DRAFT PERBAIKAN (2) 1. PENDAHULUAN Letak Indonesia di

advertisement
DRAFT PERBAIKAN (2)
0
1.
PENDAHULUAN
Letak Indonesia di daerah khatulistiwa dengan karakteristik geologi,
geografi, dan lingkungan yang ada, menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang
bukan hanya merupakan daerah berkeanekaragaman hayati (biodiversity) yang
sangat tinggi (megadiversity) di dunia, baik secara fisik ekologis maupun sosiokultural. Oleh karena itu berbagai program pembangunan harus sangat
memperhitungkan secara cermat kerentanan ekologi dan sosial budaya
masyarakat, untuk menjamin keberlanjutannya. Program pembangunan suatu
negara akan berjalan baik jika diawali suatu perencanaan yang baik pula. Biasanya
perencanaan itu diawali dengan visi dan misi yang jelas, kemudian di jabarkan
kedalam suatu kebijakan dan diteruskan ke dalam rencana program
pembangunan.
Kelautan merupakan suatu bidang pembangunan yang sangat luas. Secara
fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar didunia (the largest archipelagic
state), yang mempunyai perairan laut lebih luas dari kontinentalnya, dimana 75,3
% adalah laut dan sisanya daratan. Secara fungsional, yang menjadikan kelautan
sebagai bagian dari urusannya mencakup lebih dari empat belas instansi. Bertitiktolak dari luasnya pembangunan bidang kelautan, maka kebijakan pembangunan
kelautan Indonesia harus dikerjakan secara hati-hati (precautionary approach),
agar terjaga kesinambungan dan tercapai sinergi pelbagai instansi dan sektor yang
terkait serta pelibatan masyarakat.
Mensinergikan kebijakan antar instansi pemerintah baik pusat dan daerah
maupun pemangku kepentingan lainnya, adalah suatu pekerjaan yang tidak
mudah. Koordinasi sering terkendala dengan sikap egosektoral yang masih
melekat di setiap pemangku kepentingan. Dalam rangka mengurangi egosektoral,
kebersamaan orientasi harus diarahkan pada tujuan yang ingin dicapai setiap
sektor adalah sama yakni membangun negara Indonesia di hari esok lebih baik
dari hari ini. Oleh karena itu kepentingan pembangunan semesta nasional
Indonesia harus dikedepankan daripada kepentingan sektoral. Prinsip
mendahulukan kepentingan nasional itu harus dipahami dan dijalankankan oleh
semua pemangku kepentingan, agar pembangunan kelautan dapat menjadi
penggerak utama (major driving forces) pembangunan Indonesia di masa depan.
Sebelum uraian lebih lanjut tentang arah strategi kebijakan kelautan
kedepan, penting bagi kita untuk memahami sejarah perjalanan bangsa Indonesia
menjadi suatu negara yang mandiri dan merdeka. Secara historis ada tiga tiang
utama (tonggak) yang penting dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia yaitu :
(1) Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menunjukkan bahwa
Indonesia mempunyai satu Nusa, satu Bangsa, dan satu Bahasa, ini merupakan
ideologi penyatuan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia; (2) Proklamasi
1
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, dimana rakyat Indonesia yang telah
menjadi satu bangsa, ingin hidup dalam satu kesatuan kenegaraan, yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan (3) Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember
1957 yang menekankan bahwa bangsa Indonesia yang hidup dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia tersebut berada dalam suatu kesatuan kewilayahan
yang berbentuk kepulauan (Nusantara) yang terdiri dari seluruh wilayah darat,
laut termasuk laut antara pulau-pulau, beserta dasar laut dan tanah di bawahnya,
udara di atasnya dan seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya
merupakan suatu kesatuan kewilayahan yang harus dipergunakan bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat Indonesia sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD
1945.
Sejarah telah mencatat, bahwa Indonesia ”pernah” memiliki puncak
kejayaan pada zaman Sriwijaya dan Majapahit sebagai negara maritim terbesar dan
terkuat pada masanya. Keduanya menguasai jalur perdagangan dan perhubungan
laut di seluruh wilayah nusantara, bahkan sampai ke bagian Afrika Selatan dan
Madagaskar. Namun sejarah pula yang menggoreskan bahwa telah terjadi rekayasa
sosial pada masa penjajahan Belanda, sehingga menyebabkan pergeseran kultur
dan struktur bangsa dari Bangsa Bahari ke Bangsa Agraris.
Peristiwa sejarah selama ratusan tahun itu telah menggiring pemahaman
tentang ruang hidup dan cara hidup bangsa yang lebih berorientasi dan
bergantung pada wilayah daratan, bahkan cenderung apriori terhadap laut.
Keadaan tersebut menyebabkan paradigma pembangunan nasional lebih berbasis
daratan (land based oriented). Indonesia harus menggabungkan kekuatan laut dan
darat sehingga menjadi negara yang tangguh dalam kancah persaingan global
sehingga laut harus mendapat perhatian bangsa dan negara secara penuh. ”Laut”
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dapat berperan nyata dan sekaligus pilar
utama bagi masa depan kemakmuran dan kejayaan bangsa. Dalam mencapai
tujuan mulia tersebut, pembangunan kelautan harus memiliki landasan kebijakan
yang kuat yakni Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) yang disusun atas dasar
pengetahuan yang komprehensif dan terukur dalam mengembangkan potensi
sumberdaya dan fungsi laut, mengakomodasi kepentingan pusat dan daerah serta
sektor yang berkaitan dalam pengelolaan pembangunan kelautan untuk sebesarbesarnya bagi kesejahteraan segenap masyarakat Indonesia. Kebijakan tersebut
mendasari setiap tindakan yang dilakukan dalam pembangunan kelautan
berorientasi pada kepentingan nasional yang berdampak nyata dan signifikan
bagi kemakmuran bangsa dan kesejahteraan rakyat baik pada masa kini maupun
masa mendatang.
Ocean Policy berperan memayungi bidang kelautan yang sifatnya lintas
sektoral dan institusi serta terintegrasi dengan daratan. Ocean Policy adalah
kebijakan-kebijakan dalam mendayagunakan sumberdaya, kekayaan yang
dimiliki dan fungsi laut secara bijaksana guna mencapai kesejahteraan
masyarakat. Dengan kata lain, ocean policy merupakan paradigma yang
menempatkan bidang kelautan sebagai arus utama (mainstream) dan bersinergi
2
dengan bidang lainnya dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, ocean
policy secara integral dan komprehensif menjadi payung politik bagi semua
institusi negara dan masyarakat dalam pembangunan bidang kelautan dan
pembangunan nasional.
Pemahaman terhadap makna dan fungsi laut bagi sebuah negara kepulauan
seperti Indonesia merupakan faktor pertimbangan pendukung yang signifikan bagi
perumusan kebijakan terkait. Pertama, laut sebagai wilayah kedaulatan bangsa.
Kedua, laut sebagai suatu ekosistem dengan sumberdayanya. Ketiga, laut sebagai
media kontak sosial, ekonomi dan budaya, Keempat laut memaknai geostrategi,
geopolitik, geokultural dan geoekonomi negara, serta Kelima laut memiliki
karakteristik lingkungan yang khas termasuk potensi bencana alam. Dengan
pemahaman ini diharapkan dapat memberikan sebuah kerangka pemikiran dalam
pemanfaatan sumberdaya dan kekayaannya laut yang komprehensif dan
berdayaguna sekaligus mendukung prinsip pemanfaatan sumberdaya secara
lestari, serta menjalin hubungan antar bangsa secara harmonis terutama dengan
negara-negara tetangga.
3
2.
AZAS PEMBANGUNAN KELAUTAN
Dalam pelaksanaan kebijakan kelautan Indonesia perlu mengadopsi
beberapa prinsip, diantaranya yaitu : (i) pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), (ii) keterpaduan pembangunan (integrated development), (iii)
partisipasi (participation), (iv) pemanfaatan sumberdaya secara rasional (rational
resource use), (v) pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), (vi)
kesejahteraan (welfare), dan (vii) kerjasama (cooperation).
2.1
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan
sumberdaya bagi kehidupan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan
berkelanjutan mengandung aspek : (1) keberlanjutan ekologi: memelihara
keberlanjutan stok/biomasa dan daya dukungnya, serta meningkatkan
kapasitas dan kualitas ekosistem; (2) keberlanjutan sosio-ekonomi:
mempertahankan dan mencapai tingkat kesejahteraan individu maupun
masyarakat yang lebih tinggi serta memperhatikan keberlanjutan
kesejahteraan masyarakat; (3) keberlanjutan komunitas: keberlanjutan
eksistensi komunitas dalam berbagai aspek kehidupan yang berkualitas harus
menjadi perhatian pembangunan yang berkelanjutan; dan (4) keberlanjutan
kelembagaan: menyangkut terbangunnya aturan maupun tatakelola
(governance) yang mampu mengantarkan tercapainya pembangunan kelautan
secara terus menerus antar generasi.
Asas pembangunan berkelanjutan diterapkan agar: (1) pemanfaatan
sumberdaya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati/pulih
(renewable) atau laju inovasi substitusi sumberdaya nonhayati/tidak pulih
(non-renewable)
serta
pemanfaatan
sumberdaya
nonhayati
tidak
menghancurkan kelestarian sumberdaya hayati; (2) pemanfaatan sumberdaya
saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan
generasi yang akan datang atas sumberdaya; dan (3) pemanfaatan sumberdaya
yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan
didukung oleh penelitian ilmiah yang terpercaya.
2.2
Keterpaduan Pembangunan (Integrated Development)
Asas keterpaduan dikembangkan untuk mengintegrasikan perencanaan
maupun kebijakan berbagai sektor pemerintahan dan sektor pembangunan
secara horizontal maupun secara vertikal antara pemerintah dan pemerintah
daerah, serta mengintegrasikan darat dan laut berdasarkan masukan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses
pengambilan keputusan dalam pembangunan kelautan yang berkelanjutan.
Keterpaduan pembangunan tersebut didasarkan pada pengelolaan berbasis
4
keterpaduan ekosistem, keterpaduan antar pemangku kepentingan
(stakeholder), keterpaduan pendekatan keilmuan maupun teknologi,
pengelolaan sumberdaya yang terintegrasi, keterpaduan pembangunan dan
pengelolaan wilayah darat dan laut , keterpaduan geografis serta keterpaduan
pembangunan antar sektor.
2.3
Partisipasi (Participation)
Prinsip partisipasi dimaksudkan: (1) agar seluruh pemangku
kepentingan (stakeholders) mempunyai peran dalam perencanaan,
pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian, sesuai dengan
peran masing-masing; (2) memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui
kebijakan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan
sumberdaya; (3) menjamin adanya representasi pemangku kepentingan dalam
keputusan tersebut; dan (4) memanfaatkan sumberdaya secara adil.
2.4
Pemanfaatan Sumberdaya secara Rasional (Rational Resource Use)
Prinsip ini secara langsung menekankan pada negara untuk
mengadopsi tindakan pengurangan dan penghapusan kegiatan produksi dan
konsumsi yang tidak berkelanjutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia.
Hak negara untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya disertai dengan
tanggung jawab untuk melindungi dan memelihara lingkungan dan
keterpaduan
ekosistem.
Pemanfaatan
sumberdaya
tersebut
juga
mempertimbangkan azas koeksistensi antara sumberdaya pulih dan
sumberdaya tidak pulih sehingga eksploitasi sumberdaya tidak pulih harus
dapat menjaga kelestarian sumberdaya pulih.
2.5
Pendekatan Kehati-hatian (Precautionary Approach)
Berdasarkan Pasal 15 Deklarasi Rio, negara harus menerapkan tindakan
pencegahan sesuai dengan kemampuannya dan mengantisipasi ketidakpastian
ilmiah dari ancaman kerusakan lingkungan. Permasalahan ketidakpastian dan
kerusakan lingkungan akan diperparah dengan perubahan iklim global. Oleh
karena itu, diperlukan tindakan yang terukur untuk mencegah hal-hal yang
dapat merugikan lingkungan laut. Dalam implementasi kebijakan
pembangunan perlu dilakukan secara hati-hati dengan didukung data ilmiah
yang sahih serta melakukan tindakan adaptasi dan mitigasi yang terukur agar
kelestarian lingkungan laut dan keselamatan masyarakat dapat terjaga.
2.6
Kesejahteraan (Welfare)
Pembangunan kelautan diarahkan pada tujuan utama yakni
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, melalui pemanfaatan dan pengelolaan
kelautan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara lestari.
5
2.7
Kerjasama (Cooperation)
Bidang kelautan adalah multisektor (sektor perikanan, sektor
pariwisata bahari, sektor energi dan sumberdaya mineral, sektor perhubungan
laut, sektor industri kelautan, sektor bangunan kelautan dan sektor jasa
kelautan) sehingga perlu kerjasama dalam pengelolaan antar lembaga
pemerintah, swasta dan masyarakat. Indonesia secara aktif melakukan
kerjasama dengan berbagai lembaga baik di tingkat regional maupun
internasional untuk kepentingan keberlanjutan pembangunan kelautan
Indonesia dan internasional.
6
3.
3.1
VISI, MISI, DASAR DAN TUJUAN KEBIJAKAN
Visi Pembangunan Indonesia
Visi adalah suatu pemikiran untuk mencapai suatu cita-cita yang
jauh kedepan dan harus dicapai. Idealisme dan harapan ini mendorong
bangkitnya semangat membangun yang dituangkan kedalam misi, kebijakan
dan program-program pembangunan.
Berdasarkan pada harapan dan
pandangan di atas, maka visi pembangunan Indonesia adalah:
“TERWUJUDNYA INDONESIA SUATU NEGARA MARITIM YANG
MANDIRI, KUAT DAN SEJAHTERA DENGAN MEMAHAMI, MENGELOLA,
MEMANFAATKAN, MENJAGA SERTA MEMELIHARA LAUT SECARA
BERKELANJUTAN ”.
3.2
Misi Pembangunan Kelautan Indonesia
Visi pembangunan kelautan Indonesia mengisyaratkan pandangan
dan harapan masyarakat terhadap peran dan fungsi laut Indonesia. Untuk
mewujudkan visi tersebut di perlukan langkah nyata dalam semua aspek
terkait kekayaan yang terkandung di laut dan pengelolaan sumberdaya
kelautan, baik hayati maupun nir-hayati. Langkah tersebut merupakan misi
pembangunan kelautan Indonesia yaitu Memahami, Mengelola dan
Memanfaatkan, Menjaga dan Memelihara Laut Indonesia serta
Mengikutsertakan dan Meningkatkan peran Indonesia dalam percaturan
kelautan global:
(1) Memahami Laut Indonesia merupakan upaya untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi dan peran laut bagi bangsa
Indonesia yang didalamnya
terkandung kekayaan dan potensi
sumberdaya yang berpolah bagi pembangunan;
(2) Mengelola dan Memanfaatkan Laut Indonesia merupakan upaya
pengelolaan dan pemanfaatan laut secara bijaksana, terpadu dan
berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat;
(3) Menjaga dan Memelihara Laut Indonesia merupakan upaya untuk
menegakkan, mempertahankan, mengamankan, melindungi, memelihara
kedaulatan dan kesatuan politik, ekonomi dan kewilayahan, serta
yurisdiksi di laut berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional
dan hukum internasional;
(4) Meningkatkan Peran Indonesia di tingkat internasional melalui forumforum serta kerjasama regional dan internasional di bidang kelautan, serta
mempromosikan kepatuhan terhadap Konvensi PBB tentang Hukum Laut
1982 dalam hubungan antar Negara, mengembangkan peran aktif dalam
percaturan kelautan global, serta berperan aktif dalam memelihara
perdamaian dunia.
7
3.3
Dasar Penyusunan Kebijakan Kelautan
(1) Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam UUD-1945 telah termaktub dalam Pasal 25 A, bahwa
Indonesia adalah Negara Kepulauan yang mencirikan Nusantara dan batasbatasnya ditentukan oleh Undang-Undang.
Makna pasal tersebut,
mengingatkan kita bahwa Indonesia Negara kepulauan terbesar didunia,
tidak hanya pengakuan internasional tetapi setiap warga Indonesia harus
menyadari dan mewarnai dalam kegiatan pembangunan Indonesia.
Kemudian dalam pasal 33, pada hakekatnya telah mengamanatkan
bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah
Indonesia dikuasai negara dan ditujukan kepada terwujudnya manfaat yang
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah wajib melakukan pengembangan
dan pembangunan kelautan nasional guna memberikan manfaat ekonomi,
sosial dan budaya dalam usaha untuk mengantarkan bangsa menuju
masyarakat Indonesia yang maju, makmur dan berkeadilan. Isi pasal 33 itu
menginsyaratkan bagi para pengambil kebijakan pembangunan, baik
eksekutif, legislatif, yudikatif maupun semua anak bangsa, bahwa kekayaan
yang ada di wilayah alam Indonesia di tujukan pada kesejahteraan
masyarakat dan bangsa.
(2) Deklarasi Djuanda
Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara
Republik Indonesia yang dibacakan oleh Perdana Menteri Ir. H. Djuanda
pada sidang Dewan Menteri pada tanggal 13 Desember 1957, dengan
mempertimbangkan (1) bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara
Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak
tersendiri (2) bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan
negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus
dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat (3) penentuan batas lautan
teritorial seperti yang termaktub dalam artikel 1 ayat 1 “Territoriale Zee en
Maritieme Kringen Ordonantie 1939” Stbl. 1939 No. 442 tidak lagi sesuai
dengan pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan
Indonesia dalam bagian yang terpisah-pisah.
Deklarasi Djuanda telah menjadikan segala perairan yang berada “di
antara dan di sekitar pulau-pulau” Indonesia sebagai bagian dari wilayah
nasional. Perubahan tersebut secara drastis telah merubah arti laut dari
sudut pandangan kolonialisme dengan politik divide et impera-nya, menjadi
alat pemersatu atau penghubung yang melahirkan satu kesatuan yang bulat
antara unsur-unsur tanah dan air. Konsepsi kewilayahan yang dikenal sebagai
Wawasan Nusantara tersebut kemudian disahkan dalam bentuk Peraturan
8
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 4 tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia.
Konsepsi kewilayahan sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Djuanda
tersebut berdasarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/73 telah ditetapkan sebagai
wawasan dalam mencapai pembangunan nasional dan disebut sebagai
Wasasan Nusantara, yang mencakup perwujudan nusantara sebagai satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Hakekat Negara kepulauan sebagai mana dituangkan ke dalam Deklarasi
Djuanda telah diperkuat lagi dengan dimasukannya ke dalam ketentuan
Pasal 26, Bab IX A Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa
“Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batasnya dan hak-haknya
ditetapkan dengan undang-undang.”
Negara kepulauan yang berciri nusantara memberi makna bahwa
pembangunan Indonesia seharusnya berorientasi pada “marine based”
dengan memperhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pulau-pulau dan
wilayah perairan (laut) yang luas beserta sumberdaya alam yang terkandung
didalamnya. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke IV) menyatakan
bahwa: ……sebagai kesatuan kewilayahan yang harus diperuntukan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia sesuai dengan amanat.
Bertolak dari Deklarasi Djuanda 1957 dan Pasal 26, Bab IX A UUD 1945,
maka luas wilayah laut yang berada dibawah kedaulatan dan yurisdiksi kita
menjadi 5,9 juta km2 atau bertambah luas hampir 12 kali lipat, yang terdiri
dari laut territorial 0,3 juta km2 , perairan kepulauan 2,9 juta km2 dan ZEEI
2,7 juta km2. Dengan begitu luasnya wilayah perairan laut Indonesia, maka
penyusunan Kebijakan Kelautan harus lebih memperhatikan pendekatan
kewilayahan dan ruang serta pengelolaan sumberdaya kelautan didasarkan
pada konsep geopolitik dan geostrategi sebagaimana tertuang dalam
Wawasan Nusantara, yang memandang seluruh wilayah daratan, lautan dan
udara di atasnya, segenap penduduk, serta seluruh sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya sebagai satu kesatuan yang terpadu.
(3) Konvensi Hukum Laut 1982 jo. UU No. 17 Tahun 1985
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dalam upaya
memperoleh pengakuan dari dunia internasional telah dilaksanakan
perjuangan yang terus menerus di forum internasional dan regional. Dalam
konferensi PBB tentang Hukum Laut III pada tanggal 30 April 1982 di New
York telah berhasil menyusun United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS) 1982, yang kemudian ditandatangani oleh 111 negara termasuk
Indonesia pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. UNCLOS
1982 ini berlaku di seluruh dunia pada tanggal 16 November 1994 setelah
tercapai jumlah minimal 60 negara yang meratifikasinya.
9
Melalui UU No. 17 tahun 1985, Indonesia telah meratifikasi UNCLOS
1982 atau juga dikenal sebagai Konvensi Hukum Laut (HUKLA) 1982. Hal ini
berarti bahwa seluruh perangkat peraturan perundang-undangan nasional
yang sudah ada atau yang akan disusun, harus mengacu pada konvensi
tersebut. Sejak diberlakukannya Konvensi HUKLA 1982 secara resmi pada 16
November 1994, maka wilayah Indonesia, yang dideklarasikan pada tanggal 13
Desember 1957 telah diterima menjadi bagian dari hukum laut internasional
(UNCLOS, 1982), dan dengan demikian secara internasional Indonesia diakui
sebagai suatu negara kepulauan dengan segala hak dan kewajiban yang
melekat padanya. Letak geografis Indonesia yang berada di khatulistiwa serta
di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis bagi hubungan
antarbangsa di dunia.
Konvensi tersebut memuat 9 buah pasal mengenai perihal ketentuan
tentang Prinsip “Negara Kepulauan”. Salah satu pasal dalam prinsip Negara
Kepulauan tersebut menyatakan bahwa laut bukan sebagai pemisah,
melainkan sebagai piranti yang menyatukan pulau-pulau yang satu dengan
lainnya. Prinsip-prinsip tentang fungsi laut sebagai alat pemersatu atau
fungsi laut sebagai faktor integritas wilayah inilah yang kemudian hari
menjadi wawasan kebangsaan negara Indonesia yaitu yang dikenal dengan
Wawasan Nusantara.
(4) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
Pembangunan Nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan
pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat
kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya
tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya.
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 merupakan
kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan
pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, dalam 20
tahun mendatang, sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia
untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di
bidang pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, lingkungan laut
dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar
10
ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat
di dalam pergaulan masyarakat Internasional.
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah
menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang
meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek), politik, pertahanan dan keamanan,
hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan
sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan
lingkungan hidup. Namun demikian, masih banyak pula tantangan atau
masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, salah satu yang utama adalah
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang belum
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi karena beberapa hal, antara lain,
(1) belum adanya penataan batas maritim; (2) adanya konflik dalam
pemanfaatan ruang di laut; (3) belum adanya jaminan keamanan dan
keselamatan di laut; (4) adanya otonomi daerah menyebabkan belum ada
pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan; (5)
adanya keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelola
sumberdaya kelautan; dan (6) belum adanya dukungan riset dan ilmu
pengetahuan dan teknologi kelautan. Padahal berdasarkan fakta dan
dinyatakan pula dalam UUD 1945 perubahan Pasal 25A bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang sebagian besar
wilayahnya merupakan perairan laut.
Salah satu misi dalam RPJP Nasional yang menjadi rujukan bagi
pengembangan bidang kelautan adalah misi ke 7 dan ke 8, yaitu Mewujudkan
Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional, dan Mewujudkan Indonesia berperan
penting dalam pergaulan dunia internasional.
3.4
Tujuan Kebijakan Kelautan Indonesia
Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia yang usianya
telah mencapai 67 tahun, hingga saat ini belum memiliki “Ocean Policy” atau
kebijakan kelautan. Padahal konsep kebijakan tersebut sangat dibutuhkan
untuk mengarahkan keterpaduan pembangunan di bidang kelautan. Tanpa
adanya arahan tersebut maka pembangunan di bidang kelautan yang
melibatkan banyak pemangku-kepentingan, semakin tidak terpadu sehingga
memboroskan penggunaan sumberdaya nasional, yang semakin menjauhkan
pada pencapaian misi dimaksud.
Bertolak dari hal-hal diatas, maka penyusunan Kebijakan Kelautan
Indonesia (KKI), bertujuan mensinergikan dan mengharmonisasikan berbagai
kepentingan dari para pemangku-kepentingan dalam pembangunan kelautan.
Kebijakan tersebut merupakan acuan dan arahan pembangunan semesta
Indonesia, baik jangka pendek, menengah maupun panjang dalam kerangka
besar mengukir masa depan bangsa (reframing the future). Dengan
11
demikian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan serta fungsi
laut dapat dilaksanakan secara holistik mensinergikan semua sektor yang
berkaitan dengan pembangunan nasional. Prinsipnya satu sektor dan sektor
lainnya baik yang memanfaatkan sumberdaya daratan, laut dan udara saling
melengkapi dan mendukung sehingga menghasilkan pemanfaatan pada
tingkat optimal dari sumber kekayaan nasional dalam mendukung
pembangunan kelautan nasional demi kesejahteraan bangsa Indonesia.
Inti penyusunan kebijakan diarahkan pada: (1) pemanfaatan
kekayaan dan potensi SDA untuk sebesar-besar kepentingan rakyat; (2)
Kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-seorang, sesuai
demokrasi ekonomi yan berwawasan sosial ; (3) Kepentingan nasional adalah
utama, tanpa mengabaikan kepentingan global.
3.5
Sasaran Kebijakan Kelautan Indonesia
Sasaran Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesia’s Ocean Policy) adalah:
1. Meningkatkan wawasan kelautan dan budaya bahari agar seluruh
masyarakat mengetahui peran dan fungsi laut serta kewajiban dan
tanggung jawab negara Indonesia menjalankan pembangunan kelautan
sesuai peraturan perundangan nasional dan internasional.
2. Mengembangkan jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua
pulau dan kepulauan Indonesia.
3. Meningkatkan dan menguatkan kapasitas sumberdaya manusia di bidang
kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
4. Menetapkan dan menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan
negara.
5. Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan
pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
6. Mengurangi resiko bencana di laut, pesisir dan pulau-pulau kecil serta
ancaman pencemaran laut.
7. Memperbaiki sistem dan tata kelola kelautan (ocean governance).
8. Memajukan peran aktif dalam melakukan kerjasama regional dan
internasional.
12
4.
PERKEMBANGAN KELAUTAN INDONESIA
4.1
Periode Sebelum 1944
Sejarah Nusantara dimulai dengan adanya para cendekiawan India yang
menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa
dan Sumatera sekitar 200 SM. Pada abad ke-5 berdiri dua kerajaan bercorak
Hinduisme: Kerajaan Tarumanagara yang menguasai Jawa Barat dan Kerajaan
Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425 agama Buddha
telah mencapai wilayah tersebut. Cikal bakal kejayaan bangsa Indonesia telah
terjadi pada jaman kerajaan Sriwijaya di abad ke 7 dan 8 saat Sriwijaya
dianggap ancaman oleh negara Kambodja dan disebut sebagai “Maharaja”.
Zaman Kerajaan Sriwijaya yang merupakan suatu negara maritim yang
besar dan kuat. Mereka menguasai perdagangan di Selat Malaka dan bahkan
mampu menerobos sampai ke Afrika Selatan dan Madagaskar. Semua kapal
dagang yang melewati selat Malaka harus membayar upeti dan bagi yang
membangkang kapalnya akan diserang dan ditenggelamkan. Dari hasil upeti
tersebut, Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan yang kaya raya. Puncak
kejayaan Sriwijaya adalah sekitar abad-9, yakni pada masa pemerintahan Raja
Balaputradewa yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan rajaraja dari Mataram (keturunan Syailendra).
Sejarah juga mencatat bahwa Kerajaan Majapahit (abad ke 13 dan 14
yaitu pada tahun 1251-1459 Masehi) di P. Jawa dengan Raden Wijaya yang
bergelar Sri Kertanegara Jayawardhana sebagai Raja Majapahit pertama telah
berkembang dan mencapai kebesarannya pada saat pemerintahan Raja Hayam
Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada memegang kekuasaan pada pertengahan
abad 14. Sebagian besar wilayah Nusantara dapat ditaklukkan. Bahkan
pengaruhnya sampai ke Malaysia dan Singapura, meskipun tidak menguasai
kerajaan Sunda di Jawa Barat. Untuk mengawasi daerah kekuasaannya
Majapahit membangun armada laut yang sangat kuat, yang digunakan untuk
mengawasi perdagangan dan lalu lintas pelayaran di wilayah Nusantara.
Kebesarannya tidak hanya diakui oleh kerajaan-kerajaan Nusantara saja, tetapi
juga sampai ke daratan Asia. Kepiawaian Mahapatih Gajah Mada dalam
menyusun strategi perang laut menjadikan angkatan laut Kerajaan Majapahit
disegani ketangguhannya dan tak ada tandingannya di Asia Tenggara.
Dalam periode inilah bermunculan kekuatan bidang kelautan
Indonesia, termasuk kendali pelaut-pelaut Bugis atas wilayah perairan di
Samudera Hindia. Periode ini adalah masa kejayaan maritim (seapower),
sehingga masyarakat Indonesia menyadari bahwa “nenek moyang
Indonesia”adalah bangsa pelaut. Semangat ini yang harus kita
implementasikan dalam mengapai cita-cita negara Kepulaun yang besar,
mandiri, kuat dan dihormati dunia.
13
4.2
Periode 1945 – 1965
Setelah resmi menjadi satu negera yang mandiri dan merdeka,
nampaknya pemerintah Indonesia
melihat bahwa selain potensi SDA
sumberdaya alam di daratan, ternyata potensi yang ada di perairan laut dapat
menjadi pilar ekonomi nasional. Disamping itu, alat perhubungan utama
antar pulau maupun antar negara adalah laut. Diwaktu itu transpor lewat
udara belum begitu populer.
Periode ini merupakan era Soekarno-Hatta, saat itu dalam kabinet
pemerintahannya telah ada Menteri Koordinator Maritim. Tugas utama
mengatur perhubungan laut dan pengelolaan sumberdaya alam untuk
kemakmuran bangsa. Pada periode ini aspek kelautan kurang diperhitungkan.
Jumlah penduduk yang masih sedikit dan kekayaan sumberdaya alam yang ada
di daratan masih melimpah ruah, menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Dengan demikian, perkembang kelautan khususnya memanfaatkan laut
sebagai lumbung pangan dan pemasok ekonomi bangsa kurang mendapat
perhatian. Fokus utama menteri koordinator Maritim adalah memperkuat
pertahanan dan keamanan kedaulatan Indonesia.
Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia masih menggunakan
peraturan perundang-undangan pada hukum yang ditinggalkan oleh
pemerintahan Hindia Belanda sebagai landasan hukumnya, termasuk dalam
bidang kelautan yakni. Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939”,
(TZMKO). Pasal 1 Ayat (1) dari ordonansi ini, menyebabkan wilayah Indonesia
tidak utuh, karena perairan diantara kelima pulau besar terdapat perairan
bebas (high seas). Keadaan ini dinilai dapat mengancam keutuhan NKRI. Atas
dorongan semangat tinggi dan kebulatan tekad yang luar biasa para “founding
fathers”, dengan berani dan secara sepihak mendeklarasikan keutuhan
wilayah Indonesia. Deklarasi itu di namakan “Deklarasi Djoeanda”.
Salah satu tonggak sejarah yang dapat dikatakan mengawali
pembangunan Indonesia sebagai negara kelautan adalah Deklarasi Djuanda
pada tanggal 13 Desember 1957 yang antara lain isinya adalah sebagai berikut:
“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulaupulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian
yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan
demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah
kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia”
Deklarasi ini kemudian memiliki kedudukan yang lebih kuat setelah
diundangkan melalui Undang-undang No. 4/ Prp. Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia. Dalam undang-undang ini, pokok-pokok dasar dan
pertimbangan-pertimbangan mengenai pengaturan wilayah perairan
14
Indonesia pada hakikatnya tetap sama dengan Deklarasi 1957, walaupun segi
ekonomi dan pengamanan sumberdaya alam lebih ditonjolkan.
4.3
Periode 1966 - 1998
Tiga dekade diawal periode ini perkembangan bidang kelautan relatif
stagnan bahkan relatif terjadi kemunduran. Hal ini disebabkan kebijakan
pemerintah saat itu dalam rangka memajukan ekonomi nasional lebih
berfokus pada pemanfaatan minyak dan gas bumi serta produksi hutan.
Bidang kelautan diterlantarkan, tidak ada kepedulian dari para pengambil
kebijakan untuk dijadikan sebagai pemasok devisa negara.
Adanya kurang kepedulian itu, maka wilayah laut beserta kekayaan
yang dikandungnya tidak terurus. Akibatnya banyak terjadi “illegal fishing”
oleh kapal-kapal asing, transasi perdagangan di laut makin meluas bahkan
batas maritim (Maritime boundary) juga diabaikan. Juga sering terjadi
perompakan, penyeludupan, perdagangan senjata dan manusia di wilayah
perbatasan.
Gejala-gejala aksi yang dapat mengancam kehidupan negara baik sosial,
ekonomi dan keamanan negara, terutama di wilayah perbatasan dengan
negara-negara tetangga, maka pemerintah mulai sadar bahwa peran laut
begitu penting bagi kehidupan negara. Maka TNI-AL di tahun 1990,
mengambil insiatif melaksanakan seminar kelautan Indonesia. Hasil seminar
ini kemudian dijadikan bahan rujukan untuk penyusunan Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) pada REPELITA ke 5 (Tahun 1993-1998) pada Pembangunan
Jangka Panjang I. Dalam GBHN itu, bidang kelautan masuk dalam kelompok
pembangunan ekonomi.
Akibat kasus-kasus di wilayah perbatasan makin serius, dan konsep
pembangunan kelautan telah masuk ke GBHN, maka Presiden Soeharto
mengeluarkan perintah pada tanggal 1 Januari 1996, yang bunyinya sebagai
berikut: ”MENGEMBALIKAN
JIWA BAHARI DENGAN MELALUI
PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA”.
Sesudah perintah itu
dikumandangkan, diteruskan dengan pembentukan Dewan Kelautan Nasional
melalui KEPPRES No. 77 Tahun 1996.
Adapun tugas dan fungsi Dewan Kelautan Nasional (DKN) yaitu:
a. Memberikan pertimbangan, pendapat, maupun saran kepada Presiden
mengenai peraturan, pengeloalan, pemanfaatan, pelestarian, perlindungan
dan keamanan kawasan laut, serta penentuan batas wilayah Indonesia.
b. Melakukan koordinasi dengan departemen dan badan yang terkait, dalam
rangka keterpaduan perumusan dan penetapan kebijakan mengenai
masalah laut.
Sekalipun telah dibentuk DKN, nampaknya bidang kelautan amat
terlebih sektor Perikanan kurang mendapat dukungan penuh dalam
perjalanan pembangunan. Kebanyakan fokus pembangunan di arahkan ke
15
darat, bahkan lebih mempopulerkan di kancah internasional, bahwa
Indonesia adalah negara Agraris. Sesungguhnya paradigma ini bertentangan
dengan jati diri bangsa Indonesia, dimana luas wilayah Indonesia adalah laut
meliputi 5.8 juta Km2, sedangkan wilayah darat hanya 1,9 juta Km2.
Dalam tahun yang sama (1996) dilakukan konvensi Nasional Tentang
Kelautan di Makassar pada tanggal 18-19 Desember. Konvesi ini mengeluarkan
konsep Benua Maritim Indonesia. Gagasan ini masih kontroversial – banyak
terjadi pro dan kontra tentang istilah benua maritim. Penggunaan kata benua
merujuk dengan daratan, sehingga membuat rancu. Sekalipun demikian
konsep ini memberikan dorongan semangat baru, karena telah menunjukan
pentingnya membangun kelautan secara bijak agar menghasilkan
kesejahteraan yang berkelanjutan.
Kemudian diakhir periode, terjadi pergantian Presiden (1998). Disaat
itu pengantinya adalah Presiden ke 3, Dr. B.J. Habibie. Periode Habibie, saat
itu dikeluarkan suatu deklarasi yang di sebut Deklarasi Bunaken, karena
tempat pendatangan deklarasi itu di kota Manado.
Sejak Deklarasi Bunaken ditandatangani oleh Presiden RI pada puncak
kegiatan Tahun Bahari Internasional 1998 (TBI ’98) telah menegaskan bahwa
mulai 26 September 1998 visi pembangunan dan persatuan nasional
Indonesia berorientasi ke laut. Kegiatan TBI ‘98 merupakan program
UNESCO-PBB dan tahun 1998 sebagai Tahun Bahari Internasional sekaligus
pencanangan upaya PBB dan bangsa Indonesia untuk menyadarkan umat
manusia akan arti penting dari laut dan lingkungan kelautan sebagai warisan
bersama umat manusia.
Deklarasi Bunaken pada dasarnya secara tegas menyatakan dua hal
pokok yaitu kesadaran bangsa Indonesia akan geografi wilayahnya dan
kemauan yang besar dari bangsa Indonesia untuk membangun kelautan.
Kesadaran bangsa Indonesia akan geografi wilayahnya menjadi sangat penting
bagi keberhasilan bangsa dalam melaksanakan pembangunan kelautan yang
mempunyai arti strategis dalam mengembalikan kondisi ekonomi nasional
yang sedang menyelesaikan berbagai krisis ini.
Inti dari Deklarasi Bunaken adalah laut merupakan peluang, tantangan
dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa
Indonesia. Deklarasi Bunaken merupakan pernyataan politis strategis
pemerintah atau sebagai komitmen bangsa yang memberikan peluang seluasluasnya dalam penyelenggaraan pembangaunan kelautan. Melalui Deklarasi
Bunaken pemerintah juga akan mengorientasikan pembangunan nasional ke
laut dengan memberikan perhatian dan dukungan optimal terhadap
pembangunan kelautan.
Deklarasi Bunaken dapat juga dikatakan sebagai kunci pembuka babak
baru pembangunan nasional yang berorientasi ke laut karena mengandung
komitmen bahwa:
16
Visi Pembangunan dan Persatuan Nasional Indonesia harus juga
berorientasi ke laut. Semua jajaran pemerintah dan masyarakat hendaknya
juga memberikan perhatian untuk pengembangan, pemanfaatan dan
pemeliharaan potensi kelautan Indonesia.
4.4
Periode 1999 - sekarang
Periode ini lebih dikenal dengan nama era Reformasi. Periode ini
merupakan kebangkitan kedua bidang kelautan di Indonesia. Indonesia boleh
berbangga hati setelah berhembus kembali angin laut menyejukkan yang
diharapkan dapat membawa serta arah baru dengan sentuhan kelautan bagi
upaya pensejahteraan rakyat dan upaya menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam era ini dipertanda dengan semangat dan visi yang jelas dari
Presiden Indonesia yang ke 5 Abdurahman Wahid (Almarhum), tumbuh
kesadaran bahwa potensi dan kekayaan yang ada di laut merupakan sumber
ekonomi utama Negara. Laut adalah kehidupan massa depan bangsa. Atas
pemikiran itu maka Abdurahman Wahid membentuk kementerian baru, yakni
Departemen Eksplorasi Laut (namanya beruba-ubah dan akhirnya saat ini
menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan). Selain dibentuk kementerian
dibentuk juga Dewan Maritim Indonesia (DMI). DMI bertugas untuk
mengkordinasi dan mensinergikan program pembangunan kelautan di
Indonesia. Nomenklatur Dewan Maritim Indonesia berubah menjadi Dewan
Kelautan Indonesia (DEKIN), sejak dikeluarkan KEPPRES Nomor 21 Tahun
2007.
Dengan munculnya dua lembaga ini, gema peran laut bagi kehidupan
bangsa dan negara makin disadari oleh banyak masyarakat Indonesia.
Sekalipun demikian tetap dirasa bahwa paradigma kontinental yang
ditinggalkan oleh Belanda masih merupakan hambatan besar, terutama bagi
para pengambil kebijakan. Hal itu merupakan tantangan cukup berarti dalam
mewujudkan Kebijakan Kelautan Indonesia.
Karena dirasakan gerakan kebangkitan kedua berjalan agak lambat,
maka di tahun 2001, dikumandangkan suatu seruan yang intinya memperkuat
kebulatan tekan yang dilontarkan tahun-tahun sebelumnya. Seruan ini
dikenal dengan “Seruan Sunda Kelapa” Pada intinya seruan tersebut
mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama membangun
kekuatan maritim/kelautan, dengan berlandaskan pada kesadaran penuh
bahwa bangsa Indonesia hidup di negara kepulauan terbesar di dunia, dengan
alam laut yang kaya akan berbagai sumberdaya alam.
Seruan Sunda Kelapa hakekatnya menyatakan 5 (lima) pilar program
pembangunan kelautan, yaitu:
1) Membangun kembali wawasan bahari,
2) Menegakkan kedaulatan secara nyata di laut,
17
3) Mengembangkan industri dan jasa maritim secara optimal dan lestari bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
4) Mengelola kawasan pesisir, laut dan pulau kecil, dan
5) Mengembangkan hukum nasional di bidang maritim.
Dengan lahirnya Seruan Sunda Kelapa diharapkan menimbulkan
kesadaran kembali bagi bangsa Indonesia akan kekhususan aspek alamiah
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi laut
yang memiliki berbagai ragam kekayaan sumberdaya alam, dan mengarahkan
kembali ke wawasan bahari serta kebijaksanaan cabotage untuk rencana
pembangunan nasional. Wawasan dan kebijaksanaan dari Seruan Sunda
Kelapa diyakini dapat membangkitkan kembali kekuatan armada niaga
nasional, membangkitkan kembali ekonomi unggulan nasional untuk
memberi kontribusi bagi upaya segera memulihkan ekonomi nasional yang
sedang terpuruk, mempercepat penggapaian masa depan bangsa, sekaligus
memperkuat tali kehidupan bangsa. Kemudian tekad membangun kelautan
diperkuat lagi dengan program Nasional GERBANG MINA BAHARI yang
dicanangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2003 di teluk
Tomini. Inti program ini pada pengembangan 3 sektor, yaitu Industri
Perikanan, Pelayaran dan Pariwisata.
Dalam periode kabinet pemerintahan Indonesia Bersatu, pemerintah
kembali berkomitmen yang disampaikan oleh Presiden Dr. Susilo Bambang
Yudhoyono di saat berpidato dalam rangka Peringatan Hari Nusantara Tahun
2006 di kota Padang Provinsi Sumatera barat, sudah saatnya memanfaatkan
laut bagi pembangunan negara. Suatu instruksi kepala negara, bahwa saatnya
meubah arah pembangunan Indonesia, dari pembangunan yang berorientasi
kontinental ke arah program pembangunan kelautan (Oceans development
program).
Evaluasi Dewan Kelautan Indonesia sejak kebangkitan kedua bidang
kelautan, wawasan kelautan pada seluruh anak negeri masih belum merata
keseluruh pelosok tanah air. Oleh karena itu berbagai program sosialisasi,
diantaranya penyebaran buku-buku bacaan dari tingkat sekolah dasar sampai
ke perguruan tinggi terus berlangsung; melakukan seminar baik di Jakarta
maupun di daerah, dan berdiolag melalui Televisi maupun media informasi
lainnya.
18
5.
KONDISI SAAT INI
Indonesia telah diakui dunia sebagai Negara Kepulauan terbesar (The
largest archipelagic state), memiliki kurang lebih 17.480 pulau dengan garis
pantai terpanjang ke 4 di dunia, yaitu sepanjang 95.181 km. Di dalamnya
terkandung sumberdaya alam, baik hayati maupun nir-hayati. Dengan modal
dasar ini seharusnya laut dapat diandalkan sebagai pilar utama ekonomi negara,
tenaga utama untuk membasmi kemiskinan dan sebagai pemersatu bangsa.
Tahun ini negara Indonesia telah berumur 67 tahun, namun dalam
kenyataan masih banyak pembangunan di bidang kelautan belum terbenahi.
Sangat ironi, suatu negara kepuluan terbesar yang wilayahnya didominasi oleh
perairan laut tetapi Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Policy) yang
diwujudkan dengan peraturan perundangan nasional tidak dimiliki.
Kebijakan Kelautan Indonesia yang dirumuskan ini bertolak dari UndangUndang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025 ,pada intinya berfokus pada 8 sasaran pokok. Uraian
berikut ini menjelaskan kondisi kekinian dari ke 8 sasaran dimaksud.
5.1
Kondisi Wawasan Kelautan
Membangun bidang kelautan seyogianya diawali dengan kebulatan
persepsi bagi seluruh anak bangsa akan kondisi fisik laut, fungsi dan peran
laut bagi kehidupan negara, pemahaman tersebut dikenal sebagai wawasan
kelautan. Wawasan adalah cara pandang atau paham tentang sesuatu hal
yang dianut oleh masyarakat menjadi doktrin dalam menjalankan
hidupnya. Hakikatnya bangsa kita menganut wawasan Indonesia yang
teridiri dari wawasan kelautan, wawasan kebangsaan, wawasan
kedirgantaraan dan sebagainya.
Memahami wawasan kelautan merupakan modal dasar dalam
pembangunan bidang kelautan Indonesia, karena bagaimana mungkin kita
mampu mengelola sumberdaya kelautan yang kita miliki tanpa diimbangi
dengan adanya pemahaman terhadap wilayah laut yang kita punyai dengan
segala sumberdaya kelautan yang tersimpan didalamnya.
Apabila wawasan kelautan telah tersebar merata diseluruh anak
bangsa, pemimpin pemerintahan dan masyarakat di pusat maupun daerah,
maka diharapkan pembangunan kelautan akan berhasil baik, sehingga
akhirnya bidang kelautan akan menjadi pilar ekonomi utama bagi
kehidupan NKRI sekaligus sebagai senjata mutahir untuk membasmi
kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat. Dalam kenyataannya
sebagaimana hasil kajian yang dilakukan Dewan Kelautan Indonesia pada
tahun 2009 dan 2010 pemahaman wawasan kelautan sangat minim, seperti
data yang disajikan dibawah ini:
19
Tabel 1 . Hasil Survei Tentang Wawasan Kelautan Tahun 2009 dan 2010
Tahun
Pemahaman tentang
wawasan kelautan (%)
2009
Paham
38.3
Kebijakan PEMDA yang berpihakan pada bidang kalautan (%)
Tidak paham
51.2
2010
47.4
52.4
Sumber : Dewan Kelautan Indonesia, tahun 2010
Sudah
11.7
belum
76.9
38.8
54.6
Tabel diatas memperlihatkan bahwa >50% rakyat Indonesia tidak
paham benar tentang laut, apalagi fungsinya sebagai pilar ekonomi negara.
Data diatas diperoleh dari 33 provinsi dan 20 kabupaten/kota, sehingga
hasil survei dapat memberikan gambaran. Kenyataan itu tentunya
menyedihkan bagi sebuah negara kepulauan. Oleh karenanya DEKIN lewat
program sosialisasi tetap memberikan pencerahan bagi pengambil
kebijakan pembangunan di daerah maupun di pusat.
Adanya wawasan kelautan yang minim, terlukis pada produk
domestik bruto (PDB) sektor-sektor di bidang kelautan relatif kecil apabila
dibandingkan dengan potensi yang dimiliki, padahal PDB merupakan
salah satu indikator keberhasilan kebijakan bidang kelautan dalam
pembangunan Indonesia. Nilai kontribusi tersebut apabila dibandingkan
dengan negara-negara di kawasan Asia, terlihat sangat kecil.
Sebagai ilustrasi salah satu sektor di bidang kelautan yakni sektor
perikanan di Indonesia yang hanya mencapai sekitar 2,9 % jauh dibawah
kontribusi sektor perikanan terhadap PDB/Gross Domestic Product (GDP)
Kamboja, untuk perikanan tangkap sebesar 11.4% dan perikanan budidaya
sebesar 1.3%, sedangkan Vietnam untuk perikanan tangkap sebesar 9.5%
dan perikanan budidaya sebesar 16.0%,
Myanmar untuk perikanan
tangkap sebesar 9.9%, dan perikanan budidaya 8.8%, Filipina untuk
perikanan tangkap sebesar 3.0% dan perikanan budidaya sebesar 1.5 %,
tetapi di Indonesia kontribusi sektor perikanan baru mencapai 1.9% bagi
perikanan tangkap dan 1.0% bagi perikanan budidaya, secara rinci
ditunjukkan pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Kontribusi Sektor Perikanan terhadap GDP di Kawasan ASEAN
Kontribusi GDP (%)
No.
Nama Negara
1
Vietnam
2
Myanmar
3
Kamboja
4
Filipina
5
Indonesia
Sumber: FAO, 2006
Total (%)
Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya
9.5
9.9
11.4
3.0
1.9
16.0
8.8
1.3
1.5
1.0
25.5
18.7
12.7
4.5
2.9
20
Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa kontribusi ekonomi
sektor-sektor di bidang kelautan rendah yang diakibatkan dari minimnya
wawasan kelautan di kalangan pengambil kebijakan. Kondisi yang sama
juga nampak adanya kontribusi ekonomi yang relatif rendah pada sektorsektor di bidang kelautan lainnya apabila dibandingkan potensi yang
dimilikinya, diantara sektor-sektor tersebut diantaranya adalah:
a. Kondisi pelayaran laut Indonesia saat ini, armada pelayaran masih di
dominasi kapal-kapal asing, oleh karenanya azas cabotace seharusnya
dilaksanakan secara konsisten.
b. Pariwisata bahari masih belum berkembang pesat serta menghadapi
hambatan-hambatan yang serius tentang perijinan, seperti
CAIT
(clearance approval for Indonesian territory), CIQP (custom, immigration,
quarantine, and port clearance) oleh instansi terkait. Juga belum
tersedianya piranti keras: port of entry/exit, Marina dan mooring bouys,
dll.
c. Meningkatnya kerusakan tiga habitat pantai (terumbu karang, padang
lamun dan mangrove) akibat kurang pahamnya manusia akan peran dan
fungsi ekositem tersebut, hal itu menunjukan kurangnya wawasan
kelautan.
d. Kurangnya perhatian terhadap bidang kelautan maka potensi mineral di
dasar laut dan di tanah bawah laut maupun potensi energi dari laut yang
hingga saat ini masih belum tersentuh.
e. Pelabuhan laut Indonesia yang belum berfungi optimal dan kalah
bersaing dengan pelabuhan laut negara-negara tetangga.
f. Belum berkembangnya industri maritim seperti pembangunan kapal,
mesin kapal.
5.2
Kondisi Sumberdaya Manusia, Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Unsur penting dalam pembangunan bidang kelautan adalah
sumberdaya manusia serta pengembangan ilmu dan teknologi. Unsur ini
harus dituangkan kedalam kebijakan kelautan. Sebab daya dukung serta
kemampuan manusia dalam mengoperasikan aset-aset kelautan seperti
armada pelayaran dan industri maritim sangat menentukan keberhasilan
program pembangunan.
Pendidikan formal untuk pengembangan SDM dalam bidang
perkapalan, kelautan dan perikanan yang dilaksanakan oleh kementerian
pendidikan dan kebudayaan, khususnya pada taraf pendidikan tinggi
ternyata ada sebanyak 34 perguruan tinggi (negeri dan swasta) yang
memiliki nama fakultas. Secara detail data tersebut tertera di bawah ini.
21
Tabel 3. Jumlah Universitas Memiliki Fakultas Perikanan, Ilmu
Kelautan, Teknik Perkapalan
No
Status
Nama Fakultas
Lokasi
1
Universitas Syiah Kuala
Nama Universitas
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Aceh
2
Universitas Riau
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Pekanbaru
3
IPB
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Bogor
4
ITS
Negeri
Teknologi Kelautan
Surabaya
5
Universitas Diponegoro
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Semarang
6
Universitas Hang Tuah
Negeri
Teknik dan Ilmu Kelautan
Surabaya
7
Universitas Hasanudin
Negeri
Ilmu Kelautan dan Perikanan
Makassar
8
Universitas Khairun
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Ternate
9
Universitas Sam Ratulangi
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Manado
10
Universitas Pattimura
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Ambon
11
Universitas Padjajaran
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Bandung
12
Universitas Muslim Indonesia
Swasta
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Makassar
13
Universitas Dharma Persada
Swasta
Teknologi Kelautan
Jakarta
14
Universitas Negeri Papua
Negeri
Manokwari
15
Universitas Brawijaya
Negeri
Perternakan, Perikanan dan
Ilmu Kelautan
Perikanan dan Ilmu Kelautan
16
Universitas Lambung Mangkurat
Negeri
Perikanan
Banjarbaru
17
Universitas Mulawarman
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Samarinda
18
Universitas Maritim Raja Haji Ali
Negeri
Ilmu Kelautan dan Perikanan
Tj. Pinang
19
Universitas Muhammadiyah Pontianak
Swasta
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Pontianak
20
Universitas Bung Hatta
Swasta
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Padang
21
Universitas Satya Negara Indonesia
Swasta
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Jakarta
22
Universitas Pancasakti
Swasta
Perikanan
Tegal
23
Universitas Pekalongan
Negeri
Perikanan
Pekalongan
24
Universitas Airlangga
Negeri
Perikanan dan Kelautan
Surabaya
25
Universitas Islam Lamongan
Swasta
Perikanan
Lamongan
26
Universitas Alkhairaat
Swasta
Perikanan
Palu
27
Universitas Haluuleo
Negeri
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Kendari
28
Universitas Dayanu Ikhsanuddin
Swasta
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Bau bau
29
Universitas Muhammadiyah Luwuk
Swasta
Perikanan
Banggai, Sulteng
30
Universitas Darussalam
Swasta
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Ambon
31
Universitas Iqra Buru
Swasta
Perikanan
Maluku
32
Universitas PGRI
Swasta
Perikanan
Palembang
33
Universitas Dharmawangsa
Swasta
Perikanan
Medan
34
Universitas Kristen Palangkaraya
Swasta
Perikanan
Palangkaraya
Malang
Sumber: Kementerian DIKBUD, 2011
22
Sedang universitas yang menjalankan pendidikan kelautan hanya pada
jurusan atau program studi , disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4. Jumlah Universitas Memiliki Jurusan Perikanan, Ilmu Kelautan
No
Nama Universitas
Status
Nama Fak
1
Universitas Sriwijaya
Negeri
2
ITB
Negeri
3
Universitas Trunojoyo
Negeri
4
Universitas Bangka
Belitung
Negeri
5
Universitas Bengkulu
6
Program Studi
Lokasi
Matematika
dan IPA
Pertanian
Ilmu Kelautan
Palembang
Pertanian
Teknologi Hasil
Perikanan
Teknik Kelautan
Teknik Sipil
dan
Lingkungan
Pertanian
Jurusan
Budidaya Perairan
Ilmu Kelautan
Bandung
Madura
Perikanan
Bangka
Belitung
Negeri
Perikanan,
Pertanian
dan Biologi
Pertanian
Ilmu Kelautan
Bengkulu
Universitas Lampung
Negeri
Pertanian
Budidaya Perairan
Lampung
7
Universitas Islam Riau
Swasta
Pertanian
8
Universitas
Malikussaleh
Universitas
Muhammadiyah
Palembang
Universitas
Abulyatama
Negeri
Pertanian
11
Universitas Juanda
Swasta
12
Universitas
Muhammadiyah
Sukabumi
Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa
Swasta
Swasta
Pertanian
Perikanan
Serang
Universitas Gadjah
Mada
Universitas
Muhammadiyah
Malang
Universitas
Muhammadiyah Gresik
Negeri
Pertanian
Perikanan
Yogyakarta
Swasta
Perikanan
Malang
Swasta
Pertanian
dan
Peternakan
Pertanian
Aquaculture
Gresik
17
Universitas Negeri
Gorontalo
Negeri
Pertanian
Teknologi
perikanan
18
Universitas 45
Makassar
Swasta
Pertanian
Perikanan
9
10
13
14
15
16
Perikanan
Riau
Budidaya Perairan
Swasta
Budidaya Perairan
Swasta
Budidaya Perairan
Aceh
Aceh
Teknologi Hasil
Perikanan
Pertanian
Perikanan
Bogor
Sumberdaya
Perairan
Teknologi Perairan
Sukabumi
Makassar
23
No
Nama Universitas
Status
Nama Fak
19
Universitas
Muhammadiyah
Makassar
Universitas
Muhammadiyah
Maluku Utara
Universitas Al Amin
Swasta
Pertanian
Universitas Kristen
Papua
Universitas
Pembangunan
Nasional Veteran
Jakarta
Sekolah Tinggi Teknik
Kelautan Balik Diwa
20
21
22
23
24
Jurusan
Program Studi
Lokasi
Perikanan
Swasta
Teknologi Hasil
Perikanan
Swasta
Manajemen
Sumberdaya
Perairan
Pengolahan Hasil
Perikanan
Sorong
Swasta
Perikanan
Sorong
Swasta
Teknik Perkapalan
Jakarta
Swasta
Ilmu Kelautan
Makassar
Budidaya Perairan
25
Universitas Mataram
Negeri
Teknologi Hasil
Perikanan
Pemanfaatan
Sumberdaya
Perairan
Agribisnis
Perikanan
Perikanan
26
Universitas Indonesia
Negeri
Ilmu Kelautan (S2)
Mataram
Jakarta
Teknik Perkapalan
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011.
Dalam rapat-rapat Dewan Kelautan Indonesia dengan para
pemangku kepentingan di laut, terungkap dari Badan Kerjasama
Pendidikan Tinggi Maritim Swasta Indonesia (BKS PMSI), bahwa
sumberdaya manusia di sektor transportasi laut yaitu menyangkut dengan
awak kapal, awak industri perkapalan dan awak kepelabuhanan. SDM akan
bermutu jika pendidikan yang handal sesuai dengan kompetensi, sehingga
SDM yang dihasilkan berkualitas internasional (Standar IMO). SDM untuk
transportasi khususnya pengawakan kapal, pada saat ini pelayaran Nasional
maupun Internasional membutuhkan ratusan ribu Perwira. IMO
(Internasional Maritime Organization) meminta Indonesia menyiapkan
(mensuplay) perwira untuk pelayran niaga sebanyak, 24 ribu orang
perwira/tahun. Sedang menurut BIMCO/ISF total kebutuhan Pelaut tahun
2010 yaitu perwira 637.000 dan bawahan/anak buah kapal 747.000 orang.
Ini merupakan tantangan dan peluang bagi bangsa Indonesia.
24
Lembaga pendidikan pemerintah dan swasta yang telah
berpengalaman bertahun-tahun dalam membina pendidikan, mempunyai
produktivitas yang rendah untuk meluluskan perwira/crew kapal niaga
dengan standard IMO. Ada 19 lembaga pendidikan tingkat Akademi/
Perguruan Tinggi Maritim dan 7 Lembaga Pendidikan Maritim Negeri serta
70 SMK Pelayaran. Keseluruhan lembaga pendidikan tersebut
hanya
mampu mencetak 1.300 Perwira kapal Niaga.
Kementerian Perhubungan memiliki pusat pendidikan dan latihan,
yang sesungguhnya badan ini menyiapkan tenaga atau awak kapal bagi
pelayaran niaga. Namun demikian badan ini tidak mampu menyiapkan
tenaga yang diharapkan untuk memenuhi permintaan internasional.
Sampai tahun 2010 badan ini hanya menghasilkan pendidikan pembentukan
sebanyak 1.228 orang, pendidikan penjejangan sebanyak 13.962 orang
sedang pelatihan ketrampilan khusus pelaut hanya berjumlah 115.030 orang.
Dengan demikian kegiatan pendidikan dan pelatihan awak kapal sangat
rendah produknya setiap tahun, padahal permintaan pasar dunia sangat
besar.
Data yang diperoleh dari organisasi pelaut/kesatuan Pelaut Indonesia
(KPI), ternyata jumlah pelaut untuk dalam negeri belum terpenuhi. Secara
rinci ketersediaan jumlah pelaut dan kebutuhan untuk lima mendatang
disajikan pada tabel berikut.
Tabel 5. Perkiraan ketersediaan dan kebutuhan Pelaut dalam pelayaran
Domestik Indonesia, periode 2010-2015 (orang)
Jabatan
Ketersediaan
(5 tahun)
Kebutuhan
(5 tahun)
Selisih
PERWIRA
7.200
19.500
(-)12.300
BAWAHAN
10.300
25.200
(-)14.900
Total
17.500
44.700
(-)27.200
Sumber: Kesatuan Pelaut Indonesia, 2010
Kementerian Kelautan dan Perikanan
memiliki
Lembaga
Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Tangkap, serta sekolah-sekolah
kejuruan perikanan di Indonesia, menyelenggarakan pendidikan profesi
bersertifikat Nasional dan Internasional, sampai tahun 2011 telah
meluluskan sebanyak 7696 0rang. Data rinci lulusan sejak tahun 2006
sampai dengan tahun 2011 ( lihat tabel berikut), rata-rata lulusannya 1283
orang per tahun. Terdiri dari tingkat sarjana 317 lulusan, program D3
sebanyak 83 lulusan sedang tingkat sekolah menengah 780 lulusan, dan
hasil pendidikan pelatihan 380 lulusan.
25
Tabel 6. Jumlah Lulusan Pendidikan Kedinasan Kementerian KKP selama 6
Terakhir
No
1.
Satuan pendidikan
2006
296
2007
309
Tahun Lulus
2008
2009
335
304
Sekolah
Tinggi
Perikanan
2. Akad.
Perikanan
106
78
100
100
Sidoarjo
3. Akad.
Perikanan
66
59
97
86
Bitung
4. Akad.
Perikanan
48
78
81
84
Sorong
5. SUPM N. Ladong
42
29
24
107
6. SUPM N. Pariaman
78
80
96
80
7. SUPM N. Kota Agung
85
71
71
72
8. SUPM N. Tegal
131
114
118
136
9. SUPM N. Pontianak
82
52
76
94
10. SUPM N. Bone
84
113
113
110
11. SUPM N. Waiheru
80
67
96
104
12. SUPM N. Sorong
84
74
83
92
13. SUPM N. Kupang
14. SUPM Dumai
15. SUPM N.
Muhammadiyah
Tuban
Jumlah
1182
1124
1290
1369
Sumber: Badan Pengembangan SDM Kementerian KP, 2011
Jumlah
2010
327
2011
331
99
97
580
55
90
453
75
77
443
113
90
78
131
85
78
69
84
66
81
72
129
79
82
74
86
44
69
70
381
505
449
759
468
580
490
503
44
69
70
1284
1447
7696
1902
Untuk menghasilkan awak kapal perikanan yang berkualitas seperti
yang dituntut oleh Konvensi Internasional mengenai STCW-F 1995, maka
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan awak kapal perikanan harus
memenuhi standar yang ditentukan.
Kuantitas SDM perikanan memang dari tahun ke tahun cenderung
meningkat, namun dari sisi kualitasnya, SDM perikanan hingga kini masih
tetap memprihatinkan. Sebagai gambaran pada tahun 2007 jumlah nelayan
perikanan laut di Indonesia tercatat sebanyak 2.231.967 orang, sedangkan
jumlah pembudidaya ikan (marikultur dan tambak) sebanyak 701.374 orang.
Dari jumlah yang besar tersebut ternyata sebagian besar (sekitar 60%)
tingkat pendidikannya hanya tamat SD. Disamping itu juga, mereka
umumnya tidak memiliki skill atau ketrampilan dengan kualifikasi tertentu.
Hal ini jelas menggambarkan bahwa kualitas SDM perikanan Indonesia
masih terbatas tingkat profesionalitasnya, sehingga jumlah SDM yang besar
tersebut masih menjadi salah satu kendala dalam mengembangkan dan
26
mengoptimalkan sektor perikanan. Akibat lain dari rendahnya kualitas
SDM perikanan ini menyebabkan kegiatan usaha perikanan di Indonesia
sebagian besar masih tergolong kegiatan usaha padat tenaga kerja, sehingga
baik langsung maupun tidak langsung hal tersebut akan memberikan
dampak terhadap efisiensi usaha dan daya saing produk yang dihasilkan.
Ilmu dan teknologi kelautan di Indonesia pada kondisi kini relatif
sangat kurang, indikasinya
teknologi industri perkapalan, industri
bioteknologi, industri farmasi laut dan insdutri garam masih rendah jika
dibandingkan dengan negara lain di dunia.
Riset ilmiah kelautan mempunyai peranan penting dalam menggali
potensi kekayaan sumberdaya laut yang kemudian harus dioptimalkan bagi
pembangunan nasional, sehingga Indonesia tidak hanya bangga pada status
sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumberdaya lam yang besar,
tetapi harus benar-benar memanfaatkan kekayaan tersebut untuk
kesejahteraan rakyat dan keunggulan bangsa. Oleh karena itu, penyediaan
anggaran yang cukup, pembenahan kerja sama dan koordinasi yang baik,
serta peralatan yang memadai antara instansi yang terkait mutlak
diperlukan dalam melaksanakan riset ilmiah kelautan Indonesia.
5.3
Kondisi Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan
Berbagai kegiatan memanfaatkan laut, sektor ekonomi kelautan
menjadi sentra dalam pembangunan di bidang kelautan, karena sektor ini
sebagai penyumbang utama dalam menentaskan kemiskinan di negeri ini.
Membangun ekonomi kelautan sebagai pilar pembangunan nasional tidak
akan terluput dari pembangunan infrastrukturnya
Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi.
Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai
lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Kondisi infrastruktur di
Indonesia pada tahun 2010 jika dikomparasikan dengan negara-negara di
dunia, maka Indonesia berada pada peringkat ke 82 dari 139 negara. Hal ini
menandakan bahwa infrastruktur di Indonesia masih sangat
keterbelakangan.
Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur
mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam
dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur
berpengaruh terhadap biaya produksi.
Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas
hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai
konsumsi, peningkatan produktifitas tenaga kerja dan akses kepada
lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya
stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar
kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja.
27
Uraian berikut ini mengemukakan kondisi kini pembangunan
ekonomi dan infrastruktur kelautan:
5.3.1 Perikanan
Sektor perikanan mengalami dilema yang cukup serius, yaitu
dari segi PDB memperlihatkan nilai relatif rendah dibandingkan dengan
sektor-sektor lain, apalagi jika di bandingkan dengan negara-negara di
Asia. Aspek lain populasi ikan di perairan Indonesia cenderung
menurun setiap tahun, indikatornya pada nilai “hook rate” bagi tuna
longline hanya 0,3% (sangat rendah), belakangan ini maraknya impor
ikan-ikan demersal dan pelagis kecil untuk memenuhi pebrik
pengolahan ikan “pindang”. kemudian para nelayan tradisional
melakukan penangkapan ikan, dalam 5 tahun belakang ini sudah jauh
dari garis pantai. Konsekuensinya biaya operasional mereka bertambah
sedang hasil yang diperoleh sangat sedikit. Kondisi demikian nelayan
masih terus miskin, kumuh, tertinggal dan umumnya berpendidikan
rendah.
Sisi lain, banyak kapal-kapal asing melakukan pencurian ikan
(illegal fishing) di wilayah perairan Indonesia, selain itu juga
keengganan para investor termasuk perbankan untuk melirik laut
sebagai sumber kemakmuran bangsa.
Interaksi antarpelaku industri belum menguntungkan untuk
negara maupun rakyat. Industri perikanan masih lemah dan fragmented
belum terintegrasi secara horisontal (antarwilayah dan dengan sektor
komplementar) dan belum terintegrasi secara vertikal (hulu-hilir,
produksi, pengolahan dan pemasaran baik domestik maupun
mancanegara). Disamping itu, ekosistem laut dan pesisir makin
terancam akibat perusakan dan pencemaran lingkungan.
Rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan pada
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan daerah terpencil (remote areas)
lainnya mengindikasikan ketidakgigihan bangsa Indonesia untuk
menjadikan laut sebagai bagian penting kehidupan ekonomi bangsa.
Tantangan yang paling mendasar bagi Indonesia untuk
membangun sektor perikanan sebagai pilar ekonomi kelautan adalah
menyediakan dana investasi yang cukup agar dapat tumbuh secara
cepat. Dalam situasi keuangan negara yang relatif terbatas seperti
sekarang ini, kiranya sulit mengharapkan pemerintah untuk menjadi
investor utama untuk menggerakkan roda perikanan nasional.
Alternatifnya adalah mendorong peran para pengusaha nasional dan
pengusaha asing dalam pembangunan sektor perikanan. Bagi
pengusaha, persyaratan dasar untuk melakukan penanaman modal di
suatu perekonomian adalah adanya iklim investasi yang kondusif. Iklim
investasi yang kondusif merupakan resultante dari berbagai faktor,
28
seperti kemudahan perizinan, jaminan keamanan hak kepemilikan dan
perlindungan HAM, serta ketersediaan infrastruktur bisnis
(1) Tangkap
Dalam perikanan tangkap, kondisi kini rendahnya
produktivitas nelayan. Di satu pihak, terdapat kawasan-kawasan
perairan yang stok ikannya sudah mengalami kondisi overfishing, dan
sebaliknya masih cukup banyak kawasan yang tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikannya belum optimal, dan telah terjadinya kerusakan
lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove,
terumbu karang, dan padang lamun (seagrass beds), yang merupakan
habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau
membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini
juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan
manusia di darat maupun di laut.
Masalah lain yang terkait dengan produksi perikanan tangkap
adalah tentang “pencurian” ikan oleh nelayan dan kapal asing.
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh ternyata terjadinya surplus
hasil penangkapan ikan ke pihak asing tidak lepas dari peran berbagai
pihak, baik pengusaha maupun aparat, melalui beberapa mekanisme
sebagai berikut : (1) pihak asing seolah-olah memiliki hutang kepada
mitra bisnisnya di Indonesia, melalui putusan pengadilan, pihak asing
tersebut diharuskan membayar hutangnya dengan menggunakan
kapal ikan eks charter yang izinnya telah habis, (2) kapal ikan eks
charter atau kapal yang baru dimasukkan dari luar negeri dikamuflase
seolah-olah kapal produksi dalam negeri, (3) pengusaha Indonesia
melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun
transaksi impor tersebut tidak benar-benar terjadi karena tidak
melakukan pembayaran, (4) pengusaha Indonesia melakukan impor
kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan harga yang
dibuat semurah-murahnya, dan (5) pengusaha asing seolah mengikuti
peraturan menteri di Indonesia dengan membangun tempat
pengolahan, namun dalam kenyataannya tempat pengolahan tersebut
hanya sebagai ”kamuflase”, ada yang berfungsi namun kapasitasnya
jauh lebih kecil dari yang seharusnya, dan ada pula yang tidak
berfungsi sama sekali. Hal tersebut ternyata juga telah menyebabkan
kerugian negara lebih dari US$ 1,3 milyar per tahun.
Aspek lain yang membuat prihatin yaitu banyak sarana dan
prasaran pelabuhan perikanan kurang berfungsi, karena alasan teknis.
Indonesia sebenarnya bisa menjadi negara industri perikanan
terbesar di Asia, karena memiliki potensi industri perikanan Indonesia
sangat besar. Armada kapal ikan bermotor yang dapat mencapai ZEEI
juga masih sedikit, dan pertambahan kapal ikan sangat kurang berarti
29
dibandingkan dengan ribuan kapal asing yang diduga melakukan
illegal fishing di perairan dan yurisdiksi Indonesia. Memang perlu
dikaji lebih mendalam untuk penambahan kapal berkapasitas <100 GT
sebab harus disesuaikan dengan stock ikan di daerah demersal yang
cenderung menurun setiap tahun.
(2) Budidaya
Kondisi usaha budidaya perikanan juga menghadapi masalah
rendahnya produktivitas, yang disebabkan oleh : (1) banyak daerah
perairan semi tertutup yang berpotensi untuk budidaya laut belum
dimanfaatkan, (2) kompetisi penggunaan ruang (lahan perairan)
antara usaha budidaya perikanan dengan kegiatan pembangunan
lainnya (pemukiman, industri, pertambangan, dan lainnya) pada
umumnya merugikan usaha budidaya perikanan, (3) semakin
memburuknya kualitas air sumber untuk budidaya perikanan,
khususnya di kawasan padat penduduk atau tinggi intensitas
pembangunannya, dan (4) kemampuan teknologi budidaya sebagian
besar pembudidaya ikan masih rendah
(3) Industri Farmasetika Laut
Alam laut ternyata memiliki hayati laut yang mengandung
senyawa bioaktif dan biotoksin yang sangat berpolah. Oleh karenanya
yang dimaksud dengan industri farmasi laut adalah pemanfaatan
sumberdaya alam hayati laut untuk keperluan khasiat obat (bahan
sediaan obat), kesehatan manusia dan kebutuhan kosmetika. Bahan
hayati laut tersebut menyangkut dengan fitoplankton, zooplankton,
makroalga, mikro alga, porifera, cnidaria, ctenophora, moluska, spons,
artopoda, echinodermata, ular laut dan jenis ikan.
Pengertian farmasi laut berbeda dengan pengertian teknologi
pasca produksi dan bioteknologi. Hal mana teknologi pasca produksi
dan bioteknologi lebih ditekankan pada aspek senyawa polisakarida
yang direkayasa menjadi bahan konsumsi bernilai ekonomis tinggi
dan nilai jual produk lebih tinggi, seperti rumput laut dapat diolah
menjadi karagenan, kitin, kitosan, alginat. Disamping itu juga
pengolahan Ikan menjadi bahan siap di ekspor, seperti pengalengan,
fillet ikan, pengasapan dan sebagainya.
Dekade belakangan ini perhatian besar negara-negara industri,
seperti Jepang, Jerman dan Cina sudah melirik ke laut untuk
pengembangan industri farmasi laut, lebih populer dengan istilah
“drugs from the sea”. Hal ini didorong oleh laju percepatan penyakit
tumor dan kanker di dunia. Kebutuhan obat antivirus, antitumor,
antikanker dan inflamasi. Para peneliti mengakui senyawa aktif di
laut memiliki nilai lebih dibandingkan senyawa aktif diperoleh
30
tumbuhan di daratan ditinjau dari aspek reaksi kimia di dalam tubuh
manusia. Negara-negara tersebut melihat bahwa di laut, utamanya
sumberdaya hayati laut memiliki senyawa aktif (bioaktif maupun
biotoksin) yang dapat diekstraksi bagi keperluan sediaan obat.
Indonesia terletak di daerah tropis memiliki keanekaragaman
hayati berlimpah sehingga dapat dijamin di laut kita terdapat ribuan
senyawa bioaktif dan biotoksin. Di samping itu banyak terdapat
senyawa kimia dari tubuh organisme laut dijadikan senyawa koloid
diperuntukan industri kosmetika. Berdasarkan penelitian, potensi
ekonomi dari farmakologi laut diperkirakan US$ 4 milliar /tahun.
Potensi tersebut hanya didasarkan pada senyawa murni yang dapat
diskrening dari bahan hayati laut. Nilai potensi tersebut dapat
berlipat ganda apabila senyawa dikembangkan lewat sintesa lanjut.
Namun demikian potensi tersebut hingga kini belum termanfaatkan.
Kondisi kini sektor industri farmasi laut belum berjalan, bahkan
kegiatan risetnya relatif kurang. Hal ini merupakan tantangan bagi
Indonesia yang memiliki mega “bioviversity”.
(4) Industri Garam
Hingga saat ini produksi garam Indonesia hanya mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, sedangkan kebutuhan garam
industri harus dipenuhi dari impor.
Tingkat produkstivitas lahan pegaraman di Indonesia cukup
rendah, rata-rata 60 – 70 ton/hektar/tahun, bila dibandingkan dengan
Australia atau India yang dapat mencapai produktivitas diatas 200
ton/hektar/tahun. Kualitas garam yang dihasilkan umumnya juga
masih belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Distribusi dan pemasaran garam khususnya garam konsumsi
selama ini dirasakan kurang efisien, hal ini disebabkan oleh karena
pegaraman berada di pinggir pantai yang lokasinya terpencil (remote)
sedangkan prasarana menuju lokasi pegaraman rakyat sangat terbatas,
sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya harga yang diterima
petani garam, jauh lebih rendah dibandingkan harga di tingkat
konsumen. Rendahnya harga di tingkat petani produsen garam akan
menurunkan daya tarik bagi produsen garam dalam memproduksi
garam sehingga ketergantungan Indonesia kepada garam impor akan
semakin tinggi.
Ketergantungan pada garam impor khususnya untuk keperluan
garam konsumsi sangat tidak mendukung ketahanan nasional karena
garam adalah komoditi yang secara terus menerus dibutuhkan oleh
seluruh masyarakat sehingga dapat dikategorikan sebagai komoditi
strategis.
31
Teknologi pembuatan garam untuk industri belum dimiliki,
padahal garam industri harganya lebih baik dari garam konsumsi.
Oleh karenanya, dibutuhkan industri pengolahan garam untuk
kebutuhan industri lainnya.
(5) Industri Mutiara
Usaha budidaya mutiara saat ini sangat memprihatinkan karena
menemui berbagai persoalan, antara lain kualitas air, perijinan di
daerah dan keamanan.
Sesungguhnya industri mutiara dapat memberikan kontribusi
besar terhadap ekonomi kelautan dan kebutuhan pasar internasional
sangat luar biasa. Untuk itu dalam kebijakan kelautan usaha ini perlu
didorong agar bisa tumbuh secara cepat.
5.3.2 Pariwisata Bahari
Secara umum pembangunan pariwisata bahari, merupakan
bagian dari pembangunan kelautan yang terdiri dari berbagai sektor.
Kepulauan nusantara memiliki potensi wisata bahari cukup besar. Saat
ini belum digarap dan dikembangkan bagi peningkatan perekonomian
nasional.
Ciri khas keanekaragaman alam, flora, dan fauna yang tersebar
di kepulauan nusantara menjadi sumber potensi bisnis yang bisa dijual
dan memberi kontribusi pada pendapatan negara sektor industri
pariwisata. Tetapi pada kenyataanya, potensi ini belum dilirik oleh
kalangan pengusaha. Sebagian dari mereka belum yakin bahwa bisnis
yang dijalankan dengan basis sektor pariwisata ini menjadi peluang
bagus dan potensial mendulang uang di masa datang.
Potensi obyek wisata bahari ditawarkan dalam bentuk taman
nasional laut, taman wisata laut, suaka alam laut, suaka margasatwa
laut, dan situs peninggalan budaya bawah air tersebar di wilayah
perairan seluas 5,6 juta hektar dan ribuan pulau-pulau kecil. Selain itu
wisatawan bahari dengan menggunakan kapal layar pribadi maupun
komersial dapat menjangkau pulau-pulau kecil ynag tidak mungkin
dijangkau lewat darat atau udara. Hal ini tentu sangat membantu dalam
meningkatkan ekonomi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil,
yang banyak tersebar di seluruh pelosok nusantara. Oleh karenanya
pariwisata bahari dapat dijadikan piranti kebijakan untuk percepatan
pembangunan utamanya pada wilayah yang bercorak gugus pulaupulau kecil.
Hingga saat ini dukungan pemerintah bagi pariwisata bahari
masih sangat kurang, akibatnya usaha wisata bahari di hampir semua
wilayah perairan Indonesia tidak berkembang dengan baik. Akibatnya,
kontribusi wisata bahari terhadap dunia pariwisata di Indonesia secara
32
umum masih sangat minim. Ini berbeda dengan negara tetangga
seperti Malaysia, dimana industri wisata bahari mampu menyumbang
60% terhadap sektor kepariwisataan karena dukungan pemerintah
setempat yang maksimal.
5.3.3. Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah dengan pendekatan penataan ruang
yang dititik beratkan pada keserasian dan keseimbangan antara
pembangunan wilayah hulu dengan hilir; wilayah daratan (mainland)
dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan); serta antara
kawasan lindung dengan kawasan budidaya, masih sangat kurang. Polapola pembangunan kawasan pesisir belum terintegrasi dengan pola
pengembangan “integrated coastal management”. Kota-kota pesisir
banyak yang berperan sebagani pintu keluar (outlet) geografis
pemasaran dari barang-barang yang dihasilkan oleh kawasan
belakangnya (hinterland), namun kurang didukung oleh prasarana
transportasi yang memadai. Akibatnya biaya angkut logistik dari
pedalaman menjadi jauh lebih mahal dari biaya yang dikeluarkan dari
pelabuhan ekspor ke negara tujuan. Kondisi ini menyebabkan
rendahnya daya saing nasional Indonesia
5.3.4. Transportasi Laut
Menggeliatnya bidang riil akan berpengaruh terhadap
perkembangan usaha transportasi laut karena meningkatnya kegiatan
ekspor impor. Bertambahnya jumlah pengguna juga memberikan
dampak positif bagi bangkitnya transportasi darat. Setelah lebih kurang
empat tahun mengalami stagnasi akibat kondisi perekonomian nasional
yang dilanda krisis, para pelaku usaha di bidang transportasi laut boleh
menaruh harapan akan bangkitnya kembali bidang ini.
Hakikatnya, transport laut merupakan infrastruktur dan tulang
punggung kehidupan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia, sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia. Ditinjau dari segi daya saing,
pangsa muatan armada kapal nasional sangat rendah. Sistem
pelabuhan, saat ini hanya berperan sebagai cabang atau ranting dari
Singapura atau pelabuhan luar negeri lainnya serta pelayanannya masih
sangat tidak efisien, tidak aman, dan tidak produktif.
Disamping itu, fasilitas ekspor – impor masih sangat tidak
memadai, padahal Indonesia terletak di kawasan yang secara geografis
sangat strategis karena berada di jalur perdangangan internasional dan
akses langsung ke pasar global atau internasional, seperti Asia Pasifik,
Australia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa. Daya saing sumberdaya
manusia pelayaran, baik pelaut maupun sumberdaya manusia di
industri pelayaran masih relatif rendah.
33
Untuk menggairahkan transportasi laut perlu diupayakan
berbagai kebijakan yang mendukung. Misalnya menetapkan Pelabuhan
Tanjung Priok sebagai international hub port (pelabuhan pengumpul
internasional) yang diharapkan bisa mengurangi cost akibat transit di
Singapura. Diperkirakan penghematan bisa mencapai US$ 500 juta per
tahun. Menurut data statistik Indonesia mempunyai peti kemas 5,3 juta
twenty feet equivalent unit's (TEU's) per tahun. Sebanyak 90% dari
jumlah tersebut dikirim dulu ke Singapura kemudian baru dilanjutkan
ke negara tujuan ekspor. Untuk impor barang pun berlaku hal yang
sama. Artinya ada sekitar 9,4 juta TEU's yang keluar dan masuk
Indonesia setiap tahun.
Dalam kurun waktu tahun 1997-2006 Gross Domestic Product
(GDP) sektor transportasi laut terus mengalami peningkatan. Pada
tahun 1997 GDP sub sector transportasi laut mencapai Rp. 3.030 milyar
dan pada tahun 2003 diperkirakan akan mencapai Rp. 9.606 milyar atau
meningkat sekitar 300 persen. Sub sector transportasi laut merupakan
penyumbang GDP ketiga terbesar dalam sector transportasi setelah sub
sector transportasi kereta api dan transportasi darat. Untuk melihat
lebih jauh mengenai GDP sektor transportasi tersebut dapat dilihat
dalam Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Gross Domestik Produk (GDP) Bidang Transportasi Berdasarkan
Harga Pasar, 1997-2006 (Dalam Milyar Rupiah)
Tahun
Transportasi
Kereta Api
Transportasi
Darat
1997
1998
504,0
18.240,0
22.461,0
1999
308,0
Transportasi
Laut
3.030,0
4.284,0
Transportasi
Sungai, dan
Danau Ferry
1.974,0
2.597,0
Transportasi
Udara
2.543,0
3.664,0
Jasa
Transportasi
Total
5.402,0
8.326,0
31.497,0
41.836,0
622,0
20.595,0
5.321,0
2.752,0
3.673,0
9.773,0
42.736,0
2000
709,0
21.637,0
6.913,0
3.396,0
4.288,0
10.968,0
47.911,0
2001
777,0
29.015,0
8.094,0
3.963,0
5.370,0
12.244,0
59.463,0
2002
36.175,0
10.625,0
4.844,0
5.923,0
13.708,0
72.234,0
2003
959,0
1.158,6
39.356,6
11.997,6
2.933,3
7.483,0
16.606,4
62.627,0
2004
1.218,8
43.161,9
12.328,3
3.233,0
9.728,0
18.640,3
88.310,3
2005
1.238,3
58.215,8
13.974,4
3.896,9
11.979,2
20.966,6
110.271,2
2006
1.345,0
81.449,5
16.120,7
4.510,7
14.685,2
24.868,9
142.980,0
Kalau diperhatikan dari Tabel 6 di atas, terlihat bahwa sektor
transportasi laut belum menjadi tuan rumah di negerinya sendiri,
padahal kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar merupakan
lautan. Kendala yang dihadapi oleh para pengusaha transportasi laut
adalah masalah peraturan. Saat ini belum ada peraturan pelayaran
34
nasional yang memadai, sehingga selama ini peraturan internasional
dijadikan sebagai acuan. Peraturan inetrnasional tersebut banyak yang
tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Selain itu, peraturan di pusat
dan masing-masing daerah juga belum ada keseragaman, terlebih sejak
pemberlakuan otonomi daerah. Hal ini hendaknya menjadi pemikiran
bersama bagi kementerian Perhubungan dan kementerian terkait
lainnya, dalam mendukung iklim usaha yang lebih kondusif.
Jumlah kunjungan kapal di seluruh pelabuhan mengalami
fluktuasi, meskipun secara umum mengalami trend positif. Peningkatan
ini terjadi di 25 pelabuhan strategis yang tersebar diseluruh wilayah
Indonesia. Pada Tabel.7 ditunjukkan bahwa kunjungan dalam kurun
waktu 14 tahun terakhir di beberapa pelabuhan strategis telah
mengalami peningkatan lebih dari 45 persen. Penambahan jumlah gross
ton kapal juga terjadi sama besarnya. Namun secara keseluruhan,
jumlah kunjungan kapal yang masuk ke pelabuhan relatif stagnan. Akan
tetapi nilai gross ton kapal tersebut mengalami peningkatan lebih dari
50 persen. Ini menunjukkan bahwa ukuran kapal yang berlayar di
perairan Indonesia semakin bertambah besar dan nilai perdagangan
melalui jasa perhubungan laut semakin meningkat.
Tabel 7. Jumlah Kunjungan Kapal di Pelabuhan Tahun 1995-2008
25 Pelabuhan Strategis
Tahun
Seluruh Pelabuhan
Unit
GT
(000)
Unit
GT
(000)
1995
241 625
376 004
863 672
535 998
1996
161 026
466 967
542 086
674 141
1997
190 504
450 365
505 759
644 999
1998
260 883
495 194
471 807
712 816
1999
263 608
480 972
602 953
746 561
2000
244 270
500 508
665 245
731 851
2001
246 986
500 668
678 234
735 293
2002
335 504
552 800
755 781
909 546
2003
167 978
434 818
713 415
752 059
2004
204 623
435 643
531 250
734 532
2005
335 504
552 800
755 781
909 546
2006
238 448
460 329
509 228
743 463
35
25 Pelabuhan Strategis
Tahun
Seluruh Pelabuhan
Unit
GT
(000)
Unit
GT
(000)
2007
296 000
430 130
591 278
786 272
2008
352 043
450 399
729 564
822 968
Sumber : Kantor Admistrasi Pelabuhan, 2010
5.3.5 Energi dan Sumberdaya Mineral
Hingga akhir tahun 1990-an, kebutuhan bahan energi primer
dunia sebanyak 85 persen disuplai oleh bahan bakar fosil, yakni minyak
bumi sebesar 40 persen, batubara 25 persen, dan gas bumi 20 persen.
Adapun sisanya dipenuhi dari tenaga hidro dan nuklir. Bila konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) Indonesia diperkirakan naik sekitar 56
persen tiap tahunnya, maka pada awal abad baru nanti Indonesia
diperkirakan akan menjadi negara importir neto BBM. Keadaan ini
mesti diantisipasi dengan melakukan diversifikasi energi guna
mengurangi ketergantungan sumber energi pada BBM dengan
memanfaatkan sumber energi alternatif misalnya gas bumi, batu bara,
panas bumi, dan air, serta sumber energi nir-konvensional dari lautan
seperti OTEC, air pasang , gelombang arus, atau perbedaan salinitas
perairan. Oleh karena itu perlu dipikirkan teknologi pemanfaatan
sumber energi alternatif lainnya terutama sumber energi dari laut.
Kondisi kini sumber energi dari OTEC, gelombang, arus laut maupun
angin belum dieksploitasi. Kekayan mineral di dasar dan tanah bawah
laut yang terikat dalam “nodules” sangat besar potensinya untuk
dimanfaatkan menjadi “high technology industries” seperti: bahan
bakar peluncuran setelit ke angkasa luar dan kebutuhan industri “mikro
elektri”. Saat ini belum belum ada upaya pemerintah Indonesia untuk
eksplorasi dan eksploitasinya.
5.3.6 Industri Maritim
Industri galangan kapal, yang sebenarnya sangat strategis karena
mempunyai rantai hulu-hilir yang panjang, hingga saat ini belum
berkembang.
Industri maritim adalah salah satu sektor kelautan yang dapat
menjadi sumberdaya ekonomi potensial sebagai penyumbang
penerimaan devisa negara. Kegiatan ekonomi industri maritim ini
diantaranya adalah yang mencakup industri yang menunjang kegiatan
ekonomi di pesisir dan laut, yaitu industri galangan kapal dan jasa
36
perbaikannya (docking), industri bangunan lepas pantai, dan industri
pengolahan hasil pengilangan minyak bumi dan industri LNG.
Industri maritim sangat berpotensi dalam menjawab tantangantantangan masa depan dan member nilai tambah yang cukup tinggi
untuk produk-produk transportasi laut yang menghasilkan tambahan
devisa negara. Saat ini, terdapat industri galangan kapal yang mampu
membuat berbagai jenis kapal di Indonesia, baik yang merupakan
proses alih teknologi maupun kerjasama dengan pihak luar negeri.
Tabel 8 berikut ini menyajikan jenis kapal yang telah diproduksi di
Indonesia.
Tabel 8. Jenis-Jenis Kapal Produksi Dalam Negeri
No
Jenis Kapal
1
Kapal barang dan semi peti kemas 1500 DWT dan 3650 DWT
2
Kapal barang dengan kombinasi layar dan mesin 1000 DWT
3
Tanker kimia 16000 DWT
4
Tanker minyak 1500 DWT, 3500 DWT, 6500 DWT, 17000 DWT
5
Kapal penumpang & trailer roro 18900 GT
6
Kapal penumpang & mobil roro 200 – 600 GT dan 5000 GT
7
Kapal pemasok anjungan lepas pantai 3000 HP
8
Kapal pesiar penumpang FRP
9
Kapal patrol cepat 8000 HP / 57 m / 30 knot
10
Kapal patrol cepat 2440 HP / 28 m / 30 knot
11
Kapal penangkap ikan 150 GT, 300 GT
12
Kapal tunda 800 HP – 4200 HP
13
Kapal penangkap ikan tuna long-line
14
Kapal penangkap ikan tuna pool & line
15
Kapal penumpang PAX-500
16
Kapal curah (bulk carrier) sampai ukuran 42.000 DWT
17
Kapal LPG kapasitas 5.600 Cbm (cubic meter )
18
Pusher Tug/ Fire Fitting Tug Boat ukuran 4,200 HP
37
No
Jenis Kapal
19
Kapal keruk ukuran 12.000 Ton
20
Reparation floating storage ukuran 150.000 DWT
21
Kapal kontainer (Container Carrie) 600 TEU & 1600 TEU
22
Floating repair 150.000 DWT (Cinta Natomas)
Potensi galangan kapal di Indonesia saat ini tercatat ada sekitar
240 galangan kapal, yang sebagian besar adalah galangan kapal dalam
skala kecil dan 4 buah galangan kapal milik pemerintah yaitu : PT Dok
& Perkapal Kodja Bahari, PT PAL Indonesia, PT Dok dan Perkapalan
Surabaya dan PT Industri Kapal Indonesia. Dimana total investasi di
sektor industri kapal ini sejumlah kurang lebih 1.426 juta US Dollar
dengan menyerap tenaga kerja sebesar 35.000 tenaga kerja. Dengan
fasilitas yang dimiliki antara lain :
1. Building Berth ukuran sampai 50.000 DWT
2. Graving Dock ukuran sampai 50.000 DWT
3. Foating Dock ukuran sampai 6.500 TLC
4. Slipway ukuran sampai 6.000 DWT
5. Shiplift ukuran sampai 300 TLC
Pada saat ini terdapat sekitar 240 perusahaan galangan dalam
negeri yang tersebar di Indonesia, 37% berada di pulau Jawa, 26% di
Sumatra, 25% di Kalimantan dan 12% berada di Kawasan Timur
Indonesia, dengan kapasitas pembangunan kapal ter-pasang sebesar
140.000 GT per tahun. Namun demikian rata-rata produksi kapal per
tahun sebesar 85.000 GT sedangkan rata-rata reparasi kapal baru
mencapai 65.000 GT per tahun. Padahal sebenarnya potensi pasar
galangan kapal dalam negeri sangatlah besar. Hal ini salah satunya
dapat dilihat dari tingginya kebutuhan angkutan perdagangan
internasional dan antar pulau yang mencapai volume 400 juta ton per
tahun. Sayangnya, hanya 18,08% yang menggunakan kapal berbendera
Indonesia. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan perusahaan
pelayaran nasional untuk membeli armada kapal dari galangan kapal
dalam negeri.
Industri maritim nasional di bidang galangan kapal telah
berkembang dan terbagi dalam dua kategori industri, yaitu (i) industri
pembangunan kapal, dan (ii) industri pemeliharaan dan perbaikan
kapal. Dalam masa 2 dekade terakhir, ratusan hingga ribuan kapal telah
dibangun oleh galangan kapal nasional yang meliputi kapal niaga, kapal
38
untuk tujuan tertentu, kapal ikan, dan kapal perang. Dalam konteks
pemeliharaan, galangan kapal Indonesia belum mampu melakukan
perbaikan kapal dengan ukuran lebih besar dari 20.000 DWT, karena
ukuran docking domestik sangat terbatas.
Penyebaran lokasi galangan kapal nasional berdasarkan jumlah
perusahaan pada masing-masing wilayah di Indonesia selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Distribusi Lokasi Industri Galangan Kapal
No
1
2
3
4
Jenis
Industri
Galangan
kapal
Komponen
kapal
Lepas pantai
Pemecah
kapal
Jawa
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
dan
Papua
NTT
&
Bali
Total
97
63
65
14
11
7
257
157
41
9
9
4
0
220
10
5
3
1
0
0
19
17
3
0
1
0
0
21
Sumber: Dirjen Hubla, Kementerian Perhubungan (2010)
Besar galangan nasional cukup bervariatif, yaitu 65 persen
galangan nasional mempunyai kapasitas sampai dengan 500 GT, lebih
dari 25 persen berkapasitas antara 501 – 1000 GT dan sisanya
berkapasitas antara 1001 – 30.000 GT.
Selain industri galangan kapal, terdapat juga industri penunjang
yang dapat memberikan kontribusi ekonomi nasional, yaitu
pengembangan industri penunjang, seperti pabrikasi bahan-bahan
pembangunan kapal, permesinan, peralatan dan komponen lainnya
seperti pelat baja, rantai jangkar, tali kabel, jangkar, mesin utama (di
atas 500 HP assembling atau diproduksi sebagian), genset, main switch
boards, radio, mesin kulkas, hatch cover dan lain sebagainya. Produkproduk yang telah diekspor diantaranya adalah pelat baja, rantai,
pressure vessels, heat exchargers dan cat kapal.
Industri pelayaran juga memegang peran penting dalam
pembangunan ekonomi kelautan Indonesia.
Transportasi laut
merupakan bagian dari usaha industri jasa. Penyediaan armada-armada
perhubungan laut sudah barang tentu merupakan potensi ekonomi
kelautan yang menarik untuk dikembangkan.
Pelayaran laut
diantaranya meliputi pelayaran dalam negeri, pelayaran luar
negeri/samudera dan pelayaran khusus.
Secara makro, kontribusi nilai tambah galangan kapal dalam
negeri bagi PDB Indonesia baru mencapai 0,034 % dari total PDB.
Dengan total nilai investasi sekitar Rp.2,3 triliun dan total nilai produksi
kapal sekitar Rp.700 milyar, maka kontribusi tersebut relatif rendah.
39
Sebagai bahan perbandingan, industri sepeda dan komponennya yang
relatif tidak memerlukan teknologi canggih dan investasi besar saja
mampu memberikan kontribusi sekitar 0,023 % dari total PDB.
5.3.7 Jasa Kelautan
Wilayah Indonesia memiliki perairan dalam cukup banyak,
seperti di Laut Banda, Perairan sekitar Aceh, di Laut Arafura, Perairan
sekitar Kalimantan, di Perairan Sulawesi Utara (dekat Filipina) dan di
bagian selatan pulau Sumatera. Kawasan-kawasan itu dapat dijadikan
sumber air mineral berkualitas sangat baik untuk kebutuhan air
minum manusia, dan produk sampingannya menghasilkan garam
dapur dengan kandungan mineral cukup banyak. Kondisi sekarang
baru satu industri air minum mineral bersumber dari laut dalam, yaitu
berada di Bali. Sesungguhnya potensi kawasan itu di Indonesia cukup
banyak, diperkirakan bisa mendidirikan 25 pusat industri air minum
bermineral tinggi.
Jasa kelautan lainnya seperti benda muatan kapal tenggelam
memiliki potensi yang besar dan harus dikelolaa dengan baik sehingga
tidak menghancurkan nilai sejarah dari benda-benda purbakala.
Pendidikan dan riset kelautan diharapkan mendorong sektor-sektor
ekonomi dapat dikembangkan oleh tenaga terampil dan terdidik
sehingga dihasilkan terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
akan memberikan nilai tambah ekonomi bidang kelautan.
40
5.4 Kondisi Pertahanan dan Ketahanan Nasional
Indonesia, adalah sebuah negara kepulauan terbesar berbatasan
dengan 10 negara tetangga (India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand,
Filipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste). Hal ini juga
membawa sebuah konsekwensi bahwa laut menjadi kawasan perbatasan
atau tapal batas dengan beberapa negara tetangga tersebut. Disamping itu
sesuai konvensi internasional, wilayah kita pada alur pelayaran tertentu
dapat dilewati oleh kapal asing yang dikenal sebagai Alur Kepulauan Laut
Indonesia (ALKI).
Kawasan perbatasan tersebut juga menyimpan segudang
problematika yang menyentuh banyak aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam setiap dimensi keruangan; baik di pesisir, permukaan laut,
dasar laut, udara bahkan ruang angkasa di atasnya.
Ancaman faktual yang dihadapi saat ini yaitu gangguan keamanan
dan pelanggaran hukum di laut antara lain : perompakan (Armed Robbery at
sea), pembajakan (Piracy), penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing),
penyelundupan kayu (Illegal Logging). kejahatan yang tidak mengenal batas
negara atau dikenal dengan Transnational Crime/Transnastional Organized
Crime (TOC). Dari 8 kejahatan yang dikategorikan TOC, 5 diantaranya
dapat terjadi atau dilakukan lewat laut yakni:
1)
Peredaran
obat
terlarang, 2). Penyelundupan/ perdagangan manusia, 3) Perompakan,
4)Penyelundupan senjata dan 5)Terorisme
Wilayah-wilayah yang terbuka, terlebih yang berhimpitan dengan
choke points dan ALKI ini sangat mudah menjadi sasaran. Bahkan lebih
buruk lagi bisa terjadi benturan antara freedom of navigation dan isu
kedaulatan di daerah-daerah yang berhimpitan atau menjadi choke points
dan ALKI tersebut. Dalam perspektif defence proper, keberadaan ALKI
berarti pembagian Indonesia kedalam beberapa kompartemen strategis
yang sangat potensial rawan terhadap berbagai ancaman, yang bersumber
pada masalah (a) Sea Lines of Communication (SLOC) dan Sea Line of Oil
Trade (SLOT), (b) klaim pemilikan pulau-pulau terluar Indonesia, sesuai
data ada 92 pulau-pulau kecil dan sekaligus menjadi titik terluar wilayah RI,
dimana 12 pulau diantaranya diperkirakan dapat menjadi sumber konflik
dengan negara tetangga, dan (c) kehadiran kekuatan Angkatan Laut Asing
di Perairan Indonesia, khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapura.
Dalam peta perdagangan dunia, wilayah Indonesia menyediakan
jalur perdagangan terdekat melalui chokepoints yang menghubungkan
antara negara-negara di belahan bumi Utara dan Selatan, Timur dan Barat.
Lima dari enam chokepoint vital dalam perdagangan dunia di kawasan Asia
berada di Indonesia (lihat tabel dibawah). Dalam teori strategi maritim,
blokade Angkatan Laut dapat berbentuk distant blockade, bisa pula berupa
close blockade. Dewasa ini, isu blokade masih tetap dikhawatirkan oleh
negara-negara yang mempunyai kepentingan jauh dari wilayah nasionalnya.
41
Di kawasan Asia Pasifik, negara yang paling khawatir akan blokade adalah
Cina. Kekhawatiran Cina terhadap blokade adalah blokade jarak jauh
melalui pengendalian chokepoint, khususnya Selat Malaka.
Tabel 7. World Vital Chokepoint
Eastern
Mediterranian
and Persian Gulf
Bosporus
Dardanelles
Suez Canal
Strait of Hormuz
Bab el-Mandab
Eastern Pacific
Europe
Africa
The Americas
Malacca Strait*
Great Belt
Mozambique
Channel
Panama Canal
Sunda Strait*
Lombok Strait*
Luzon Strait
Singapore
Strait*
Makassar Strait*
Kiel Canal
Dover Strait
Gibraltar Strait
Cabot Strait
Florida Strait
Yucatan Channel
Windward
Passage
Mona Passage
*) Chokepoint yang terdapat di wilayah perairan Indonesia
Sumber: ?:…..
Saat ini (2010) TNI AL memiliki kurang lebih 148 kapal perang
berbagai kelas dan jenis, belum termasuk 2 kapal layar tiang tinggi yang ada
di TNI AL, jumlah kapal perang tersebut belum termasuk kapal patroli yang
panjangnya kurang dari 36 meter yang biasa disebut KAL atau kapal
angkatan laut yang berjumlah 317 unit, sedangkan kapal selam yang masih
beroperasi adalah 2 kapal selam KRI Cakra dan KRI Nanggala. Agar dapat
melaksanakan tugasnya dengan optimal, maka TNI Angkatan Laut
membutuhkan Alutsista yang memenuhi kebutuhan untuk memenuhi
peran, fungsi maupun tugasnya, baik di permukaan, bawah air dan udara
serta peralatan Marinir, bukan saja dalam jumlah yang memadai, namun
juga sesuai dengan operational requirement yang sesuai dengan konstelasi
geografi wilayah Indonesia.
Berbicara ketahanan nasional tidak terlepas dari kemampuan
masyarakat Indonesia untuk menangkal berbagai gangguan dan ancaman
dari luar maupun dari dalam. Aspek penting untuk menumbuhkan
ketahanan nasional yaitu ketersediaan pangan, energi dan papan. Jika
faktor kesejehteraan masyarakat tidak memadai maka akan berakibat
negatif pada daya ketahanan nasional.
Akhir-akhir ini, isu dan realita yang terjadi di dunia adalah krisis
pangan dan energi. Ancaman kekurangan pangan dan energi di Indonesia
sudah semakin terasa, banyak rakyat Indonesia ada dibawah garis
kemiskinan, akibatnya gejolak sosialmakin terlihat dan membesar. Untuk
diperlukan langkah jitu program pembangunan menghadapinya.
Disamping itu adanya krisis keuangan di Amerika dan negara-negara di
Eropa menyebabkan ekspansi kapital internasional ke negara-negara dunia
42
ketiga (investasi portofolio maupun Foreign Direct Investment).
Berkembangnya instrumen investasi baru bagi tujuan akumulasi capital.
Ancaman ini harus mendapat perhatian serius karena dapat mengakibatkan
ketahanan nasional terancam sehingga diperlukan kebijakan yang terpadu
dan komprehensif dalam membela kepentingan nasional.
5.5 Kondisi Kapasitas Pengelolaan Lingkungan dan Penanggulangan
Bencana di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kondisi lingkungan pesisir dan laut Indonesia mengalami degradasi
karena polusi oleh limbah perkotaan dan limbah industri, siltasi dan
sedimentasi yang diakibatkan pemanfaatan dan penataan ruang wilayah
hulu yang lemah. Kondisi lingkungan laut semakin rusak disebabkan,
antara lain oleh :
(1) Land based pollution, terutama akibat limbah rumah tangga yang
berasal dari kotakota besar dan pemukiman disepanjang daerah aliran
sungai dan sepanjang pesisir.
(2) Sea based pollution, yang memberikan kontribusi pada pencemaran
laut sebesar 30%, terutama pencemaran akibat limbah industri,
tumpahan dan ceceran minyak, dan limbah bahan berbahaya lainnya.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak ramah
lingkungan (misalnya: penambangan pasir, dan lain-lain) dan penebangan
hutan mangrove telah menyebabkan meningkatnya proses abrasi dan erosi
pantai sehingga menimbulkan kerugian yang besar. Pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara illegal (IUU Fishing) dan tidak ramah
lingkungan telah menyebabkan kerusakan sumberdaya ikan dan terumbu
karang. Keberadaan masyarakat adat yang sangat bergantung pada
sumberdaya alam dan memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber
daya alam juga belum dipahami dengan baik. Kearifan lokal sangat
diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya alam dan kelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Dinamika laut Indonesia memberikan pengaruh terhadap kondisi
lingkungan regional dan global sehingga perlu mendapat perhatian yang
memadai, karena selain memberikan dampak terhadap dinamika
sumberdaya ikan dan hayati lainnya, juga merupakan bagian dari dinamika
masa air samudera besar yang berpengaruh terhadap variabilitas iklim
regional dan global.
Pengaruh perubahan iklim global yang mengakibatkan kenaikan
permukaan air laut perlu dicermati sungguh-sungguh, karena memberikan
dampak yang besar bagi ekosistem pesisir dan bagi berbagai aspek
kehidupan manusia, seperti pemukiman, kesehatan, infrastruktur,
43
pertanian, kehutanan, dan sebagainya. Dewasa ini Indonesia telah mulai
menunjukkan perhatian terhadap pengaruh perubahan iklim terhadap laut
atau sebaliknya, khususnya melalui penyelenggaraan World Ocean
Conference yang telah melahirkan Manado Ocean Declaration. Usaha
tersebut masih belum disertai dengan peningkatan pemahaman
pengetahuan tentang upaya-upaya yang telah ada di luar forum perubahan
iklim yang telah dilakukan oleh masyarakat kelautan internasional, bahkan
sejak lahirnya Deklarasi Rio tahun 1992 beserta Agenda 21 yang pada Bab 17nya telah memuat program aksi di bidang kelautan. Keberadaan Agenda 21
tersebut masih belum digunakan dengan sebaik-baiknya dalam berbagai
rencana pengembangan laut.
Tatanan geologi kawasan Indonesia yang rumit sebagai akibat dari
interaksi 3 lempeng utama, yaitu lempeng Samudera Pasifik yang
bergerak ke arah barat, lempeng Samudera India-Benua Australia yang
bergerak ke utara, serta lempeng Benua Eurasia yang bergerak ke arah
Timur-Tenggara, menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa geologi yang
spektakuler
Pergerakan lempeng kerakbumi yang saling bertumbukan akan
membentuk zona subduksi dan menimbulkan gaya yang bekerja baik
horizontal maupun vertikal, yang akan membentuk pegunungan lipatan,
jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempa bumi serta
terbentuknya wilayah tektonik tertentu. Oleh karenanya Indonesia
merupakan wilayah yang rentang gempa.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam, maupun faktor manusia,
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU nomor
24/2007).
Besarnya resiko bencana merupakan resultan dari tiga unsur, yaitu:
ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu
kejadian. Saat ini, kondisi pengelolaan mitigasi bencana di laut, pantai dan
pulau-pulau kecil di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, seperti
yang dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang saat ini dilakukan belum
mensinergiskan pengelolaan dampak bencana dan resiko.
2. Upaya mitigasi bencana laut, seperti perangkat sistem peringatan dini,
perencanaan tata ruang dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, saat
ini berlum berjalan dengan baik dan masih dilaksanakan secara sektoral
oleh program kementerian atau lembaga yang bersangkutan. Begitu
pula dengan peraturan perundang-undangan mengenai migitasi
bencana yang juga masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi.
44
3. Pengetahuan masyarakat mengenai kebencanaan dan perangkat sistem
peringatan dini masih sangat minim, sehingga banyak sistem
peringatan dini yang dibuat oleh Pemerintah di banyak wilayah rawan
bencana tsunami yang hilang atau rusak.
4. Keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan, pemeliharaan dan
kepengelolaan kawasan pesisir dan laut dalam rangka mitigasi bencana
laut masih rendah.
5. Informasi mengenai potensi bencana di wilayah pesisir dan laut masih
sangat terbatas. Riset dan pengembangan teknologi di bidang kelautan
juga masih minim, serta teknologi dan manajemen pemeliharan,
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut masih kurang.
5.6 Kondisi Tata Kelola Kelautan
Tata kelola kelautan adalah sebuah proses interaksi antara sektor
publik dan sektor privat yang dilakukan untuk memecahkan persoalan
kelautan dan menciptakan kesempatan sosial-ekonomi di bidang kelautan,
seperti peningkatan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, pelestarian
sumberdaya dan lain sebagainya. Konsepsi ini menunjukkan bahwa tata
kelola memiliki spektrum yang lebih luas di mana persoalan kelautan
merupakan persoalan publik yang harus diselesaikan melalui interaksi
komprehensif antara sektor publik dan privat, dimana sektor publik
biasanya menjadi domain pemerintah sedangkan sektor privat menjadi
domain pelaku pemanfaatan sumberdaya kelautan seperti pelaku pelayaran,
wisata bahari, energi dan mineral di laut, perikanan, industri maritim,
industri farmasi laut dan sebagainya. Semua sektor saat ini belum tertata
baik.
Uraian dibawah ini secara ringkas mengemukakan kondisi kini tata
kelola dari setiap sektor:
1. Tata Pemerintahan Di Bidang Sumberdaya Manusia (SDM) dan
Budaya Bahari
Pendidikan merupakan unsur penting dalam hal menghasilkan
sumberdaya manusia yang berkualitas.
Semakin tinggi kualitas
pendidikan, maka akan semakin tinggi pula kualitas SDM yang
dihasilkan.
Pendidikan dasar dan menengah adalah tolak ukur bagi
kemajuan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kewenangan pengelolaan
ada di pemerintah kota.kabupaten, tetapi kurikulum nasional
berpedoman pada pusat yang tidak memprioritaskan pada laut hal
pembangunan sektor kelautan. Sedang pendidikan tinggi kewenangan
ada dipemerintah pusat, dalam kebijakannya tidak ada grand strategi
membuat universitas kelautan. Kebijakan pendidikan disusun oleh unit
kerja terkecil/fragmanted, tanpa lintas fungsi.
45
Keterpurukan tata kelola SDM kelautan, disebabkan belum adanya
koordinasi antar instansi yang terkait masalah SDM kelautan. Selain itu
saat ini belum terciptanya grand design untuk dapat menghasilkan SDM
kelautan yang berkualitas dan berkompetensi
Kebudayaan merupakan ciri kehidupan masyarakat dari suatu bangsa
yang dibentuk oleh sejarah dan terus berlangsung dalam waktu yang
lama.. Secara umum nilai-nilai budaya bahari sangat langka ditanamkan
kepada masyarakat baik melalui sistem pendidikan maupun kegiatan
kemasyarakatan.
Kondisi sekarang telah berganti dengan modernitas, akan tetapi
budaya lokal masih tetap dijaga dan dilestarikan, meskipun sudah sangat
sedikit budaya lokal yang terus dipertahankan. Hanya beberapa
kabupaten tertentu yang dengan sadar tetap mempertahankan dan
mengembangkan budaya bahari, seperti acara mane’e di pulau Kakorotan
(Sulut) yang masih mempertahankan budaya menangkap ikan,
perburuan ikan paus di Lamarera (NTT), suku terasing Bajo yang tetap
mempertahankan pemukiman di tepian pulau-pulau kecil tanpa
merambah ke darat dengan kehidupan bergantung kepada laut.
Dengan latar belakang sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa
maritim, dimana pelaut memiliki jiwa: pemberani, egaliter (tidak bersifat
“monarchy”), dan toleransi/kerjasama yang tinggi, seharusnya terpatri
pada karakter pemimpin bangsa sekaligus dijadikan jati diri bangsa. Saat
ini cerminan budaya bahari di masyarakat Indonesia telah berkurang.
Nilai dan perilaku bangsa terutama generasi muda saat ini sudah tidak
berjiwa bahari. Untuk itu diperlukan tindakan melestarikan kearifan
lokal, sehingga jati diri bangsa tidak akan menghilang pada kehidupan
masyarakat.
2. Tata Pemerintahan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menjadi salah satu faktor
penentu bagi keberhasilan pembangunan nasional. Oleh karenanya
berbagai IPTEK Kelautan sejauh mungkin harus dikuasai. Pengembangan
IPTEK perlu memperhatikan aspek-aspek yang terkait meliputi aspek
sumberdaya manusia (humanware), organisasi (orgaware), teknologi
(technoware) dan luaran yang dihasilkan berbentuk data dan informasi
(infoware).
Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini keterbatasan IPTEK
merupakan kendala dalam pengelolaan sumberdaya kelautan secara
optimal. Permasalahan dalam pengembangan IPTEK Kelautan antara
lain berkaitan dengan keterbatasan alokasi dana, tenaga ahli, teknologi,
dan sistem pendidikan yang belum berpihak kepada IPTEK Kelautan.
46
Aplikasi dari sistem pendidikan adalah ilmu pengetahuan dan
teknologi. Semakin maju sistem pendidikan dapat ditunjukan dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tersedia. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi ditandai dengan kemajuan dari bidang riset
atau penelitian ilmiah yang dilakukan.
Berbagai hasil riset dari pelbagai badan penelitian dan
pengembangan suatu kementarian maupun universitas, dalam kenyataan
hanya disimpan pada instansi yang melakukannya. Sesungguhnya, hasil
kajian dari berbagai kementerian maupun universitas-universitas harus
ada bank data dalam suatu badan/lembaga, agar informasi ilmiah tidak
membuat kebigungan bagi para penguna data tersebut. Disamping itu
data hasil riset seharusnya “link” dengan dunia industri.
Dengan demikian tata kelola IPTEK di bidang kelautan perlu di
jabarkan pada Kebijakan Kelautan Indonesia, agar pembangunan
kelautan dapat berjalan secara maksimal.
3. Tata Pemerintahan Di Bidang Ekonomi Kelautan
Sektor pembangunan sebagai pemasok ekonomi negara bersumber
dari laut, yaitu perikanan, pelayaran, energi dan mineral laut, pariwisata
bahari, industri maritim, industri farmasi laut, industri garam, kota
bandar dan jasa kelautan. Agar setiap sektor tersebut dapat berkembang
dibutuhkan adanya dukungan yang kondusif dari berbagai sektor lainnya
seperti perbankan, infrastruktur, sistem logistik dan perdagangan dan
lain lain. Namun dalam kenyataan hingga saat ini masih belum terwujud
suatu sistem tata kelola ekonomi kelautan yang mampu memaduserasikan lintas sketor yang memadai. Hal ini salah satunya diakibatkan
dari tiadanya kesamaan wawasan kelautan dalam pencabaran visi dan
misi pembangunan nasional sebagaimana yang dirumuskan dalam RPJP
Nasional 2025.
Umumnya sektor-sektor yang diuraikan diatas tata kelolanya belum
berjalan baik diperlukan penataan dan regulasi, agar semua kegiatan
pembangunan terintegrasi, terpadu dan sinergi dengan pembangunan
yang ada di daratan.
4. Tata Pemerintahan di Bidang Lingkungan Laut
Ekosistem laut dan pesisir sering menerima ancaman pencemaran
dan perusakan lingkungan, baik dari daratan maupun di laut, seperti
tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal tanker maupun airballast.
Ancaman ini berpengaruh besar terhadap kehidupan hayati di laut.
Belakangan ini tiga habitat pantai (terumbu karang, padang lamun dan
bakau) telah terjadi kerusakan berat akibat aktifitas di pesisir pantai.
47
Sisi lain, wilayah Indonesia rawan bencana sebagai akibat gerakan
lempengan Eurasia dan Australia yang bergerak terus mengakibatkan
wilayah pantai terjadi kerusakan, disamping itu oleh adanya gelombang
dan arus dibawah permukaan mengakibatkan pengikisan pantai,
sehingga mengancam ekosistem pesisir.
Selain pertimbangan tersebut, ekosistem laut dan pantai memiliki
kemampuan sebagai pengendali efek rumahkaca (adanya kandungan
karbon dioksida), sehingga kedua ekosistem itu perlu dijaga dan
dikontrol.
Ancaman lingkungan yang diuraikan diatas sampai saat ini belum
diatur tata kelolahnya, sehingga dalam kebijakan kelautan perlu
diwujudkan sinergi antar instansi terkait.
5. Tata Pemerintahan di bidang Keselamatan, Keamanan dan
Penegakan Hukum di Laut
Pelayaran merupakan bentuk transportasi massal yang menggunakan
laut sebagai medianya dan sangat diminati oleh masyarakat. Masyarakat
yang melaksanakan perjalanan antar pulau terutama untuk jarak jauh
memilih pelayaran karena pelayaran sangat terjangkau dari segi biaya.
Saat ini pelayaran banyak diselenggarakan oleh pihak swasta. Akan tetapi
keselamatan pelayaran terkadang menjadi hal yang dianggap tidak
penting oleh operator kapal, terutama pelayaran rakyat serta pelayaran
antar pulau dengan jarak yang dekat.
Sarana penting lainnya dalam sistem keselamatan pelayaran adalah
ketersediaan stasiun radio pantai (SROP). Saat ini jumlah SROP hingga
tahun 2007 tercatat sebanyak 222 buah. Jumlah ini masih relatif belum
sesuai dengan kebutuhan ideal, terutama untuk SROP dengan GMDSS
dengan tingkat kebutuhan 84 unit (sementara hingga tahun 2007 baru
tersedia 33 unit) dan SROP dengan Mobile Divice dengan tingkat
kebutuhan sebanyak 218 (sementara hingga tahun 2007 baru tersedia 150
unit). (Dephub, 2008 )
Armada TNI Angkatan Laut Indonesia masih jauh dari harapan
untuk dapat menjadi armada angkatan laut yang kuat dan tangguh. Saat
ini kapal perang yang dimiliki angkatan laut tidak sebanding dengan
luasnya wilayah lautan yang harus dijaga. Belum lagi kapal-kapal perang
yang dimiliki Indonesia rata-rata berumur diatas 50 tahun dan
merupakan kapal perang bekas Uni Soviet di era perang dingin.
Demikian halnya juga dengan kapal selam. Jumlah kapal selam yang
dimiliki Indonesia masih kurang dibandingkan Malaysia yang memiliki
wilayah lautan yang lebih sempit dari wilayah Indonesia.
Kemudian kekuatan armada polisi air sangat terbatas, bahkan biaya
operasional di laut relatif terbatas. Bagaimana mungkin keamanan dan
48
keselamatan di laut yang wilayah jangkauannya luas bisa tercapai
berhasil baik.
Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas, yaitu Samudera
Hindia, Samudera Pasifik, dan Laut Cina Selatan menjadi jalur pelayaran
yang sangat penting bagi jalur perdagangan dan pelayaran dunia. ALKI
yang menjadi jalur pelayaran bagi perekonomian dunia menjadikannya
rentan terhadap kriminalitas yang terjadi dilaut. Selat Malaka menjadi
jalur yang berbahaya bagi setiap kapal niaga yang melewatinya. Hingga
saat ini banyak terjadi kriminalitas yang dilakukan perompak terhadap
kapal-kapal dagang dan kapal yang bermuatan ekonomis lainnya.
Meskipun telah dilaksanakan kerjasama antar angkatan laut Indonesia
dengan angkatan laut negara lain, akan tetapi kasus perompakan masih
sering terjadi. Hal ini dikarenakan luasnya lautan serta minimnya kapal
patroli untuk menumpas para perompak.
Perdagangan manusia (human trafficking) juga masih menjadi
permasalahan, perdagangan manusia lebih banyak dipekerjakan pada
sektor informal seperti di tempat hiburan. Hal ini tentunya dapat
menurunkan martabat bangsa Indonesia. Umumnya perdagangan
manusia dilakukan melalui laut, karena dianggap laut lemah dalam hal
pengawasan dari aparat keamanan.
Selain perdagangan manusia (human trafficking), narkoba juga
masih menjadi pekerjaan bagi aparat keamanan untuk dapat diatasi.
Umumnya peredaran narkoba berasal dari negara Malaysia, Cina, Iran,
Afrika serta negara timur tengah lainnya.
Tata kelola pemerintahan di laut menyangkut dengan Keselamatan,
keamanan dan penegakan hukum, dapat dikatakan belum tersedia,
padahal banyak peristiwa kriminal dan transaksi ilegal yang terjadi akhirakhir ini. Untuk itu tata kelola perlu dibenahi sedini mungkin, agar
wilayah laut kita aman dari segala kondisi berbahaya.
6. Tata Pemerintahan Pusat dan Daerah
Bidang kelautan adalah wilayah kerja yang sangat luas, berbagai
kementerian maupun swasta terlibat dalam memanfaatkan laut, baik
mengestraksi sumberdaya alam laut maupun laut sebagai media
penghubung. Sampai saat ini hubungan antar lembaga di pusat kurang
harmonis karena masih bersifat ego sektoral. Masing-masing lembaga
masih mementingkan kepentingan lembaga mereka sendiri. Hal ini
menyebabkan pengelolaan dan pemanfaatan laut hingga sekarang tidak
terpadu dan terintegrasi. Meskipun telah dibentuk Dewan Maritim
Indonesia pada tahun 1999 yang kemudian diubah nomenklaturnya
menjadi Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2007, akan tetapi hal ini
belum bisa menciptakan keterpaduan dan integrasi antar lembaga.
49
Desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah juga telah
mengakibatkan meningkatnya konflik pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam, baik antarwilayah, antara pusat dan daerah, serta
antar pengguna. Masih sering terjadi ketidakpaduan antara peraturan
daerah dengan peraturan pemerintah pusat. Akibatnya sering terjadi
permasalahan di daerah.
5.7 Kondisi Kerjasama Regional dan Internasional.
Kegiatan memanfaatkan potensi kelautan tidak akan terlepas dari
negara-negara lain, karena wilayah laut berhubungan secara fisik, baik
negara tetangga maupun dengan negara jauh dari Indonesia. Sebagai
contoh sifat ikan tuna bermigrasi jauh, sehingga kegiatan eksploitasinya
berkaitan dengan peraturan perundangan internasional. Oleh karena itu
suatu kewajiban untuk aktif dalam kerjasama regional maupun
internasional.
Beberapa bentuk kerjasama regional yang merupakan implementasi
dari konvensi hukum laut internasional antara lain:
a. Laut Tertutup dan Separuh Tertutup yang melingkupi Indonesia :
1) Pengembangan kerjasama Laut Cina Selatan
2) Pengembangan Kerjasama Laut Sulawesi
3) Pengembangan kerjasama Laut Arafura
4) Pengembangan kerjasama Laut Timor
b. Pengembangan Kerjasama Samudera Hindia
1) IOR-ARC (Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation)
2) IOTC (Indian Ocean Tuna Commission)
3) IOMAC (Indian Ocean marine Affair Cooperation)
4) CCSBT (Convention on Conservation Southern Bluefine Tuna)
5) Conference (US PACOM MILOPS)
c. Pengembangan Kerjasama Samudera Pasifik
1) MHLC (Multilateral Highlevel Conference) / Ratifikasi UNIA-United
Nations Implementing Agreement (Hight Seas Fisheries)
2) US-Pacific Command on Military and law Operations
3) ARF (ASEAN Regional Forum)
Kerjasama regional dan internasional saat ini, untuk sektor pelayaran
Indonesia telah masuk anggota International Maritime Organization (IMO)
pada kategori C dan aktif. Dalam sektor perikanan, didasarkan pada
UNCLOS’ 1982 pasal 63: mendorong kerjasama pengelolaan fish stock di
kawasan ZEE yang berbatasan, dan pasal 64: mendorong kerjasama
pengelolaan bagi “highly migratory fish stock” maka tahun 1995 ada suatu
kesepakatan, yaitu “UN Implementation Agreement (UNIA)” Agreement
for the Implementation of the Provisions of UNCLOS 10 Dec 1982
Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish
50
Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995, Indonesia telah
meratifikasi melalui UU No.21 Tahun 2009.
Disamping itu ada juga Agreement to Promote Compliance with
International Conservatioan and Management Measures by Fishing
Vessels on the high Seas 1993 (FAO Compliance Agreement 1993), inti
kesepakatan tersebut adalah kapal yang menangkap ikan di laut lepas harus
mendapatkan ijin dari negara, diberi tanda kapal tertentu dan negara
menjamin kepatuhannya terhadap aturan internasional; Semua kapal yang
beroperasi di laut lepas harus mematuhi ketentuan yang ada pada
Compliance Agreement ini; Negara bendera harus melaporkan kepada
RFMO (Regional Fisheries Management Organization) kapal-kapalnya yang
beroperasi di laut lepas.
RFMO di sini adalah organisasi perikanan regional yang mempunyai
mandat dalam pengelolaan perikanan di laut lepas (high seas) bagi
sumberdaya ikan yang mempunyai sifat bermigrasi jauh hingga sampai ke
perairan ZEE atau bahkan sampai ke laut teritorial suatu negara.
Beberapa RFMO yang ada di dunia dan aktif yaitu Indian Ocean Tuna
Commission (IOTC) Indonesia sudah masuk anggota sejak tahun 2007;
Convention on Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) Indonesia
sebagai anggota sejak tahun 2008; Western Central Pacific Fisheries
Commission (WCPFC) Indonesia hanya sebagai Cooperating Non-Member;
Inter-America Tropical Tuna Commission (IATTC) yang mengelola Laut
lepas Samudera Pasific Bagian Timur, Indonesia belum masuk sebagai
anggota, kemudian International Commission for the Conservation of
Atlantic Tunas (ICCAT) yang mengelola Laut lepas Samudera Atlantik ,
Indonesia tidak aktif dalam organisasi ini.
Lingkup negara-negara ASEAN Indonesia cukup berperan aktif bahkan
tahun 2011, dalam berbagai forum pertemuan regional ASEAN Indonesia
sebagai ketua forum.
51
6.
STRATEGI UTAMA PEMBANGUNAN KELAUTAN
Untuk menyatukan seluruh modal dasar, potensi dan kekuatan nasional
dalam rangka pencapaian visi dan misi pembangunan nasional, perlu disusun
strategi utama (grand strategy), yaitu sebagai berikut :
6.1 Ocean Economic Policy (Kebijakan Ekonomi Kelautan)
1. Mengembangkan pembangunan ekonomi kelautan yang berbasis pada
sumberdaya alam melalui pola perencanaan pembangunan nasional secara
proporsional antara matra darat dan matra laut;
2. Meningkatkan ekonomi kelautan melalui sektor: perikanan; pariwisata
bahari; pelayaran; bangunan kelautan, insdustri maritim, energi dan
sumberdaya mineral laut; dan jasa kelautan seperti : Air laut-dalam
(Deep Ocean Water), perubahan suhu air untuk pembangkit tenaga listrik
(OTEC).
3. Mendorong pertumbuhan industri farmasi laut sebagai sumber baru
ekonomi kelautan, dan industri garam serta industri mutiara.
4. Mengembangkan kota-kota pesisir menjadi kota-kota “Bandar dunia”,
sebagai pusat perdagangan.
5. Mendorong percepatan pembangunan wilayah di kawasan perbatasan dan
pulau-pulau kecil terdepan untuk meningkatkan ekonomi Nasional.
6.2 Ocean Governance Policy (Kebijakan Tata Kelola Kelautan)
1. Mendorong terbentuknya suatu sistem kelembagaan pemerintahan di laut
secara komprehensif dan terintegrasi sejak dari perencanaan, implementasi
sampai evaluasi program-program yang diarahkan untuk mencapai sasaran
pemanfaatan laut secara keseluruhan
2. Memperkuat sumberdaya manusia untuk menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan di laut yang didasarkan pada peraturan perundangan baik
nasional maupun internasional.
3. Meningkatkan tata pemerintahan di bidang ekonomi kelautan, lingkungan
laut, Keselamatan, Keamanan Dan Penegakan Hukum dan tata
pemerintahan Pusat Dan Daerah.
4. Meningkatkan pengelolaan aset (kekayaan negara) di bidang kelautan
berupa pesisir, laut, dasar laut, tanah di bawah dasar laut dan segala
kekayaan yang terkandung di dalam/ di atasnya,termasuk keindahan, serta
yang tidak terlihat (intangible) seperti rute-rute penerbangan/pelayaran,
dan frekuensi radio
5. Mempercepat penyelesaian batas wilayah dan yurisdiksi negara di laut,
dengan negara-negara tetangga
52
6.3 Maritime Culture Policy (Kebijakan budaya bahari)
1. Meningkatkan dan menguatkan peranan sumberdaya manusia di bidang
kelautan melalui pendidikan dan upaya-upaya lain untuk membangkitkan
wawasan dan budaya bahari;
2. Meningkatkan budaya kelautan seperti
menjujung tinggi nilai-nilai
keuletan, kerja keras, keberanian menanggung resiko (enterpreunership),
gotong royong, menghargai perbedaan dan cinta akan lingkungan;
3. Mendorong tumbuhnya kearifan-kearifan lokal sebagai indikator
keunggulan dan kekhasan yang dicapai oleh berbagai suku bangsa di
Indonesia;
4. Meningkatkan bandarlama sebagai kota pantai yang merupakan
perwujudan budaya bahari Nusantara.
6.4 Maritime Security Policy (Kebijakan Keamanan Laut)
1. Mendorong penyediaan fasilitas armada pengawasan termasuk alutsista
untuk memperkuat pertahanan di wilayah “maritime boundary”
2. Meningkatkan strategi pertahanan dan keamanan di laut dalam rangka
menjaga kedaulautan NKRI;
3. Mendorong percepatan pembangunan wilayah di choke points dan sabuk
batas wilayah teritorial Indonesia;
4. Mendorong terbentuknya Indonesian Coast Guard yang kuat dengan
memiliki kewenangan dalam Maritime Law Enforcement, Search and Rescue
at Sea, Environment Protection, Shipping Safety, Fishery Protection, Custom
and Imigration.
5. Mendorong dan peningkatan Indonesia berperan aktif dalam organisasi
dunia, seperti ARF (Asean Regional Forum), ADMM (Asean Defence
Minister Meeting), ASPC (Asean Political and Security Council), PSI
(Prolifereaction Security Initiative) dan CSI (Container Security Initiative).
6.5 Marine Environment Policy (Kebijakan Lingkungan Laut)
1. Mengurangi resiko bencana di pesisir, pencemaran dan perubahan iklim
global.
2. Mengembangkan konsep kewilayahan dan tata ruang yang menerapkan
prinsip “bioekoregion” gugus pulau;
3. Meningkatkan peran laut sebagai salah satu ekosistem pengendali efek
rumahkaca.
4. Mengembangkan pengelolaan sumberdaya alam hayati maupun nir- hayati
yang ramah lingkungan serta perencanaan di wilayah pesisir dengan prinsip
“coastal zone integrated”;
5. Mendorong terciptanya laut bersih serta laut dijadikan sumber kehidupan
bangsa masa kini dan masa depan.
53
6. Mendorong adanya kawasan lindung laut sebagai daerah pengendali
populasi hayati yang berperan sebagai sumber pangan.
54
7. KONDISI YANG DIHARAPKAN
Dinamika pembangunan baik secara nasional, regional maupun global
berubah sangat cepat. Indonesia perlu memiliki pandangan jauh ke depan
guna mempertahankan dan mengembangkan kelautan bagi kemajuan bangsa
dan negara. Peran laut sangat vital bagi negara kepulauan Indonesia yakni
sebagai pemersatu wilayah, politik dan ekonomi. Untuk mewujudkan negara
maritim yang kuat sebagaimana uraian visi pada bab terdahulu, maka kondisi
yang diharapkan adalah sebagai berikut.
7.1
Wawasan Kelautan Yang Mantap
Pemahaman terhadap bentuk fisik, arti, peran dan fungsi laut oleh
seluruh masyarakat Indonesia pada berbagai lini sangat diperlukan. Karena
pemahaman itu merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu negara
kepulauan (archipelagic state). Wawasan kelautan sudah seharusnya
ditanamkan pada manusia berusia dini (anak-anak) melalui pendidikan
formal maupun non formal. Oleh karenanya pengenalan wilayah Indonesia
yang wilayah laut lebih luas dari daratan dan potensi serta kekayaan alam
laut yang berpola, harus masuk ke dalam kurikulum nasional.
Intinya membangkitkan wawasan kelautan dan budaya bahari dapat
dijalankan melalui:
1) Pendidikan dan penyadaran masyarakat melalui semua jalur, jenis dan
jenjang pendidikan. Oleh karena itu kurikulum pendidikan SD, SLTP
dan SLTA wawasan kelautan wajib dimasukan;
2) Menyosialisasikan wawasan kelautan melalui buku-buku bacaan bagi
anak-anak tingkat TK, SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi;
3) Melestarikan nilai-nilai budaya bahari serta merevitalisasi hukum adat
dan kearifan lokal di bidang kelautan;
4) Melindungi dan menyosialisasikan peninggalan budaya bawah air
melalui usaha preservasi, restorasi dan konservasi.
Mantapnya wawasan kelautan di seluruh masyarakat termasuk para
pengambil kebijakan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) akan mempercepat
pembangunan kelautan sebagai pilar utama ekonomi bangsa, ketahanan
pangan, kekuatan menjaga kedaulatan, mengentaskan kemiskinan, dan
peran Indonesia di kancah dunia.
7.2 Pembangunan SDM, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan perdagangan internasional tumbuh secara cepat
hampir tidak terlihat batas (borderless) antar negara, ditandai kebutuhan
armada kapal dagang yang berukuran besar untuk memenuhi
pengangkutan barang dagangan antar pulau maupun negara, akan
55
berimplikasi pada permintaan tenaga kerja di kapal (awak kapal) akan
membesar. Sesuai dengan amanat UUD 1945, yang mewajibkan negara
untuk mencerdaskan kehidupan rakyatnya maka pemerintah wajib
meningkatkan sumberdaya manusia sesuai standar kompetensi yang
dituntu oleh pasar internasional.
International Shipping Federation (ISF) sampai pada tahun 2015
memperkirakan dalam memenuhi operasional jasa transportasi laut,
dibutuhkan sekitar 400.000 pelaut. (Sumber : Go to sea “ A campaign to
attract entrants to the shipping industry” Sambutan Pembuka Sekjen
IMO,2007), Diharapkan dalam pada tahun 2015 Indonesia dapat
menyediakan sekitar 12.000 pelaut yang dibutuhkan oleh dunia
internasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu terbangun 6 Sekolah
Tinggi Pelayaran yang merupakan center of excellences berstandar
internasional, yaitu di Banda Aceh, Batam, Jakarta, Semarang, Makasar,
Bitung, dan Ambon, yang terpadu dengan sistem SMK pelayaran berstandar
internasional di kota-kota pesisir.
Kebutuhan tenaga di kapal-kapal perikanan internasional setiap
tahun meningkat, namun Indonesia kurang mampu bersaing dengan
tenaga-tenaga dari Filipina dan Korea. Untuk itu sistem pendidikan bagi
para tenaga kapal ikan lebih ditingkatkan agar memenuhi standar
internasional
Tenaga terdidik yang dibutuhkan hingga tahun 2015 dalam perkiraan
kebutuhan SDM untuk sub sektor penangkapan sebanyak 1.020.000 orang,
untuk mendukung program minapolitan 3.152.000 orang, penyuluh 12.000
orang, ABK 12.000 orang dan manajer usaha perikanan 3.000 orang. Jumlah
total SDM kelautan dan perikanan tersebut sebanyak 4.199.000 orang.
(Sumber: BPSDMKP, 2010)
Terwujudnya pusat-pusat riset kelautan perairan tropis, bioteknologi
kelautan, Farmakologi kelautan, energi kelautan, survey mineral dasar laut
yang merupakan Center of Excelences dunia karena terletak di garis
khatulistiwa, penuh keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam
kelautan, melalui :
a. Kerjasama dengan lembaga-lembaga RIPTEK terkemuka di dunia.
b. Membangun SDM RIPTEK kelautan melalui pendidikan di dalam dan
luar negeri .
c. Menyediakan insentif untuk menumbuhkan minat dan budaya RIPTEK
kelautan.
d. Integrasi kegiatan RIPTEK kelautan dengan kegiatan industri.
56
7.3 Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan
1) Perikanan sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan
ekonomi kelautan diharapkan pada tahun 2025 akan mampu
mewujudkan kondisi sebagai berikut :
a. Meningkatnya kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan
masyarakat pesisir;
b. Terbangunnya kapal ikan baru dengan ukuran masing-masing ≥ 70 GT
sesuai daya dukung alam di setiap wilayah pengelolaan perikanan
(WPP);
c. Terbangunnya kawasan budidaya perikanan (marikultur, payau dan
air tawar) yang baru seluas 100.000 Ha yang tersebar di pesisir Timur
Sumatera, Selat Karimata, Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini,
Sangihe, Talaud,, Maluku Utara dan Papua Utara, Maluku dan Papua
Selatan, dan Selat Makasar;
d. Terbangunnya kawasan industri (cluster) pengolahan ikan terpadu
dengan pusat-pusat distribusi dan pemasaran pada kawasan-kawasan
di pesisir/perairan Barat Sumatera, Selat Karimata, Selatan Jawa, Nusa
Tenggara, Teluk Tomini, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku dan
Papua, dan di pesisir Timur Sumatera, Selat Karimata, Utara Jawa,
Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Maluku Utara dan Papua Utara,
Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makssar.
2) Menjadikan Indonesia menjadi pusat industri kelautan, seperti industri
Farmasetika Laut, Industri garam, industri mutiara dan bioteknologi
yang berstandar internasional yang bisa memenuhi kebutuhan dalam
dan luar negeri. Adapun tolok ukur pencapaiannya adalah :
a. Terbangunnya 7 industri farmasi laut yang mampu bersaing dengan
industri di negara-negara maju, lokasinya di Jawa, Sumatera, Sulawesi,
Kalimantan, Papua, Maluku dan NTB;
b. peningkatan kualitas industri garam rakyat menjadi garam untuk
kebutuhan industri lainnya, sehingga kebutuhan garam tidak
tergantung dari negara lain;
c. Terbangunnya pusat-pusat industri mutiara di NTB, Maluku, Bangka
Belitung dan Papua;
d. Terciptanya industri bioteknologi kelautan yang dapat didayagunakan
untuk pengendalian pencemaran/polusi di perairan; dan
e. Terciptanya minat industri dan dunia usaha untuk memanfaatkan
bioteknologi kelautan dalam mengolah produk-produk industri yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
57
3) Transportasi laut sebagai industri pelayaran adalah salah satu sektor
penting dalam pembangunan ekonomi kelautan diharapkan pada tahun
2025 akan mampu mewujudkan kondisi sebagai berikut :
a. Terbangunnya armada pelayaran nasional yang dapat memenuhi
seluruh kebutuhan di dalam negeri dan berdaya saing internasional
sehingga dapat berperan fair share, yaitu 40 persen kegiatan ekspor
impor.
b. Pelayaran rakyat mendapat peranan penting dalam pelayaran
nusantara, khususnya dalam sistem distribusi logistik nasional dan
angkutan penduduk antar pulau
c. Terbangun sekurang-kurangnya 3 pelabuhan hub-internasional yaitu
di Sabang, Batam, dan Bitung yang didukung oleh sub-sub syistem
pelabuhan di dalam tatanan pelabuhan nasional yang berdaya saing.
d. Terbangun 2 kawasan industri galangan kapal utama nasional, yaitu di
Batam-Bintan-Karimun dan Bitung,
e. Pelabuhan-pelabuhan yang sudah ada juga perlu didorong dengan
kualifikasi pelabuhan peti kemas, sehingga dapat menarik investor
untuk mendirikan industri dan bisnis lain dengan dukungan
hinterland-nya.
f. Terbangun 6 Sekolah Tinggi Pelayaran yang merupakan center of
excellences berstandar internasional, yaitu di Banda Aceh, Batam,
Jakarta, Semarang, Makasar, Bitung, dan Ambon, yang terpadu dengan
sistem SMK pelayaran berstandar internasional di kota-kota pesisir.
4) Pariwisata bahari seharusnya menjadi salah satu sumber pertumbuhan
ekonomi di bidang kelautan serta menjadi sumber devisa negara. Potensi
pariwisata bahari yang sangat besar yakni dari 50 titik wisata bahari
dunia yang diakui sebagai tempat wisata terindah bertaraf internasional,
tiga titik di antaranya berlokasi di Indonesia yaitu di Tulamben (Bali),
Likupang (Sulut), dan Pulau Tomia (Wakatobi). Adanya pengakuan
internasional seperti ini jelas merupakan peluang yang besar untuk dapat
mengambil keuntungan ekonomi. Tiga lokasi tersebut dapat dijadikan
contoh pengembangan wisata bahari di tempat-tempat lain di Indonesia,
dengan mengandalkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh
masing-masing tempat. Bila ini dilakukan, tidak mustahil bahwa di masa
mendatang wisata bahari akan menjadi salah satu tumpuan dan harapan
pembangunan bangsa ini.
Pengalaman di berbagai negara maritim menunjukan bahwa pariwisata
bahari dapat menjadi tulang punggung pembangunan ekonominya. Atas
dasar itu maka Indonesia pada tahun 2025 harus mampu mewujukan
kondisi sebagai berikut :
 Terbangunnya daya saing dari kawasan pariwisata bahari andalan yang
telah ada, antara lain: di Pulau Nias, Mentawai, Batam, Bintan
58
Kepulauan Seribu, Krakatau, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang
Tritis, Bali, Lombok, Komodo, Moyo, Derawan, Wakatobi, Togean,
Bunaken, Banda, Takabonerate, dan Raja Empat.
 Terbangunnya sarana dan prasarana kawasan pariwsata bahari baru,
antara lain: di Pulau Weh, Pulau Banyak, Pulau Enggano, Pulau Rupat,
Kepulauan Bangka Belitung, Anambas, Natuna, Roti, Kupang,
Lembata, Alor, Banggai, Sangihe, Talaud, Ternate, Biak, dan Mapia
Teratasi permasalahan pengembangan pariwisata bahari nasional disaat
ini antara lain :
a. Prosedur untuk mendapatkan izin masuk CAIT (Clearance
Approval for Indonesian Territory) sangat mempersulit wisatawan
bahari mancanegara sehingga banyak cruiser/yacht enggan untuk
berkunjung ke obyek-obyek wisata bahari Indonesia;
b. Pengurusan CIQP masih perlu diperbaiki, utamanya mengenai
durasi VoA (Visa on Arrival) maupun visa bisnis yang dinilai masih
kurang lama dan tidak konsisten dengan durasi dari CAIT. Para
yachter mancanegara menginginkan waktu lebih dari 60 hari agar
mereka dapat mengunjungi banyaknya obyek di wilayah nusantara.
c. Persepsi keamanan nasional dan pengeolaan kesehatan lingkungan
yang buruk
d. Belum terjadi kerjasama antardaerah untuk menghimpun events
dan objects
e. Program APBN/APBD masih terlalu berorientasi pada proyek
Economic Overhead Capital (EOC) dan Social Overhead Capital (SOC),
belum pada Directly Productive Activity (DPA);
f. Belum ada kebijakan sistem prosedur kapitalisasi aset dan dana.
Perlu diintegrasikan value engineering untuk mengubah lahan pesisir
murah menjadi kawasan budidaya perikanan yang produktif dengan
financial engineering melalui kebijakan fiskal, penjaminan kredit,
kredit, dan bagi hasil yang adil antara pengelola, karyawan,
masyarakat, dan Pemda.
g. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sumberdaya
kelautan, ditambah dengan beban kemiskinan menyebabkan tingkat
kerusakan terumbu karang menjadi besar akibat pemboman dan
penggunaan racun ikan.
5) Indonesia dapat menyediakan sumber energi alternatif yang berasal dari
laut dengan jumlah yang cukup, berkualitas, yang dapat memenuhi
kebutuhan sendiri, maju dan kuat secara manajerial dan teknologi, yang
berbasis kepentingan nasional.
Menjadi tolok ukur pencapaian adalah sebagai berikut:
59
1. Terbangunnya industri-industri sumber energi kelautan alternatif
sebagai pengganti sumber energi yang berasal dari mineral;
2. terwujudnya kemandirian dalam pengusahaan energi dan mineral
melalui peningkatan dan pemanfaatan produksi dalam negeri yang
mampu bersaing di pasar global dan;
3. tersedianya infrastruktur yang memadai dalam menunjang
terwujudnya pembangunan sarana dan prasarana dalam industri
energi alternatif yang berasal dari laut.
6) Terbangunnya 5 industri air mineral bersumber dari air laut dalam di
lokasi : Laut Banda, Laut Arafura, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi.
Industri yang telah ada di Bali lebih ditingkatkan pemasarannya ke
pelbagai negara.
7) Mampu mengeksploitasi sumber mineral di dasar dan tanah di bawah
laut di seluruh wilayah perairan laut Indonesia.
8) Mengatur wilayah untuk keserasian dan keseimbangan antara
pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, sehingga dapat
terselenggara
pembangunan
yang
berkelanjutan
(sustainable
development), serta terjadi kesatuan penanganan yang sinergis, sekaligus
mengurangi potensi konflik lintas wilayah dan lintas sektoral
7.4
Memperkuat Pertahanan dan Ketahanan Nasional
Tantangan pertahanan dan keamanan yang harus diatasi, selain
ancaman perang modern dan terbatas dengan menggunakan alutsista yang
canggih, juga meliputi low intensity conflict yaitu gerakan separatisme,
terorisme dan gangguan keamanan dalam negeri lainnya; kejahatan
transnasional; dan kejahatan terhadap kekayaan negara terutama di wilayah
yuridiksi laut Indonesia dan wilayah perbatasan. Permasalahan aktual
tersebut segera harus ditangani untuk mencegah eskalasi masalah menjadi
ancaman laten yang melemahkan NKRI secara keseluruhan.
Kondisi yang diharapkan adalah terkendalinya dan mampu
menyelesaikan ancaman aktual keamanan Nasional. Untuk itu perlu
dilakukan upaya-upaya antara lain :
a. Meningkatnya profesionalisme SDM TNI khususnya Angkatan Laut
dalam menjaga kedaulatan negara di laut berupa ancaman dari pihak
asing.
b. Meningkatnya profesionalisme polisi air dalam menghadapi keamanan
dan ketertipan masyarakarat pengguna wilayah laut.
c. Alutsista adalah sebagai kekuatan utama kemampuan pertahanan yang
harus terpenuhi baik kuantum maupun kemajuan teknologi, terutama
alutsista pertahanan di laut meliputi kapal perang, kapal selam. Untuk
itu diperlukan upaya memodernisasi dan menambah jumlah alutsista
TNI untuk pertahanan di laut secara bertahap.
60
d. Keefektifan Lembaga Intelijen dan Kontra Intelijen dalam memberikan
informasi terdepan dan terpecaya sebagai bahan pengambilan kebijakan.
Berkembangnya masalah-masalah aktual pertahanan dan keamanan pada
periode 5 tahun terakhir disebabkan salah satunya oleh belum efektifnya
sistem informasi dan peringatan dini yang diberikan oleh lembaga
intelijen sedangkan rawannya kepentingan nasional dari penyusupan
kepentingan yang tidak bertanggung jawab menunjukan peran kontra
intelijen yang belum efektif.
e. Terciptanya suatu kerja sama dan terkoordinasi keamanan nasional
dalam penyelesaian keamanan, pertahanan dan ketahanan nasional,
yaitu keterpaduan kebijakan, perencanaan, program, aksi, akses
informasi, dan pengambilan keputusan.
Adanya perhatian serius dan langkah tepat untuk menghadapi
masalah-masalah seperti:
1. Legalitas latihan militer dan kegiatan inteljen militer asing di Zona
ekonomi eksklusif (ZEE) suatu negara. Diperlukan adanya code of
conduct mengenai hal ini.
2. Terorisme di laut.
3. Meningkatkan perhatian terhadap Integrated Coastal and Ocean
Management (ICOM).
4. Meningkatnya perhatian untuk mencari sumber-sumber energi baru dari
laut diluar migas seperti : arus, ombak, OTEC, geothermal, dll.
5. Meningkatnya usaha-usaha pemanfaatan sumberdaya hayati laut (usahausaha bioprospecting) terutama untuk pengobatan, kosmetik dan
makanan.
6. Meningkatnya kebutuhan pengembangan Marine Protected Areas (MPA)
untuk mempertahankan kelestarian laut dan menjaga kesinambungan
ekosistem dan kekayaan kehidupan laut.
7. Munculnya isu tentang IUU fishing, people smuggling, perompakan di
laut dan bajak laut, illegal immigrant, dan sebagainya.
8. Belum ada pengaturan tentang pemanfaatan ruang udara di atas
permukaan laut teritorial Indonesia, di atas perairan pedalaman dan
perairan kepulauan, ruang udara di atas permukaan laut yang merupakan
bagian integral dari kelautan.
9. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan peningkatan peran serta
masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan
khususnya di wilayah pesisir dan laut.
7.5 Pembangunan Ekonomi Kelautan Dengan Memanfaatkan
Sumberdaya Laut secara Lestari
1) Perikanan sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan
ekonomi kelautan diharapkan pada tahun 2025 akan mampu
mewujudkan kondisi sebagai berikut :
61
a. Meningkatnya kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan
masyarakat pesisir;
b. Terbangunnya kapal ikan baru dengan ukuran masing-masing ≥ 70
GT sesuai daya dukung alam di setiap wilayah pengelolaan perikanan
(WPP);
c. Terbangunnya kawasan budidaya perikanan (marikultur, payau dan
air tawar) yang baru seluas 100.000 Ha yang tersebar di pesisir Timur
Sumatera, Selat Karimata, Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini,
Sangihe, Talaud,, Maluku Utara dan Papua Utara, Maluku dan Papua
Selatan, dan Selat Makasar;
d. Terbangunnya kawasan industri (cluster) pengolahan ikan terpadu
dengan pusat-pusat distribusi dan pemasaran pada kawasankawasan di pesisir/perairan Barat Sumatera, Selat Karimata, Selatan
Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Sulawesi Utara, Maluku Utara,
Maluku dan Papua, dan di pesisir Timur Sumatera, Selat Karimata,
Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Maluku Utara dan Papua
Utara, Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makssar.
2) Menjadikan Indonesia menjadi pusat industri kelautan, seperti industri
Farmasi Laut, Industri garam, industri mutiara dan bioteknologi yang
berstandar internasional yang bisa memenuhi kebutuhan dalam dan luar
negeri. Adapun tolok ukur pencapaiannya adalah :
a. Terbangunnya 7 industri farmasi laut taraf internasional yang
lokasinya di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Papua, Maluku
dan NTB;
b. Peningkatan kualitas industri garam rakyat menjadi garam untuk
kebutuhan industri lainnya, sehingga kebutuhan garam tidak
tergantung dari negara lain;
c. Terbangunnya pusat-pusat industri mutiara di NTB, Maluku, Bangka
Belitung da Papua;
d. terciptanya
industri
bioteknologi
kelautan
yang
dapat
didayagunakan untuk pengendalian pencemaran/polusi di perairan;
dan
e. Terciptanya minat industri dan dunia usaha untuk memanfaatkan
bioteknologi kelautan dalam mengolah produk-produk industri yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
3) Industri pelayaran sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan
ekonomi kelautan diharapkan pada tahun 2025 akan mampu
mewujudkan kondisi sebagai berikut :
a. Terbangunnya armada pelayaran nasional yang dapat memenuhi
seluruh kebutuhan di dalam negeri dan berdaya saing internasional
62
b.
c.
d.
e.
sehingga dapat berperan fair share, yaitu 40 persen kegiatan ekspor
impor.
Pelayaran rakyat mendapat peranan penting dalam pelayaran
nusantara, khususnya dalam sistem distribusi logistik nasional dan
angkutan penduduk antar pulau
Terbangun sekurang-kurangnya 3 pelabuhan hub-internasional yaitu
di Sabang, Batam, dan Bitung yang didukung oleh sub-sub syistem
pelabuhan di dalam tatanan pelabuhan nasional yang berdaya saing.
Terbangun 2 kawasan industri galangan kapal utama nasional, yaitu
di Batam-Bintan-Karimun dan Bitung
Terbangun 6 Sekolah Tinggi Pelayaran yang merupakan center of
excellences berstandar internasional, yaitu di Banda Aceh, Batam,
Jakarta, Semarang, Makasar, Bitung, dan Ambon, yang terpadu
dengan sistem SMK pelayaran berstandar internasional di kota-kota
pesisir.
4) Pariwisata bahari seharusnya menjadi salah satu sumber pertumbuhan
ekonomi di bidang kelautan serta menjadi sumber devisa negara. Potensi
pariwisata bahari yang sangat besar yakni dari 50 titik wisata bahari
dunia yang diakui sebagai tempat wisata terindah bertaraf internasional,
tiga titik di antaranya berlokasi di Indonesia yaitu di Tulamben (Bali),
Likupang (Sulut), dan Pulau Tomia (Wakatobi). Adanya pengakuan
internasional seperti ini jelas merupakan peluang yang besar untuk dapat
mengambil keuntungan ekonomi. Tiga lokasi tersebut dapat dijadikan
contoh pengembangan wisata bahari di tempat-tempat lain di Indonesia,
dengan mengandalkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh
masing-masing tempat. Bila ini dilakukan, tidak mustahil bahwa di masa
mendatang wisata bahari akan menjadi salah satu tumpuan dan harapan
pembangunan bangsa ini.
Pengalaman di berbagai negara maritim menunjukan bahwa pariwisata
bahari dapat menjadi tulang punggung pembangunan ekonominya. Atas
dasar itu maka Indonesia pada tahun 2025 harus mampu mewujukan
kondisi sebagai berikut :
 Terbangunnya daya saing dari kawasan pariwisata bahari andalan yang
telah ada, antara lain: di Pulau Nias, Mentawai, Batam, Bintan
Kepulauan Seribu, Krakatau, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang
Tritis, Bali, Lombok, Komodo, Moyo, Derawan, Wakatobi, Togean,
Bunaken, Banda, Takabonerate, dan Raja Empat.
 Terbangunnya sarana dan prasarana kawasan pariwsata bahari baru,
antara lain: di Pulau Weh, Pulau Banyak, Pulau Enggano, Pulau Rupat,
Kepulauan Bangka Belitung, Anambas, Natuna, Roti, Kupang,
Lembata, Alor, Banggai, Sangihe, Talaud, Ternate, Biak, dan Mapia
63
Teratasi permasalahan pengembangan pariwisata bahari nasional disaat
ini antara lain :
h. Prosedur untuk mendapatkan izin masuk CAIT (Clearance
Approval for Indonesian Territory) sangat mempersulit wisatawan
bahari mancanegara sehingga banyak cruiser/yacht enggan untuk
berkunjung ke obyek-obyek wisata bahari Indonesia;
i. Pengurusan CIQP masih perlu diperbaiki, utamanya mengenai
durasi VoA (Visa on Arrival) maupun visa bisnis yang dinilai masih
kurang lama dan tidak konsisten dengan durasi dari CAIT. Para
yachter mancanegara menginginkan waktu lebih dari 60 hari agar
mereka dapat mengunjungi banyaknya obyek di wilayah nusantara.
j. Persepsi keamanan nasional dan pengeolaan kesehatan lingkungan
yang buruk
k. Belum terjadi kerjasama antardaerah untuk menghimpun events
dan objects
l. Program APBN/APBD masih terlalu berorientasi pada proyek
Economic Overhead Capital (EOC) dan Social Overhead Capital (SOC),
belum pada Directly Productive Activity (DPA);
m. Belum ada kebijakan sistem prosedur kapitalisasi aset dan
dana. Perlu diintegrasikan value engineering untuk mengubah lahan
pesisir murah menjadi kawasan budidaya perikanan yang produktif
dengan financial engineering melalui kebijakan fiskal, penjaminan
kredit, kredit, dan bagi hasil yang adil antara pengelola, karyawan,
masyarakat, dan Pemda.
n. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sumberdaya
kelautan, ditambah dengan beban kemiskinan menyebabkan tingkat
kerusakan terumbu karang menjadi besar akibat pemboman dan
penggunaan racun ikan.
5) Indonesia dapat menyediakan sumber energi alternatif yang berasal dari
laut dengan jumlah yang cukup, berkualitas, yang dapat memenuhi
kebutuhan sendiri, maju dan kuat secara manajerial dan teknologi, yang
berbasis kepentingan nasional.
Menjadi tolok ukur pencapaian adalah sebagai berikut:
1. Terbangunnya industri-industri sumber energi kelautan alternatif
sebagai pengganti sumber energi yang berasal dari mineral;
2. Terwujudnya kemandirian dalam pengusahaan energi dan mineral
melalui peningkatan dan pemanfaatan produksi dalam negeri yang
mampu bersaing di pasar global dan;
3. Tersedianya infrastruktur yang memadai dalam menunjang
terwujudnya pembangunan sarana dan prasarana dalam industri
energi alternatif yang berasal dari laut.
64
6) Terbangunnya 5 industri air mineral bersumber dari air laut dalam di
lokasi : Laut Banda, Laut Arafura, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi.
Industri yang telah ada di Bali lebih ditingkatkan pemasarannya ke
pelbagai negara.
7) Mampu mengeksploitasi sumber mineral di dasar dan tanah di bawah
laut di seluruh wilayah perairan laut Indonesia.
7.6 Penanggulangan Kerusakan Lingkungan dan Bencana di Laut,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Penanggulangan bencana tidak bisa dilakukan hanya dengan cara
sporadis atau insidentil, tetapi harus dilakukan secara terencana dengan
manajemen yang baik, jauh sebelum suatu bencana menjadi suatu proses
yang disebut manajemen atau mitigasi bencana (pengurangan resiko
bencana). Salah satu kelemahan pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah
tidak mensinergikan pengelolaan dampak bencana dan resiko. Oleh Karena
itu nya konsep regulasi pada ekosistem alam harus dipahami. Upaya yang
paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan mengembangkan teknik
mitigasi bencana sehingga dapat meminimalkan resiko yang diterima oleh
manusia. Beberapa pendekatan mitigasi yang penting adalah pendekatan
pengelolaan ekosistem berbasis sumberdaya di wilayah pesisir, pendekatan
teknik dan kelembagaan sumberdaya manusia. Dari sini diharapkan resiko
yang terjadi dapat diminimalisir bila tidak dapat dihilangkan.
Untuk mencapai sasaran pengurangan resiko bencana, arah
kebijakan yang akan ditempuh meliputi pengarusutamaan pengurangan
resiko bencana sebagai prioritas pembangunan nasional dan daerah;
penguatan kapasitas penanggulangan bencana di pusat dan daerah;
optimalisasi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dalam aspek
pengurangan resiko bencana; mendorong keterlibatan dan partisipasi
masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana dan pengurangan resiko
bencana; peningatan sumberdaya penanganan kedaruratan dan bantuan
kemanusian; serta percepatan pemulihan wilayah yang terkena dampak
bencana.
Melalui arah kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dukungan
bagi peningkatan kinerja penanggulangan bencana, serta peningkatan
kesadaran terhadap resiko bencana dan peningkatan pemahaman tentang
pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
Penanggulangan bencana di laut, pantai dan pulau-pulau kecil yang
diharapkan adalah:
a. Terciptanya pengelolaan wilayah pesisir terpadu melalui suatu sistem
pengaturan mitigasi bencana secara menyeluruh, yang mencakup aspek
legal, kelembagaan, mekanisme pendanaan, hingga penyusunan
program penanggulangan bencana.
65
b. Upaya mitigasi bencana di laut sangat perlu untuk ditingkatkan,
beberapa cara yang dapat ditempuh antara lain adalah: lebih
meningkatkan
melakukan
koordinasi
antar
sektor
terkait;
meningkatkan pendataan mengenai potensi rawan bencana; membuat
peta bencana dan jenis bencana dan tingkat resiko yang akan terjadi;
membuat perencanaan jalur-jalur evakuasi; melakukan sosialisasi
kepada masyarakat pesisir tentang dampak bencana di laut sehingga
masyarakat dapat menjaga dan memelihara ekosistem laut dan pantai;
membuat kebijakan mitigasi bencana di laut secara nasional namun
tetap dikhususkan per daerah dengan cara mengakomodir kepentingan,
kebutuhan dan karakteristik masing-masing daerah, mengingat setiap
daerah memiliki karakteristik dan potensi bencana yang berbeda
sehingga membutuhkan penanganan yang khusus pula.
c. Pengetahuan masyarakat mengenai kebencanaan dan perangkat sistem
peringatan dini lebih meningkat, dengan cara memberikan edukasi
kepada masyarakat setempat, sosialisasi dan pelatihan secara kontinyu,
yang sebaiknya juga dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan dan
kearifan lokal.
d. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan pesisir menjadi lebih meningkat, dengan cara melibatkan
masyarakat, Pemerintah Daerah dan LSM secara aktif dan langsung,
melalui sosialisasi yang terintegrasi dan berkesinambungan.
e. Berkembangnya database penyimpanan data dan informasi mitigasi
bencana di laut, karena data dan informasi tersebut sangat dibutuhkan
sebagai bahan acuan untuk sosialisasi dan pembinaan masyarakat
pesisir; sebagai data perencanaan mitigasi bencana; serta sebagai data
potensi daerah rawan bencana.
7.7 Tata Kelola Kelautan
Banyak instansi yang terkait dengan pembangunan kelautan,
terkadang egosektoral lebih ditonjolkan ketimbangan pembangunan
nasional. Hal ini mengakibatkan banyak kerugian seperti tumpatindi
program berakibat “loss money”, pembangunan tidak terarah. Disamping
itu ada bagian tertentu tidak ditangani oleh instansi yang ada. Diharapkan
keterpaduan dan keserasian serta terintegrasi program pembangunan
dibidang kelautan. Untuk itu perlu di bentuk dua badan baru, yaitu
pertama, yang menangani keamanan, keselamatan dan penegakan hukum
di laut, yakni “coast guard”, badan ini multi fungsi sebagaimana yang ada di
negara Amerika, Jepang dan Norway. Kedua, yang menangani bank data
kelautan, perencanaan anggaran dan pemanfaatan
laut secara
komprehensif koordinasi keterpaduan pelaksanaan program pembangunan
kelautan serta pengaturan kebijakan monitoring dan evaluasi kebijakan.
Badan-badan ini harus ditetapkan melalui peraturan-perundangan sebagai
66
Lembaga Pemerintah Non Kementarian (LPNK) agar peran dan fungsi lebih
efektif bagi pelayanan masyarakat dan pembangunan kelautan umumnya.
Adanya kedua lembaga ini maka akan terwujud tata kelola laut yang
lebih baik dan teratur seperti:
1. Tata Pemerintahan di Bidang Sumberdaya Manusia (SDM) dan Budaya
Bahari
2. Tata Pemerintahan di Bidang Keselamatan, Keamanan dan Penegakan
Hukum di Laut
3. Tata Pemerintahan di Bidang Ekonomi Kelautan
4. Tata Pemerintahan di Bidang Lingkungan Kelautan
5. Tata Pemerintahan Pusat dan Daerah
7.8 Peran Aktif Dalam Kerjasama Regional dan Internasional
Meningkatnya tuntutan kesejahteraan dan kepentingan ekonomi
telah mengubah tatanan dunia yang semula bipolar menjadi multipolar
yang terbagi menjadi beberapa kawasan kerjasama ekonomi dan
perdagangan. Eropa, Pasifik, Asia Timur dan Asia Tenggara merupakan
kawasan yang paling cepat pertumbuhan ekonominya. Kawasan Asia
Tenggara terletak pada posisi silang jalur perdagangan internasional yang
kaya akan sumberdaya, tenaga kerja dan sekaligus pasar potensial karena
berada di jalur pelayaran yang ramai yang melalui Selat Malaka, Selat
Singapura dan Laut China Selatan yang sekaligus juga memiliki potensi
konflik dimana untuk menyelesaikannya diperlukan kerjasama regional.
67
8. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELAUTAN
8.1 Kebijakan Pembangunan Wawasan Kelautan
a. Membangkitkan wawasan kelautan melalui semua jalur, jenis dan jenjang
pendidikan
b. Mewajibkan kurikulum pendidikan formal ada muatan wawasan
kelautan dan budaya bahari.
c. Melestarikan nilai-nilai budaya bahari, merevitalisasi hukum adat dan
kearifan lokal.
d. Melindungi peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi,
restorasi dan konservasi.
8.2 Kebijakan Pembangunan SDM, Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
1. Meningkatkan kualitas SDM bidang kelautan sesuai standar kompetensi
yang diminta dunia internasional.
2. Meningkatkan kuantitas SDM untuk memenuhi permintaan pasar
internasional.
3. Meningkatkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi, pusat riset
daerah tropis dan pengembangan sistem informasi kelautan.
8.3 Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan
1. Meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat
pesisir
2. Membangun dan meningkatkan infrastruktur industri pelayaran nasional
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan berdaya saing
internasional, seperti armada kapal dan pelabuhan (nasional dan hub
internasional) terintegrasi dengan moda transportasi darat.
3. Mengembangkan kawasan industri perikanan berbasis ekonomi rakyat
yang secara terpadu dengan pusat-pusat distribusi dan pemasaran.
4. Membangun infrastruktur jalan, air bersih dan listrik di sentra-sentra
usaha budidaya, pelabuhan perikanan dan industri perikanan serta
revitalisasi saluran irigasi untuk budidaya tambak.
5. Meningkatkan infrastruktur yang ada pada kawasan pariwisata bahari
andalan, dan membangun infrastruktur pada kawasan pariwisata bahari
baru serta mendorong pembangunan marina dan kota-kota bandar
baru.
6. Meningkatkan infrastruktur pada industri garam menjadi garam industri,
serta membangun industri farmasi laut dan industri mutiara bertaraf
internasional.
7. Meningkatkan sektor pariwisata bahari melalui perbaikan peraturanperundangan (CAIT dan CIQP) yang menyulitkan para wisatawan
dengan gunakan kapal cruiser atau yacht.
68
8. Mendorong adanya marina-marina sebagai tempat labuh kapal pesiar.
9. Meningkatkan dan membangun kota-kota bandar lama dan kota bandar
baru sebagai pusat perdagangan sekaligus sentra pariwisata.
10. Meningkatkan industri air minum mineral tinggi bersumber dari air laut
dalam (deep sea waters).
11. Mendorong percepatan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber energi
kelautan alternatif dan terbarukan.
12. Mendorong percepatan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber
mineral yang ada di dasar dan tanah di bawah laut “nodules” untuk
kebuthan kegiatan “high technology industries” seperti: bahan bakar
peluncuran setelit ke angkasa luar dan kebutuhan industri “mikro
elektrik”.
8.4 Kebijakan Memperkuat Pertahanan dan Ketahanan Nasional
1. Meningkatkan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di
wilayah perbatasan maritim (maritime boundary).
2. Mendorong keterpaduan kebijakan, perencanaan, program, aksi, akses
informasi dan pengambilan keputusan instansi yang terkait dalam
keamanan dan keselamatan di laut.
3. Mengembangkan sistem monitoring, control dan survaillance (MCS)
sebagai instrumen pengamanan wilayah laut dan sumberdaya alam laut.
4. Meningkatkan profesionalisasi SDM TNI-AL, TNI-AU dan POLRI dalam
rangka mengantisapi ancaman dan gangguan di Laut NKRI
5. Meningkatkan Alutsista seperti armada kapal perang, skuadron pesawat
intai jarak sedsang (tipe CN235) dan keefektifan lembaga intelijen dan
kontra intelijen.
6. Membangun pangkalan utama dan pangkalan Aju serta lapangan terbang
untuk mendukung pengoperasian di wilayah perairan laut yang rawan
dimasuki kapal-kapal asing dan ancaman pada NKRI.
8.5 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan dan Penanggulangan
Bencana di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
1. Meningkatkan peran laut dalam rangka mengantisipasi perubahan
iklim global dan ancamannya terhadap pulau-pulau kecil
2. Penguatan Kapasitas Riset dan Informasi tentang lingkungan laut
dalam rangka antisipasi perubahan iklim serta adaptasi pada Tingkat
Nasional dan Daerah
3. Meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat di seluruh
wilayah Indonesia dalam pengelolaan lingkungan laut, pesisir dan
pulau-pulau kecil secara lestari dan berkelanjutan.
4. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan kapasitas infrastruktur
dalam mengantisipasi bencana alam.
69
5. Meningkatkan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu melalui
sistem pengaturan mitigasi bencana seperti aspek hukum,
kelembagaan,
mekanisme
pendanaan
dan
perancanaan
penanggulangan.
6. Meningkatkan pengetahuan masyarakat akan ancaman bencana dan
cara mengantisipasinya.
7. Melindungi habitat pantai yang sangat berperan terhadap ancaman
bencana, yaitu terumbu karang, mangrove dan padang lamun.
8.6 Tata Kelola Kelautan
1. Mendorong terbentuknya “coast guard” dengan peran multi fungsi
dalam kaitannya dengan keamanan, keselamtan dan penegakan hukum
di laut.
2. Meningkatkan peran dan fungsi Dewan Kelautan Indonesia akan lebih
kuat, besar dan implementatif melalui pembentukan Lembaga
Pemerintah Non Kementerian (LPNK) atau Sekretariat Dewan kelautan
merupakan suatu unit pelaksana teknik di bawah kantor Sekretaris
Wakil Presiden.
3. Meningkatkan mekanisme tata pemerintahan di bidang SDM,
pengelolaan ekonomi kelautan, pengelolaan lingkungan laut,
pengawasan keselamatan dan pengaman di laut serta pemerintahan
pusat dan daerah.
8.7 Peran Aktif Dalam Kerjasama Regional dan Internasional.
1. Meningkatkan peran aktif Indonesia dan mendorong menjadi
pemimpin pada tataran tingkat regional dan internasional.
2. Mendorong
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Perhubungan, Kementerian kebudayaan dan ekonomi kreatif, TNI-Al
dan Polisi Air untuk peran aktif dalam kerjasama regional dan
internasional
70
9. PENUTUP
Kebijakan Kelautan yang disusun merupakan landasan dalam implementasi
pembangunan kelautan yang terintegrasi dalam pembangunan nasional. Dengan
ditetapkannya Kebijakan tersebut maka segenap komponen bangsa dan negara
melaksanakan pembangunan kelautan mengacu dam berdasarkan sumber hukum
yang jelas dan dengan demikian diharapkan terjadi kepastian hukum. Kebijakan
Kelautan tersebut merupakan arah dari pembangunan kelautan yang
mengantarkan bangsa Indonesia yang mandiri, kuat dan sejahtera.
71
Download