Uploaded by amirsyahnoor

PENGERTIAN SAD ADZ-DZARI'AH (1)

advertisement
Makalah Sad Ad-Dzariah
Mata Kuliah:
Ushul Fiqh
Dosen Pengajar:
M. Syahriza Rezkiannor S.Ag., M.H.
Di Susun Oleh
Nama
NIM
Ahmad Irfansyah
180103040245
Nadia Rahmatika Dzulhijah
180103040254
Rizka Yuliana
180103040249
Universitas Islam Negeri Antasari
Ushuluddin dan Humaniora
Psikologi Islam
Banjarmasin
2019
Pendahuluan
Islam mempunyai dua sumber hukum utama yaitu Al-qur’an dan AlHadits. Keduanya memiliki kebenaran yang hakiki didalamnya terdapat banyak
hukum-hukum, hukum-hukum itu ada kalanya diseutkan secara tegas dan jelas
dan ada kalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil dan kaidahkaidah secara umum. Untuk mengetahui hukum-hukum yang bentuknya masih
umum diperlukan upaya-upaya yang sungguh-sungguh untuk menggali hukumhukum didalam nash, upaya-upaya tersebut disebut juga dengan kaidah-kaidah
Ushul Fiqh.
Ushul Fiqh adalah ilmu tentang akidah dan pembahasan-pembahasan yang
dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
dari dalil-dalilnya yang terperinci. Objek pembahasan ilmu ini adalah dalil-dalil
syara’. Ilmu ini diperlukan karena persoalan dalam masyarakat akan terus
bertambah sedangkan hukum dalam Al-qur’an tidak akan bertambah. Namun,
sebenarnya hakikat permasalahan itu telah dijelaskan dalam nash. Oleh karena
itulah Ushul Fiqh hadir untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Untuk
menyelesaikan masalah tersebut Ushul Fiqh mempunyai beberapa metode antara
lain: Ijma’, Qiyas, Istihsan, Saddudz Dzari’ah dan lain-lain.
Dalam makalah ini akan dijelaskan salah satu metode Ushul Fiqh yakni
Saddudz Dzari’ah. Apa itu itu Saddudz Dzari’ah, apa dasar hukumnya, apa itu
objeknya, bagaimana kehujjahannya, akan dijelaskan dalam makalah ini.
1
Pembahasan
A. Pengertian Sad Adz-Dzari’ah
Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan
menimbun lubang. Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari dzari’ah yang
artinya “jalan menuju sesuatu”. Sementara menurut istilah dzari’ah dikhususkan
dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemudaratan. Tetapi, pendapat ini banyak ditentang oleh para ulama’ ushul
lainnya, seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu
tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, akan tetapi ada juga yang
dianjurkan. Dengan demikian lebih tepatnya jika dzari’ah itu dibagi menjadi dua,
yakni sad adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath al-dzari’ah (yang dianjurkan).
Sadd adz-dzari’ah juga diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan
larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah (boleh).
Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang
dilarang. 1
Ibnu Qayyim menjelaskan dalil tentang syariat akan sadd adz-dzari’ah:
1. Allah berfirman,
“Dan jangankah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An-Nur ayat 31).
Kaum wanita dilarang memukul-mukulkan kaki, walaupun hal itu
sebenarnya dibolehkan, agar tidak mengundang perhatian kaum laki-laki.
Mungkin aja akibat mendengar suara langkah kaki dan melihat kaum
wanita akan membangkitkan syahwat laki-laki.
2. Rasulullah melarang kaum laki-laki berdua-duaan dengan wanita yang
bukan mahram, walaupun dalam rangka pembelajaran Al-Qur’an. Begitu
pula mereka berdua tidak boleh bepergian bersama, walaupun untuk
1
Moh. Mufid, “Ushul Fiqh Ekonomi dan keuangan kontemporer”,(Jakarta:Prenamedia
group,2018),133-134.
2
menunaikan ibadah haji dan mengunjungi orang lain. Semua itu bertujuan
untuk menutupi celah yang dapat menimbulkan fitnah.
3. Jika shalat dengan kaum laki-laki, kaum wanita dilarang mengangkat
kepala lebih dulu sebelum laki-laki bangkit. Hal itu bertujuan agar mereka
tidak mengambil kesempatan melihat aurat kaum laki-laki yang ada di
balik sarung.
4. Jika pergi ke masjid, kaum wanita dilarang memakai wangi-wangian.
Sebab, wangi-wangian itu dapat menarik perhatian kaum laki-laki. Aroma
semerbak serta dandanan yang menggoda dan mempesona, akan membuat
laki-laki tergoda. Karena itulah, islam memerintahkan kaum wanita agar
tidak berdandan dan memakai wangi-wangian jika ke luar rumah.
5. Seorang wanita dilarang memuji wanita lain di depan suaminya hingga
suami seolah-olah melihat wanita tersebut. Larangan itu juga dimaksudkan
untuk menjauhkan fitnah dan menutup kemungkinan terjadinya kekejian.
Mungkin saja suami akan tertarik hanya dengan membayangkan paras
wanita yang diceritakan istrinya. Sebab, tidak orang mencintai seseorang
hanya dengan mendengarkan cerita, tanpa langsung bertatap muka atau
bertemu dengan orang nya.
6. Allah menyuruh kaum muslimin agar memelihara pandangannya dari yang
haram baginya, walaupun pandangan itu ditujukan pada keindahan
makhluk dan untuk merenungi ciptaan yang Maha Kuasa. Hal itu
ditujukan untuk menutup celah yang dapat membangkitkan syahwat, yang
pada gilirannya alan menggiring seseorang pada perbuatan terlarang.
7. Islam melarang ummatnya duduk-duduk di pinggir jalan, sebab hal itu
mungkin saja dilakukan hanya untuk mengambil kesempatan melihat
orang lain yang bukan mahram. Ketika para sahabat memberi tahu
Rasulullah, bahwa mereka terpaksa melakukan hal itu, lalu Rasulullah
bersabda “Berikan haknya jalan”. Mereka bertanya , ”Apa haknya” dan
Beliau menjawab, “Memelihara pandangan, menahan diri, menyingkirkan
sesuatu yang membahayakan, menjawab salam dan beramar ma’ruf nahi
munkar.”
3
8. Seorang laki-laki dilarang menginap di rumah seorang wanita, kecuali jika
laki-laki itu sudah menikah atau mempunyai hubungan persaudaraan
dengan wanita tersebut. Ini disebabkan menginap di rumah wanita asing
(non mahram) dapat menimbulkan fitnah dan menjadi pemicu terjadinya
perbuatan haram.
9. Islam memerintahkan orang tua memisahkan tempat tidur bagi anakanaknya dan tidak membiarkan anak laki-laki satu tempat tidur dengan
anak perempuan. Sebab, hal itu merupakan celah bagi setan atau iblis
untuk menggoda mereka melakukan perbuatan yang haram, terutama jika
hal itu berlangsung lama. Bisa saja di dalam tidurnya, anak laki-laki
melakukan sesuatu yang tidak disadarinya terhadap anak perempuan.
10. Wanita dilarang bepergian seorang diri tanpa ditemani oleh mahramnya,
sebab jika tidak kemungkinan akan digoda dan diperdaya besar sekali.2
Imam al-Syatibi mendefinisikan dzari’ah dengan melaksanakan suatu
pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu
kerusakan (kemafsadatan). Menurut al-Syaukani, al-dzariah adalah masalah atau
perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada
perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dari pengertian tersebut, dapat kita ketahui bahwa sad-adz-dzari’ah
adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung
kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Dengan kata lain, bisa
dipahami bahwa sad-adz-dzariah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Misalnya, seseorang yang telah
dikenakan kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia
menghibahkan hartanya kepada anaknya, sehingga ia terhindar dari kewajiban
zakat. Hibah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam
syariat islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemashlahatan. Akan
2
Noorsaid Harun, “Manajemen Sekuriti Muslimah”,(Jakarta:Niaga Swadaya,2018),72-
75.
4
tetapi, bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban
zakat maka hukumnya dilarang. Hal ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa
hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibah adalah Sunnah.
Sebagai contoh lain ialah kewajiban mengerjakan sholat yang lima waktu.
Seseorang baru dapat mengerjakan sholat itu bila telah belajar shalat lebih dahulu,
tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini terlihat bahwa
belajar shalat itu sendiri tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah
kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya.
Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana
hukum shalat itu sendiri.3
Dalam pandangan Imam al-Syatibi, ada tiga kriteria yang menjadikan
suatu perbuatan itu dilarang, yakni: 1. Perbuatan yang tadinya boleh itu
mengandung kerusakan, 2. Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan, 3.
Perbuatan
yang
dibolehkan
syara’
mengandung
lebih
banyak
unsur
kemafsadatan.4
B. Pembagian Sad Adz-Dzari’ah
Sad Adz-Dzari’ah dibagi ulama berdasarkan dua segi, yakni dari segi
kualitas kemafsadatan dan segi kemafsadatan yang ditimbulkan.
1. Dzariah Dilihat Dari Segi Kualitas Kemafsadatannya
Imam al-Syathibi berpendapat bahwa dari segi kualitas kemafsadatannya atau segi
kerusakannya, Dzari’ah terbagi menjadi empat macam:
a.
Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan secara pasti
(qathi). Misalnya seseorang menggali sumur didepan rumah seseorang lain
pada malam hari dan pemilik rumah tidak mengetahuinya. Hal tersebut
3
Muin Umar, “Ushuk Fiqh”,(Jakarta:Ditektorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama,1986),160.
4
Moh. Mufid, “Ushul Fiqh Ekonomi dan keuangan kontemporer”,(Jakarta:Prenamedia
group,2018),134.
5
menyebabkan
pemilik
rumah
bisa
marah
ataupun
bahkan
bisa
menyebabkan bahaya bagi pemilik rumah karna terjatuh kedalam lubang.
Hal tersebut sangat jelas keafsadatannya. Oleh karna itu hal ini dilarang
untuk dilakukan. Hukum asal menggali sumur itu boleh namun karna
suurnya digali di depan rumah orang hal tersebut menyebabkan
kemafsadatan bagi orang, oleh karna itulah hukum asal menggali susmur
tadi berubah menjadi terlarang.
b.
Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karna jarang mengandug
kemafsadatan. Misalnya menggali sumur disuatu tempat, hal tersebut bisa
saja menyebabkan orang yang lewat tanpa tahu menanhu tercebur, namun
kemungkinannya kecil sehingga hal tersebut dibolehkan. Misalnya lagi
berjualan suatu makanan yang biasanya tidak memberi kemafsadatn bagi
orang. Hal tersebut masih boleh dilakukan karna kemungkinan
kemafsadatannya kecil atau bahkan bisa dibilang jarang sekali.
c.
Perbuatan yang dilarang itu biasanya atau besar kemungkinan besar
membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual senjata kepada orang
yang akan melakuakan kejahatan. Menjual senjata itu boleh aslanya,
namun karna yang membeli senjata berkemungkinan besar ingin kejahatan
hal tersebut jadi dilarang. Contoh lain seperti menjual anggur untuk
produsen minuman keras. Hal seperti tadi dilarang karna mempunya
dugaan besar akan terjadinya keafsadatan.
d.
Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karna engandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadi kemafsadatan, misalnya jual
beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asla karna tidak kontan.
Namun dalam hal ini ada perbedaan pendapat oleh ulama, ada yang
membolehkan ada yant tidak membolehkan.5
5
Nasrul Haroen , “Ushul Fiqih 1”, (Ciputat:PT.LOGOS Wacana Ilmu, 1997) ,162
6
2. Dzari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim, pembagian Dzari’ah menurut segi kemafsadatan yang
ditimbulkan terbagi menjadi dua6:
a.
Perbuatan yang membawa pada suatu kemafsadatan, seperti meminu
minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu merupakan
suatu kemafsadatan
b.
Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan,
tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik
dengan tujuan yang disengaja ataupun tidak. Perbuatan yang dilakukan
dengan niat kesengajaan seperti halnya seseorang yang menikahi seorang
wanita yang ditalak tiga suaminya dengan tujuan agar suami pertama bisa
kembali menikahi wanita. Perbuatan yang tidak disengaja contohnya
mencaci maki orang tua orang lain, hal tersebut juga mengakibatkan orang
tua yang mencaci dicaci orang yang dicaci.
Kedua macam Dzari’ah ini oleh Ibnu Qayyim dibagi lagi menjadi :
a.
Kemaslahatan suatu pekerjaan itu lebih besar dari kemafsadatan
b.
Kemafsadatan suatu pekerjaan itu lebih besar dari kemaslahatan
Kedua bentuk Dzari’ah itu menurutnya ada empat jenis:
a) Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan, seperti meminu
minuman keras. Perbuatan ini dilarang syara.
b) Pekerjaan pada dasarnya
dibolehkan, tetapi tetapi ditujukan untuk
melakukan suatu keafsadatan.
c) Pekerjaan itu hkunya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk
melakukan
kemafsadatan,
tetapi
biasanya
akn
berakibat
suatu
kemafsadatan, seperti seseorang yang mencela sesembahan orang musyrik
yang diduga keras akn menibulkan ccian terhadap Allah dari mereka.
6
Rachmat Syafe, “Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS”, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010) ,135
7
d) Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi adakalanya perbuatan
tersebut embawa kepada kemafsadatan, seperti melihat wanita yang
dipinang.
C. Pembahasan Ushul Fiqih tentang kehujahan
Dikalangan ualam ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan
kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai dalil syara. Sebagai berikut :
1. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahanya sebagai salah
satu dalil syara alasan mereka menerima ini antara lain:
Firman Allah SWT dalam surah Al-An’am: 108
ِ َّ
ِ َّ ِ
ِ
ۗ ‫س بُّوا ال لَّهَ عَ ْد ًوا بِغَ ْْيِ عِ لْ ٍم‬
َ ‫س بُّوا ا ل ذ‬
ُ َ‫ين يَ ْد عُ و َن م ْن دُ ون ال ل ه فَ ي‬
ُ َ‫َوََل ت‬
ِ
‫ك َزيَّ نَّا لِكُ ل أُمَّ ةٍ عَ َم لَ ُه ْم ثَُّ إِ َلَٰ َرِّبِ ْم مَ ْر ِج عُ ُه ْم فَ يُ نَب ئُ ُه ْم ِِبَا َك انُوا‬
َ ‫َك ََٰذ ل‬
‫يَ عْ َم لُو َن‬
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap
baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Dan dilam hadits Nabi yang diriwayat kan imam Bukhari, Muslim dan Abu
Dawud yang arinya
“ Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang yang melaknat
kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW ditanya, “ Wahai Rasulullah,
bagaiman mengkin seseorang akan melaknat ibu dan bapaknya, Rasulullah SAW
menjawab, “seseorang yang mencaci-maki ayah orang lain, maka ayahnya juga
8
akan dicaci-maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka
orang lain pun akan mencaci ibunya.”7
Oleh karena itu, kedua imam ini menganggap bahwa saddu dzari’ah dapt menjadi
hujjah. Khusunya imam Malik yang dikenal selalu mempergunakan hukumhukum
syara.
Imam
Malik
memakai
saddu
dzari’ah
sama
dengan
mempergunakan masalihul mursalah dan uruf wal adah.8
2. Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah
Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah dapat menerima Sad adz-dzariah
sebagai dali-dalil dalam masalah tertentu dan menolaknya dalm kasus-kasus lain.
Imam Al-Syafi’i, membolehkan seseorang yang karena udzur seperti sakit atau
musafir untuk meninggalkan sholat jum’at dan menggantinya dengan sholay
dzuhur. Akan tetapi, menurutnyalakukanlah sholat jum’at tersebut secara
tersembunyidan diam-diam mengerjakan sholat dzuhur tersebut, agar tidak
dituduh sengaja meninggalkan sholat jum’at.
Ulama hanafiyyah menggunakan sad al-dzariah dalam berbagai kasus
hukum, misalnya, mereka mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa
yaum al-syakk (akhir bulan sya’ban yang diragukan apakah telah massuk bulan
ramadhan atau belum), sebainya dilakukan secara diam-diam, apalagi kalau ia
adalah seorang mufti, sehingga ia tidak dituduh melakukan puasa pada yaum alsyakk tersebut.9
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru beser ushul fiqih Fakultas
Hukum Universitas Kairo, ulama Hanafiyyah dan Syafiiyyah menerima sad aldzariah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau
sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.10
3. Imam Ibnu Qayyim
7
Nasrul Haroen , Ushul Fiqih 1, (Ciputat:PT.LOGOS Wacana Ilmu, 1997) ,167
8
Khairul Umam, dkk, ushul fiqih 1,( Bandung:CV PUSTAKA SETIA, 1998) ,190
Nasrul Haroen , Ushul Fiqih 1, (Ciputat:PT.LOGOS Wacana Ilmu, 1997) ,167
10
Juhaya S. Praja, ilmu ushul fiqih, (Bandung:CV PUSTAKA SETIA, 2010) ,137
9
9
Mengatakan, bahwa penggunaan sadda al-dzariah merupakan satu hal yang
penting sebab mencakup ¼ dari urusan agama. Didalam saddu al-dzariah
termasuk amar(perintah) nahi(larangan).
4. Imam Al-Qarafi
Beliau mengatakan sebagai berikut:
“sesungguhnya dzariah ini, sebagaimana kita wajib menyumbatnya, kita
juaga wajib membukanya. Karena dzari’ah dimakruhkan, disunnahkan,
dan dimudahkan. Dzari’ah adalah wasilah, sebagaiman dzari’ah yang
haram diharamkan dan waskilah kepada wajib diwajibkan, seperti
berjalan menunaikan shalat jum’at dan berjalan menunaikan ibadah
haji.”
Dari uraian tersebut diatas, jelaskan bahwa dzari’ah ini merupakan dasar
dalam ilmu fiqih Islam yang dipegang oleh seluruh fuqaha, tetapi mereka hanya
berbeda dalam pembatasanya. 11
Kesimpulan
11
Khairul Umam, dkk, ushul fiqih 1,( Bandung:CV PUSTAKA SETIA, 1998), 112
10
Sad-adz-dzariah adalah merupakan salah satu metode dalam ushul fiqh
untuk menetapkan hukum, sad-adz-dzariah menetapkan hukum larangan atas
suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang
untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Para ulama membagi Sad Adz-Dzari’ah berdasarkan dua segi, yakni dari
segi kualitas kemafsadatan dan segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkan. Dalil
Al-Quran yang dijadikan sumber kehujjahan adalah Firman Allah SWT dalam
surah Al-An’am ayat 108.
Para ulama berbeda pendapat dalam meyakini apakah dzariah ini bisa
dijadikan sumber hukum ataupun tidak.
Ulama
yang meneria penuh
kehujjahannya adalah Ulama Malikiyah dan Hanabilah, sedangkan ulama
Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah
Daftar Pustaka
11
Haroen, Nasrul, “Ushul Fiqih 1”. Ciputat: PT.LOGOS Wacana Ilmu, 1997
Harun, Noorsaid, “Manajemen Sekuriti Muslimah”,Jakarta: Niaga Swadaya,2018.
Mufid, Moh.
“Ushul Fiqh Ekonomi dan keuangan Kontemporer”,Jakarta:
Prenamedia group,2018.
S. Praja, Juhaya, ilmu ushul fiqih, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010
Syafe, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka
Setia, 2010
Umam, Khairul, dkk, ushul fiqih 1, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1998
Umar, Muin, “Ushuk Fiqh”. Jakarta: Ditektorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,1986.
12
Download