BAB II MANAJEMEN RISIKO KAITANNYA DENGAN PERAN DIREKSI BANK A. Pengertian, Fungsi dan Ruang Lingkup Manajemen Risiko Peranan bank dalam aktifitas perekonomian sangat besar, karena ia berfungsi sebagai intermediari antara pihak yang surplus dana kepihak yang defisit. Di dalam menjalankan fungsi intermediasinya, bank menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dalam bentuk simpanan serta menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Mengingat besarnya peran dana masyarakat, maka sudah merupakan suatu keharusan bagi pengurus bank untuk mengelola banknya dengan hati-hati. Motivasi masyarakat mempercayakan dananya di bank tentunya selain mengharapkan mendapatkan keuntungan, juga mengharapkan adanya jaminan keamanan atas simpanan masyarakat secara hukum. Bank sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan sangat berperan dalam peningkatan perekonomian suatu negara kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. 49 Bank sebagaimana lembaga keuangan atau perusahaan umumnya dalam menjalankan kegiatan guna mendapatkan hasil usaha atau return selalu dihadapkan pada risiko. Keberhasilan sebuah organisasi salah satunya bergantung pada kualitas manajemen. Manajemen yang buruk akan menimbulkan risiko dan menyebabkan kerugian bagi bank, jika tidak dideteksi serta tidak dikelola sebagaimana mestinya. 49 v. Ismail, Management Perbankan dan Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2010) hlm Untuk itu, bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul dalam melaksanakan kegiatan usahanya. 50 1. Pengertian Manajemen Risiko Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian upaya anggota organisasi serta menggunakan semua sumber daya organisai untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Operasi suatu badan usaha atau perusahaan biasanya berhadapan dengan risiko usaha dan risiko non usaha. Risiko usaha adalah semua risiko yang berkaitan dengan usaha perusahaan untuk menciptakan keunggulan bersaing dan memberikan nilai bagi pemegang saham. Sedangkan risiko non usaha adalah risiko lainnya yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan. 51 Risk adalah peluang kemungkinan terjadinya bencana atau kerugian. Oleh karena itu, risk dari sudut pandang bank didefinisikan sebagai peluang dari kemungkinan terjadinya situasi yang memburuk (bad outcome). 52 sehingga manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai suatu metode logis dan sistematik dalam identifikasi, kuantifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta 50 Ferry N. Idroes dan Sigiarto, Management Resiko Perbankan Dalam Konteks Kesepakatan Basel dan Peraturan Bank Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006) hlm 6. 51 Ibid 52 Idroes N Ferry, Manajemen Risiko Perbankan, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008) hlm 4. melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau proses. 53 Pengertian manajemen risiko telah dirumuskan di dalam Pasal 1 angka (5) Peraturan Bank Indonesia No.11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa “Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh usaha bank”. Rumusan lain mengenai pengertian manajemen risiko juga dapat ditemukan menurut pendapat para sarjana, antara lain: a. Williams A. Numan Risk management is a rational attempt to reduce or avoid the consequences of loss or injury (Manajemen risiko adalah suatu usaha secara rasional untuk menghindari atau mengurangi kerugian atau cidera). 54 b. Ferry N. Idroes Manajemen risiko didefinisikan sebagai metode logis dan sistematik dalam indentifikasi, kualifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, 53 Masyud Ali, Manajemen Risiko (Strategi Perbankan dan Dunia Usaha Menghadapi Tantangan Globalisasi Bisnis), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 3 54 William A. Numans, 1943, hal.3 dalam Kasidi, Op. Cit., hal. 4 serta melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau proses. 55 c. Herman Darmawi Manajemen risiko merupakan suatu usaha untuk mengetahui, menganalisa serta mengendalikan risiko dalam setiap perusahaan dengan tujuan memperoleh efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Maka dari itu perlu diketahui makna cakupan yang lebih tinggi untuk memahami proses manajemen risiko. 56 Risiko tidak cukup dihindari tapi harus dihadapi dengan cara-cara yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya suatu kerugian, maka demikian risiko harus dikelola dengan baik yaitu dengan beberapa langkah-langkah sebagai berikut 57 : 1). Identifikasi Risiko Identifikasi risiko adalah rangkaian proses pengenalan yang seksama atas risiko dan komponen risiko yang melekat pada suatu aktivitas atau transaksi yang diarahkan kepada proses pengukuran serta pengelolaan risiko yang tepat. Identifikasi risiko adalah pondasi dimana tahapan lainnya dalam proses manajemen risiko dibangun. 55 Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan, (Graha Ilmu, 2006), hlm. 5 Herman Darmawi, Manajemen Risiko, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 17 57 Masyud Ali, Op.Cit hlm 16 56 2). Pengukuran Risiko Pengukuran risiko adalah rangkaian proses yang dilakukan dengan tujuan untuk memahami signifikansi dari akibat yang akan ditimbulkan suatu risiko, baik secara individual maupun portofolio, terhadap tingkat kesehatan dan kelangsungan usaha. Pemahaman yang akurat tentang signifikansi tersebut akan menjadi dasar bagi pengelolaan risiko yang terarah dan berhasil guna. 3). Pengelolaan Risiko Pengelolaan risiko pada dasarnya adalah rangkaian proses yang dilakukan untuk meminimalisasi tingkat risiko yang dihadapi sampai pada batas yang dapat diterima secara kuantitatif upaya untuk meminimalisasi risiko ini dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah yang diarahkan pada turunnya (angka) hasil ukur yang diperoleh dari proses pengukuran risiko. Aktivitas suatu badan usaha atau perusahaan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari aktivitas mengelola risiko. Sehingga penerapan manajemen risiko dianggap sangat penting. 2. Fungsi Manajemen Risiko Dalam pengadaan manajemen risiko di dunia perbankan dan perseroan terbatas, penerapan manajemen risiko memiliki beberapa fungsi penting di dalam perusahaan antara lain fungsi dari manajemen risiko tersebut adalah 58: a. Menemukan risiko potensial; b. Mengevaluasi risiko potensial; dan c. Memilih teknik/ cara yang tepat atau menentukan kombinasi dari teknikteknik yang tepat guna menanggulangi kerugian Menemukan kerugian potensial artinya berupaya untuk menemukan/ mengidentifikasi seluruh risiko murni yang dihadapi oleh perusahaan. Proses ini juga harus mengupayakan untuk mengidentifikasi potensi risiko-risiko baik yang dalam kendali organisai maupun diluar organisasi. Proses ini dimulai dengan mengidentifikasi secara komperhensif, ekstensif dan intensif mengenai risiko apa saja yang dapat terjadi, dimana dan bilamana. Selanjutnya mengevaluasi kerugian potensial artinya melakukan evaluasi dan penilaian terhadap semua kerugian potensial yang dihadapi oleh perusahaan. Proses evaluasi risiko akan menentukan risiko-risiko mana yang memerlukan perlakuan dan bagaimana prioritas perlakuan atas risiko-risiko tersebut. Hasil evaluasi risiko akan menjadi masukan bagi proses perlakuan risiko. Kemudian setelah 58 Ferry N. Idroes, Op. Cit, hlm. 5 menemukan potensi risiko dan mengevaluasinya maka selanjutnya adalah memilih teknik/ cara yang tepat atau menentukan suatu kombinasi dari teknik-teknik yang tepat guna menanggulangi kerugian. Maka tugas dari manajer risiko memiliki peranan dalam hal ini yaitu memilih salah satu cara yang paling tepat untuk menanggulangi suatu risiko atau memilih suatu kombinasi dari cara-cara yang paling tepat untuk menanggulangi risiko tersebut, apakah menghindari kemungkinan terjadinya kerugian, mengurangi kesempatan terjadinya kerugian, memindahkan kerugian potensial pada pihak lain (mengasuransikan) atau akan menerima dan memikul kerugian yang timbul. Manajemen risiko pada prinsipnya merupakan suatu usaha untuk mengetahui, menganalisa serta mengendalikan risiko dalam setiap perusahaan dengan tujuan memperoleh efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi. 59 Di sisi lain, manajemen risiko yang meliputi peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko dimaksudkan agar aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank. Dengan memperoleh dan efisiensi yang tinggi tentu akan mendukung pencapaian tujuan bank yang bersangkutan dan pada gilirannya akan meningkatkan outcome yang diharapkan. 59 Herman Darmawi, Op.Cit., hlm. 17 3. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Dewan direksi setiap bank mempunyai tugas untuk menetapkan bahwa risiko perbankan dalam menjalankan bisnis diatur dalam suatu tata cara yang efektif. Dalam pelaksanaan tugas tersebut dibutuhkan 60: a. Pengawasan aktif dari dewan komisaris, dewan direksi dan oleh personil manajemen risiko yang terkait yang dipilih oleh bank. Dewan komisaris dan direksi bertanggung-jawab atas efektivitas penerapan manajemen risiko di bank. Untuk itu dewan komisaris dan direksi harus memahami risiko-risiko yang dihadapi bank dan memberikan arahan yang jelas, melakukan pengawasan dan mitigasi secara aktif serta mengembangkan budaya manajemen risiko di bank. Selain itu dewan komisaris dan direksi juga harus memastikan struktur organisasi yang memadai, menetapkan tugas dan tanggung jawab yang jelas pada masing-masing unit, serta memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas SDM untuk mendukung penerapan manajemen risiko secara efektif. b. Penetapan kebijakan prosedur untuk menentukan batas untuk risiko yang dilaksanakan oleh bank. Penerapan manajemen risiko yang efektif harus didukung dengan kerangka yang mencakup kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta limit risiko yang ditetapkan secara jelas sejalan dengan visi, misi, dan strategi bisnis bank. 60 Pasal 2 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Penyusunan kebijakan dan prosedur manajemen risiko tersebut dilakukan dengan memperhatikan antara lain jenis, kompleksitas kegiatan usaha, profil risiko, dan tingkat risiko yang akan diambil serta peraturan yang ditetapkan otoritas dan/atau praktek perbankan yang sehat. Selain itu, penerapan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang dimiliki bank harus didukung oleh kecukupan permodalan dan kualitas SDM. Dalam rangka pengendalian risiko secara efektif, kebijakan dan prosedur yang dimiliki bank harus didasarkan pada strategi manajemen risiko dan dilengkapi dengan toleransi risiko dan limit risiko. Penetapan toleransi risiko dan limit risiko dilakukan dengan memperhatikan tingkat risiko yang akan diambil dan strategi bank secara keseluruhan. c. Penetapan prosedur untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko. Identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko merupakan bagian utama dari proses penerapan manajemen risiko. Identifikasi Risiko bersifat proaktif, mencakup seluruh aktivitas bisnis bank dan dilakukan dalam rangka menganalisa sumber dan kemungkinan timbulnya risiko serta dampaknya. Selanjutnya, bank perlu melakukan pengukuran risiko sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas kegiatan usaha. Dalam pemantauan terhadap hasil pengukuran risiko, bank perlu menetapkan unit yang independen dari pihak yang melakukan transaksi untuk memantau tingkat dan tren serta menganalisis arah risiko. Selain itu, efektivitas penerapan manajemen risiko perlu didukung oleh pengendalian risiko dengan mempertimbangkan hasil pengukuran dan pemantauan risiko. Dalam rangka mendukung proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, bank juga perlu mengembangkan sistem informasi manajemen yang disesuaikan dengan karakteristik, kegiatan dan kompleksitas kegiatan usaha bank. d. Penetapan dari suatu struktur pengawasan intern untuk mengatur resiko. Proses penerapan manajemen risiko yang efektif harus dilengkapi dengan sistem pengendalian intern yang handal. Penerapan sistem pengendalian intern secara efektif dapat membantu pengurus bank menjaga aset bank, menjamin tersedianya pelaporan keuangan dan manajerial yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan bank terhadap ketentuan dan peraturan perundangundangan yang berlaku, serta mengurangi risiko terjadinya kerugian, penyimpangan dan pelanggaran aspek kehati-hatian. Terselenggaranya sistem pengendalian intern bank yang handal dan efektif menjadi tanggung jawab dari seluruh satuan kerja operasional dan satuan kerja pendukung serta satuan kerja audit intern. B. Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Bank. 1. Tugas Direksi Keabsahan suatu perbuatan hukum sangatlah bergantung pada kewenangan yang dimiliki oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Kewenangan ini oleh kalangan ahli hukum digolongkan kedalam kewenangan yang berdasarkan pada: 61 a. Kapasitas diri sendiri sebagai individu pribadi. b. Kapasitas sebagai pemegang kuasa yang bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. c. Kapasitas untuk bertindak dalam jabatan yang dalam hal ini bertindak selaku yang berwenang berdasarkan jabatannya tersebut. Konsep kewenangan bertindak tersebut menjadi penting terutama jika dihubungkan dengan konsekunesi hukum dan tidak terpenuhinya syarat subjektif sahnya suatu perjanjian. Hukum perjanjian dan lazimnya peraturan perundangundangan yang berlaku mengancam setiap perbuatan hukum yang tidak memenuhi syarat subjektif ini dengan ancaman batal (dapat dibatalkan) setiap saat selama masa daluwarsa masih belum terlewati dan atau dalam hal perjanjian ini tidak diratifikasi lebih lanjut. Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata, hak untuk membatalkan perjanjian yang demikian diberikan kepada mereka yang syarat subjektifnya tidak terpenuhi. Dalam memenuhi kewajibannya sebagai direksi, tugas dan tanggung jawab direksi adalah sebagai berikut 62: 1). Merumuskan dan mengusulkan kebijaksanaan umum bank untuk masa yang akan datang yang disetujui oleh dewan komisaris serta disahkan 61 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hlm. 118 62 Mia Lasmi Wardiah, Dasar-Dasar Perbankan (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 120 dalam RUPS agar tercapai tujuan serta kontinuitas operasional perusahaan; 2). Menyusun dan mengusulkan Rencana Anggaran Perusahaan dan rencana kerja untuk tahun buku yang baru disetujui oleh dewan komisaris; 3). Mengajukan neraca dan laporan laba rugi tahunan serta laporan berkala lainnya kepada dewan komisaris untuk mendapatkan penilaiannya; 4). Turut menandatangani surat-surat saham yang telah diberi nomor urut sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar perusahaan; 5). Menyetujui pemindah tanganan saham-saham kepada pembeli baru yang ditunjuk dan dipilih oleh pemegang saham lama setelah mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam anggaran dasar tentang pemindah tanganan saham-saham tersebut; 6). Bertanggung-jawab atas pengeluaran duplikat surat saham tanda penerimaan keuntungan dan talon yang hilang serta mengumumkan di surat kabar resmi yang terbit di tempat kedudukan perseroan; 7). Mengundang para pemegang saham untuk menghadiri rapat pemegang saham; 8). Mengajukan kepada dewan komisaris, jenis pelayanan baru yang dapat diberikan peseroan kepada masyarakat untuk disetujui; 9). Memberi persetujuan atas penggunaan formulir-formulir dan dokumendokumen lainnya dalam transaksi perseroan; 10). Menyetujui pinjaman yang diberikan kepada pegawai bank; 11).Mengangkat pejabat-pejabat bank yang akan diberi tanggung jawab mengawasi kegiatan perseroan; 12).Menyetujui besarnya gaji dan tunjangan lainnya yang harus dibayarkan kepada para pejabat dan pegawai perseroan; 13).Mengamankan harta kekayan perseroan agar terlindungi dari bahaya kebakaran, pencurian, perampokan dan kerusakan. 2. Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Tanggung jawab adalah kewajiban seorang direksi untuk melaksanakan aktivitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya. 63 Dalam perseroan biasanya antara wewenang dan tanggung jawab seorang direksi harus mempunyai tingkatan yang sama (equal). Dengan demikian 63 Winardi, Asas Asas Manajemen, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 98 wewenang seorang direksi memberikan kepadanya kekuasaan untuk membuat serta menjalankan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan bidang tugasnya yang telah ditetapkan, dan tanggung jawab dalam bidang tugasnya tersebut menimbulkan kewajiban baginya untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan jalan menggunakan wewenang yang ada untuk mencapai tujuan perseroan. Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT), dalam Pasal 1 ayat (5) menyatakan direksi adalah Organ perseroan yang berwenang dan bertanggung-jawab penuh atas pegurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Definisi tersebut menjelaskan bahwa perseroan bergantung kepada direksi sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan pengurusan perseroan. Selanjutnya adanya perseroan merupakan sebab keberadaan direksi atau dengan perkataan lain tanpa perseroan, tidak ada direksi. 64 Sedangkan untuk menjalankan tugasnya, direksi harus diperlengkapi dengan wewenang yang cukup, tentu saja tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut. Pelimpahan wewenang yang cukup besar juga mencerminkan bahwa direksi merupakan organ perseroan yang mewakili perseroan untuk mengambil segala macam tindakan hukum dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan perseroan dengan prinsip kepercayaan tinggi. 64 Gunawan Wijaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 24 Menurut Pasal 92 ayat 1 UUPT, wewenang dan tanggung jawab direksi adalah mengurus perseroan antara lain pengurusan sehari-hari perseroan. Dan di pasal 92 ayat 2 UUPT, direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat 65 dalam batas undang-undang dan/ atau anggaran dasar. Sehingga apabila direksi dalam menjalankan pengurusan tidak untuk kepentingan perseroan dan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, perbuatan direksi tersebut merupakan perbuatan yang ultra vires. Perbuatan yang ultra vires tidak mengikat perseroan tetapi mengikat pribadi anggota direksi. Frasa “untuk kepentingan perseroan” dan “sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan” dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT tidak boleh disikapi terpisah secara sendiri-sendiri, artinya sekalipun direksi melaksanakan pengurusan untuk kepentingan perseroan tetapi tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sebagaimana ditetapkan dalam anggaran dasar, perbuatan direksi juga tidak mengikat perseroan tetapi mengikat pribadi. Berdasarkan Pasal 97 ayat 1 UUPT yang menentukan bahwa, direksi bertanggung- jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal 92 ayat 1. Pengurusan sabagaimana dimaksud wajib dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Itikad baik yang dimasud dapat meliputi 66: 65 Kebijakan yang dipandang tepat adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis. Artinya, kebijakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi perseroan, kebijakan yang berguna bagi kepentingan perseroan terbatas. Sehingga memberikan penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan lalai atau bersalah menjalankan tugasnya sendiri. 66 M. Yahya Harahap., Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 283284 a) Wajib dipercaya (fiduciary duty) yakni selamanya dapat dipercaya dan selamanya harus jujur; b) Wajib melaksanakan pengurusan perseroan untuk tujuan yang wajar dan tujuan yang layak (duty to act for a profer purpose); c) Wajib menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty); d) Wajib loyal terhadap perseroan, tidak menggunakan dana dan aset perseroan untuk kepentingan pribadi, wajib merahasiakan segala informasi (loyality duty); e) Wajib menghindari tejadinya benturan kepentingan pribadi dengan kepentingan perseroan (avoid conflict of interest), dilarang mempergunakan harta kekayaan perseroan, dilarang menggunakan informasi perseroan, tidak menggunakan posisi untuk kepentingan pribadi, tidak mengambil atau menahan sebahagian keuntungan perseroan untuk pribadi, tidak melakukan transaksi antara pribadi dengan perseroan, tidak melakukan persaingan dengan perseroan, juga wajib melaksanakan pengurusan perseroan dengan penuh tanggung jawab yang meliptui aspek: 1. Wajib seksama dan berhati-hati melakukan pengurusan yakni kehati-hatian yang biasa dilakukan orang dalam kondisi dan posisi yang demikian yang disertai dengan pertimbangan yang wajar; 2. Wajib melaksanakan pengurusan dengan tekun yakni secara terusmenerus secara wajar menumpahkan perhatian atas kejadian yang menimpa perseroan; dan 3. Ketekunan dan keuletan wajib disertai kecakapan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Ketentuan Pasal 97 ayat (2) jo. Pasal 92 ayat (1) UUPT tentang tugas dan tanggung jawab direksi menekankan direksi wajib menjalankan tugasnya dengan kehati-hatian. Perlu ditekankan bahwa itikad baik itu merupakan suatu kewajiban direksi. Kewajiban utama direksi ditujukan kepada perusahaan itu sendiri secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok 67, sesuai dengan posisi direksi sebagai sebuah trustee dalam perusahaan. 67 Bismar Nasution (I)., “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari “Tanggung Jawab Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut Dalam Pasal 98 ayat (3) UUPT menentukan bahwa kewenangan direksi untuk mewakili perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UUPT, anggaran dasar, atau keputusan RUPS. Sesuai dengan asas hukum, pembatasan yang ditentukan oleh Anggaran Dasar (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) UUPT) tidak boleh bertentangan dengan UUPT, artinya anggaran dasar tidak dapat “memasung” kewenangan anggota direksi yang telah diberikan oleh UUPT. Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (3) UUPT, direksi berwenang melakukan tindakan apa pun sepanjang dalam batas yang ditentukan dalam UUPT, Anggaran Dasar Perseroan Terbatas dan RUPS. Batas pertama adalah direksi dalam menjalankan pengurusan semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan (Pasal 92 ayat (1) UUPT), apabila Pasal 92 ayat (1) UUPT dihubungkan dengan ketentuan Pasal 97 ayat (5) huruf c UUPT dan Pasal 99 ayat (1) UUPT huruf b tentang larangan direksi mewakili perseroan apabila mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan, maka direksi dalam menjalankan kepengurusan semata-mata untuk kepentingan perseroan; Artinya, tidak boleh untuk kepentingan pribadi. Keberhasilan direksi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengurus dan yang mewakili perseroan tergantung pada kebebasan yang dimilikinya dalam koridor kepercayaan yang diamanatkan kepadanya. Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Perbankan,” diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari 2008, hlm. 7 menjalankan tugasnya direksi harus memperhatikan beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab direksi dalam menjalankan perseroan yakni duty of skill and care (prinsip kehati-hatian dalam tindakan direksi), duty of loyalty (itikad baik dari direksi semata-mata demi tujuan perseroan) dan no secret profit rule doctrine of corporate opportunity (tidak menggunakan kesempatan pribadi atas kesempatan milik atau peruntukan bagi perseroan) serta memiliki tugas-tugas dan kewajiban yang berdasarkan undang-undang (statutory duty). 68 Selain itu Prinsip-prinsip manajemen perseroan yang baik (Good Corporate Governance) juga merupakan tugas direksi yang harus dikembangkan olehnya dalam kepengurusan perseroan. Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggung-jawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). 69 C. Pentingnya Manajemen Risiko Bagi Direksi Bank Modal dasar perbankan sebagai lembaga intermediary adalah kepercayaan masyarakat, dan dapat dikatakan itu merupakan “harga mati”, oleh karena itu perbankan hendaknya selalu berpegang teguh terhadap prinsip kehati-hatian, karena hilangnya kepercayaan masyarakat juga dapat melenyapkan eksistensi perbankan itu sendiri dan imbasnya segala aspek akan terpengaruh atas dampaknya. Bertitik tolak 68 Robert J.P, Lebih Jauh tentang Kepailitan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 1998), hlm. 5 69 Pasal 1 ayat 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan GOOD CORPORATE GOVERNANCE Bagi Bank Umum. dari prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko, maka perlu ditekankan tanggung jawab penuh dari direksi bank. Manajemen risiko dimulai dengan adanya kesadaran manajemen menyadari bahwa risiko pasti ada di dalam suatu perusahaan, oleh karena itu risiko tersebut harus dapat dikendalikan 70. Tidak mungkin dalam menjalankan kinerjanya suatu perusahaan tidak menemui risiko, karena risiko erat kaitannya dengan keberhasilan juga kegagalan. Disinilah perlu kesadaran dari pihak manajemen suatu perusahaan untuk dapat mengenali, memantau dan mengendalikan risiko tersebut. 1. Direksi Sebagai Pemegang Amanah (Trustee) dari Bank Dalam melakukan pengelolaan perusahaan yang baik, maka peran direksi sebagai ujung tombak perusahaan merupakan faktor penentu maju atau mundurnya perusahaan. Komisaris dan direksi adalah sebagai pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi mempunyai posisi dan kekuasaan yang besar dalam mengelola perusahaan, oleh karena itu untuk mengontrol perilaku para direksi sangatlah penting, termasuk menentukan standar perilaku (standart of condact) untuk melindungi pihak-pihak yang dirugikan apabila direksi bertindak tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur. Kebutuhan untuk melindungi pemegang saham pada akhirnya sangat mempengaruhi konsep pengelolaan perusahaan, dimana konsep tersebut dititik beratkan pada 70 Husein Umar, Manajemen Risiko Bisnis (Pendekatan Finansial dan Non Finansial), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm.. 17. tanggung jawab direksi berdasarkan fiduciary duty dan perlindungan terhadap pemegang saham. 71 Tanggung jawab direksi pada dasarnya dilandasi oleh dua prinsip penting yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh perseroan berdasarkan fiduciary duty. Fiduciary duty merupakan suatu tugas dari seseorang yang disebut Trustee yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee dengan pihak lain yang disebut beneficiary. Pihak beneficiary memiliki kepercayaan yang tinggi kepada trustee, dan sebaliknya pihak trustee memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, dengan itikad baik yang lebih tinggi dan penuh tanggung-jawab. 72 Berdasarkan prinsip ini, seorang anggota direksi memiliki tanggung jawab yang sangat tinggi. Tidak hanya dia bertanggung-jawab atas ketidakjujuran yang disengaja, tetapi dia bertanggung juga secara hukum terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perusahaan. Untuk membebankan pertanggung-jawaban terhadap direksi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Direksi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalankan perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty. Sementara disatu sisi dalam mengelola perusahaan 71 Bismar Nasution, “Pengelolaan Stakeholder Perusahaan”, Disampaikan pada Pelatihan Mengelola Stakeholder, yang dilaksanakan PT. Perkebunan Nusantata III Persero Tanggal 17 Oktober 2008 di Sei Karang, Sumatera Utara, hlm. 2 72 Munir Fuady, “Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law (Eksistensi dalam Hukum Indonesia”, (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2002), hlm. 201 direksi dituntut dapat mengambil keputusan bisnis yang tepat dan cepat. Hal ini dikarenakan kondisi bisnis yang cepat dan berubah dan persaingan yang ketat dari perseroan lain. Namun tuntutan tersebut tidak mengurangi pelaksanaan kewajiban fiduciary duty oleh direksi, meskipun bukan tidak mungkin keputusan yang diambil direksi membawa kerugian bagi perseroan. Jika keputusan tersebut bukan merupakan hasil dari pertimbangan yang matang oleh direksi, tanpa memperhatikan kewajiban fiduciary yang dibebankan padanya pula, maka dengan timbulnya kerugian bagi perseroan tersebut, dapat menghilangkan sifat pertanggung-jawaban terbatas dari perseroan dan menimbulkan tanggung-jawab pribadi dari direksi. Sebaliknya, apabila suatu keputusan yang diambil oleh direksi merupakan keputusan yang diambil dengan memperhatikan prinsip fiduciary duty tetapi tetap menimbulkan kerugian bagi perseroan, maka direksi tidak dapat dituntut dan dimintai pertanggung-jawaban secara pribadi. Dikaitkan dengan penerapan prinsip piercing the corporate veil kedalam tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut, tetapi pertanggung-jawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan dalam pengembangannya juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain seperti direksi atau komisaris. Akan halnya tanggung jawab direksi akibat penerapan piercing the corporate veil tersebut, dari segi lain dapat juga dilihat sebagai akibat penerapan fiduciary duty dari direksi yang bersangkutan. Pasal 97 ayat 2 menyatakan “setiap anggota direksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Apabila direksi bersalah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty tersebut, yakni tidak dengan itikad tidak baik dan bertanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseronya maka direksi bertanggung jawab secara pribadi. 73 Berdasarkan Pasal 97 ayat (2) dan (3) UUPT direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian perseroan apabila tindakan direksi terhadap perseroan memenuhi ketiga syarat yuridis yaitu itikad baik, penuh tanggung jawab dan untuk kepentingan dan usaha perseroan. Maka diberlakukan teori business judgement rule merupakan salah satu teori untuk menjamin keadilan bagi para direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis, artinya tidak terdapat kepentingan pribadi yang dilakukan oleh direksi dalam menjalankan perusahaan. Prinsip business judgment rule telah diatur dalam UUPT pada pasal 97 ayat 5, disebutkan bahwa seorang direksi bebas dari tanggung-jawab atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan: a. Kerugian tersebut bukan kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; 73 Ibid c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian Prinsip Bussiness Judgment Rule melindungi direksi atas keputusan bisnis yang merupakan transaksi perusahaan, selama hal tersebut dilakukan dalam batasbatas kewenangan yang dimilikinya dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik, direksi tidak dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas konsekuensi yang timbul dari putusan bisnisnya. Sehingga jika dikaitkan dengan prinsip fiduciary duty maka prinsip business judgment rule merupakan reaksi atas pembatasan direksi yang timbul karena adanya kewajiban-kewajiban fiduciary bagi direksi dalam mengurus perusahaan. Dengan adanya prinsip business judgment rule memberikan kelegaan kepada direksi di dalam menjalankan roda kepemiminan yang berbadan hukum perseroan terbatas. 2. Tanggung Jawab Direksi Atas Kerugian Bank Direksi merupakan badan perseroan yang paling tinggi, karena direksi berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama perseroan (baik di dalam maupun di luar pengadilan) dan bertanggung jawab atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. 74 Tugastugas yang bersumber kepada perundang-undangan yang berlaku, sejauh merupakan hukum memaksa (madatary law, dwingend recht) wajib dilakukan oleh direksi. 74 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op. Cit. hlm 97 Dalam hal ini, pihak direksi dianggap bersalah jika terjadi 3 (tiga) kategori sebagai berikut: a. Tidak melakukan yang diharuskan oleh perundang-undangan. b. Melakukan apa yang dilarang oleh perundang-undangan. c. Melakukan secara tidak sempurna, yakni tidak seperti yang dipersyaratkan oleh perundang-undangan. 75 Pada pasal 97 Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5) mengatur tentang tanggung jawab anggota direksi atas kerugian perseroan yang timbul dari kelalaian menjalankan tugas pengurusan perseroan, yang dapat diklasifikasikan sebagai: a. Anggota direksi bertanggung-jawab penuh secara pribadi. Anggota direksi bertanggung-jawab penuh secara pribadi (persoonlijk aansprakelijk, personally liable) atas kerugian yang dialami perseroan apabila: 1) Bersalah (schuld, guilt or wrongful act); dan 2) Lalai (culpoos, negligence) menjalankan tugasnya melaksanakan pengurusan perseroan. b. Anggota direksi bertanggung-jawab secara tanggung renteng atas kerugian perseroan Dalam hal anggota direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka Pasal 97 Ayat (4) menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng. 75 Munir Fuady (Munir Fuady II), Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 60 Ketentuan Pasal 97 Ayat (4) UUPT tersebut adalah, “Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi”. Berdasarkan bunyi dari Pasal 97 Ayat (4) ini, dengan demikian, apabila anggota direksi lalai atau melanggar kewajibannya mengurus perseroan secara itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan lingkup aspek-aspek itikad baik dan pertanggung-jawaban pengurusan yang disebut diatas, maka setiap anggota direksi sama-sama ikut memikul tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian yang dialami perseroan. c. Pembebasan anggota direksi dari tanggung jawab secara tanggung renteng. Pasal 97 Ayat (4) UUPT menganut prinsip penegakan tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap setiap anggota direksi atas kesalahan, dan kelalaian pengurusan yang dijalankan oleh anggota direksi yang lain. Namun, penerapan prinsip itu dapat disingkirkan oleh anggota direksi yang tidak ikut melakukan kesalahan dan kelalaian. Hal ini sehubungan dengan bunyi Pasal 97 Ayat (5) 76, pada huruf d UUPT. Direksi yang telah melakukan pengelolaan dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak bisa dimintai pertanggung-jawabannya. Hal ini mempertegas 76 Pasal 97 ayat (5) UUPT: Anggota Direksi tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut bahwa apabila direksi telah menjalankan fiduciary duty, duty of care, dilligence and prudence secara benar dan dapat dibuktikan serta didokumentasikan dengan baik tentunya direksi akan terhindar dari tuntutan dan sanksi hukum, terutama sanksi pidana korupsi. Itikad baik direksi itu, wajib dilakukan dalam Business Judgment Rule. 77 Tanggung jawab pribadi direksi adalah keadaan dimana direksi tidak melakukan fiduciary duty dalam kepemimpinannya sehingga merugikan perseroan dan pemegang saham, dan dalam hal ini ukuran saham tidak lagi menjadi patokan batasan nilai tanggung jawab tersebut, sehingga harta-harta milik pribadi direksi dapat juga terikut untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. 78 Ketika kesalahan atau kelalaian itu datang, maka resiko harus dapat dipertanggungjawabkan. 3. Manajemen Risiko Diperlukan Untuk Menjaga Kepercayaan Masyarakat Terhadap Bank Perkembangan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat serta diikuti oleh semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan, semakin kompleksnya risiko tersebut akan meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola yang sehat (good governance) dan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko bank. Perbankan dituntut untuk 77 http://www.komiteaudit.org/informasi_displayartikel.asp?idi=97, diakses 17 Agustus 2013 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 143 78 mengembangkan suatu proses manajemen risiko yang sistematis dan secara transparan dapat dipertanggung-jawabkan efektivitasnya. Masalah paling berat yang dihadapi industri perbankan dan badan pengawas bank adalah kelalaian pengurus bank serta penipuan dan penggelapan yang mereka lakukan. Hal ini dapat dilihat dari praktik para bankir antara lain berupa besarnya kredit yang disalurkan kepada kelompok usahanya sendiri. Pemberian kredit kepada kelompok usaha sendiri tersebut sering kali tidak diiringi dengan analisis pemberian kredit yang sehat. Padahal praktik seperti ini pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai penipuan. Untuk mendapatkan dan atau mempertahankan kepercayaan masyarakat, industri perbankan harus diatur dan diawasi dengan ketat baik melalui peraturan langsung (direct regulation) maupun peraturan tidak langsung (indirect regulation). Indonesia pernah mangalami dampak sistemik pada tahun 1997, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan menyebabkan penarikan dana besar-besaran secara bersamaan pada lembaga keuangan bank yang lebih dikenal dengan “rush” konsekuensi logis berdampak dengan diikutiya krisis moneter yang meluluh lantakkan korporasi-korporasi serta berimbas pada masyarakat luas. Dampak sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari satu bank bermasalah yang dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bank-bank lain sehingga berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan mengancam stabilitas sistem keuangan. 79 Risiko yang berdampak sistemik dipengaruhi oleh berbagai aspek dan situasi yang terdapat atau terjadi disekitar sektor perbankan dan/ atau keuangan itu sendiri baik dilingkungan internal maupun eksternal. Aspek psikologis/ sentimen pasar juga merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Sehingga pengukuran dampak sistemik sifatnya sangat situasional dan bervariasi sehingga sangat sulit menentukan batasannya. Lembaga perbankan merupakan suatu lembaga yang sangat tergantung kepada kepercayaan masyarakat. Tanpa adanya kepercayaan masyarakat, mustahil suatu bank mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Tidaklah berlebihan apabila di dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan. Dengan demikian maka manajemen risiko adalah penting untuk diterapkan untuk menghindari segala risiko risiko kerugian yang mungkin akan timbul pada perseroan. Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasai oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Setiap bank perlu 79 Lihat Pasal 1 ayat (8) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat untuk Bank Umum. menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan masyarakat untuk menyimpan sebagian uangnya di bank, semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperolehnya kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan disertai dengan imbalan. Hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan pinjam-meminjam uang antara debitor (bank) dan kreditor (nasabah penyimpan dana) yang dilandasi oleh asas kepercayaan. 80 Dengan kata lain, bahwa menurut UU perbankan hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana bukan sekedar hubungan kontraktual biasa antara debitor dan kreditor yang diliputi oleh asas-asas umum dari hukum perjanjian, tetapi juga hubungan kepercayaan yang diliputi asas kepercayaan. Hubungan antara bank dan nasabah debitor juga bersifat sebagai hubungan kepercayaan yang membebankan kewajiban-kewajiban kepercayaan (fiduciary obligation) kepada bank terhadap nasabahnya. Dalam menghindari terjadinya ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, maka perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian, prinsip kehati-hatian mutlak diperlukan. 81 Prinsip 80 Sutan Remy Sjahdeini dalam Rachmad Usman, Op.Cit, hlm 16 Chatamarrasjid Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 144. 81 kehati-hatian (prudential principle) digunakan sebagai perlindungan secara tidak langsung oleh pihak perbankan terhadap kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dana dan terhadap kepentingan bank itu sendiri atas risiko kerugian yang timbul dari suatu tindakan atau timbul dari kebijaksaan dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Stabilitas sistem keuangan merupakan upaya yang ditujukan untuk menciptakan lembaga dan pasar keuangan yang stabil guna menghindari terjadinya krisis keuangan yang dapat mengganggu tatanan perekonomian nasional. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank dapat mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya dan berdampak sistemik sehingga berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Penerapan prinsip kehati-hatian merupakan suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan. Penerapan prinsip kehati-hatian bila dipahami lebih jauh, sangat menguntungkan baik bagi pihak perusahaan perbankan maupun bagi pihak nasabah itu sendiri. Transaksi-transaksi yang dikelola perusahaan yang menerapkan prinsip tersebut dapat dipastikan merupakan transaksi yang bersih dan berimbas pada kepercayaan nasabah terhadap bank semakin tinggi serta keuntungan bank itu makin meningkat. Perusahaan bank tersebut juga dapat menjadi perantara yang baik bila nasabahnya bertransaksi dengan nasabah perusahaan atau bank lainnya. Penerapan prinsip kehati-hatian bukan hanya untuk memenuhi kepentingan bank dan nasabah, tapi lebih jauh lagi bahwa penerapan prinsip tersebut merupakan kepentingan yang bersifat nasional.