BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Tulang Belakang Tulang belakang itu terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral. Terdapat 7 ruas servikal, 12 ruas vertebrae torakal, 5 ruas verbrae lumbalis, 5 ruas tulang sakralis, dan 5 ruas koksigeal yang bersatu satu sama lain (Gambar 2.1). Tulang belakang secara keseluruhan berfungsi sebagai tulang penyokong tubuh terutama tulang-tulang lumbalis. Selain itu tulang belakang juga berfungsi melindungi medula spinalis yang terdapat di dalamnya (Snell RS, 2010). Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui radix anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Masing–masing radix melekat pada medulla spinalis melalui sederetan radices (radix kecil) yang terdapat di sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuai. Setiap radix mempunyai sebuah ganglion radix posterior yang axon sel–selnya memberikan serabut–serabut saraf perifer dan pusat (Snell RS, 2010). Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm dan garis tengah 2 cm. Medulla spinalis yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruangruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan (Snell RS, 2010). Saraf spinal berjumlah 31 pasang yang terdiri dari 8 pasang saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co) (Snell RS, 2010). Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua, sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya (Gambar 2.1). Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa (Snell RS, 2010). Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang disampaikannya(Snell RS, 2010). Gambar 2.1 Medula Spinalis Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis (Snell RS, 2010). Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuronneuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral (Snell RS, 2010). Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama (Snell RS, 2010). Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi (Snell RS, 2010). 2.2. Konsep Pada Monitoring Hemodinamik Konsep multimodal dalam pemantauan hemodinamika dapat diterjemahkan ke dalam keadaan biasa dalam hal titik akhir stabilisasi hemodinamik daripada mengobati nilai "normal", dan dapat membantu mencapai pasokan oksigen dan oksigenasi yang memadai untuk menghindari kurangnya atau lebih resusitasi dimana sama-sama berbahaya. Penting untuk dicatat, bahwa apa yang disebut nilai "normal" mungkin benar untuk populasi, namun mungkin salah bagi pasien individual (Kern dkk JW, 2002; Gurgel ST dkk, 2011). 2.2.1 Curah Jantung dan Pengantaran Oksigen (Oxygen Delivery/DO2) sebagai Titik Akhir Resusitasi Beberapa penyelidikan klinis dilakukan pada (Cardiac Output/CO) dan variabel turunan berdasarkan tujuan yang diarahkan pada dukungan hemodinamik dalam operasi berisiko tinggi. Dalam dua meta analisis baru-baru ini, ditemukan bahwa indeks jantung dan pengobatan terpandu DO2 mengakibatkan penurunan angka kematian dibandingkan dengan pasien bedah berisiko tinggi yang mendapat terapi standar (Kern dkk JW, 2002; Gurgel ST dkk, 2011). 2.2.2. Variasi Stroke Volume dan Variasi Denyut Nadi sebagai Titik Akhir Resusitasi Baru-baru ini, perangkat yang kurang invasif yang menilai kadar CO dengan analisis kontur denyutan berdasarkan sinyal tekanan radial arteri telah diperkenalkan sebelumnya. Meskipun perangkat ini menunjukkan ketepatan yang lebih rendah, ada beberapa bukti bahwa metode ini dapat menunjukkan perubahan dan kecenderungan dalam status hemodinamik secara tepat. Karena variasi tekanan nadi dan variasi volume stroke merupakan indikator responsifitas cairan, perangkat ini tampaknya merupakan alternatif yang sederhana dan berguna untuk pemantauan hemodinamika invasif (Kern dkk JW, 2002; Gurgel ST dkk, 2011). 2.2.3. Tekanan Darah Sistem organ juga cenderung melakukan autoregulasi aliran darah mereka sehingga aliran darah spesifik organ tetap konstan dalam berbagai tekanan darah jika tingkat metabolisme tidak berubah, dan bervariasi dengan perubahan tingkat metabolisme lokal. Batas bawah autoregulasi arus ini, berdasarkan tekanan arterial rata-rata, bervariasi antara organ, pasien (berdasarkan status peredaran darah yang mendasarinya, misalnya hipertensi esensial atau penyakit vaskular perifer), keadaan penyakit mereka, aktivitas metabolik, dan terapi terkait (Kern dkk JW, 2002; Gurgel ST dkk, 2011). Tidak ada ambang batas nilai tekanan darah yang mendefinisikan perfusi organ yang cukup di antara organ, antara pasien, atau pada pasien yang sama dari waktu ke waktu. Namun, karena tekanan arteri merupakan penentu utama aliran darah organ, hipotensi (tekanan arteri rata-rata <65 mmHg) selalu patologis (Vielli dkk, 2004; Barbier dkk, 2004; Kumar dkk, 2004; Jellinek dkk, 2000). 2.2.4. Tekanan Vena Sentral (Central Venous Pressure/CVP) Central venous pressure (CVP) adalah tekanan balik terhadap kembalinya vena sistemik. Karena CVP biasanya sangat rendah, menentukan tingkat nol hidrostatik yang tepat adalah penting dalam memperkirakan CVP, namun penekanan fisiologis semacam itu bisa menjadi sulit. Jika CVP 10 mmHg atau kurang maka curah jantung akan turun secara merata saat tekanan ekspirasi akhir 10 cmH2O positif diberikan kepada pasien yang bergantung pada ventilator, sedangkan CVP di atas 10 mmHg tidak memiliki nilai prediktif. Pada suatu demonstrasi, dengan menggunakan teknik ekokardiografi, lebih dari 36% superior vena cava terjadi selama inspirasi tekanan positif atau turunnya inferior vena cava yang lengkap mengidentifikasi individu yang CVPnya di bawah 10 mmHg. Namun, tidak ada nilai ambang CVP yang mengidentifikasi pasien yang curah jantungnya akan meningkat sebagai respons terhadap resusitasi cairan. Yang penting, CVP hanya meningkat pada penyakit, namun kegunaan klinik CVP sebagai panduan untuk diagnosis atau terapi belum ditunjukkan (Vielli dkk, 2004; Barbier dkk, 2004; Kumar dkk, 2004; Jellinek dkk, 2000). 2.2.5. Kateter Arteri Pulmonal Kateter arteri pulmonalis (Pulmonary Artery Catheter/PAC) memungkinkan tekanan pengisian vetrikel kiri (Left Ventricular/LV) diperkirakan dengan mengukur Ppao (Pulmonary Arterial Occlusion Pressure). Namun, nilai Ppao tidak berkorelasi dengan volume akhir diastolik LV, dan keduanya juga memprediksi respon preload. Meskipun demikian, Ppao adalah tekanan balik terhadap aliran darah paru, dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya komponen hidrostatik pada edema paru dan untuk menilai resistensi vaskular paru. Dengan menggunakan termistor respons cepat, PAC dapat digunakan untuk memantau volume akhirdiastolik ventrikel kanan (Right Ventricular/RV) berdasarkan ukuran sinyal termal residual. Tindakan perubahan volume akhir diastolik RV berguna dalam operasi jantung saat mencoba mengidentifikasi kegagalan jantung sisi kanan. Jika volume akhir diastolik RV meningkat saat curah jantung berkurang, maka pasien memiliki cor pulmonale (Kern dkk JW, 2002; Gurgel ST dkk, 2011). Dengan menggunakan ukuran transthoracic peluruhan termal, seseorang dapat memperkirakan volume darah intrathoracic, volume jantung global, dan air dalam paru-paru. Dari ketiga ukuran ini, volume darah intrathoracic saat ini adalah teknik yang paling banyak digunakan, walaupun ukuran air dalam paru intrathoracic mungkin menarik dalam pengelolaan pasien dengan cedera paru akut. Volume darah intrathoracic dan perubahannya dalam menanggapi tantangan cairan mencerminkan preload LV dan perubahan pada beban preload LV lebih baik daripada tindakan konvensional lainnya, seperti CVP atau Ppao. Namun, kegunaan dari salah satu tindakan ini sebagai nilai titik tunggal statis dalam memprediksi respons preload atau dalam memperbaiki hasil pada pasien yang tidak stabil belum didokumentasikan (Teboul dkk, 2000; Michard dkk, 2000; Hines R dkk, 1993). 2.3. Agonis Adrenoseptor Alfa 2 Ahlquist membedakan reseptor adrenergik menjadi alfa dan beta. Meskipun klasifikasi Ahlquist dibenarkan dan diperhalus oleh yang lain, perkembangan substansial berikutnya dalam bidang alfa 2 adrenoseptor berdasarkan temuan bahwa terdapat subkelas yang meregulasi pelepasan neurotransmiter. Hal ini mengarah pada subdivisi dari adrenoseptor alfa 2 berdasarkan lokasi sinapsnya menjadi alfa 1 postsinaps dan alfa 2 presinaps, dan dikategorikan lebih lanjut lagi dengan penggunaan agonis dan antagonis adrenoseptor alfa 2 yang baru dikembangkan (Mervyn dkk 1991). 2.3.1. Klasifikasi Farmakologis Adrenoseptor Alfa 2 Bylund dkk. mendefinisikan terdapat tiga isoreseptor alfa 2 berdasarkan afinitas dengan ligan alfa adrenoseptor. Dengan demikian, reseptor prototipik α2A memiliki afinitas rendah untuk prazosin namun memiliki afinitas tinggi untuk oksimetazolin dan ditemukan pada platelet manusia. Sebaliknya, reseptor α2B memiliki afinitas rendah untuk oksimetazolin dan afinitas yang relatif tinggi untuk prazosin dan terutama terjadi pada paru-paru tikus dan korteks ginjal kronik (Mervyn dkk 1991). 2.3.2. Respon Fisiologi 2.3.2.1.Sistem Kardiovaskular Adrenoseptor vaskuler alfa l dan alfa 2 postjunctional hadir berdampingan baik di vaskulatur arteri maupun vena. Aktivasi alfa 2 adrenoseptor menghasilkan influks kalsium ekstraselular, sedangkan aktivasi adrenoseptor alfa l menghasilkan influks kalsium ekstraselular dan secara tambahan menginduksi pelepasan kalsium intraselular untuk menghasilkan vasokonstriksi (Mervyn dkk 1991). Stimulasi persarafan simpatis ke segmen poststenotik dari pembuluh darah koroner melepaskan norepinefrin, yang menyebabkan segmen arteri koroner berkontraksi oleh aktivasi adrenoseptor alfa 2 postjunctional. Agonis alfa 2 juga memediasi pelepasan faktor relaksasi yang diturunkan dari endotel (Mervyn dkk 1991). Klonidin memberikan aksi hipotensinya dengan mempengaruhi nukleus retikuler lateral, sedangkan metilnorepinefrin (metabolit dari alfa metildopa dan alfa metilnorepinefrin) memberikan aksi hipotensinya dengan mengaktifkan adrenoseptor alfa 2 di nukleus traktus solitaries. Klonidin menghambat secara kuat laju penembakan dari lokus ceruleus (LC), yang biasanya memediasi respon pressor. Bahkan, efek penghambatan klonidin pada aliran keluar simpatik ini dianggap penting untuk aksi hipotensinya karena klonidin tidak efektif dalam mengendalikan tekanan darah pada pasien hipertensi tetraplegik dimana mekanisme kontrol sentral simpatis masih kurang. Karena aksi hipotensif agonis alfa 2 adrenergik tidak dapat dikurangi oleh deplesi katekolamin endogen sebelumnya di dalam sistem saraf pusat (SSP), dinyatakan bahwa senyawa ini bekerja secara postsinaps di otak untuk menghasilkan aksi ini. Agonis alfa 2 adrenergik meningkatkan sensitivitas barorefleks terhadap peningkatan tekanan arteri sistolik atau peregangan yang terkait dengan manuver Valsava. Bradikardi disebabkan sebagian oleh penghambatan pelepasan norepinefrin yang dimediasi presinaps di persimpangan neuroefektor atau oleh efek vagomimetik. Agonis alfa 2 menstimulasi nukleus traktus solitarius dan dengan demikian dapat menghasilkan aksi vagomimetik di lokasi ini. Agonis adrenergik alfa 2, dalam dosis tinggi, akan menekan konduksi nodus atrioventrikular (AV) (Mervyn dkk 1991). 2.3.2.2.Sistem Respirasi Efek respirasi pada manusia dan hanya dalam kondisi overdosis obat. Terdapat efek hipoksemik administrasi obat secara intravena pada hewan berkuku, dimana respon ini dihambat oleh antagonis adrenoseptor alfa 2 yang bekerja secara perifer, yang mengarah pada temuan bahwa respon tersebut dimediasi sebagian oleh aktivasi adrenoseptor alfa 2 pada platelet yang beredar (Mervyn dkk 1991). 2.3.2.3.Sistem Neuroendokrin Agonis adrenergik alfa 2 menghambat secara kuat arus keluar simpatoadrenal, sebagaimana dibuktikan oleh penurunan kadar norepinefrin sirkulasi dan berkurangnya metabolit katekolamin dalam urin setelah administrasi klonidin. Efek simpatoinhibitor dari agonis adrenergik alfa 2 merupakan hasil dari penurunan pelepasan neurotransmiter di persimpangan/junction neuroefektor (Mervyn dkk 1991). Agonis alfa 2 adrenergik meningkatkan pelepasan hormon pertumbuhan, mekanisme ini dilakukan secara postsinaps pada sel hipofisis yang melepaskan hormon pertumbuhan (Mervyn dkk 1991). Agonis adrenergik alfa 2 imidazolin, secara umum sama dengan senyawa antijamur ketoconazol, dapat menghambat steroidogenesis berdasarkan struktur imidazolin. Setelah pemberian klonidin, pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH/Adrenocorticotropic Hormone) dihambat. Selanjutnya, peningkatan kadar kortisol, akibat stimulasi bedah, dikurangi oleh terapi klonidin. Namun, dalam bentuk stress (latihan) lainnya, elevasi level ACTH tidak dipengaruhi oleh klonidin pada pasien laki-laki normal. Agonis adrenoseptor alfa 2 menghambat pelepasan insulin melalui aksi langsung pada sel-sel pulau Langerhans (Mervyn dkk 1991). 2.3.2.4.Sistem Renal Level vasopressin dalam CSF (Cerebrospinal fluid) menurun pada manusia setelah pemberian klonidin. Efek pada saat pelepasan ADH (Antidiuretic Hormone), aksi ADH dari tubulus renalis dihambat oleh agonis alfa 2. Agonis alfa 2 adrenergik juga meningkatkan laju filtrasi glomerulus, meskipun mekanisme untuk aksi ini tidak diketahui. Agonis adrenergik alfa 2 yang sangat selektif, azepexole, menghambat pelepasan renin yang dipicu adenosin dari ginjal yang diperfusi secara terisolasi. Efeknya harus dimediasi oleh reseptor yang terletak pada aparatus justakglomeruler (Mervyn dkk 1991). 2.3.2.5.Sistem Gastrointestinal Aliran saliva menurun oleh agonis alfa 2 adrenergik. Aktivasi reseptor alfa 2 adrenergik prejunction menghambat pelepasan asam lambung yang dimediasi secara vagus dari sel parietal, namun tidak terdapat perubahan pada pH isi lambung. Agonis alfa 2 adrenergik juga mengurangi motilitas lambung dan usus yang dimediasi secara vagus. Ion usus dan sekresi cairan oleh usus besar dihambat oleh agonis alfa 2 adrenergik, dan klonidin telah berhasil digunakan dalam manajemen diare cair (Mervyn dkk 1991). 2.3.2.6.Sistem Reproduksi Adrenoseptor alfa 2 yang terletak postsinaps pada miometrium uterus. Adrenoseptor alfa l memediasi respon kontraktil dan adrenoseptor alfa 2 memediasi efek relaksasi pada miometrium (Mervyn dkk 1991). 2.3.2.7.Sistem Hematologi Agonis adrenergik alfa 2 menyebabkan agregasi platelet. Kontrol fisiologis dari agregasi platelet melibatkan aksi hormon agregat multipel (Mervyn dkk 1991). 2.3.2.8.Sistem Saraf Pusat Agonis alfa 2 adrenergik memproduksi sedasi, studi EEG mengkonfirmasi peningkatan tidur stadium I dan II, dengan penurunan gerakan mata yang cepat (rapid eye movement) tidur setelah pemberian agonis alfa 2. Agonis alfa 2 adrenergik, terutama varietas superselektif seperti dexmedetomidine, memberikan efek ansiolitik yang sebanding dengan senyawa benzodiazepin. Klonidin memberikan efek bifasik, menjadi ansiolitik pada rentang konsentrasi alfa 2 yang rendah dan menunjukkan perilaku anxiogenik pada dosis yang lebih tinggi melalui aksi alfa 1 (Mervyn dkk 1991). 2.3.3. Agonis Alfa 2 Adrenergik dalam Praktik Anestesi Penggunaan agonis alfa 2 adrenergik sebagai obat ansiolitik, sedatif, analgesik, antisialagog, antiemetik, dan antihipertensi. 2.3.3.1.Mengurangi Kebutuhan Anestesi Klonidin dalam mengurangi kebutuhan anestesi berkaitan dengan efek penurunannya pada neurotransmiter noradrenergik sentral. agonis alfa 2 superselektif, dexmedetomidine, bisa mengurangi MAC (Minimum Alveolar Concentrations) halotan pada tikus di mana pusat penyimpanan norepinefrin sentral sebelumnya mengalami deplesi. Penurunan kebutuhan anestesi yang sangat drastis oleh dexmedetomidine meningkatkan kemungkinan agonis alfa 2 adrenergik dapat dianggap sebagai agen anestesi bila diberikan secara tunggal, dimana adrenoseptor alfa 2 sentral memediasi aksi ini (Mervyn dkk 1991). 2.3.3.2.Efek Analgesik Agonis Alfa 2 Adrenergik Mekanisme nonopioidergik untuk aksi analgesik agonis alfa 2 berhubungan dengan peran jalur noradrenergik medullospinal descenden yang memodulasi pemrosesan nosiseptif spinal. Reseptor alfa 2 adrenergik berlokasi secara strategis pada neuron dorsal horn dari sumsum tulang belakang, di mana mereka dapat menghambat pelepasan neurotransmitter nosiseptif seperti substansi P atau peptida terkait gen kalsitonin. Jalur nosiseptif sangat sensitif terhadap dexmedetomidine, agonis alfa 2 adrenergik yang sangat selektif, dalam preparasi sumsum tulang belakang neonatus yang insensitif terhadap penghambatan oleh nalokson (Mervyn dkk 1991). 2.3.4. Efek Samping 2.3.4.1.Efek Kardiovaskular Efek farmakologis pada sistem kardiovaskular meliputi hipertensi akut dan bradikardia setelah pemberian bolus IV (Intravenous) dan bradikardia dan hipotensi yang persisten. Hal ini dapat dikurangi dengan memilih secara hati-hati rute dan kecepatan pemberian obat dan mentitrasi dosis secara hati-hati (Mervyn dkk 1991). 2.3.4.2.Sindrom Withdrawal setelah Terapi Agonis Alfa 2 Adrenergik Episode hipertensi setelah withdrawal pengobatan klonidin kronis. Diperlukan waktu hingga 6 hari terapi kontinyu untuk memproduksi perubahan adaptif yang diperlukan untuk supervensi sindrom withdrawal klonidin. Sehingga, penggunaan periopatif harus dalam durasi yang cukup singkat (kurang dari 6 hari) untuk menghindari kemungkinan dari rebound hipertensi. Pengobatan sindrom ini dengan labetalol IV (Mervyn dkk 1991). 2.4. Klonidin 2.4.1. Gambaran Umum Klonidin Klonidin adalah derivat imidazolin, merupakan suatu alfa-2 adrenergik agonis. Klonidin dibuat pada awal tahun 1970 digunakan sebagai nasal dekongestan dan obat antihipertensi. Klonidin adalah parsial selektif alfa-2 adrenergik agonis (dengan perbandingan selektifitas alfa-2 terhadap alfa 1 adalah 200:1), selektifitasnya dipengaruhi oleh dosis dan kecepatan pemberian. Klonidin bekerja sebagai obat anti hipertensi dengan menurunkan respon simpatis dari sistem saraf pusat (SSP). Efek lain dari obat golongan alfa-2 adrenergik agonis klonidin antara lain: efek sedasi, analgesia, anti cemas, menurunkan kebutuhan obat anestesi, mempertahankan kestabilan hemodinamik perioperatif dan kestabilan simpatoadrenal (Smith dkk, 2011; Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Hohener dkk, 2008). Modulasi reseptor alfa-2 di medulla spinalis akan menghasilkan efek analgesia. Pemberian dosis besar dengan pemberian cepat akan menyebabkan rangsangan pada reseptor α1 dan α2. Klonidin mengatur antinosiseptif perifer, supraspinal, dan terutama mekanisme medula spinalis yang mencakup aktivasi reseptor α2 postsinaptik dari jaras desending noradrenergik, neuron kholinergik serta pelepasan nitrit oksida (Gambar 3) (Smith dkk, 2011; Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Hohener dkk, 2008). Gambar 2.2 Struktur Kimia Klonidin (2-(2,6-dichlorophenylamino)-2imidazoline hydrochloride) 2.4.2. Mekanisme Kerja Reseptor adrenergik α2 merupakan reseptor tempat klonidin bekerja. Terdapat 3 subtipe reseptor α2 adrenergik pada manusia; α2A, α2B dan α2C, masing masing tersebar dimana-mana dengan fungsi yang berbeda-beda (Smith dkk, 2011; Bajwa dkk, 2011). Reseptor α2A tersebar utamanya pada perifer, memediasi sedasi, analgesia dan simpatolisis. Sedangkan reseptor α2B memediasi vasokonstriksi dan anti menggigil dan α2C pada otak dan sumsum tulang belakang (Bajwa dkk, 2011). Reseptor α2 postsinaps pada pembuluh darah perifer menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan di presinaps menghambat pelepasan norepinefrin yang merupakan agen yang menyebabkan vasokonstriksi. Rangsangan reseptor α2 pada sistem saraf pusat akan menyebabkan simpatolitik, sedasi, dan antinosisepsi (Hutschala dkk, 2004; Kroin dkk, 2004; Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). Nucleus pontine locus ceruleus merupakan tempat yang paling banyak terdapat reseptor alfa-2, merupakan sumber penting persarafan simpatis pada forebrain, dan pusat kewaspadaan yang vital. Efek sedasi diakibatkan karena penghambatan pada nucleus ceruleus (Hutschala dkk, 2004; Kroin dkk, 2004; Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). Klonidin merupakan jenis alfa 2 agonis tetapi masih memiliki efek perangsangan pada reseptor alfa 1 adrenergik dengan perbandingan 200:1. Klonidin dapat dipergunakan meningkatkan durasi blok saraf pada penggunaan lokal anestesi. Klonidin mampu memberikan efek analgesia baik secara perifer, spinal, dan supraspinal (batang otak). Klonidin bersifat lipofilik. Pemberian klonidin intravena mampu menembus saraf otak sehingga bisa memberikan efek analgesia melalui lokal neuroaksial dan supraspinal. Mekanisme analgesia klonidin pada tingkat spinal antara lain melalui hambatan eksitasi saraf aferen primer pada terminal sentral, hambatan pelepasan substansi P dan hiperpolarisasi dan penurunan aktivitas spontan saraf kornu dorsalis (Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). Analgesia tingkat supraspinal melalui hambatan pada saraf afferen substantia gelatinosa dan beberapa nukleus di batang otak. Analgesia tingkat perifer dengan cara melemahkan perangsangan saraf nyeri A delta dan serabut C serta memblok konduksi melalui peningkatan konduktan kalium (Kroin dkk, 2004; Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). Klonidin memiliki efek pada hemodinamik. Klonidin pada tingkat supraspinal mempengaruhi nukleus di batang otak mengaktifkan adrenoreseptor postsinaps alfa 2 dan mengaktivasi ikatan imidazole nonadrenergik pada nukleus retikular lateral mengakibatkan pengurangan tonus simpatis. Klonidin pada tingkat perifer bekerja pada adrenoreseptor alfa 2 presinaps mengurangi pelepasan norepinefrin pada terminal saraf simpatis sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan mengurangi efek kronotropik pada jantung. Efek supraspinal dan perifer ini melawan efek vasokonstriksi perifer akibat perangsangan langsung pada reseptor alfa 2 dan 1 dari klonidin (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). Kualitas sedasi yang dihasilkan oleh alfa-2 adrenoseptor agonis berbeda dengan sedasi yang ditimbulkan oleh obat golongan penghambat GABA (GammaAminobutyric Acid) (seperti midazolam dan propofol) (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). Obat alfa-2 adrenoseptor agonis, akan menurunkan aktivitas saraf simpatis dan derajat kesadaran, sehingga pasien lebih mudah dibangunkan dan lebih kooperatif. Hal ini merupakan refleks inhibisis dari nucleus pontinel locus ceruleus. Nuklues ini berhubungan dengan regulasi antara tidur dan bangun. Nukleus ini dihambat oleh alfa-2 adrenergik agonis melalui mekanisme yang dimediasi oleh G-protein yang akan menghambat adenilate cyclase. Sementara obat yang bekerja pada penghambat reseptor GABA akan membuat kesadaran berkabut dan paradoxical agitation (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). Sebagai anti menggigil klonidin bekerja pada tiga level target yaitu di hipothalamus dengan menurunkan ambang termoregulator untuk vasokonstriksi dan menggigil, menurunkan perangsangan langsung di locus ceruleus yang merupakan pusat menggigil di pons dan menghambat impuls dingin di tingkat modulasi di kornu dorsalis medulla spinalis. 2.4.3. Farmakodinamik Klonidin adalah suatu alfa-2 adrenergik agonis, yang mempunyai kapasitas untuk menurunkan tekanan darah, akibat dari aktivasi reseptor alfa-2 adrenergik pada pusat kontrol kardiovaskuler pada sistem saraf pusat (brainstem bawah) mungkin pada nukleus traktus solitarius. Lokasi reseptor alfa-2 adrenernik terletak pada presipnatik dan menghambat pengeluaran norepinefrin. Jadi penurunan keluarnya norepinefrin merangsang reseptor adrenergik dan respon terhadap jaringan (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). 2.4.3.1. Sistem Kardiovaskuler Klonidin menurunkan frekuensi jantung, resistensi pembuluh darah sistemik, aktivitas renin plasma, kadar epinefrin dan norepinefrin secara tidak langsung menurunkan kontraktilitas jantung, cardiac output, dan tekanan darah sistemik (Miller, 2009; Longnecker, 2008; Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). Efek penurunan tekanan sistolik lebih besar dibandingkan tekanan diastolik. Refleks homeostasis kardiovaskuler masih tetap dipertahankan, sehingga tidak akan terjadi orthostatic hipotensi maupun hipotensi saat beraktivitas (Stoelting, 2006). Aliran darah ke ginjal akan tetap dipertahankan selama terapi klonidin. Pemberian klonidin intravena secara cepat dan dosis besar dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan laju denyut jantung akibat perangsangan reseptor α1. Efek bradikardi pada pemberian klonidin dapat diterapi dengan pemberian atropin (Bioniche Pharma, 2013; Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). 2.4.3.2.Sistem Respirasi Klonidin mempunyai efek depresi yang minimal pada sistem respirasi, tidak mempunyai efek potensiasi terhadap depresi respirasi oleh opioid (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). Namun pada pemberian secara intravena bersama dengan fentanyl akan menyebabkan akumulasi dari fentanyl, sehingga akan meningkatkan resiko depresi ventilasi (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). Klonidin tidak bermakna meningkatkan efek depresi ventilasi oleh morphin (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011). 2.4.4. Farmakokinetik Klonidin akan diabsorpsi secara cepat setelah pemberian per oral dan mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 60 sampai 90 menit, bioavailabitasnya mencapai 70-80%. Waktu paruh eliminasinya antara 9 sampai 12 jam, dimana 50% nya akan dimetabolisme di hepar, dan akan diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urine. Efek hipotensi setelah pemberian dosis tunggal dapat mencapai 8 jam, dan pemberian melalui jalur transdermal membutuhkan waktu 48 jam untuk mencapai kadar konsentrasi plasma (Hutschala dkk, 2004; Kroin dkk, 2004; Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). Pemberian klonidin intravena direkomendasikan diencerkan dan diberikan dalam 10–15 menit melalui intravena. Peningkatan kadar di plasma tercapai dalam waktu 11±9 menit, eleminasi secara lambat terjadi dalam 9±2 jam sampai 24 jam. Clearence total dari klonidin adalah 219±92 mL/menit (Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). 2.4.4.1. Distribusi Klonidin merupakan obat dengan kelarutan lemak yang tinggi dan didistribusikan ke ekstravaskuler termasuk saraf pusat. Klonidin didistribusikan 2,1±0,4 L/kg. Klonidin secara in vitro berikatan dengan albumin bervariasi antara 20 dan 40 %. Pemberian secara epidural dapat mencapai sistemik melalui vena epidural (Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). 2.4.4.2. Metabolisme Klonidin dimetabolisme dengan metabolit utama phydroxyclonidin dengan komposisi kurang dari 10 % dari jumlah obat yang tidak diubah yang terdapat di urine (Bioniche Pharma, 2013). Eksperimental pemberian klonidin pada model binatang tidak menunjukkan neurotoxisitas dan tidak terjadi perubahan histopatologi (Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). 2.4.4.3. Ekskresi Setelah pemberian intravena klonidin 72 % diekskresikan melalui urin dalam 96 jam dengan 40-50 % merupakan klonidin yang belum dimetabolisme. Renal clearence dari klonidin 133 ± 66 mL/menit (Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). 2.4.5. Dosis Klonidin tersedia dalam bentuk ampul, tablet dan patch. Sediaan ampul (catapres) mengandung 150 mcg klonidin hydrochloride dalam larutan 1 mL. Sediaan ini juga mengandung NaCl, hydrochloric acid dan air untuk injeksi (Boehringer Ingelheim, 2013). Sediaan tablet klonidin hydrochloride (catapres, klonidin) 150 mcg (0,15 mg) dan 300 mcg (0,3 mg) (Hutschala dkk, 2004; Kroin dkk, 2004; Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). Klonidin bertindak sebagai agonis reseptor α2 selektif. Klonidin epidural (epidural 75 sampai 150 g, intratekal 30 sampai 60 g) adalah analgesik yang efektif untuk kanker kronis dan nyeri non kanker dan juga untuk nyeri pasca operasi. Opioid yang diberikan secara neuromobatis dan agonis α2 menunjukkan sinergisme (penambahan klonidin ke opioid untuk analgesia pasca operasi karena infus epidural kontinyu mengurangi kebutuhan opioid sebesar 20% sampai 60%). Klonidin adalah tambahan yang berguna untuk analgesia epidural persalinan. Klonidin epidural diindikasikan untuk pengobatan nyeri yang sulit diobati pada pasien kanker yang tidak responsif terhadap dosis opioid maksimum (Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). 2.4.6. Efek Samping Klonidin Efek samping yang sering terjadi pada pemberian klonidin antara lain yaitu mulut kering, sedasi, dan pusing dapat terjadi pada sekitar 50% pasien. Kejadian bradikardi, hipotensi, mual disfungsi ereksi dan diare jarang didapatkan. Pada pengehentian klonidin secara tiba-tiba pada pemberian jangka panjang (> 1 bulan) dapat menyebabkan fenomena withdrawal yang ditandai dengan hipertensi, agitasi, dan over reactif simpatis. Efek samping ini berhubungan dengan besar dosis yang diberikan. Sekitar 15 – 30% pasien yang menggunakan klonidin patch dapat mengalami dermatitis kontak (Goodman dan Gilman, 2001). 2.5. Dexmedetomidine 2.5.1. Struktur Dexmedetomidine Dexmedetomidine adalah agonis adrenoseptor yang sangat selektif, dan merupakan agen yang paling baru dikembangkan dan dilepaskan pada kelas farmakologis ini. Klonidin agonis α2-adrenoseptor prototipikal, awalnya dikembangkan sebagai dekongestan hidung, diperkenalkan pada praktik klinis pada tahun 1966 sebagai obat antihipertensi. Namun, berbagai sifat farmakologis segera memperluas daftar indikasi klinis untuk kelas obat ini. Efek menguntungkan agonis α2-adrenoseptor yang terdokumentasi dengan baik meliputi anxiolysis, analgesia, sedasi, dan juga simpatolisis, sehingga senyawa ini sangat sesuai untuk anestesi dan periode perioperative (Bhana dkk, 2000; Karol dkk, 2000; Scholz dkk, 2000). Dexmedetomidine, seperti agonis α2-adrenoceptor lainnya, menggabungkan struktur imidazolin (Gambar 2.3). Dexmedetomidine adalah D-enansiomer yang aktif secara farmakologis dari medetomidine, zat yang digunakan untuk sedasi dan analgesia dalam pengobatan hewan selama bertahun-tahun. Dibandingkan dengan klonidin, dexmedetomidine kira-kira delapan kali lebih spesifik untuk α2adrenoseptor dengan rasio selektivitas α2: α1 pada 1600:1. Berbeda dengan klonidin, dexmedetomidine memiliki sifat agonis penuh dan sifat farmakokinetik yang dapat diprediksi, dengan masa paruh distribusi yang cepat dengan waktu paruh distribusi kira-kira mencapai 6 menit dan waktu paruh eliminasi (t1/2) kira-kira 2 jam (Bhana dkk, 2000; Karol dkk, 2000; Scholz dkk, 2000). Gambar 2.3 Struktur Kimia α2-adrenoseptor Agonis Dexmedetomidine Perkembangan agonis dexmedetomidine α2-adrenoceptor yang sangat spesifik telah menciptakan minat baru dalam penggunaan agonis α2-adrenoseptor. Dexmedetomidine disetujui di Amerika Serikat pada akhir tahun 1999 untuk penggunaan infus secara terus menerus (sampai 24 jam) untuk sedasi/analgesia di unit perawatan intensif (ICU/Intensive Care Unit) dan selanjutnya di beberapa negara lain, misalnya Republik Ceko. Namun, sebagai hasil dari efek farmakologis yang mendalam dan profil farmakokinetik yang lebih baik dibandingkan dengan klonidin, dexmedetomidine telah dievaluasi pada beberapa pengaturan perioperatif lainnya namun belum disetujui (Bhana dkk, 2000; Karol dkk, 2000; Scholz dkk, 2000). Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahadewa dkk (2017) menemukan bahwa serial tekanan arteri rerata (MAP) dapat digunakan sebagai prediktif nilai hemodinamik pada operasi tulang belakang yang diberikan adjuvant dexmedetomidin dengan rumus prediksi persentase fluktuasi MAP: -10.411 – (0.847 x MAP Basal) + (0.938 x MAP 15) (Mahadewa dkk, 2017). 2.5.2. Farmakologi α2-adrenoseptor Agonis Dexmedetomidine Reseptor adrenergik membentuk penghubung antara katekolamin endogen dan sel targetnya yang terdistribusi di seluruh tubuh. Selain itu, mereka memediasi efek biologis dari banyak efek obat. Setidaknya ada sembilan subtipe reseptor adrenergik yang berbeda, termasuk 3 buah α1, 3buah α2, dan 3 buah reseptor badrenergik (Rockman dkk, 2002; Philipp dkk, 2002). Secara farmakologis dari DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) komplemen mereka, adrenoseptor α2 manusia dapat dibagi menjadi α2A, α2B dan α2C-adrenoseptor. Kelas-kelas tersebut sesuai dengan subtipe α2C10, α2C4 dan α2C2-adrenoceptor sesuai dengan lokasi pengkodean gen manusia pada kromosom 10, 4 dan 2. α2-adrenoseptor telah terlibat dalam berbagai fungsi fisiologis. Farmakologi α2-adrenoseptor bersifat kompleks, namun penelitian farmakologi dan pengembangan model tikus genetik telah menjelaskan efek fisiologis yang ditimbulkan oleh subtipe α2-adrenoseptor yang berbeda (Rockman dkk, 2002; Philipp dkk, 2002; Bylund dkk, 1994; Brede M dkk, 2004). Subtipe α2A-adrenoceptor telah dilaporkan menjadi subtipe utama di otak, dan terlibat dalam berbagai fungsi fisiologis, termasuk tindakan antinosiseptif, sedatif, simpatolitik, hipotermik, dan perilaku agonis α2-adrenoseptor. Stimulasi α2B-adrenoseptor pada otot polos vaskular menyebabkan vasokonstriksi, yang menyebabkan hipertensi awal setelah pemberian agonis α2-adrenoseptor, dan melawan efek hipotensi dari agonis α2-adrenoseptor yang dimediasi melalui α2Asubtipe. Sebagai tambahan, α2B-adrenoseptor tampaknya diperlukan untuk pengembangan hipertensi dan terlibat dalam mediasi aksi antinosiseptif nitrous oxide dan juga pada termoregulasi sentral (Sawamura dkk, 2000; Dawson dkk, 2004; Takada dkk, 2002). Subtipe α2C-adrenoceptor telah ditunjukkan untuk memodulasi neuro-transmisi dopaminergik, berbagai respons perilaku dan untuk menginduksi hipotermia. Lebih jauh lagi, subtipe ini berkontribusi pada antinosiseptif tulang belakang dari imidazolin moxonidine pada tikus. Namun, agonis α2-adrenoseptor yang diketahui, termasuk dexmedetomidine, bukan merupakan suptipe selektif, sebagai akibatnya tindakan farmakologis dexmedetomidine dihasilkan dari interaksi dengan ketiga subtype (Lahdesmaki dkk, 2002; Ihalainen dkk, 2004; Sawamura dkk, 2000; Dawson dkk, 2004; Takada dkk, 2002; Tasdogan dkk, 2009; Blaudszun dkk, 2012). α2-adrenoseptor termasuk dalam keluarga besar reseptor G-protein-coupled, yang mengandung struktur kuat dari tujuh transmembran. Dengan menggabungkan sistem sinyal GI/0, berbagai mekanisme efektor intraseluler memediasi respons fisiologis terhadap aktivasi reseptor. Sistem efektor yang disarankan terkait dengan aktivasi α2-adrenoseptor adalah penurunan aktivitas adenilat siklase, menghambat pembukaan kanal ion voltage-gated calcium, dan penambahan hiperpolarisasi aktivitas saluran ion kalium. α2-adrenoseptor mewakili kelas yang menarik dengan lokasi tindakan yang jelas, sehingga menyediakan alat farmakologis untuk mendapatkan lebih banyak wawasan tentang mekanisme farmakologis (Lahdesmaki dkk, 2002; Ihalainen dkk, 2004; Sawamura dkk, 2000; Dawson dkk, 2004; Takada dkk, 2002; Tasdogan dkk, 2009; Blaudszun dkk, 2012). 2.5.3. Farmakokinetik Dexmedetomidine 2.5.3.1.Absorbsi Meskipun dexmedetomidine hanya terdaftar untuk penggunaan IV (Intravena), beberapa rute pemberian telah diselidiki. Dengan pemberian ekstravaskular, seseorang dapat menghindari kadar plasma puncak yang tinggi yang biasanya terlihat setelah pemberian IV. Tingkat bioavailabilitas dari pemberian dexmedetomidine secara oral mencapai 16%. Dexmedetomidine diserap dengan baik melalui mukosa intranasal dan bukal, fitur yang bisa bermanfaat bila menggunakan dexmedetomidine pada anak-anak yang tidak kooperatif atau pasien geriatri (Anttila dkk, 2003; Yoo dkk, 2015; Iirola dkk, 2011; Li dkk, 2016). 2.5.3.2.Distribusi Dexmedetomidine adalah obat yang sangat terikat protein. Dalam plasma, 94% dexmedetomidine terikat pada albumin dan α1-glikoprotein. Studi dengan dexmedetomidine berlabel radioaktif, menunjukkan distribusi yang cepat dan luas ke seluruh tubuh. Pada penelitian hewan praklinis, ditemukan bahwa dexmedetomidine dengan mudah melintasi blood brain barrier dan plasenta. Dengan menggunakan analisis non-kompartemen, waktu paruh distribusi sekitar 6 menit ditemukan pada sukarelawan yang sehat. Volume distribusi yang jelas ditemukan berhubungan dengan berat badan, dengan volume distribusi stabil pada sukarelawan sehat sekitar 1,31-2,46 L / kg (90-194 L). Pada pasien ICU, nilai sangat bervariasi dan volume distribusi rata-rata 109 sampai 223L telah dilaporkan (Anttila dkk, 2003; Yoo dkk, 2015; Iirola dkk, 2011; Li dkk, 2016). 2.5.3.3.Metabolisme dan Eliminasi Dexmedetomidine dieliminasi terutama melalui biotransformasi oleh hati. Rasio ekstraksi hati sebesar 0,7 ditemukan. Kurang dari 1% diekskresikan tidak berubah dengan metabolit yang diekskresikan melalui ginjal (95%) dan feces (4%). Waktu paruh eliminasi 2,1-3,1 jam dilaporkan terjadi pada sukarelawan yang sehat. Pada pasien ICU, nilai yang sama ditemukan, dengan waktu paruh berkisar antara 2,2 sampai 3,7 jam. Analisis non-kompartemen menunjukkan bahwa clearance dexmedetomidine pada sukarelawan dewasa sehat sekitar 0,6-0,7 L / menit. Nilai berkisar antara 0,51 sampai 0,89 L / menit, dengan nilai tertinggi 0,89 L / menit ditemukan oleh Wolf (2001) pada relawan dengan berat badan relatif tinggi (rata-rata 93,5 kg) (Wolf dkk, 2001). Pada pasien ICU, clearance (kebanyakan pasca bedah) mirip dengan clearance yang ditemukan pada sukarelawan sehat dan berkisar antara 0,53 sampai 0,80 (Anttila dkk, 2003; Yoo dkk, 2015; Iirola dkk, 2011; Li dkk, 2016). 2.5.4. Dosis dan Efek Hemodinamik Dexmedetomidine Dexmedetomidine, seperti agonis α2-adrenoseptor lainnya, menampilkan respons tekanan darah biphasik yang tergantung dosis pemberian. Pemberian dosis umumnya adalah 1 µg/kg dan diberikan perlahan selama 20 menit. Efek sedasi dan analgesia yang dicapai dengan dosis pemuatan dapat dipertahankan dengan infus 0,2-0,7 µg /kg/jam. Cepat pemberian dosis pemuatan dapat mengaktifkan vasokonstriksi dan menyebabkan hipertensi yang signifikan. Dosis tinggi menghasilkan respons hipertensi yang disebabkan oleh aktivasi α2B-adrenoseptor pada otot polos vaskular. Efek ini menjelaskan untuk pelarangan dilakukannya injeksi intravena dexmedetomidine secara cepat (Tasdogan dkk, 2009; Blaudszun dkk, 2012). Tindakan dominan agonis α2-adrenoseptor dengan konsentrasi rendah dan direkomendasikan secara klinis adalah hipotensi yang disebabkan oleh sympatholysis-mediatedsecara terpusat dan dengan penghambatan transmisi neurotranspirasi pada saraf simpatis (Tasdogan dkk, 2009; Blaudszun dkk, 2012). Dexmedetomidine memiliki efek bradikardiak yang tergantung dosis, dimediasi terutama oleh penurunan efek simpatik dan sebagian oleh refleks baroreseptor dan aktivitas vagal.