DRAFT PERBAIKAN (2) 0 1. PENDAHULUAN Letak Indonesia di daerah khatulistiwa dengan karakteristik geologi, geografi, dan lingkungan yang ada, menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang bukan hanya merupakan daerah berkeanekaragaman hayati (biodiversity) yang sangat tinggi (megadiversity) di dunia, baik secara fisik ekologis maupun sosiokultural. Oleh karena itu berbagai program pembangunan harus sangat memperhitungkan secara cermat kerentanan ekologi dan sosial budaya masyarakat, untuk menjamin keberlanjutannya. Program pembangunan suatu negara akan berjalan baik jika diawali suatu perencanaan yang baik pula. Biasanya perencanaan itu diawali dengan visi dan misi yang jelas, kemudian di jabarkan kedalam suatu kebijakan dan diteruskan ke dalam rencana program pembangunan. Kelautan merupakan suatu bidang pembangunan yang sangat luas. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar didunia (the largest archipelagic state), yang mempunyai perairan laut lebih luas dari kontinentalnya, dimana 75,3 % adalah laut dan sisanya daratan. Secara fungsional, yang menjadikan kelautan sebagai bagian dari urusannya mencakup lebih dari empat belas instansi. Bertitiktolak dari luasnya pembangunan bidang kelautan, maka kebijakan pembangunan kelautan Indonesia harus dikerjakan secara hati-hati (precautionary approach), agar terjaga kesinambungan dan tercapai sinergi pelbagai instansi dan sektor yang terkait serta pelibatan masyarakat. Mensinergikan kebijakan antar instansi pemerintah baik pusat dan daerah maupun pemangku kepentingan lainnya, adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah. Koordinasi sering terkendala dengan sikap egosektoral yang masih melekat di setiap pemangku kepentingan. Dalam rangka mengurangi egosektoral, kebersamaan orientasi harus diarahkan pada tujuan yang ingin dicapai setiap sektor adalah sama yakni membangun negara Indonesia di hari esok lebih baik dari hari ini. Oleh karena itu kepentingan pembangunan semesta nasional Indonesia harus dikedepankan daripada kepentingan sektoral. Prinsip mendahulukan kepentingan nasional itu harus dipahami dan dijalankankan oleh semua pemangku kepentingan, agar pembangunan kelautan dapat menjadi penggerak utama (major driving forces) pembangunan Indonesia di masa depan. Sebelum uraian lebih lanjut tentang arah strategi kebijakan kelautan kedepan, penting bagi kita untuk memahami sejarah perjalanan bangsa Indonesia menjadi suatu negara yang mandiri dan merdeka. Secara historis ada tiga tiang utama (tonggak) yang penting dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia yaitu : (1) Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai satu Nusa, satu Bangsa, dan satu Bahasa, ini merupakan ideologi penyatuan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia; (2) Proklamasi 1 Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, dimana rakyat Indonesia yang telah menjadi satu bangsa, ingin hidup dalam satu kesatuan kenegaraan, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (3) Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang menekankan bahwa bangsa Indonesia yang hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut berada dalam suatu kesatuan kewilayahan yang berbentuk kepulauan (Nusantara) yang terdiri dari seluruh wilayah darat, laut termasuk laut antara pulau-pulau, beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, udara di atasnya dan seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan suatu kesatuan kewilayahan yang harus dipergunakan bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat Indonesia sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sejarah telah mencatat, bahwa Indonesia ”pernah” memiliki puncak kejayaan pada zaman Sriwijaya dan Majapahit sebagai negara maritim terbesar dan terkuat pada masanya. Keduanya menguasai jalur perdagangan dan perhubungan laut di seluruh wilayah nusantara, bahkan sampai ke bagian Afrika Selatan dan Madagaskar. Namun sejarah pula yang menggoreskan bahwa telah terjadi rekayasa sosial pada masa penjajahan Belanda, sehingga menyebabkan pergeseran kultur dan struktur bangsa dari Bangsa Bahari ke Bangsa Agraris. Peristiwa sejarah selama ratusan tahun itu telah menggiring pemahaman tentang ruang hidup dan cara hidup bangsa yang lebih berorientasi dan bergantung pada wilayah daratan, bahkan cenderung apriori terhadap laut. Keadaan tersebut menyebabkan paradigma pembangunan nasional lebih berbasis daratan (land based oriented). Indonesia harus menggabungkan kekuatan laut dan darat sehingga menjadi negara yang tangguh dalam kancah persaingan global sehingga laut harus mendapat perhatian bangsa dan negara secara penuh. ”Laut” sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dapat berperan nyata dan sekaligus pilar utama bagi masa depan kemakmuran dan kejayaan bangsa. Dalam mencapai tujuan mulia tersebut, pembangunan kelautan harus memiliki landasan kebijakan yang kuat yakni Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) yang disusun atas dasar pengetahuan yang komprehensif dan terukur dalam mengembangkan potensi sumberdaya dan fungsi laut, mengakomodasi kepentingan pusat dan daerah serta sektor yang berkaitan dalam pengelolaan pembangunan kelautan untuk sebesarbesarnya bagi kesejahteraan segenap masyarakat Indonesia. Kebijakan tersebut mendasari setiap tindakan yang dilakukan dalam pembangunan kelautan berorientasi pada kepentingan nasional yang berdampak nyata dan signifikan bagi kemakmuran bangsa dan kesejahteraan rakyat baik pada masa kini maupun masa mendatang. Ocean Policy berperan memayungi bidang kelautan yang sifatnya lintas sektoral dan institusi serta terintegrasi dengan daratan. Ocean Policy adalah kebijakan-kebijakan dalam mendayagunakan sumberdaya, kekayaan yang dimiliki dan fungsi laut secara bijaksana guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, ocean policy merupakan paradigma yang menempatkan bidang kelautan sebagai arus utama (mainstream) dan bersinergi 2 dengan bidang lainnya dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, ocean policy secara integral dan komprehensif menjadi payung politik bagi semua institusi negara dan masyarakat dalam pembangunan bidang kelautan dan pembangunan nasional. Pemahaman terhadap makna dan fungsi laut bagi sebuah negara kepulauan seperti Indonesia merupakan faktor pertimbangan pendukung yang signifikan bagi perumusan kebijakan terkait. Pertama, laut sebagai wilayah kedaulatan bangsa. Kedua, laut sebagai suatu ekosistem dengan sumberdayanya. Ketiga, laut sebagai media kontak sosial, ekonomi dan budaya, Keempat laut memaknai geostrategi, geopolitik, geokultural dan geoekonomi negara, serta Kelima laut memiliki karakteristik lingkungan yang khas termasuk potensi bencana alam. Dengan pemahaman ini diharapkan dapat memberikan sebuah kerangka pemikiran dalam pemanfaatan sumberdaya dan kekayaannya laut yang komprehensif dan berdayaguna sekaligus mendukung prinsip pemanfaatan sumberdaya secara lestari, serta menjalin hubungan antar bangsa secara harmonis terutama dengan negara-negara tetangga. 3 2. AZAS PEMBANGUNAN KELAUTAN Dalam pelaksanaan kebijakan kelautan Indonesia perlu mengadopsi beberapa prinsip, diantaranya yaitu : (i) pembangunan berkelanjutan (sustainable development), (ii) keterpaduan pembangunan (integrated development), (iii) partisipasi (participation), (iv) pemanfaatan sumberdaya secara rasional (rational resource use), (v) pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), (vi) kesejahteraan (welfare), dan (vii) kerjasama (cooperation). 2.1 Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan sumberdaya bagi kehidupan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan mengandung aspek : (1) keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomasa dan daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem; (2) keberlanjutan sosio-ekonomi: mempertahankan dan mencapai tingkat kesejahteraan individu maupun masyarakat yang lebih tinggi serta memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan masyarakat; (3) keberlanjutan komunitas: keberlanjutan eksistensi komunitas dalam berbagai aspek kehidupan yang berkualitas harus menjadi perhatian pembangunan yang berkelanjutan; dan (4) keberlanjutan kelembagaan: menyangkut terbangunnya aturan maupun tatakelola (governance) yang mampu mengantarkan tercapainya pembangunan kelautan secara terus menerus antar generasi. Asas pembangunan berkelanjutan diterapkan agar: (1) pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati/pulih (renewable) atau laju inovasi substitusi sumberdaya nonhayati/tidak pulih (non-renewable) serta pemanfaatan sumberdaya nonhayati tidak menghancurkan kelestarian sumberdaya hayati; (2) pemanfaatan sumberdaya saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumberdaya; dan (3) pemanfaatan sumberdaya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang terpercaya. 2.2 Keterpaduan Pembangunan (Integrated Development) Asas keterpaduan dikembangkan untuk mengintegrasikan perencanaan maupun kebijakan berbagai sektor pemerintahan dan sektor pembangunan secara horizontal maupun secara vertikal antara pemerintah dan pemerintah daerah, serta mengintegrasikan darat dan laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam pembangunan kelautan yang berkelanjutan. Keterpaduan pembangunan tersebut didasarkan pada pengelolaan berbasis 4 keterpaduan ekosistem, keterpaduan antar pemangku kepentingan (stakeholder), keterpaduan pendekatan keilmuan maupun teknologi, pengelolaan sumberdaya yang terintegrasi, keterpaduan pembangunan dan pengelolaan wilayah darat dan laut , keterpaduan geografis serta keterpaduan pembangunan antar sektor. 2.3 Partisipasi (Participation) Prinsip partisipasi dimaksudkan: (1) agar seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian, sesuai dengan peran masing-masing; (2) memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui kebijakan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumberdaya; (3) menjamin adanya representasi pemangku kepentingan dalam keputusan tersebut; dan (4) memanfaatkan sumberdaya secara adil. 2.4 Pemanfaatan Sumberdaya secara Rasional (Rational Resource Use) Prinsip ini secara langsung menekankan pada negara untuk mengadopsi tindakan pengurangan dan penghapusan kegiatan produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Hak negara untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya disertai dengan tanggung jawab untuk melindungi dan memelihara lingkungan dan keterpaduan ekosistem. Pemanfaatan sumberdaya tersebut juga mempertimbangkan azas koeksistensi antara sumberdaya pulih dan sumberdaya tidak pulih sehingga eksploitasi sumberdaya tidak pulih harus dapat menjaga kelestarian sumberdaya pulih. 2.5 Pendekatan Kehati-hatian (Precautionary Approach) Berdasarkan Pasal 15 Deklarasi Rio, negara harus menerapkan tindakan pencegahan sesuai dengan kemampuannya dan mengantisipasi ketidakpastian ilmiah dari ancaman kerusakan lingkungan. Permasalahan ketidakpastian dan kerusakan lingkungan akan diperparah dengan perubahan iklim global. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang terukur untuk mencegah hal-hal yang dapat merugikan lingkungan laut. Dalam implementasi kebijakan pembangunan perlu dilakukan secara hati-hati dengan didukung data ilmiah yang sahih serta melakukan tindakan adaptasi dan mitigasi yang terukur agar kelestarian lingkungan laut dan keselamatan masyarakat dapat terjaga. 2.6 Kesejahteraan (Welfare) Pembangunan kelautan diarahkan pada tujuan utama yakni kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, melalui pemanfaatan dan pengelolaan kelautan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara lestari. 5 2.7 Kerjasama (Cooperation) Bidang kelautan adalah multisektor (sektor perikanan, sektor pariwisata bahari, sektor energi dan sumberdaya mineral, sektor perhubungan laut, sektor industri kelautan, sektor bangunan kelautan dan sektor jasa kelautan) sehingga perlu kerjasama dalam pengelolaan antar lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat. Indonesia secara aktif melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga baik di tingkat regional maupun internasional untuk kepentingan keberlanjutan pembangunan kelautan Indonesia dan internasional. 6 3. 3.1 VISI, MISI, DASAR DAN TUJUAN KEBIJAKAN Visi Pembangunan Indonesia Visi adalah suatu pemikiran untuk mencapai suatu cita-cita yang jauh kedepan dan harus dicapai. Idealisme dan harapan ini mendorong bangkitnya semangat membangun yang dituangkan kedalam misi, kebijakan dan program-program pembangunan. Berdasarkan pada harapan dan pandangan di atas, maka visi pembangunan Indonesia adalah: “TERWUJUDNYA INDONESIA SUATU NEGARA MARITIM YANG MANDIRI, KUAT DAN SEJAHTERA DENGAN MEMAHAMI, MENGELOLA, MEMANFAATKAN, MENJAGA SERTA MEMELIHARA LAUT SECARA BERKELANJUTAN ”. 3.2 Misi Pembangunan Kelautan Indonesia Visi pembangunan kelautan Indonesia mengisyaratkan pandangan dan harapan masyarakat terhadap peran dan fungsi laut Indonesia. Untuk mewujudkan visi tersebut di perlukan langkah nyata dalam semua aspek terkait kekayaan yang terkandung di laut dan pengelolaan sumberdaya kelautan, baik hayati maupun nir-hayati. Langkah tersebut merupakan misi pembangunan kelautan Indonesia yaitu Memahami, Mengelola dan Memanfaatkan, Menjaga dan Memelihara Laut Indonesia serta Mengikutsertakan dan Meningkatkan peran Indonesia dalam percaturan kelautan global: (1) Memahami Laut Indonesia merupakan upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi dan peran laut bagi bangsa Indonesia yang didalamnya terkandung kekayaan dan potensi sumberdaya yang berpolah bagi pembangunan; (2) Mengelola dan Memanfaatkan Laut Indonesia merupakan upaya pengelolaan dan pemanfaatan laut secara bijaksana, terpadu dan berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat; (3) Menjaga dan Memelihara Laut Indonesia merupakan upaya untuk menegakkan, mempertahankan, mengamankan, melindungi, memelihara kedaulatan dan kesatuan politik, ekonomi dan kewilayahan, serta yurisdiksi di laut berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dan hukum internasional; (4) Meningkatkan Peran Indonesia di tingkat internasional melalui forumforum serta kerjasama regional dan internasional di bidang kelautan, serta mempromosikan kepatuhan terhadap Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 dalam hubungan antar Negara, mengembangkan peran aktif dalam percaturan kelautan global, serta berperan aktif dalam memelihara perdamaian dunia. 7 3.3 Dasar Penyusunan Kebijakan Kelautan (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD-1945 telah termaktub dalam Pasal 25 A, bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan yang mencirikan Nusantara dan batasbatasnya ditentukan oleh Undang-Undang. Makna pasal tersebut, mengingatkan kita bahwa Indonesia Negara kepulauan terbesar didunia, tidak hanya pengakuan internasional tetapi setiap warga Indonesia harus menyadari dan mewarnai dalam kegiatan pembangunan Indonesia. Kemudian dalam pasal 33, pada hakekatnya telah mengamanatkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah Indonesia dikuasai negara dan ditujukan kepada terwujudnya manfaat yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah wajib melakukan pengembangan dan pembangunan kelautan nasional guna memberikan manfaat ekonomi, sosial dan budaya dalam usaha untuk mengantarkan bangsa menuju masyarakat Indonesia yang maju, makmur dan berkeadilan. Isi pasal 33 itu menginsyaratkan bagi para pengambil kebijakan pembangunan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif maupun semua anak bangsa, bahwa kekayaan yang ada di wilayah alam Indonesia di tujukan pada kesejahteraan masyarakat dan bangsa. (2) Deklarasi Djuanda Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia yang dibacakan oleh Perdana Menteri Ir. H. Djuanda pada sidang Dewan Menteri pada tanggal 13 Desember 1957, dengan mempertimbangkan (1) bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri (2) bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat (3) penentuan batas lautan teritorial seperti yang termaktub dalam artikel 1 ayat 1 “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939” Stbl. 1939 No. 442 tidak lagi sesuai dengan pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian yang terpisah-pisah. Deklarasi Djuanda telah menjadikan segala perairan yang berada “di antara dan di sekitar pulau-pulau” Indonesia sebagai bagian dari wilayah nasional. Perubahan tersebut secara drastis telah merubah arti laut dari sudut pandangan kolonialisme dengan politik divide et impera-nya, menjadi alat pemersatu atau penghubung yang melahirkan satu kesatuan yang bulat antara unsur-unsur tanah dan air. Konsepsi kewilayahan yang dikenal sebagai Wawasan Nusantara tersebut kemudian disahkan dalam bentuk Peraturan 8 Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Konsepsi kewilayahan sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Djuanda tersebut berdasarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/73 telah ditetapkan sebagai wawasan dalam mencapai pembangunan nasional dan disebut sebagai Wasasan Nusantara, yang mencakup perwujudan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Hakekat Negara kepulauan sebagai mana dituangkan ke dalam Deklarasi Djuanda telah diperkuat lagi dengan dimasukannya ke dalam ketentuan Pasal 26, Bab IX A Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Negara kepulauan yang berciri nusantara memberi makna bahwa pembangunan Indonesia seharusnya berorientasi pada “marine based” dengan memperhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pulau-pulau dan wilayah perairan (laut) yang luas beserta sumberdaya alam yang terkandung didalamnya. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke IV) menyatakan bahwa: ……sebagai kesatuan kewilayahan yang harus diperuntukan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia sesuai dengan amanat. Bertolak dari Deklarasi Djuanda 1957 dan Pasal 26, Bab IX A UUD 1945, maka luas wilayah laut yang berada dibawah kedaulatan dan yurisdiksi kita menjadi 5,9 juta km2 atau bertambah luas hampir 12 kali lipat, yang terdiri dari laut territorial 0,3 juta km2 , perairan kepulauan 2,9 juta km2 dan ZEEI 2,7 juta km2. Dengan begitu luasnya wilayah perairan laut Indonesia, maka penyusunan Kebijakan Kelautan harus lebih memperhatikan pendekatan kewilayahan dan ruang serta pengelolaan sumberdaya kelautan didasarkan pada konsep geopolitik dan geostrategi sebagaimana tertuang dalam Wawasan Nusantara, yang memandang seluruh wilayah daratan, lautan dan udara di atasnya, segenap penduduk, serta seluruh sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya sebagai satu kesatuan yang terpadu. (3) Konvensi Hukum Laut 1982 jo. UU No. 17 Tahun 1985 Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dalam upaya memperoleh pengakuan dari dunia internasional telah dilaksanakan perjuangan yang terus menerus di forum internasional dan regional. Dalam konferensi PBB tentang Hukum Laut III pada tanggal 30 April 1982 di New York telah berhasil menyusun United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang kemudian ditandatangani oleh 111 negara termasuk Indonesia pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. UNCLOS 1982 ini berlaku di seluruh dunia pada tanggal 16 November 1994 setelah tercapai jumlah minimal 60 negara yang meratifikasinya. 9 Melalui UU No. 17 tahun 1985, Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 atau juga dikenal sebagai Konvensi Hukum Laut (HUKLA) 1982. Hal ini berarti bahwa seluruh perangkat peraturan perundang-undangan nasional yang sudah ada atau yang akan disusun, harus mengacu pada konvensi tersebut. Sejak diberlakukannya Konvensi HUKLA 1982 secara resmi pada 16 November 1994, maka wilayah Indonesia, yang dideklarasikan pada tanggal 13 Desember 1957 telah diterima menjadi bagian dari hukum laut internasional (UNCLOS, 1982), dan dengan demikian secara internasional Indonesia diakui sebagai suatu negara kepulauan dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya. Letak geografis Indonesia yang berada di khatulistiwa serta di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis bagi hubungan antarbangsa di dunia. Konvensi tersebut memuat 9 buah pasal mengenai perihal ketentuan tentang Prinsip “Negara Kepulauan”. Salah satu pasal dalam prinsip Negara Kepulauan tersebut menyatakan bahwa laut bukan sebagai pemisah, melainkan sebagai piranti yang menyatukan pulau-pulau yang satu dengan lainnya. Prinsip-prinsip tentang fungsi laut sebagai alat pemersatu atau fungsi laut sebagai faktor integritas wilayah inilah yang kemudian hari menjadi wawasan kebangsaan negara Indonesia yaitu yang dikenal dengan Wawasan Nusantara. (4) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 Pembangunan Nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, dalam 20 tahun mendatang, sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, lingkungan laut dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar 10 ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional. Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Namun demikian, masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, salah satu yang utama adalah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi karena beberapa hal, antara lain, (1) belum adanya penataan batas maritim; (2) adanya konflik dalam pemanfaatan ruang di laut; (3) belum adanya jaminan keamanan dan keselamatan di laut; (4) adanya otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan; (5) adanya keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelola sumberdaya kelautan; dan (6) belum adanya dukungan riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan. Padahal berdasarkan fakta dan dinyatakan pula dalam UUD 1945 perubahan Pasal 25A bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan laut. Salah satu misi dalam RPJP Nasional yang menjadi rujukan bagi pengembangan bidang kelautan adalah misi ke 7 dan ke 8, yaitu Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, dan Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional. 3.4 Tujuan Kebijakan Kelautan Indonesia Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia yang usianya telah mencapai 67 tahun, hingga saat ini belum memiliki “Ocean Policy” atau kebijakan kelautan. Padahal konsep kebijakan tersebut sangat dibutuhkan untuk mengarahkan keterpaduan pembangunan di bidang kelautan. Tanpa adanya arahan tersebut maka pembangunan di bidang kelautan yang melibatkan banyak pemangku-kepentingan, semakin tidak terpadu sehingga memboroskan penggunaan sumberdaya nasional, yang semakin menjauhkan pada pencapaian misi dimaksud. Bertolak dari hal-hal diatas, maka penyusunan Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI), bertujuan mensinergikan dan mengharmonisasikan berbagai kepentingan dari para pemangku-kepentingan dalam pembangunan kelautan. Kebijakan tersebut merupakan acuan dan arahan pembangunan semesta Indonesia, baik jangka pendek, menengah maupun panjang dalam kerangka besar mengukir masa depan bangsa (reframing the future). Dengan 11 demikian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan serta fungsi laut dapat dilaksanakan secara holistik mensinergikan semua sektor yang berkaitan dengan pembangunan nasional. Prinsipnya satu sektor dan sektor lainnya baik yang memanfaatkan sumberdaya daratan, laut dan udara saling melengkapi dan mendukung sehingga menghasilkan pemanfaatan pada tingkat optimal dari sumber kekayaan nasional dalam mendukung pembangunan kelautan nasional demi kesejahteraan bangsa Indonesia. Inti penyusunan kebijakan diarahkan pada: (1) pemanfaatan kekayaan dan potensi SDA untuk sebesar-besar kepentingan rakyat; (2) Kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-seorang, sesuai demokrasi ekonomi yan berwawasan sosial ; (3) Kepentingan nasional adalah utama, tanpa mengabaikan kepentingan global. 3.5 Sasaran Kebijakan Kelautan Indonesia Sasaran Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesia’s Ocean Policy) adalah: 1. Meningkatkan wawasan kelautan dan budaya bahari agar seluruh masyarakat mengetahui peran dan fungsi laut serta kewajiban dan tanggung jawab negara Indonesia menjalankan pembangunan kelautan sesuai peraturan perundangan nasional dan internasional. 2. Mengembangkan jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia. 3. Meningkatkan dan menguatkan kapasitas sumberdaya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 4. Menetapkan dan menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara. 5. Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. 6. Mengurangi resiko bencana di laut, pesisir dan pulau-pulau kecil serta ancaman pencemaran laut. 7. Memperbaiki sistem dan tata kelola kelautan (ocean governance). 8. Memajukan peran aktif dalam melakukan kerjasama regional dan internasional. 12 4. PERKEMBANGAN KELAUTAN INDONESIA 4.1 Periode Sebelum 1944 Sejarah Nusantara dimulai dengan adanya para cendekiawan India yang menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatera sekitar 200 SM. Pada abad ke-5 berdiri dua kerajaan bercorak Hinduisme: Kerajaan Tarumanagara yang menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425 agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut. Cikal bakal kejayaan bangsa Indonesia telah terjadi pada jaman kerajaan Sriwijaya di abad ke 7 dan 8 saat Sriwijaya dianggap ancaman oleh negara Kambodja dan disebut sebagai “Maharaja”. Zaman Kerajaan Sriwijaya yang merupakan suatu negara maritim yang besar dan kuat. Mereka menguasai perdagangan di Selat Malaka dan bahkan mampu menerobos sampai ke Afrika Selatan dan Madagaskar. Semua kapal dagang yang melewati selat Malaka harus membayar upeti dan bagi yang membangkang kapalnya akan diserang dan ditenggelamkan. Dari hasil upeti tersebut, Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan yang kaya raya. Puncak kejayaan Sriwijaya adalah sekitar abad-9, yakni pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan rajaraja dari Mataram (keturunan Syailendra). Sejarah juga mencatat bahwa Kerajaan Majapahit (abad ke 13 dan 14 yaitu pada tahun 1251-1459 Masehi) di P. Jawa dengan Raden Wijaya yang bergelar Sri Kertanegara Jayawardhana sebagai Raja Majapahit pertama telah berkembang dan mencapai kebesarannya pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada memegang kekuasaan pada pertengahan abad 14. Sebagian besar wilayah Nusantara dapat ditaklukkan. Bahkan pengaruhnya sampai ke Malaysia dan Singapura, meskipun tidak menguasai kerajaan Sunda di Jawa Barat. Untuk mengawasi daerah kekuasaannya Majapahit membangun armada laut yang sangat kuat, yang digunakan untuk mengawasi perdagangan dan lalu lintas pelayaran di wilayah Nusantara. Kebesarannya tidak hanya diakui oleh kerajaan-kerajaan Nusantara saja, tetapi juga sampai ke daratan Asia. Kepiawaian Mahapatih Gajah Mada dalam menyusun strategi perang laut menjadikan angkatan laut Kerajaan Majapahit disegani ketangguhannya dan tak ada tandingannya di Asia Tenggara. Dalam periode inilah bermunculan kekuatan bidang kelautan Indonesia, termasuk kendali pelaut-pelaut Bugis atas wilayah perairan di Samudera Hindia. Periode ini adalah masa kejayaan maritim (seapower), sehingga masyarakat Indonesia menyadari bahwa “nenek moyang Indonesia”adalah bangsa pelaut. Semangat ini yang harus kita implementasikan dalam mengapai cita-cita negara Kepulaun yang besar, mandiri, kuat dan dihormati dunia. 13 4.2 Periode 1945 – 1965 Setelah resmi menjadi satu negera yang mandiri dan merdeka, nampaknya pemerintah Indonesia melihat bahwa selain potensi SDA sumberdaya alam di daratan, ternyata potensi yang ada di perairan laut dapat menjadi pilar ekonomi nasional. Disamping itu, alat perhubungan utama antar pulau maupun antar negara adalah laut. Diwaktu itu transpor lewat udara belum begitu populer. Periode ini merupakan era Soekarno-Hatta, saat itu dalam kabinet pemerintahannya telah ada Menteri Koordinator Maritim. Tugas utama mengatur perhubungan laut dan pengelolaan sumberdaya alam untuk kemakmuran bangsa. Pada periode ini aspek kelautan kurang diperhitungkan. Jumlah penduduk yang masih sedikit dan kekayaan sumberdaya alam yang ada di daratan masih melimpah ruah, menjadi salah satu faktor penyebabnya. Dengan demikian, perkembang kelautan khususnya memanfaatkan laut sebagai lumbung pangan dan pemasok ekonomi bangsa kurang mendapat perhatian. Fokus utama menteri koordinator Maritim adalah memperkuat pertahanan dan keamanan kedaulatan Indonesia. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia masih menggunakan peraturan perundang-undangan pada hukum yang ditinggalkan oleh pemerintahan Hindia Belanda sebagai landasan hukumnya, termasuk dalam bidang kelautan yakni. Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939”, (TZMKO). Pasal 1 Ayat (1) dari ordonansi ini, menyebabkan wilayah Indonesia tidak utuh, karena perairan diantara kelima pulau besar terdapat perairan bebas (high seas). Keadaan ini dinilai dapat mengancam keutuhan NKRI. Atas dorongan semangat tinggi dan kebulatan tekad yang luar biasa para “founding fathers”, dengan berani dan secara sepihak mendeklarasikan keutuhan wilayah Indonesia. Deklarasi itu di namakan “Deklarasi Djoeanda”. Salah satu tonggak sejarah yang dapat dikatakan mengawali pembangunan Indonesia sebagai negara kelautan adalah Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang antara lain isinya adalah sebagai berikut: “Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulaupulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia” Deklarasi ini kemudian memiliki kedudukan yang lebih kuat setelah diundangkan melalui Undang-undang No. 4/ Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam undang-undang ini, pokok-pokok dasar dan pertimbangan-pertimbangan mengenai pengaturan wilayah perairan 14 Indonesia pada hakikatnya tetap sama dengan Deklarasi 1957, walaupun segi ekonomi dan pengamanan sumberdaya alam lebih ditonjolkan. 4.3 Periode 1966 - 1998 Tiga dekade diawal periode ini perkembangan bidang kelautan relatif stagnan bahkan relatif terjadi kemunduran. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah saat itu dalam rangka memajukan ekonomi nasional lebih berfokus pada pemanfaatan minyak dan gas bumi serta produksi hutan. Bidang kelautan diterlantarkan, tidak ada kepedulian dari para pengambil kebijakan untuk dijadikan sebagai pemasok devisa negara. Adanya kurang kepedulian itu, maka wilayah laut beserta kekayaan yang dikandungnya tidak terurus. Akibatnya banyak terjadi “illegal fishing” oleh kapal-kapal asing, transasi perdagangan di laut makin meluas bahkan batas maritim (Maritime boundary) juga diabaikan. Juga sering terjadi perompakan, penyeludupan, perdagangan senjata dan manusia di wilayah perbatasan. Gejala-gejala aksi yang dapat mengancam kehidupan negara baik sosial, ekonomi dan keamanan negara, terutama di wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga, maka pemerintah mulai sadar bahwa peran laut begitu penting bagi kehidupan negara. Maka TNI-AL di tahun 1990, mengambil insiatif melaksanakan seminar kelautan Indonesia. Hasil seminar ini kemudian dijadikan bahan rujukan untuk penyusunan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada REPELITA ke 5 (Tahun 1993-1998) pada Pembangunan Jangka Panjang I. Dalam GBHN itu, bidang kelautan masuk dalam kelompok pembangunan ekonomi. Akibat kasus-kasus di wilayah perbatasan makin serius, dan konsep pembangunan kelautan telah masuk ke GBHN, maka Presiden Soeharto mengeluarkan perintah pada tanggal 1 Januari 1996, yang bunyinya sebagai berikut: ”MENGEMBALIKAN JIWA BAHARI DENGAN MELALUI PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA”. Sesudah perintah itu dikumandangkan, diteruskan dengan pembentukan Dewan Kelautan Nasional melalui KEPPRES No. 77 Tahun 1996. Adapun tugas dan fungsi Dewan Kelautan Nasional (DKN) yaitu: a. Memberikan pertimbangan, pendapat, maupun saran kepada Presiden mengenai peraturan, pengeloalan, pemanfaatan, pelestarian, perlindungan dan keamanan kawasan laut, serta penentuan batas wilayah Indonesia. b. Melakukan koordinasi dengan departemen dan badan yang terkait, dalam rangka keterpaduan perumusan dan penetapan kebijakan mengenai masalah laut. Sekalipun telah dibentuk DKN, nampaknya bidang kelautan amat terlebih sektor Perikanan kurang mendapat dukungan penuh dalam perjalanan pembangunan. Kebanyakan fokus pembangunan di arahkan ke 15 darat, bahkan lebih mempopulerkan di kancah internasional, bahwa Indonesia adalah negara Agraris. Sesungguhnya paradigma ini bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia, dimana luas wilayah Indonesia adalah laut meliputi 5.8 juta Km2, sedangkan wilayah darat hanya 1,9 juta Km2. Dalam tahun yang sama (1996) dilakukan konvensi Nasional Tentang Kelautan di Makassar pada tanggal 18-19 Desember. Konvesi ini mengeluarkan konsep Benua Maritim Indonesia. Gagasan ini masih kontroversial – banyak terjadi pro dan kontra tentang istilah benua maritim. Penggunaan kata benua merujuk dengan daratan, sehingga membuat rancu. Sekalipun demikian konsep ini memberikan dorongan semangat baru, karena telah menunjukan pentingnya membangun kelautan secara bijak agar menghasilkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Kemudian diakhir periode, terjadi pergantian Presiden (1998). Disaat itu pengantinya adalah Presiden ke 3, Dr. B.J. Habibie. Periode Habibie, saat itu dikeluarkan suatu deklarasi yang di sebut Deklarasi Bunaken, karena tempat pendatangan deklarasi itu di kota Manado. Sejak Deklarasi Bunaken ditandatangani oleh Presiden RI pada puncak kegiatan Tahun Bahari Internasional 1998 (TBI ’98) telah menegaskan bahwa mulai 26 September 1998 visi pembangunan dan persatuan nasional Indonesia berorientasi ke laut. Kegiatan TBI ‘98 merupakan program UNESCO-PBB dan tahun 1998 sebagai Tahun Bahari Internasional sekaligus pencanangan upaya PBB dan bangsa Indonesia untuk menyadarkan umat manusia akan arti penting dari laut dan lingkungan kelautan sebagai warisan bersama umat manusia. Deklarasi Bunaken pada dasarnya secara tegas menyatakan dua hal pokok yaitu kesadaran bangsa Indonesia akan geografi wilayahnya dan kemauan yang besar dari bangsa Indonesia untuk membangun kelautan. Kesadaran bangsa Indonesia akan geografi wilayahnya menjadi sangat penting bagi keberhasilan bangsa dalam melaksanakan pembangunan kelautan yang mempunyai arti strategis dalam mengembalikan kondisi ekonomi nasional yang sedang menyelesaikan berbagai krisis ini. Inti dari Deklarasi Bunaken adalah laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Deklarasi Bunaken merupakan pernyataan politis strategis pemerintah atau sebagai komitmen bangsa yang memberikan peluang seluasluasnya dalam penyelenggaraan pembangaunan kelautan. Melalui Deklarasi Bunaken pemerintah juga akan mengorientasikan pembangunan nasional ke laut dengan memberikan perhatian dan dukungan optimal terhadap pembangunan kelautan. Deklarasi Bunaken dapat juga dikatakan sebagai kunci pembuka babak baru pembangunan nasional yang berorientasi ke laut karena mengandung komitmen bahwa: 16 Visi Pembangunan dan Persatuan Nasional Indonesia harus juga berorientasi ke laut. Semua jajaran pemerintah dan masyarakat hendaknya juga memberikan perhatian untuk pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan potensi kelautan Indonesia. 4.4 Periode 1999 - sekarang Periode ini lebih dikenal dengan nama era Reformasi. Periode ini merupakan kebangkitan kedua bidang kelautan di Indonesia. Indonesia boleh berbangga hati setelah berhembus kembali angin laut menyejukkan yang diharapkan dapat membawa serta arah baru dengan sentuhan kelautan bagi upaya pensejahteraan rakyat dan upaya menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam era ini dipertanda dengan semangat dan visi yang jelas dari Presiden Indonesia yang ke 5 Abdurahman Wahid (Almarhum), tumbuh kesadaran bahwa potensi dan kekayaan yang ada di laut merupakan sumber ekonomi utama Negara. Laut adalah kehidupan massa depan bangsa. Atas pemikiran itu maka Abdurahman Wahid membentuk kementerian baru, yakni Departemen Eksplorasi Laut (namanya beruba-ubah dan akhirnya saat ini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan). Selain dibentuk kementerian dibentuk juga Dewan Maritim Indonesia (DMI). DMI bertugas untuk mengkordinasi dan mensinergikan program pembangunan kelautan di Indonesia. Nomenklatur Dewan Maritim Indonesia berubah menjadi Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), sejak dikeluarkan KEPPRES Nomor 21 Tahun 2007. Dengan munculnya dua lembaga ini, gema peran laut bagi kehidupan bangsa dan negara makin disadari oleh banyak masyarakat Indonesia. Sekalipun demikian tetap dirasa bahwa paradigma kontinental yang ditinggalkan oleh Belanda masih merupakan hambatan besar, terutama bagi para pengambil kebijakan. Hal itu merupakan tantangan cukup berarti dalam mewujudkan Kebijakan Kelautan Indonesia. Karena dirasakan gerakan kebangkitan kedua berjalan agak lambat, maka di tahun 2001, dikumandangkan suatu seruan yang intinya memperkuat kebulatan tekan yang dilontarkan tahun-tahun sebelumnya. Seruan ini dikenal dengan “Seruan Sunda Kelapa” Pada intinya seruan tersebut mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama membangun kekuatan maritim/kelautan, dengan berlandaskan pada kesadaran penuh bahwa bangsa Indonesia hidup di negara kepulauan terbesar di dunia, dengan alam laut yang kaya akan berbagai sumberdaya alam. Seruan Sunda Kelapa hakekatnya menyatakan 5 (lima) pilar program pembangunan kelautan, yaitu: 1) Membangun kembali wawasan bahari, 2) Menegakkan kedaulatan secara nyata di laut, 17 3) Mengembangkan industri dan jasa maritim secara optimal dan lestari bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, 4) Mengelola kawasan pesisir, laut dan pulau kecil, dan 5) Mengembangkan hukum nasional di bidang maritim. Dengan lahirnya Seruan Sunda Kelapa diharapkan menimbulkan kesadaran kembali bagi bangsa Indonesia akan kekhususan aspek alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi laut yang memiliki berbagai ragam kekayaan sumberdaya alam, dan mengarahkan kembali ke wawasan bahari serta kebijaksanaan cabotage untuk rencana pembangunan nasional. Wawasan dan kebijaksanaan dari Seruan Sunda Kelapa diyakini dapat membangkitkan kembali kekuatan armada niaga nasional, membangkitkan kembali ekonomi unggulan nasional untuk memberi kontribusi bagi upaya segera memulihkan ekonomi nasional yang sedang terpuruk, mempercepat penggapaian masa depan bangsa, sekaligus memperkuat tali kehidupan bangsa. Kemudian tekad membangun kelautan diperkuat lagi dengan program Nasional GERBANG MINA BAHARI yang dicanangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2003 di teluk Tomini. Inti program ini pada pengembangan 3 sektor, yaitu Industri Perikanan, Pelayaran dan Pariwisata. Dalam periode kabinet pemerintahan Indonesia Bersatu, pemerintah kembali berkomitmen yang disampaikan oleh Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono di saat berpidato dalam rangka Peringatan Hari Nusantara Tahun 2006 di kota Padang Provinsi Sumatera barat, sudah saatnya memanfaatkan laut bagi pembangunan negara. Suatu instruksi kepala negara, bahwa saatnya meubah arah pembangunan Indonesia, dari pembangunan yang berorientasi kontinental ke arah program pembangunan kelautan (Oceans development program). Evaluasi Dewan Kelautan Indonesia sejak kebangkitan kedua bidang kelautan, wawasan kelautan pada seluruh anak negeri masih belum merata keseluruh pelosok tanah air. Oleh karena itu berbagai program sosialisasi, diantaranya penyebaran buku-buku bacaan dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi terus berlangsung; melakukan seminar baik di Jakarta maupun di daerah, dan berdiolag melalui Televisi maupun media informasi lainnya. 18 5. KONDISI SAAT INI Indonesia telah diakui dunia sebagai Negara Kepulauan terbesar (The largest archipelagic state), memiliki kurang lebih 17.480 pulau dengan garis pantai terpanjang ke 4 di dunia, yaitu sepanjang 95.181 km. Di dalamnya terkandung sumberdaya alam, baik hayati maupun nir-hayati. Dengan modal dasar ini seharusnya laut dapat diandalkan sebagai pilar utama ekonomi negara, tenaga utama untuk membasmi kemiskinan dan sebagai pemersatu bangsa. Tahun ini negara Indonesia telah berumur 67 tahun, namun dalam kenyataan masih banyak pembangunan di bidang kelautan belum terbenahi. Sangat ironi, suatu negara kepuluan terbesar yang wilayahnya didominasi oleh perairan laut tetapi Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Policy) yang diwujudkan dengan peraturan perundangan nasional tidak dimiliki. Kebijakan Kelautan Indonesia yang dirumuskan ini bertolak dari UndangUndang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 ,pada intinya berfokus pada 8 sasaran pokok. Uraian berikut ini menjelaskan kondisi kekinian dari ke 8 sasaran dimaksud. 5.1 Kondisi Wawasan Kelautan Membangun bidang kelautan seyogianya diawali dengan kebulatan persepsi bagi seluruh anak bangsa akan kondisi fisik laut, fungsi dan peran laut bagi kehidupan negara, pemahaman tersebut dikenal sebagai wawasan kelautan. Wawasan adalah cara pandang atau paham tentang sesuatu hal yang dianut oleh masyarakat menjadi doktrin dalam menjalankan hidupnya. Hakikatnya bangsa kita menganut wawasan Indonesia yang teridiri dari wawasan kelautan, wawasan kebangsaan, wawasan kedirgantaraan dan sebagainya. Memahami wawasan kelautan merupakan modal dasar dalam pembangunan bidang kelautan Indonesia, karena bagaimana mungkin kita mampu mengelola sumberdaya kelautan yang kita miliki tanpa diimbangi dengan adanya pemahaman terhadap wilayah laut yang kita punyai dengan segala sumberdaya kelautan yang tersimpan didalamnya. Apabila wawasan kelautan telah tersebar merata diseluruh anak bangsa, pemimpin pemerintahan dan masyarakat di pusat maupun daerah, maka diharapkan pembangunan kelautan akan berhasil baik, sehingga akhirnya bidang kelautan akan menjadi pilar ekonomi utama bagi kehidupan NKRI sekaligus sebagai senjata mutahir untuk membasmi kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat. Dalam kenyataannya sebagaimana hasil kajian yang dilakukan Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2009 dan 2010 pemahaman wawasan kelautan sangat minim, seperti data yang disajikan dibawah ini: 19 Tabel 1 . Hasil Survei Tentang Wawasan Kelautan Tahun 2009 dan 2010 Tahun Pemahaman tentang wawasan kelautan (%) 2009 Paham 38.3 Kebijakan PEMDA yang berpihakan pada bidang kalautan (%) Tidak paham 51.2 2010 47.4 52.4 Sumber : Dewan Kelautan Indonesia, tahun 2010 Sudah 11.7 belum 76.9 38.8 54.6 Tabel diatas memperlihatkan bahwa >50% rakyat Indonesia tidak paham benar tentang laut, apalagi fungsinya sebagai pilar ekonomi negara. Data diatas diperoleh dari 33 provinsi dan 20 kabupaten/kota, sehingga hasil survei dapat memberikan gambaran. Kenyataan itu tentunya menyedihkan bagi sebuah negara kepulauan. Oleh karenanya DEKIN lewat program sosialisasi tetap memberikan pencerahan bagi pengambil kebijakan pembangunan di daerah maupun di pusat. Adanya wawasan kelautan yang minim, terlukis pada produk domestik bruto (PDB) sektor-sektor di bidang kelautan relatif kecil apabila dibandingkan dengan potensi yang dimiliki, padahal PDB merupakan salah satu indikator keberhasilan kebijakan bidang kelautan dalam pembangunan Indonesia. Nilai kontribusi tersebut apabila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia, terlihat sangat kecil. Sebagai ilustrasi salah satu sektor di bidang kelautan yakni sektor perikanan di Indonesia yang hanya mencapai sekitar 2,9 % jauh dibawah kontribusi sektor perikanan terhadap PDB/Gross Domestic Product (GDP) Kamboja, untuk perikanan tangkap sebesar 11.4% dan perikanan budidaya sebesar 1.3%, sedangkan Vietnam untuk perikanan tangkap sebesar 9.5% dan perikanan budidaya sebesar 16.0%, Myanmar untuk perikanan tangkap sebesar 9.9%, dan perikanan budidaya 8.8%, Filipina untuk perikanan tangkap sebesar 3.0% dan perikanan budidaya sebesar 1.5 %, tetapi di Indonesia kontribusi sektor perikanan baru mencapai 1.9% bagi perikanan tangkap dan 1.0% bagi perikanan budidaya, secara rinci ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 2. Kontribusi Sektor Perikanan terhadap GDP di Kawasan ASEAN Kontribusi GDP (%) No. Nama Negara 1 Vietnam 2 Myanmar 3 Kamboja 4 Filipina 5 Indonesia Sumber: FAO, 2006 Total (%) Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya 9.5 9.9 11.4 3.0 1.9 16.0 8.8 1.3 1.5 1.0 25.5 18.7 12.7 4.5 2.9 20 Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa kontribusi ekonomi sektor-sektor di bidang kelautan rendah yang diakibatkan dari minimnya wawasan kelautan di kalangan pengambil kebijakan. Kondisi yang sama juga nampak adanya kontribusi ekonomi yang relatif rendah pada sektorsektor di bidang kelautan lainnya apabila dibandingkan potensi yang dimilikinya, diantara sektor-sektor tersebut diantaranya adalah: a. Kondisi pelayaran laut Indonesia saat ini, armada pelayaran masih di dominasi kapal-kapal asing, oleh karenanya azas cabotace seharusnya dilaksanakan secara konsisten. b. Pariwisata bahari masih belum berkembang pesat serta menghadapi hambatan-hambatan yang serius tentang perijinan, seperti CAIT (clearance approval for Indonesian territory), CIQP (custom, immigration, quarantine, and port clearance) oleh instansi terkait. Juga belum tersedianya piranti keras: port of entry/exit, Marina dan mooring bouys, dll. c. Meningkatnya kerusakan tiga habitat pantai (terumbu karang, padang lamun dan mangrove) akibat kurang pahamnya manusia akan peran dan fungsi ekositem tersebut, hal itu menunjukan kurangnya wawasan kelautan. d. Kurangnya perhatian terhadap bidang kelautan maka potensi mineral di dasar laut dan di tanah bawah laut maupun potensi energi dari laut yang hingga saat ini masih belum tersentuh. e. Pelabuhan laut Indonesia yang belum berfungi optimal dan kalah bersaing dengan pelabuhan laut negara-negara tetangga. f. Belum berkembangnya industri maritim seperti pembangunan kapal, mesin kapal. 5.2 Kondisi Sumberdaya Manusia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Unsur penting dalam pembangunan bidang kelautan adalah sumberdaya manusia serta pengembangan ilmu dan teknologi. Unsur ini harus dituangkan kedalam kebijakan kelautan. Sebab daya dukung serta kemampuan manusia dalam mengoperasikan aset-aset kelautan seperti armada pelayaran dan industri maritim sangat menentukan keberhasilan program pembangunan. Pendidikan formal untuk pengembangan SDM dalam bidang perkapalan, kelautan dan perikanan yang dilaksanakan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan, khususnya pada taraf pendidikan tinggi ternyata ada sebanyak 34 perguruan tinggi (negeri dan swasta) yang memiliki nama fakultas. Secara detail data tersebut tertera di bawah ini. 21 Tabel 3. Jumlah Universitas Memiliki Fakultas Perikanan, Ilmu Kelautan, Teknik Perkapalan No Status Nama Fakultas Lokasi 1 Universitas Syiah Kuala Nama Universitas Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Aceh 2 Universitas Riau Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Pekanbaru 3 IPB Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Bogor 4 ITS Negeri Teknologi Kelautan Surabaya 5 Universitas Diponegoro Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Semarang 6 Universitas Hang Tuah Negeri Teknik dan Ilmu Kelautan Surabaya 7 Universitas Hasanudin Negeri Ilmu Kelautan dan Perikanan Makassar 8 Universitas Khairun Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Ternate 9 Universitas Sam Ratulangi Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Manado 10 Universitas Pattimura Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Ambon 11 Universitas Padjajaran Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Bandung 12 Universitas Muslim Indonesia Swasta Perikanan dan Ilmu Kelautan Makassar 13 Universitas Dharma Persada Swasta Teknologi Kelautan Jakarta 14 Universitas Negeri Papua Negeri Manokwari 15 Universitas Brawijaya Negeri Perternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan Perikanan dan Ilmu Kelautan 16 Universitas Lambung Mangkurat Negeri Perikanan Banjarbaru 17 Universitas Mulawarman Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Samarinda 18 Universitas Maritim Raja Haji Ali Negeri Ilmu Kelautan dan Perikanan Tj. Pinang 19 Universitas Muhammadiyah Pontianak Swasta Perikanan dan Ilmu Kelautan Pontianak 20 Universitas Bung Hatta Swasta Perikanan dan Ilmu Kelautan Padang 21 Universitas Satya Negara Indonesia Swasta Perikanan dan Ilmu Kelautan Jakarta 22 Universitas Pancasakti Swasta Perikanan Tegal 23 Universitas Pekalongan Negeri Perikanan Pekalongan 24 Universitas Airlangga Negeri Perikanan dan Kelautan Surabaya 25 Universitas Islam Lamongan Swasta Perikanan Lamongan 26 Universitas Alkhairaat Swasta Perikanan Palu 27 Universitas Haluuleo Negeri Perikanan dan Ilmu Kelautan Kendari 28 Universitas Dayanu Ikhsanuddin Swasta Perikanan dan Ilmu Kelautan Bau bau 29 Universitas Muhammadiyah Luwuk Swasta Perikanan Banggai, Sulteng 30 Universitas Darussalam Swasta Perikanan dan Ilmu Kelautan Ambon 31 Universitas Iqra Buru Swasta Perikanan Maluku 32 Universitas PGRI Swasta Perikanan Palembang 33 Universitas Dharmawangsa Swasta Perikanan Medan 34 Universitas Kristen Palangkaraya Swasta Perikanan Palangkaraya Malang Sumber: Kementerian DIKBUD, 2011 22 Sedang universitas yang menjalankan pendidikan kelautan hanya pada jurusan atau program studi , disajikan pada tabel berikut: Tabel 4. Jumlah Universitas Memiliki Jurusan Perikanan, Ilmu Kelautan No Nama Universitas Status Nama Fak 1 Universitas Sriwijaya Negeri 2 ITB Negeri 3 Universitas Trunojoyo Negeri 4 Universitas Bangka Belitung Negeri 5 Universitas Bengkulu 6 Program Studi Lokasi Matematika dan IPA Pertanian Ilmu Kelautan Palembang Pertanian Teknologi Hasil Perikanan Teknik Kelautan Teknik Sipil dan Lingkungan Pertanian Jurusan Budidaya Perairan Ilmu Kelautan Bandung Madura Perikanan Bangka Belitung Negeri Perikanan, Pertanian dan Biologi Pertanian Ilmu Kelautan Bengkulu Universitas Lampung Negeri Pertanian Budidaya Perairan Lampung 7 Universitas Islam Riau Swasta Pertanian 8 Universitas Malikussaleh Universitas Muhammadiyah Palembang Universitas Abulyatama Negeri Pertanian 11 Universitas Juanda Swasta 12 Universitas Muhammadiyah Sukabumi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Swasta Swasta Pertanian Perikanan Serang Universitas Gadjah Mada Universitas Muhammadiyah Malang Universitas Muhammadiyah Gresik Negeri Pertanian Perikanan Yogyakarta Swasta Perikanan Malang Swasta Pertanian dan Peternakan Pertanian Aquaculture Gresik 17 Universitas Negeri Gorontalo Negeri Pertanian Teknologi perikanan 18 Universitas 45 Makassar Swasta Pertanian Perikanan 9 10 13 14 15 16 Perikanan Riau Budidaya Perairan Swasta Budidaya Perairan Swasta Budidaya Perairan Aceh Aceh Teknologi Hasil Perikanan Pertanian Perikanan Bogor Sumberdaya Perairan Teknologi Perairan Sukabumi Makassar 23 No Nama Universitas Status Nama Fak 19 Universitas Muhammadiyah Makassar Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Universitas Al Amin Swasta Pertanian Universitas Kristen Papua Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Sekolah Tinggi Teknik Kelautan Balik Diwa 20 21 22 23 24 Jurusan Program Studi Lokasi Perikanan Swasta Teknologi Hasil Perikanan Swasta Manajemen Sumberdaya Perairan Pengolahan Hasil Perikanan Sorong Swasta Perikanan Sorong Swasta Teknik Perkapalan Jakarta Swasta Ilmu Kelautan Makassar Budidaya Perairan 25 Universitas Mataram Negeri Teknologi Hasil Perikanan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Agribisnis Perikanan Perikanan 26 Universitas Indonesia Negeri Ilmu Kelautan (S2) Mataram Jakarta Teknik Perkapalan Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011. Dalam rapat-rapat Dewan Kelautan Indonesia dengan para pemangku kepentingan di laut, terungkap dari Badan Kerjasama Pendidikan Tinggi Maritim Swasta Indonesia (BKS PMSI), bahwa sumberdaya manusia di sektor transportasi laut yaitu menyangkut dengan awak kapal, awak industri perkapalan dan awak kepelabuhanan. SDM akan bermutu jika pendidikan yang handal sesuai dengan kompetensi, sehingga SDM yang dihasilkan berkualitas internasional (Standar IMO). SDM untuk transportasi khususnya pengawakan kapal, pada saat ini pelayaran Nasional maupun Internasional membutuhkan ratusan ribu Perwira. IMO (Internasional Maritime Organization) meminta Indonesia menyiapkan (mensuplay) perwira untuk pelayran niaga sebanyak, 24 ribu orang perwira/tahun. Sedang menurut BIMCO/ISF total kebutuhan Pelaut tahun 2010 yaitu perwira 637.000 dan bawahan/anak buah kapal 747.000 orang. Ini merupakan tantangan dan peluang bagi bangsa Indonesia. 24 Lembaga pendidikan pemerintah dan swasta yang telah berpengalaman bertahun-tahun dalam membina pendidikan, mempunyai produktivitas yang rendah untuk meluluskan perwira/crew kapal niaga dengan standard IMO. Ada 19 lembaga pendidikan tingkat Akademi/ Perguruan Tinggi Maritim dan 7 Lembaga Pendidikan Maritim Negeri serta 70 SMK Pelayaran. Keseluruhan lembaga pendidikan tersebut hanya mampu mencetak 1.300 Perwira kapal Niaga. Kementerian Perhubungan memiliki pusat pendidikan dan latihan, yang sesungguhnya badan ini menyiapkan tenaga atau awak kapal bagi pelayaran niaga. Namun demikian badan ini tidak mampu menyiapkan tenaga yang diharapkan untuk memenuhi permintaan internasional. Sampai tahun 2010 badan ini hanya menghasilkan pendidikan pembentukan sebanyak 1.228 orang, pendidikan penjejangan sebanyak 13.962 orang sedang pelatihan ketrampilan khusus pelaut hanya berjumlah 115.030 orang. Dengan demikian kegiatan pendidikan dan pelatihan awak kapal sangat rendah produknya setiap tahun, padahal permintaan pasar dunia sangat besar. Data yang diperoleh dari organisasi pelaut/kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), ternyata jumlah pelaut untuk dalam negeri belum terpenuhi. Secara rinci ketersediaan jumlah pelaut dan kebutuhan untuk lima mendatang disajikan pada tabel berikut. Tabel 5. Perkiraan ketersediaan dan kebutuhan Pelaut dalam pelayaran Domestik Indonesia, periode 2010-2015 (orang) Jabatan Ketersediaan (5 tahun) Kebutuhan (5 tahun) Selisih PERWIRA 7.200 19.500 (-)12.300 BAWAHAN 10.300 25.200 (-)14.900 Total 17.500 44.700 (-)27.200 Sumber: Kesatuan Pelaut Indonesia, 2010 Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Tangkap, serta sekolah-sekolah kejuruan perikanan di Indonesia, menyelenggarakan pendidikan profesi bersertifikat Nasional dan Internasional, sampai tahun 2011 telah meluluskan sebanyak 7696 0rang. Data rinci lulusan sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 ( lihat tabel berikut), rata-rata lulusannya 1283 orang per tahun. Terdiri dari tingkat sarjana 317 lulusan, program D3 sebanyak 83 lulusan sedang tingkat sekolah menengah 780 lulusan, dan hasil pendidikan pelatihan 380 lulusan. 25 Tabel 6. Jumlah Lulusan Pendidikan Kedinasan Kementerian KKP selama 6 Terakhir No 1. Satuan pendidikan 2006 296 2007 309 Tahun Lulus 2008 2009 335 304 Sekolah Tinggi Perikanan 2. Akad. Perikanan 106 78 100 100 Sidoarjo 3. Akad. Perikanan 66 59 97 86 Bitung 4. Akad. Perikanan 48 78 81 84 Sorong 5. SUPM N. Ladong 42 29 24 107 6. SUPM N. Pariaman 78 80 96 80 7. SUPM N. Kota Agung 85 71 71 72 8. SUPM N. Tegal 131 114 118 136 9. SUPM N. Pontianak 82 52 76 94 10. SUPM N. Bone 84 113 113 110 11. SUPM N. Waiheru 80 67 96 104 12. SUPM N. Sorong 84 74 83 92 13. SUPM N. Kupang 14. SUPM Dumai 15. SUPM N. Muhammadiyah Tuban Jumlah 1182 1124 1290 1369 Sumber: Badan Pengembangan SDM Kementerian KP, 2011 Jumlah 2010 327 2011 331 99 97 580 55 90 453 75 77 443 113 90 78 131 85 78 69 84 66 81 72 129 79 82 74 86 44 69 70 381 505 449 759 468 580 490 503 44 69 70 1284 1447 7696 1902 Untuk menghasilkan awak kapal perikanan yang berkualitas seperti yang dituntut oleh Konvensi Internasional mengenai STCW-F 1995, maka penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan awak kapal perikanan harus memenuhi standar yang ditentukan. Kuantitas SDM perikanan memang dari tahun ke tahun cenderung meningkat, namun dari sisi kualitasnya, SDM perikanan hingga kini masih tetap memprihatinkan. Sebagai gambaran pada tahun 2007 jumlah nelayan perikanan laut di Indonesia tercatat sebanyak 2.231.967 orang, sedangkan jumlah pembudidaya ikan (marikultur dan tambak) sebanyak 701.374 orang. Dari jumlah yang besar tersebut ternyata sebagian besar (sekitar 60%) tingkat pendidikannya hanya tamat SD. Disamping itu juga, mereka umumnya tidak memiliki skill atau ketrampilan dengan kualifikasi tertentu. Hal ini jelas menggambarkan bahwa kualitas SDM perikanan Indonesia masih terbatas tingkat profesionalitasnya, sehingga jumlah SDM yang besar tersebut masih menjadi salah satu kendala dalam mengembangkan dan 26 mengoptimalkan sektor perikanan. Akibat lain dari rendahnya kualitas SDM perikanan ini menyebabkan kegiatan usaha perikanan di Indonesia sebagian besar masih tergolong kegiatan usaha padat tenaga kerja, sehingga baik langsung maupun tidak langsung hal tersebut akan memberikan dampak terhadap efisiensi usaha dan daya saing produk yang dihasilkan. Ilmu dan teknologi kelautan di Indonesia pada kondisi kini relatif sangat kurang, indikasinya teknologi industri perkapalan, industri bioteknologi, industri farmasi laut dan insdutri garam masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Riset ilmiah kelautan mempunyai peranan penting dalam menggali potensi kekayaan sumberdaya laut yang kemudian harus dioptimalkan bagi pembangunan nasional, sehingga Indonesia tidak hanya bangga pada status sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumberdaya lam yang besar, tetapi harus benar-benar memanfaatkan kekayaan tersebut untuk kesejahteraan rakyat dan keunggulan bangsa. Oleh karena itu, penyediaan anggaran yang cukup, pembenahan kerja sama dan koordinasi yang baik, serta peralatan yang memadai antara instansi yang terkait mutlak diperlukan dalam melaksanakan riset ilmiah kelautan Indonesia. 5.3 Kondisi Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan Berbagai kegiatan memanfaatkan laut, sektor ekonomi kelautan menjadi sentra dalam pembangunan di bidang kelautan, karena sektor ini sebagai penyumbang utama dalam menentaskan kemiskinan di negeri ini. Membangun ekonomi kelautan sebagai pilar pembangunan nasional tidak akan terluput dari pembangunan infrastrukturnya Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Kondisi infrastruktur di Indonesia pada tahun 2010 jika dikomparasikan dengan negara-negara di dunia, maka Indonesia berada pada peringkat ke 82 dari 139 negara. Hal ini menandakan bahwa infrastruktur di Indonesia masih sangat keterbelakangan. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap biaya produksi. Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktifitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja. 27 Uraian berikut ini mengemukakan kondisi kini pembangunan ekonomi dan infrastruktur kelautan: 5.3.1 Perikanan Sektor perikanan mengalami dilema yang cukup serius, yaitu dari segi PDB memperlihatkan nilai relatif rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lain, apalagi jika di bandingkan dengan negara-negara di Asia. Aspek lain populasi ikan di perairan Indonesia cenderung menurun setiap tahun, indikatornya pada nilai “hook rate” bagi tuna longline hanya 0,3% (sangat rendah), belakangan ini maraknya impor ikan-ikan demersal dan pelagis kecil untuk memenuhi pebrik pengolahan ikan “pindang”. kemudian para nelayan tradisional melakukan penangkapan ikan, dalam 5 tahun belakang ini sudah jauh dari garis pantai. Konsekuensinya biaya operasional mereka bertambah sedang hasil yang diperoleh sangat sedikit. Kondisi demikian nelayan masih terus miskin, kumuh, tertinggal dan umumnya berpendidikan rendah. Sisi lain, banyak kapal-kapal asing melakukan pencurian ikan (illegal fishing) di wilayah perairan Indonesia, selain itu juga keengganan para investor termasuk perbankan untuk melirik laut sebagai sumber kemakmuran bangsa. Interaksi antarpelaku industri belum menguntungkan untuk negara maupun rakyat. Industri perikanan masih lemah dan fragmented belum terintegrasi secara horisontal (antarwilayah dan dengan sektor komplementar) dan belum terintegrasi secara vertikal (hulu-hilir, produksi, pengolahan dan pemasaran baik domestik maupun mancanegara). Disamping itu, ekosistem laut dan pesisir makin terancam akibat perusakan dan pencemaran lingkungan. Rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan daerah terpencil (remote areas) lainnya mengindikasikan ketidakgigihan bangsa Indonesia untuk menjadikan laut sebagai bagian penting kehidupan ekonomi bangsa. Tantangan yang paling mendasar bagi Indonesia untuk membangun sektor perikanan sebagai pilar ekonomi kelautan adalah menyediakan dana investasi yang cukup agar dapat tumbuh secara cepat. Dalam situasi keuangan negara yang relatif terbatas seperti sekarang ini, kiranya sulit mengharapkan pemerintah untuk menjadi investor utama untuk menggerakkan roda perikanan nasional. Alternatifnya adalah mendorong peran para pengusaha nasional dan pengusaha asing dalam pembangunan sektor perikanan. Bagi pengusaha, persyaratan dasar untuk melakukan penanaman modal di suatu perekonomian adalah adanya iklim investasi yang kondusif. Iklim investasi yang kondusif merupakan resultante dari berbagai faktor, 28 seperti kemudahan perizinan, jaminan keamanan hak kepemilikan dan perlindungan HAM, serta ketersediaan infrastruktur bisnis (1) Tangkap Dalam perikanan tangkap, kondisi kini rendahnya produktivitas nelayan. Di satu pihak, terdapat kawasan-kawasan perairan yang stok ikannya sudah mengalami kondisi overfishing, dan sebaliknya masih cukup banyak kawasan yang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum optimal, dan telah terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (seagrass beds), yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Masalah lain yang terkait dengan produksi perikanan tangkap adalah tentang “pencurian” ikan oleh nelayan dan kapal asing. Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh ternyata terjadinya surplus hasil penangkapan ikan ke pihak asing tidak lepas dari peran berbagai pihak, baik pengusaha maupun aparat, melalui beberapa mekanisme sebagai berikut : (1) pihak asing seolah-olah memiliki hutang kepada mitra bisnisnya di Indonesia, melalui putusan pengadilan, pihak asing tersebut diharuskan membayar hutangnya dengan menggunakan kapal ikan eks charter yang izinnya telah habis, (2) kapal ikan eks charter atau kapal yang baru dimasukkan dari luar negeri dikamuflase seolah-olah kapal produksi dalam negeri, (3) pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun transaksi impor tersebut tidak benar-benar terjadi karena tidak melakukan pembayaran, (4) pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan harga yang dibuat semurah-murahnya, dan (5) pengusaha asing seolah mengikuti peraturan menteri di Indonesia dengan membangun tempat pengolahan, namun dalam kenyataannya tempat pengolahan tersebut hanya sebagai ”kamuflase”, ada yang berfungsi namun kapasitasnya jauh lebih kecil dari yang seharusnya, dan ada pula yang tidak berfungsi sama sekali. Hal tersebut ternyata juga telah menyebabkan kerugian negara lebih dari US$ 1,3 milyar per tahun. Aspek lain yang membuat prihatin yaitu banyak sarana dan prasaran pelabuhan perikanan kurang berfungsi, karena alasan teknis. Indonesia sebenarnya bisa menjadi negara industri perikanan terbesar di Asia, karena memiliki potensi industri perikanan Indonesia sangat besar. Armada kapal ikan bermotor yang dapat mencapai ZEEI juga masih sedikit, dan pertambahan kapal ikan sangat kurang berarti 29 dibandingkan dengan ribuan kapal asing yang diduga melakukan illegal fishing di perairan dan yurisdiksi Indonesia. Memang perlu dikaji lebih mendalam untuk penambahan kapal berkapasitas <100 GT sebab harus disesuaikan dengan stock ikan di daerah demersal yang cenderung menurun setiap tahun. (2) Budidaya Kondisi usaha budidaya perikanan juga menghadapi masalah rendahnya produktivitas, yang disebabkan oleh : (1) banyak daerah perairan semi tertutup yang berpotensi untuk budidaya laut belum dimanfaatkan, (2) kompetisi penggunaan ruang (lahan perairan) antara usaha budidaya perikanan dengan kegiatan pembangunan lainnya (pemukiman, industri, pertambangan, dan lainnya) pada umumnya merugikan usaha budidaya perikanan, (3) semakin memburuknya kualitas air sumber untuk budidaya perikanan, khususnya di kawasan padat penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya, dan (4) kemampuan teknologi budidaya sebagian besar pembudidaya ikan masih rendah (3) Industri Farmasetika Laut Alam laut ternyata memiliki hayati laut yang mengandung senyawa bioaktif dan biotoksin yang sangat berpolah. Oleh karenanya yang dimaksud dengan industri farmasi laut adalah pemanfaatan sumberdaya alam hayati laut untuk keperluan khasiat obat (bahan sediaan obat), kesehatan manusia dan kebutuhan kosmetika. Bahan hayati laut tersebut menyangkut dengan fitoplankton, zooplankton, makroalga, mikro alga, porifera, cnidaria, ctenophora, moluska, spons, artopoda, echinodermata, ular laut dan jenis ikan. Pengertian farmasi laut berbeda dengan pengertian teknologi pasca produksi dan bioteknologi. Hal mana teknologi pasca produksi dan bioteknologi lebih ditekankan pada aspek senyawa polisakarida yang direkayasa menjadi bahan konsumsi bernilai ekonomis tinggi dan nilai jual produk lebih tinggi, seperti rumput laut dapat diolah menjadi karagenan, kitin, kitosan, alginat. Disamping itu juga pengolahan Ikan menjadi bahan siap di ekspor, seperti pengalengan, fillet ikan, pengasapan dan sebagainya. Dekade belakangan ini perhatian besar negara-negara industri, seperti Jepang, Jerman dan Cina sudah melirik ke laut untuk pengembangan industri farmasi laut, lebih populer dengan istilah “drugs from the sea”. Hal ini didorong oleh laju percepatan penyakit tumor dan kanker di dunia. Kebutuhan obat antivirus, antitumor, antikanker dan inflamasi. Para peneliti mengakui senyawa aktif di laut memiliki nilai lebih dibandingkan senyawa aktif diperoleh 30 tumbuhan di daratan ditinjau dari aspek reaksi kimia di dalam tubuh manusia. Negara-negara tersebut melihat bahwa di laut, utamanya sumberdaya hayati laut memiliki senyawa aktif (bioaktif maupun biotoksin) yang dapat diekstraksi bagi keperluan sediaan obat. Indonesia terletak di daerah tropis memiliki keanekaragaman hayati berlimpah sehingga dapat dijamin di laut kita terdapat ribuan senyawa bioaktif dan biotoksin. Di samping itu banyak terdapat senyawa kimia dari tubuh organisme laut dijadikan senyawa koloid diperuntukan industri kosmetika. Berdasarkan penelitian, potensi ekonomi dari farmakologi laut diperkirakan US$ 4 milliar /tahun. Potensi tersebut hanya didasarkan pada senyawa murni yang dapat diskrening dari bahan hayati laut. Nilai potensi tersebut dapat berlipat ganda apabila senyawa dikembangkan lewat sintesa lanjut. Namun demikian potensi tersebut hingga kini belum termanfaatkan. Kondisi kini sektor industri farmasi laut belum berjalan, bahkan kegiatan risetnya relatif kurang. Hal ini merupakan tantangan bagi Indonesia yang memiliki mega “bioviversity”. (4) Industri Garam Hingga saat ini produksi garam Indonesia hanya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, sedangkan kebutuhan garam industri harus dipenuhi dari impor. Tingkat produkstivitas lahan pegaraman di Indonesia cukup rendah, rata-rata 60 – 70 ton/hektar/tahun, bila dibandingkan dengan Australia atau India yang dapat mencapai produktivitas diatas 200 ton/hektar/tahun. Kualitas garam yang dihasilkan umumnya juga masih belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Distribusi dan pemasaran garam khususnya garam konsumsi selama ini dirasakan kurang efisien, hal ini disebabkan oleh karena pegaraman berada di pinggir pantai yang lokasinya terpencil (remote) sedangkan prasarana menuju lokasi pegaraman rakyat sangat terbatas, sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya harga yang diterima petani garam, jauh lebih rendah dibandingkan harga di tingkat konsumen. Rendahnya harga di tingkat petani produsen garam akan menurunkan daya tarik bagi produsen garam dalam memproduksi garam sehingga ketergantungan Indonesia kepada garam impor akan semakin tinggi. Ketergantungan pada garam impor khususnya untuk keperluan garam konsumsi sangat tidak mendukung ketahanan nasional karena garam adalah komoditi yang secara terus menerus dibutuhkan oleh seluruh masyarakat sehingga dapat dikategorikan sebagai komoditi strategis. 31 Teknologi pembuatan garam untuk industri belum dimiliki, padahal garam industri harganya lebih baik dari garam konsumsi. Oleh karenanya, dibutuhkan industri pengolahan garam untuk kebutuhan industri lainnya. (5) Industri Mutiara Usaha budidaya mutiara saat ini sangat memprihatinkan karena menemui berbagai persoalan, antara lain kualitas air, perijinan di daerah dan keamanan. Sesungguhnya industri mutiara dapat memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi kelautan dan kebutuhan pasar internasional sangat luar biasa. Untuk itu dalam kebijakan kelautan usaha ini perlu didorong agar bisa tumbuh secara cepat. 5.3.2 Pariwisata Bahari Secara umum pembangunan pariwisata bahari, merupakan bagian dari pembangunan kelautan yang terdiri dari berbagai sektor. Kepulauan nusantara memiliki potensi wisata bahari cukup besar. Saat ini belum digarap dan dikembangkan bagi peningkatan perekonomian nasional. Ciri khas keanekaragaman alam, flora, dan fauna yang tersebar di kepulauan nusantara menjadi sumber potensi bisnis yang bisa dijual dan memberi kontribusi pada pendapatan negara sektor industri pariwisata. Tetapi pada kenyataanya, potensi ini belum dilirik oleh kalangan pengusaha. Sebagian dari mereka belum yakin bahwa bisnis yang dijalankan dengan basis sektor pariwisata ini menjadi peluang bagus dan potensial mendulang uang di masa datang. Potensi obyek wisata bahari ditawarkan dalam bentuk taman nasional laut, taman wisata laut, suaka alam laut, suaka margasatwa laut, dan situs peninggalan budaya bawah air tersebar di wilayah perairan seluas 5,6 juta hektar dan ribuan pulau-pulau kecil. Selain itu wisatawan bahari dengan menggunakan kapal layar pribadi maupun komersial dapat menjangkau pulau-pulau kecil ynag tidak mungkin dijangkau lewat darat atau udara. Hal ini tentu sangat membantu dalam meningkatkan ekonomi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, yang banyak tersebar di seluruh pelosok nusantara. Oleh karenanya pariwisata bahari dapat dijadikan piranti kebijakan untuk percepatan pembangunan utamanya pada wilayah yang bercorak gugus pulaupulau kecil. Hingga saat ini dukungan pemerintah bagi pariwisata bahari masih sangat kurang, akibatnya usaha wisata bahari di hampir semua wilayah perairan Indonesia tidak berkembang dengan baik. Akibatnya, kontribusi wisata bahari terhadap dunia pariwisata di Indonesia secara 32 umum masih sangat minim. Ini berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, dimana industri wisata bahari mampu menyumbang 60% terhadap sektor kepariwisataan karena dukungan pemerintah setempat yang maksimal. 5.3.3. Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah dengan pendekatan penataan ruang yang dititik beratkan pada keserasian dan keseimbangan antara pembangunan wilayah hulu dengan hilir; wilayah daratan (mainland) dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan); serta antara kawasan lindung dengan kawasan budidaya, masih sangat kurang. Polapola pembangunan kawasan pesisir belum terintegrasi dengan pola pengembangan “integrated coastal management”. Kota-kota pesisir banyak yang berperan sebagani pintu keluar (outlet) geografis pemasaran dari barang-barang yang dihasilkan oleh kawasan belakangnya (hinterland), namun kurang didukung oleh prasarana transportasi yang memadai. Akibatnya biaya angkut logistik dari pedalaman menjadi jauh lebih mahal dari biaya yang dikeluarkan dari pelabuhan ekspor ke negara tujuan. Kondisi ini menyebabkan rendahnya daya saing nasional Indonesia 5.3.4. Transportasi Laut Menggeliatnya bidang riil akan berpengaruh terhadap perkembangan usaha transportasi laut karena meningkatnya kegiatan ekspor impor. Bertambahnya jumlah pengguna juga memberikan dampak positif bagi bangkitnya transportasi darat. Setelah lebih kurang empat tahun mengalami stagnasi akibat kondisi perekonomian nasional yang dilanda krisis, para pelaku usaha di bidang transportasi laut boleh menaruh harapan akan bangkitnya kembali bidang ini. Hakikatnya, transport laut merupakan infrastruktur dan tulang punggung kehidupan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Ditinjau dari segi daya saing, pangsa muatan armada kapal nasional sangat rendah. Sistem pelabuhan, saat ini hanya berperan sebagai cabang atau ranting dari Singapura atau pelabuhan luar negeri lainnya serta pelayanannya masih sangat tidak efisien, tidak aman, dan tidak produktif. Disamping itu, fasilitas ekspor – impor masih sangat tidak memadai, padahal Indonesia terletak di kawasan yang secara geografis sangat strategis karena berada di jalur perdangangan internasional dan akses langsung ke pasar global atau internasional, seperti Asia Pasifik, Australia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa. Daya saing sumberdaya manusia pelayaran, baik pelaut maupun sumberdaya manusia di industri pelayaran masih relatif rendah. 33 Untuk menggairahkan transportasi laut perlu diupayakan berbagai kebijakan yang mendukung. Misalnya menetapkan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai international hub port (pelabuhan pengumpul internasional) yang diharapkan bisa mengurangi cost akibat transit di Singapura. Diperkirakan penghematan bisa mencapai US$ 500 juta per tahun. Menurut data statistik Indonesia mempunyai peti kemas 5,3 juta twenty feet equivalent unit's (TEU's) per tahun. Sebanyak 90% dari jumlah tersebut dikirim dulu ke Singapura kemudian baru dilanjutkan ke negara tujuan ekspor. Untuk impor barang pun berlaku hal yang sama. Artinya ada sekitar 9,4 juta TEU's yang keluar dan masuk Indonesia setiap tahun. Dalam kurun waktu tahun 1997-2006 Gross Domestic Product (GDP) sektor transportasi laut terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1997 GDP sub sector transportasi laut mencapai Rp. 3.030 milyar dan pada tahun 2003 diperkirakan akan mencapai Rp. 9.606 milyar atau meningkat sekitar 300 persen. Sub sector transportasi laut merupakan penyumbang GDP ketiga terbesar dalam sector transportasi setelah sub sector transportasi kereta api dan transportasi darat. Untuk melihat lebih jauh mengenai GDP sektor transportasi tersebut dapat dilihat dalam Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Gross Domestik Produk (GDP) Bidang Transportasi Berdasarkan Harga Pasar, 1997-2006 (Dalam Milyar Rupiah) Tahun Transportasi Kereta Api Transportasi Darat 1997 1998 504,0 18.240,0 22.461,0 1999 308,0 Transportasi Laut 3.030,0 4.284,0 Transportasi Sungai, dan Danau Ferry 1.974,0 2.597,0 Transportasi Udara 2.543,0 3.664,0 Jasa Transportasi Total 5.402,0 8.326,0 31.497,0 41.836,0 622,0 20.595,0 5.321,0 2.752,0 3.673,0 9.773,0 42.736,0 2000 709,0 21.637,0 6.913,0 3.396,0 4.288,0 10.968,0 47.911,0 2001 777,0 29.015,0 8.094,0 3.963,0 5.370,0 12.244,0 59.463,0 2002 36.175,0 10.625,0 4.844,0 5.923,0 13.708,0 72.234,0 2003 959,0 1.158,6 39.356,6 11.997,6 2.933,3 7.483,0 16.606,4 62.627,0 2004 1.218,8 43.161,9 12.328,3 3.233,0 9.728,0 18.640,3 88.310,3 2005 1.238,3 58.215,8 13.974,4 3.896,9 11.979,2 20.966,6 110.271,2 2006 1.345,0 81.449,5 16.120,7 4.510,7 14.685,2 24.868,9 142.980,0 Kalau diperhatikan dari Tabel 6 di atas, terlihat bahwa sektor transportasi laut belum menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, padahal kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar merupakan lautan. Kendala yang dihadapi oleh para pengusaha transportasi laut adalah masalah peraturan. Saat ini belum ada peraturan pelayaran 34 nasional yang memadai, sehingga selama ini peraturan internasional dijadikan sebagai acuan. Peraturan inetrnasional tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Selain itu, peraturan di pusat dan masing-masing daerah juga belum ada keseragaman, terlebih sejak pemberlakuan otonomi daerah. Hal ini hendaknya menjadi pemikiran bersama bagi kementerian Perhubungan dan kementerian terkait lainnya, dalam mendukung iklim usaha yang lebih kondusif. Jumlah kunjungan kapal di seluruh pelabuhan mengalami fluktuasi, meskipun secara umum mengalami trend positif. Peningkatan ini terjadi di 25 pelabuhan strategis yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Pada Tabel.7 ditunjukkan bahwa kunjungan dalam kurun waktu 14 tahun terakhir di beberapa pelabuhan strategis telah mengalami peningkatan lebih dari 45 persen. Penambahan jumlah gross ton kapal juga terjadi sama besarnya. Namun secara keseluruhan, jumlah kunjungan kapal yang masuk ke pelabuhan relatif stagnan. Akan tetapi nilai gross ton kapal tersebut mengalami peningkatan lebih dari 50 persen. Ini menunjukkan bahwa ukuran kapal yang berlayar di perairan Indonesia semakin bertambah besar dan nilai perdagangan melalui jasa perhubungan laut semakin meningkat. Tabel 7. Jumlah Kunjungan Kapal di Pelabuhan Tahun 1995-2008 25 Pelabuhan Strategis Tahun Seluruh Pelabuhan Unit GT (000) Unit GT (000) 1995 241 625 376 004 863 672 535 998 1996 161 026 466 967 542 086 674 141 1997 190 504 450 365 505 759 644 999 1998 260 883 495 194 471 807 712 816 1999 263 608 480 972 602 953 746 561 2000 244 270 500 508 665 245 731 851 2001 246 986 500 668 678 234 735 293 2002 335 504 552 800 755 781 909 546 2003 167 978 434 818 713 415 752 059 2004 204 623 435 643 531 250 734 532 2005 335 504 552 800 755 781 909 546 2006 238 448 460 329 509 228 743 463 35 25 Pelabuhan Strategis Tahun Seluruh Pelabuhan Unit GT (000) Unit GT (000) 2007 296 000 430 130 591 278 786 272 2008 352 043 450 399 729 564 822 968 Sumber : Kantor Admistrasi Pelabuhan, 2010 5.3.5 Energi dan Sumberdaya Mineral Hingga akhir tahun 1990-an, kebutuhan bahan energi primer dunia sebanyak 85 persen disuplai oleh bahan bakar fosil, yakni minyak bumi sebesar 40 persen, batubara 25 persen, dan gas bumi 20 persen. Adapun sisanya dipenuhi dari tenaga hidro dan nuklir. Bila konsumsi bahan bakar minyak (BBM) Indonesia diperkirakan naik sekitar 56 persen tiap tahunnya, maka pada awal abad baru nanti Indonesia diperkirakan akan menjadi negara importir neto BBM. Keadaan ini mesti diantisipasi dengan melakukan diversifikasi energi guna mengurangi ketergantungan sumber energi pada BBM dengan memanfaatkan sumber energi alternatif misalnya gas bumi, batu bara, panas bumi, dan air, serta sumber energi nir-konvensional dari lautan seperti OTEC, air pasang , gelombang arus, atau perbedaan salinitas perairan. Oleh karena itu perlu dipikirkan teknologi pemanfaatan sumber energi alternatif lainnya terutama sumber energi dari laut. Kondisi kini sumber energi dari OTEC, gelombang, arus laut maupun angin belum dieksploitasi. Kekayan mineral di dasar dan tanah bawah laut yang terikat dalam “nodules” sangat besar potensinya untuk dimanfaatkan menjadi “high technology industries” seperti: bahan bakar peluncuran setelit ke angkasa luar dan kebutuhan industri “mikro elektri”. Saat ini belum belum ada upaya pemerintah Indonesia untuk eksplorasi dan eksploitasinya. 5.3.6 Industri Maritim Industri galangan kapal, yang sebenarnya sangat strategis karena mempunyai rantai hulu-hilir yang panjang, hingga saat ini belum berkembang. Industri maritim adalah salah satu sektor kelautan yang dapat menjadi sumberdaya ekonomi potensial sebagai penyumbang penerimaan devisa negara. Kegiatan ekonomi industri maritim ini diantaranya adalah yang mencakup industri yang menunjang kegiatan ekonomi di pesisir dan laut, yaitu industri galangan kapal dan jasa 36 perbaikannya (docking), industri bangunan lepas pantai, dan industri pengolahan hasil pengilangan minyak bumi dan industri LNG. Industri maritim sangat berpotensi dalam menjawab tantangantantangan masa depan dan member nilai tambah yang cukup tinggi untuk produk-produk transportasi laut yang menghasilkan tambahan devisa negara. Saat ini, terdapat industri galangan kapal yang mampu membuat berbagai jenis kapal di Indonesia, baik yang merupakan proses alih teknologi maupun kerjasama dengan pihak luar negeri. Tabel 8 berikut ini menyajikan jenis kapal yang telah diproduksi di Indonesia. Tabel 8. Jenis-Jenis Kapal Produksi Dalam Negeri No Jenis Kapal 1 Kapal barang dan semi peti kemas 1500 DWT dan 3650 DWT 2 Kapal barang dengan kombinasi layar dan mesin 1000 DWT 3 Tanker kimia 16000 DWT 4 Tanker minyak 1500 DWT, 3500 DWT, 6500 DWT, 17000 DWT 5 Kapal penumpang & trailer roro 18900 GT 6 Kapal penumpang & mobil roro 200 – 600 GT dan 5000 GT 7 Kapal pemasok anjungan lepas pantai 3000 HP 8 Kapal pesiar penumpang FRP 9 Kapal patrol cepat 8000 HP / 57 m / 30 knot 10 Kapal patrol cepat 2440 HP / 28 m / 30 knot 11 Kapal penangkap ikan 150 GT, 300 GT 12 Kapal tunda 800 HP – 4200 HP 13 Kapal penangkap ikan tuna long-line 14 Kapal penangkap ikan tuna pool & line 15 Kapal penumpang PAX-500 16 Kapal curah (bulk carrier) sampai ukuran 42.000 DWT 17 Kapal LPG kapasitas 5.600 Cbm (cubic meter ) 18 Pusher Tug/ Fire Fitting Tug Boat ukuran 4,200 HP 37 No Jenis Kapal 19 Kapal keruk ukuran 12.000 Ton 20 Reparation floating storage ukuran 150.000 DWT 21 Kapal kontainer (Container Carrie) 600 TEU & 1600 TEU 22 Floating repair 150.000 DWT (Cinta Natomas) Potensi galangan kapal di Indonesia saat ini tercatat ada sekitar 240 galangan kapal, yang sebagian besar adalah galangan kapal dalam skala kecil dan 4 buah galangan kapal milik pemerintah yaitu : PT Dok & Perkapal Kodja Bahari, PT PAL Indonesia, PT Dok dan Perkapalan Surabaya dan PT Industri Kapal Indonesia. Dimana total investasi di sektor industri kapal ini sejumlah kurang lebih 1.426 juta US Dollar dengan menyerap tenaga kerja sebesar 35.000 tenaga kerja. Dengan fasilitas yang dimiliki antara lain : 1. Building Berth ukuran sampai 50.000 DWT 2. Graving Dock ukuran sampai 50.000 DWT 3. Foating Dock ukuran sampai 6.500 TLC 4. Slipway ukuran sampai 6.000 DWT 5. Shiplift ukuran sampai 300 TLC Pada saat ini terdapat sekitar 240 perusahaan galangan dalam negeri yang tersebar di Indonesia, 37% berada di pulau Jawa, 26% di Sumatra, 25% di Kalimantan dan 12% berada di Kawasan Timur Indonesia, dengan kapasitas pembangunan kapal ter-pasang sebesar 140.000 GT per tahun. Namun demikian rata-rata produksi kapal per tahun sebesar 85.000 GT sedangkan rata-rata reparasi kapal baru mencapai 65.000 GT per tahun. Padahal sebenarnya potensi pasar galangan kapal dalam negeri sangatlah besar. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari tingginya kebutuhan angkutan perdagangan internasional dan antar pulau yang mencapai volume 400 juta ton per tahun. Sayangnya, hanya 18,08% yang menggunakan kapal berbendera Indonesia. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan perusahaan pelayaran nasional untuk membeli armada kapal dari galangan kapal dalam negeri. Industri maritim nasional di bidang galangan kapal telah berkembang dan terbagi dalam dua kategori industri, yaitu (i) industri pembangunan kapal, dan (ii) industri pemeliharaan dan perbaikan kapal. Dalam masa 2 dekade terakhir, ratusan hingga ribuan kapal telah dibangun oleh galangan kapal nasional yang meliputi kapal niaga, kapal 38 untuk tujuan tertentu, kapal ikan, dan kapal perang. Dalam konteks pemeliharaan, galangan kapal Indonesia belum mampu melakukan perbaikan kapal dengan ukuran lebih besar dari 20.000 DWT, karena ukuran docking domestik sangat terbatas. Penyebaran lokasi galangan kapal nasional berdasarkan jumlah perusahaan pada masing-masing wilayah di Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Distribusi Lokasi Industri Galangan Kapal No 1 2 3 4 Jenis Industri Galangan kapal Komponen kapal Lepas pantai Pemecah kapal Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua NTT & Bali Total 97 63 65 14 11 7 257 157 41 9 9 4 0 220 10 5 3 1 0 0 19 17 3 0 1 0 0 21 Sumber: Dirjen Hubla, Kementerian Perhubungan (2010) Besar galangan nasional cukup bervariatif, yaitu 65 persen galangan nasional mempunyai kapasitas sampai dengan 500 GT, lebih dari 25 persen berkapasitas antara 501 – 1000 GT dan sisanya berkapasitas antara 1001 – 30.000 GT. Selain industri galangan kapal, terdapat juga industri penunjang yang dapat memberikan kontribusi ekonomi nasional, yaitu pengembangan industri penunjang, seperti pabrikasi bahan-bahan pembangunan kapal, permesinan, peralatan dan komponen lainnya seperti pelat baja, rantai jangkar, tali kabel, jangkar, mesin utama (di atas 500 HP assembling atau diproduksi sebagian), genset, main switch boards, radio, mesin kulkas, hatch cover dan lain sebagainya. Produkproduk yang telah diekspor diantaranya adalah pelat baja, rantai, pressure vessels, heat exchargers dan cat kapal. Industri pelayaran juga memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi kelautan Indonesia. Transportasi laut merupakan bagian dari usaha industri jasa. Penyediaan armada-armada perhubungan laut sudah barang tentu merupakan potensi ekonomi kelautan yang menarik untuk dikembangkan. Pelayaran laut diantaranya meliputi pelayaran dalam negeri, pelayaran luar negeri/samudera dan pelayaran khusus. Secara makro, kontribusi nilai tambah galangan kapal dalam negeri bagi PDB Indonesia baru mencapai 0,034 % dari total PDB. Dengan total nilai investasi sekitar Rp.2,3 triliun dan total nilai produksi kapal sekitar Rp.700 milyar, maka kontribusi tersebut relatif rendah. 39 Sebagai bahan perbandingan, industri sepeda dan komponennya yang relatif tidak memerlukan teknologi canggih dan investasi besar saja mampu memberikan kontribusi sekitar 0,023 % dari total PDB. 5.3.7 Jasa Kelautan Wilayah Indonesia memiliki perairan dalam cukup banyak, seperti di Laut Banda, Perairan sekitar Aceh, di Laut Arafura, Perairan sekitar Kalimantan, di Perairan Sulawesi Utara (dekat Filipina) dan di bagian selatan pulau Sumatera. Kawasan-kawasan itu dapat dijadikan sumber air mineral berkualitas sangat baik untuk kebutuhan air minum manusia, dan produk sampingannya menghasilkan garam dapur dengan kandungan mineral cukup banyak. Kondisi sekarang baru satu industri air minum mineral bersumber dari laut dalam, yaitu berada di Bali. Sesungguhnya potensi kawasan itu di Indonesia cukup banyak, diperkirakan bisa mendidirikan 25 pusat industri air minum bermineral tinggi. Jasa kelautan lainnya seperti benda muatan kapal tenggelam memiliki potensi yang besar dan harus dikelolaa dengan baik sehingga tidak menghancurkan nilai sejarah dari benda-benda purbakala. Pendidikan dan riset kelautan diharapkan mendorong sektor-sektor ekonomi dapat dikembangkan oleh tenaga terampil dan terdidik sehingga dihasilkan terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan memberikan nilai tambah ekonomi bidang kelautan. 40 5.4 Kondisi Pertahanan dan Ketahanan Nasional Indonesia, adalah sebuah negara kepulauan terbesar berbatasan dengan 10 negara tetangga (India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste). Hal ini juga membawa sebuah konsekwensi bahwa laut menjadi kawasan perbatasan atau tapal batas dengan beberapa negara tetangga tersebut. Disamping itu sesuai konvensi internasional, wilayah kita pada alur pelayaran tertentu dapat dilewati oleh kapal asing yang dikenal sebagai Alur Kepulauan Laut Indonesia (ALKI). Kawasan perbatasan tersebut juga menyimpan segudang problematika yang menyentuh banyak aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dalam setiap dimensi keruangan; baik di pesisir, permukaan laut, dasar laut, udara bahkan ruang angkasa di atasnya. Ancaman faktual yang dihadapi saat ini yaitu gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut antara lain : perompakan (Armed Robbery at sea), pembajakan (Piracy), penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing), penyelundupan kayu (Illegal Logging). kejahatan yang tidak mengenal batas negara atau dikenal dengan Transnational Crime/Transnastional Organized Crime (TOC). Dari 8 kejahatan yang dikategorikan TOC, 5 diantaranya dapat terjadi atau dilakukan lewat laut yakni: 1) Peredaran obat terlarang, 2). Penyelundupan/ perdagangan manusia, 3) Perompakan, 4)Penyelundupan senjata dan 5)Terorisme Wilayah-wilayah yang terbuka, terlebih yang berhimpitan dengan choke points dan ALKI ini sangat mudah menjadi sasaran. Bahkan lebih buruk lagi bisa terjadi benturan antara freedom of navigation dan isu kedaulatan di daerah-daerah yang berhimpitan atau menjadi choke points dan ALKI tersebut. Dalam perspektif defence proper, keberadaan ALKI berarti pembagian Indonesia kedalam beberapa kompartemen strategis yang sangat potensial rawan terhadap berbagai ancaman, yang bersumber pada masalah (a) Sea Lines of Communication (SLOC) dan Sea Line of Oil Trade (SLOT), (b) klaim pemilikan pulau-pulau terluar Indonesia, sesuai data ada 92 pulau-pulau kecil dan sekaligus menjadi titik terluar wilayah RI, dimana 12 pulau diantaranya diperkirakan dapat menjadi sumber konflik dengan negara tetangga, dan (c) kehadiran kekuatan Angkatan Laut Asing di Perairan Indonesia, khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapura. Dalam peta perdagangan dunia, wilayah Indonesia menyediakan jalur perdagangan terdekat melalui chokepoints yang menghubungkan antara negara-negara di belahan bumi Utara dan Selatan, Timur dan Barat. Lima dari enam chokepoint vital dalam perdagangan dunia di kawasan Asia berada di Indonesia (lihat tabel dibawah). Dalam teori strategi maritim, blokade Angkatan Laut dapat berbentuk distant blockade, bisa pula berupa close blockade. Dewasa ini, isu blokade masih tetap dikhawatirkan oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan jauh dari wilayah nasionalnya. 41 Di kawasan Asia Pasifik, negara yang paling khawatir akan blokade adalah Cina. Kekhawatiran Cina terhadap blokade adalah blokade jarak jauh melalui pengendalian chokepoint, khususnya Selat Malaka. Tabel 7. World Vital Chokepoint Eastern Mediterranian and Persian Gulf Bosporus Dardanelles Suez Canal Strait of Hormuz Bab el-Mandab Eastern Pacific Europe Africa The Americas Malacca Strait* Great Belt Mozambique Channel Panama Canal Sunda Strait* Lombok Strait* Luzon Strait Singapore Strait* Makassar Strait* Kiel Canal Dover Strait Gibraltar Strait Cabot Strait Florida Strait Yucatan Channel Windward Passage Mona Passage *) Chokepoint yang terdapat di wilayah perairan Indonesia Sumber: ?:….. Saat ini (2010) TNI AL memiliki kurang lebih 148 kapal perang berbagai kelas dan jenis, belum termasuk 2 kapal layar tiang tinggi yang ada di TNI AL, jumlah kapal perang tersebut belum termasuk kapal patroli yang panjangnya kurang dari 36 meter yang biasa disebut KAL atau kapal angkatan laut yang berjumlah 317 unit, sedangkan kapal selam yang masih beroperasi adalah 2 kapal selam KRI Cakra dan KRI Nanggala. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan optimal, maka TNI Angkatan Laut membutuhkan Alutsista yang memenuhi kebutuhan untuk memenuhi peran, fungsi maupun tugasnya, baik di permukaan, bawah air dan udara serta peralatan Marinir, bukan saja dalam jumlah yang memadai, namun juga sesuai dengan operational requirement yang sesuai dengan konstelasi geografi wilayah Indonesia. Berbicara ketahanan nasional tidak terlepas dari kemampuan masyarakat Indonesia untuk menangkal berbagai gangguan dan ancaman dari luar maupun dari dalam. Aspek penting untuk menumbuhkan ketahanan nasional yaitu ketersediaan pangan, energi dan papan. Jika faktor kesejehteraan masyarakat tidak memadai maka akan berakibat negatif pada daya ketahanan nasional. Akhir-akhir ini, isu dan realita yang terjadi di dunia adalah krisis pangan dan energi. Ancaman kekurangan pangan dan energi di Indonesia sudah semakin terasa, banyak rakyat Indonesia ada dibawah garis kemiskinan, akibatnya gejolak sosialmakin terlihat dan membesar. Untuk diperlukan langkah jitu program pembangunan menghadapinya. Disamping itu adanya krisis keuangan di Amerika dan negara-negara di Eropa menyebabkan ekspansi kapital internasional ke negara-negara dunia 42 ketiga (investasi portofolio maupun Foreign Direct Investment). Berkembangnya instrumen investasi baru bagi tujuan akumulasi capital. Ancaman ini harus mendapat perhatian serius karena dapat mengakibatkan ketahanan nasional terancam sehingga diperlukan kebijakan yang terpadu dan komprehensif dalam membela kepentingan nasional. 5.5 Kondisi Kapasitas Pengelolaan Lingkungan dan Penanggulangan Bencana di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kondisi lingkungan pesisir dan laut Indonesia mengalami degradasi karena polusi oleh limbah perkotaan dan limbah industri, siltasi dan sedimentasi yang diakibatkan pemanfaatan dan penataan ruang wilayah hulu yang lemah. Kondisi lingkungan laut semakin rusak disebabkan, antara lain oleh : (1) Land based pollution, terutama akibat limbah rumah tangga yang berasal dari kotakota besar dan pemukiman disepanjang daerah aliran sungai dan sepanjang pesisir. (2) Sea based pollution, yang memberikan kontribusi pada pencemaran laut sebesar 30%, terutama pencemaran akibat limbah industri, tumpahan dan ceceran minyak, dan limbah bahan berbahaya lainnya. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak ramah lingkungan (misalnya: penambangan pasir, dan lain-lain) dan penebangan hutan mangrove telah menyebabkan meningkatnya proses abrasi dan erosi pantai sehingga menimbulkan kerugian yang besar. Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara illegal (IUU Fishing) dan tidak ramah lingkungan telah menyebabkan kerusakan sumberdaya ikan dan terumbu karang. Keberadaan masyarakat adat yang sangat bergantung pada sumberdaya alam dan memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam juga belum dipahami dengan baik. Kearifan lokal sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya alam dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Dinamika laut Indonesia memberikan pengaruh terhadap kondisi lingkungan regional dan global sehingga perlu mendapat perhatian yang memadai, karena selain memberikan dampak terhadap dinamika sumberdaya ikan dan hayati lainnya, juga merupakan bagian dari dinamika masa air samudera besar yang berpengaruh terhadap variabilitas iklim regional dan global. Pengaruh perubahan iklim global yang mengakibatkan kenaikan permukaan air laut perlu dicermati sungguh-sungguh, karena memberikan dampak yang besar bagi ekosistem pesisir dan bagi berbagai aspek kehidupan manusia, seperti pemukiman, kesehatan, infrastruktur, 43 pertanian, kehutanan, dan sebagainya. Dewasa ini Indonesia telah mulai menunjukkan perhatian terhadap pengaruh perubahan iklim terhadap laut atau sebaliknya, khususnya melalui penyelenggaraan World Ocean Conference yang telah melahirkan Manado Ocean Declaration. Usaha tersebut masih belum disertai dengan peningkatan pemahaman pengetahuan tentang upaya-upaya yang telah ada di luar forum perubahan iklim yang telah dilakukan oleh masyarakat kelautan internasional, bahkan sejak lahirnya Deklarasi Rio tahun 1992 beserta Agenda 21 yang pada Bab 17nya telah memuat program aksi di bidang kelautan. Keberadaan Agenda 21 tersebut masih belum digunakan dengan sebaik-baiknya dalam berbagai rencana pengembangan laut. Tatanan geologi kawasan Indonesia yang rumit sebagai akibat dari interaksi 3 lempeng utama, yaitu lempeng Samudera Pasifik yang bergerak ke arah barat, lempeng Samudera India-Benua Australia yang bergerak ke utara, serta lempeng Benua Eurasia yang bergerak ke arah Timur-Tenggara, menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa geologi yang spektakuler Pergerakan lempeng kerakbumi yang saling bertumbukan akan membentuk zona subduksi dan menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, yang akan membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempa bumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu. Oleh karenanya Indonesia merupakan wilayah yang rentang gempa. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam, maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU nomor 24/2007). Besarnya resiko bencana merupakan resultan dari tiga unsur, yaitu: ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian. Saat ini, kondisi pengelolaan mitigasi bencana di laut, pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, seperti yang dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut: 1. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang saat ini dilakukan belum mensinergiskan pengelolaan dampak bencana dan resiko. 2. Upaya mitigasi bencana laut, seperti perangkat sistem peringatan dini, perencanaan tata ruang dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, saat ini berlum berjalan dengan baik dan masih dilaksanakan secara sektoral oleh program kementerian atau lembaga yang bersangkutan. Begitu pula dengan peraturan perundang-undangan mengenai migitasi bencana yang juga masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi. 44 3. Pengetahuan masyarakat mengenai kebencanaan dan perangkat sistem peringatan dini masih sangat minim, sehingga banyak sistem peringatan dini yang dibuat oleh Pemerintah di banyak wilayah rawan bencana tsunami yang hilang atau rusak. 4. Keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan, pemeliharaan dan kepengelolaan kawasan pesisir dan laut dalam rangka mitigasi bencana laut masih rendah. 5. Informasi mengenai potensi bencana di wilayah pesisir dan laut masih sangat terbatas. Riset dan pengembangan teknologi di bidang kelautan juga masih minim, serta teknologi dan manajemen pemeliharan, pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut masih kurang. 5.6 Kondisi Tata Kelola Kelautan Tata kelola kelautan adalah sebuah proses interaksi antara sektor publik dan sektor privat yang dilakukan untuk memecahkan persoalan kelautan dan menciptakan kesempatan sosial-ekonomi di bidang kelautan, seperti peningkatan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, pelestarian sumberdaya dan lain sebagainya. Konsepsi ini menunjukkan bahwa tata kelola memiliki spektrum yang lebih luas di mana persoalan kelautan merupakan persoalan publik yang harus diselesaikan melalui interaksi komprehensif antara sektor publik dan privat, dimana sektor publik biasanya menjadi domain pemerintah sedangkan sektor privat menjadi domain pelaku pemanfaatan sumberdaya kelautan seperti pelaku pelayaran, wisata bahari, energi dan mineral di laut, perikanan, industri maritim, industri farmasi laut dan sebagainya. Semua sektor saat ini belum tertata baik. Uraian dibawah ini secara ringkas mengemukakan kondisi kini tata kelola dari setiap sektor: 1. Tata Pemerintahan Di Bidang Sumberdaya Manusia (SDM) dan Budaya Bahari Pendidikan merupakan unsur penting dalam hal menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Semakin tinggi kualitas pendidikan, maka akan semakin tinggi pula kualitas SDM yang dihasilkan. Pendidikan dasar dan menengah adalah tolak ukur bagi kemajuan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kewenangan pengelolaan ada di pemerintah kota.kabupaten, tetapi kurikulum nasional berpedoman pada pusat yang tidak memprioritaskan pada laut hal pembangunan sektor kelautan. Sedang pendidikan tinggi kewenangan ada dipemerintah pusat, dalam kebijakannya tidak ada grand strategi membuat universitas kelautan. Kebijakan pendidikan disusun oleh unit kerja terkecil/fragmanted, tanpa lintas fungsi. 45 Keterpurukan tata kelola SDM kelautan, disebabkan belum adanya koordinasi antar instansi yang terkait masalah SDM kelautan. Selain itu saat ini belum terciptanya grand design untuk dapat menghasilkan SDM kelautan yang berkualitas dan berkompetensi Kebudayaan merupakan ciri kehidupan masyarakat dari suatu bangsa yang dibentuk oleh sejarah dan terus berlangsung dalam waktu yang lama.. Secara umum nilai-nilai budaya bahari sangat langka ditanamkan kepada masyarakat baik melalui sistem pendidikan maupun kegiatan kemasyarakatan. Kondisi sekarang telah berganti dengan modernitas, akan tetapi budaya lokal masih tetap dijaga dan dilestarikan, meskipun sudah sangat sedikit budaya lokal yang terus dipertahankan. Hanya beberapa kabupaten tertentu yang dengan sadar tetap mempertahankan dan mengembangkan budaya bahari, seperti acara mane’e di pulau Kakorotan (Sulut) yang masih mempertahankan budaya menangkap ikan, perburuan ikan paus di Lamarera (NTT), suku terasing Bajo yang tetap mempertahankan pemukiman di tepian pulau-pulau kecil tanpa merambah ke darat dengan kehidupan bergantung kepada laut. Dengan latar belakang sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, dimana pelaut memiliki jiwa: pemberani, egaliter (tidak bersifat “monarchy”), dan toleransi/kerjasama yang tinggi, seharusnya terpatri pada karakter pemimpin bangsa sekaligus dijadikan jati diri bangsa. Saat ini cerminan budaya bahari di masyarakat Indonesia telah berkurang. Nilai dan perilaku bangsa terutama generasi muda saat ini sudah tidak berjiwa bahari. Untuk itu diperlukan tindakan melestarikan kearifan lokal, sehingga jati diri bangsa tidak akan menghilang pada kehidupan masyarakat. 2. Tata Pemerintahan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menjadi salah satu faktor penentu bagi keberhasilan pembangunan nasional. Oleh karenanya berbagai IPTEK Kelautan sejauh mungkin harus dikuasai. Pengembangan IPTEK perlu memperhatikan aspek-aspek yang terkait meliputi aspek sumberdaya manusia (humanware), organisasi (orgaware), teknologi (technoware) dan luaran yang dihasilkan berbentuk data dan informasi (infoware). Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini keterbatasan IPTEK merupakan kendala dalam pengelolaan sumberdaya kelautan secara optimal. Permasalahan dalam pengembangan IPTEK Kelautan antara lain berkaitan dengan keterbatasan alokasi dana, tenaga ahli, teknologi, dan sistem pendidikan yang belum berpihak kepada IPTEK Kelautan. 46 Aplikasi dari sistem pendidikan adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin maju sistem pendidikan dapat ditunjukan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tersedia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ditandai dengan kemajuan dari bidang riset atau penelitian ilmiah yang dilakukan. Berbagai hasil riset dari pelbagai badan penelitian dan pengembangan suatu kementarian maupun universitas, dalam kenyataan hanya disimpan pada instansi yang melakukannya. Sesungguhnya, hasil kajian dari berbagai kementerian maupun universitas-universitas harus ada bank data dalam suatu badan/lembaga, agar informasi ilmiah tidak membuat kebigungan bagi para penguna data tersebut. Disamping itu data hasil riset seharusnya “link” dengan dunia industri. Dengan demikian tata kelola IPTEK di bidang kelautan perlu di jabarkan pada Kebijakan Kelautan Indonesia, agar pembangunan kelautan dapat berjalan secara maksimal. 3. Tata Pemerintahan Di Bidang Ekonomi Kelautan Sektor pembangunan sebagai pemasok ekonomi negara bersumber dari laut, yaitu perikanan, pelayaran, energi dan mineral laut, pariwisata bahari, industri maritim, industri farmasi laut, industri garam, kota bandar dan jasa kelautan. Agar setiap sektor tersebut dapat berkembang dibutuhkan adanya dukungan yang kondusif dari berbagai sektor lainnya seperti perbankan, infrastruktur, sistem logistik dan perdagangan dan lain lain. Namun dalam kenyataan hingga saat ini masih belum terwujud suatu sistem tata kelola ekonomi kelautan yang mampu memaduserasikan lintas sketor yang memadai. Hal ini salah satunya diakibatkan dari tiadanya kesamaan wawasan kelautan dalam pencabaran visi dan misi pembangunan nasional sebagaimana yang dirumuskan dalam RPJP Nasional 2025. Umumnya sektor-sektor yang diuraikan diatas tata kelolanya belum berjalan baik diperlukan penataan dan regulasi, agar semua kegiatan pembangunan terintegrasi, terpadu dan sinergi dengan pembangunan yang ada di daratan. 4. Tata Pemerintahan di Bidang Lingkungan Laut Ekosistem laut dan pesisir sering menerima ancaman pencemaran dan perusakan lingkungan, baik dari daratan maupun di laut, seperti tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal tanker maupun airballast. Ancaman ini berpengaruh besar terhadap kehidupan hayati di laut. Belakangan ini tiga habitat pantai (terumbu karang, padang lamun dan bakau) telah terjadi kerusakan berat akibat aktifitas di pesisir pantai. 47 Sisi lain, wilayah Indonesia rawan bencana sebagai akibat gerakan lempengan Eurasia dan Australia yang bergerak terus mengakibatkan wilayah pantai terjadi kerusakan, disamping itu oleh adanya gelombang dan arus dibawah permukaan mengakibatkan pengikisan pantai, sehingga mengancam ekosistem pesisir. Selain pertimbangan tersebut, ekosistem laut dan pantai memiliki kemampuan sebagai pengendali efek rumahkaca (adanya kandungan karbon dioksida), sehingga kedua ekosistem itu perlu dijaga dan dikontrol. Ancaman lingkungan yang diuraikan diatas sampai saat ini belum diatur tata kelolahnya, sehingga dalam kebijakan kelautan perlu diwujudkan sinergi antar instansi terkait. 5. Tata Pemerintahan di bidang Keselamatan, Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut Pelayaran merupakan bentuk transportasi massal yang menggunakan laut sebagai medianya dan sangat diminati oleh masyarakat. Masyarakat yang melaksanakan perjalanan antar pulau terutama untuk jarak jauh memilih pelayaran karena pelayaran sangat terjangkau dari segi biaya. Saat ini pelayaran banyak diselenggarakan oleh pihak swasta. Akan tetapi keselamatan pelayaran terkadang menjadi hal yang dianggap tidak penting oleh operator kapal, terutama pelayaran rakyat serta pelayaran antar pulau dengan jarak yang dekat. Sarana penting lainnya dalam sistem keselamatan pelayaran adalah ketersediaan stasiun radio pantai (SROP). Saat ini jumlah SROP hingga tahun 2007 tercatat sebanyak 222 buah. Jumlah ini masih relatif belum sesuai dengan kebutuhan ideal, terutama untuk SROP dengan GMDSS dengan tingkat kebutuhan 84 unit (sementara hingga tahun 2007 baru tersedia 33 unit) dan SROP dengan Mobile Divice dengan tingkat kebutuhan sebanyak 218 (sementara hingga tahun 2007 baru tersedia 150 unit). (Dephub, 2008 ) Armada TNI Angkatan Laut Indonesia masih jauh dari harapan untuk dapat menjadi armada angkatan laut yang kuat dan tangguh. Saat ini kapal perang yang dimiliki angkatan laut tidak sebanding dengan luasnya wilayah lautan yang harus dijaga. Belum lagi kapal-kapal perang yang dimiliki Indonesia rata-rata berumur diatas 50 tahun dan merupakan kapal perang bekas Uni Soviet di era perang dingin. Demikian halnya juga dengan kapal selam. Jumlah kapal selam yang dimiliki Indonesia masih kurang dibandingkan Malaysia yang memiliki wilayah lautan yang lebih sempit dari wilayah Indonesia. Kemudian kekuatan armada polisi air sangat terbatas, bahkan biaya operasional di laut relatif terbatas. Bagaimana mungkin keamanan dan 48 keselamatan di laut yang wilayah jangkauannya luas bisa tercapai berhasil baik. Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas, yaitu Samudera Hindia, Samudera Pasifik, dan Laut Cina Selatan menjadi jalur pelayaran yang sangat penting bagi jalur perdagangan dan pelayaran dunia. ALKI yang menjadi jalur pelayaran bagi perekonomian dunia menjadikannya rentan terhadap kriminalitas yang terjadi dilaut. Selat Malaka menjadi jalur yang berbahaya bagi setiap kapal niaga yang melewatinya. Hingga saat ini banyak terjadi kriminalitas yang dilakukan perompak terhadap kapal-kapal dagang dan kapal yang bermuatan ekonomis lainnya. Meskipun telah dilaksanakan kerjasama antar angkatan laut Indonesia dengan angkatan laut negara lain, akan tetapi kasus perompakan masih sering terjadi. Hal ini dikarenakan luasnya lautan serta minimnya kapal patroli untuk menumpas para perompak. Perdagangan manusia (human trafficking) juga masih menjadi permasalahan, perdagangan manusia lebih banyak dipekerjakan pada sektor informal seperti di tempat hiburan. Hal ini tentunya dapat menurunkan martabat bangsa Indonesia. Umumnya perdagangan manusia dilakukan melalui laut, karena dianggap laut lemah dalam hal pengawasan dari aparat keamanan. Selain perdagangan manusia (human trafficking), narkoba juga masih menjadi pekerjaan bagi aparat keamanan untuk dapat diatasi. Umumnya peredaran narkoba berasal dari negara Malaysia, Cina, Iran, Afrika serta negara timur tengah lainnya. Tata kelola pemerintahan di laut menyangkut dengan Keselamatan, keamanan dan penegakan hukum, dapat dikatakan belum tersedia, padahal banyak peristiwa kriminal dan transaksi ilegal yang terjadi akhirakhir ini. Untuk itu tata kelola perlu dibenahi sedini mungkin, agar wilayah laut kita aman dari segala kondisi berbahaya. 6. Tata Pemerintahan Pusat dan Daerah Bidang kelautan adalah wilayah kerja yang sangat luas, berbagai kementerian maupun swasta terlibat dalam memanfaatkan laut, baik mengestraksi sumberdaya alam laut maupun laut sebagai media penghubung. Sampai saat ini hubungan antar lembaga di pusat kurang harmonis karena masih bersifat ego sektoral. Masing-masing lembaga masih mementingkan kepentingan lembaga mereka sendiri. Hal ini menyebabkan pengelolaan dan pemanfaatan laut hingga sekarang tidak terpadu dan terintegrasi. Meskipun telah dibentuk Dewan Maritim Indonesia pada tahun 1999 yang kemudian diubah nomenklaturnya menjadi Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2007, akan tetapi hal ini belum bisa menciptakan keterpaduan dan integrasi antar lembaga. 49 Desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah juga telah mengakibatkan meningkatnya konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, baik antarwilayah, antara pusat dan daerah, serta antar pengguna. Masih sering terjadi ketidakpaduan antara peraturan daerah dengan peraturan pemerintah pusat. Akibatnya sering terjadi permasalahan di daerah. 5.7 Kondisi Kerjasama Regional dan Internasional. Kegiatan memanfaatkan potensi kelautan tidak akan terlepas dari negara-negara lain, karena wilayah laut berhubungan secara fisik, baik negara tetangga maupun dengan negara jauh dari Indonesia. Sebagai contoh sifat ikan tuna bermigrasi jauh, sehingga kegiatan eksploitasinya berkaitan dengan peraturan perundangan internasional. Oleh karena itu suatu kewajiban untuk aktif dalam kerjasama regional maupun internasional. Beberapa bentuk kerjasama regional yang merupakan implementasi dari konvensi hukum laut internasional antara lain: a. Laut Tertutup dan Separuh Tertutup yang melingkupi Indonesia : 1) Pengembangan kerjasama Laut Cina Selatan 2) Pengembangan Kerjasama Laut Sulawesi 3) Pengembangan kerjasama Laut Arafura 4) Pengembangan kerjasama Laut Timor b. Pengembangan Kerjasama Samudera Hindia 1) IOR-ARC (Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation) 2) IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) 3) IOMAC (Indian Ocean marine Affair Cooperation) 4) CCSBT (Convention on Conservation Southern Bluefine Tuna) 5) Conference (US PACOM MILOPS) c. Pengembangan Kerjasama Samudera Pasifik 1) MHLC (Multilateral Highlevel Conference) / Ratifikasi UNIA-United Nations Implementing Agreement (Hight Seas Fisheries) 2) US-Pacific Command on Military and law Operations 3) ARF (ASEAN Regional Forum) Kerjasama regional dan internasional saat ini, untuk sektor pelayaran Indonesia telah masuk anggota International Maritime Organization (IMO) pada kategori C dan aktif. Dalam sektor perikanan, didasarkan pada UNCLOS’ 1982 pasal 63: mendorong kerjasama pengelolaan fish stock di kawasan ZEE yang berbatasan, dan pasal 64: mendorong kerjasama pengelolaan bagi “highly migratory fish stock” maka tahun 1995 ada suatu kesepakatan, yaitu “UN Implementation Agreement (UNIA)” Agreement for the Implementation of the Provisions of UNCLOS 10 Dec 1982 Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish 50 Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995, Indonesia telah meratifikasi melalui UU No.21 Tahun 2009. Disamping itu ada juga Agreement to Promote Compliance with International Conservatioan and Management Measures by Fishing Vessels on the high Seas 1993 (FAO Compliance Agreement 1993), inti kesepakatan tersebut adalah kapal yang menangkap ikan di laut lepas harus mendapatkan ijin dari negara, diberi tanda kapal tertentu dan negara menjamin kepatuhannya terhadap aturan internasional; Semua kapal yang beroperasi di laut lepas harus mematuhi ketentuan yang ada pada Compliance Agreement ini; Negara bendera harus melaporkan kepada RFMO (Regional Fisheries Management Organization) kapal-kapalnya yang beroperasi di laut lepas. RFMO di sini adalah organisasi perikanan regional yang mempunyai mandat dalam pengelolaan perikanan di laut lepas (high seas) bagi sumberdaya ikan yang mempunyai sifat bermigrasi jauh hingga sampai ke perairan ZEE atau bahkan sampai ke laut teritorial suatu negara. Beberapa RFMO yang ada di dunia dan aktif yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) Indonesia sudah masuk anggota sejak tahun 2007; Convention on Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) Indonesia sebagai anggota sejak tahun 2008; Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) Indonesia hanya sebagai Cooperating Non-Member; Inter-America Tropical Tuna Commission (IATTC) yang mengelola Laut lepas Samudera Pasific Bagian Timur, Indonesia belum masuk sebagai anggota, kemudian International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) yang mengelola Laut lepas Samudera Atlantik , Indonesia tidak aktif dalam organisasi ini. Lingkup negara-negara ASEAN Indonesia cukup berperan aktif bahkan tahun 2011, dalam berbagai forum pertemuan regional ASEAN Indonesia sebagai ketua forum. 51 6. STRATEGI UTAMA PEMBANGUNAN KELAUTAN Untuk menyatukan seluruh modal dasar, potensi dan kekuatan nasional dalam rangka pencapaian visi dan misi pembangunan nasional, perlu disusun strategi utama (grand strategy), yaitu sebagai berikut : 6.1 Ocean Economic Policy (Kebijakan Ekonomi Kelautan) 1. Mengembangkan pembangunan ekonomi kelautan yang berbasis pada sumberdaya alam melalui pola perencanaan pembangunan nasional secara proporsional antara matra darat dan matra laut; 2. Meningkatkan ekonomi kelautan melalui sektor: perikanan; pariwisata bahari; pelayaran; bangunan kelautan, insdustri maritim, energi dan sumberdaya mineral laut; dan jasa kelautan seperti : Air laut-dalam (Deep Ocean Water), perubahan suhu air untuk pembangkit tenaga listrik (OTEC). 3. Mendorong pertumbuhan industri farmasi laut sebagai sumber baru ekonomi kelautan, dan industri garam serta industri mutiara. 4. Mengembangkan kota-kota pesisir menjadi kota-kota “Bandar dunia”, sebagai pusat perdagangan. 5. Mendorong percepatan pembangunan wilayah di kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan untuk meningkatkan ekonomi Nasional. 6.2 Ocean Governance Policy (Kebijakan Tata Kelola Kelautan) 1. Mendorong terbentuknya suatu sistem kelembagaan pemerintahan di laut secara komprehensif dan terintegrasi sejak dari perencanaan, implementasi sampai evaluasi program-program yang diarahkan untuk mencapai sasaran pemanfaatan laut secara keseluruhan 2. Memperkuat sumberdaya manusia untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan di laut yang didasarkan pada peraturan perundangan baik nasional maupun internasional. 3. Meningkatkan tata pemerintahan di bidang ekonomi kelautan, lingkungan laut, Keselamatan, Keamanan Dan Penegakan Hukum dan tata pemerintahan Pusat Dan Daerah. 4. Meningkatkan pengelolaan aset (kekayaan negara) di bidang kelautan berupa pesisir, laut, dasar laut, tanah di bawah dasar laut dan segala kekayaan yang terkandung di dalam/ di atasnya,termasuk keindahan, serta yang tidak terlihat (intangible) seperti rute-rute penerbangan/pelayaran, dan frekuensi radio 5. Mempercepat penyelesaian batas wilayah dan yurisdiksi negara di laut, dengan negara-negara tetangga 52 6.3 Maritime Culture Policy (Kebijakan budaya bahari) 1. Meningkatkan dan menguatkan peranan sumberdaya manusia di bidang kelautan melalui pendidikan dan upaya-upaya lain untuk membangkitkan wawasan dan budaya bahari; 2. Meningkatkan budaya kelautan seperti menjujung tinggi nilai-nilai keuletan, kerja keras, keberanian menanggung resiko (enterpreunership), gotong royong, menghargai perbedaan dan cinta akan lingkungan; 3. Mendorong tumbuhnya kearifan-kearifan lokal sebagai indikator keunggulan dan kekhasan yang dicapai oleh berbagai suku bangsa di Indonesia; 4. Meningkatkan bandarlama sebagai kota pantai yang merupakan perwujudan budaya bahari Nusantara. 6.4 Maritime Security Policy (Kebijakan Keamanan Laut) 1. Mendorong penyediaan fasilitas armada pengawasan termasuk alutsista untuk memperkuat pertahanan di wilayah “maritime boundary” 2. Meningkatkan strategi pertahanan dan keamanan di laut dalam rangka menjaga kedaulautan NKRI; 3. Mendorong percepatan pembangunan wilayah di choke points dan sabuk batas wilayah teritorial Indonesia; 4. Mendorong terbentuknya Indonesian Coast Guard yang kuat dengan memiliki kewenangan dalam Maritime Law Enforcement, Search and Rescue at Sea, Environment Protection, Shipping Safety, Fishery Protection, Custom and Imigration. 5. Mendorong dan peningkatan Indonesia berperan aktif dalam organisasi dunia, seperti ARF (Asean Regional Forum), ADMM (Asean Defence Minister Meeting), ASPC (Asean Political and Security Council), PSI (Prolifereaction Security Initiative) dan CSI (Container Security Initiative). 6.5 Marine Environment Policy (Kebijakan Lingkungan Laut) 1. Mengurangi resiko bencana di pesisir, pencemaran dan perubahan iklim global. 2. Mengembangkan konsep kewilayahan dan tata ruang yang menerapkan prinsip “bioekoregion” gugus pulau; 3. Meningkatkan peran laut sebagai salah satu ekosistem pengendali efek rumahkaca. 4. Mengembangkan pengelolaan sumberdaya alam hayati maupun nir- hayati yang ramah lingkungan serta perencanaan di wilayah pesisir dengan prinsip “coastal zone integrated”; 5. Mendorong terciptanya laut bersih serta laut dijadikan sumber kehidupan bangsa masa kini dan masa depan. 53 6. Mendorong adanya kawasan lindung laut sebagai daerah pengendali populasi hayati yang berperan sebagai sumber pangan. 54 7. KONDISI YANG DIHARAPKAN Dinamika pembangunan baik secara nasional, regional maupun global berubah sangat cepat. Indonesia perlu memiliki pandangan jauh ke depan guna mempertahankan dan mengembangkan kelautan bagi kemajuan bangsa dan negara. Peran laut sangat vital bagi negara kepulauan Indonesia yakni sebagai pemersatu wilayah, politik dan ekonomi. Untuk mewujudkan negara maritim yang kuat sebagaimana uraian visi pada bab terdahulu, maka kondisi yang diharapkan adalah sebagai berikut. 7.1 Wawasan Kelautan Yang Mantap Pemahaman terhadap bentuk fisik, arti, peran dan fungsi laut oleh seluruh masyarakat Indonesia pada berbagai lini sangat diperlukan. Karena pemahaman itu merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu negara kepulauan (archipelagic state). Wawasan kelautan sudah seharusnya ditanamkan pada manusia berusia dini (anak-anak) melalui pendidikan formal maupun non formal. Oleh karenanya pengenalan wilayah Indonesia yang wilayah laut lebih luas dari daratan dan potensi serta kekayaan alam laut yang berpola, harus masuk ke dalam kurikulum nasional. Intinya membangkitkan wawasan kelautan dan budaya bahari dapat dijalankan melalui: 1) Pendidikan dan penyadaran masyarakat melalui semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Oleh karena itu kurikulum pendidikan SD, SLTP dan SLTA wawasan kelautan wajib dimasukan; 2) Menyosialisasikan wawasan kelautan melalui buku-buku bacaan bagi anak-anak tingkat TK, SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi; 3) Melestarikan nilai-nilai budaya bahari serta merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di bidang kelautan; 4) Melindungi dan menyosialisasikan peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi dan konservasi. Mantapnya wawasan kelautan di seluruh masyarakat termasuk para pengambil kebijakan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) akan mempercepat pembangunan kelautan sebagai pilar utama ekonomi bangsa, ketahanan pangan, kekuatan menjaga kedaulatan, mengentaskan kemiskinan, dan peran Indonesia di kancah dunia. 7.2 Pembangunan SDM, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perkembangan perdagangan internasional tumbuh secara cepat hampir tidak terlihat batas (borderless) antar negara, ditandai kebutuhan armada kapal dagang yang berukuran besar untuk memenuhi pengangkutan barang dagangan antar pulau maupun negara, akan 55 berimplikasi pada permintaan tenaga kerja di kapal (awak kapal) akan membesar. Sesuai dengan amanat UUD 1945, yang mewajibkan negara untuk mencerdaskan kehidupan rakyatnya maka pemerintah wajib meningkatkan sumberdaya manusia sesuai standar kompetensi yang dituntu oleh pasar internasional. International Shipping Federation (ISF) sampai pada tahun 2015 memperkirakan dalam memenuhi operasional jasa transportasi laut, dibutuhkan sekitar 400.000 pelaut. (Sumber : Go to sea “ A campaign to attract entrants to the shipping industry” Sambutan Pembuka Sekjen IMO,2007), Diharapkan dalam pada tahun 2015 Indonesia dapat menyediakan sekitar 12.000 pelaut yang dibutuhkan oleh dunia internasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu terbangun 6 Sekolah Tinggi Pelayaran yang merupakan center of excellences berstandar internasional, yaitu di Banda Aceh, Batam, Jakarta, Semarang, Makasar, Bitung, dan Ambon, yang terpadu dengan sistem SMK pelayaran berstandar internasional di kota-kota pesisir. Kebutuhan tenaga di kapal-kapal perikanan internasional setiap tahun meningkat, namun Indonesia kurang mampu bersaing dengan tenaga-tenaga dari Filipina dan Korea. Untuk itu sistem pendidikan bagi para tenaga kapal ikan lebih ditingkatkan agar memenuhi standar internasional Tenaga terdidik yang dibutuhkan hingga tahun 2015 dalam perkiraan kebutuhan SDM untuk sub sektor penangkapan sebanyak 1.020.000 orang, untuk mendukung program minapolitan 3.152.000 orang, penyuluh 12.000 orang, ABK 12.000 orang dan manajer usaha perikanan 3.000 orang. Jumlah total SDM kelautan dan perikanan tersebut sebanyak 4.199.000 orang. (Sumber: BPSDMKP, 2010) Terwujudnya pusat-pusat riset kelautan perairan tropis, bioteknologi kelautan, Farmakologi kelautan, energi kelautan, survey mineral dasar laut yang merupakan Center of Excelences dunia karena terletak di garis khatulistiwa, penuh keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam kelautan, melalui : a. Kerjasama dengan lembaga-lembaga RIPTEK terkemuka di dunia. b. Membangun SDM RIPTEK kelautan melalui pendidikan di dalam dan luar negeri . c. Menyediakan insentif untuk menumbuhkan minat dan budaya RIPTEK kelautan. d. Integrasi kegiatan RIPTEK kelautan dengan kegiatan industri. 56 7.3 Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan 1) Perikanan sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan ekonomi kelautan diharapkan pada tahun 2025 akan mampu mewujudkan kondisi sebagai berikut : a. Meningkatnya kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir; b. Terbangunnya kapal ikan baru dengan ukuran masing-masing ≥ 70 GT sesuai daya dukung alam di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP); c. Terbangunnya kawasan budidaya perikanan (marikultur, payau dan air tawar) yang baru seluas 100.000 Ha yang tersebar di pesisir Timur Sumatera, Selat Karimata, Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Sangihe, Talaud,, Maluku Utara dan Papua Utara, Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makasar; d. Terbangunnya kawasan industri (cluster) pengolahan ikan terpadu dengan pusat-pusat distribusi dan pemasaran pada kawasan-kawasan di pesisir/perairan Barat Sumatera, Selat Karimata, Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku dan Papua, dan di pesisir Timur Sumatera, Selat Karimata, Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Maluku Utara dan Papua Utara, Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makssar. 2) Menjadikan Indonesia menjadi pusat industri kelautan, seperti industri Farmasetika Laut, Industri garam, industri mutiara dan bioteknologi yang berstandar internasional yang bisa memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri. Adapun tolok ukur pencapaiannya adalah : a. Terbangunnya 7 industri farmasi laut yang mampu bersaing dengan industri di negara-negara maju, lokasinya di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Papua, Maluku dan NTB; b. peningkatan kualitas industri garam rakyat menjadi garam untuk kebutuhan industri lainnya, sehingga kebutuhan garam tidak tergantung dari negara lain; c. Terbangunnya pusat-pusat industri mutiara di NTB, Maluku, Bangka Belitung dan Papua; d. Terciptanya industri bioteknologi kelautan yang dapat didayagunakan untuk pengendalian pencemaran/polusi di perairan; dan e. Terciptanya minat industri dan dunia usaha untuk memanfaatkan bioteknologi kelautan dalam mengolah produk-produk industri yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. 57 3) Transportasi laut sebagai industri pelayaran adalah salah satu sektor penting dalam pembangunan ekonomi kelautan diharapkan pada tahun 2025 akan mampu mewujudkan kondisi sebagai berikut : a. Terbangunnya armada pelayaran nasional yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan di dalam negeri dan berdaya saing internasional sehingga dapat berperan fair share, yaitu 40 persen kegiatan ekspor impor. b. Pelayaran rakyat mendapat peranan penting dalam pelayaran nusantara, khususnya dalam sistem distribusi logistik nasional dan angkutan penduduk antar pulau c. Terbangun sekurang-kurangnya 3 pelabuhan hub-internasional yaitu di Sabang, Batam, dan Bitung yang didukung oleh sub-sub syistem pelabuhan di dalam tatanan pelabuhan nasional yang berdaya saing. d. Terbangun 2 kawasan industri galangan kapal utama nasional, yaitu di Batam-Bintan-Karimun dan Bitung, e. Pelabuhan-pelabuhan yang sudah ada juga perlu didorong dengan kualifikasi pelabuhan peti kemas, sehingga dapat menarik investor untuk mendirikan industri dan bisnis lain dengan dukungan hinterland-nya. f. Terbangun 6 Sekolah Tinggi Pelayaran yang merupakan center of excellences berstandar internasional, yaitu di Banda Aceh, Batam, Jakarta, Semarang, Makasar, Bitung, dan Ambon, yang terpadu dengan sistem SMK pelayaran berstandar internasional di kota-kota pesisir. 4) Pariwisata bahari seharusnya menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di bidang kelautan serta menjadi sumber devisa negara. Potensi pariwisata bahari yang sangat besar yakni dari 50 titik wisata bahari dunia yang diakui sebagai tempat wisata terindah bertaraf internasional, tiga titik di antaranya berlokasi di Indonesia yaitu di Tulamben (Bali), Likupang (Sulut), dan Pulau Tomia (Wakatobi). Adanya pengakuan internasional seperti ini jelas merupakan peluang yang besar untuk dapat mengambil keuntungan ekonomi. Tiga lokasi tersebut dapat dijadikan contoh pengembangan wisata bahari di tempat-tempat lain di Indonesia, dengan mengandalkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing tempat. Bila ini dilakukan, tidak mustahil bahwa di masa mendatang wisata bahari akan menjadi salah satu tumpuan dan harapan pembangunan bangsa ini. Pengalaman di berbagai negara maritim menunjukan bahwa pariwisata bahari dapat menjadi tulang punggung pembangunan ekonominya. Atas dasar itu maka Indonesia pada tahun 2025 harus mampu mewujukan kondisi sebagai berikut : Terbangunnya daya saing dari kawasan pariwisata bahari andalan yang telah ada, antara lain: di Pulau Nias, Mentawai, Batam, Bintan 58 Kepulauan Seribu, Krakatau, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang Tritis, Bali, Lombok, Komodo, Moyo, Derawan, Wakatobi, Togean, Bunaken, Banda, Takabonerate, dan Raja Empat. Terbangunnya sarana dan prasarana kawasan pariwsata bahari baru, antara lain: di Pulau Weh, Pulau Banyak, Pulau Enggano, Pulau Rupat, Kepulauan Bangka Belitung, Anambas, Natuna, Roti, Kupang, Lembata, Alor, Banggai, Sangihe, Talaud, Ternate, Biak, dan Mapia Teratasi permasalahan pengembangan pariwisata bahari nasional disaat ini antara lain : a. Prosedur untuk mendapatkan izin masuk CAIT (Clearance Approval for Indonesian Territory) sangat mempersulit wisatawan bahari mancanegara sehingga banyak cruiser/yacht enggan untuk berkunjung ke obyek-obyek wisata bahari Indonesia; b. Pengurusan CIQP masih perlu diperbaiki, utamanya mengenai durasi VoA (Visa on Arrival) maupun visa bisnis yang dinilai masih kurang lama dan tidak konsisten dengan durasi dari CAIT. Para yachter mancanegara menginginkan waktu lebih dari 60 hari agar mereka dapat mengunjungi banyaknya obyek di wilayah nusantara. c. Persepsi keamanan nasional dan pengeolaan kesehatan lingkungan yang buruk d. Belum terjadi kerjasama antardaerah untuk menghimpun events dan objects e. Program APBN/APBD masih terlalu berorientasi pada proyek Economic Overhead Capital (EOC) dan Social Overhead Capital (SOC), belum pada Directly Productive Activity (DPA); f. Belum ada kebijakan sistem prosedur kapitalisasi aset dan dana. Perlu diintegrasikan value engineering untuk mengubah lahan pesisir murah menjadi kawasan budidaya perikanan yang produktif dengan financial engineering melalui kebijakan fiskal, penjaminan kredit, kredit, dan bagi hasil yang adil antara pengelola, karyawan, masyarakat, dan Pemda. g. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sumberdaya kelautan, ditambah dengan beban kemiskinan menyebabkan tingkat kerusakan terumbu karang menjadi besar akibat pemboman dan penggunaan racun ikan. 5) Indonesia dapat menyediakan sumber energi alternatif yang berasal dari laut dengan jumlah yang cukup, berkualitas, yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri, maju dan kuat secara manajerial dan teknologi, yang berbasis kepentingan nasional. Menjadi tolok ukur pencapaian adalah sebagai berikut: 59 1. Terbangunnya industri-industri sumber energi kelautan alternatif sebagai pengganti sumber energi yang berasal dari mineral; 2. terwujudnya kemandirian dalam pengusahaan energi dan mineral melalui peningkatan dan pemanfaatan produksi dalam negeri yang mampu bersaing di pasar global dan; 3. tersedianya infrastruktur yang memadai dalam menunjang terwujudnya pembangunan sarana dan prasarana dalam industri energi alternatif yang berasal dari laut. 6) Terbangunnya 5 industri air mineral bersumber dari air laut dalam di lokasi : Laut Banda, Laut Arafura, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi. Industri yang telah ada di Bali lebih ditingkatkan pemasarannya ke pelbagai negara. 7) Mampu mengeksploitasi sumber mineral di dasar dan tanah di bawah laut di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. 8) Mengatur wilayah untuk keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, sehingga dapat terselenggara pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), serta terjadi kesatuan penanganan yang sinergis, sekaligus mengurangi potensi konflik lintas wilayah dan lintas sektoral 7.4 Memperkuat Pertahanan dan Ketahanan Nasional Tantangan pertahanan dan keamanan yang harus diatasi, selain ancaman perang modern dan terbatas dengan menggunakan alutsista yang canggih, juga meliputi low intensity conflict yaitu gerakan separatisme, terorisme dan gangguan keamanan dalam negeri lainnya; kejahatan transnasional; dan kejahatan terhadap kekayaan negara terutama di wilayah yuridiksi laut Indonesia dan wilayah perbatasan. Permasalahan aktual tersebut segera harus ditangani untuk mencegah eskalasi masalah menjadi ancaman laten yang melemahkan NKRI secara keseluruhan. Kondisi yang diharapkan adalah terkendalinya dan mampu menyelesaikan ancaman aktual keamanan Nasional. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya antara lain : a. Meningkatnya profesionalisme SDM TNI khususnya Angkatan Laut dalam menjaga kedaulatan negara di laut berupa ancaman dari pihak asing. b. Meningkatnya profesionalisme polisi air dalam menghadapi keamanan dan ketertipan masyarakarat pengguna wilayah laut. c. Alutsista adalah sebagai kekuatan utama kemampuan pertahanan yang harus terpenuhi baik kuantum maupun kemajuan teknologi, terutama alutsista pertahanan di laut meliputi kapal perang, kapal selam. Untuk itu diperlukan upaya memodernisasi dan menambah jumlah alutsista TNI untuk pertahanan di laut secara bertahap. 60 d. Keefektifan Lembaga Intelijen dan Kontra Intelijen dalam memberikan informasi terdepan dan terpecaya sebagai bahan pengambilan kebijakan. Berkembangnya masalah-masalah aktual pertahanan dan keamanan pada periode 5 tahun terakhir disebabkan salah satunya oleh belum efektifnya sistem informasi dan peringatan dini yang diberikan oleh lembaga intelijen sedangkan rawannya kepentingan nasional dari penyusupan kepentingan yang tidak bertanggung jawab menunjukan peran kontra intelijen yang belum efektif. e. Terciptanya suatu kerja sama dan terkoordinasi keamanan nasional dalam penyelesaian keamanan, pertahanan dan ketahanan nasional, yaitu keterpaduan kebijakan, perencanaan, program, aksi, akses informasi, dan pengambilan keputusan. Adanya perhatian serius dan langkah tepat untuk menghadapi masalah-masalah seperti: 1. Legalitas latihan militer dan kegiatan inteljen militer asing di Zona ekonomi eksklusif (ZEE) suatu negara. Diperlukan adanya code of conduct mengenai hal ini. 2. Terorisme di laut. 3. Meningkatkan perhatian terhadap Integrated Coastal and Ocean Management (ICOM). 4. Meningkatnya perhatian untuk mencari sumber-sumber energi baru dari laut diluar migas seperti : arus, ombak, OTEC, geothermal, dll. 5. Meningkatnya usaha-usaha pemanfaatan sumberdaya hayati laut (usahausaha bioprospecting) terutama untuk pengobatan, kosmetik dan makanan. 6. Meningkatnya kebutuhan pengembangan Marine Protected Areas (MPA) untuk mempertahankan kelestarian laut dan menjaga kesinambungan ekosistem dan kekayaan kehidupan laut. 7. Munculnya isu tentang IUU fishing, people smuggling, perompakan di laut dan bajak laut, illegal immigrant, dan sebagainya. 8. Belum ada pengaturan tentang pemanfaatan ruang udara di atas permukaan laut teritorial Indonesia, di atas perairan pedalaman dan perairan kepulauan, ruang udara di atas permukaan laut yang merupakan bagian integral dari kelautan. 9. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan khususnya di wilayah pesisir dan laut. 7.5 Pembangunan Ekonomi Kelautan Dengan Memanfaatkan Sumberdaya Laut secara Lestari 1) Perikanan sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan ekonomi kelautan diharapkan pada tahun 2025 akan mampu mewujudkan kondisi sebagai berikut : 61 a. Meningkatnya kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir; b. Terbangunnya kapal ikan baru dengan ukuran masing-masing ≥ 70 GT sesuai daya dukung alam di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP); c. Terbangunnya kawasan budidaya perikanan (marikultur, payau dan air tawar) yang baru seluas 100.000 Ha yang tersebar di pesisir Timur Sumatera, Selat Karimata, Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Sangihe, Talaud,, Maluku Utara dan Papua Utara, Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makasar; d. Terbangunnya kawasan industri (cluster) pengolahan ikan terpadu dengan pusat-pusat distribusi dan pemasaran pada kawasankawasan di pesisir/perairan Barat Sumatera, Selat Karimata, Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku dan Papua, dan di pesisir Timur Sumatera, Selat Karimata, Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Maluku Utara dan Papua Utara, Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makssar. 2) Menjadikan Indonesia menjadi pusat industri kelautan, seperti industri Farmasi Laut, Industri garam, industri mutiara dan bioteknologi yang berstandar internasional yang bisa memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri. Adapun tolok ukur pencapaiannya adalah : a. Terbangunnya 7 industri farmasi laut taraf internasional yang lokasinya di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Papua, Maluku dan NTB; b. Peningkatan kualitas industri garam rakyat menjadi garam untuk kebutuhan industri lainnya, sehingga kebutuhan garam tidak tergantung dari negara lain; c. Terbangunnya pusat-pusat industri mutiara di NTB, Maluku, Bangka Belitung da Papua; d. terciptanya industri bioteknologi kelautan yang dapat didayagunakan untuk pengendalian pencemaran/polusi di perairan; dan e. Terciptanya minat industri dan dunia usaha untuk memanfaatkan bioteknologi kelautan dalam mengolah produk-produk industri yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. 3) Industri pelayaran sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan ekonomi kelautan diharapkan pada tahun 2025 akan mampu mewujudkan kondisi sebagai berikut : a. Terbangunnya armada pelayaran nasional yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan di dalam negeri dan berdaya saing internasional 62 b. c. d. e. sehingga dapat berperan fair share, yaitu 40 persen kegiatan ekspor impor. Pelayaran rakyat mendapat peranan penting dalam pelayaran nusantara, khususnya dalam sistem distribusi logistik nasional dan angkutan penduduk antar pulau Terbangun sekurang-kurangnya 3 pelabuhan hub-internasional yaitu di Sabang, Batam, dan Bitung yang didukung oleh sub-sub syistem pelabuhan di dalam tatanan pelabuhan nasional yang berdaya saing. Terbangun 2 kawasan industri galangan kapal utama nasional, yaitu di Batam-Bintan-Karimun dan Bitung Terbangun 6 Sekolah Tinggi Pelayaran yang merupakan center of excellences berstandar internasional, yaitu di Banda Aceh, Batam, Jakarta, Semarang, Makasar, Bitung, dan Ambon, yang terpadu dengan sistem SMK pelayaran berstandar internasional di kota-kota pesisir. 4) Pariwisata bahari seharusnya menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di bidang kelautan serta menjadi sumber devisa negara. Potensi pariwisata bahari yang sangat besar yakni dari 50 titik wisata bahari dunia yang diakui sebagai tempat wisata terindah bertaraf internasional, tiga titik di antaranya berlokasi di Indonesia yaitu di Tulamben (Bali), Likupang (Sulut), dan Pulau Tomia (Wakatobi). Adanya pengakuan internasional seperti ini jelas merupakan peluang yang besar untuk dapat mengambil keuntungan ekonomi. Tiga lokasi tersebut dapat dijadikan contoh pengembangan wisata bahari di tempat-tempat lain di Indonesia, dengan mengandalkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing tempat. Bila ini dilakukan, tidak mustahil bahwa di masa mendatang wisata bahari akan menjadi salah satu tumpuan dan harapan pembangunan bangsa ini. Pengalaman di berbagai negara maritim menunjukan bahwa pariwisata bahari dapat menjadi tulang punggung pembangunan ekonominya. Atas dasar itu maka Indonesia pada tahun 2025 harus mampu mewujukan kondisi sebagai berikut : Terbangunnya daya saing dari kawasan pariwisata bahari andalan yang telah ada, antara lain: di Pulau Nias, Mentawai, Batam, Bintan Kepulauan Seribu, Krakatau, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang Tritis, Bali, Lombok, Komodo, Moyo, Derawan, Wakatobi, Togean, Bunaken, Banda, Takabonerate, dan Raja Empat. Terbangunnya sarana dan prasarana kawasan pariwsata bahari baru, antara lain: di Pulau Weh, Pulau Banyak, Pulau Enggano, Pulau Rupat, Kepulauan Bangka Belitung, Anambas, Natuna, Roti, Kupang, Lembata, Alor, Banggai, Sangihe, Talaud, Ternate, Biak, dan Mapia 63 Teratasi permasalahan pengembangan pariwisata bahari nasional disaat ini antara lain : h. Prosedur untuk mendapatkan izin masuk CAIT (Clearance Approval for Indonesian Territory) sangat mempersulit wisatawan bahari mancanegara sehingga banyak cruiser/yacht enggan untuk berkunjung ke obyek-obyek wisata bahari Indonesia; i. Pengurusan CIQP masih perlu diperbaiki, utamanya mengenai durasi VoA (Visa on Arrival) maupun visa bisnis yang dinilai masih kurang lama dan tidak konsisten dengan durasi dari CAIT. Para yachter mancanegara menginginkan waktu lebih dari 60 hari agar mereka dapat mengunjungi banyaknya obyek di wilayah nusantara. j. Persepsi keamanan nasional dan pengeolaan kesehatan lingkungan yang buruk k. Belum terjadi kerjasama antardaerah untuk menghimpun events dan objects l. Program APBN/APBD masih terlalu berorientasi pada proyek Economic Overhead Capital (EOC) dan Social Overhead Capital (SOC), belum pada Directly Productive Activity (DPA); m. Belum ada kebijakan sistem prosedur kapitalisasi aset dan dana. Perlu diintegrasikan value engineering untuk mengubah lahan pesisir murah menjadi kawasan budidaya perikanan yang produktif dengan financial engineering melalui kebijakan fiskal, penjaminan kredit, kredit, dan bagi hasil yang adil antara pengelola, karyawan, masyarakat, dan Pemda. n. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sumberdaya kelautan, ditambah dengan beban kemiskinan menyebabkan tingkat kerusakan terumbu karang menjadi besar akibat pemboman dan penggunaan racun ikan. 5) Indonesia dapat menyediakan sumber energi alternatif yang berasal dari laut dengan jumlah yang cukup, berkualitas, yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri, maju dan kuat secara manajerial dan teknologi, yang berbasis kepentingan nasional. Menjadi tolok ukur pencapaian adalah sebagai berikut: 1. Terbangunnya industri-industri sumber energi kelautan alternatif sebagai pengganti sumber energi yang berasal dari mineral; 2. Terwujudnya kemandirian dalam pengusahaan energi dan mineral melalui peningkatan dan pemanfaatan produksi dalam negeri yang mampu bersaing di pasar global dan; 3. Tersedianya infrastruktur yang memadai dalam menunjang terwujudnya pembangunan sarana dan prasarana dalam industri energi alternatif yang berasal dari laut. 64 6) Terbangunnya 5 industri air mineral bersumber dari air laut dalam di lokasi : Laut Banda, Laut Arafura, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi. Industri yang telah ada di Bali lebih ditingkatkan pemasarannya ke pelbagai negara. 7) Mampu mengeksploitasi sumber mineral di dasar dan tanah di bawah laut di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. 7.6 Penanggulangan Kerusakan Lingkungan dan Bencana di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penanggulangan bencana tidak bisa dilakukan hanya dengan cara sporadis atau insidentil, tetapi harus dilakukan secara terencana dengan manajemen yang baik, jauh sebelum suatu bencana menjadi suatu proses yang disebut manajemen atau mitigasi bencana (pengurangan resiko bencana). Salah satu kelemahan pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah tidak mensinergikan pengelolaan dampak bencana dan resiko. Oleh Karena itu nya konsep regulasi pada ekosistem alam harus dipahami. Upaya yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan mengembangkan teknik mitigasi bencana sehingga dapat meminimalkan resiko yang diterima oleh manusia. Beberapa pendekatan mitigasi yang penting adalah pendekatan pengelolaan ekosistem berbasis sumberdaya di wilayah pesisir, pendekatan teknik dan kelembagaan sumberdaya manusia. Dari sini diharapkan resiko yang terjadi dapat diminimalisir bila tidak dapat dihilangkan. Untuk mencapai sasaran pengurangan resiko bencana, arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi pengarusutamaan pengurangan resiko bencana sebagai prioritas pembangunan nasional dan daerah; penguatan kapasitas penanggulangan bencana di pusat dan daerah; optimalisasi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dalam aspek pengurangan resiko bencana; mendorong keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana dan pengurangan resiko bencana; peningatan sumberdaya penanganan kedaruratan dan bantuan kemanusian; serta percepatan pemulihan wilayah yang terkena dampak bencana. Melalui arah kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dukungan bagi peningkatan kinerja penanggulangan bencana, serta peningkatan kesadaran terhadap resiko bencana dan peningkatan pemahaman tentang pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Penanggulangan bencana di laut, pantai dan pulau-pulau kecil yang diharapkan adalah: a. Terciptanya pengelolaan wilayah pesisir terpadu melalui suatu sistem pengaturan mitigasi bencana secara menyeluruh, yang mencakup aspek legal, kelembagaan, mekanisme pendanaan, hingga penyusunan program penanggulangan bencana. 65 b. Upaya mitigasi bencana di laut sangat perlu untuk ditingkatkan, beberapa cara yang dapat ditempuh antara lain adalah: lebih meningkatkan melakukan koordinasi antar sektor terkait; meningkatkan pendataan mengenai potensi rawan bencana; membuat peta bencana dan jenis bencana dan tingkat resiko yang akan terjadi; membuat perencanaan jalur-jalur evakuasi; melakukan sosialisasi kepada masyarakat pesisir tentang dampak bencana di laut sehingga masyarakat dapat menjaga dan memelihara ekosistem laut dan pantai; membuat kebijakan mitigasi bencana di laut secara nasional namun tetap dikhususkan per daerah dengan cara mengakomodir kepentingan, kebutuhan dan karakteristik masing-masing daerah, mengingat setiap daerah memiliki karakteristik dan potensi bencana yang berbeda sehingga membutuhkan penanganan yang khusus pula. c. Pengetahuan masyarakat mengenai kebencanaan dan perangkat sistem peringatan dini lebih meningkat, dengan cara memberikan edukasi kepada masyarakat setempat, sosialisasi dan pelatihan secara kontinyu, yang sebaiknya juga dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. d. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan pesisir menjadi lebih meningkat, dengan cara melibatkan masyarakat, Pemerintah Daerah dan LSM secara aktif dan langsung, melalui sosialisasi yang terintegrasi dan berkesinambungan. e. Berkembangnya database penyimpanan data dan informasi mitigasi bencana di laut, karena data dan informasi tersebut sangat dibutuhkan sebagai bahan acuan untuk sosialisasi dan pembinaan masyarakat pesisir; sebagai data perencanaan mitigasi bencana; serta sebagai data potensi daerah rawan bencana. 7.7 Tata Kelola Kelautan Banyak instansi yang terkait dengan pembangunan kelautan, terkadang egosektoral lebih ditonjolkan ketimbangan pembangunan nasional. Hal ini mengakibatkan banyak kerugian seperti tumpatindi program berakibat “loss money”, pembangunan tidak terarah. Disamping itu ada bagian tertentu tidak ditangani oleh instansi yang ada. Diharapkan keterpaduan dan keserasian serta terintegrasi program pembangunan dibidang kelautan. Untuk itu perlu di bentuk dua badan baru, yaitu pertama, yang menangani keamanan, keselamatan dan penegakan hukum di laut, yakni “coast guard”, badan ini multi fungsi sebagaimana yang ada di negara Amerika, Jepang dan Norway. Kedua, yang menangani bank data kelautan, perencanaan anggaran dan pemanfaatan laut secara komprehensif koordinasi keterpaduan pelaksanaan program pembangunan kelautan serta pengaturan kebijakan monitoring dan evaluasi kebijakan. Badan-badan ini harus ditetapkan melalui peraturan-perundangan sebagai 66 Lembaga Pemerintah Non Kementarian (LPNK) agar peran dan fungsi lebih efektif bagi pelayanan masyarakat dan pembangunan kelautan umumnya. Adanya kedua lembaga ini maka akan terwujud tata kelola laut yang lebih baik dan teratur seperti: 1. Tata Pemerintahan di Bidang Sumberdaya Manusia (SDM) dan Budaya Bahari 2. Tata Pemerintahan di Bidang Keselamatan, Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut 3. Tata Pemerintahan di Bidang Ekonomi Kelautan 4. Tata Pemerintahan di Bidang Lingkungan Kelautan 5. Tata Pemerintahan Pusat dan Daerah 7.8 Peran Aktif Dalam Kerjasama Regional dan Internasional Meningkatnya tuntutan kesejahteraan dan kepentingan ekonomi telah mengubah tatanan dunia yang semula bipolar menjadi multipolar yang terbagi menjadi beberapa kawasan kerjasama ekonomi dan perdagangan. Eropa, Pasifik, Asia Timur dan Asia Tenggara merupakan kawasan yang paling cepat pertumbuhan ekonominya. Kawasan Asia Tenggara terletak pada posisi silang jalur perdagangan internasional yang kaya akan sumberdaya, tenaga kerja dan sekaligus pasar potensial karena berada di jalur pelayaran yang ramai yang melalui Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut China Selatan yang sekaligus juga memiliki potensi konflik dimana untuk menyelesaikannya diperlukan kerjasama regional. 67 8. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELAUTAN 8.1 Kebijakan Pembangunan Wawasan Kelautan a. Membangkitkan wawasan kelautan melalui semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan b. Mewajibkan kurikulum pendidikan formal ada muatan wawasan kelautan dan budaya bahari. c. Melestarikan nilai-nilai budaya bahari, merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal. d. Melindungi peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi dan konservasi. 8.2 Kebijakan Pembangunan SDM, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 1. Meningkatkan kualitas SDM bidang kelautan sesuai standar kompetensi yang diminta dunia internasional. 2. Meningkatkan kuantitas SDM untuk memenuhi permintaan pasar internasional. 3. Meningkatkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi, pusat riset daerah tropis dan pengembangan sistem informasi kelautan. 8.3 Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan 1. Meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir 2. Membangun dan meningkatkan infrastruktur industri pelayaran nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan berdaya saing internasional, seperti armada kapal dan pelabuhan (nasional dan hub internasional) terintegrasi dengan moda transportasi darat. 3. Mengembangkan kawasan industri perikanan berbasis ekonomi rakyat yang secara terpadu dengan pusat-pusat distribusi dan pemasaran. 4. Membangun infrastruktur jalan, air bersih dan listrik di sentra-sentra usaha budidaya, pelabuhan perikanan dan industri perikanan serta revitalisasi saluran irigasi untuk budidaya tambak. 5. Meningkatkan infrastruktur yang ada pada kawasan pariwisata bahari andalan, dan membangun infrastruktur pada kawasan pariwisata bahari baru serta mendorong pembangunan marina dan kota-kota bandar baru. 6. Meningkatkan infrastruktur pada industri garam menjadi garam industri, serta membangun industri farmasi laut dan industri mutiara bertaraf internasional. 7. Meningkatkan sektor pariwisata bahari melalui perbaikan peraturanperundangan (CAIT dan CIQP) yang menyulitkan para wisatawan dengan gunakan kapal cruiser atau yacht. 68 8. Mendorong adanya marina-marina sebagai tempat labuh kapal pesiar. 9. Meningkatkan dan membangun kota-kota bandar lama dan kota bandar baru sebagai pusat perdagangan sekaligus sentra pariwisata. 10. Meningkatkan industri air minum mineral tinggi bersumber dari air laut dalam (deep sea waters). 11. Mendorong percepatan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber energi kelautan alternatif dan terbarukan. 12. Mendorong percepatan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber mineral yang ada di dasar dan tanah di bawah laut “nodules” untuk kebuthan kegiatan “high technology industries” seperti: bahan bakar peluncuran setelit ke angkasa luar dan kebutuhan industri “mikro elektrik”. 8.4 Kebijakan Memperkuat Pertahanan dan Ketahanan Nasional 1. Meningkatkan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan maritim (maritime boundary). 2. Mendorong keterpaduan kebijakan, perencanaan, program, aksi, akses informasi dan pengambilan keputusan instansi yang terkait dalam keamanan dan keselamatan di laut. 3. Mengembangkan sistem monitoring, control dan survaillance (MCS) sebagai instrumen pengamanan wilayah laut dan sumberdaya alam laut. 4. Meningkatkan profesionalisasi SDM TNI-AL, TNI-AU dan POLRI dalam rangka mengantisapi ancaman dan gangguan di Laut NKRI 5. Meningkatkan Alutsista seperti armada kapal perang, skuadron pesawat intai jarak sedsang (tipe CN235) dan keefektifan lembaga intelijen dan kontra intelijen. 6. Membangun pangkalan utama dan pangkalan Aju serta lapangan terbang untuk mendukung pengoperasian di wilayah perairan laut yang rawan dimasuki kapal-kapal asing dan ancaman pada NKRI. 8.5 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan dan Penanggulangan Bencana di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 1. Meningkatkan peran laut dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim global dan ancamannya terhadap pulau-pulau kecil 2. Penguatan Kapasitas Riset dan Informasi tentang lingkungan laut dalam rangka antisipasi perubahan iklim serta adaptasi pada Tingkat Nasional dan Daerah 3. Meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia dalam pengelolaan lingkungan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari dan berkelanjutan. 4. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan kapasitas infrastruktur dalam mengantisipasi bencana alam. 69 5. Meningkatkan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu melalui sistem pengaturan mitigasi bencana seperti aspek hukum, kelembagaan, mekanisme pendanaan dan perancanaan penanggulangan. 6. Meningkatkan pengetahuan masyarakat akan ancaman bencana dan cara mengantisipasinya. 7. Melindungi habitat pantai yang sangat berperan terhadap ancaman bencana, yaitu terumbu karang, mangrove dan padang lamun. 8.6 Tata Kelola Kelautan 1. Mendorong terbentuknya “coast guard” dengan peran multi fungsi dalam kaitannya dengan keamanan, keselamtan dan penegakan hukum di laut. 2. Meningkatkan peran dan fungsi Dewan Kelautan Indonesia akan lebih kuat, besar dan implementatif melalui pembentukan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) atau Sekretariat Dewan kelautan merupakan suatu unit pelaksana teknik di bawah kantor Sekretaris Wakil Presiden. 3. Meningkatkan mekanisme tata pemerintahan di bidang SDM, pengelolaan ekonomi kelautan, pengelolaan lingkungan laut, pengawasan keselamatan dan pengaman di laut serta pemerintahan pusat dan daerah. 8.7 Peran Aktif Dalam Kerjasama Regional dan Internasional. 1. Meningkatkan peran aktif Indonesia dan mendorong menjadi pemimpin pada tataran tingkat regional dan internasional. 2. Mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian kebudayaan dan ekonomi kreatif, TNI-Al dan Polisi Air untuk peran aktif dalam kerjasama regional dan internasional 70 9. PENUTUP Kebijakan Kelautan yang disusun merupakan landasan dalam implementasi pembangunan kelautan yang terintegrasi dalam pembangunan nasional. Dengan ditetapkannya Kebijakan tersebut maka segenap komponen bangsa dan negara melaksanakan pembangunan kelautan mengacu dam berdasarkan sumber hukum yang jelas dan dengan demikian diharapkan terjadi kepastian hukum. Kebijakan Kelautan tersebut merupakan arah dari pembangunan kelautan yang mengantarkan bangsa Indonesia yang mandiri, kuat dan sejahtera. 71