Uploaded by User96059

FILSAFAT UMUM

advertisement
Mata Kuliah : Filsafat
Substansi Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu sebagai proses/kegiatan berpikir yang mendalam/fundamental berfokus pada
menemukan kebenaran. Banyak teori tentang kebenaran, namun secara umum kebenaran adalah
kesesuaian obyek di dalam konsep (pikiran) dengan realitas atau kesesuan pengetahuan ma nusia
dengan kondisi sebenarnya dari obyeknya. Telaah dalam substansi filsafat ilmu agar suatu kebenaran
dapat diterima terdapat empat bagian, yaitu:
1.
Fakta atau Kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang
filosofis yang melandasinya. Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang
fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomena atau bagian realitas
yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah
merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi
adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi
bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak
terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah
membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2.
Kebenaran
a. Sifat Kebenaran
Kebenaran memiliki beberapa sifat, yaitu deskriptif, instrumental, subtantif atau ontologis
dan ekstensial. Lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut :
 Kebenaran dapat bersifat deskriptif. Kebenaran dalam kenyataan, proposisi atau
keyakinan, bersifat pasti. Misal : bumi itu bulat.
 Kebenaran dapat bersifat instrumental, yang terdapat dalam suatu keyakinan yang
menjadi pembimbing bagi pemikiran dan tindakan, untuk meraih kesuksesan. Misal :
kebenaran bersifat kata keterangan.
 Kebenaran dapat bersifat subtantif atau ontologis, didasrkan pada kenyataan. Misal :
Tuhan dalah kebenaran
 Kebenaran bersifat eksistensial, artinya kebenaran berdasrakna pada slah satu jalan hidup
atau komitmen puncak. Misal : seseorang hidup lebih baik dari pada sekedar mengetahui
kebenaran
b. Kriteria kebenaran
Di
dalam
pemikiran
epistemologi
terdapat
pengelompokkan
teori
kebenaran.
Pengelompokkan ini berdasar-kan pada sifat terjadinya pengetahuan atau berdasarkan
sumber pengetahuan dan sifat kelahiran teori pengetahuan itu yaitu karena adanya faham
baru yang melatarbelakangi munculnya pengetahuan itu. Hal ini dapat terjadi disebab-kan
oleh faham lama yaitu empirisme (realisme) dan rationalisme (idealisme) serta faham baru
yang berlan-daskan antara lain pada bahasa yaitu faham analitika bahasa, faham pragmatis
dan lainnya. Dengan demikian, maka sedikitnya terdapat 8 faham atau bentuk teori
kebenaran yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi sebagai teori
kebenaran yang bertolak pada faham lama atau tradisional; dan, teori kebenaran
pragmatisme, teori kebenaran logis berlebihan, teori kebenaran non-deskripsi, teori
kebenaran semantik, teori kebenaran sintaksis, teori kebenaran konsensus, serta teori
kebenaran otoritarianis, teori-teori itu adalah teori baru atau teori mutakhir.
a) Kebenaran Korespondensi
Teori ini bertolak dari pernyataan Aristoteles yaitu “..... to say of what is that it is or
of what is not that it is not, is true”. Menurut teori ini pengetahuan benar adalah
pengetahuan dengan berdasar pada asas logik bahwa “..... that it is true that p, if and
only
if
p”.
Sehingga,
menurut
teori
korespon-densi
ini
sebagaimana
dikemukakan White (1970) bahwa “..... since p is true if and only it p, then when
what is said e.g. p is true’ pernyataan ini mengikuti filsafat Moore (1953) bahwa
pengetahuan terjadi karena adanya pema-haman langsung terhadap objek (direct
apprehension), maka pengetahuan tentang objek tertentu mesti dipercaya keberadaan
dan kebenarannya. Hal demikian disetujui pula oleh Marhenke bahwa “..... to see a
physical object is to see”.(Marhenke dalam Schlipp, 1953). Moore secara tegas
menjelaskan bahwa Pengetahuan benar manakala cerapan indera atau data indera
memiliki hubungan dan saling berkesesuaian (correspondence) dengan objek atau
benda-benda material. Lebih jauh ia menyatakan bahwa harus ada kesamaan antara
“ada penginderaan yang kita alami” secara khas menyatakan bahwa “When the belief
is true, it certainly does correspond to a fact, and when it corresponds to a fact it
certanily true. And similarly when it is false, it certainly does not correspond to any
fact; and when it does not correspond to any fact, then certainly false” (Moore,1952).
Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang didasarkan pada fakta obyektif
sebagai dasar kebenarannya. Teori ini menyatakan bahwa sebuah pernyataan
dianggap benar hanya jika pernyataan tersebut berhubungan dengan fakta obyektif
yang ada. Fakta obyektif tersebut adalah segala bentuk fenomena berupa tampilan
visual, gelombang suara, rasa maupun tekstur, yang bisa ditangkap melalui panca
indera. Sederhananya, suatu pernyataan dianggap benar jika ada faktanya. Jika tidak,
maka pernyataan tersebut bukan kebenaran. Oleh karena sifatnya yang mengandalkan
pengalaman inderawi dalam menangkap fakta, maka teori ini menjadi teori yang
digunakan oleh para empirisis.
Sebagai contoh, sebuah pernyataan “di luar terjadi hujan” dianggap benar jika
terdapat fakta obyektif di luar sana benar-benar terjadi hujan. Peristiwa turunnya air
dari angkasa harus bisa ditangkap oleh panca indera. Jika tidak bisa ditangkap oleh
panca indera, maka peristiwa hujan itu bukan merupakan fakta, melainkan hanya
peristwa delusif yang hanya berada dalam imajinasi si pemberi pernyataan.
Menurut prinsip verifikasi, semakin banyak pihak yang mengiyakan dan
menyaksikan bukti faktual yang berhubungan dengan sebuah pernyataan, maka kadar
kebenaran tersebut akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya. Prinsip verifikasi ini
berguna untuk mengatasi kesalahan yang mungkin timbul pada setiap individu dalam
menangkap kesan-kesan inderawi. Gula yang sejatinya manis akan terasa pahit di
indera pengecap orang yang sedang sakit atau memiliki gangguan kesehatan. Oleh
karena itu, pengujian terhadap fakta harus dilakukan secara terukur, berulang- ulang
dan melibatkan sebanyak mungkin responden. Prinsip verifikasi ini banyak
digunakan dalam metode saintifik untuk mengatasi kelemahan inderawi dalam
menangkap fenomena faktual.
b) Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini dibangun oleh oleh para epistemolog yang bertolak pada sikap ontologis
bahwa objek berupa hal abstrak sehingga diandaikan ia hadir dalam kesadaran subjek.
Paham ini dianut pula oleh mereka yang mengembangkan paham logika positivisme.
Menurut teori ini bahwa “.....to say that what is said (ussually called judment, belief,
or proposition) is true or false is to say that it cohere with a system of other thing
which are said; that it is a member of a system whose elements are related to each
other by ties of logical implication as the element in a system of pure mathematics are
related’(White, 1970) Atau dapat dikemukakan bahwa sebuah pernyataan bisa
dianggap benar hanya jika pernyataan itu koheren atau tidak bertentangan dengan
pernyataan sebelumnya yang sudah terbukti benar. Untuk dianggap benar, teori ini
mensyaratkan adanya konsistensi atau tidak adanya pertentangan (kontradiksi) antara
suatu pernyataan dengan aksioma. Karena itulah teori koherensi dikenal juga sebagai
teori konsistensi.
Sebagai contoh, di dalam disiplin ilmu matematika terdapat postulat bahwa jumlah
sudut semua jenis bangun ruang segitiga berjumlah 180°. Jika ada satu pernyataan
bahwa terdapat satu bentuk segi tiga yang jumlah sudutnya 210°, maka tanpa harus
menyaksikan bukti faktual segitiga tersebut kita bisa menyatakan bahwa pernyataan
orang tersebut tidak benar karena ia bertentangan dengan postulat. Pernyataan orang
tersebut memiliki kontradiksi dengan postulat yang sudah ada. 3Perbedaan teori ini
dengan teori korespondensi terletak pada dasar pembuktian kebenaran. Pada teori
korespondensi dasar kebenarannya pada ada tidaknya hubungan antara pernyataan
dengan fakta yang ada, sedangkan pada teori koherensi pembuktiannya terletak pada
ada tidaknya konsistensi antara pernyataan dengan postulat. Contoh lainnya,
seseorang memberi pernyataan bahwa di dalam kolam alun-alun kota terdapat seekor
ikan hiu yang masih hidup. Menurut teori korespondensi, untuk menentukan
pernyataan tersebut benar atau tidak, kita harus menunggu fakta apakah di dalam
kolam tersebut terdapat seekor ikan hiu yang masih hidup atau tidak. Sementara
menurut teori koherensi, tanpa menunggu fakta, kita bisa meentukan pernyataan
orang tersebut tidak benar karena bertentangan dengan aksioma yang sudah ada
sebelumnya bahwa ikan hiu adalah jenis ikan air asin (laut). Tidak logis jika ikan air
asin bisa hidup dalam air kolam alun-alun kota yang merupakan kolam air tawar.
c) Teori Kebenaran Pragmatis
A.R. White (1970) dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan bahwa
teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenaran pragmatik. Paham
Pragmatisme sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena
paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filusuf
besar Amerika yaitu C.S.Pierce, William James dan John Dewey. White menjelaskan
bahwa menurut paham ini “..... an idea —a term used loosely by these philosophers
to cover any opinion, belief, statement, or what not”— is an instrument with a
particular function. A true ideas is one which fulfills its function, which works; a false
ideas is one does not.”
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini yaitu bahwa
penganut pragma-tisme meletakan ukuran kebenaran dalam salah satu macam
konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaianpenyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman. Pernyataan itu
adalah benar.
Jadi menurut teori ini bahwa suatu pengetahuan atau proposisi bernilai benar
manakala proposisi itu memiliki konsekuensi praktis sebagaimana yang melekat
secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Hal ini karena setiap pernyataan selalu
terikat pada hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak,
yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang
mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam
perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu dikarenakan bahwa
dalam praktiknya apa yang diang-gap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman
berikutnya. Atau dengan kata lain, bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar
melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja —pengetahuan atau proposisi—
dapat dimanfaatkan secara praktis.
d) Teori kebenaran semantic
Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi itu mempunyai nilai
kebenaran dan memiliki arti apabila proposisi itu menunjukkan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi atau mengacu pada kenyataan (fakta atau
data). Juga, arti yang dikemukakan itu adalah arti yang sifatnya definitif atau bahkan
esoterik yaitu arti yang sungguh-sungguh melekat pada term yang digunakan dalam
pernyataan itu dengan mengacu dan menunjuk pada ciri yang khas. Teori kebenaran
ini dianut oleh para filusuf analitika bahasa. Filsafat analitika bahasa yang
dikembangkan pasca Bertrand Russell dan G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat
analitika bahasa.
Teori kebenaran semantik sebenarnya berpangkal pada pendapat Aristoteles yang
bertolak bahwa pengetahuan selalu bertolak pada objek yang common sensible. White
(1970) menyatakan “..... To say of what is that it is or of what is not, is true” atau
bahkan mengacu pada teori kebenaran tradisional korrespondensi yang menyatakan
bahwa “ ..... that truth consists in correspondence of what is said and what is fact”
Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu
mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan
menunjukan kenyataan sebagai acuan (referensi) yaitu objek konkret yang common
sensible.
Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan
apakah proposisi itu memiliki arti esoterik, arbitrer, atau hanya manakala berfungsi
secara praktis. Arti yang terkandung dalam pernyataan amat tergantung pada sikap
pemakai makna pernyataan itu. Sikap itu antara lain adalah sikap epistemologis skeptis, sikap ini adalah kebimbangan taktis atau sikap ragu untuk mencapai
kepastian (certainty) dalam memperoleh pengetahuan. Dengan sikap ini dimaksudkan
agar dicapai makna yang esoterik yaitu makna yang benar-benar pasti tak lagi
mengandung keraguan di dalamnya. Sikap lain adalah sikap epistemologik yakin dan
ideologik. Di dalam sikap ini dikandung makna bahwa proposisi itu memiliki arti
namun arti itu bersifat arbitrer atau sewenang-wenang atau kabur, dan tidak memiliki
sifat pasti. Jika diandaikan mencapai kepastian sebatas pada kepercayaan yang ada
pada dirinya. Serta, sikap epistemologi pragmatik. Sikap ini menghasilkan makna
pernyataan amat terikat pada nilai praktis pada pemakai proposisi. Akibat sematiknya
adalah kepastian terletak pada subjek yang menggunakan pernyataan itu. Artinya
apakah pernyataan berakibat praktis atau konsekuensi praktis bagi pengguna
pernyataan itu.
e) Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh para penganut filsafat
fungsionalisme. Menurut paham ini pada dasarnya suatu pernyataan akan memiliki
nilai benar amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. White (1970)
menyatakan bahwa “..... to say, it is true that not many people are likely to do that, is
a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and not
a way of talking about the sentence used to express the opinion”. Menilik pernyataan
ini, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi
yang amat praktis dalam kehidupan keseharian. Pernyataan itu juga merupakan
kesepakatan bersama untuk menggunakannya secara praktis dalam kehidupan
keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan bahwa “The theory nondescriptive gives us an important insight into function of the use of “true” and
“false”, but not an analysis of their meaning”.
Sebagai contoh di dalam budaya Indonesia dan Budaya Jawa terdapat beberapa istilah
yang maknanya diketahui secara umum sehingga kadang-kadang tak diperlukan
deskripsi arti yang dikandungnya. Sebagai contoh istilah “kiri”, memiliki banyak arti
tetapi arti itu pada umumnya tak perlu lagi ditunjukkan maknanya.
f) Teori kebenaran Logis Berlebihan (Logical-superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan atau dianut oleh kaum logika positivistik yang di awali oleh
Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran
hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan
pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan atau proposisi yang hendak dibuktikan
kebenarannya telah memiliki derajat logik yang dapat dipertanggungjawabkan, dan,
bahasa yang digunakan mengandung kebenaran logis yang di dalamnya telah saling
melingkupinya (atau tanpa di jelaskan maknanya telah ditunjukkan oleh eksistensi
objek, objek adalah object given (yang sifatnya actual being), dengan demikian,
sesungguhnya semua orang telah memberikan informasi yang maknanya telah
disepakati bersama. Dan apabila, akan dibuktikan lagi kebenarannya itulah suatu
perbuatan yang sifatnya logis berlebihan. Sebagai contoh, pernyataan “salju putih”
pernyataan ini tak perlu dibuktikan secara logis karena semua orang sepakat
demikian. Atau, pernyataan “orang gundul tak berambut” semua orang sepakat bahwa
orang gundul mesti tak berambut, sehingga apabila dibuktikan lagi kandungan
kebenarannya maka itu tindakan logis berlebihan. Hal demikian, sesungguhnya
karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya itu telah mengacu
pada fakta yang actual being atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa
objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri
(Gallagher, 1971).
g) Teori Kebenaran Konsensus
Teori ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Kriteria kebenaran menurut teori ini
adalah persepakatan atau persetujuan yang dianggap rasional dari suatu perbincangan
tertentu. Oleh karena itu, kebenaran yang berdasarkan konsensus tidak dapat berlaku
mutlak satu kali perbincangan untuk selamanya, sebab hasil perbincangan mana pun
harus terbuka untuk diperbincangkan kembali.
Untuk dapat sampai pada suatu kebenaran yang bersifat kesepakatan atau konsensus
harus dipenuhi syarat-syarat situasi perbincangan yang ideal. Untuk menghin-darkan
kesulitan yang mungkin timbul peserta perbin-cangan harus mengandaikan bahwa
yang diperbincangkan situasi empirik yang aktual (dalam bahasa Aristoteles
yang actual being/factual). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah (1)
Semua peserta perbincangan harus diberi kesempatan yang sama untuk bicara seperti
apa yang diinginkannya. (2) Peserta diberi kesempatan yang sama untuk menafsirkan,
menganjurkan, membenarkan, dan juga mempersoalkannya, (3) Semua peserta
dituntut agar mengambil sikap komunikatif yang wajar yakni mengutarakan apa yang
dipikirkannya dan betul-betul bermaksud menyampaikan pikiran-pikirannya kepada
peserta lain; Dan, (4) Di antara peserta perbincangan tidak dibolehkan ada perbedaan
wewenang atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi jalannya perbincangan.
Teori kebenaran konsensus ini pada tataran filsafat politik menjadi basis bagi teori
demokrasi pada saat melakukan perbincangan politik. Dengan demikian, tak ada jarak
di anatara peserta perbincangan dean hasilnya dapat dikoreksi atau disaksikan
bersama dengan tidak memper-hatikan sekat ideologi, jabatan, atau lainnya, karena
setiap hasil perbincangan disampaikan secara terbuka kepada publik pada ruang
publik yang terbuka.
h) Teori Kebenaran Otoritarianis
Bertumpu pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, kita dapat memilahkan bahwa
masing-masing pernyataan memiliki nilai benar dengan bertumpu pada kewibawaan
yang dimiliki oleh pembicara. Dalam pernyataan (1) “Saya percaya bahwa
pengetahuan yang saya peroleh dari Prof. X adalah benar”, (2) “saya percaya bahwa
informasi yang disampaikan oleh pejabat Q adalah benar, serta (3) “Saya percaya
bahwa pengetahuan yang disampaikan oleh Ketua Suku saya adalah benar”. Ketiga
pernyataan itu disampaikan kepada subjek, dan subjek menerimanya begitu saja tanpa
kritis atau menggunakan logika yang rumit, karena pada dasarnya subjek menerima
ke-3 informasi itu bertumpu pada kewibawaan yang melekat pada masing-masing
subjek yang menyampaikan informasi kepada subjek mengetahui lain. Subjek
pertama (1) adalah pemegang otoritas karena subjek memiliki kewibawaan material
atau bahkan kharismatik. Orang yang menerima informasi dari subjek pemegang
otoritas material pada umumnya diterima karena subjek percaya pada kemampuan
material yang melekat pada dirinya. Atau subjek menge-tahui; (2) mendapat
informasi pengetahuan dari mereka pemegang otoritas formal apakah ia pejabat
formal atau subjek pemegang jabatan formal (struktural), dan (3) subjek memperoleh
pengetahuan sebagaimana disampaikan oleh mereka yang secara fungsional memiliki
kekuasaan untuk membina kelompok (suku) atau umatnya. Dengan demikian terdapat
3 macam otoritas yang ada di dalam masyarakat yaitu (1) otoritas kharismatik,
contohnya Bung Karno, atau mungkin Obama, dan para Guru Besar di bidang
Ilmunya. (2) otoritas formal, contoh, para guru, pejabat pemerintahan, dan (3) otoritas
fungsional, contoh, tetua suku, atau key person di dusun (tradisional). Subjek yang
memperoleh pengetahuan demikian dipercaya telah terdapat kebenaran di dalamnya
—walaupun mungkin subjek ragu terhadap informasi yang disampaikannya itu,
namun pada umumnya subjek penerima berita dari salah satu atau ketiganya
pemegang kewibawaan baik material, formal maupun fungsional.
3.
Konfirmasi
Salah satu fungsi dari filsafat ilmu ialah konfirmasi. Yang dimaksud dengan fungsi ini adalah
menjelaskan, memprediksi proses, dan produk selanjutnya, atau memberikan pemaknaan.
Pemakna bias ditampilkan sebagai konfirmasi atau biasa disebut probalistik. Menampilkan
konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan
benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk
membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat
ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4.
Logika Inferensi
Menurut kamus besar logika adalah jalan berfikir yang masuk akal sedangkan inferensi adalah
kesimpulan.
Jadi
logika
inferensi
merupakan
cara
berfikir
dengan akal yang sehat untuk memperoleh kesimpulan.
Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan
tersebut dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika. Secara
lebih luas logika didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir sacara sahih”. Cara
penarikan kesimpulan berdasarkan penalaran ilmiah, yaitu logika induktif dan logika deduktif.
Logika induktif merupakan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata (khusus)
menjadi kesimpulan yang bersifat umum, sedangkan logika deduktif merupakan penarikan
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
Penarikan kesimpulan secara deduktif menggunakan pola berpikir silogisme. Disusun dari dua
buah pertanyaan dan sebuah kesimpulan.
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika
matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi
antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan
fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema
moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau
kesimpulan ideografik.
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri(1982: 46–49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan
baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu,
yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika
induksi dan logika deduksi.
REFERENSI
Almanshur, Fauzan & Ghony, Djunaedi. 2015. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Malang:
UIN Maliki Press.
Gallagher, K.T.,1971, Philosophy of Knowledge,
1994, Epistemologi,Kanisius, Yogyakarta.
disadur
oleh
Hardono
Hadi,
Hamami M, 1983, Epistemologi, Yayasan Pembinaan fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004)
Kuhn, Thomas. The Structure of Scientifc Revolution, (Chicago: University of Chicago Press, 1962)
Hoernie, R.F.A., Studies in Philosophy, London: George Allen & Unwin Ltd., 1952
Hospers,J., An Introduction to Philosophical Analysis, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1967.
Suriasumantri, Jujun. 2005. Filsafat Ilmu(Sebuah Pengantar Populer). Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Suseno, Franz Magniz, 12 Tokoh Abad ke-20, (Yogyakarta: Kanisisus, 2000).
The Liang Gie, 2004, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty.
Download