Uploaded by User102095

a1b7e5bef5ee5bdd80f65cd18dbc6aca

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi Tulang Belakang
Tulang belakang itu terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral.
Terdapat 7 ruas servikal, 12 ruas vertebrae torakal, 5 ruas verbrae lumbalis, 5 ruas
tulang sakralis, dan 5 ruas koksigeal yang bersatu satu sama lain (Gambar 2.1).
Tulang belakang secara keseluruhan berfungsi sebagai tulang penyokong tubuh
terutama tulang-tulang lumbalis. Selain itu tulang belakang juga berfungsi
melindungi medula spinalis yang terdapat di dalamnya (Snell RS, 2010).
Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui
radix anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Masing–masing radix
melekat pada medulla spinalis melalui sederetan radices (radix kecil) yang terdapat
di sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuai. Setiap radix mempunyai sebuah
ganglion radix posterior yang axon sel–selnya memberikan serabut–serabut saraf
perifer dan pusat (Snell RS, 2010).
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping,
yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm dan garis tengah 2 cm.
Medulla spinalis yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak
dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari
medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruangruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang
berdekatan (Snell RS, 2010).
Saraf spinal berjumlah 31 pasang yang terdiri dari 8 pasang saraf servikal
(C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral
(S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co) (Snell RS, 2010).
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih
panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut,
segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal
tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar
saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna
vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai
setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua, sehingga akar-akar saraf sisanya
sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang
sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis
yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda” karena
penampakannya (Gambar 2.1).
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang
dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di
medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan
dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea
medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya
antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus
(jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang)
dengan fungsi serupa (Snell RS, 2010). Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi
kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal
atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki
kekhususan dalam mengenai informasi yang disampaikannya(Snell RS, 2010).
Gambar 2.1 Medula Spinalis
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal
dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat
mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang
terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis
sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea.
Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu
ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan
sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis mengandung
badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat
otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin
berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis (Snell RS, 2010).
Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui
akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke
medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar
meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuronneuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar
dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia
grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral (Snell RS, 2010).
Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf
spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung
serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan
medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer,
sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan
ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf
secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di
dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka
berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang
berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat
pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam
kabel yang sama (Snell RS, 2010).
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu
traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang
bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara
umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)
informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot
dan sendi (Snell RS, 2010).
2.2.
Konsep Pada Monitoring Hemodinamik
Konsep multimodal dalam pemantauan hemodinamika dapat diterjemahkan
ke dalam keadaan biasa dalam hal titik akhir stabilisasi hemodinamik daripada
mengobati nilai "normal", dan dapat membantu mencapai pasokan oksigen dan
oksigenasi yang memadai untuk menghindari kurangnya atau lebih resusitasi
dimana sama-sama berbahaya. Penting untuk dicatat, bahwa apa yang disebut nilai
"normal" mungkin benar untuk populasi, namun mungkin salah bagi pasien
individual (Kern dkk JW, 2002; Gurgel ST dkk, 2011).
2.2.1 Curah Jantung dan Pengantaran Oksigen (Oxygen Delivery/DO2)
sebagai Titik Akhir Resusitasi
Beberapa penyelidikan klinis dilakukan pada (Cardiac Output/CO) dan
variabel turunan berdasarkan tujuan yang diarahkan pada dukungan hemodinamik
dalam operasi berisiko tinggi. Dalam dua meta analisis baru-baru ini, ditemukan
bahwa indeks jantung dan pengobatan terpandu DO2 mengakibatkan penurunan
angka kematian dibandingkan dengan pasien bedah berisiko tinggi yang mendapat
terapi standar (Kern dkk JW, 2002; Gurgel ST dkk, 2011).
2.2.2. Variasi Stroke Volume dan Variasi Denyut Nadi sebagai Titik Akhir
Resusitasi
Baru-baru ini, perangkat yang kurang invasif yang menilai kadar CO dengan
analisis kontur denyutan berdasarkan sinyal tekanan radial arteri telah
diperkenalkan sebelumnya. Meskipun perangkat ini menunjukkan ketepatan yang
lebih rendah, ada beberapa bukti bahwa metode ini dapat menunjukkan perubahan
dan kecenderungan dalam status hemodinamik secara tepat. Karena variasi tekanan
nadi dan variasi volume stroke merupakan indikator responsifitas cairan, perangkat
ini tampaknya merupakan alternatif yang sederhana dan berguna untuk pemantauan
hemodinamika invasif (Kern dkk JW, 2002; Gurgel ST dkk, 2011).
2.2.3. Tekanan Darah
Sistem organ juga cenderung melakukan autoregulasi aliran darah mereka
sehingga aliran darah spesifik organ tetap konstan dalam berbagai tekanan darah
jika tingkat metabolisme tidak berubah, dan bervariasi dengan perubahan tingkat
metabolisme lokal. Batas bawah autoregulasi arus ini, berdasarkan tekanan arterial
rata-rata, bervariasi antara organ, pasien (berdasarkan status peredaran darah yang
mendasarinya, misalnya hipertensi esensial atau penyakit vaskular perifer), keadaan
penyakit mereka, aktivitas metabolik, dan terapi terkait (Kern dkk JW, 2002;
Gurgel ST dkk, 2011).
Tidak ada ambang batas nilai tekanan darah yang mendefinisikan perfusi
organ yang cukup di antara organ, antara pasien, atau pada pasien yang sama dari
waktu ke waktu. Namun, karena tekanan arteri merupakan penentu utama aliran
darah organ, hipotensi (tekanan arteri rata-rata <65 mmHg) selalu patologis (Vielli
dkk, 2004; Barbier dkk, 2004; Kumar dkk, 2004; Jellinek dkk, 2000).
2.2.4. Tekanan Vena Sentral (Central Venous Pressure/CVP)
Central venous pressure (CVP) adalah tekanan balik terhadap kembalinya
vena sistemik. Karena CVP biasanya sangat rendah, menentukan tingkat nol
hidrostatik yang tepat adalah penting dalam memperkirakan CVP, namun
penekanan fisiologis semacam itu bisa menjadi sulit. Jika CVP 10 mmHg atau
kurang maka curah jantung akan turun secara merata saat tekanan ekspirasi akhir
10 cmH2O positif diberikan kepada pasien yang bergantung pada ventilator,
sedangkan CVP di atas 10 mmHg tidak memiliki nilai prediktif. Pada suatu
demonstrasi, dengan menggunakan teknik ekokardiografi, lebih dari 36% superior
vena cava terjadi selama inspirasi tekanan positif atau turunnya inferior vena cava
yang lengkap mengidentifikasi individu yang CVPnya di bawah 10 mmHg. Namun,
tidak ada nilai ambang CVP yang mengidentifikasi pasien yang curah jantungnya
akan meningkat sebagai respons terhadap resusitasi cairan. Yang penting, CVP
hanya meningkat pada penyakit, namun kegunaan klinik CVP sebagai panduan
untuk diagnosis atau terapi belum ditunjukkan (Vielli dkk, 2004; Barbier dkk, 2004;
Kumar dkk, 2004; Jellinek dkk, 2000).
2.2.5. Kateter Arteri Pulmonal
Kateter
arteri
pulmonalis
(Pulmonary
Artery
Catheter/PAC)
memungkinkan tekanan pengisian vetrikel kiri (Left Ventricular/LV) diperkirakan
dengan mengukur Ppao (Pulmonary Arterial Occlusion Pressure). Namun, nilai
Ppao tidak berkorelasi dengan volume akhir diastolik LV, dan keduanya juga
memprediksi respon preload. Meskipun demikian, Ppao adalah tekanan balik
terhadap aliran darah paru, dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya
komponen hidrostatik pada edema paru dan untuk menilai resistensi vaskular paru.
Dengan menggunakan termistor respons cepat, PAC dapat digunakan untuk
memantau volume akhirdiastolik ventrikel kanan (Right Ventricular/RV)
berdasarkan ukuran sinyal termal residual. Tindakan perubahan volume akhir
diastolik RV berguna dalam operasi jantung saat mencoba mengidentifikasi
kegagalan jantung sisi kanan. Jika volume akhir diastolik RV meningkat saat curah
jantung berkurang, maka pasien memiliki cor pulmonale (Kern dkk JW, 2002;
Gurgel ST dkk, 2011).
Dengan menggunakan ukuran transthoracic peluruhan termal, seseorang
dapat memperkirakan volume darah intrathoracic, volume jantung global, dan air
dalam paru-paru. Dari ketiga ukuran ini, volume darah intrathoracic saat ini adalah
teknik yang paling banyak digunakan, walaupun ukuran air dalam paru
intrathoracic mungkin menarik dalam pengelolaan pasien dengan cedera paru akut.
Volume darah intrathoracic dan perubahannya dalam menanggapi tantangan cairan
mencerminkan preload LV dan perubahan pada beban preload LV lebih baik
daripada tindakan konvensional lainnya, seperti CVP atau Ppao. Namun, kegunaan
dari salah satu tindakan ini sebagai nilai titik tunggal statis dalam memprediksi
respons preload atau dalam memperbaiki hasil pada pasien yang tidak stabil belum
didokumentasikan (Teboul dkk, 2000; Michard dkk, 2000; Hines R dkk, 1993).
2.3. Agonis Adrenoseptor Alfa 2
Ahlquist membedakan reseptor adrenergik menjadi alfa dan beta. Meskipun
klasifikasi Ahlquist dibenarkan dan diperhalus oleh yang lain, perkembangan
substansial berikutnya dalam bidang alfa 2 adrenoseptor berdasarkan temuan
bahwa terdapat subkelas yang meregulasi pelepasan neurotransmiter. Hal ini
mengarah pada subdivisi dari adrenoseptor alfa 2 berdasarkan lokasi sinapsnya
menjadi alfa 1 postsinaps dan alfa 2 presinaps, dan dikategorikan lebih lanjut lagi
dengan penggunaan agonis dan antagonis adrenoseptor alfa 2 yang baru
dikembangkan (Mervyn dkk 1991).
2.3.1. Klasifikasi Farmakologis Adrenoseptor Alfa 2
Bylund dkk. mendefinisikan terdapat tiga isoreseptor alfa 2 berdasarkan
afinitas dengan ligan alfa adrenoseptor. Dengan demikian, reseptor prototipik α2A
memiliki afinitas rendah untuk prazosin namun memiliki afinitas tinggi untuk
oksimetazolin dan ditemukan pada platelet manusia. Sebaliknya, reseptor α2B
memiliki afinitas rendah untuk oksimetazolin dan afinitas yang relatif tinggi untuk
prazosin dan terutama terjadi pada paru-paru tikus dan korteks ginjal kronik
(Mervyn dkk 1991).
2.3.2. Respon Fisiologi
2.3.2.1.Sistem Kardiovaskular
Adrenoseptor vaskuler alfa l dan alfa 2 postjunctional hadir berdampingan
baik di vaskulatur arteri maupun vena. Aktivasi alfa 2 adrenoseptor menghasilkan
influks kalsium ekstraselular, sedangkan aktivasi adrenoseptor alfa l menghasilkan
influks kalsium ekstraselular dan secara tambahan menginduksi pelepasan kalsium
intraselular untuk menghasilkan vasokonstriksi (Mervyn dkk 1991).
Stimulasi persarafan simpatis ke segmen poststenotik dari pembuluh darah
koroner melepaskan norepinefrin, yang menyebabkan segmen arteri koroner
berkontraksi oleh aktivasi adrenoseptor alfa 2 postjunctional. Agonis alfa 2 juga
memediasi pelepasan faktor relaksasi yang diturunkan dari endotel (Mervyn dkk
1991).
Klonidin memberikan aksi hipotensinya dengan mempengaruhi nukleus
retikuler lateral, sedangkan metilnorepinefrin (metabolit dari alfa metildopa dan
alfa metilnorepinefrin) memberikan aksi hipotensinya dengan mengaktifkan
adrenoseptor alfa 2 di nukleus traktus solitaries. Klonidin menghambat secara kuat
laju penembakan dari lokus ceruleus (LC), yang biasanya memediasi respon
pressor. Bahkan, efek penghambatan klonidin pada aliran keluar simpatik ini
dianggap penting untuk aksi hipotensinya karena klonidin tidak efektif dalam
mengendalikan tekanan darah pada pasien hipertensi tetraplegik dimana
mekanisme kontrol sentral simpatis masih kurang. Karena aksi hipotensif agonis
alfa 2 adrenergik tidak dapat dikurangi oleh deplesi katekolamin endogen
sebelumnya di dalam sistem saraf pusat (SSP), dinyatakan bahwa senyawa ini
bekerja secara postsinaps di otak untuk menghasilkan aksi ini. Agonis alfa 2
adrenergik meningkatkan sensitivitas barorefleks terhadap peningkatan tekanan
arteri sistolik atau peregangan yang terkait dengan manuver Valsava. Bradikardi
disebabkan sebagian oleh penghambatan pelepasan norepinefrin yang dimediasi
presinaps di persimpangan neuroefektor atau oleh efek vagomimetik. Agonis alfa 2
menstimulasi nukleus traktus solitarius dan dengan demikian dapat menghasilkan
aksi vagomimetik di lokasi ini. Agonis adrenergik alfa 2, dalam dosis tinggi, akan
menekan konduksi nodus atrioventrikular (AV) (Mervyn dkk 1991).
2.3.2.2.Sistem Respirasi
Efek respirasi pada manusia dan hanya dalam kondisi overdosis obat.
Terdapat efek hipoksemik administrasi obat secara intravena pada hewan berkuku,
dimana respon ini dihambat oleh antagonis adrenoseptor alfa 2 yang bekerja secara
perifer, yang mengarah pada temuan bahwa respon tersebut dimediasi sebagian
oleh aktivasi adrenoseptor alfa 2 pada platelet yang beredar (Mervyn dkk 1991).
2.3.2.3.Sistem Neuroendokrin
Agonis adrenergik alfa 2 menghambat secara kuat arus keluar
simpatoadrenal, sebagaimana dibuktikan oleh penurunan kadar norepinefrin
sirkulasi dan berkurangnya metabolit katekolamin dalam urin setelah administrasi
klonidin. Efek simpatoinhibitor dari agonis adrenergik alfa 2 merupakan hasil dari
penurunan pelepasan neurotransmiter di persimpangan/junction neuroefektor
(Mervyn dkk 1991).
Agonis alfa 2 adrenergik meningkatkan pelepasan hormon pertumbuhan,
mekanisme ini dilakukan secara postsinaps pada sel hipofisis yang melepaskan
hormon pertumbuhan (Mervyn dkk 1991).
Agonis adrenergik alfa 2 imidazolin, secara umum sama dengan senyawa
antijamur ketoconazol, dapat menghambat steroidogenesis berdasarkan struktur
imidazolin. Setelah pemberian klonidin, pelepasan hormon adrenokortikotropik
(ACTH/Adrenocorticotropic Hormone) dihambat. Selanjutnya, peningkatan kadar
kortisol, akibat stimulasi bedah, dikurangi oleh terapi klonidin. Namun, dalam
bentuk stress (latihan) lainnya, elevasi level ACTH tidak dipengaruhi oleh klonidin
pada pasien laki-laki normal. Agonis adrenoseptor alfa 2 menghambat pelepasan
insulin melalui aksi langsung pada sel-sel pulau Langerhans (Mervyn dkk 1991).
2.3.2.4.Sistem Renal
Level vasopressin dalam CSF (Cerebrospinal fluid) menurun pada manusia
setelah pemberian klonidin. Efek pada saat pelepasan ADH (Antidiuretic
Hormone), aksi ADH dari tubulus renalis dihambat oleh agonis alfa 2. Agonis alfa
2 adrenergik juga meningkatkan laju filtrasi glomerulus, meskipun mekanisme
untuk aksi ini tidak diketahui. Agonis adrenergik alfa 2 yang sangat selektif,
azepexole, menghambat pelepasan renin yang dipicu adenosin dari ginjal yang
diperfusi secara terisolasi. Efeknya harus dimediasi oleh reseptor yang terletak pada
aparatus justakglomeruler (Mervyn dkk 1991).
2.3.2.5.Sistem Gastrointestinal
Aliran saliva menurun oleh agonis alfa 2 adrenergik. Aktivasi reseptor alfa
2 adrenergik prejunction menghambat pelepasan asam lambung yang dimediasi
secara vagus dari sel parietal, namun tidak terdapat perubahan pada pH isi lambung.
Agonis alfa 2 adrenergik juga mengurangi motilitas lambung dan usus yang
dimediasi secara vagus. Ion usus dan sekresi cairan oleh usus besar dihambat oleh
agonis alfa 2 adrenergik, dan klonidin telah berhasil digunakan dalam manajemen
diare cair (Mervyn dkk 1991).
2.3.2.6.Sistem Reproduksi
Adrenoseptor alfa 2 yang terletak postsinaps pada miometrium uterus.
Adrenoseptor alfa l memediasi respon kontraktil dan adrenoseptor alfa 2 memediasi
efek relaksasi pada miometrium (Mervyn dkk 1991).
2.3.2.7.Sistem Hematologi
Agonis adrenergik alfa 2 menyebabkan agregasi platelet. Kontrol fisiologis
dari agregasi platelet melibatkan aksi hormon agregat multipel (Mervyn dkk 1991).
2.3.2.8.Sistem Saraf Pusat
Agonis alfa 2 adrenergik memproduksi sedasi, studi EEG mengkonfirmasi
peningkatan tidur stadium I dan II, dengan penurunan gerakan mata yang cepat
(rapid eye movement) tidur setelah pemberian agonis alfa 2. Agonis alfa 2
adrenergik, terutama varietas superselektif seperti dexmedetomidine, memberikan
efek ansiolitik yang sebanding dengan senyawa benzodiazepin. Klonidin
memberikan efek bifasik, menjadi ansiolitik pada rentang konsentrasi alfa 2 yang
rendah dan menunjukkan perilaku anxiogenik pada dosis yang lebih tinggi melalui
aksi alfa 1 (Mervyn dkk 1991).
2.3.3. Agonis Alfa 2 Adrenergik dalam Praktik Anestesi
Penggunaan agonis alfa 2 adrenergik sebagai obat ansiolitik, sedatif,
analgesik, antisialagog, antiemetik, dan antihipertensi.
2.3.3.1.Mengurangi Kebutuhan Anestesi
Klonidin dalam mengurangi kebutuhan anestesi berkaitan dengan efek
penurunannya pada neurotransmiter noradrenergik sentral. agonis alfa 2
superselektif, dexmedetomidine, bisa mengurangi MAC (Minimum Alveolar
Concentrations) halotan pada tikus di mana pusat penyimpanan norepinefrin sentral
sebelumnya mengalami deplesi. Penurunan kebutuhan anestesi yang sangat drastis
oleh dexmedetomidine meningkatkan kemungkinan agonis alfa 2 adrenergik dapat
dianggap sebagai agen anestesi bila diberikan secara tunggal, dimana adrenoseptor
alfa 2 sentral memediasi aksi ini (Mervyn dkk 1991).
2.3.3.2.Efek Analgesik Agonis Alfa 2 Adrenergik
Mekanisme nonopioidergik untuk aksi analgesik agonis alfa 2 berhubungan
dengan peran jalur noradrenergik medullospinal descenden yang memodulasi
pemrosesan nosiseptif spinal. Reseptor alfa 2 adrenergik berlokasi secara strategis
pada neuron dorsal horn dari sumsum tulang belakang, di mana mereka dapat
menghambat pelepasan neurotransmitter nosiseptif seperti substansi P atau peptida
terkait gen kalsitonin. Jalur nosiseptif sangat sensitif terhadap dexmedetomidine,
agonis alfa 2 adrenergik yang sangat selektif, dalam preparasi sumsum tulang
belakang neonatus yang insensitif terhadap penghambatan oleh nalokson (Mervyn
dkk 1991).
2.3.4. Efek Samping
2.3.4.1.Efek Kardiovaskular
Efek farmakologis pada sistem kardiovaskular meliputi hipertensi akut dan
bradikardia setelah pemberian bolus IV (Intravenous) dan bradikardia dan hipotensi
yang persisten. Hal ini dapat dikurangi dengan memilih secara hati-hati rute dan
kecepatan pemberian obat dan mentitrasi dosis secara hati-hati (Mervyn dkk 1991).
2.3.4.2.Sindrom Withdrawal setelah Terapi Agonis Alfa 2 Adrenergik
Episode hipertensi setelah withdrawal pengobatan klonidin kronis.
Diperlukan waktu hingga 6 hari terapi kontinyu untuk memproduksi perubahan
adaptif yang diperlukan untuk supervensi sindrom withdrawal klonidin. Sehingga,
penggunaan periopatif harus dalam durasi yang cukup singkat (kurang dari 6 hari)
untuk menghindari kemungkinan dari rebound hipertensi. Pengobatan sindrom ini
dengan labetalol IV (Mervyn dkk 1991).
2.4. Klonidin
2.4.1. Gambaran Umum Klonidin
Klonidin adalah derivat imidazolin, merupakan suatu alfa-2 adrenergik
agonis. Klonidin dibuat pada awal tahun 1970 digunakan sebagai nasal dekongestan
dan obat antihipertensi. Klonidin adalah parsial selektif alfa-2 adrenergik agonis
(dengan perbandingan selektifitas alfa-2 terhadap alfa 1 adalah 200:1),
selektifitasnya dipengaruhi oleh dosis dan kecepatan pemberian. Klonidin bekerja
sebagai obat anti hipertensi dengan menurunkan respon simpatis dari sistem saraf
pusat (SSP). Efek lain dari obat golongan alfa-2 adrenergik agonis klonidin antara
lain: efek sedasi, analgesia, anti cemas, menurunkan kebutuhan obat anestesi,
mempertahankan
kestabilan
hemodinamik
perioperatif
dan
kestabilan
simpatoadrenal (Smith dkk, 2011; Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Hohener dkk,
2008). Modulasi reseptor alfa-2 di medulla spinalis akan menghasilkan efek
analgesia. Pemberian dosis besar dengan pemberian cepat akan menyebabkan
rangsangan pada reseptor α1 dan α2. Klonidin mengatur antinosiseptif perifer,
supraspinal, dan terutama mekanisme medula spinalis yang mencakup aktivasi
reseptor α2 postsinaptik dari jaras desending noradrenergik, neuron kholinergik
serta pelepasan nitrit oksida (Gambar 3) (Smith dkk, 2011; Bajwa dkk, 2011; Sia,
2000; Hohener dkk, 2008).
Gambar 2.2 Struktur Kimia Klonidin (2-(2,6-dichlorophenylamino)-2imidazoline hydrochloride)
2.4.2. Mekanisme Kerja
Reseptor adrenergik α2 merupakan reseptor tempat klonidin bekerja.
Terdapat 3 subtipe reseptor α2 adrenergik pada manusia; α2A, α2B dan α2C, masing
masing tersebar dimana-mana dengan fungsi yang berbeda-beda (Smith dkk, 2011;
Bajwa dkk, 2011). Reseptor α2A tersebar utamanya pada perifer, memediasi sedasi,
analgesia dan simpatolisis. Sedangkan reseptor α2B memediasi vasokonstriksi dan
anti menggigil dan α2C pada otak dan sumsum tulang belakang (Bajwa dkk, 2011).
Reseptor α2 postsinaps pada pembuluh darah perifer menyebabkan
vasokonstriksi, sedangkan di presinaps menghambat pelepasan norepinefrin yang
merupakan agen yang menyebabkan vasokonstriksi. Rangsangan reseptor α2 pada
sistem saraf pusat akan menyebabkan simpatolitik, sedasi, dan antinosisepsi
(Hutschala dkk, 2004; Kroin dkk, 2004; Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk,
2011).
Nucleus pontine locus ceruleus merupakan tempat yang paling banyak
terdapat reseptor alfa-2, merupakan sumber penting persarafan simpatis pada
forebrain, dan pusat kewaspadaan yang vital. Efek sedasi diakibatkan karena
penghambatan pada nucleus ceruleus (Hutschala dkk, 2004; Kroin dkk, 2004;
Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). Klonidin merupakan jenis alfa 2
agonis tetapi masih memiliki efek perangsangan pada reseptor alfa 1 adrenergik
dengan perbandingan 200:1. Klonidin dapat dipergunakan meningkatkan durasi
blok saraf pada penggunaan lokal anestesi. Klonidin mampu memberikan efek
analgesia baik secara perifer, spinal, dan supraspinal (batang otak). Klonidin
bersifat lipofilik. Pemberian klonidin intravena mampu menembus saraf otak
sehingga bisa memberikan efek analgesia melalui lokal neuroaksial dan
supraspinal. Mekanisme analgesia klonidin pada tingkat spinal antara lain melalui
hambatan eksitasi saraf aferen primer pada terminal sentral, hambatan pelepasan
substansi P dan hiperpolarisasi dan penurunan aktivitas spontan saraf kornu dorsalis
(Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). Analgesia tingkat supraspinal melalui hambatan
pada saraf afferen substantia gelatinosa dan beberapa nukleus di batang otak.
Analgesia tingkat perifer dengan cara melemahkan perangsangan saraf nyeri A
delta dan serabut C serta memblok konduksi melalui peningkatan konduktan kalium
(Kroin dkk, 2004; Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011).
Klonidin memiliki efek pada hemodinamik. Klonidin pada tingkat
supraspinal mempengaruhi nukleus di batang otak mengaktifkan adrenoreseptor
postsinaps alfa 2 dan mengaktivasi ikatan imidazole nonadrenergik pada nukleus
retikular lateral mengakibatkan pengurangan tonus simpatis. Klonidin pada tingkat
perifer bekerja pada adrenoreseptor alfa 2 presinaps mengurangi pelepasan
norepinefrin pada terminal saraf simpatis sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh
darah dan mengurangi efek kronotropik pada jantung. Efek supraspinal dan perifer
ini melawan efek vasokonstriksi perifer akibat perangsangan langsung pada
reseptor alfa 2 dan 1 dari klonidin (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011).
Kualitas sedasi yang dihasilkan oleh alfa-2 adrenoseptor agonis berbeda
dengan sedasi yang ditimbulkan oleh obat golongan penghambat GABA (GammaAminobutyric Acid) (seperti midazolam dan propofol) (Bajwa dkk, 2011; Clarence
dkk, 2011). Obat alfa-2 adrenoseptor agonis, akan menurunkan aktivitas saraf
simpatis dan derajat kesadaran, sehingga pasien lebih mudah dibangunkan dan
lebih kooperatif. Hal ini merupakan refleks inhibisis dari nucleus pontinel locus
ceruleus. Nuklues ini berhubungan dengan regulasi antara tidur dan bangun.
Nukleus ini dihambat oleh alfa-2 adrenergik agonis melalui mekanisme yang
dimediasi oleh G-protein yang akan menghambat adenilate cyclase. Sementara obat
yang bekerja pada penghambat reseptor GABA akan membuat kesadaran berkabut
dan paradoxical agitation (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011).
Sebagai anti menggigil klonidin bekerja pada tiga level target yaitu di
hipothalamus dengan menurunkan ambang termoregulator untuk vasokonstriksi
dan menggigil, menurunkan perangsangan langsung di locus ceruleus yang
merupakan pusat menggigil di pons dan menghambat impuls dingin di tingkat
modulasi di kornu dorsalis medulla spinalis.
2.4.3. Farmakodinamik
Klonidin adalah suatu alfa-2 adrenergik agonis, yang mempunyai kapasitas
untuk menurunkan tekanan darah, akibat dari aktivasi reseptor alfa-2 adrenergik
pada pusat kontrol kardiovaskuler pada sistem saraf pusat (brainstem bawah)
mungkin pada nukleus traktus solitarius. Lokasi reseptor alfa-2 adrenernik terletak
pada presipnatik dan menghambat pengeluaran norepinefrin. Jadi penurunan
keluarnya norepinefrin merangsang reseptor adrenergik dan respon terhadap
jaringan (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011).
2.4.3.1. Sistem Kardiovaskuler
Klonidin menurunkan frekuensi jantung, resistensi pembuluh darah
sistemik, aktivitas renin plasma, kadar epinefrin dan norepinefrin secara tidak
langsung menurunkan kontraktilitas jantung, cardiac output, dan tekanan darah
sistemik (Miller, 2009; Longnecker, 2008; Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011).
Efek penurunan tekanan sistolik lebih besar dibandingkan tekanan diastolik.
Refleks homeostasis kardiovaskuler masih tetap dipertahankan, sehingga tidak
akan terjadi orthostatic hipotensi maupun hipotensi saat beraktivitas (Stoelting,
2006). Aliran darah ke ginjal akan tetap dipertahankan selama terapi klonidin.
Pemberian klonidin intravena secara cepat dan dosis besar dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan laju denyut jantung akibat perangsangan reseptor
α1. Efek bradikardi pada pemberian klonidin dapat diterapi dengan pemberian
atropin (Bioniche Pharma, 2013; Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011).
2.4.3.2.Sistem Respirasi
Klonidin mempunyai efek depresi yang minimal pada sistem respirasi, tidak
mempunyai efek potensiasi terhadap depresi respirasi oleh opioid (Bajwa dkk,
2011; Clarence dkk, 2011). Namun pada pemberian secara intravena bersama
dengan fentanyl akan menyebabkan akumulasi dari fentanyl, sehingga akan
meningkatkan resiko depresi ventilasi (Bajwa dkk, 2011; Clarence dkk, 2011).
Klonidin tidak bermakna meningkatkan efek depresi ventilasi oleh morphin (Bajwa
dkk, 2011; Clarence dkk, 2011).
2.4.4. Farmakokinetik
Klonidin akan diabsorpsi secara cepat setelah pemberian per oral dan
mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 60 sampai 90 menit, bioavailabitasnya
mencapai 70-80%. Waktu paruh eliminasinya antara 9 sampai 12 jam, dimana 50%
nya akan dimetabolisme di hepar, dan akan diekskresikan dalam bentuk utuh
melalui urine. Efek hipotensi setelah pemberian dosis tunggal dapat mencapai 8
jam, dan pemberian melalui jalur transdermal membutuhkan waktu 48 jam untuk
mencapai kadar konsentrasi plasma (Hutschala dkk, 2004; Kroin dkk, 2004; Bajwa
dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011).
Pemberian klonidin intravena direkomendasikan diencerkan dan diberikan
dalam 10–15 menit melalui intravena. Peningkatan kadar di plasma tercapai dalam
waktu 11±9 menit, eleminasi secara lambat terjadi dalam 9±2 jam sampai 24 jam.
Clearence total dari klonidin adalah 219±92 mL/menit (Bajwa dkk, 2011; Sia,
2000; Clarence dkk, 2011).
2.4.4.1. Distribusi
Klonidin merupakan obat dengan kelarutan lemak yang tinggi dan
didistribusikan ke ekstravaskuler termasuk saraf pusat. Klonidin didistribusikan
2,1±0,4 L/kg. Klonidin secara in vitro berikatan dengan albumin bervariasi antara
20 dan 40 %. Pemberian secara epidural dapat mencapai sistemik melalui vena
epidural (Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011).
2.4.4.2. Metabolisme
Klonidin dimetabolisme dengan metabolit utama phydroxyclonidin
dengan komposisi kurang dari 10 % dari jumlah obat yang tidak diubah yang
terdapat di urine (Bioniche Pharma, 2013). Eksperimental pemberian klonidin pada
model binatang tidak menunjukkan neurotoxisitas dan tidak terjadi perubahan
histopatologi (Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011).
2.4.4.3. Ekskresi
Setelah pemberian intravena klonidin 72 % diekskresikan melalui urin
dalam 96 jam dengan 40-50 % merupakan klonidin yang belum dimetabolisme.
Renal clearence dari klonidin 133 ± 66 mL/menit (Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000;
Clarence dkk, 2011).
2.4.5. Dosis
Klonidin tersedia dalam bentuk ampul, tablet dan patch. Sediaan ampul
(catapres) mengandung 150 mcg klonidin hydrochloride dalam larutan 1 mL.
Sediaan ini juga mengandung NaCl, hydrochloric acid dan air untuk injeksi
(Boehringer Ingelheim, 2013). Sediaan tablet klonidin hydrochloride (catapres,
klonidin) 150 mcg (0,15 mg) dan 300 mcg (0,3 mg) (Hutschala dkk, 2004; Kroin
dkk, 2004; Bajwa dkk, 2011; Sia, 2000; Clarence dkk, 2011). Klonidin bertindak
sebagai agonis reseptor α2 selektif. Klonidin epidural (epidural 75 sampai 150 g,
intratekal 30 sampai 60 g) adalah analgesik yang efektif untuk kanker kronis dan
nyeri non kanker dan juga untuk nyeri pasca operasi. Opioid yang diberikan secara
neuromobatis dan agonis α2 menunjukkan sinergisme (penambahan klonidin ke
opioid untuk analgesia pasca operasi karena infus epidural kontinyu mengurangi
kebutuhan opioid sebesar 20% sampai 60%). Klonidin adalah tambahan yang
berguna untuk analgesia epidural persalinan. Klonidin epidural diindikasikan untuk
pengobatan nyeri yang sulit diobati pada pasien kanker yang tidak responsif
terhadap dosis opioid maksimum (Sia, 2000; Clarence dkk, 2011).
2.4.6. Efek Samping Klonidin
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian klonidin antara lain yaitu
mulut kering, sedasi, dan pusing dapat terjadi pada sekitar 50% pasien. Kejadian
bradikardi, hipotensi, mual disfungsi ereksi dan diare jarang didapatkan. Pada
pengehentian klonidin secara tiba-tiba pada pemberian jangka panjang (> 1 bulan)
dapat menyebabkan fenomena withdrawal yang ditandai dengan hipertensi, agitasi,
dan over reactif simpatis. Efek samping ini berhubungan dengan besar dosis yang
diberikan. Sekitar 15 – 30% pasien yang menggunakan klonidin patch dapat
mengalami dermatitis kontak (Goodman dan Gilman, 2001).
2.5.
Dexmedetomidine
2.5.1. Struktur Dexmedetomidine
Dexmedetomidine adalah agonis adrenoseptor yang sangat selektif, dan
merupakan agen yang paling baru dikembangkan dan dilepaskan pada kelas
farmakologis ini. Klonidin agonis α2-adrenoseptor prototipikal, awalnya
dikembangkan sebagai dekongestan hidung, diperkenalkan pada praktik klinis pada
tahun 1966 sebagai obat antihipertensi. Namun, berbagai sifat farmakologis segera
memperluas daftar indikasi klinis untuk kelas obat ini. Efek menguntungkan agonis
α2-adrenoseptor yang terdokumentasi dengan baik meliputi anxiolysis, analgesia,
sedasi, dan juga simpatolisis, sehingga senyawa ini sangat sesuai untuk anestesi dan
periode perioperative (Bhana dkk, 2000; Karol dkk, 2000; Scholz dkk, 2000).
Dexmedetomidine, seperti agonis α2-adrenoceptor lainnya, menggabungkan
struktur imidazolin (Gambar 2.3). Dexmedetomidine adalah D-enansiomer yang
aktif secara farmakologis dari medetomidine, zat yang digunakan untuk sedasi dan
analgesia dalam pengobatan hewan selama bertahun-tahun. Dibandingkan dengan
klonidin, dexmedetomidine kira-kira delapan kali lebih spesifik untuk α2adrenoseptor dengan rasio selektivitas α2: α1 pada 1600:1. Berbeda dengan
klonidin, dexmedetomidine memiliki sifat agonis penuh dan sifat farmakokinetik
yang dapat diprediksi, dengan masa paruh distribusi yang cepat dengan waktu paruh
distribusi kira-kira mencapai 6 menit dan waktu paruh eliminasi (t1/2) kira-kira 2
jam (Bhana dkk, 2000; Karol dkk, 2000; Scholz dkk, 2000).
Gambar 2.3 Struktur Kimia α2-adrenoseptor Agonis Dexmedetomidine
Perkembangan agonis dexmedetomidine α2-adrenoceptor yang sangat
spesifik telah menciptakan minat baru dalam penggunaan agonis α2-adrenoseptor.
Dexmedetomidine disetujui di Amerika Serikat pada akhir tahun 1999 untuk
penggunaan infus secara terus menerus (sampai 24 jam) untuk sedasi/analgesia di
unit perawatan intensif (ICU/Intensive Care Unit) dan selanjutnya di beberapa
negara lain, misalnya Republik Ceko. Namun, sebagai hasil dari efek farmakologis
yang mendalam dan profil farmakokinetik yang lebih baik dibandingkan dengan
klonidin, dexmedetomidine telah dievaluasi pada beberapa pengaturan perioperatif
lainnya namun belum disetujui (Bhana dkk, 2000; Karol dkk, 2000; Scholz dkk,
2000).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahadewa dkk (2017) menemukan
bahwa serial tekanan arteri rerata (MAP) dapat digunakan sebagai prediktif nilai
hemodinamik
pada
operasi
tulang
belakang
yang
diberikan
adjuvant
dexmedetomidin dengan rumus prediksi persentase fluktuasi MAP: -10.411 – (0.847
x MAP Basal) + (0.938 x MAP 15) (Mahadewa dkk, 2017).
2.5.2. Farmakologi α2-adrenoseptor Agonis Dexmedetomidine
Reseptor adrenergik membentuk penghubung antara katekolamin endogen
dan sel targetnya yang terdistribusi di seluruh tubuh. Selain itu, mereka memediasi
efek biologis dari banyak efek obat. Setidaknya ada sembilan subtipe reseptor
adrenergik yang berbeda, termasuk 3 buah α1, 3buah α2, dan 3 buah reseptor badrenergik (Rockman dkk, 2002; Philipp dkk, 2002). Secara farmakologis dari
DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) komplemen mereka, adrenoseptor α2 manusia
dapat dibagi menjadi α2A, α2B dan α2C-adrenoseptor. Kelas-kelas tersebut sesuai
dengan subtipe α2C10, α2C4 dan α2C2-adrenoceptor sesuai dengan lokasi pengkodean
gen manusia pada kromosom 10, 4 dan 2. α2-adrenoseptor telah terlibat dalam
berbagai fungsi fisiologis. Farmakologi α2-adrenoseptor bersifat kompleks, namun
penelitian farmakologi dan pengembangan model tikus genetik telah menjelaskan
efek fisiologis yang ditimbulkan oleh subtipe α2-adrenoseptor yang berbeda
(Rockman dkk, 2002; Philipp dkk, 2002; Bylund dkk, 1994; Brede M dkk, 2004).
Subtipe α2A-adrenoceptor telah dilaporkan menjadi subtipe utama di otak,
dan terlibat dalam berbagai fungsi fisiologis, termasuk tindakan antinosiseptif,
sedatif, simpatolitik, hipotermik, dan perilaku agonis α2-adrenoseptor. Stimulasi
α2B-adrenoseptor pada otot polos vaskular menyebabkan vasokonstriksi, yang
menyebabkan hipertensi awal setelah pemberian agonis α2-adrenoseptor, dan
melawan efek hipotensi dari agonis α2-adrenoseptor yang dimediasi melalui α2Asubtipe. Sebagai tambahan, α2B-adrenoseptor tampaknya diperlukan untuk
pengembangan hipertensi dan terlibat dalam mediasi aksi antinosiseptif nitrous
oxide dan juga pada termoregulasi sentral (Sawamura dkk, 2000; Dawson dkk,
2004; Takada dkk, 2002). Subtipe α2C-adrenoceptor telah ditunjukkan untuk
memodulasi neuro-transmisi dopaminergik, berbagai respons perilaku dan untuk
menginduksi hipotermia. Lebih jauh lagi, subtipe ini berkontribusi pada
antinosiseptif tulang belakang dari imidazolin moxonidine pada tikus. Namun,
agonis α2-adrenoseptor yang diketahui, termasuk dexmedetomidine, bukan
merupakan
suptipe
selektif,
sebagai
akibatnya
tindakan
farmakologis
dexmedetomidine dihasilkan dari interaksi dengan ketiga subtype (Lahdesmaki
dkk, 2002; Ihalainen dkk, 2004; Sawamura dkk, 2000; Dawson dkk, 2004; Takada
dkk, 2002; Tasdogan dkk, 2009; Blaudszun dkk, 2012).
α2-adrenoseptor termasuk dalam keluarga besar reseptor G-protein-coupled,
yang mengandung struktur kuat dari tujuh transmembran. Dengan menggabungkan
sistem sinyal GI/0, berbagai mekanisme efektor intraseluler memediasi respons
fisiologis terhadap aktivasi reseptor. Sistem efektor yang disarankan terkait dengan
aktivasi α2-adrenoseptor adalah penurunan aktivitas adenilat siklase, menghambat
pembukaan kanal ion voltage-gated calcium, dan penambahan hiperpolarisasi
aktivitas saluran ion kalium. α2-adrenoseptor mewakili kelas yang menarik dengan
lokasi tindakan yang jelas, sehingga menyediakan alat farmakologis untuk
mendapatkan
lebih
banyak
wawasan
tentang
mekanisme
farmakologis
(Lahdesmaki dkk, 2002; Ihalainen dkk, 2004; Sawamura dkk, 2000; Dawson dkk,
2004; Takada dkk, 2002; Tasdogan dkk, 2009; Blaudszun dkk, 2012).
2.5.3. Farmakokinetik Dexmedetomidine
2.5.3.1.Absorbsi
Meskipun dexmedetomidine hanya terdaftar untuk penggunaan IV
(Intravena), beberapa rute pemberian telah diselidiki. Dengan pemberian
ekstravaskular, seseorang dapat menghindari kadar plasma puncak yang tinggi yang
biasanya terlihat setelah pemberian IV. Tingkat bioavailabilitas dari pemberian
dexmedetomidine secara oral mencapai 16%. Dexmedetomidine diserap dengan
baik melalui mukosa intranasal dan bukal, fitur yang bisa bermanfaat bila
menggunakan dexmedetomidine pada anak-anak yang tidak kooperatif atau pasien
geriatri (Anttila dkk, 2003; Yoo dkk, 2015; Iirola dkk, 2011; Li dkk, 2016).
2.5.3.2.Distribusi
Dexmedetomidine adalah obat yang sangat terikat protein. Dalam plasma,
94% dexmedetomidine terikat pada albumin dan α1-glikoprotein. Studi dengan
dexmedetomidine berlabel radioaktif, menunjukkan distribusi yang cepat dan luas
ke seluruh tubuh. Pada penelitian hewan praklinis, ditemukan bahwa
dexmedetomidine dengan mudah melintasi blood brain barrier dan plasenta.
Dengan menggunakan analisis non-kompartemen, waktu paruh distribusi sekitar 6
menit ditemukan pada sukarelawan yang sehat. Volume distribusi yang jelas
ditemukan berhubungan dengan berat badan, dengan volume distribusi stabil pada
sukarelawan sehat sekitar 1,31-2,46 L / kg (90-194 L). Pada pasien ICU, nilai sangat
bervariasi dan volume distribusi rata-rata 109 sampai 223L telah dilaporkan
(Anttila dkk, 2003; Yoo dkk, 2015; Iirola dkk, 2011; Li dkk, 2016).
2.5.3.3.Metabolisme dan Eliminasi
Dexmedetomidine dieliminasi terutama melalui biotransformasi oleh hati.
Rasio ekstraksi hati sebesar 0,7 ditemukan. Kurang dari 1% diekskresikan tidak
berubah dengan metabolit yang diekskresikan melalui ginjal (95%) dan feces (4%).
Waktu paruh eliminasi 2,1-3,1 jam dilaporkan terjadi pada sukarelawan
yang sehat. Pada pasien ICU, nilai yang sama ditemukan, dengan waktu paruh
berkisar antara 2,2 sampai 3,7 jam. Analisis non-kompartemen menunjukkan
bahwa clearance dexmedetomidine pada sukarelawan dewasa sehat sekitar 0,6-0,7
L / menit. Nilai berkisar antara 0,51 sampai 0,89 L / menit, dengan nilai tertinggi
0,89 L / menit ditemukan oleh Wolf (2001) pada relawan dengan berat badan relatif
tinggi (rata-rata 93,5 kg) (Wolf dkk, 2001). Pada pasien ICU, clearance
(kebanyakan pasca bedah) mirip dengan clearance yang ditemukan pada
sukarelawan sehat dan berkisar antara 0,53 sampai 0,80 (Anttila dkk, 2003; Yoo
dkk, 2015; Iirola dkk, 2011; Li dkk, 2016).
2.5.4. Dosis dan Efek Hemodinamik Dexmedetomidine
Dexmedetomidine, seperti agonis α2-adrenoseptor lainnya, menampilkan
respons tekanan darah biphasik yang tergantung dosis pemberian. Pemberian dosis
umumnya adalah 1 µg/kg dan diberikan perlahan selama 20 menit. Efek sedasi dan
analgesia yang dicapai dengan dosis pemuatan dapat dipertahankan dengan infus
0,2-0,7 µg /kg/jam. Cepat pemberian dosis pemuatan dapat mengaktifkan
vasokonstriksi dan menyebabkan hipertensi yang signifikan. Dosis tinggi
menghasilkan respons hipertensi yang disebabkan oleh aktivasi α2B-adrenoseptor
pada otot polos vaskular. Efek ini menjelaskan untuk pelarangan dilakukannya
injeksi intravena dexmedetomidine secara cepat (Tasdogan dkk, 2009; Blaudszun
dkk, 2012). Tindakan dominan agonis α2-adrenoseptor dengan konsentrasi rendah
dan direkomendasikan secara klinis adalah hipotensi yang disebabkan oleh
sympatholysis-mediatedsecara terpusat dan dengan penghambatan transmisi
neurotranspirasi pada saraf simpatis (Tasdogan dkk, 2009; Blaudszun dkk, 2012).
Dexmedetomidine memiliki efek bradikardiak yang tergantung dosis, dimediasi
terutama oleh penurunan efek simpatik dan sebagian oleh refleks baroreseptor dan
aktivitas vagal.
Download