BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak lahir kita tidak dapat hidup sendiri dan mempertahankan hidup tanpa berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memenuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Merujuk pada pengertian Ruben dan Stewart (2005:16) mengenai komunikasi manusia yaitu: Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Maslow (Dalam Mulyana,2001:5-30) menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi diupayakan. Kita mungkin sudah mampu dalam kebutuhan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial,, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah kemudian mengambil keputusan, dan tujuan-tujuan sosial serta hiburan. Ruben dan Stewart, (2005:1-8) menyatakan bahwa Komunikasi adalah fundamental dalam kehidupan kita. Dalam kehidupan kita sehari-hari komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Kita tidak bisa tidak berkomunikasi, tidak ada aktifitas yang dilakukan tanpa komunikasi, dikarenakan kita dapat membuat beberapa perbedaan yang esensial manakala kita berkomunikasi dengan orang lain. Demikian pula sebaliknya, orang lain akan berkomunikasi dengan kita, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Cara kita berhubungan satu dengan lainnya, bagimana suatu hubungan kita bentuk, bagaimana cara kita memberikan kontribusi sebagai anggota keluarga, kelompok, komunitas, organisasi dan masyarakat secara luas membutuhkan suatu komunikasi. Sehingga menjadikan komunikasi tersebut menjadi hal yang sangat fundamental dalam kehidupan kita. Komunikasi merupakan sebuah kebutuhan yang terus berpacu dengan perkembangan zaman. Seiring perkembangan tersebut komunikasi sudah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Media merupakan sebuah alat yang sangat efektif dalam memberikan influence terhadap kehidupan manusia, terkhusus pada zaman modernisasi yang sangat identik dengan era globalisasi. Perkembangan yang signifikan membawa arus besar terhadap kehadiran media di tengah-tengah masyarakat yang tetap setia menanti pembaharuan tersebut. Manusia bagaikan robot dengan karunianya yang senantiasa terhipnotis oleh keberadaan sebuah media. Apabila tidak dipilah maka media dapat menjadi sebuah boomerang termukhtakir yang pernah ada. Di samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering diganti dengan kata mediator menurut Fleming (dalam Haryalesmana,2008:234) adalah penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya. Dengan istilah mediator, media menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar. Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Sadiman (dalam Haryalesmana,2002:6). Salah satu media massa yang sudah sangat lama adalah novel. Menurut Monaco (How To Read A Film, terj: 1981) antara sejarah bentuk seni novel selama tiga ratus tahun dan perkembangan film selama delapan puluh tahun terdapat suatu kesejajaran yang menarik. Kedua-duanya adalah seni populer, yang tergantung dari jumlah penikmat yang cukup besar supaya dapat berfungsi secara ekonomis. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sejarah seni popular yaitu novel sudah ada sejak lama dan bertahan sampai sekarang bahkan semakin berkembang meskipun media massa yang lain terus bermunculan. Heinich, Molenda, Russel (2005:8) menyatakan bahwa : Media adalah saluran komunikasi termasuk film, televisi, diagram, materi tercetak, komputer, dan instruktur. Materi tercetak seperti novel merupakan saluran komunikasi yang tidak memiliki visual tetapi menggambarkan sebuah cerita dengan pencitraan dan penafsiran yang apik. Pemahaman mengenai komunikasi dapat kita telusuri dengan mengarungi novel “The Compass” yang pada setiap Chapter-nya menggambarkan dengan tegas sistem komunikasi tersebut. Meskipun bukan melalui media visual tetapi novel “The Compass” : Perjalanan menemukan diri kita sesungguhnya karya Tammy Kling, John Spencer Ellis berhasil mempengaruhi banyak orang. Dalam novel tersebut diceritakan Jonathan meninggalkan kehidupannya yang mapan di daerah pinggiran kota menyusul tragedi yang mengubah rencana-rencananya bagi masa depan. Dalam keadaan hancur karena kepedihan, dukacita, penyesalan, dan keputusasaan, ia memutuskan untuk mengembara, mencoba menyelaraskan kompas batinnya. Di setiap persinggahannya Jonathan bertemu seseorang yang memberinya pelajaran berharga tentang hidup, yang mengajaknya merenungkan kembali esensi dirinya dan prioritas-prioritasnya, yang membuatnya menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini, bahkan setiap orang yang melintas di jalur hidupnya pun hadir dengan suatu maksud. Sebagai manusia, kita semua terhubungkan oleh cinta, penderitaan, dan kadang bahkan oleh tragedi atau peristiwa yang tidak dapat kita kontrol. Setiap orang meniti perjalanan yang unik, namun tetap terhubungkan oleh berbagai pengalaman dan emosi. Di dalam keterhubungan itulah terdapat kehidupan. “The Compass” adalah metafora perjalanan hidup kita. Melalui kisah Jonathan, buku ini mengajak kita merenungkan kembali hidup kita, keyakinan kita, pilihan dan prioritas dalam hidup kita, serta makna dan tujuan hidup kita. mengubah hidup kita dan memandu perjalanan kita untuk menemukan diri kita yang sesungguhnya. membagikan kearifan tentang autentisitas dan pemberdayaan diri, serta tentang meyakini impianimpian kita. Membantu kita dalam menjalani dan memenuhi tujuan hidup kita. Membawa kita dari posisi saat ini ke posisi yang kita inginkan. Kompas adalah sebuah transformasi kehidupan baru yang akan memandu kita pada perjalanan penemuan diri. Pada inti dari Kompas ini adalah pelajaran khusus tentang sistem kepercayaan dan pemahaman yang benarbenar dalam rangka untuk menjalani takdir. Hanya dengan membawa ransel, Jonathan meninggalkan kariernya, teman, keluarga, dan rumah. Perjalanan dimulai pada sebuah gurun di Nevada, dan melanjutkan ke pegunungan murni Adirondacks, dan kemudian ke sebuah desa abad pertengahan di Rumania, lalu melanjutkanya ke Belanda. Di setiap perjalanan, Jonathan bertemu dengan orang paling penting yang menawarkan pelajaran hidup yang besar, dan dia mulai menyadari bahwa setiap individu ditempatkan di jalur nya karena suatu alasan. Keterhubungan manusia yang satu dengan yang lainnya tidak terlepas dari proses komunikasi yang sangat erat dalam penggambaran cerita dari novel ini. Dimana komunikasi yang tercipta pada setiap moment sangat kuat. Ketika Jonathan terdampar di gurun Nevada dengan ketidak berdayaanya kemudian muncul seorang wanita paruh baya dengan kondisi yang berbanding terbalik dengan Jonathan, dimana Jonathan terlihat sangat lemas dan tidak memiliki tenaga bahkan untuk bangkit dari pijakannya. Wanita ini mendekati Jonathan dan memberikan sebotol air yang kembali menyambung sisa nyawa Jonathan. Wanita tersebut mengajak Jonathan untuk berkomunikasi wanita itu begitu tenang dan terlihat sangat tegar. Sikap wanita tersebut membawa semangat kehidupan bagi Jonathan yang tadinya sudah berfikir akan mati di tengah gurun yang gersang dan tandus. Terkadang cara kita menyikapi suatau masalah dengan sudut pandang yang lain dan cara kita berkomunikasi dengan seseorang akan memberikan pengaruh besar kepada yang lain. Terkhusus apabila sang komuikator memiliki persamaan secara psikologis dengan komunikan. Dalam kasus ini Jonathan dan wanita sama-sama berada dalam situasi yang mencekam terdampar di sebuah gurun luas nan gersang. Percakapan antarpersonal juga terjadi ketika Jonathan bertemu dengan seorang pria tua yang walaupun baru berkenalan terdapat kedekatan yang lebih karena mereka berdua sama-sama seorang pria yang sedang tidak memiliki pasangan pada saat itu. Tetapi pria tua itu adalah sosok pria yang baik, rendah diri dan memiliki beberapa investasi kekayaan dalam bentuk penginapan yang besar dan luas dengan jumlah yang tidak sedikit. Dari pria tua ini Jonathan mendapat kenyataan bahwa hidup sendiri bukan berarti harus merenungi diri tetapi masih ada banyak cara untuk menyikapi hal itu dengan cara yang positif. Banyak yang bisa dilakukan agar ruang kosong tersebut dapat terisi dengan maksimal. Pada tataran ini, novel tidak lahir dari ruang hampa, melainkan ia hadir sebagai refleksi dari latar belakang kehidupan sosio-kultural masyarakat. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh dan mendalam novel “The Compass” sebagai penelitian dengan judul : ANALISIS NOVEL “THE COMPASS” KARYA TAMMY KLING & JOHN SPENCER ELLIS TERHADAP PEMAHAMAN KOMUNIKASI (Studi Analisis Wacana) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka ada 2 rumusan masalah yang ingin dikemukakan, yaitu : 1. Makna-makna apakah yang tersembunyi dan hendak disampaikan dalam novel “The Compass” ? 2. Realitas apakah yang tampak dibalik novel “The Compass” dengan merujuk pada pemahaman komunikasi ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui makna-makna tersembunyi yang hendak disampaikan dalam novel “The Compass”. 2. Untuk mengetahui realitas yang tampak dibalik novel “The Compass” dengan merajuk pada pemahaman komunikasi. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang diharapkan dari adanya penelitian ini antara lain: a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap perkembangan piranti teori komunikasi dalam kaitannya dengan studi mengenai seni populer, novel serta penggunaan analisis wacana. b. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin membahas sebuah novel atau buku. c. Secara praktis, penelitian ini dapat membantu kita mengenai pemahaman komunikasi. bahwa segala sesuatunya saling berhubungan ,dan komunikasi sangat penting untuk menunjangnya. d. Guna memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian akhir yaitu pembuatan skripsi pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. D. Kerangka Konseptual 1. Hegomoni dalam karya sastra Titik awal konsep Gramsci ( 1992:19-20) tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelaskelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemoni (hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam. Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah kelas melakukan tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasi ideologi, tidak hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan pandangan seniman dan intensi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada saat yang bersangkutan (Harjito, 2002:2324). Teori hegemoni Gramsci di atas membuka dimensi baru dalam studi sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem sendiri meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Ada cukup banyak studi sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni tersebut. Media komunikasi bukan hanya terpaku pada media komunikasi massa seperti pada umumnya berupa televisi, radio, dan koran saja. Karya sastra juga merupakan media untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan si pencipta kepada khalayak luas. Pencipta karya sastra bisa menuangkan saran, sindiran, atau informasi lainnya sesuai dengan peristiwa yang biasanya sedang hangat dibicarakan. Novel merupakan salah satu karya sastra yang dapat dijadikan media komunikasi, karena penyajian pesan komunikasinya dengan cara menuangkan pada suatu objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak. Kita dapat mengetahui pesan dari novel tersebut tentunya dari amanat, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Hanya saja saat ini sedikit sekali novel-novel yang dapat memberikan dampak positif bagi pembaca, sehingga pembaca terinspirasi merubah tindak dan perilaku. Novel yang beradar kebanyakan adalah novel yang hanya berkutat pada romansa percintaan. Padahal seharusnya sebuah karya sastra bisa dijadikan media untuk mendidik pembaca. Sebenarnya sebuah karya sastra merupakan media komunikasi persuasif yang baik, karena di dalamnya kita dapat mengungkapkan kejadian atau peristiwa secara kronologis dan sarat akan amanat. Novel yang berujudul “The Compass” karya Tammy Kling & John Spencer Ellis ini ternyata merupakan novel nonfiksi benuansa pengembangan diri. Dari judulnya sudah mencerminkan nuansa tersebut, setelah dibaca ada banyak nilai-nilai kehidupan dan pemahaman komunikasi yang terkandung. Si penulis menuliskan cerita dengan bahasa yang ringan, mengungkapkan cerita pengalaman sang tokoh utama dengan sederhana tetapi dapat menggugah pembaca dengan melihat realitas dalam kehidupan. Bagaimana sebuah novel dapat menjadi media komunikasi persuasif yang baik, tentunya dapat dilihat dari peran penulis (komunikator) dalam mengelola pesan yang disampaikan sedemikian rupa kepada pembaca (komunikan) sehingga dapat menimbulkan sebuah efek. 2. Komunikasi Persuasif Berbeda dengan komunikasi informatif yang bertujan hanya untuk memberi tahu, komunikasi persuasif bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang. Komunikasi persuasif dilakukan dengan halus, luwes, yang mengandung sifat-sifat manusiawi. Agar komunikasi persuasif itu mencapai tujuan dan sasarannya, maka perlu dilakukan perancanaan yang matang. Perencanaan yang dilakukan berdasarkan komponen-komponen komunikasi yaitu komunikator, pesan, media, dan komunikan. Bagi seorang penulis (komunikator) suatu pesan yang akan dikomunikasikan sudah jelas isinya, tetapi yang perlu dijadikan pemikiran adalah pengelolaan pesan dengan bahasa yang baik dan media dalam hal ini berupa novel. Pesan atau amanat dalam novel harus ditata sesuai dengan diri pembaca (komunikan) yang akan dijadikan sasaran. Ada beberapa teknik komunikasi persuasif, yaitu teknik asosiasi, teknik integrasi, teknik ganjaran, teknik tataan, dan teknik red-herring. Dalam sebuah novel biasanya menggunakan teknik asosiasi dan teknik tataan. Teknik asosiasi adalah penyajian pesan komunikasi dengan cara menumpangkannya pada suatu objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak. Sedangkan teknik tataan adalah upaya menyusun pesan komunikasi sedemikian rupa, sehingga enak didengar atau dibaca serta termotivasikan untuk melakukan sebagaimana disarankan oleh pesan tersebut. Penulis karya sastra (komunikator) sama sekali tidak membuat fakta pesan tadi menjadi cacat. Faktanya sendiri tetap utuh, tidak diubah, tidak ditambah, dan tidak dikurangi. Dalam komunikasi persuasif penulis karya sastra (komunikator) harus memperhatikan penyampaian pesan yang dikemas dengan baik. Pesan yang dikemas dengan baik jika, pesan dirancang dapat menarik perhatian pembaca, pesan harus menggunakan tanda-tanda pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga dapat sama-sama mengerti. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak komunikan, dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu. Di era modernisasi ini peran media komunikasi sangat penting untuk menyajikan contoh, persuasi, penerangan, dan pendidik. Tidak hanya terpaku pada media massa saja, karya sastra pun saat ini baik digunakan untuk media komunikasi. Pembaca (komunikan) kadangkala bosan dengan informasi-informasi disajikan di media massa, komunikan ingin masuk ke dunia dimana ia dapat mengetahui informasi dan amanat yang baik tanpa harus menggurui atau memprovokasi. Maka dari itu novel merupakan salah satu media yang dapat menunjang hal tersebut. 3. Proses Komunikasi Teks Sastra Teks sastra dibangun dengan konfigurasi-konfigurasi pesan, gagasan, atau tema yang diungkapkan lewat tanda oleh pengarang yang akan disampaikan kepada pembacanya. Tanda itu sendiri memiliki sistem tersendiri pada setiap karya sastra, di samping itu juga dirasakan adanya kode yang turut mendorong terciptanya karya sastra tersebut. Oleh karena itu, sebuah karya sastra memiliki kekhasan tersendiri, hal inilah yang disebut memiliki tanda yang otonom. Namun sebuah karya sastra juga berperan dan berfungsi sebagai tanda komunikasi. Suatu kualitas teks sastra yang penting adalah kemampuannya menyampaikan informasi yang berbeda kepada pembaca yang berbeda pula. Pertanyaan pertama yang harus dihadapi pembaca dalam suatu situasi pembacaan yang sebenarnya, bukan dengan cara manakah teks tersebut harus “dibongkar”, tetapi dalam bahasa atau dalam kode yang manakah suatu teks “disusun”. Banyak faktor yang menyulitkan pembacaan itu, di antaranya adalah faktor yang berasal dari keberadaan norma-norma dan sistem sastra yang beragam yang digunakan oleh sastrawan pada satu sisi dan pembaca pada sisi yang lain. Dengan kalimat lain, norma sistem sastra yang berbeda antara yang digunakan sastrawan dengan yang digunakan pembaca (Segers, 2000:18–19). Hal inilah yang akan menghambat terjadinya proses komunikasi, sehingga teks sastra itu ditafsirkan dan dipahami dengan tidak wajar. Ketika pembaca membaca sebuah karya sastra tentu yang diharapkan adalah terjadinya komunikasi antara pengarang (melalui teks sastra) dengan pembacanya. Komunikasi yang terjadi memang meniadakan pengarang sebagai komunikator, tetapi komunikator itu telah terwakili lewat karya tersebut. Itulah sebabnya karya sastra itu dapat juga disebut sebagai indeksikal dari pengarangnya. Karya itu tidak tercipta begitu saja tanpa adanya pengarang. Barthes (2001:113) pernah mengatakan bahwa pengarang telah mati, tetapi pada kesempatan lain ia juga mengatakan secara diam-diam pengarang itu turut dalam karya sastranya. Dengan demikian pengarang tidak dapat dihindari sebagai pengirim tanda dalam proses komunikasi sastra. Dieter Janik (dalam Ikhwanuddin,2008:114) mengatakan bahwa ada tiga lapisan komunikasi yang dapat dikenali dalam teks sastra. Lapisan pertama berkenaan dengan hubungan komunikasi antara pengarang, teks, dan pembaca. Lapisan kedua terdiri atas komunikasi antara narator dan pembaca implisit (implied reader, merujuk pada pesan pembaca dalam teks), lapisan ketiga terdiri atas hubungan komunikasi timbal balik antarpelaku dalam teks. Di samping itu Janik juga mengatakan bahwa konsep teks sastra sebagai komunikasi yang dikomunikasikan (Segers, 2000:15). 4. Analisis Wacana Melalui Paradigma Kritis Jargon paradigma dalam ilmu sosial didefinisikan sebagai keyakinan dasar peneliti secara ontologi, metodologi, dan epistemologi. Pemahaman mengenai paradigma adalah hal yang sangat fundamental. Paradigma juga memegang peranan penting bagaimana nantinya peneliti melakukan risetnya, bagaimana ia memandang fenomena, tolak ukuran kepekaannya dan daya analisisnya, termasuk melalui pendekatan analisis wacana. Paradigma mengandung pandangan tentang dunia, cara pandang untuk menyederhanakan kompleksitas dunia nyata. Paradigma memberi gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap mungkin dan sah untuk dilakukan, apa yang dapat diterima akal sehat. disadari atau tidak, peneliti sesungguhnya berjalan dan bersinggungan dalam kerangka epistemologis, ontologis dan metodologi yang memang diyakininya dalam penelitian. Epistemologis menjelaskan bagaimana hubungan antara peneliti yang mencari tahu dengan orang-orang atau fenomena yang diteliti. Sedangkan ontologi adalah interpretasi manusia apa itu realitas dan bagaimana cara mengetahuinya. Sedangkan metodologi adalah cara-cara, teknik atau metode untuk meneliti. Pada dasarnya, Ada tiga paradigma dalam analisis wacana, yaitu positivis-empiris (lazim juga disebut positivisme), konstruktivisme, dan kritis. Pertama, positivis-empiris. Salah satu cirinya adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Inti bahasannya, apakah suatu pernyataan disampaikan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Dengan demikian analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan ayat, bahasa, dan pengertian bersama. Kedua, konstruktivisme. Menolak pemisahan antara subjek dan objek bahasa. Menempatkan subjek sebagai aktor sentral dalam kegiatan wacana. Subjek boleh melakukan kontrol terhadap maksud-maksud yang ada dalam wacana. Ketiga, kritis disini, analisis wacana menekankan pada konstalasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dipandang sebagai subjek yang netral, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di masyarakat. Sedangkan dalam pandangan paradigma kritis bahasa tidak dipahami sebagai medium netral melainkan sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Karenanya, analisis wacana digunakan untuk menguraikan segala sesuatu yang ada di dalam setiap proses bahasa. Wacana di dalam kehidupan media juga memiliki pengertian yang mendalam. Menurut Norman Fairclough (1995), wacana adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari sudut pandang tertentu. Wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Jadi, wacana adalah proses komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain. Teks di dalam media adalah hasil proses wacana media (media discourse) di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan media turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media “tidak netral” sewaktu mengkonstruksi realitas sosial. Media mengikutsertakan perspektif dan cara pandang mereka dalam menafsirkan realitas sosial. Mereka memilihnya untuk menentukan aspek-aspek yang ditonjolkan maupun dihilangkan, menentukan struktur berita yang sesuai dengan kehendak mereka, dari sisi mana peristiwa yang ada disoroti, bagian mana dari peristiwa yang didahulukan atau dilupakan serta bagian mana dari peristiwa yang ditonjolkan atau dihilangkan; siapakah yang diwawancarai untuk menjadi sumber berita, dan lain-lain. Berita bukanlah representasi dari peristiwa semata-mata, akan tetapi di dalamnya memuat juga nilainilai lembaga media yang membuatnya. Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi : teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Pembacaan Teks representasi Teks Relasi Identitas Gambar 1. Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana 2001 Pertama, ideasional yang merajuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks. Analisis ini pada dasarnya ingin melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam teks yang bisa jadi membawa muaran-muatan tertentu. Kedua, relasi, merajuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan diantara penulis dengan pembaca, seperti apakah teks teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. Ketiga, identitas, merajuk pada kontruksi tertentu dari identitas penulis dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan. Discourse Practice Discourse Practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan komunikasi teks. Teks berita diproduksi dalam cara yang spesifik dengan rutinitas dan pola kerja yang telah terstruktur dimana laporan wartawan di lapangan, atau dari sumber berita yang akan ditulis oleh editor, dan sebagainya. Media yang satu mungkin sekali mempunyai pola kerja yang telah ada dan kebiasaan yang berbeda dibandingkan dengan media lain. Sociocultural practice Sosiocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks disini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktik institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu. Misalnya politik media, ekonomi media, atau budaya media tertentu yang berpengaruh terhadap berita yang dihasilkannya, Fairclough (1995:285-289). Ketiga dimensi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Produksi Teks TEKS Konsumsi Teks DISCOURSE PRACTICE SOCIOCULTURAL PRACTICE Gambar 2. Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana 2001 Pada fase pertama, bagaimana teks ditampilkan dengan segala kepentingan yang dikandungnya, termasuk kecurigaan akan ideologi tertentu yang dimuatnya. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan Sosiocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks diluar teks, masyarakat, budaya, politik, dan yang lainnya, Fairlclough (1995:285-289). Dari paparan tersebut, dapat dipahami bahwa Fairclough melibatkan realitas masyarakat yang makro sebagai sesuatu yang sentral dalam model analisis wacananya. Sebagaimana kerangka konseptual yang diusung oleh penulis maka skema penelitian sebagai berikut: Kerangka Konseptual TEKS NOVEL “THE COMPASS” ANALISIS WACANA NORMAN FAIRCLOUGH KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL PEMAHAMAN KOMUNIKASI E. Definisi operasional 1. Sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideologi pengarangnya. 2. Analisis wacana ,adalah metode penelitian bahasa yang memfokuskan pada pengkajian terhadap struktur pesan dan makna yang terdapat dalam sebuah teks dengan melibatkan konteks yang mengiringinya. Analisis wacana berpretensi untuk mengkaji muatan pesan, nuansa, dan makna yang laten dalam sebuah teks pendekatanyang digunakan adalah interpretatif dengan mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. 3. Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Novel merupakan cerita fiksi maupun Nonfiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. 4. Komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”),secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis Dalam kata communis ini memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna. 5. Nonfiksi adalah karya sastra yang dibuat berdasarkan data-data otentik saja, tapi bisa saja data itu dikembangkan menurut inajinasi penulis. 6. Novel The Compass adalah sebuah novel pengembangan diri/nonfiksi yang membantu kita dalam menemukan realitas dari makna hidup yang sebenarnya dengan karakter utama seorang pria bernama Jonathan. F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang memiliki beberapa karakteristik. Penelitian dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh, dengan fokus penelitian pada ‘proses’ bukan pada ‘hasil’. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Artinya, peneliti sendiri secara langsung mengumpulkan informasi yang didapat dari subyek penelitian. Penelitian ini menggunakan perspektif budaya dimana penelitian ini lebih mengutamakan interest pribadi peneliti untuk nilainilai tertentu. Maka keberpihakan menjadi aspek yang sukar untuk dielakkan. Sebab bagaimanapun netralnya sebuah penelitian dirancang, betapapun bebas nilainya sebuah agenda penelitian disusun, tetaplah ia mengandalkan asumsi dan variabel tertentu. Apalagi dalam ilmu sosial yang penentuan asumsi serta variabelnya sangat tergantung dari pengalaman peneliti. 2. Waktu dan obyek penelitian Penelitian ini dilakukan pada akhir bulan Februari, sekitar empat bulan dari bulan Maret hingga Juni . Penelitian dilakukan secara berkala melihat data yang ada harus dicari terlebih dahulu. Penelitian ini berpusat pada sebuah novel karya Tammy kling & John Spencer Ellis berjudul “The Compass” dan terbit pada tahun 2010. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti lakukan berdasarkan kebutuhan analisa dan pengkajian. Pengumpulan data tersebut. Sudah dilakukan sejak peneliti menentukan permasalahan yang sedang dikaji,pengumpulan data yang dilakukan adalah : Penelitian Pustaka (library research), dengan mempelajari dan mengkaji literature yang berhubungan dengan permasalahan, untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dibahas. Pengumpulan data melalui searching di internet yang dapat memberikan banyak referensi untuk bahan penelitian. Pengumpulan data melalui novel “The Compass” itu sendiri kemudian mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian ini. Lalu menafsirkan terhadap pemahan komunikasi dan menjabarkannya. 4. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisa wacana kritis. Dalam hal ini, penulis memakai analisa wacana kritis yang dikembangkan oleh Norman Fairclough. Adapun analisa wacana kritis yang dikembangkan Fairclough, menerapkan tiga tahapan analisis, yaitu pada tingkat mikrostruktur (teks), mesostruktur (struktur serta praktik kerja media), dan makrostruktur (sosial masyarakat). Fairclough, menyadari adanya kesenjangan di antara teks yang sangat mikro dan sempit dengan masyarakat yang luas dan besar, oleh Karena itu ia memasukkan tingkat mesostruktur dalam model analisisnya. Fairclough, menggunakan istilah ‘discourse’ atau wacana yang mengacu pada penggunaaan bahasa lisan atau tertulis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi Komunikasi adalah salah satu dari kegiatan sehari-hari yang benarbenar terhubung dengan semua kehidupan kemanusiaan, sehingga kadangkadang kita mengabaikan penyebaran, kepentingan, dan kerumitannya. Setiap aspek kehidupan kita dipengaruhi oleh komunikasi kita dengan orang lain, seperti pesan-pesan dari orang yang tidak kita kenal, orang-orang dari jauh dan dekat, hidup dan mati. Komunikasi pada dasarnya adalah proses pertukaran pesan (message) dari komunikator kepada komunikan. Komunikasi menjadi lebih luas ketika ia harus memasuki wilayah komunikasi antar pribadi yang terdiri dari: komunikasi intra pribadi dan antar pribadi. Kedua, komunikasi kelompok yaitu komunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok, dan ketiga komunikasi massa yaitu komunikasi yang ditujukan kepada khalayak/publik. Mendifinisikan komunikasi bukanlah hal yang mudah, menurut Theodore (dalam Littlejohn 2011:4) masalah yang ada dalam mendefinisikan komunikasi untuk tujuan-tujuan penelitian atau ilmiah berasal dari fakta bahwa kata kerja ‘berkomunikasi’ memiliki posisi yang kuat dalam kosakata umum dan karenanya tidak mudah didefinisikan untuk tujuan ilmiah. Komunikasi telah diteliti secara sistematis sejak zaman dahulu. Pendapat Frank E.X. Dance menginventarisasikan 126 definisi komunikasi. Frank Dance (dalam Suranto,2011:5) mengambil sebuah langka besar dalam mengklarifikasi konsep kasar ini dengan menggarisbawahi sejumlah elemen yang digunakan untuk membedakan komnikasi. Ada tiga poin dari ‘perbedaan konseptual yang penting’ yang membentuk dimensi-dimensi dasar komunikasi. Dimensi yang pertama adalah ‘tingkat pengamatan’ atau keringkasan. Beberapa definisi termasuk luas dan bebas, yang lainnya terbatas. Perbedaan yang kedua adalah ‘tujuan’. Beberapa definisi hanya memasukkan pengiriman dan penerimaan pesan dengan maksud tertentu, yang lainnya tidak memaksakan pembatasan ini. Definisi ketiga yang digunakan untuk membedakan definisi komunikasi adalah ‘penilain normatif’. Beberapa definisi menyertakan pernyataan tentang keberhasilan, keefektifan, atau ketepatan. Definisi-definisi yang lain tidak berisi penilaian yang lengkap seperti itu. Komunikasi adalah penyampaian informasi. Di sini informasi ‘disampaikan’, tetapi tidak penting apakah informasi tersebut ‘diterima’ dan ‘dipahami’ atau tidak. Komunikasi sangatlah luas, sehingga tidak dapat diikat atau dibatasi dalam sebuah paradigma tunggal. Craig mengatakan bahwa komnikasi merupakan proses utama dimana kehidupan kemanusiaan dijalani. Komuikasi mendasari kenyataan. Bagaimana kita megomunikasikan pengalaman kita sendiri membentuk atau menyusun pengalaman kita. Banyak bentuk pengalaman yang dihasilkan dalam banyak bentuk komunikasi. Cara orang berubah-ubah dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu keadaan ke keadaan lain, dan dari satu jangka waktu ke jangka waktu yang lain karena komunikasi sendiri bersifat dinamis terhadap banyak situasi. Komunikasi melibatkan pemahaman tentang bagaimana orang-orang bersikap dalam menciptakan, menukar, dan mengartikan pesan-pesan. Ada banyak cakupan teori-teori yang mendefinisikan komunikasi dengan cara-cara yang berbeda. Dengan mengembangkan sebuah pemahaman mengenai keragaman teori-teori komunikasi, kita akan lebih dapat membuat perbedaan dalam interpretasi kita mengenai komunikasi, bisa mendapatkan alat bantu untuk meningkatkan komunikasi kita, dan bisa memahami ilmu komunikasi dengan lebih baik. Istilah teori komunikasi dapat mengacu pada sebuah teori tunggal atau dapat digunakan untuk menandakan kearifan kolektif yang ditemukan dalam seluruh kesatuan teori-teori yang berhubungan dengan komunikasi. Ada banyak perdebatan tentang apa yang mendasari sebuah teori yang memadai mengenai komunikasi. Teori-teori yang dihasilkan di sini, berbeda dalam cara bagaimana mereka dihasilkan, jenis penelitian yang digunakan, cara mereka dipresentasikan, dan aspek komunikasi yang ingin disampaikan. Perbedaan ini hadir sebagai sebuah sumber yang kaya untuk mengembangkan pemahaman yang lebih menyeluruh dan mendalam mengenai pengalaman komunikasi. Setiap teori melihat pada sebuah proses dari sudut yang berbeda, mengajak kita untuk memikirkan apa yang dimaksudkan oleh komunikasi dan bagaimana komunikasi bekerja dari titik tersebut. Sebuah teori menawarkan satu cara untuk menangkap ‘kebenaran’ dari sebuah fenomena, tetapi bukanlah satu-satunya cara untuk memandang fenomena tersebut. Ada empat dimensi teori: ‘Asumsi filosofis’, atau kepercayaan dasar yang mendasari teori. ‘Konsep’ atau susunan-susunan pembentukan. ‘Penjelasan’ atau hubungan dinamis yang dihasilkan oleh teori dan ‘Prinsip’ atau panduan untuk tindakan. 1. Teori Praktis Teori praktis dirancang untuk mengumpulkan banyak perbedaan antar situasi dan untuk memberikan sebuah susunan pemahaman yang memungkinkan peneliti mempertimbangkan rangkaian alternatif tindakan untuk mencapai tujuan. Robyn penman telah menggarisbawahi lima prinsip pendekatan tindakan praktis. Pertama, tindakan bersifat sukarela. Manusia sebagian besar memotivasi dirinya sendiri dan memperkirakan perilaku berdasarkan pada faktor-faktor eksternal adalah sesuatu uang tidak mungkin. Kedua, pengetahuan dihasilkan secara sosial. Hal ini berarti bahwa teori-teori komunikasi itu sendiri diciptakan oleh proses komunikasi atau interaksi. Ketiga, semua teori berhubungan dengan sejarah. Keempat, yang didefinisikan sebagai paradigma teoritis tindakan-praktis adalah bahwa teori-teori mempengaruhi kenyataan yang mereka tutupi. Kelima, teoriteori dibebani dengan nilai, tidak pernah netral dari titik teoretis yang menguntungkan ini. a. Asumsi filosofis Dalam epistemology, teori-teori praktis cenderung menganggap bahwa manusia mengambil sebuah peran aktif dalam menciptakan pengetahuan. Sebuah dunia yang berisi banyak hal bisa ada di luar orang tersebut, tetapi para pengamat dapat mengonseptualisasikan hal ini dalam beragam cara yang berguna. Oleh karena itu, pengetahuan muncul bukan dari penemuan, tetapi dari interaksi antara siapa dan pengetahuannya. Dalam Ontologi, teori-teori praktis cenderung beranggapan bahwa individu-individu merupakan agen-agen yang diarahkan oleh tujuan yang menciptakan pengertian, memiliki maksud, membuat pilihan-pilihan yang nyata, dan bertindak dalam berbagai situasi dengan cara-cara yang disengaja. Mereka beranggapan bahwa orangorang berperilaku berbeda dalam situasi yang berbeda karena perubahan aturan dan tujuan. Secara Aksiologi, sebagian besar teori-teori praktis cenderung sadar akan nilai. Banyak dari teori ini yang cenderung deskriptif, yaitu menunjukkan bagaimana orang-orang mengartikan dan bertindak berdasarkan pengalaman mereka dalam berbagai situasi sosial dan kultural, sedangkan yang lainnya lebih evaluative, yaitu membuat penilaian-penilaian yang keras tentang pemahaman dan tindakan kultural yang umum. b. Konsep Konsep-konsep dalam sebagian besar pendekatan praktis terhadap teori, cenderung tidak disajikan sebagai sesuatu yang universal. Malahan, teori-teori tersebut mengakui bahwa orang-orang merespons dengan cara yang berbeda dalam situasi yang berbeda dan bahwa kata-kata serta tindakan yang digunakan untuk mengungkapkan pemahamannya akan berubah seiring jalannya waktu. c. Penjelasan Teori-teori praktis cenderung menggunakan kebutuhan praktis sebagai sebuah dasar untuk penjelasan. Dengan kata lain, penghubung dibantu untuk mencapai tujuan di masa yang akan datang dengan mengikuti aturan-aturan atau norma-norma sosial tertentu yang memungkinkan mereka untuk berfikir dalam sebuah situasi dan memilih dari susunan pilihan. Aturan-aturan ini praktis karena mereka memberikan kuasa kepada penghubung untuk memahami apa yang sedang terjadi serta untuk membuat pilihan-pilihan strategis dalam menghadapi masalah dan kebimbangan. d. Prinsip Contoh teori pencapaian tujuan ini sejalan dengan gagasan Vernon Cronen bahwa teori praktis ‘menawarkan prinsip-prinsip yang disampaikan melalui keterlibatan dalam seluk beluk pengalaman hidup yang membantu untuk bergabung dengan orang lain untuk menghasilkan perubahan. Bagi Cronen, teori praktis merupakan sebuah sistem gagasan yang terhubung yang memungkinkan individu untuk memikirkan cara mereka melalui situasi-situasi aktual dan memberikan keputusankeputusan tentang apa yang harus dilakukan. Sebuah teori praktis tidak menentukan tindakan yang harus anda ambil, tetapi memungkinkan anda untuk bertindak dalam cara yang masuk akal yang membawa kita pada pemahaman mengenai bagaimana kita meningkatkan situasinya. Sebuah teori praktis yang baik memungkinkan kita untuk: 1. Fokus pada situasi sebenarnya yang kita hadapi. 2. Menjelajahi apa yang istimewa dari situasi ini 3. Mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan setiap tindakan yang kita ambil. 4. Mengambil tindakan yang meningkatkan kehidupan kita dan juga mendapatkan hasil-hasil positif,dan 5. Belajar dari pengalaman dalam situasi-situasi aktual yang kita hadapi dan mempersiapkan diri kita untuk menghadapi yang lainnya. 2. Mengembangkan Konteks Untuk Komunikasi Craig membagi dunia komunikasi ke dalam tujuh tradisi pemkiram: 1. Semiotik 2. Fenomenologis 3. Sibernetika 4. Sosiopsikologis 5. Sosiokultural 6. Kritis 7. Retoris Teori-teori dalam tujuh tradisi tersebut mencakup banyak aspek komunikasi. Bayangkanlah ketika melihat proses komunikasi melalui sebuah lensa pembesar. Kita dapat mempersempit area fokus pada individu dan selanjutnya memperlebarnya perlahan-lahan untuk melihat pada pandangan yang cukup lebar. Pada setiap titik kita dapat memutar sedikit lensanya untuk melihat fitur-fitur lain dari pemandangan tersebut dalam fokus. Ketika kita melakukan hal ini, kita menyadari bahwa setiap aspek komunikasi merupakan bagian dari konteks yang lebih besar. Kita juga melihat bahwa setiap tingkatan komunikasi memengaruhi dan dipengaruhi oleh konteks-konteks yang lebih besar ini. Susunan teoriteori komunikasi ke dalam delapan konteks yang digambarkan dalam gambar 3.3. Dimulai dengan pembahasan individu, yaitu melihat cara-cara dari tradisi-tradisi yang berbeda menjelaskan ‘pelaku komunikasi’ sebagai orang-orang yang terlibat dalam interaksi sosial. Selanjutnya, kita sedikit melebarkan lensa untuk melihat pada teoriteori ‘pesan’ dan ‘percakapan’. Ketika orang-orang menggunakan pesan dalam percakapan dengan orang lain, mereka mengembangkan ‘hubungan’. Selanjutnya kita bergerak ke konteks yang lebih besar dari ‘kelompok’ dan ‘organisasi’, dan ‘media’ yang menggunakan khalayak. Akhirnya kita melebarkan lensa kita ke tingkatan yang paling lebar untuk melihat pada komunikasi dalam ‘kebudayaan’ dan ‘masyarakat’ Konteks-konteks komunikasi dari pelaku komunikasi hingga masyarakat saling memengaruhi satu sama lain. Organisasi Kelompok Pesan Percakapan Pelaku Komunikasi Pelaku Komunikasi Kebudayaan dan Masyarakat Hubungan Media Gambar 3.3 Sumber: Littlejohn, Mengembangkan Teori Komunikasi 2011 3. Komunikasi Interpersonal Meskipun komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang sangat dominan dalam kehidupan sehari-hari, namun tidaklah mudah memberikan definisi yang dapat diterima semua pihak. Sebagaimana layaknya konsepkonsep dalam ilmu sosial lainnya, komunikasi interpersonal juga mempunyai banyak definisi sesuai dengan persepsi ahli-ahli komunikasi yang memberikan batasan pengertian. Trenholm dan Jensen (dalam Suranto,2011:3) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi antara dua orang yang berlangsung secara tatap muka (komunikasi diadik). Sifat komunikasi ini adalah: spontan dan informal. Saling menerima feedback secara maksimal, partisipan berperan fleksibel. Littlejohn memberikan definisi (interpersonal communication) adalah komunikasi antarpribadi komunikasi antara individu- individu. Deddy Mulyana (2001: 81) bahwa komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. a. Proses Komunikasi Interpersonal Proses komunikasi adalah langkah-langkah yang menggambarkan terjadinya kegiatan komunikasi. Memang dalam kenyataanya, kita tidak pernah berpikir terlalu detail mengenai proses komunikasi. Hal ini, disebabkan, kegiatan komunikasi sudah terjadi secara rutin dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kita tidak lagi merasa perlu menyusun langkah-langkah tertentu secara sengaja ketika akan berkomunikasi. Secara sederhana proes komunikasi digambarkan sebagai proses yang menghubungkan pengirim dengan penerima pesan. b. Tujuan Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal merupakan suatu action oriented, ialah suatu tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Tujuan komunikasi interpersonal itu bermacam-macam, beberapa diantaranya, yaitu : 1. Mengungkapkan perhatian kepada orang lain. Dalam hal ini seseorang berkomunikasi dengan cara menyapa, tersenyum, melambaikan tangan, membungkukkan badan, menanyakan kabar dan sebagainya. 2. Menemukan diri sendiri, artinya seseorang melakukan komunikasi interpersonal karena ingin mengetahui dan mengenali karakteristik diri pribadi berdasarkan informasi dari orang lain. Bila seseorang terlibat komunikasi interpersonal dengan orang lain, maka terjadi proses belajar banyak sekali tentang diri maupun orang lain. Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk berbicara tentang apa yang disukai dan tidak disukai. Maka seseorang memperoleh informasi berharga untuk mengenali jati diri. 3. Menemukan dunia luar, dengan komunikasi interpersonal diperoleh kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi dari orang lain. Komunikasi merupakan ‘jendela dunia’ karena dengan berkomunikasi dapat mengetahui berbagai kejadian di dunia luar. 4. Membangun dan memelihara hubungan yang harmonis sebagai makhluk sosial, salah satu kebutuhan setiap orang yang paling besar adalah membentuk dan memelihara hubungan baik dengan orang lain. 5. Mempengaruhi sikap dan tingkah laku, komunkasi interpersonal ialah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik secara langsung maupun tidak langsung. c. Teori-Teori Hubungan Interpersonal Berdasarkan teori dari Coleman dan Hammen, Jalaluddin Rakhmat (1996: 120-124) menyebutkan ada empat buah teori atau model hubungan interpersonal, yaitu: model pertukaran sosial, model peranan, model permainan, dan model interaksional. 1. Model Pertukaran Sosial Model ini memandang bahwa pola hubungan interpersonal menyerupai transaksi dagang, hubungan antarmanusia itu berlangsung mengikuti kaidah transaksional. Yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntungan dalam transaksinya atau malah merugi. Dalam model ini menjelaskan, ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Makna ganjaran bagi setiap individu saling berbeda. Dalam perspektif teori pertukaran sosial ini, ketika seseorang menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, maka akan selalu melakukan perhitungan tentang hasil atau laba dari hubungan itu. Laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Dalam pandangan teori ini, cara kerja orang mengavaluasi suatu hubungan dengan orang lain adalah identik dengan cara yang yang dilakukan seorang pedagang. 2. Model peranan Peranan merupakan (kedudukan). Apabila kewajibannya sesuai aspek seseorang dengan dinamis dari melaksanakan status yang suatu hak-hak dimilikinya status dan dalam masyarakat, maka ia telah menjalankan peranannya. Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan atau status. Asumsi teori peranan mengatakan bahwa hubungan interpersonal akan berjalan harmonis mencapai kadar hubungan yang baik yang ditandai adanya kebersamaan, apabila setiap individu bertindak sesuai dengan ekspektasi peranan, tuntutan peran, dan terhindar dari konflik peranan. Eksepktasi peranan atau peranan yang diharapkan, artinya hubungan interpersonal berjalan baik apabila masing-masing individu dapat memainkan peranan sebagaimana yang diharapkan. 3. Model permainan Menurut teori ini klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga, yaitu: anak anak, orang dewasa dan orang tua. Susunan rumah tangga, dan hubungan antarmanusia dalam masyarakat juga ditentukan oleh bagaimna kesesuaian orang dewasa dan orang tua dengan sikap dan perilaku yang semestinya ditunjukkan sesuai dengan sifat kodratnya. Jika tidak demikian, artinya ada orang dewasa berperilaku seperti anak-anak, atau ada orang tua berperilaku seperti remaja, tentu dapat mengakibatkan suasana hubungan antarmanusia dalam kehidupan sosial menjadi kurang nyaman. Demikian juga hubungan antara pusat dan daerah, antara atasan dan bawahan. Aparat pemerintah mestilah bersikap dewasa, Presiden dan Ketua MPR mestilah jadi orang tua. Memang menjadi tua secara usia itu pasti, tetapi menjadi tua secara kepribadian itu perlu diupayakan. 4. Model interaksional Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem terdiri dari subsistem-subsistem atau komponenkomponen yang saling tergantung dan bertindak bersama sebagai suatu kesatuan untuk menjapai tujuan tertentu. Johnson, Kast & RozenZweig (dalam Suranto,2011:40) menjelaskan ada tiga komponen sistem, yaitu input, proses (pengolah), dan output. Input merupakan komponen penggerak, proses (pengolah) merupakan sistem operasi, output menggambarkan hasil-hasil kerja sistem. Menurut model interaksional ini, hubungan interpersonal adalah merupakan suatu proses interaksi. Masing-masing orang ketika akan berinteraksi pasti sudah memiliki tujuan, harapan, kepentingan, perasaan suka atau benci, perasaan tertekan atau bebas, dan sebagainya yang semuanya itu merupakan input. Selanjutnya, input menjadi komponen penggerak yang akan memberi warna dan situasi tertentu terhadap proses hubungan antar manusia. Output dari proses hubungan antarmanusia itu bermacam-macam, tetapi sekurang-kurangnya masing-masing pihak yang terlibat dalam interaksi hubungan interpersonal ini telah memperoleh pengalaman tertentu. Nilai output, sehingga setiap orang yang berinteraksi dalam hubungan interpersonal itu akan berbeda dengan sebelum berinteraksi. 5. Motivasi Dan Hubungan Interpersonal Pada dasarnya setiap aktivitas manusia selalu berhubungan dengan adanya dorongan, alasan ataupun kemauan. Begitupula kehendak untuk menjalin dan membina hubungan interpersonal, juga dilandasi oleh adanya dorongan tertentu. Dorongan, alasan dan kemauan yang ada dalam diri seseorang disebut dengan motif. Dari motif-motif yang ada akan menimbulkan suatu motivasi, motif disebut motivasi apabila sudah menjadi kekuatan yang bersifat aktif. Maslow (dalam Suranto,2011:46-47) menguraikan kebutuhan-kebutuhan manusia yang tersusun secara herarkis sebagai berikut : 1. Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang paling dasar dan dimiliki oleh semua manusia, contoh kebutuhan untuk makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Setiap orang dengan segala kemampuan yang dimiliki akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan fisik ini. Menurut teori, apabila kebutuhan dasar ini sudah tercapai maka seseorang tidak akan berhenti pada kebutuhan yang satu itu, melainkan akan berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya. 2. Kebutuhan Rasa aman Setiap orang membutuhkan rasa aman. Dia tidak mau kehilangan otoritasnya, penghasilannya maupun pekerjaannya. Apabila kebutuhan akan rasa aman itu terancam, maka orang akan berusaha dengan berbagai jalan untuk mengembalikan suasana aman dan kondusif bagi kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman ini, tentu saja seseorang tidak dapat bekerja sendirian. 3. Kebutuhan sosial Secara kodrati manusia adalah makhluk sosial. Seseorang tidak dapat hidup sendiri, tetapi perlu bekerjasama dalam lingkungan pergaulan sosial. Di dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat juga ingin diterima dalam lingkungan sosial, dapat diterima di masyarakat. Selain itu manusia juga memerlukan kasih sayang, persahabatan, dan sebagainya. Bisa jadi, seseorang menjalin hubungan interpersonal juga karena adanya alasan untuk memenuhi kebutuhan sosial. 4. Kebutuhan Penghargaan Kebutuhan penghargaan secara mudah dapat disaksikan dalam hidup sehari-hari, bahwa setiap orang pada dasarnya membutuhkan suasana saling menghormati dan menghargai. Kecenderungan umum bagi semua orang adalah keinginan mereka untuk berprestasi, mendapatkan status, menduduki jabatan penting, dan sebagainya. Untuk mewujudkan tercapainya keinginan itu, ia memerlukan dukungan orang lain, sehingga hubungan interpersonal menjadi sangat penting. 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri Menurut Maslow kebutuhan ini merupakan puncak kebutuhan manusia. Artinya setelah kebutuhan-kebutuhan lain terpenuhi akan muncul kebutuhan ini. Kebutuhan aktualisasi diri ialah dorongan untuk menjadi apa yang ia rasa mampu. Sebagian besar manusia akan berusaha sekuat kemampuan untuk menunjukkan seluruh potensi yang dimilikinya. Orang akan merasa puas apabila sudah dapat bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang maksimal. B. Pengertian Novel Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esei, puisi, novel, cerita pendek, drama, bentuk novel cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh para pembaca. Karya– karya modern klasik dalam kesusasteraan, kebanyakan juga berisi karya– karya novel. Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita tetapi ia juga dituntut lebih dari itu, novel memiliki syarat utama bahwa ia mesti menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya. Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola – pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi sosial, sedang novel hiburan cuma berfungsi personal. Novel berfungsi sosial lantaran novel yang baik ikut membina orang tua masyarakat menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang ingin secepat mungkin membacanya. Banyak sastrawan yang memberikan batasan atau definisi novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Definisi – definisi itu antara lain adalah sebagai berikut : 1. Novel adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo). 2. Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya sosial, moral, dan pendidikan (Nurhadi, Dawud, Yuni Pratiw, dan Abdul). 3. Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu : unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang keduanya saling berhubungan karena sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (Rostamaji, Agus priantoro). 4. Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsurunsur intrinsik (Paulus Tukam) a. Unsur-Unsur Novel Novel mempunyai unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. unsur-unsur tersebut adalah : 1. Unsur Intrinsik Unsur Intrinsik ini terdiri dari : a. Tema Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel (Rustamaji, Agus priantoro). b. Setting Setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita, setting ini meliputi waktu, tempat, sosial budaya ( Rustamaji, dan Agus Priantoro) c. Sudut Pandang Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan katakatanya sendiri. 2. Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga. 3. Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh. d. Alur / Plot Alur / plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung (Paulus Tukan). e. Penokohan Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal. (Rustamaji, Agus Priantoro) f. Gaya Bahasa Merupakan gaya yang dominan dalam sebuah novel (Rustamaji, Agus Priantoro) 2. Unsur Ekstrinsik Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang, dan lain – lain, di luar unsur intrinsik. Unsur – unsur yang ada di luar tubuh karya sastra. Perhatian terhadap unsur – unsur ini akan membantu keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra (Rustamaji, Agus Priantoro). 3. Unsur – unsur Novel Sastra Novel sastra serius dan novel sastra hiburan mempunyai beberapa unsur yang membedakan keduanya. Unsur – unsur novel sastra serius adalah sebagai berikut : a) Dalam tema : Karya sastra tidak hanya berputar – putar dalam masalah cinta asmara muda – mudi belaka, ia membuka diri terhadap semua masalah yang penting untuk menyempurnakan hidup manusia. Masalah cinta dalam sastra kadang hanya penting untuk sekedar menyusun plot cerita belaka, sedang masalah yang sebenarnya berkembang diluar itu. b) Karya sastra : Tidak berhenti pada gejala permukaan saja, tetapi selalu mencoba memahami secara mendalam dan mendasar suatu masalah, hal ini dengan sendirinya berhubungan dengan kematangan pribadi si sastrawan sebagai seorang intelektual. c) Kejadian atau pengalaman yang diceritakan dalam karya sastra bisa dialami atau sudah dialami oleh manusia mana saja dan kapan saja. karya sastra membicarakan hal – hal yang universal dan nyata. Tidak membicarakan kejadian yang artificial (yang dibikin – bikin) dan bersifat kebetulan. d) Sastra selalu bergerak, selalu segar dan baru. Tidak berhenti pada konvensialisme. Penuh inovasi. Bahasa yang dipakai adalah bahasa standar dan bukan silang atau mode sesaat. Sedangkan novel sastra hiburan juga mempunya unsur – unsur sebagai berikut : a) Tema yang selalu hanya menceritakan kisah asmara belaka, hanya seputar itu tanpa masalah lain yang lebih serius. b) Novel terlalu menekankan pada plot cerita, dengan mengabaikan karakterisasi, problem kehidupan dan unsur-unsur novel lain. c) Biasanya cerita disampaikan dengan gaya emosional cerita disusun dengan tujuan meruntuhkan air mata pembaca, akibatnya novel demikian hanya mengungkapkan permukaan kehidupan, dangkal, tanpa pendalaman. d) Masalah yang dibahas kadang-kadang juga artificial, tidak hanya dalam kehidupan ini. Isi cerita hanya mungkin terjadi dalam cerita itu sendiri, tidak dalam kehidupan nyata. e) Karena cerita ditulis untuk konsumsi massa, maka pengarang ratarata tunduk pada hukum cerita konvensional, jarang kita jumpai usaha pembaharuan dalam jenis bacaan ini, sebab dengan demikian akan meninggalkan massa pembacanya. f) Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang aktual, yang hidup dikalangan pergaulan muda-mudi kontemporer di Indonesia. pengaruh gaya berbicara serta bahasa sehari-hari sangat berpengaruh dalam novel jenis ini. 4. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel sastra. a) Nilai Sosial Nilai sosial ini akan membuat orang lebih tahu dan memahami kehidupan manusia lain. b) Nilai Ethik Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri yaitu novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya, Novel-novel demikian yang dicari dan dihargai oleh para pembaca yang selalu ingin belajar sesuatu dari seorang menyempurnakan dirinya sebagai manusia. pengarang untuk c) Nilai Hedonik Nilai hedonik ini yang bisa memberikan kesenangan kepada pembacanya sehingga pembaca ikut terbawa ke dalam cerita novel yang diberikan. d) Nilai Spirit Nilai sastra yang mempunyai nilai spirit isinya dapat menantang sikap hidup dan kepercayaan pembacanya. Sehingga pembaca mendapatkan kepribadian yang tangguh percaya akan dirinya sendiri. e) Nilai Koleksi Novel yang bisa dibaca berkali-kali yang berakibat bahwa orang harus membelinya sendiri, menyimpan dan diabadikan. f) Nilai Kultural Novel juga memberikan dan melestarikan budaya dan peradaban masyarakat, sehingga pembaca dapat mengetahui kebudayaan masyarakat daerah lain. C. Analisis Wacana Adanya asumsi bahwa komunikasi merupakan ilmu, sering menyisihkan beberapa bentuk penelitian selain penelitian bersifat obyektif-positivistik-kuantitatif. Istilah ilmu sosial bukanlah istilah yang ketat dan tidak pula berlandaskan pada metodelogi ilmiah seperti yang ditemukan pada ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu sosial tidak berarti bahwa teknik-teknik penelitian yang humanistik (fenomenologis, interaksi simbolik, kritis, historis) sebagai tidak sah, tidak penting, lebih mudah atau lebih rendah, Mulyana (dalam Sobur 2001:69). Tidak ada teori atau perspektif yang dianggap mencerminkan kebenaran dengan memandang semua teori atau perspektif yang lain itu salah, Fisher (dalam Sobur, 2001:69). Dengan kata lain, satu teori atau perspektif hanya mengangkat kebenaran atau fenomena secara parsial dengan mengabaikan kebenaran lainnya. Perspektif atau pendekatan, sebagaimana model atau definisi, tidak dapat diukur berdasarkan kriteria benar atau salah, melainkan berdasarkan kemanfaatannya dalam memberikan jawaban atas masalah penelitian. Analisis wacana adalah alternatif dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan telah banyak dipakai. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana teks sebuah tulisan, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa suatu tulisan disampaikan. Dengan melihat bagaimana struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks ( Eriyanto,2001:15 dan disadur pula oleh Sobur, 2001:68). Sebagai sebuah alternatif bukan berarti analisis wacana lebih daripada analisis isi kuantitatif, karena kata alternatif sebenarnya digunakan untuk menunjukkan bahwa analisis wacana dapat melengkapi dan menutupi kelemahan analisis isi kuantitatif. Tidak ada yang dikalahkan dari salah satu metode ini, karena masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri, kelebihan dan kekurangannya. Analisis wacana berbeda dengan analisis isi kuantitatif, antara lain karena : Satu, dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya bersifat kuantitatif. Analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi karena analisis wacana kritis merupakan bagaian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Dua, analisis isi kuantitatif umumnya hanya dapat dipergunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest –nyata-, sedangkan analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan laten –tersembunyi-. Dalam analisis isi kuantitatif yang dipentingkan obyektivitas, validitas, dan reliabilitas. Sebaliknya, analisis wacana kritis ada unsur penting yang harus diperhatikan, yakni penafsiran. Tiga, analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan apa yang dikatakan –what-, tetapi tidak dapat menyelidiki bagaimana yang ia katakan –how-. Hal ini muncul (terjadi) karena analisis wacana tidak bergerak dilevel makro –isi suatu teks-, tetapi juga level mikro, yakni sesuatu yang menyusun suatu teks. Empat, analisis wacana tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi, dengan beberapa asumsi, setiap peristiwa pada dasarnya selalu bersifat unik, karena itu tidak dapat dilakukan prosedur yang sama untuk diterapkan pada isu dan kasus yang berbeda (Eriyanto, 2001:337341, dan Sobur, 2001:70-71). Ada beberapa pemikir dan pakar mengenai analisis wacana kritis antara lain. Faucault, Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew dengan Critical Linguistik-nya, Theo van Leeuwen yang memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam wacana. Sementara Sarah Mills memberikan titik perhatiannya pada wacana mengenai feminism. Norman Fairclough mendasarkan analisisnya pada pertanyaan ; Bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Titik perhatian analisis Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan wacana itu sendiri? Wacana bisa dipahami sebagai unit bahasa yang lebih besar disbanding kalimat. Akan tetapi, pemakaian istilah ini sering diikuti dengan berbagai istilah, bahkan tiap disiplin ilmu memberikan definisi yang berbeda-beda. Wacana punya arti: 1. Komunikasi verbal, ucapan, percakapan ; 2. Sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan maupun tulisan ; 3. Sebuah unit teks yang digunakan oleh linguistik untuk menganalisis fenomena yang lebih dari satu kalimat. (Collins Concise English Dictionary, 1998, dalam Eriyanto, 2001). Wacana juga berarti : 1. Rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimatkalimat itu : 2. Kesatuan bahasa yang tertangkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, di samping secara lisan dan tertulis. (JS. Badudu,2000 dalam Eriyanto, 2001). Wacana adalah lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya ; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman –ideologi dalam arti netral (Roger Fowler. 1997 dalam Eriyanto,2001). 1. Teori Wacana Bakhtinian Mikhail Mikahilovich Bakhtin dilahirkan di Orel pada tahun 1895. Ia belajar Filologi di Universitas Odesa kemudian di Petrograd dan lulus pada tahun 1918. Pada masanya, studi mengenai teks sastra dikelilingi tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan Sosiologis Marxis, pendekatan Hermeneutik dan Linguistik Formalis. Kaum Marxis memahami teks sastra berada pada wilayah ideologis yang ditentukan oleh struktur ekonomi masyarakat. Linguistik Formalis menempatkan sastra sebagai objek studi yang otonom. Dimana eksistensinya dilepaskan dari faktor-faktor yang berada diluar dirinya, terutama struktur ekonomi masyarakat. Bakhtin (Faruk, 2002, hal. 113) membangun sintesis antara kedua pandangan diatas dan menawarkan apa yang disebut Poetika Sosiologis. Keberadaan sistem formal karya sastra diakui, tetapi kaitannya dengan konteks sosial karya sastra itu tidak diingkari. Dalam kerangka Marxisme, karya sastra sebagai fenomena ideologis dipahami sebagai sesuatu yang bersifat material, mewujud dan menjadi bagian dari lingkungan manusia. Dan mereka memahami hal ini sebagai sesuatu yang objektif. Oleh karena itu semua fenomena ideologis bersifat formal. Dilain pihak, linguistik menempatkan bahasa sebagai salah satu sistem ideologis yang penting, secara objektif. Untuk memperoleh objektifitas dan melepaskannya dari subjektifitas kesadaran, linguistik menempatkan bahasa sebagai sebuah struktur formal. Dalam artian bahasa ditempatkan sebagai seperangkat kaidah yang abstrak dan stabil, yang melampaui berbagai variasi penggunaannya dalam situasi yang konkret. Bakhtin menyebut paham linguistik sebagai Objektivisme Abstrak karena pemahamannya mengenai bahasa tidak didasarkan pada kenyataan sebagaimana yang dihayati masyarakat penggunanya. Bahasa dalam keberadaannya, tidak lain daripada tuturan. Dalam linguistik, tuturan dipahami sebagai aktualisasi subjektif atas kaidahkaidah bahasa yang abstrak objektif. Dengan kata lain, kaidah bahasa abstrak mendahului tuturan yang konkret atau tuturan itu mengikuti kaidah yang sudah ada, yang tetap dan stabil. Pengertian ini membuat tuturan diperlakukan sebagai sebuah mekanisme yang berlangsung dengan sendirinya. Kecenderungan konsep tuturan Linguistik diatas tidak dapat diterima oleh Bakhtin. Menurutnya tuturan selalu berada pada proses sosial, dalam proses interaksi antara individu maupun kelompok. Penuturan merupakan pembukaan sebuah dialog dengan penutur-penutur lain. Tetapi dialog itu tidak dipahami sebatas komunikasi langsung, tatap muka, melainkan dapat pula komunikasi dengan tipe apapun misalnya, komunikasi interteks (puisi, novel dan karya sastra lainnya). Dengan pengertian tersebut, Bakhtin dapat mengatasi pemisahan antara yang abstrak dengan yang konkret, yang sosial dengan yang individual, yang objektif dengan yang subjektif, formalisme dan Marxisme . Tuturan dalam berada diantara kedua kutub tersebut. Ia menyatakan diri dalam bentuk material, formal, mempunyai struktur sendiri dan tidak terlepas dari struktur dan proses sosial. 2. Teori Wacana Althusserean Louis Althusser adalah filsuf Perancis yang lahir di Algeria pada tahun 1981 dan meninggal di Paris pada tahun 1990. Semasa hidupnya, ia lebih dikenal sebagai seorang teorisi dan kritikus marxis. Tepatnya, menurut John Lechte (1994), ia adalah seorang marxis dengan kecenderungan strukturalis. Ini ditegaskan dalam karya-karya a.1.: For Marx (1965) dan Reading Capital (1968). Teori wawasan Althusser berangkat dari gagasan Marx mengenai hubungan antar produksi dan reproduksi. Pertama-tama ia mengasumsikan bahwa setiap formasi sosial terbentuk dari suatu cara produksi yang dominan. Proses produksi menurutnya adalah proses yang mempekerjakan kekuatan-kekuatan produktif dalam dan dibawah hubungan-hubungan produksi tertentu. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan memproduksi kondisikondisi produksi tidak lain daripada mereproduksi kekuatan-kekuatan produktif dan hubungan-hubungan produksi yang ada. Althusser menyebut reproduksi hubungan-hubungan yang ada bersifat eksploitatif (Faruk, 2002, hal. 136-137). Yang menjamin berlangsungnya reproduksi di atas adalah Negara. Althusser (Eriyanto: 2001) mengatakan ada dua dimensi hakiki Negara: Represif State Aparatus (RSA) dan Ideological State Aparatus (ISA). Kedua dimensi ini erat dengan eksistensi Negara sebagai alat perjuangan kelas. RSA masuk dengan jalan memaksa sedangkan ISA masuk dengan jalan mempengaruhi. Kedua perangkat tersebut mempunyai fungsi yang sama yaitu melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. Dibandingkan dengan RSA yang relatif homogen, terkendali dalam satu komando, misalnya, aparat militer. ISA cenderung Heterogen dan tersebar, misalnya, institusi pendidikan, agama, keluarga, politik, perserikatan dagang, komunikasi, dan institusi-institusi budaya. RSA lebih memusatkan pengaruhnya pada wilayah publik, sementara Ideological State Apparatus (ISA) lebih memusatkan pengaruhnya pada wilayah yang sifatnya privat. Tetapi yang lebih penting lagi sebetulnya bukan pada apakah RSA atau ISA itu berfungsi pada wilayah publik atau privat, tapi kepada dengan cara bagaimana institusi-institusi itu berfungsi. Yang mempersatukan atau yang dapat menjamin harmoni antara yang satu dan yang lain dalam ISA adalah ideologi yang berkuasa. Selain itu, dalam konteks sejarah yang berbeda, terdapat institusi tertentu yang perannya lebih dominan dibanding yang lain. Althusser (Faruk: 2002) mengajukan dua tesis mengenai ideologi. Pertama, ideologi mempresentasikan hubungan-hubungan imajiner antara individu dengan kondisi-kondisi eksistensinya yang nyata. Dunia yang dibangun ideologi tidak sesuai dengan kenyataan, cenderung menyerupai ilusi. Kedua, ideologi mempunyai eksistensi material. Ideologi selalu hadir dalam suatu aparatus dan praktek atau praktik-praktik, yang kesemuanya bersifat material. Dari kedua tesis ini, Althusser menyimpulkan bahwa ideologi hanya berfungsi bila ada subjek yang menentukan atau membentuk individu-individu yang konkret menjadi subjek-subjek. 3. Teori Wacana Foucaultian Michael Foucault lahir di Poitiers, Perancis tahun 1926. Ia memberi kuliah dibanyak Universitas kaliber dunia, juga tercatat sebagai direktur pada Institut Francais Hamburg dan Institut de Philosophie pada fakultas sastra di University of Clermont-Ferrand. Karya-karyanya antara lain Madness and Civilisation, The Order Of Things, The Birth Of The Clinic, Discipline And Punish, dan The History Of Sexuality. Bagaimana wacana diproduksi, siapa yang memproduksi, dan apa efek dari produksi wacana? Foucault punya pendekatan lain dalam memahami wacana. Menurutnya wacana adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Yang menarik dari konsep Foucault , adalah tesisnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Ia mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan ahli lain. Kuasa oleh Foucault tidak dimaknai dalam term “kepemilikan”, dimana seseorang mempunyai sumber kekuatan tertentu. Kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain (Eriyanto, 2001, hal.65). Foucault lebih meneliti kekuasaan lebih kepada individu sebagai subjek terkecil, tidak seperti teoretisi lain yang lebih memusatkan kekuasaan pada Negara. Menurutnya strategi kuasa berada dimana-mana. Setiap masyarakat mengenal beberapa strategi kuasa yang menyangkut kebenaran. Beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar. Ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran. Lebih jauh ia menganggap kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan masih menurutnya, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Konsep Foucault ini membawa konsekwensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana dan mekanisme, berupa prosedur, aturan, tatacara, dan sebagainya. Kuasa hukum dilaksanakan lebih untuk menarik dan menimbulkan kesadaran pada individu. Di dalam strategi ini bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran, dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam masyarakat. Hukuman berfungsi menjadikan individu patuh dan berguna. Mekanisme penghukuman bukan untuk menghukum tetapi juga pendisiplinan., pengawasan, pengontrolan, pencatatan , dan sebagainya.. Kehidupan bukan diatur lewat serangkaian represi melainkan melalui kekuatannya memberi definisi dan melakukan regulasi. Berbagai regulasi itu diantaranya yang menentukan kita, memilah, mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang salah dan mana yang tidak. Melalui wacana, hubungan antara kekuasaan disatu sisi dengan pengetahuan disisi lain terjadi. Foucault mengatakan bahwa hubungan antara simbol dan yang disimbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga produktif dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu antara lain melalui bahasa, moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu, melainkan turut menghasilkan perilaku, nilai-nilai, dan ideologi (Eriyanto, 2001: 71-72). BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Novel “The Compass” Dalam novel ini terdapat 13 BAB yang berisikan 5 buah cerita yang saling berkaitan satu sama lain. Yang memuat perjalanan tokoh utama dalam menemukan pemahaman akan hidup yang sesungguhnya. Dalam setiap cerita sang tokoh utama bertemu dengan orang-orang yang memberikan berbagai pelajaran tentang arti kehidupan. Bahwa Sebagai manusia kita semua terhubung oleh cinta, sakit, dan kadang-kadang oleh tragedi atau peristiwa yang tidak dapat kita kendalikan. Masing-masing dari kita memiliki perjalanan yang unik, namun kita dihubungkan oleh pengalaman dan emosi dalam sebuah keterkaitan. Sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita bahkan yang terkecil sekalipun selalu saling berhubungan dan keterhubungan tersebut tidak terlepas dari peran komunikasi. Aspek komunikasi sangat terasa dalam setiap sendi kehidupan kita. Setiap cerita memperlihatkan bahwa jalinan komunikasi yang dipaparkan mencerminkan pemahaman komunikasi yang berbeda-beda. Ada 5 buah cerita yang memiliki satu benang merah yang saling berinteraksi yang terangkum dalam sebuah novel berisi 13 Bab. Keselurahan cerita dalam novel ini saling berkaitan satu sama lain. Tetapi dilihat dari segi konstruksi dan realitas makna-makna yang berbeda sesuai dengan teori dan pemahaman yang digunakan dalam setiap cerita yang di paparkan dalam novel “The Compas”. B. Ringkasan Isi Cerita “The Compass” 1. Cerita Pertama : Bab 1 dan 2 Jonathan terdampar disebuah gurun gersang di Gurun Nevada, California. Marilyn, tokoh pertama yang dijumpai Jonathan dalam perjalanannya. Marilyn datang ke gurun itu atas pilihannya untuk menyendiri terakhir kali karena ia telah didiagnosis terkena tumor otak. Terasa ironis bahwa ia memilih untuk lari ke gurun dengan sisa hidupnya yang sangat singkat itu, sementara Jonathan lari dari hidup itu sendiri, memilih untuk tidak menjalani hidup tetapi sekedar hidup. Intinya , keduanya memilih untuk lari. Marilyn lari karena tidak ada pilihan dan Jonathan lari karena kebutuhan. Marilyn sedang sekarat, sedangkan Jonathan merasa sudah mati. Marilyn berkata, “tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Kita mengira itu sebuah kebetulan, tetapi bukan.” Pelajarannya di sini adalah tentang nasib dan jalan hidup diantara puncak dan lembah. Bagaimana orang-orang yang kita jumpai sering kali ditempatkan dalam hidup kita karena suatu sebab. (Halaman 1-28) (Bab 1 ‘Kelamnya malam’ dan Bab 2 ‘Pelarian’). 2. Cerita Kedua : Bab 3,4,5,6 Dalam babak berikut kehidupan Jonathan memulai perjalanan keduanya. Jonathan kemudian bertemu Pete, seorang pria tua yang tinggal di Adirondacks. Pete merupakan seorang pria tua yang sudah lama hidup seorang diri karena ia tidak pernah mengetahui apalagi melihat orang tuanya dan sanak keluarganya, sesuatu pada masa lalunya membuat hal tersebut terjadi. Tetapi dalam masa kesendirian Pete bahkan keterpurukannya tidak membuat ia menjadi pria tua yang sedih berlarut larut ia bahkan cenderung sangat mandiri dan menikmati kesendiriannya meskipun terkadang beliau tetap memikirkan tentang semua keluarganya yang sudah lama ia tak jumpai dan tak tahu keberadaanya. Pete merupakan seorang juragan tanah di daerahnya karena memiliki beberapa kekayaan yang tidak sedikit yaitu beberapa pondok yang sangat besar yang berdiri kokoh di daerah tempat ia tinggal sekarang, Di daerah pegunungan Adirondaks di bagian wilayah kota kecil , New York. (Halaman 31-80) ( Bab 3 ‘Badai’, Bab 4 ‘Persimpangan itu’, Bab 5 ‘Pondok Pete’, Bab 6 ‘Perjalanan’) 3. Cerita Ketiga : Bab 7 dan 8 Petualangan berikutnya di peroleh saat Jonathan kembali melanjutkan expedisi berikutnya di bagian kota Rumania, yaitu di kota kecil Brasov. Jonathan bertemu dengan beberapa orang lain yang berhasil memberinya tambahan nilai kehidupan. Salah satunya ialah seorang bocah yatim piatu bernama Salomo yang diangkat menjadi anak dari pasangan yang belum memiliki anak. Meskipun Salomo hanyalah seorang bocah, ia mengajari Jonathan banyak hal. Ia memiliki jiwa tua dalam raganya yang masih sangat belia. Salomo juga seorang ‘penipu’ cilik handal yang dengan kemampuan berkata-kata manisnya dengan semua orang bahkan turis-turis yang datang ke daerahnya merupakan suatu modal khusus untuk mendapatkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada orang tua angkatnya. (Halaman 81-105) ( Bab 7 ‘Taman’, Bab 8 ‘Petualangan’) 4. Cerita Keempat : Bab 9,10,11 Pemberhentian selanjutnya Jonathan menuju ke Amsterdam. Belanda. Tepatnya kota kecil di Amersfoort. Dikota kecil ini Jonathan beretemu banyak orang baru, salah satunya Toin sang mantan atlet bersepeda nomor satu pada eranya yang hanya bisa menjadi kenangan manis sebelum tragedi yang dialami Toin yang membuatnya lumpuh. Oleh karena itu ia berinisiatif membuka sebuah usaha untuk melanjutkan dedikasinya dalam prerstasi yang lain, yaitu membuka bengkel dan penyewaan sepeda. Jonathan kembali merasakan sensasi yang sudah lama ia tidak rasakan. Jonathan bertemu dengan sang pemilik bengkel sepeda tersebut, Jontahan sekan kembali teringat tentang kebiasaannya di tempat tinggalnya dulu salama ia masih aktif mengendarai sepeda sewaktu kehidupannya belum berubah seratus derajat setelah tragedi yang menimpanya. Karena melihat potensi Jonathan yang cukup untuk membantu pekerjaan di bengkel, akhirnya sebagai ganti meminjam sepeda yang lumayan mahal, Toin kemudian menawarkan Jonathan untuk tinggal di rumahnya sekaligus membantunya untuk bekerja di bengkel. Dengan senang hati meskipun sedikit ragu Jonathan akhinya bisa menerima tawaran tersebut. (Halaman 107-151) ( Bab 9 ‘Belanda’, Bab 10 ‘Penghargaan’, Bab 11 ‘Mengikhlaskan’.) 5. Cerita Kelima : Bab 12 dan 13 Setelah mengalami banyak pengalaman baru dalam perjalanannya untuk menemukan jati dirinya yang dulu, yang seakan penuh dengan penyesalan, sekarang Jonathan bersiap untuk kembali ke masa kehidupannya yang sebenarnya. Ia memeberanikan diri untuk bertemu dengan istrinya yang sudah lama ia tinggalkan, ketika Lacy mengalami koma selama beberapa bulan di Rumah Sakit di Los Ageles, California. Bukanlah hal yang mudah saat Jonathan memutuskan bertemu dengan istrinya yang sepertinya sudah berusaha dan berhasil untuk keluar dari keterpurukan dan sudah dapat menerima serta mengahadapi realita yang telah terjadi. Lacy memutuskan untuk melanjutkan hidupnya agar bisa lebih baik dan tidak terpuruk untuk berlarut-larut dalam kesedihan. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Jonathan bersedia untuk meninggalkan masa petualangannya, dan kembali menghadirkan sosok yang barunya dengan penuh tangungjawab agar bisa kembali di kehidupan nyatanya yang sudah lama ia impikan dan berusaha untuk kembali memenuhi dan menata kembali kehidupannya yang sempat ia tinggalkan sebagai usaha pelarian diri, dan Jonathan berinisiatif untuk memperbaiki semua hubungan dengan Lacy yang sempat ia abaikan. Lari dalam masalah merupakan tindakan seorang pengecut. Menepis segala rasa ego dan membuka pintu saling memaafkan merupakan salah sau cara untuk menaklukkan hati seseorang, perlu kesabaran ekstra untuk terus berjuang dan mempertahankan ciri-khasnya yang sudah lama ia tinggalkan dan kemudian menerima kenyataan dan beradaptasi dalam kehidupan barunya yang sudah memiliki banyak perubahan, salah satunya perubahan yang di alami oleh Lacy yang ditinggalkannya dalam keadaan koma pasca tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa putri mereka. Lacy tampak lebih segar dengan penampilan barunya yang ketika Jonathan pertama kali melihatnya hampir tak dapat mengenali sosok wanita yang sangat ia cintai itu. (Halaman 153-187) ( Bab 12 ‘Memaafkan’, Bab 13 ‘Saatnya adalah sekarang’). Cerita-cerita di atas yang terangkum dalam Novel “The Compass” terkesan sederhana, diksi-diksi yang dipakai juga sangat biasa., bahkan lumrah ditemui dalam kehidupan sehari-hari . Namun yang tergambar di sana ialah sebuah kesederhanaan yang memancar serta realitas kehidupan yang sering kita alami dalam setiap aspek kehidupan kita yang tidak terlepas dalam pemahaman komunikasi. Tammy kling dan John Spencer Ellis seperti mencoba untuk menarik sebuah busur yang baru, dengan memposisikan dirinya sebagai mahkluk sosial yang sanagt menyadari bahwa segala sesuatunya sangat erat kaitannya dengan komunikasi tergantung pada aspek komuniaksi tersebut diletakkan sesuai dengan pemahaman yang digunakan. Kompas adalah sebuah transformasi kehidupan baru yang akan memandu kita pada perjalanan penemuan diri. Pada inti dari Kompas ini adalah pelajaran khusus tentang sistem kepercayaan dan pemahaman yang benar-benar dalam rangka untuk menjalani takdir. Jonathan, karakter utama, melarikan diri dari kehidupan pinggiran kota setelah sebuah tragedi yang mengubah rencananya untuk masa depan. Lumpuh karena kesedihan, ia memutuskan untuk perjalanan di seluruh dunia dalam upaya untuk meluruskan kembali kompas batinnya. Hanya dengan membawa ransel, ia meninggalkan kariernya, teman, keluarga, dan rumah. Perjalanan dimulai pada sebuah gurun di Nevada, lanjutkan ke pegunungan murni Adirondacks, dan kemudian ke sebuah desa abad pertengahan di Rumania. Di setiap perjalanan, Jonathan bertemu dengan orang paling penting yang menawarkan pelajaran hidup yang besar, dan dia mulai menyadari bahwa setiap individu ditempatkan di jalur nya karena suatu alasan. C. Profil Penulis Novel Tammy Kling adalah seorang penulis internasional, aktivis kemanusiaan, dan pelatih sastra yang membantu penukaran panduan dunia untuk menciptakan proyek-proyek yang mengubah. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan pekerjaannya telah ditampilkan antara lain dalam New York Times, Wall Street Journal, NBC Dateline, Ekstra, dan Primetime 20/20. Tujuan hidup wanita ini adalah menulis buku yang mengubah kehidupan. John Spencer Ellis adalah pengembangan pribadi yang diakui secara internasional dan ahli kesehatan. Selain menerima empat gelar kesarjanaan. John adalah seorang dermawan, pembicara profesional, dan pendidik. Ia juga CEO dari Institut Spencer untuk Life Coaching dan Latihan Olahraga Nasional dan Asosiasi Pelatih. Dia adalah pencipta dan produser eksekutif Film Kompas. Karena selain bukunya novel nonfiksi yang bernuansa pengembangan diri ini juga memiliki Film Dokumenter. BAB 1V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. TEORI-TEORI DAN TRADISI DALAM NOVEL THE COMPASS TERHADAP PEMAHAMAN KOMUNIKASI Dalam bab ini akan menganalisis 5 buah cerita yang memiliki satu benang merah yang saling berinteraksi yang terangkum dalam sebuah Novel berisi 13 Bab. Keselurahan cerita dalam novel ini saling berkaitan satu sama lain, tetapi dilihat dari segi konstruksi dan realitas makna-makna yang berbeda sesuai dengan teori dan pemahaman yang digunakan dalam setiap cerita yang di paparkan dalam novel “The Compass” , masing-masing adalah: 1.Cerita pertama : Bab 1 dan 2. 2.Ceita kedua : Bab 3,4,5,6. 3.Cerita ketiga : Bab 7,8. 4.Cerita keempat : Bab 9,10,11. 5.Cerita kelima : Bab 12.13. Cerita pertama di Bab 1 dan 2, Jonathan merasakan kehampaan. Ia baru saja mengalami tragedi yang mendorongnya melakukan perjalanan pencarian diri, perjalanan itu merupakan pelarian, suatu metode yang khas, reaksi bertempur-ataukah-kabur dalam menghadapi trauma. Istri dan putrinya mengalami kecelakaan mobil yang parah, dan ia lari dari kehidupannya. Kearifan yang dapat dipetik adalah perasaan bahwa tragedi dapat merubah pemahaman kita akan sesuatu. Sebelum memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kehidupannya, Jonathan berusaha untuk mencoba hidup kembali secara normal, dia melakukan aktifitasnya seperti biasa tetapi tetap saja di relung hati Jonathan terbesit segores luka yang mendalam yang membuatnya terasa kosong. Setelah tragedi yang menimpa Jonathan tersebut ia sama sekali berubah, memutuskan hubungan dengan orang lain, jarang bergaul, menghindari berinteraksi dengan orang lain, menutup diri dari kehidupan sosial, tidak melakukan komunikasi secara maksimal karena sifat ‘introvert’ yang tiba-tiba muncul dalam dirinya pasca tragedi tersebut. Dalam pelarian pertamanya ia memutuskan untuk pergi ketempat yang jauh dari kehidpannya dikota, Jonathan kemudian terdampar di Gurun Nevada, California dan beretemu dengan seorang wanita paruh baya bernama Marilyn. Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwa komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. dari berbagai sudut pandang pemahaman komunikasi ada beberapa cara akademisi melakukan penelitian dan menyusun teori-teori yang bergantung pada asumsi-asumsi epistemologis mereka karena apa yang mereka pikirkan tentang pengetahuan dan bagaimana mereka memikirkan pengetahuan itu didapatkan, menentukan apa yang mereka temukan. Dalam melihat kasus yang terjadi pada Jonathan yang memilih untuk pergi dari kehidupannya di Kota, hal ini berhubungan dengan jenis asumsi ontologi. Ontologi merupakan sebuah filosofi yang berhadapan dengan sifat makhluk hidup. Epistemologi dan ontologi berjalan beriringan karena gagasangagasan kita tentang pengetahuan sebagian besar bergantung pada pemikiran kita mengenai siapa yang mengetahui. Dalam hal ini Jonathan memiliki pengetahuan yaitu perasaan trauma yang mendalam setelah tragedi kecelakaan yang menimpa keluarganya. Ia mengetahui bahwa betapa berat telah mengalami tragedi tersebut kehilangan seorang anak dan hancurnya hubungan dengan istrinya. Dalam ilmu sosial, ontologi sebgaian besar berhadapan dengan sifat keberadaan manusia. Dalam komunikasi, ontologi berpusat pada sifat interaksi sosial manusia karena cara seorang ahli teori mengonseptualisasi interaksi sebagian besar bergantung pada bagaimana penghubung tersebut dipandang. Pertama, pada tingkatan apa manusia membuat pilihan-pilihan yang nyata? Walaupun semua penelitian nampaknya setuju bahwa orang-orang merasakan pilihan, ada perdebatan filosofis yang telah berlangsung lama tentang apakah ada pilihan yang nyata. Pada salah satu sisi dari masalah tersebut berdiri kaum determinis yang menyatakan bahwa perilaku disebabkan oleh banyak kondisi sebelumnya yang sebagian besar menentukan perilaku manusia. Menurut pandangan ini, manusia pada dasarnya bersifat reaktif dan pasif. Pada sisi lain perdebatan, berdiri kaum pragmatis yang menyatakan bahwa manusia merencanakan perilakunya untuk mencapai tujuan masa depan. Kelompok ini memandang manusia sebagai mahkluk yang aktif dan dapat mengambil keputusan yang dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri. Ada juga yang berdiri di posisi tengah, yang menyatakan bahwa orang-orang membuat pilihan dalam jangkauan yang terbatas atau bahwa beberapa perilaku telah ditentukan, sedangkan perilaku yang lain dilakukan dengan bebas. Masalah ontologis yang kedua adalah apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat. Pertanyaan ini berhubungan dengan apakah ada dimensi yang cukup stabil –sifat-sifat-atau kondisi-kondisi sementara yang lebih memengaruhi manusia, yang disebut dengan keadaan. Pandangan keadaan menyatakan bahwa manusia bersifat dinamis dan mengalami banyak keadaan dalam satu hari, satu tahun, dan seumur hidup. Pandangan sifat menyatakan bahwa manusia sebagian besar dapat diperkirakan karena mereka menunjukkan karakteristik yang kurang lebih konsisten sepanjang waktu. Oleh karena itu, sifat-sifat tidak berubah dengan mudah dan menurut pandangan ini, manusia pada dasarnya dipandang statis. Tentunya, ada posisi tengah-tengah dan banyak ahli teori yang percaya bahwa baik sifat maupun keadaan dapat mengarakterisasi perilaku manusia. Apakah pengalaman manusia semata-mata individual atau sosial ? pertanyaan ontologis ini berhubungan dengan apakah individu atau kelompok membawa banyak beban untuk menentukan tindakan manusia. Akademisi-akademisi yang memberi perhatian pada individu memahami perilaku mereka dalam istilah individualistis dan satuan analisis mereka adalah jiwa manusia sebagai individu. Namun, ilmuwan sosial yang lain lebih memfokuskan pada kehidupan sosial sebagai satuan analisis utama. Para akademisi ini percaya bahwa manusia tidak dapat dipahami secara terpisah dari hubungannya dengan orang lain dalam kelompok dan kebudayaan. Pertanyaan ontologis ini sangat penting bagi akademisi komunikasi karena fokus mereka pada interaksi. Pada tingkatan mana apakah komunikasi menjadi kontekstual ? Fokus pertanyaan ini adalah apakah perilaku diatur oleh prinsip-prinsip universal atau apakah hal ini bergantung pada faktor-faktor situasional. Beberapa filsuf percaya bahwa kehidupan dan tindakan manusia sebaiknya dipahami dengan melihat pada faktor-faktor universal, yang lainnya percaya bahwa perilaku bersifat kontekstual dan tidak dapat dihasilkan di luar situasi yang ada. Dalam komunikasi, lebih banyak orang yang mendukung posisi tengah dengah para akademisi yang percaya bahwa perilaku dipengaruhi baik oleh faktor-faktor umum maupun situasional. Kemudian dilihat pada sisi cerita ketika Jonathan bertemu dengan karakter pertama yang ia jumpai dalam cerita ini yaitu Marilyn. Dimana ketika Marilyn mengatakan kepada Jonathan bahwa : ‘Tidak ada kejadian yang kebetulan ,”katanya, sambil memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya’. “kita bisa saja menganggapnya sebagai kebetulan-kebetulan tetapi semuanya bukanlah kebetulan”. (Halaman 6, Bab 1 ‘Kelamnya malam’) Merenungkan ironi di dalam ucapan Marilyn, Jonathan seakan tak menerima apa yang baru saja diucapkannya. Tetapi Marilyn tidak hanya mengucapkan kata-kata itu ia berusaha meyakinkan Jonathan dengan membuka persepsi baru terhadap pemahaman Jonathan yang terlihat tidak menerima perkataanya, dan seiring percakapan yang berlanjut pemahaman Jonathan mulai bergeser dan memahami maksud dari ucapan Marilyn. Dalam kasus ini kita dapat menghubungkannya dengan melihat teori penilaian sosial. Teori penilaian sosial. Teori atribusi menunjukkan kepada kita pentingnya penilaian interpersonal. Teori penilaian sosial, sebuah karya dalam ilmu psikologi sosial, berfokus pada bagaimana kita membuat penilaian mengenai pernyataan yang kita dengar. Teori penilaian sosial, berdasarkan karya Muzafer Sherif dan koleganya mencoba untuk memeperkirakan bagaimana kita akan menilai pesan dari orang lain dan bagaimana penilaian ini akan berpengaruh pada sistem keyakinan kita sendiri. Sherif dipengaruhi oleh penelitian fisik sebelumnya, yang menguji kemampuan orang-orang untuk menilai hal seperti bobot sebuah objek atau sinar dari sebuah cahaya. Sherif meneliti cara orang menilai pesan, sehingga menciptakan istilah persepsi sosial untuk menjabarkan fenomena itu. Dalam interaksi dengan orang lain, kita tidak punya sekarung keyakinan yang dapat kita gunakan untuk menilai sebuah pesan. Kita harus bergantung pada sebuah dasar atau acuan internal. Dengan kata lain, acuan kita berada di kepala kita dan didasarkan pada pengalaman sebelumnya. Pada sebuah eksperimen penilaian sosial, kita akan diberi sejumlah pernyataan tentang suatu masalah. Kemudian, kita akan diminta untuk mengurutkannya ke dalam sebuah kelompok berdasarkan kesamaan mereka menggunakan sebuah proses yang disebut Q-sort. Kita dapat mengurutkannya ke dalam banyak kelompok sesuka kita. Kemudian, kita akan meletakkan susunan tersebut dari positif ke negative. Berikutnya kita akan menyatakan kelompok pernyataan mana yang dapat kita terima secara pribadi, yang tidak dapat diterima, dan yang netral. Tumpukan data yang pertama akan membentuk rentang penerimaan kita (latitude of acceptance) pernyataan yang dapat membuat kita setuju , yang kedua adalah rentang penolakan (latitude of rejection) semua pernyataan yang membuat kita tidak setuju, dan yang ketiga adalah (latitude of noncommitment) atau rentang ketidakterlibatan kita. Bidang lain di mana teori penilaian sosial membantu pemahaman kita tentang komunikasi adalah perubahan sikap. Teori penilaian sosial memperkirakan bahwa semua pesan yang jatuh di antara rentang penerimaan memudahkan adanya perubahan sikap. Sebuah perdebatan tentang posisi yang baik dalam tingkatan penerimaan menjadi sesuatu yang lebih persuasif daripada sebuah argument yang berada diluar tingkatan ini. Cerita kedua bab 3,4,5,6 dimana pada bagian cerita kedua ini Jonathan melanjutkan perjalanan keduanya di daerah pegunungan Adirondacks dibagian wilayah kecil,New York. Jonathan kemudian bertemu dengan tokoh kedua yang memberinya berbagai pemahaman mengenai hidup yaitu Pete. Pete adalah lelaki paruh baya yang memiliki banyak pengalaman hidup yang dibagi kepada Jonathan. Pete mengajari Jonathan bahwa “kita tidak selalu harus memahami setiap hal. Kadang-kadang ada misteri dalam kehidupan, dan kita hanya harus menerima ketidaktahuan kita”. Ini adalah pelajaran yang paling sulit diterima oleh manusia, namun manusia yang paling tinggi evolusinya telah menerimanya sebagai kebenaran dan menjalani hidup mereka sesuai dengn pelajaran itu. Dalam berbagai pengalaman dan pengetahuan Pete yang kemudian ia ajarkan kepada Jonathan meruapakan sebuah contoh dari Teori pencapaian tujuan. Sejalan dengan gagasan Vernon Cronen (dalam Littlejohn, 2011:39) bahwa teori praktis “menawarkan prinsip-prinsip yang disampaikan melalui seluk-beluk pengalaman hidup yang membantu untuk bergabung dengan orang lain untuk menghasilkan perubahan”. Bagi Cronen, teori praktis merupakan sebuah sistem gagasan yang terhubung yang memungkinkan individu untuk memikirkan cara mereka melalui situasi-situasi aktual dan memberikan keputusan-keputusan tentang apa yang harus dilakukan. Sebuah teori praktis tidak menentukan tindakan yang harus kita ambil, tetapi memungkinkan kita untuk bertindak dalam cara yang masuk akal yang membawa kita pada pemahaman mengenai bagaimana kita meningkatkan situasinya. Sebuah teori praktis yang baik memungkinkan kita untuk fokus pada situasi sebenarnya yang kita hadapi, menjelajahi apa yang istimewa dari situasi ini, mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan setiap tindakan yang kita ambil, mengambil tindakan yang meningkatkan kehidupan kita dan juga mendapatkan hasil-hasil positif, dan belajar dari pengalaman dalam situasisituasi aktual yang kita hadapi dan mempersiapkan diri kita untuk menghadapi yang lainnya. Selain itu pelajaran berikutnya adalah salah satu dari berbagai hal yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa orang-orang ditempatkan di dalam hidup kita dengan suatu alasan. Ada yang datang, ada yang pergi, ada yang terus bersama kita. Semuanya terus mengalir, seperti sungai. Pete bagaikan napas segar bagi Jonathan karena ia tidak menuntut apapun dan tidak menanyakan apapun. Jonathan benar-benar tak mampu berbagi secara emosional karena ia tengah terpuruk. Kadang-kadang perlu bagi kita untuk sekedar mendampingi seseorang. Dalam hal ini komunikasi sangat penting dari awal karena kita bersosialisasi melalui interaksi dengan orang lain dalam lingkungan di sekitar mereka. Proses bernegosiasi dengan dunia sekitar juga hadir melalui komunikasi. Seseorang memahami dan berhadapan dengan objek di lingkungannya melalui interaksi sosial dengan orang lain. Orang lain tertentu, orientational others, yang berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Mereka adalah orang-orang yang terikat secara emosional dan psikologis dengan kita. Mereka, seperti orang tua, memberikan kita kosakata umum, konsep penting, dan kategori yang akan menjelaskan realitas kita. Mereka dapat hadir pada saat ini atau pada masa lalu kita, mereka dapat saja ada atau tidak ada. Pada beberapa titik dalam kehidupan kita, individu-individu ini sangat atau pernah sangat penting dalam membantu kita belajar membedakan antara diri kita sendiri dan orang lain, membantu kita mengembangkan siapa diri kita sebagai seseorang. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Pete ke Jonathan bahwa orang-orang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Cerita ketiga bab 7 dan 8. Dalam cerita ketiga ini Jonathan kembali memulai perjalanan lainnya di bagian kota Rumania yaitu kota kecil bernama Brasov. Jonathan bertemu dengan seorang anak kecil bernama Salomo yang tinggal bersama orang tua angkatnya yaitu Cornell (Mr.A) dan Victorita (Mrs.B). Salomo memberikan julukan Mr.A dan Mrs.B kepada orang tua angkatnya berdasarkan sifat yang ia perhatikan dari keduanya. Meski Salomo hanyalah seorang anak kecil, ia mengajari Jonathan banyak hal. Ia memiliki jiwa dewasa dalam dirinya dari segi pemikiran dan pengetahuan. Dan salah satu pelajaran yang diajarkan kepada Jonathan adalah bahwa kita bukanlah pekerjaan kita, kita adalah diri kita. Masyarakat Amerika mendefinisikan kebanyakan orang berdasarkan apa yang mereka lakukan. Dan kita sebaliknya mendefinisikan identitas kita sebagai orang dewasa berdasarkan apa yang kita kerjakan dan apa yang kita peroleh dari kehidupan profesional kita. Dalam cerita inilah dimana Jonathan sudah mulai untuk memperhatikan orang lain dan dunia di sekelilingnya dan menjalin hubungan dengan mereka. Ia Memperhatikan kegiatan Salomo yang sangat gemar berkebun setiap hari. Kebun dan Salomo bagai tak terpisahkan, Salomo menganggap berkebun bukan hanya sekedar kegemaran tetapi sudah menjadi penyemagat hidup dalam jiwanya. Keterhubungan dengan dunia inilah yang akan menyelamatkan hidup seseorang, kita bagaikan binatang berakal yang berjalan apabila tidak melakukan interaksi dengan orang lain dan menjalin komunikasi dalam interaksi sosial. Robyn Penham (dalam Littlejohn,2011:35) telah menggarisbawahi lima prinsip pendekatan tindakan praktis. Pertama, tindakan bersifat sukarela. Manusia sebagian besar memotivasi dirinya sendiri dan memperkirakan perilaku berdasarkan pada fakkor-faktor eksternal adalah sesuatu yang tidak mungkin. Oleh sebab itu dalam cerita Jonathan, ia masih tetap ingin bangkit dalam keterpurukannya dengan mengambil langkah yaitu kembali peduli terhadap lingkungan sekitarnya, melakukakan interaksi dengan berkomunikasi. Perlahanlahan ia mulai merasa hidup kembali. Meskipun pada awalnya langkah tersebut sangat berat yang membuat Jonathan berfikir seakan hal tersebut tidak mungkin dilakukan setelah apa yang ia alami. Kedua, menurut penman dan tradisi tindakan praktis, pengetahuan dihasilkan secara sosial. Hal ini berarti bahwa teori-teori komuniaksi itu sendiri diciptakan oleh proses komunikasi atau interaksi. Hal ini merupakan salah satu dari banyak cara untuk memahami perilaku, bukan sebuah cermin dari alasan ‘nyata’ atau ‘benar’ orang-orang melakukan sesuatu. Ketiga, semua teori berhubungan dengan sejarah. Mereka mencerminkan keadaan serta waktu ketika mereka diciptakan dan ketika waktu berubah. Elemen keempat yang didefinisikan sebagai paradigm teoretis tindakan praktis adalah bahwa teori-teori memengaruhi kenyataan yang mereka tutupi. Kelima, teori-teori dibebani dengan nilai, tidak pernah netral dari titik teoretis yang menguntungkan. Dalam bagian cerita ketiga ini tokoh bernama Salomo memberikan kata ganti atau julukan kepada nama orang tua angkatnya yaitu Mr.A kepada Cornell Ayah angkatnya yang berarti Anger (kemarahan) dan Mrs.B untuk Victorita Ibu angkatnya yang berarti Bitterness (kepahitan). Kebiasaan Salomo dalam memberikan kata ganti atau julukan kepada seseorang sangat erat kaitannya terhadap Gagasan umum dari tradisi semiotik. Kebanyakan pemikiran semiotik melibatkan ide dasar triad of meaning yang menegaskan bahwa arti muncul dari hubungan diantara tiga hal: benda (atau yang dituju), manusia (penafsir), dan tanda. Charles Saunders Pierce (dalam Littlejohn, 2011:54) ahli semiotik modern pertama, dapat dikatakan pula sebagai pelopor ide ini, Pierce mendefinisikan semiosis sebagai hubungan di antara tanda, benda, dan arti, tanda tersebut mempresentasikan benda atau yang ditunjuk di dalam pemikiran di penafsir. Ini menunjukkan bahwa tanda seperti kata ganti perorangan dihubungkan kepada yang ditunjuknya melalui pikiran atau interpretasi si pengguna, Dalam kata lain, arti bergantung pada gambaran atau pikiran seseorang dalam kaitannya dengan tanda dan benda yang direpresentasikan oleh tanda. Cerita keempat bab 9,10 dan 11. Jonathan mengalami banyak pengalaman dan bertemu dengan banyak orang. Tetapi dalam perjalanannya kali ini dimana kompas batinnya membawa Ia ke Amserdam,Belanda ke sebuah kota kecil di Amersfoort. Sewaktu Jonathan datang ke kota kecil yang terletak di Belanda ini Ia bertemu dengan Toin dan Anja sepasang kekasih. Toin merupakan seorang mantan atlet sepeda terkenal di kotanya. Tetapi karena ia telah mengalami sebuah kecelakaan yang membuatnya kehilangan kaki akhirnya ia tidak bisa melanjutkan impiannya menjadi seorang atlet sepeda yang memaksanya untuk berhenti dari profesinya dan membuka sebuah toko sepeda sebagai tanda kecintaanya terhadap sepeda dan membuktikan meskipun ia sudah tidak sempurna tetapi ia tetap memiliki semangat yang tinggi untuk bangkit dan kembali menata hidupnya. Jonathan merasa ia kembali berada pada satu sisi lain kehidupan orangorang yang berbeda, kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda. Saat tiba di kota kecil itu Jonathan seperti biasa kembali mengalami kendala bahasa. Seiring berjalannya waktu ia bertekad untuk mempelajari kebudayaan kota tersebut. ia kemudian belajar bahasanya dan karena terbawa oleh pendalaman tersebut ia juga dengan sengaja merubah penampilannya seperti orang Belanda dan berbicara layaknya penduduk asli kota tersebut. Hal tersebut membuktikan bagaimana segala sesuatu tampak memengaruhi sesuatu lainnya. Atau mungkin kita akan berfikir terlalu banyak tentang semua kekuatan yang ada diluar, tetapi terpikat oleh perbedaanperbedaan individu dan bertanya-tanya tentang bagaimana pikiran kita bekerja, bagaimana membujuk orang lain dan memengaruhi pikiran mereka, seperti bagaimana media memengaruhi pemirsanya. Jalan lain adalah jalan yang di dalamnya terdapat sejumlah kelompok dan budaya yang datang secara bersamaan, bagaimana mereka mengembangkan kode-kode dan arti-arti milik mereka, dan bagaimana identitas kita dalam sebuah kelompok di bentuk oleh jenis kelamin, budaya, keluarga, dan jaringan tempat kita bekerja. Mungkin kita pada akhirnya akan berkonsentrasi pada bagaimana masyarakat dan institusiinstitusi mereka dibentuk oleh susunan sosial yang menyudutkan beberapa kelompok dan mengistimewakan yang lainnya. Orang-orang yang ditemui Jonathan dalam perjalannya memberikan banyak pengaruh terhadap Jonathan melalui interaksi yang Ia lakukan. Toin merupakan orang yang terkenal di kotanya sehingga Jonathan berkesempatan mengenal lebih banyak orang lain karena berteman dengan Toin. Dalam tradisi sibernetika merupakan tradisi sistem-sistem kompleks yang di dalamnya banyak orang saling berinteraksi, memengaruhi satu sama lainnya. Teori-teori dalam tradisi sibernetika menjelaskan bagaimana proses fisik, biologis, sosial, dan perilaku bekerja. Dalam sibernetika, komunikasi dipahami sebagai sistem bagian-bagian atau variable-variabel yang saling memengaruhi satu sama lainnya, membentuk, serta mengontrol karakter keseluruhan sistem, dan layaknya organisme menerima keseimbangan dan perubahan. Sedangkan perubahan yang dilakukan oleh Jonathan terhadap penampilan dan bahasanya dipengaruhi oleh interaksi yang ia lakukan selama berada di Belanda dan ia melakukan perubahan tersebut untuk memasuki kebudayaan tersebut. tanpa disadari Jonathan sudah beradaptasi dengan kondisi di Belanda, dengan budaya dan bahasanya. Dalam sekejap Jonathan telah tenggelam dalam kultur itu, merasa jadi bagian darinya ketimbang tempat lain. Lanskap Amersfoort sepertinya menyiratkan aura tersendiri baginya. Tersirat dalam kejadian pada suatu hari Rabu siang, seorang lelaki Amerika datang ke toko dan bertanya tentang sewa sepeda. Dia mengenakan T-shirt putih dengan logo almamater kampus Jonathan, Universitas Florida, di bagian depan, dan sulaman Croc berwarna jingga, yang langsung mengungkapkan kebangsaannya. Percakapan : “Saya ingin menyewa sepeda,” katanya. “ik begrijphet niet,” jawab jonathan sambil menatapnya dengan ekspresi seolah ia tidak memahami. Dia berbalik dan menunggu istrinya, seorang perempuan yang mengenakan pakaian dan sepatu yang persis sama. Istrinya memegang kamus di satu tangan dan sekaleng minuman soda di tangan yang lain. “Bisa tolong sebutkan sepeda dalam bahasa Belanda?” tanyanya kepada istrinya. Kami menunggu sementara perempuan itu membolak-balik kamusnya. Dia menunjuk halaman yang memuat kata itu dan memperlihatkannya kepada suaminya. “Fiets,” kata suaminya, dengan susah payah. “ kami ingin menyewa sepeda.” “ Ja,” kata Jonathan. Setelah mendapatkan sepeda yang ia inginkan, lalu mereka berlalu. “ Goede reis!” seruku, yang artinya kira-kira , “hati-hati di jalan!” (Halaman 140, Bab 11 Mengikhlaskan) Dalam percakapan singkat tersebut dapat kita ketahui bahwa Jonathan sudah sangat mendalami peran barunya yang merasa telah menjadi seorang warga asli Amersfoort. Dalam hal ini kita dapat memperjelasnya dalam Gagasan Utama dari teori kritis. Yaitu, minat dalam bahasa menjadi penting bagi para ahli teori kritik. Dalam marxisme (dalam Littlejohn, 2011:69), praktik-praktik komunikasi dilhat sebagai hasil dari tekanan antara kreativitas individu dan desakan sosial pada kreativitas itu. Hanya ketika individu benar-benar bebas mengekspresikan dirinya dengan kejelasan dan alasan, kebebasan akan terjadi. Oleh sebab itu Jonatahan berusaha untuk masuk kedalam budaya tersebut dan berbahasa seperti orang Amersfoort karena ia ingin agar tidak ada yang mengenalinya ia ingin melupakan sejenak masa lalunya dan beralih menjadi sosok Jonathan yang baru. Akan tetapi, bahasa juga menjadi sebuah desakan kepentingan dalam ekspresi individu karena bahasa dari kelas dominan membuatnya sulit bagi kelompok kelas pekerja untuk memahami keadaan mereka dan menemukan cara untuk mencapai emansipasi. Dengan kata lain, bahasa dominan menegaskan dan memperlihatkan penekanan terhadap kelompok pinggiran. Ini adalah tugas para ahli teori ktitk untuk menciptakan bentuk bahasa baru yang dapat menyingkap ideologi agar dapat didengar. Dalam kajian komunikasi, para ahli kritik umumnya tertarik dengan bagaimana pesan memperkuat penekanan dalam masyarakat. Meskipun para ahli kritik tertarik pada tindakan sosial, mereka juga fokus pada wacana dan teks-teks yang mempromosikan ideologi-idologi tertentu, membentuk dan mempertahankan kekuatan, meruntuhkan minta-minat kelompok atau kelas tertentu. Analisis wacana kritis memperhatikan fitur-fitur aktual dalam teks yang memunculkan rangkaian penekanan tersebut, tanpa memisahkan komunikasi dari faktor lain pada keseluruhan sistem kekuatan yang bersifat menekan. Perubahan identitas yang dilakukan oleh Jonathan merupakan Teori komunikasi tentang identitas dimana komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga mengubah mekanisme. Identitas kita, baik dalam pandangan diri maupun orang lain, dibentuk ketika kita secara sosial berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan kita. Kita mendapatkan pandangan serta reaksi orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya, memperlihatkan rasa identitas dengan cara kita mengekspresikan diri kita dan merespon orang lain. Subjective Dimension akan identitas merupakan perasaan diri pribadi kita, sedangkan Ascribed Dimension adalah apa yang orang lain katakana tentang kita. Dengan kata lain, rasa identitas terdiri dari makna-makna yang dipelajari dan yang kita dapatkan-diri pribadi kita, makna-makna tersebut diproyeksikan kepada orang lain kapanpun kita berkomunikasi-suatu proses yang menciptakan diri kita yang digambarkan. Cerita kelima bab 12 dan 13. Di bagian akhir buku ini setelah Jonathan mengakhiri perjalanan panjangnya dan memutuskan untuk kembali ke Kota, California, dimana kehidupan nyata yang sudah lama ia tinggalkan menunggunya. Selama melakukan perjalanan spiritualnya dalam menemukan kompas batinnya ia kemudian kembali menata hidupnya dan kembali bersama istrinya Lacy yang sudah ia tinggalkan selama koma di rumah sakit pasca tragedi tersebut. Berbekal pengalaman yang telah ia dapatkan selama perjalanannya ia berhasil bangkit dari keterpurukannya. Jonathan menemukan pelajaran hidupnya yang lain selama ia kembali ke California dan hidup bersama Lacy, bagaimana orang dapat kembali tegak setelah jatuh ke jurang dalam hidupnya. Bagaimana orang dapat kembali terhubung dengan dunia setelah mengalami suatu tragedi. Jonathan menemukan kesadaran ini, dengan semua tragedi ini maka ia mendapat pelajaran bahwa kita tidaklah harus selalu menengok masa lalu, tetapi merasa bebas untuk menengok masa lalu. Bukan untuk melihat ke depan, tetapi merasa bebas untuk menatap ke depan. Pelajaran utamanya adalah hadir pada saat ini, berjuang dan menjadi sejahtera dan membangun kehidupan baru seperti apa pun itu. Dalam setiap langkah yang dilakukan Jonathan dalam perjalanannya tidaklah mudah untuk memutuskan hal tersebut, yaitu pergi meninggalkan kehidupan nyatanya di kota dan melakukan perjalanan tersebut, tetapi ada banyak pertimbangan yang akhirnya memaksa Jonathan melakukannya. Hal ini dapat kita lihat dalam kaitannya terhadap Teori Atribusi. Teori Atribusi bermula dengan gagasan bahwa setiap individu mencoba untuk memahami perilaku mereka sendiri dan orang lain dengan mengamati bagaimana sesungguhnya setiap individu berperilaku. Sebagai pelaku komunikasi, kita harus berpikir logis kenapa kita berperilaku demikian, dan kadang-kadang kita ingin agar kita dapat menjelaskan kenapa orang lain juga berperilaku seperti itu. Teori atribusi kemudian berhubungan dengan cara kita menyimpulkan hal yang menyebabkan perilaku tersebut, perilku kita dan perilaku orang lain. Penemu teori atribusi, Fritz Heider (dalam Littlejohn, 2011:102) menyebutkan beberapa atribusi kausal yang biasa dibuat setiap orang. Semua ini mencakup penyebab situasional (dipengaruhi oleh lingkungan), pengaruh pribadi (memengaruhi secara pribadi), kemampuan (dapat melakukan sesuatu, usaha (mencoba melakukan sesuatu), hasrat (keinginan untuk melakukannya), keterlibatan (setuju dengan sesuatu), kewajiban (merasa harus), dan perizinan (telah diizinkan). Berapa kali kita mengatakan sesuatu kepada orang lain dan kemudian bertanya pada diri kita sendiri, “kenapa saya melakukan itu?” jawaban kita mungkin terdengar seperti imi: “Saya tidak dapat menahannya, saya harus mengatakannya, atau saya ingin melakukannya,” “saya merasa menyukainya,” “saya ingin masuk kedalamnya,” atau “saya berkewajiban untuk melakukannya.” Terlepas dari bagaimana kita mungkin menjelaskan apa yang kita katakan, mustahil bahwa kita dapat menemukan satu per satu hubungan antara pernyataan kita dan penjelasan kita mengenai hal tersebut. Dengan kata lain mungkin kita menjelaskan alasan kita mengatakan atau melakukan sesuatu dengan berbagai cara . Sejumlah perilaku mungkin dirasakan seperti sesuatu yang muncul dari satu penyebab saja atau sebaliknya, suatu perilaku mungkin muncul dari beberapa penyebab. Ketika kita berkomunikasi , kita sering sering kali harus mengatasi ambiguitas tersebut dan teori atribusi membantu kita memahami bagaimana kita melakukan hal seperti itu. B. ANALISIS WACANA NORMAN FAIRCLOUGH MELIHAT TEKS-TEKS YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL “THE COMPASS” Analisis wacana adalah alternatif dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan telah banyak dipakai. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana teks sebuah tulisan, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa suatu tulisan disampaikan. Dengan melihat bagaimana struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto,2001:15 dan disadur pula oleh Sobur, 2001:68). Dalam Bab ini akan menganalisis lima cerita dari novel “The Compass” dari segi konstruksi realitas dan makna-makna yang terkandung dalam novel “The Compass” karya Tammy Kling dan John Spencer Ellis masing-masing diantaranya adalah: 1. Cerita pertama yang terdapat di 2 Bab yaitu Bab 1 dan 2. (Halaman 1-28) Cerita pertama ini terdiri dari 2 Bab. Dimana pada inti ceritanya Jonathan merasakan kehampaan. Ia baru saja mengalami tragedi yang mendorongnya melakukan perjalanan pencarian diri, perjalanan itu merupakan pelarian, suatu metode yang khas, reaksi bertempur-ataukah-kabur dalam menghadapi trauma. Istri dan putrinya mengalami kecelakaan mobil yang parah, dan Jonathan lari dari kehidupannya. Kearifan yang dapat dipetik adalah perasaan bahwa tragedi dapat merubah pemahaman kita akan sesuatu. Kita merasa bahwa kita bisa minta bantuan keluarga atau teman, tetapi entah kenapa, satu-satunya reaksi terhadap stress yang berat hanyalah lari. Lari dari masyarakat (pelarian ke dalam) hingga lari dalam arti kata sebenarnya (pelarian keluar). Analisis Teks Dalam cerita pertama yang dikisahkan kita dapat melihat bahwa setelah mengalami tragedi tersebut tokoh utama memilih untuk ‘lari’ . mulai dari, lari dari masyarakat sampai lari dari kata sebenarnya. Representasi Seperti penggalan dalam kisah cerita pertama dimana penulis mempresentasikan sebuah seruan kepada pembaca agar senantiasa mencari jalan keluar atas tragedi atau masalah yang sedang Jonathan alami. Dan jalan keluar yang dipilih oleh Jonathan pada saat itu adalah ‘Lari’. Relasi Penulis disini mewakilkan dirinya sebagai bagian dari sosok tokoh utama yang memjadi sasaran dari apa yang hendak ia sampaikan dalam novelnya yaitu menyerukan kepada para pembaca bahwa ada banyak langkah yang dapat kita ambil sebagai antisipasi dari apa yang sedang kita alami. Kemudian hubungan novel secara umum dengan institusi yang menerbitkan novelnya tersebut terlihat ada hubungan yang sifatnya ideologis antara Novel karya Tammy Kling dan John Spencer Ellis yaitu “The Compass” dengan penerbit (media). PT Gramedia Pustaka Umum adalah media yang senantiasa antusias terhadap wacana/seni yang sangat berbeda, inspiratif dan memiliki nilai jual yang tinggi. PT. Gramedia Pustaka Utama, spesifik menerbitkan karya-karya yang bernada inspiratif dan merupakan pengembangan diri (Jadi untuk selanjutnya penulis tidak usah lagi menjelaskan hal ini pada pembahasan cerita-cerita yang berikutnya). Identitas Dari sudut pandang identitas, antara penulis dan karakter tokoh utama tidak memiliki jarak. Sang penulis merupakan seorang penulis yang memiliki tujuan hidup yaitu menulis buku yang mengubah kehidupan. Oleh karena itu ia menulis novel ini yang bertema pengembangan diri untuk membantu siapa saja yang membaca buku ini agar dapat lebih memahami dan menginspirasi tentang makna kehidupan dengan segala cara/proses yang terjadi di kehidupan sehari-hari kita. Prinsip identitas dapat dilihat dari penggunaan kata perumpamaan “lari” . dimana kata lari tersebut merupakan representatif dari makna pelarian. Kebanyakan orang-orang lebih memilih untuk mencari aman ketika mengalami sebuah tragedi daripada berjalan tegak untuk menyelesaikannya. Ini hanya salah satu alternative solusi yang tidak semuanya sepaham. Tetapi sebagian dari kita tanpa menepis realitas yang ada pelarian memang kadang dilakukan dan hal tersebut tampak dengan jelas pada kehidupan sosial kita. Analisis Discourse Practice Dalam proses produksi teks, penulis membuat novel ini secara personal masing-masing penulis dengan melihat realitas dirinya dan pengalaman di lingkungannya sehingga apa yang tertuang dalam novelnya adalah proses internalisasi dari kondisi yang sebenarnya yang ia lihat, dengar, dan rasakan yang menjadi inspirasi dalam novel tersebut. Dalam novel “The Compass”, sang penulis merasakan realitas dimana ia sering melihat keadaan-keadaan seperti pelarian diri dalam menghadapi masalah dan lain sebagainya. Sehingga ia menuangkan kisah tersebut dalam novelnya yang berbentuk nonfiksi yang betul-betul berasal dari pengalaman nyata seseorang yang ia lihat dan amati. Analisis Sosioculture Practice Dari sudut pandang sosial dalam elemen sosioculture practice, novel ini menggambarkan betapa banyak pilihan yang dapat kita ambil ketika kita sedang terpuruk. Tetapi pada masa keterpurukan tersebut seringkali kita tidak menyadari hal tersebut karena adanya perasaan bahwa tragedi dapat mengubah pemahaman kita terhadap sesuatu. Menurut penulis dalam cerita pertama ini ia memfokuskan bahwa Tragedi dapat mengubah kita menjadi sesuatu yang bukan diri kita, sebuah cangkang yang hampa dan kosong. Kita merasa bisa minta bantuan keluarga atau teman, tetapi entah kenapa satu-satunya reaksi terhadap stress berat yang kita saksikan pada masyarakat kita, pada teman-teman dan orang-orang terkasih kita yang mengalami beragam stress. Salah satunya adalah pelarian tersebut. Penulis berusaha untuk menjabarkan hal tersebut secara tersirat dalam beberapa penggalan cerita ketika tokoh utama bertemu dengan salah satu tokoh lainnya bernama Marilyn. Marilyn memperhatikan luka dipipi Jonathan. Kita menemui kembali kisah ini ketika tokoh lain menyebutkannya. Kita ketahui kemudian bahwa itu adalah luka yang didapatnya sehabis kecelakaan mobil, ketika ia berusaha menyelamatkan keluarganya. Akhirnya luka itu menjadi parut, merepresentasikan bekas-bekas luka yang kita dapat selama hidup. Luka tersebut selain luka fisik juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan Jonathan untuk memaafkan, masalah besar dalam hidup dan masa depannya. Penulis melihat ia terperangkap dalam tiga tahap penderitaan: kesedihan, keputusasaan, dan pemaafan, tanpa harapan untuk sampai pada tahap ketiga. Dibalik sebuah kata, bisa saja mewakili banyak maksud, dan hal itu sangat berguna. Soekarno memanfaatkan kata-kata yang bisa membangun semangat berperang bagi prajurit-prajuritnya. Kata-kata memang ampuh, tajam seperti pisau namun tumpul jika ia tak diucapkan. Dalam sejarah periklanan, produk yang memanfaatkan kata-kata dalam iklan-iklan seperti Gudang Garam International ternyata mampu membawa produsennya menjadi leader diantara beberapa pesaing. Sekali lagi, hanya karena kata-kata (yang disimulasi). Bahkan bukan hanya rokoknya yang menjadi candu tapi juga kata-kata yang senantiasa menyertai dibalik iklan-iklannya. Kata-kata menjadi media komunikasi manusia yang umum disebut bahasa, kata-kata adalah bagian dari unit bahasa, hanya saja, kata-kata lebih singkat dibandingkan kalimat-kalimat. Namun meskipun singkat, kata-kata yang jitu mampu menggambarkan banyak hal. Dari analisis secara mikro-teks, representasi dalam anak kalimat yang mewakili makna tindakan yaitu/kita semua merasa memiliki kontrol yang penuh/, kata ‘kontrol’ dimaksudkan buat orang-orang sebagai proses suatu tindakan. Sementara yang mewakili makna peristiwa /padahal kita tidak tahu awal, pertengahan, dan akhir kehidupan ini/, kita tahu bersama tak satupun dari kita yang tahu segalanya. Kebanyakan orang merasa tahu, padahal kita tidak tahu. Sebagian dari proses kehidupan kita ada di luar kontrol kita. Penggabungan dua kalimat; “kita semua merasa memiliki kontrol yang penuh padahal kita tidak tahu awal, pertengahan, dan akhir kehidupan ini”. Memberikan sebuah pengertian bahwa ada hubungan pertentangan antara kalimat satu dan kedua. 2. Cerita kedua yang terdapat di 4 Bab yaitu Bab 3,4,5,dan 6. (Halaman 31-80) Dalam 4 Bab ini Jonathan bertemu dengan seorang tokoh bernama Pete. Pria paruh baya itu telah mengajarkan banyak hal kepada tokoh utama. Pete merupakan sosok yang hangat dan penuh dengan misteri. Disetiap perkataannya mengandung makna yang tersirat yang menjadi pelajaran dan pengalaman baru untuk tokoh utama. Dalam Bab ini Pete mengatakan kepada kita bahwa “Kadang-kadang diperlukan semusim keterpurukan supaya kita dapat menemukan kebahagiaan dan keindahan sejati yang dapat membawa pada transformasi”. Suatu tragedi sulit dijabarkan, tetapi bila kita memperhatikan para pemimpin, guru, dan filsuf, hidup mereka semua dicirikan oleh keterpurukan itu. Lalu Pete juga bertanya kepada tokoh utama, “Berapa musim panas dan musim gugur yang tersisa untuk kau nikmati,Jonathan? Mungkin dua puluh? Tiga puluh? Tidak ada waktu untuk mengumbar emosi”. Ada sebagian orang yang begitu melekat pada impian lama mereka yang sudah usang tanpa pernah sungguh-sungguh memikirkan apakah impian itu bermanfaat bagi mereka. Tuhan punya rencana untuk kehidupan kita. Salah satu dari berbagai hal yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa “Orangorang ditempatkan di dalam hidup kita dengan suatu alasan. Ada yang datang, ada yang pergi, ada yang terus bersama kita. Semuanya terus mengalir, seperti sungai”. Analisis Teks Cerita kedua ini terdiri dari 4 Bab dimana keseluruhan cerita pada bagian ini memberikan banyak pengalaman terhadap tokoh utama dengan menggunakan banyak makna perumpamaan seperti ‘usang’, mengalir seperti ‘sungai’ kemudian ada penegasan dari makna perumpamaan tersebut yang tersirat. Kerumitan kalimat yang dilontarkan oleh Pete membuka cakrawala lain dari sisi kehidupan tokoh utama. Representasi Bagian cerita kedua ini mempresentasikan sebuah bentuk keterpurukan tokoh utama yang belum berhasil bangkit untuk memulai hidupnya dan menerima kenyataan tentang dirinya. Ia masih berusaha keras untuk menyembunyikan kenyataan tersebut dibalik luka yang amat dalam. Melihat kondisi yang sangat mengenaskan secara batin maka tokoh yang ia temui disini berusaha untuk membangkitkan gairah hidup sang tokoh utama secara perlahan dengan memberikan banyak masukan-masukan dan bantuan psikologis berupa kata-kata yang dapat memotivasinya. Relasi Penulis dalam novel dibagian cerita kedua ini menggambarkan dirinya yang dikisahkan oleh tokoh utama dalam melihat realitas kehidupan bahwa Dalam kehidupan sosial ada banyak cara yang dapat kita jalani untuk mendapatkan esensi dari kehidupan. Salah satunya dengan cara tidak menutup diri kita dalam lingkungan. Mulailah melihat dan mendengar apa yang ada di sekililing kita. Karena seperti yang dikatakan oleh tokoh Pete bahwa “Hidup ini singkat!”. Identitas Dari sudut pandang identitas, penulis berusaha memasuki relung batin pembaca dimana ia berusaha merepresentasikan realitas yang ada bahwa “Kita tidak harus selalu memahmi setiap hal. Kadang-kadang ada misteri dalam kehidupan dan kita hanya harus menerima ketidaktahuan kita”. Penulis berusaha untuk menjadi orang awam yang memahami kenyataan bahwa ini adalah pelajaran paling sulit diterima oleh manusia. Analisis Discourse Practice Dalam proses produksi teks, penulis membuat cerita kedua ini secara personal dengan melihat realitas dirinya dan lingkunganya sehingga apa yang tertuang dalam isi ceritanya adalah proses internalisasi dari kondisi yang ia lihat, dengar dan ia rasakan yang menjadi inspirasi dalam bagian cerita kedua tersebut. Seperti yang tersirat dalam kalimat yang singkat ‘Hidup ini singkat!’ sadarilah mimpi-mimpimu, tetapi terimalah juga kemusnahan impianmu yang tidak terwujud atau mimpi yang perlu kau ubah, untuk menjalani kehidupan baru dan menciptakan impian baru. Ini membuktikan bahwa penulis memperhatikan realitas yang ada karena begitu banyak orang-orang yang karena impiannya tidak tercapai ia sudah mulai terpuruk dan tidak ada usaha untuk bangkit kembali dan memulai impian baru yang mungkin lebih bagus. Analisis Sosioculture Practice Dalam bagian cerita kedua ini, penulis terlihat berusaha untuk menampilkan realitas-realitas kehidupan yang ada dengan cara penyampaian yang penuh dengan ungkapan dan maknanya tersirat. Seperti dalam penggalan kalimat yang diucapkan Pete “ Berapa musim panas dan musim gugur yang tersisa untuk kaunikmati,Jonathan? Mungkin dua puluh? Tiga puluh? Tidak ada waktu untuk mengumbar emosi. Kita harus mengambil keputusan untuk merasa bahagia meski mimpi kita musnah. Kita harus bersedia menciptakan mimpi-mimpi baru”. Dalam penggalan kalimat tersebut tersirat makna untuk bangkit dan tidak mudah putus asa. Kita harus selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam kehidupan kita. Jika kita merasa gagal dalam satu hal jangan pantang mundur, bangkit dan raihlah impianmu yang lain yang diciptakan lebih baik untuk kita. Karena kita lahir kedunia ini tidak memilki jaminan berapa lama kita akan hidup. Itulah sebaris makna yang tersirat dalam penggalan kalimat tersebut. Kemudian pemahaman akan penggalan cerita berikutnya yang memberikan kita kehidupan dengan kemasan kalimat yang memiliki makna pengandaian yaitu “Ada sebagian orang yang begitu melekat pada impian lama mereka yang sudah usang tanpa pernah sungguh-sungguh memikirkan apakah impian itu bermanfaat bagi mereka.” Setelah kita membaca penggalan kalimat tersebut maka makna yang tersirat dalam cerita itu adalah kita tidak boleh terlalu lama untuk meratapi nasib kita jika apa yang kita perjuangkan atau cita-citakan tidak tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan, karena Tuhan punya rencana yang lebih baik untuk kehidupan kita. Selain itu dalam penggalan kalimat tersebut digunakan kata ‘usang’ yang mana bermakna sebagai kata kiasan yang memiliki arti lebih dalam dari kata ‘lama’ seakan-akan kata usang itu mewakili hal yang sudah sangat ketinggalan atau mewakili kata ‘lama’ dengan makna yang jauh lebih dalam. Salah satu dari berbagai hal yang paling penting untuk dipahami adalah “Bahwa orang-orang ditempatkan di dalam hidup kita dengan suatu alasan”. Ada yang datang, ada yang pergi, ada yang terus bersama kita. Semuanya terus mengalir seperti ‘sungai.’ Ini menandakan bahwa kita harus menjalin komunikasi dan interaksi dengan yang lain karena siapapun yang datang di kehidupan kita maka dia datang dengan satu tujuan dan maksud. Mereka ditempatkan dalam jalurnya masing-masing. Kata ‘sungai’ menandakan makna bahwa semuanya akan datang dan pergi silih berganti bagaikan aliran air di sungai. 3. Cerita ketiga yang terdapat di 2 Bab yaitu Bab 7,8. (Halaman 81-105) Dalam cerita ketiga ini yang terangkum dalam 2 Bab dimana tokoh utama bertemu dengan karakter lainnya. Tetapi dalam pengalamannya kali ini tokoh utama bertemu dengan seorang anak kecil bernama Salomo. Meski Salomo hanyalah seorang anak kecil, Ia mengajari tokoh utama banyak hal. Ia memiliki jiwa tua. Dalam bagian cerita inilah ketika Jonathan telah mulai berusaha untuk kembali bangkit secara perlahan dengan memulai aktifitasnya, memperhatikan orang lain, menjalin komunikasi, dan melakukan interaksi. Kita melihat tokoh utama memperhatikan Salomo di kebunnya. Ketika itulah awal mula tokoh utama kembali menyadari dunia di sekelilingnya, mulai keluar dari kepompong kebekuan dan penderitaannya. Analisis Teks Cerita ketiga ini yang terangkum dalam 2 Bab memiliki inti cerita yaitu penggambaran dimana umur bukanlah segalanya dalam melihat pengetahuan dan pengalaman seseorang. Terkadang terpaan hidup seseorang yang tidak sama memaksa orang tersebut memilki tingkat kematangan yang berbeda-beda pula. Representasi Cerita dari bagian ketiga ini mempresentasikan sebuah kondisi yang menggambarkan dimanapun kita berada kita harus membuka diri untuk bersosialisasi. Menjalin komunikasi adalah hal yang sangat penting kepada siapapun. Seperti dari cerita ini bahwa tokoh utama tidak menyangka bahwa ia bisa mendapatkan pengalaman baru hanya dengan menjalin hubungan komunikasi dan interaksi dengan seorang anak kecil. Relasi Penulis di novel ini menggambarkan dirinya yang diwakili oleh tokoh utama dengan mengaitkan keadaan realitas sebenarnya yang sering terjadi. Dengan menjalin keterhubungan dengan dunia inilah yang akan menyelamatkan kita. Tokoh utama bisa saja terpuruk dalam depresi dan keterkucilan dan mengakhiri hidupnya. Alih-alih, ia bangkit dari sana dan menjalin hubungan dengan orang-orang yang ditemuinya. Perlahan-lahan, ia mulai merasa hidup kembali. Identitas Dari sudut pandang identitas, penulis adalah orang awam yang berusaha merasakan bagaimana kehidupan tanpa komunikasi itu akan sangat mati. Maka dari itu penulis berusaha menjelaskan bahwa dengan menjalin komunikasi yang baik dan efektif maka akan tercipta sebuah kehidupan yang nyaman dan sejalan. Karena kebanyakan dari kekacauan yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari disebabkan oleh adanya kesalahan dalam komunikasi atau missed communication. Dalam hal ini kita bisa melihat dari kondisi tokoh utama yang digambarkan oleh penulis dimana tokoh utama akan mengalami keterpurukan atau bahkan dalam kondisi depresi yang berkepanjangan itu akan membuat tokoh utama akan mengakhiri hidupnya. Dari pemaparan penulis tersebut bisa kita ketahui bahwa betapa pentingnya sebuah komunikasi yang dilakukan dengan orang lain. Analisis Discourse Practice Dalam proses produksi teks, penulis membuat cerita ketiga ini secara personal dengan melihat realitas di kehidupan yang sebenarnya sehingga apa yang tertuang dalam cerita ketiga ini adalah proses internalisasi dari kondisi yang ia lihat dan amati yang menjadi inspirasi dalam cerita yang tertuang dibagian ketiga ini. Dibagian cerita ketiga ini penulis merasakan realitas dimana betapa sulitnya hidup tanpa berkomunikasi. Orang bisa saja hidup tanpa komunikasi tapi ia akan terlihat seperti ‘mati’ karena semua kegiatan yang kita lakukan diperlukan sebuah komunikasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Analisis Sosioculture Practice Dalam cerita ketiga ini , penulis terlihat semakin melebarkan permasalahan mengenai pentingnya komunikasi tersebut. Salomo hanyalah seorang anak kecil tetapi justru dari Salomo lah tokoh utama dengan perlahan dapat bangkit. Seperti dari penggalan kalimat “Tokoh utama mulai menyadari dunia di sekelilingnya, mulai keluar dari kepompong kebekuan dan penderitaanya”. Kata ‘Kepompong’ dalam kalimat tersebut menandakan tempat persembunyian tokoh utama dalam persembunyiannya selama ia meraskan keterpurukan yang getir. Kepompong itu bagai tempat yang sangat rapuh seakan tak seorangpun yang bisa menyentuhnya karena akan merusak kepompong tersebut. tetapi ibarat metamorphosis kupu-kupu cepat atau lambat kepompong tersebut akan mulai keluar dan menampakkan dirinya dengan wujud yang lain dan jauh lebih indah. Dalam hal ini sangat sering kita temui dalam kehidupan sosial kita dimana seseorang tengah mengalami keterpurukan akan memilih untuk bersembunyi dan meratapi nasibnya. Tetapi ada banyak cara dalam melihat keindahan dunia ini dengan niat untuk membuka diri sekali lagi maka tempat yang jauh lebih indah akan kita temukan. Jangan jadikan sebuah masalah adalah sesuatu yang megakhiri segalanya, percaya bahwa masalah diciptakan beserta solusinya adalah salah satu persepsi yang dapat membantu kita untuk mencoba bangkit dengan mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang sedang kita alami. 4. Cerita keempat yang terdapat di 3 Bab yaitu Bab 9,10,11. (Halaman 107-151) Cerita keempat yang terdapat di 3 bab ini mengisahkan petualangan tokoh utama dengan bertemu banyak tokoh lainnya dibandingkan cerita-cerita sebelumnya. Ia bertemu dengan tokoh Toin yang merupakan mantan atlet sepeda yang karirnya telah berakhir setelah ia mengalami sebuah kecelakaan fatal yang mengharuskan ia kehilangan kakinya. Tetapi dengan semangat yang tidak pernah surut tidak butuh waktu yang lama Toin sudah berhasil kembali menjalani hidupnya dengan normal. Hal itu sangat menginspirasi tokoh utama. Sewaktu tokoh utama datang ke Belanda dan bertemu dengan Toin dan Anja (kekasih toin) ia menemukan pelajaran pertamanya sendiri, yaitu tentang mengikuti kompas batin. Ia merasa, “kadang-kadang kekuatan paling dahsyat yang dapat kita rasakan adalah di antara satu ruang dan ruang lainnya pada suatu saat di antara saat ini dan langkah berikutnya”. Analisis Teks Cerita keempat ini merupakan perjalan tokoh utama yang sudah mulai hampir secara utuh bangkit dalam keterpurukannya. Dimana dalam perjalanannya di Belanda ia sudah mulai beraktifitas secara normal bahkan sudah kembali merasakan aura ‘California’ kota di Los Angeles dimana ia menjalani hidupnya sebelum memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang tersebut. Ia sudah dapat tertawa lebar seakan memberi tanda bahwa ‘luka’ tersebut sudah mulai pulih. Representasi Cerita ini mempresentasikan sebuah kondisi dimana tokoh utama diceritakan sudah kembali mendapatkan semangat untuk melanjutkan hidupnya kembali. Melihat kejadian dalam masyarakat dimana penulis berusaha untuk merepresentasikan kejadian tersebut yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari dan dituangkan kedalam cerita keempat ini yaitu kadang-kadang kekuatan paling dahsyat yang dapat kita rasakan adalah di antara satu ruang dan ruang lainnya pada suatu saat di antara saat ini dan langkah berikutnya. Disini kita harus melihat kondisi bahwa ada banyak cara untuk kembali bangkit dari keterpurukan seperti yang digambarkan oleh penulis dalam menceritakan kebangkitan utuh tokoh utama karena telah terinspirasi dalam banyak hal dan melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk menemukannya kembali. Relasi Penulis di sini menggambarkan dirinya sebagai masyarakat biasa dimana ia berusaha menyampaikan pesan dengan menampilkan cerita tokoh utama di bagian keempat ini bahwa setiap keterpurukan bisa kita atasi dengan semangat yang tinggi dan melihat dunia di sekitar kita. Jangan teperosok terlalu jauh ke dalam lubang kegetiran tersebut. berusahalah untuk merangkak sedikit demi sedikit untuk kembali mencapai puncak. Identitas Dari sudut pandang identitas, antara penulis dan pembaca tidak memiliki jarak. Penulis juga merupakan orang yang tidak lepas dari tindakan komunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Maka ia berusaha untuk menampilkan identitas tersebut dengan menggunakan tokoh utama dalam situasinya pada cerita bagian keempat ini. Prinsip identitas dapat dilihat dari penggunaan kata-kata dari bahasa Belanda yang diucapkan oleh tokoh utama yaitu ‘Fiets’ (Sepeda) ‘Goede reis!’ (Hati-hati di jalan) ‘Ja’ (iya) ini mewakili sisi tokoh utama yang sudah mulai berevolusi dan menyatu dengan kebudayaan Amersfoort yang menandakan bahwa ia berusaha dengan keras dan berbagai cara untuk melupakan masa suramnya. Analisis Discourse Practice Dalam proses produksi teks, penulis membuat cerita ini secara personal dengan melihat realitas dirinya dan lingkungan sebenarnya yang terjadi. Sehingga apa yang tertuang dalam cerita keempat ini adalah proses internalisasi dari kondisi yang menjadi realitas kehidupan. Dalam cerita ini penulis merasakan realitas dimana dalam kehidupan sosial yang sebenarnya memang komunikasi dan interaksi harus terjalin secara harmonis. Ada banyak orang yang tidak bisa kembali melanjutkan hidupnya secara normal setelah ia mengalami depresi, tapi jangan sampai depresi tersebut berkepanjangan dan mengakibatkan sesuatu yang lebih fatal. Dengan berkomunikasi dengan orang lain maka kita akan menjalin sebuah interaksi yang akan memberikan kita banyak pemahaman dan pengetahuan mengenai sisi lain kehidupan. Analisis Sosioculture Practice Cerita pada bagian keempat ini adalah dimana secara sosial penulis kembali berusaha untuk melihat realitas yang terjadi dalam kehidupan kita seharihari. Karena penulis juga merupakan seorang masyarakat yang tidak bisa lepas dari interaksi satu sama lain dan komunikasi yang ia jalin dalam kesehariannya maka penulis sangat merasakan keterkaitan tersebut. dimana dengan menciptakan komunikasi yang efektif maka akan terjalin suatu hubungan yang baik. Melihat realitas tersebut dalam bagian cerita ini maka penulis menggambarkan kebangkitan yang sudah hampir sepenuhnya utuh yang dialami oleh tokoh utama berkat pengalaman dan pemahaman yang ia sudah dapatkan selama perjalanannya. Dalam cerita ini digambarkan tokoh utama sudah mulai meraskan sensasi hidup yang mulai bersemangat. Didukung oleh pemberhentian keempat yang ia singgahi ini adalah Belanda, Amstedam tepatnya di kota Amersfoort. “Amsterdam terasa olehku bagaikan kereta yang meluncur, Bandaranya ramai oleh lalu lalang manusia ke berbagai penjuru”. Penggalan kalimat tersebut mencerminkan keadaan kota Amsterdam yang sangat ramai dan menyenangkan. Pengguanaan kata ‘bagaikan kereta yang meluncur’. bermakna semangat yang menggebu karena melihat kota tersebut begitu padat, banyak penduduknya, kendaraan ramai berlalu lalang. merasakan atmosfer yang lain di belahan dunia yang lain adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Dalam penggalan cerita lainnya yang menandakan bahwa ia sudah kembali menemukan semangatnya adalah “Pada hari-hari tertentu, sementara ia mengayuh sepeda, bayangan petak-petak gelap jatuh mengenai bagian atas kepalaku, lalu tak lama kemudian aku menemukan secercah cahaya yang tak dapat kujelaskan. Sensasinya sungguh luar biasa”. Kiasan yang diberikan oleh penulis dalam menggambarkan keindahan dan semangat baru tokoh utama jelas terlihat dalam penggalan cerita tersebut. Selain itu semangat lain yang sudah di dapatkan kembali oleh tokoh utama terlihat adanya perubahan dalam diri Jonathan, dalam sekejap Jonathan telah tenggelam dalam kultur itu, ia sudah merasa menjadi bagian dari tempat tersebut. perubahan yang digambarkan oleh penulis ialah ketika tokoh utama menggunakan bahasa Belanda yang sudah mulai ia kuasai dengan cara mempelajarinya dengan memperhatikan orang-orang disekitarnya. Kemudian ia juga mulai berevolusi dengan peampilannya yang menyerupai warga lokal. “Tanpa kusadari aku sudah beradaptasi dengan kondisi di Belanda, dengan budaya dan bahasanya”. Tidak sedikit orang yang berjumpa dengannya mengira ia adalah orang Belanda. “Dalam pengertian melarikan diri, aku sudah berhasil. Aku sudah kabur dari kehidupan lamaku dan menjalani hidup baru di dunia baru”. Penulis berusaha memaparkan bahwa metode melarikan diri tersebut merupakan cara yang paling singkat dilakukan seseorang dalam menghadapi sebuah masalah yang membuat kita terpuruk atau bahkan depresi. Ada banyak cara untuk ‘melarikan diri’. Tetapi melarikan diri bukanlah cara yang pantas dilakukan karena hanya akan menimbulkan permasalahan lain yang mungkin jauh lebih buruk dari sebelumnya. 5. Cerita kelima yang terdapat di 2 Bab yaitu Bab 12 dan 13. (Halaman 153-187) Dibagian akhir cerita ini dikisahkan bawha Jonathan memutuskan untuk kembali menghadapi kehidupan nyata yang menunggunya, dimana dulu ia telah memutuskan untuk meninggalkan kehidupannya tersebut. Jonathan dan Lacy kembali bersama. Dalam cerita ini dimana setelah tokoh utama kembali ia menemukan pelajaran hidupnya yang lain. Yaitu bagaimana cara orang dapat kembali tegak setelah jatuh ke jurang yang curam dalam hidupnya. Bagaimana orang dapat kembali terhubung dengan dunia setelah mengalami suatu tragedi. Tokoh utama telah menemukan kesadaran ini dan kembali melanjutkan kehidupannya dengan jiwa yang baru, menata hidupnya yang sempat berantakan dan membangunnya kembali dengan Lacy,Istrinya. Analisis Teks Dalam cerita terakhir di novel ini sangat jelas menggambarkan bagaimana tokoh utama memilih untuk kembali menghadapi hidupnya bersama dengan istrinya yang sudah ia tinggalkan, dan berusaha untuk mengikhlaskan tragedi tersebut yang telah menghilangkan nyawa anaknya. Puing-puing kehidupan yang berantakan kembali ia bangun dengan semangat dan jiwa yang lebih positif dengan segala pengalaman dan pemahaman mengenai kehidupan yang ia dapat selama perjalanan pelarian dirinya. Representasi Sangat jelas dalam cerita terakhir ini penulis berusaha untuk mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang telah mengalami keterpurukan dan berhasil bangkit. Ada banyak orang diluar sana yang tidak bisa merelakan sesuatu. penulis menggambarkan bahwa kita harus belajar untuk ikhlas menerima apa yang tengah terjadi pada kehidupan kita. Penulis melihat kenyataan ini di masyarakat kita maka ia menuangkannya di bagian akhir cerita dimana pelajaran penting yang ingin disampaikan penulis bahwa “segala sesuatunya telah diatur, maka rencanakanlah semuanya jika gagal bangkitlah dan bangun kembali harapanmu yang sempat runtuh”. Relasi Penulis di sini menggambarkan dirinya sebagai orang-orang pada umumnya yang tidak luput dari penderitaan dan rasa ketidakikhlasan dalam menerima sesuatu yang tidak kita harapkan. Hal tersebut merupakan reaksi normal dari seorang manusia biasa. Tetapi yang menjadikan inti cerita dalam bagian terakhir ini bagaimana kita harus bisa bangkit dari keterpurukan dan menjadikan semua yang telah terjadi merupakan sebuah pengalaman hidup untuk pembelajaran berikutnya. Identitas Dari sudut pandang identitas, antara penulis dan pembaca tidak memiliki jarak. Penulis juga merupakan orang biasa seperti para pembaca. Jadi penulis berusaha untuk memposisikan dirinya sedemikian untuk dapat menghantarkan pesan yang ingin disampaikan dalam isi cerita terakhir tersebut. identitas tersebut dapat dilihat dari karakter tokoh utama yang dikisahkan dalam cerita ini, dimana ia telah berhasil bangkit dalam masa keterpurukannya dan kembali menjalani hidupnya bersama Lacy,Istrinya. Analisis Discourse Practice Dalam proses produksi teks, penulis membuat cerita kelima ini secara personal dengan melihat realitas dirinya dan lingkungannya sehingga apa yang tertuang dalam cerita ini adalah proses internalisasi dari kondisi yang ia lihat, dengar dan ia rasakan yang menjadi inspirasi dalam pembuatan cerita kelima ini. Karena melihat kenyataan dalam kehidupan sehari-hari hal demikian sering terjadi maka penulis merefleksikan kenyataan tersebut dalam bentuk teks sebuah cerita dalam novelnya. Analisis Sosioculture Practice Kehadiran cerita kelima ini yang sangat sarat dengan realitas kehidupan kita merupakan suatau pemahaman penulis dalam menggambarkan kisah tokoh utama. Dimana tokoh utama mendapatkan pelajaran hidup yang lain. “Bagaimana orang dapat kembali tegak setelah jatuh ke ‘jurang’ yang curam dalam hidupnya”. Kata ‘jurang’ yang digambarkan penulis bahwa betapa dalamnya kepahitan dan penderitaan yang sudah dialami oleh tokoh utama. Tetapi dengan banyak pengalaman yang ia dapatkan dan pemahaman akan kehidupan yang lain maka ia dengan perlahan kembali mendapatkan semangat jiwanya yang sempat hilang. Kemudian penulis juga menggambarkan dengan memberikan sebuah pelajaran pada tokoh utama yaitu “kadang-kadang , kehidupan baru ibarat langkah bayi, tertatih selangkah demi selangkah”. Makna dari kata ‘langkah bayi’ tersebut adalah kebangkitan yang dirasakan tokoh utama bukanlah kebangkitan mendadak melainkan kebangkitan perlahan yang ia tidak sadari. Selain itu, pada bagian akhir kisah ini, pelajaran berikutnya dikisahkan oleh penulis berasal dari tokoh Lacy: dalam hidup ini , meski dengan berbagai hal yang tidak dapat kita kontrol, “bisa muncul keajaiban dari berbagai hal yang biasa-biasa saja”. Dari penggalan kalimat ini penulis berusaha memaparkan sebuah makna bahwa ada masa-masa dalam hidup kita ketika kita menjadi terlalu mengarah ke dalam dan introspektif, memfokuskan diri pada kesalahan-kesalahan kita, kehidupan kita, kesulitan-kesulitan yang kita hadapi , dan pertumbuhan diri kita. Itu menjadi sebuah pola pikir yang melingkar-lingkar, dan kita pun terbelit. Makna dari kata ‘keajaiban’ dalam penggalan kalimat dari cerita tersebut merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis bahwa dalam ketiadaan tragedi pun mudah sekali bagi orang-orang untuk menuntut perbaikan diri dan pencapaian prestasi Namun kadang-kadang kita hanya perlu diam dan membiarkan Tuhan mengatur hidup kita. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Pada akhirnya studi ini kembali dihadapkan pada perjalanan awal yang telah dirumuskan : Makna-makna apakah yang tersembunyi dan hendak disampaikan dalam novel “The Compass” ? Realitas apakah yang tampak dibalik novel “The Compass” dengan merujuk pada pemahaman komunikasi ? Berdasarkan temuan-temuan dan hasil interpretasi mendalam, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Realitas dan makna-makna yang tampak dibalik novel “The Compass” dengan merajuk pada pemahaman komunikasi memperlihatkan bahwa kita semua terhubungkan satu sama lain. dengan melihat dari segi pemahaman komunikasi maka realitas yang ada dibalik novel “The Compass” dapat kita ketahui., bahwa terjalin proses interaksi dan komuniaksi di dalamnya. Dengan merujuk dengan pemahaman komunikasi maka kita dapat melihatnya dengan mengacu pada teori-teori dan tradisi komunikasi yang ada dan merupakan representasi dari cerita-cerita yang tergambarkan dalam novel “The Compass”. Layaknya prisma, teori komunikasi menyerap pemahaman dan merefleksikannya kembali dengan cara beragam dan menarik. Oleh karena itu, teori komunikasi dapat pula dikatakan sebagai cara untuk melihat banyak kemungkinan tentang bagaimana pemahaman komunikasi itu sendiri. Selain itu, mengenai makna-makna yang terkandung dalam novel “The Compass”. Dalam hal ini untuk memudahkan peneliti dalam penelitian maka digunakan analisis wacana model Norman Fairclough guna mengungkap makna-makna dari teks-teks yang ada dalam cerita novel “The Compass”. Dalam teori Norman Fairclough penulis berusaha untuk mengungkap makna dari setiap kata-kata yang ada pada cerita-cerita di novel “The Compass”. Maka ditemukana bahwa setiap cerita yang saling berkaitan satu sama lain dalam novel ini memiliki makna-makna yang kuat mengenai arti kehidupan, betapa semua yang ada meurupakan sebuah keterhubungan dengan yang lainnya. Kemudian dalam penelitian menggunakan model Norman Fairclough ditemukan bahwa ada banyak kata-kata pengandaian, atau kiasan-kiasan yang dipaparkan untuk memperkuat cerita dalam novel ini sehingga berhasil mempengaruhi banyak pembacanya. Scorates adalah seorang pemikir hebat yang dihukum mati karena kata-katanya, namun kata-kata itu berlaku hingga kini. B. SARAN-SARAN Diharapkan untuk terus membuka dan mengembangkan pendekatan analisis wacana ini. Disarankan teks ini dicoba digali lebih jauh dengan mengkombinasikan analisis wacana model Van Dijk. Agar bisa menginterpretasi obyek penelitian seilmiah mungkin. Karena antara model satu dan lainnya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jika upaya ini ditempuh, maka akan menjadi upaya riset yang serius bagi pengembangan piranti analisis wacana. Karena Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Diharapkan agar semakin banyak novel yang baik untuk dibaca bagi penyempurnaan diri. novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Karena novel dinilai dapat memberikan banyak pelajaran tanpa memberi kesan untuk menggurui. jika semua novel bersifat berat dan serius maka tidak akan mudah dipahami oleh para pembaca, dan akan menimbulkan kebosanan. Oleh karena itu dibutuhkan novel yang bersifat menghibur tetapi memiliki nilai edukatif, dan ringan dari pemilihan kata-kata yang mudah dipahami serta ide cerita yang segar dan variatif. DAFTAR PUSTAKA Aw, Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu. Duapadang, Vicktor. 2005. Ideologi Konsumerisme Dalam Film Virgin : Studi Analisis Semiotika Film (Skripsi). Makassar : Unhas. Ellis, John Spencer & Tammy Kling. 2010. The Compass: Pengalaman Menemukan Diri Kita Yang Sesungguhnya. Indonesia: Gramedia Pustaka Utama (GPU). Eriyanto, 2001, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKiS. Fairclough, Norman. 1995. Critical Disqurse Anylysis. London: Longman Group Ltd. Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Heinich, dkk. 2005. Instructional Technology And Media For Learning 8th Edition. New Jearsey: Pearston Merril Prentice Hall. (http://wahyu09110241008.blogspot.com/2012/13/makalahsederhana-heinich-molenda-russel-somaldino), diakses 26 Mei 2012 pukul 21:00 WITA) Harjito. 2002. Student Hijo karya Marco Kartodikromo Analisis Hegemoni Gramscian. Tesis. Yogyakarta: UGM. Haryalesmana, Devid. 2008. Pengertian Media Pembelajaran. (http://www.guruit07.blogspot.com/2009/01/pengertian-mediapembelajaran.htm), diakses 26 Mei 2012 pukul 21.15 WITA) HT, Faruk. 2002. Konsep Dan Analisis Wacana Bakhtinian. Yogyakarta: Kanal Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Mangelang: Indonesiatera. Littlejohn, Stephen W. & Karen A.Foss. 2011. Teori Komunikasi Theoris of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika. Madasari, Okky. 2010. Entrok. Jakarta: Gramedia. (http://www.okkymadasari.net. Hegemoni-dalam-karyasastra.htm), diakses 27 Mei 2012 pukul 21.20 WITA) Monaco, James, 1997. How To Read A Film, London: Oxford University Press. Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda. Nasution, Ikhwanuddin, 2008. Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra: Suatu Proses Komunikasi, Sumatera Utara: USU.AC.ID. (http://www. sabiqelkhoury Blogspot.com/2008/11/suatu-proseskomunikasi.htm), diakses 27 Mei 2012 pukul 21:45 WITA) Nursidik,Yahya 2008. Media Pembelajaran. (http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/05/mediapembelajaran.html),diakses 27 Mei 2012 pukul 22:15 WITA) Pamma, Arsyi. 2005. Aku Ingin Jadi Peluru : Analisis Wacana Terhadap Teks-teks puisi Wiji Thukul (Skripsi). Makassar : Unhas. Rakhmat, Jalaluddin. 1996. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ransome, Paulus. 1992. Antonio Gramsci: Sebuah Pengantar Yang Baru. Harvester Wheatsheaf. Ruben, Brent D,Stewart, Lea P, 2005, Communication and Human Behaviour,USA: Alyn and Bacon. Segers, Rein T. 2000. Evaluasi Teks Sastra.Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana , Analisis Semiotika, Dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Williams, Raymond. 1988. Dominant, Residual, and Emergent. Dalam KM Newton, twentieth century literary theory. London: Macmillan education ltd. Yusuf, Eddy. 2000. Psikologi Sosial Teori dan Praktek. Makassar: Offset Setting Perkasa Http//:www.wordpres.com Http://id.wikipedia.org/wiki/novel