MAKALAH ARBITRASE DAN ADR TENTANG BADAN ARBITRASE MUAMALAH INDONESIA DOSEN PEMBIMBING: Akhyar, M.H DISUSUN OLEH : KELOMPOK 3 Rizkiah PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MANDAILING NATAL (STAIN MADINA) 2021 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat hidayah dan taufiq-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami dengan tepat waktu. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya Sholawat dan salam ke Ruh junjungan nabi Besar muhammad SAW yang telah membawa risalah islam ke tengah-tengah ummatnya, guna mengeluarkan ummatnya dari alam kebodohan menuju alam yang berilmu pengetahuan yang disertai iman dan islam sebagaiman yang kita rasakan saat sekarang ini. Akhirnya hanya kepada Allahlah kami berserah diri dan memohon ampun atas kesalahan yang diperbuat, mudah-mudahan makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Panyabungan, Pemakalah i Maret 2021 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1 BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Berdirinya BAMI ................................................................ 2 B. Tujuan . ........................................................................................... 3 C. Dasar Hukum. .................................................................................. 4 D. Yurisdiksi. ....................................................................................... 6 E. Prosedur dan Penetapan Putusan. .................................................... 8 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................... 10 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 11 ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Sistem Ekonomi Syari’ah di Indonesia saat ini Semakin pesat. Kondisi ini terjadi melalui pembangunan berkelanjutan, Indonesia diharapkan mampu dan bisa bersaing di dunia, baik dari sektor perdagangan maupun perindustrian. Bermodalkan pengalaman pahit Reformasi 1998 Indonesia diharapkan mampu menjadi negara yang lebih kuat dan unggul dalam mengatasi gejolak perekonomian yang muncul di Indonesia. Sejalan dengan berkembangnya bidang perekonomian, di bidang perbankan juga diharapkan mampu mendongkrak pembangunan yang mulai dirintis oleh Pemerintah untuk memudahkan masyarakat bertransaksi. Berbagai banyak perbankan yang muncul di Indonesia menjadikan masalah yang muncul lebih kompleks. Tidak hanya perbankan milik negara yang muncul, tetapi juga milik swasta, adapula perbankan berbasis Syari’ah. Hakikatnya penyelesaian sengketa masuk dalam ranah hukum perjanjian sehingga asas yang berlaku adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas melakukan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang akan dipakai manakala terjadi sengketa keperdataan di antara mereka. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah berdirinya BAMI? 2. Bagaimana tujuan didirikannya BAMI? 3. Bagaimana dasar Hukum BAMI? 4. Bagaimana yuridiksi BAMI? 5. Bagaimana prosedur dan penetaoan Putusan? 1 BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Berdirinya BAMI Arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikiler yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak. Badan Arbitrase Syari’ah Nasional merupakan perubahan dari Badan arbitrase Muamalat Indonesaia yang merupakan salah satu wujud dari arbitrase syariah pertama kali didirikan di Indonesia.Pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertempat di Jakarta. Bentuk dari Badan Arbitrase Muamalat Indonesia berbentuk yayasan dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 23 Oktober 1993. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) yang diputuskan dalam RakernasMajelis Ulama Indonesia tahun 2002. Kedudukan Basyarnas berada dibawah Majelis Ulama Indonesia dan merupakan seperangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia sejak Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tanggal 2326 Desember 2002. Perubahan Nama tersebut dilandasi oleh sudah tidak sesuainya kedudukan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001tentang Yayasan. Perubahan bentuk dan pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia dituangkan dalam Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syari’ah.1 1 Gunawan Widjaya, 2000, Hukum Arbitrase, Jakarta: Rajawali Pers. Hal. 61 2 B. Tujuan Didirikannya BAMI Tujuannya untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah pertama tersebut. Pada tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi Basyarnas. Perubahan tersebut berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003. “Basyarnas ini satu-satunya badan hukum yang otonom milik MUI,” tandas Ahmad Jauhari, sekretaris Basyarnas. Permasalahan yang muncul, lembaga mana yang lebih berwenang untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Memang peradilan Agama lebih mempunyai wewenang untuk menyelesaikan bila terjadi sengketa. Karena lembaga peradilan agama lebih mempunyai kekuatan hukum yang harus dipatuhi sebagai lembaga bentukan dari pemerintah, hal inipun secara jelas telah disebutkan dalam UndangUndang No. 3 Tahun 2006. Namun BASYARNAS lembaga hukum non-litigasi hasil bentukan dari MUI dengan tujuan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang terjadi dibidang muamalat dengan didukung fatwa-fatwa MUI sebagai rujukan hukumnya. Keberadaan Basyarnas dapat dijadikan sebagai mitra dalam penyelesaian masalah yang berkembang. Dapat dijadikan pertimbangan, independensi dari Basyarnas menjadi positif, karena dapat menjadi lembaga alternatif dalam penyelesaikan sengketa. Sangat dimungkinkan, bahwa salah satu diantara pihak yang bersengketa tidak menyepakati proses penyelesaian sengketa dilakukan di Peradilan Agama. Hingga proses penyelasaian sengketa disepakati malaui proses arbitrase. Adapun tujuan didirikannya dan ruang lingkup Basyarnas yang sebelumnya bernama BAMUI berdasarkan isi dari pasal 4 Anggaran Dasarya adalah sebagai berikut; pertama memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sangketasangketa muamalah / perdata yang timbul dalam perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain.Kedua, menerima permintaan yang diajukan oleh pihak yang bersengketa dalam suatu perjanjian,ataupun tanpa adanya suatu sangketa untuk 3 memberikan sutu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.2 Dengan demikian pengaturan penyelesaian sengketa dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 seolah-olah inkonsisten terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, karena ada semacam pengurangan kompetensi absolut dari peradilan agama, yakni dengan memberikan kewenangan kepada lingkungan peradilan umum untuk ikut serta dalam menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah sepanjang para pihak memperjanjikannya. C. Dasar Hukum BAMI Arbitrase syariah bisa digunakan sebagai salah satu pilihan mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah. Terminologi arbitrase yang dikenal pada masa modern saat ini sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out court system), dalam perspektif hukum Islam sepadan dengan tahkim. Penunjukan tahkim didasarkan pada kesepakatan dua pihak yang menunjuk hakam (arbiter) untuk memberi keputusan hukum guna menyelesaikan persengkataan yang terjadi antara kedua pihak bersengketa berdasarkan petunjuk hukum syarak Legalitas tahkim (arbitrase) diakui dalam Alquran, Hadis maupun Ijmak ulama. Pengakuan terhadap arbitrase dalam hukum Islam terlihat dalam Alquran, seperti mengenai penyelesaian perselisihan antara suami-isteri melalui hakam (arbiter) sebagai juru damai, terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 35: َٰ ٱَّللُ َب ۡينَ ُه َم ۗٓا ٓ ِإ هن ه ق ه َٱَّلل ِ َِو ِإ ۡن ِخ ۡفت ُ ۡم ِشقَاقَ َب ۡي ِن ِه َما فَ ۡٱب َعثُواْ َحك َٗما ِم ۡن أ َ ۡه ِلِۦه َو َحك َٗما ِم ۡن أ َ ۡه ِل َها ٓ ِإن ي ُِريدَآ ِإصۡ لَ ٗحا ي َُوف ٣٥ َكانَ َع ِلي ًما َخ ِب ٗيرا 35. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. 2 Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Yogyakarta: Graha Indonesia. Hal. 103 4 Dari sumber inilah arbitrase kemudian ditetapkan sebagai forum penyelesaian sengketa dalam tradisi hukum Islam. Bila di telaah lebih seksama, arbitrase dalam hukum Islam prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan persengketaan secara damai. Penyelesaian secara damai terhadap setiap perselisihan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Arbitrase syariah memegang peranan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah untuk memecahkan masalah secara kerjasama dengan mewujudkan perdamaian melalui pihak ketiga yang netral dalam memberi keputusan. Perdamaian (sulh) menjadi pola penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah (tahkim). Penggunaan sulh yang dilakukan di luar pengadilan, didasarkan pada kesepakatan para pihak untuk tidak menempuh jalur ajudikasi dalam menyelesaikan sengketa mereka. Arbitrase syariah merupakan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang dilakukan melalui arbiter (hakam) berdasarkan prinsip syariah yang bersumber pada Alquran dan Sunnah. Term arbitrase syariah menunjuk mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dilakukan berdasar syariat Islam untuk membedakan dengan arbitrase non syariah. Arbitrase syariah merupakan arbitrase khusus untuk menyelesaikan sengketa di bidang muamalah berdasar ketentuan hukum Islam. Karena dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, forum arbitrase yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah disebut arbitrase syariah. Prinsip yang melekat dalam mekanisme penyelesaian sengketa secara syariah perlu di elaborasi untuk memahami karakteristik dan cara kerja arbitrase syariah. Melalui pembahasan ini diharap ditemukan pemahaman guna lebih mengetahui prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang sesuai syariat Islam. Dasar hukum Basyarnas di Indonesia yang berupa hukum positif, yaitu sebagai berikut:3 a. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 3 Mujahidin Ahmad, 2010, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 41 5 b. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 58 sampai dengan Pasal 59 c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Tahun 2006 Nomor 05, 06, 07, dan 08. Semua fatwa DSN-MUI perihal hubungan perdata (Muamalah) senantiasa diakhiri kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Basyarnas setelah tidak tercapai melalui musyawarah. d. Perma No. 14 Th. 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. D. Yuridiksi Praktisi hukum Ricardo Simanjuntak menjelaskan, pilihan yurisdiksi arbitrase luar negeri kerap dilakukan karena ketidakpahaman para pihak dalam membuat klausul arbitrase dalam kontrak. Kadang pilihan itu bukan atas kemauan orang Indonesia, tapi dari pihak asing, kata Ricardo saat ditemui di kantornya. Ricardo menyarankan pilihan yurisdiksi itu sebaiknya dilihat relevansinya antara nilai kontrak dengan biaya perkara yang akan timbul. Sebab eksekusi putusan arbitrase asing relatif sulit diterapkan di Indonesia. Pengadilan masih cenderung menolak eksekusi putusan arbitrase asing, tandas Ricardo. Menurutnya, alasan penolakan lebih bersifat subjektif. Ini membuat keberadaan hukum arbitrase Indonesia dipertanyakan. Beberapa contoh kasus di bawah ini adalah bukti sulitnya pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase. Kasus Trading Corporation of Pakistan Limited melawan PT Bakrie & Brothers pada tahun 1986. Ekseksusi perkara yang diajukan ke Federation of Oils, Seed and Fats Association itu ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lantaran putusan arbitrase tersebut dinilai tidak sah. Alasannya putusan arbitrase itu dibuat di Inggris. Sementara menurut azas timbal balik (resiprositas) yang tercantum dalam Keppres No. 34 tahun 1981 ditentukan, Inggris 6 tidak berwenang memutus perkara. Sebab negara yang berhubungan adalah Indonesia dan Pakistan. Kasus lain yang juga ditolak adalah Paiton Energy Corporation (PEC) dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada 2001. Eksekusi tidak bisa dilaksanakan karena nilai gugatan terlalu besar. Kalau dikabulkan Indonesia bisa bangkrut, kata Ricardo. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards atau Konvensi New York tahun 1958 membolehkan penolakan putusan arbitrase. Pasal V ayat (1) Konvesi 1958 menegaskan penolakan eksekusi bisa dilakukan jika terbukti para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase. Alasan penolakan lain adalah pemberitahuan yang tidak lazim tentang akan atau sedang berlangsungnya proses arbitrase kepada pihak yang berkepentingan. Selain itu, eksekusi bisa ditolak jika arbiter telah melampaui kewenangan, komposisi arbiter atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan kontrak dan putusan aritrase belum mengikat. Pasal V ayat (2) juga memberikan dasar penolakan putusan arbitrase asing. Yakni jika badan yang berwenanng dari negara tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitase yang dimohonkan menemukan pokok persengketaan tidak dapat diselesaikan melalui arbitase di negara itu. Selain itu, penolakan bisa dilakukan jika pengakuan atau pelaksanaan putusan itu bertentangan dengan kepentingan negara itu. Aturan itu lalu dikuatkan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Di Indonesia, yang berwenang melakukan eksekusi putusan arbitrase asing hanya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Karena itu perkara yang ingin dieksekusi harus didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Biaya pendaftaran sebesar Rp250 ribu. Tidak sembarangan putusan arbitrase bisa dieksekusi. Perma 1/1990 memberikan dua syarat. Yaitu, pertama putusan dijatuhkan oleh badan arbitase atau perorangan di suatu negara dengan atau bersama-sama Indonesia terikat 7 konvensi 1958. Kedua, putusan bisa dieksekusi jika termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang di Indonesia. Jika sudah memenuhi syarat, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan menyurati Mahkamah Agung untuk memperoleh eksekutor (exequator). Permohonan itu harus disertai dengan putusan arbitrase, perjanjian para pihak dan keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia dimana putusan arbitrase dijatuhkan. Setelah exequator ditunjuk, pelaksanaan eksekusi diserahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sita eksekutorial dapat dilakukan terhadap harta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi. Tata cara eksekusinya mengacu pada hukum acara perdata Indonesia. Berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yurisdiksi penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase tidak mengenal batasan wilayah. Para pihak bersengketa bebas memilih lembaga arbitrase di mana saja. Dengan kebebasan itu, tidak jarang orang Indonesia yang memilih domisili hukum arbitrase diluar negeri. Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Priyatna Abdurrasyid mengatakan banyak sengketa di Indonesia yang diselesaikan di arbitrase Singapura. Hal senada juga diungkapkan Surya Makmur Nasution, Wakil Ketua BANI Batam. Padahal pilihan arbitrase di luar negeri bisa memakan biaya yang tidak sedikit. E. Prosedur dan Penetapan Putusan BAMI Sebelum UU tersebut berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering). Selain itu, dalam Pasal 58 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak tetap diperbolehkan (Hasanuddin Rahman: 340). Yahya Harahap menegaskan bahwa keberadaan arbitrase itu sebelum adanya UU Nomor 30 Tahun 1999 bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau Pasal 705 R.Bg. Pada ketentuan Pasal 377 HIR tersebut telah memberikan kemungkinan dan kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan 8 perkara yang timbul di luar jalur pengadilan apabila mereka menghendakinya sebagaimana yang dituangkan dalam akad perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Penyelesaian dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan nama arbitrase.4 Penyelesaian sengketa dalam hukum Islam adalah untuk menjaga hubungan silaturrahim antara mereka yang bersengketa agar tetap terjalin dengan baik. Dalam makna yang sama, filosofi penyelesaian sengketa dalam perspektif syariah tidak boleh memutuskan hubungan silaturrahim di antara para pihak yang berselisih. Selain itu, penyelesaian sengketa dari perspektif syariah sangat menjunjung tinggi keadilan dan kepastian tanpa mengabaikan prinsip-prinsip ketuhanan (ilahiyah), kemanusiaan (insaniah), keseimbangan (al-wustha’), kerjasama (ta’awun), persaudaraan (ukhuwah), dan kemaslahatan (maslahah), yakni mengupayakan kebajikan maksimal dan mengeliminasi segala bentuk kemudharatan. Mengacu pada Pasal 59 ayat (3) UU Arbitrase dikatakan bahwa, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri (KPN) -atau perintah Ketua PA (KPA) bagi putusan arbitrase syariah meski sempat timbul polemik6 atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Jadi melalui pasal tersebut tampak jelas, bahwa kekuatan putusan badan arbitrase secara umum, dan Basyarnas secara khusus hanya dapat dieksekusi melalui perintah KPN bagi badan arbitrase secara umum atau KPA bagi Basyarnas. 4 Republik Indonesia, 1999, Undang-Undang No. 30 Th. 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 138, Sekretariat Negara. Hal. 90 9 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Keberadaan Basyarnas dapat dijadikan sebagai mitra dalam penyelesaian masalah yang berkembang. Dapat dijadikan pertimbangan, independensi dari Basyarnas menjadi positif, karena dapat menjadi lembaga alternatif dalam penyelesaikan sengketa. Sangat dimungkinkan, bahwa salah satu diantara pihak yang bersengketa tidak menyepakati proses penyelesaian sengketa dilakukan di Peradilan Agama. Hingga proses penyelasaian sengketa disepakati malaui proses arbitrase. Adapun tujuan didirikannya dan ruang lingkup Basyarnas yang sebelumnya bernama BAMUI berdasarkan isi dari pasal 4 Anggaran Dasarya adalah sebagai berikut; pertama memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sangketasangketa muamalah / perdata yang timbul dalam perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain.Kedua, menerima permintaan yang diajukan oleh pihak yang bersengketa dalam suatu perjanjian,ataupun tanpa adanya suatu sangketa untuk memberikan sutu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. 10 DAFTAR PUSTAKA Gunawan Widjaya, 2000, Hukum Arbitrase, Jakarta: Rajawali Pers Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Yogyakarta: Graha Indonesia Mujahidin Ahmad, 2010, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Bogor: Ghalia Indonesia Republik Indonesia, 1999, Undang-Undang No. 30 Th. 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 138, Sekretariat Negara. 11