Pendahuluan Proses berkemih merupakan proses pembersihan bakteri dari kandung kemih, sehingga kebiasaan menahan kencing atau berkemih yang tidak sempurna akan meningkatkan risiko untuk terjadinya infeksi. Refluks vesikoureter (RVU) dan kelainan anatomi adalah gangguan pada vesika urinary yang paling sering menyebabkan sulitnya pengeluaran urin dari kantung kemih (Lumbanbatu, 2003).Ketika urin sulit keluar dari kandung kemih, terjadi kolonisasi mikroorganisme dan memasuki saluran kemih bagian atas secara ascending dan merusak epitel saluran kemih sebagai host. Hal ini disebabkan karena pertahanan tubuh dari host yang menurun dan virulensi agen meningkat. (Pallet, 2010) Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai untuk menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Infeksi Saluran Kemih ini dapat menyerang pasien dari segala usia. Mulai dari bayi yang baru lahir, anak – anak , remaja hingga orang tua. Pada umumnya Perempuan lebih sering mengalami episode Infeksi Saluran Kemih daripada Laki – Laki, hal ini terjadi karena Uretra perempuan lebih pendek dari pada Laki – Laki. (Purnomo, 2003) Infeksi saluran kemih (ISK) bergantung pada banyak faktor, seperti usia, jenis kelamin, prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal (Sukandar, 2006). ISK dapat menyerang mulai dari anak – anak, remaja, dewasa hingga lansia. ISK dapat terjadi pada laki – laki dan perempuan dengan prevalensi yang sama. Insiden akan menurukan pada laki – laki dan meningkat pada perempuan pada saat usia 6 bulan. ISK rata rata 5 kali lebih sering pada perempuan dari pada laki - laki pada usia 1 tahun pertama. Insiden ISK tertinggi pada bayi perempuan yang terlahir prematur dan berat badan lebih rendah (O’Donovan, 2010) Uji potensi antibiotika secara mikrobiologik adalah suatu teknik untuk menetapkan suatu potensi antibiotika dengan mengukur efek senyawa tersebut terhadap pertumbuhan mikroorganisme uji yang peka dan sesuai. Uji kepekaan terhadap antimikroba dimulai ketika pertemuan yang diprakarsai WHO di Genewa (1977), kepedulian terhadap semakin luasnya resistensi antimikroba baik yang berhubungan dengan infeksi manusia atau hewan. Hal ini mencetuskan program surveilance untuk memonitor resistensi antimikroba menggunakan metode yang sesuai. Dengan tes kepekaan terhadap antimikroba akan membantu klinisi untuk menentukan antimikroba yang sesuai untuk mengobati infeksi. Untuk mendapatkan hasil yang valid, tes kepekaan harus dilakukan dengan metode yang akurat dan presisi yang baik, dimana metode tersebut langsung dapat digunakan dalam menunjang upaya pengobatan. Kriteria yang penting dalam metode tes kepekaan adalah hubungannya dengan respon pasien terhadap terapi antimikroba.(Anonim, 2000) Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan ISK adalah mikroorganisme gram negatif seperti Eschericia coli, Proteus mirabilis, Klebsiela, Citrobacter, Enterobacter dan Pseudomonas.Penyebab utama (sekitar 85%) adalah bakteri Eschericia coli (Coyle & Prince, 2005). Mikroorganisme gram positif seperti Enterococcus faecalis, Staphylococcus saprophyticus dan group B Streptococci dapat juga menyebabkan ISK. Chlamydia dan Mycoplasma juga diketahui dapat menyebabkan ISK yang sering ditularkan secara seksual (Hasibuan, 2007) Pada Infeksi yang tidak menimbulkan gejala klinis tidak perlu pemberian terapi, tetapi infeksi saluran kemih yang telah memberikan keluhan harus segera mendapatkan terapi berupa antibiotik, jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan di rumah sakit guna tirah baring dan pemberian hidrasi. Antibiotik yang diberikan berdasarkan atas kultur bakteri dan test kepekaan antibiotika agar tidak terjadi resistensi obat yang berakibat timbulnya banyak penyulit dan komplikasi (Mims et al, 2004) Berdasarkan penilitian sebelumnya yang dilakukan di laboratorium Mikrobiologi FK UGM tahun 2002 -2004 didapatkan Eschericia coli adalah bakteri yang paling banyak di isolasi. Pada tahun 2002, 2003, dan 2004. Antibiotik pilihan pertama untuk bakteri gram negatif penyebab infeksi saluran kemih pada tahun 2002 dan 2003 adalah Amikasin, sedang pada tahun 2004 adalah Meropenem. Antibiotik pilihan pertama untuk bakteri gram positif penyebab infeksi saluran kemih pada tahun 2002 adalah Amoksisislin-asam klavunalat, pada taun 2003 adalah kloranfenikol dan pada tahun 2004 adalah amikasin (Paramita, 2006) Pemilihan antibiotik trimethoprim, nitrofurantoin, generasi pertama sefalosforin, atau amoxicillin yang diberikan secara peroral harus di dasari oleh bukti hasil penelitian.Begitu pula pemberian parenteral co-amoxiclav atau sefalosforin generasi ke 3 seperti sefotaksim atau seftriakson harus didukung oleh bukti penelitian. Permasalahan resistensi bakteri pada penggunaan antibiotika merupakan salah satu masalah yang berkembang di seluruh dunia. WHO dan beberapa organisasi telah mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya mengkaji faktor faktor yang terkait dengan masalah tersebut, termasuk strategi untuk mengendalikan kejadian resistensi dengan memilih antibiotik yang sesuai dengan berdasarkan pola kepekaan kuman yang didapat. Bahan dan Cara Penelitian ini merupakan secara observasional. Desain penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross sectional . Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien rawat inap dan rawat jalan yang di diagnosis Infeksi Saluran Kemih di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Pengambilan data dengan cara mengumpulkan hasil rekam medis pada semua pasien rawat inap dan rawat jalan pada periode 1 Desember 2012 sampai Desember 2014. Subject Penelitian dalam penelitian ini adalah adalah pasien rawat inap dan rawat jalan yang mendapatkan terapi antibiotik serta telah dilakukan pemeriksaan identifikasi bakteri penyebab ISK dan uji pola kepekaan kuman. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu Pasien rawat jalan atau rawat inap Pasien di diagnosis ISK Pasien di terapi antibiotic Pasien yang telah di uji pola kepekaan kumanDisamping itu Kriteria Ekslusi pada penelitian ini yaitu Pasien ISK yang tidak mendapatkan terapi antibiotic, Pasien yang tidak di uji pola kepekaan kuman Variabel bebas pada penelitian ini adalah Pola kepekaan kuman penyebab ISK.Variabel terikat pada penelitian ini adalah Jenis antibiotik yang diberikan pada pasien dengan diagnosis ISK Instrumen yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini adalah Alat penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini Data Rekam Medis pasien rawat jalan dan rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang telah terdiagnosis ISK oleh klinis pada periode 1 Januari sampai 31 Desember 2013 Penelitian ini di awali dengan menentukan tujuan dan judul penelitian setelah itu peneliti mulai mengumpulkan bahan dan landasan penelitian dan menyusun proposal penelitian Setelah proposal sudah siap, dilanjutkan dengan presentasi proposal penelitian di depan dosen pembimbing dan dosen penguji. Setelah Proposal disetujui, peneliti segera mengurus perizinan. Pertama meminta izin ke Fakultas, PKU Yogyakarta Unit II, Setelah mendapar izin dari PKU Yogyakarta Unit II, peneliti dapat memulai penelitian dengan Mengumpulkan data Rekam medis pasien dari 1 Desember 2012 – 31 Desember 2014 kemudian Memilih data pasien dengan diagnosis Mencatat jenis antibiotik yang diberikan oleh klinisi , Mencatat hasil pola kepekaan kuman pasien ISK. Lalu penulis akan mencatat antibiotik yang diberikan oleh klinisi. Hasil Penelitian a. Pengetahuan Penggunaan APD 2. Nama bakteri Jumlah Persentase Enterococcus faecalis 8 14,28% Escheria coli 11 19,64% Pseudomonas aerugonisa 7 12,50% Klebsiella pneumaniae 5 8,92% Candida albicans 2 3,57% Acetobacter baumanii 5 8,92% Staphylococcus haemoliticus 2 3,57% Cocari memo 1 1,78% Enterococcus cloacae 1 1,78% Enterobacter aerogenes 1 1,78% Candida parapsilosis 3 5,35% Candida tropicalis 3 5,35% Morganella morganii 2 3,57% Staphylococcus aureus 2 3,57% Tabel 4.1 Karakteristik pasien ISk berdasarkan jenis kelamin di RS PKU Muhammadiyah Jogjakarta Jenis Kelamin Laki-laki Wanita Jumlah 21 35 56 Persentase 37,5% 62,5% 100% Sphidomonas paucimobilis 2 3,57% Citobacter koseri 1 1,78% 56 100% Pada tabel 4.1 diatas terlihat bahwa subjek pada penelitian di peroleh 56 pasien terdiagnosis infeksi saluran kemih. Subjek penelitianterdiri dari 35 orang wanita (62,5%) dan 21 orang lakilaki (37,5%) Tabel 4.2 Karakteristik pasien infeksi saluran kemih berdasarkan usia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Usia Jumlah Persentase 10-39 9 16,07% 40-69 34 60,71% 70-90+ 13 23,21% 56 100% Pada tabel 4.2 diatas terlihat bahwa subjek penelitian di peroleh 9 orang dengan usia 1039 tahun (16,07%), 34 orang dengan usia 40-69 tahun (60,71%) , dan 13 orang dengan usia 7090+ tahun (23,21%). Tabel 4.3 Karakteristik mikroorganisme penyebab infeksi saluran kemih di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Pada tabel 4.3 dapat dilihat Escheria colimerupakan bakteri dengan persentase penyebab terbesar infeksi saluran kemih berjumlah 11 pasien (19,64%) diikuti Enterococcus faecalis dengan 8 pasien (14,28%), Pseudomonas aeruginosa7 pasien (12,50%), Acetobacter baumanii, Klebsiella pneumonia 5 pasien ( 8,92%) Klebsiella pneumonia Candida parapsilosis, Candida tropicalis masing masing 3 pasien (5,35%),Candida albicans, Saphylococcus haemolitikus, Morganella morganii gram, Staphylococcus aureus, Sphindomonas paucimobilis 2 pasien (3,57%), serta Cocari memo, Enterococcus cloacae, Enterobacter aerogenes, Pseudomonas aeruginosa, Citobacter koseri masing masing 1 pasien (1,78%) Tabel 4.4 Hasil uji sensitifitas antibiotikterhadap isolat urin pasien ISK di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hasil kepekaan Jumlah Persentase antibiotic Ciprofloxacin 10 17,85% Levofloxacin 16 28.57% Linezolid 10 17,85% Voncomycin 9 16,07% Tigecyclin 15 26,78% Amikacin 25 44,64% Foscomycin 3 5,35% Imipenem 4 7,14% Meropenem 27 48,21% Minocyclin 2 3,57% Flucytosine 7 12,5 % Fluconacole 7 12,5% Variconazole 8 14,28% Pipercilin 6 10,71% Cefmetazole 9 16,07% Ertapenem 9 16,07% Rifampisin 2 3,57% Trinethoprin 3 5,35% Ampicillin 7 12,5% Ceftazidine 10 17,85% Ceftriaxone 8 14,28% Gentamycin 14 25% Cefotaxime 5 8,92% Flektococyn 2 3,57% Ampotomycin 2 3,57% Cefepime 5 8,92% Cefixime 3 5,35% Clindamycin 2 3,57% Tetracycline 3 5,35% Piperaquin 2 3,57% Aztroenem 3 5,35% Cefazolin 3 5,35% Dosisiklin 2 3,57% Amoksisilin 1 1,78% Eritromycin 1 1,78% 56 100% Tabel 4.4 dapat dilihat pada tabel diatas Meropenem yang ber spectrum luas masih merupakan antibiotik yang paling sensitif terhadap kuman penyebab infeksi saluran kemih , sensitif terhadap 27 kuman (10,9%), di ikuti Amikacin pada 25 kuman (10,1%) ,Levofloxacin 16 kuman (6,5%), Tigecyclin 15 kuman (6,09%),Gentamycin 14 kuman (5,69%), Ceftazidine, Linezolid, dan Ciprofloxacin 10 kuman (4,06%), Ertapenem, Cefmetazole dan Voncomycin 9 kuman (3,65%), Voriconazole dan Ceftriaxone 8 kuman (3,25%), Flucytosine, Ampcillin dan Fluconazole 7 kuman (2,84%), Pipercillin 6 kuman (2,43%), Cefepime, Cefotaxime 5 kuman (2,03%), Imipenem 4 kuman (1,62%), Foscomycin, Thrinetoprin, Cefixime, Tetracycline, Aztroenem, Cefazolin 3 kuman (1,21%), Minocyclin, Rifampisin, Flektococyn, Amoptomycin, Piperaquin, Dosisiklin, Clindamycin 2 kuman (0,81%) dan Antibiotik yang banyak mengalami resisten terhadap bakteri adalah Amoksisilin dan Eritromycin masing masing 1 kuman (0,4%) Tabel 4.5 Karakteristik terapi antibiotik yang diberikan oleh dokter klinisi Antibiotik yang Jumlah Persentase diberikan oleh klinisi Ceftriaxone 15 26,78% Ciprofloxacin 8 14,2% Fosmycin 3 5,35% Tropenem 8 14,2% Cefotaxim 11 19,6% Ceftazidim 7 12,5% Levofloxacin 8 14,2% Cefixime 5 6,25% Meropenem 7 12,5% Cefazidine 5 8,9% Dosisiklin 1 1,78% Amoksisilin 2 3,57% 56 100% Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa Ceftriaxone merupakan antibiotik pilihan utama klinisi untuk pasien infeksi saluran kemih pada 15 pasien (18,75%) , Cefotaxim 11 pasien (13,75%), Levofloxacin, Ciprofloxacin dari golongan Kuinolon, Tropenem pada 8 pasien (10%), Meropenem 7 pasien (8,75%), Cefixime dan Cefazidine (6,25%), Fosycin 3 pasien (3,75%), Amoksisilin 2 pasien (2,5%) dan Dosisiklin pada 1 pasien (1,25%). Diskusi Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola kepekaan kuman pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK), antibiotik yang diberikan oleh dokter klinisi, dan melihat kesesuaian antara hasil pola kepekaan dengan jenis antibiotik yang diberikan oleh klinisi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa Escheria coli merupakan bakteri terbanyak penyebab infeksi saluran kemih.). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2009), E. coli adalah penyebab paling lazim terjadinya infeksi saluran kemih dan merupakan penyebab pertama infeksi saluran kemih pada kira-kira 90% wanita muda. Gejala dan tandatandanya bersifat umum antara lain sering kencing, disuria, hematuria. Penelitian tentang infeksi saluran kemih yang dilakukan oleh Fergiawan (2011) juga menyatakan bahwa penyebab infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta terbanyak adalah Escheria coli (72%). Berdasarkan hasil diatas,data penelitian yang penulis lakukan memiliki persamaan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya Enterobacteriaceae adalah kuman yang hidup diusus besar manusia dan hewan, tanah, air dan dapat pula ditemukan pada komposisi material. Sebagian kuman enterik ini tidak menimbulkan penyakit pada host (tuan rumah) bila kuman tetap berada di dalarn usus besar, tetapi pada keadaan-keadaan dimana terjadi perubahan pada host atau bila ada kesempatan memasuki bagian tubuh yang lain, banyak diantara kuman ini mampu menimbulkan penyakit pada tiap jaringan tubuh manusia. Organisme-organisme di dalam famili ini pada kenyataannya mempunyai peranan penting di dalam infeksi nosokomial misalnya sebagai penyebab infeksi saluran kemih, infeksi pada luka, dan infeksi lainnya. Pengamatan pada tabel 4.4 menunjukan sensititivitas bakteri tinggi terhadap antibiotik meropenem dan amikacin . Sehingga hasil penelitian ini menyebutkan bahwa meropenem dan amikacin memiliki sensitivitas tertinggi dengan proporsi 48,21% dan 44,64% dari 56 sampel. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Endriani (2010) di RSUD Arifin Ahmad, yang menyatakan bahwa amikacin merupakan antibiotik yang memiliki sensitifitas paling tinggi terhadap berbagai macam mikroorganisme penyebab infeksi saluran kemih dengan resistensi hanya 20% pada E.coli dan 25% pada Pseudomonas sp. Sedangkan menurut Syararifard (2015) , mengatakan bahwa penggunaan amikacin pada pasien dengan sindrom nefrotik dan dehidrasi akan menuntun ke arah keracunan ginjal, perlu di perhatikan bahwa obat dengan resiko rendah lebih baik digunakan daripada amikacin pada pasien yang memiliki gangguan efektif volume vaskular untuk mencegah komplikasi ginjal. Dari tabel 4.5 memperlihatkan bahwa antibiotik pilihan utama oleh klinisi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta , adalah Ceftriaxone, pemilihan antibiotik ini sebagai terapi empirik. Terapi empirik antibiotik adalah terapi terhadap organisme penginfeksi dan antimikroba tepatnya belum diketahui, tetapi dapat diprediksi berdasarkan studi sebelumnya. Terapi ini harus dilakukan pada penyakit-penyakit infeksi yang serius dan bersifat lifethreatening. Pemilihan antibiotik didasarkan pada pengalaman klinis dengan menggunakan antibiotik tertentu yang diduga akan efektif pada kondisi tersebut. Antibiotik dengan spektrum luas menjadi pilihan pada kondisi ini. Karena antibiotik kelompok ini akan efektif pada banyak organisme penginfeksi. Berdasarkan kepada studi bahwa kuman penyebab infeksi saluran kemih sebelumnya , E.coli sebagai penyebab infeksi saluran kemih terbanyak, memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap golongan penicilin dan sefalosporin generasi pertama. Endriani (2010). Hal ini berbeda dengan penelitian di RSUD Arifin Ahmad, kuinolon merupakan antibiotic utama yang digunakan sebagai terapi ISK, namun seiring peningkatan penggunaan kuinolon dirumah sakit mengakibatkan peningkatan resistensi bakteri terhadap kuinolon tersebut Schaeffer&Schaeffer (2007) Hasil penelitian yang didapatkan penulis bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Penelitian terbaru yang di lakukan bulan Juni- Agustus 2013 pada isolasi kuman penyebab infeksi saluran kemih menggunakan tiga antibiotik sebagai perbandingan yaitu Ceftriaxone, Gentamicyn, dan Levofloxacin menyatakan bahwa kuman seperti Escheria coli, Pseudomonas sp, dan proteus sp memiliki sensitif yang cukup rendah terhadap antibiotik Ceftriaxone (15,83%), hal ini menurun secara signifikan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di tempat yang sama pada tahun 2010 sebesar (73,3%), Penurunan tingkat sensifitas pada Ceftriaxone disebabkan Resistensi terhadap ceftriaxone disebabkan adanya penggunaan yang antibiotik sering, terutama di rumah sakit. Ceftriaxone sering digunakan sebagai antibiotik pre dan post operasi. Penggunaan ceftriaxone yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh beberapa alasan yaitu: harga relative mudah; pasien dengan status jaminan kesehatan askes sosial dan Jamsostek juga cukup banyak. Secara klinik memang sangat sulit memastikan bakteri penyebab infeksi yang tepat tanpa menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi.Namun secara umum klinisi tidak boleh memberikan terapi sembarangan tanpa mempertimbangkan indikasi atau malah menunda pemberian antibiotika pada kasus yang sudah tegak diagnosanya secara klinis meskipun tanpa hasil pemeriksaan mikrobiologi (Leekha et al, 2011).Hal ini yang mendasari peneliti melakukan penelitian tentang pola kepekaan dan uji sensitivitas untuk mempermudah para klinisi dalam pemberian antibiotik secara empirik. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Dari data pola kepekaan kuman Escheria coli merupakan penyebab tersering Infeksi Saluran Kemih (ISK).Antibiotik Meropenem memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi terhadap kuman tersebut. Antibiotik Ceftriaxone merupakan pilihan terapi paling sering yang diberikan oleh klinisi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tidak terdapat kesesuaian antara pemberian antibiotik dengan pola kepekaan kuman penderita ISK di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan terdapat beberapa saran yang dapat diajukan sebagai bahan pertimbangan, yaitu: 1. Untuk Rumah Sakit (RS) PKU Muhammadiyah Yogyakarta, sebaiknya data rekam medis disajikan lebih lengkap sehingga para peneliti lebih mudah untuk mengambil data penelitian. 2. Perlu dibuat peta kuman secara periodik / berkala sebagai masukan bagi para klinisi untuk menetapkan pemilihan terapi antibiotik yang sesuai guna menghindari resistensi antibiotik dan kesalahan terapi. 3. Dikarenakan keterbatasan penulis, dalam penulisan ini mempunyai banyak kekurangan maka diharapkan dapat membangkitkan ide baru tentang evaluasi pemakaian antibiotik yang lebih kompleks untuk peneliti selanjutnya.