Uploaded by ndawijaya16

PENYAKIT GBS

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
ASPEK KLINIS DAN PENATALAKSANAAN
GUILLAIN–BARRÉ SYNDROME
Oleh :
dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S
DISAMPAIKAN PADA ACARA ILMIAH
KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/SMF NEUROLOGI FK UNUD / RSUP SANGLAH
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala dengan onset akut
yang merupakan penyakit yang diperantarai oleh sistem kekebalan tubuh yang
menyerang sistem saraf perifer. Guillain–Barré syndrome dikemukakan pada
tahun 1916 oleh Guillain dan Barre yang menjelaskan mengenai karakteristik
temuan cairan serebrospinal (CSS) dimana ditemukan peningkatan konsentrasi
protein namun tanpa disertai dengan kenaikan jumlah sel pada dua prajurit
Perancis yang mengalami kelemahan.1
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat
menyerang semua umur. Angka kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika
Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-lakidan wanita 3 : 2. Beberapa infeksi terlibat dalam perkembangan GBS. Sekitar
dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala gastrointestinal
telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala GBS. Bukti yang
paling kuat adalah pada infeksi Campylobacter jejuni, namun GBS juga
dilaporkan pada infeksi berikut yaitu Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus
influenzae, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr.1
Guillain–Barré syndrome menyebabkan paralisis akut yang dimulai dengan
rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke
empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat
bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama
sekali.2,3 Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat.1,2
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi
getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia
pada ekstremitas bawah.3 Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai terutama pada
anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari
50% anak - anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.2,3 Di
samping itu, kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi,
aritmia bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan
kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30% dari pasien.1,3
Makalah ini dibuat untuk mempelajari aspek klinis dan penatalaksanaan GBS
lebih rinci sehingga dapat memberikan wawasan bagi pembaca dan penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi dan Etiologi
Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala yang merupakan suatu
kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan
saraf tepi dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia
dari saraf motorik yang sifatnya progresif.2,4 Guillain-Barré syndrome ini
memiliki beberapa subtipe yaitu:4
1.
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan
patologi klinis demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat dipengaruhi
baik oleh mekanisme humoral ataupun imun seluler. Gejalanya bersifat
progresif dengan kelemahan tubuh yang simetris dan terdapat hiporefleksia
atau arefleksia.
2.
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya antibodi
yang terbentuk dalam tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a,
GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai
adanya proses demielinisasi. Berhubungan dengan infeksi Campylobacter
jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.
3.
Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki mekanisme
yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses degenerasi aksonal
sensoris, sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.
4.
Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana antibodi
imunoglobulin G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller
Fisher syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang memiliki gejala
yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia dan arefleksia. Selain itu
juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang
terjadi pada 50% kasus.
5.
Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana
kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala otonom khususnya
pada kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus
ini.
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya
mielin, material yang membungkus saraf. Hilangnya mielin ini disebut dengan
demielinisasi. Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf
tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. Guillain–Barré syndrome
menyebabkan inflamasi dan destruksi dari mielin dan menyerang beberapa
saraf.2,4
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit
autoimun.2 Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu neuropati inflamasi yang
disebabkan oleh reaktivitas silang antara antigen dan antibodi saraf yang
disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu organisme menular, seperti C. jejuni, yang
memiliki struktur dinding bakteri yang mirip dengan gangliosida. Molekular
mimikri ini akan menciptakan antibodi anti-gangliosida yang akan menyerang
saraf.
2.2
Manifestasi Klinis
Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan inflamasi yang
terjadi. GBS dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah multifokal dari infiltrasi
sel monuklear pada saraf perifer. Pada subtipe AIDP (Acute inflammatory
demyelinating polyradiculopathy), mielin lebih dominan mengalami kerusakan,
sedangkan pada AMAN (Acute motor axonal neuropathy), nodus ranvier
merupakan target inflamasi.5
Guillain–Barré syndrome menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan
rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke
empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat
bilateral. Badan, bulbar, dan otot respirasi mungkin saja terkena. Pasien mungkin
tidak dapat berdiri atau berjalan. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian
menghilang sama sekali.6 Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari
ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari
maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf
motoris ini bervariasi pada masing-masing individu, mulai dari kelemahan sampai
pada quadriplegia flaksid.6,5
Kelemahan lanjut yang dapat terjadi yaitu melibatkan otot-otot respiratorik
dan sekitar 25% pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Umumnya,
kegagalan respirasi terjadi pada pasien dengan progresi gejala yang cepat,
kelemahan anggota gerak atas, disfungsi otonom, atau kelumpuhan bulbar.
Kelemahan biasanya mencapai puncak pada minggu kedua, diikuti dengan fase
plateu dengan durasi yang bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau stabilisasi
dengan gejala disabilitas sisa. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus,
biasanya meliputi kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan
tersebut dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan
yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy.6,5
Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris namun kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya
proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa
parestesia dan disestesia pada ekstremitas distal. Gejala sensoris ini umumnya
ringan, kecuali pada pasien dengan GBS subtipe AMSAN (Acute motor-sensory
axonal neuropathy).5,6
Rasa nyeri dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi
terutama pada anak. Nyeri dirasakan terutama saat bergerak terjadi pada 50 – 89%
pasien GBS. Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat, dalam, seperti aching
atau crampin/kaku pada otot yang terserang, sering memburuk pada malam hari.
Nyeri bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik. Rasa sakit ini biasanya merupakan
manifestasi awal pada lebih dari 50% pasien yang dapat menyebabkan diagnosis
GBS menjadi tertunda.5,6
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Gejala otonom terjadi pada dua per tiga pasien dan meliputi instabilitas tekanan
darah (hipotensi atau hipertensi), takikardia, aritmia jantung bahkan cardiac
arrest, ortostasis, facial flushing, retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan
motilitas gastrointestinal. Hipertensi terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.5,6 Gejala-gejala tambahan yang biasanya
menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi,
konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas
dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).6
Tabel 1. Gambaran klinis dan patologis subtipe GBS5
Subtipe
AIDP
(Acute
inflammatory
demyelinating
polyradiculopathy)
Gambaran patologis
Demielinisasi perifer multifokal, remielinisasi yang lambat,
mekanisme humoral dan seluler
-
Gambaran klinis
Subtipe yang paling sering terjadi
(lebih dari 90% pasien GBS di
Amerika Serikat)
Kelumpuhan simetris dan progresif
Hiporefleksia atau arefleksia
AMAN (Acute
motor Axonal
Neuropathy)
Antibodi
antigangliosida GM1,
GD1a, Ga1Nac-GD1a, GD1b pada aksonsaraf
motorik perifer; tidak
ada demielinisasi
-
-
AMAN meliputi sekitar 5-10% kasus
GBS.
Berhubungan erat dengan infeksi
C.jejuni; lebih sering terjadi saat
musim panas, pada pasien-pasien
muda dan China atau Jepang.
Kelemahan tungkai dan lengan yang
bersifat simetris, onset akut/subakut
Hanya gejala motorik yang hilang
Refleks tendon dalam dapat tidak
muncul (arefleksia difus)
Kelemahan otot orofaringeal dan
fasial
Insufisiensi respirasi
AMSAN (Acute
motor-sensory
axonal neuropathy)
Mekanisme menyeru- pai neuropati axonal motorik akut, namun dengan
degenerasi
aksonal sensorik.
-
Quadriparesis akut
Arefleksia (kehilangan refleks)
Kehilangan fungsi sensoris bagian
distal
(lebih
mendominasi
dibandingkan AMAN)
Insufisiensi respirasi
Miller Fisher
Syndrome
Demielinisasi,
antibodi IgG melawan
gangliosida
GQ1b,
GD3, dan GT1a
-
Jarang (3% GBS di Amerika serikat)
Optalmoplegi bilateral
Ataksia
Arefleksia
Kelemahan fasial, bulbar (50% kasus)
Kelemahan badan dan ekstremitas
(50% kasus)
Acute autonomic
neuropathy
Mekanisme tidak jelas
-
Subtipe yang paling jarang
Gejala
otonomik,
terutama
kardiovaskuler dan visual
Hilangnya sensoris
Penyembuhan lama, dapat inkomplit
-
-
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat
difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk
yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot
interkostal. Tanda rangsang meningeal seperti tanda kernig dan kaku kuduk
mungkin dapat ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinski umumnya
negatif.6,7 Secara lebih ringkas, subtipe dan gejala GBS dapat dilihat pada Tabel 1.
2.3
Pemeriksaan Penunjang
2.3.1 Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil
umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal,
haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis
polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit
cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat
terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Dapat dijumpai
respon
hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG,
IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan.8,9,10
2.3.2 Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya kenaikan
kadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh
Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi sitoalbuminik,
yakni meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada
kebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah
beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis
mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya
pada 4-6 minggu setelah mulainya gejala klinis. Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di
bawah 10 leukosit mononuklear/mm.8
2.3.3 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada
minggu pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%),
perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan
konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai
otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan
konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni,
prolongasi masa laten motorik distal yang menandai blok konduksi distal dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F yang menandakan keterlibatan
bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS.
Degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi yang dapat dijumpai 2-4 minggu
setelah awitan gejala telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang
tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan
yang lambat
dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih
panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.11
2.3.4 Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi multifokal. Pada fase
lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demielinasi ini akan muncul bersama dengan
demielinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat. Saraf
perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf
motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root,
saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel limfosit dan sel
mononuklear lain juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan
organ lainnya.10,11
2.3.5 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari
ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan penebalan
pada radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya
penebalan radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier darahsaraf. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83%
untuk GBS akut.
10,11
Akan tetapi, pasien dengan tanda dan gejala yang sangat
sugestif mengarah ke GBS sebenarnya tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosakral.
MRI lumbosakral dapat digunakan sebagai modalitas diagnostic tambahan,
terutama bila temuan klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar.11
Gambar 1. Gambaran MRI lumbosakral pada pasien perempuan 39 tahun dengan
GBS dan SLE, potongan sagital dan aksial menunjukkan herniasi diskus T12-L1
yang menyebabkan kompresi minimal pada conus medullaris11
2.3.6 Pemeriksaan lain
Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah Elektrokardiografi
(EKG) yang biasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan
yang ditemukan tidak diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum Kreatinin
Kinase biasanya normal atau meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau
pengukuran kapasitas vital paru biasanya menunjukkan adanya insufisiensi
respiratorik yang sedang berjalan (impending). Intubasi dan mekanisme ventilasi
harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada dibawah 15 mL/kg/BB atau
tekanan oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg. Biopsi otot tidak
diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat
adanya denervation atrophy.10,11
2.4 Diagnosis
Diagnosis GBS terutama ditegakkan dari temuan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yakni:8
2.4.1 Fase Progresif
Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua sampai tiga minggu sejak
timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal sebagai “titik nadir”.
Pada fase ini timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik.
Derajat keparahan gejala bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang
muncul pada penderita. Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi
menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang
permanen.
2.4.2 Fase Plateau
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan.
Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan
otot dan sendi. Keadaan umum penderita sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam
memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Pengawasan terhadap tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis perlu dilakukan dengan rutin.
Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan;
beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan,
sebelum dimulainya fase penyembuhan.
2.4.3 Fase Penyembuhan
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
menghancurkan mielin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf
yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien
lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang
terjadi pada fase infeksi.
Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan fase, kriteria
diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan untuk diagnosis
GBS; meliputi gejala utama, gejala tambahan, pemeriksaan CSS, pemeriksaan
elektrodiagnostik, dan gejala yang menyingkirkan diagnosis.10,11
a. Gejala utama
1)
Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas
dengan atau tanpa disertai ataksia
2)
Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
b. Gejala tambahan
1)
Progresivitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, 90% dalam 4 minggu.
2)
Biasanya simetris
3)
Adanya gejala sensoris yang ringan
4)
Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot
bulbar,kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau
saraf otak lain.
5)
Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
6)
Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
7)
Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah progresivitas
berhenti. penyembuhan umumnya fungsionil dapat kembali
c. Pemeriksaan CSS
1)
Peningkatan protein
2)
Sel MN < 10 /µl
d. Pemeriksaan elektrodiagnostik
1)
Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
e. Gejala yang menyingkirkan diagnosis
2.5
1)
Kelemahan yang sifatnya asimetri
2)
Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten
3)
Sel PMN atau MN di dalam CSS > 50/ul
4)
Gejala sensoris yang nyata
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan: 9,10
a. Miastenia gravis akut: Tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun
terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS
tetap kuat, sedangkan pada miastenia, otot mandibula akan melemah setelah
beraktivitas serta tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
b. Thrombosis arteri basilaris: Dapat dibedakan dari GBS dimana pada GBS,
pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F;
sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis
Babinski.
c. Paralisis periodik: Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan
otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia. Pada GBS, terdapat paralisis
umum yang mendadak dan boleh menyebabkan paralisis otot respirasi.
d. Botulisme: Didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng
yang terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan diplopia, disertai dengan pupil
yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi
pada pasien GBS.
e. Tick paralysis: Terjadi paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan;
umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu yang menempel
pada kulit.
f. Porfiria intermiten akut: Terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak,
namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum
asam aminolevulinik delta. Pada GBS, terdapat keterlibatan paralisis otot
respirasi, namun hasil pemeriksaan urin dalam batas normal.
g. Neuropati akibat logam berat: Umumnya terjadi pada pekerja industri dengan
riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GBS.
h. Cedera medula spinalis: Ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat
lesi dan paralisis sfingter. Gejala hampir sama yakni pada fase syok spinal,
dimana refleks tendon akan menghilang.
i. Poliomielitis: Didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal,
yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
j. Mielopati servikalis: Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan
pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang
muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam
pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.
2.6
Penatalaksanaan
Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan penyakit
GBS. Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh dengan sendirinya.
Pengobatan yang diberikan lebih bersifat simptomatis. Tujuan dari terapi adalah
untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses
penyembuhan penderita. Meskipun dikatakan sebagian besar dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan yang lama dan juga masih
tingginya angka kecacatan / gejala sisa pada penderita, sehingga terapi tetap harus
diberikan.12
2.5.1 Terapi Farmakologi
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa
preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian
kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan secara
signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone secara intravena yang
berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara
signifikan dalam waktu jangka panjang.12, 13 Sebuah studi awal mengemukakan
pasien yang diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk
daripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris dengan
124 pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari
dan 118 pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan pernedaan
antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome yang lainnya.14
Plasmaparesis
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti
autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi nonspesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang
menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat,
minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat.3,14
Dalam studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada
pasien GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu
napas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan
centrifugal blood separators untuk menghilangkan kompleks imun dan
autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh
pasien dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk mengkompensasi
konsentrasi protein yang hilang.1,2 Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan
200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini
lebih memberikan manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama
GBS).14 Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan kateter
double-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pneumothoraks, hipotensi, sepsi,
trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama plasmaparesis penting untuk
memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar. Selain
itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan INR satu
atau dua hari bila ditemukan parameter koagulasi abnormal.14
Imunoglobulin Intravena
Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih menguntungkan
dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan komplikasi
yang sifatnya lebih ringan.14,13 Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon
humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody
dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam.
IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh
makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali
dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam. Dalam
studi ini, mereka membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147
pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg
tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih efektif dibandingkan
plasmaparesis.15 Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada anak
yang dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan dengan
IVIg pada kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi
dapat mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat
diberikan pada penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari.12
Efek samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang
terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian
pertama biasanya dimulai dengan kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30
menit dan ditingkatkan secara progresif 50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150200 cc/jam. Efek samping ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak
nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami
perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat dicegah dengan premedikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu methylprednisone
intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi meningitis neutropenia,
macular hiperemis pada telapak tangan, telapak kaki, dan badan dengan adanya
deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa
anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom hiperviskositas.15
2.5.2
Terapi Suportif
Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga terapi
suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya pasien
GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk
memungkinkan monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang lebih intensif.
Penurunan expiratory forced vital capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan
inspirasi negative dibawah 60 cmH2O mengindikasikan bahwa
pasien
memerlukan intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia. Setelah
duaminggu penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan dilakukannya trakeostomi.
Pasien dengan bed-ridden perlu diberikan profilaksis DVT berupa kaos kaki
kompres atau antikoagulan berupa heparin atau enoxaprin subkutan.14,16,17 Apabila
terjadi kelompuhan otot wajah dan otot menelan, maka perlu dipasang selang
NGT untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi
aktif juga diperlukan menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan lagi
fungsi alat gerak penderita, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan melatih
keseimbangan penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah terjadi masa
penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot penderita.16,17
BAB III
PENUTUP
Guillain–Barré Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun
susunan saraf pusat. GBS merupakan polineuropati akut, bersifat simetris dan
asendens yang biasanya terjadi dalam 1-3 minggu dan kadang sampai 8 minggu
setelah suatu infeksi akut.
Pada sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa
terjadi paralisis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot – otot pernafasan dan
wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter.
Beberapa penelitian menunjukkan beberapa faktor pencetus yang terlibat,
diantaranya infeksi virus, vaksinasi, dan beberapa penyakit sistemik. Manifestasi
klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan
risiko komplikasi pencernaan.
Pemeriksaan penunjang untuk GBS adalah pemeriksaan cairan serebrospinal,
elektromiografi dan MRI. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik, serta prognosis
GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur
pasien. Tatalaksana untuk Guillain–Barré Syndrome meliputi plasmaparesis dan
IVIg serta terapi suportif. Tujuan utama penatalaksanaan GBS adalah mengurangi
gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki
prognosisnya. Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang
lebih baik. Komplikasi yang dapat menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan
aritmia.
Download