BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Leukemia merupakan nama kelompok penyakit maligna yang dikarakteristikan oleh perubahan kualitatif dan kuantitatif dalam leukosit sirkulasi. Leukemia dihubungkan dengan pertumbuhan abnormal leukosit yang menyebar mendahului sumsum tulang. Kata kata leukemia diturunkan dari bahasa Yunani leukos dan aima yang berarti “putih” dan “darah” yang mengacu pada peningkatan abnormal dari leukosit. Peningkatan tidak trkontrol ini akhirnya menimbulkan anemia, infeksi, trobositopenia, dan pada beberapa kasus menyebabkan kematian (Jan Tambayong, 2000). Salah satu penyakit non-infeksi (degeneratif) adalah kanker. Kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) mengestimasikan bahwa 84 juta orang meninggal akibat kanker dalam rentang waktu 2005 dan 2015.3 Pada tahun 2000 terdapat 10 juta orang (5,3 juta laki-laki dan 4,7 juta wanita) menderita kanker di seluruh dunia dan 6,2 juta diantaranya meninggal dunia (Case Fatality Rate/CFR 62%) (WHO, 2003). Data American Cancer Society (2004), angka kejadian leukemia di Amerika Serikat 33.440 kasus, 19.020 kasus diantaranya pada laki-laki (56,88%) dan 14.420 kasus baru lainnya pada perempuan (43,12%). Insiden rate (IR) leukemia pada laki- laki di Canada 14 per 100.000 penduduk dan pada wanita 8 per 100.000 penduduk pada tahun yang sama. Data The Leukemia and Lymphoma Society (2009) menyebutkan bahwa setiap 4 menit terdapat 1 orang meninggal karena kanker. Diperkirakan 139.860 orang di Amerika terkena leukemia, lymphoma dan myeloma dan 53.240 orang meninggal karena kasus ini (CFR 38,1%). IR leukemia yaitu 12,2 per 100.000 penduduk. Penyakit tersebut mempunyai banyak faktor penyebab namun belum ada yang mendominasi hingga terjadinya penyakit tersebut. Oleh karena itu, untuk mencegah leukemia atau kanker darah kita harus mengenal lebih jauh 1 tentang leukemia, bagaimana gejala-gejalanya, dampak dari penyakit leukemia, cara diagnosa dan penyembuhannya. Penyakit leukimia ini harus ditangani dengan tepat agar penderita tidak terjangkit penyakit lainnya karena tranfusi yang tidak steril. Berdasarkan paparan dari fakta inilah maka kami selaku penulis tertarik untuk membahas kasus mengenai penyakit leukimia ini dan sebagai pemenuhan tugas pada blok sistem imun dan hematologi. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian penyakit Leukemia? 2. Apa jenis – jenis penyakit Leukemia? 3. Bagaimanakah etiologi penyakit Leukemia? 4. Bagaimana Faktor Risiko Perkembangan penyakit Leukemia? 5. Bagaimanakah Patofisiologi penyakit Leukemia? 6. Apa sajakah manifestasi klinis penyakit Leukemia? 7. Apa sajakah pemeriksaan diagnostic penyakit Leukemia? 8. Bagaiamankah penatalaksanaan penyakit Leukemia? 9. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien penyakit Leukemia? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan istruksional umum Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien gangguan sel darah putih (leukemia). 1.3.2 Tujuan instruksional khusus Mengetahui etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan dan pencegahan pada penyakit Leukemia. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Leukemia Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum tulang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis sel darah putih dengan menyingkirkan jenis sel lain (Reeves, Charlene J et al, 2001). Leukemia tampak merupakan penyakit klonal, yang berarti satu sekelompok sel anak yang abnormal. Sel-sel ini menghambat semua sel darah lain di sumsum tulang untuk berkembang secara normal, sehingga mereka tertimbun di sumsum tulang. Karena factor-faktor ini, leukemia disebut gangguan akumulasi sekaligus gangguan klonal. Paa akhirnya, sel-sel nonleukemik di dalam darah yang merupakan penyebab berbagai gejala umum leukemia. 2.2 Jenis Leukemia Leukemia digambarkan sebagai akut atau kronis, bergantung pada cepat tidaknya kemunculan dan bagaimana diferensiasi sel-sel kanker yang bersangkutan. Sel-sel leukemia akut berdiferensiasi dengan buruk, sedangkan sel-sel leukemia kronis biasanya berdiferensiesi dengan baik. Leukemia juga digambarkan berdasarkan jenis sel yang berproliferasi. Sebagai contoh, leukemia limfoblastik akut, merupakan leukemia yang paling sering di jumpai pada anak, menggambarkan kanker dari turunan sel limfosit primitive. Leukemia granulostik adalah leukemia eosinofil, neutrofil, atau basofil. Leukemia pada orang dewasa biasanya limfositik kronis atau mielobastik akut. Angka kelangsungan hidup jangka panjang untuk leukemia bergantung pada jenis sel yang terlibat, tetapi berkisar sampai lebih dari 75% untuk leukemia limfositik akut pada masa kanak-kanak, merupakan angka statistic yang luar biasa karena penyakit ini hamper brsifat fatal. 3 Pembagian penyakit leukemia terdiri dari: 1. Leukemia limfositik akut (LLA) Leukemia limfoblastik akut adalah leukemia utama pada masa anak-anak, dan membentuk hamper semua leukemia pada anak berusia kurang dari 4 tahun, dan lebih dari separuh leukemia selama masa pubertas. Penyakit ini jarang pada pasien berusia lebih dari 30 tahun. Walaupun LLA dijumpai pada sekitar 15% leukemia pada orang dewasa, namun dari kasus ini mungkin sebenarnya adalah gambaran awal dari transformasi akut LMK. (Ronald A. Sacher, 2004) Leukemia limfoblastik akut (ALL) adalah keganasan yang paling sering dijumpai pada populasi anak-anak. Di Amerika Serikat, leukemia limfoblastik akut lebih sering dijumpai pada pria daripada wanita dan lebih sering pada ras kaukasia daripada Afrika-Amerika. Puncak usia terjadinya leukemia limfoblastik akut adalah kira-kira 4 tahun, walaupun walaupun penyakit ini dapat mengenai semua usia. Individu-individu tertentu, seperti penderita Sindrom Down dan ataksia-telangieksis sangat beresiko mengalami penyakit ini. Penyebabnya tidak di ketahui, walaupun dapat berkaitan dengan factor genetic, lingkungan, infeksi, dan di pengaruhi imun. Gejala pada saat pasien datang berobat adalah pucat, fatigue, demam, pendarahan, memar. Nyeri tulang sering di jumpai, dan anak kecil dapat datang untuk dievaluasi karena karena pincang atau tidak mau berjalan. Pada pemeriksaaan fisik dijumpai adanya memar, petekie, limfadenopati dan hepatosplenomegali. Evaluasi laboratorium dapat menunjukan leukositosis, anemia, dan trombositopenia. Pada kira-kira 50% pasien pasien di temukan jumlah leukosit melebihi 10.000/mm3 pada saat didiagnosis, dan pada 20% pasien melebihi 50.000/mm3. Neutopenia (jumlah neutrofil absolute kurang dari 500/mm3) sering dijumpai. Limfoblas dapat melaporkan di darah perifer, tetapi pemeriksa yang berpengalaman dapat melaporkan limfoblas tersebut sebagai limfosit atipik. Diagnosis pasti leukemia di tegakkan dengan melakukan aspirasi sumsum tulang yang meperlihatkan limfoblas lebih dari 25%. Sebaikmya juga dilakukan pe,eriksaan imunologik,sitogenik, dan karakter biokimiawi sel. Cairan spinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat 4 merupakan tempat persembunyian penyakit ekstramedular. Factor-faktor prognostic seperti jumlah leukosit awal dan usia pasien menetukan pengobatan yang diindikasikan. Pasien-pasien yang berisiko tinggi memrlukan terapi yang lebih intensif. Kebanyakan rencana-rencana pengobatan berlangsung selama 2-3 tahun dan dimulai dengan fase induksi remisi yang bertujuan untuk menurunkan beban leukemik yang berdeteksi menjadi kurang dari 5%. Fase terapi berikutnya bertujuan untuk menurunkan dan akhirnya menghilangkan semua sel leukemik dari tubuh. Terapi preventif pada saraf pusat termasuk didalam semjua protocol terapi. Kemoterapi dengan beberapa obat merupakan terapi utama, walaupun pada beberapa pasien yang berisiko tinggi dilakukan radiasi pada sistem saraf pusat. Transplantasi sumsum tulang merupakan pendekatan pengobatan lain yang dilakukan pada anak yang mengalami relaps sumsum tulang. Tempat relaps lain adalah sistem saraf pusat dan testis. Prognosis untuk daya tahan tubuh hidup bebas penyakit yang lain lama adalah kira-kira 75% pada semua kelompok resiko. Sindrom lisis tumor (trias metabolic hiperurisemia, hiperkalemia, dan hiperfofatemia) merupakan komplikasi terapi yang terjadi ketika sel leukemia mengalami lisis sebagai respons terhadap kemoterapi sitotoksik dan pelepasan, kandungan interaselulernya ke dalam aliran darah. Sindrom ini sering terjadi di dalam sel yang memiliki fraksi pertumbuhan tinggi (leukemia/limfosema sel T dan limfoma burkitt). Hidrasi, alkalinisasi, dan pemberian aluporinal secara agresif sebelum memulai kemoterapi dapat meringankan disfungsi ginjal yang serius. Kedua tidakan pertama membantu ekskresi fosfat dan asam urat, dan alupurinol mengurangi pembentukan asam urat. Kalium sebaiknya tidak ditambahkan ke dalam cairan hidrasi. Dengan memantau konsentrasi elektrolit dan fungsi ginjal secara kilat, seseorang dapat menghindari berkembangnya gagal ginjal. (M.william schawtz,2005) 2. Leukemia mielositik kronis (CML) Leukemia mielositik kronis (CML) terhitung kira-kira 3% dari semua kasus leukemia pada anak-anak. Penyakit ini dapat mengenai semua usia, tetapi sebagian besar kasus terjadi pada akhir masa kanak-kanak. Penyakit ini relative lebih lambat disbanding leukima akut. Penyebabnya tidak diketahui. 5 Pasien sering asimtomatik dan dapt terdapat jumlah leukosit yang tinngi atau splenomegali yang ditemukan pada pemeriksaan rutin anak yang sehat. Akan tetapi, dapat trejadi gejala seperti demam, keringat malam, nyeri abdomen atau nyeri tulang. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya splenomegali nhyata. Hepatomegali dapat juga terjadi. Evaluasi laboratorium secara tipikal memperlihatkan leukositosis nyata, trombositis, dan anemia ringan. Sumsum tulang hiperselular tetapi sisertai maturasi myeloid yang normal. Sel blas tidak banyak dijumpai. Pada kira-kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada leukemia mielositik kronis yang terlihat adalah: kromosom lphiladelphia. Kromosom ini berkaitan dengan t (9;22) klasik. Ada tiga tipe leukemia mielositik kronis: fase kronis, fase akselerasi, dan krisis blas. Fase kronis dapat berlangsung selama bertahun-tahun dan menunjukkan hiperproliferasi elemen myeloid matur. Pengobatan selama fase ini ditunjukkan pada sitoreduksi untuk mengurangi resiko berkembangnya leukositosis dan splenomegali massif. Pemberian hidroksiuria merupakan bagian penting pengobatan sitoredutif. Dengan berjalannya waktu, semua pasien akan memasuki fase akselerasi dan fase blas, mengalami leukemia yang nyata. Pada sebagian besar keadaan, secara morfologis ditemukan mieloblas, tetapi dapat juga terjadi transformasi limfoblas. Saat dimulai fase blas, prognosis biasanya buruk. Transplantasi sumsum tulang (BMT) merupakan satu-satunya terapi kuratif dan sebaiknya dilakukan kaetika pasien masih berada pada fase kronis. ( M.william schawtz,2005) 3. Multiple Myeloma Multiple myeloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang abnormal, yang terkumpul di dalam darah atau air kemih. Multiple myeloma (myelomatosis, plasma cell myeloma, Kahler's disease) merupakan keganasan sel plasma yang ditandai dengan penggantian sumsum tulang, kerusakan tulang , dan formasi paraprotein. Myeloma menyebabkan gejala-gejala klinik dan tanda-tanda klinis melalui mekanisme yang bervariasi. Tumor menghambat sumsum tulang memproduksi cukup sel darah. Hal ini dapat 6 menyebabkan masalah kesehatan pada ginjal, saraf, jantung, otot dan traktus digestivus. Meskipun myeloma masih belum bisa diobati, perkembangan terapi yang terbaru, termasuk penggunaan thalidomide dan obat-obatan lain seperti bortezomib dan CC-5013 cukup menjanjikan. ( McPhee ,J.Stephen, Maxine A. Papadakis, Jr.Lawrence M. Tierney, 2008). 2.3 Etiologi Kanker adalah salah satu jenis penyakit degeneratif yang disebabkan adanya pertumbuhan yang tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Selanjutnya sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga bisa menyebabkan kematian (Irawan, 2001). Leukimia adalah suatu keadaan dimana terjadi pertumbuhan yang bersifat irreversible dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu berada. Sel-sel tersebut, pada berbagai stadia akan membanjiri aliran darah yang berakibat sel yang spesifik akan dijumpai dalam jumlah yang banyak. Sebagai akibat dari proliferasi sel abnormal tersebut maka akan terjadi kompetisi metabolik yang akan menyebabkan anemia dan trombositopenia. Apabila proliferasi sel terjadi di limpa maka limpa akan membesar, sehingga dapat terjadi hipersplenisme yang selanjutnya menyebabkan makin memburuknya anemia serta trombositopenia (Supandiman, 1997). Etiologi leukimia sampai sekarang belum dapat dijelaskan secara keseluruhan. Banyak para ahli menduga bahwa faktor infeksi sangat berperan dalam etiologi leukimia. Infeksi terjadi oleh suatu bahan yang menyebabkan reaksi seperti infeksi oleh suatu virus. Mereka membuat suatu postulat bahwa kelainan pada leukimia bukan merupakan penyakit primer akan tetapi merupakan suatu bagian dari respon pertahanan sekunder dari tubuh terhadap infeksi tersebut. Respon defensif tubuh berbeda pada berbagai tingkat usia oleh karena itu maka kita lihat bahwa leukimia limfoblastik akut terdapat banyak pada anak-anak, leukimia mieoblastik akut pada usia dewasa muda, leukimia granulositik kronik pada dewasa muda dan orang tua dan leukimia limfositik kronik dapat dijumpai pada semua umur (Supandiman, 1997). 7 Terjadi peningkatan insiden leukimia pada orang-orang yang terkena radiasi sinar rontgen (terkena radiasi ledakan bom aom, yang dapat terapi radiologis dan para dokter ahli radiologis). Diduga peningkatan insiden ini karena akibat radiasi akan merendahkan resistensi terhadap bahan penyebab leukimia tersebut (Supandiman, 1997). Selain faktor diatas ada beberapa faktor yang menjadi penyebab leukimia akut yaitu faktor genetika, lingkungan dan sosial ekonomi, racun, status imunologi, serta kemungkinan paparan virus keduanya. Obat yang dapat memicu terjadinya leukimia akut yaitu agen pengalkilasi, epindophy ilotoxin. Kondisi genetik yang memicu leukimia akut yaitu Down sindrom, bloom sydrom, fanconi anemia, ataxia telangiectasia. Bahan kimia pemicu leukimia yaitu benzen. Kebiasaan hidup yang memicu leukimia yaitu merokok, minum alkohol keduanya (Dipiro, et al, 2005). 2.4 Faktor Risiko Perkembangan Leukemia Faktor risiko untuk leukemia antara lain adalah predisposisi genetik yang berhubungan dengan insiator (mutasi) yang diketahui atau tidak diketahui. Saudara kandungan dari anak yang menderita leukemia memiliki kecerendungan 2 sampai 4 kali lipat untuk mengalami penyakit ini disbandingkan anak-anak lain. Kromosom abnormalitas kromosom tertentu, termasuk sindrom Down, memiliki resiko menderita leukemia. Pajanan terhadap radiasi, beberapa jenis obat yang menekan sumsum tulang, dan berbagai obat kemoterapi telah dianggap meningkatkan risiko leukemia, agens-agens berbahaya di lingkungan juga di duga dapat menjadi factor risiko. Riwayat penyakit sebelumnya yang berkaitan dengan hematopoies (pembentukan sel darah ) telah terbukti meningkatkan risiko leukehodgkin, myeloma multiple. Riwayat leukemia kronis meningkatkan risiko leukemia akut. 8 2.5 Patofisiologi Sebuah sel induk majemuk berpotensi untuk mengalami diferensiasi, poliferasi dan maturasi untuk membentuk sel-sel darah matang yang dapat dilihat pada sirkulasi perifer. Sel induk berdiferensiasi, poliferasi, maturasi Sel Darah Merah Sel induk Majemuk Sel induk myeloid Sel induk limfoid Enam jenis sel darah Membentuk sirkulasi limfosit T Band 1. Eritrosit 2. Trombosit 3. Monosit 4. Basofil Leukemia berkembang 5. Neutrofil 6. Eusinofil Sel leukemia tunggal Berkembang dan memperoleh mutasi tambahan Kegagalan menjaga keseimbangan (proliferasi dan diferensiasi Sel ≠ bisa membedakan melewati tahap tertentu sel yang hematopelosis Populasi sel leukemia monoklone Bekembang tak terkendali 9 2.6 Manifestasi Klinis Selain presentasi klinis, laboratorium dan evaluasi patologi diperlukan untuk definitif diagnosis leukimia. Tes yang paling penting adalah sumsum tulang biopsi dan aspirasinya yang disampaikan kepada hematopathology untuk berbagai evaluasi. Noda cytochemical sangat membantu untuk menentukan apakah leukimia akut adalah keturunan myeloid atau limfoid. Umum: Biasanya terjadi 1-3 bulan dengan gejala yang tidak jelas seperti kelelahan, kurangnya toleransi latihan, nyeri dada dan perasaan yang tidak enak. Gejala: Pasien melaporkan penurunan berat badan, malaise, kelelahan, dan palpitasi dan dyspnea saat beraktivitas. Gajala lain yang dapat muncul yaitu demam, menggigil, dan kerasnya sugestif infeksi, memar (perdarahan vagina yang berlebihan, epistaksis, ekimosis dan petechiae), nyeri tulang, kejang, sakit kepala, dan diplopia. 2.7 Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan Diagnostik Leukimia Limfoblastik Akut (ALL) Hitung darah lengkap dan diferensiasinya adalah indikasi utama bahwa leukemia tersebut mungkin timbul.Semua jenis leukemia tersebut didiagnosis dengan aspirasi dan biopsi sumsum tulang.Contoh ini biasanya didapat dari tulang iliaka dengan pemberian anestesi lokal dan dapat juga diambil dari tulang sternum. (Gale, 2000 : 185) Pada leukemia akut sering dijumpai kelainan laboratorik seperti: 1) Darah tepi Dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering berat dan timbul cepat. Trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10 x 106/l Leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun. 10 Gambar Pemeriksaan Darah Tepi pada Pasien Leukemia Menunjukkan adanya sel muda (mieloblast, promielosit, limfoblast, monoblast, erythroblast atau megakariosit) yang melebih 5% dari sel berinti pada darah tepi. Gambar Limfoblast pada penderita Leukemia 2) Sumsum tulang Merupakan pemeriksaan yang sifatnya diagnostik.Ditemukan banyak sekali sel primitif.Sumsum tulang kadang-kadang mengaloblastik; dapat sukar untuk membedakannya dengan anemia aplastik. Hiperseluler, hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), tampak monoton oleh sel blast, dengan adanya leukomic gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang, tanpa sel antara). System hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500 sel pada apusan sumsum tulang). 11 Gambar Pemeriksaan Sumsum Tulang 3) Pemeriksaan sitogenetik Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan dalam diagnosis leukemia karena kelainan kromosom dapat dihubungkan dengan prognosis. Gambar Contoh Hasil Interpretasi Pemeriksaan Sitogenik 4) Pemeriksaan immunophenotyping Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan untuk pemeriksaan surface marker guna membedakan jenis leukemia. 12 Gambar Hasil Interpretasi immunophenotyping 2. Pemeriksaan Diagnostik pada Kronik Leukimia Myeloblast (CML) 1) Darah Tepi Leukositosis biasanya berjumlah >50 x 109 /L dan kadang – kadang >500 x 109/L. Meningkatnya jumlah basofil dalam darah. Apusan darah tepi : menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai netrofil, dengan komponen paling menonjol ialah segmen netrofil dan mielosit. Stab, metamielosit, promielosit dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast kurang dari 5%. Trombosit bisa meningkat, normal, atau menurun. Pada fase awal lebih sering meningkat. Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase [NAP] score) selalu rendah 2) Sumsum Tulang. Hiperseluler dengan sistem granulosit dominan.Gambarannya mirip dengan apusan darah tepi.Menunjukkan spectrum lengkap seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30%. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat. 13 3) Sitogenik: dijumpai adanya Philadelphia (Ph1) chromosome pada kasus 95% kasus. 4) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat. 5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric protein bcr – abl pada 99% kasus. 6) Kadar asam urat serum meningkat. Perubahan CML dari fase kronik ke fase transformasi akut ditandai oleh: 1) Timbulnya demam dan anemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. 2) Respons penurunan leukosit terhadap kemoterapi yang semula baik menjadi tidak adekuat. 3) Splenomegali membesar yang sebelumnya sudah mengecil. 4) Blast dalam sumsum tulang >10%. Diangnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO: 1) Blast 10 – 19 % dari WBC pada darah tepi atau dari sel sumsum tulang berinti. 2) Basofil darah tepi > 20%. 3) Thrombositopenia persisten (<100 x 109/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi, atau thrombositosis (>1000 x 109/L) yang tidak responsive pada terapi. 4) Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi. 5) Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal. Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO: 1) Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti. 2) Proliferasi blast ekstrameduler. 3) Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsy sumsum tulang. 3. Pemeriksaan Diagnostik pada Multiple Myeloma 1) Laboratorium Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus. Jumlah leukosit umumnya normal. Trombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien yang terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan 14 darah tepi jarang mencapai 5%, kecuali pada pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60% pasien. Hiperkalsemiadite mukan pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar seperempat hingga setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi ginjal dan 80% pasien menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi. Gambar Hasil Pemeriksaan Adanya Protein M pada Penderita Multyple Myeloma Gambar Keganasan Multiple Myeloma 2) Radiologi Gambaran foto x-ray dari multipel mieloma berupa lesi multipel, berbatas tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga medulla , mengikis tulang cancellous, dan 15 secara progresif menghancurkan tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien mieloma, demineralisasi difus.Pada dengan sedikit beberapa pengecualian, pasien, ditemukan mengalami gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi.Saat timbul gejala sekitar 8090% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan: Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan mieloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya pada mieloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai. Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan osteoprosis senilis. Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping. Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa jaringan lunak. Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%, tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%. Gambar Radiologi Pasien Multiple Myeloma 16 3) CT-Scan CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada mieloma. Namun, kegunaan modalitas ini belum banyak diteliti, dan umumnya CT Scan tidak dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional menggambarkan kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi. Gambar CT Scan Pada Multiple Myeloma 4) MRI MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena modalitas ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit mieloma berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2. Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola menyerupai mieloma.MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak spesifik.Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple mieloma seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk menilai plasmasitosis.Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang. 17 5) Angiografi Gambaran angiografi tidak spesifik.Tumor dapat memiliki zona perifer dari peningkatan vaskularisasi.Secara umum, teknik ini tidak digunakan untuk mendiagnosis multipel mieloma. 2.7 Penatalaksanaan 1. Leukimia Limfoblastik Akut (ALL) 1) Pengobatan Pengobatan khusus dan harus dilakukan di rumah sakit.Berbagai regimen pengobatannya bervariasi, karena banyak percobaan pengobatan yang masih terus berlangsung untuk menentukan pengobatan yang optimum. Obat-obatan kombinasi lebih baik daripada pengobatan tunggal. Jika dimungkinkan, maka pengobatan harus diusahakan dengan berobat jalan. Daya tahan tubuh penderita menurun karena sel leukemianya 2) Terapi Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu: Kemoterapi a. Induksi Remisi. Banyak obat yang dapat membuat remisi pada leukemia limfositik akut.Pada waktu remisi, penderita bebas dari symptom, darah tepi dan sumsum tulang normal secara sitologis, dan pembesaran organ menghilang.Remisi dapat diinduksi dengan obat-obatan yang efeknya hebat tetapi terbatas. Remisi dapat dipertahankan dengan memberikan obat lain yang mempunyai kapasitas untuk tetap mempertahankan penderita bebas dari penyakit ini. Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu suatu keadaan di mana gejala klinis menghilang, disertai blast sumsum tulang kurang dari 5%.Dengan pemeriksaan morfolik tidak dapat dijumpai sel leukemia dalam sumsum tulang dan darah tepi. (Bakta,I Made, 2007 : 131-133) 18 Biasanya 3 obat atau lebih diberikan pada pemberian secara berurutan yang tergantung pada regimen atau protocol yang berlaku. Beberapa rencana induksi meliputi: prednisone, vinkristin (Oncovin),daunorubisin (Daunomycin), dan L-asparaginase (Elspar). Obat-obatan lain yang mungkin dimasukan pada pengobatan awal adalah 6-merkaptopurin (Purinethol) dan Metotreksat (Mexate).Allopurinol diberikan secara oral dalam dengan gabungan kemoterapi untuk mencegah hiperurisemia dan potensial adanya kerusakan ginjal.Setelah 4 minggu pengobatan, 85-90% anak-anak dan lebih dari 50% orang dewasa dengan ALL dalam remisi komplit.Teniposude (VM-26) dan sitosin arabinosid (Ara-C) mungkin di gunakan untuk menginduksi remisi juka regimen awal gagal. (Gale, 2000 : 185) b. Fase postremisi Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama mungkin yang pada akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini dicapai dengan: a) Kemoterapi lanjutan, terdiri atas: Terapi konsolidasi Terapi pemeliharaan (maintenance) Late intensification b) Transplantasi sumsum tulang: merupakan terapi konsolidasi yang memberikan penyembuhan permanen pada sebagaian penderita, terutama penderita yang berusia di bawah 40 tahun. Terapi suportif Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan kemoterapi karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, kalau tidak penderita dapat meninggal karena efek samping obat,.Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat. Terapi suportif yang diberikan adalah; 19 1) Terapi untuk mengatasi anemia 2) Terapi untuk mengatasi infeksi, sama seperti kasus anemia aplastik terdiri atas Antibiotika adekuat, Transfusi konsentrat granulosit Perawatan khusus (isolasi) dan Hemopoitic growth factor (G-CSF atau GM-CSF) 3) Terapi untuk mengatasi perdarahan 4) Terapi untuk mengatasi hal-hal lain seperti pengelolaan leukostasis, pengelolaan sindrom lisis tumor 2. Leukimia Myeloblastik Akut (CML) Terapi CML tergantung pada dari fase penyakit, yaitu 1. Fase kronik, obat pilihannya meliputi: Busulpan (Myleran), dosis : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya. Obat dihentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut (Bakta, 2007). Kemoterapi Hydroxiurea bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dan mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup (Hoffbrand, 2005) dan memerlukan pengaturan dosis lebih sering, tetapi efek samping minimal. Dosis mulai dititrasi dari 500 mg – 2000 mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000 – 15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit dan bahaya, keganasan sekunder hampir tidak ada (Bakta, 2007). Inhibitor tirosin kinase. Obat ini sekarang sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya hasilnya menjanjikan. Zat STI 571 adalah suatu inhibitor spesifik terhadap protein ABL yaitu tirosin kinase dan mampu menghasilkan respons hematologik yang lengkap pada hampir semua pasien yang berada dalam fase kronik dengan tingkat konversi sumsum tulang yang tinggi dari Ph+ menjadi Ph(Hoffbrand, 2005). 20 Interferon alfa biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh hidroksiurea. Pada CML fase kronik interferon dapat memberikan remisi hetologik pada 80% kasus, tetapi remisi sitogenetik hanya tercapai pada 5 – 10% kasus (Bakta, 2007;Hoffbrand, 2005). 2. Terapi fase akselerasi : sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respons sangat rendah. 3. Transplantasi sumsum tulang: memberikan harapan penyembuhan jangka panjang terutama untuk penderita yang berumur <40 tahun. Sekarang yang umum diberikan adalah allogeneic peripheral blood stem cell transplantation. Modus terapi ini merupakan satu – satunya yang dapat memberikan kesembuhan total. 4. Sekarang sedang dikembangkan terapi yang memakai prinsip biologi molekuler (targeted therapy). Suatu obat baru imatinib mesylate (Gleevec) dapat menduduki ATP – binding site of abl oncogen sehingga menekan aktifitas tyrosine kinase sehingga menekan proliferasi seri myeloid (Bakta, 2007). 3. Multiple Myeloma 1) Kemoterapi Kemoterapi adalah penggunaan obat yang ampuh untuk membunuh sel-sel kanker.Kemoterapi merupakan terapi sistemik, artinya beredar melalui aliran darah dan mempengaruhi hampir seluruh bagian tubuh. Yang umum sebagian besar efek samping kemoterapi termasuk kelelahan, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, mual dan muntah, kehilangan selera makan, rambut rontok , luka di mulut dan saluran pencernaan, nyeri otot, dan mudah memar atau pendarahan. obat khusus mungkin berunding lainnya khusus efek samping. 2) Terapi radiasi Dalam myeloma, radiasi digunakan terutama untuk mengobati tumor yang lebih besar, atau untuk mencegah fraktur patologis dalamdikompromikan tulang myeloma. Pada orang dengan penyakit yang luas, radiasi dapat diterapkan ke area yang lebih besar untuk membunuh beberapa situs myeloma. 21 Radiasi dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dan gejala lain yang berhubungan dengan area kecil kerusakan parah terutama tulang. 3) Pengobatan ditujukan untuk: 1. Mencegah atau mengurangi gejala dan komplikasi 2. Menghancurkan sel plasma yang abnormal 3. Memperlambat perkembangan penyakit. 4) Penatalaksanaan yang bisa diberikan 1. Obat pereda nyeri (analgetik) yang kuat dan terapi penyinaran pada tulang yang terkena, bisa mengurangi nyeri tulang. 2. Penderita yang memiliki protein Bence-Jones di dalam air kemihnya harus bayak minum untuk mengencerkan air kemih dan membantu mencegah dehidrasi, yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal. 3. Penderita harus tetap aktif karena tirah baring yang berkepanjangan bisa mempercepat terjadinya osteoporosis dan menyebabkan tulang mudah patah. Tetapi tidak boleh lari atau mengangkat beban berat karena tulang-tulangnya rapuh. 4. Pada penderita yang memiliki tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, daerah kemerahan di kulit) diberikan antibiotik. 5. Penderita dengan anemia berat bisa menjalani transfusi darah atau mendapatkan eritropoetin. 22 BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Kasus Semu An. Budi usia 7 tahun, agama Islam, alamat tinggal jln. Ratu Jambi Cidolod, kelas 2 SD, masuk rumah sakit tanggal 8/11/2011. Klien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas, demam, sakit kepala, lemah, nyeri tulang dan sendi. Saat pemeriksaan fisik didapatkan: menggunakan otot bantu nafas, CRT > 3 detik, , konjungtiva anemis, akral dingin, BB klien turun dari 25 kg menjadi 22 kg, mual (+) dan muntah (+). Selain itu terdapat pembesaran limfa (splenomegali) dan hati (hepatomegali). Dari hasil pemeriksaan tandatanda vital diperoleh : TD : 80/50 mmHg, N : 80x/menit, RR : 34 x/menit , S : 38,60C. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil lab : Hb: 6,7 gr/dl, leukosit: 70.500 ml3, trombosit: 44.000 ml. 3.2 Pengkajian Anamnesa: 1. Identitas Nama : An. Bd Usia : 7 tahun JK : Laki-laki Suku : Jawa Agama : Islam Alamat : Jalan Ratu Jambi Cidolod 2. Keluhan Utama An. Bd mengatakan sesak napas, demam, sakit kepala, lemah, nyeri tulang dan sendi. 3. Riwayat Penyakit Sekarang Saat dilakukan pemeriksaan pada fisik An. Bd, CRT > 3 detik, konjungtiva anemis, akral dingin, BB turun, mual dan muntah. Selain itu, terdapat pembesaran limfa dan pembesaran hati. 4. Riwayat Penyakit dahulu: 5. Riwayat Penyaki Keluarga: 23 6. Riwayat Psikososial: - 3.3 Pemeriksaan Fisik B1 (Breath): RR 37x/menit, sesak napas, menggunakan otot bantu pernapasan yaitu otot sternokleidomastoid. B2 (Blood): TD 80/50 mmHg, CRT >3detik, akral dingin, HR 80x/menit, Hb 6,7 gr/dl, leukosit 70.500 ml3, trombosit 44.000ml3 B3 (Brain): sakit kepala B4 (Bladder): B5 (Bowel): BB turun, mual, muntah, pembesaran limfa, pembesaran hati B6 (Bone): Nyeri tulang dan sendi 3.4 Analisis data No Data Etiologi Masalah Keperawatan 1. DS : Faktor eksternal (agent, obat- Gangguan Sesak nafas obatan, radiasi) Sakit kepala ↓ pertukaran gas Menyebabkan sel tumbuh DO: RR 19 x/menit melebihi normal dan ganas ↓ (takipnea) Sel muda yang seharusnya HR 80x/menit membentuk limfosit berubah CRT >3 detik ganas Akral dingin ↓ Hb 6,7 gr/dl Muncul sel kanker SaO2 90% ↓ Menghasilkan leukosit yang 24 AGD menunjukkan hasil: Asidosis respiratorik imatur lebih banyak ↓ Leukosit imatur menyusup ke sumsum tulang ↓ Limfosit imatur berproliferasi di sumsum tulang belakang dan sel perifer ↓ Mengganggu perkembangan sel normal ↓ Haemopoesis normal terhambat ↓ Penurunan produksi eritrosit ↓ Hemoglobin menurun ↓ Pengangkutan O2 oleh darah menurun ↓ Oksigen tidak terdistribusi dengan baik ↓ Gangguan pertukaran gas 2. DS : F aktor eksternal (agent, Merasa badannya panas Hipertermi obat-obatan, radiasi) ↓ Menyebabkan sel tumbuh melebihi normal dan ganas 25 ↓ DO : Suhu 38,60˚C Demam Turgor kulit menurun Membrane Sel muda yang seharusnya membentuk limfosit berubah ganas ↓ Muncul sel kanker mukosa ↓ kering Menghasilkan leukosit yang Kulit merah imatur lebih banyak Kulit teraba ↓ hangat Leukosit 70.500 ml3 Leukosit imatur menyusup ke sumsum tulang ↓ Limfosit imatur berproliferasi di sumsum tulang belakang dan sel perifer ↓ Mengganggu perkembangan sel normal ↓ Haemopoesis normal terhambat ↓ Penurunan produksi leukosit ↓ Mempengaruhi system retikulo endothelial ↓ Gangguan pertahanan tubuh ↓ Infeksi 26 ↓ Peningkatan laju metabolism ↓ Hipertermi 3. DS : Faktor eksternal (agent, obat- Gangguan nutrisi Mual Muntah obatan, radiasi) ↓ kurang dari kebutuhan tubuh Menyebabkan sel tumbuh melebihi normal dan ganas DO : BB turun yang semua 25 kg menjadi 22 kg Pembesaran limfa Pembesaran hati Sel muda yang seharusnya membentuk limfosit berubah ganas ↓ Muncul sel kanker ↓ Menghasilkan leukosit yang imatur lebih banyak Penurunan ↓ turgor kulit Leukosit imatur menyusup Membrane ke sumsum tulang mukosa kering Kelemahan Hb: 6,7 gr/dl leukosit:70.50 0 ml3 ↓ trombosit: 44.000 ml. ↓ Limfosit imatur berproliferasi di sumsum tulang belakang dan sel perifer ↓ Mengganggu perkembangan sel normal ↓ Haemopoesis normal terhambat 27 ↓ Penurunan produksi eritrosit ↓ Anemia ↓ Nutrisi tidak terdistribusi dengan baik ↓ Lemah, nafsu makan menurun ↓ Nutrisi kurang dari kebutuhan 3.5 Diagnosis Keperawatan 1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan oksigen tidak dapat terdistribusi dengan baik. 2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi. 3. Resiko gangguan nutrisi kutrang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, dan muntah. 3.6 Intervensi Diagnosis Keperawatan I Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan oksigen tidak terdistribusi dengan baik Tujuan : Pertukaran gas dapat terdistribusi dengan baik Kriteria Hasil : RR 24x/menit, pasien tidak mengeluhkan sakit kepala, Hb normal, SaO2 > 95%, Hasil AGD menunjukkan nilai normal PO2 80-100, PCO2 35-45, pH 7-7,5. 28 INTERVENSI Atur posisi klien semifowler RASIONAL Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Berikan oksigen dan pantau Terapi oksigen dapat mengoreksi efektifitasnya hipoksemia yang terjadi akibat penurunan ventilasi paru. Tingkatkan pola pernapasan yang Mengoptimalkan pertukaran gas alveoli optimal dalam memaksimalkan dengan pembuluh darah pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam paru Tingkatkan bedrest, batasi aktivitas dan Menurunkan konsumsi oksigen selama bantu kebutuhan perawatan diri sehari- periode penurunan pernapasan dan hari sesuai keadaan pasien. dapat menurunkan beratnya gejala Ajarkan breathing exercise Meredakan pola nafas yang tidak teratur Berikan obat antiaritmia, jika perlu Memberikan perawatan dengan memberikan bantuan farmakologi yang dapat menunjang proses perawatan Diagnosis Keperawatan II Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam suhu tubuh pasien kembali normal (36,6 C – 37,2 C). Kriteria Hasil : Suhu Normal antara 36,6 C – 37,2 C, tanda-tanda infeksi berkurang atau hilang, kulit berwarna normal, turgor lentur, membrane mukosa lembab. INTERVENSI RASIONAL Monitor tanda-tanda vital, Untuk menentukan tindakan dan mengumpulkan dan menganalisis dara mencegah komplikasi pada pasien. kardiovaskular pernapasan dan suhu tubuh. Kompres menggunakan waslab dingin( Konduksi suhu membantu menurunkan atau kantong es yang dibalut dengan suhu tubuh yang memungkinkan 29 kain) di aksila, kening, tengkuk, dan pelepasan panas secara konduksi dan lipatan paha. evaporasi. Anjurkan menggunakan pakaian yang Pakaian yang minimal akan membantu berlebihan dan tutupi pasien d mengurangi pengupan tubuh. engan selimut saja Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan 2 L per/hari, dengan tambahan cairan penguapan cairan tubuh meningkat, selama aktivitas yang berlebihan atau sehingga perlu diimbangi dengan intake aktivitas sedang dalam cuaca panas. cairan yang banyak. Pantau suhu dan warna kulit minimal Untuk mengetahui adanya perubahan setiap 2 jam, sesuai dengan kebutuhan. yang terjadi pada pasien Aktivitas kolaboratif: Memberikan perawatan dengan Berikan obat antipiretik, jika perlu memberikan bantuan farmakologi yang dapat menunjang proses perawatan Diagnosis Keperawatan III Resiko Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah, Tujuan : Nutrisi pasien terpenuhi sesuai dengan angka kebutuhan nutrisi pasien. Kriteria Hasil : pasien menunjukkan nafsu makan meningkat, tidak adanya anoreksia, berat badan klien dalam keadaan stabil atau naik. INTERVENSI RASIONAL Identifikasi faktor pencetus mual dan Mengetahui faktor yang menyebaabkan muntah mual dan muntah. Sajikan makanan dengan tampilan Meningkatkan nafsu makan anak agar menarik yang berprotein/ kalori sangat kebutuhan nutrisi tercukupi atau tinggi yang disajikan pada saat individu terpenuhi dan mendukung proses ingin makan metabolic pasien yang berisiko tinggi terhadap malnutrisi Berikan porsi makan porsi kecil tapi Untuk mengurangi perasaan tegang sering (enak kali per hari ditambah pada lambung sehingga diberikan dengaan makanan kecil) makanan sedikit tapi sering. 30 Pantau kebutuhan cairan dan elektrolit Mencegah terjadinya kekurangan klien cairan dan elektrolit pada klien Kolaborasi dengan ahli gizi dalam Bekerjasama dalam pemberian nutrisi memnutukan protein pasien yang pasien agar adekuat dan tepat. mengalami ketidakadekuatan asupan protein 31 BAB IV PENUTUP 5.1 Simpulan Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum tulang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis sel darah putih dengan menyingkirkan jenis sel lain. Leukemia juga digambarkan berdasarkan jenis sel yang berproliferasi. Sebagai contoh, leukemia limfoblastik akut, merupakan leukemia yang paling sering di jumpai pada anak, menggambarkan kanker dari turunan sel limfosit primitive. Leukemia granulostik adalah leukemia eosinofil, neutrofil, atau basofil. Leukemia pada orang dewasa biasanya limfositik kronis atau mielobastik akut. Angka kelangsungan hidup jangka panjang untuk leukemia bergantung pada jenis sel yang terlibat, tetapi berkisar sampai lebih dari 75% untuk leukemia limfositik akut pada masa kanak-kanak, merupakan angka statistic yang luar biasa karena penyakit ini hamper brsifat fatal. Obat yang dapat memicu terjadinya leukimia akut yaitu agen pengalkilasi, epindophy ilotoxin. Kondisi genetik yang memicu leukimia akut yaitu Down sindrom, bloom sydrom, fanconi anemia, ataxia telangiectasia. Bahan kimia pemicu leukimia yaitu benzen. Kebiasaan hidup yang memicu leukimia yaitu merokok, minum alkohol keduanya. Sebagai salah satu tenaga kesehatan, khususnya perawat yang sering bersama dengan pasien tentunya harus mampu untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sel darah putih (leukemia). Diagnose keperawatan yang dapat ditemukan dari pasien dengan gangguan sel darah putih adalah gangguan pertukaran gas, hipertermi dan resiko ketidak adekuatan nutrisi. Oleh karena itu sebagai seorang perawat harus mampu memberikan asuhan keperawatan untuk mengembalikan kondisi pasien ke keadaan yang lebih baik. 32 5.2 Saran 1. Makalah ini adalah makalah yang membahas tentang asuhan keperawatan pasien dengan Leukemia, sehingga diharapkan bermanfaat bagi pembaca yang membutuhkan. 2. Makalah ini belum memenuhi kesempurnaan, oleh karena itu dibutuhkan perbaikan makalah ini agar lebih baik dan lengkap. 3. Setelah membaca makalah ini, pembaca dapat menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan Leukemia. 33 DAFTAR PUSTAKA Betz, Cecily. 2002. Keperawatan Pediatrik Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Beda. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Carpenito, Lynda Juall. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. EGC : Jakarta. Marilyn E. Doenges, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler.2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Reeves, Charlene J et al. 2001.Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika. Sacher, Ronald A., Rochard A. McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil pemeriksaan laboratorium. Jakarta. EGC. Schwartz, M.Willam. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. 2002. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Wilkinson, Judith. M, Nancy R. Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Nanda, NIC,NOC). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC). 34