Uploaded by nur.rasyid88

Antibiotik KG

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antibiotik
Pada dasarnya, antibiotik diresepkan berdasarkan pengalaman dengan kata lain
dokter gigi tidak mengetahui mikroorganisme apa yang menyebabkan terjadinya
peradangan, karena kultur pus (nanah) atau eksudat tidak umum dibuat. Oleh karena
itu, antibiotik spektrum luas yang umum diresepkan.8
Rongga mulut manusia mengandung berbagai mikroorganisme. Namun
demikian, tidak semua mikroorganisme berpotensi patogen pada manusia, beberapa
jenis bakteri yang berhubungan dengan peradangan oral di antaranya bakteri kokus,
basil, organisme gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob.8
2.1.1 Definisi antibiotik
Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba atau jasad renik yang tidak
termasuk parasit, khususnya mikroba yang merugikan manusia.9 Sedangkan
antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara
sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme.10
Dalam praktek sehari – hari, antimikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk
mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai
antibiotik.9
Selain dari hasil metabolisme mikroorganisme, antibiotik juga dapat dibuat dari
bahan alam yaitu dari beberapa hewan dan tanaman, serta dapat pula dibentuk
antibiotik baru secara sintesis parsial yang sebagian mempunyai sifat yang lebih baik.
Dari beribu – ribu jenis antibiotik yang telah ditemukan, hanya sebagian kecil yang
dapat dipakai untuk tujuan terapeutik. Hanya antibiotik yang mempunyai kadar
hambatan minimum (KHM) in vitrolebih kecil dari kadar yang dapat dicapai dalam
tubuh dan tidak toksik, yang dapat dipakai.10
2.1.2 Klasifikasi antibiotik
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dibedakan atas beberapa kelompok
yaitu (1) Antibiotik β-laktam yang terdiri atas golongan penisilin dan derivatnya,
sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam; (2) Antibiotik makrolida dan ketolida;
(3) Linkosamida; (4) Metronidazole; (5) Tetrasiklin; (6) Glisilsiklin; (7) Golongan
kuinolon/fluoro-kuinolon; (8) Golongan aminoglikosida; (9) Vankomisin; (10)
Steptogramin; (11) Oksasolidinon; (12) Sulfonamida; (13) Kloramfenikol.11
Di praktik kedokteran gigi, tidak semua jenis antibiotik digunakan, hanya
beberapa jenis saja yang umum digunakan diataranya antibiotik golongan β-laktam
(seperti amoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat, ampisilin, sefadroksil, sefaleksin,
sefazolin, dan penisilin), linkosamida(seperti klindamisin), makrolida (seperti
azitromisin, eritromisin), kuinolon atau fluorokuinolon (seperti siprofloksasin),
aminoglikosida (seperti gentamisin), dan metronidazole.8
2.1.2.1 Antibiotik β-laktam
Antibiotik β-laktam menjadi antibiotik yang banyak digunakan karena aktivitas
spektrumnya luas dan toksisitasnya yang relatif kurang walaupun insiden terhadap
alergi relatif tinggi. Antibiotik jenis ini terdiri dari lima kelompok yang memiliki
nukleus β-laktam berbeda yaitu penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam,
dan karbasefem. Penisilin dan sefalosporin adalah antibiotik yang paling penting,
diikuti dengan karbapenem, monobaktam, dan karbasefem yang menjadi cadangan
pada kasus peradangan serius seperti peradangan nokosomial (yang didapat dari
rumah sakit). β-laktam memiliki aktivitas antibiotik dengan spektrum yang terluas,
kecuali antibiotik dengan spektrum yang sangat sempit (seperti β-laktamase-resistant
penicilin) dan spektrum yang sangat luas (seperti imipenem dan beberapa
sefalosporin).11
Mekanisme kerja antibiotik β-laktam dapat diringkas dengan urutan sebagai
berikut: (1) obat bergabung dengan penicilin-binding proteins (PBPs) pada bakteri;
kemudian (2) terjadi hambatan sintesis dinding sel bakteri karena proses transeptidasi
antara rantai peptidoglikan terganggu; lalu (3) terjadi aktivasi enzim proteolitik pada
dinding sel.12
1. Penisilin
Penisilin adalah istilah generik untuk kelompok antibiotik yang sama-sama
memiliki nukleus cincin β-laktam.11 Obat ini efektif melawan sebagian besar bakeri
gram positif tetapi tidak aktif jika cincin β-laktamnya di pecah oleh β-laktamase.13
Modifikasi
penisilin
dapat
terjadi
karena
struktur
dasarnya
(asam
6-
amminopenisilanat) memungkinkan untuk penambahan berbagai rantai β-laktam dan
cincin tiazolidin. Atas dasar modifikasi ini, penisilin dapat dibagi menjadi penisilin G
dan derivatnya, penisilin resisten β-laktamase, penisilin spektrum yang diperluas
(Extended-Spectrum Penicillin), dan penisilin spektrum yang diperluas ditambah
inhibitor β-laktamase (Extended-Spectrum Penicillin Plus β-laktamase Inhibitors)11
Penisilin memiliki efek bakterisid dengan menghambat pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Diantara semua
penisilin, penisilin G mempunyai aktifitas terbaik terhadap mikroba Gram-positif
yang sensitif. Walaupun kelompok ampisilin memiliki spektrum antibiotik yang
lebar, tetapi aktivitasnya terhadap mikroba Gram-positif tidak sesuai penisilin G.
Namun demikian kelompok ampisilin efektif terhadap beberapa mikroba Gramnegatif dan tahan asam, sehingga dapat diberikan per oral.12 Kombinasi penisilin
dengan asam klavulanatmenjadi salah satu pilihan karena kerja antibiotiknya sangat
lemah, tetapi dapat menghambat penisilinase dari steptokokus dan β-laktamase
berbagai mikroba Gram-negatif dengan mengikat pusat aktif enzim tersebut. Karena
itu asam klavulanat digunakan dalam kombinasi bersama antibiotik β-laktam yang tak
stabil terhadap β-laktamase.10
Pemberian antibiotik per oral lebih disukai pada perawatan pasien kedokteran
gigi karena lebih aman, paling tepat, dan cara paling murah. Sekarang ini, penisilin V
adalah antibiotik yang paling sering diresepkan yang ditujukan untuk terapi
peradangan yang berasal dari gigi,11 tetapi amoksisilin lebih unggul karena diabsorbsi
lebih baik, frekuensi dosis yang lebih sedikit (tiga kali sehari bila dibandingkan
dengan ampisilin dan penisilin V yang 4 kali sehari), dan penyerapanya tidak
dihalangi oleh makanan.14 Pemberian penisilin G secara parenteral digunakan untuk
peradangan berat pada pasien atau situasi dimana pemberian melalui oral tidak dapat
dilakukan (seperti pada sindrom malabsorpsi dan muntah).11Penisilin digunakan
sebagai obat pilihan pertama untuk semua peradangan yang mikrobanya peka dan
selama tidak ada alergi terhadap penisilin karena toksisitasnya yang hampir tidak ada
dan kerjanya bersifat bakterisidal.10
2. Sefalosporin
Sefalosporin berasal dari fungus Sefalosporin akremonium. Inti dasar
Sefalosporin C ialah asam 7-amino-sefalosporanat (7-ACA:7-aminocephalosporanic
acid) yang merupakan kompleks cincin dihidrotiazin dan cincin betalaktam.
Sefalosporin
C
resisten
terhadap
penisilinase,
tetapi
dapat
dirusak
oleh
sefalosporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7-ACA yang dapat
dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin.12
Berdasarkan aktivitas antibiotiknya, Sefalosporindibagi menjadi 4 generasi
yaitu generasi pertama, generasi kedua,generasi ketiga, dan generasi keempat.
Sefalosporin memiliki aktifitas yang baik untuk melawan patogen orofasial, tetapi
terbatas dalam melawan bakteri anaerob. Secara in vitro,Sefalosporin generasi
pertama memperlihatkan spektrum antibiotik yang aktif terhadap bakteri Grampositif. Keunggulannya dibanding penisilin adalah aktivitasnya terhadap bakteri
penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar Stafilokokus
aureusdan Streptokokustermasuk Streptokokus piogens, Streptokokus viridans,
Streptkokuspneumoniae, Streptokokus anaerob, Klostridium perfringeus, Listeria
monositogens, dan Korinebakterium dipteria.12 Sefadroksil, safaleksin, dan sefazolin
merupakan antibiotik sefalosporin generasi pertama, sedangkan seftriakson termasuk
generasi ketiga.12,15
2.1.2.2Antibiotik Makrolida
Senyawa ini didapat dari jenis Streptomyces, mempunyai sifat glikosida dan
mengandung cincin lakton makrosiklik, gula amino basa dan gula netral. Mekanisme
kerja yang diketahui yaitu antibiotik makrolida menghambat sintesis protein pada
fase pemanjangan dengan mempengaruhi translokasi.10
Makrolida digunakan untuk peradangan yang disebabkan oleh mikroba grampositif yang resisten terhadap penisilin atau tetrasiklin, dipakai juga pada pasien yang
alergi terhadap penisilin.10 Yang termasuk dalam kelompok makrolida yaitu
entromisin, azitromisin, dan sebagainya. Azitromisin memiliki aktivitas yang sangat
baik dengan Klamidia. Kadar azitromisin yang tercapai dalam serum setelah
pemberian oral relatif rendah, tetapi dijaringan dan sel fagosit menjadi sangat tinggi.
Obat yang disimpan dalam jaringan ini kemudian dilepaskan berlahan-lahan
sehingga dapat diperoleh masa paruh eliminasi sekitar 3 hari. Dengan demikian obat
cukup diberikan sekali sehari dan lama pengobatan dapat dikurangi. Absorbsinya
berlangsung cepat tetapi terganggu bila diberikan bersamaan dengan makanan.16
2.1.2.3 Linkomisin
Yang termasuk kelompok linkomisin adalah linkomisinyang diisolasi dari
Streptomises linkolnesisdan senyawa sintesis parsial turunanya yaitu klindamisin.
Kelompok linkomisin mempunyai spektrum kerja yang mirip antara yang satu dengan
yang lain, mekanisme kerjanya sama dengan antibiotik makrolida, sedangkan kerja
klindamisin 2-10 kali lebih besar dari intensitas kerja linkomisin. Yang penting
adalah kemampuan difusinya yang baik dalam tulang. Linkomisin dan klindamisin
digunakan untuk peradangan karena stafilokokus jika antibiotik lain tidak dapat
digunakan dan berguna pada peradangan karena bakteri anaerob.10 Selain itu,
klindamisin digunakan untuk pasien yang alergi dengan penisilin atau terjadi
kegagalan pengobatan dengan penisilin.15
2.1.2.4 Antibiotik Aminoglikosida
Yang termasuk antibiotik golongan ini adalah streptomisin, neomisin,
kelompok kanamisin-gentamisin, dan spektinomisin. Senyawa ini merupakan
senyawa dengan struktur yang terdiri atas tri atau tetrasakarida, yang mengandung
streptamin atau turunannya sebagai rumus umum, terutama 2-desoksistreptamin.
Semua senyawa ini memiliki spektrum kerja yang luas dan kerjanya adalah
bakterisidal. Gentamisin adalah senyawa yang didapat dari filtrat kultur jenis
Mikromonospora, yang merupakan campuran dari tiga antibiotik spektrum luas
gentamisin C1,C1a dan C2. Secara klinis gentamisin sangat berarti terutama karena
peranannya terhadap mikroba Gram-negatif penyebab peradangan tersebut.10
2.1.2.5 Kuinolon
Kuinolon memiliki atom flour pada cincin kuinolon (karena itu dinamakan juga
flourokuinolon). Golongan kuinolon secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kuinolon dan flourokuinolon. Kelompok kuinolon tidak mempunyai
manfaat klinik untuk pengobatan peradangan sistematik karena kadarnya dalam darah
terlalu rendah, daya antibakterinya lebih lemah, dan resistensi cepat timbul.
Indikasinya terbatas sebagai antiseptik saluran kemih. Sedangkan kelompok
flourokuinolon memiliki atom flour pada posisi 6 dalam struktur molekulnya. Daya
antibiotik flourokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon lama.
Kelompok obat ini diserap secara baik pada pemberian oral, dan derivatnya tersedia
juga dalam bentuk parenteral yang digunakan untuk penanggulangan peradangan
berat, khususnya yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, sedangkan terhadap
bakteri Gram-positif daya bakterinya relatif lemah. Yang termasuk golongan ini
adalah siprofloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan sebagainya.17
2.1.2.6 Metronidazole
Metronidazole adalah nitroimidazole buatan yang dibuat atau diisolasi dari
Streptomises sp yang berguna dalam mengatasi berbagai peradangan akibat
protozoa.11 Obat ini juga efektif melawan bakteri anaerob yang bekerja dengan
mengganggu DNAbakteri sehingga menghambat sintesis asam nukleat.15 Spektrum
metronidazole terbatas pada bakteri anaerob obligat dan beberapa bakteri
mikroaerofilik,18
dan
paling
efektif
melawan
bakteri
anaerob
gram
negatifyangbertanggungjawab pada peradangan orofasial akut dan periodontitis
kronis.11 Kombinasi metronidazole dengan antibiotik betalaktam pada peradangan
oraldiindikasikan untuk peradangan orofasial akut
yang serius dan pada
11
penatalaksanaan periodontitis agresif.
2.1.3 Indikasi Penggunaan Antibiotik di bidang kedokteran gigi
Peradangan akut dan kronis pada pulpamerupakan penyebab sakit gigi paling
banyak.
Namun
kebanyakan
kasus
peradangan
lebih
memerlukan
perawatankonservatif daripada pemberian antibiotik. Selulitis fasial
baik yang
disertai disfagia ataupun tidak, harus diberikan antibiotik sesegera mungkin karena
jika tidak diberikan, peradangan dapat meluas melalui limfe dan sirkulasi darah.
Beberapa lesi oral terlokalisir yang diindikasikan pemberian antibiotik yaitu abses
periodontal,
gingivitis
11,19
osteomielitis.
ulseratif
nekrose
akut,
perikoronitis
Selain itu, antibiotik juga digunakan sebagai profilaksis.
dan
14
Umumnya, antibiotik digunakan dikedokteran gigi untuk dua tujuan yaitu
sebagai profilaksis antibiotik dan sebagai pengobatan kasus peradangan.8
1. Sebagai pengobatan atau terapi antibiotik
Pemberian antibiotik tidak terbatas pada kasus peradangan odontogenik saja,
melainkan juga pada kasus non-odontogenik. Untuk kasus peradangan odontogenik
sendiri, tidak ada kriteria tertentu dalam pemberian antibiotik. Pengobatan diberikan
dalam beberapa situasi peradangan odontogenik akut yang berasal dari pulpa
misalnya sebagai pendukung dalam perawatan saluran akar, gingivitis nekrotis
ulseratif akut, abses periapikal, periodontitis agresif, abses periodontal, dan
osteomyelitis.8,11 Pemberian antibiotik tidak disarankan pada kasus gingivitis.8
Perluasan inflamasi cepat dan berat sebaiknya dirawat dengan pemberian antibiotik,
sementara inflamasi yang ringan dan terlokalisir dimana drainase dapat dilakukan,
maka pemberian antibiotik tidak perlu.14
Abses periodontal sering dirawat dengan insisi dan drainase tanpa pemberian
antibiotik karena abses periodontal jarang disertai demam, malaise, limfadenopati,
dan tanda-tanda sistemik lainya. Tetapi , abses periodontal perlu diberikan terapi
antibiotik ketika disertai tanda dan gejala sisteemik, atau ketika insisi dan drainase
tidak dapat dilakukan. Hal ini berbeda pada terapi antibiotik untuk peradangan yang
berasal dari pulpa atau periapikal, dimana seharusnya lebih agresif karena lebih
cenderung meluas ke permukaan wajah. Terapi antibiotik untuk kasus abses
periodontal diberikan dalam dosis tinggi dan durasi yang singkat. Perawatan
osteomyelitis yaitu berupa terapi antibiotik dan pembedahan. Dikarenakan
keanekaragaman bakteri penyebabnya, pembuatan kultur dan tes sensitivitas sesegera
mungkin menjadi penting untuk mendapatkan terapi antibiotik yang paling tepat.11
Antibiotik turunan β-laktam dapat dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan,
asalkan tidak ada alergi. Namun, hanya sedikit obat dari kelompok ini yang dapat
diresepkan. Penisilin dan amoksisilin dapat menjadi pilihan pertama. Amoksisilinklavulanat lebih disukai, karena spectrum kerja yang luas, sifat farmakokinetik,
toleransi, dan dosis yang khas. Klindamisin juga menjadi obat pilihan karena
penyerapannya yang baik, kemungkinan bakteri menjadi resistensi rendah, dan
konsentrasi antibiotik yang dicapai dalam tulang lebih tinggi.8
Peradangan non-odontogenik yang termasuk peradangan spesifik dari rongga
mulut (TBC, sifilis, lepra), dan peradangan nonspesifik membran mukosa, otot dan
wajah, kelenjar ludah dan tulang. Proses ini membutuhkan perawatan yang panjang,
dan obat yang digunakan biasanya termasuk klindamisin dan flurokuinolon (seperti
siprofloksasin, nonfloksasin, dan moksifloksasin).8
2. Sebagai profilaksis antibiotik
Penggunaan antibiotik sebagai profilaksis telah diterima secara luas dan umum
digunakan dikedokteran gigi. Tujuan pengobatan ini yaitu sebagai pencegahan
endokarditis infektif yang diindikasikan pada pasien yang berisiko dalam hal
prosedur invasif dalam rongga mulut.8 Pasien yang menggunakan katub jantung
buatan, memiliki riwayat endokarditis, memiliki penyakit jantung kongenital seperti
penyakit jantung kongenital sianosis, menggunakan bahan atau alat jantung buatan
yang kurang dari 6 bulan, atau pun yang memiliki efek sisa pada tempat atau sekitar
tempat dipasangnya bahan atau alat buatan,serta penerima transplantasi jantung, maka
pada pasien tersebut diindikasikan pemberian profilaksis antibiotik untuk prosedur
dental.20 Pasien yang memiliki riwayat peradangan prosthesis sendi dan pada pasien
yang menggunakan sendi buatan kurang dari dua tahun disertai defisiensi imun, maka
pasien tersebut berisiko tinggi terhadap prosedur invasif dalam rongga mulut
sehingga diperlukan pemberian profilaksis antibiotik.8
Profilaksis peradangan lokal digunakan untuk mencegah proliferasi dan
penyebaran bakteri di dalam dan dari luka operasi itu sendiri. Penggunaan antibiotik
profilaksis pada pasien sehat hanya dianjurkan dalam kasus pencabutan gigi, impaksi,
bedah periapikal, menyambung tulang dan operasi untuk tumor jinak. Pada pasien
dengan faktor risiko berupa peradangan lokal atau sistematik termasuk pasien
onkologi, pasien dengan kekebalan tubuh rendah, pasien dengan gangguan metabolik
seperti diabetes, dan pasien yang telah menjalani splenektomi antibiotik profilaksis
harus diberikan sebelum melakukan prosedur invasif.8
Namun, profilaksis antibiotik tidak direkomendasikan pada prosedur dental atau
keadaan berikut yaitu anestesi tropikal pada jaringan yang tidak meradang,
pengambilan radiografi gigi, penggunaan gigi tiruan lepasan atau alat ortodonti,
penyesuaian alat ortodonti, penempatan braket ortodonti, dan pencabutan gigidesidui
serta perdarahan karena trauma dibibir dan mukosa.20
1.1.6 Efek samping
1. Reaksi Alergi
Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan
sistem imun tubuh hospes dan tidak bergantung pada besarnya dosis obat. Manifestasi
gejala dan derajat beratnya alergi dapat bervariasi.9 Prognosis reaksi alergi sulit
diramalkan walaupun terdapat riwayat reaksi alergi pasien. Seseorang yang memiliki
riwayat alergi, misalnya alergi terhadap penisilin, tidak selalu mengalami reaksi
alergi kembali ketika diberikan obat tersebut. Sebaliknya, seseorang tanpa riwayat
alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan kembali penisilin.9 Bentuk
reaksi alergi pada penisilin paling sering yaitu reaksi urtikaria atau angioedemapada
kulit. Penisilin juga dapat menyebabkan reaksi syok anafilaktik.11
2. Reaksi toksik
Antibiotik pada umumnya bersifat toksisitas selektif, tetapi sifat ini relatif.
Penisilin merupakan golongan antibiotik yang mungkin dianggap paling tidak toksik
sampai saat ini. Dalam menimbulkan efek toksik, masing-masing antibiotik dapat
menyerang organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes. Beberapa contoh reaksi
toksik penggunaan antibiotik seperti pada golongan aminoglikosida pada umumnya
bersifat toksik terutama terhadap nervus vestibulokoklear (N.VIII) golongan
tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam dosis besar, obat ini bersifat hepatotoksik,
terutama pada pasien pielonefritis dan pada wanita hamil.9
3. Perubahan biologik dan metabolik
Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang meradang, terdapat populasi
mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikroflora tersebut
biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan antibiotik, terutama spektrum
luas, dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora, sehingga jenis mikroba
yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen.9 Pada beberapa keadaan,
perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi, yaitu suatu peradangan baru yang
disebabkan oleh ploriferasi mikroba barbeda dari penyebab peradangan primer yang
terjadi akibat terapi peradangan primer dengan suatu antibiotik.9,14 Mikroba penyebab
superinfeksi biasanya jenis mikroba yang menjadi dominan pertumbuhanya akibat
penggunaan antibiotik terutama spektrum luas, misalnya penggunaan tetrasiklin dapat
menyebabkan kandidiasis.9
Faktor yang mempermudah timbulnya superinfeksi diantaranya adanya faktor
atau penyakit yang mengurangi daya tahan pasien, penggunaan antibiotik terlalu
lama, dan luasnya spektrum aktivitas obat antibiotik. Tindakan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi superinfeksi yaitu menghentikan terapi antibiotik yang sedang
digunakan, melakukan biakan (kultur) mikroba penyebab superinfeksi, dan
memberikan suatu antibiotik yang efektif terhadap mikroba tersebut.9
2.2 Alergi antibiotik
Ada dua jenis reaksi obat yang merugikan, yaitu reaksi yang dapat diprediksi
dan reaksi yang tidak dapat diprediksi. Reaksi yang dapat diprediksi adalah over
dosis dan efek samping dan reaksi yang tidak dapat diprediksi adalah alergi.
Antibiotik adalah salah satu obat yang paling sering menyebabkan alergi baik dalam
kasus orang dewasa maupun anak-anak. Diantara semua jenis antibiotik, antibiotik
beta laktam (penisilin dan sefalosofrin) adalah penyebab alergi yang paling sering
terjadi. Selain penisilin, antibiotik sulfonamid juga dapat menyebabkan alergi yaitu
sindrom Steven Johnson atau nekrolisis epidermal toksik.21
Reaksi yang paling umum paling terjadi pada alergi antibiotik adalah erupsi
kulit makulopapular, urtikaria, dan pruritus. Beberapa antibiotik juga dapat mengenai
organ selain kulit. Contohnya, kombinasi dari amoksisilin dan asam klavulanik dapat
menyebabkan luka pada hati. Reaksi yang parah seperti anafilaksis juga dapat
terjadi.6Organ dalam yang seringkali terlibat pada alergi antibiotik adalah hati, ginjal,
serta paru-paru.1
Tabel 1. Klasifikasi alergi obat antibiotik22
Tipe A (farmakologi 85-
1. Efek samping
90%)
2. Interaksi obat
3. Lain-lain
Tipe B (hipersensitifitas)
Mekanisme nonspesifik
1. Enzim yang rusak atau
tidak
2. Ketidakseimbangan
sitokin
3. Ketidakseimbangan
mediasi inflamasi
4.Dreganulasi sel mast non
spesifik
Reaksi
imun
spesifik Tipe 1: Ig-E
(alergi)
Tipe 2: Ig-G
Tipe 3: desposisi imun
kompleks
Tipe 4: sel termediasi
2.2.1 Patofisiologi alergi
Pasien yang mengalami alergi antibiotik memiliki sel limfosit T yang
teraktivasi dalam sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik terstimulasi dengan
konsep p-i (pharmacological interaction with immune receptors) menghasilkan
interleukin 5 (IL-5) dan interferon gamma (IFN-g). Interleukin 5 merupakan faktor
kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi eosinofil. Sementara
itu IFN-g memiliki peran dalam up regulation major histocompatibility complex
(MHC) kelasII pada keratinosit. Aktivasi MHC kelas II tersebut selanjutnya akan
mempresentasikan obat ke sel T CD4+.1
Konsep p-i menjelaskan bahwa obat memiliki kesesuaianterhadap protein atau
enzim tertentu sehingga mempengaruhikerjanya. Beberapa jenis obat dapat langsung
berikatan dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan selT akan
mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadangreaksi yang timbul tidak
mengikuti kaidah respon imun yangada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan
pertama tanpamemerlukan proses sensitisasi sebelumnya.Penjelasan lain adalah pada
reaksi eksantema makulopapular,reaksi yang berperan didominasi oleh aktivasi selT
helper 2 (Th2) (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang terkaitdengan sekresi IL-4, IL-5,
serta IL-13. Selain itu juga terdapathubungan dengan reaksi alergi tipe I, yaitu sekresi
IL-4 danIL-13 akan meningkatkan produksi IgE.1
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien alergi antibiotik baik pada kulit
maupun organ terkait dengan peningkatanproliferasi klon limfosit T CD8 yang telah
teraktivasi terhadap antigen virus sebelumnya oleh obat pencetus. Dugaanketerlibatan
infeksi virus tersebut juga berdasarkan gambaranklinis pasien alergi antibiotik yaitu
adanya demam, edema pada wajah,limfadenopati, monositosis, mononukleosis, serta
hepatitisyang konsisten dengan gambaran infeksi virus. PenelitianPicard et al
memperlihatkan bahwa sebesar 76% pasienalergi antibiotik mengalami reaktivasi
terhadap EBV, HHV-6, dan HHV-7. Limfosit T CD8 akan meningkat jumlahnya di
dalam darahserta jaringan yang terlibat seperti kulit, hati, maupun paru.Selain itu
limfosit T CD8 meningkatkan sekresi sitokin yaituTNF-a, IL-2, dan IFN-g.
Tingginya produksi sitokin tersebutterkait dengan gangguan organ dalam yang lebih
berat.1
Peningkatan kadar berbagai mediator inflamasi tersebut bertahan selama kurang
lebih 3 bulan. Hal tersebut mungkinmenjelaskan memanjangnya periode gejala klinis
yang dialamipasien alergi antibiotik meskipun obat pencetus telah dihentikan.
Keterlibatan paru serta hipereosinofilia yang terjadi dikaitkandengan peningkatan
transkripsi IL-17. Peningkatan aktivitastranskripsi IL-17 tersebut sedikit berbeda
dengan penelitilain yang memperlihatkan bahwa IL-5 lebih berperan dalamterjadinya
hipereosinofilia.1
2.2.2 Tipe hipersensitivitas alergi antibiotik
Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan alergi obat.Menurut waktuinterval
timbulnya reaksi, alergi obat terdiri dari reaksi yang timbul segera, dipercepat dan
tertunda. Reaksi yang timbul segera (IgE-mediated)terjadi hingga 1 jam setelah
terpapar alergen. Reaksi tidak langsung atau yang dipercepatberlangsung selama 1-72
jam dan reaksi yang tertunda lebih dari 72jam. Reaksi yang timbul segera contohnya
adalah anafilaksis,urtikaria, angioedema dan bronkospasme. Reaksi yang dipercepat
ataupun reaksi yang tertunda contoh manifestasinya adalahserum sickness,nefritis
interstitial, anemia hemolitik, morbiliformisletusan dan sindrom Stevens Johnson.23
2.2.2.1 Tipe 1 (Reaksi Anafilaksis)
Mekanisme ini yang paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig-E yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari
obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang
sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang
pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin
dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek,
misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulkan
syok.24
Pada kontak pertama, alergen diinternalisasi oleh sel B yang hadir bersama sel
TH2 (T helper 2). Sel B kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang melepaskan imunoglobulin E (IgE). IgE mengikat sel mast dan basofil.
Pada kontak berikutnya, antigen telah mengikat sel mast IgE. Karena rilis cepat
sebagian besar vasoaktif mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien dan platelet
activating factor (PAF), reaksi langsung (anafilaksis) terjadi dalam hitungan detik
atau menit yang dapat disebut juga reaksi hipersensitivitas langsung. Efek
vasodilatasi dari reaksi jenis ini dapat menimbulkan syok anafilaksis.25
2.2.2.2 Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel.
Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan
lisis.24Pada reaksi tipe II, sistem kekebalan tubuh terutama menyerang sel dengan
sifat antigenik. Hal ini dapat disebabkan oleh transfusi eritrosit dari golongan darah
yang salah atau pengikatan hapten (misalnya, obat-obatan) untuk sel endogen.
Pengikatan hapten ke trombosit juga dapat menjadi penyebab, misalnya
mengakibatkan trombositopenia.25
2.2.2.3 Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan ringan.24
Reaksi ini disebabkan oleh antigen antibodi kompleks. Jika antigen antibodi
yang tersedia berlebih, kompleks antigen-antibodi akan larut dan beredar di darah
untuk waktu yang lama dan menetap terutama di kapiler, sehingga subjek dinding
kapilari diserang oleh sistem komplemen. Hal ini menyebabkan perkembangan serum
sickness terutama gejala nyeri sendi dan demam.25
2.2.2.4Tipe IV (Reaksi Alergi Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam
setelah pajanan terhadap antigen.24
Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut . Bila antibodi
spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang
terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan
IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi
hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun
selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan
reaksiimun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgEmediated).Perlu diingat bahwa dapat saja terjadialergi obat melalui keempat
mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat
tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Alergi obat melalui mekanisme
tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau
penyakit autoimun.24
Tabel 2. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas obat24
Reaksi imun
Mekanisme
Klinis
Waktu reaksi
Tipe I
Kompleks Ig-E
Urtikaria,
Menit sampai jam
(diperantarai Ig-
obat berikatan
angioedema,
setelah paparan
E)
dengan sel mast
bronkospasme,
melepaskan
muntah, diare,
histamin dan
anafilaksis
mediator lain
Tipe II
Antibodi Ig-M
Anemia hemolitik, Variasi
(sitotoksik)
atau Ig-G
neutropenia,
spesifik terhadap
trombositopenia
sel hapten-obat
Tipe III (
Deposit jaringan
kompleks imun ) dari kompleks
Serum
sickness, 1-3 minggu setelah
demam,
ruam, paparan
antibodi obat
artralgia,
dengan aktivasi
limfadenopati,
komplemen
vaskulitis,
urtikaria
Tipe IV (
Presentasi
Dermatitis kontak 2-7
lambat,
molekul obat
alergi
hari
setelah
paparan
diperantarai oleh oleh MHC
selular )
kepada sel T
dengan
pelepasan
sitokin
2.2.3
Diagnosa alergi antibiotik
Setiap obat yang diberikan harus dipertimbangkan secara bijaksana maka itu
diperlukan pemeriksaan untuk mendiagnosa apakah antibiotik dapat diberikan pada
pasien. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi anamnesa atau menanyakan riwayat
klinis dan tes kulit pada pasien.26
2.2.3.1 Riwayat klinis
Hipersensitivitas antibiotik biasanya didiagnosa berdasarkan riwayat klinis,
terutama tepat pada saat penggunaan antimikroba. Apakah pasien menderita alergi,
keterangan lengkap tentang reaksi alergi tersebut, waktu terjadi alergi, apakah
bersamaan dengan penyakit dan obat-obatan, dan hasilnya harus segera didapatkan,
didokumentasikan, dan diberikan kepada spesialis imunologis atau alergi.26
2.2.3.2 Tes diagnostik
Tes diagnostik bertujuan untuk mendeteksi atau memperkirakan kemungkinan
alergi obat. Salah satunya adalah tes kulit. Tesi kulit merupakan tes untuk mengetahui
adanya Ig-E spesifik terhadap obat tertentu. Tes kulit dapat digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis. Apabila ingin melakukan tes kulit pasien harus
dirujuk ke ahli alergi. Tes kulit dilakukan dengan pemberian penicilloyl polylysine
dan beberapa determinan baik penisilin G diencerkan 10.000 U per mililiter atau
campuran 10-2 M benzil penicilloate, benzil penilloate, dan benzil-n-propylamine.
Tes kulit dengan bahan penuh dilakukan terlebih dahulu, dan jika tes ini negatif pada
15 menit, maka diikuti oleh pengujian intrakutan. Peningkatan diameter minimal 3
mm (dibandingkan dengan hasil negatif sebelumnya) kehadiran eritema merupakan
tanda hasil yang positif. Kurang dari 20 persen pasien yang melaporkan riwayat alergi
penisilin terdeteksi antibodi IgE-penisilin tertentu pada saat pengujian kulit. Hasil
negatif menunjukkan bahwa reaksi sebelumnya tidak dimediasioleh IgE atau
antibodi tidak hadir; baik kasus, penisilin dapat diberikan lagi denganrisiko minimal
reaksi langsung.6
Gambar 1. Tes kulit yang dilakukan pada pasien
sebelum diberikan antibiotik.1
2.2.4 Manifestasi klinis alergi antibiotik
Mengenal manifestasi reaksi alergi antibiotik sangatlah penting karena harus
diatasi sesegera mungkin. Jika tidak maka akan terjadi reaksi yang lebih parah dan
dapat mengancam hidup.Manifestasi alergi antibiotik dapat terjadi begitu cepat
(dalam beberapa menit setelah pemberian obat) atau lambat (beberapa hari setelah
pemberian obat). Sekitar setengah dari semua reaksi alergi terjadi satu minggu setelah
pemberian obat dan kebanyakan simptom hilang dalam tiga sampai lima hari setelah
penghentian obat. Reaksi yang timbul dalam setengah jam diperkirakan lebih
berbahaya, sementara itu reaksi yang timbul pada hari berikutnya biasanya relatif
ringan.6
Berbagai manifestasi alergi antibiotik dapat terjadi, dipengaruhi oleh obat yang
diberikan, frekuensi penggunaannya, dan jenis mekanisme imun yang terlibat. Reaksi
alergi dapat mempengaruhi banyak sistem organ yaitu kulit, paru, liver, ginjal dan
pembuluh darah. Manifestasinya mulai dari gatal lokal ringan, reaksi pada kulit (
urtikaria atau angioedema, erupsi eksemantosa, Sindrom Steven Johnson, Nekrolisis
Epidermal Toksik) sampai syok anafilaktik fatal yang mengancam hidup.24
2.2.4.1 Urtikaria atau angioedema
Urtikaria adalah gangguan umum yang terjadi secara berulang seperti pruritus
(gatal), edema kemerahan (bengkak), lesi yang pucat (bercak). Lesi memiliki
berbagai ukuran dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, dan bersifat
sementara, yang berlangsung selama kurang dari 48 jam [1-4].27
Sekitar
40%
pasien
dengan
urtikaria
juga
mengalami
angioedema
(pembengkakan yang terjadi di bawah kulit). Dikatakan angioedema apabila dermis
bagian dalam mengalami edema. Angioedema yang timbul biasanya unilateral dan
nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2 jam tetapi kadang dapat bertahan
selama dua sampai lima hari. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan
Ig-E sebagai suatu respon yang cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya.27
Urtikaria umumnya diklasifikasikan sebagai akut, kronis, atau fisik, tergantung
pada durasi dari gejala dan ada atau tidaknya rangsangan. Urtikaria akut mengacu
pada lesi yang terjadi selama kurang dari 6 minggu, dan urtikaria kronis lesi yang
terjadi selama lebih dari 6 minggu; biasanya diasumsikan bahwa lesi yang hadir
hampir setiap hari dalam seminggu. Meskipun urtikaria akut umumnya dapat dengan
mudah dikelola dan berhubungan dengan prognosis yang baik, kronis, urtikaria berat
sering dikaitkan dengan morbiditas yang signifikan dan kurangnya kualitas hidup.
Urtikaria fisik juga cenderung lebih berat dan tahan lama, dan seringkali sulit untuk
diobati. Angioedema memiliki evaluasi dan manajemen penatalaksanaan yang sama
dengan urtikaria.27
Gambar 2. Urtikaria akibat penggunaan
ampisilin26
Gambar 3. Urtikaria akibat penggunaan penisilin26
Berikut merupakan klasifikasi dari urtikaria :
1. Urtikaria akut
Penyebab paling umum dari urtikaria akut (dengan atau tanpa angioedema)
adalah obat-obat, makanan, infeksi virus, infeksi parasit, racun serangga, dan alergen
kontak, terutama hipersensitivitas lateks. Obat diketahui sering menyebabkan
urtikaria ± angioedema meliputi antibiotik (terutama penisilin, dan sulfonamid)27
2. Urtikaria kronis
Urtikaria kronis lebih sering terjadi pada orang dewasa, dan lebih sering terjadi
pada wanita dibanding pria. Secara umum, urtikaria kronis diklasifikasikan sebagai
urtikaria autoimun kronis atau urtikaria idiopatik kronis. Pasien dengan urtikaria
idiopatik kronis tidak memiliki autoimun. Dalam bentuk urtikaria, tampaknya ada
aktivasi terus menerus dari sel mast, tetapi pemicu mekanisme sel mast tidak
diketahui. Meskipun jarang, urtikaria kronis juga dapat merupakan manifestasi dari
penyakit sistemik.27
2.2.4.2 Erupsi eksemantosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksemantosa.
Erupsi yang muncul dapat berbentuk mobiliformis atau makulopapuler. Pada
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa
didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar
ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi
baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri
dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ditanai dengan perubahan kulit dari
merah terang ke warna cokelat kemerahan, yang disertai dengan adanya deskuamasi
kulit.24
Erupsi eksemantosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin, dan
sulfonamid. Jika kelainan timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut
eksantema fikstum.24
Gambar4.Erupsi eksemantosa akibat
penggunaan obat golongan
sefalosoprin.24
2.2.4.3 SSJ ( Sindrom Steven Johnson )
SSJ merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang mengenai kulit, selaput
sendiri di orifisum dan mata dengan keadaan umum yang beravariasi dari ringan
sampai berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan
salah satu kegawat daruratan penyakit kulit. Perjalanan penyakit sangat akut dan
mendadak dapat di sertai gejala prodormal berupa demam tinggi (30C – 40C), mulai
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu.
Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya
kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta
menurunnya kesadaran.24
Gambar 5. Sindrom Steven Johnson (SSJ)26
2.2.4.4 NET ( Nekrolisis Epidermal Toksik )
NET adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa
epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisum
genetalia eksterna dan mata. Umumnya TEN terjadi pada orang dewasa. TEN
merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan
keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis.24
2.2.4.5 Syok Anafilaktik
Jenis reaksi ini biasanya sangat keras, sering terjadi tanpa peringatan dalam
beberapa detik sampai menit setelah pemberian obat-obatan seperti vaksin, toksoid,
globulin imun, antitoksins, tes tuberkulin kulit, antibiotik (seperti penisilin), serbuk
sari atau ekstrak alergi lainnya, atau setelah disengat oleh serangga berbisa.24
Tanda-tanda atau gejalanya yaitu dapat berkembang dengan cepat dan dramatis:
menimbulkan rasa takut, gatal-gatal, kemerahan dari wajah, gatal substernal,
stridorous atau sesak nafas, sianosis, penurunan tekanan darah, dan kehilangan
kesadaran. Kematian dapat terjadi segera apabila terjadi kesulitan penanganan pada
tanda pertama, atau pasien mungkin pulih dari tanda-tanda dan gejala awal namun
dalam 30-60 menit berikutnya terjadi urtikaria, angioedema, coriza akut, spasme
bronkus, usus dan rahim kolik dan diare.28
Syok anafilaktik dapat menimbulkan sinkop atau kehilangan kesadaran secara
mendadak. Tanda-tanda atau gejalanya adalah wajah pucat, nadi melemah, nausea,
muntah dan berkeringat.28
2.3 Penatalaksanaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat antibiotik
adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.
Epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis
lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan
kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dilakukan
secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya diharuskan untuk memilih
antara risiko alergi obat atau manfaat dari obat tersebut karena keduanya memiliki
efek yang sama besar.24
Secara umum
penatalaksanaan
alergi
obat
antibiotik
adalah
dengan
menghentikan pemberian obat tersebut, menjaga kondisi pasien dari kemungkinan
terjadinya erupsi yang lebih parah, menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan
nutrisi dan cairan tubuh seperti infus misalnya berupa glukosa 5% dan larutan
Darrow. Dan apabila terapi tidak mengalami kemajuan, dapat dilakukan transfusi
darah.24
Setelah pemakaian antibiotik yang diduga menyebabkan alergi dihentikan,
dapat diberikan antibiotik pengganti seperti pemberian antibiotik vankomisin atau
fluorokuinolon pada pasien yang alergi terhadap penisilin atau pemberian antibiotik
siprofloksasin pada pasien yang alergi terhadap antibiotik amoksisilin.24
2.3.1 Antihistamin
Antihistamin
merupakan
obat
andalan
untuk
reaksi
alergi
urtikaria.
Antihistamin sangat baik dalam mengobati urtikaria akut maupun kronis.
Antihistamin yang sering digunakan adalah seperti feksofenadin, desloratadin,
loratadin, cetirizin. Antihistamin sangat baik apabila dikonsumsi berhari-hari dari
pada hanya sekali saat alergi kambuh. Pengobatan akan berhasil dengan baik apabila
dosis yang diberikan lebih ditingkatkan dari dosis yang dianjurkan.27
Tabel 3. Antihistamin yang diindikasi dan biasa digunakan dalam perawatan
urtikaria27
Antihistamin
Dosis dewasa
Generasi kedua antihistamin resepetor H1
Cetirizin
10-40 mg perhari
Desloratadin
5-20 mg perhari
Feksofenadin
120-480 mg perhari
Loratadin
10-40 g perhari
2.3.2 Kortikosteroid
Untuk beberapa pasien yang menderita urtikaria berat dan tidak berhasil
menggunakan antihistamin, dapat menggunakan kortikosteroid oral seperti prednison
dengan dosis 40 mg perhari selama 7 hari. Penggunaan kortikosteroid dalam jangka
panjang harus dihindari karena akan timbul efek samping yang tidak baik bagi
tubuh.27
Kortikosteroid juga diberikan pada reaksi alergi Sindrom SSJ atau NET yang
ringan yaitu prednison dengan dosis 30-40mg/hari. Sedangkan pada SSJ atau NET
yang berat digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari.
Apabila kondisi mulai membaik dosis diturunkan secara cepat sebanyak 5 mg sehari
lalu diganti dengan prednison dengan dosis 20 mg/ hari. Pada hari berikutnya dosis
diturunkan menjadi 10mg. Total lama pengobatan SSJ atau NET kurang lebih adalah
10 hari.29
2.3.3 Desensitisasi
Desensitisasi atau imunoterapi ialah terapi yang dilakukan dengan cara
memberikan alergen sedikit demi sedikit untuk membangkitkan pembentukan Ig-G
yang disebut blockingantibody. Ig-G tersebut akan mengikatalergen yang masuk
tubuh sehingga tidak ada lagi alergen yang dapat diikat oleh Ig-E. Desensitisasi
memerlukan waktu yang lama, mahal, mempunyai resiko terjadinyasyok anafilaktik,
dan hanya dilakukan pada indikasi kuat.27
Desensitisasi harus dipertimbangkan pada pasien yang pernah mengalami reaksi
yang diperantarai Ig-E terhadap penisilin dan memerlukan penisilin untuk terapi
infeksi yang berat seperti endokarditis bakterial dan meningitis. Desensitisasi harus
dikerjakan dengan pengawasan khusus dari seorang spesialis. Pemberian secara oral
untuk desensitisasi lebih sering dilakukan karena hanya memiliki kemungkinan kecil
untuk terjadi reaksi yang mengancam nyawa. Desensitisasi dapat dilakukan untuk
pasien yang terkena reaksi alergi sulfonamid dan sefalosoprin.24
2.3.4 Penatalaksanaan syok anafilaktik
Apabila komplikasi syok anafilaktik terjadi segera setelah menerima obat maka
tindakan yang perlu dilakukan adalah:
a. Baringkan pasien pada posisi horizontal dengan kaki dinaikkan
b. Lakukan penilaian A,B,C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu airway,
breathing support, dan circulation support.
c. Berikan injeksi larutan adrenalin (epinefrin) 1:1000 dengan perlahan-lahan
sebanyak 0,3-0,4 ml. Pemberian dapat diulangi sampai beberapa kali tiap 5 sampai
10 menit apabila tekanan darah sistolik belum mencapai 90mmHg.
d. Berikan injeksi hidrokortison suksinat 200mg untuk menekan reaksi alergi
selanjutnya.
e. Berikan injeksi klorpeniramin maleat (piriton) 10-20 mg untuk mengurangi
pelepasan histamin yang lebih banyak.
f. Berikan oksigen untuk memperbaiki jalan nafas akibat edema laring dan
bronkospasme.
g. Minta bantuan medis atau ambulans. Pertolongan medis harus diperoleh dan
pasien harus dipindahkan ke rumah sakit secepat mungkin untuk observasi atau
perawatan lebih lanjut jika diperlukan.24
Gambar 6. Skema penatalaksanaan syok anafilaktik24
Alergi antibiotik ringan sampai sedang prognosanya sangat baik. Kebanyakan
orang akan menjadi lebih baik dalam 48 sampai 72 jam dengan perawatan dan
penghentian obat. Prognosa untuk alergi antibiotik berat juga baik jika perawatan
yang tepat dan segera diberikan.24
KERANGKA KONSEP
Pengetahuan
antibiotik
dan
penatalaksanaan alergi antibiotik
•
Mahasiswa Kepaniteraan Klinik
Antibiotik
- Definisi antibiotik
- Klasifikasi antibiotik
- Indikasi penggunaan antibiotik di
bidang kedokteran gigi
- Efek samping
• Alergi antibiotik
- Patofisiologi alergi
- Tipe hipersensitivitas alergi
antibiotik
- Diagnosa alergi antibiotik
- Manifestasi klinis alergi antibiotik
• Penatalaksanaan
- Antihistamin
- Kortikosteroid
- Teknik Desensitisasi
- Penatalaksanaan syok anafilaktik
Download