hasil dan pembahasan

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Embrio partenogenetik memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan
etika
pada
penelitian
rekayasa
embrio.
Untuk
memproduksi
embrio
partenogenetik ini, sel telur diambil dari individu normal yang tidak dibuahi. Sel
telur mengalami pembelahan secara meiosis dalam tubuh dan mengalami
pematangan dalam ovarium hingga ia mencapai tahap metafase II. Sel telur
kemudian dilepas ke saluran telur oleh folikel. Sel telur yang telah diovulasikan
mengandung dua set kromosom haploid (n). Pada embrio mamalia normal, sel
telur akan dibuahi oleh sperma yang memiliki kromosom haploid (n). Penetrasi
oleh sperma ini mengembalikan jumlah kromosom menjadi diploid (2n) sekaligus
menjadi stimulus bagi sel telur untuk melengkapi tahap meiosis keduanya serta
menginduksi keluarnya badan polar kedua. Setelah ini, embrio akan berkembang
serta melakukan implantasi. Sementara itu, untuk menghasilkan embrio diploid
pada proses partenogenesis, sel telur tersebut diaktivasi menggunakan sejumlah
medium aktivasi.
Penelitian ini menggunakan medium aktivasi berupa kombinasi strontium
(SrCl2) dan cytochalasin B. Pada saat fertilisasi, sperma akan menginduksi
lepasnya Ca2+ intraseluler ke dalam sel telur,
sedangkan pada embrio
partenogenetik proses tersebut digantikan oleh senyawa kimia. Strontium yang
digunakan sebagai medium aktivasi ini menginduksi transien Ca2+ dengan
memindahkan Ca2+ ke dalam sel telur serta meningkatkan pelepasan Ca2+
intraseluler. Selain itu, ia juga menghambat Maturation Promoting Factor (MPF),
suatu aktivitas biologi dalam sitoplasma yang diperlukan untuk melanjutkan
meiosis pada sel telur (Alberio et al. 2001). Sedangkan cytochalasin B digunakan
untuk menghambat pengeluaran badan polar kedua sehingga menghasilkan sel
telur diploid (Otaegui et al. 1999). Proses inilah yang akan mengaktivasi sel telur
agar dapat berkembang menjadi embrio partenogenetik yang bersifat diploid.
Keberadaan materi genetik secara penuh dari maternal dan paternal mutlak
dibutuhkan dalam perkembangan embrio normal. Ketiadaan salah satu materi
genetik tersebut akan menyebabkan fenomena genomic imprinting, dimana suatu
gen diekspresikan hanya dari salah satu gen paternal atau maternal saja. Sebagai
contoh, perkembangan embrio dipengaruhi oleh gen-gen Igf2, Insulin-2, dan
Pegf/mest yang hanya ada pada kromosom paternal serta H19, Igf2r, dan Mash2
yang hanya ada pada kromosom maternal. Bila kedua kromosom (paternal dan
maternal) mengekspresikan gen Igf2, misalnya, sel akan berkembang menjadi
kanker. Mekanisme genomic imprinting ini dipengaruhi oleh metilasi DNA dan
modifikasi histon. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi hal
tersebut serta meningkatkan efisiensi produksi embrio partenogenetik, salah
satunya dengan menggunakan histon deacetylation inhibitor (HDACi) dalam
proses aktivasi. Senyawa kimia yang digunakan sebagai HDACi pada penelitian
ini yaitu scriptaid dan TSA.
Pada penelitian ini, sebanyak 78,3% sel telur membentuk pronukleus
setelah diaktivasi 6 jam dengan penambahan scriptaid, 8,3% membentuk satu
pronukleus (haploid) dan 70,0% membentuk dua pronukleus (diploid). Sementara
penambahan TSA menghasilkan 65,0% sel telur yang membentuk pronukleus,
5,0% haploid dan 60,0% diploid. Nilai ini tidak berbeda nyata dengan kontrol
yang membentuk pronukleus sebanyak 80,0%, 10,0% haploid dan 70,0% diploid.
Selain itu, terdapat pula sel telur yang telah membelah (immadiately cleavage)
sebanyak 20,0% pada perlakuan dengan penambahan TSA dan 15,0% pada
penambahan scriptaid serta 5,0% pada kontrol (Tabel 1). Berdasarkan data
tersebut, dapat dilihat bahwa medium aktivasi bekerja cukup baik dalam
mengaktivasi sel telur.
Pembentukan pronukleus merupakan kriteria utama oosit yang teraktivasi
(Hine 2009). Sel telur yang diaktivasi, atau difertilisasi oleh sperma, akan berubah
kromosomnya menjadi 2n (diploid) yang ditandai dengan pembentukan dua
pronukleus (Gambar 8C). Embrio diploid inilah yang akan melanjutkan
perkembangannya dengan optimal pada tahapan selanjutnya. Embrio yang terlihat
hanya memiliki satu pronukleus (Gambar 8B) memungkinkan untuk dapat
berkembang namun tidak akan sebaik embrio diploid sedangkan embrio yang
tidak memiliki pronukleus sama sekali (Gambar 8A) tidak akan dapat
berkembang. Sementara itu, embrio yang telah membelah (Gambar 8D)
menunjukkan adanya aktivasi spontan yang kadang terjadi pada mamalia.
P
N
P
N
Gambar 8
Morfologi embrio partenogenetik setelah aktivasi. (A) embrio tanpa
PN, (B) embrio dengan satu PN, (C) embrio dengan dua PN, (D)
immadiately cleavage. PN: pronukleus. Bar = 50µm.
Empat jam setelah aktivasi, sebagian besar sel telur dapat mencapai tahap
pembelahan. Perlakuan dengan penambahan scriptaid tidak menghasilkan sel telur
haploid, seluruh sel telur membentuk dua pronukleus bahkan cleavage.
Ketidakberadaan pronukleus haploid pada masa ini menunjukkan bahwa terdapat
sel telur yang belum teraktivasi sempurna pada enam jam pertama sehingga baru
dapat terlihat perkembangannya setelah empat jam berikutnya. Sebanyak 63,2%
sel telur membelah pada perlakuan dengan penambahan TSA dan 54,2% pada
penambahan scriptaid. Sementara itu, pada kontrol sel telur membelah sebanyak
48,3% namun masih terdapat 6,9% sel telur yang tidak membentuk pronukleus.
Tabel 1. Perkembangan embrio partenogenetik setelah aktivasi
Tahapan
Perkembangan
Embrio
∑ Embrio yang
diaktivasi
(n(%))
 Tidak ada
PN (n(%))
 1 PN (n(%))
 2 PN (n(%))
 Cleavage
(n(%))
0 Jam Setelah Aktivasi
Perlakuan
Kontrol
TSA
Scriptaid
4 Jam Setelah Aktivasi
Perlakuan
Kontrol
TSA
Scriptaid
60
(100,0)a
60
(100,0)a
60
(100,0)a
58
(100,0)a
57
(100,0)a
59
(100,0)a
8
(13,3)a
6
(10,0)a
3
(5,0)a
4
(6,9)a
1
(1,8)a
-
6
(10,0)a
42
(70,0)a
3
(5,0)a
36
(60,0)a
5
(8,3)a
42
(70,0)a
2
(3,4)a
24
(41,4)a
-
-
20
(35,1)a
26
(44,1)a
3
(5,0)a
12
(20,0)a
9
(15,0)a
28
(48,3)a
36
(63,2)a
32
(54,2)a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05)
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa aktivasi dengan
penambahan HDACi cenderung menghasilkan embrio partenogenetik lebih baik
dibandingkan dengan kontrol. Beberapa HDAC terdapat pada kromosom saat sel
telur mengalamai proses metafase I dan II. Keberadaan ini berkorelasi dengan
ketiadaan asetilasi histon H4 lysine 5 (H4K5). Penurunan asetilasi terjadi selama
pematangan sel telur dan terus berlanjut hingga pembentukan pronukleus.
HDAC1, salah satu kelas HDAC, berlokasi di nukleoplasma sel telur dan embrio
praimplantasi. Intensitasnya akan terus meningkat hingga tahap morula kemudian
menurun pada masa transisi tahap morula ke blastosis (Ma & Schultz 2008).
Padahal, asetilasi H4K5 ini merupakan mekanisme regulasi struktur kromatin
yang penting untuk mengekspresikan gen zigotik pada tahap awal perkembangan
embrio (Wee et al. 2004). Penggunaan HDACi dalam hal ini untuk mengurangi
HDAC dan meningkatkan asetilasi H4K5.
Embrio dikultur dalam medium CZB tanpa glukosa selama 24 jam untuk
mempelajari perkembangan embrio setelah perlakuan penambahan HDACi.
Perkembangan embrio selama 48 jam pertama membutuhkan glutamin sebagai
sumber energi dan keberadaan glukosa dapat mengganggu perkembangan (Haydar
et al. 2001). Oleh karena itu digunakan medium kultur yang tidak mengandung
glukosa. Pada penelitian ini, embrio yang membelah dihitung dari jumlah awal sel
telur yang diaktivasi tanpa memisahkan embrio haploid, diploid, maupun
immadiately cleavage. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebanyak 95,0%
embrio partenogenetik mampu membelah menjadi 2 sel pada perlakuan
menggunakan scriptaid sedangkan 85,0% pada perlakuan menggunakan TSA.
Kedua
perlakuan
menunjukkan
hasil
kemampuan
membelah
embrio
partenogenetik yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol (80,0%) (Tabel 2).
Tabel 2. Kemampuan membelah embrio partenogenetik
Kontrol
∑ Embrio yang
diaktivasi (n(%))
 Membelah (n(%))
 Tidak membelah
(n(%))
Perlakuan
TSA
Scriptaid
60 (100,0)
60 (100,0)
60 (100,0)
48 (80,0)a
51 (85,0)a
57 (95,0)a
12 (20,0)a
9 (15,0)a
3 (5,0)a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05)
Data tersebut menunjukkan bahwa kedua perlakuan memberi pengaruh
pada perkembangan embrio. Meskipun tidak berbeda nyata, scriptaid cenderung
mampu membantu aktivasi perkembangan embrio lebih baik dibandingkan
dengan TSA dan kontrol.
Pada penelitian ini, embrio partenogenetik hanya mampu berkembang
hingga 5 sel pada kedua perlakuan dan 4 sel pada kontrol. Terjadi penurunan yang
cukup drastis dari embrio dua sel ke tahap pembelahan sel selanjutnya. Sebanyak
3,4% embrio mampu membelah hingga 5 sel (Gambar 9D) pada perlakuan
scriptaid dan 1,8% pada perlakuan TSA, sedangkan 12,1% embrio pada kontrol
hanya mampu berkembang hingga 4 sel (Gambar 9C). Embrio partenogenetik
yang diaktivasi dengan penambahan scriptaid menunjukkan perkembangan yang
cenderung lebih baik dibandingkan dengan TSA dan kontrol (Tabel 3).
Gambar 9
Morfologi perkembangan embrio partenogenetik. (A) embrio 2 sel,
(B) embrio 3 sel, (C) embrio 4 sel, (D) embrio 5 sel. Bar = 50µm.
Metilasi DNA dan modifikasi histon merupakan mekanisme epigenetik
yang dapat terjadi dalam tubuh mamalia. Kedua hal tersebut berperan cukup
signifikan dalam sebuah ekspresi gen, sebagaimana yang terjadi pada penelitian
ini. Embrio partenogenetik tidak melibatkan peran materi genetik paternal di
dalamnya sehingga hanya memiliki kromosom maternal. Kono (2006)
menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa terdapat dua set imprinted gene yang
tidak selaras, yakni Igf2-H19 dan Dlk1-Gtl2, menjadi penghalang penting pada
perkembangan embrio partenogenetik. Gangguan perkembangan yang dialami
embrio partenogenetik juga terjadi karena adanya histon yang terdeasetilasi dan
DNA yang termetilasi sehingga gen tidak dapat diekspresikan. Histone
deacetylation inhibitor (HDACi) bekerja pada kempleks histon dengan
meningkatkan asetilasi protein sehingga kromatin terbuka, dalam hal ini embrio
dapat melanjutkan tahap perkembangannya.
Tabel 3. Kemampuan perkembangan embrio partenogenetik
Perlakuan
Tahap Perkembangan
Kontrol
Embrio
TSA
Scriptaid
∑ Embrio yang
58 (100,0)a
57 (100,0)a
58 (100,0)a
dikultur (n(%))
1 sel (n(%))
58 (100,0)a
57 (100,0)a
58 (100,0)a
2 sel (n(%))
48 (82,8)a
51 (89,5)a
57 (98,3)a
a
a
3 sel (n(%))
15 (25,9)
22 (38,6)
30 (51,7)a
4 sel (n(%))
7 (12,1)a
13 (22,8)a
14 (24,1)a
a
5 sel (n(%))
1 (1,8)
2 (3,4)a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05)
Berdasarkan data tersebut, penggunaan HDACi ini belum juga signifikan
meningkatkan perkembangan embrio. Seperti yang telah disampaikan, metilasi
DNA juga terjadi dalam hal ini. Peningkatan metilasi DNA menyebabkan
turunnya asetilasi histon. DNA yang termetilasi akan menarik methyl-CpGbinding protein (MeCP2) sehingga histon terdeasetilasi dan secara bertahap
menurunkan asetilasi histon. Sebaliknya, HDACi mampu menghambat deasetilasi
histon namun tidak memiliki efek terhadap DNA metil transferase sehingga tidak
berpengaruh pada metilasi DNA (Enright et al. 2003).
Menurut Kishigami et al. (2005), TSA merupakan mediator HDACi yang
cukup efektif dalam menghambat deasetilasi histon pada proses kloning embrio
secara in vitro. Namun, TSA memiliki sifat teratogenik sehingga digunakan
alternatif HDACi lain, seperti scriptaid yang juga efisien meningkatkan
hiperasetilasi (Zhao et al. 2008). Scriptaid meningkatkan asetilasi histon dalam
histon H4 pada lysin 8 (AcH4K8) (Zhao 2010) serta proses transkripsi mRNA
baru dan memiliki toksisitas yang lebih rendah dibanding TSA (Thuan et al.
2009). Ia juga meningkatkan level ekspresi Eif1a dan Igf2r pada tahap 2 sel serta
meningkatkan sintesis RNA. Gen Igf2r merupakan gen maternal yang terlibat
dalam regulasi pertumbuhan dan penting dalam perkembangan normal embrio
(Bui et al. 2011).
Kultur embrio hasil fertilisasi dilakukan pada penelitian ini untuk
membandingkan proses perkembangan embrio partenogenetik dengan embrio
normal hasil fertilisasi in vivo. Selain itu juga untuk membuktikan bahwa medium
kultur bekerja dengan baik serta sistem kultur pun telah benar. Sebanyak 97,2%
embrio dua sel dapat berkembang menjadi 8 sel dan 91,7% berkembang menjadi
morula serta hanya 29,2% embrio dapat mencapai tahap blastosis (Tabel 5).
Tabel 5. Kemampuan perkembangan embrio hasil fertilisasi
Tahap Perkembangan Embrio
2 sel (n (%))
8 sel (n (%))
Morula (n (%))
Blastosis (n (%))
Jumlah Embrio
72 (100,0)
70 (97,2)
66 (91,7)
21 (29,2)
Perkembangan normal embrio melibatkan sejumlah modifikasi epigenetik,
termasuk metilasi DNA dan modifikasi histon, yang merupakan mekanisme
penting untuk genomic imprinting dan inaktivasi kromosom X pada embrio
betina. Pada betina, DNA termetilasi sejak sel telur mengalami meiosis awal.
Memasuki tahap metafase II, metilasi DNA semakin meningkat dan akan terus
bertahan hingga embrio tahap dua sel bila sel telur tersebut dibuahi oleh sperma.
Metilasi DNA ini juga terjadi pada jantan, namun akan menurun segera setelah
sperma membuahi sel telur (Yang et al. 2007). Ekspresi salah satu dari materi
genetik ini, atau dapat dikatakan sebagai genomic imprinting, memungkinkan
embrio dapat berkembang baik pada embrio normal. Berbeda dengan embrio
partenogenetik yang kedua materi genetiknya berasal dari maternal. Secara teori,
tidak ada materi genetik yang dapat mempertahankan perkembangan embrio
karena kedua DNA dari maternal termetilasi sehingga tidak dapat terekspresikan.
Gambar 10
Morfologi perkembangan embrio fertilisasi. (A) embrio 2 sel, (B)
embrio 3 sel, (C) embrio 4 sel, (D) embrio 5 sel, (E) embrio 6 sel,
(F) embrio 8 sel, (G) morula, (H) blastosis. Bar = 50µm.
Sejumlah penelitian kultur in vitro menggunakan embrio partenogenetik
menunjukkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilannya, antara lain
lingkungan (suhu, pH, CO2, dll), superovulasi, medium aktivasi dan kultur,
metode kultur, serta kondisi internal sel telur itu sendiri (Hogan et al. 1994).
Selain itu, kultur embrio secara in vitro ini juga sangat dipengaruhi oleh
lingkungan seperti O2, CO2, pH, suhu inkubator, cahaya, volume inkubasi, serta
jumlah embrio yang dikultur dalam satu kelompok (Khoirinaya 2011).
Download