Uploaded by User95860

BAMI

advertisement
MAKALAH ARBITRASE DAN ADR
TENTANG
BADAN ARBITRASE MUAMALAH INDONESIA
DOSEN PEMBIMBING:
Akhyar, M.H
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
Rizkiah
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
(STAIN MADINA)
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
hidayah dan taufiq-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami dengan
tepat waktu. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kesehatan dan
kesempatan kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya
Sholawat dan salam ke Ruh junjungan nabi Besar muhammad SAW yang
telah membawa risalah islam ke tengah-tengah ummatnya, guna mengeluarkan
ummatnya dari alam kebodohan menuju alam yang berilmu pengetahuan yang
disertai iman dan islam sebagaiman yang kita rasakan saat sekarang ini.
Akhirnya hanya kepada Allahlah kami berserah diri dan memohon ampun
atas kesalahan yang diperbuat, mudah-mudahan makalah ini dapat berguna bagi
penulis khususnya, pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Panyabungan,
Pemakalah
i
Maret 2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya BAMI ................................................................ 2
B. Tujuan . ........................................................................................... 3
C. Dasar Hukum. .................................................................................. 4
D. Yurisdiksi. ....................................................................................... 6
E. Prosedur dan Penetapan Putusan. .................................................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan Sistem Ekonomi Syari’ah di Indonesia saat ini Semakin
pesat. Kondisi ini terjadi melalui pembangunan berkelanjutan, Indonesia
diharapkan mampu dan bisa bersaing di dunia, baik dari sektor perdagangan
maupun perindustrian. Bermodalkan pengalaman pahit Reformasi 1998 Indonesia
diharapkan mampu menjadi negara yang lebih kuat dan unggul dalam mengatasi
gejolak perekonomian yang muncul di Indonesia. Sejalan dengan berkembangnya
bidang perekonomian, di bidang perbankan juga diharapkan mampu mendongkrak
pembangunan yang mulai dirintis oleh Pemerintah untuk memudahkan masyarakat
bertransaksi.
Berbagai banyak perbankan yang muncul di Indonesia menjadikan masalah
yang muncul lebih kompleks. Tidak hanya perbankan milik negara yang muncul,
tetapi juga milik swasta, adapula perbankan berbasis Syari’ah.
Hakikatnya penyelesaian sengketa masuk dalam ranah hukum perjanjian
sehingga asas yang berlaku adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract). Artinya para pihak bebas melakukan pilihan hukum dan pilihan forum
penyelesaian sengketa yang akan dipakai manakala terjadi sengketa keperdataan di
antara mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya BAMI?
2. Bagaimana tujuan didirikannya BAMI?
3. Bagaimana dasar Hukum BAMI?
4. Bagaimana yuridiksi BAMI?
5. Bagaimana prosedur dan penetaoan Putusan?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya BAMI
Arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikiler yang tidak terikat
dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam
instansi terakir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati
para pihak.
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional merupakan perubahan dari Badan
arbitrase Muamalat Indonesaia yang merupakan salah satu wujud dari arbitrase
syariah pertama kali didirikan di Indonesia.Pendirian Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertempat di Jakarta.
Bentuk dari Badan Arbitrase Muamalat Indonesia berbentuk yayasan dengan akta
notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 23 Oktober 1993.
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia sekarang telah berganti nama menjadi
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) yang diputuskan dalam
RakernasMajelis Ulama Indonesia tahun 2002. Kedudukan Basyarnas berada
dibawah Majelis Ulama Indonesia dan merupakan seperangkat organisasi Majelis
Ulama Indonesia sejak Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tanggal 2326 Desember 2002. Perubahan Nama tersebut dilandasi oleh sudah tidak sesuainya
kedudukan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2001tentang Yayasan. Perubahan bentuk dan pengurus Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia dituangkan dalam Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia
No. Kep09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang
menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syari’ah.1
1
Gunawan Widjaya, 2000, Hukum Arbitrase, Jakarta: Rajawali Pers. Hal. 61
2
B. Tujuan Didirikannya BAMI
Tujuannya untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah
pertama tersebut. Pada tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS)
lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi Basyarnas. Perubahan tersebut
berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003.
“Basyarnas ini satu-satunya badan hukum yang otonom milik MUI,” tandas Ahmad
Jauhari, sekretaris Basyarnas.
Permasalahan yang muncul, lembaga mana yang lebih berwenang untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi. Memang peradilan Agama lebih mempunyai
wewenang untuk menyelesaikan bila terjadi sengketa. Karena lembaga peradilan
agama lebih mempunyai kekuatan hukum yang harus dipatuhi sebagai lembaga
bentukan dari pemerintah, hal inipun secara jelas telah disebutkan dalam UndangUndang No. 3 Tahun 2006. Namun BASYARNAS lembaga hukum non-litigasi
hasil bentukan dari MUI dengan tujuan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang
terjadi dibidang muamalat dengan didukung fatwa-fatwa MUI sebagai rujukan
hukumnya.
Keberadaan Basyarnas dapat dijadikan sebagai mitra dalam penyelesaian
masalah yang berkembang. Dapat dijadikan pertimbangan, independensi dari
Basyarnas menjadi positif, karena dapat menjadi lembaga alternatif dalam
penyelesaikan sengketa. Sangat dimungkinkan, bahwa salah satu diantara pihak
yang bersengketa tidak menyepakati proses penyelesaian sengketa dilakukan di
Peradilan Agama. Hingga proses penyelasaian sengketa disepakati malaui proses
arbitrase.
Adapun tujuan didirikannya dan ruang lingkup Basyarnas yang sebelumnya
bernama BAMUI berdasarkan isi dari pasal 4 Anggaran Dasarya adalah sebagai
berikut; pertama memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sangketasangketa muamalah / perdata yang timbul dalam perdagangan, industri, keuangan,
jasa dan lain-lain.Kedua, menerima permintaan yang diajukan oleh pihak yang
bersengketa dalam suatu perjanjian,ataupun tanpa adanya suatu sangketa untuk
3
memberikan sutu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan
dengan perjanjian tersebut.2
Dengan demikian pengaturan penyelesaian sengketa dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 seolah-olah inkonsisten terhadap Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, karena ada semacam pengurangan kompetensi absolut dari
peradilan agama, yakni dengan memberikan kewenangan kepada lingkungan
peradilan umum untuk ikut serta dalam menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi
syariah sepanjang para pihak memperjanjikannya.
C. Dasar Hukum BAMI
Arbitrase syariah bisa digunakan sebagai salah satu pilihan mekanisme
penyelesaian sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah.
Terminologi arbitrase yang dikenal pada masa modern saat ini sebagai forum
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out court system), dalam perspektif
hukum Islam sepadan dengan tahkim. Penunjukan tahkim didasarkan pada
kesepakatan dua pihak yang menunjuk hakam (arbiter) untuk memberi keputusan
hukum guna menyelesaikan persengkataan yang terjadi antara kedua pihak
bersengketa berdasarkan petunjuk hukum syarak Legalitas tahkim (arbitrase) diakui
dalam Alquran, Hadis maupun Ijmak ulama. Pengakuan terhadap arbitrase dalam
hukum Islam terlihat dalam Alquran, seperti mengenai penyelesaian perselisihan
antara suami-isteri melalui hakam (arbiter) sebagai juru damai, terdapat dalam QS.
An-Nisa ayat 35:
َٰ
‫ٱَّللُ َب ۡينَ ُه َم ۗٓا ٓ ِإ هن ه‬
‫ق ه‬
َ‫ٱَّلل‬
ِ ِ‫َو ِإ ۡن ِخ ۡفت ُ ۡم ِشقَاقَ َب ۡي ِن ِه َما فَ ۡٱب َعثُواْ َحك َٗما ِم ۡن أ َ ۡه ِلِۦه َو َحك َٗما ِم ۡن أ َ ۡه ِل َها ٓ ِإن ي ُِريدَآ ِإصۡ لَ ٗحا ي َُوف‬
٣٥ ‫َكانَ َع ِلي ًما َخ ِب ٗيرا‬
35. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.
2
Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Yogyakarta:
Graha Indonesia. Hal. 103
4
Dari sumber inilah arbitrase kemudian ditetapkan sebagai forum
penyelesaian sengketa dalam tradisi hukum Islam. Bila di telaah lebih seksama,
arbitrase dalam hukum Islam prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan
persengketaan secara damai. Penyelesaian secara damai terhadap setiap
perselisihan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Arbitrase syariah memegang
peranan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah untuk memecahkan
masalah secara kerjasama dengan mewujudkan perdamaian melalui pihak ketiga
yang netral dalam memberi keputusan. Perdamaian (sulh) menjadi pola
penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah (tahkim). Penggunaan sulh yang
dilakukan di luar pengadilan, didasarkan pada kesepakatan para pihak untuk tidak
menempuh jalur ajudikasi dalam menyelesaikan sengketa mereka.
Arbitrase syariah merupakan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa
yang dilakukan melalui arbiter (hakam) berdasarkan prinsip syariah yang
bersumber pada Alquran dan Sunnah. Term arbitrase syariah menunjuk mekanisme
penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dilakukan berdasar syariat Islam
untuk membedakan dengan arbitrase non syariah. Arbitrase syariah merupakan
arbitrase khusus untuk menyelesaikan sengketa di bidang muamalah berdasar
ketentuan hukum Islam. Karena dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam,
forum arbitrase yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah disebut arbitrase
syariah. Prinsip yang melekat dalam mekanisme penyelesaian sengketa secara
syariah perlu di elaborasi untuk memahami karakteristik dan cara kerja arbitrase
syariah. Melalui pembahasan ini diharap ditemukan pemahaman guna lebih
mengetahui prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang sesuai syariat
Islam.
Dasar hukum Basyarnas di Indonesia yang berupa hukum positif, yaitu
sebagai berikut:3
a. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
3
Mujahidin Ahmad, 2010, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Bogor:
Ghalia Indonesia. Hal. 41
5
b. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal
58 sampai dengan Pasal 59
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Tahun 2006 Nomor 05, 06, 07, dan 08. Semua fatwa DSN-MUI perihal
hubungan perdata (Muamalah) senantiasa diakhiri kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Basyarnas setelah tidak tercapai
melalui musyawarah.
d. Perma No. 14 Th. 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syariah.
D. Yuridiksi
Praktisi hukum Ricardo Simanjuntak menjelaskan, pilihan yurisdiksi
arbitrase luar negeri kerap dilakukan karena ketidakpahaman para pihak dalam
membuat klausul arbitrase dalam kontrak. Kadang pilihan itu bukan atas kemauan
orang Indonesia, tapi dari pihak asing, kata Ricardo saat ditemui di kantornya.
Ricardo menyarankan pilihan yurisdiksi itu sebaiknya dilihat relevansinya
antara nilai kontrak dengan biaya perkara yang akan timbul. Sebab eksekusi
putusan arbitrase asing relatif sulit diterapkan di Indonesia. Pengadilan masih
cenderung menolak eksekusi putusan arbitrase asing, tandas Ricardo. Menurutnya,
alasan penolakan lebih bersifat subjektif. Ini membuat keberadaan hukum arbitrase
Indonesia dipertanyakan.
Beberapa contoh kasus di bawah ini adalah bukti sulitnya pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase. Kasus Trading Corporation of Pakistan Limited
melawan PT Bakrie & Brothers pada tahun 1986. Ekseksusi perkara yang diajukan
ke Federation of Oils, Seed and Fats Association itu ditolak Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan lantaran putusan arbitrase tersebut dinilai tidak sah. Alasannya
putusan arbitrase itu dibuat di Inggris. Sementara menurut azas timbal balik
(resiprositas) yang tercantum dalam Keppres No. 34 tahun 1981 ditentukan, Inggris
6
tidak berwenang memutus perkara. Sebab negara yang berhubungan adalah
Indonesia dan Pakistan.
Kasus lain yang juga ditolak adalah Paiton Energy Corporation (PEC)
dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada 2001. Eksekusi tidak bisa
dilaksanakan karena nilai gugatan terlalu besar. Kalau dikabulkan Indonesia bisa
bangkrut, kata Ricardo.
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards atau Konvensi New York tahun 1958 membolehkan penolakan putusan
arbitrase. Pasal V ayat (1) Konvesi 1958 menegaskan penolakan eksekusi bisa
dilakukan jika terbukti para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase.
Alasan penolakan lain adalah pemberitahuan yang tidak lazim tentang akan atau
sedang berlangsungnya proses arbitrase kepada pihak yang berkepentingan. Selain
itu, eksekusi bisa ditolak jika arbiter telah melampaui kewenangan, komposisi
arbiter atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan kontrak dan putusan aritrase
belum mengikat.
Pasal V ayat (2) juga memberikan dasar penolakan putusan arbitrase asing.
Yakni jika badan yang berwenanng dari negara tempat pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitase yang dimohonkan menemukan pokok persengketaan tidak dapat
diselesaikan melalui arbitase di negara itu. Selain itu, penolakan bisa dilakukan jika
pengakuan atau pelaksanaan putusan itu bertentangan dengan kepentingan negara
itu.
Aturan itu lalu dikuatkan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.
1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Di
Indonesia, yang berwenang melakukan eksekusi putusan arbitrase asing hanya
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Karena itu perkara yang ingin dieksekusi harus
didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Biaya pendaftaran
sebesar Rp250 ribu.
Tidak sembarangan putusan arbitrase bisa dieksekusi. Perma 1/1990
memberikan dua syarat. Yaitu, pertama putusan dijatuhkan oleh badan arbitase
atau perorangan di suatu negara dengan atau bersama-sama Indonesia terikat
7
konvensi 1958. Kedua, putusan bisa dieksekusi jika termasuk dalam ruang lingkup
hukum dagang di Indonesia.
Jika sudah memenuhi syarat, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan
menyurati Mahkamah Agung untuk memperoleh eksekutor (exequator).
Permohonan itu harus disertai dengan putusan arbitrase, perjanjian para pihak dan
keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia dimana putusan arbitrase
dijatuhkan.
Setelah exequator ditunjuk,
pelaksanaan
eksekusi
diserahkan
pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sita eksekutorial dapat dilakukan terhadap harta
kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi. Tata cara eksekusinya
mengacu pada hukum acara perdata Indonesia.
Berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yurisdiksi
penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase tidak mengenal batasan wilayah.
Para pihak bersengketa bebas memilih lembaga arbitrase di mana saja. Dengan
kebebasan itu, tidak jarang orang Indonesia yang memilih domisili hukum arbitrase
diluar negeri.
Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Priyatna Abdurrasyid
mengatakan banyak sengketa di Indonesia yang diselesaikan di arbitrase Singapura.
Hal senada juga diungkapkan Surya Makmur Nasution, Wakil Ketua BANI Batam.
Padahal pilihan arbitrase di luar negeri bisa memakan biaya yang tidak sedikit.
E. Prosedur dan Penetapan Putusan BAMI
Sebelum UU tersebut berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam
Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering). Selain itu, dalam Pasal 58 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak tetap diperbolehkan
(Hasanuddin Rahman: 340).
Yahya Harahap menegaskan bahwa keberadaan arbitrase itu sebelum
adanya UU Nomor 30 Tahun 1999 bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau Pasal 705
R.Bg. Pada ketentuan Pasal 377 HIR tersebut telah memberikan kemungkinan dan
kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan
8
perkara yang timbul di luar jalur pengadilan apabila mereka menghendakinya
sebagaimana yang dituangkan dalam akad perjanjian yang dibuat berdasarkan
kesepakatan sebelumnya. Penyelesaian dan keputusannya dapat mereka serahkan
sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan nama arbitrase.4
Penyelesaian sengketa dalam hukum Islam adalah untuk menjaga hubungan
silaturrahim antara mereka yang bersengketa agar tetap terjalin dengan baik. Dalam
makna yang sama, filosofi penyelesaian sengketa dalam perspektif syariah tidak
boleh memutuskan hubungan silaturrahim di antara para pihak yang berselisih.
Selain itu, penyelesaian sengketa dari perspektif syariah sangat menjunjung
tinggi keadilan dan kepastian tanpa mengabaikan prinsip-prinsip ketuhanan
(ilahiyah), kemanusiaan (insaniah), keseimbangan (al-wustha’), kerjasama
(ta’awun), persaudaraan (ukhuwah), dan kemaslahatan (maslahah), yakni
mengupayakan
kebajikan
maksimal
dan
mengeliminasi
segala
bentuk
kemudharatan.
Mengacu pada Pasal 59 ayat (3) UU Arbitrase dikatakan bahwa, “Dalam hal
para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri (KPN) -atau perintah
Ketua PA (KPA) bagi putusan arbitrase syariah meski sempat timbul polemik6 atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Jadi melalui pasal tersebut tampak jelas, bahwa kekuatan putusan badan
arbitrase secara umum, dan Basyarnas secara khusus hanya dapat dieksekusi
melalui perintah KPN bagi badan arbitrase secara umum atau KPA bagi Basyarnas.
4
Republik Indonesia, 1999, Undang-Undang No. 30 Th. 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 138, Sekretariat Negara.
Hal. 90
9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keberadaan Basyarnas dapat dijadikan sebagai mitra dalam penyelesaian
masalah yang berkembang. Dapat dijadikan pertimbangan, independensi dari
Basyarnas menjadi positif, karena dapat menjadi lembaga alternatif dalam
penyelesaikan sengketa. Sangat dimungkinkan, bahwa salah satu diantara pihak
yang bersengketa tidak menyepakati proses penyelesaian sengketa dilakukan di
Peradilan Agama. Hingga proses penyelasaian sengketa disepakati malaui proses
arbitrase.
Adapun tujuan didirikannya dan ruang lingkup Basyarnas yang sebelumnya
bernama BAMUI berdasarkan isi dari pasal 4 Anggaran Dasarya adalah sebagai
berikut; pertama memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sangketasangketa muamalah / perdata yang timbul dalam perdagangan, industri, keuangan,
jasa dan lain-lain.Kedua, menerima permintaan yang diajukan oleh pihak yang
bersengketa dalam suatu perjanjian,ataupun tanpa adanya suatu sangketa untuk
memberikan sutu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan
dengan perjanjian tersebut.
10
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan Widjaya, 2000, Hukum Arbitrase, Jakarta: Rajawali Pers
Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah.
Yogyakarta: Graha Indonesia
Mujahidin Ahmad, 2010, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah,
Bogor: Ghalia Indonesia
Republik Indonesia, 1999, Undang-Undang No. 30 Th. 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara RI Tahun 1999, No.
138, Sekretariat Negara.
11
Download