BAB II MANAJEMEN RISIKO KAITANNYA DENGAN PERAN

advertisement
BAB II
MANAJEMEN RISIKO KAITANNYA DENGAN PERAN DIREKSI BANK
A. Pengertian, Fungsi dan Ruang Lingkup Manajemen Risiko
Peranan bank dalam aktifitas perekonomian sangat besar, karena ia berfungsi
sebagai intermediari antara pihak yang surplus dana kepihak yang defisit. Di dalam
menjalankan fungsi intermediasinya, bank menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat dalam bentuk simpanan serta menyalurkannya dalam bentuk kredit
kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Mengingat besarnya peran dana
masyarakat, maka sudah merupakan suatu keharusan bagi pengurus bank untuk
mengelola banknya dengan hati-hati. Motivasi masyarakat mempercayakan dananya
di bank tentunya selain mengharapkan mendapatkan keuntungan, juga mengharapkan
adanya jaminan keamanan atas simpanan masyarakat secara hukum.
Bank sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan sangat berperan dalam
peningkatan perekonomian suatu negara kearah peningkatan kesejahteraan rakyat
banyak. 49 Bank sebagaimana lembaga keuangan atau perusahaan umumnya dalam
menjalankan kegiatan guna mendapatkan hasil usaha atau return selalu dihadapkan
pada risiko. Keberhasilan sebuah organisasi salah satunya bergantung pada kualitas
manajemen. Manajemen yang buruk akan menimbulkan risiko dan menyebabkan
kerugian bagi bank, jika tidak dideteksi serta tidak dikelola sebagaimana mestinya.
49
v.
Ismail, Management Perbankan dan Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2010) hlm
Untuk itu, bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul
dalam melaksanakan kegiatan usahanya. 50
1. Pengertian Manajemen Risiko
Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan
pengendalian upaya anggota organisasi serta menggunakan semua sumber daya
organisai untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Operasi suatu badan usaha
atau perusahaan biasanya berhadapan dengan risiko usaha dan risiko non usaha.
Risiko usaha adalah semua risiko yang berkaitan dengan usaha perusahaan untuk
menciptakan keunggulan bersaing dan memberikan nilai bagi pemegang saham.
Sedangkan risiko non usaha adalah risiko lainnya yang tidak dapat dikendalikan oleh
perusahaan. 51
Risk adalah peluang kemungkinan terjadinya bencana atau kerugian. Oleh
karena itu, risk dari sudut pandang bank didefinisikan sebagai peluang dari
kemungkinan terjadinya situasi yang memburuk (bad outcome). 52 sehingga
manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai suatu metode logis dan sistematik
dalam identifikasi, kuantifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta
50
Ferry N. Idroes dan Sigiarto, Management Resiko Perbankan Dalam Konteks Kesepakatan
Basel dan Peraturan Bank Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006) hlm 6.
51
Ibid
52
Idroes N Ferry, Manajemen Risiko Perbankan, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008)
hlm 4.
melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau
proses. 53
Pengertian manajemen risiko telah dirumuskan di dalam Pasal 1 angka (5)
Peraturan Bank Indonesia No.11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum, yang menyatakan bahwa “Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi
dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan
mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh usaha bank”.
Rumusan lain mengenai pengertian manajemen risiko juga dapat ditemukan
menurut pendapat para sarjana, antara lain:
a. Williams A. Numan
Risk management is a rational attempt to reduce or avoid the
consequences of loss or injury (Manajemen risiko adalah suatu usaha
secara rasional untuk menghindari atau mengurangi kerugian atau
cidera). 54
b. Ferry N. Idroes
Manajemen risiko didefinisikan sebagai metode logis dan sistematik
dalam indentifikasi, kualifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi,
53
Masyud Ali, Manajemen Risiko (Strategi Perbankan dan Dunia Usaha Menghadapi
Tantangan Globalisasi Bisnis), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 3
54
William A. Numans, 1943, hal.3 dalam Kasidi, Op. Cit., hal. 4
serta melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berlangsung pada
setiap aktivitas atau proses. 55
c. Herman Darmawi
Manajemen
risiko
merupakan
suatu
usaha
untuk
mengetahui,
menganalisa serta mengendalikan risiko dalam setiap perusahaan
dengan tujuan memperoleh efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi.
Maka dari itu perlu diketahui makna cakupan yang lebih tinggi untuk
memahami proses manajemen risiko. 56
Risiko tidak cukup dihindari tapi harus dihadapi dengan cara-cara yang dapat
memperkecil kemungkinan terjadinya suatu kerugian, maka demikian risiko harus
dikelola dengan baik yaitu dengan beberapa langkah-langkah sebagai berikut 57 :
1). Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko adalah rangkaian proses pengenalan yang seksama atas
risiko dan komponen risiko yang melekat pada suatu aktivitas atau
transaksi yang diarahkan kepada proses pengukuran serta pengelolaan
risiko yang tepat. Identifikasi risiko adalah pondasi dimana tahapan lainnya
dalam proses manajemen risiko dibangun.
55
Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan, (Graha Ilmu, 2006), hlm. 5
Herman Darmawi, Manajemen Risiko, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 17
57
Masyud Ali, Op.Cit hlm 16
56
2). Pengukuran Risiko
Pengukuran risiko adalah rangkaian proses yang dilakukan dengan tujuan
untuk memahami signifikansi dari akibat yang akan ditimbulkan suatu
risiko, baik secara individual maupun portofolio, terhadap tingkat
kesehatan dan kelangsungan usaha. Pemahaman yang akurat tentang
signifikansi tersebut akan menjadi dasar bagi pengelolaan risiko yang
terarah dan berhasil guna.
3). Pengelolaan Risiko
Pengelolaan risiko pada dasarnya adalah rangkaian proses yang dilakukan
untuk meminimalisasi tingkat risiko yang dihadapi sampai pada batas yang
dapat diterima secara kuantitatif upaya untuk meminimalisasi risiko ini
dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah yang diarahkan pada
turunnya (angka) hasil ukur yang diperoleh dari proses pengukuran risiko.
Aktivitas suatu badan usaha atau perusahaan pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari aktivitas mengelola risiko. Sehingga penerapan manajemen risiko
dianggap sangat penting.
2. Fungsi Manajemen Risiko
Dalam pengadaan manajemen risiko di dunia perbankan dan perseroan
terbatas, penerapan manajemen risiko memiliki beberapa fungsi penting di dalam
perusahaan antara lain fungsi dari manajemen risiko tersebut adalah 58:
a. Menemukan risiko potensial;
b. Mengevaluasi risiko potensial; dan
c. Memilih teknik/ cara yang tepat atau menentukan kombinasi dari teknikteknik yang tepat guna menanggulangi kerugian
Menemukan kerugian potensial artinya berupaya untuk menemukan/
mengidentifikasi seluruh risiko murni yang dihadapi oleh perusahaan. Proses ini juga
harus mengupayakan untuk mengidentifikasi potensi risiko-risiko baik yang dalam
kendali
organisai
maupun
diluar
organisasi.
Proses
ini
dimulai
dengan
mengidentifikasi secara komperhensif, ekstensif dan intensif mengenai risiko apa saja
yang dapat terjadi, dimana dan bilamana. Selanjutnya
mengevaluasi kerugian
potensial artinya melakukan evaluasi dan penilaian terhadap semua kerugian
potensial yang dihadapi oleh perusahaan.
Proses evaluasi risiko akan menentukan risiko-risiko mana yang memerlukan
perlakuan dan bagaimana prioritas perlakuan atas risiko-risiko tersebut. Hasil
evaluasi risiko akan menjadi masukan bagi proses perlakuan risiko. Kemudian setelah
58
Ferry N. Idroes, Op. Cit, hlm. 5
menemukan potensi risiko dan mengevaluasinya maka selanjutnya adalah memilih
teknik/ cara yang tepat atau menentukan suatu kombinasi dari teknik-teknik yang
tepat guna menanggulangi kerugian. Maka tugas dari manajer risiko memiliki
peranan dalam hal ini yaitu memilih salah satu cara yang paling tepat untuk
menanggulangi suatu risiko atau memilih suatu kombinasi dari cara-cara yang paling
tepat untuk menanggulangi risiko tersebut, apakah menghindari kemungkinan
terjadinya kerugian, mengurangi kesempatan terjadinya kerugian, memindahkan
kerugian potensial pada pihak lain (mengasuransikan) atau akan menerima dan
memikul kerugian yang timbul.
Manajemen risiko pada prinsipnya merupakan suatu usaha untuk mengetahui,
menganalisa serta mengendalikan risiko dalam setiap perusahaan dengan tujuan
memperoleh efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi. 59 Di sisi lain, manajemen
risiko yang meliputi peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko dimaksudkan agar aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank tidak
menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu
kelangsungan usaha bank. Dengan memperoleh dan efisiensi yang tinggi tentu akan
mendukung pencapaian tujuan bank yang bersangkutan dan pada gilirannya akan
meningkatkan outcome yang diharapkan.
59
Herman Darmawi, Op.Cit., hlm. 17
3. Ruang Lingkup Manajemen Risiko
Dewan direksi setiap bank mempunyai tugas untuk menetapkan bahwa risiko
perbankan dalam menjalankan bisnis diatur dalam suatu tata cara yang efektif. Dalam
pelaksanaan tugas tersebut dibutuhkan 60:
a.
Pengawasan aktif dari dewan komisaris, dewan direksi dan oleh personil
manajemen risiko yang terkait yang dipilih oleh bank.
Dewan komisaris dan direksi bertanggung-jawab atas efektivitas penerapan
manajemen risiko di bank. Untuk itu dewan komisaris dan direksi harus
memahami risiko-risiko yang dihadapi bank dan memberikan arahan yang
jelas, melakukan pengawasan dan mitigasi secara aktif serta mengembangkan
budaya manajemen risiko di bank. Selain itu dewan komisaris dan direksi juga
harus memastikan struktur organisasi yang memadai, menetapkan tugas dan
tanggung jawab yang jelas pada masing-masing unit, serta memastikan
kecukupan kuantitas dan kualitas SDM untuk mendukung penerapan
manajemen risiko secara efektif.
b.
Penetapan kebijakan prosedur untuk menentukan batas untuk risiko yang
dilaksanakan oleh bank.
Penerapan manajemen risiko yang efektif harus didukung dengan kerangka
yang mencakup kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta limit risiko
yang ditetapkan secara jelas sejalan dengan visi, misi, dan strategi bisnis bank.
60
Pasal 2 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum
Penyusunan kebijakan dan prosedur manajemen risiko tersebut dilakukan
dengan memperhatikan antara lain jenis, kompleksitas kegiatan usaha, profil
risiko, dan tingkat risiko yang akan diambil serta peraturan yang ditetapkan
otoritas dan/atau praktek perbankan yang sehat. Selain itu, penerapan
kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang dimiliki bank harus didukung
oleh kecukupan permodalan dan kualitas SDM. Dalam rangka pengendalian
risiko secara efektif, kebijakan dan prosedur yang dimiliki bank harus
didasarkan pada strategi manajemen risiko dan dilengkapi dengan toleransi
risiko dan limit risiko. Penetapan toleransi risiko dan limit risiko dilakukan
dengan memperhatikan tingkat risiko yang akan diambil dan strategi bank
secara keseluruhan.
c.
Penetapan prosedur untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan resiko.
Identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko merupakan
bagian utama dari proses penerapan manajemen risiko. Identifikasi Risiko
bersifat proaktif, mencakup seluruh aktivitas bisnis bank dan dilakukan dalam
rangka menganalisa sumber dan kemungkinan timbulnya risiko serta
dampaknya. Selanjutnya, bank perlu melakukan pengukuran risiko sesuai
dengan karakteristik dan kompleksitas kegiatan usaha. Dalam pemantauan
terhadap hasil pengukuran risiko, bank perlu menetapkan unit yang
independen dari pihak yang melakukan transaksi untuk memantau tingkat dan
tren serta menganalisis arah risiko. Selain itu, efektivitas penerapan
manajemen risiko perlu didukung oleh pengendalian risiko dengan
mempertimbangkan hasil pengukuran dan pemantauan risiko. Dalam rangka
mendukung proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian
risiko, bank juga perlu mengembangkan sistem informasi manajemen yang
disesuaikan dengan karakteristik, kegiatan dan kompleksitas kegiatan usaha
bank.
d.
Penetapan dari suatu struktur pengawasan intern untuk mengatur resiko.
Proses penerapan manajemen risiko yang efektif harus dilengkapi dengan
sistem pengendalian intern yang handal. Penerapan sistem pengendalian intern
secara efektif dapat membantu pengurus bank menjaga aset bank, menjamin
tersedianya pelaporan keuangan dan manajerial yang dapat dipercaya,
meningkatkan kepatuhan bank terhadap ketentuan dan peraturan perundangundangan yang berlaku, serta mengurangi risiko terjadinya kerugian,
penyimpangan dan pelanggaran aspek kehati-hatian. Terselenggaranya sistem
pengendalian intern bank yang handal dan efektif menjadi tanggung jawab
dari seluruh satuan kerja operasional dan satuan kerja pendukung serta satuan
kerja audit intern.
B. Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Bank.
1. Tugas Direksi
Keabsahan suatu perbuatan hukum sangatlah bergantung pada kewenangan
yang dimiliki oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Kewenangan ini
oleh kalangan ahli hukum digolongkan kedalam kewenangan yang berdasarkan
pada: 61
a.
Kapasitas diri sendiri sebagai individu pribadi.
b.
Kapasitas sebagai pemegang kuasa yang bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa.
c.
Kapasitas untuk bertindak dalam jabatan yang dalam hal ini bertindak selaku
yang berwenang berdasarkan jabatannya tersebut.
Konsep kewenangan bertindak tersebut menjadi penting terutama jika
dihubungkan dengan konsekunesi hukum dan tidak terpenuhinya syarat subjektif
sahnya suatu perjanjian. Hukum perjanjian dan lazimnya peraturan perundangundangan yang berlaku mengancam setiap perbuatan hukum yang tidak memenuhi
syarat subjektif ini dengan ancaman batal (dapat dibatalkan) setiap saat selama masa
daluwarsa masih belum terlewati dan atau dalam hal perjanjian ini tidak diratifikasi
lebih lanjut. Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata, hak untuk membatalkan
perjanjian yang demikian diberikan kepada mereka yang syarat subjektifnya tidak
terpenuhi.
Dalam memenuhi kewajibannya sebagai direksi, tugas dan tanggung jawab
direksi adalah sebagai berikut 62:
1). Merumuskan dan mengusulkan kebijaksanaan umum bank untuk masa
yang akan datang yang disetujui oleh dewan komisaris serta disahkan
61
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1999), hlm. 118
62
Mia Lasmi Wardiah, Dasar-Dasar Perbankan (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 120
dalam RUPS agar tercapai tujuan serta kontinuitas operasional
perusahaan;
2). Menyusun dan mengusulkan Rencana Anggaran Perusahaan dan
rencana kerja untuk tahun buku yang baru disetujui oleh dewan
komisaris;
3). Mengajukan neraca dan laporan laba rugi tahunan serta laporan berkala
lainnya kepada dewan komisaris untuk mendapatkan penilaiannya;
4). Turut menandatangani surat-surat saham yang telah diberi nomor urut
sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar perusahaan;
5). Menyetujui pemindah tanganan saham-saham kepada pembeli baru
yang ditunjuk dan dipilih oleh pemegang saham lama setelah
mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam anggaran dasar tentang
pemindah tanganan saham-saham tersebut;
6). Bertanggung-jawab atas pengeluaran duplikat surat saham tanda
penerimaan keuntungan dan talon yang hilang serta mengumumkan di
surat kabar resmi yang terbit di tempat kedudukan perseroan;
7). Mengundang para pemegang saham untuk menghadiri rapat pemegang
saham;
8). Mengajukan kepada dewan komisaris, jenis pelayanan baru yang dapat
diberikan peseroan kepada masyarakat untuk disetujui;
9). Memberi persetujuan atas penggunaan formulir-formulir dan dokumendokumen lainnya dalam transaksi perseroan;
10). Menyetujui pinjaman yang diberikan kepada pegawai bank;
11).Mengangkat pejabat-pejabat bank yang akan diberi tanggung jawab
mengawasi kegiatan perseroan;
12).Menyetujui besarnya gaji dan tunjangan lainnya yang harus dibayarkan
kepada para pejabat dan pegawai perseroan;
13).Mengamankan harta kekayan perseroan agar terlindungi dari bahaya
kebakaran, pencurian, perampokan dan kerusakan.
2. Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi
Tanggung jawab adalah kewajiban seorang direksi untuk melaksanakan
aktivitas
yang
ditugaskan
kepadanya
sebaik
mungkin
sesuai
dengan
kemampuannya. 63 Dalam perseroan biasanya antara wewenang dan tanggung jawab
seorang direksi harus mempunyai tingkatan yang sama (equal). Dengan demikian
63
Winardi, Asas Asas Manajemen, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 98
wewenang seorang direksi memberikan kepadanya kekuasaan untuk membuat serta
menjalankan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan bidang tugasnya yang
telah ditetapkan, dan tanggung jawab dalam bidang tugasnya tersebut menimbulkan
kewajiban baginya untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan jalan
menggunakan wewenang yang ada untuk mencapai tujuan perseroan.
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT),
dalam Pasal 1 ayat (5) menyatakan direksi adalah Organ perseroan yang berwenang
dan bertanggung-jawab penuh atas pegurusan perseroan untuk kepentingan perseroan,
sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam
maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Definisi tersebut
menjelaskan bahwa perseroan bergantung kepada direksi sebagai organ yang
dipercayakan untuk melakukan pengurusan perseroan. Selanjutnya adanya perseroan
merupakan sebab keberadaan direksi atau dengan perkataan lain tanpa perseroan,
tidak ada direksi. 64 Sedangkan untuk menjalankan tugasnya, direksi harus
diperlengkapi dengan wewenang yang cukup, tentu saja tanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut. Pelimpahan wewenang yang cukup besar juga
mencerminkan bahwa direksi merupakan organ perseroan yang mewakili perseroan
untuk mengambil segala macam tindakan hukum dalam rangka mencapai tujuan dan
kepentingan perseroan dengan prinsip kepercayaan tinggi.
64
Gunawan Wijaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2002), hal. 24
Menurut Pasal 92 ayat 1 UUPT, wewenang dan tanggung jawab direksi
adalah mengurus perseroan antara lain pengurusan sehari-hari perseroan. Dan di pasal
92 ayat 2 UUPT, direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan
kebijakan yang dipandang tepat 65 dalam batas undang-undang dan/ atau anggaran
dasar. Sehingga apabila direksi dalam menjalankan pengurusan tidak untuk
kepentingan perseroan dan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan,
perbuatan direksi tersebut merupakan perbuatan yang ultra vires. Perbuatan yang
ultra vires tidak mengikat perseroan tetapi mengikat pribadi anggota direksi. Frasa
“untuk kepentingan perseroan” dan “sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan”
dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT tidak boleh disikapi terpisah secara sendiri-sendiri,
artinya sekalipun direksi melaksanakan pengurusan untuk kepentingan perseroan
tetapi tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sebagaimana ditetapkan
dalam anggaran dasar, perbuatan direksi juga tidak mengikat perseroan tetapi
mengikat pribadi.
Berdasarkan Pasal 97 ayat 1 UUPT yang menentukan bahwa, direksi
bertanggung- jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal
92 ayat 1. Pengurusan sabagaimana dimaksud wajib dilaksanakan dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab. Itikad baik yang dimasud dapat meliputi 66:
65
Kebijakan yang dipandang tepat adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada
keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis. Artinya, kebijakan
yang dapat mendatangkan keuntungan bagi perseroan, kebijakan yang berguna bagi kepentingan
perseroan terbatas. Sehingga memberikan penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan lalai atau
bersalah menjalankan tugasnya sendiri.
66
M. Yahya Harahap., Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 283284
a) Wajib dipercaya (fiduciary duty) yakni selamanya dapat dipercaya dan
selamanya harus jujur;
b) Wajib melaksanakan pengurusan perseroan untuk tujuan yang wajar dan
tujuan yang layak (duty to act for a profer purpose);
c) Wajib menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty);
d) Wajib loyal terhadap perseroan, tidak menggunakan dana dan aset
perseroan untuk kepentingan pribadi, wajib merahasiakan segala informasi
(loyality duty);
e) Wajib menghindari tejadinya benturan kepentingan pribadi dengan
kepentingan perseroan (avoid conflict of interest), dilarang
mempergunakan harta kekayaan perseroan, dilarang menggunakan
informasi perseroan, tidak menggunakan posisi untuk kepentingan pribadi,
tidak mengambil atau menahan sebahagian keuntungan perseroan untuk
pribadi, tidak melakukan transaksi antara pribadi dengan perseroan, tidak
melakukan persaingan dengan perseroan, juga wajib melaksanakan
pengurusan perseroan dengan penuh tanggung jawab yang meliptui aspek:
1. Wajib seksama dan berhati-hati melakukan pengurusan yakni
kehati-hatian yang biasa dilakukan orang dalam kondisi dan posisi
yang demikian yang disertai dengan pertimbangan yang wajar;
2. Wajib melaksanakan pengurusan dengan tekun yakni secara terusmenerus secara wajar menumpahkan perhatian atas kejadian yang
menimpa perseroan; dan
3. Ketekunan dan keuletan wajib disertai kecakapan dan keahlian
sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang
dimilikinya.
Ketentuan Pasal 97 ayat (2) jo. Pasal 92 ayat (1) UUPT tentang tugas dan
tanggung jawab direksi menekankan direksi wajib menjalankan tugasnya dengan
kehati-hatian. Perlu ditekankan bahwa itikad baik itu merupakan suatu kewajiban
direksi. Kewajiban utama direksi ditujukan kepada perusahaan itu sendiri secara
keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun
kelompok 67, sesuai dengan posisi direksi sebagai sebuah trustee dalam perusahaan.
67
Bismar Nasution (I)., “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan
Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari “Tanggung Jawab
Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut
Dalam Pasal 98 ayat (3) UUPT menentukan bahwa kewenangan direksi untuk
mewakili perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan
tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UUPT, anggaran dasar, atau keputusan
RUPS. Sesuai dengan asas hukum, pembatasan yang ditentukan oleh Anggaran Dasar
(sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) UUPT) tidak boleh bertentangan
dengan UUPT, artinya anggaran dasar tidak dapat “memasung” kewenangan anggota
direksi yang telah diberikan oleh UUPT. Dengan demikian berdasarkan ketentuan
Pasal 98 ayat (3) UUPT, direksi berwenang melakukan tindakan apa pun sepanjang
dalam batas yang ditentukan dalam UUPT, Anggaran Dasar Perseroan Terbatas dan
RUPS.
Batas pertama adalah direksi dalam menjalankan pengurusan semata-mata
hanya untuk kepentingan perseroan (Pasal 92 ayat (1) UUPT), apabila Pasal 92 ayat
(1) UUPT dihubungkan dengan ketentuan Pasal 97 ayat (5) huruf c UUPT dan Pasal
99 ayat (1) UUPT huruf b tentang larangan direksi mewakili perseroan apabila
mempunyai
benturan
kepentingan
dengan
perseroan,
maka
direksi
dalam
menjalankan kepengurusan semata-mata untuk kepentingan perseroan; Artinya, tidak
boleh untuk kepentingan pribadi.
Keberhasilan direksi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai pengurus dan yang mewakili perseroan tergantung pada kebebasan yang
dimilikinya dalam koridor kepercayaan yang diamanatkan kepadanya. Dalam
Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Perbankan,” diselenggarakan oleh Bank
Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari
2008, hlm. 7
menjalankan tugasnya direksi harus memperhatikan beberapa prinsip-prinsip
tanggung jawab direksi dalam menjalankan perseroan yakni duty of skill and care
(prinsip kehati-hatian dalam tindakan direksi), duty of loyalty (itikad baik dari direksi
semata-mata demi tujuan perseroan) dan no secret profit rule doctrine of corporate
opportunity (tidak menggunakan kesempatan pribadi atas kesempatan milik atau
peruntukan bagi perseroan) serta memiliki tugas-tugas dan kewajiban yang
berdasarkan undang-undang (statutory duty). 68 Selain itu Prinsip-prinsip manajemen
perseroan yang baik (Good Corporate Governance) juga merupakan tugas direksi
yang harus dikembangkan olehnya dalam kepengurusan perseroan. Good Corporate
Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggung-jawaban
(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). 69
C. Pentingnya Manajemen Risiko Bagi Direksi Bank
Modal dasar perbankan sebagai lembaga intermediary adalah kepercayaan
masyarakat, dan dapat dikatakan itu merupakan “harga mati”, oleh karena itu
perbankan hendaknya selalu berpegang teguh terhadap prinsip kehati-hatian, karena
hilangnya kepercayaan masyarakat juga dapat melenyapkan eksistensi perbankan itu
sendiri dan imbasnya segala aspek akan terpengaruh atas dampaknya. Bertitik tolak
68
Robert J.P, Lebih Jauh tentang Kepailitan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan, 1998), hlm. 5
69
Pasal 1 ayat 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan GOOD CORPORATE
GOVERNANCE Bagi Bank Umum.
dari prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko, maka perlu ditekankan
tanggung jawab penuh dari direksi bank.
Manajemen risiko dimulai dengan adanya kesadaran manajemen menyadari
bahwa risiko pasti ada di dalam suatu perusahaan, oleh karena itu risiko tersebut
harus dapat dikendalikan 70. Tidak mungkin dalam menjalankan kinerjanya suatu
perusahaan tidak menemui risiko, karena risiko erat kaitannya dengan keberhasilan
juga kegagalan. Disinilah perlu kesadaran dari pihak manajemen suatu perusahaan
untuk dapat mengenali, memantau dan mengendalikan risiko tersebut.
1. Direksi Sebagai Pemegang Amanah (Trustee) dari Bank
Dalam melakukan pengelolaan perusahaan yang baik, maka peran direksi
sebagai ujung tombak perusahaan merupakan faktor penentu maju atau mundurnya
perusahaan. Komisaris dan direksi adalah sebagai pemegang amanah (fiduciary) yang
harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi mempunyai
posisi dan kekuasaan yang besar dalam mengelola perusahaan, oleh karena itu untuk
mengontrol perilaku para direksi sangatlah penting, termasuk menentukan standar
perilaku (standart of condact) untuk melindungi pihak-pihak yang dirugikan apabila
direksi bertindak tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.
Kebutuhan untuk melindungi pemegang saham pada akhirnya sangat mempengaruhi
konsep pengelolaan perusahaan, dimana konsep tersebut dititik beratkan pada
70
Husein Umar, Manajemen Risiko Bisnis (Pendekatan Finansial dan Non Finansial),
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm.. 17.
tanggung jawab direksi berdasarkan fiduciary duty dan perlindungan terhadap
pemegang saham. 71
Tanggung jawab direksi pada dasarnya dilandasi oleh dua prinsip penting
yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh perseroan
berdasarkan fiduciary duty. Fiduciary duty merupakan suatu tugas dari seseorang
yang disebut Trustee yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee dengan
pihak lain yang disebut beneficiary. Pihak beneficiary memiliki kepercayaan yang
tinggi kepada trustee, dan sebaliknya pihak trustee memiliki kewajiban untuk
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, dengan itikad baik yang lebih tinggi
dan penuh tanggung-jawab. 72 Berdasarkan prinsip ini, seorang anggota direksi
memiliki tanggung jawab yang sangat tinggi. Tidak hanya dia bertanggung-jawab
atas ketidakjujuran yang disengaja, tetapi dia bertanggung juga secara hukum
terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu
yang penting bagi perusahaan.
Untuk membebankan pertanggung-jawaban terhadap direksi, maka harus
dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang
dimilikinya. Direksi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith
yang dipercayakan padanya dalam menjalankan perusahaan, sebagaimana diatur
dalam prinsip fiduciary duty. Sementara disatu sisi dalam mengelola perusahaan
71
Bismar Nasution, “Pengelolaan Stakeholder Perusahaan”, Disampaikan pada Pelatihan
Mengelola Stakeholder, yang dilaksanakan PT. Perkebunan Nusantata III Persero Tanggal 17 Oktober
2008 di Sei Karang, Sumatera Utara, hlm. 2
72
Munir Fuady, “Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law (Eksistensi dalam Hukum
Indonesia”, (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2002), hlm. 201
direksi dituntut dapat mengambil keputusan bisnis yang tepat dan cepat. Hal ini
dikarenakan kondisi bisnis yang cepat dan berubah dan persaingan yang ketat dari
perseroan lain. Namun tuntutan tersebut tidak mengurangi pelaksanaan kewajiban
fiduciary duty oleh direksi, meskipun bukan tidak mungkin keputusan yang diambil
direksi membawa kerugian bagi perseroan.
Jika keputusan tersebut bukan merupakan hasil dari pertimbangan yang
matang oleh direksi, tanpa memperhatikan kewajiban fiduciary yang dibebankan
padanya pula, maka dengan timbulnya kerugian bagi perseroan tersebut, dapat
menghilangkan sifat pertanggung-jawaban terbatas dari perseroan dan menimbulkan
tanggung-jawab pribadi dari direksi. Sebaliknya, apabila suatu keputusan yang
diambil oleh direksi merupakan keputusan yang diambil dengan memperhatikan
prinsip fiduciary duty tetapi tetap menimbulkan kerugian bagi perseroan, maka
direksi tidak dapat dituntut dan dimintai pertanggung-jawaban secara pribadi.
Dikaitkan dengan penerapan prinsip piercing the corporate veil kedalam
tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya
dimintakan dari perseroan tersebut, tetapi pertanggung-jawaban hukum dapat juga
dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan dalam pengembangannya juga
membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain seperti
direksi atau komisaris. Akan halnya tanggung jawab direksi akibat penerapan
piercing the corporate veil tersebut, dari segi lain dapat juga dilihat sebagai akibat
penerapan fiduciary duty dari direksi yang bersangkutan.
Pasal 97 ayat 2 menyatakan “setiap anggota direksi sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab”. Apabila direksi bersalah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan
kewajiban fiduciary duty tersebut, yakni tidak dengan itikad tidak baik dan
bertanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseronya maka direksi
bertanggung jawab secara pribadi. 73
Berdasarkan Pasal 97 ayat (2) dan (3) UUPT direksi tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas kerugian perseroan apabila tindakan direksi terhadap
perseroan memenuhi ketiga syarat yuridis yaitu itikad baik, penuh tanggung jawab
dan untuk kepentingan dan usaha perseroan. Maka diberlakukan teori business
judgement rule merupakan salah satu teori untuk menjamin keadilan bagi para direksi
yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk
mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam
melakukan suatu keputusan bisnis, artinya tidak terdapat kepentingan pribadi yang
dilakukan oleh direksi dalam menjalankan perusahaan.
Prinsip business judgment rule telah diatur dalam UUPT pada pasal 97 ayat 5,
disebutkan bahwa seorang direksi bebas dari tanggung-jawab atas kerugian perseroan
apabila dapat membuktikan:
a. Kerugian tersebut bukan kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
73
Ibid
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian
Prinsip Bussiness Judgment Rule melindungi direksi atas keputusan bisnis
yang merupakan transaksi perusahaan, selama hal tersebut dilakukan dalam batasbatas kewenangan yang dimilikinya dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik,
direksi tidak dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas konsekuensi yang timbul
dari putusan bisnisnya. Sehingga jika dikaitkan dengan prinsip fiduciary duty maka
prinsip business judgment rule merupakan reaksi atas pembatasan direksi yang timbul
karena adanya kewajiban-kewajiban fiduciary bagi direksi dalam mengurus
perusahaan. Dengan adanya prinsip business judgment rule memberikan kelegaan
kepada direksi di dalam menjalankan roda kepemiminan yang berbadan hukum
perseroan terbatas.
2. Tanggung Jawab Direksi Atas Kerugian Bank
Direksi merupakan badan perseroan yang paling tinggi, karena direksi berhak
dan berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama
perseroan (baik di dalam maupun di luar pengadilan) dan bertanggung jawab atas
pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. 74 Tugastugas yang bersumber kepada perundang-undangan yang berlaku, sejauh merupakan
hukum memaksa (madatary law, dwingend recht) wajib dilakukan oleh direksi.
74
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op. Cit. hlm 97
Dalam hal ini, pihak direksi dianggap bersalah jika terjadi 3 (tiga) kategori sebagai
berikut:
a. Tidak melakukan yang diharuskan oleh perundang-undangan.
b. Melakukan apa yang dilarang oleh perundang-undangan.
c. Melakukan secara tidak sempurna, yakni tidak seperti yang dipersyaratkan
oleh perundang-undangan. 75
Pada pasal 97 Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5) mengatur tentang tanggung
jawab anggota direksi atas kerugian perseroan yang timbul dari kelalaian
menjalankan tugas pengurusan perseroan, yang dapat diklasifikasikan sebagai:
a. Anggota direksi bertanggung-jawab penuh secara pribadi.
Anggota direksi bertanggung-jawab penuh secara pribadi (persoonlijk
aansprakelijk, personally liable) atas kerugian yang dialami perseroan apabila:
1) Bersalah (schuld, guilt or wrongful act); dan
2) Lalai
(culpoos,
negligence)
menjalankan
tugasnya
melaksanakan
pengurusan perseroan.
b. Anggota direksi bertanggung-jawab secara tanggung renteng atas kerugian
perseroan
Dalam hal anggota direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka Pasal 97
Ayat (4) menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng.
75
Munir Fuady (Munir Fuady II), Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2003), hlm. 60
Ketentuan Pasal 97 Ayat (4) UUPT tersebut adalah, “Dalam hal direksi terdiri atas 2
(dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana yang dimaksud pada
Ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi”. Berdasarkan
bunyi dari Pasal 97 Ayat (4) ini, dengan demikian, apabila anggota direksi lalai atau
melanggar kewajibannya mengurus perseroan secara itikad baik dan penuh tanggung
jawab sesuai dengan lingkup aspek-aspek itikad baik dan pertanggung-jawaban
pengurusan yang disebut diatas, maka setiap anggota direksi sama-sama ikut
memikul tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian yang dialami
perseroan.
c. Pembebasan anggota direksi dari tanggung jawab secara tanggung renteng.
Pasal 97 Ayat (4) UUPT menganut prinsip penegakan tanggung jawab secara
tanggung renteng terhadap setiap anggota direksi atas kesalahan, dan kelalaian
pengurusan yang dijalankan oleh anggota direksi yang lain. Namun, penerapan
prinsip itu dapat disingkirkan oleh anggota direksi yang tidak ikut melakukan
kesalahan dan kelalaian. Hal ini sehubungan dengan bunyi Pasal 97 Ayat (5) 76, pada
huruf d UUPT. Direksi yang telah melakukan pengelolaan dengan itikad baik, dan
penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan, tidak bisa dimintai pertanggung-jawabannya. Hal ini mempertegas
76
Pasal 97 ayat (5) UUPT: Anggota Direksi tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut
bahwa apabila direksi telah menjalankan fiduciary duty, duty of care, dilligence and
prudence secara benar dan dapat dibuktikan serta didokumentasikan dengan baik
tentunya direksi akan terhindar dari tuntutan dan sanksi hukum, terutama sanksi
pidana korupsi. Itikad baik direksi itu, wajib dilakukan dalam Business Judgment
Rule. 77
Tanggung jawab pribadi direksi adalah keadaan dimana direksi tidak
melakukan fiduciary duty dalam kepemimpinannya sehingga merugikan perseroan
dan pemegang saham, dan dalam hal ini ukuran saham tidak lagi menjadi patokan
batasan nilai tanggung jawab tersebut, sehingga harta-harta milik pribadi direksi
dapat juga terikut untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. 78 Ketika
kesalahan atau kelalaian itu datang, maka resiko harus dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Manajemen Risiko Diperlukan Untuk Menjaga Kepercayaan Masyarakat
Terhadap Bank
Perkembangan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami
perkembangan pesat serta diikuti oleh semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan
usaha perbankan, semakin kompleksnya risiko tersebut akan meningkatkan
kebutuhan praktek tata kelola yang sehat (good governance) dan fungsi identifikasi,
pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko bank. Perbankan dituntut untuk
77
http://www.komiteaudit.org/informasi_displayartikel.asp?idi=97, diakses 17 Agustus 2013
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 143
78
mengembangkan suatu proses manajemen risiko yang sistematis dan secara
transparan dapat dipertanggung-jawabkan efektivitasnya.
Masalah paling berat yang dihadapi industri perbankan dan badan pengawas
bank adalah kelalaian pengurus bank serta penipuan dan penggelapan yang mereka
lakukan. Hal ini dapat dilihat dari praktik para bankir antara lain berupa besarnya
kredit yang disalurkan kepada kelompok usahanya sendiri. Pemberian kredit kepada
kelompok usaha sendiri tersebut sering kali tidak diiringi dengan analisis pemberian
kredit yang sehat. Padahal praktik seperti ini pada dasarnya dapat dikategorikan
sebagai penipuan. Untuk mendapatkan dan atau mempertahankan kepercayaan
masyarakat, industri perbankan harus diatur dan diawasi dengan ketat baik melalui
peraturan langsung (direct regulation) maupun peraturan tidak langsung (indirect
regulation).
Indonesia pernah mangalami dampak sistemik pada tahun 1997, hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan menyebabkan penarikan dana
besar-besaran secara bersamaan pada lembaga keuangan bank yang lebih dikenal
dengan “rush” konsekuensi logis berdampak dengan diikutiya krisis moneter yang
meluluh lantakkan korporasi-korporasi serta berimbas pada masyarakat luas. Dampak
sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari satu bank
bermasalah yang dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bank-bank lain sehingga
berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan
mengancam stabilitas sistem keuangan. 79
Risiko yang berdampak sistemik dipengaruhi oleh berbagai aspek dan situasi
yang terdapat atau terjadi disekitar sektor perbankan dan/ atau keuangan itu sendiri
baik dilingkungan internal maupun eksternal. Aspek psikologis/ sentimen pasar juga
merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Sehingga
pengukuran dampak sistemik sifatnya sangat situasional dan bervariasi sehingga
sangat sulit menentukan batasannya.
Lembaga perbankan merupakan suatu lembaga yang sangat tergantung kepada
kepercayaan masyarakat. Tanpa adanya kepercayaan masyarakat, mustahil suatu bank
mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Tidaklah berlebihan apabila di
dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan masyarakat dengan
memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama
kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan. Dengan demikian maka
manajemen risiko adalah penting untuk diterapkan untuk menghindari segala risiko
risiko kerugian yang mungkin akan timbul pada perseroan.
Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank
dilandasai oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Setiap bank perlu
79
Lihat Pasal 1 ayat (8) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas
Pembiayaan Darurat untuk Bank Umum.
menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan
masyarakat padanya. Kemauan masyarakat untuk menyimpan sebagian uangnya di
bank, semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat
diperolehnya kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang
diperjanjikan dan disertai dengan imbalan. Hubungan antara bank dan nasabah
penyimpan dana adalah hubungan pinjam-meminjam uang antara debitor (bank) dan
kreditor (nasabah penyimpan dana) yang dilandasi oleh asas kepercayaan. 80
Dengan kata lain, bahwa menurut UU perbankan hubungan antara bank dan
nasabah penyimpan dana bukan sekedar hubungan kontraktual biasa antara debitor
dan kreditor yang diliputi oleh asas-asas umum dari hukum perjanjian, tetapi juga
hubungan kepercayaan yang diliputi asas kepercayaan. Hubungan antara bank dan
nasabah debitor juga bersifat sebagai hubungan kepercayaan yang membebankan
kewajiban-kewajiban kepercayaan (fiduciary obligation) kepada bank terhadap
nasabahnya.
Dalam menghindari terjadinya ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia
perbankan,
maka perlindungan
hukum
bagi
nasabah
penyimpan
terhadap
kemungkinan terjadinya kerugian, prinsip kehati-hatian mutlak diperlukan. 81 Prinsip
80
Sutan Remy Sjahdeini dalam Rachmad Usman, Op.Cit, hlm 16
Chatamarrasjid Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),
hlm. 144.
81
kehati-hatian (prudential principle) digunakan sebagai perlindungan secara tidak
langsung oleh
pihak
perbankan
terhadap
kepentingan-kepentingan
nasabah
penyimpan dana dan terhadap kepentingan bank itu sendiri atas risiko kerugian yang
timbul dari suatu tindakan atau timbul dari kebijaksaan dan kegiatan usaha yang
dilakukan oleh bank.
Stabilitas sistem keuangan merupakan upaya yang ditujukan untuk
menciptakan lembaga dan pasar keuangan yang stabil guna menghindari terjadinya
krisis keuangan yang dapat mengganggu tatanan perekonomian nasional. Dalam
menjalankan kegiatan usahanya, bank dapat mengalami kesulitan likuiditas yang
membahayakan kelangsungan usahanya dan berdampak sistemik sehingga berpotensi
mengakibatkan krisis yang membahayakan stabilitas sistem keuangan.
Penerapan prinsip kehati-hatian merupakan suatu upaya dan tindakan
pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan. Penerapan prinsip
kehati-hatian bila dipahami lebih jauh, sangat menguntungkan baik bagi pihak
perusahaan perbankan maupun bagi pihak nasabah itu sendiri. Transaksi-transaksi
yang dikelola perusahaan yang menerapkan prinsip tersebut dapat dipastikan
merupakan transaksi yang bersih dan berimbas pada kepercayaan nasabah terhadap
bank semakin tinggi serta keuntungan bank itu makin meningkat. Perusahaan bank
tersebut juga dapat menjadi perantara yang baik bila nasabahnya bertransaksi dengan
nasabah perusahaan atau bank lainnya. Penerapan prinsip kehati-hatian bukan hanya
untuk memenuhi kepentingan bank dan nasabah, tapi lebih jauh lagi bahwa penerapan
prinsip tersebut merupakan kepentingan yang bersifat nasional.
Download