REFERAT CHOLANGITIS Disusun oleh: Ananda Dwi Retno Utami Hardienningrum NIM 192011101003 Dokter Pembimbing: dr. Adi Nugroho, Sp. B FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER KSM/LAB ILMU BEDAH RSD DR. SOEBANDI JEMBER 2020 2 REFERAT CHOLANGITIS disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya KSM/Lab Ilmu Bedah RSD dr. Soebandi Jember Disusun oleh: Ananda Dwi Retno Utami Hardienningrum NIM 192011101003 Dokter Pembimbing: dr. Adi Nugroho, Sp.B FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER KSM/LAB ILMU BEDAH RSD DR. SOEBANDI JEMBER 2020 3 DAFTAR ISI BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5 2.1 Anatomi ................................................................................................. 5 2.2 Definisi ................................................................................................... 6 2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 7 2.4 Etiologi .................................................................................................. 8 2.5 Patofisiologi ........................................................................................... 8 2.6 Manifestasi Klinis ................................................................................. 9 2.7 Diagnosis ............................................................................................... 11 2.8 Tatalaksana ........................................................................................... 15 2.9 Prognosis ............................................................................................... 26 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 27 4 BAB 1. PENDAHULUAN Kolangitis akut merupakan kondisi yang ditandai dengan inflamasi akut dan infeksi di duktus empedu yang berkembang dari obstruksi/stasis di saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot pada 1887 sebagai demam hepatik (Hepatic Fever). Demam intermiten yang disertai dengan menggigil, nyeri perut kanan atas, dan ikterus yang menyertai gejala kolangitis kemudian disebut sebagai triad Charcot.4 Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya kolangitis akut simtomatik dilaporkan sektar 0,2%.4,6 Banyak pasien yang dirawat di rumah sakit dengan batu empedu dilaporkan 6-9% diantaranya menderita kolangitis akut. Batu empedu diperkirakan bertanggung jawab sekitar 65% kasus kolangitis, diikuti oleh stenosis akibat keganasan, 4% oleh stenosis jinak, 3% oleh sklerosis kolangitis, dan 1% disebabkan oleh faktor lain yang tidak diketahui. Dari pasien dengan batu empedu yang asimtomatik, sekitar 0,6%-1,3% akan mengalami kolangitis dalam 10 tahun.5 Kriteria diagnostik yang digunakan sekarang merujuk pada Tokyo Guidelines 2018 (TG18) dengan memperhatikan tanda-tanda inflamasi sistemik, kolestatis dan hasil pencitraan.9 Terapi kolangitis akut sendiri terdiri dari pemberian terapi antibiotik dan drainase bilier. Derajat kolangitis akut menentukan perlu tidaknya pasien dirawat dirumah sakit. Apabila klinis penyakit ringan, pasien hanya perlu rawat jalan, terutama pada kolangitis ringan berulang.10,11 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Sistem ductus untuk saluran empedu dimulai dari hepar, berhubungan dengan vesica biliaris/felea, dan bermuara ke dalam Pars descenden duodeni. Penggabungan ductus-ductus dimulai dari parenchyma hepar dan berlanjut sampai ductus hepaticus dextra dan sinistra. Ductus tersebut mengalirkan masing-masing lobus hepatis.1 Kedua ductus hepaticus tersebut bergabung membentuk ductus hepaticus communis, yang berjalan dekat dengan hepar bersama dengan arteria hepatica propia dan vena portae hepatis di dalam tepi bebas omentus minus. Saat ductus hepaticus berlanjut ke bawah, struktur ini akan bergabung dengan ductus cysticus dari vesica biliaris/fellea. Keduanya membentuk ductus biliaris/choledochus. Ductus choledochus biasanya memiliki panjang 6-8 cm, bervariasi tergantung pada titik penyatuan ductus hepaticus comunis dan ductus cysticus. Sacara umum ductus choledochus berdiamer 4-9 mm. Ductus tersebut berjalan di dalam Lig. Hepatoduodenale pada sisi ventral V. portae hepatis, kemudian berjalan di belakang Pars superior duodeni melewati Caput pancreatic dan mencapai Pars descendens duodeni.1,2,3 Pada 60% kasus, Ductus biliaris berfusi dengan Ductus pancreaticus membentuk Ampulla hepatopancreatica, yang masuk Duodenum pada Papilla duodeni major (Papilla VATERI). Pada ujung distalnya, otot polos Ductus biliaris membentuk M. sphincter ductus choledochi. Oleh sebab itu, bagian inferior yang meliputi ampula dan tempat masuk ke Duodenum disebut juga dengan M. sphincter ampullae (ODDI).3 Ductus biliaris berlanjut ke bawah, lewat posterior dari pars superior duodeni sebelum bergabung dengan ductus pancreaticus untuk memasuki pars descendens duodeni pada papilla duodeni major.1 6 Gambar 1. Sistem ductus biliaris (Wang, et al., 2016)2 2.2 Definisi Kolangitis akut merupakan kondisi yang ditandai dengan inflamasi akut dan infeksi di duktus empedu yang berkembang dari obstruksi/stasis di saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot pada 1887 sebagai demam hepatik (Hepatic Fever). Demam intermiten yang disertai dengan menggigil, nyeri perut kanan atas, dan ikterus yang menyertai gejala kolangitis kemudian disebut sebagai triad Charcot.4 Istilah kolangitis akut, kolangitis bakterialis, kolangitis asending dan kolangitis supuratif semuanya umumnya merujuk pada infeksi bakterial saluran bilier, serta untuk membedakannya dari penyakit inflamasi saluran bilier seperti kolangitis sklerosis.4 7 2.3 Epidemiologi Insidensi dari kolangitis akut berkisar antara 0,3 hingga 1,6% dengan proporsi kolangitis berat mencapai 12,3%. Karakteristik paling umum yang mempengaruhi terjadinya kolangitis pada pasien ialah batu saluran empedu dan manipulasi sebelumnya pada saluran empedu termasuk stenting dan operasi empedu yang mengakibatkan striktur. Kejadian dari kolangitis ini dikaitkan dengan prevalensi kolelithiasis.5 Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya kolangitis akut simtomatik dilaporkan sektar 0,2%.4,6 Banyak pasien yang dirawat di rumah sakit dengan batu empedu dilaporkan 6-9% diantaranya menderita kolangitis akut. Batu empedu diperkirakan bertanggung jawab sekitar 65% kasus kolangitis, diikuti oleh stenosis akibat keganasan, 4% oleh stenosis jinak, 3% oleh sklerosis kolangitis, dan 1% disebabkan oleh faktor lain yang tidak diketahui. Dari pasien dengan batu empedu yang asimtomatik, sekitar 0,6%-1,3% akan mengalami kolangitis dalam 10 tahun.5 Tidak ada perbedaan prevalensi yang dilaporkan berdasarkan jenis kelamin. Sedangkan usia rata-rata pasien dengan kolangitis akut adalah 50-60 tahun. Di Amerika Serikat dilaporkan terdapat <200.000 kasus per tahunnya.6 Sedangkan di Indonesia, belum ada laporan tentang kejadian kolangitis akut.5 Kasus berat (grade III) dalam Tokyo Guidelines 2007 (TG07) merujuk pada pasien yang memiliki faktor prognostik buruk termasuk syok, gangguan kesadaran, kegagalan organ, dan koagulasi intravaskular diseminata. Definisi ini sebelumnya ambigu sebelum publikasi TG07, yang setelah penelaahan terhadap frekuensi kolangitis akut, melaporkan bahwa kejadian kasus berat adalah 7-25,5% untuk syok, 7-22,2% untuk gangguan kesadaran, dan 3,5-7,7% untuk pentad Reynold. Proporsi kasus yang didiagnosisi sebagai kasus berat sesuai dengan kriteria penilaian keparahan TG07 adalah 13,3% atau 23 dari 187 kasus kolangitis akut karena batu saluran empedu.4 8 2.4 Etiologi Onset terjadinya kolangitis akut membutuhkan 2 faktor, yaitu: (1) obstruksi saluran empedu; dan (2) pertumbuhan bakteri dalam sistem bilier (infeksi empedu). Penyebab obstruksi bilier yang paling sering adalah choledocholithiasis, stenosis bilier jinak, striktur anastomosis bilier, dan stenosis oleh keganasan. Choledocholithiasis dulunya menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-baru ini kejadian kolangitis akut yang disebabakan oleh penyakit ganas, sklerosis kolangitis, dan intervensi non bedah pada saluran empedu telah meningkat. Dilaporkan bahwa keganasan menyumbangkan sekitar 10-30% kasusu kolangitis akut. Tabel 2.1 menunjukan etiologi kolangitis akut.4 Tabel 2.1 Etiologi Kolangitis Akut (Kimura, et al., 2013)4 Cholelithiasis Benign biliarystrcture Faktor kongenital Faktor post operatif (kerusakan saluran empedu, striktur koledojejunostomi, dll) Faktor inflamasi (oriental cholangitis, dll) Oklusi akibat keganasan Tumor saluran empedu Tumor ampula Tumor pankreas Tumor duodenal Pakreatitis Parasit dalam saluran empedu External pressure Fibrosis dari papila Divertikulum duodenal Bekuan darah Sump Syndrome setelah anastomosis biliari-enterik Faktor iatrogenik 9 2.5 Patifisiologi Kolangitis akut ditandai dengan inflamasi dan infeksi akut pada sistem saluran empedu dengan peningkatan bakteri (infeksi biliar) dan tingginya tekanan intraduktal (obstruksi biliar) yang menyebabkan translokasi bakteri dan endotoksi ke vaskular serta ke sistem limfatik (konsep refluk cholangiovenus dan cholangiolymfatik).7 Bakteri awalanya memasuki sistem empedu dengan cara ascending (naik) dari duodenum ke duktus hepatopankreatik komunis.8 Sistem vena porta dan sistem limfatik periporta juga berpotensial sebagai jalur masuknya bakteri, tapi lebih sedikit terjadi. Adanya bakteri pada sistem biliari, disebut sebagai bakterobilia, disebutkan kurang sebagai pencetus gejala kolangitis tanpa disertai obstruksi. Hal ini terjadi karena adanya efek mekanik antibakteri yang efektif dari aliran empedu dan sekresi imunoglobilin (Ig) A empedu yang melindungi fungsi sel kupffer dan integritas tight junctions.5 Tekanan intrakoledochal (intrabiliari) juga merupakan faktor paling penting dalam terjadinya kolangitis. Ambang kritis tekanan intrabiliari adalah >20 cm H2O (nilai normal: 7-14 cm H2O). Apabila tekanan intrabiliari melebihi 25 cm H2O, mekanisme pertahanan hepar terhadap infeksi akan terganggu dan akan terjadi penyebaran fokus infeksi ke kanalikuli intra hepatik, refluks cholangiovenous kemudian yang disusul dengan akses terhadap vena dan limfatik hepatik, yang mengakibatkan bakteriemia dan endotoksinemia.5 Selain hal tersebut, pelepasan mediator inflamasi sistemik seperti Tumor Necrosis Factor (TNF), reseptor TNF terlarut, interleukin (IL)-1, IL-6 dan IL-10 akan menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik karena meningkatnya permeabilitad dari vaskular dan epitel bilier. Dengan peningkatan permeabilitas dari epitel bilier yang meradang akan menyebabkan kemungkinan komplikasi fatal seperti biliari sepsis dan abses hepatik.7 Sepsis sendiri merupakan hal yang sering terjadi pada infeksi supuratif.5 10 2.6 Manifestasi Klinis Pasien biasanya datang dengan keluhan demam tinggi yang bertahan selama lebih dari 24 jam, nyeri perut dan ikterus (triad Charcot). Nyeri perut kuadran kanan atas biasanya bersifat ringan.5 Selain itu, ketiga tanda ini biasanya disertai dengan hipotensi dan perubahan satus mental pada 5-7% kasus (Pentad Raynold) yang biasanya ditemukan pada kasus yang lebih parah. Demam dilaporkan memiliki sensitivitas sekitar 40-100%, sedangkan nyeri perut saja hanya membawa sensitivitas antara 60% dan 100%. Karena kurangnya spesifitas membuat demam dan nyeri perut saja bukan menjadi kriteria diagnostik kolangitis.7 Pada Tokyo Guidelines 2013 (TG13) ditetapkan kriteria keparahan untuk kolangitis akut. Kriteria tingkat keparangan kolangitis akut menurut TG13 ini penting untuk prediksi prognosis dan menentukan strategi tetapi, terutama pada pasien yang memerlukan drainase bilier dini. Pada pasien dengan tingkat keparahan tinggi, mortalitas dalam 30 hari secara signifikan lebih tinggi. Namun, tidak ditemukan adanya korelasi antara tingkat keparahan dan mortalitas 30 hari pada pasien kolangitis akut yang disebabkan keganasan.9 Pada TG13 disebutkan bahwa pasien yang diidentifikasikan sebagai kolangitis akut derajat sedang (derajat II) mempunyai prognosis yang lebih baik apabila dikerjakan drainase bilier dini. Pada pasien dengan derajat berat (derajat III) tidak terlihat adanya berbedaan prognosis baik yang dikerjakan drainase bilier dini. Drainase dini yaitu drainase yang dikerjakan dalam 24 jam setelah pasien rawat inap, atau pada beberapa studi menyebutkan dalam 12 jam. Tabel 2.2 TG18/TG13 Derajat Keparahan pada Kolangitis Akut (Kiriyama et al., 2018)9 Kolangitis Akut Derajat III (berat) Kolangitis akut derajat III didefinisikan sebagai kolangitis akut yang berkaitan dengan idsfungsi salah satu dari organ/sistem berikut: 1. Disfungsi kardiovaskular: hipotensi yang membutuhkan dopamine ≥5 µg/kg per menit atau berapapun dosisi norepinefrin 2. Disfungsi neurologis: gangguan kesadaran 11 3. Disfungsi respirator: PaO2/FiO2 rasio <300 4. Disfungsi renal: oliguria, serum kreatinin >2,0 mg/dL 5. Disfungsi hepatik: PT-INR >1,5 6. Disfungsi hematologi: trombosit <100.000/mm3 Kolangitis Akut Derajat II (Sedang) Kolangitis akut derajat II disebutkan berkaitan dengan 2 di antara kondisi beikut: 1. Jumlah leukosit >18.000/mm3 2. Demam tinggi (≥39oC) 3. Umur ≥ 75 tahun 4. Hiperbilirubinemia (bilirubin total ≥5 mg/dL) 5. Hipoalbuminemia (<STD* x 0,7) Kolangitis Akut Derajat I (ringan) Kolangitis akut derajat I yaitu kolangitis akut fase awal yang tidak memenuhi derajat sedang maupun derajat berat. Keterangan: Diagnosis dini, drainase bilier dini dan/atau pengobatan untuk etiologi serta pemberian antibiotik diberikan pada semua tingkat keparahan kolangitis. Oleh karena itu, direkomendasikan bahwa setiap pasien dengan kolangitis akut yang tidak berespon terhadap pengobatan lini pertama (terapi suportif dan terapi antibiotik) menjalani drainase bilier dini atau terapi untuk etiologi. *STD: batas bawah nilai normal 2.7 Diagnosis Berdasarkan kriteria diagnostik dari Tokyo Guidelines 2018/Tokyo Guidelines 2013 (TG18/TG13), diagnosis dari kolangitis akut dapat dibuat apabila pasien menunjukan 3 tanda patologi, yaitu infeksi sistemik (harus ada), kolestatis, dan lesi saluran biliar (dari temuan pencitraan).9 1. Inflamasi sistemik Dalam kriteria diagnostik TG18/TG13, diagnostik kolangitis akut membutuhkan tanda infeksi/inflamasi sistemik berdasarkan adanya demam ditambah adanya bukti laboratorim terjadinya respon inflamasi (leukosit yang abnormal, meningkatnya C-reactive protein). Demam sendiri dedifinisikan sebagai suhu badan 38oC atau lebih, tetapi pada kasus kolangitis akut ringan, hanya didapati peningkatan 12 suhu tubuh yang tidak berarti. Pada kasus seperti ini, diagnosis dapat dibuat dengan temuan laboratorium.9 2. Kolestasis Kolestatis merupakan kunci klinis utama pada kolangitis akut. Ikterus yang menjadi salah tanda dalan triad Charcot hanya diamati pada 60-70% pasien. Dengan demikian, pada kriteria diagnostik TG18/TG13, diagnosis kolangitis akut dapat dibuat tanpa adanya tanda ikterus dengan berdasarkan tingginya nilai alkalin phospatase (ALP), Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), Aspartate Transaminase (AST) / Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT), alanine Transaminase (ALT) / Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT).9 3. Pemeriksaan pencitraan Pencitraan dianggap sebagai metode yang secara langsung dapat mengidentifikasikan stenosis atau penyumbatan pada sistem biliar yang dapa menyebabkan kolangitis akut atau menggambarkan kolangiektasis yang dapat digunakan sebagai temuan tidak langsung yang mendukung diagnosis. Modalitas pencitraan yang mampu menemukan obstruksi dan dilatasi pada sistem biliar meliputi USG abdomen, Computed tomography (CT) Scan abdomen, Magnetic resonance imaging (MRI) / Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP). Sedangkan pada foto polos abdomen tidak bisa digunakan sebagai modalitas diagnosis. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) biasanya digunakan sebagai terapi drainase, dan tidak cocok sebagai pilihan pertama untuk diagnostik.9 USG abdomen dapat dengan mudah mendeteksi adanya dilatasi pada saluran empedu abnormal dan mengidentifikasi penyebabnya (Gambar 2.1). Batu saluran empedu ditandai sebagai lesi nodular yang ekoik dan memberikan gambaran bayangn akustik (acoustic shadow). Sedangkan, pada kasus stenosis akibat keganasan pada saluran empedu, massa di sekitar saluran empedu yang mengalami stenosis dapat 13 diidentifikasikan sebagai daerah normal, hipoekoik. USG abdomen sebagai modalitas diagnostik mempunya sensitivitas 42% dan spesifitas 96% untuk dilatasi saluran empedu. Sedangkan untuk kasus batu empedu, USG abdomen mempunyai sensitivitas 38% dan spesifitas 100%. USG abdomen harus dipilih sebagai modalitas diagnostik pertama pada pasien dengan dugaan kolangitis akut karena tidak invasif, nyaman, dan hemat biaya.9 Gambar 2.1 Identifikasi penyebab kolangitis akut dengan USG abdomen. (a) Ditemukan batu pada duktus biliaris comunis (CBD/Common bile duct) pada pasien dengan kolangitis akut. Batu terlihat sebagai nodul hiperekoik dengan bayangan akuistik pada duktus biliaris intrahepatik. (b) kolangitis akut yang disebabkan oleh kanker pada kaput pankreas. Duktus biliaris terlihat mengalami dilatasi dan duktus tersumbat oleh tumor (Kiriyama et al., 2018).9 Pada CT scan abdomen dapat jelas mengidentifikasi dilatasi pada saluran empedu dan dapat mengetahui secara lebih jelas penyebab dari stenosis bilier (mis. karsinoma bilier, kanker pankreas, atau kolangitis sklerosis) (Gambar 2.2). Pencitraan CT juga berguna untuk mendiagnosis komplikasi lokal (mis. abses hati atau trombosis vena porta). Karena aksesibilitas terbatas, MRI/MRCP umumnya hanya digunakan pada kasus yang mana diagnosis pasti sulit ditegakkan dengan USG abdomen dan CT. MRI memberikan resolusi kontran yang lebih baik. Sedangkan pada MRCP dapat dengan jelas menggambarkan saluran empedu tanpa menggunakan agen kontras.9 14 Gambar 2.2 Contoh kanker saluran empedu ekstrahepatik. (a) Pra kontras CT, penebalan melingkar dari dinding saluran empedu (panah). (b) fase awal dari CT kontras yang ditingkatkan, penebalan melingkar saluran empedu atas (panah). (c) Potongan coronal, penebalan dinding saluran empedu (panah). Dilatasi bilier pada hulu (panah). Peningkatan kontras heterogen pada parenkim hepatik juga terbukti (b,c) menunjukkan bahwa kolangitis akut telah berkembang sebagai kondisi sekunder (Kiriyama et al., 2018).9 Gambar 2.3 Contoh batu saluran empedu. (a) USG abdomen, terdapat hiperekoik struktur dengan bayangan akustik redup (panah). (b) CT abdomen tanpa kontras, setiap batu saluran empedu (panah) pada duktus biliaris tidak dapat diidentifikasi dan tidak ada bukti dilatasi saluran empedu. (c) MRI T2 potongan coronal, dua nodul hipointens tampak jelas (panah) di saluran empedu. (d) MRCP, batu saluran empedu 15 juga tidak dapat diidentifikasi pada gambar MRCP. Tidak terdapat pelebaran saluran empedu (Kiriyama et al., 2018).9 Tabel 2.3 Kriteria Diagnostik TG18/TG13 untuk Kolangitis Akut (Kiriyama et al., 2018)9 A. Inflamasi sistemik A-1. demam dan/atau menggigil A-2. Data laboratorium: bukti adanya respon inflamasi sistemik B. Kolestasis B-1. Ikterus B-2 Data Laboratorium: nilai abnormal tes fungsi liver C. Pencitraan C-1. Dilatasi biliar C-2. Bukti dari etiologi kolangitis pada pencitraan (striktur, batu, stent, dll.) Suspected diagnosis: 1 item pada A + 1 item pada B atau C Definite diagnosis: 1 item pada A, item pada B, dan 1 item pada C Catatan: A-2: nilai hitung abnormal dari leukosit, peningkatan serum C-reaktif protein, dan perubahan lain dari indikator inflamasi. B-2: peningkatan serum ALP, Gamma GT, AST, dan ALT Faktor lain yang dapat membantu diagnosis kolangitis akut termasuk nyeri pada kuadran kanan atas dan adanya riwayat penyakit bilier sebelumnya seperti kolelithiasis, proses bilier sebelumhya, dan pemasangan sten biliar. Pada hepatitis akut, respon inflamasi sistemik diamati. Pemeriksaan virologi dan serologi diperlukan apabila terdapat diagnosis banding yang susah. Batasan: A-1 Demam Temperature >38oC A-2 Bukti adanya respon WBC (x1.000/µL) <1 atau >10 inflamasi sistemik CRP ≥1 B-1 Ikterus T-bil ≥2 (mg/dL) B-2 Fungsi liver abnormal ALP (IU) >1,5 x STD* ɤGGT (IU) >1,5 x STD* AST (IU) >1,5 x STD* ALT (IU) >1,5 x STD* Keterangan: ALP alkaline phospatase, ALT alanine aminotransferase, AST aspartate aminotransferase, CRP Creactive protein, ɤGGT r-glutamyltransferase, WBC White blood cell *STD: batas atas nilai normal 16 2.8 Tatalaksana Penanganan pertama pada pasien dengan suspek kolangitis akut harus dimulai dengan menilai apakah pasien perlu ditangani segera atau tidak. Pada kasus dengan penanganan segera, penanganan harus segera di mulai tanpa menunggu tegaknya diagnosis, termasuk penanganan pernapasan dan sirkulasi.10 Setelah diagnosis tegak, penanganan awal awal harus segera dimulai, tingkat keparahan harus dimulai menurut kriteria tingkat keparahan untuk kolangitis akut, serta keadaan umum pasien juga perlu dievaluasi. Setelah menilai tingkat keparahan, strategi tatalksana harus dilakukan berdasarkan alur penanganan pada kolangitis akut, dan pengobatan segera diberikan.10 Gambar 2.4 TG18 alur penanganan awal pada infeksi akut sistem bilier (Miura et al., 2018)10 *TG18/TG13 kriteria diagnostik untuk kolangitis akut. Penanganan Awal Setelah diagnosis definitif kolangitis akut tegak, penanganan awal seperti pemberian cairan yang cukup, pemberian antibiotik dan analgesik dimulai dengan memperhatikan tekanan darah, nadi, dan volume urin secara hati-hati. Apabila pasien dalam keadaan syok, penanganan awal ini harus segera dimulai tanpa menunggu tegaknya diagnosis pasti. Walaupun belum ada bukti yang pasti untuk kekurangan 17 dan kelebihan puasa pada pasien kolangitis akut, tapi pada prinsipnya pasien harus dipuasakan untuk kemungkinan drainase bilier segera.10 Pada kasus deteriosasi serius, seperti adanya tanda syok (hipotensi), gangguan kesadaran, dipsneu, disfungsi renal akut, disfungsi hepar, atau koagulasi intravaskular diseminata (Disseminated intravascular coagulation / DIC) (berkurangnya jumlah platelet), biliar drainase darurat harus dipertimbangkan dengan memperhatikan support organ yang tepat dan penanganan pernapasan/sirkulasi (seperti pemberian ventilasi buatan, intubasi, dan penggunaan obat hipertensif).10 Antibiotik Pada pasien kolangitis akut dengan syok septik, terapi antibiotik tepat harus diberikan dalam waktu satu jam. Pada pasien yang tidak gawat, terapi antibiotik diberikan dalam waktu 6 jam setelah diagnosis. Tujuan utama pemberian antibioik ini ialah untuk memungkinkan pasien menjalani prosedur bilier drainase elektif selain darurat dan mencegah adanya komplikasi.11 Antibiotik yang sesuai untuk terapi empiris untuk community-acquired infection dan health care-acquired infection ditampilkan pada tabel 2.4. Pada TG18, durasi pemberian terapi antibiotik ialah selama 4 sampai 7 hari setelah sumber infeksi terkontrol. Ketika ditemukan adanya bakteremia dengan bakteri gram positif seperti Enterococcus spp., dan Streptococcus spp., disarankan untuk memberikan terapi antibiotik selama 2 minggu karena bakteri ini diketahui menyebabkan endokarditis infektif. Setelah hasil kultur bakteri penyebab dan kepekaan antibiotik keluar, terapi antibiotik definitif harus segera dilakukan.11 18 Tabel 2.4 TG18 Rekomendasi Antibiotik untuk Kolangitia Akut (Gomi, et al., 2018)11 Tingkat Keparahan Kolangitis Akut Jenis Antibiotik Penicilin Sefalosporin Derajat I Karbapenem Flouroquinolone Penicilin Sefalosporin Derajat II Karbapenem Flouroquinolone Penicilin Sefalosporin Derajat III dan Healthcareassociated cholangitis Karbapenem Monobactam Pilihan Antibiotik Ampicilin/sulbactam* tidak direkomendasikan apabila terdapat >20% resistensi Cefazolin** atau Cefotiam** atau Cefuroxime** atau Ceftriaxone atau Cefotaxime ±Metronidazole*** Cefmetazole**, Cefoxitin**, Flomoxef**, Cefoperazone/sulbactam Ertapenem Ciprofloxacin, Levofloxacin, Pazufloxacin ± Metronidazole*** Moxifloxacin Piperacilin/tazobactam Ceftriaxone, atau Cefotaxime, atau Cefepime, atau Cefozopran, atau Ceftrazidime ±Metronidazole*** Cefoperazone/sulbactam Ertapenem Ciprofloxacin, Levofloxacin, Pazufloxacin ±Metronidazole*** Moxifloxacin Piperacillin/tazobactam Cefepime, atau Ceftazidime, atau Cefozopran ±Metronidazole*** Imipenem/cilastain, Meropenem, Ertapenem Aztreonam ± Metronidazole*** *Ampicilin/sulbactam mempunyai sedikit pengaruh terhadap E. coli, oleh karena itu sudah dihapurskan dari North America Guideline **Peta kepekaan antibiotik lokal harus dipertimbangkan untuk digunakan 19 ***Terapi anti-anaerob, termasuk penggunaan metronidazole, tinidazole, atau klindamisin diperlukan jika terdapat biliari-enterik anastomosis. Karbapenem, piperacilin/tazobacam, ampilicin/sulbaktam, cefmetazole, cefoxitin, flomoxef, dan cefoperazone/sulbactam mempunyai aktivitas anti-anaerobic untuk situasi ini. Algoritma Tatalaksana Kolangitis Akut Setelah derajat keparahan dinilai dan status umum pasien telah dievaluasi, strategi perawatan harus diputuskan berdasarkan alur tatalaksana kolangitis akut (Gambar 2.5) dan tatalaksana definitis harus segera dimulai. Pasien kolangitis akut harus dirawat sesuai dengan derajat keparahannya. Drainase bilier dan terapi antibiotik merupakan terapi utama pada tatalaksana kolangitis akut. Dalam beberapa kasus kolangitis akut, kolesistitis akut juga terjadi; dalam hal ini strategi perawatan harus dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat keparahan keduanya dan keadaan umum pasien. Kultur darah dan kultur dari empedu apabila dilakukan drainase bilier harus dilakukan.10 Gambar 2.5 TG18 Alur tatalaksana kolangitis akut (Miura et al., 2018)10 *Kultur darah harus dipertimbangkan dilakukan sebelum terapi antibiotik dimulai. Sampel empedu harus diambil selama drainase bilier dan dilakukan kultur. †Prinsip tatalaksana kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik, drainase bilier, dan 20 tatalaksana pada etiologi. Untuk pasien dengan koledokolithiasis ringan atau sedang, jika memungkinkan pengobatan etiologi dilakukan pada saat yang sama dengan drainase bilier. 1. Derajat I (Kolangitis akut ringan) Pada sebagian besar kasus kolangitis akut ringan, penanganan awal termasuk pemberian antibiotik sudah mencukupi dan tidak memerlukan drainase bilier. Namun, drainase bilier harus dipertimbangkan apabila pasien tidak berespon dengan penanganan awal. Endoskopik sphincteroktomi (EST) dan choledocholithotomi selanjutnya dapat dilakukan bersama dengan drainase bilier. Kolangitis akut pasca operasi biasanya akan membaik dengan pemberian antibiotik saja, sehingga biasanya tidak memerlukan drainase bilier.10 2. Derajat II (Kolangitis akut sedang) Pada kolangitis akut derajat II, diindikasikan dilakukan endoskopi atau perkutaneus transhepatik bilier drainase dini. Apabila etiologi yang mendasari perlu dilakukan penanganan, harus diberikan setelah kondisi umum pasien membaik. Endoskopi sphincterotomi (EST) dan choledocholithotomi selanjutnya dapat dilakukan bersamaan dengan drainase bilier.10 3. Derajat III (Kolangitis akut berat) Pada pasien kolangitis akut derajat III karena kondisi dapat memburut dengan cepat, respon cepat sangat penting dilakukan termasuk manajemen pernapasan dan sirkulasi (intubasi diikuti dengan pemasangan ventilasi buatan serta penggunaan agen hipertensi). Drainase empedu transhepatik secara endoskopi atau perkutan harus dilakukan segera setelah kondisi pasien membaik dengan penanganan awal dan manajemen pernapasan/sirkulasi. Apabila diperlukan terapi untuk etiologi, harus dilakukan setelah kondisi umum pasien membaik.10 21 Indikasi dan Teknik Drainase Bilier Pada TG18 terbaru, drainase bilier direkomendasikan untuk semua kasus kolangitis akut tanpa melihat derajat keparahannya, kecuali pada beberapa kasus kolangitis akut tingan yang mana pemberian antibiotik dan perawatan umum sudah efektif.12 1. Endoscopic Transpapilary Biliary Drainage (ETBD) Endoscopic transpapilary biliary drainage (ETBD) direkomendasikan sebagai prosedur drainase lini pertama karena sifatnya yang kurang invasif dan risiko terjadinya efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan teknik drainase lainnya, meskipun terdapat risiko terjadinya pankreatitis pasca endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Teknik ini merupakan standar tatalaksana utama untuk kolangitis akut tanpa melihat sifat jinak atau ganas dari penyakit primernya. ETBD dibagi menjadi dua jenis, yaitu: endoscopic nasobiliary drainage (ENBD) untuk drainase eksternal dan endoscopic biliary stenting (EBS) untuk drainase internal. Secara umum, kedua jenis drainase biliar ini dapat dilakukan pada berbagai jenis kolangitis akut. Dalam kasus drainase bilier untuk terapi kolangitis akut, teknik endokopi yang benar perlu diperhatikan karena prosedur yang lama dan gagal dapat menyebabkan komplikasi serius pada pasien dengan kondisi yang berat.12 a. Endoscopic nasobiliary drainage (ENBD) Teknik Endoscopic nasobiliary drainage (ENBD) dijelaskan secara detail pada Tokyo Guidelines 2007 (TG07). ENBD merupakan prosedur drainase eksternal dengan menempatkan tabung berukuran 5-7 Fr, dengan menggunakan teknik guidewire setelah kanulasi selektif ke dalam saluran empedu yang digunakan untuk menyelesaikan drainase nasobiliar. ENBD mempunyai kelebihan, yaitu:12,13 1) Tidak memerlukan EST tambahan 2) Sumbatan dalam tabung (drain eksternal) dapat dicuci 3) Dapat dilakukan kultur empedu 22 Namun, karena adanya rasa ketidaknyamanan dari pasien karena penempatan tabung transnasal, ekstraksi sendiri dan dislokasi tabung dapat terjadi terutama pada pasien usia lanjut. Kehilangan cairan dan elektrolit serta kolapsnya tabung juga dapat terjadi.13 EST tambahan perlu dipertimbangkan untuk menghilangkan batu saluran empedu bersamaan dan pada empedu dengan konsistensi kental atau sudah bercampur dengan nanah pada kolangitis supuratif.13 Gambar 2.6 ENBD dengan menggunakan tabung nasobiliar 5 Fr (Mukai, et al., 2018)12 23 Gambar 2.7 Teknik ENBD: bagian 1. a) kateter endoskopi di kanulasi ke saluran empedu. B) Guidewire dilewatkan melalui kateter ke saluran empedu. C) kateter ditarik. D) Tabung ENBD dilewatkan sepanjang guidewire. E) guidewire ditarik. F) Endoskop dilepaskan sambil diberikana tekanan diberikan tekanan pada tabung ENBD untuk menahan pada tempatnya (Tsuyuguchi, et al., 2007)13 Gambar 2.8 Prosedut ENBD: bagian 2. a) tabung ENBD dimasukan secara transoral. b) Sebuah tabung plastik pendek dimasukkan secara transnasal untuk menggunakan tabung 24 ENBD. c) Forcep bedah digunakan untuk menarik ujung-ujung tabung plastik pendek keluar lewat mulut. d) tabung dihubungkan dengan memasukkan ujung tabung ENBD ke dalam tabung plastik pendek. e) Tabung plastik pendek dan tabung ENBD yang terhubung kemudian ditarik keluar lewat nasal. f) sebuah tabung berukuran 5-7 Fr digunakan untuk drainase bilier melalui nasal (Tsuyuguchi, et al., 2007)13 b. Endoscopic biliary stenting (EBS) Teknik endoscopic biliary stenting (EBS) juga dijelaskan secara detail pada TG07. Secara singkay, setelah kanulasi bilier, stent plastik berukuran 710 Fr ditempatkan pada saluran empedu sebagai drainase internal di atas guidewire (Gambar 2.9). terdapat 2 bentuk stent, yaitu tipe lurus dan tipe double pigtail. Tipe lurus memiliki sayap tunggal dengan lubang samping (tipe Amsterdam) atau sayap radia tanpa lubang samping (tipe Tannenbaum) di kedua sisinya. Jenis double pigtail mempunyai fungsi yntuk mencegah bergeraknya stent ke arah luar maupun dalam. Sampai saat ini belum ada studi perbandingan antara stent tipe lurus dan tipe pigtail. Oleh karena itu, stent manapun dapat dipilih sesuai dengan preferensi ahli endoskopi.12,13 Gambar 2.9 Endoscopic biliary stenting dengan menggunakan stent plastik 10-Fr (Mukai, et al., 2018)12 25 Gambar 2.10 penempatan stent plastik (ukuran 7-Fr). a) kateter endoskopi di kanulasi ke saluran empedu. b) guidewire dilewatkan melalui kateter ke saluran empedu. c) kateter ditarik. d) stent plastik dimasukkan di sepanjang guidewire ke dalam saluran empedu dengan menggunakan tabung pendorong. e) guidewire dilepas saat mendorong tabung pendorong (harus berhati-hai agar tidak menyimpang dari saluran empedu). f) endoskop dilepas, meninggalkan stent plastik pada tempatnya (Tsuyuguchi, et al., 2007)13 2. Percutaneous Transhepatic Cholangial Drainage (PTCD) Percutaneous transhepatic cholangial drainage (PTCD) merupakan prosedur drainase alternatif dari pendekatan ETBD dan diindikasikan pada pasien yang tidak bisa diakses papila karena adanya obstruksi saluran gastrointestinal atas, atau ketika ahli pancreatobiliar endoskopis tidak ada. Selain itu, PTCD dapat digunakan sebagai terapi penyelamat ketika ETBD konvensional gagal karena kanulasi biliar sulit dilakukan. Endoscopic ultrasound-guided biliary drainage (EUS-BD) telah dikembangkan dan dilaporkan sebagai teknik drainase alternatif baru yang bermanfaat ketika ETBD standar gagal.12 PTCD dilakukan dengan tusukan transhepatik yang dipandu USG pada saluran empedu intrahepatik dengan menggunakan jarum 18-G sampai 22-G. 26 Setelah mengkonfirmasi aliran balik empedu, guidewire maju ke dalam saluran empedu. Akhirnya kateter 7-10 Fr ditempatkan di saluran empedu di bawah kendali fluoroskopi di atas guidewire. Tusukan dengan menggunakan jarum berukuran kecil (22-G) lebih aman pada pasien tanpa dilatasi bilier dibandingkan pada pasien dengan dilatasi bilier.12 3. Surgical Drainage Drainase terbuka untuk dekompresi saluran empedu dilakukan sebagai intervensi bedah. Ketika drainase bedah pada pasien kritis dengan batu saluran empedu dilakukan, operasi berkepanjangan harus dihindari dan prosedur sederhana seperti penempatan tabung T tanpa koledocholithomi direkomendasikan. Saat ini, drainase bedah sangat jarang dilakukan karena meluaskan penggunaan ETBD atau PTCD sebagai terapi utama kolangitis akut.12 2.9 Prognosis Prognosis pasien kolangitis akut tergantung waktu dilakukannya drainase bilier, pemberian terapi antibiotik dan penyakit penyerta pasien. Drainase bilier dini menyebabkan perbaikan klinis yang cepat. Tapi, apabila drainase bilier ditunda pasien dapat mengalami perburukan kondisi cepat hingga meninggal. Secara keseluruhan mortalitas kolangitis akut setelah drainase bilier kurang dari 10%. Faktor prognosis buruk meliputi usia tua, demam tinggi, leukositosis, hiperbilirubinemia, dan hipoalbuminemia. Pasien dengan penyakit penyerta seperti sirosis hati, keganasan, abses hepar, dan koagulopati juga mempunyai pronosis buruk.5 27 DAFTAR PUSTAKA 1. Drake RL, Vogl AW. Gray: dasar-dasar anatomi. Jakarta: Elsivier; 2014 2. Wang DQ, Neuschwander-Tetri BA, Portincasa P. The biliary system. InColloquium Series on Integrated Systems Physiology: From Molecule to Function to Disease 2016 Dec 14 (Vol. 8, No. 5, pp. i-178). Morgan & Claypool Life Sciences. 3. Paulsen P, Wasckhe J. Sobotta atlas anatomi manusia: organ-organ dalam Jilid 2 Edisi 23. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 2014. 4. Kimura Y, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Gouma DJ, Garden J, Buchler MW, Windsor JA, Mayumi T, Yoshida M, Miura F, Higuchi R, Gabata T, Hata J, Harumi G, Christos D, Lau WY, Belli G, Kim MH, Hilvano SC, Yamashita Y. TG13 current terminology, etiology, and epidemiology of acute cholangitis dan cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci [Internet]. 2013 Jan 20:8-23. 5. Christeven R, Frandy, Andersen. Acute cholangitis: an update in management based on severity assessment. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology and Digestice Endoscopy [Internet]. 2018 Dec; 19(3):170-177. 6. Ahmed M. Acute cholangitis – an update. World J Gastrointest Pathophysiol [Internet]. 2018 Feb; 9(1):1-7. 7. Zimmer V, Lammert F. Acute bacterial cholangitis. Viszeralmedizin [Internet]. 2015 June; 31:166-172. 8. Ely R, Long B, Koyfman A. The emergency medecine focused review of cholangits. 2018; 54(1):64-72. 9. Kiriyama S, Kozaka K, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Gabata T, Hata J, Liau KH, Miura F, Horiguchi A, Liu KH. Tokyo Guidelines 2018: diagnostic criteria and severity grading of acute cholangitis (with videos). Journal of Hepato‐biliary‐ pancreatic Sciences. 2018 Jan;25(1):17-30. 28 10. Miura F, Okamoto K, Takada T, Strasberg SM, Asbun HJ, Pitt HA, Gomi H, Solomkin JS, Schlossberg D, Han HS, Kim MH. Tokyo Guidelines 2018: initial management of acute biliary infection and flowchart for acute cholangitis. Journal of Hepato‐biliary‐pancreatic Sciences. 2018 Jan;25(1):31-40. 11. Gomi H, Solomkin JS, Schlossberg D, Okamoto K, Takada T, Strasberg SM, Ukai T, Endo I, Iwashita Y, Hibi T, Pitt HA. Tokyo Guidelines 2018: antimicrobial therapy for acute cholangitis and cholecystitis. Journal of Hepato‐ biliary‐pancreatic Sciences. 2018 Jan;25(1):3-16. 12. Mukai S, Itoi T, Baron TH, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Ukai T, Shikata S, Teoh AY, Kim MH, Kiriyama S. Indications and techniques of biliary drainage for acute cholangitis in updated Tokyo Guidelines 2018. Journal of Hepato‐ biliary‐pancreatic Sciences. 2017 Oct;24(10):537-49. 13. Tsuyuguchi T, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Nagino M, Mayumi T, Yoshida M, Miura F, Tanaka A, Yamashita Y. Techniques of biliary drainage for acute cholangitis: Tokyo Guidelines. Journal of hepato-biliary-pancreatic surgery. 2007 Jan 1;14(1):35-45.