See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/323238283 GERAKAN SOSIAL, Sejarah Perkembangan Teori antara Kekuatan dan Kelemahan Book · December 2012 CITATIONS READS 2 62,458 1 author: Joni Rusmanto Universitas Palangka Raya 10 PUBLICATIONS 15 CITATIONS SEE PROFILE Some of the authors of this publication are also working on these related projects: cultural framing on social movement View project Social network View project All content following this page was uploaded by Joni Rusmanto on 29 April 2018. The user has requested enhancement of the downloaded file. Joni Rusmanto GERAKAN SOSIAL Sejarah Perkembangan Teori Antara Kekuatan dan Kelemahannya Bahan Bacaan untuk Pemula GERAKAN SOSIAL Sejarah Perkembangan Teori Antara kekuatan dan Kelemahannya Penulis : Joni Rusmanto © 2013 Diterbitkan Oleh: Jl. Taman Pondok Jati J 3, Taman Sidoarjo Telp/fax : 031-7871090 Email : [email protected] Bekerjasama dengan UNIVERSITAS PALANGKARAYA Cetakan Pertama, Desember 2012 Ukuran buku : 15.5 cm x 23 cm, 101 hal Penata Isi & Desain Cover : Akbar Jati ISBN : 978-602-18597-8-0 Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6) Daftar isi Daftar isi III Pengantar Penulis IV Data Penulis VII Pendahuluan 1 I) Perspektif studi gerakan sosial tradisi klasik dan neoklasik (lama) 3 1) Konteks sosial dan politik yang melatarinya 4 2) Pengaruh tradisi pemikiran dalam teori gerakan sosial klasik dan neoklasik 6 3) Tema-tema dan kajian teoritis studi gerakan sosial klasik dan neoklasik 7 4) Kekuatan dan kelemahan perspektif klasik dan neoklasik 17 II) Menuju arah baru studi gerakan sosial (new social movement) 21 1) Konteks sosial politik gerakan sosial baru (new social movement) 22 2) Pengaruh tradisi pemikiran dalam studi gerakan sosial baru (new social movement) 24 3) Berbagai paradigma studi gerakan sosial baru (new social movement) 25 a. Paradigma ketegangan struktur (structural strain paradigma) 25 b. Paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm) 33 c. Paradigma berorientasi identitas 43 III) Kesimpulan 55 IV) Perkembangan terakhir (state of the art) Teori Gerakan Sosial 78 1) Perkembangan sesudah strukturalisme (postrukturalis) 79 2) Keterbatasan dalam perspektif mikro 84 3) Menuju ke sebuah arti atau makna 87 4) Pragmatisme 88 5) Kesimpulan 89 Sumber Bacaan 91 III Pengantar Penulis Buku yang berjudul, “Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; antara Kekuatan dan Kelemahannya” Bahan Bacaan untuk Pemula”, merupakan sebuah tulisan kecil yang menyuguhkan sejarah dan dinamika studi gerakan sosial, konteks sosial politik fenomena yang melahirkan gerakan, latar pemikiran dan keilmuan yang mempengaruhinya teoritisi gerakan, perspektif dan teori yang digunakan oleh teoritisi, berbagai kekurangan dan kelemahan setiap paradigma hingga ke perkembangan terakhir dari studi gerakan sosial masa kini (state of the art). Sistematisasi tema ini penting, sebagai frame logic untuk melakukan sebuah pemetaan studi gerakan sosial dalam keanekaragaman perspektif, sehingga titik tolak konstruksi perspektif dan teori studi gerakan sosial itu dapat dipahami secara utuh dan lengkap. Mulai dari teori yang didiskusikan dan diperdebatkan oleh para teoritisi semula, hingga ke perkembangan akhir studi pada masa kini. Karena setiap paradigma studi gerakan sosial, satu sama lain dalam sejarah perkembangannya saling mengisi kekurangan masing-masing dan kekurangan paradigma yang dibangun itu menjadi sebuah kekuatan baru dalam teori itu, dan kekuatan paradigmatik semacam ini dapat dipandang sebagai sebuah konstruksi teori yang dianggap lebih adekuat dari paradigma sebelumnya. Demikian sesungguhnya yang terjadi dalam sejarah dinamika studi gerakan sosial itu. Oleh karenanya, dalam tulisan singkat yang sederhana ini, disuguhkan tentang sejarah studi gerakan sosial periode klasik atau yang lebih popular disebut paradigma klasik dan neoklasik. Periode lama studi gerakan sosial ini mendapatkan pengaruh pemikiran dari perspektif psikologi sosial klasik. Ciriciri mendasar perspektif psikologi sosial dalam studi gerakan sosial klasik, di mana asumsi dasar yang dibangun oleh para IV peneliti dalam studi adalah memahami perilaku individu yang mengambil bentuk dalam tindakan atau aksi bersifat irasional. Para individu yang ambil bagian dalam sebuah gerakan dalam bentuk kelompok aksi seperti pemberontakan (revolt), kerusuhan rakyat (riots), dan huru hara politik (mob) dan sebagainya. Merupakan entitas orang-orang yang berperilaku tidak rasional, tujuan dan motivasi yang ingin dicapai dalam gerakan tidak jelas, para aktor gerakan bukanlah pada individu, melainkan kumpulan orang-orang yang mengabungkan diri dalam aksi kelompok yang anarkis, kejam, sadis, suka membunuh, mengeroyok bahkan kadang-kadang tidak segansegan sebagai kelompok yang suka membunuh dan seterusnya. Jadi, gambaran para peneliti paradigma studi gerakan sosial lama ini memahami perilaku sebagai kolektivitas yang liar (crowd) dalam perilaku kolektif (collective behavior) pada sebuah gerakan yang terjadi di masyarakat. Paradigma studi gerakan sosial perspektif psikologi sosial klasik itulah yang selanjutnya dikaji kembali oleh paradigma studi gerakan sosial baru~GSB (New Social Movement). Menurut paradigma ini fenomena gerakan sosial yang terjadi sekitar tahun 1960 lebih tepat memasuki tahun 1970-an, di Eropah dan Amerika, perilaku individu maupun kolektif dalam berbagai gerakan yang terjadi adalah aksi yang bukan lagi kumpulan orang-orang yang berperilaku irasional sebagaimana yang dipahami dalam paradigma klasik di atas. Melainkan terdiridari individu-individu sebagai anggota gerakan sebagai kumpulan orang-orang yang berpikiran rasional dan waras dan aksi gerakan yang dilakukan diperhitungkan secara matang, para aktor dan anggota gerakan adalah orang-orang yang jelas, memiliki wawasan luas dan visi ke depan yang jelas serta diperhitungkan secara matang dalam gerakan yang dilakukan. Perlu pembaca ketahui bahwa, tulisan ini hanyalah sekedar bahan ringan yang sifatnya memperkaya keaneragaman V eksositas mengenai dinamika studi gerakan sosial yang ada. Karya yang tidak melebihi dari tulisan-tulisan yang ada, karena hasil ramuan yang dikumpukan secara amatiran dari beberapa catatan kecil, tugas-tugas formal Matakuliah Penunjang Disertasi (MkPD), yang belum selesai didiskusikan dengan para dosen pengasuh matakuliah ini. Oleh karena itu, maka karya ini tidak dapat dihindari dari berbagai kekurangan dan kelemahan yang ada. Semoga bermanfaat,. dan selamat membaca. Penulis VI Data Penulis Nama lengkap : Joni Rusmanto, dilahirkan di kota Palangkaraya pada Tanggal 10 Oktober 1974. Sejak tahun 2006 hingga sekarang berprofesi sebagai Dosen Tetap di Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangkaraya (Fisipol UNPAR). Periode tahun 2008 s/d 2011 tugas struktural tambahan sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya (UNPAR). Latar belakang pendidikan Strata Satu (S-1) Teologi tahun 1994/1995 di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT GKE) Banjarmasin. Pendidikan Strata Dua (S-2) bidang Sosiologi Agama (Program Studi Agama dan Masyarakat) pada tahun 2002 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Sejak tahun akademik 2010 hingga sekarang aktif sebagai mahasiswa dengan konsentrasi studi Ilmu-ilmu Sosial pada Program Studi Doktor Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Fisipol UNAIR), Surabaya. Beberapa karya tulis ilmiah yang pernah dihasilkan antara lain; Konflik Etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (tahun 2001), Sistem Perladangan dalam Masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah; Kajian dalam Perspektif Sosio~Kultural (dipublikasikan dalam Jurnal Tunjung Nyaho, Unpar, edisi 1, Vol..tahun 2009), Societas Indonesia dalam Panorama Politik, Hukum, Budaya dan Postmodernitas (Sketsa Metodologi Pemikiran dalam Filsafat Fenomenologis) tahun 2010, Manyanggar: Ritus Tolak Bala dalam Masyarakat Dayak Ngaju (Kajian dalam Perspektif The Social Construction of Reality Peter L. Berger dan Thomas Luckmann) tahun 2009. Dayak Kalimantan : Perjuangan Rivalitas dan Harmonisitas; Kritik Politik Pembangunan dalam Era Postmodernitas, tahun 2010.,,dsbnnya. VII Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya S ejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; antara Kekuatan dan Kelemahannya 0. Pendahuluan Berbagai hasil studi tentang gerakan sosial dipengaruhi oleh beragamnya paradigma yang digunakan Bahan Bacaan untuk Pemula untuk memahami fenomena gerakan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Beragam varian teoritik dan pendekatan perspektif tidak muncul dengan sendirinya, melainkan dikonstruksi berdasarkan dinamika bentuk dan model gerakan yang terjadi di masyarakat. Dinamika sosial gerakan inilah yang kemudian melahirkan komunitas-komunitas intelektual studi terhadap gerakan sosial dengan beragam perspektif yang kemudian di antaranya saling mempengaruhi satu dengan lain. Paradigma adalah sebuah pendekatan yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memahami sebuah pokok persoalan di bidang ilmu pengetahuan yang mereka geluti (Kuhn, 1962). Sebuah paradigma dalam dimensinya memiliki kekuatan dan kelemahan pada dirinya sendiri. Sebuah paradigma yang adekuat pada masanya, kemudian pada kesempatan lain telah ditemukan berbagai kelemahannya. Paradigma yang lebih adekuat ini dibangun berdasarkan temuan-temuan baru, konstruksi dan analisa yang berbeda berdasarkan data-data penelitian yang diperoleh peneliti gerakan sosial atas berbagai karakteristik fenomena gerakan masyarakat yang terus menerus mengalami gejala perubahan tersendiri. Irama pergeseran paradigma di dalam cabang sosiologi gerakan sosial itu rumit, karena setiap sumber perubahan memiliki arahnya sendiri yang kurang lebih (tetapi tidak seluruhnya) lepas dari yang lain. Akan tetapi, tiga tahapan yang khas dapat diperlihatkan. Setiap tahapan punya tematema yang khas terkandung di dalam ungkapan-ungkapan kuncinya, objek risetnya, metodologi risetnya dan orientasi1 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya orientasi nilainya terhadap gerakan-gerkan kemasyarakatan. Di bawah ini akan dikemukan tahapan-tahapan setiap paradigma studi gerakan sosial dalam periode perkembangan tertentu hingga pada lahirnya periode paradigma baru studi gerakan sosial yang kemudian disebut gerakan sosial baru (New Social Movement). 2 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya I Studi gerakan sosial klasik maupun neoklasik merupakan studi gerakan sosial yang terbilang relatif lama. Pada periode ini penekanan utama pada unsur-unsur irasionalitas perilaku kolektif (collective behavior) menjadi perhatian yang mendasar di dalam berbagai kajian gerakan sosial. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika periode ini oleh sejumlah analis disebut periode klasik (McAdam, 1987, Mayer, 1991), atau periode tradisional (McCarthy & Zald, 1979; Jengkins, 1982). Perspektif studi gerakan sosial tradisi klasik dan neoklasik (lama) Pada tahun 1930-an hingga memasuki era tahun 1960an studi gerakan sosial lebih difokuskan pada perspektif teori psikologi sosial, termasuk juga sebagai reaksi terhadap popularitas psikonalisis dan pengaruh “dunia nyata” Nazisme, fasisme, Stalinisme, tindakan main hakim sendiri misalnya dengan mengeroyok atau membunuh, termasuk juga kerusuhan-kerusuhan yang berbau ras. Menurut R. Mirsel, pada tahapan pertama ini teori gerakan sosial meneliti asal-usul irasional dari setiap gerakan yang muncul di bawah beberapa pemikiran yang saling berhubungan seperti dalam berbagai unit analisis kajian pada tema misalnya perkumpulan massal (mass society) dan tingkahlaku kolektif (collective behavior) (Robert Mirsel, 2004:21). Secara umum studi gerakan sosial klasik berorientasi pada teori-teori psikologi sosial, yang menurut Rajendra Singh, merupakan ciri khas perspektif gerakan sosial klasik walaupun kemudian mendapat dimensi baru dalam studi gerakan sosial tradisi neoklasik. Hal yang paling mendasar dalam tradisi klasik bahwa sebagian besar studi dalam perilaku kolektif (collective behavior), diarahkan pada berbagai bentuk perilaku kelompok kerumunan yang disebut crowd, dan crowd di sini merupakan kolektivitas yang liar, haus darah, rasional seperti 3 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya nampak dalam berbagai tindakan antara lain; kerusuhan (revolts) huru-hara (mob), keributan dan kerisauan (riots) hingga kepada pemberontakan (rebels), utamanya oleh para psikolog sosial Barat dan para sejarawan dari sebelum tahun 1950-an (Rajendra Singh, 2010:111). 1 Konteks sosial dan politik yang melatarinya Pertama, lahirnya paradigma studi gerakan sosial periode klasik dan neoklasik (gerakan sosial lama), terkait dengan ruang lingkup konteks historis dinamika gerakan masyarakat yang berkembang luas, terutama di Amerika Serikat dan Eropa Barat umumnya. Hal ini terjadi persis pada masa rezim-rezim pergerakkan anti demokrasi dan represif telah menjadi kekuatan geopolitik utama di negara-negara Barat. Perkembangan ini berlanjut memasuki Perang Dunia II, sebagai buah militerisasi persaingan dan konflik antara tiga negara pergerakan, antar tipe-tipe negara dan antar masyarakat yang terbentuk melalui pergerakan-pergerakan yang telah mencapai kekuasaan dalam negara. Kedua, hal yang mengiringi lahirnya kompetisi di antara negara-negara adidaya pada saat itu adalah demokrasi pasar, negara pasar dan masyarakat pasar seperti Inggris Raya, Perancis dan Amerika Serikat. Ketiganya terbentuk bersamaan dengan lahirnya kapitalisme industri, kemenangan liberalisme dalam artian klasik (yakni, pemisahan antara negara dengan masyarakat madani), dan keberhasilan yang dicapai oleh gerakan-gerakan nasional. Negara-negara ini biasanya secara longgar dikelompokkan bersama sebagai apa yang lazim disebut Barat (West). Tipe kedua dari negara yang terlibat dalam konflik ini adalah Uni Sovyet (Robert Mirsel, 2004: 25). Negara ini merupakan sebuah rezim yang juga lahir dari gerakan yang mau menguji coba sosialisme di dalam sebuah negara. Kekuatan ketiga, adalah Aliansi Sumbuh, yaitu aliansi yang terdiri-dari rezim-rezim pergerakan seperti fasisme di Jepang, Italia, dan Nazi Jerman, bersama dengan para sekutu 4 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya dan rezim-rezim bonekannya. Biasanya dalam masyarakatmasyarakat semacam ini, ekonomi kapitalis dipadukan dengan negara aktivis dan represif. Negara-negara yang meleburkan diri dan menjadi bagian negara-negara sekutu yang telah memenangkan perang, yakni demokrasi pasar Barat dan Uni Sovyet yang dipadukan dengan negara-negara komunisnya, tidak bisa bertahan hingga berakhirnya konflik. Munculnya konflik antar pemenang perang melahirkan bentuk Perang Dingin, perlombaan senjata nuklir sejalan dengan lahirnya konflik-konflik regional di Dunia Ketiga. Beberapa tahun setelah Perang Dunia II berakhir, Cina dan Eropa Timur terserap ke dalam blok komunis, dan perang pun meletus di Semenanjung Korea. Lebih spesifik lagi, bahwa di negara-negara pendukung utama masing-masing blok, orang-orang atau kelompok maupun organisasi-organisasi yang dituduh sebagai pendukung pihak lain dibersihkan atau disterilkan. Pembersihan ini umumnya lebih kejam dilakukan di negara-negara komunis, (kecuali Perancis dan Italia). Demikian juga demokrasi pasar, juga melakukan penyingkiran terhadap partai-partai dan gerakan-gerakan komunis dari arena politik seperti halnya negara-negara komunis melakukan tindakan yang sama terhadap gerakan dan partai-partai borjuis. Ketiga, tekanan historis lainnya, terutama di Amerika Serikat adalah munculnya berbagai fenomena sosial yang cenderung membentuk diri dalam sebuah perilaku kerumunan (crowd behavior). Fenomena perilaku kolektif yang membentuk diri dalam sebuah kelompok kerumunan (crowd), seperti halnya kerusuhan rasial dan tindakan main hakim sendiri dengan sikap mengeroyok hingga saling membunuh yang dilakukan oleh warga kulit putih terhadap warga kulit hitam misalnya yang terjadi di Chicago tahun 1919, St. Louis Timur, 1917, dan di Detroit, 1943, dan terhadap warga keturunan Meksiko di Los Angeles, 1943. Kenyataan ini berlangsung lama dalam sejarah Amerika abad kedua puluh. 5 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Menjelang tahun 1930-an, ciri kebencian rasial dari Nazisme memberi sebuah konteks baru terhadap tindakantindakan kekerasan semacam ini terutama khususnya di Amerika Serikat. Tindakan-tindakan ini dilihat sebagai fenomena serupa yang lebih besar. Para ilmuwan sosial merasa terdorong untuk memahami sisi irasional dan intoleran dari perilaku kerumunan (crowd), guna memerangi rasisme dalam segala bentuknya. Upaya-upaya inilah yang kemudian turut serta mempengaruhi perpektif teoritik studi gerakan sosial neoklasik yang agak sedikit lebih mengalami kemajuan dan perubahan yang cukup berarti, namun masih tetap dipengaruhi oleh perspektif psikologi sosial terutama pada aliran crowd tradisi klasik mula-mula. 2 Pengaruh tradisi pemikiran dalam teori gerakan sosial klasik dan neoklasik Dalam periode ini perspektif psikologi sosial umum berkembang pesat di Eropa Barat dan di Amerika Serikat. Di dalam melakukan studi, teoritisi ini mengawali asumsi yang negatif mengenai tingkahlaku kerumunan (crowd), yaitu tingkahlaku yang merujuk pada suatu kolektivitas yang liar (collectifities riotous) dalam berbagai dinamika gerakan (Rajendra Singh, 2010:113). Berbagai asumsi itu, dapat dilihat dalam beberapa karya besar, di mana secara dominan dipengaruhi para psikolog sosial klasik seperti, misalnya Gustav LeBon, The Crowd, (1987), Gabriel Tarde, The Laws of Imitation, (1903), karya William Mac Dougall, The Group Mind (1920), karya E.D. Martin, The Behaviour of Crowd (1929) dan sebagainya. Pendekatan psikologi sosial klasik terhadap penulisan gerakan sosial, lahir dari sejarah pemikiran besar yang lebih dismisif yakni Sigmund Freud dalam, Group Psychology and the Analysis of the Ego, (1921/1959), yang berorientasi teoritis pada psikologi kelompok yang kemudian bergema kembali pada awal abad ke 20 di dalam karya Robert Park dan E. Burgess. Robert Park berjasa sebagai pengguna pertama 6 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya istilah “tingkahlaku kolektif” (collective behavior). Tulisan Park bersama Burges memperlihatkan pengaruh Gustave LeBon dalam penggunaan sejumlah konsep seperti sugestibilitas, ketularan (contagion), dan kepatuhan kerumunan (crowd) kepada seorang pemimpin. Mereka juga memperlihatkan bahwa tingkahlaku kolektif (collective behavior) merupakan kekuatan yang dapat membawa perubahan. Kesimpulan Park akhirnya mengemukakan bahwa kerumunan (crowd) dan publik atau kelompok atau perkumpulan massa (mass society) mengakhiri ikatan-ikatan lama dan membawa individu ke dalam jalinan hubungan-hubungan baru (Turner & Killian, 1987). Park dan Aliran Chicago memainkan peran penting dalam menggeser bidang akademik sosiologi yang baru muncul dari teori-teori berskala besar, yakni teori-teori mengenai struktur dan perubahan sosial, kepada studi-studi empiris berskala kecil yakni mengenai proses-proses sosial. Menurut Ritzer dan Goodman, karena Park adalah murid Simmel dan gagasan Simmel tentang tindakan dan interaksi, pada akhirnya menjadi instrumen penting dalam mengembangkan orientasi aliran Chicago (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2003:72). Dengan adanya pergeseran umum ini lahir pula batasan pertama tentang cabang sosiologi tingkah laku kolektif dan gerakan sosial yang berorientasi bukan hanya kepada peranan gerakan-gerakan sosial di dalam pembaharuan politik dan perubahan sejarah, melainkan juga kepada psikologi sosial yang mempengaruhi faktor-faktor tingkahlaku kerumunan (crowd) di dalam pembentukan sebuah gerakan sosial yang terjadi. 3 Tema-tema dan kajian teoritis studi gerakan sosial klasik dan neoklasik Adapun unit analisis yang pertama diperhatikan oleh para teoritisi adalah menyoroti interkoneksi perspektif psikologi sosial pada berbagai bentuk perilaku individu. Para peneliti perspektif ini telah memusatkan perhatian; mengapa dan bagaimana individu-individu menggabungkan diri dalam 7 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya sebuah gerakan, dan pada ciri-ciri yang khas yang membedakan individu-individu yang terlibat pada sebuah gerakan dari mereka yang tidak terlibat. Kekuatan-kekuatan kultural menjadi riil dan dapat diteliti secara empiris takkala mereka dialih bentukan ke dalam motivasi, predisposisi, dan kecendrungan pribadi. Konsep mengenai kepribadian, merupakan cara yang bermanfaat dan sahih guna memperlihatkan konsistensi di dalam motivasi, perilaku, keyakinan, dan predisposisi individu. Konsistensi ini kemudian, tetap terus bertahan lintas waktu dan lintas peran-peran sosial. Demikian juga persoalan yang menyangkut ideologi serta yang menjadi keyakinan para peserta terlibat dalam sebuah gerakan yakni sistem kepercayaan yang dibangun, adalah bersifat sekunder, dan lebih merupakan sebuah elemen yang terdeterminasi ketimbang elemen penentu. Dalam konteks ini,keyakinan-keyakinan para individu dibentuk oleh kepribadian, yakni oleh kecendrungan-kecendrungan psikologis mereka, atau juga oleh tekanan-tekanan mikro informal (informal micro~pressures) di dalam lingkungan hidup pribadi para individu saat itu. Menurut Robert Mirsel, dalam teori psikologi sosial (social~psikologycal theory), di mana perilaku-perilaku yang diperlihatkan oleh para individu sebagai anggota suatu gerakan semacam itu, merupakan kunci pokok bagi studi mengenai keyakinan dan bukannya ide-ide mengenai sistem kepercayaan sebagai sebuah sistem pemikiran yang abstrak (Robert Mirsel, 2004:32). Dalam kajian teoritik pada tema dan unit analisa yang kedua adalah orientasi terhadap perkumpulan massal (mass society theory). Kajian pada tema ini mengarahkan perspektif studi gerakan pada suatu keadaan di dalam masyarakat. Di mana aksi-aksi kolektif disebabkan oleh karena para individu disingkirkan dari kelompok-kelompok sosial yang tetap dan membuatnya lebih rentan terhadap aksiaksi protes atau pengaduan-pengaduan di dalam sebuah gerakan kemasyarakatan. Analisis berfokus pada penelitian 8 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya bagaimana kondisi-kondisi individu seperti keterasingan (alienasi) dan kondisi-kondisi kultural seperti ketakberaturan (anomie) berhubungan dengan lahirnya sebuah gerakan sosial. Perkumpulan massal melahirkan gerakan-gerakan kemasyarakatan, yakni bahwa gerakan-gerakan ini dipandang sebagai jawaban terhadap hilangnya jangkarjangkar tradisional, karena para individu yang terlepas dari komunitasnya yang mapan kemudian mencari bentuk-bentuk komitmen bersama yang baru. Demikian juga tema dan unit analisis ketiga studi gerakan sosial yang melihat dari aspek teori tingkahlaku kolektif (collective behavior theory). Perspektif ini memandang bahwa fenomena-fenomena kelompok yang panik (panic groups), kelompok histeris (hysterias) dan kelompok yang tingkahlakunya dengan cepat sekali berubah-ubah (fads) dan tingkah laku kerumunan (crowd behavior) berhubungan erat dengan pembentukan gerakan sosial dan kemungkinan besar mewakili tahap-tahap awal pembentukan sebuah gerakan yang kemudian meluas dan menetap dalam satu gerakan. Kerumunan dan gerombolan dalam skala kecil menghasilkan apa yang dilakukan oleh perkumpulan massal (mass society) pada skala yang lebih luas. Mereka memisahkan individu dari keterikatan dengan kelompok-kelompok primer seperti keluarga, hubungan sekunder yang stabil (seperti persekutuan-persekutuan berdasarkan tempat tinggal dan serikat-serikat dagang). Mereka juga memisahkan individu dari hal-hal rutin biasa, termasuk dari tingkahlaku politik yang konvensional. Dengan ini para individu tersebut lebih mudah menerima tekanan (pressure) yang irasional. Kondisi-kondisi perkumpulan massal pada gilirannya membuat individu lebih gampang menerima tekanan-tekanan guna mengambil bagian dalam tingkahlaku kolektif (collective behavior). Paradigma klasik dan neoklasik pada tindakan kolektif (collective behavior), khususnya neoklasik tetap dominan hingga 9 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya tahun 1970-an, sebagaimana tema dan unit analisas di atas, baik yang merujuk pada studi tentang tingkahlaku kolektif (collective behavior theory), maupun perkumpulan massal (mass society theory). Tema-tema pada kajian ini, sama-sama masih memperlihatkan tindakan kolektif yang merujuk pada cetakan konseptualisasi studi tentang crowd yaitu sebagai kolektifitas yang liar (collectifities riotous), tindakan kolektivitas yang cenderung bertindak anarkis, brutal sadis dan juga kelompok yang perilakunya rentan terhadap hal-hal yang menjadikan para anggota gerakan dapat melakukan apa saja dari berbagai tindakan yang irasional. Dalam tradisi klasik, gambaran sosial tentang crowd adalah berupa kerumunan manusia secara kolektif yang terdiri dari sejumlah individu-individu dalam ruang yang terbatas yang merespon berbagai isu atau peristiwa dalam kepentingan umum. Crowd tidak seperti yang digambarkan C.H. Cooley sebagai grup utama yang berhadap-hadapan, melainkan lebih menyerupai kelompok massa atau tingkahlaku kolektif yang saling merapat dan berdesak-desakan. Kelompok-kelompok yang membentuk diri pada situasi tindakan berkerumunan (crowd), secara organisasi atau kelembagaan merupakan sebuah kelompok yang bersifat sementara, tidak tetap, dan episodik. Manifestasinya adalah dalam bentuk kolektifitas-kolektifitas yang tidak terlembagakan dan tidak terbudayakan (Rajendra Singh, 2010:113). Kelompok crowd (kolektivitas yang liar) di atas, tidak dapat disamakan dari sekumpulan manusia seperti misalnya bangsa, komunitas, kasta, kelas kerena kelompok tersebut relatif stabil dan merupakan sekumpulan manusia yang terlembagakan. Sebaliknya kolektivitas ini bukan merupakan kumpulan stabil semacam itu. Para psikolog sosial biasanya membagi kegaduhan ke dalam tipe pasif dan aktif. Tipe pasif merujuk pada kelompok penonton dipinggir jalan, para penonton pasif yang berkumpul karena keingintahuan untuk 10 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak biasanya, baik pemandangan atau suaranya. Meskipun crowd pasif memiliki kecendrungan bisa berubah menjadi crowd aktif, maka crowd aktiflah yang perilaku-perilakunya menjadi perhatian dalam studi gerakan sosial dan tindakan kolektif (Rajendra Singh, 2010:114). Demikian juga, potensi crowd aktif inilah yang terkadang mengambil kesan stereotipe seperti nampak dalam wajah tindakan huru-hara (mob) dan kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat yang melanggar hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas massa haus darah yang saling bermusuhan atau sekelompok para perusuh yang memberontak dan agitasi pemogok serta para pemrotes di jalan-jalan. Dalam psikologi sosial klasik, huru-hara (mob), kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat yang melanggar hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas massa haus darah yang saling bermusuhan biasanya, didefinisikan sebagai perasaan gaduh dan kesatuan mental. Gustave LeBon menjuluki jenis kegaduhan ini sebagai plin plan (fickle) dan menghubungkannya sebagai sejenis perilaku semborono yang irasional, menurutnya : sejumlah mahluk hidup tertentu yang berkumpul bersama, baik hewan maupun manusia, yang dengan insting menempatkan diri mereka sendiri di bawah otoritas ketua, dan ketua biasannya direkrut secara khusus dari sekelompok bawahan yang gugup secara tak wajar, mudah digerakkan, orang-orang yang setengah tak waras yang berada dalam batas-batas kegilaan (Gustave LeBon, 1909:133). Dalam konteks yang sama, Edward Martin dalam The Behaviour of Crowd, (1929) menyatakan bahwa crowd merupakan situasi di mana orang-orang sebagai anggota kerumunan yang satu sama lain saling menciptakan kebencian. Dalam situasi ini di mana orang-orang yang berkelompok yang membentuk 11 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya kerumunan, telah menciptakan situasi atau suasana emosional yang panas dan cenderung tidak terkendali terhadap pihak lawan. Dengan demikian, intensitas emosional yang meluap dari setiap anggota kerumunan atas sumber masalah yang dimunculkan, cenderung dimanifestasikan dalam bentuk perilaku dan tindakan kolektivitas anarkhis yang sadis dan kejam (Edward Martin, 1929:v). Dengan demikian, dalam kebanyakan formulasi seperti dalam studi Gustave LeBon, di atas, siapa pun bisa membuktikan penekanan yang rentan terhadap crowd. Menurut James M. Jasper, dalam Cultural Approaches in the Sociology of Social Movements (2007), dalam visi yang lain, orang-orang tertentu secara khusus terbuka pada gerakan emosi yang kuat pada crowd (James M. Jasper, 2007:58;bab 3). Sebagaimana contoh yang digambarkan oleh Eric Hoffer dalam karyanya The True Believer,(1993),yang merumuskan versi agak sedikit lebih jauh dan populer pada masannya, tentang gambaran seorang fanatik yang putus asa yang diperlukannya untuk percaya pada sesuatu, tidak peduli apa itu sesuatu yang mengisolasikannya dari sosial. Para pengikut sejati dan setia, sang pemeluk yang teguh, para pengikut yang fanatik (true believer) memunculkan gerakan-gerakan yang didorong oleh dorongan batin bersama untuk melakukan suatu gerakan (Eric Hoffer, 1993:25). Hoffer menilai bahwa orang-orang yang kurang memiliki identitas stabil dan frustrasi, merasa kekosongan bathin, hidup merasa tandus dan tidak aman, situasi ini yang kemudian menjadi penyebab seseorang itu kehilangan kepercayaan diri mereka sendiri. Pengorbanan diri pada tindakan kolektif, menurut Hoffer adalah massa yang terang-terangan tidak rasional, menarik orang-orang yang miskin, orang-orang aneh, orang-orang buangan, kaum minoritas, kaum remaja muda yang ambisius, orang-orang yang berada dalam bayangbayang obsesi, orang-orang yang bosan dan merasa bersalah dan lain sebagainya (Eric Hoffer, 1993:26). 12 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Memang disadari bahwa pengaruh psikologi sosial terutama inti konseptual mengenai formulasi gagasan tentang crowd sebagai suatu kolektifitas manusia-manusia dalam kelompok yang liar, berhasil diformulasikan ke dalam cetakan konseptual baru di dalam meneliti perilaku kolektif (collective behavior). Upaya inilah tidak serta merta menjadikan studi tentang crowd, begitu saja menghilang dari pemikiran sosiolog neo klasik kemudian. Melainkan orientasi terhadap crowd, masih tetap eksis dan diulang kembali, hal ini misalnya dapat ditemukan dalam karya Norman Cohn yang begitu berpengaruh pada tahun 1970-an tentang, The Pursuit of Millennium: Revolutionary Millenarians and Mystical Anarchists of the Middle Ages (1961), yang membicarakan fantasi dan gerakan milenarian dalam artian ketidakmampuan menyesuaikan diri dan paranoia. Norman Cohn menjelaskan bahwa seolah-olah unit-unit paranoia yang sampai saat ini menyebar ke seluruh populasi mendadak bergabung membentuk entitas baru, yaitu sebagai suatu fanatisme paranoid kolektif (Norman Cohn, 1961:312). Hal yang sama juga ditemukan dalam studi Michael Adas tentang, Prophet of Rebellion, Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, (1943), kajian ini lebih mengetengahkan pendekatan baru bagi penulisan sejarah komparatif dan analisa gerakan protes sosial dengan menyajikan lima kajian kasus (sejarah pemberontakan Pangeran Dipenogoro di Hindia Belanda, 1825-1830, gerakan Pai Maire atau Hau-Hau di Kalangan Masyarakat Maori, Selandia Baru 1864-1867, gerakan Birsa pada masyarakat Munda, Chota Nagpur, India tengah bagian timur 1899-1900, pemberontakan Maji-Maji di Afrika Timur jajahan Jerman, 1905-1906 dan gerakan Saya San di Birma, 1930-1932 ). Dalam penelitiannya itu, Adas membangun sebuah konstruksi pemikiran dalam mempelajari hubungan antara harapan milenarian dengan faktor kepemimpinan yang bersifat 13 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya propetis dan protes sosial secara kekerasan, walaupun gerakan itu sifatnya agak terbuka dan revolusioner secara politik, namun memobilisasi kekuatan simbol-simbol ritual budaya yang potensial (Michael Adas, 143:79). Demikian juga pengulangan eksistensi dan entitas crowd dalam cetakan baru ditemukan juga dalam studi gerakan millenearisme India, misalnya karya Stephen Fuchs, Rebellious Prophets, (1965), Lioyd dan Susanne Rudolph, dalam The Modernity of Tradition (1969), dan Robert Hardgraves, dalam The Nadars of Tamilnad, (1969). Kesimpulan penelitian mereka ini, banyak menyoroti gerakan Birsite yang bermaksud untuk menghidupkan kembali ide raja Munda, tapi penekanan utamanya ada pada mobilisasi kekuatan simbol-simbol ritual dalam agama. Dan penemuan-penemuan sosial yang dimaksudkan untuk membangkitkan penghargaan pada diri sendiri dan status orang Munda dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok dataran rendah yang dominan. Birsa menyerang kegiatan keagamaan animisme dari rakyatnya dan menekankan pada konsep Tuhan tunggal yang terbentuk sebagai campuran konsep Hindu dan Kristen. Birsa juga menginstruksikan para pengikutnya untuk memakai benang suci dari kasta-kasta tinggi dan menghentikan makan daging, ikan dan makan lain yang berhubungan dengan kasta rendah atau kelompok pariah. Namun yang menarik, di sini, bahwa walaupun simbol keabsahan cenderung mengajarkan keadilan dan meningkatkan solidaritas di antara orang-orang yang bergabung dalam gerakan tertentu, mereka juga dapat membenci pengikut nabi itu di antara kelompok-kelompok yang dikolonisasi lainnya. Dengan demikian, perspektif psikologi crowd dalam berbagai studi yang dilakukan telah mengambil suatu entitas baru dalam perkembanganya. Evolusi konseptualisasi teoritik psikologis sosial klasik inilah yang ditanggapi Erward P. Thompson dalam karyanya The Making of the English Working 14 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Class, (1981) menyatakan: orang meragukan proses penggabungan semacam itu. Bagaimanapun, dengan adanya fenomena semacam itu persoalan historis belum terpecahkan~mengapa kemarahan, inspirasi atau bahkan kekacauan psikotis mesti bergabung dalam gerakan berpengaruh hanya dalam waktu-waktu tertentu dan dalam bentuk yang khusus (E.P Thompson, 1981:117). Pandangan E.P. Thompson di atas, bertujuan untuk menantang para teoritisi yang melakukan studi gerakan sosial, guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Oleh karenanya, paradigma klasik aliran crowd dari psikologi sosial tradisional mengalami versi radikal untuk memberi batasan pada kehancuran dirinya. Akan tetapi sebagaimana yang kita temukan di dalam berbagai studi belakangan, kecendrungan-kencendrungan crowd mengulangi diri dalam disiplin lain seperti (sejarah, politik, ekonomi dan sebagainya) dalam bentuk atau model lain, bahkan dengan penjelasan lain yang lebih variatif sifatnya dalam berbagai studi yang dilakukan. Masalah ini terjadi, menurut Rajendra Singh karena tampilan perspektif crowd selalu mendapatkan kekuatan dukungan data historis yang dikumpulkan secara lengkap dan telaten, pada kurun waktu yang merentang mulai abad ke-18 s.d abad ke-20 dalam sejarah Perancis dan Inggris. Para sejarawan sosial telah berhasil menerangkan crowd dalam cetakan konseptual baru bersama-sama, karya-karya belakangan ini dapat kita temukan misalnya, penelitian Singha Roy dalam The Crown in the French Revolution, (1959) dan The Study of Popular Disturbances in the Pre-Industrial Age; Historical Studies, (1963), Lars Rudebeck, dalam When Democracy Makes Sense, (1992), Charles Tilly, et.al dalam The Rebelious Century, 1830-1930, (1975), dan E.P Thompson dalam The Making of the 15 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya English Working Class, (1981) dan sebagainya. Rajendra Singh, 2010:117). Selanjutnya, dalam perspektif analisa para sejarawan, crowd diperlakukan sebagai entitas sosial bertujuan dengan suatu alasan untuk ada, dan suatu peran untuk bertindak dalam sejarah. Berdasarkan bukti dalam hasil penelitiannya tentang sejarah Perancis dan Inggris, George Rude menyatakan bahwa crowd bukanlah abstraksi tidak berwujud, melainkan ia terdiri dari orang-orang. Dalam konteks, analisanya terhadap data sejarah tersebut, ia membedakan antara gejolak masyarakat pra industri dengan masyarakat industrial dalam masyarakat di dunia negara itu. Menurutnya gejolak pra industri dicirikan oleh kerusuhan pangan (foot riots), gerakan milenarian, dan pemberontakkan petani (peasant revolt). Sedangkan gejolak industrial ditandai dengan pemogokan, demonstrasi dan pertemuan massa publik berjangkauan ke depan. Singkat kata, dalam menanggapi keberadaan entitas crowd yang tidak berkewajahan, George Rude menyatakan sebagai berikut: peran yang dimainkan oleh petani dan penduduk desa di Inggris, kecendrungan khusus para pemintal dan penambang untuk menghancurkan mesin dalam pertikaian industrial di Inggris,...bagian yang dimainkan kaum perempuan dalam perjalanan tertentu Revolusi Perancis,.peran petani dan buruh tani dalam kerusuhan (riots) pedesaan Inggris... dan seterusnya (George Rude, 1964:194). Berdasarkan contoh dalam beberapa studi di atas, menunjukkan bahwa watak gejolak dan aktivitas crowd terkait erat dengan komposisi unsur-unsur seperti; sosial, pekerjaan, situasi, kondisi, dan lain sebagainya yang turut mempengaruhinya. Meskipun crowd berperilaku berbeda dalam situasi yang tidak sama, ada beberapa elemen yang serupa seperti penggunaan aksi langsung dan penerapan keadilan alamiah. 16 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Dengan demikian data sejarah mengenai bentuk, wajah, tipe aksi crowd selama selama abad ke 18 dan 19 tak meragukan lagi membuktikan bahwa konstruksi perspektif teori psikologi sosial klasik mengenai orientasi pada crowd sebagai entitas wajah yang gampang berubah dan mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi sosial yang ada. Dengan demikian, maka perspektif seperti itu sudah tidak memadai lagi bahkan mungkin agak lebih berlebihan, tendensius dan mungkin agak keliru. Namun harus diakui, atas kekurangan perpektif psikologi sosial atas crowd, telah mendorong penemuan berbagai tipe letupan kolektif non institusional seperti revolt dan riot. Dan peran aksi-aksi individual dan kolektif itu, yang dalam konteks ini pun masih ditemukan tipe-tipe individu yang berkerumun, mengelompok bahkan dalam bentuk aksi individual sekalipun dan sebagainya. Dalam beragam bentuk, aksi dan tindakan individu dapat terjadi dalam upaya menentang situasi sosial dalam berbagai isu yang berkembang misalnya nilai, praktek, tindakan dan perilaku. Termasuk iven-iven yang dapat memancing kemarahan dan emosi kolektif atau setidaktidaknya sebuah perlawanan (resistance) dan protes individual atau kelompok tertentu dalam menentang situasi dan struktur kehidupan yang dominatif dan marginalitatif. 4 Kekuatan dan kelemahan perspektif klasik dan neoklasik Di bawah ini dipaparkan secara singkat kekuatan dan kelemahan perspektif studi gerakan sosial tradisi klasik dan neoklasik (lama) yakni, sebagai berikut: Kekuatan perspektif Paradigma klasik dan neoklasik, mampu melihat persoalan mengapa dan bagaimana individu-individu menggabungkan diri dalam sebuah gerakan, dan pada ciri-ciri khas yang membedakan individu-individu yang 17 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya terlibat pada sebuah gerakan dari mereka atau individu lain yang tidak terlibat dalam gerakan itu. Para peneliti dalam paradigma ini mampu menunjukkan kekuatan-kekuatan kultural menjadi riil dan dapat diteliti secara empiris takala mereka dialih-bentukkan ke dalam motivasi, predisposisi, dan kecendrungan pribadi sehingga membentuk sebuah gerakan sosial. Paradigma ini mampu menunjukkan bahwa sistem kepribadian dan unsur-unsur yang berhubungan dengannya, merupakan elemen mendasar yang berkorelasi dengan motivasi, perilaku, keyakinan, dan predisposisi individu. Konsistensi ini terus bertahan lintas waktu dan lintas peranperan sosial. Para peneliti dalam paradigma ini secara tegas menunjukkan watak gejolak dan aktivitas kelompok kerumunan (crowd) konvensional berupa kumpulan orang-orang yang dapat berbuat sadis, kejam dan anarkhis terkait erat dengan komposisi unsur-unsur (sosial, pekerjaan dsbnya) yang turut mempengaruhi. Paradigma ini mampu menunjukkan evolusi konseptual teoritik tentang psikologi sosial pada teori crowd sebagai kelompok massa yang liar, dan sebagainya ke dalam cetakan baru yang lebih dinamis, di dalam berbagai tema penelitian gerakan sosial kemudian. Dan unsur-unsur crowd ini bereflikasi dan selalu erat terkait dengan komposisi unsur-unsur sosial, pekerjaan dan sebagainya. Kelemahan perspektif Dalam meneliti fenomena gerakan sosial, paradigma studi gerakan sosial klasik dan neoklasik, mengawali konsepsi pemikiran mereka pada asumsi irasionalitas tindakan dan perilaku yang diambil oleh kolektivitas anggota gerakan. Sehingga perilaku para individu dalam kelompok gerakan disoroti secara lebih negatif. 18 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Ciri khas studi tradisi klasik dan neoklasik (lama) secara teoritik dibangun dalam bingkai (frame logic) psikologi sosial, sehingga dalam tema-tema dan unit analisis kajian gerakan sosial diarahkan kepada kecendrungan fenomena perilaku~tingkah-laku kolektif dalam gerakan, yakni sebagai kumpulan massa yang selalu bertindak anarkhis, massa haus darah, sadis, kejam, kelompok yang tanpa kenal belas kasihan, suka mengeroyok, suka membunuh, dan menghancurkan. Kelemahan perspektif ini secara substansial adalah, menggeneralisasi setiap perilaku individu yang terlibat dalam sebuah gerakan sebagai ciri-ciri perilaku yang sama yang hanya disebabkan oleh emosi dan kemarahan. Emosi dan kemarahan dipahami selalu berujung pada tindakan yang tidak stabil. Para individu yang turut ambil bagian dalam gerakan, dipandang sebagai manusia-manusia yang perilakunya sama dengan binatang. Pilihan yang irasional kepada setiap individu dalam gerakan selalu dijustifikasi pada motivasi, dan kepribadian yang negatif. Seakan-akan setiap individu tidak memiliki pilihan yang rasional dan otonom dalam mengambil keputusan dalam tindakan yang bersifat sukarela (voluntaristik). Dalam setiap gerakan, para peneliti gerakan sosial ini menyembunyikan peranan pemimpin gerakan sebagai aktor dan mempresentasikan pemimpin gerakan tersebut bukan pada aksi individual terbatas melainkan sebagai semua anggota gerakan yang terlibat dalam kelompok gerakan. Kelemahan perspektif ini di mana para peneliti melenyapkan peranan aktor individual dan hanya memusatkan perhatian pada tindakan kolektif. Dalam gambaran paradigma ini, tidak ada pemimpin yang jelas dalam memimpin gerakan. Jika terjadi kekacauan, 19 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya huru-hara dalam kelompok besar, maka tanggungjawab politis dan hukum akibat dari gerakan itu bukan terletak pada satu pihak melainkan orang banyak (kelompok) dalam gerakan. Sehingga semua orang atau anggota gerakan adalah para pemimpin gerakan yang bertanggungjawab pada diri masing-masing. Kelemahan lain dari perspektif ini, adalah para peneliti gerakan menggambarkan bahwa setiap gerakan sosial yang terjadi tidak ada arah, tujuan dan motivasi yang jelas untuk dicapai oleh para anggota gerakan, melainkan biasanya hanya bertujuan revolusi tatanan politik yang ada. Tujuan dan motivasi yang terlihat dalam gerakan hanyalah bersifat sesaat yaitu gerakan dipandang sebagai sarana yang efektif dan produktif untuk meluapkan serta mengekspresikan segala emosi dan kemarahan negatif yang dirasakan oleh para individu dalam gerakan. 20 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya II Menjelang akhir tahun 1960-an lebih jelasnya mengawali tahun 1970-an ke atas, munculnya suatu upaya baru dari para teoritisi studi gerakan sosial baik di Eropa maupun di Amerika, untuk memformulasi kembali perspektif teori gerakan sosial yang cukup berpengaruh kuat pada periode pertama yang didominasi oleh psikologi sosial klasik. Periode kedua ini lahir dan menandai semangat baru dalam merumuskan ulang berbagai pendekatan studi gerakan sosial lama, ke dalam formulasi baru yang disebut Gerakan Sosial Baru (New Social Movement). Pada masyarakat kontemporer yang banyak berubah, telah menjadikan Gerakan Sosial Baru (GSB) memiliki citra baru dalam berbagai tampilan wajah, tipe-tipe, bentuk serta model gerakan sosial. Menuju arah baru studi gerakan sosial (new social movement) Periode kedua ini, semangat GSB lebih menitikberatkan perspektif studi pada tindakan rasional di dalam pemaksaan-pemaksaan yang bersifat struktural. Dalam hal ini, bahwa sifat dari gerakan sosial dipengaruhi oleh konteks struktural yang berkembang saat itu, sehingga bentuk dan model gerakan sosial pun memiliki tipe-tipe dan rumusanrumusan bersifat makro ketimbang mikro sosiologis dalam melihat berbagai persoalan sosial yang terjadi. Menurut Robert Mirsel, terdapat dua paradigma besar yang saling berbeda muncul dalam kurun waktu ini, yakni paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigma); selanjutnya paradigma ini kemudian digabungkan, lalu sampai pada batas tertentu diganti oleh paradigma Marxis dan paradigma pengalangan sumber daya (resource mobilization paradigma) (Mirsel. R, 2004: 49). Sedangkan paradigma GSB kontemporer yakni paradigma berorientasi identitas dengan citra pemikiran sosiolog Eropa, luput dari pembahasan Mirsel di atas. 21 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Untuk melengkapi kekurangan itu, Rajendra Singh (teoritisi gerakan sosial India) menggaris bawahi, bahwa dalam periode GSB paling tidak terdapat dua aliran utama (mainstream) yaitu teori mobilisasi sumber daya (resources mobization theory) yang muncul di Amerika Serikat dan dipengaruhi oleh pemikiran Mancur Olson (1965), Oberschall (1973), McCarthy dan Zald (1977), Gamson (1975), Charles Tilly (1975) dan Tarrow (1982). Kemudian paradigma kedua yaitu teori yang berorientasi identitas berasal dari Eropa, yang lebih ekspresif dipengaruhi oleh pemikir besar seperti, Pizzorno (1978, 1985), Jean Cohen (1985) dan belakangan perspektif pemikiran yang agak lebih terbuka berasal dari Alain Touraine (1987;1985;1992) (S.Rajendra, 2010:134,144). Di sini rupanya paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigma) luput dari perhatian Rajendra, mungkin dalam pemahamannya bahwa paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigma) merupakan bagian atau kelanjutan bentuk lain dari paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigma), sebagai paradigma yang sama-sama berorientasi pada proses politik (political proces). Namun hal yang terbaru dalam perkembangan paradigma GSB kontemporer maka ia menambahkan paradigma berorientasi identitas dari Alain Touraine dan kawan-kawan. 1 Konteks sosial politik gerakan sosial baru (new social movement) Mendekati akhir tahun 1960-an, lebih jelasnya memasuki tahun 1970-an, munculah gerakan-gerakan sosial baru di Amerika Serikat dan kawasan-kawasan lainnya di benua Eropa. Gerakan-gerakan sosial baru ini lebih ekspresif dan mengambil wajah dan tipe gerakan sosial yang banyak berubah bila dibandingkan dengan berbagai gerakan yang terjadi pada periode sebelumnya. Pergerakan sosial tersebut atara lain misalnya gerakan perjuangan hak-hak sipil warga negara (civil rights movements) terutama di Amerika Serikat, 22 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya semacam organisasi sipil yang berorientasi memperjuangkan dan mentransformasi pembaruan struktur pada lembagalembaga yang cenderung menindas secara reperesif. Selanjutnya, muncul pula berbagai gerakan moral perdamaian yang mengusung cita-cita dan semangat ideologi anti perang hingga perjuangan melawan berbagai bentuk perlombaan senjata nuklir. Berbagai aktivis-aktivis dalam kelompok organisasi anti perang pada waktu itu misalnya secara tegas menentang serta menolak ekspansi militerisasi antara Amerika dengan Vietnam. Oleh karena itu, di Amerika Serikat sendiri, munculnya aneka gerakan melawan perang Vietnam melahirkan pula berbagai rupa aktivisme perdamaian dan dukungan terhadap dekolonisasi. Sejumlah gerakan tertentu memang membawa pergeseran dalam fokus analisis dibidang teori gerakan sosial, akan tetapi aliran-aliran pemikiran di antara para elite politik dan di dalam kebudayaan umumnya juga menghasilkan pemahaman bahwa pembaharuan itu sah dan rasional. Aktivisme yang menuntut adanya pelayanan negara terhadap kepentingan masyarakat (walfare state activism) di Eropa dan juga gerakan masyarakat raya (great society), serta program memerangi kemiskinan (war on poverty) yang dicanangkan oleh pemerintahan John F. Kennedy dan Lindon B. Johnson di Amerika Serikat pada awal dekade tahun 1960-an turut menciptakan iklim pembaruan. Menurut Ritzer dan Goodman, program pencanangan peperangan terhadap kemiskinan di Amerika ini, merupakan cara khas strategi masyarakat modern yang menyakini bahwa dapat ditemukan dan diterapkan penyelesaian rasional atas masalah kemiskinan itu (Ritrzer dan Goodman, 2003 : 630). Demikian juga program yang dicanangkan oleh Bad Goderberg dari Partai Sosial Demokrat (SPD) di Jerman Barat pada tahun 1960-an pada gilirannya menandai keinginan kaum sosialis untuk menciptakan konsensi-konsensi ideologis 23 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya guna melibatkan diri dalam pembangunan institusi-institusi di Jerman Barat. Pada saat agenda-agenda pembaharuan mulai direalisasikan, makin banyak gerakan radikal dan aliran pemikiran yang mempertanyakan struktur-struktur penting yang tengah dibaharui. 2 Pengaruh tradisi pemikiran dalam studi gerakan sosial baru (new social movement) Pada saat agenda-agenda pembaharuan mulai direalisasikan, makin banyak gerakan radikal dan aliran pemikiran yang mempertanyakan struktur-struktur penting yang tengah dibaharui, seperti aliran Marxis atau tidak, termasuk unsur-unsur gerakan Golongan Kiri Baru (New Left). Aliran pemikiran ini telah menggunakan istilah-istilah seperti “kapitalisme” dan “struktur kekuasaan” (power structure), guna membuat definisi mengenai sumber masalah-masalah sosial. Secara khusus, bahwa Marxisme Barat bangkit kembali dalam skala besar, khususnya di Eropa Barat, di mana Marxisme menjadi ideologi utama para intelektual muda (Anderson, 1976). Selanjutnya, pengaruh ini juga kian terasa di Amerika Serikat, namun agak lebih terbatas. Di samping itu, bahwa aliran pemikiran kalangan sosialis pada waktu itu, juga turut serta mempengaruhi perspektif gerakan sosial. Pemikiran-pemikiran sosialis ini kebanyakan disebarkan dalam suatu wadah formal melalui media ilmiah jurna-jurnal populer dan lebih menonjol bertahan lama seperti New Left Review (Media Massa Kiri Baru) dan Monthly Review (Jurnal Bulanan). Namun, yang pasti bahwa semua aktivitas intelektual ini, juga menjadi pencetus teori-teori gerakan sosial, paling tidak mempunyai peran secara tidak langsung dalam upaya menciptakan atmosfir legitimasi bagi setiap gerakangerakan sosial yang terjadi pada saat itu. Demikian juga, perubahan yang cukup mendasar dalam perspektif gerakan sosial baru ini pada dasarnya semua 24 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya perhatian cabang sosiologi pada masa itu bergeser kepada tema tentang struktur sosial (social structure) dan mulai menjauhkan diri dari individu sebagai unit analisisnya. Kajian dan tematema tentang struktur sosial dan proses-proses sosial pada tingkat makro, mulai menyerap teori-teori besar (grand theory) periode klasik yang pernah berkembang pada masanya seperti Marx, Weber dan Durkheim. Pemikiran ketiga teoritisi besar inilah yang menginspirasikan kembali pengajaran sosiologi gerakan sosial pada studi dan analisa periode gerakan sosial baru. Fokus perhatian kepada masalah sturuktur menjadi konsep kunci dalam paradigma gerakan sosial baru. Dalam perspektif ini, bahwa struktur yang dimaksud mengacu pada pemolaan tindakan-tindakan dan hubungan-hubungan, diabstraksikan dan berada secara independen dari motivasimotivasi individual. Struktur dapat dipikirkan sebagai seperangkat kondisi pada tindakan individu yang sifatnya terbatas. Dengan demikian, bagi gelombang baru para teoritisi struktural, bahwa struktur dipandang sebagai sebuah fenomena yang ada secara obyektif dan dapat pula dipelajari secara obyektif. 3 Berbagai paradigma studi gerakan sosial baru (new social movement). a. Paradigma ketegangan struktur (structural strain paradigma) Paradigma ini dalam banyak hal menjembatani pendekatan-pendekatan terdahulu yang didominasi oleh kerangka pemikiran psikologi sosial dengan model-model struktural yang dikembangkan pada awal periode kedua ini. Paradigma ketegangan struktural sebagaimana konsepnya merupakan sebuah paradigma yang menempatkan ketegangan struktur (structural strain), di mana bentuk-bentuk ketegangan pada tingkat lebih dari hanya sekedar pengalaman individu. Dalam konteks ini, ketegangan dipahami sebagai sebuah kondisi yang eksis secara obyektif dan juga menggambarkan 25 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya suatu keadaan tegang antara aktor-aktor sosial yang berkonflik. Jika sudah ada ketegangan yang eksis secara obyektif, apakah yang dibutuhkan untuk menjelaskan bagaimana dan kapan aktor-aktor ini menyatu, guna membentuk sebuah gerakan? Dalam berbagai bentuknya model-model ketegangan struktural dirancang untuk menjelaskan bagaimana ketegangan-ketegangan ditanggapi dan dikomunikasikan. Robert Ted Gurr, adalah salah satu teoritisi yang memformulasi model analisa gerakan pada tingkat struktural, dalam karyanya, Why Men Rebel ?(1970), menjelaskan bahwa konsep dasar Gurr adalah perampasan (deprivation). Perampasan memicu munculnya resistensi atau perlawanan. Resistensi terjadi jika orang merasa sesuatu yang dihargainya dan lebih bermanfaat baginya dirampas. Perasaan terampas inilah yang disebut Gurr, relative deprivation. Relative deprivation berarti suatu persepsi perihal kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabalities) yang diperlukan. Menurut Gurr, nilai adalah suatu kejadian, barang dan kondisi yang diinginkan oleh manusia untuk dimiliki. Sementara nilai ekspektasi adalah benda dan kondisi hidup yang orang-orang percaya bahwa mereka sebagai pemiliknya yang sah. Sementara nilai kapabilitas adalah benda dan kondisi yang menurut mereka mampu untuk memperoleh atau memeliharanya, disepakati harta sosial tersedia untuk mereka (Robert Ted Gurr, 1970:13,25). Relative deprivation bisa menyulut ketidakpuasan (discontent) dalam masyarakat, yang berwujud kemarahan, kemurkaan, atau kejengkelan, tergantung pada kedalaman rasa terampas. Kadar ketidakpuasan akan berkurang bila tersedia sarana untuk menyalurkannya. Saluran ini disebut value opportunities. Apabila ketidakpuasan itu tidak tersalurkan atau berada dijalan buntu, ia dapat bermetamorfosis menjadi pemberontakan dengan kekerasan yang berwujud 26 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya kekacauan, konspirasi atau perang dalam negeri (Robert Ted Gurr, 1970:10-11). Demikian pula, Gurr menambahkan bahwa tingkat dan kualitas kemarahan dan frustasi sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro. Dengan bertolak dari asumsi ini, Gurr mulai mengembangkan pengukuran-pengukuran kuantitatif bagi hal-hal yang berhubungan dengan alasan lahirnya ketegangan dan pemberontakan (rebel) dalam sebuah masyarakat (Robert Ted Gurr,1970). Menurutnya, tingkat dan kualitas kemarahan bahkan frustasi sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro adalah ketegangan yang bersumber pada struktur politik yang tersedia. Struktur peluang politis (political opportunity structure) atau bentuk lembaga-lembaga politis adalah faktor utama di dalam perilaku gerakan yang kemudian bisa saja memaksa strategi-strategi gerakan untuk mengikuti pola yang tergaris dalam struktur tersebut. Bentuk-bentuk letupan permusuhan dalam kategori data yang lebih luas mengenai “kekerasan politik” adalah bahwa semua serangan kolektif dalam sebuah komunitas politik untuk menentang rezim politik yang ada, baik terhadap para aktornya, termasuk kelompok pesaing politik maupun yang sedang menjabat ataupun kebijakan-kebijakannya. Konsep ini mempresentasikan serangkaian even, yang memiliki sifat umum menggunakan kekerasan secara aktual atau bersifat ancaman, namun konsep ini tak bisa dijelaskan semata-mata dengan berdasarkan pada sifat umum ini. Termasuk dalam konsep ini adalah revolusi yang biasanya didefinisikan sebagai perubahan sosio~politik yang fundamental dicapai melalui kekerasan, termasuk juga di dalamnya perang gerilya, penentangan, kerusuhan hingga berakhir pada suatu kudeta (Robert Ted Gurr, 1970:3-4). Kemudian, dalam konteks ini, Gurr selanjutnya mengklasifikasikan kekerasan politik itu ke dalam tiga kategori besar yaitu sebagai berikut: 27 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Huru-hara (turmoil); yaitu kekerasan yang relatif spontan dan tak terorganisisr yang melibatkan partisipasi umum yang besar, dan termasuk di dalamnya pemogokanpemogokan politik, kerusuhan, benturan politik dan penentangan lokal. Konspirasi; yaitu kekerasan politik yang sangat terorganisir dengan keikutsertaan yang terbatas, dan termasuk di dalamnya pembunuhan politik secara terorganisir, terorisme skala kecil, perang gerilya skala kecil, kudeta dan pergolakan (mutiny). Perang domestik; yaitu kekerasan politik yang sangat terorganisir yang melibatkan partisipasi massa yang luas dan dirancang untuk menggulingkan rezim yang berkuasa atau untuk meruntuhkan negara dengan menggunakan kekerasan secara ekstensif dan termasuk di dalamnya terorisme berskala besar, perang gerilya dan revolusi (Robert Ted Gurr, 1970:11). Selanjutnya dalam versi yang lain, James Davis dalam esainya singkatnya berjudul, Toward a Theory of Revolution (1962), merancang sebuah model lain. Di dalam model ini ia mengemukakan bahwa kereta pendorong menuju pembaharuan adalah ketegangan itu sendiri; upaya-upaya awal dari para elite (baik politik maupun ekonomi) untuk menciptakan pembaharuan melahirkan ekspektasi-ekspektasi yang lebih tinggi, dan ketika ekspektasi-ekspektasi itu tidak dicapai atau malah sebaliknya, munculah gerakan sosial. Dalam konteks pemikiran ini, soal perampasanlah (deprivation) yang ditanggapi dan titik perbandingan terletak di masa depan. Demikian juga, pandangan yang paling inklusif dan agak lebih jelas dari semua model ketegangan struktural adalah gagasan Neil Smelser dalam karyanya yang selalu menjadi sumber rujukan utama para akademisi yang berada dalam garis pemikiran struktural yakni Theory of Collective Behavior (1963). Dalam tulisanya itu, Smelser mengajukan sebuah teori yang disebut teori nilai tambah~enam~tahap (six~stage value~added 28 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya theory), mencakupi pembahasan tentang ketegangan struktural sebagai sebuah faktor penjelas. Selain itu ada pula komponenkomponen lain yang lebih bersifat psikologis, ideologis, dan prosesual yang diistilahkannya dengan keyakinan-keyakinan yang tergeneralisasi (generalized belief), kepemimpinan dan komunikasi serta insiden-insiden pemicu (precipitating incidents). Smelser juga memasukan sebuah faktor struktural lain, yakni dukungan struktural (structural conduciveness) sebagai unsur pertama dari model ini. Unsur-unsur ini mengacu kepada kemungkinan-kemungkinan bagi organisasi gerakan untuk bertahan di dalam ruang lingkup politik dan sosial sebuah masyarakat (Neil Smelser, 1963:156). Gambaran aksi dan analisis ekuilibrium Paretean (pengikut gagasan utama Pareto) ini adalah bentuk konstribusi nyata dalam teori Smelser, yaitu dalilnya pada mekanisme, yang menjelaskan bagaimana batas kondisi menentukan jenis perilaku sosial. Konsepsi Paretean tentang sebuah mekanisme keseimbangan diri dalam sistem sosial tercermin dalam proposisi utama Smelser, dan ia mengatakan; “people under strain mobilize to reconstitute the social order in the name of a generalized belief”. Selanjutnya dalam hal ini, kembali dia merumuskan tiga mekanisme utama yaitu: Respon terhadap tegangan (strain) memberi energi pada sistem perhatian yang semakin meningkat dari tingkat yang rendah kepada tingkat perhatian yang lebih tinggi. Dalam beberapa kondisi misalnya kondusifitas struktural dan kontrol sosial tidak memadai, maka jenis tertentu dari kepercayaan umum akan terbentuk ke dalam tahap: histeris (mengurangi kecemasan dengan penataan situasi yang realistis dan ambigu), magis (atribut biasa yang berpeluang untuk membayangkan beberapa komponen tindakan), dan naif (hasil yang diinginkan akan direalisasi atau hasilnya dikhawatirkan untuk dihindari namun “jika hanya” komponen tindakan yang relevan dapat diaktifkan atau dinonaktifkan). 29 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Penafsiran terhadap sebuah peristiwa sebagai yang mengesahkan keyakinan umum dan sebagai sumber preperensi untuk bertindak. Ini adalah sebagai sumber yang mendasari munculnya sebuah bentuk kepercayaan umum dalam konteks nyata dan sebagai lintasan aksi atau tindakan yang lebih singkat (short-circuits action) yaitu, memungkinkan pelepasan energi, yang hanya diatur oleh bentuk-bentuk keyakinan umum dan keadaan tertentu. Calon peserta telah dimobilisasi untuk bertindak. Smelser membahas pentingnya faktor kepemimpinan, tetapi dalam hal ini ia tidak secara jelas menyatakan apakah mobilisasi itu hanya muncul dalam bentuk komunikasi yang bertahap kepada setiap peserta potensial lainnya. Walau bagaimanapun, dia membedakan antara dua fase mobilisasi yaitu; real phase (fase nyata) yaitu fase yang ditentukan oleh kondisi aslinya dan derived phase (fase manfaat) merupakan fase yang ditentukan oleh kondisi yang dihasilkan oleh fase nyata (Neil J. Smelser, 1963:436). Kekuatan perspektif Paradigma ketegangan sruktural (structural strain paradigma) lebih mampu mengabstraksikan tindakan-tindakan kolektif (collective action) serta hubungan-hubungannya dalam gerakan-gerakan sosial yang terjadi. Bahwa tindakantindakan kolektif (collective action) serta hubunganhubungannya secara independen terlepas atau samasekali tidak ada kaitannya dengan rangkaian motivasi-motivasi individual, sebagaimana yang diasumsikan sebelumnya dalam pendekatan paradigma klasik. Paradigma ini lebih kuat dari paradigma klasik yang kelewat irasional, karena penekanan pada struktur dan bukan pada motivasi individual. Maka, untuk mengubah masyarakat diperlukan sebuah keyakinan bahwa institusiinstitusi (tatanan struktural) tersebut, juga harus mendapatkan perubahan. Perubahan dilakukan dengan melalui 30 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya upaya transformasi pada tingkat struktural dan memerlukan tindakan-tindakan kolektif yang lebih rasional. Paradigma ini lebih mampu menunjukkan bahwa bentukbentuk, model, tipe dan karakteristik gerakan sosial baru semakin diorganisasikan secara lebih formal, terancang secara sistematis, didesain secara optimal dan efektif. Termasuk fenomena-fenomena perilaku kolektif dalam bentuk (kerumunan/crowd, gerombolan pengacau/mob, kelompok panik, rumor, dsbnya) sebagaimana yang menjadi konsepsi teoritik pada paradigma klasik, dalam konteksini merupakan unsur-unsur yang secara sengaja diorganisir atau diciptakan sebagai bagian dari taktik atau strategi yang digunakan dalam gerakan sosial. Paradigma ini mampu menunjukkan bahwa di dalam gerakan dipimpin oleh aktor-aktor yang jelas dalam suatu gerakan. Paradigma ini mampu melihat interrelasi dan interkoneksitas antara sebuah persoalan di dalam masyarakat yakni ketegangan struktural. Ketegangan merupakan sebuah kondisi yang eksis secara obyektif dan juga suatu keadaan tegang antara aktor-aktor sosial. Maka dalam paradigma ini, ketegangan struktural, mampu menjelaskan bagaimana dan kapan aktor-aktor yang tegang itu menyatu guna membentuk sebuah gerakan sosial. Jawabannya dikemukakan Gurr dalam Why Men Rebel, 1970, yakni menekankan unsur kemarahan dan frustasi sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro. Kelemahan perspektif Paradigma ketegangan struktural lebih khusus pada teori Gurr, tentang relative deprivation mengandung unsurunsur kelemahan bahwa tingkat dan kualitas kemarahan dan frustasi sebagai gerak emosional disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro yang bersumber pada struktur peluang politik yang tersedia (political opportunity 31 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya structure). Paradigma ketegangan struktural Gurr tentang teori relative deprivation mengandung kelemahan mendasar karena gagal mempertimbangkan bagaimana para individu mengalami perampasan sebagai yang tertanam dalam struktur sosial yang lebih luas. Masyarakat yang paling lemah dan orangorang yang terpinggirkan biasanya kurang tepat diposisikan sebagai yang terlibat dalam tindakan-tindakan politik yang sangat beresiko. Kurangnya jaminan secara ekonomi dan tidak adanya pendapatan, mereka tidak mampu mengambil banyak risiko. Menghadapi diskriminasi dari mayoritas lebih kuat, mereka mungkin berusaha untuk tetap terlihat atau juga untuk terlibat namun dalam bentuk perlawanan simbolis sebagai suatu upaya dan mekanisme mereka untuk tetap bertahan. Struktur peluang politis (political opportunity structure) atau bentuk lembaga-lembaga politis adalah faktor utama di dalam perilaku gerakan yang kemudian bisa saja memaksa strategi-strategi gerakan untuk mengikuti pola yang tergaris dalam struktur tersebut. Dalam konteks ini, kelemahan mendasar Gurr adalah hanya membatasi struktur peluang politis sebagai faktor utama, dan ia tidak melihat keanekaragaman faktor lain yang dapat mempengaruhi atau memunculkan dinamika perilaku gerakan serta strategi-stategi yang kemungkinan diambil oleh para individu dalam gerakan. Paradigma ketegangan struktural terlalu berlebihan dan tendensius memformulasikan struktur yang bersifat eksis secara obyektif, struktur obyektif cuma konstruksi dalam angan-angan para pengikut sebuah gerakan, entah persepsi tentang ketegangan dan tujuan sebuah gerakan rasional atau tidak, atau bentuk simbolis mana yang diberikan oleh pengikut sebuah gerakan kepada ketegangan yang ada. Dalam paradigma ketegangan struktural khususnya pada 32 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya teori perilaku kolektif (theory of colective behavior) Neil J. Smelser untuk menerangkan perilaku kolektif dari sudut pandang apa yang dinamakan kepercayaan umum (general beliefs) dalam menjelaskan kelompok histeris, panik dan letupan-letupan kebencian dan kemarahan perilaku kolektif dalam pengertian sistem kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Dalam pemikirannya ini, Smelser tidak mampu membuktikan apakah ada yang dinamakan sistem kepercayaan tunggal atau berbeda-beda menurut kelas hirarki masyarakat? Salah satu perspektif yang mengalami kemajuan yang cukup berarti bila dibandingkan dengan paradigma ketegangan struktur (structural strain paradigma), adalah paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm). Paradigma ini berupaya keras melakukan formulasi ulang berbagai kelemahan dan kekurangan yang ditemukan di dalam paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigma) sebelumnya. Para teoritisi yang berdiri dalam garis utama pemikiran ini adalah Mancur Olson, 1965, dan para pengikutnya seperti Anthony Oberschall, 1973, McCarthy dan Zald, 1977, Gamson, 1975, Charles Tilly, 1975, Tarrow, 1982 dan lain-lain. Walaupun semua teoritisi ini berada di bawah paradigma mobilisasi sumber daya, namun bukan berarti semua gagasan mereka berada dalam satu-kesatuan konstruksi pemikiran yang sama. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidaklah mungkin bagi kita untuk membahas satu persatu atau semua pemikiran dari para teoritisi ini, namun tujuan kita hanyalah memformulasikan perbedaan perspektif mereka, kontinuitas gagasan yang didiskusikan, dan konstruksi pemikiran mereka dalam kerangka paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm). b. Paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm) 33 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Bagi teoritisi mobilisasi sumber daya, tidak jadi soal entah ketegangan struktural eksis secara obyektif atau cuma dalam angan-angan para pengikut sebuah gerakan, entah persepsi tentang ketegangan dan tujuan sebuah gerakan rasional atau tidak, atau bentuk simbolis mana yang diberikan oleh pengikut sebuah gerakan kepada ketegangan yang ada. Namun yang menjadi pusat perhatian mereka, adalah tindakantindakan diambil umumnya lebih rasional. Oleh karena itu, agar menjadi lebih efektif, maka tindakan-tindakan yang diambil oleh para peserta gerakan adalah melalui organisasiorganisasi gerakan yang diciptakan secara efektif dan optimal. Paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm) memusatkan perhatian gerakan masyarakat pada proses sistem mobilisasi yang terorganisir secara lebih rasional dan yang lebih canggih, baik dari segi karakteristik, modelmodel bahkan bentuk-bentuk gerakan yang diambil oleh para konstituen sebagai anggota dari gerakan sosial baru pada masyarakat kontemporer. Secara umum elemen-elemen kunci dari setiap gerakan adalah organisasi-organisasi gerakan, bukan individu-individu. Organisasi-organisasi ini merupakan unit-unit penggerak dari sebuah gerakan sosial. Organisasi-organisasi gerakan mencoba menjangkau para konstituen dan menghimpun para pengikut sebanyak mungkin. Teori mobilisasi sumber daya membedakan berbagai tingkat dan tipe keterlibatan orang-orang dalam sebuah gerakan, dengan membedakan penganut (anggota tetap dan peserta), konstituensi (sumber dari sumber-sumber daya), dan para pencari keuntungan (beneficiaries). Kemudian para individu perlu dimobilisasi untuk mengambil bagian di dalam aktivitas-aktivitas yang membentuk bagian dari strategi dan taktik sebuah organisasi gerakan. Akan tetapi, anggotaanggota yang terhimpun di dalam sebuah gerakan bukanlah satu-satunya yang dimobilisasi. Uang, dukungan senjata, 34 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya sumbangan dana para elit, dukungan media dan pembentukan opini publik yang condong mendukung gerakan tersebut, juga merupakan sumber-sumber daya (Zald dan Ash, 1966). Demikain juga, agar sistem mobilisasi itu dapat dijalankan secara optimal dan dapat berhasil dengan baik maka pergerakan dalam organisasi diperlukan seorang pemimpin, yang oleh Zald & McCarthy disebut kaum profesional (movement professionals). Kaum profesional ini memainkan peranan penting dalam sebuah organisasi gerakan, karena menjelang akhir abad kedua puluh semua masyarakat adalah masyarakat yang bercirikan organisasi. Ciri masyarakat yang berorganisasi adalah bahwa setiap tindakan bagi suatu perubahan sosial menuntut keahlian teknis tingkat tinggi, khususnya dalam mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi, menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap kelompok elit dan mengadakan kontak dengan media massa (Zald & McCarthy, 1979, 1987). Perspektif mobilisasi sumber daya lebih dominan dibawa ke dalam nuansa pemikiran yang bersifat instrumentalis, sehingga hal yang mendasar dalam bangunan perspektif ini dapat ditelisik secara historis, dalam karya Mancur Olson, mengenai The Logic of Collective Action, (1965). Olson, menekankan bahwa sistem logika rasionalitas tindakan kolektif gerakan sosial dipresentasikan dalam peranan-peranan faktor objektif tertentu sebagai kepentingan, organisasi, sumber daya, strategi, dan kesempatan dalam setiap mobilisasi kolektif (collective mobilization) skala besar. Dalam konteks pemikiran itulah, apa yang signifikan untuk dicatat bahwa perbedaan yang mendasar konsepsi klasik ala LeBon dalam, The Crowd, (1987), yang menganggap lelaki dan perempuan dalam bentuk tindakan kolektif crowd sebagai irasional, dan yang lebih maju berupa konstruksi George Rude dan E.P. Thompson tentang crowd dalam sejarah, bahwa para aktor dalam gerakan sosial kontemporer (GSB) 35 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya dianggap sebagai mahluk rasional yang mampu bernalar dan terampil mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan. Kerangka arahan dari rujukan ini secara garis besarnya adalah instrumentasi utilitarian. Utilitarianisme merembesi karya-karya kebanyakan tokoh utama GSB, di antaranya Mancur Olson ini sebagai seorang ekonom yang memiliki pengaruh besar dalam paradigma ini (Rajendra Sing, 2010:135). Sementara itu, agak sedikit berbeda dari pandangan Olson yang membayangkan sebuah pendekatan utilitarian dan rasionalistik murni, McCarthy dan Zald 1977, menempatkan peranan semangat entrepreneurship organisasional dalam mobilisasi gerakan sosial kontemporer. Demikian juga, Oberschall 1973; Gamson 1975; C. Tilly et.al 1975; Tarrow 1982, kebanyakan dari mereka ini sulit menerima teori kalkulus individual yang kelewat rasional dari Olson tersebut. Sebaliknya, mereka menekankan peran kelompok-kelompok solidaritas dengan kepentingan-kepentingan kolektif dalam aksi-aksi kolektif. Secara khusus, Oberschall misalnya menyadari bahwa keberadaan variasi non konfliktual dari kolektivitaskolektivitas dalam masyarakat, merujuk pada keberadaan ‘kelompok-kelompok asosiasional’ dalam masyarakat. Kelompokkelompok asosiasional diorganisasikan untuk maksud-maksud non konfliktual. Ada acuan kepada keberadaan kepentingan kolektif dari Charles Tilly, insentif sosial dari Fireman dan Gamson, dan konstituen sadar dari McCarthy dan Zald. Para teoritisi Olsonian ini menawarkan sumber daya kepada kelompok-kelompok aksi kolektif dan merupakan perwujudan non utilitarian dari masyarakat. Dalam menjelaskan gagasan sentralnya menyangkut keberadaan kepentingan kolektif, Tilly dan rekan-rekannya (1975) sepakat bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat mempengaruhi gerakan sosial. Pergeseran utama dari struktur kekuasaan lokal ke nasional membawa akibat kepada 36 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya organisasi dan bentuk gerakan sosial. Berdasarkan data sejarah yang dikumpulkan mereka dalam The Rebellious Century:(1830-1930), membantu memperkuat perdebatan ini dan memberikan pembenaran bagi asumsi bahwa paradigma rasionalistik gerakan sosial mengoperasikan pra anggapan munculnya ekonomi kapitalistik dan negara bangsa. Mereka menolak kegagalan tesis sosial dan menolak habis gagasan Durkheiman dan Smelserian bahwa transformasi struktural utama mengarah ke kekacauan sosial. Menurut mereka yang meragukan adalah apakah diskontinuitas dengan sendirinya melahirkan anomia dan apakah anomia dengan sendirinya melahirkan kekacauan individual atau kolektif (Charles Tilly, et.al, 1975:6). Tilly dkknya, kemudian memaparkan (menggunakan susunan data sejarah), bagaimana transformasi ekonomi, urbanisasi dan formasi negara membangkitkan pergeseran karakter gerakan dan aksi sosial, reorganisasi kehidupan sehari-hari mentransformasikan karakter konflik (Charles Tilly, et.al, 1975:86). Tilly, dkk, menggunakan frasa “repertoire aksi” untuk merujuk bentuk spesifik, metode dan cara ekspresi perilaku dari aksi kolektif. Ia menujukkan bagaimana perubahan dalam kehidupan harian, dalam populasi, lingkungan ketetanggaan; perubahan yang mengundang migrasi dari desa ke kota, pergeseran di medan kekuasaan dan sistem ekonomi, telah mengganti solidaritas komunal (gemeinschaft) menjadi solidaritas asosiasional (gesselschaft). Perubahan tertentu telah merubah medan pertemuan komunal, dari pasar malam, festival, pasar lokal, dstnya menjadi seruan disengaja atau undangan pertemuan dari dan oleh oganasisasi. Dengan demikian Tilly dkk, seperti Rude (1964) menemukan perubahan-perubahan dalam sifat mobilisasi kolektif. Konsepsi transformasi kerumunan dari bentuk pra industri menggambarkan perubahan repertoire aksi kolektif di abad XVIII. Kualitas letupan aksi kolektif juga berubah, dari 37 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya kerusuhan soal makan, pemberontakan pajak, dan permohonan kepada otoritas paternalistik ke repertoire aksi kolektif abad XIX yang ditandai oleh demonstrasi dan pemogokan. Dalam karya solonya yang berjudul, From Mobilization to Revolution (1978), Charles Tilly mengeksplorasi bagaimana perang terhadap pengumpulan pajak pada abad kedelapan belas mendapat dukungan langsung dari kaum golongangolongan kaya dalam gabungan kelembagaan pada negara nasional yang modern. Tilly menemukan bahwa, dalam negara nasional bahwa gerakan mengambil rupa-rupa baru, dan bentuk-bentuk perlawanan memiliki target pencapaian yang bersifat lebih nasional, dan tidak menyerupai sebagaimana bentuk-bentuk protes yang selalu terjadi sebelumnya. Dengan demikian menurutnya, kerusuhan pangan atau kekuarang bahan makan seperti roti misalnya, telah membuka jalan bagi munculnya berbagai asosiasi yang lebih terstruktur bagi perlawanan rakyat (Jackie Smith dan Tina Fetner, 2007:13). Demikian, pembacaan kita terhadap para teoritisi yang berada dalam garis pemikiran Olsonian ini, di samping variasi internal dalam hal fokus dan detail, pada dasarnya bahwa pandangan mereka mengedepankan sekumpulan gagasan sentral tentang pendekatan studi gerakan dan aksi kolektif dalam kerangka logika interaksi strategis dan kalkulasi cost~benefit. Donatella della Porta dan Mario Diani dalam Social Movement An Introduction, (1999), menjelaskan: collective movements constitute an extension of the conventional forms of political action: the actor engage in this act in a rational way, following their interests; organizations and movement “entrepreneurs” have an essential role in the mobilization of collective resources on which action is founded. Movements are therefore part of the normal political proses. Stressing the external obstacles and incentives, numerous pieces of research have examined the variety of resources to be mobilized, the links which social movements have their allies, 38 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya the tactics used by society to control or incorporate collective action, and its results. The basic questions which they seek to answer relate to the evaluation of costs and benefits of participation in social movement organizations (Donatella della Porta dan Mario Diani, 1999:7). Apa yang dinyatakan della Porta dan Mario Diani tersebut di atas ingin menggarisbawahi bahwa mobilisasi sumber daya merupakan sebuah gerakan kolektif yang sifatnya adalah perpanjangan dari bentuk aksi politik konvensional, di mana para aktor yang terlibat dalam gerakan bertindak secara rasional, mengejar target dan kepentingan mereka, gerakan “pengusaha” organisasi memiliki peran penting dalam mobilisasi sumber daya kolektif yang dibangun dalam tindakan. Oleh karena itu, gerakan ini dianggap sebagai bagian dari proses politik yang normal. Gerakan yang menekankan hambatan-hambatan eksternal dan mencari peluang-peluang yang menguntungkan organisasi, memformulasikan berbagai potensi sumber daya untuk dimobilisasi, perluasan jaringan gerakan sosial pada sekutu elit mereka, dan berbagai taktik atau strategi yang digunakan masyarakat untuk mengontrol atau menggabungkan tindakan kolektif, beserta hasil yang ingin dicapai. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berusaha mereka jawab adalah berhubungan dengan evaluasi biaya dan manfaatnya partisipasi dalam organisasi gerakan sosial tersebut. Dalam konteks ini, aksi para anggota gerakan mobilisasi sumber daya mengutamakan peran aktif aksi gerakan kolektif untuk mencapai tujuan unilitarian materialistik. Oleh karena itu, pandangan inilah yang kemudian secara tegas ditolak oleh Fireman dan Gamson dalam karya mereka, Utilitarian Logic in the Resource Mobilization Perspective (1979), dan juga Craig, J. Jenkins, dalam Resource Mobilization Theory and the Study of Social Movement, (1983). Mereka menjelaskan bahwa terjadi dominasi yang kian dangkal dari budaya industrial modernis 39 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya yang menaungi benak Amerika. Lahirnya kelompok-kelompok solider, komunitas-komunitas, kelompok informal, kekariban, kelompok-kelompok utama dan formasi dari apa yang disebut McCarthy dan Zald sebagai konstituen sadar, merupakan jenisjenis aksi kolektif yang tidak bisa dijelaskan dalam kerangka utilitarian rasional dan dalam kerangka ketrampilan tindak memilih individu-individu sebagaimana disiratkan oleh teori mobilisasi sumber daya. (lihat Fireman, B dan W.A Gamson, (1979) ; juga Jenkins, Craig, J, (1983). Ketiga tokoh ini kurang begitu sependapat dengan voluntarisme yang agak berlebihan (hyper) dari teori mobilisasi sumber daya dalam fokus sentralnya, didasarkan pada sebuah sistem relasi sekumpulan asumsi yang terjalin secara aksiomatis. Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: Gerakan sosial harus dipahami dalam kerangka model konflik aksi kolektif. Tidak ada perbedaan mendasar antara aksi-aksi kolektif institusional dan non institusional Baik aksi kolektif institusional maupun non institusional berisikan serangkain konflik kepentingan yang terbangun dalam sistem relasi kekuasaan yang terlembagakan. Gerakan sosial melibatkan cita-cita rasional berbagai kepentingan melalui kelompok-kelompok yang saling berkompetisi. Tujuan dan penderitaan, konflik dan tanding, semuanya hadir secara inheren dalam seluruh relasi kekuasaan dan sebagai misal, antara mereka sendiri tidak bisa menjelaskan formasi gerakan sosial. Oleh sebab itu formasi gerakan sosial ditentukan oleh perubahan dalam sumber daya, organisasi dan kesempatan untuk aksi kolektif. Keberhasilan dan keefektifan aksi kolektif dipahami dalam arti keuntungan material atau aktornya dikenali sebagai tokoh politik. 40 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Mobilisasi orang dalam gerakan sosial kontemporer berukuran skala besar yang merupakan hasil dari teknik komunikasi terkini, birokratisasi organisasi dan dorongan serta insiatif utilitarian. Konstruksi bersifat sukarela yang berlebihan (hyper voluntaristic) teori mobilisasi sumber daya memperkenalkan citra GSB sebagai sebuah korporasi industri multinasional yang dijalankan oleh strukstur manajerial dengan kualifikasi tinggi berikut etos kental mencetak profit. Ia mengisyaratkan kemampuan bernalar dan rasional bagi para partisipannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara umum teori aksi kolektif (collective action theory) dalam paradigma mobilisasi sumber daya ini cenderung diperas menjadi teori pasar dan konsumerisme. Asumsi Olson sebagai garis utama pemikiran ini menyatakan bahwa para aktor yang termobilisasi ke dalam aksi kolektif adalah dia yang layaknya atom terurai terpisah sendiri-sendiri dan pada umumnya tak terorganisir, jadinya layak dipertanyakan. Akan tetapi, pada kenyataannya, bahwa individu-individu telah siap hidup dan beraksi dalam kelompok-kelompok solider (Rajendra Sing, 2010:135). Oleh karena itu menurut Rajendra Singh, gagasan pemikiran neo Olsonian ini seperti Anthony Oberschall, Charles Tilly, Fireman dan Gamson, McCarthy dan Zald, pada akhirnya tidak menyelamatkan model penjelasan rasionalistik radikal dari Olson, sehingga perspektif teoritisi ini masih dianggap tergolong dalam kelompok paradigma mobilisasi sumber daya ( Rajendra Singh, 2010:137). Kekuatan perspektif Paradigma ini lebih mampu menunjukkan bentuk-bentuk, tipe-tipe, model dan karakteristik gerakan sosial baru pada masyarakat kontemporer yang dimobilisasi secara lebih terorganisir secara lebih rasional. Paradigma ini menunjukkan bahwa studi gerakan sosial 41 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya paling tepat dapat dimengerti dalam hubungannya dengan organisasi dan perilaku organisatoris. Paradigma mobilisasi sumber daya apabila dibandingkan dengan paradigma ketegangan struktural lebih mampu memahami dinamika masyarakat yang semakin berubah sebagai masyarakat yang semakin terorganisir secara formal. Paradigma ini mampu menunjukkan bahwa agar suatu gerakan itu dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan sebuah upaya mobilisasi. Sistem mobilisasi dapat dijalankan secara optimal, dan dapat berhasil maka pergerakan dalam organisasi diperlukan seorang pemimpin, yang oleh Zald & McCarthy disebut kaum profesional (movement professionals). Kaum profesional ini memainkan peran penting dalam sebuah organisasi gerakan, karena menjelang akhir abad kedua puluh semua masyarakat adalah masyarakat yang bercirikan organisasi (Zald & McCarthy, 1987:35). Kekuatan paradigma ini juga muncul dari gagasan Tilly dan rekan-rekannya (1975) yang menilai bahwa perubahanperubahan dalam masyarakat mempengaruhi gerakan sosial. Pergeseran utama dari struktur kekuasaan lokal ke nasional membawa akibat kepada organisasi dan bentuk gerakan sosial. Kelemahan perspektif Paradigma ini menempatkan aksi kolektif (collective action) cenderung diperas menjadi teori pasar dan konsumerisme. Misalnya asumsi Olson tentang The Logic of Collective Action 1965, menjelaskan bahwa para aktor yang termobilisasi ke dalam aksi kolektif adalah dia yang layaknya atom terurai terpisah sendiri-sendiri dan pada umumnya tak terorganisir, jadinya layak dipertanyakan. Pandangan Olson ini mengandung kelemahan, ternyata pada kenyataan hidup sehari-hari individu-individu telah siap hidup dan beraksi dalam kelompok-kelompok solider. Paradigma ini menempatkan para individu yang 42 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya mengambil tindakan dalam gerakan sosial sebagai makhluk yang memiliki motivasi instrumental utilitarian, makhluk yang lebih rasional yang mampu bernalar dan terampil mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan. Gerakan senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap musuhmusuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain. Paradigma ini memiliki kekurangan yang mendasar, di mana aksi dan tindakan yang diambil dalam sebuah gerakan lebih dipengaruhi oleh motivasi materialisai diri yaitu sumber daya ekonomi. Tujuan dari aksi yang dilakukan hanya dipandang untuk mengejar target material pada distribusi sumber daya. Dalam konteks ini, para individu yang berperan dalam sebuah aksi gerakan, hanyalah para partisipan gerakan yang bermotifkan materialisasi diri dengan tujuan memobilisasi berbagai sumber daya yang dipertaruhkan dalam kelompok sosial. Kelemahan paradigma ini menempatkan sasaran yang dicapai hanyalah mengejar target politik yang diharapkan untuk diperjuangkan. Namun motif yang lebih dari itu, telah diabaikan, sehingga para anggota gerakan adalah mahluk-mahluk ekonom (socios economiculus) kalkulus hedonistik yang deterministik maupun voluntaristik. Seacara umum kelemahan dalam paradigma ini, bahwa teori aksi kolektif (collective action) cenderung diperas menjadi teori pasar dan konsumerisme. Paradigma berorientasi identitas, lebih menekankan basis perspektif mereka pada peranan identitas yang melandasi semangat individu dalam suatu gerakan. Berbeda dengan paradigma mobilisasi sumber daya yang umumnya dirumuskan dan dipraktikkan oleh para akademisi Amerika, maka teori berorientasi identitas lahir dan muncul di Eropa. c. Paradigma berorientasi identitas Para teoritisi yang berada di dalam garis utama pemikiran ini adalah Pizzorno, (1978,1985), kemudian seorang akademisi 43 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya model identitas murni yaitu Jean Cohen, (1985), termasuk juga kalangan akademisi post~Marxis seperti Laclau dan Mouffe, (1985), hingga ke warna baru pemikiran tentang GSB dalam sentralitas perspektif postmodern yakni Alain Touraine, (1981, 1985, 1987). Dengan banyaknya para teoritisi yang bermunculan belakangan, pada paradirgma model identitas, tentu melahirkan pula beragam pandangan, namun yang kita fokuskan pada pembahasan ini hanyalah berupaya merenung ulang tema diskusi model identitas, perkembangan teoritik kemudian, kekuatan serta kelemahan yang didiskusikan oleh para akademisi model ini dalam konstruksi gerakan sosial kontemporer. Sebagai perbandingan secara umum, paradigma mobilisasi sumber daya yang sentralitas pemikirannya terletak pada rasionalisme dan materialisme, maka paradigma berorientasi identitas memusatkan perhatian mereka pada fenomena gerakan yang cenderung bersifat non materialistik, namun lebih pada perilaku yang ekspresif. Karenanya, maka dalam konteks pemikiran ini, paradigma berorientasi identitas mengajukan asumsi dan mengurai pokok pertanyaan mendasar seputar pada masalah integrasi dan solidaritas. Gerakan menurutnya, tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain. Demikian juga para anggotanya dilihat sebagai makhluk subyektif. Walaupun paradigma model identitas mempertanyakan masalah integrasi dan solidaritas, teori ini tidak menemukan relevansi konsep Durkheimian tentang anomia, dan kegagalan ataupun pengertian Smelserian tentang tegangan, konsleting, keyakinan tergeneralisir dan seterusnya untuk menjelaskan perilaku kolektif. Penyimpangan sosial sebagaimana disiratkan oleh istilah anomia atau kegagalan sosial, nyaris tidak menawarkan sebuah jendela pada berbagai dimensi gerakan sosial (Rajendra Singh, 2001:145). Paradigma berorientasi identitas, mencoba kembali 44 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya memahami tampilan-tampilan dan formasi-formasi gerakan sosial baru (GSB) yang terjadi pada dinamika masyarakat kontemporer. Tampilan wajah dan formasi gerakan GSB dapat ditemukan dalam gerakan ekologi (environmentalism) gerakan feminisme, perdamaian dan mobilisasi akar rumput, melintasi gagasan kelas dan memotong batas pengkondisian material. Menurut paradigma identitas, para partisipan menegaskan aksi-aksi mereka bukan dalam kerangka menjadi pengemban nilai-nilai buruh, melainkan sebagai manusia secara keseluruhan. Ada kesepakatan umum bahwa gerakan berorientasi identitas dan aksi kolektif (collective action) adalah ekspresi pencarian manusia terhadap identitas, otonomi dan pengakuan. Betapa pun terdapat perbedaan pemikiran di kalangan pendukung paradigma ini, misalnya analisis Pizzorno dalam Political Exchange and Collective Identity in Industrial Conflict (1978), mengatakan bahwa logika formasi identitas kolektif melibatkan partisipasi langsung para aktor dalam aksi kolektif. Menurutnya, identitas tidak bisa dibentuk melalui partisipasi tak langsung, delegasi atau perwakilan, melainkan produksi identitas melibatkan interaksi kolektif itu sendiri (Pizzorno, 1978:96). Dalam melihat produksi identitas secara langsung dalam kegiatan aksi yang dilakukan, Pizzorno menilai bahwa logika aksi kolektif sebagai ekspresi. Para aktor sosial dalam GSB mencari identitas dan pengakuan melalui aksi ekspresif, melalui tuntutan universalistik dan tak dapat ditawar. Semuanya itu harus dijalani melalui partisipasi langsung berarti pada rentang yang sama para aktor tersebut sudah membangun dan mengakui kolektivitas (seperti perserikatan dan partai-partai politik) dan secara umum menghampiri penggunaan rasionalitas instrumental strategis (sebagaimana diajukan oleh paradigma mobilisasi sumber daya sebelumnya). Partisipasi langsung para aktor pada rentang yang sama mengakui kolektivitas berarti hasilnya tuntutan mereka bisa 45 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya dinegosiasikan dan karakter partisipasinya jadi terwakilkan dan lebih representasional. Pada kesempatan lain, Jean Cohen dalam Class and Society: The Limits of Marxian Critical Theory (1985), memberikan pandangan yang agak sedikit berbeda menyangkut ciri mendasar GSB yang tidak bersandar pada fakta bahwa aksi mereka ekspresif dan bahwa mereka menyatakan identitas mereka. Sebaliknya ia bersandar lebih pada kesadaran mereka akan kapasitas diri untuk menciptakan identitas dan relasi kekuasaan yang terlibat dalam penciptaan mereka (Jean Cohen, 1985:694). Asumsi inilah yang kemudian menjadi sumber perdebatan penting antara Pizzorno dan Jean Cohen, terutama penilaian mereka tentang aksi gerakan sosial GSB, apakah ekspresif dan sebagai ruang untuk menyatakan identitas kolektif yang melakukan gerakan? Menurut Cohen pada dasarnya aksi gerakan sosial (GSB) tidak bersandar pada aksi yang ekspresif serta peryataan identitas kelompok yang melakukan aksi gerakan sosial itu, melainkan bersandar pada kesadaran mereka akan kapasitas untuk menciptakan identitas. Demikian juga menurutnya, para aktor kolektif kontemporer menilai, penciptaan identitas melibatkan daya tanding soal seputar penafsiran kembali norma-norma, penciptaan makna-makna baru, dan sebuah tantangan untuk konstruksi sosial dari batas-batas antara aksi publik, privat dan domain politis. Oleh karena itu, apabila melihat dari perspektif ini, bahwa model identitas murni Pizzorno tentang aksi kolektif tampak terlampau menyandera dan terlalu sempit rentangannya, cakupannya dan kemampuannya untuk menjelas gerakan sosial baru (GSB) pada konteks masyarakat kontemporer. Selanjutnya pandangan yang agak sedikit lebih terbuka tentang GSB, muncul dari salah seorang sosiolog Perancis yakni Alain Touraine. Dalam menilai GSB masyarakat kontemporer, Touraine berpendapat bahwa unsur pokok dari gerakan sosial adalah aksi (action), yaitu sebuah aksi melawan sistem sosial. 46 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Ambisi Touraine, khususnya dalam karya-karya terakhirnya, adalah menunjukkan bagaimana penekanan terhadap aksi semacam ini tidak harus membawa ke voluntarisme dan individualisme. Baik voluntarisme maupun individualisme tidak memberikan wawasan ke dalam subjek aksi (John Lechte, 1994:299). Dalam menilai GSB, Touraine menekankan pentingnya tindakan sosial, bahwa aksi yang dilakukan individu-individu dalam bentuk gerakan sosial merupakan suatu upaya untuk memproduksi dan mentransformasi struktur dan tatanan sosial yang ada. Dan aksi sosial dalam gerakan sosial ini dilihat sebagai tindakan yang normal menuju pada satu perubahan yang diharap oleh masyarakat. Dalam tulisanya, The Self Production of Society (1973), Touraine menyatakan bahwa masyarakat itu bukan apa-apa selain dari tindakan sosial, karena tatanan sosial itu tidak memiliki jaminan metasosial demi eksistensinya (A.Touraine, 1973:2). Konsep Touraine tentang gerakan sosial, secara umum tidak seperti perilaku kolektif yang selalu reaktif, suatu gerakan sosial adalah suatu kekuatan yang aktif. Pada umumnya gerakan sosial berjuang untuk mengendalikan historisitas. Historisitas menunjuk ke bentuk-bentuk kultural umum dan struktur kehidupan sosial. Jika istilah masyarakat menunjuk ke integrasi sosial, maka gerakan sosial menyarankan adanya tindakan konflik yang menentang integrasi sosial yang sudah ada. Tantangan terhadap integrasi sosial yang sudah ada ini tidak selalu sama dengan suatu krisis masyarakat dan runtuhnya organisasi sosial. Oleh sebab itu, perubahan yang diakibatkan oleh tindakan sosial tidak boleh dilihat sebagai yang bersifat patologis atau yang bersifat disfungsional dalam pengertian Parsons. Apabila dipahami lebih jauh analisis Touraine tentang GSB masyarakat kontemporer, maka harus dipahami dalam kerangka penghubung antara pemahaman diri dengan ideologi47 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya ideologi yang berkuasa di tengah masyarakat kontemporer dan gerakan sosial. Guna memeriksa penghubung tertentu antar dua elemen dalam analisanya, Touraine mengembangkan penyidikannya dalam tiga tingkatan, yaitu: pertama; sebuah elaborasi representasi sosial, struktural dan kultural masyarakat kontemporer, Kedua; sebuah penafsiran konflik dan tegangan yang terlibat alam proses pencarian identitas manusia dan analisanya dalam kerangka rujukan orientasi aksi, Ketiga; Touraine menyadari pentingnya kesadaran individual sebagai ciri spesifik mahluk hidup (Rajendra Singh, 2001:148). Pandangan Touraine dalam The Voice and the Eye, (1981), mendefinisikan gerakan sosial sebagai interaksi berorientasi normatif antara musuh atau saingan, berikut penafsiran yang sarat konflik dengan model kemasyarakatan yang berlawanan dari sebuah medan budaya bersama (A.Touraine, 1981:32). Dalam konteks ini, Touraine melakukan suatu upaya transposisi analisis GSB dari wilayah model identitas murni ala Pizzorno di atas, ke ruang sosial masyarakat sipil. Oleh karena itu, apabila mengikuti pandangan Touraine ini, orang jadi bisa melihat pemaknaan yang berbahaya (terutama oleh model identitas murni Pizzorno) dalam pengertian tumbuhnya tuntutan kelompok-kelompok kebangkitan komunal, sektarian, etnis dan fundamentalis dalam pencarian identitas, otonomi dan pengakuan mereka. Dalam pandangan Touraine, orang mencatat supaya sadar untuk memberikan sebuah kerangka sosiologis untuk mengkaji gerakan. Dalam tulisan kecilnya yang berjudul, Social Movements: Participation and Protests (1987), ia menyatakan bahwa upaya semacam ini menjadi mungkin hanya jika konsepsi gerakan disituasikan tidak dalam kategori psikologisasi murni tentang identitas (Pizzorno) atau dalam rasionalitas pencapaian tujuan utilitarian seperti yang ditampilkan teori mobilisasi sumber daya Olsonian~Oberschall, melainkan pada pusat dari suatu wilayah yang tumpang tindih antara inovasi kultural dan 48 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya konflik sosial (A.Touraine, 1987:219). Gagasan Touraine yang ia sebut berkali-kali tentang sentralitas gerakan sosial baru, konflik sentral dan prinsip sentral analisa mendekatkannya pada konsep metodologis Max Weber mengenai tipe ideal. Dengan melacak lokasi sentralitas konflik sosial, Touraine bertujuan bukan hanya memberikan sebuah pemahaman sosiologis tentang gerakan sosial, melainkan juga mengembangkan tipologi gerakan. Representasi masyarakat yang terkait dengan semacam sentralitas konflik sosial yang khusus dan konflik ini, pada gilirannya, menghasilkan tipologi jenis ideal dari gerakan sosial. Itulah sebabnya Touraine memperlakukan gerakan sosial sebagai agen sosial yang didefinisikan oleh relasi yang sarat konflik (Touraine,dkk. 1987:XV). Dan agensi dari agen, pada gilirannya, tampak mendefinisikan representasi sosial dan kultural masyarakat. Merenungkan sifat GSB, ia memperkenalkan sebuah versi filsafat dari gerakan sebagai sebuah agen dalam sejarah dan kepada agen ini, ia memberikan peran suatu capital subjecthood. Pada kesempatan lain, Touraine, menilai bahwa gerakan sosial mesti dipahami sebagai suatu tipe khusus dari konflik sosial. Banyak macam perilaku kolektif seperti; panic, craze, fashion, current opinion dan inovasi kultural, yang tidak tergolong konflik. Sebuah konflik punya andaian awal sebuah definisi jernih tentang aktor-aktor yang bertentangan atau bersaing serta sumber daya yang mereka perebutkan. Konflik harus dimaknai melalui taruhan yang dianggap bernilai dan dihasratkan oleh dua atau lebih pihak yang bertentangan. Semua konflik demikian, Touraine memiliki: a). Sekumpulan aktor terorganisir b). Taruhan nilai atau yang dihasratkan, c). pergumulan dan kompetisi antar pihak yang bermusuhan untuk mencapai apa yang dipertaruhkan tersebut (Alain Touraine, 1985:750). Di dalam struktur luas paradigma konflik ini, perlu untuk memilah berbagai jenis konflik sosial, sebagaimana yang Touraine rumuskan sebagai berikut: 49 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Pengejaran kepentingan kolektif secara kompetitif. Konflik jenis ini dimaknai sebagai ekspresi dari relasi antara input dan output para aktor di dalam sebuah organisasi, atau ekspresi dari perampasan relatif yang mereka alami. Rekonstruksi identitas sosial, budaya atau politis. Di sini lawan didefinisikan sebagai orang asing atau penyerbu ketimbang sebagai kelas atas atau elit kekuasaan. Para aktornya memaknai diri mereka sebagai sebuah komunitas yang nilai-nilai telah diserang. Konflik ini berpusar pada konsepsi mempertahankan komunitas. Banyak gerakan kontemporer di India seperti Shiv Sena di Maharashtra, Jharkhand di Bihar, Gorkhaland di Bengal dan Uttarakhand di Uttar Pradesh, merupakan atau dapat dilihat sebagai contoh ekspresi perilaku konflik dari Touraine. Kekuatan politik. Menurut Touraine, konflik ini bertujuan untuk melakukan perubahan aturan main, dan bukan hanya keuntungan relatif dalam sebuah sistem yang given. Mempertahankan status dan hak istimewa (privilege). Konflik jenis ini menjelaskan cara sebuah kelompok kepentingan berupaya mempertahankan kepentingannya dengan atas nama kepentingan nasional dari kelompok kepentingan tersebut. Kontrol sosial arus kebudayaan utama. Touraine menangkap pola-pola kebudayaan dalam tiga jenis, yaitu; sebuah model pengetahuan, semacam investasi dan prinsip-prinsip etis. Penciptaan sebuah tatanan baru (Alain Touraine, 1985:750). Konsepsi Tourine tentang gerakan secara umum dan khususnya tentang gerakan sosial baru, melekat dengan perpektif makro sosiologis memandang tipe masyarakat, seperti tampak dalam konsepsi masyarakat agraris dan masyarakat industri. Setiap jenis kemasyarakatan tertentu berkorespondensi dengan sebentuk spesifik representasi sejenis sosial dan budaya. Menurutnya, ada enam pokok konsepsinya 50 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya tentang gerakan sosial baru adalah sebagai berikut: Konsepsi gerakan sosial berkorespondensi dengan konsepsi jenis masyarakat spesifik. Dengan demikian misalnya gerakan buruh kebanyakan berkorespondensi dengan masyarakat industri. Touraine menyerang konsepsi spesifik bahwa gerakan sosial baru adalah minoritas di tengah gerakan sosial. Ia mendefinisikan gerakan sosial baru melalui keberagamanan dan pluralismenya. Ia juga menyerang kritik, bahwa seluruh model kehidupan dan aksi kolektif bisa dihargai dan satu-satunya nilai tertinggi adalah individualisme. Touraine menekankan bahwa gerakan sosial baru harus dilihat dalam hubungannya dengan konsepsi representasi baru masyarakat. Seluruh gerakan sosial dimasa lalu adalah terbatas, sebagaimana kapasitas masyarakat untuk memproduksi dirinya yang juga terbatas. Jaminan metasosial tatanan sosial menempatkan sebuah batas pada pengalaman historis dan pada pengembangan sebuah defenisi baru sifat manusia. Semua gerakan sosial masa lalu mendefinisikan pertaruhan dan musuh-musuh mereka dalam kerangka prinsip-prinsip meta sosial seperti hukum ilahiah, hukum alam, evolusi, termasuk gagasan modernitas. Touraine menilai bentuk-bentuk transformasi sosial ini menancapkan dua jenis rintangan dihadapan cara formasi gerakan sosial, yaitu; penghapusan batas-batas metasosial yang menyediakan prinsip kesatuan positif atau negatif bagi aksi kolektif di masa lalu. Dan periode sekularisasi dramatis yang disertai dengan lepas landas ekonomi dan penguraiannya yang cepat menjadi konsumerisme yang berkorespondensi dengan sebuah bentuk spesifik jenis kemasyarakatan yang memungkinkan gerakan sosial baru masuk ke panggung sosial. Gerakan sosial masa lalu (lama) berada dalam jalinan prinsip-prinsip metasosial dan ia menggunakan itu guna menentang dominasi tradisi, sehingga gerakan sosial baru 51 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya kurang berwatak sosio-politis dan lebih berwatak sosiokultural. Kondisi utama bagi gerakan sosial baru untuk mengambil bentuk adalah kesadarannya memasuki jenis baru kehidupan sosial. Meluruhnya masyarakat industri, rontoknya reperesentasi kutural masyarakat industri dan dimulainya masyarakat post industri, merupakan pengantar bagi proses penjadian gerakan sosial baru. Revolusi elektronik, produksi teknologis simbol-simbol kultural, pemrosesan informasi berikut distribusi globalnya, mengisahkan kepada kita bahwa sebuah masyarakat baru tengah menuju bentuknya. Dalam paradigma Touraine, masyarakat baru ini, dalam waktu bersamaan dicirikan oleh bentuk-bentuk baru konflik sosial dan inilah yang disongsong oleh gerakan sosial baru (Alain Touraine, 1985:777). Kekuatan perspektif Secara umum bahwa paradigma ini lebih memadai dalam upaya menjelaskan beberapa ekspresi kuat GSB masyarakat kontemporer yang semakin berubah secara ekspresif seperti fenomena gerakan feminis, aktivis dan pejuang lingkungan hidup (environmentalism), gerakan perdamaian, pelucutan senjata dan gerakan otonomi lokal. Eskpresi formasi GSB dalam konteks gerakan di atas telah melintasi gagasan kelas dan memotong batas pengkondisian material yang ada. Paradigma berorientasi identitas ini memiliki pandangan baru soal GSB, hampir semua teoritisi aliran ini memusatkan perhatian dan tidak setuju pada fenomena gerakan yang cenderung bersifat materialistik murni, namun lebih pada perilaku yang ekspresif. Gerakan menurut menurut mereka, tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain. Secara substantif, bahwa paradigma ini dalam konteks GSB 52 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya lebih maju dalam menempatkan peranan dan posisi aktoraktor kolektif kontemporer yang secara sadar berjuang melawan kekuasaan untuk secara sosial membangun identitas baru, untuk menciptakan ruang demokratis bagi aksi sosial yang lebih otonom. Perspektif ini jauh berbeda dari perspektif mobilisasi sumber daya yang menekankan model neo utilitarian dan bersifat volutarisme berlebihan (hyper voluntaristic). Paradigma ini secara khusus menempatkan posisi individu-individu dalam gerakan sosial baru (GSB) sebagai kolektivitas yang otonom, makhluk-makhluk sosial yang bebas di dalam mentransformasikan identitas dan mencari makna baru bagi identitas mereka. Pembangunan dunia baru bagi makna individualitas sebagai manusia yang subjektif dan menentang tatanan dan sistem kehidupan (struktur) serta ideologi-ideologi yang menjadikan mereka sebagai mahkluk yang terfragmentasi dalam ruang kehidupan masa kini yang sermakin tidak menentu. Kelemahan perspektif Paradigma berorientasi identitas secara khusus analisis Pizzorno dalam Political Exchange and Collective Identity in Industrial Conflict (1978), mengatakan bahwa logika formasi identitas kolektif melibatkan partisipasi langsung para aktor dalam aksi kolektif. Menurutnya, identitas tidak bisa dibentuk melalui partisipasi tak langsung, delegasi atau perwakilan, melainkan produksi identitas melibatkan interaksi kolektif itu sendiri. (Pizzorno, 1978:96). Dalam melihat produksi identitas secara langsung dalam kegiatan aksi yang dilakukan, Pizzorno menilai bahwa logika aksi kolektif sebagai ekspresi. Para aktor sosial dalam GSB mencari identitas dan pengakuan melalui aksi ekspresif, melalui tuntutan universalistik dan tak dapat ditawar. Semuanya itu harus dijalani melalui partisipasi langsung, berarti pada rentang yang sama para aktor tersebut 53 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya sudah membangun dan mengakui kolektivitas (seperti perserikatan dan partai-partai politik) dan secara umum menghampiri penggunaan rasionalitas instrumental strategis (sebagaimana diajukan oleh paradigma mobilisasi sumber daya sebelumnya). Partisipasi langsung para aktor pada rentang yang sama mengakui kolektivitas berarti hasilnya tuntutan mereka bisa dinegosiasikan dan karakter partisipasinya jadi terwakilkan dan lebih representasional. Betapapun, disitulah Pizzorno membuat kesalahan. Begitu identitas aktor-aktor kolektif baru itu diakui, aksi ekspresif mereka bisa ditransformasikan menjadi aksi instrumental. Ini kasus pelembagaan mobilitas kolektif. Dengan demikian, aksi kolektif ekspresif dari Pizzorno tidak terlalu berbeda dengan aksi ekspresif mob, rable, dan crowd klasik dari mazhab crowd psikologi sosial seperti Le Bon dan konstruksi neoklasik tentang crowd in history seperti tulisan George Rude dan E.P Thompson sebelumnya. Paradigma berorientasi identitas khususnya model teori identitas Touraine, sebagai sebuah paradigma yang lebih komunikatif namun terlampau makro, kadangkala cenderung menjadi abstrak, rumit dan mengulang-ulang. Dan teorinya tentang tindakan kolektif (collective action) dalam gerakan sosial kontemporer (GSB) belum terlalu menyentuh pada unit analisis level mikro. 54 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya III Kesimpulan Ciri khas paling mendasar dalam tradisi klasik dan neoklasik adalah bahwa sebagian besar studi dalam perilaku kolektif (collective behavior), dipahami dalam bingkai konseptualisasi teoritik (frame of logic) analisis pada fenomena perilaku kerumunan (crowd). Crowd merupakan kolektivitas yang irasional, liar, haus darah yang muncul dalam berbagai aksi atau tindakan; kerusuhan (revolts) huru-hara (mob), keributan dan kerisauan (riots) hingga kepada pemberontakan (rebels). Konseptualisasi pemikiran itu ditemukan dalam karya para psikolog sosial klasik seperti, Gustav LeBon, The Crowd, (1987), Gabriel Tarde, The Laws of Imitation, (1903), karya William Mac Dougall, The Group Mind (1920), karya E.D. Martin, The Behaviour of Crowd (1929). Para peneliti perspektif ini mengajukan pertanyaan mendasar, mengapa dan bagaimana individu-individu menggabungkan diri dalam sebuah gerakan, dan pada ciri-ciri yang khas yang membedakan individu-individu yang terlibat pada sebuah gerakan dari mereka yang tidak terlibat. Kekuatan-kekuatan kultural menjadi riil dan dapat diteliti secara empiris takkala mereka dialih bentukan ke dalam motivasi, predisposisi, dan kecendrungan pribadi. Konsep mengenai kepribadian, merupakan cara yang bermanfaat dan sahih guna memperlihatkan konsistensi di dalam motivasi, perilaku, keyakinan, dan predisposisi individu. Konsistensi ini kemudian tetap terus bertahan lintas waktu dan lintas peranperan sosial. Demikian juga persoalan yang menyangkut ideologi sebagai yang menjadi keyakinan para peserta terlibat dalam sebuah gerakan yakni sistem kepercayaan yang dibangun, dipahami bersifat sekunder, dan elemen yang terdeterminasi ketimbang elemen penentu. Dalam konteks ini, keyakinankeyakinan para individu dibentuk oleh kepribadian, yakni 55 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya oleh kecendrungan-kecendrungan psikologis mereka, atau juga oleh tekanan-tekanan mikro informal (informal micro~ pressures) di dalam lingkungan hidup pribadi para individu saat itu. Menurut Robert Mirsel, dalam teori psikologi sosial (social~psikologycal theory), di mana perilaku-perilaku yang diperlihatkan oleh para individu sebagai anggota suatu gerakan semacam itu, merupakan kunci pokok bagi studi mengenai keyakinan dan bukannya ide-ide mengenai sistem kepercayaan sebagai sebuah sistem pemikiran yang abstrak (Robert Mirsel, 2004:32). Pada kesempatan lain, teori perkumpulan massal (mass society theory) memahami bahwa aksi-aksi kolektif disebabkan oleh karena para individu disingkirkan dari kelompokkelompok sosial yang tetap dan membuatnya lebih rentan terhadap aksi-aksi protes atau pengaduan-pengaduan di dalam sebuah gerakan kemasyarakatan. Analisis berfokus pada penelitian bagaimana kondisi-kondisi individu seperti keterasingan (alienasi) dan kondisi-kondisi kultural seperti ketakberaturan (anomie) berhubungan dengan lahirnya sebuah gerakan sosial. Perkumpulan massal melahirkan gerakangerakan kemasyarakatan, yakni bahwa gerakan-gerakan ini dipandang sebagai jawaban terhadap hilangnya jangkarjangkar tradisional, karena para individu yang terlepas dari komunitasnya yang mapan kemudian mencari bentuk-bentuk komitmen bersama yang baru. Selanjutnya teori tingkahlaku kolektif (collective behavior theory), memandang fenomena-fenomena kelompok yang panik (panic groups), kelompok histeris (hysterias) dan kelompok yang tingkahlakunya dengan cepat sekali berubahubah (fads), dan tingkahlaku kerumunan (crowd behavior) berhubungan erat dengan pembentukan gerakan sosial dan kemungkinan besar mewakili tahap-tahap awal pembentukan sebuah gerakan yang kemudian meluas dan menetap dalam satu gerakan. Kerumunan dan gerombolan dalam skala kecil 56 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya menghasilkan apa yang dilakukan oleh perkumpulan massal (mass society) pada skala yang lebih luas. Mereka memisahkan individu dari keterikatan dengan kelompok-kelompok primer seperti keluarga, hubungan sekunder yang stabil (seperti persekutuan-persekutuan berdasarkan tempat tinggal dan serikat-serikat dagang). Mereka juga memisahkan individu dari hal-hal rutin biasa, termasuk dari tingkahlaku politik yang konvensional. Dengan ini para individu tersebut lebih mudah menerima tekanan (pressure) yang irasional. Kondisi-kondisi perkumpulan massal pada gilirannya membuat individu lebih gampang menerima tekanan-tekanan guna mengambil bagian dalam tingkahlaku kolektif (collective behavior). Para psikolog sosial biasanya membagi kegaduhan ke dalam tipe pasif dan aktif. Tipe pasif merujuk pada kelompok penonton dipinggir jalan, para penonton pasif yang berkumpul karena keingintahuan untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak biasanya, baik pemandangan atau suaranya. Meskipun crowd pasif memiliki kecendrungan bisa berubah menjadi crowd aktif, maka crowd aktiflah yang perilakuperilakunya menjadi perhatian dalam studi gerakan sosial dan tindakan kolektif (Rajendra Singh, 2010:114). Demikian juga, potensi crowd aktif inilah yang terkadang mengambil kesan stereotipe seperti nampak dalam wajah tindakan huru-hara (mob) dan kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat yang melanggar hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas massa haus darah yang saling bermusuhan atau sekelompok para perusuh yang memberontak dan agitasi pemogok serta para pemrotes di jalan-jalan. Dalam psikologi sosial klasik, huru-hara (mob), kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat yang melanggar hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas massa haus darah yang saling bermusuhan biasanya, didefinisikan sebagai perasaan gaduh dan kesatuan mental. Gustave LeBon menjuluki jenis kegaduhan ini sebagai plin-plan (fickle) dan 57 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya menghubungkannya sebagai sejenis perilaku semborono yang irasional (Gustave LeBon, 1909:133). Dalam kebanyakan formulasi seperti dalam studi Gustave LeBon dan kawan-kawannya di atas, siapa pun bisa membuktikan penekanan yang rentan terhadap crowd. Menurut James M. Jasper, dalam Cultural Approaches in the Sociology of Social Movements (2007), dalam visi yang lain, orang-orang tertentu secara khusus terbuka pada gerakan emosi yang kuat pada crowd (James M. Jasper, 2007:58;bab 3). Misalnya contoh yang dijelaskan Eric Hoffer dalam The True Believer (1993),yakni gambaran seorang fanatik yang putus asa yang diperlukannya untuk percaya pada sesuatu, tidak peduli apa itu sesuatu yang mengisolasikannya dari sosial. Para pengikut sejati dan setia, sang pemeluk yang teguh, para pengikut yang fanatik (true believer) memunculkan gerakan-gerakan yang didorong oleh dorongan batin bersama untuk melakukan suatu gerakan (Eric Hoffer, 1993:25). Hoffer menilai bahwa orang-orang yang kurang memiliki identitas stabil dan frustrasi, merasa kekosongan bathin, hidup merasa tandus dan tidak aman, dan situasi ini yang kemudian menjadi penyebab seseorang itu kehilangan kepercayaan diri mereka sendiri. Pengorbanan diri pada tindakan kolektif, menurut Hoffer adalah massa yang terang-terangan tidak rasional, menarik orang-orang yang miskin, orang-orang aneh, orang-orang buangan, kaum minoritas, kaum remaja muda yang ambisius, orang-orang yang berada dalam bayang-bayang obsesi, orang-orang yang bosan dan merasa bersalah dan lain sebagainya (Eric Hoffer, 1993:26). Memang disadari bahwa pengaruh psikologi sosial, terutama konsep-konsep mengenai crowd sebagai suatu kolektifitas manusia-manusia dalam kelompok yang liar, berhasil diformulasikan ke dalam cetakan konseptual baru di dalam meneliti perilaku kolektif (collective behavior). Upaya inilah tidak serta merta menjadikan studi tentang crowd, begitu 58 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya saja menghilang dari pemikiran sosiolog neo klasik kemudian. Melainkan orientasi terhadap crowd, masih tetap eksis dan diulang kembali dalam beberapa studi gerakan millinearisme misalnya karya Norman Cohn, The Pursuit of Millennium: Revolutionary Millenarians and Mystical Anarchists of the Middle Ages (1961), Michael Adas tentang, Prophet of Rebellion, Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, (1943), karya Stephen Fuchs, Rebellious Prophets, (1965), Lioyd dan Susanne Rudolph, dalam The Modernity of Tradition (1969), dan Robert Hardgraves, dalam The Nadars of Tamilnad, (1969). Evolusi konseptualisasi teoritik psikologis sosial klasik inilah yang kemudian ditanggapi Erward P. Thompson dalam, The Making of the English Working Class, (1981). Ia menyatakan bahwa, orang meragukan proses penggabungan semacam itu. Bagaimanapun, dengan adanya fenomena semacam itu persoalan historis belum terpecahkan~mengapa kemarahan, inspirasi atau bahkan kekacauan psikotis mesti bergabung dalam gerakan berpengaruh hanya dalam waktu-waktu tertentu dan dalam bentuk yang khusus (E.P Thompson, 1981:117). Pandangan E.P. Thompson ini, bertujuan untuk menantang para teoritisi yang melakukan studi gerakan sosial, guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Oleh karenanya, paradigma klasik aliran crowd dari psikologi sosial tradisional mengalami versi radikal untuk memberi batasan pada kehancuran dirinya. Akan tetapi sebagaimana yang kita temukan di dalam berbagai studi belakangan, kecendrungan-kencendrungan crowd mengulangi diri dalam disiplin lain seperti (sejarah, politik, ekonomi dan sebagainya) dalam bentuk atau model lain, bahkan dengan penjelasan lain yang lebih variatif sifatnya dalam berbagai studi yang dilakukan. Masalah ini terjadi, menurut Rajendra Singh karena tampilan perspektif crowd selalu mendapatkan kekuatan dukungan data historis yang dikumpulkan secara 59 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya lengkap dan telaten, pada kurun waktu abad ke-18 s.d bad ke20 dalam sejarah Perancis dan Inggris. Para sejarawan sosial telah berhasil menerangkan crowd dalam cetakan konseptual baru bersama-sama, dan hal ini ditemukan dalam beberapa hasil penelitian seperti; Singha Roy dalam The Crown in the French Revolution, (1959) dan The Study of Popular Disturbances in the Pre-Industrial Age; Historical Studies, (1963), Lars Rudebeck, dalam When Democracy Makes Sense, (1992), Charles Tilly, et.al dalam The Rebelious Century, 1830-1930, (1975), dan E.P Thompson dalam The Making of the English Working Class, (1981) dan sebagainya.Rajendra Singh, 2010:117). Dalam konteks ini, perspektif analisa para sejarawan, crowd diperlakukan sebagai entitas sosial bertujuan dengan suatu alasan untuk ada, dan suatu peran untuk bertindak dalam sejarah. Berdasarkan bukti dalam hasil penelitiannya tentang sejarah Perancis dan Inggris, George Rude menyatakan bahwa crowd bukanlah abstraksi tidak berwujud, melainkan ia terdiri dari orang-orang. Dalam konteks, analisanya terhadap data sejarah tersebut, ia membedakan antara gejolak masyarakat pra industri dengan masyarakat industrial dalam masyarakat di dunia negara itu. Menurutnya gejolak pra industri dicirikan oleh kerusuhan pangan (foot riots), gerakan milenarian, dan pemberontakkan petani (peasant revolt). Sedangkan gejolak industrial ditandai dengan pemogokan, demonstrasi dan pertemuan massa publik berjangkauan ke depan. Singkat kata, dalam menanggapi keberadaan entitas crowd yang tidak berkewajahan, George Rude menyatakan sebagai berikut: “peran yang dimainkan oleh petani dan penduduk desa di Inggris, kecendrungan khusus para pemintal dan penambang untuk menghancurkan mesin dalam pertikaian industrial di Inggris,...bagian yang dimainkan kaum perempuan dalam perjalanan tertentu Revolusi Perancis, peran petani dan buruh tani dalam kerusuhan (riot) pedesaan Inggris..dan seterusnya” (George Rude, 1964:194). Studi-studi mereka ini, menunjukkan 60 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya bahwa watak gejolak dan aktivitas crowd terkait erat dengan komposisi unsur-unsur seperti; sosial, pekerjaan, situasi, kondisi, dan lain sebagainya yang turut mempengaruhinya. Meskipun crowd berperilaku berbeda dalam situasi yang tidak sama, ada beberapa elemen yang serupa seperti penggunaan aksi langsung dan penerapan keadilan alamiah. Dengan demikian data sejarah mengenai bentuk, wajah, tipe aksi crowd selama selama abad ke 18 dan 19 tak meragukan lagi membuktikan bahwa konstruksi perspektif teori psikologi sosial klasik mengenai orientasi pada crowd sebagai entitas wajah yang gampang berubah dan mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi sosial yang ada. Dengan demikian, maka perspektif seperti itu sudah tidak memadai lagi bahkan mungkin agak lebih berlebihan, tendensius dan mungkin agak keliru. Mendekati akhir tahun 1960-an, lebih jelasnya memasuki tahun 1970-an, munculah fenomena gerakan-gerakan sosial baru di Amerika Serikat dan kawasan-kawasan lainnya di benua Eropa. Gerakan-gerakan sosial baru ini lebih ekspresif dan mengambil tipe aksi gerakan yang banyak berubah bila dibandingkan dengan berbagai gerakan yang terjadi pada periode klasik dan neoklasik. Gerakan perjuangan hak-hak sipil warga negara (civil rights movements) di Amerika Serikat, semacam organisasi sipil yang berorientasi memperjuangkan dan mentransformasi pembaruan struktur pada lembagalembaga yang cenderung menindas secara reperesif. Selanjutnya, muncul pula berbagai gerakan moral perdamaian yang mengusung cita-cita dan semangat ideologi anti perang hingga perjuangan melawan berbagai bentuk perlombaan senjata nuklir. Berbagai aktivis-aktivis dalam kelompok organisasi anti perang pada waktu itu misalnya secara tegas menentang serta menolak ekspansi militerisasi antara Amerika dengan Vietnam. Oleh karena itu, di Amerika Serikat sendiri, munculnya aneka gerakan melawan perang Vietnam 61 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya melahirkan pula berbagai rupa aktivisme perdamaian dan dukungan terhadap dekolonisasi. Sejumlah gerakan tertentu memang membawa pergeseran dalam fokus analisis dibidang teori gerakan sosial, akan tetapi aliran-aliran pemikiran di antara para elite politik dan di dalam kebudayaan umumnya juga menghasilkan pemahaman bahwa pembaharuan itu sah dan rasional. Aktivisme yang menuntut adanya pelayanan negara terhadap kepentingan masyarakat (walfare state activism) di Eropa dan juga gerakan masyarakat raya (great society), serta program memerangi kemiskinan (war on poverty) yang dicanangkan oleh pemerintahan John F. Kennedy dan Lindon B. Johnson di Amerika Serikat pada awal dekade tahun 1960-an turut menciptakan iklim pembaruan. Menurut Ritzer dan Goodman, program pencanangan peperangan terhadap kemiskinan di Amerika ini, merupakan cara khas strategi masyarakat modern yang menyakini bahwa dapat ditemukan dan diterapkan penyelesaian rasional atas masalah kemiskinan itu (Ritrzer dan Goodman, 2003:630). Demikian juga program yang dicanangkan oleh Bad Goderberg dari Partai Sosial Demokrat (SPD) di Jerman Barat pada tahun 1960-an pada gilirannya menandai keinginan kaum sosialis untuk menciptakan konsensi-konsensi ideologis guna melibatkan diri dalam pembangunan institusi-institusi di Jerman Barat. Pada saat agenda-agenda pembaharuan mulai direalisasikan, makin banyak gerakan radikal dan aliran pemikiran yang mempertanyakan struktur-struktur penting yang tengah dibaharui. Ada tiga paradigma studi gerakan sosial baru (GSB), meliputi; paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigm), paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm) dan terakhir paradigma berorientasi identitas. Walaupun ketiga paradigma besar ini berbeda soal konseptualisasi teoritik dalam menganalisa berbagai fenomena gerakan sosial, namun ketiga paradigma ini saling melengkapi 62 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya satu sama lain. Paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigm) dengan teoritisi utamanya Robert Ted Gurr, dalam karyanya, Why Men Rebel ?(1970), menjelaskan bahwa konsep dasar Gurr adalah perampasan (deprivation). Perampasan memicu munculnya resistensi atau perlawanan. Resistensi terjadi jika orang merasa sesuatu yang dihargainya dan lebih bermanfaat baginya dirampas. Perasaan terampas inilah yang disebut Gurr, relative deprivation. Relative deprivation berarti suatu persepsi perihal kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabalities) yang diperlukan. Menurut Gurr, nilai adalah suatu kejadian, barang dan kondisi yang diinginkan oleh manusia untuk dimiliki. Sementara nilai ekspektasi adalah benda dan kondisi hidup yang orang-orang percaya bahwa mereka sebagai pemiliknya yang sah. Sementara nilai kapabilitas adalah benda dan kondisi yang menurut mereka mampu untuk memperoleh atau memeliharanya, disepakati harta sosial tersedia untuk mereka. (Robert Ted Gurr, 1970:13,25). Demikian pula menurut Gurr, relative deprivation bisa menyulut ketidakpuasan (discontent) dalam masyarakat, yang berwujud kemarahan, kemurkaan, atau kejengkelan, tergantung pada kedalaman rasa terampas. Kadar ketidakpuasan akan berkurang bila tersedia sarana untuk menyalurkannya. Saluran ini disebut value opportunities. Apabila ketidakpuasan itu tidak tersalurkan atau berada dijalan buntu, ia dapat bermetamorfosis menjadi pemberontakan dengan kekerasan yang berwujud kekacauan, konspirasi atau perang dalam negeri (Robert Ted Gurr, 1970:10-11). Demikian pula, Gurr menambahkan bahwa tingkat dan kualitas kemarahan dan frustasi sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro. Dengan bertolak dari asumsi ini, Gurr mulai mengembangkan pengukuran-pengukuran kuantitatif bagi hal-hal yang berhubungan dengan alasan lahirnya ketegangan 63 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya dan pemberontakan (rebel) dalam sebuah masyarakat (Robert Ted Gurr,1970). Menurutnya, tingkat dan kualitas kemarahan bahkan frustasi sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro adalah ketegangan yang bersumber pada struktur politik yang tersedia. Struktur peluang politis (political opportunity structure) atau bentuk lembaga-lembaga politis adalah faktor utama di dalam perilaku gerakan yang kemudian bisa saja memaksa strategi-strategi gerakan untuk mengikuti pola yang tergaris dalam struktur tersebut. Bentuk-bentuk letupan permusuhan dalam kategori data yang lebih luas mengenai “kekerasan politik” adalah bahwa semua serangan kolektif dalam sebuah komunitas politik untuk menentang rezim politik yang ada, baik terhadap para aktornya, termasuk kelompok pesaing politik maupun yang sedang menjabat ataupun kebijakan-kebijakannya. Konsep ini mempresentasikan serangkaian even, yang memiliki sifat umum menggunakan kekerasan secara aktual atau bersifat ancaman, namun konsep ini tak bisa dijelaskan semata-mata dengan berdasarkan pada sifat umum ini. Termasuk dalam konsep ini adalah revolusi yang biasanya didefinisikan sebagai perubahan sosio~politik yang fundamental dicapai melalui kekerasan, termasuk juga di dalamnya perang gerilya, penentangan, kerusuhan hingga berakhir pada suatu kudeta (Robert Ted Gurr, 1970:3-4). Selanjutnya dalam versi yang lain, James Davis dalam esainya Toward a Theory of Revolution (1962), merancang sebuah model lain. Di dalam model ini ia mengemukakan bahwa kereta pendorong menuju pembaharuan adalah ketegangan itu sendiri; upaya-upaya awal dari para elite (baik politik maupun ekonomi) untuk menciptakan pembaharuan melahirkan ekspektasi-ekspektasi yang lebih tinggi, dan ketika ekspektasi-ekspektasi itu tidak dicapai atau malah sebaliknya, munculah gerakan sosial. Dalam konteks pemikiran ini, 64 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya soal perampasanlah (deprivation) yang ditanggapi dan titik perbandingan terletak di masa depan. Pandangan yang lebih inklusif model ketegangan struktural ini, muncul dalam pemikiran Neil Smelser, dalam Theory of Collective Behavior (1963). Dalam tulisanya itu, Smelser mengajukan sebuah teori yang disebut teori nilai tambah~enam~tahap (six~stage value~added theory), mencakupi pembahasan tentang ketegangan struktural sebagai sebuah faktor penjelas. Selain itu ada pula komponenkomponen lain yang lebih bersifat psikologis, ideologis, dan prosesual yang diistilahkannya dengan keyakinan-keyakinan yang tergeneralisasi (generalized belief), kepemimpinan dan komunikasi serta insiden-insiden pemicu (precipitating incidents). Smelser juga memasukan sebuah faktor struktural lain, yakni dukungan struktural (structural conduciveness) sebagai unsur pertama dari model ini. Unsur-unsur ini mengacu kepada kemungkinan-kemungkinan bagi organisasi gerakan untuk bertahan di dalam ruang lingkup politik dan sosial sebuah masyarakat (Neil Smelser, 1963:156). Gambaran aksi dan analisis ekuilibrium Paretean (pengikut gagasan utama Pareto) ini adalah bentuk konstribusi nyata dalam teori Smelser, yaitu dalilnya pada mekanisme, yang menjelaskan bagaimana batas kondisi menentukan jenis perilaku sosial. Konsepsi Paretean tentang sebuah mekanisme keseimbangan diri dalam sistem sosial tercermin dalam proposisi utama Smelser, dan ia mengatakan; “people under strain mobilize to reconstitute the social order in the name of a generalized belief”. Model ketegangan strukural inilah yang kemudian dikritisi oleh teoritisi paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm). Teoritisi yang berdiri dalam garis utama pemikiran ini adalah Mancur Olson, 1965, dan para pengikutnya seperti Anthony Oberschall, 1973, McCarthy dan Zald, 1977, Gamson, 1975, Charles Tilly, 1975, Tarrow, 1982 dan lain-lain. Teoritisi mobilisasi sumber daya, mengkritik 65 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya kekurangan model ketegangan struktural Gurr, dan kawankawan. Menurut teoritisi mobilisasi sumber daya, formulasi ketegangan struktural eksis secara obyektif hanyalah formulasi gagasan yang bersifat ada dalam angan-angan para pengikut sebuah gerakan, entah persepsi tentang ketegangan dan tujuan sebuah gerakan rasional atau tidak, atau bentuk simbolis mana yang diberikan oleh pengikut sebuah gerakan kepada ketegangan yang ada. Sebaliknya menurut mereka, tindakan-tindakan diambil umumnya lebih rasional. Oleh karena itu, agar menjadi lebih efektif, maka tindakan-tindakan yang diambil oleh para peserta gerakan adalah melalui organisasi-organisasi gerakan yang diciptakan secara efektif dan optimal. Paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm) memusatkan perhatian gerakan masyarakat pada proses sistem mobilisasi yang terorganisir secara lebih rasional dan yang lebih canggih, baik dari segi karakteristik, model-model bahkan bentukbentuk gerakan yang diambil oleh para konstituen sebagai anggota dari gerakan sosial baru pada masyarakat kontemporer. Secara umum elemen-elemen kunci dari setiap gerakan adalah organisasi-organisasi gerakan, bukan individu-individu. Organisasi-organisasi ini merupakan unit-unit penggerak dari sebuah gerakan sosial. Organisasi-organisasi gerakan mencoba menjangkau para konstituen dan menghimpun para pengikut sebanyak mungkin. Teori mobilisasi sumber daya membedakan berbagai tingkat dan tipe keterlibatan orang-orang dalam sebuah gerakan, dengan membedakan penganut (anggota tetap dan peserta), konstituensi (sumber dari sumber-sumber daya), dan para pencari keuntungan (beneficiaries). Kemudian para individu perlu dimobilisasi untuk mengambil bagian di dalam aktivitas-aktivitas yang membentuk bagian dari strategi dan taktik sebuah organisasi gerakan. Akan tetapi, anggotaanggota yang terhimpun di dalam sebuah gerakan bukanlah 66 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya satu-satunya yang dimobilisasi. Uang, dukungan senjata, sumbangan dana para elit, dukungan media dan pembentukan opini publik yang condong mendukung gerakan tersebut, juga merupakan sumber-sumber daya (Zald dan Ash, 1966). Menurut Zald dan McCarthy (1979), agar sistem mobilisasi itu dapat dijalankan secara optimal dan dapat berhasil dengan baik maka pergerakan dalam organisasi diperlukan seorang pemimpin, yang disebut kaum profesional (movement professionals). Kaum profesional ini memainkan peranan penting dalam sebuah organisasi gerakan, karena menjelang akhir abad kedua puluh semua masyarakat adalah masyarakat yang bercirikan organisasi. Ciri masyarakat yang berorganisasi adalah bahwa setiap tindakan bagi suatu perubahan sosial menuntut keahlian teknis tingkat tinggi, khususnya dalam mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi, menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap kelompok elit dan mengadakan kontak dengan media massa (Zald & McCarthy, 1979, 1987). Mancur Olson dalam The Logic of Collective Action (1965), menekankan bahwa sistem logika rasionalitas tindakan kolektif gerakan sosial dipresentasikan dalam peranan-peranan faktor objektif tertentu sebagai kepentingan, organisasi, sumber daya, strategi, dan kesempatan dalam setiap mobilisasi kolektif (collective mobilization) skala besar. Menurut Olson, apa yang signifikan untuk dicatat bahwa ada perbedaan mendasar dari konsepsi klasik LeBon dalam, The Crowd, (1987), yang menganggap lelaki dan perempuan adalah bentuk tindakan kolektif crowd sebagai individual yang irasional. Dan yang kemudian lebih maju dalam konstruksi George Rude dan E.P. Thompson tentang crowd dalam sejarah, merupakan sangat berbeda pada situasi para aktor dalam gerakan sosial kontemporer (GSB). Dalam konteks ini lanjut Olson, individuindividu ini dianggap sebagai mahluk rasional yang mampu bernalar dan terampil mengkalkulasi keberhasilan dan 67 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya kegagalan. Kerangka arahan dari rujukan ini secara garis besarnya adalah instrumentasi utilitarian. Utilitarianisme merembesi karya-karya kebanyakan tokoh utama GSB, di antaranya Mancur Olson ini sebagai seorang ekonom yang memiliki pengaruh besar dalam paradigma ini (Rajendra Sing, 2010:135). Agak sedikit berbeda dari pandangan Olson, selanjutnya McCarthy dan Zald 1977, menempatkan peranan semangat entrepreneurship organisasional dalam mobilisasi gerakan sosial kontemporer. Demikian juga, Oberschall 1973; Gamson 1975; C. Tilly et.al 1975; Tarrow 1982, kebanyakan dari mereka ini sulit menerima teori kalkulus individual yang kelewat rasional dari Olson. Sebaliknya, mereka menekankan peran kelompokkelompok solidaritas dengan kepentingan-kepentingan kolektif dalam aksi-aksi kolektif. Oberschall misalnya menyadari bahwa keberadaan variasi non konfliktual dari kolektivitaskolektivitas dalam masyarakat, merujuk pada keberadaan ‘kelompok-kelompok asosiasional’ dalam masyarakat. Kelompokkelompok asosiasional diorganisasikan untuk maksud-maksud non konfliktual. Ada acuan kepada keberadaan kepentingan kolektif dari Charles Tilly, insentif sosial dari Fireman dan Gamson, dan konstituen sadar dari McCarthy dan Zald. Para teoritisi Olsonian ini menawarkan sumber daya kepada kelompok-kelompok aksi kolektif dan merupakan perwujudan non utilitarian dari masyarakat. Tilly, dkk.,dalam The Rebellious Century:(1830-1930), menjelaskan gagasan sentralnya tentang keberadaan kepentingan kolektif, sepakat bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat mempengaruhi gerakan sosial. Pergeseran utama dari struktur kekuasaan lokal ke nasional membawa akibat kepada organisasi dan bentuk gerakan sosial. Berdasarkan data sejarah yang dikumpulkan mereka membantu memperkuat perdebatan ini dan memberikan pembenaran bagi asumsi bahwa paradigma rasionalistik 68 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya gerakan sosial mengoperasikan pra anggapan munculnya ekonomi kapitalistik dan negara bangsa. Mereka menolak kegagalan tesis sosial dan menolak habis gagasan Durkheiman dan Smelserian bahwa transformasi struktural utama mengarah ke kekacauan sosial. Menurut mereka yang meragukan adalah apakah diskontinuitas dengan sendirinya melahirkan anomia dan apakah anomia dengan sendirinya melahirkan kekacauan individual atau kolektif (Charles Tilly, et.al, 1975:6). Tilly dan kawan-kawannya, kemudian menjelaskan bagaimana transformasi ekonomi, urbanisasi dan formasi negara membangkitkan pergeseran karakter gerakan dan aksi sosial, reorganisasi kehidupan sehari-hari mentransformasikan karakter konflik (Charles Tilly, et.al, 1975:86). Tilly dan kawankawan menggunakan frasa “repertoire aksi” untuk merujuk bentuk spesifik, metode dan cara ekspresi perilaku dari aksi kolektif. Ia menujukkan bagaimana perubahan dalam kehidupan harian, dalam populasi, lingkungan ketetanggaan; perubahan yang mengundang migrasi dari desa ke kota, pergeseran di medan kekuasaan dan sistem ekonomi, telah mengganti solidaritas komunal (gemeinschaft) menjadi solidaritas asosiasional (gesselschaft). Perubahan tertentu telah merubah medan pertemuan komunal, dari pasar malam, festival, pasar lokal, dstnya menjadi seruan disengaja atau undangan pertemuan dari dan oleh oganasisasi. Dengan demikian Tilly dkk, seperti Rude (1964) menemukan perubahan-perubahan dalam sifat mobilisasi kolektif. Konsepsi transformasi kerumunan dari bentuk pra industri menggambarkan perubahan repertoire aksi kolektif di abad XVIII. Kualitas letupan aksi kolektif juga berubah, dari kerusuhan soal makan, pemberontakan pajak, dan permohonan kepada otoritas paternalistik ke repertoire aksi kolektif abad XIX yang ditandai oleh demonstrasi dan pemogokan. Tilly dalam karya solonya, From Mobilization to Revolution (1978), menjelaskan dinamika repertoire aksi kolektif ini, dengan 69 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya mengeksplorasi bagaimana perang terhadap pengumpulan pajak pada abad kedelapan belas mendapat dukungan langsung dari kaum golongan kaya dari berbagai gabungan kelembagaan pada negara nasional yang modern. Tilly menemukan bahwa, dalam negara nasional, sebuah gerakan mengambil rupa-rupa baru, dan bentuk-bentuk perlawanan memiliki target pencapaian yang bersifat lebih nasional, dan tidak menyerupai sebagaimana bentuk-bentuk protes yang selalu terjadi sebelumnya. Dengan demikian menurutnya, kerusuhan pangan atau kekurangan bahan makan seperti roti misalnya, telah membuka jalan bagi munculnya berbagai asosiasi yang lebih terstruktur bagi perlawanan rakyat (Jackie Smith dan Tina Fetner, 2007:13). Demikian, pembacaan kita terhadap para teoritisi yang berada dalam garis pemikiran Olsonian ini, di samping variasi internal dalam hal fokus dan detail, pada dasarnya bahwa pandangan mereka mengedepankan sekumpulan gagasan sentral tentang pendekatan studi gerakan dan aksi kolektif dalam kerangka logika interaksi strategis dan kalkulasi cost~benefit. Donatella della Porta dan Mario Diani dalam Social Movement An Introduction, (1999), menilai bahwa mobilisasi sumber daya merupakan sebuah gerakan kolektif yang sifatnya perpanjangan dari bentuk aksi politik konvensional, di mana para aktor yang terlibat dalam gerakan bertindak secara rasional, mengejar target dan kepentingan mereka, gerakan “pengusaha” organisasi memiliki peran penting dalam mobilisasi sumber daya kolektif yang dibangun dalam tindakan. Fireman dan Gamson dalam, Utilitarian Logic in the Resource Mobilization Perspective (1979), dan Craig J. Jenkins dalam Resource Mobilization Theory and the Study of Social Movement, (1983). Mereka menjelaskan bahwa terjadi dominasi yang kian dangkal dari budaya industrial modernis yang menaungi benak Amerika. Lahirnya kelompok-kelompok 70 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya solider, komunitas-komunitas, kelompok informal, kekariban, kelompok-kelompok utama dan formasi dari apa yang disebut McCarthy dan Zald sebagai konstituen sadar, merupakan jenisjenis aksi kolektif yang tidak bisa dijelaskan dalam kerangka utilitarian rasional dan dalam kerangka ketrampilan tindak memilih individu-individu sebagaimana disiratkan oleh teori mobilisasi sumber daya. (lihat Fireman, B dan W.A Gamson, (1979) ; juga Jenkins, Craig, J, (1983). Singkat kata, maka ketiga tokoh ini kurang begitu sependapat dengan voluntarisme yang agak berlebihan (hyper) dari teori mobilisasi sumber daya dalam fokus sentralnya, didasarkan pada sebuah sistem relasi sekumpulan asumsi yang terjalin secara aksiomatis. Demikian yang dikatakan Donatella della Porta dan Mario Diani menilai, bahwa gerakan ini dianggap sebagai bagian dari proses politik yang normal. Gerakan yang menekankan hambatan-hambatan eksternal dan mencari peluang-peluang yang menguntungkan organisasi, memformulasikan berbagai potensi sumber daya untuk dimobilisasi, perluasan jaringan gerakan sosial pada sekutu elit mereka, dan berbagai taktik atau strategi yang digunakan masyarakat untuk mengontrol atau menggabungkan tindakan kolektif, beserta hasil yang ingin dicapai. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berusaha mereka jawab adalah berhubungan dengan evaluasi biaya dan manfaatnya partisipasi dalam organisasi gerakan sosial tersebut (Donatella della Porta dan Mario Diani, 1999:7). Atas kekurangan paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm) yang sangat utilitarian~materialisme dan hyper voluntarik (voluntarisme berlebihan), maka paradigma yang lebih adekuat muncul di Eropa. Paradigma ini disebut berorientasi identitas yang lebih menekankan basis perspektif mereka pada peranan identitas yang melandasi semangat individu dalam suatu gerakan. Para teoritisi yang berada di dalam garis utama pemikiran ini adalah Pizzorno, (1978,1985), kemudian seorang akademisi 71 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya model identitas murni yaitu Jean Cohen, (1985), termasuk juga kalangan akademisi post~Marxis seperti Laclau dan Mouffe, (1985), hingga ke warna baru pemikiran tentang GSB dalam sentralitas perspektif postmodern yakni Alain Touraine, (1981, 1985, 1987). Sebagai perbandingan secara umum, paradigma mobilisasi sumber daya yang sentralitas pemikirannya terletak pada rasionalisme dan materialisme, maka paradigma berorientasi identitas memusatkan perhatian mereka pada fenomena gerakan yang cenderung bersifat non materialistik, namun lebih pada perilaku yang ekspresif. Karenanya, maka dalam konteks pemikiran ini, paradigma berorientasi identitas mengajukan asumsi dan mengurai pokok pertanyaan mendasar seputar pada masalah integrasi dan solidaritas. Gerakan menurutnya, tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain. Demikian juga para anggotanya dilihat sebagai makhluk subyektif. Walaupun paradigma model identitas mempertanyakan masalah integrasi dan solidaritas, teori ini tidak menemukan relevansi konsep Durkheimian tentang anomia, dan kegagalan ataupun pengertian Smelserian tentang tegangan, konsleting, keyakinan tergeneralisir dan seterusnya untuk menjelaskan perilaku kolektif. Penyimpangan sosial sebagaimana disiratkan oleh istilah anomia atau kegagalan sosial, nyaris tidak menawarkan sebuah jendela pada berbagai dimensi gerakan sosial (Rajendra Singh, 2001:145). Paradigma berorientasi identitas, mencoba kembali memahami tampilan-tampilan dan formasi-formasi gerakan sosial baru (GSB) yang terjadi pada dinamika masyarakat kontemporer. Tampilan wajah dan formasi gerakan GSB dapat ditemukan dalam gerakan ekologi (environmentalism) gerakan feminisme, perdamaian dan mobilisasi akar rumput, melintasi gagasan kelas dan memotong batas pengkondisian material. Menurut paradigma identitas, para partisipan 72 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya menegaskan aksi-aksi mereka bukan dalam kerangka menjadi pengemban nilai-nilai buruh, melainkan sebagai manusia secara keseluruhan. Ada kesepakatan umum bahwa gerakan berorientasi identitas dan aksi kolektif (collective action) adalah ekspresi pencarian manusia terhadap identitas, otonomi dan pengakuan. Betapa pun terdapat perbedaan pemikiran di kalangan pendukung paradigma ini, misalnya analisis Pizzorno dalam Political Exchange and Collective Identity in Industrial Conflict (1978), mengatakan bahwa logika formasi identitas kolektif melibatkan partisipasi langsung para aktor dalam aksi kolektif. Identitas menurutnya tidak bisa dibentuk melalui partisipasi tak langsung, delegasi atau perwakilan, melainkan produksi identitas melibatkan interaksi kolektif itu sendiri (Pizzorno, 1978:96). Dalam melihat produksi identitas secara langsung dalam kegiatan aksi yang dilakukan, Pizzorno menilai bahwa logika aksi kolektif sebagai ekspresi. Para aktor sosial dalam GSB mencari identitas dan pengakuan melalui aksi ekspresif, melalui tuntutan universalistik dan tak dapat ditawar. Semuanya itu harus dijalani melalui partisipasi langsung berarti pada rentang yang sama para aktor tersebut sudah membangun dan mengakui kolektivitas (seperti perserikatan dan partai-partai politik) dan secara umum menghampiri penggunaan rasionalitas instrumental strategis (sebagaimana diajukan oleh paradigma mobilisasi sumber daya sebelumnya). Partisipasi langsung para aktor pada rentang yang sama mengakui kolektivitas berarti hasilnya tuntutan mereka bisa dinegosiasikan dan karakter partisipasinya jadi terwakilkan dan lebih representasional. Pada kesempatan lain, Jean Cohen dalam Class and Society: The Limits of Marxian Critical Theory (1985), memberikan pandangan yang agak sedikit berbeda menyangkut ciri mendasar GSB yang tidak bersandar pada fakta bahwa aksi mereka ekspresif dan bahwa mereka menyatakan identitas 73 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya mereka. Sebaliknya ia bersandar lebih pada kesadaran mereka akan kapasitas diri untuk menciptakan identitas dan relasi kekuasaan yang terlibat dalam penciptaan mereka (Jean Cohen, 1985:694). Asumsi inilah yang kemudian menjadi sumber perdebatan penting antara Pizzorno dan Jean Cohen, terutama penilaian mereka tentang aksi gerakan sosial GSB, apakah ekspresif dan sebagai ruang untuk menyatakan identitas kolektif yang melakukan gerakan? Menurut Cohen pada dasarnya aksi gerakan sosial (GSB) tidak bersandar pada aksi yang ekspresif serta peryataan identitas kelompok yang melakukan aksi gerakan sosial itu, melainkan bersandar pada kesadaran mereka akan kapasitas untuk menciptakan identitas. Demikian juga menurutnya, bahwa para aktor kolektif kontemporer menilai, penciptaan identitas melibatkan daya tanding soal seputar penafsiran kembali norma-norma, penciptaan makna-makna baru, dan sebuah tantangan untuk konstruksi sosial dari batas-batas antara aksi publik, privat dan domain politis. Oleh karena itu, apabila melihat dari perspektif ini, bahwa model identitas murni Pizzorno tentang aksi kolektif tampak terlampau menyandera dan terlalu sempit rentangannya, cakupannya dan kemampuannya untuk menjelas gerakan sosial baru (GSB) pada konteks masyarakat kontemporer. Selanjutnya pandangan yang agak sedikit lebih terbuka tentang GSB, muncul dari salah seorang sosiolog Perancis yakni Alain Touraine. Dalam menilai GSB masyarakat kontemporer, Touraine berpendapat bahwa unsur pokok dari gerakan sosial adalah aksi (action), yaitu sebuah aksi melawan sistem sosial. Ambisi Touraine, khususnya dalam karya-karya terakhirnya, adalah menunjukkan bagaimana penekanan terhadap aksi semacam ini tidak harus membawa ke voluntarisme dan individualisme. Baik voluntarisme maupun individualisme tidak memberikan wawasan ke dalam subjek aksi (John Lechte, 1994:299). 74 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Dalam menilai GSB, Touraine menekankan pentingnya tindakan sosial, bahwa aksi yang dilakukan individu-individu dalam bentuk gerakan sosial merupakan suatu upaya untuk memproduksi dan mentransformasi struktur dan tatanan sosial yang ada. Dan aksi sosial dalam gerakan sosial ini dilihat sebagai tindakan yang normal menuju pada satu perubahan yang diharap oleh masyarakat. Dalam tulisanya, The Self Production of Society (1973), Touraine menyatakan bahwa masyarakat itu bukan apa-apa selain dari tindakan sosial, karena tatanan sosial itu tidak memiliki jaminan metasosial demi eksistensinya (A.Touraine, 1973:2). Konsep Touraine tentang gerakan sosial, secara umum tidak seperti perilaku kolektif yang selalu reaktif, suatu gerakan sosial adalah suatu kekuatan yang aktif. Pada umumnya gerakan sosial berjuang untuk mengendalikan historisitas. Historisitas menunjuk ke bentuk-bentuk kultural umum dan struktur kehidupan sosial. Jika istilah masyarakat menunjuk ke integrasi sosial, maka gerakan sosial menyarankan adanya tindakan konflik yang menentang integrasi sosial yang sudah ada. Tantangan terhadap integrasi sosial yang sudah ada ini tidak selalu sama dengan suatu krisis masyarakat dan runtuhnya organisasi sosial. Oleh sebab itu, perubahan yang diakibatkan oleh tindakan sosial tidak boleh dilihat sebagai yang bersifat patologis atau yang bersifat disfungsional dalam pengertian Parsons. Apabila dipahami lebih jauh analisis Touraine tentang GSB masyarakat kontemporer, maka harus dipahami dalam kerangka penghubung antara pemahaman diri dengan ideologiideologi yang berkuasa di tengah masyarakat kontemporer dan gerakan sosial. Guna memeriksa penghubung tertentu antar dua elemen dalam analisanya, Touraine mengembangkan penyidikannya dalam tiga tingkatan, yaitu: pertama; sebuah elaborasi representasi sosial, struktural dan kultural masyarakat kontemporer, Kedua; sebuah penafsiran konflik dan tegangan 75 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya yang terlibat alam proses pencarian identitas manusia dan analisanya dalam kerangka rujukan orientasi aksi, Ketiga; Touraine menyadari pentingnya kesadaran individual sebagai ciri spesifik mahluk hidup (Rajendra Singh, 2001:148). Pandangan Touraine dalam The Voice and the Eye, (1981), mendefinisikan gerakan sosial sebagai interaksi berorientasi normatif antara musuh atau saingan, berikut penafsiran yang sarat konflik dengan model kemasyarakatan yang berlawanan dari sebuah medan budaya bersama (A.Touraine, 1981:32). Dalam konteks ini, Touraine melakukan suatu upaya transposisi analisis GSB dari wilayah model identitas murni ala Pizzorno di atas, ke ruang sosial masyarakat sipil. Oleh karena itu, apabila mengikuti pandangan Touraine ini, orang jadi bisa melihat pemaknaan yang berbahaya (terutama oleh model identitas murni Pizzorno) dalam pengertian tumbuhnya tuntutan kelompok-kelompok kebangkitan komunal, sektarian, etnis dan fundamentalis dalam pencarian identitas, otonomi dan pengakuan mereka. Dalam pandangan Touraine, orang mencatat supaya sadar untuk memberikan sebuah kerangka sosiologis untuk mengkaji gerakan. Dalam tulisan kecilnya yang berjudul, Social Movements: Participation and Protests (1987), ia menyatakan bahwa upaya semacam ini menjadi mungkin hanya jika konsepsi gerakan disituasikan tidak dalam kategori psikologisasi murni tentang identitas (Pizzorno) atau dalam rasionalitas pencapaian tujuan utilitarian seperti yang ditampilkan teori mobilisasi sumber daya Olsonian~Oberschall, melainkan pada pusat dari suatu wilayah yang tumpang tindih antara inovasi kultural dan konflik sosial (A.Touraine, 1987:219). Gagasan Touraine yang ia sebut berkali-kali tentang sentralitas gerakan sosial baru, konflik sentral dan prinsip sentral analisa mendekatkannya pada konsep metodologis Max Weber mengenai tipe ideal. Dengan melacak lokasi sentralitas konflik sosial, Touraine bertujuan bukan hanya memberikan sebuah 76 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya pemahaman sosiologis tentang gerakan sosial, melainkan juga mengembangkan tipologi gerakan. Representasi masyarakat yang terkait dengan semacam sentralitas konflik sosial yang khusus dan konflik ini, pada gilirannya, menghasilkan tipologi jenis ideal dari gerakan sosial. Itulah sebabnya Touraine memperlakukan gerakan sosial sebagai agen sosial yang didefinisikan oleh relasi yang sarat konflik (Touraine,dkk. 1987:XV). Dan agensi dari agen, pada gilirannya, tampak mendefinisikan representasi sosial dan kultural masyarakat. Merenungkan sifat GSB, ia memperkenalkan sebuah versi filsafat dari gerakan sebagai sebuah agen dalam sejarah dan kepada agen ini, ia memberikan peran suatu capital subjecthood. 77 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya IV M. Jasper dalam Perkembangan Social Movement Theory Today : Toward a Theory of terakhir Action? (2010), mengata- (state of the art) kan bahwa teori-teori teori gerakan sosial besar gerakan sosial yang sempat muncul atau yang pernah pupuler pada masanya, kini telah dibongkar dan dievaluasi kembali. Di tempat lain, pendekatan yang ada telah menawarkan teori budaya dan tindakan emosional, yang memungkinkan analis untuk membangunnya kembali dari tingkat mikro ke tingkat yang lebih makro secara lebih empiris, bukan dengan cara deduktif dari atas ke bawah. Gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan interaksi di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan pilihan rasional (rational choice) menyadari akan hal ini, tetapi versi mereka memperhitungkan individu sebagai yang abstrak untuk menjadi realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang terkait dengan berbagai tradisi yang mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu (individual action) dan aksiaksi kolektif (collective action) sejak tahun 1960-an, yakni penelitian tentang perlawanan (social resistence), gerakan sosial (social movement) dan tindakan kolektif (collective behavior) berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar tersebut. Dua dari mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan Marxisme, terutama sosiologi makro versi Amerika yang menekankan teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) dan interaksi dengan negara. Kemudian versi Prancis yang berfokus pada tahap historisitas sejarah masyarakat yang terorganisasi pascaindustri dengan citra konflik yang khas. Sedangkan paradigma ketiga berbeda sumber, yaitu asumsi pada level mikro ekonomi. Satu nama terutama yang terkait dengan masing-masing pendekatan yang lebih ambisius seperti misalnya; Charles Tilly, Alain Touraine dan Mancur Olson. 78 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Pada awal abad ini paradigma-paradigma tersebut telah mencapai titik batas kulminasi, oleh karena sejumlah alasan termasuk perubahan sejarah yang terjadi, akumulasi ketidakmenentuan dan kekacauan, keberpihakkan pada pendekatan yang bersifat metaforis, sehingga mengakibat-kan kurangnya semangat untuk segera mengembangkan teori itu pada tingkat yang lebih jauh. Tilly dan Olson sekarang sudah meninggal selanjutnya Touraine (1997, 2009) telah beralih dari studi gerakan sosial dan kembali ke sebuah teori sosial yang lebih umum (makro). Dalam banyak kasus kebanyakan teori besar saat ini merupakan sintesis pemikiran-pemikiran sekolah tua yang dimensinya telah terabaikan. Secara umum, kecenderungan yang dipahami, bahwa model perhatian pada struktur besar (big structures) kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya pada tingkat dasar tindakan sosial (collective action) yang lebih mikro pada tindakan politik. Runtuhnya teori-teori besar yang ambisius itu, bukan berarti akhir dari perjalanan teori gerakan sosial. Namun sebaliknya, kita harus lebih mengupayakan model teori yang sangat sederhana, yaitu melakukan upaya interpretif yang berorientasi pada tindakan (action), yang pernah muncul dalam bayang-bayang mendalam pengaruh dari teoriteori besar tersebut. 1 Perkembangan sesudah strukturalisme (postrukturalis) Pada era tiga puluh tahun terakhir paradigma yang dominan dalam penelitian gerakan sosial di Amerika yaitu paradigma mobilisasi sumberdaya (resources mobilization paradigm), yang kemudian diserap ke dalam teori proses politik (politic proces). Keluhan dan sikap utama para partisipan anggota potensial gerakan telah menurun dan mulai memahami faktorfaktor dukungan pada organisasi seperti; staf profesional, upaya penggalangan dana dan keadaan eksternal seperti sekutu elit dan sumber daya, sebagai pintu yang terbuka dalam 79 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya menimbulkan krisis negara, berkurangnya represi negara dan pada lingkungan politik lainnya. Perspektif organisasi dan struktural ini sangat kuat mempengaruhi sebuah gerakan seperti penekananan pada hak-hak sipil gerakan buruh dalam rangka mengejar keadilan sepenuhnya menyangkut hak-hak sipil warga negara. Tujuan dari suatu gerakan diperhitungkan, dan apa yang mereka perlukan adalah sarana untuk bertindak. Kitschelt (1986), Kriesi (1995), dan lain-lainnya memperkuat konsep peluang politik (political oppurtunity) dalam membatasi karakteristik struktural dari negara, sebagai variabel perbandingan secara jelas dapat dilihat dalam pandangan Eropa Barat dan perbandingannya dengan di Amerika Serikat. Charles Tilly (1929-2008), adalah salah satu kekuatan utama yang berada di balik lintasan sejarah panjang pemikiran ini, sebagaimana contoh dalam penelitian uletnya mengetengahkan gagasan teoritik yang lebih eksplisit. Pada titik mana budaya diturunkan serta pengungkapannya dalam berbagai tindakan atau aksi kolektif, dianggap sebagai rutinas yang umumnya mencerminkan kepekaan moral. Upaya bagaimana memahami dan termasuk tersediannya saluran dalam berbagai seting lokal, yang dapat menghasilkan bentuk lain dari budaya seperti sikap dan tujuan, intuisi moral dan prinsip-prinsip, emosi, dan segala sesuatu yang ditolaknya sebagai individualisme fenomenologis. Kurangnya perhatian pada tujuan dalam studi gerakan sosial yang ada, telah memaksa Tilly mengurangi penekanannya pada arena perjuangan, serta mencegahnya pada isu-isu kegagalan dan keberhasilan. Dalam konteks ini, Tilly hanya memfokuskan pada tindakan (action) namun mengabaikan penekanan pada motivasi dan tujuan yang mendorong sebuah gerakan. Alih-alih teori tindakan yang eksplisit, satu hal yang lebih implisit tampaknya menyiratkan bahwa orang-orang mengejar kepentingan materi mereka (Opp 2009). 80 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Kemudian, sekitar akhir tahun 1990-an, telah berakhirnya kristalisasi paradigma proses politik (McAdam et al. 1996) tetapi juga tidak terlepas dari berbagai kritik. Berbagai kritik teoritis antara lain menyoroti bahwa asumsi pilihan rasional (rational choice) terkadang secara tersembunyi terkubur dalam berbagai model (Opp 2009). Bahwa konsep-konsep seperti sumber daya dan peluang politik (Gamson dan Meyer 1996), selalu digunakan dalam berbagai cakrawala pandangan atau ide struktural yang lebih luas bahkan terkadang selalu agak dilebih-lebihkan penggunaannya (Jasper 1997). Oleh karena itu, bias struktural ini kemudian secara penuh dicegah dalam perhatiannya pada perubahan budaya menyangkut aspek emosi atau kemarahan (Goodwin dan Jasper 1999/2004). Sebagian besar kritik tersebut menyatakan bahwa pendekatan ini mengabaikan pilihan dan keinginan dari sudut pandang aktor (individu), sebagai calon peserta gerakan yang menentukan serta mempengaruhi lahirnya motivasi, yang kemudian menunggu peluang aktor tersebut untuk bertindak. Jadi, dengan demikian, paradigma di atas ini, pada dasarnya tidak ada teori tindakkan (action theory). Selajutnya, sekitar tahun 2001 kritik pun dilancarkan atas karya mereka, yang pada akhirnya membuat McAdam dkk. (2001, h. 42) pun, mengakui empat kekurangan mendasar dalam pendekatan model proses yang mereka kembangkan sendiri, yaitu: Model proses yang dikembangkan lebih berfokus pada hubungan yang statis dan bukan hubungan yang lebih dinamis. Karya ini akan lebih baik jika berfokus pada gerakan sosial level individu (mikro) dan kurang baik dalam dinamika pertentangan yang lebih luas (makro). Secara politik, asal-usul nya relatif terbuka, dari enam puluh orang Amerika lebih menekankan pada peluang daripada ancaman, lebih percaya diri dalam perluasan organisasi sumber daya daripada organisasi defisit yang banyak 81 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya menghasilkan/menimbulkan kesulitan atau penderitaan. Model proses difokuskan pada asal usul pertentangan (konflik) dan bukan sebaliknya pada tahapan kelanjutan gerakan. Dalam konteks ini, bahwa hal yang paling penting dalam sebuah gerakan adalah peluang (oppurtunity) yakni gerakan untuk menuntut hak-hak sipil kewarganegaraan (Jasper 1997). McTeam, menyatakan hal ini terjadi karena mereka sering menyebut diri mereka dan menunjuk ke arah strategi yang lebih terbuka pada perspektif budaya. Mereka mengakui bahwa peluang dan ancaman harus diakui seperti itu oleh para pejuang (anggota gerakan) dan bukannya pada kondisi struktural yang objektif. Mereka mengakui bahwa karya-karya budaya terjadi di sepanjang waktu dan tidak terbatas pada perekrutan banding (meskipun sayangnya yang ditonjolkan pada pembingkaian konsepsi struktur obyektif, ketimbang berbagai mekanisme, di mana makna dari emosi dikembangkan, dipromosikan dan diperebutkan). Oleh karena itu pada akhirnya, mereka mengusulkan untuk menguji tindakan dari semua pemain strategis dan bukan hanya pada aktivis gerakan saja dan bukan pula hanya berhenti setelah orang-orang dimobilisasi, namun berlanjut pada dinamika pertarungan kekecawaan yang lebih luas (Barker 2003; Koopmans 2003; Oliver 2003; Platt 2004; Taylor 2003). Dalam ketergesaan mereka untuk mengembangkan sebuah model yang lebih dinamis, maka McAdam, Tarrow dan Tilly dalam upaya mereka sendiri tidak memberikan kesempatan untuk menggambarkan pada tingkatan yang lebih mikro. Sebuah pendekatan yang lebih diarahkan kepada anggota, dan lebih banyak menjanjikan bagi jangka panjang, terutama untuk melihat potongan-potongan kecil strategi interaksi dari psikologis sosial dan bahkan hal-hal bersifat psikologis seperti: suasana hati, emosi yang spontan, komitmen afektif, pengambilan keputusan heuristik, pembentukan 82 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya identitas, kenangan, perasaan keberhasilan dan kontrol, pemimpin perubahan, kejahatan yang semakin meningkat dan sebagainya. Kurangnya pada perhatian ini sangatlah mengejutkan, mengingat bahwa begitu banyak komponen yang diperlukan sudah dijelaskan oleh psikolog kognitif, ekonom perilaku, analis wacana, sosiolog organisasi dan lain sebagainya (termasuk Oberschall 1973). McTeam menganut pendekatan relasional sebagai cara untuk menolak sebuah metodologi individualisme bahwa mereka didefinisikan sebagai yang melihat realitas ada dalam pikiran individu. Akan tetapi dalam konteks ini, mereka mengabaikan kemungkinan rasionalitas akal bahwa pikiran individu dibentuk melalui interaksi sosial, tetapi kemudian memiliki sebuah realitas independen sebagai bagian dari interaksi yang membawa pengalaman masa lalu sebagai kenangan bersama, kepercayaan, perasaan dan seterusnya, Collins 2004). Hubungan yang terstruktur dan berkelanjutan kemudian membentuk latar belakang dalam proses interaksi. Oleh karena itu, sebuah pendekatan yang lebih strategis akan memeriksa interaksi terlebih dahulu dan kemudian melihat apa yang membawa para pemain ke interaksi, tanpa mengasumsikan dimulainya hubungan (interaksi). Demikian, McTeam (McAdam dllnya 2001, hal. 26) membicarakana tentang mekanisme relasional yang mengubah hubungan antara orang-orang, kelompok dan jaringan interpersonal. Dalam konteks ini sesungguhnya McTeam mengabaikan arti budaya dan emosi yang kaya tindakan strategis. Mereka kemudian menggantikan atau membingkainya dengan istilah yang lebih luas namun secara samar menyebutnya sebagai konstruksi sosial, dalam hal ini akan dipertanyakan siapakah yang melakukan pekerjaan konstruksi? Hal ini yang masih belum jelas. Mereka berbicara tentang penafsiran kolektif, akan tetapi berpikirnya tidak tepat kolektif. Singkat kata bahwa pada akhir hidupnya, Tilly (2003, 2008) dalam teorinya 83 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya mencoba menemukan tempat yang lebih luas bagi budaya, tetapi sebagian besar dengan membuat akibat-akibat yang dihasil oleh struktur (Tilly 2005). Dalam konteks ini, sekali lagi, bahwa kita sangat memerlukan teori tindakan (action theory) (Touraine 1984). 2 Keterbatasan dalam perspektif mikro Setelah Tilly menerbitkan bukunya Vende’e (Tilly 1964) dan kemudian mendefinisikan perspektif proses. Mancur Olson (1932-1998) menerbitkan sebuah buku kecil yang berjudul The Logic of Collective Action yang menerapkan asumsi ekonomi level mikro pada tindakan kolektif. Dalam tindakan kolektif, para aktor yang rasional akan berpartisipasi dalam serikat, gerakan sosial dan revolusi, hanya jika mereka secara pribadi menginginkan atau menghendaki sesuatu dan kemudian mengharuskan mereka untuk berpartisipasi. Dengan tidak adanya dorongan memilih (selective incentives), individuindividu akan memilih bukan karena imbalan, atau menolak untuk berpartisipasi, akan tetapi tercapainya manfaat kolektif. Hanya saja dalam kelompok kecil, di mana para anggota dapat memantau satu sama lain dan rasa malu yang lain berkontribusi, yang pada akhirnya dapat membuat seseorang itu ikut berpartisipasi dalam suatu gerakan. Olson (1965, hal 61) memperkenalkan faktor moral dan emosional, sebagai pengecualian dalam modelnya dengan alasan bahwa motivasi dibalik tindakan seseorang tidak mungkin dapat dibuktikan secara empiris. Hal itu tentu sama saja mustahilnya untuk mendapatkan bukti bahwa seseorang termotivasi oleh kepentingan diri sendiri. Dan memang ahli saraf pemetaan bagian otak menujukan bahwa otak mengaktifkan keinginan altruistik yang berbeda dalam tindakan yang mementingkan diri sendiri. Olson sendiri bersikeras menolak pandangan ini, namun tanpa bukti (seperti Tilly), bahwa kelompok-kelompok penekan yang paling terorganisasi secara 84 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya eksplisit bekerja untuk keuntungan diri mereka sendiri, dan bukan sebaliknya keuntungan bagi kelompok lain. Olson pun kemudian akhirnya mengakui bahwa kelompok yang afektif contohnya adalah keluarga dan solidaritas, mungkin terbaik dipelajari daripada model lainnya. Sejauh kelompok pemrotes memiliki ikatan afektif, seperti kebanyakan model lain, maka model ini dianggap sebagai salah satu model yang lebih adekuat atau memadai dalam studi gerakan sosial. Dalam generasi setelah Olson, banyak muncul gelombang pemrotes baru terhadap teori dan penelitian tentang rasionalitas, yang mencerminkan perluasan dari teori pilihan rasional dan teori permainan, terutama dalam ilmu politik. Banyak yang telah memberikan solusi sebagai jalan keluar bagi hambatan pemikiran yang dikembang saat Olson memformulasikan teori itu. Misalnya sebagai contoh, Lichbach (1995) menawarkan lebih selusin pedoman bagi para aktivis gerakan. Dalam sebuah karyanya yang terbaru, Opp (2009) menyajikan paradigma pilihan rasional sebagai satu-satunya pendekatan bagi studi gerakan sosial dengan teori eksplisitnya pada tindakan umum. Dengan mempelajari secara menyeluruh tradisi-tradisi lain, ia menunjukkan bahwa masuk akal bila sebuah teori tindakan tingkat mikro ditambahkan, yang biasanya sudah ada secara implisit. Dalam kebanyakan kasus, ia menemukan bahwa teori adalah beberapa versi pilihan rasional. Dia mendefinisikan serta menyimpulkan bahwa pilihan rasional yang sangat luas (Opp 2009, hlm 2-3), sebagai preferensi (bagi suatu tujuan atau motif atau keinginan) dari aktor-aktor individual yakni kondisi-kondisi perilaku mereka bahwa tindakan yang berorientasi pada tujuan yakni di mana perilaku tergantung pada kendala atau setara dengan peluang perilaku individu, dan individu pun terbuka untuk memilih atau menentukan berbagai alternatif perilaku dengan memaksimalkan utilitas mereka. 85 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya Dia menambahkan bahwa orang mungkin mencari tingkat kepuasan maksimal, atau mereka melakukan apa yang mereka pikir terbaik bagi diri mereka sendiri dan bukan pada apa yang obyektif (dari sudut pandang orang ketiga yang mahatahu) serta menghasilkan manfaat yang tertinggi. Dengan demikian, jika orang hanya melakukan apa yang mereka pikir terbaik pada saat itu, ini akan membuka peluang bagi segala macam dinamika interpretasi pada emosi (kemarahan) yang membentuk persepsi mereka dan mengejar keuntungan yang ingin diraih. Opp tidak memberitahu kita banyak hal tentang ini, terutama masalah emosi, mungkin karena mereka tampaknya tidak secara ketat merumuskannya gagasan dalam sebuah proposisi yang lebih ilmiah dalam mendukung teori pilihan rasional tersebut (lih. Elster 1999). Namun yang jelas bahwa Opp, mampu menggabungkan identitas kolektif dengan proses kognitif ke dalam sebuah model, sebagai upaya untuk mengatasi dikotomi budaya. Akan tetapi, teori Opp tentang tindakan tidak menjadikan orang agar menjadi lebih egois atau brilian. Tetapi tidak juga menggambarkan mereka sebagai sangat kognitif, sebaliknya mampu menyadari tujuan mereka, dapat mengatur dan memilih keseimbangan yang diinginkan sebagai tujuan mereka. Jika emosi adalah cara pengolahan informasi, yaitu berpikir (dan mungkin berpikir sadar atau setengah sadar), maka Opp menawarkan kepada kita cara yang cukup memadai untuk memasuki dunia mereka. Upaya ini yang kemudian menjadikan Opp tetap berupaya memperluas teori pilihan rasional untuk menggabungkan berbagai masukan dari luar yakni kepentingan-kepentingan material yang obyektif (sebagaimana yang Olson kemukakan yakni sebagai perjuangan eksistensi) dan kemudian membuat pemikirannya menjadi luar biasa dan tidak informatif. Singkat kata, Opp membuka jalan penyelidikan yang lebih berguna, mungkin dalam waktu jangka panjang dapat memberikan kita hasil yang lebih memadai dalam memahami gambaran tentang aksi atau tindakan. 86 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya 3 Menuju ke sebuah arti atau makna Tak pelak lagi bahwa pendulum inteletual telah berayun dari struktur besar paradigma sejarah kembali menuju kreativitas pada lembaga, makna budaya, emosi dan dunia moralitas yang oleh Tilly ditolak sebagai fenomenologi. Aksi sebagai lawan dari struktur, hal-hal yang kecil sebagai lawan dari hal-hal yang besar (Goldfarb 2006). Namun pendulum tidak datang kembali ke tempat yang sama hanya cukup dengan satu ayunan. Alih-alih kembali ke fenomenologi Husserl dan Merleau Ponty, bahwa perkembangan saat ini adalah menempatkan arti dan tujuan secara tegas dalam konteks sosial, dalam arena kelembagaan dan bentukbentuk jaringan sosial serta interaksi sehingga dalam hal ini pemikiran strukturalis sangat penting. Oleh karena itu, sistesis pemikiran para teoretisi seperti Touraine, Giddens, Bourdieu, dan Habermas mulai diperhatikan, oleh karena itu, dengan keberhasilan yang lebih besar atau kurang dalam satu dekade 1970-an dan 1980-an, efek riak mereka ini mulai muncul dalam studi gerakan sosial berikutnya. Demikian juga teori budaya sering membingungkan, sebagai upaya untuk memutuskan hubungan dengan paradigma organisasi dan struktural. Pada awal tahun 1986, Snow, Benford dan kolaborator mereka menawarkan kerangka proses sebagai cara untuk memahami makna dalam tindakan. Selanjutnya Melucci 1996, menekankan teori berorientasi identitas kolektif dalam konsep budaya besar sebagai salah satu teori yang berpengaruh sekitar tahun 1990-an, terutama pada generasi para sarjana aktivis (misalnya Gamson 1995; Taylor dan Whittier 1992). Setelah pergantian milenium narasi menjadi konsep populer, seringkali sebagai penegasan kembali yang terstruktur, menghambat sifat makna, didasarkan pada bahasa sebagai model bagi budaya (Davis 2002; Polletta 2006). Demikian juga dalam konteks ini, Jasper sendiri mulai 87 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya berupaya mensintesiskan pendekatan budaya termasuk emosi, dan dalam hal ini ia juga mendefinisikan budaya sebagai kognisi, emosi, dan moralitas, bukan sebaliknya pengertian budaya mengacu kepada produk-produk (Jasper 1997, 2007). 4 Pragmatisme Apresiasi yang diperbarui dari filsafat pragmatis dan sosiologi Sekolah Chicago telah menawarkan warisan teoritis secara paralel dalam memikirkan kembali makna suatu tindakan, dan emosi. Dalam upaya terbesarnya, Daniel Cefaı (2007) menggali warisan intelektual yang diturunkan oleh Chicago Park, memilah-milah literatur beragam dari berbagai mode dan tampilan yang banyak diisukan di antaranya mengkaji karya Quarantelli tentang bencana alam dan pengaruhnya pada kerusuhan di AS tahun 1960-an. Dia menunjukkan kekuatan ide Park pada publik, seperti berbagai perlawanan yang muncul dalam berbagai bentuk perilaku massa dalam kerumunan. Dia juga lahir dalam jejak tradisi Chicago melalui peneliti seperti Klapp dan Gusfield, titik pandang konstruksionis berpengaruh tetapi tidak pernah sepenuhnya keluar selama era struktural (juga Turner dan Killian 1957). Tidak setuju atau menolak gagasan bahwa orang banyak tidak rasional, Cefaı menunjukkan bahwa banyak perilaku kolektif terjadi di sekitar gerakan sosial. Ia menggabungkan warisan Chicago dengan pendekatan masyarakat yang diprogramkan, dan melempar akhir masa Chicagoite pada Erving Goffman. Selanjutnya pada Tilly dan Touraine, dia menemukan kesenjangan pemahaman makna yang tidak memadai, ia mengisinya dengan konsep yang bertujuan untuk memahami proses penciptaan makna praktis seperti; wacana, kode, batas-batas moral, identitas kolektif, emosi, ritual, dan sebagainya, termasuk mengarahkan pusat perhatian pada hal yang lebih besar dalam aspek-aspek hukum. Cefaı juga menghadirkan fokus metodologinya tersendiri, dengan 88 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya menyajikan etnografi sebagai cara yang paling tepat untuk memahami situasi di mana manusia bekerja dan mengulangi kembali dunia pemahaman mereka atas kehidupan sehari-hari di sekitar mereka. 5 Kesimpulan Suatu saat nanti, mungkin paradigma struktural pada generasi yang akan datang dilihat kurang berguna lagi, mengingatkan kita bahwa tujuan dari tindakan yang berarti sebanding dengan pencapaian tujuan dan para pemain dalam arena. Kita harus berpegang pada pandangan ini, sebagaimana yang dijelaskan di latar belakang atau bahkan ketika kita kembali ke pertanyaan mendasar yang oleh kebanyakan sarjana dan praktisi ajukan seperti: apa yang orang inginkan? Jawaban dari pertanyaan ini adalah mengarah kepada sebuah tujuan. Dalam hal ini, maka tujuan adalah pusat pendekatan yang strategis sebagai taktik, meskipun dalam pemahaman umum, telah keliru memahami bahwa strategi merupakan instrumen tujuan yang bersifat sementara mencerminkan budaya dan emosi. Kebanyakan para sarjana sepertinya kembali ke masalah motivasi dan akhir dari tindakan, berdasarkan sudut sudut pandang orang-orang, mereka ini mungkin dapat memberikan jawaban yang lebih baik pada masalah irasionalitas yang menjadi konsepsi penjelasan para rasionalis perilaku pada masa lalu. Apakah akhir dari paradigma ambisius ini, berarti kita harus menyerah pada teori? Haruskah kita mengabdikan diri pada tugas-tugas empiris ilmu pengetahuan normal? Haruskah kita membiarkan lapangan gerakan sosial terfragmen ke sub spesialis, sehingga kekhususan gerakan wanita, atau dalam globalisasi, jaringan perekrutan, atau emosi tidak perlu lagi untuk saling berdialog? Apakah tidak ada alasan bagi siswa mobilisasi di Australia belajar dari mereka yang menulis tentang Nigeria? Sayangnya, fragmentasi ini berjalan dengan 89 Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial; Antara Kekuatan dan Kelemahannya baik, akan tetapi ada salah satu cara untuk membalikkan itu yakni melalui debat teoritis dan sintesis. Misalnya, Collins (1998), menunjukkan bahwa perjuangan antara beberapa paradigma yang berbeda adalah situasi bermanfaat bagi disiplin akademik. Artinya, jika kita mengabaikan teori dalam studi gerakan sosial, maka kita akan membuat lebih banyak kesalahan konseptual. Akan tetapi cara yang paling produktif untuk melakukan teori hari ini mungkin untuk menghindari teori-teori besar dan berkonsentrasi pada hal yang kecil. Singkat kata, menurutnya, sebuah teori yang eksplisit tetapi aksi atau tindakan yang realistis agar dapat membantu kita mendapatkan sedikit hal yang benar. 90 Sumber Bacaan Anderson, Perry. 1976. Considerations on Western Marxism. London: New Left Books. Adas, Michael, 1979. Prophet of Rebellion, Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order. USA: The University of North Carolina Press. (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Tohir Effendi, menjadi Ratu Adil, Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa, diterbitkan oleh CV. Rajawali, Jakarta, 1988). Cohen, Jean L. 1985. Class and Society: The Limits of Marxian Critical Theory. Amherest: Massachusett Press. Cohn, Norman. 1961. The Pursuit of Millennium: Revolutionary Millenarians and Mystical Anarchists of the Middle Ages. London and New York: Oxford University Press. Davies, James. 1962. “Toward a Theory of Revolution” American Sociological Review, 27, no.1 (Pebruari). Fireman, B. dan W.A Gamson, 1979. “Utilitarian Logic in the Resource Mobilization Perspective”, in Mayer, N. Zald and J. McCarthy, D (eds), Dynamics of Social Movements. Cambridge: Winthrop. Freud, Sigmund. 1959. Group Psychology and the Analysis of the Ego. New York: Norton (aslinya diterbitkan tahun 1921). Fuchs, Stephen. 1965. Rebellious Prophets; A Study of Messianic Movements in Indian Religions. London. Guur, Ted, Robert. 1970. Why Men Rebel. Princeton, NJ: Princeton University Press. Hoffer, Eric. 1993. The True Believer. (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Gerakan Massa, oleh Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia). Hardgraves, Robert. 1969. The Nadars of Tamilnad. USA: Berkeley. Jenkins, Craig J. 1983. “Resource Mobilization Theory and the Study of Social Movement”, in Annual Review of Sociology, volume 9, pp. 527. Jasper, James M. 2007. ”Cultural Approaches in the Sociology of Social Movements,” dalam Bert Klandermans & Conny Roggeband (eds), Handbook of Social Movements Across Disciplines. Amsterdam: University Department of Social Sciences and Texas A & M University, College Station, Texas. pp.,58, Chapter 3. ........................ 2010. Social Movement Theory Today: Toward a Theory of Action?.Sociology Compass 4/11 (2010): pp.,965976, 10.1111/j.9020.2010.000329.x,.New York: Graduate Center of the City University of New York. Kuhn, Thomas. 1962. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press. LeBon, Gustave. 1897. The Crowd. London: Unwin. Lioyd dan Rudolph, Susanne. 1969. The Modernity of Tradition. New York: Chicago Press. Lechte, John. 1994. Fifty Key Contemporary Thinkers. Routledge: London and New York. (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A. Gunawan Admiranto, 50 Filsuf Kontemporer; dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, diterbitkan Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 2001). McCarthy, John dan Myer Zald. 1987.“Social Movement Industries: Competition and Conflict Among SMOs,”dalam Mayer Zald and John McCarthy (eds.). Social Movement in an Organizational Society. New Brunswick, NJ: Transaction. Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial; Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis. Yogyakarta: Resist Book. Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elit. Yogyakarta: Resist Book. Olson, Mancur. 1965. The Logic of Collective Action. Cambridge: Harvad University Press. Pizzorno, A. 1978. Political Exchange and Collective Identity in Industrial Conflict’, in C. Crouch and A. Pizzorno (eds), Resurgence of Class Conflict in Western Europe Since 1968. Londong: Macmillan. .................... 1985. “On the Rationality of Democratic Choice”, Telos, volume. 63 (Spring). Porta, della, Donatella dan Diani, Mario. 1999. Social Movements: An introduction. USA, New York: Blackwell Publishing. Roy, Singha. 1959. The Crown in the French Revolution. Oxford: Oxford University Press. .................... 1963.”The Study of Popular Disturbances in the PreIndustrial Age”, Historical Studies. (Melbourne), May, PP.45769. Rude, George. 1964. The Crowd in History, 1730-1840. New York: John Wiley and Sons. Rudebeck, Lars. 1992. “Introduction”, in Lars Rudebeck (ed.), When Democracy Makes Sense. AKUT. Sweden: Uppsala University. Ritzer, George dan Goodman, Douglas, J. 2003. Modern Sociological Theory 6th Edition. New York: McGraw Hill. (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh A. Alimandan, menajdi Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam). Ritzer, George. 2008. The Postmodern Social Theory (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Taufik menjadi Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kerjasama Kreasi Wacana dengan Juxtapose Research and Publication Study Club. Smelser, Neil J. 1963. Theory of Collective Behavior. New York: The Free Press of Glencoe. Singh, Rajendra. 2001. Social Movement, Old and New: A PostModernist Critique diterjemahkan menjadi Gerakan Sosial Baru (GSB).Yogyakarta: Resist Book (terj, Indonesia diterbitkan tahun 2010). Smith, Jackie dan Fetner, Tina. 2007. “Structural Approaches in the Sociology of Social Movements”. (lihat Bab 2,. hlm,.13), dalam Handbook of Social Movements Across Disciplines. Bert Klandermans and Conny Roggeband,.(eds,) USA, New York: Springer Science Business Media, LLC 233 Spring Street. Tarde, Gabriel. 1903. The Laws of Imitation. New York: Holt. Touraine, Alain. 1973. The Self Production of Society. Chicago: University of Chicago Press. (diterjemahkan oleh Derek Coltman, dari Bahasa Perancis Production de la societe, Paris, Seuil, 1973). ................ 1981.The Voice and the Eye. New York: Cambridge University Press. ................ 1985. “An Introduction to the Study of Social Movements”, Social Research, vol. 52, no. 4, pp. 749-87. ................ 1987.“Social Movements: Participation and Protests”, Scandinavian Political Studies, volume 10, no.1 pp. 125. Tilly, Charles. Louse Tilly and Richard Tilly. 1975. The Rebelious Century, 1830-1930. Cambridge: Harvard University Press. Tilly, Charles. 1978. From Mobilization to Revolution. Reading, MA: Addison Wesley. Thompson, Erward P. 1981. The Making of the English Working Class. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books. Turner, Ralph dan Lewis, Killian. 1987. Collective Behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prenctice-Hall. (aslinya terbit tahun 1957). Zald, Mayer dan Roberta Ash. 1966. Social Movements in Organization: Coup d’Etat, Insurgency, and Mass Movements, “American Journal of Sociology, 1983, January. View publication stats