CSR akan menjadi bencana besar
bagi dunia usaha dan masyarakat konsumen. CSR yang demikian tidak hanya
merugikan kepentingan pengusaha tetapi juga seluruh stakeholders perusahaan,
khususnya masyarakat banyak sebagai konsumen. Ini benar-benar bertolak
belakang dengan kosep CSR yang sesungguhnya.
Bunyi Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang PT yang
mewajibkan CSR bagi Perseroan Terbatas adalah:
1)
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang d an /atau
berkaitan dengan sumber
daya alam
Jawab Sosial dan Lingkungan.
33
wajib melaksanakan Tanggung
2)
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3)
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung jawab Sos ial dan Lingkungan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
B. Tanggung Jawab Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan
Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan Direksi
dalam Perseroan Terbatas sebagai gabungan dari 2 (dua) macam persetujuan
atau perjanjian, yaitu:
1) perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi, dan
2) perjanjian kerja atau perburuhan, di sisi yang lain.
Direksi di satu sisi, diperlakukan sebagai penerima kuasa dari Perseroan
untuk menjalankan Perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai
tujuan Perseroan sebagaimana telah digariskan dalam Anggaran Dasar
Perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan Perseroan, dalam
hubungan atasan-bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana
berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau
bukan menjadi tugasnya.
Tugas utama
seorang
Direksi
adalah
melaksanakan
pengurusan
Perseroan sebaik-baiknya untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta
mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan, sehingga maksud dan
tujuan Perseroan akan tercapai. Tugas kepengurusan Direksi tidak terbatas pada
kegiatan rutin, melainkan juga berwenang dan wajib mengambil inisiatif membuat
34
rencana dan perkiraan mengenai perkembangan Perseroan untuk mas a
mendatang dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan perseroan.
Direksi merupakan salah satu organ Perseroan yang vital, yang
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan
tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun diluar
pengadilan (Pasal 98 ayat (1) UUPT). Dalam hal ini, ada dua kewenangan
Direksi, yaitu pengurusan dan perwakilan. Pengurusan berbicara soal hubungan
internal antara pengurus dan orang yang hartanya berada dalam pengurusan
pengurus, maka perwakilan berbicara soal hubungan eksternal, yaitu hubungan
antara pengurus dan harta kekayaan yang diurus oleh pengurus tersebut,
dengan pihak ketiga dengan siapa suatu perbuatan hukum dilakukan oleh
pengurus dalam kapasitasnya sebagai pengurus harta kekayaan milik orang lain.
Dengan demikian, pengurusan Perseroan berbicara tentang hubungan
internal, yaitu hubungan antara Direksi dengan Perseroan dan pemegang saham
(RUPS). Adapun perwakilan Perseroan berbicara tentang hubungan eksternal
yaitu hubungan antara Direksi dengan pihak ketiga dalam melakukan
perbuatanhukum untuk dan atas nama Perseroan. Oleh karena itu, tanggung
jawab Direksi pun dapat dibedakan ke dalam:
1) Tanggung jawab internal Direksi yang meliputi tanggung jawab Direksi
terhadap Perseroan dan pemegang saham Perseroan;
2)
Tanggung jawab eksternal Direksi, yang meliputi tanggung jawab
Direksi kepada pihak ketiga yang melakukan hubungan hukum, baik langsung
maupun tidak langsung dengan Perseroan.
Tanggung jawab Direksi Perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam
kewajiban Direksi untuk melakukan keterbukaan ( disclosure ) terhadap pihak
ketiga atas setiap kegiatan Perseroan, yang dianggap dapat mempengaruhi
kekayaan Perseroan.
Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang anggota Direksi,
maka yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi kecuali
ditentukan lain dalam UUPT dan/atau Anggaran Dasar. Hal ini disebabkan oleh
35
UUPT menganut sistem perwakilan kolegial, artinya bahwa tiap-tiap anggota
Direksi berwenang mewakili Perseroan. Oleh karena itu, kewenangan Direksi
untuk mewakili Perseroan tersebut adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat,
kecuali ditentukan lain dalam UUPT, anggaran dasar, atau keputusan RUPS.
Keputusan RUPS tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUPT dan/atau
anggaran dasar Perseroan.
1. Standar Kehati-hatian Dalam Pengeolaan Perseroan Oleh Direksi
Berbeda dengan orang perseorangan (manusia), karena Perseroan,
sekalipun merupakan subjek hukum mandiri, adalah suatu artificia person, maka
Perseroan mutlak memerlukan Direksi sebagai wakilnya. Dapat dikatakan bahwa
Perseroan tidak akan dapat berfungsi yaitu menjalankan hakdan kewajibannya,
tanpa bantuan Direksi. Direksi merupakan organ yang mewakili kepentingan
Perseroan selaku subj ek hukum mandiri. Tugas dan tanggung jawab
pengurusan dan perwakilan yang dimiliki Direksi itu bersumber pada dua hal,
yaitu:
kebergantungan
Perseroan
pada
Direksi
dipercayakan
dengan
kepengurusan dan perwakilan Perseroan dan Per ser oan adalah sebab bagi
keberadaan Direksi, apabila tidak ada Perseroan, juga ti dak ada Direksi .
Karena itu, tepat dikatakan bahwa antara Perseroan dan Direksi terdapat
fiduciary relationship (hubungan kepercayaan) yang melahirkan fiduciary duties
bagi para anggota Direksi. Disamping itu,pengurusan dan perwakilan Perseroan
yang dilakukan Direksi juga berpedoman pada kemampuan dan kehati-hatiannya
dalam bertindak (duty of skill and care).
Menurut sistem hukum di Indonesia, demikian juga hukum di kebanyakan
negara yang menganut sistem Civil Law,
hubungan antara Direksi dengan
perusahaan adalah bersifat kontraktual. Artinya, sungguhpun antara perusahaan
dengan Direksinya tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi oleh hukum
dianggap ada kontrak pemberian kuasa. Karena itu, hubungan antara Direksi
dengan perusahaan
tidak
merupakan hubungan antara "trustee" dengan
"beneficiary" seperti dalam system Anglo Saxon. Sebagai konsekuensi
36
yuridisnya, Direksi sebagai pemegang kuasa tidak boleh bertindak melebihi dari
kekuasaan yang di beri kan kepa danya. Sebera pa ja uh kekuasaan diberikan
kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar pe usahaan yang bersangkutan.
Apabila
Direksi
bertindak
melampaui
wewenang
yang
diberikan
kepadanya tersebut, Direksi tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi. Jika
perusahaan yang bersangkutan kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab
tidak cukup ditampung oleh harta perusahaan (harta pailit), maka Direksi pun ikut
bertanggung jawab secara renteng.
Lain halnya hukum di negara-negara yang menganut system Anglo
Saxon, seperti Inggris dan Amerika. Di sana Direksi berkedudukan sebagai agen
( trustee ) dari perusahaan, yang mempunyai tugas serta Hubungan fiduciary.
Dalam hal tersebut, Direksi haruslah selalu melakukan " duty of care " terhadap
perusahaan yang dipimpinnya. Jika dia melanggar prinsip "duty of care" tersebut,
dia akan bertanggung jawab pribadi, termasuk dalam hal perusahaan pailit atau
dilikuidasi.
Dalam hukum USA, Direksi akan bertanggung jawab secara pribadi jika
dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar tertentu, misalnya Direksi
dengan sengaja menyalahgunakan w ew ena ng ata u menya lahgunakan dana
perusahaan. Juga akan bertanggung jawab secara pribadi jika mengisukan
saham sebagai saham yang disetor penuh padahal secara faktual, saham
tersebut belum disetor sama sekali.
Di samping itu, menurut hukum di USA, tanggung jawab Direksi secara
pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai Direksi, tetapi untuk
dibebankan tanggung jawab, Direksi
tersebut harus telah melakukan hal-hal
sebagai berikut ini terhadap tindakan perusahaan:
1. Direksi mengizinkan perbuatan tersebut, atau
2. Direksi meratifikasi perbuatan tersebut, atau
3. Ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut.
Di negara-negara yang menganut common law system acuan yang
dipakai adalah standard of care atau standar kehati-hatian. Apabila Direksi telah
37
bersikap dan bertindak melanggar standar of care, Direksi tersebut dianggap
telah melanggar duty of care- nya, sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban
secara pribadi atas perbuatan hukum yang dilakukannya yang melampaui
standar kehati-hatian.
Sebagai contoh dari "standar kehati-hatian" itu, antara lain misalnya
sebagai berikut:
1. Anggota Direksi tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban
biaya Perseroan, apabila tidak memberikan sama sekali atau member
ikan sangat kecil manfaat pribadi yang diperoleh oleh anggota Direksi
yang bersangkutan. Meskipun demikian, hal itu dapat dikecualikan,
apabila dila kukan atas beban biaya representasi jabatan dari anggota
Direksi yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS;
2. Anggota Direksi tidak boleh menjadi pesaing bagi Perseroan yang
dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang
seyogianya disalurkan k epada
Per seroan
lain
yang didalam nya
terdapat kepentingan pribadi anggota Direksi itu;
3. Anggota Direksi harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai
sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan dapat
mengakibatkan Perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, sehingga Perseroan terancam dikenai sanksi oleh otoritas
yang berwenang, misalnya dicabut izin usahanya
ata u dibekukan
kegiatan usahanya, atau digugat oleh pihak lain;
4. Anggota Direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya te1ah tidak
melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang
perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi Perseroan;
5. Anggota Direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak
melakukan atau telah tidak cukup melakukan D aya atau tindakan yang
perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan Perseroan. UUPT ternyata
mengakui prinsip personal liability dalam hal kepailitan terjadi karena
kesalahan atau kelalaian anggota Direksi sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 104 ayat (2) UUPT. Menurut Pasal 104 ayat (2) UUPT,
38
bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian
Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk menutupi kerugian
akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. Ketentuan ini ada
persamaan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) KUHD yang menyatakan
bahwa apabila Perseroan menderita kerugian sebesar 75% dari modal
dasar, Perseroan itu demi hukum bubar dan para pengurusnya dengan
diri sendiri secara
tanggung menanggung bertanggung jawab untuk
seluruhnya terhadap pihak ketiga atas segala perikatan yang telah
mereka lakukan. Karena itu, berdasarkan Pasal 104 ayat (2) UUPT ini,
seorang anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban hukum
ketika Perseroan pailit sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam
mengurusi Perseroan.
Dari bunyi Pasal 104 ayat (2) UUPT tersebut, dapat diketahui pula kalau UU
PT membuat beberapa pengecualian terhadap tanggung jawab anggota
Direksi dalam hal Perseroan pailit, yaitu:
1. Anggota Direksi hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika
Perseroan dinyatakan pailit sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Artinya, jika Perseroan dibubarkan t anpa me lalui prosedur kepailitan,
dengan sendirinya anggota Direksi terlepas dari tanggung jawab secara
pribadi tersebut;
2. Ada unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan Direksi dalam
mengurusi dan mewakili Perseroan. Artinya, tanggung jawab secara
pribadi anggota Direksi akan terkait dengan ada atau tidaknya kes alahan
atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota Direksi dalam mengurusi dan
mewakili Perseroan;
3. Tanggung jawab anggota Direksi tersebut bersifat residual, artinya
anggota Direksi hanya akan bertanggung jawab bila kekayaan Perseroan
tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut;
4. Tanggung jawab anggota Direksi tersebut juga bersifat tangg ung
renteng, artinya walaupun kesalahan atau kelalaian itu dilakukan seorang
39
anggota Direksi, tetapi yang lain juga dipresumsi untuk ikut bertanggung
jawab. Sebab menurut UUPT tugas dan kewajiban pengurusan dan
perwakilan Perseroan dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota
Direksi. Pengecualian ini sejalan dengan prinsip tanggung jawab kolegial
yang dianut UUPT.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut UUPT anggota Direksi
dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi jika Perseroan pailit sebagai
akibat dari kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan
kepengurusan dan perwakilan Perseroan yang mengakibatkan Perseroan jatuh
pailit. Meskipun demikian, UUPT masih membuat beberapa pengecualian, atas
tanggung jaw ab pr ibadi anggota Direksi dalam hal Perseroan pailit, yaitu:
Perseroan di bubarka n ka rena pailit;
adanya kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan tugas,
kewajiban, tanggung jawab dan kewenangannya; tanggung jawab anggota
Direksi bersifat residual dan secara renteng diantara anggota Direksi. Dalam hal
ini menurut UUPT yang bertanggung jawab tidak hanya perusahaan, tetapi juga
adalah anggota Direksinya. Sementara itu, menurut sistem hukum Common
Law, tanggung jawab pribadi seorang Direksi akan terjadi bila dirinya memenuhi
syarat-syarat
tertentu
mengenai
keterlibatannya
dalam
perbuatan
yang
dilakukannya. Direksi yang bersangkutan dapat pula dibebaskan dari tanggung
jawab pribadi jika perbuatan atau tindakan yang dilakukannya didasarkan pada
standar kehati-hatian atau doktrin business judgment rule.
2. Prinsip Pengelolaan Perseroan Yang Baik (GCG)
Belakangan ini istilah good corporate governance makin sering terdengar
dikalangan dunia usaha terutama perusahaan besar dan perusahaan yang
sahamnya sudah di perjualbelikan di bursa efek. Konsep ini dibeberapa negara
telah lama di perkenalkan dan bagi kita konsep ini belum banyak penerapannya.
Good corporate Governance adalah perangkat yang maksudnya pengurusan
40
yang baik untuk memperhatikan kepentingan semua stakeholders , yang
berprinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Hal tersebut, dalam
keberadaannya penting dikarenakan dua hal. Hal yang pertama , cepatnya
perubahan lingkungan yang
berdampak pada peta persaingan global. Sedangkan sebab kedua karena
semakin banyak dan kompleksitas stakeholders termasuk struktur kepemilikan
bisnis.
Seperti diketahui kepentingan Stakeholders (pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan pada Perseroan) cukup banyak dan beraneka ragam, tidak sama
bahkan dalam beberapa hal dapat bertentangan antara yang satu dengan yang
lain, dan stakeholders yang paling utama adalah pemilik Perseroan atau
pemegang saham. Good corporate governance meliputi semua aspek mengenai
pelaksanaan manajemen perusahaan yang tujuannya antara lain tanggungjawab
sesuai dengan fungsinya dengan cara memberikan pelayanan yang terbaik bagi
konsumen
maupun
semua
perusahaan ( stakeholders ).
pihak
yang
mempunyai
kepentingan
pada
Suatu Perseroan didirikan oleh pemilik atau
pemegang saham untuk melekukan usaha yang tujuannya mencari keuntungan
untuk kepentingan pemiliknya. Laba yang sebesar- besarnya masih sering
disebut sebagai tujuan utama Perseroan. Pandangan yang sekarang masih tetap
berpegang kepada motif mencari keuntungan, namun laba yang sebesarbesarnya bukan lagi menjadi tujuan utama. Undang-undang menyebutkan
beberapa kali ketentuan tentang kepentingan Perseroan, tanpa ada penjelasan
yang dimaksud dengan itu. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kepentinga
Perseroan tersebut sejalan dengan kepentingan organ Perseroan yaitu
pemegang saham, Dewan Komisaris dan Direksi, bahkan kepentingan
Stakeholders lain. Dapat dikatakan bahwa, jangankan antara organ Perseroan,
antara para pemegang saham sendiri sering terjadi
perbedaan kepentingan terutama antara pemegang saham mayoritas dan
minoritas. Dengan demikian kepentingan Perseroan tidak selalu ditafsirkan sama
bahkan setiap pihak dapat melihat dari sudut pandangnya sendiri. Stakeholders
41
adalah semua pihak yang terkait yang mempertaruhkan nilai materiel atau
immateriel dan mempunyai kepentingan dalam Perseroan.
Gambaran ini akan lebih tidak jelas lagi apabila Stakeholders yang lain, seperti
kreditur, karyawan, pemerintah, masyarakat setempat, konsumen, yang melihat
kepentingan dari sudut pandang mereka sendiri. Adalah merupakan tugas
Perseroan melalui Direksi dan Dewan Komisaris untuk dapat melihat semua
kepentingan ini dan mengakomodasikan dalam misinya serta menyimpulkan
yang terbaik untuk para pemilik perusahaan. Khususnya pemegang saham yang
mempertaruhkan penyertaannya melelui kepercayaan yang diberikan kepada
Direksi
dan
kemungkinan
juga
kepada
Dewan
Komisaris,
masalah
kepentingannya dan perlindungannya terhadap kekayaan yang mereka kelola,
merupakan faktor yang terpenting untuk pengangkatan Direksi dan Dewan
Komisaris.
Perseroan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya akan dipengaruhi oleh
suatu kerangka tata kelola ( corporate governance framework ) . Kerangka
tersebut dibentuk hukum dan regulasi, anggaran dasar, kode etik, perjanjianperjanjian yang dibuat dengan kreditur, karyawan, konsumen dan lain
sebagainya.
Agar
perusahaan
memiliki
kelangsungan
jangka
panjang,
shareholders dan stakeholders perlu mempertimbangkan tata kelola yang baik
(good corporate governance). Suatu System corporate governance yang efektif
seharusnya mampu mengatur kewenangan Direksi, yang bertujuan dapat
menahan Direksi untuk tidak menyalahgunakan kewenangan tersebut dan untuk
memastikan bahwa Direksi bekerja semata mata untuk kepentingan perusahaan.
Corporate governance memusatkan perhatian pada isu fundamental seperti
bagaimana seharusnya para pengurus Perseroan dimonitor dan dipengaruhi
oleh industri perbankan, pasar modal, dan mekanisme pembiayaan lainnya.
Pemantauan tersebut akan berguna untuk menilai kinerja Direksi berdasarkan
kepentingan para pemegang saham, dan peningkatan discounted present value
Perseroan dengan agency costs yang seminimal mungkin.
42
BAB III
Tanggung jawab Direksi yang melakukan tindakan
melawan hukum
A. Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule Menurut UU No. 40
tahun 2007
UUPT telah memiliki aturan - aturan yang tegas mengatur mengenai
kewenangan masing -masing organ yang ada dalam perseroan terbatas, yaitu
RUPS, Direksi dan dewan Komisaris, yaitu sebagai berikut :
1. Pasal 75 ayat (1) UUPT mengatur mengenai kewenangan RUPS dimana
dijelaskan bahwa RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan
kepada direksi atau dewan komisaris;
2. Pasal 92 ayat (1) UUPT mengatur mengenai kewenangan direksi, dimana
dikatakan bahwa direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Selanjutnya dalam Pasal 97 ayat (1) UUPT juga diberikan penjelasan
lebih lanjut bahwa direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan.
3. Pasal 108 ayat (1) UUPT mengatur mengenai kewenangan dewan
komisaris di mana disebutkan bahwa dewan komisaris melakukan
pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada
umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan
memberikan nasihat kepada Direksi. Dalam pasal 114 ayat (1) UUPT
menegaskan kembali bahwa dewan komisaris bertanggung jawab atas
pengawasan Perseroan.
Seperti telah dijelaskan diatas, Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule yang
berlaku bagi Direksi dan Dewan Komisaris secara bersama - sama, tanpa ada
yang dikecualikan, dengan ketentuan bahwa Direksi bertanggung jawab atas
pengurusan Perseroan sedangkan Dewan Komisaris bertanggung jawab atas
Pengawasan Perseroan.
43
1. Berlakunya Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule bagi Direksi
Untuk mengetahui bagaimana berlakunya, Fiduciary Duty dan Business
Judgment Rule bagi Direksi Perseroan dalam UUPT, maka harus diperhatikan
ketentuan yang mengatur mengenai tugas pengurusan, kewajiban, dan
khususnya tanggung jawab Direksi Perseroan terbatas dalam UUPT.
Terkait dengan kegiatan melakukan pengurusan perseroan yang diatur dalam
UUPT dengan kewajiban fiducia (fiduciary duty) dan aturan business judgment
rule, dapat dikatakan bahwa ketentuan mendasar yang mengatur mengenai
fiduciary duty dan aturan business judgment rule dalam undang - undang No. 40
tahun 2007 dapat ditemukan aturan atau ketentuan umumnya dalam Pasal 97
UUPT tersebut. ketentuan umum tersebut selanjutnya menyebar dalam berbagai
pasal lainnya dalam UUPT. Berikut di bawah ini akan diuraikan dan dijelaskan
eksistensi fiduciary duty dan aturan business judgment rule dalam pasal 97
UUPT dan pasal - pasal yang terkait lainnya.
Fiduciary Duty dan prinsip Business Judgment Rule dalam Pasal 97 UUPT
Ketentuan Pasal 97 UUPT diawali dengan rumusan ayat (1) yang menyatakan
bahwa "Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 92 ayat (1)". Jika diperhatikan ketentuan ini adalah
penegasan dari aturan yang ditetapkan dalam pasal 92 ayat (1) UUPT, dimana
dikatakan bahwa direksi dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus :
a. Memperhatikan kepentingan Perseroan.
b. Sesuai dengan maksud dan tujuan PT (intr vires act);
c. Memperhatikan ketentuan mengenai larangan dan batasan yang
diberikan dalam undang - undang (khususnya UUPT) dan anggaran
dasar
Dari ketentuan ini diketahui bahwa tindakan direksi adalah tindakan yang
memiliki tanggung jawab keperdataan. Sebagai pengurus Perseroan, Direksi
adalah agen dari perseroan, dan karenanya tidak dapat bertindak sesuka
hatinya. Apa yang dilakukan oleh Direksi yang berada diluar batasan
kewenangan yang diberikan kepadanya harus dapat dipertanggung jawabkan
olehnya. dalam hal ini ada 3 jenis pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh
direksi, yaitu :
a. Pertanggung jawaban kepada Perseroan.
b. Pertanggung jawaban terhadap pemegang saham, dan terakhir
44
adalah
c. Pertanggung jawaban terhadap kreditor.
Bentuk tanggung jawab direksi terhadap perseroan, pemegang saham dan
kreditor ini selanjutnya tercermin dalam berbagai ketentuan atau pasal dalam
UUPT, beberapa diantaranya dapat disebutkan yaitu :
a.
Pasal 37 ayat (3) UUPT yang menyatakan bahwa direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham
yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali saham oleh
Perseroan yang batal karena hukum.
b.
Pasal 69 ayat (3) UUPT menyatakan dalam hal laporan keuangan yang
disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota Direksi
(dan anggota dewan komisaris) secara tanggung renteng bertanggung
jawab terhadap pihak yang dirugikan;
c.
Pasal 95 ayat (5) UUPT menyatakan bahwa dalam hal ternyata
pengangkatan anggota Direksi menjadi batal sebagai akibat tidak
memenuhi persyaratan pengangkatannya, maka meskipun perbuatan
hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama perseroan oleh anggota
direksi sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi
tanggung jawab Perseroan, namun demikian anggota Direksi yang
bersangkutan tetap bertanggung jawab terhadap kerugian Perseroan.
d.
Pasal 97 ayat (3) menyatakan bahwa setiap anggota direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.
e.
Pasal 101 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa setiap anggota Direksi yang
tidak melaksanakan kewajibannya melaporkan kepada Perseroan saham
yang dimiliki anggota direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya
dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar
khusus, dan akibatnya menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung
jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan.
f.
Pasal 104 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa dalam hal kepailitan
terjadi karena kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap
anggota direksi secara tanggung rentengbertanggung jawab atas seluruh
kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut;
g.
Pasal 97 ayat (6) UUPT yang memberikan hak kepada pemegang saham
yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah
45
seluruh saham dengan hak suara, atas nama perseroan, untuk mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena
kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
Selanjutnya untuk dapat mengukur sampai seberapa jauh tanggung jawab
direksi dalam melakukan pengurusan dalam mencapai tujuan PT yang sudah
ditetapkan dalam anggaran dasar, direksi harus membuat dan melaksanakan
rencana kerja tahunan. Pencapaian dari hasil kerja merupakan bahan evaluasi
dalam penilaian kinerja direksi yang dituangkan dalam laporan tahunan yang
diserahkan kepada dan untuk disahkan oleh RUPS.
Kegiatan pengurusan Perseroan ini tidak pernah dapat dipisahkan dari
perwakilan direksi yang diatur dalam Pasal 98 ayat (2) UUPT. Sebagai pengurus
Perseroan, direksi akan mewakili perseroan dalam setiap tindakan atau
perbuatan hukum perseroan dengan pihak ketiga. dalam hal ini jelas, direksi
merupakan agen bagi Perseroan.
Rumusan selanjutnya dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa "
Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap
anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab". sejalan dengan
sifat pertanggung jawaban perdata yang melekat padaa direksi dalam melakukan
pengurusan terhadap perseroan, Pasal 97 ayat (2) UUPT menekankan pada arti
itikad baik, dan sesuai dengan kewenangan yang diberikan atau dibebankan
kepadanya serta menurut aturan main yang berlaku. Selama dan sepanjang
direksi melakukan pengurusan dengan itikad baik, dan dalam batasan atau
koridor serta menurut ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya, maka direksi
senantiasa dilindungi oleh business judgment rule.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, itikad baik merupakan salah satu
unsur penting bagi direksi untuk memperoleh perlindungan business judgment
rule, yang melibatkan dua hal yaitu proses dan subtansi, dalam proses business
judgment rule melibatkan formalitas pengambilan keputusan dalam perseroan.
Sebagai subtansi, dalam mengambil keputusan bisnis, direksi dari suatu
perusahaan bertindak atas dasar informasi yang dimiliki dengan itikad baik dan
dengan keyakinan bahwa tindakan yang diambil adalah semata - mata untuk
kepentingan perusahaan.
Jadi, jelaslah bahwa pasal 97 ayat (2) UUPT ini, anggota direksi wajib
melaksanakan tugasnya dengan itikad baik (in good faith) dan dengan penuh
tanggung jawab (and with full sense of responbility). Apabila direksi tersebut
ternyata terbukti bersalah karena sengaja atau lalai dalam menjalankan
kewajiban fiduciary duty-nya tersebut, maka terhadap kerugian yang diderita
46
perseroan, perseroan berhak untuk menuntutnya dari direksi tersebut.
Tanggung Jawab terhadap kerugian perseroan ini dapat ditunjukan baik
terhadap perseroan itu sendiri, tiap - tiap pemegang saham atau kreditor (dalam
hal terjadinya kepailitan Perseroan). Dalam konteks yang demikian berarti baik
Perseroan, pemegang saham atau kreditor yang dirugikan sebagai akibat
berkurangnya harta kekayaan Perseroan karena tidak adanya itikad baik direksi
yang terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam bertindak,
berbuat atau mengambil keputusan, berhak untuk menggugat direksi. Yang
mewakili Perseroan sebagai penggugat adalah para pemegang saham yang
secara sendiri - sendiri atau bersama - sama mewkili jumlah 1/10 (satu per
sepuluh) pemegang saham perseroan. Gugatan dilakukan untuk dan atas nama
Perseroan terhadap direksi Perseroan, yang atas kesalahan atau kelalaiannya
telah menyebabkan kerugian pada perseroan (derivative action). Selain itu setiap
pemegang saham yang dirugikan juga dapat secara sendiri - sendiri melakukan
gugatan langsung untuk dan atas nama pribadipemegang saham terhadap
Direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan direksi Perseroan yang
merugikan pemegang saham. Bagi kreditor yang digugat adalah tanggung jawab
sepenuhnya atas setiap ketidak benaran informasi yang disampaikan oleh
Perseroan terhadap pihak ketiga, yang mengakibatkan terjadinya kerugian pada
harta kekayaan Perseroan sehingga tidak cukup membayar kewajiban
Perseroan terhadap pihak ketiga.
Ketentuan selanjutnya yang diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT
menyatakan bahwa : "Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara
pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ". Pada dasarnya ketentuan tersebut merupakan kelanjutan dari dua
ayat sebelumnya dalam Pasal yang sama. Dalam ketentuan pasal 97 ayat (3)
UUPT ini, yang ditekankan adalah akibat dari tindakan atau perbuatan direksi
yang salah karena disengaja ataupun lalai untuk berbuat, bertindak, atau
mengambil keputusan secara itikad baik, Dalam hal tersebut, direksi
bertanggung jawab penuh terhadap kerugian Perseroan. pasal 1131 KUHPer
berlaku bagi harta kekayaan anggota direksi yang bersangkutan.
Selanjutnya Pasal 97 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa : "Dalam hal
direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi
setiap anggota direksi " Pasal 97 ayat (4) UUPT menegaskan mengenai
tanggung jawab kolegial dari direksi sebagai satu dewan, dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UUPT.
47
Tanggung jawab secara renteng direksi sebagai satu kesatuan adalah
tanggung jawab bersama secara kolektif yang berlaku bagi seluruh anggota
direksi. Dengan diberiannya tanggung jawab kolegial ini, dimaksudkan agar
sesama anggota direksi:
a.
Dilakukan keterbukaan atau tranparansi, atau disclosure sesama anggota
direksi, mengenai setiap tindakan dan atau perbuatan hukum yang hendak
diambil atau telah diambil oleh satu atau lebih masing - masing anggota
direksi atas hal - hal yang berada dalam kewenangannya, demikian pula
kepemilikan saham yang dimiliki anggota direksi yang bersangkutan
dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain agar dalam
daftar khusus.
b.
Dilakukan check and balance tentang kegiatan, tindakan atau keputusan
yang menghendaki agar sedapat mungkin atau seyogyanya diambil
berdasarkan pada keputusan rapat direksi. Dengan pertanggung jawaban
secara tanggung renteng ini diharapkan dapat terjadi saling mengawasi di
antara sesama anggota direksi Perseroan atas setiap perbuatan, tindakan
atau keputusan direksi Perseroan dikhawatirkan dapat mengakibatkan
terjadinya pelanggaran terhadap fiduciary duty, yang menyebabkan tidak
berlakunya business judgment rule.
Ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT menggambarkan dengan jelas makna
dari itikad baik (good faith) dan prinsip kehati - hatian (due care) dalam business
judgment rule bagi setiap anggota direksi. Setiap pembuktian yang secara tegas
dan jelas menyatakan bahwa direksi telah melanggar fiduciary duty atau telah
melakukan kelalaian berat (gross negligence), kecurangan (fraud), hal - hal yang
didalamnya memiliki unsur atau menerbitkan terjadinya benturan kepentingan
(conflict of interest), atau perbuatan yang melanggar hukum (illegality), maka
prinsip business judgment rule tidak lagi melindungi direksi secara keseluruhan.
Dengan aturan pasal 97 (4) UUPT, tanggung jawab tersebut menjadi tanggung
jawab renteng bagi seluruh anggota direksi. Jadi bagi anggota direksi yang ingin
lepas dari tanggung jawab renteng tersebut maka ia harus dapat membuktikan
sebaliknya, bahwa :
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati - hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian,
dan
48
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
Rumusan Pasal 97 ayat (5) UUPT ini secara tidak langsung memberikan beban
pembuktian pada pihak yang menyatakan bahwa direksi tidak berhak atas
perlindungan business judgment rule. dengan demikian berarti seorang yang
hendak menggugat direksi harus membuktikan :
a. Kesalahan atau kelalaian telah dilakukan oleh direksi;
b. Direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati hatian;
c. Mempunyai benturan kepentingan atau sesama anggota direksi dan
atau keluarganya baik secara langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian;
d. Direksi tidak telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Berhasilnya pembuktian tersebut membawa akibat bahwa seluruh
anggota direksi menjadi bertanggung jawab renteng atas seluruh kewajiban
sebagai akibat kerugian yang disebabkan oleh keputusan direksi yang
bersangkutan.
Dengan demikian jelaslah bahwa ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT
merupakan pasal pamungkas bagi anggota direksi untuk dibebaskan dari
kewajiban tanggung jawab renteng yang dibebankan dalam pasal 97 ayat (4)
UUPT.
Pasal 97 ayat (6) UUPT mengatur mengenai hak gugatan derivative
terhadap direksi sebagai satu dewan. Perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini
tidak dapat dibaca lepas dari ketentuan Pasal 114 ayat (6) UUPT mengenai hal
yang sama namun berlaku bagi dewan komisaris. Jadi dalam hal ini jelaslah
bahwa oleh karena tidak ada yang dapat mewakili perseroan untuk menggugat
direksi dan dewan komisaris secara bersama - sama, maka kepada pemegang
saham ini haruslah diberikan hak turunan yang dinamakan hak derivative.
Menurut ketentuan Pasal 114 ayat (6) UUPT ini, pemegang saham yang
mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara, atas nama perseroan, dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
Ketentuan Pasal 97 ayat (7) UUPT menyatakan bahwa "ketentuan ayat
49
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota direksi lain
dan/atau anggota dewan komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama
Perseroan'. Jelas merupakan refleksi bahwa yang seharusnya mewakili
Perseroan adalah anggota direksi yang tidak melakukan pelanggaran terhadap
fiduciary duty direksi.
2. Pertanggungjawaban Perdata Direksi Perseroan
Jika Perseroan sudah mendapatkan predikat sebagai badan hukum, maka
Perseroan diakui sebagai subjek hukum mandiri. Jika demikian halnya, maka
timbul pertanyaan apakah suatu Perseroan dapat dimintai pertanggungjawaban,
bukankah Perseroan sesuatu yang abstrak? Maksud dari abstrak adalah yang
tampak keluar hanya para pengurus Perseroan. Apabila demikian halnya, maka
siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, apakah para
pengurus Perseroan? Untuk dapat menjawab permasalahan ini, ada beberapa
teori yang membahas tentang keberadaan Perseroan sebagai badan hukum.
Salah satu di antaranya adalah teori organ yang mengemukakan bahwa
Perseroan
diwakili
oleh
organ
(manajemennya).
Hal
ini
berarti
pertanggungjawaban Perseroan dapat dituntut kepada Direksi yang sehariharinya mengelola Perseroan.
Namun hal yang perlu ditekankan disini bahwa secara teknis yuridis yang
tetap diminta bertanggung jawab adalah Perseroan sebagai badan hukum,
walaupun nanti dalam praktiknya Perseroan akan diwakili oleh Direksi.
Sedangkan pemilik perusahaan atau pemegang saham mempunyai tanggung
jawab sebesar modal yang dimasukkannya. Seperti yang dikemukakan oleh R.
Soekar dono, bahwa tiap-tiap Peseroan hanya bertanggung jawab sebatas
modal yang dimasukkannya kedalam Perseroan. Pemegang saham dapat
dimintai
pertanggung jawaban sepanjang pemegang saham memanfaatkan
Perseroan untuk kepentingan pribadi. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (2)
UUPT:
a.
Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak
terpenuhi;
50
b.
Pemegang saham yang bersangkutan langsung maupun tidak langsung,
dengan itikad buruk me ma nfaat kan Perseroa n sem at a-ma ta unt uk
kepentingan pribadi;
c.
Pemegang saham terlibat dalam perbuatan
melawan huk um yang
dilakukan oleh Perseroan; atau
d.
Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaaan Perseroan
yang mengakibatkan kekayaan Perser oan menjadi tidak cukup untuk
melunasi utang Perseroan.
Mangingat adanya pembatasan tanggung jawab dari para pemegang
saham, maka sebagai salah satu syarat pendirian Perseroan harus ada modal
yang telah dicantumkan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Untuk itulah,
mengapa sebelum suatu Perseroan berdiri secara resmi, akta pendirian dan
anggaran dasar Perseroan tersebut harus diperiksa terlebih dahulu oleh Menteri
Hukum d an HAM. (Lihat Pasal 7, 8, 9 UUPT).
Pada dasarnya bahwa tindakan Direksi dapat menjadi tanggung jawab
Perseroan sepanjang perbuatan tersebut sesuai dengan wewenangnya yang
tercantum dalam anggaran dasar Perseroan, maka perbuatan tersebut dianggap
sebagai perbuatan Perseroan. Pada umumnya, dalam anggaran dasar
Perseroan telah dijabarkan wewenang dan tugas Direksi dan bahkan dalam
perbuatan hukum tertentu, harus ada persetujuan dari Dewan Komisaris. Oleh
karena itu, Direksi sebagai wakil Perseroan pada dasarnya mendapat kuasa dari
Perseroan itu sendiri. Jadi, dalam hal ini berlaku asas menjalankan kuasa yakni
tidak boleh melampaui apa yang diberikan kepadanya. Jika Direksi melakukan
tindakan diluar batas wewenangnya, maka Direksi pula yang har us
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pribadi. (Lihat Pasal 97 UUPT).
Dalam memahami pertanggungjawa ban D ireks i s ecara hukum perdata,
perlu pula dipaha mi arti perbuatan melanggar hukum atau melawan hukum
secara perdata ( onrechtmatigedaad ) terkait dalam pengelolaan Perseroan.
Setiap anggota Direksi perlu memahami sifat, arti dan akibat perbuatan
51
melanggar hukum serta hal-hal lainnya yang terkait dengan pengertian
perbuatan melanggar hukum itu sendiri. Untuk memahami sifat dan arti
perbuatan melanggar hukum, ada baiknya terlebih dahulu dipahami apa yang
dimaksud dengan “hukum” itu sendiri. Namun walaupun begitu, pembahasan
terhadap apakah “hukum” itu sampai sekarang masih menyisakan pertentangan
diantara para ahli hukum.
Hingga saat ini pendapat tentang perlunya suatu definisi hukum mas ih
dipertentangkan. Sebahagian menyatakan bahwa definisi tentang hukum
diperlukan, terutama bagi yang baru mempelajari hukum, setidak-tidaknya
merupakan suatu pegangan pendahuluan untuk mempelajari lebih lanjut.
Dengan perumusan hukum, dapat diketahui apa yang dimaksud dengan hukum
itu sehingga dapat dihindari perbuatan yang melanggar atau sering disebut
melawan hukum.
Adanya definisi hukum, akan membantu yang baru mempelajari hukum
menunjukkan jalan, ke arah mana harus berjalan. Sajipto Raharjo 109 melihat
hukum sebagai perwujudan dari : 1) nilai-nilai tertentu; 2) norma- norma abstrak
dan 3) alat yang dipakai untuk mengatur masyarakat.
Pertanggungjawaban hukum berdasarkan ketentuan pasal 1365 dan juga
p asal 1366 KUHPerdata adalah berdasarkan titik tolak perbuatan atas
perbuatan sendiri, namun selain itu, masih ada pertanggungjawaban selain atas
perbuatan sendiri juga karena perbuatan orang lain yang melanggar hukum. Hal
ini diatur dalam pasal 1367 KUHPerdata yang menyatakan :
Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk ke rugian
yang
disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya,
atau
disebabkan
oleh
barang-barang
yang
berada
di
bawah
pengawasannya".
Ketentuan ini sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pengganti (
vicarious liability ) . Undang-Undang dapat menentukan vicarious liability, jika
ada terjadi hal-hal yaitu: seorang dapat dipertanggungjawabkan a tas perbuatan-
52
perbuatan yang dilakukan orang lain, apabila seseorang itu mendelegasikan
kewenangannya menurut Undang-Undang kepada orang lain. Dalam hal ini
diperlukan suatu syarat atau prinsip tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan
(the delegation principle ).
Pengangkatan anggota Direksi melahirkan hubungan hukum,melahirkan
hak dan kewajiban. Pelanggaran terhadap “kewajiban” seperti inilah yang
kemudian menimbulkan “hak” menuntut. Hal ini tentu identikdengan prinsip
pertanggung jawaban hukum yang selalu terkait dengan perbuatan hukum, baik
perbuatan sendiri maupun perbuatan orang lain yang berada di bawah tanggung
jawabnya. Oleh karena itu Direksi bukan saja bertanggung jawab atas
perbuatannya sendiri, tetapi dapat juga bertanggung jawab atas
perbuatan yang kuasanya atau bawahannya yang melanggar hukum.
Secara umum prinsip pertanggung jawaban perdata muncul karena
adanya kerugian bagi satu pihak akibat perbuatan pihak lain. Kerugian yang
dimaksud dalam hal ini adalah yang sejalan dengan pengertian Pasal 1246
KUHPerdata yaitu: 1) Berupa biaya, yaitu segala dana pengeluaran atau ongkosongkos yang secara fakt uil telah dikeluarkan; 2) Berupa kerugian, yaitu segala
kerugian akibat kerusakan barang-barang milik kreditur yang disebabkan
kelalaian debitur; 3) Berupa bunga, yaitu segala keuntungan yang h ar us
menjadi hak kreditur Jika debitur tidak melakukan suatu kelalaian.
Pembahasan terhadap hukum perdata ini menunjukkan bahwa semua
persetujuan-persetujuan yang dibuat secara sah, baik secara tegas dicantumkan
maupun yang tidak tegas namun karena menurut sifatnya diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang berlaku mengikat ( binding ) dan
harus dilaksanakan dengan itikad baik. Demikian juga dengan pengelolaan
Perseroan oleh Direksi, wajib dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab. Prinsip ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyatakan :
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak
53
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Demikian juga pada Pasal 1339 yang menyatakan :
Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifatnya persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.
Dalam hukum perdata, selain ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang
telah diuraikan di atas, jika dalam pelaksanaan tugasnya anggota Direksi
melakukan pelanggaran hukum, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan :
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan kar ena perbuatannya, tetapi juga dapat yang disebabkan
karena kelalaiannya atau karena kekur ang hati-hatiannya.
Oleh karena itu prinsip pengelolaan Perseroan yang diatur secara normative
dalam UUPT Nomor 40 tahun 2007, bila dilanggar dapat dimintakan pertanggung
112 jawaban secara hukum perdata. Pertanggung jawaban secara perdata oleh
Direksi ini adalah sebagai akibat dari pengelolaan Perseroan yang salah, atau
telah melakukan pelanggaran dan melanggar prinsip itikad baik yang
mengakibatkan kerugian. Dengan demikian prinsip pertanggungjawaban secara
hukum perdata terhadap Direksi dalam pengelolaan Perseroan adalah dengan
prinsip pertanggungjawaban hukum untuk mengganti kerugian atas perbuatan
melanggar atau melawan hukum.
54
3. Pertanggungjawaban Pidana Direksi Perseroan
Didalam Pasal 155 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 disebutkan
bahwa, ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris
atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak
mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum
Pidana. Hal ini berarti bahwa, organ-organ Perseroan seperti Direksi dan Dewan
Komisaris dapat dikenai sanksi pidana apabila Direksi dan Dewan Komisaris
tersebut melakukan pelanggaran pidana dalam hal melakukan pengurusan
maupun pengawasan terhadap Perseroan.
Ketentuan pidana mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang tersebar dalam beberapa ketentuan, yakni pasal 226 dan 396
sampai pasal 403 KUHP. Ketentuan pidana dalam KUHP tersebut berkaitan
dengan pelaksanaan pemberesan harta pailit lebih lanjut dalam hal status pailit
sudah diputuskan oleh hakim (pasal 226, pasal 396, pasal 400 sampai Pasal 402
KUHP) serta penyebab adanya kepailitan (Pasal 396, 397, 398, 399, 403 KUHP).
Pengaturan pidana dalam KUHP yang berkaitan dengan kepailitan
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
1)
Tidak mau hadir atau tidak memberikan/memberikan keterangan yang
menyesatkan dalam proses pemberesan pailit (Pasal 226 KUHP);
2)
Perbuatan debitur pailit yang merugikan kreditur (Pasal 396 KUHP);
3)
Perbuatan debitur yang memindahtangankan harta sehingga merugikan
para kreditor dan menyebabkan pailit (Pasal 397 KUHP);
4)
Perbuatan Direksi atau Dewan Komisaris Perseroan yang menyebabkan
kerugian Perseroan baik sebelum atau setelah pailit (Pasal 398 dan 399
KUHP);
5)
Perbuatan menipu oleh debitur pailit kepada para kreditur (Pasal 400
KUHP);
6)
Kesepakatan curang antara debitur pailit dengan kreditur dalam rangka
penawaran perdamaian kepailitan (Pasal 401 KUHP);
55
7)
Tindakan debitur pailit yang mengurangi hak-hak kreditur (Pasal 402
KUHP);
8)
Perbuatan Direksi Perseroan Terbatas yang bertentangan dengan
anggaran dasar (Pasal 403 KUHP).
Apabila yang pailit adalah Perseroan, maka ketentuan pidana akan
dikenakan pada Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan bahkan pemegang
saham pun tidak b isa lep as dari k etentuan pidan a. Jika debitur pailit adalah
Perseroan, maka yang bisa dijerat oleh ketentuan Pasal 398 dan 399 KUHP
adalah Direktur maupun Komisarisnya, jika mereka melakukan:
a.
Turut serta atau memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang
melanggar anggaran dasar Perseroan dan perbuatan-perbuatan tersebut
mengakibatkan kerugian berat sehingga Perseroan jatuh pailit.
b.
Turut serta dalam atau memberi persetujuan atas pinjaman dengan
persyaratan yang memberatkan dengan maksud menunda kepailitan
Perseroan.
c.
Lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana itu diwajibkan oleh
UUPT dan anggaran dasar Perseroan.
Meskipun dalam Pasal 396, Pasal 397, dan Pasal 403 KUHP mengatur
mengenai penyebab adanya kepailitan dapat dipidana, namun hal itu harus
memenuhi kriteria pidananya, yakni dalam hal pasal 396 KUHP (bangkrut
sederhana):
1.
Pengeluaran melewati batas kehidupan sehari-hari/terlalu boros; atau
2.
Meminjam uang/modal dengan bunga yang tinggi padahal diketahui bahwa
hal itu tidak menolong kepailitannya; atau
3.
Tidak dapat memperlihatkan secara utuh tanpa perubahan-perubahan
(coretan- coretan atau tulisan-tulisan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal
6 KUHD Sedangkan dalam hal kepailitan terjadi karena kecurangan dalam
pasal 397 KUHP, yakni:
56
1.
Ada tiga macam perbuatan: Mengarang perbuatan yang tidak pernah ada
Tidak membukukan suatu pendapatan Menyisihkan atau menarik suatu
barang dari budel
2.
Tindakan melepas suatu barang dari budel, secara cuma-cuma atau
dengan terang-terangan di bawah harga
3.
Tindakan berupa apa saja, menguntungkan salah seorang kreditur
4.
Tindakan berupa penyimpangan dari ketentuan Pasal 6 KUHD. Hal ini
berarti bahwa suatu kepailitan bukanlah sebuah kriminalitas, meskipun
nantinya dalam proses kepailitan akan dimungkinkan adanya kejahatan
kepailitan. Kepailitan adalah berkaitan dengan proses pemberesan harta
kekayaan debitur untuk membayar uatang-utangnya. Dengan demikian
subjek hukum yang telah dinyatakan pailit tidak sama dengan bahwa la
telah melakukan sebuah tindakan kriminal. Untuk dapat dinyatakan telah
melakukan
tindak pidana
harus
memenuhi
unsur-unsurdan
kriteria
sebagaimana yang diatur dalam KUHP tersebut di atas.
B. Contoh Kasus
Kasus Sarijaya
Kasus Sarijaya Sekuritas berawal dari tindakan Presiden Komisaris Utama dan
pemiliknya, Herman Ramly yang secara ilegal menggunakan dana milik 8.700
nasabahnya. Dana sebesar Rp 240 miliar tersebut dia pergunakan untuk
membeli saham dan memberi pinjaman dana melalui 17 rekening baru yang
fiktif.
Modus yang dilakukannya adalah menggunakan dana nasabah yang seharusnya
dibelikan saham sesuai instruksi nasabah dan dicatat oleh Kustodian Sentral
Efek Indonesia, sebagai dana pribadi. Pemilik Sarijaya Sekuritas lalu
menggunakan dana para nasabahnya untuk melakukan transaksi pribadi.
Sebagai tindak lanjut penyelesaian kasus penggelapan dana nasabah Sarijaya
Sekuritas.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK)
menyatakan bersalah dan dicekal terhadap seluruh direksi Sarijaya.
57
Direksi Sarijaya ikut bertanggungjawab dalam kasus penggelapan dana nasabah
oleh Komisaris Utama.
Alasan ditetapkannya status cekal serta meminta tanggung jawab direksi dalam
kasus ini,adalah karena direksi mengizinkan komisaris meminjam uang para
nasabah perusahaan tersebut.
58
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Tanggung Jawab Direksi Yang Melakukan Tindakan Melawan Hukum
1) Tanggung direksi berdasarkan prinsip fiduciary duty
Seorang direksi dalam suatu perusahaan merupakan seseorang yang dipercaya
dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik untuk dan atas nama perseroan.
Seorang anggota direksi memiliki tugas fiduciary duties dalam perseroan yang
terbit secara hukum akibat adanya suatu hubungan fiduciary antara seorang
direksi dan perusahaan. Hal ini menempatkan direksi sebagai trustee, sehingga
dituntut untuk memiliki kepedulian dan kemampuan, itikad baik, loyalitas dan
kejujuran terhadap perusahaannya.
Berdasarkan prinsip ini, seorang anggota direksi memiliki tanggung jawab yang
sangat tinggi. Tidak hanya dia bertanggung jawab atas ketidakjujuran yang
disengaja,
tetapi
dia
bertanggung
juga
secara
hukum
terhadap
tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu
yang penting bagi perusahaan.
Prinsip Fiduciary duty membebankan tanggung jawab kepada direksi dalam
menjalankan tugasnya, agar :

Dilakukan dengan itikad baik

Dilakukan dengan proper purpose

Dilakukan tidak dengan kebebasan yang tidak bertanggung jawab.

Tidak memiliki benturan tugas dan kepentingan.
Seorang direksi dikatakan telah melakukan tugasnya dengan baik, jika anggota
direksi tersebut telah melakukan tugas pengurusan dan perwakilan seperti yang
diamanatkan, semaksimal mungkin mengerahkan segala pengetahuan dan
kemampuannya
secara
reasonable.
Direksi
harus
bersungguh-sungguh
memperhatikan kepentingan perusahaan, pemegang saham, para pekerja. Juga
59
dalam menjalankan tugasnya tidak boleh melanggar hukum, anggaran dasar,
dan kepentingan umum.
2) Tanggung jawab berdasarkan prinsip ultra vires
Prinsip ultra vires, merupaka sebuah doktrin yang mengatur akibat hukum
bilamana terjadi suatu tindakan perseroan yang melampaui batas kewenangan
yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar.
Meskipun dalam sejarah hukum secara universal terlihat trend yang semakin
mengendorkan
diberlakukan
berlakunya
di
banyak
prinsip ultra
Negara,
vires,
termasuk
tetapi
juga
prinsip
ini
masih
Indonesia. Istilahultra
vires diterapkan dalam arti yang luas, yakni termasuk tidak hanya kegiatan yang
dilarang oleh anggaran dasar, tetapi juga termasuk tindakan yang tidak dilarang,
tetapi melampaui yang diberikan kepadanya.
Suatu perbuatan hukum dipandang berada diluar maksud dan tujuan perseroan
manakala memenuhi salah satu kriteria;

Perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh anggaran
dasar.

Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang
bersangkutan tidak dapat dikatakan akan menunjang kegiatan-kegiatan yang
disebut dalam anggaran dasar.

Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang
bersangkutan
tidak
dapat
diartikan
sebagai
menunjang
kepentingan
perseroan terbatas.
UU Perseroan Terbatas menempatkan maksud dan tujuan perseroan pada
posisi yang sangat sentral dalam anggaran dasar. Perubahan maksud dan
tujuan dalam anggaran dasar harus disetujui oleh RUPS sesuai dengan
ketentuan perundan-undangan yang berlaku. Di samping itu, perubahan maksud
dan tujuan dalam anggaran tersebut haruslah mendapat persetujuan oleh
Menteri Kehakiman, didaftarkan dalam daftar perusahaan dan diumumkan dalam
berita negara.
Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk
kepentingan perseroan sesuai dengan yang diatur dengan Undang-Undang dan
maksud dan tujuan yang telah ditentukan dalam anggaran dasar perseroan.
Setiap tindakan dari direksi yang diluar wewenangnya tidak mengikat perseroan.
60
Prinsip ultra vires bertujuan untuk melindungi investor atau para pemegang
saham dari tindakan direksi yang diluar wewenang atau kemudian untuk
memperoleh ganti rugi.
Tindakan ultra vires menyebabkan perbuatan tersebut menjadi tidak sah dan
batal demi hukum, dan jika ada pihak yang dirugikan, maka pihak direksilah yang
mesti bertanggung jawab secara pribadi.
3) Tanggung jawab pribadi direksi
Seorang anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
perseroan jika :

Bersalah dalam menjalankan tugasnya;

Lalai menjalankan tugasnya
Tugas pengurusan dan perwakilan yang dilakukan direksi secara tidak
bertanggung jawab dan tanpa itikad baik akan mengakibatkan direksi bertangguh
jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang terjadi.
Dalam menjalankan tugas pengurusan perseroan, wajib dilakukan dengan itikad
baik yang meliputi aspek :

Wajib dipercaya, selamanya dapat dipercaya dan selamanya harus jujur;

Wajib melaksanakan pengurusan untuk tujuan yang wajar atau layak
(proper purpose);

Wajib menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty or duty
obedience);

Wajib loyal terhadap perseroan (loyality duty), tidak menggunakan kekayaan
perseroan untuk kepentingan pribadi;

Wajib
menghindari
terjadinya
benturan
kepentingan
pribadi
dengan
kepentingan perseroan. Tidak mengambil atau menahan keuntungan
perseroan demi keuntungan pribadi, tidak bersaing dengan perseroan.
Jika anggota direksi lalai melaksanakan kewajiban itu atau melanggar apa yang
dilarang atas pengurusan itu, dan kelalaian atau pelanggaran itu menimbulkan
kerugian terhadap perseroan, maka anggota direksi itu, bertanggung jawab
penuh secara pribadi (persoonlijk, personally liable) atas kerugian perseroan
tersebut.
4) Tangung jawab secara tanggung renteng anggota direksi
61
Pasal 97 ayat (4) menentukan, dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota
direksi atau lebih, tanggung jawab berlaku secara tanggung renteng bagi setiap
anggota direksi.
Penegakkan penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng dalam hukum
perseroan Indonesia, baru dikenal dalam UU Perseran Terbatas 2007.
Sebelumnya baik pada KUHD dan UUPT 1995, yang ditegakkan adalah prinsip
tanggung jawab pribadi yang digantungkan kepada faktor siapa pelaku yang
melakukan kesalahn, kelalaian, atau pelanggaran itu.
Berdasarkan ketentuan ini, apabila salah seorang anggota direksi lalai atau
melanggar kewajibannya atau tidak menjalankannya dengan itikad baik sehingga
menimbulkan kerugian, maka setiap anggota direksi secara bersama-sama
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. Meskipun,
anggota direksi lain tidak ikut melakukan tindakan yang dimaksud, mereka tetap
ikut bertanggung jawab atas kerugian perusahaan secara tanggung renteng.
Artinya, hukum menganggap semua anggota direksi bertanggung jawab renteng
(personally and/or jointly), yaitu secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama
atas seluruh kerugian pihak lain, tanggung jawab mana berlaku atas segala
perbuatan yang dilakukan oleh direksi untuk dan atas nama perseroan,
meskipun anggota direksi tersebut tidak ikut melakukan bahkan tidak
mengetahui adanya tindakan tersebut.
B. Saran
Fungsi Fit and Proper Test
Menyadari begitu besarnya peran direksi di dalam menentukan keberhasilan
perseroan, UU ini juga secara umum mengatur syarat-syarat untuk menjadi
Direktur yang dapat dilihat pada pasal 93. Bahkan untuk Perbankan, Bank
Indonesia mengaturnya lebih ketat di dalam aturan tersendiri. Tanggung jawab
Direktur
diatur dengan azas kolegial, independen dan tanggung renteng.
Sehingga di dalam menjalankan tugasnya mereka dituntut untuk profesional,
independen baik terhadap pihak di luar perseroan maupun di dalam perseroan
termasuk terhadap direktur lainnya, serta memiliki tanggung jawab yang sama
62
dihadapan hukum. Di sisi lain, kerja sama di antara Direktur didalam mengelola
perseroan tetap dibutuhkan. Oleh karenanya proses fit and proper test mutlak
harus dilakukan sebelum direktur diangkat. Proses fit and proper test harus
dilakukan oleh lembaga yang berkompeten, pakar yang ahli di bidangnya serta
dilaksanakan secara jujur dan independen. Dengan proses ini akan dapat dinilai
tingkat kompetensi, integritas dan team work direksi.
Sedangkan untuk menguji apakah calon Direksi tersebut dapat bekerjasama
dalam satu tim (board), maka dapat dinilai melalui beberapa faktor seperti visi,
rencana kerja, cara pandang dan pemikiran oleh masing-masing calon. Caloncalon Direktur yang memiliki kesamaan, kesejalanan atau saling bersinergi,
pada faktor-faktor tersebut adalah mereka yang bisa bekerjasama. Dengan cara
ini, maka indepedensi masing-masing direktur dapat dijaga sejak dini.
Sedangkan untuk memilih direktur utama harus dipilih calon yang memiliki
kemampuan leadership yang paling kuat karena di dalam UU PT ini, peran
direktur utama bukan lagi sebagai pimpinan mutlak tetapi lebih berperan sebagai
koordinator Direksi.
63
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku


















Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Griya Media, 2011.
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT,
Forum Sahabat, 2008.
Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, 2008. Disertai
dengan Ulasan Menurut UU No. 40 Thn. 2007 dan Peraturan lain terkait
perseroan. Gunawan Widjaja, 2008.
Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung : PT. Alumni, 1991.
Brata, Samadi Surya, Metodologi Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1998.
Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perusahaan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004.
Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya
dalam Hukum Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, buku ketiga, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 1996.
Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Made, Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis,
Yogyakarta : Andi, 2006.
Muhammad, Abdulkadir,Hukum Perseroan Indonesia, Bandung : Citra Aditya
Bakti,2002.
Muhammad Suwarsono, Strategi Penyehatan Perusahaan: Generik dan
Kontekstual,Yogyakarta : Ekonisia, 2001.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
Rasjidi, Lili,Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Bandung : Remaja
Rosdakarya,1998.
Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahan Tentang Perseroan Terbatas, Bandung :
CV. Nuansa Aulia, 2006.
Sawir, Agnes,Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan, Jakarta
:Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Simanungkalit Parasian, Rapat Umum Pemegang Saham Kaitannya dengan
Tanggung Jawab Direksi Pada Perseroan Terbatas, Jakarta : Yayasan Wajar
Hidup, 2006.
Usman, Rachmadi,Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung :
PT.Alumni, 2004.
64
B. Internet, Proposal




Amirudin, Badriyah Rifai, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan
Good Corporate Governance di Tubuh Perusahaan Publik”
http://researchengines.com/badriyahamirudin.html
Kasim, Umar,Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan
atau Likuidasi, http://helmilaw-helmi.blogspot.com/2008/07/
tanggung-jawab-krporasi-dalam-hal.html Mulyana, Iman,Good Corporate
Governance, http://id.shvoong.com/business-management/management/1658624good-corporate-governance/.
Remy Sjandeini, Sutan,Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris. Jurnal Hukum
Bisnis Volume 14, Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001.
C. Undang-Undang



Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, tentang Perseroan
Terbatas.
65
Download