View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak lahir kita tidak dapat hidup sendiri dan mempertahankan hidup
tanpa berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan
biologis kita seperti makan dan minum, dan memenuhi kebutuhan
psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat,
kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang
sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang
ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik
dengan orang lain.
Merujuk pada pengertian Ruben dan Stewart (2005:16) mengenai
komunikasi manusia yaitu: Bahwa komunikasi manusia adalah proses
yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok,
organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk
beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Maslow (Dalam
Mulyana,2001:5-30) menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan
dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan
diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi
terlebih dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi diupayakan. Kita
mungkin sudah mampu dalam kebutuhan fisiologis dan keamanan untuk
bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial,, penghargaan
diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya
meliputi keinginan untuk memperoleh rasa lewat
rasa memiliki dan
dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan.
Komunikasi akan sangat dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi
informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang
lain, mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah kemudian
mengambil keputusan, dan tujuan-tujuan sosial serta hiburan. Ruben dan
Stewart, (2005:1-8) menyatakan bahwa Komunikasi adalah fundamental
dalam kehidupan kita. Dalam kehidupan kita sehari-hari komunikasi
memegang peranan yang sangat penting. Kita tidak bisa tidak
berkomunikasi, tidak ada aktifitas yang dilakukan tanpa komunikasi,
dikarenakan kita dapat membuat beberapa perbedaan yang esensial
manakala kita berkomunikasi dengan orang lain. Demikian pula
sebaliknya, orang lain akan berkomunikasi dengan kita, baik dalam jangka
pendek ataupun jangka panjang. Cara kita berhubungan satu dengan
lainnya, bagimana suatu hubungan kita bentuk, bagaimana cara kita
memberikan kontribusi sebagai anggota keluarga, kelompok, komunitas,
organisasi dan masyarakat secara luas membutuhkan suatu komunikasi.
Sehingga menjadikan komunikasi tersebut menjadi hal yang sangat
fundamental dalam kehidupan kita.
Komunikasi merupakan sebuah kebutuhan yang terus berpacu dengan
perkembangan zaman. Seiring perkembangan tersebut komunikasi sudah
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Media merupakan sebuah alat yang
sangat efektif dalam memberikan influence terhadap kehidupan manusia,
terkhusus pada zaman modernisasi yang sangat identik dengan era
globalisasi. Perkembangan yang signifikan membawa arus besar terhadap
kehadiran media di tengah-tengah masyarakat yang tetap setia menanti
pembaharuan tersebut. Manusia bagaikan robot dengan karunianya yang
senantiasa terhipnotis oleh keberadaan sebuah media. Apabila tidak
dipilah maka media dapat menjadi sebuah boomerang termukhtakir yang
pernah ada. Di samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media
yang sering diganti dengan kata mediator menurut Fleming (dalam
Haryalesmana,2008:234) adalah penyebab atau alat yang turut campur
tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya. Dengan istilah mediator,
media menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang
efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar.
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari
kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media
adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari
pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga
proses belajar terjadi. Sadiman (dalam Haryalesmana,2002:6).
Salah satu media massa yang sudah sangat lama adalah novel.
Menurut Monaco (How To Read A Film, terj: 1981) antara sejarah bentuk
seni novel selama tiga ratus tahun dan perkembangan film selama delapan
puluh tahun terdapat suatu kesejajaran yang menarik. Kedua-duanya
adalah seni populer, yang tergantung dari jumlah penikmat yang cukup
besar supaya dapat berfungsi secara ekonomis. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa sejarah seni popular yaitu novel sudah ada sejak lama dan
bertahan sampai sekarang bahkan semakin berkembang meskipun media
massa yang lain terus bermunculan.
Heinich, Molenda, Russel (2005:8) menyatakan bahwa : Media adalah
saluran komunikasi termasuk film, televisi, diagram, materi tercetak,
komputer, dan instruktur. Materi tercetak seperti novel merupakan saluran
komunikasi yang tidak memiliki visual tetapi menggambarkan sebuah
cerita dengan pencitraan dan penafsiran yang apik. Pemahaman mengenai
komunikasi dapat kita telusuri dengan mengarungi novel “The Compass”
yang pada setiap Chapter-nya menggambarkan dengan tegas sistem
komunikasi tersebut. Meskipun bukan melalui media visual tetapi novel
“The Compass” : Perjalanan menemukan diri kita sesungguhnya
karya
Tammy Kling, John Spencer Ellis berhasil mempengaruhi
banyak orang.
Dalam
novel
tersebut
diceritakan
Jonathan
meninggalkan
kehidupannya yang mapan di daerah pinggiran kota menyusul tragedi
yang mengubah rencana-rencananya bagi masa depan. Dalam keadaan
hancur karena kepedihan, dukacita, penyesalan, dan keputusasaan, ia
memutuskan untuk mengembara, mencoba menyelaraskan kompas
batinnya. Di setiap persinggahannya Jonathan bertemu seseorang yang
memberinya pelajaran berharga tentang hidup, yang mengajaknya
merenungkan kembali esensi dirinya dan prioritas-prioritasnya, yang
membuatnya menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia
ini, bahkan setiap orang yang melintas di jalur hidupnya pun hadir dengan
suatu maksud. Sebagai manusia, kita semua terhubungkan oleh cinta,
penderitaan, dan kadang bahkan oleh tragedi atau peristiwa yang tidak
dapat kita kontrol. Setiap orang meniti perjalanan yang unik, namun tetap
terhubungkan
oleh
berbagai
pengalaman
dan
emosi.
Di
dalam
keterhubungan itulah terdapat kehidupan.
“The Compass” adalah metafora perjalanan hidup kita. Melalui kisah
Jonathan, buku ini mengajak kita merenungkan kembali hidup kita,
keyakinan kita, pilihan dan prioritas dalam hidup kita, serta makna dan
tujuan hidup kita. mengubah hidup kita dan memandu perjalanan kita
untuk menemukan diri kita yang sesungguhnya. membagikan kearifan
tentang autentisitas dan pemberdayaan diri, serta tentang meyakini impianimpian kita. Membantu kita dalam menjalani dan memenuhi tujuan hidup
kita. Membawa kita dari posisi saat ini ke posisi yang kita inginkan.
Kompas adalah sebuah transformasi kehidupan baru yang akan memandu
kita pada perjalanan penemuan diri. Pada inti dari Kompas ini adalah
pelajaran khusus tentang sistem kepercayaan dan pemahaman yang benarbenar dalam rangka untuk menjalani takdir.
Hanya dengan membawa ransel, Jonathan meninggalkan kariernya,
teman, keluarga, dan rumah. Perjalanan dimulai pada sebuah gurun di
Nevada, dan melanjutkan ke pegunungan murni Adirondacks, dan
kemudian ke sebuah desa abad pertengahan di Rumania, lalu
melanjutkanya ke Belanda.
Di setiap perjalanan, Jonathan bertemu dengan orang paling penting
yang menawarkan pelajaran hidup yang besar, dan dia mulai menyadari
bahwa setiap individu ditempatkan di jalur nya karena suatu alasan.
Keterhubungan manusia yang satu dengan yang lainnya tidak terlepas dari
proses komunikasi yang sangat erat dalam penggambaran cerita dari novel
ini. Dimana komunikasi yang tercipta pada setiap moment sangat kuat.
Ketika Jonathan terdampar di gurun Nevada dengan ketidak
berdayaanya kemudian muncul seorang wanita paruh baya dengan kondisi
yang berbanding terbalik dengan Jonathan, dimana Jonathan terlihat
sangat lemas dan tidak memiliki tenaga bahkan untuk bangkit dari
pijakannya. Wanita ini mendekati Jonathan dan memberikan sebotol air
yang kembali menyambung sisa nyawa Jonathan. Wanita tersebut
mengajak Jonathan untuk berkomunikasi wanita itu begitu tenang dan
terlihat sangat tegar. Sikap wanita tersebut membawa semangat kehidupan
bagi Jonathan yang tadinya sudah berfikir akan mati di tengah gurun yang
gersang dan tandus.
Terkadang cara kita menyikapi suatau masalah dengan sudut pandang
yang lain dan cara kita berkomunikasi dengan seseorang akan memberikan
pengaruh besar kepada yang lain. Terkhusus apabila sang komuikator
memiliki persamaan secara psikologis dengan komunikan. Dalam kasus
ini Jonathan dan wanita sama-sama berada dalam situasi yang mencekam
terdampar di sebuah gurun luas nan gersang.
Percakapan antarpersonal juga terjadi ketika Jonathan bertemu dengan
seorang pria tua yang walaupun baru berkenalan terdapat kedekatan yang
lebih karena mereka berdua sama-sama seorang pria yang sedang tidak
memiliki pasangan pada saat itu. Tetapi pria tua itu adalah sosok pria yang
baik, rendah diri dan memiliki beberapa investasi kekayaan dalam bentuk
penginapan yang besar dan luas dengan jumlah yang tidak sedikit. Dari
pria tua ini Jonathan mendapat kenyataan bahwa hidup sendiri bukan
berarti harus merenungi diri tetapi masih ada banyak cara untuk menyikapi
hal itu dengan cara yang positif. Banyak yang bisa dilakukan agar ruang
kosong tersebut dapat terisi dengan maksimal.
Pada tataran ini, novel tidak lahir dari ruang hampa, melainkan ia hadir
sebagai refleksi dari latar belakang kehidupan sosio-kultural masyarakat.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
lebih jauh dan mendalam novel “The Compass” sebagai penelitian dengan
judul :
ANALISIS NOVEL “THE COMPASS” KARYA TAMMY KLING
& JOHN SPENCER ELLIS TERHADAP PEMAHAMAN
KOMUNIKASI
(Studi Analisis Wacana)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka ada 2
rumusan masalah yang ingin dikemukakan, yaitu :
1.
Makna-makna apakah yang tersembunyi dan hendak disampaikan
dalam novel “The Compass” ?
2.
Realitas apakah yang tampak dibalik novel “The Compass” dengan
merujuk pada pemahaman komunikasi ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui makna-makna tersembunyi yang hendak
disampaikan dalam novel “The Compass”.
2. Untuk mengetahui realitas yang tampak dibalik novel “The
Compass” dengan merajuk pada pemahaman komunikasi.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari adanya penelitian ini antara lain:
a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi
kontribusi terhadap perkembangan piranti teori komunikasi dalam
kaitannya dengan studi mengenai seni populer, novel serta
penggunaan analisis wacana.
b. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin
membahas sebuah novel atau buku.
c. Secara praktis, penelitian ini dapat membantu kita mengenai
pemahaman
komunikasi.
bahwa
segala
sesuatunya
saling
berhubungan ,dan komunikasi sangat penting untuk menunjangnya.
d. Guna memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian akhir
yaitu pembuatan skripsi pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
D. Kerangka Konseptual
1. Hegomoni dalam karya sastra
Titik awal konsep Gramsci ( 1992:19-20) tentang hegemoni adalah,
bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelaskelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Gramsci
berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni
diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni
membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin
kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemoni
(hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan
anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan
kehendak Tuhan atau produk alam.
Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah
kelas melakukan tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau
sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasi ideologi, tidak
hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan
pandangan seniman dan intensi pengarang tentang kehidupan, serta
kondisi sosial historis pada saat yang bersangkutan (Harjito, 2002:2324).
Teori hegemoni Gramsci di atas membuka dimensi baru dalam studi
sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang
semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh
masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai
kekuatan dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem sendiri
meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Ada cukup banyak studi
sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni tersebut.
Media komunikasi bukan hanya terpaku pada media komunikasi massa
seperti pada umumnya berupa televisi, radio, dan koran saja. Karya sastra
juga merupakan media untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan si
pencipta kepada khalayak luas. Pencipta karya sastra bisa menuangkan
saran, sindiran, atau informasi lainnya sesuai dengan peristiwa yang
biasanya sedang hangat dibicarakan. Novel merupakan salah satu karya
sastra yang dapat dijadikan media komunikasi, karena penyajian pesan
komunikasinya dengan cara menuangkan pada suatu objek atau peristiwa
yang sedang menarik perhatian khalayak. Kita dapat mengetahui pesan
dari novel tersebut tentunya dari amanat, baik yang tersirat maupun yang
tersurat. Hanya saja saat ini sedikit sekali novel-novel yang dapat
memberikan dampak positif bagi pembaca, sehingga pembaca terinspirasi
merubah tindak dan perilaku.
Novel yang beradar kebanyakan adalah novel yang hanya berkutat
pada romansa percintaan. Padahal seharusnya sebuah karya sastra bisa
dijadikan media untuk mendidik pembaca.
Sebenarnya sebuah karya sastra merupakan media komunikasi
persuasif yang baik, karena di dalamnya kita dapat mengungkapkan
kejadian atau peristiwa secara kronologis dan sarat akan amanat. Novel
yang berujudul “The Compass” karya Tammy Kling & John Spencer
Ellis ini ternyata merupakan novel nonfiksi benuansa pengembangan diri.
Dari judulnya sudah mencerminkan nuansa tersebut, setelah dibaca ada
banyak
nilai-nilai
kehidupan
dan
pemahaman
komunikasi
yang
terkandung. Si penulis menuliskan cerita dengan bahasa yang ringan,
mengungkapkan cerita pengalaman sang tokoh utama dengan sederhana
tetapi dapat menggugah pembaca dengan melihat realitas dalam
kehidupan.
Bagaimana sebuah novel dapat menjadi media komunikasi persuasif
yang baik, tentunya dapat dilihat dari peran penulis (komunikator) dalam
mengelola pesan yang disampaikan sedemikian rupa kepada pembaca
(komunikan) sehingga dapat menimbulkan sebuah efek.
2. Komunikasi Persuasif
Berbeda dengan komunikasi informatif yang bertujan hanya untuk
memberi tahu, komunikasi persuasif bertujuan untuk mengubah sikap,
pendapat, atau perilaku seseorang.
Komunikasi persuasif dilakukan
dengan halus, luwes, yang mengandung sifat-sifat manusiawi.
Agar komunikasi persuasif itu mencapai tujuan dan sasarannya, maka
perlu dilakukan perancanaan yang matang. Perencanaan yang dilakukan
berdasarkan komponen-komponen komunikasi yaitu komunikator, pesan,
media, dan komunikan. Bagi seorang penulis (komunikator) suatu pesan
yang akan dikomunikasikan sudah jelas isinya, tetapi yang perlu dijadikan
pemikiran adalah pengelolaan pesan dengan bahasa yang baik dan media
dalam hal ini berupa novel.
Pesan atau amanat dalam novel harus ditata sesuai dengan diri
pembaca (komunikan) yang akan dijadikan sasaran. Ada beberapa teknik
komunikasi persuasif, yaitu teknik asosiasi, teknik integrasi, teknik
ganjaran, teknik tataan, dan teknik red-herring. Dalam sebuah novel
biasanya menggunakan teknik asosiasi dan teknik tataan. Teknik asosiasi
adalah penyajian pesan komunikasi dengan cara menumpangkannya pada
suatu objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak.
Sedangkan teknik tataan adalah upaya menyusun pesan komunikasi
sedemikian rupa, sehingga enak didengar atau dibaca serta termotivasikan
untuk melakukan sebagaimana disarankan oleh pesan tersebut. Penulis
karya sastra (komunikator) sama sekali tidak membuat fakta pesan tadi
menjadi cacat. Faktanya sendiri tetap utuh, tidak diubah, tidak ditambah,
dan tidak dikurangi.
Dalam komunikasi persuasif penulis karya sastra (komunikator) harus
memperhatikan penyampaian pesan yang dikemas dengan baik. Pesan
yang dikemas dengan baik jika, pesan dirancang dapat menarik perhatian
pembaca, pesan harus menggunakan tanda-tanda pengalaman yang sama
antara komunikator dan komunikan, sehingga dapat sama-sama mengerti.
Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak komunikan, dan
menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu.
Di era modernisasi ini peran media komunikasi sangat penting untuk
menyajikan contoh, persuasi, penerangan, dan pendidik. Tidak hanya
terpaku pada media massa saja, karya sastra pun saat ini baik digunakan
untuk media komunikasi. Pembaca (komunikan) kadangkala bosan dengan
informasi-informasi disajikan di media massa, komunikan ingin masuk ke
dunia dimana ia dapat mengetahui informasi dan amanat yang baik tanpa
harus menggurui atau memprovokasi. Maka dari itu novel merupakan
salah satu media yang dapat menunjang hal tersebut.
3. Proses Komunikasi Teks Sastra
Teks sastra dibangun dengan konfigurasi-konfigurasi pesan, gagasan,
atau tema yang diungkapkan lewat tanda oleh pengarang yang akan
disampaikan kepada pembacanya. Tanda itu sendiri memiliki sistem
tersendiri pada setiap karya sastra, di samping itu juga dirasakan adanya
kode yang turut mendorong terciptanya karya sastra tersebut. Oleh karena
itu, sebuah karya sastra memiliki kekhasan tersendiri, hal inilah yang
disebut memiliki tanda yang otonom. Namun sebuah karya sastra juga
berperan dan berfungsi sebagai tanda komunikasi. Suatu kualitas teks
sastra yang penting adalah kemampuannya menyampaikan informasi yang
berbeda kepada pembaca yang berbeda pula.
Pertanyaan pertama yang harus dihadapi pembaca dalam suatu situasi
pembacaan yang sebenarnya, bukan dengan cara manakah teks tersebut
harus “dibongkar”, tetapi dalam bahasa atau dalam kode yang manakah
suatu teks “disusun”. Banyak faktor yang menyulitkan pembacaan itu, di
antaranya adalah faktor yang berasal dari keberadaan norma-norma dan
sistem sastra yang beragam yang digunakan oleh sastrawan pada satu sisi
dan pembaca pada sisi yang lain. Dengan kalimat lain, norma sistem sastra
yang berbeda antara yang digunakan sastrawan dengan yang digunakan
pembaca (Segers, 2000:18–19).
Hal inilah yang akan menghambat terjadinya proses komunikasi,
sehingga teks sastra itu ditafsirkan dan dipahami dengan tidak wajar.
Ketika pembaca membaca sebuah karya sastra tentu yang diharapkan
adalah terjadinya komunikasi antara pengarang (melalui teks sastra)
dengan pembacanya. Komunikasi yang terjadi memang meniadakan
pengarang sebagai komunikator, tetapi komunikator itu telah terwakili
lewat karya tersebut. Itulah sebabnya karya sastra itu dapat juga disebut
sebagai indeksikal dari pengarangnya. Karya itu tidak tercipta begitu saja
tanpa adanya pengarang.
Barthes (2001:113) pernah mengatakan bahwa pengarang telah mati,
tetapi pada kesempatan lain ia juga mengatakan secara diam-diam
pengarang itu turut dalam karya sastranya. Dengan demikian pengarang
tidak dapat dihindari sebagai pengirim tanda dalam proses komunikasi
sastra. Dieter Janik (dalam Ikhwanuddin,2008:114) mengatakan bahwa
ada tiga lapisan komunikasi yang dapat dikenali dalam teks sastra. Lapisan
pertama berkenaan dengan hubungan komunikasi antara pengarang, teks,
dan pembaca. Lapisan kedua terdiri atas komunikasi antara narator dan
pembaca implisit (implied reader, merujuk pada pesan pembaca dalam
teks), lapisan ketiga terdiri atas hubungan komunikasi timbal balik
antarpelaku dalam teks. Di samping itu Janik juga mengatakan bahwa
konsep teks sastra sebagai komunikasi yang dikomunikasikan (Segers,
2000:15).
4. Analisis Wacana Melalui Paradigma Kritis
Jargon paradigma dalam ilmu sosial didefinisikan sebagai
keyakinan dasar peneliti secara ontologi, metodologi, dan epistemologi.
Pemahaman mengenai paradigma adalah hal yang sangat fundamental.
Paradigma juga memegang peranan penting bagaimana nantinya peneliti
melakukan risetnya, bagaimana ia memandang fenomena, tolak ukuran
kepekaannya dan daya analisisnya, termasuk melalui pendekatan analisis
wacana.
Paradigma mengandung pandangan tentang dunia, cara pandang
untuk menyederhanakan kompleksitas dunia nyata. Paradigma memberi
gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap
mungkin dan sah untuk dilakukan, apa yang dapat diterima akal sehat.
disadari atau tidak, peneliti sesungguhnya berjalan dan bersinggungan
dalam kerangka epistemologis, ontologis dan metodologi yang memang
diyakininya dalam penelitian. Epistemologis menjelaskan bagaimana
hubungan antara peneliti yang mencari tahu dengan orang-orang atau
fenomena yang diteliti. Sedangkan ontologi adalah interpretasi manusia
apa itu realitas dan bagaimana cara mengetahuinya. Sedangkan
metodologi adalah cara-cara, teknik atau metode untuk meneliti.
Pada dasarnya, Ada tiga paradigma dalam analisis wacana, yaitu
positivis-empiris (lazim juga disebut positivisme), konstruktivisme, dan
kritis. Pertama, positivis-empiris. Salah satu cirinya adalah pemisahan
antara pemikiran dan realitas. Inti bahasannya, apakah suatu pernyataan
disampaikan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Dengan
demikian analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan
ayat, bahasa, dan pengertian bersama. Kedua, konstruktivisme. Menolak
pemisahan antara subjek dan objek bahasa. Menempatkan subjek sebagai
aktor sentral dalam kegiatan wacana. Subjek boleh melakukan kontrol
terhadap maksud-maksud yang ada dalam wacana.
Ketiga, kritis disini, analisis wacana menekankan pada konstalasi
kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Individu tidak dipandang sebagai subjek yang netral, karena sangat
berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di
masyarakat. Sedangkan dalam pandangan paradigma kritis bahasa tidak
dipahami sebagai medium netral melainkan sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu,
maupun strategi-strategi di dalamnya.
Karenanya, analisis wacana digunakan untuk menguraikan segala
sesuatu yang ada di dalam setiap proses bahasa. Wacana di dalam
kehidupan media juga memiliki pengertian yang mendalam. Menurut
Norman Fairclough (1995), wacana adalah bahasa yang digunakan untuk
merepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari sudut pandang
tertentu. Wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang
mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur,
sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur
segmental maupun nonsegmental bahasa.
Jadi, wacana adalah proses komunikasi, yang menggunakan
simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa,
di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana
pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan
lain-lain, tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh
orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan
dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya,
dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi,
kepentingan-kepentingan, dan lain-lain.
Teks di dalam media adalah hasil proses wacana media (media
discourse) di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan
media turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media “tidak netral”
sewaktu
mengkonstruksi
realitas
sosial.
Media
mengikutsertakan
perspektif dan cara pandang mereka dalam menafsirkan realitas sosial.
Mereka memilihnya untuk menentukan aspek-aspek yang ditonjolkan
maupun dihilangkan, menentukan struktur berita yang sesuai dengan
kehendak mereka, dari sisi mana peristiwa yang ada disoroti, bagian mana
dari peristiwa yang didahulukan atau dilupakan serta bagian mana dari
peristiwa yang ditonjolkan atau dihilangkan; siapakah yang diwawancarai
untuk menjadi sumber berita, dan lain-lain. Berita bukanlah representasi
dari peristiwa semata-mata, akan tetapi di dalamnya memuat juga nilainilai lembaga media yang membuatnya. Fairclough membagi analisis
wacana dalam tiga dimensi : teks, discourse practice, dan sosiocultural
practice.
 Pembacaan Teks
representasi
Teks
Relasi
Identitas
Gambar 1.
Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana 2001
Pertama, ideasional yang merajuk pada representasi tertentu
yang ingin ditampilkan dalam teks. Analisis ini pada dasarnya
ingin melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam teks yang bisa
jadi membawa muaran-muatan tertentu.
Kedua, relasi, merajuk pada analisis bagaimana konstruksi
hubungan diantara penulis dengan pembaca, seperti apakah teks
teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau
tertutup.
Ketiga, identitas, merajuk pada kontruksi tertentu dari
identitas penulis dan pembaca, serta bagaimana personal dan
identitas ini hendak ditampilkan.
 Discourse Practice
Discourse
Practice
merupakan
dimensi
yang
berhubungan dengan proses produksi dan komunikasi teks.
Teks berita diproduksi dalam cara yang spesifik dengan
rutinitas dan pola kerja yang telah terstruktur dimana
laporan wartawan di lapangan, atau dari sumber berita yang
akan ditulis oleh editor, dan sebagainya. Media yang satu
mungkin sekali mempunyai pola kerja yang telah ada dan
kebiasaan yang berbeda dibandingkan dengan media lain.
 Sociocultural practice
Sosiocultural
practice
adalah
dimensi
yang
berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks disini
memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas
adalah konteks dari praktik institusi dari media sendiri
dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan
politik tertentu. Misalnya politik media, ekonomi media,
atau budaya media tertentu yang berpengaruh terhadap
berita yang dihasilkannya, Fairclough (1995:285-289).
Ketiga dimensi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Produksi
Teks
TEKS
Konsumsi
Teks
DISCOURSE
PRACTICE
SOCIOCULTURAL PRACTICE
Gambar 2.
Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana 2001
Pada fase pertama, bagaimana teks ditampilkan dengan segala
kepentingan yang dikandungnya, termasuk kecurigaan akan ideologi
tertentu yang dimuatnya. Discourse practice merupakan dimensi yang
berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan
Sosiocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks
diluar teks, masyarakat, budaya, politik, dan yang lainnya, Fairlclough
(1995:285-289).
Dari paparan tersebut, dapat dipahami bahwa Fairclough
melibatkan realitas masyarakat yang makro sebagai sesuatu yang sentral
dalam model analisis wacananya. Sebagaimana kerangka konseptual yang
diusung oleh penulis maka skema penelitian sebagai berikut:
Kerangka Konseptual
TEKS NOVEL
“THE COMPASS”
ANALISIS
WACANA
NORMAN
FAIRCLOUGH
KONSTRUKSI
REALITAS SOSIAL
PEMAHAMAN
KOMUNIKASI
E. Definisi operasional
1.
Sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas
masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan
penafsiran dan ideologi pengarangnya.
2.
Analisis wacana ,adalah metode penelitian bahasa yang memfokuskan
pada pengkajian terhadap struktur pesan dan makna yang terdapat
dalam sebuah teks dengan melibatkan konteks yang mengiringinya.
Analisis wacana berpretensi untuk mengkaji muatan pesan, nuansa,
dan makna yang laten dalam sebuah teks pendekatanyang digunakan
adalah interpretatif dengan mengandalkan interpretasi dan penafsiran
peneliti.
3.
Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Novel
merupakan cerita fiksi maupun Nonfiksi dalam bentuk tulisan atau
kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik.
4.
Komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”),secara etimologis
atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus,
dan perkataan ini bersumber pada kata communis Dalam kata
communis ini memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’
yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau
kesamaan makna.
5.
Nonfiksi adalah karya sastra yang dibuat berdasarkan data-data otentik
saja, tapi bisa saja data itu dikembangkan menurut inajinasi penulis.
6.
Novel The Compass adalah sebuah novel pengembangan diri/nonfiksi
yang membantu kita dalam menemukan realitas dari makna hidup
yang sebenarnya dengan karakter utama seorang pria bernama
Jonathan.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang memiliki
beberapa karakteristik. Penelitian dilakukan dengan melihat konteks
permasalahan secara utuh, dengan fokus penelitian pada ‘proses’
bukan pada ‘hasil’. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau
dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.
Artinya, peneliti sendiri secara langsung mengumpulkan informasi
yang didapat dari subyek penelitian.
Penelitian
ini
menggunakan
perspektif
budaya
dimana
penelitian ini lebih mengutamakan interest pribadi peneliti untuk nilainilai tertentu. Maka keberpihakan menjadi aspek yang sukar untuk
dielakkan. Sebab bagaimanapun netralnya sebuah penelitian dirancang,
betapapun bebas nilainya sebuah agenda penelitian disusun, tetaplah ia
mengandalkan asumsi dan variabel tertentu. Apalagi dalam ilmu sosial
yang penentuan asumsi serta variabelnya sangat tergantung dari
pengalaman peneliti.
2. Waktu dan obyek penelitian
Penelitian ini dilakukan pada akhir bulan Februari, sekitar
empat bulan dari bulan Maret
hingga Juni . Penelitian dilakukan
secara berkala melihat data yang ada harus dicari terlebih dahulu.
Penelitian ini berpusat pada sebuah novel karya Tammy kling & John
Spencer Ellis berjudul “The Compass” dan terbit pada tahun 2010.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti lakukan
berdasarkan kebutuhan analisa dan pengkajian. Pengumpulan data
tersebut. Sudah dilakukan sejak peneliti menentukan permasalahan yang
sedang dikaji,pengumpulan data yang dilakukan adalah :
 Penelitian Pustaka (library research), dengan mempelajari dan
mengkaji literature yang berhubungan dengan permasalahan,
untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan
yang dibahas.
 Pengumpulan data melalui searching di internet yang dapat
memberikan banyak referensi untuk bahan penelitian.
 Pengumpulan data melalui novel “The Compass” itu sendiri
kemudian
mengumpulkan data-data yang berhubungan
dengan penelitian ini. Lalu menafsirkan terhadap pemahan
komunikasi dan menjabarkannya.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisa wacana kritis. Dalam hal
ini, penulis memakai analisa wacana kritis yang dikembangkan oleh
Norman Fairclough. Adapun analisa wacana kritis yang dikembangkan
Fairclough, menerapkan tiga tahapan analisis, yaitu pada tingkat
mikrostruktur (teks), mesostruktur (struktur serta praktik kerja media),
dan makrostruktur (sosial masyarakat). Fairclough, menyadari adanya
kesenjangan di antara teks yang sangat mikro dan sempit dengan
masyarakat yang luas dan besar, oleh Karena itu ia memasukkan
tingkat
mesostruktur
dalam
model
analisisnya.
Fairclough,
menggunakan istilah ‘discourse’ atau wacana yang mengacu pada
penggunaaan bahasa lisan atau tertulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah salah satu dari kegiatan sehari-hari yang benarbenar terhubung dengan semua kehidupan kemanusiaan, sehingga kadangkadang kita mengabaikan penyebaran, kepentingan, dan kerumitannya. Setiap
aspek kehidupan kita dipengaruhi oleh komunikasi kita dengan orang lain,
seperti pesan-pesan dari orang yang tidak kita kenal, orang-orang dari jauh
dan dekat, hidup dan mati. Komunikasi pada dasarnya adalah proses
pertukaran pesan (message) dari komunikator kepada komunikan. Komunikasi
menjadi lebih luas ketika ia harus memasuki wilayah komunikasi antar pribadi
yang terdiri
dari: komunikasi intra pribadi dan antar pribadi. Kedua,
komunikasi kelompok yaitu komunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok,
dan ketiga komunikasi massa yaitu komunikasi yang ditujukan kepada
khalayak/publik.
Mendifinisikan komunikasi bukanlah hal yang mudah, menurut
Theodore (dalam Littlejohn 2011:4) masalah yang ada dalam mendefinisikan
komunikasi untuk tujuan-tujuan penelitian atau ilmiah berasal dari fakta
bahwa kata kerja ‘berkomunikasi’ memiliki posisi yang kuat dalam kosakata
umum dan karenanya tidak mudah didefinisikan untuk tujuan ilmiah.
Komunikasi telah diteliti secara sistematis sejak zaman dahulu. Pendapat
Frank E.X. Dance menginventarisasikan 126 definisi komunikasi. Frank
Dance (dalam Suranto,2011:5) mengambil sebuah langka besar dalam
mengklarifikasi konsep kasar ini dengan menggarisbawahi sejumlah elemen
yang digunakan untuk membedakan komnikasi. Ada tiga poin dari ‘perbedaan
konseptual
yang
penting’
yang
membentuk
dimensi-dimensi
dasar
komunikasi. Dimensi yang pertama adalah ‘tingkat pengamatan’ atau
keringkasan. Beberapa definisi termasuk luas dan bebas, yang lainnya
terbatas. Perbedaan yang kedua adalah ‘tujuan’. Beberapa definisi hanya
memasukkan pengiriman dan penerimaan pesan dengan maksud tertentu, yang
lainnya tidak memaksakan pembatasan ini. Definisi ketiga yang digunakan
untuk membedakan definisi komunikasi adalah ‘penilain normatif’. Beberapa
definisi menyertakan pernyataan tentang keberhasilan, keefektifan, atau
ketepatan. Definisi-definisi yang lain tidak berisi penilaian yang lengkap
seperti itu.
Komunikasi adalah penyampaian informasi. Di sini informasi
‘disampaikan’, tetapi tidak penting apakah informasi tersebut ‘diterima’ dan
‘dipahami’ atau tidak. Komunikasi sangatlah luas, sehingga tidak dapat diikat
atau dibatasi dalam sebuah paradigma tunggal. Craig mengatakan bahwa
komnikasi merupakan proses utama dimana kehidupan kemanusiaan dijalani.
Komuikasi
mendasari
kenyataan.
Bagaimana
kita
megomunikasikan
pengalaman kita sendiri membentuk atau menyusun pengalaman kita. Banyak
bentuk pengalaman yang dihasilkan dalam banyak bentuk komunikasi. Cara
orang berubah-ubah dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu keadaan
ke keadaan lain, dan dari satu jangka waktu ke jangka waktu yang lain karena
komunikasi sendiri bersifat dinamis terhadap banyak situasi. Komunikasi
melibatkan pemahaman tentang bagaimana orang-orang bersikap dalam
menciptakan, menukar, dan mengartikan pesan-pesan.
Ada banyak cakupan teori-teori yang mendefinisikan komunikasi
dengan cara-cara yang berbeda. Dengan mengembangkan sebuah pemahaman
mengenai keragaman teori-teori komunikasi, kita akan lebih dapat membuat
perbedaan dalam interpretasi kita mengenai komunikasi, bisa mendapatkan
alat bantu untuk meningkatkan komunikasi kita, dan bisa memahami ilmu
komunikasi dengan lebih baik. Istilah teori komunikasi dapat mengacu pada
sebuah teori tunggal atau dapat digunakan untuk menandakan kearifan
kolektif yang ditemukan dalam seluruh kesatuan teori-teori yang berhubungan
dengan komunikasi.
Ada banyak perdebatan tentang apa yang mendasari sebuah teori yang
memadai mengenai komunikasi. Teori-teori yang dihasilkan di sini, berbeda
dalam cara bagaimana mereka dihasilkan, jenis penelitian yang digunakan,
cara mereka dipresentasikan, dan aspek komunikasi yang ingin disampaikan.
Perbedaan ini hadir sebagai sebuah sumber yang kaya untuk mengembangkan
pemahaman yang lebih menyeluruh dan mendalam mengenai pengalaman
komunikasi. Setiap teori melihat pada sebuah proses dari sudut yang berbeda,
mengajak kita untuk memikirkan apa yang dimaksudkan oleh komunikasi dan
bagaimana komunikasi bekerja dari titik tersebut.
Sebuah teori menawarkan satu cara untuk menangkap ‘kebenaran’ dari
sebuah fenomena, tetapi bukanlah satu-satunya cara untuk memandang
fenomena tersebut. Ada empat dimensi teori: ‘Asumsi filosofis’, atau
kepercayaan dasar yang mendasari teori. ‘Konsep’ atau susunan-susunan
pembentukan. ‘Penjelasan’ atau hubungan dinamis yang dihasilkan oleh teori
dan ‘Prinsip’ atau panduan untuk tindakan.
1. Teori Praktis
Teori praktis dirancang untuk mengumpulkan banyak perbedaan
antar situasi dan untuk memberikan sebuah susunan pemahaman yang
memungkinkan peneliti mempertimbangkan rangkaian alternatif tindakan
untuk mencapai tujuan. Robyn penman telah menggarisbawahi lima
prinsip pendekatan tindakan praktis. Pertama, tindakan bersifat sukarela.
Manusia sebagian besar memotivasi dirinya sendiri dan memperkirakan
perilaku berdasarkan pada faktor-faktor eksternal adalah sesuatu uang
tidak mungkin. Kedua, pengetahuan dihasilkan secara sosial. Hal ini
berarti bahwa teori-teori komunikasi itu sendiri diciptakan oleh proses
komunikasi atau interaksi.
Ketiga, semua teori berhubungan dengan sejarah. Keempat, yang
didefinisikan sebagai paradigma teoritis tindakan-praktis adalah bahwa
teori-teori mempengaruhi kenyataan yang mereka tutupi. Kelima, teoriteori dibebani dengan nilai, tidak pernah netral dari titik teoretis yang
menguntungkan ini.
a. Asumsi filosofis
Dalam epistemology, teori-teori praktis cenderung menganggap
bahwa manusia mengambil sebuah peran aktif dalam menciptakan
pengetahuan. Sebuah dunia yang berisi banyak hal bisa ada di luar
orang tersebut, tetapi para pengamat dapat mengonseptualisasikan hal
ini dalam beragam cara yang berguna. Oleh karena itu, pengetahuan
muncul bukan dari penemuan, tetapi dari interaksi antara siapa dan
pengetahuannya.
Dalam Ontologi, teori-teori praktis cenderung beranggapan
bahwa individu-individu merupakan agen-agen yang diarahkan oleh
tujuan yang menciptakan pengertian, memiliki maksud, membuat
pilihan-pilihan yang nyata, dan bertindak dalam berbagai situasi
dengan cara-cara yang disengaja. Mereka beranggapan bahwa orangorang berperilaku berbeda dalam situasi yang berbeda karena
perubahan aturan dan tujuan.
Secara Aksiologi, sebagian besar teori-teori praktis cenderung
sadar akan nilai. Banyak dari teori ini yang cenderung deskriptif, yaitu
menunjukkan bagaimana orang-orang mengartikan dan bertindak
berdasarkan pengalaman mereka dalam berbagai situasi sosial dan
kultural, sedangkan yang lainnya lebih evaluative, yaitu membuat
penilaian-penilaian yang keras tentang pemahaman dan tindakan
kultural yang umum.
b. Konsep
Konsep-konsep dalam sebagian besar pendekatan praktis
terhadap teori, cenderung tidak disajikan sebagai sesuatu yang
universal. Malahan, teori-teori tersebut mengakui bahwa orang-orang
merespons dengan cara yang berbeda dalam situasi yang berbeda dan
bahwa kata-kata serta tindakan yang digunakan untuk mengungkapkan
pemahamannya akan berubah seiring jalannya waktu.
c. Penjelasan
Teori-teori praktis cenderung menggunakan kebutuhan praktis
sebagai sebuah dasar untuk penjelasan. Dengan kata lain, penghubung
dibantu untuk mencapai tujuan di masa yang akan datang dengan
mengikuti aturan-aturan atau norma-norma sosial tertentu yang
memungkinkan mereka untuk berfikir dalam sebuah situasi dan
memilih dari susunan pilihan. Aturan-aturan ini praktis karena mereka
memberikan kuasa kepada penghubung untuk memahami apa yang
sedang terjadi serta untuk membuat pilihan-pilihan strategis dalam
menghadapi masalah dan kebimbangan.
d. Prinsip
Contoh teori pencapaian tujuan ini sejalan dengan gagasan
Vernon Cronen bahwa teori praktis ‘menawarkan prinsip-prinsip yang
disampaikan melalui keterlibatan dalam seluk beluk pengalaman
hidup yang membantu untuk bergabung dengan orang lain untuk
menghasilkan perubahan.
Bagi Cronen, teori praktis merupakan sebuah sistem gagasan
yang terhubung yang memungkinkan individu untuk
memikirkan
cara mereka melalui situasi-situasi aktual dan memberikan keputusankeputusan tentang apa yang harus dilakukan. Sebuah teori praktis
tidak
menentukan
tindakan
yang
harus
anda
ambil,
tetapi
memungkinkan anda untuk bertindak dalam cara yang masuk akal
yang membawa kita pada pemahaman mengenai bagaimana kita
meningkatkan
situasinya.
Sebuah
teori
praktis
yang
baik
memungkinkan kita untuk:
1. Fokus pada situasi sebenarnya yang kita hadapi.
2.
Menjelajahi apa yang istimewa dari situasi ini
3. Mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan setiap
tindakan yang kita ambil.
4. Mengambil tindakan yang meningkatkan kehidupan
kita dan juga mendapatkan hasil-hasil positif,dan
5. Belajar dari pengalaman dalam situasi-situasi aktual
yang kita hadapi dan mempersiapkan diri kita untuk
menghadapi yang lainnya.
2. Mengembangkan Konteks Untuk Komunikasi
Craig membagi dunia komunikasi ke dalam tujuh tradisi pemkiram:
1. Semiotik
2. Fenomenologis
3. Sibernetika
4. Sosiopsikologis
5. Sosiokultural
6. Kritis
7. Retoris
Teori-teori dalam tujuh tradisi tersebut mencakup banyak aspek
komunikasi. Bayangkanlah ketika melihat proses komunikasi melalui
sebuah lensa pembesar. Kita dapat mempersempit area fokus pada
individu dan selanjutnya memperlebarnya perlahan-lahan untuk melihat
pada pandangan yang cukup lebar.
Pada setiap titik kita dapat memutar sedikit lensanya untuk melihat
fitur-fitur lain dari pemandangan tersebut dalam fokus. Ketika kita
melakukan hal ini, kita menyadari bahwa setiap aspek komunikasi
merupakan bagian dari konteks yang lebih besar.
Kita juga melihat bahwa setiap tingkatan komunikasi memengaruhi
dan dipengaruhi oleh konteks-konteks yang lebih besar ini. Susunan teoriteori komunikasi ke dalam delapan konteks yang digambarkan dalam
gambar 3.3.
Dimulai dengan pembahasan individu, yaitu melihat cara-cara dari
tradisi-tradisi yang berbeda menjelaskan ‘pelaku komunikasi’ sebagai
orang-orang yang terlibat dalam interaksi sosial.
Selanjutnya, kita sedikit melebarkan lensa untuk melihat pada teoriteori ‘pesan’ dan ‘percakapan’. Ketika orang-orang menggunakan pesan
dalam
percakapan
dengan
orang
lain,
mereka
mengembangkan
‘hubungan’. Selanjutnya kita bergerak ke konteks yang lebih besar dari
‘kelompok’ dan ‘organisasi’, dan ‘media’ yang menggunakan khalayak.
Akhirnya kita melebarkan lensa kita ke tingkatan yang paling lebar
untuk melihat pada komunikasi dalam ‘kebudayaan’ dan ‘masyarakat’
Konteks-konteks komunikasi dari pelaku komunikasi hingga masyarakat
saling memengaruhi satu sama lain.
Organisasi
Kelompok
Pesan
Percakapan
Pelaku Komunikasi
Pelaku Komunikasi
Kebudayaan dan Masyarakat
Hubungan
Media
Gambar 3.3
Sumber: Littlejohn, Mengembangkan Teori Komunikasi 2011
3. Komunikasi Interpersonal
Meskipun komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang sangat
dominan dalam kehidupan sehari-hari, namun tidaklah mudah memberikan
definisi yang dapat diterima semua pihak. Sebagaimana layaknya konsepkonsep dalam ilmu sosial lainnya, komunikasi interpersonal juga
mempunyai banyak definisi sesuai dengan persepsi ahli-ahli komunikasi
yang memberikan batasan pengertian. Trenholm dan Jensen (dalam
Suranto,2011:3)
mendefinisikan
komunikasi
interpersonal
sebagai
komunikasi antara dua orang yang berlangsung secara tatap muka
(komunikasi diadik). Sifat komunikasi ini adalah: spontan dan informal.
Saling menerima feedback secara maksimal, partisipan berperan fleksibel.
Littlejohn
memberikan
definisi
(interpersonal communication) adalah
komunikasi
antarpribadi
komunikasi antara individu-
individu. Deddy Mulyana (2001: 81) bahwa komunikasi interpersonal atau
komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara
tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi
orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal.
a. Proses Komunikasi Interpersonal
Proses komunikasi adalah langkah-langkah yang menggambarkan
terjadinya kegiatan komunikasi. Memang dalam kenyataanya, kita tidak
pernah berpikir terlalu detail mengenai proses komunikasi. Hal ini,
disebabkan, kegiatan komunikasi sudah terjadi secara rutin dalam
kehidupan sehari-hari.
Sehingga kita tidak lagi merasa perlu menyusun
langkah-langkah tertentu secara sengaja ketika akan berkomunikasi.
Secara sederhana proes komunikasi digambarkan sebagai proses yang
menghubungkan pengirim dengan penerima pesan.
b. Tujuan Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan suatu action oriented, ialah
suatu tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Tujuan komunikasi
interpersonal itu bermacam-macam, beberapa diantaranya, yaitu :
1. Mengungkapkan perhatian kepada orang lain. Dalam hal ini seseorang
berkomunikasi dengan cara menyapa, tersenyum, melambaikan
tangan, membungkukkan badan, menanyakan kabar dan sebagainya.
2. Menemukan diri sendiri, artinya seseorang melakukan komunikasi
interpersonal karena ingin mengetahui dan mengenali karakteristik diri
pribadi berdasarkan informasi dari orang lain. Bila seseorang terlibat
komunikasi interpersonal dengan orang lain, maka terjadi proses
belajar banyak sekali tentang diri maupun orang lain. Komunikasi
interpersonal memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak
untuk berbicara tentang apa yang disukai dan tidak disukai. Maka
seseorang memperoleh informasi berharga untuk mengenali jati diri.
3. Menemukan dunia luar, dengan komunikasi interpersonal diperoleh
kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi dari orang lain.
Komunikasi merupakan ‘jendela dunia’ karena dengan berkomunikasi
dapat mengetahui berbagai kejadian di dunia luar.
4. Membangun dan memelihara hubungan yang harmonis sebagai
makhluk sosial, salah satu kebutuhan setiap orang yang paling besar
adalah membentuk dan memelihara hubungan baik dengan orang lain.
5. Mempengaruhi sikap dan tingkah laku, komunkasi interpersonal ialah
proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain
untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik
secara langsung maupun tidak langsung.
c. Teori-Teori Hubungan Interpersonal
Berdasarkan teori dari Coleman dan Hammen, Jalaluddin Rakhmat
(1996: 120-124) menyebutkan ada empat buah teori atau model hubungan
interpersonal, yaitu: model pertukaran sosial, model peranan, model
permainan, dan model interaksional.
1. Model Pertukaran Sosial
Model ini memandang bahwa pola hubungan interpersonal
menyerupai transaksi dagang, hubungan antarmanusia itu berlangsung
mengikuti kaidah transaksional. Yaitu apakah masing-masing merasa
memperoleh keuntungan dalam transaksinya atau malah merugi.
Dalam model ini menjelaskan, ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai
positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Makna ganjaran
bagi setiap individu saling berbeda.
Dalam perspektif teori pertukaran sosial ini, ketika seseorang
menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, maka akan selalu
melakukan perhitungan tentang hasil atau laba dari hubungan itu. Laba
adalah ganjaran dikurangi biaya. Dalam pandangan teori ini, cara kerja
orang mengavaluasi suatu hubungan dengan orang lain adalah identik
dengan cara yang yang dilakukan seorang pedagang.
2. Model peranan
Peranan
merupakan
(kedudukan).
Apabila
kewajibannya
sesuai
aspek
seseorang
dengan
dinamis
dari
melaksanakan
status
yang
suatu
hak-hak
dimilikinya
status
dan
dalam
masyarakat, maka ia telah menjalankan peranannya. Peranan adalah
tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan
atau status.
Asumsi
teori
peranan
mengatakan
bahwa
hubungan
interpersonal akan berjalan harmonis mencapai kadar hubungan yang
baik yang ditandai adanya kebersamaan, apabila setiap individu
bertindak sesuai dengan ekspektasi peranan, tuntutan peran, dan
terhindar dari konflik peranan. Eksepktasi peranan atau peranan yang
diharapkan, artinya hubungan interpersonal berjalan baik apabila
masing-masing individu dapat memainkan peranan sebagaimana yang
diharapkan.
3. Model permainan
Menurut teori ini klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga,
yaitu: anak anak, orang dewasa dan orang tua. Susunan rumah tangga,
dan hubungan antarmanusia dalam masyarakat juga ditentukan oleh
bagaimna kesesuaian orang dewasa dan orang tua dengan sikap dan
perilaku yang semestinya ditunjukkan sesuai dengan sifat kodratnya.
Jika tidak demikian, artinya ada orang dewasa berperilaku seperti
anak-anak, atau ada orang tua berperilaku seperti remaja, tentu dapat
mengakibatkan suasana hubungan antarmanusia dalam kehidupan
sosial menjadi kurang nyaman.
Demikian juga hubungan antara pusat dan daerah, antara
atasan dan bawahan. Aparat pemerintah mestilah bersikap dewasa,
Presiden dan Ketua MPR mestilah jadi orang tua. Memang menjadi tua
secara usia itu pasti, tetapi menjadi tua secara kepribadian itu perlu
diupayakan.
4. Model interaksional
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu
sistem. Setiap sistem terdiri dari subsistem-subsistem atau komponenkomponen yang saling tergantung dan bertindak bersama sebagai suatu
kesatuan untuk menjapai tujuan tertentu. Johnson, Kast & RozenZweig
(dalam Suranto,2011:40) menjelaskan ada tiga komponen sistem, yaitu
input, proses (pengolah), dan output. Input merupakan komponen
penggerak, proses (pengolah) merupakan sistem operasi, output
menggambarkan hasil-hasil kerja sistem. Menurut model interaksional
ini, hubungan interpersonal adalah merupakan suatu proses interaksi.
Masing-masing orang ketika akan berinteraksi pasti sudah
memiliki tujuan, harapan, kepentingan, perasaan suka atau benci,
perasaan tertekan atau bebas, dan sebagainya yang semuanya itu
merupakan input. Selanjutnya, input menjadi komponen penggerak
yang akan memberi warna dan situasi tertentu terhadap proses
hubungan antar manusia. Output dari proses hubungan antarmanusia
itu bermacam-macam, tetapi sekurang-kurangnya masing-masing
pihak yang terlibat dalam interaksi hubungan interpersonal ini telah
memperoleh pengalaman tertentu. Nilai output, sehingga setiap orang
yang berinteraksi dalam hubungan interpersonal itu akan berbeda
dengan sebelum berinteraksi.
5. Motivasi Dan Hubungan Interpersonal
Pada dasarnya setiap aktivitas manusia selalu berhubungan
dengan adanya dorongan, alasan ataupun kemauan. Begitupula
kehendak untuk menjalin dan membina hubungan interpersonal, juga
dilandasi oleh adanya dorongan tertentu. Dorongan, alasan dan
kemauan yang ada dalam diri seseorang disebut dengan motif. Dari
motif-motif yang ada akan menimbulkan suatu motivasi, motif disebut
motivasi apabila sudah menjadi kekuatan yang bersifat aktif. Maslow
(dalam
Suranto,2011:46-47)
menguraikan
kebutuhan-kebutuhan
manusia yang tersusun secara herarkis sebagai berikut :
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang paling dasar dan dimiliki
oleh semua manusia, contoh kebutuhan untuk makan, minum, pakaian
dan tempat tinggal. Setiap orang dengan segala kemampuan yang
dimiliki akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan fisik ini. Menurut
teori, apabila kebutuhan dasar ini sudah tercapai maka seseorang tidak
akan berhenti pada kebutuhan yang satu itu, melainkan akan berusaha
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya.
2. Kebutuhan Rasa aman
Setiap orang membutuhkan rasa aman. Dia tidak mau
kehilangan otoritasnya, penghasilannya maupun pekerjaannya. Apabila
kebutuhan akan rasa aman itu terancam, maka orang akan berusaha
dengan berbagai
jalan untuk mengembalikan suasana aman dan
kondusif bagi kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
memenuhi kebutuhan akan rasa aman ini, tentu saja seseorang tidak
dapat bekerja sendirian.
3. Kebutuhan sosial
Secara kodrati manusia adalah makhluk sosial. Seseorang tidak
dapat hidup sendiri, tetapi perlu bekerjasama dalam lingkungan
pergaulan sosial. Di dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota
masyarakat juga ingin diterima dalam lingkungan sosial, dapat
diterima di masyarakat. Selain itu manusia juga memerlukan kasih
sayang, persahabatan, dan sebagainya. Bisa jadi, seseorang menjalin
hubungan interpersonal juga karena adanya alasan untuk memenuhi
kebutuhan sosial.
4. Kebutuhan Penghargaan
Kebutuhan penghargaan secara mudah dapat disaksikan dalam
hidup sehari-hari, bahwa setiap orang pada dasarnya membutuhkan
suasana saling menghormati dan menghargai. Kecenderungan umum
bagi semua orang adalah keinginan mereka untuk berprestasi,
mendapatkan status, menduduki jabatan penting, dan sebagainya.
Untuk mewujudkan tercapainya keinginan itu, ia memerlukan
dukungan orang lain, sehingga hubungan interpersonal menjadi sangat
penting.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Menurut Maslow kebutuhan ini merupakan puncak kebutuhan
manusia. Artinya setelah kebutuhan-kebutuhan lain terpenuhi akan
muncul kebutuhan ini. Kebutuhan aktualisasi diri ialah dorongan untuk
menjadi apa yang ia rasa mampu. Sebagian besar manusia akan
berusaha sekuat kemampuan untuk menunjukkan seluruh potensi yang
dimilikinya. Orang akan merasa puas apabila sudah dapat bekerja
sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang maksimal.
B. Pengertian Novel
Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esei, puisi, novel, cerita
pendek, drama, bentuk novel cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh
para pembaca. Karya– karya modern klasik dalam kesusasteraan, kebanyakan
juga berisi karya– karya novel.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia.
Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang
luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang
benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu
memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel
serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan
dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita tetapi ia juga dituntut
lebih dari itu, novel memiliki syarat utama bahwa ia mesti menarik,
menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik
adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya
novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting
memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi
novel hiburan terikat dengan pola – pola.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi
sosial, sedang novel hiburan cuma berfungsi personal. Novel berfungsi sosial
lantaran novel yang baik ikut membina orang tua masyarakat menjadi
manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang
dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa
novel memikat dan orang ingin secepat mungkin membacanya.
Banyak sastrawan yang memberikan batasan atau definisi novel.
Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut
pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Definisi – definisi itu
antara lain adalah sebagai berikut :
1. Novel adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini
paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya
komunitasnya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo).
2. Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
budaya sosial, moral, dan pendidikan (Nurhadi, Dawud, Yuni Pratiw, dan
Abdul).
3. Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu : unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik yang keduanya saling berhubungan karena
sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (Rostamaji, Agus
priantoro).
4. Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsurunsur intrinsik (Paulus Tukam)
a.
Unsur-Unsur Novel
Novel mempunyai unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. unsur-unsur
tersebut adalah :
1. Unsur Intrinsik
Unsur Intrinsik ini terdiri dari :
a. Tema
Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang
mendasari jalan cerita novel (Rustamaji, Agus priantoro).
b. Setting
Setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan
cerita, setting ini meliputi waktu, tempat, sosial budaya ( Rustamaji,
dan Agus Priantoro)
c. Sudut Pandang
Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti
orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya
dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan katakatanya sendiri.
2. Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia
lebih banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam
cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang
ketiga.
3. Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama
sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba
mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran
tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling
dalam dari tokoh.
d. Alur / Plot
Alur / plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur
dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila
peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis
menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif)
yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang
berlangsung (Paulus Tukan).
e. Penokohan
Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa
diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan
tempat tinggal. (Rustamaji, Agus Priantoro)
f. Gaya Bahasa
Merupakan gaya yang dominan dalam sebuah novel (Rustamaji,
Agus Priantoro)
2. Unsur Ekstrinsik
Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan, sejarah, biografi
pengarang, dan lain – lain, di luar unsur intrinsik. Unsur – unsur yang
ada di luar tubuh karya sastra. Perhatian terhadap unsur – unsur ini akan
membantu keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra (Rustamaji, Agus
Priantoro).
3. Unsur – unsur Novel Sastra
Novel sastra serius dan novel sastra hiburan mempunyai beberapa unsur
yang membedakan keduanya. Unsur – unsur novel sastra serius adalah
sebagai berikut :
a) Dalam tema : Karya sastra tidak hanya berputar – putar dalam
masalah cinta asmara muda – mudi belaka, ia membuka diri
terhadap semua masalah yang penting untuk menyempurnakan
hidup manusia. Masalah cinta dalam sastra kadang hanya penting
untuk sekedar menyusun plot cerita belaka, sedang masalah yang
sebenarnya berkembang diluar itu.
b) Karya sastra : Tidak berhenti pada gejala permukaan saja, tetapi
selalu mencoba memahami secara mendalam dan mendasar suatu
masalah, hal ini dengan sendirinya berhubungan dengan
kematangan pribadi si sastrawan sebagai seorang intelektual.
c) Kejadian atau pengalaman yang diceritakan dalam karya sastra
bisa dialami atau sudah dialami oleh manusia mana saja dan
kapan saja. karya sastra membicarakan hal – hal yang universal
dan nyata. Tidak membicarakan kejadian yang artificial (yang
dibikin – bikin) dan bersifat kebetulan.
d) Sastra selalu bergerak, selalu segar dan baru. Tidak berhenti pada
konvensialisme. Penuh inovasi. Bahasa yang dipakai adalah
bahasa standar dan bukan silang atau mode sesaat.
Sedangkan novel sastra hiburan juga mempunya unsur – unsur sebagai
berikut :
a) Tema yang selalu hanya menceritakan kisah asmara belaka, hanya
seputar itu tanpa masalah lain yang lebih serius.
b) Novel terlalu menekankan pada plot cerita, dengan mengabaikan
karakterisasi, problem kehidupan dan unsur-unsur novel lain.
c) Biasanya cerita disampaikan dengan gaya emosional cerita disusun
dengan tujuan meruntuhkan air mata pembaca, akibatnya novel
demikian hanya mengungkapkan permukaan kehidupan, dangkal,
tanpa pendalaman.
d) Masalah yang dibahas kadang-kadang juga artificial, tidak hanya
dalam kehidupan ini. Isi cerita hanya mungkin terjadi dalam cerita
itu sendiri, tidak dalam kehidupan nyata.
e) Karena cerita ditulis untuk konsumsi massa, maka pengarang ratarata tunduk pada hukum cerita konvensional, jarang kita jumpai
usaha pembaharuan dalam jenis bacaan ini, sebab dengan demikian
akan meninggalkan massa pembacanya.
f) Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang aktual, yang hidup
dikalangan pergaulan muda-mudi kontemporer di Indonesia.
pengaruh gaya berbicara serta bahasa sehari-hari sangat berpengaruh
dalam novel jenis ini.
4. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel sastra.
a) Nilai Sosial
Nilai sosial ini akan membuat orang lebih tahu dan memahami
kehidupan manusia lain.
b) Nilai Ethik
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri yaitu novel
yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya, Novel-novel
demikian yang dicari dan dihargai oleh para pembaca yang selalu
ingin
belajar
sesuatu
dari
seorang
menyempurnakan dirinya sebagai manusia.
pengarang
untuk
c) Nilai Hedonik
Nilai hedonik ini yang bisa memberikan kesenangan kepada
pembacanya sehingga pembaca ikut terbawa ke dalam cerita novel
yang diberikan.
d) Nilai Spirit
Nilai sastra yang mempunyai nilai spirit isinya dapat menantang
sikap hidup dan kepercayaan pembacanya. Sehingga pembaca
mendapatkan kepribadian yang tangguh percaya akan dirinya
sendiri.
e) Nilai Koleksi
Novel yang bisa dibaca berkali-kali yang berakibat bahwa orang
harus membelinya sendiri, menyimpan dan diabadikan.
f) Nilai Kultural
Novel juga memberikan dan melestarikan budaya dan peradaban
masyarakat, sehingga pembaca dapat mengetahui kebudayaan
masyarakat daerah lain.
C. Analisis Wacana
Adanya asumsi bahwa komunikasi merupakan ilmu, sering
menyisihkan beberapa bentuk penelitian selain penelitian bersifat
obyektif-positivistik-kuantitatif. Istilah ilmu sosial bukanlah istilah yang
ketat dan tidak pula berlandaskan pada metodelogi ilmiah seperti yang
ditemukan pada ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu sosial tidak berarti bahwa
teknik-teknik penelitian yang humanistik (fenomenologis, interaksi
simbolik, kritis, historis) sebagai tidak sah, tidak penting, lebih mudah atau
lebih rendah, Mulyana (dalam Sobur 2001:69).
Tidak ada teori atau perspektif yang dianggap mencerminkan
kebenaran dengan memandang semua teori atau perspektif yang lain itu
salah, Fisher (dalam Sobur, 2001:69). Dengan kata lain, satu teori atau
perspektif hanya mengangkat kebenaran atau fenomena secara parsial
dengan mengabaikan kebenaran lainnya. Perspektif atau pendekatan,
sebagaimana model atau definisi, tidak dapat diukur berdasarkan kriteria
benar atau salah, melainkan berdasarkan kemanfaatannya dalam
memberikan jawaban atas masalah penelitian.
Analisis wacana adalah alternatif dari analisis isi selain analisis isi
kuantitatif yang dominan dan telah banyak dipakai. Melalui analisis
wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana teks sebuah tulisan,
tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat,
metafora macam apa suatu tulisan disampaikan. Dengan melihat
bagaimana struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih melihat
makna yang tersembunyi dari suatu teks ( Eriyanto,2001:15 dan disadur
pula oleh Sobur, 2001:68).
Sebagai sebuah alternatif bukan berarti analisis wacana lebih
daripada analisis isi kuantitatif, karena kata alternatif sebenarnya
digunakan untuk menunjukkan bahwa analisis wacana dapat melengkapi
dan menutupi kelemahan analisis isi kuantitatif. Tidak ada yang
dikalahkan dari salah satu metode ini, karena masing-masing mempunyai
karakteristik tersendiri, kelebihan dan kekurangannya. Analisis wacana
berbeda dengan analisis isi kuantitatif, antara lain karena :
Satu, dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif
dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya bersifat kuantitatif.
Analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada
penjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar dari analisis
wacana adalah interpretasi karena analisis wacana kritis merupakan
bagaian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan
penafsiran peneliti.
Dua, analisis isi kuantitatif umumnya hanya dapat dipergunakan
untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest –nyata-,
sedangkan analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan
laten –tersembunyi-. Dalam analisis isi kuantitatif yang dipentingkan
obyektivitas, validitas, dan reliabilitas. Sebaliknya, analisis wacana kritis
ada unsur penting yang harus diperhatikan, yakni penafsiran.
Tiga, analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan apa
yang dikatakan –what-, tetapi tidak dapat menyelidiki bagaimana yang ia
katakan –how-. Hal ini muncul (terjadi) karena analisis wacana tidak
bergerak dilevel makro –isi suatu teks-, tetapi juga level mikro, yakni
sesuatu yang menyusun suatu teks.
Empat,
analisis
wacana
tidak
bertujuan
untuk
melakukan
generalisasi, dengan beberapa asumsi, setiap peristiwa pada dasarnya
selalu bersifat unik, karena itu tidak dapat dilakukan prosedur yang sama
untuk diterapkan pada isu dan kasus yang berbeda (Eriyanto, 2001:337341, dan Sobur, 2001:70-71).
Ada beberapa pemikir dan pakar mengenai analisis wacana kritis
antara lain. Faucault, Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan
Tony Trew dengan Critical Linguistik-nya, Theo van Leeuwen yang
memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti
bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam
wacana. Sementara Sarah Mills memberikan titik perhatiannya pada
wacana mengenai feminism. Norman Fairclough mendasarkan analisisnya
pada pertanyaan ; Bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan
konteks masyarakat yang makro. Titik perhatian analisis Fairclough adalah
melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan wacana itu sendiri? Wacana
bisa dipahami sebagai unit bahasa yang lebih besar disbanding kalimat.
Akan tetapi, pemakaian istilah ini sering diikuti dengan berbagai istilah,
bahkan tiap disiplin ilmu memberikan definisi yang berbeda-beda.
Wacana punya arti: 1. Komunikasi verbal, ucapan, percakapan ; 2.
Sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan maupun tulisan ; 3.
Sebuah unit teks yang digunakan oleh linguistik untuk menganalisis
fenomena yang lebih dari satu kalimat. (Collins Concise English
Dictionary, 1998, dalam Eriyanto, 2001).
Wacana juga berarti : 1. Rentetan kalimat yang berkaitan, yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya, membentuk
satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimatkalimat itu : 2. Kesatuan bahasa yang tertangkap dan tertinggi atau
terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi
yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang
nyata, di samping secara lisan dan tertulis. (JS. Badudu,2000 dalam
Eriyanto, 2001).
Wacana adalah lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang
kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya ; kepercayaan di
sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari
pengalaman –ideologi dalam arti netral (Roger Fowler. 1997 dalam
Eriyanto,2001).
1. Teori Wacana Bakhtinian
Mikhail Mikahilovich Bakhtin dilahirkan di Orel pada tahun 1895. Ia
belajar Filologi di Universitas Odesa kemudian di Petrograd dan lulus
pada tahun 1918. Pada masanya, studi mengenai teks sastra dikelilingi
tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan Sosiologis Marxis, pendekatan
Hermeneutik dan Linguistik Formalis.
Kaum Marxis memahami teks sastra berada pada wilayah ideologis
yang ditentukan oleh struktur ekonomi masyarakat. Linguistik Formalis
menempatkan sastra sebagai objek studi yang otonom. Dimana
eksistensinya dilepaskan dari faktor-faktor yang berada diluar dirinya,
terutama struktur ekonomi masyarakat.
Bakhtin (Faruk, 2002, hal. 113) membangun sintesis antara kedua
pandangan diatas dan menawarkan apa yang disebut Poetika Sosiologis.
Keberadaan sistem formal karya sastra diakui, tetapi kaitannya dengan
konteks sosial karya sastra itu tidak diingkari.
Dalam kerangka Marxisme, karya sastra sebagai fenomena ideologis
dipahami sebagai sesuatu yang bersifat material, mewujud dan menjadi
bagian dari lingkungan manusia. Dan mereka memahami hal ini sebagai
sesuatu yang objektif. Oleh karena itu semua fenomena ideologis bersifat
formal. Dilain pihak, linguistik menempatkan bahasa sebagai salah satu
sistem ideologis yang penting, secara objektif. Untuk memperoleh
objektifitas dan melepaskannya dari subjektifitas kesadaran, linguistik
menempatkan bahasa sebagai sebuah struktur formal.
Dalam artian bahasa ditempatkan sebagai seperangkat kaidah yang
abstrak dan stabil, yang melampaui berbagai variasi penggunaannya dalam
situasi yang konkret. Bakhtin menyebut paham linguistik sebagai
Objektivisme Abstrak karena pemahamannya mengenai bahasa tidak
didasarkan pada kenyataan sebagaimana yang dihayati masyarakat
penggunanya.
Bahasa dalam keberadaannya, tidak lain daripada tuturan. Dalam
linguistik, tuturan dipahami sebagai aktualisasi subjektif atas kaidahkaidah bahasa yang abstrak objektif. Dengan kata lain, kaidah bahasa
abstrak mendahului tuturan yang konkret atau tuturan itu mengikuti kaidah
yang sudah ada, yang tetap dan stabil. Pengertian ini membuat tuturan
diperlakukan sebagai sebuah mekanisme yang berlangsung dengan
sendirinya.
Kecenderungan konsep tuturan Linguistik diatas tidak dapat diterima
oleh Bakhtin. Menurutnya tuturan selalu berada pada proses sosial, dalam
proses interaksi antara individu maupun kelompok. Penuturan merupakan
pembukaan sebuah dialog dengan penutur-penutur lain. Tetapi dialog itu
tidak dipahami sebatas komunikasi langsung, tatap muka, melainkan dapat
pula komunikasi dengan tipe apapun misalnya, komunikasi interteks
(puisi, novel dan karya sastra lainnya).
Dengan pengertian tersebut, Bakhtin dapat mengatasi pemisahan
antara yang abstrak dengan yang konkret, yang sosial dengan yang
individual, yang objektif dengan yang subjektif, formalisme dan Marxisme
. Tuturan dalam berada diantara kedua kutub tersebut. Ia menyatakan diri
dalam bentuk material, formal, mempunyai struktur sendiri dan tidak
terlepas dari struktur dan proses sosial.
2. Teori Wacana Althusserean
Louis Althusser adalah filsuf Perancis yang lahir di Algeria pada
tahun 1981 dan meninggal di Paris pada tahun 1990. Semasa hidupnya, ia
lebih dikenal sebagai seorang teorisi dan kritikus marxis. Tepatnya,
menurut John Lechte (1994), ia adalah seorang marxis dengan
kecenderungan strukturalis. Ini ditegaskan dalam karya-karya a.1.: For
Marx (1965) dan Reading Capital (1968).
Teori wawasan Althusser berangkat dari gagasan Marx mengenai
hubungan
antar
produksi
dan
reproduksi.
Pertama-tama
ia
mengasumsikan bahwa setiap formasi sosial terbentuk dari suatu cara
produksi yang dominan. Proses produksi menurutnya adalah proses yang
mempekerjakan
kekuatan-kekuatan
produktif
dalam
dan
dibawah
hubungan-hubungan produksi tertentu.
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan memproduksi kondisikondisi produksi tidak lain daripada mereproduksi kekuatan-kekuatan
produktif dan hubungan-hubungan produksi yang ada. Althusser menyebut
reproduksi hubungan-hubungan yang ada bersifat eksploitatif (Faruk,
2002, hal. 136-137). Yang menjamin berlangsungnya reproduksi di atas
adalah Negara. Althusser (Eriyanto: 2001) mengatakan ada dua dimensi
hakiki Negara: Represif State Aparatus (RSA) dan Ideological State
Aparatus (ISA). Kedua dimensi ini erat dengan eksistensi Negara sebagai
alat perjuangan kelas. RSA masuk dengan jalan memaksa sedangkan ISA
masuk dengan jalan mempengaruhi. Kedua perangkat tersebut mempunyai
fungsi yang sama yaitu melanggengkan penindasan yang tampak dalam
relasi produksi masyarakat.
Dibandingkan dengan RSA yang relatif homogen, terkendali dalam
satu komando, misalnya, aparat militer. ISA cenderung Heterogen dan
tersebar, misalnya, institusi pendidikan, agama, keluarga, politik,
perserikatan dagang, komunikasi, dan institusi-institusi budaya. RSA lebih
memusatkan pengaruhnya pada wilayah publik, sementara Ideological
State Apparatus (ISA) lebih memusatkan pengaruhnya pada wilayah yang
sifatnya privat. Tetapi yang lebih penting lagi sebetulnya bukan pada
apakah RSA atau ISA itu berfungsi pada wilayah publik atau privat, tapi
kepada dengan cara bagaimana institusi-institusi itu berfungsi.
Yang mempersatukan atau yang dapat menjamin harmoni antara
yang satu dan yang lain dalam ISA adalah ideologi yang berkuasa. Selain
itu, dalam konteks sejarah yang berbeda, terdapat institusi tertentu yang
perannya lebih dominan dibanding yang lain.
Althusser (Faruk: 2002) mengajukan dua tesis mengenai ideologi.
Pertama, ideologi mempresentasikan hubungan-hubungan imajiner antara
individu dengan kondisi-kondisi eksistensinya yang nyata. Dunia yang
dibangun ideologi tidak sesuai dengan kenyataan, cenderung menyerupai
ilusi. Kedua, ideologi mempunyai eksistensi material. Ideologi selalu hadir
dalam suatu aparatus dan praktek atau praktik-praktik, yang kesemuanya
bersifat material. Dari kedua tesis ini, Althusser menyimpulkan bahwa
ideologi hanya berfungsi bila ada subjek yang menentukan atau
membentuk individu-individu yang konkret menjadi subjek-subjek.
3. Teori Wacana Foucaultian
Michael Foucault lahir di Poitiers, Perancis tahun 1926. Ia memberi
kuliah dibanyak Universitas kaliber dunia, juga tercatat sebagai direktur
pada Institut Francais Hamburg dan Institut de Philosophie pada fakultas
sastra di University of Clermont-Ferrand. Karya-karyanya antara lain
Madness and Civilisation, The Order Of Things, The Birth Of The Clinic,
Discipline And Punish, dan The History Of Sexuality.
Bagaimana wacana diproduksi, siapa yang memproduksi, dan apa
efek dari produksi wacana? Foucault punya pendekatan lain dalam
memahami
wacana.
Menurutnya
wacana
adalah
sesuatu
yang
memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Yang
menarik dari konsep Foucault , adalah tesisnya mengenai hubungan
antara pengetahuan dan kekuasaan. Ia mendefinisikan kuasa agak berbeda
dengan ahli lain. Kuasa oleh Foucault tidak dimaknai dalam term
“kepemilikan”, dimana seseorang mempunyai sumber kekuatan tertentu.
Kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu
ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan
satu sama lain (Eriyanto, 2001, hal.65).
Foucault lebih meneliti kekuasaan lebih kepada individu sebagai
subjek terkecil, tidak seperti teoretisi lain yang lebih memusatkan
kekuasaan pada Negara. Menurutnya strategi kuasa berada dimana-mana.
Setiap masyarakat mengenal beberapa strategi kuasa yang menyangkut
kebenaran. Beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar.
Ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan tidak
benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan
menyebarkan kebenaran.
Lebih jauh ia menganggap kekuasaan selalu terakulasikan lewat
pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara
kekuasaan masih menurutnya, selalu memproduksi pengetahuan sebagai
basis dari kekuasaannya. Konsep Foucault ini membawa konsekwensi,
untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi
pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Setiap kekuasaan menghasilkan
dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring
untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama
melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik
yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik,
tapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana dan mekanisme,
berupa prosedur, aturan, tatacara, dan sebagainya. Kuasa hukum
dilaksanakan lebih untuk menarik dan menimbulkan kesadaran pada
individu.
Di dalam strategi ini bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa,
melainkan jiwa, pikiran, kesadaran, dan kehendak individu yang mampu
menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam masyarakat. Hukuman
berfungsi
menjadikan
individu
patuh
dan
berguna.
Mekanisme
penghukuman bukan untuk menghukum tetapi juga pendisiplinan.,
pengawasan, pengontrolan, pencatatan , dan sebagainya..
Kehidupan bukan diatur lewat serangkaian represi melainkan melalui
kekuatannya memberi definisi dan melakukan regulasi. Berbagai regulasi
itu diantaranya yang menentukan kita, memilah, mengklasifikasikan, dan
menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus
dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang salah dan mana
yang tidak.
Melalui wacana, hubungan antara kekuasaan disatu sisi dengan
pengetahuan disisi lain terjadi. Foucault mengatakan bahwa hubungan
antara simbol dan yang disimbolkan itu bukan hanya referensial,
melainkan juga produktif dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu
antara lain melalui bahasa, moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak
hanya mengacu pada sesuatu, melainkan turut menghasilkan perilaku,
nilai-nilai, dan ideologi (Eriyanto, 2001: 71-72).
BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Novel “The Compass”
Dalam novel ini terdapat 13 BAB yang berisikan 5 buah cerita yang
saling berkaitan satu sama lain. Yang memuat perjalanan tokoh utama dalam
menemukan pemahaman akan hidup yang sesungguhnya. Dalam setiap
cerita sang tokoh utama bertemu dengan orang-orang yang memberikan
berbagai pelajaran tentang arti kehidupan. Bahwa Sebagai manusia kita
semua terhubung oleh cinta, sakit, dan kadang-kadang oleh tragedi atau
peristiwa yang tidak dapat kita kendalikan.
Masing-masing dari kita memiliki perjalanan yang unik, namun kita
dihubungkan oleh pengalaman dan emosi dalam sebuah keterkaitan. Sesuatu
yang terjadi dalam kehidupan kita bahkan yang terkecil sekalipun selalu
saling berhubungan dan keterhubungan tersebut tidak terlepas dari peran
komunikasi. Aspek komunikasi sangat terasa dalam setiap sendi kehidupan
kita. Setiap cerita memperlihatkan bahwa jalinan komunikasi yang
dipaparkan mencerminkan pemahaman komunikasi yang berbeda-beda.
Ada 5 buah cerita yang memiliki satu benang merah yang saling
berinteraksi
yang terangkum dalam sebuah novel berisi 13 Bab.
Keselurahan cerita dalam novel ini saling berkaitan satu sama lain. Tetapi
dilihat dari segi konstruksi dan realitas makna-makna yang berbeda sesuai
dengan teori dan pemahaman yang digunakan dalam setiap cerita yang di
paparkan dalam novel “The Compas”.
B. Ringkasan Isi Cerita “The Compass”
1. Cerita Pertama : Bab 1 dan 2
Jonathan terdampar disebuah gurun gersang di Gurun Nevada,
California. Marilyn, tokoh pertama yang dijumpai Jonathan dalam
perjalanannya. Marilyn
datang ke gurun itu atas pilihannya untuk
menyendiri terakhir kali karena ia telah didiagnosis terkena tumor otak.
Terasa ironis bahwa ia memilih untuk lari ke gurun dengan sisa hidupnya
yang sangat singkat itu, sementara Jonathan lari dari hidup itu sendiri,
memilih untuk tidak menjalani hidup tetapi sekedar hidup.
Intinya , keduanya memilih untuk lari. Marilyn lari karena tidak ada
pilihan dan Jonathan lari karena kebutuhan. Marilyn sedang sekarat,
sedangkan Jonathan merasa sudah mati. Marilyn berkata, “tidak ada yang
terjadi secara kebetulan. Kita mengira itu sebuah kebetulan, tetapi bukan.”
Pelajarannya di sini adalah tentang nasib dan jalan hidup diantara puncak
dan lembah. Bagaimana orang-orang yang kita jumpai sering kali
ditempatkan dalam hidup kita karena suatu sebab. (Halaman 1-28)
(Bab 1 ‘Kelamnya malam’ dan Bab 2 ‘Pelarian’).
2. Cerita Kedua : Bab 3,4,5,6
Dalam babak berikut kehidupan Jonathan memulai perjalanan
keduanya. Jonathan kemudian bertemu Pete, seorang pria tua yang tinggal
di Adirondacks. Pete merupakan seorang pria tua yang sudah lama hidup
seorang diri karena ia tidak pernah mengetahui apalagi melihat orang
tuanya dan sanak keluarganya, sesuatu pada masa lalunya membuat hal
tersebut terjadi.
Tetapi dalam masa kesendirian Pete bahkan keterpurukannya tidak
membuat ia menjadi pria tua yang sedih berlarut larut ia bahkan cenderung
sangat mandiri dan menikmati kesendiriannya meskipun terkadang beliau
tetap memikirkan tentang semua keluarganya yang sudah lama ia tak
jumpai dan tak tahu keberadaanya. Pete merupakan seorang juragan tanah
di daerahnya karena memiliki beberapa kekayaan yang tidak sedikit yaitu
beberapa pondok yang sangat besar yang berdiri kokoh di daerah tempat ia
tinggal sekarang, Di daerah pegunungan Adirondaks di bagian wilayah
kota kecil , New York. (Halaman 31-80)
( Bab 3 ‘Badai’, Bab 4 ‘Persimpangan itu’, Bab 5
‘Pondok Pete’, Bab 6 ‘Perjalanan’)
3. Cerita Ketiga : Bab 7 dan 8
Petualangan
berikutnya
di
peroleh
saat
Jonathan
kembali
melanjutkan expedisi berikutnya di bagian kota Rumania, yaitu di kota
kecil Brasov. Jonathan bertemu dengan beberapa orang lain yang berhasil
memberinya tambahan nilai kehidupan. Salah satunya ialah seorang bocah
yatim piatu bernama Salomo yang diangkat menjadi anak dari pasangan
yang belum memiliki anak.
Meskipun Salomo hanyalah seorang bocah, ia mengajari Jonathan
banyak hal. Ia memiliki jiwa tua dalam raganya yang masih sangat belia.
Salomo juga seorang ‘penipu’ cilik handal yang dengan kemampuan
berkata-kata manisnya dengan semua orang bahkan turis-turis yang datang
ke daerahnya merupakan suatu modal khusus untuk mendapatkan
sejumlah uang yang akan diberikan kepada orang tua angkatnya. (Halaman
81-105)
( Bab 7 ‘Taman’, Bab 8 ‘Petualangan’)
4. Cerita Keempat : Bab 9,10,11
Pemberhentian selanjutnya Jonathan menuju ke Amsterdam.
Belanda. Tepatnya kota kecil di Amersfoort. Dikota kecil ini Jonathan
beretemu banyak orang baru, salah satunya Toin sang mantan atlet
bersepeda nomor satu pada eranya yang hanya bisa menjadi kenangan
manis sebelum tragedi yang dialami Toin yang membuatnya lumpuh.
Oleh karena itu ia berinisiatif membuka sebuah usaha untuk
melanjutkan dedikasinya dalam prerstasi yang lain, yaitu membuka
bengkel dan penyewaan sepeda. Jonathan kembali merasakan sensasi yang
sudah lama ia tidak rasakan. Jonathan bertemu dengan sang pemilik
bengkel sepeda tersebut, Jontahan sekan kembali teringat tentang
kebiasaannya di tempat tinggalnya dulu salama ia masih aktif mengendarai
sepeda sewaktu kehidupannya belum berubah seratus derajat setelah
tragedi yang menimpanya.
Karena melihat potensi Jonathan yang cukup untuk membantu
pekerjaan di bengkel, akhirnya sebagai ganti meminjam sepeda yang
lumayan mahal, Toin kemudian menawarkan Jonathan untuk tinggal di
rumahnya
sekaligus membantunya untuk bekerja di bengkel. Dengan
senang hati meskipun sedikit ragu Jonathan akhinya bisa menerima
tawaran tersebut. (Halaman 107-151)
( Bab 9 ‘Belanda’, Bab 10 ‘Penghargaan’,
Bab 11 ‘Mengikhlaskan’.)
5. Cerita Kelima : Bab 12 dan 13
Setelah mengalami banyak pengalaman baru dalam perjalanannya
untuk menemukan jati dirinya yang dulu, yang seakan penuh dengan
penyesalan, sekarang Jonathan bersiap untuk kembali ke masa
kehidupannya yang sebenarnya. Ia memeberanikan diri untuk bertemu
dengan istrinya yang sudah lama ia tinggalkan, ketika Lacy mengalami
koma selama beberapa bulan di Rumah Sakit di Los Ageles, California.
Bukanlah hal yang mudah saat Jonathan memutuskan bertemu
dengan istrinya yang sepertinya sudah berusaha dan berhasil untuk keluar
dari keterpurukan dan sudah dapat menerima serta mengahadapi realita
yang telah terjadi. Lacy memutuskan untuk melanjutkan hidupnya agar
bisa lebih baik dan tidak terpuruk untuk berlarut-larut dalam kesedihan.
Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Jonathan bersedia
untuk meninggalkan masa petualangannya, dan kembali menghadirkan
sosok yang barunya dengan penuh tangungjawab agar bisa kembali di
kehidupan nyatanya yang sudah lama ia impikan dan berusaha untuk
kembali memenuhi dan menata kembali kehidupannya yang sempat ia
tinggalkan sebagai usaha pelarian diri, dan Jonathan berinisiatif untuk
memperbaiki semua hubungan dengan Lacy yang sempat ia abaikan.
Lari dalam masalah merupakan tindakan seorang pengecut. Menepis
segala rasa ego dan membuka pintu saling memaafkan merupakan salah
sau cara untuk menaklukkan hati seseorang, perlu kesabaran ekstra untuk
terus berjuang dan mempertahankan ciri-khasnya yang sudah lama ia
tinggalkan dan kemudian menerima kenyataan dan beradaptasi dalam
kehidupan barunya yang sudah memiliki banyak perubahan, salah satunya
perubahan yang di alami oleh Lacy yang ditinggalkannya dalam keadaan
koma pasca tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa putri mereka.
Lacy tampak lebih segar dengan penampilan barunya yang ketika Jonathan
pertama kali melihatnya hampir tak dapat mengenali sosok wanita yang
sangat ia cintai itu. (Halaman 153-187)
( Bab 12 ‘Memaafkan’, Bab 13 ‘Saatnya adalah sekarang’).
Cerita-cerita di atas yang terangkum dalam Novel “The Compass”
terkesan sederhana, diksi-diksi yang dipakai juga sangat biasa., bahkan
lumrah ditemui dalam kehidupan sehari-hari . Namun yang tergambar di
sana ialah sebuah kesederhanaan yang memancar serta realitas kehidupan
yang sering kita alami dalam setiap aspek kehidupan kita yang tidak
terlepas dalam pemahaman komunikasi. Tammy kling dan John Spencer
Ellis seperti mencoba untuk menarik sebuah busur yang baru, dengan
memposisikan dirinya sebagai mahkluk sosial yang sanagt menyadari
bahwa segala sesuatunya sangat erat kaitannya dengan komunikasi
tergantung pada aspek komuniaksi tersebut diletakkan sesuai dengan
pemahaman yang digunakan.
Kompas adalah sebuah transformasi kehidupan baru yang akan
memandu kita pada perjalanan penemuan diri. Pada inti dari Kompas ini
adalah pelajaran khusus tentang sistem kepercayaan dan pemahaman yang
benar-benar dalam rangka untuk menjalani takdir.
Jonathan, karakter utama, melarikan diri dari kehidupan pinggiran
kota setelah sebuah tragedi yang mengubah rencananya untuk masa depan.
Lumpuh karena kesedihan, ia memutuskan untuk perjalanan di seluruh
dunia dalam upaya untuk meluruskan kembali kompas batinnya. Hanya
dengan membawa ransel, ia meninggalkan kariernya, teman, keluarga, dan
rumah. Perjalanan dimulai pada sebuah gurun di Nevada, lanjutkan ke
pegunungan murni Adirondacks, dan kemudian ke sebuah desa abad
pertengahan di Rumania.
Di setiap perjalanan, Jonathan bertemu dengan orang paling penting
yang menawarkan pelajaran hidup yang besar, dan dia mulai menyadari
bahwa setiap individu ditempatkan di jalur nya karena suatu alasan.
C. Profil Penulis Novel
Tammy Kling adalah seorang penulis internasional, aktivis
kemanusiaan, dan pelatih sastra yang membantu penukaran panduan dunia
untuk menciptakan proyek-proyek yang mengubah. Buku-bukunya telah
diterjemahkan ke beberapa bahasa dan pekerjaannya telah ditampilkan
antara lain dalam New York Times, Wall Street Journal, NBC Dateline,
Ekstra, dan Primetime 20/20. Tujuan hidup wanita ini adalah menulis
buku yang mengubah kehidupan.
John Spencer Ellis adalah pengembangan pribadi yang diakui secara
internasional dan ahli kesehatan. Selain
menerima empat gelar
kesarjanaan. John adalah seorang dermawan, pembicara profesional, dan
pendidik. Ia juga CEO dari Institut Spencer untuk Life Coaching dan
Latihan Olahraga Nasional dan Asosiasi Pelatih. Dia adalah pencipta dan
produser eksekutif Film Kompas. Karena selain bukunya novel nonfiksi
yang bernuansa pengembangan diri ini juga memiliki Film Dokumenter.
BAB 1V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. TEORI-TEORI DAN TRADISI DALAM NOVEL THE COMPASS
TERHADAP PEMAHAMAN KOMUNIKASI
Dalam bab ini akan menganalisis 5 buah cerita yang memiliki satu benang
merah yang saling berinteraksi yang terangkum dalam sebuah Novel berisi 13
Bab. Keselurahan cerita dalam novel ini saling berkaitan satu sama lain, tetapi
dilihat dari segi konstruksi dan realitas makna-makna yang berbeda sesuai
dengan teori dan pemahaman yang digunakan dalam setiap cerita yang di
paparkan dalam novel “The Compass” , masing-masing adalah:
1.Cerita pertama
: Bab 1 dan 2.
2.Ceita kedua
: Bab 3,4,5,6.
3.Cerita ketiga
: Bab 7,8.
4.Cerita keempat
: Bab 9,10,11.
5.Cerita kelima
: Bab 12.13.
Cerita pertama di Bab 1 dan 2, Jonathan merasakan kehampaan. Ia baru
saja mengalami tragedi yang mendorongnya melakukan perjalanan pencarian
diri, perjalanan itu merupakan pelarian, suatu metode yang khas, reaksi
bertempur-ataukah-kabur dalam menghadapi trauma. Istri dan putrinya
mengalami kecelakaan mobil
yang parah, dan ia lari dari kehidupannya.
Kearifan yang dapat dipetik adalah perasaan bahwa tragedi dapat merubah
pemahaman kita akan sesuatu.
Sebelum memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kehidupannya,
Jonathan berusaha untuk mencoba hidup kembali secara normal, dia melakukan
aktifitasnya seperti biasa tetapi tetap saja di relung hati Jonathan terbesit segores
luka yang mendalam yang membuatnya terasa kosong. Setelah tragedi yang
menimpa Jonathan tersebut ia sama sekali berubah, memutuskan hubungan
dengan orang lain, jarang bergaul, menghindari berinteraksi dengan orang lain,
menutup diri dari kehidupan sosial, tidak melakukan komunikasi secara
maksimal karena sifat ‘introvert’ yang tiba-tiba muncul dalam dirinya pasca
tragedi tersebut.
Dalam pelarian pertamanya ia memutuskan untuk pergi ketempat yang
jauh dari kehidpannya dikota, Jonathan kemudian terdampar di Gurun Nevada,
California dan beretemu dengan seorang wanita paruh baya bernama Marilyn.
Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwa komunikasi merupakan hal yang
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. dari berbagai sudut pandang
pemahaman komunikasi ada beberapa cara akademisi melakukan penelitian dan
menyusun teori-teori yang bergantung pada asumsi-asumsi epistemologis
mereka karena apa yang mereka pikirkan tentang pengetahuan dan bagaimana
mereka memikirkan pengetahuan itu didapatkan, menentukan apa yang mereka
temukan.
Dalam melihat kasus yang terjadi pada Jonathan yang memilih untuk
pergi dari kehidupannya di Kota, hal ini berhubungan dengan jenis asumsi
ontologi.
Ontologi merupakan sebuah filosofi yang berhadapan dengan sifat
makhluk hidup. Epistemologi dan ontologi berjalan beriringan karena gagasangagasan kita tentang pengetahuan sebagian besar bergantung pada pemikiran
kita mengenai siapa yang mengetahui. Dalam hal ini Jonathan memiliki
pengetahuan yaitu perasaan trauma yang mendalam setelah tragedi kecelakaan
yang menimpa keluarganya. Ia mengetahui bahwa betapa berat telah mengalami
tragedi tersebut kehilangan seorang anak dan hancurnya hubungan dengan
istrinya.
Dalam ilmu sosial, ontologi sebgaian besar berhadapan dengan sifat
keberadaan manusia. Dalam komunikasi, ontologi berpusat pada sifat interaksi
sosial manusia karena cara seorang ahli teori mengonseptualisasi interaksi
sebagian besar bergantung pada bagaimana penghubung tersebut dipandang.
Pertama, pada tingkatan apa manusia membuat pilihan-pilihan yang nyata?
Walaupun semua penelitian nampaknya setuju bahwa orang-orang merasakan
pilihan, ada perdebatan filosofis yang telah berlangsung lama tentang apakah
ada pilihan yang nyata. Pada salah satu sisi dari masalah tersebut berdiri kaum
determinis yang menyatakan bahwa perilaku disebabkan oleh banyak kondisi
sebelumnya yang sebagian besar menentukan perilaku manusia. Menurut
pandangan ini, manusia pada dasarnya bersifat reaktif dan pasif.
Pada sisi lain perdebatan, berdiri kaum pragmatis yang menyatakan bahwa
manusia merencanakan perilakunya untuk mencapai tujuan
masa depan.
Kelompok ini memandang manusia sebagai mahkluk yang aktif dan dapat
mengambil keputusan yang dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri. Ada
juga yang berdiri di posisi tengah, yang menyatakan bahwa orang-orang
membuat pilihan dalam jangkauan yang terbatas atau bahwa beberapa perilaku
telah ditentukan, sedangkan perilaku yang lain dilakukan dengan bebas.
Masalah ontologis yang kedua adalah apakah perilaku manusia sebaiknya
dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat. Pertanyaan ini berhubungan dengan
apakah ada dimensi yang cukup stabil –sifat-sifat-atau kondisi-kondisi
sementara yang lebih memengaruhi manusia, yang disebut dengan keadaan.
Pandangan keadaan menyatakan bahwa manusia bersifat dinamis dan
mengalami banyak keadaan dalam satu hari, satu tahun, dan seumur hidup.
Pandangan sifat menyatakan bahwa manusia sebagian besar dapat diperkirakan
karena mereka menunjukkan karakteristik yang kurang lebih konsisten
sepanjang waktu.
Oleh karena itu, sifat-sifat tidak berubah dengan mudah dan menurut
pandangan ini, manusia pada dasarnya dipandang statis. Tentunya, ada posisi
tengah-tengah dan banyak ahli teori yang percaya bahwa baik sifat maupun
keadaan dapat mengarakterisasi perilaku manusia.
Apakah pengalaman manusia semata-mata individual atau sosial ?
pertanyaan ontologis ini berhubungan dengan apakah individu atau kelompok
membawa banyak beban untuk menentukan tindakan manusia.
Akademisi-akademisi yang memberi perhatian pada individu memahami
perilaku mereka dalam istilah individualistis dan satuan analisis mereka adalah
jiwa manusia sebagai individu. Namun, ilmuwan sosial yang lain lebih
memfokuskan pada kehidupan sosial sebagai satuan analisis utama. Para
akademisi ini percaya bahwa manusia tidak dapat dipahami secara terpisah dari
hubungannya dengan orang lain dalam kelompok dan kebudayaan. Pertanyaan
ontologis ini sangat penting bagi akademisi komunikasi karena fokus mereka
pada interaksi.
Pada tingkatan mana apakah komunikasi menjadi kontekstual ? Fokus
pertanyaan ini adalah apakah perilaku diatur oleh prinsip-prinsip universal atau
apakah hal ini bergantung pada faktor-faktor situasional. Beberapa filsuf
percaya bahwa kehidupan dan tindakan manusia sebaiknya dipahami dengan
melihat pada faktor-faktor universal, yang lainnya percaya bahwa perilaku
bersifat kontekstual dan tidak dapat dihasilkan di luar situasi yang ada. Dalam
komunikasi, lebih banyak orang yang mendukung posisi tengah dengah para
akademisi yang percaya bahwa perilaku dipengaruhi baik oleh faktor-faktor
umum maupun situasional.
Kemudian dilihat pada sisi cerita ketika Jonathan bertemu dengan karakter
pertama yang ia jumpai dalam cerita ini yaitu Marilyn. Dimana ketika Marilyn
mengatakan kepada Jonathan bahwa :
‘Tidak ada kejadian yang kebetulan ,”katanya, sambil memberi isyarat
kepadaku untuk mengikutinya’.
“kita bisa saja menganggapnya sebagai kebetulan-kebetulan tetapi
semuanya bukanlah kebetulan”.
(Halaman 6, Bab 1 ‘Kelamnya malam’)
Merenungkan ironi di dalam ucapan Marilyn, Jonathan seakan tak
menerima apa yang baru saja diucapkannya. Tetapi Marilyn tidak hanya
mengucapkan kata-kata itu ia berusaha meyakinkan Jonathan dengan membuka
persepsi baru terhadap pemahaman Jonathan yang terlihat tidak menerima
perkataanya, dan seiring percakapan yang berlanjut pemahaman Jonathan mulai
bergeser dan memahami maksud dari ucapan Marilyn. Dalam kasus ini kita
dapat menghubungkannya dengan melihat teori penilaian sosial.
Teori penilaian sosial. Teori atribusi menunjukkan kepada kita pentingnya
penilaian interpersonal. Teori penilaian sosial, sebuah karya dalam ilmu
psikologi sosial, berfokus pada bagaimana kita membuat penilaian mengenai
pernyataan yang kita dengar. Teori penilaian sosial, berdasarkan karya Muzafer
Sherif dan koleganya mencoba untuk memeperkirakan bagaimana kita akan
menilai pesan dari orang lain dan bagaimana penilaian ini akan berpengaruh
pada sistem keyakinan kita sendiri.
Sherif dipengaruhi oleh penelitian fisik sebelumnya, yang menguji
kemampuan orang-orang untuk menilai hal seperti bobot sebuah objek atau
sinar dari sebuah cahaya. Sherif meneliti cara orang menilai pesan, sehingga
menciptakan istilah persepsi sosial untuk menjabarkan fenomena itu. Dalam
interaksi dengan orang lain, kita tidak punya sekarung keyakinan yang dapat
kita gunakan untuk menilai sebuah pesan. Kita harus bergantung pada sebuah
dasar atau acuan internal. Dengan kata lain, acuan kita berada di kepala kita dan
didasarkan pada pengalaman sebelumnya.
Pada sebuah eksperimen penilaian sosial, kita akan diberi sejumlah
pernyataan tentang suatu masalah. Kemudian, kita akan diminta untuk
mengurutkannya ke dalam sebuah kelompok berdasarkan kesamaan mereka
menggunakan sebuah proses yang disebut Q-sort. Kita dapat mengurutkannya
ke dalam banyak kelompok sesuka kita. Kemudian, kita akan meletakkan
susunan tersebut dari positif ke negative.
Berikutnya kita akan menyatakan kelompok pernyataan mana yang dapat
kita terima secara pribadi, yang tidak dapat diterima, dan yang netral.
Tumpukan data yang pertama akan membentuk rentang penerimaan kita
(latitude of acceptance) pernyataan yang dapat membuat kita setuju , yang
kedua adalah rentang penolakan (latitude of rejection) semua pernyataan yang
membuat kita tidak setuju, dan yang ketiga adalah (latitude of noncommitment)
atau rentang ketidakterlibatan kita. Bidang lain di mana teori penilaian sosial
membantu pemahaman kita tentang komunikasi adalah perubahan sikap.
Teori penilaian sosial memperkirakan bahwa semua pesan yang jatuh di
antara rentang penerimaan memudahkan adanya perubahan sikap. Sebuah
perdebatan tentang posisi yang baik dalam tingkatan penerimaan menjadi
sesuatu yang lebih persuasif daripada sebuah argument yang berada diluar
tingkatan ini.
Cerita kedua bab 3,4,5,6 dimana pada bagian cerita kedua ini Jonathan
melanjutkan perjalanan keduanya di daerah pegunungan Adirondacks dibagian
wilayah kecil,New York. Jonathan kemudian bertemu dengan tokoh kedua yang
memberinya berbagai pemahaman mengenai hidup yaitu Pete.
Pete adalah
lelaki paruh baya yang memiliki banyak pengalaman hidup yang dibagi kepada
Jonathan. Pete mengajari Jonathan bahwa “kita tidak selalu harus memahami
setiap hal. Kadang-kadang ada misteri dalam kehidupan, dan kita hanya harus
menerima ketidaktahuan kita”. Ini adalah pelajaran yang paling sulit diterima
oleh manusia, namun manusia yang paling tinggi evolusinya telah menerimanya
sebagai kebenaran dan menjalani hidup mereka sesuai dengn pelajaran itu.
Dalam berbagai pengalaman dan pengetahuan Pete yang kemudian ia
ajarkan kepada Jonathan meruapakan sebuah contoh dari Teori pencapaian
tujuan. Sejalan dengan gagasan Vernon Cronen (dalam Littlejohn, 2011:39)
bahwa teori praktis “menawarkan prinsip-prinsip yang disampaikan melalui
seluk-beluk pengalaman hidup yang membantu untuk bergabung dengan orang
lain untuk menghasilkan perubahan”. Bagi Cronen, teori praktis merupakan
sebuah sistem gagasan yang terhubung yang memungkinkan individu untuk
memikirkan cara mereka melalui situasi-situasi aktual dan memberikan
keputusan-keputusan tentang apa yang harus dilakukan.
Sebuah teori praktis tidak menentukan tindakan yang harus kita ambil,
tetapi memungkinkan kita untuk bertindak dalam cara yang masuk akal yang
membawa kita pada pemahaman mengenai bagaimana kita meningkatkan
situasinya. Sebuah teori praktis yang baik memungkinkan kita untuk fokus pada
situasi sebenarnya yang kita hadapi, menjelajahi apa yang istimewa dari situasi
ini, mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan setiap tindakan yang kita
ambil, mengambil tindakan yang meningkatkan kehidupan kita dan juga
mendapatkan hasil-hasil positif, dan belajar dari pengalaman dalam situasisituasi aktual yang kita hadapi dan mempersiapkan diri kita untuk menghadapi
yang lainnya.
Selain itu pelajaran berikutnya adalah salah satu dari berbagai hal yang
paling penting untuk dipahami adalah bahwa orang-orang ditempatkan di dalam
hidup kita dengan suatu alasan. Ada yang datang, ada yang pergi, ada yang terus
bersama kita. Semuanya terus mengalir, seperti sungai. Pete bagaikan napas
segar bagi Jonathan karena ia tidak menuntut apapun dan tidak menanyakan
apapun. Jonathan benar-benar tak mampu berbagi secara emosional karena ia
tengah terpuruk. Kadang-kadang perlu bagi kita untuk sekedar mendampingi
seseorang.
Dalam hal ini komunikasi sangat penting dari awal karena kita
bersosialisasi melalui interaksi dengan orang lain dalam lingkungan di sekitar
mereka. Proses bernegosiasi dengan dunia sekitar juga hadir melalui
komunikasi. Seseorang memahami dan berhadapan dengan objek di
lingkungannya melalui interaksi sosial dengan orang lain. Orang lain tertentu,
orientational others, yang berpengaruh dalam kehidupan seseorang.
Mereka adalah orang-orang yang terikat secara emosional dan psikologis
dengan kita. Mereka, seperti orang tua, memberikan kita kosakata umum,
konsep penting, dan kategori yang akan menjelaskan realitas kita. Mereka dapat
hadir pada saat ini atau pada masa lalu kita, mereka dapat saja ada atau tidak
ada. Pada beberapa titik dalam kehidupan kita, individu-individu ini sangat atau
pernah sangat penting dalam membantu kita belajar membedakan antara diri
kita sendiri dan orang lain, membantu kita mengembangkan siapa diri kita
sebagai seseorang. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Pete ke Jonathan
bahwa orang-orang datang dan pergi dalam kehidupan kita.
Cerita ketiga bab 7 dan 8. Dalam cerita ketiga ini Jonathan kembali
memulai perjalanan lainnya di bagian kota Rumania yaitu kota kecil bernama
Brasov. Jonathan bertemu dengan seorang anak kecil bernama Salomo yang
tinggal bersama orang tua angkatnya yaitu Cornell (Mr.A) dan Victorita
(Mrs.B). Salomo memberikan julukan Mr.A dan Mrs.B kepada orang tua
angkatnya berdasarkan sifat yang ia perhatikan dari keduanya. Meski Salomo
hanyalah seorang anak kecil, ia mengajari Jonathan banyak hal. Ia memiliki jiwa
dewasa dalam dirinya dari segi pemikiran dan pengetahuan.
Dan salah satu pelajaran yang diajarkan kepada Jonathan adalah bahwa
kita bukanlah pekerjaan kita, kita adalah diri kita. Masyarakat Amerika
mendefinisikan kebanyakan orang berdasarkan apa yang mereka lakukan. Dan
kita sebaliknya mendefinisikan identitas kita sebagai orang dewasa berdasarkan
apa yang kita kerjakan dan apa yang kita peroleh dari kehidupan profesional
kita.
Dalam cerita inilah dimana Jonathan sudah mulai untuk memperhatikan
orang lain dan dunia di sekelilingnya dan menjalin hubungan dengan mereka. Ia
Memperhatikan kegiatan Salomo yang sangat gemar berkebun setiap hari.
Kebun dan Salomo bagai tak terpisahkan, Salomo menganggap berkebun bukan
hanya sekedar kegemaran tetapi sudah menjadi penyemagat hidup dalam
jiwanya. Keterhubungan dengan dunia inilah yang akan menyelamatkan hidup
seseorang, kita bagaikan binatang berakal yang berjalan apabila tidak
melakukan interaksi dengan orang lain dan menjalin komunikasi dalam interaksi
sosial.
Robyn Penham (dalam Littlejohn,2011:35) telah menggarisbawahi lima
prinsip pendekatan tindakan praktis. Pertama, tindakan bersifat sukarela.
Manusia sebagian besar memotivasi dirinya sendiri dan memperkirakan perilaku
berdasarkan pada fakkor-faktor eksternal adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Oleh sebab itu dalam cerita Jonathan, ia masih tetap ingin bangkit dalam
keterpurukannya dengan mengambil langkah yaitu kembali peduli terhadap
lingkungan sekitarnya, melakukakan interaksi dengan berkomunikasi. Perlahanlahan ia mulai merasa hidup kembali.
Meskipun pada awalnya langkah tersebut sangat berat yang membuat
Jonathan berfikir seakan hal tersebut tidak mungkin dilakukan setelah apa yang
ia alami. Kedua, menurut penman dan tradisi tindakan praktis, pengetahuan
dihasilkan secara sosial. Hal ini berarti bahwa teori-teori komuniaksi itu sendiri
diciptakan oleh proses komunikasi atau interaksi. Hal ini merupakan salah satu
dari banyak cara untuk memahami perilaku, bukan sebuah cermin dari alasan
‘nyata’ atau ‘benar’ orang-orang melakukan sesuatu. Ketiga, semua teori
berhubungan dengan sejarah.
Mereka mencerminkan keadaan serta waktu ketika mereka diciptakan
dan ketika waktu berubah. Elemen keempat yang didefinisikan sebagai
paradigm teoretis tindakan praktis adalah bahwa teori-teori memengaruhi
kenyataan yang mereka tutupi. Kelima, teori-teori dibebani dengan nilai, tidak
pernah netral dari titik teoretis yang menguntungkan.
Dalam bagian cerita ketiga ini tokoh bernama Salomo memberikan kata
ganti atau julukan kepada nama orang tua angkatnya yaitu Mr.A kepada Cornell
Ayah angkatnya yang berarti Anger (kemarahan) dan Mrs.B untuk Victorita Ibu
angkatnya yang berarti Bitterness (kepahitan). Kebiasaan Salomo dalam
memberikan kata ganti atau julukan kepada seseorang sangat erat kaitannya
terhadap Gagasan umum dari tradisi semiotik. Kebanyakan pemikiran semiotik
melibatkan ide dasar triad of meaning yang menegaskan bahwa arti muncul dari
hubungan diantara tiga hal: benda (atau yang dituju), manusia (penafsir), dan
tanda. Charles Saunders Pierce (dalam Littlejohn, 2011:54) ahli semiotik
modern pertama, dapat dikatakan pula sebagai pelopor ide ini, Pierce
mendefinisikan semiosis sebagai hubungan di antara tanda, benda, dan arti,
tanda tersebut mempresentasikan benda atau yang ditunjuk di dalam pemikiran
di penafsir. Ini menunjukkan bahwa tanda seperti kata ganti perorangan
dihubungkan kepada yang ditunjuknya melalui pikiran atau interpretasi si
pengguna, Dalam kata lain, arti bergantung pada gambaran atau pikiran
seseorang dalam kaitannya dengan tanda dan benda yang direpresentasikan oleh
tanda.
Cerita keempat bab 9,10 dan 11. Jonathan mengalami banyak
pengalaman dan bertemu dengan banyak orang. Tetapi dalam perjalanannya kali
ini dimana kompas batinnya membawa Ia ke Amserdam,Belanda ke sebuah kota
kecil di Amersfoort. Sewaktu Jonathan datang ke kota kecil yang terletak di
Belanda ini Ia bertemu dengan Toin dan Anja sepasang kekasih. Toin
merupakan seorang mantan atlet sepeda terkenal di kotanya. Tetapi karena ia
telah mengalami sebuah kecelakaan yang membuatnya kehilangan kaki
akhirnya ia tidak bisa melanjutkan impiannya menjadi seorang atlet sepeda yang
memaksanya untuk berhenti dari profesinya dan membuka sebuah toko sepeda
sebagai tanda kecintaanya terhadap sepeda dan membuktikan meskipun ia sudah
tidak sempurna tetapi ia tetap memiliki semangat yang tinggi untuk bangkit dan
kembali menata hidupnya.
Jonathan merasa ia kembali berada pada satu sisi lain kehidupan orangorang yang berbeda, kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda. Saat tiba di kota
kecil itu Jonathan seperti biasa kembali mengalami kendala bahasa. Seiring
berjalannya waktu ia bertekad untuk mempelajari kebudayaan kota tersebut. ia
kemudian belajar bahasanya dan karena terbawa oleh pendalaman tersebut ia
juga dengan sengaja merubah penampilannya seperti orang Belanda dan
berbicara layaknya penduduk asli kota tersebut.
Hal
tersebut
membuktikan
bagaimana
segala
sesuatu
tampak
memengaruhi sesuatu lainnya. Atau mungkin kita akan berfikir terlalu banyak
tentang semua kekuatan yang ada diluar, tetapi terpikat oleh perbedaanperbedaan individu dan bertanya-tanya tentang bagaimana pikiran kita bekerja,
bagaimana membujuk orang lain dan memengaruhi pikiran mereka, seperti
bagaimana media memengaruhi pemirsanya. Jalan lain adalah jalan yang di
dalamnya terdapat sejumlah kelompok dan budaya yang datang secara
bersamaan, bagaimana mereka mengembangkan kode-kode dan arti-arti milik
mereka, dan bagaimana identitas kita dalam sebuah kelompok di bentuk oleh
jenis kelamin, budaya, keluarga, dan jaringan tempat kita bekerja. Mungkin kita
pada akhirnya akan berkonsentrasi pada bagaimana masyarakat dan institusiinstitusi mereka dibentuk oleh susunan sosial yang menyudutkan beberapa
kelompok dan mengistimewakan yang lainnya.
Orang-orang yang ditemui Jonathan dalam perjalannya memberikan
banyak pengaruh terhadap Jonathan melalui interaksi yang Ia lakukan. Toin
merupakan orang yang terkenal di kotanya sehingga Jonathan berkesempatan
mengenal lebih banyak orang lain karena berteman dengan Toin. Dalam tradisi
sibernetika merupakan tradisi sistem-sistem kompleks yang di dalamnya banyak
orang saling berinteraksi, memengaruhi satu sama lainnya. Teori-teori dalam
tradisi sibernetika menjelaskan bagaimana proses fisik, biologis, sosial, dan
perilaku bekerja. Dalam sibernetika, komunikasi dipahami sebagai sistem
bagian-bagian atau variable-variabel yang saling memengaruhi satu sama
lainnya, membentuk, serta mengontrol karakter keseluruhan sistem, dan
layaknya organisme menerima keseimbangan dan perubahan.
Sedangkan
perubahan
yang
dilakukan
oleh
Jonathan
terhadap
penampilan dan bahasanya dipengaruhi oleh interaksi yang ia lakukan selama
berada di Belanda dan ia melakukan perubahan tersebut untuk memasuki
kebudayaan tersebut. tanpa disadari Jonathan sudah beradaptasi dengan kondisi
di Belanda, dengan budaya dan bahasanya. Dalam sekejap Jonathan telah
tenggelam dalam kultur itu, merasa jadi bagian darinya ketimbang tempat lain.
Lanskap Amersfoort sepertinya menyiratkan aura tersendiri baginya. Tersirat
dalam kejadian pada suatu hari Rabu siang, seorang lelaki Amerika datang ke
toko dan bertanya tentang sewa sepeda. Dia mengenakan T-shirt putih dengan
logo almamater kampus Jonathan, Universitas Florida, di bagian depan, dan
sulaman Croc berwarna jingga, yang langsung mengungkapkan kebangsaannya.
Percakapan : “Saya ingin menyewa sepeda,” katanya.
“ik begrijphet niet,” jawab jonathan sambil menatapnya dengan ekspresi
seolah ia tidak memahami.
Dia berbalik dan menunggu istrinya, seorang perempuan
yang
mengenakan pakaian dan sepatu yang persis sama. Istrinya memegang
kamus di satu tangan dan sekaleng minuman soda di tangan yang lain.
“Bisa tolong sebutkan sepeda dalam bahasa Belanda?” tanyanya kepada
istrinya.
Kami menunggu sementara perempuan itu membolak-balik kamusnya. Dia
menunjuk halaman yang memuat kata itu dan memperlihatkannya kepada
suaminya.
“Fiets,” kata suaminya, dengan susah payah. “ kami ingin menyewa
sepeda.”
“ Ja,” kata Jonathan.
Setelah mendapatkan sepeda yang ia inginkan, lalu mereka berlalu.
“ Goede reis!” seruku, yang artinya kira-kira , “hati-hati di jalan!”
(Halaman 140, Bab 11 Mengikhlaskan)
Dalam percakapan singkat tersebut dapat kita ketahui bahwa Jonathan
sudah sangat mendalami peran barunya yang merasa telah menjadi seorang
warga asli Amersfoort. Dalam hal ini kita dapat memperjelasnya dalam Gagasan
Utama dari teori kritis. Yaitu, minat dalam bahasa menjadi penting bagi para ahli
teori kritik. Dalam marxisme (dalam Littlejohn, 2011:69), praktik-praktik
komunikasi dilhat sebagai hasil dari tekanan antara kreativitas individu dan
desakan sosial pada kreativitas itu. Hanya ketika individu benar-benar bebas
mengekspresikan dirinya dengan kejelasan dan alasan, kebebasan akan terjadi.
Oleh sebab itu Jonatahan berusaha untuk masuk kedalam budaya tersebut
dan berbahasa seperti orang Amersfoort karena ia ingin agar tidak ada yang
mengenalinya ia ingin melupakan sejenak masa lalunya dan beralih menjadi
sosok Jonathan yang baru. Akan tetapi, bahasa juga menjadi sebuah desakan
kepentingan dalam ekspresi individu karena bahasa dari kelas dominan
membuatnya sulit bagi kelompok kelas pekerja untuk memahami keadaan
mereka dan menemukan cara untuk mencapai emansipasi.
Dengan kata lain, bahasa dominan menegaskan dan memperlihatkan
penekanan terhadap kelompok pinggiran. Ini adalah tugas para ahli teori ktitk
untuk menciptakan bentuk bahasa baru yang dapat menyingkap ideologi agar
dapat didengar.
Dalam kajian komunikasi, para ahli kritik umumnya tertarik dengan
bagaimana pesan memperkuat penekanan dalam masyarakat. Meskipun para ahli
kritik tertarik pada tindakan sosial, mereka juga fokus pada wacana dan teks-teks
yang mempromosikan ideologi-idologi tertentu, membentuk dan mempertahankan
kekuatan, meruntuhkan minta-minat kelompok atau kelas tertentu. Analisis
wacana kritis memperhatikan fitur-fitur aktual dalam teks yang memunculkan
rangkaian penekanan tersebut, tanpa memisahkan komunikasi dari faktor lain
pada keseluruhan sistem kekuatan yang bersifat menekan.
Perubahan identitas yang dilakukan oleh Jonathan merupakan Teori
komunikasi tentang identitas dimana komunikasi merupakan alat untuk
membentuk identitas dan juga mengubah mekanisme. Identitas kita, baik dalam
pandangan diri maupun orang lain, dibentuk ketika kita secara sosial berinteraksi
dengan orang lain dalam kehidupan kita. Kita mendapatkan pandangan serta
reaksi orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya, memperlihatkan rasa
identitas dengan cara kita mengekspresikan diri kita dan merespon orang lain.
Subjective Dimension akan identitas merupakan perasaan diri pribadi kita,
sedangkan Ascribed Dimension adalah apa yang orang lain katakana tentang kita.
Dengan kata lain, rasa identitas terdiri dari makna-makna yang dipelajari
dan yang kita dapatkan-diri pribadi kita, makna-makna tersebut diproyeksikan
kepada orang lain kapanpun kita berkomunikasi-suatu proses yang menciptakan
diri kita yang digambarkan.
Cerita kelima bab 12 dan 13. Di bagian akhir buku ini setelah Jonathan
mengakhiri perjalanan panjangnya dan memutuskan untuk kembali ke Kota,
California, dimana kehidupan nyata yang sudah lama ia tinggalkan menunggunya.
Selama melakukan perjalanan spiritualnya dalam menemukan kompas batinnya ia
kemudian kembali menata hidupnya dan kembali bersama istrinya Lacy yang
sudah ia tinggalkan selama koma di rumah sakit pasca tragedi tersebut.
Berbekal pengalaman yang telah ia dapatkan selama perjalanannya ia
berhasil bangkit dari keterpurukannya. Jonathan menemukan pelajaran hidupnya
yang lain selama ia kembali ke California dan hidup bersama Lacy, bagaimana
orang dapat kembali tegak setelah jatuh ke jurang dalam hidupnya. Bagaimana
orang dapat kembali terhubung dengan dunia setelah mengalami suatu tragedi.
Jonathan menemukan kesadaran ini, dengan semua tragedi ini maka ia mendapat
pelajaran bahwa kita tidaklah harus selalu menengok masa lalu, tetapi merasa
bebas untuk menengok masa lalu. Bukan untuk melihat ke depan, tetapi merasa
bebas untuk menatap ke depan. Pelajaran utamanya adalah hadir pada saat ini,
berjuang dan menjadi sejahtera dan membangun kehidupan baru seperti apa pun
itu.
Dalam setiap langkah yang dilakukan Jonathan dalam perjalanannya
tidaklah mudah untuk memutuskan hal tersebut, yaitu pergi meninggalkan
kehidupan nyatanya di kota dan melakukan perjalanan tersebut, tetapi ada banyak
pertimbangan yang akhirnya memaksa Jonathan melakukannya. Hal ini dapat kita
lihat dalam kaitannya terhadap Teori Atribusi.
Teori Atribusi bermula dengan gagasan bahwa setiap individu mencoba
untuk memahami perilaku mereka sendiri dan orang lain dengan mengamati
bagaimana sesungguhnya setiap individu berperilaku. Sebagai pelaku komunikasi,
kita harus berpikir logis kenapa kita berperilaku demikian, dan kadang-kadang
kita ingin agar kita dapat menjelaskan kenapa orang lain juga berperilaku seperti
itu. Teori atribusi kemudian berhubungan dengan cara kita menyimpulkan hal
yang menyebabkan perilaku tersebut, perilku kita dan perilaku orang lain.
Penemu teori atribusi, Fritz Heider (dalam Littlejohn, 2011:102)
menyebutkan beberapa atribusi kausal yang biasa dibuat setiap orang. Semua ini
mencakup penyebab situasional (dipengaruhi oleh lingkungan), pengaruh pribadi
(memengaruhi secara pribadi), kemampuan (dapat melakukan sesuatu, usaha
(mencoba melakukan sesuatu), hasrat (keinginan untuk melakukannya),
keterlibatan (setuju dengan sesuatu), kewajiban (merasa harus), dan perizinan
(telah diizinkan). Berapa kali kita mengatakan sesuatu kepada orang lain dan
kemudian bertanya pada diri kita sendiri, “kenapa saya melakukan itu?” jawaban
kita mungkin terdengar seperti imi: “Saya tidak dapat menahannya, saya harus
mengatakannya, atau saya ingin melakukannya,” “saya merasa menyukainya,”
“saya ingin masuk kedalamnya,” atau “saya berkewajiban untuk melakukannya.”
Terlepas dari bagaimana kita mungkin menjelaskan apa yang kita katakan,
mustahil bahwa kita dapat menemukan satu per satu hubungan antara pernyataan
kita dan penjelasan kita mengenai hal tersebut. Dengan kata lain mungkin kita
menjelaskan alasan kita mengatakan atau melakukan sesuatu dengan berbagai
cara . Sejumlah perilaku mungkin dirasakan seperti sesuatu yang muncul dari satu
penyebab saja atau sebaliknya, suatu perilaku mungkin muncul dari beberapa
penyebab. Ketika kita berkomunikasi , kita sering sering kali harus mengatasi
ambiguitas tersebut dan teori atribusi membantu kita memahami bagaimana kita
melakukan hal seperti itu.
B. ANALISIS WACANA NORMAN FAIRCLOUGH
MELIHAT
TEKS-TEKS YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL “THE
COMPASS”
Analisis wacana adalah alternatif dari analisis isi selain analisis isi
kuantitatif yang dominan dan telah banyak dipakai. Melalui analisis wacana kita
bukan hanya mengetahui bagaimana teks sebuah tulisan, tetapi juga bagaimana
pesan itu disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa suatu
tulisan disampaikan. Dengan melihat bagaimana struktur kebahasaan tersebut,
analisis wacana lebih melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks
(Eriyanto,2001:15 dan disadur pula oleh Sobur, 2001:68).
Dalam Bab ini akan menganalisis lima cerita dari novel “The Compass”
dari segi konstruksi realitas dan makna-makna yang terkandung dalam novel “The
Compass” karya Tammy Kling dan John Spencer Ellis masing-masing
diantaranya adalah:
1.
Cerita pertama yang terdapat di 2 Bab yaitu Bab 1 dan 2.
(Halaman 1-28)
Cerita pertama ini terdiri dari 2 Bab. Dimana pada inti ceritanya Jonathan
merasakan kehampaan. Ia baru saja mengalami tragedi yang mendorongnya
melakukan perjalanan pencarian diri, perjalanan itu merupakan pelarian, suatu
metode yang khas, reaksi bertempur-ataukah-kabur dalam menghadapi trauma.
Istri dan putrinya mengalami kecelakaan mobil yang parah, dan Jonathan lari dari
kehidupannya. Kearifan yang dapat dipetik adalah perasaan bahwa tragedi dapat
merubah pemahaman kita akan sesuatu. Kita merasa bahwa kita bisa minta
bantuan keluarga atau teman, tetapi entah kenapa, satu-satunya reaksi terhadap
stress yang berat hanyalah lari. Lari dari masyarakat (pelarian ke dalam) hingga
lari dalam arti kata sebenarnya (pelarian keluar).
Analisis Teks
Dalam cerita pertama yang dikisahkan kita dapat melihat bahwa setelah
mengalami tragedi tersebut tokoh utama memilih untuk ‘lari’ . mulai dari, lari dari
masyarakat sampai lari dari kata sebenarnya.
Representasi
Seperti
penggalan
dalam
kisah
cerita
pertama
dimana
penulis
mempresentasikan sebuah seruan kepada pembaca agar senantiasa mencari
jalan keluar atas tragedi atau masalah yang sedang Jonathan alami. Dan
jalan keluar yang dipilih oleh Jonathan pada saat itu adalah ‘Lari’.
Relasi
Penulis disini mewakilkan dirinya sebagai bagian dari sosok tokoh utama
yang memjadi sasaran dari apa yang hendak ia sampaikan dalam novelnya
yaitu menyerukan kepada para pembaca bahwa ada banyak langkah yang
dapat kita ambil sebagai antisipasi dari apa yang sedang kita alami.
Kemudian hubungan novel secara umum dengan institusi yang
menerbitkan novelnya tersebut terlihat ada hubungan yang sifatnya
ideologis antara Novel karya Tammy Kling dan John Spencer Ellis yaitu
“The Compass” dengan penerbit (media). PT Gramedia Pustaka Umum
adalah media yang senantiasa antusias terhadap wacana/seni yang sangat
berbeda, inspiratif dan memiliki nilai jual yang tinggi. PT. Gramedia
Pustaka Utama, spesifik menerbitkan karya-karya yang bernada inspiratif
dan merupakan pengembangan diri (Jadi untuk selanjutnya penulis tidak
usah lagi menjelaskan hal ini pada pembahasan cerita-cerita yang
berikutnya).
Identitas
Dari sudut pandang identitas, antara penulis dan karakter tokoh utama
tidak memiliki jarak. Sang penulis merupakan seorang penulis yang
memiliki tujuan hidup yaitu menulis buku yang mengubah kehidupan.
Oleh karena itu ia menulis novel ini yang bertema pengembangan diri
untuk membantu siapa saja yang membaca buku ini agar dapat lebih
memahami dan menginspirasi tentang makna kehidupan dengan segala
cara/proses yang terjadi di kehidupan sehari-hari kita.
Prinsip identitas dapat dilihat dari penggunaan kata perumpamaan “lari” .
dimana kata lari tersebut merupakan representatif dari makna pelarian.
Kebanyakan orang-orang lebih memilih untuk mencari aman ketika
mengalami
sebuah
tragedi
daripada
berjalan
tegak
untuk
menyelesaikannya. Ini hanya salah satu alternative solusi yang tidak
semuanya sepaham. Tetapi sebagian dari kita tanpa menepis realitas yang
ada pelarian memang kadang dilakukan dan hal tersebut tampak dengan
jelas pada kehidupan sosial kita.
Analisis Discourse Practice
Dalam proses produksi teks, penulis membuat novel ini secara personal
masing-masing penulis dengan melihat realitas dirinya dan pengalaman di
lingkungannya sehingga apa yang tertuang dalam novelnya adalah proses
internalisasi dari kondisi yang sebenarnya yang ia lihat, dengar, dan rasakan yang
menjadi inspirasi dalam novel tersebut.
Dalam novel “The Compass”, sang penulis merasakan realitas dimana ia
sering melihat keadaan-keadaan seperti pelarian diri dalam menghadapi masalah
dan lain sebagainya. Sehingga ia menuangkan kisah tersebut dalam novelnya yang
berbentuk nonfiksi yang betul-betul berasal dari pengalaman nyata seseorang
yang ia lihat dan amati.
Analisis Sosioculture Practice
Dari sudut pandang sosial dalam elemen sosioculture practice, novel ini
menggambarkan betapa banyak pilihan yang dapat kita ambil ketika kita sedang
terpuruk. Tetapi pada masa keterpurukan tersebut seringkali kita tidak menyadari
hal tersebut karena adanya perasaan bahwa tragedi dapat mengubah pemahaman
kita terhadap sesuatu. Menurut penulis dalam cerita pertama ini ia memfokuskan
bahwa Tragedi dapat mengubah kita menjadi sesuatu yang bukan diri kita, sebuah
cangkang yang hampa dan kosong. Kita merasa bisa minta bantuan keluarga atau
teman, tetapi entah kenapa satu-satunya reaksi terhadap stress berat yang kita
saksikan pada masyarakat kita, pada teman-teman dan orang-orang terkasih kita
yang mengalami beragam stress. Salah satunya adalah pelarian tersebut.
Penulis berusaha untuk menjabarkan hal tersebut secara tersirat dalam
beberapa penggalan cerita ketika tokoh utama bertemu dengan salah satu tokoh
lainnya bernama Marilyn. Marilyn memperhatikan luka dipipi Jonathan. Kita
menemui kembali kisah ini ketika tokoh lain menyebutkannya. Kita ketahui
kemudian bahwa itu adalah luka yang didapatnya sehabis kecelakaan mobil,
ketika ia berusaha menyelamatkan keluarganya. Akhirnya luka itu menjadi parut,
merepresentasikan bekas-bekas luka yang kita dapat selama hidup. Luka tersebut
selain luka fisik juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan Jonathan untuk
memaafkan, masalah besar dalam hidup dan masa depannya. Penulis melihat ia
terperangkap dalam tiga tahap penderitaan: kesedihan, keputusasaan, dan
pemaafan, tanpa harapan untuk sampai pada tahap ketiga.
Dibalik sebuah kata, bisa saja mewakili banyak maksud, dan hal itu sangat
berguna. Soekarno memanfaatkan kata-kata yang bisa membangun semangat
berperang bagi prajurit-prajuritnya. Kata-kata memang ampuh, tajam seperti pisau
namun tumpul jika ia tak diucapkan.
Dalam sejarah periklanan, produk yang memanfaatkan kata-kata dalam
iklan-iklan seperti Gudang Garam International ternyata mampu membawa
produsennya menjadi leader diantara beberapa pesaing. Sekali lagi, hanya karena
kata-kata (yang disimulasi). Bahkan bukan hanya rokoknya yang menjadi candu
tapi juga kata-kata yang senantiasa menyertai dibalik iklan-iklannya.
Kata-kata menjadi media komunikasi manusia yang umum disebut bahasa,
kata-kata adalah bagian dari unit bahasa, hanya saja, kata-kata lebih singkat
dibandingkan kalimat-kalimat. Namun meskipun singkat, kata-kata yang jitu
mampu menggambarkan banyak hal.
Dari analisis secara mikro-teks, representasi dalam anak kalimat yang
mewakili makna tindakan yaitu/kita semua merasa memiliki kontrol yang penuh/,
kata ‘kontrol’ dimaksudkan buat orang-orang sebagai proses suatu tindakan.
Sementara yang mewakili makna peristiwa /padahal kita tidak tahu awal,
pertengahan, dan akhir kehidupan ini/, kita tahu bersama tak satupun dari kita
yang tahu segalanya. Kebanyakan orang merasa tahu, padahal kita tidak tahu.
Sebagian dari proses kehidupan kita ada di luar kontrol kita.
Penggabungan dua kalimat; “kita semua merasa memiliki kontrol yang
penuh padahal kita tidak tahu awal, pertengahan, dan akhir kehidupan ini”.
Memberikan sebuah pengertian bahwa ada hubungan pertentangan antara kalimat
satu dan kedua.
2.
Cerita kedua yang terdapat di 4 Bab yaitu Bab 3,4,5,dan 6.
(Halaman 31-80)
Dalam 4 Bab ini Jonathan bertemu dengan seorang tokoh bernama Pete.
Pria paruh baya itu telah mengajarkan banyak hal kepada tokoh utama. Pete
merupakan sosok yang hangat dan penuh dengan misteri. Disetiap perkataannya
mengandung makna yang tersirat yang menjadi pelajaran dan pengalaman baru
untuk tokoh utama.
Dalam Bab ini Pete mengatakan kepada kita bahwa “Kadang-kadang
diperlukan semusim keterpurukan supaya kita dapat menemukan kebahagiaan
dan keindahan sejati yang dapat membawa pada transformasi”. Suatu tragedi
sulit dijabarkan, tetapi bila kita memperhatikan para pemimpin, guru, dan filsuf,
hidup mereka semua dicirikan oleh keterpurukan itu. Lalu Pete juga bertanya
kepada tokoh utama, “Berapa musim panas dan musim gugur yang tersisa untuk
kau nikmati,Jonathan? Mungkin dua puluh? Tiga puluh? Tidak ada waktu untuk
mengumbar emosi”.
Ada sebagian orang yang begitu melekat pada impian lama mereka yang
sudah usang tanpa pernah sungguh-sungguh memikirkan apakah impian itu
bermanfaat bagi mereka. Tuhan punya rencana untuk kehidupan kita. Salah satu
dari berbagai hal yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa “Orangorang ditempatkan di dalam hidup kita dengan suatu alasan. Ada yang datang,
ada yang pergi, ada yang terus bersama kita. Semuanya terus mengalir, seperti
sungai”.
Analisis Teks
Cerita kedua ini terdiri dari 4 Bab dimana keseluruhan cerita pada bagian
ini memberikan banyak pengalaman terhadap tokoh utama dengan menggunakan
banyak makna perumpamaan seperti ‘usang’, mengalir seperti ‘sungai’ kemudian
ada penegasan dari makna perumpamaan tersebut yang tersirat. Kerumitan
kalimat yang dilontarkan oleh Pete membuka cakrawala lain dari sisi kehidupan
tokoh utama.
Representasi
Bagian cerita kedua ini mempresentasikan sebuah bentuk keterpurukan
tokoh utama yang belum berhasil bangkit untuk memulai hidupnya dan
menerima kenyataan tentang dirinya. Ia masih berusaha keras untuk
menyembunyikan kenyataan tersebut dibalik luka yang amat dalam.
Melihat kondisi yang sangat mengenaskan secara batin maka tokoh yang
ia temui disini berusaha untuk membangkitkan gairah hidup sang tokoh
utama secara perlahan dengan memberikan banyak masukan-masukan dan
bantuan psikologis berupa kata-kata yang dapat memotivasinya.
Relasi
Penulis dalam novel dibagian cerita kedua ini menggambarkan dirinya
yang dikisahkan oleh tokoh utama dalam melihat realitas kehidupan
bahwa
Dalam kehidupan sosial ada banyak cara yang dapat kita jalani untuk
mendapatkan esensi dari kehidupan. Salah satunya dengan cara tidak
menutup diri kita dalam lingkungan. Mulailah melihat dan mendengar apa
yang ada di sekililing kita. Karena seperti yang dikatakan oleh tokoh Pete
bahwa “Hidup ini singkat!”.
Identitas
Dari sudut pandang identitas, penulis berusaha memasuki relung batin
pembaca dimana ia berusaha merepresentasikan realitas yang ada bahwa
“Kita tidak harus selalu memahmi setiap hal. Kadang-kadang ada misteri
dalam kehidupan dan kita hanya harus menerima ketidaktahuan kita”.
Penulis berusaha untuk menjadi orang awam yang memahami kenyataan
bahwa ini adalah pelajaran paling sulit diterima oleh manusia.
Analisis Discourse Practice
Dalam proses produksi teks, penulis membuat cerita kedua ini secara
personal dengan melihat realitas dirinya dan lingkunganya sehingga apa yang
tertuang dalam isi ceritanya adalah proses internalisasi dari kondisi yang ia lihat,
dengar dan ia rasakan yang menjadi inspirasi dalam bagian cerita kedua tersebut.
Seperti yang tersirat dalam kalimat yang singkat ‘Hidup ini singkat!’
sadarilah mimpi-mimpimu, tetapi terimalah juga kemusnahan impianmu yang
tidak terwujud atau mimpi yang perlu kau ubah, untuk menjalani kehidupan baru
dan menciptakan impian baru. Ini membuktikan bahwa penulis memperhatikan
realitas yang ada karena begitu banyak orang-orang yang karena impiannya tidak
tercapai ia sudah mulai terpuruk dan tidak ada usaha untuk bangkit kembali dan
memulai impian baru yang mungkin lebih bagus.
Analisis Sosioculture Practice
Dalam bagian cerita kedua ini, penulis terlihat berusaha untuk
menampilkan realitas-realitas kehidupan yang ada dengan cara penyampaian yang
penuh dengan ungkapan dan maknanya tersirat. Seperti dalam penggalan kalimat
yang diucapkan Pete “ Berapa musim panas dan musim gugur yang tersisa untuk
kaunikmati,Jonathan? Mungkin dua puluh? Tiga puluh? Tidak ada waktu untuk
mengumbar emosi. Kita harus mengambil keputusan
untuk merasa bahagia
meski mimpi kita musnah. Kita harus bersedia menciptakan mimpi-mimpi baru”.
Dalam penggalan kalimat tersebut tersirat makna untuk bangkit dan tidak
mudah putus asa. Kita harus selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam
kehidupan kita. Jika kita merasa gagal dalam satu hal jangan pantang mundur,
bangkit dan raihlah impianmu yang lain yang diciptakan lebih baik untuk kita.
Karena kita lahir kedunia ini tidak memilki jaminan berapa lama kita akan hidup.
Itulah sebaris makna yang tersirat dalam penggalan kalimat tersebut.
Kemudian
pemahaman akan
penggalan
cerita
berikutnya
yang
memberikan
kita
kehidupan dengan kemasan kalimat yang memiliki makna
pengandaian yaitu “Ada sebagian orang yang begitu melekat pada impian lama
mereka yang sudah usang tanpa pernah sungguh-sungguh memikirkan apakah
impian itu bermanfaat bagi mereka.” Setelah kita membaca penggalan kalimat
tersebut maka makna yang tersirat dalam cerita itu adalah kita tidak boleh terlalu
lama untuk meratapi nasib kita jika apa yang kita perjuangkan atau cita-citakan
tidak tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan, karena Tuhan punya rencana
yang lebih baik untuk kehidupan kita.
Selain itu dalam penggalan kalimat tersebut digunakan kata ‘usang’ yang
mana bermakna sebagai kata kiasan yang memiliki arti lebih dalam dari kata
‘lama’ seakan-akan kata usang itu mewakili hal yang sudah sangat ketinggalan
atau mewakili kata ‘lama’ dengan makna yang jauh lebih dalam.
Salah satu dari berbagai hal yang paling penting untuk dipahami adalah
“Bahwa orang-orang ditempatkan di dalam hidup kita dengan suatu alasan”.
Ada yang datang, ada yang pergi, ada yang terus bersama kita. Semuanya terus
mengalir seperti ‘sungai.’ Ini menandakan bahwa kita harus menjalin komunikasi
dan interaksi dengan yang lain karena siapapun yang datang di kehidupan kita
maka dia datang dengan satu tujuan dan maksud. Mereka ditempatkan dalam
jalurnya masing-masing. Kata ‘sungai’ menandakan makna bahwa semuanya
akan datang dan pergi silih berganti bagaikan aliran air di sungai.
3.
Cerita ketiga yang terdapat di 2 Bab yaitu Bab 7,8.
(Halaman 81-105)
Dalam cerita ketiga ini yang terangkum dalam 2 Bab dimana tokoh utama
bertemu dengan karakter lainnya. Tetapi dalam pengalamannya kali ini tokoh
utama bertemu dengan seorang anak kecil bernama Salomo.
Meski Salomo
hanyalah seorang anak kecil, Ia mengajari tokoh utama banyak hal. Ia memiliki
jiwa tua. Dalam bagian cerita inilah ketika Jonathan telah mulai berusaha untuk
kembali bangkit secara perlahan dengan memulai aktifitasnya, memperhatikan
orang lain, menjalin komunikasi, dan melakukan interaksi. Kita melihat tokoh
utama memperhatikan Salomo di kebunnya. Ketika itulah awal mula tokoh utama
kembali menyadari dunia di sekelilingnya, mulai keluar dari kepompong
kebekuan dan penderitaannya.
Analisis Teks
Cerita ketiga ini yang terangkum dalam 2 Bab memiliki inti cerita yaitu
penggambaran dimana umur bukanlah segalanya dalam melihat pengetahuan dan
pengalaman seseorang. Terkadang terpaan hidup seseorang yang tidak sama
memaksa orang tersebut memilki tingkat kematangan yang berbeda-beda pula.
Representasi
Cerita dari bagian ketiga ini mempresentasikan sebuah kondisi yang
menggambarkan dimanapun kita berada kita harus membuka diri untuk
bersosialisasi. Menjalin komunikasi adalah hal yang sangat penting kepada
siapapun. Seperti dari cerita ini bahwa tokoh utama tidak menyangka
bahwa ia bisa mendapatkan pengalaman baru hanya dengan menjalin
hubungan komunikasi dan interaksi dengan seorang anak kecil.
Relasi
Penulis di novel ini menggambarkan dirinya yang diwakili oleh tokoh
utama dengan mengaitkan keadaan realitas sebenarnya yang sering terjadi.
Dengan menjalin keterhubungan dengan dunia inilah yang akan
menyelamatkan kita. Tokoh utama bisa saja terpuruk dalam depresi dan
keterkucilan dan mengakhiri hidupnya. Alih-alih, ia bangkit dari sana dan
menjalin hubungan dengan orang-orang yang ditemuinya. Perlahan-lahan,
ia mulai merasa hidup kembali.
Identitas
Dari sudut pandang identitas, penulis adalah orang awam yang berusaha
merasakan bagaimana kehidupan tanpa komunikasi itu akan sangat mati.
Maka dari itu penulis berusaha menjelaskan bahwa dengan menjalin
komunikasi yang baik dan efektif maka akan tercipta sebuah kehidupan
yang nyaman dan sejalan. Karena kebanyakan dari kekacauan yang terjadi
di kehidupan kita sehari-hari disebabkan oleh adanya kesalahan dalam
komunikasi atau missed communication. Dalam hal ini kita bisa melihat
dari kondisi tokoh utama yang digambarkan oleh penulis dimana tokoh
utama akan mengalami keterpurukan atau bahkan dalam kondisi depresi
yang berkepanjangan itu akan membuat tokoh utama akan mengakhiri
hidupnya. Dari pemaparan penulis tersebut bisa kita ketahui bahwa betapa
pentingnya sebuah komunikasi yang dilakukan dengan orang lain.
Analisis Discourse Practice
Dalam proses produksi teks, penulis membuat cerita ketiga ini secara
personal dengan melihat realitas di kehidupan yang sebenarnya sehingga apa yang
tertuang dalam cerita ketiga ini adalah proses internalisasi dari kondisi yang ia
lihat dan amati yang menjadi inspirasi dalam cerita yang tertuang dibagian ketiga
ini. Dibagian cerita ketiga ini penulis merasakan realitas dimana betapa sulitnya
hidup tanpa berkomunikasi. Orang bisa saja hidup tanpa komunikasi tapi ia akan
terlihat seperti ‘mati’ karena semua kegiatan yang kita lakukan diperlukan sebuah
komunikasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Analisis Sosioculture Practice
Dalam cerita ketiga ini , penulis terlihat semakin melebarkan
permasalahan mengenai pentingnya komunikasi tersebut. Salomo hanyalah
seorang anak kecil tetapi justru dari Salomo lah tokoh utama dengan perlahan
dapat bangkit. Seperti dari penggalan kalimat “Tokoh utama mulai menyadari
dunia
di
sekelilingnya,
mulai
keluar
dari
kepompong
kebekuan
dan
penderitaanya”. Kata ‘Kepompong’ dalam kalimat tersebut menandakan tempat
persembunyian tokoh utama dalam persembunyiannya selama ia meraskan
keterpurukan yang getir. Kepompong itu bagai tempat yang sangat rapuh seakan
tak seorangpun yang bisa menyentuhnya karena akan merusak kepompong
tersebut. tetapi ibarat metamorphosis kupu-kupu cepat atau lambat kepompong
tersebut akan mulai keluar dan menampakkan dirinya dengan wujud yang lain dan
jauh lebih indah.
Dalam hal ini sangat sering kita temui dalam kehidupan sosial kita dimana
seseorang tengah mengalami keterpurukan akan memilih untuk bersembunyi dan
meratapi nasibnya. Tetapi ada banyak cara dalam melihat keindahan dunia ini
dengan niat untuk membuka diri sekali lagi maka tempat yang jauh lebih indah
akan kita temukan. Jangan jadikan sebuah masalah adalah sesuatu yang megakhiri
segalanya, percaya bahwa masalah diciptakan beserta solusinya adalah salah satu
persepsi yang dapat membantu kita untuk mencoba bangkit dengan mencari jalan
keluar terhadap permasalahan yang sedang kita alami.
4.
Cerita keempat yang terdapat di 3 Bab yaitu Bab 9,10,11.
(Halaman 107-151)
Cerita keempat yang terdapat di 3 bab ini mengisahkan petualangan tokoh
utama dengan bertemu banyak tokoh lainnya dibandingkan cerita-cerita
sebelumnya. Ia bertemu dengan tokoh Toin yang merupakan mantan atlet sepeda
yang karirnya telah berakhir setelah ia mengalami sebuah kecelakaan fatal yang
mengharuskan ia kehilangan kakinya. Tetapi dengan semangat yang tidak pernah
surut tidak butuh waktu yang lama Toin sudah berhasil kembali menjalani
hidupnya dengan normal. Hal itu sangat menginspirasi tokoh utama.
Sewaktu tokoh utama datang ke Belanda dan bertemu dengan Toin dan
Anja (kekasih toin) ia menemukan pelajaran pertamanya sendiri, yaitu tentang
mengikuti kompas batin. Ia merasa, “kadang-kadang kekuatan paling dahsyat
yang dapat kita rasakan adalah di antara satu ruang dan ruang lainnya pada
suatu saat di antara saat ini dan langkah berikutnya”.
Analisis Teks
Cerita keempat ini merupakan perjalan tokoh utama yang sudah mulai
hampir secara utuh bangkit dalam keterpurukannya. Dimana dalam perjalanannya
di Belanda ia sudah mulai beraktifitas secara normal bahkan sudah kembali
merasakan aura ‘California’ kota di Los Angeles dimana ia menjalani hidupnya
sebelum memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang tersebut. Ia sudah
dapat tertawa lebar seakan memberi tanda bahwa ‘luka’ tersebut sudah mulai
pulih.
Representasi
Cerita ini mempresentasikan sebuah kondisi dimana tokoh utama
diceritakan sudah kembali mendapatkan semangat untuk melanjutkan
hidupnya kembali. Melihat kejadian dalam masyarakat dimana penulis
berusaha untuk merepresentasikan kejadian tersebut yang sering kita alami
dalam kehidupan sehari-hari dan dituangkan kedalam cerita keempat ini
yaitu kadang-kadang kekuatan paling dahsyat yang dapat kita rasakan
adalah di antara satu ruang dan ruang lainnya pada suatu saat di antara saat
ini dan langkah berikutnya. Disini kita harus melihat kondisi bahwa ada
banyak cara untuk kembali bangkit dari keterpurukan seperti yang
digambarkan oleh penulis dalam menceritakan kebangkitan utuh tokoh
utama karena telah terinspirasi dalam banyak hal dan melakukan
perjalanan yang cukup panjang untuk menemukannya kembali.
Relasi
Penulis di sini menggambarkan dirinya sebagai masyarakat biasa dimana
ia berusaha menyampaikan pesan dengan menampilkan cerita tokoh utama
di bagian keempat ini bahwa setiap keterpurukan bisa kita atasi dengan
semangat yang tinggi dan melihat dunia di sekitar kita. Jangan teperosok
terlalu jauh ke dalam lubang kegetiran tersebut. berusahalah untuk
merangkak sedikit demi sedikit untuk kembali mencapai puncak.
Identitas
Dari sudut pandang identitas, antara penulis dan pembaca tidak memiliki
jarak. Penulis juga merupakan orang yang tidak lepas dari tindakan
komunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Maka ia berusaha untuk
menampilkan identitas tersebut dengan menggunakan tokoh utama dalam
situasinya pada cerita bagian keempat ini. Prinsip identitas dapat dilihat
dari penggunaan kata-kata dari bahasa Belanda yang diucapkan oleh tokoh
utama yaitu ‘Fiets’ (Sepeda) ‘Goede reis!’ (Hati-hati di jalan) ‘Ja’ (iya)
ini mewakili sisi tokoh utama yang sudah mulai berevolusi dan menyatu
dengan kebudayaan Amersfoort yang menandakan bahwa ia berusaha
dengan keras dan berbagai cara untuk melupakan masa suramnya.
Analisis Discourse Practice
Dalam proses produksi teks, penulis membuat cerita ini secara personal
dengan melihat realitas dirinya dan lingkungan sebenarnya yang terjadi. Sehingga
apa yang tertuang dalam cerita keempat ini adalah proses internalisasi dari kondisi
yang menjadi realitas kehidupan.
Dalam cerita ini penulis merasakan realitas dimana dalam kehidupan
sosial yang sebenarnya memang komunikasi dan interaksi harus terjalin secara
harmonis. Ada banyak orang yang tidak bisa kembali melanjutkan hidupnya
secara normal setelah ia mengalami depresi, tapi jangan sampai depresi tersebut
berkepanjangan
dan
mengakibatkan
sesuatu
yang
lebih
fatal.
Dengan
berkomunikasi dengan orang lain maka kita akan menjalin sebuah interaksi yang
akan memberikan kita banyak pemahaman dan pengetahuan mengenai sisi lain
kehidupan.
Analisis Sosioculture Practice
Cerita pada bagian keempat ini adalah dimana secara sosial penulis
kembali berusaha untuk melihat realitas yang terjadi dalam kehidupan kita seharihari. Karena penulis juga merupakan seorang masyarakat yang tidak bisa lepas
dari interaksi satu sama lain dan komunikasi yang ia jalin dalam kesehariannya
maka penulis sangat merasakan keterkaitan tersebut. dimana dengan menciptakan
komunikasi yang efektif maka akan terjalin suatu hubungan yang baik. Melihat
realitas tersebut dalam bagian cerita ini maka penulis menggambarkan
kebangkitan yang sudah hampir sepenuhnya utuh yang dialami oleh tokoh utama
berkat
pengalaman
dan
pemahaman
yang
ia
sudah
dapatkan
selama
perjalanannya. Dalam cerita ini digambarkan tokoh utama sudah mulai meraskan
sensasi hidup yang mulai bersemangat. Didukung oleh pemberhentian keempat
yang ia singgahi ini adalah Belanda, Amstedam tepatnya di kota Amersfoort.
“Amsterdam terasa olehku bagaikan kereta yang meluncur, Bandaranya
ramai oleh lalu lalang manusia ke berbagai penjuru”.
Penggalan kalimat
tersebut mencerminkan keadaan kota Amsterdam yang sangat ramai dan
menyenangkan. Pengguanaan kata ‘bagaikan kereta yang meluncur’. bermakna
semangat yang menggebu karena melihat kota tersebut begitu padat, banyak
penduduknya, kendaraan ramai berlalu lalang. merasakan atmosfer yang lain di
belahan dunia yang lain adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
Dalam penggalan cerita lainnya yang menandakan bahwa ia sudah
kembali menemukan semangatnya adalah “Pada hari-hari tertentu, sementara ia
mengayuh sepeda, bayangan petak-petak gelap jatuh mengenai bagian atas
kepalaku, lalu tak lama kemudian aku menemukan secercah cahaya yang tak
dapat kujelaskan. Sensasinya sungguh luar biasa”. Kiasan yang diberikan oleh
penulis dalam menggambarkan keindahan dan semangat baru tokoh utama jelas
terlihat dalam penggalan cerita tersebut.
Selain itu semangat lain yang sudah di dapatkan kembali oleh tokoh utama
terlihat adanya perubahan dalam diri Jonathan, dalam sekejap Jonathan telah
tenggelam dalam kultur itu, ia sudah merasa menjadi bagian dari tempat tersebut.
perubahan yang digambarkan oleh penulis ialah ketika tokoh utama menggunakan
bahasa Belanda yang sudah mulai ia kuasai dengan cara mempelajarinya dengan
memperhatikan orang-orang disekitarnya. Kemudian ia juga mulai berevolusi
dengan peampilannya yang menyerupai warga lokal. “Tanpa kusadari aku sudah
beradaptasi dengan kondisi di Belanda, dengan budaya dan bahasanya”. Tidak
sedikit orang yang berjumpa dengannya mengira ia adalah orang Belanda.
“Dalam pengertian melarikan diri, aku sudah berhasil. Aku sudah kabur
dari kehidupan lamaku dan menjalani hidup baru di dunia baru”. Penulis
berusaha memaparkan bahwa metode melarikan diri tersebut merupakan cara
yang paling singkat dilakukan seseorang dalam menghadapi sebuah masalah yang
membuat kita terpuruk atau bahkan depresi. Ada banyak cara untuk ‘melarikan
diri’. Tetapi melarikan diri bukanlah cara yang pantas dilakukan karena hanya
akan menimbulkan permasalahan lain yang mungkin jauh lebih buruk dari
sebelumnya.
5.
Cerita kelima yang terdapat di 2 Bab yaitu Bab 12 dan 13.
(Halaman 153-187)
Dibagian akhir cerita ini dikisahkan bawha Jonathan memutuskan untuk
kembali menghadapi kehidupan nyata yang menunggunya, dimana dulu ia telah
memutuskan untuk meninggalkan kehidupannya tersebut. Jonathan dan Lacy
kembali bersama. Dalam cerita ini dimana setelah tokoh utama kembali ia
menemukan pelajaran hidupnya yang lain. Yaitu bagaimana cara orang dapat
kembali tegak setelah jatuh ke jurang yang curam dalam hidupnya. Bagaimana
orang dapat kembali terhubung dengan dunia setelah mengalami suatu tragedi.
Tokoh utama telah menemukan kesadaran ini dan kembali melanjutkan
kehidupannya dengan jiwa yang baru, menata hidupnya yang sempat berantakan
dan membangunnya kembali dengan Lacy,Istrinya.
Analisis Teks
Dalam cerita terakhir di novel ini sangat jelas menggambarkan bagaimana
tokoh utama memilih untuk kembali menghadapi hidupnya bersama dengan
istrinya yang sudah ia tinggalkan, dan berusaha untuk mengikhlaskan tragedi
tersebut yang telah menghilangkan nyawa anaknya. Puing-puing kehidupan yang
berantakan kembali ia bangun dengan semangat dan jiwa yang lebih positif
dengan segala pengalaman dan pemahaman mengenai kehidupan yang ia dapat
selama perjalanan pelarian dirinya.
Representasi
Sangat
jelas
dalam cerita terakhir ini
penulis
berusaha untuk
mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang telah mengalami
keterpurukan dan berhasil bangkit. Ada banyak orang diluar sana yang
tidak bisa merelakan sesuatu. penulis menggambarkan bahwa kita harus
belajar untuk ikhlas menerima apa yang tengah terjadi pada kehidupan
kita. Penulis melihat kenyataan ini di masyarakat kita maka ia
menuangkannya di bagian akhir cerita dimana pelajaran penting yang
ingin disampaikan penulis bahwa “segala sesuatunya telah diatur, maka
rencanakanlah semuanya jika gagal bangkitlah dan bangun kembali
harapanmu yang sempat runtuh”.
Relasi
Penulis di sini menggambarkan dirinya sebagai orang-orang pada
umumnya yang tidak luput dari penderitaan dan rasa ketidakikhlasan
dalam menerima sesuatu yang tidak kita harapkan. Hal tersebut merupakan
reaksi normal dari seorang manusia biasa. Tetapi yang menjadikan inti
cerita dalam bagian terakhir ini bagaimana kita harus bisa bangkit dari
keterpurukan dan menjadikan semua yang telah terjadi merupakan sebuah
pengalaman hidup untuk pembelajaran berikutnya.
Identitas
Dari sudut pandang identitas, antara penulis dan pembaca tidak memiliki
jarak. Penulis juga merupakan orang biasa seperti para pembaca. Jadi
penulis berusaha untuk memposisikan dirinya sedemikian untuk dapat
menghantarkan pesan yang ingin disampaikan dalam isi cerita terakhir
tersebut. identitas tersebut dapat dilihat dari karakter tokoh utama yang
dikisahkan dalam cerita ini, dimana ia telah berhasil bangkit dalam masa
keterpurukannya dan kembali menjalani hidupnya bersama Lacy,Istrinya.
Analisis Discourse Practice
Dalam proses produksi teks, penulis membuat cerita kelima ini secara
personal dengan melihat realitas dirinya dan lingkungannya sehingga apa yang
tertuang dalam cerita ini adalah proses internalisasi dari kondisi yang ia lihat,
dengar dan ia rasakan yang menjadi inspirasi dalam pembuatan cerita kelima ini.
Karena melihat kenyataan dalam kehidupan sehari-hari hal demikian sering terjadi
maka penulis merefleksikan kenyataan tersebut dalam bentuk teks sebuah cerita
dalam novelnya.
Analisis Sosioculture Practice
Kehadiran cerita kelima ini yang sangat sarat dengan realitas kehidupan
kita merupakan suatau pemahaman penulis dalam menggambarkan kisah tokoh
utama. Dimana tokoh utama mendapatkan pelajaran hidup yang lain.
“Bagaimana orang dapat kembali tegak setelah jatuh ke ‘jurang’ yang
curam dalam hidupnya”. Kata ‘jurang’ yang digambarkan penulis bahwa betapa
dalamnya kepahitan dan penderitaan yang sudah dialami oleh tokoh utama. Tetapi
dengan banyak pengalaman yang ia dapatkan dan pemahaman akan kehidupan
yang lain maka ia dengan perlahan kembali mendapatkan semangat jiwanya yang
sempat hilang.
Kemudian penulis juga menggambarkan dengan memberikan sebuah
pelajaran pada tokoh utama yaitu “kadang-kadang , kehidupan baru ibarat
langkah bayi, tertatih selangkah demi selangkah”. Makna dari kata ‘langkah
bayi’ tersebut adalah kebangkitan
yang
dirasakan
tokoh
utama
bukanlah
kebangkitan mendadak melainkan kebangkitan perlahan yang ia tidak sadari.
Selain itu, pada bagian akhir kisah ini, pelajaran berikutnya dikisahkan
oleh penulis berasal dari tokoh Lacy: dalam hidup ini , meski dengan berbagai hal
yang tidak dapat kita kontrol, “bisa muncul keajaiban dari berbagai hal yang
biasa-biasa saja”. Dari penggalan kalimat ini penulis berusaha memaparkan
sebuah makna bahwa ada masa-masa dalam hidup kita ketika kita menjadi terlalu
mengarah ke dalam dan introspektif, memfokuskan diri pada kesalahan-kesalahan
kita, kehidupan kita, kesulitan-kesulitan yang kita hadapi , dan pertumbuhan diri
kita. Itu menjadi sebuah pola pikir yang melingkar-lingkar, dan kita pun terbelit.
Makna dari kata ‘keajaiban’ dalam penggalan kalimat dari cerita tersebut
merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis bahwa dalam ketiadaan
tragedi pun mudah sekali bagi orang-orang untuk menuntut perbaikan diri dan
pencapaian prestasi Namun kadang-kadang kita hanya perlu diam dan
membiarkan Tuhan mengatur hidup kita.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada akhirnya studi ini kembali dihadapkan pada perjalanan awal
yang telah dirumuskan : Makna-makna apakah yang tersembunyi dan hendak
disampaikan dalam novel “The Compass” ? Realitas apakah yang tampak
dibalik novel “The Compass” dengan merujuk pada pemahaman komunikasi ?
Berdasarkan temuan-temuan dan hasil interpretasi mendalam, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
 Realitas dan makna-makna yang tampak dibalik novel “The
Compass”
dengan
merajuk
pada
pemahaman
komunikasi
memperlihatkan bahwa kita semua terhubungkan satu sama lain.
dengan melihat dari segi pemahaman komunikasi maka realitas
yang ada dibalik novel “The Compass” dapat kita ketahui., bahwa
terjalin proses interaksi dan komuniaksi di dalamnya.
 Dengan merujuk dengan pemahaman komunikasi maka kita dapat
melihatnya
dengan
mengacu
pada
teori-teori
dan
tradisi
komunikasi yang ada dan merupakan representasi dari cerita-cerita
yang tergambarkan dalam novel “The Compass”. Layaknya
prisma,
teori
komunikasi
menyerap
pemahaman
dan
merefleksikannya kembali dengan cara beragam dan menarik. Oleh
karena itu, teori komunikasi dapat pula dikatakan sebagai cara
untuk
melihat
banyak
kemungkinan
tentang
bagaimana
pemahaman komunikasi itu sendiri.
 Selain itu, mengenai makna-makna yang terkandung dalam novel
“The Compass”. Dalam hal ini untuk memudahkan peneliti dalam
penelitian maka digunakan analisis wacana model Norman
Fairclough guna mengungkap makna-makna dari teks-teks yang
ada dalam cerita novel “The Compass”. Dalam teori Norman
Fairclough penulis berusaha untuk mengungkap makna dari setiap
kata-kata yang ada pada cerita-cerita di novel “The Compass”.
Maka ditemukana bahwa setiap cerita yang saling berkaitan satu
sama lain dalam novel ini memiliki makna-makna yang kuat
mengenai arti kehidupan, betapa semua yang ada meurupakan
sebuah keterhubungan dengan yang lainnya.
 Kemudian
dalam
penelitian
menggunakan
model
Norman
Fairclough ditemukan bahwa ada banyak kata-kata pengandaian,
atau kiasan-kiasan yang dipaparkan untuk memperkuat cerita
dalam novel ini sehingga berhasil mempengaruhi banyak
pembacanya.
Scorates adalah seorang pemikir hebat yang dihukum mati karena
kata-katanya, namun kata-kata itu berlaku hingga kini.
B. SARAN-SARAN
Diharapkan untuk terus membuka dan mengembangkan pendekatan
analisis wacana ini.
 Disarankan
teks
ini
dicoba
digali
lebih
jauh
dengan
mengkombinasikan analisis wacana model Van Dijk. Agar bisa
menginterpretasi obyek penelitian seilmiah mungkin. Karena
antara model satu dan lainnya memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Jika upaya ini ditempuh, maka akan menjadi
upaya riset yang serius bagi pengembangan piranti analisis wacana.
 Karena Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular
di dunia. Diharapkan agar semakin banyak novel yang baik untuk
dibaca bagi penyempurnaan diri. novel yang baik adalah novel
yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Karena novel
dinilai dapat memberikan banyak pelajaran tanpa memberi kesan
untuk menggurui. jika semua novel bersifat berat dan serius maka
tidak akan mudah dipahami oleh para pembaca, dan akan
menimbulkan kebosanan. Oleh karena itu dibutuhkan novel yang
bersifat menghibur tetapi memiliki nilai edukatif, dan ringan dari
pemilihan kata-kata yang mudah dipahami serta ide cerita yang
segar dan variatif.
DAFTAR PUSTAKA
Aw, Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Duapadang, Vicktor. 2005. Ideologi Konsumerisme Dalam Film Virgin : Studi
Analisis Semiotika Film (Skripsi). Makassar : Unhas.
Ellis, John Spencer & Tammy Kling. 2010. The Compass: Pengalaman
Menemukan Diri Kita Yang Sesungguhnya. Indonesia: Gramedia
Pustaka Utama (GPU).
Eriyanto, 2001, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta
: LKiS.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Disqurse Anylysis. London: Longman
Group Ltd.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Heinich, dkk. 2005. Instructional Technology And Media For Learning 8th
Edition. New Jearsey: Pearston Merril Prentice Hall.
(http://wahyu09110241008.blogspot.com/2012/13/makalahsederhana-heinich-molenda-russel-somaldino), diakses 26 Mei
2012 pukul 21:00 WITA)
Harjito. 2002. Student Hijo karya Marco Kartodikromo Analisis Hegemoni
Gramscian. Tesis. Yogyakarta: UGM.
Haryalesmana,
Devid.
2008.
Pengertian
Media
Pembelajaran.
(http://www.guruit07.blogspot.com/2009/01/pengertian-mediapembelajaran.htm), diakses 26 Mei 2012 pukul 21.15 WITA)
HT, Faruk. 2002. Konsep Dan Analisis Wacana Bakhtinian. Yogyakarta:
Kanal
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Mangelang: Indonesiatera.
Littlejohn, Stephen W. & Karen A.Foss. 2011. Teori Komunikasi Theoris of
Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika.
Madasari,
Okky.
2010.
Entrok.
Jakarta:
Gramedia.
(http://www.okkymadasari.net.
Hegemoni-dalam-karyasastra.htm), diakses 27 Mei 2012 pukul 21.20 WITA)
Monaco, James, 1997. How To Read A Film, London: Oxford University
Press.
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda.
Nasution, Ikhwanuddin, 2008. Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra:
Suatu Proses Komunikasi, Sumatera Utara: USU.AC.ID.
(http://www. sabiqelkhoury Blogspot.com/2008/11/suatu-proseskomunikasi.htm), diakses 27 Mei 2012 pukul 21:45 WITA)
Nursidik,Yahya
2008.
Media
Pembelajaran.
(http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/05/mediapembelajaran.html),diakses 27 Mei 2012 pukul 22:15 WITA)
Pamma, Arsyi. 2005. Aku Ingin Jadi Peluru : Analisis Wacana Terhadap
Teks-teks puisi Wiji Thukul (Skripsi). Makassar : Unhas.
Rakhmat, Jalaluddin. 1996. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Ransome, Paulus. 1992. Antonio Gramsci: Sebuah Pengantar Yang Baru.
Harvester Wheatsheaf.
Ruben, Brent D,Stewart, Lea P, 2005, Communication and Human
Behaviour,USA: Alyn and Bacon.
Segers, Rein T. 2000. Evaluasi Teks Sastra.Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis
Wacana , Analisis Semiotika, Dan Analisis Framing. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Williams, Raymond. 1988. Dominant, Residual, and Emergent. Dalam KM
Newton, twentieth century literary theory. London: Macmillan
education ltd.
Yusuf, Eddy. 2000. Psikologi Sosial Teori dan Praktek. Makassar: Offset
Setting Perkasa
Http//:www.wordpres.com
Http://id.wikipedia.org/wiki/novel
Download