Uploaded by User101568

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

advertisement
A. DASAR PEMIKIRAN
Salah satu unsur penting bagi guru PAK untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi
pembelajaran yang direncanakan dan dikelolanya ialah pemahaman tentang konsep atau
teori belajar. Jika guru PAK telah memahami bagaimana individu dapat belajar secara lebih
efektif, maka ia dapat membantu peserta didiknya mengalami kegiatan belajar dengan hasil
optimal. Kalau guru hanya menguasai bahan pengajarannya namun kurang mengerti cara
efektif anak didik belajar, maka hasil kegiatan yang dikelolanya tentu bisa kurang
memuaskan. Untuk tujuan itu, guru perlu terus belajar dari berbagai teori belajar, dan
meninjau secara kritis dan konstruktif manfaatnya dalam pembelajaran PAK.
Oleh sebab itu pada kesempatan ini, kita akan belajar Teori-teori Belajar, Tokoh, Analisa
dan aplikasinya dalam pembelajaran PAK, Teori Belajar Aktif, Ketrampilan proses dan
Pembelajaran tuntas. Mengingat dalam teori belajar: mendengar cepat lupa, melihat ingat
dan melakukan paham, maka supaya pembelajar menjadi efektif dan menyenangkan maka
media alat peraga, metode dan strategi pembelajaran aktif menjadi hal yang perlu mendapat
perhatian.
B. Arti dan Hakekat Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan
orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin
kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus
dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting
untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati
adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat
terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting
oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila
respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
C. Teori belajar behavioristic
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku
dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam
berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut
disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat
menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman
penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang
dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target
tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan
atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan
penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak
sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Menurut Kacamata Alkitab
Alkitab menjelaskan bahwa asal mula manusia adalah dari debu tanah dan Allah
menghembuskan nafas hidup (Kej. 2:7). Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan
rupa Kita (Kej. 1:26). Manusia tidak bisa disamakan seperti hewan (kucing, anjing, tikus) dalam
hal belajar, karena manusia adalah makhluk paling mulia dari ciptaan yang lain serta paling
kompleks. Gambar dan rupa Allah merupakan sesuatu yang khusus dan beda dari ciptaan yang
lainnya dan manusia diberikan kuasa untuk memelihara, melindungi, merawat taman di Eden
beserta segala isinya yang dipercayakan Tuhan kepada mereka.
Di dalam belajar manusia adalah makhluk yang aktif, contohnya di dalam kelas peserta didik
yang hanya diam saja, hanya memerhatikan guru menjelaskan materi pembelajaran namun
pikirannya pasti berjalan dan memikirkan hal-hal yang dilihat, didengar, dan dirasakannya
meskipun tidak diutarakan/diekspresikan. Penting sekali guru memberikan penguatan kepada
peserta didiknya, apabila hal tersebut terjadi secara terus-menerus, maka peserta didik tidak akan
memiliki semangat di dalam belajar yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Firman Tuhan
dalam Amsal 17:22 menjelaskan, bahwa “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi
semangat yang patah mengeringkan tulang.” Pula dalam Amsal 18:14 dijelaskan, bahwa “Orang
yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat
yang patah?”
Belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Sekilas dari kalimat
tersebut kelihatan “benar”, namun apabila ditelisik lebih dalam lagi didapatkan beberapa hal,
bahwa: pertama, proses belajar adalah bukan karena coba-coba dan membuat salah, melainkan
sesuatu yang harus dijalani oleh pebelajar dan pembelajar. Memang di dalam pembelajaran ada
hal-hal yang membuat pebelajar merasa bosan, gelisah, kurang konsentrasi dan sebagainya. Hal
ini dapat diatasi apabila pebelajar dan pembelajar memiliki keterkaitan dan ketertarikan dalam
menyajikan materi di dalam kelas. Kedua, didalam belajar mencoba-coba bukan merupakan
sesuatu yang setiap hari dilakukan, namun belajar adalah sesuatu yang pasti. Dalam hal
pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK), bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat
manusia (1 Yoh. 4:14; Yud. 1:25) adalah benar dan tidak perlu dicoba-coba. Ketiga, dalam
proses pembelajaran memang ada salah, namun pemahaman penulis mengenai salah adalah
kealfaan pembelajar di dalam melakukan tindakan baik itu terjadi dalam maupun di luar kelas,
contohnya: terlambat memasuki kelas, tidak mengerjakan tugas, berkata-kata kurang sopan dan
sebagainya. Hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan tindakan yang preventif (pencegahan)
sebelum terjadi.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa respon. Pada kalimat di atas ada benarnya, sebab apabila
pebelajar mendapatkan sesuatu yang bermanfaat untuk hidupnya, maka akan ada perubahan atau
kemerdekaan (2 Kor. 3:17). Proses perubahan perilaku tidak segampang membalikkan telapak
tangan, sebab pada dasarnya manusia telah jatuh ke dalam dosa dan telah kehilangan kemuliaan
Allah (Rm. 3:23; 1 Tim. 2:14). Perubahan tersebut harus aktif dan kontinue (berkelanjutan)
dalam kehidupan pebelajar, karena dari perubahan tersebut akan terbiasa untuk hidup benar di
mata Tuhan (Ul. 6:18; 12:25; 1 Raj. 15:5, 11; 2 Raj. 12:2; Ams. 22: 6; 29:17; Ef. 6:4).
Tidak selamanya seorang guru harus memberikan penguatan (semangat) terhadap peserta didik,
karena banyaknya tugas pendidik dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Mungkin dapat saja
diberikan kepada sebagian peserta didik, namun hal tersebut sangat menyita waktunya. Peserta
didik harus belajar mandiri, dapat diandalkan, memiliki pemikiran dan konsep yang benar
mengenai belajar. Penguatan dapat memberikan semangat di dalam belajar, namun sampai kapan
penguatan harus diberikan? Hal ini hendaknya diperhatikan oleh guru agar tidak terkuras waktu
untuk menyampaikan materi pembelajaran.
Download