Uploaded by petualang.tobat

biofoam dari tapioka

advertisement
PENGEMBANGAN PRODUK
BIODEGRADABLE FOAM BERBAHANBAKU
CAMPURAN TAPIOKA DAN AMPOK
EVI SAVITRI IRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
disertasi
Pengembangan
ProdukBiodegradable Foam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, Januari 2013
Evi Savitri Iriani
NIM F 361080121
ABSTRACT
EVI SAVITRI IRIANI. Product Developmentof Cassava and Corn Hominy Based
Biodegradable Foam.Under Direction of TUN TEDJA IRAWADI, TITI C.
SUNARTI, NUR RICHANA AND INDAH YULIASIH.
Starch based foam is a packaging material made from renewable resources which are
very prospective to substitute synthetic polystyrene foam. Tapioca is one of potential
materials for starch based foam production due to availability and cheap price
compared to other starch. Unfortunately, the foam produced only with starch is
brittle, poor mechanical properties and highly sensitive to moisture. Fiber
reinforcement and blending with synthetic polymer and hydrophobic materials are the
way to improve foam’s properties. Corn hominy, a by product of corn dry milling
industry, is a potential source to be used as fiber reinforcement due to its
composition that still contained high fiber, starch, protein and fat that needed for
producing starch-based foam. The objective of this research wasto develop
biodegradable foam made from tapioca and corn hominy. Four steps formulation was
conducted to get the best characteristics of biodegradable foam.
Starch, corn
hominy, modified starch, PVOH and other dry materials were mixed with various
concentration. Water, plasticizer and other liquid materials were added to get total
solid 50-60% and then baked with thermopressing machine at 150-1700C for 2-3
minutes. The results showed that, addition of corn hominy increased hydrophobicity
and biodegradability of biofoam. On the other hand, increasing corn hominy
proportion also decreased mechanical properties and brightness of biofoam and
increased density. Addition of PVOHincreasedhydrophobicity and mechanical
properties of biofoam but decrease biodegradability and increased density. Addition
of hydrophobic starch did not make satisfying improvement on hydrophobicity or
mechanical properties of biofoam, but decreased biodegradability of biofoam. Starch
acetate and sizing agentaddition could increase hydrophobicity, marked by increasing
of contact angle value. Meanwhile, addition of plasticizer not only improved
viscoelasticity of biofoam but also increased biofoam’s hydrophobicity. Utilization
of tapioca and corn hominy as biodegradable materials could increase value added of
tapioca by 14,33% meanwhile for corn hominy almost71,44%.
Keywords : biodegradable foam, biodegradability, corn hominy, hydrophobicity,
mechanical properties
RINGKASAN
EVI SAVITRI IRIANI. Pengembangan ProdukBiodegradable Foam
Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok. Dibimbing oleh TUN
TEDJA IRAWADI, TITI C. SUNARTI, NUR RICHANA dan INDAH
YULIASIH.
Pemanfaatan produk dan limbah pertanian sebagai bahan baku kemasan
ramah lingkungan belum banyak dilakukan, khususnya sebagai pengganti styrofoam.
Beberapa penelitian terdahulutelah mencoba memanfaatkan pati sebagai bahan baku
pembuatan biofoam, namun demikianproduk yang dihasilkan masihmemiliki sifat
mekanis rendahdan hidrofilik. Penambahan serat yang bersumber dari limbah
pertanian mampu memperbaiki kelemahan biofoam tersebut. Salah satu hasil
pertanian yang berpotensi sebagai bahan baku biofoam adalah ampokkarena selain
sebagai sumber serat juga masih mengandung pati, protein dan lemak yang
dibutuhkan dalam pembuatan biofoam.
Tujuan penelitian ini adalah mengembangan produkkemasan ramah lingkungan
berbentuk foam berbahan baku tapioka dan ampok yang memiliki sifat fisik dan
mekanis mendekati styrofoam dengan tingkat biodegradabilitas yang lebih
tinggi.Adapun tujuan masing-masing tahapan adalah: 1) mengetahui karakteristik
bahan baku, 2) memperoleh kondisi proses dan formula terbaik pembuatan biofoam
serta 3) mengetahui nilai tambah tapioka dan ampok sebagai bahan baku pembuatan
biofoam.
Biofoam berbahan baku tapioka dan ampok berpotensi digunakan sebagai
kemasan alternatif ramah lingkungan pengganti styrofoam. Biofoam ini memiliki
keunggulan yaitu sifat hidrofobisitas dan sifat mekanis yang setara dengan styrofoam
serta memiliki kemampuan biodegradabilitas yang lebih tinggi. Proses pembuatan
biofoam dilakukan dengan teknik thermopressing pada suhu 1700C, yaitu di atas
melting point semua bahan baku sehingga semua bahan dapat tercampur dengan baik.
Waktu proses berkisar 2,5-3 menit, dengan volume adonan yang digunakan 60 g.
Karakteristik biofoam dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku dan kondisi
proses pembuatannya. Tapioka memiliki kadar pati
lebih tinggi (97,89%)
dibandingkan ampok (69,26%), sebaliknya ampok memiliki kadar lemak, protein dan
serat (8,90%, 11,18% dan 7,96%) yang lebih besar dibandingkan tapioka (0,19%,
0,55% dan 1,27%). Perbedaan komposisi ini berpengaruh terhadap karakteristik
biofoam yang dihasilkan.
Penambahan ampokhingga 75% berpengaruh terhadap peningkatan
hidrofobisitas biofoam dengan menurunkan daya serap airnya dari 59,49% menjadi
44,17%. Selain itu, penambahan ampok juga meningkatkan biodegradabilitas
biofoam khususnya pertumbuhan kapang yang meningkat dari 6,67% menjadi 90%.
Namun demikian, penambahan ampok berpengaruh negatif terhadap sifat mekanis
dengan menurunkan kuat tekan dari 27,31 N/mm2 menjadi 6,14 N/mm2.
Penambahan polimer sintetik PVOH hingga 50% dapat membantu perbaikan
sifat mekanis biofoam dengan meningkatkan kuat tekan dari 10,94 N/mm2 menjadi
33,29 N/mm2, sementara untuk kuat tarik, meningkat dari 25,67 N/mm2 menjadi
48,85 N/mm2. Penambahan PVOH juga dapat meningkatkan hidrofobisitas dengan
menurunkan daya serap air dari 54% menjadi 35%.
Penambahan pati hidrofobik, ternyata tidak berpengaruh terhadap perbaikan
karakteristik biofoam. Penambahan pati asetat dan sizing agentberpengaruh terhadap
peningkatan sifat hidrofobisitas dilihat pada peningkatan nilai contactangle dari
30,110 menjadi 79,790untuk perlakuan terbaik. Penambahan pati asetat dan sizing
agent juga berpengaruh terhadap perbaikan sifat mekanis dilihat dari peningkatan
kuat tekan ( 19,11 N/mm2 menjadi 31,80 N/mm2) dan kuat tarik (48,72 N/mm2
menjadi 52,64 N/mm2). Penambahan gliserol sebesar 5% berpengaruh terhadap
perbaikan sifat mekanis khususnya peningkatan viskoelastisitas biofoam yang
ditandai dengan penurunan nilai storage modulus yang cukup tajam mendekati suhu
kamar yaitu dari 530 Mpa pada 00C menjadi 170 Mpa pada 200C.
Pemilihan formulasi terbaik untuk pembuatan biofoam disesuaikan dengan
aplikasi atau peruntukan biofoam tersebut. Formula terbaik adalah perlakuan P1K3
yaitu rasio tapioka:ampok 3:1 dengan penambahan PVOH 30% dari berat bahan
kering. Karakteristik biofoam yang dihasilkan memiliki daya serap air 39%, densitas
0,48 g/cm3, kuat tekan 19,11 N/mm2, kuat tarik 48,72 N/mm2 dan biodegradabilitas
36,67%. Biofoam ini dapat digunakan untuk mengemas produk dengan kadar air
rendah karena permukaannya masih sensitif terhadap air. Untuk produk hasil
pertanian ataupun produk olahan dengan kadar air yang lebih tinggi, dilakukan
perbaikan formula dengan perlakuan terbaik P2S2G1 yang memiliki komposisi
tapioka 21%, pati asetat 7%, ampok 12% dan PVOH 8%. Sizing agent yang
ditambahkan dari jenis carvacrol serta penambahan gliserol sebesar 5%. Formula ini
memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan P1K3 untuk sifat mekanisnya
yaitu kuat tekan 31,80 N/mm2 dan kuat tarik 51,60 N/mm2, namun daya serap airnya
lebih tinggi yaitu 62,95% dan biodegradabilitas yang lebih rendah 0%. Kelebihan
formula ini memiliki permukaan yang hidrofobik dengan nilai contact angle 79,790.
Pemanfaatan tapioka dan ampok sebagaibahanbakupembuatanbiofoam dapat
memberikan nilai tambah sebesar14,33% untuk tapioka dan 71,44% untuk ampok.
Kata Kunci : ampok, biodegradabilitas, biofoam, hidrofobisitas, sifat mekanis,
© Hak Cipta IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN PRODUK
BIODEGRADABLE FOAM BERBAHAN BAKU
CAMPURAN TAPIOKA DAN AMPOK
EVI SAVITRI IRIANI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS
Dr. Ir. Soetrisno, M.Sc
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Muhammad. Romli, MSc. St
Prof (Riset) Dr. Ridwan Thahir
Judul Disertasi : Pengembangan Produk Biodegradable Foam Berbahan Baku
Campuran Tapioka dan Ampok
Nama
: Evi Savitri Iriani
NIM
: F 361080121
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si
Anggota
Prof. Dr. Ir.Tun Tedja Irawadi, MS.
Ketua
Prof (Riset) Dr.Ir. Nur Richana, M.Si
Anggota
Dr. Indah Yuliasih, STP,M.Si
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Dr. Ir Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 16 Januari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya
sehingga penelitian dan penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
berjudul “ Pengembangan Produk Biodegradable Foam Berbahan Baku Campuran
Tapioka dan Ampok” telah dilaksanakan sejak bulan November 2010 hingga selesai
pada Mei 2012.
Penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan kepada Prof. Dr. Tun
Tedja Irawadi, MS; Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSc; Prof (Riset) Dr. Ir. Nur Richana,
MSi dan Dr. Indah Yuliasih, STP, MSi yang telah memberikan bimbingan dan arahan
sejak awal penyusunan proposal penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Liesbetini
Haditjaroko, MS, Dr.Ir. Soetrisno MSc, Prof. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St. dan
Prof (Riset) Dr. Ridwan Thahir yang telah bersedia menjadi dosen penguji luar
komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka serta memberikan saran perbaikan untuk
kesempurnaan karya tulis ini.
Tidak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan beserta
staf Badan Litbang Pertanian dan Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Institut
Pertanian Bogor serta memberikan dukungan pendanaan penelitian melalui proyek
KKP3T.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Departemen beserta
staf pada Packaging Department, Faculty of Agroindustry, Kasetsart University,
Bangkok, Thailand yang telah menyediakan fasilitas penelitian melalui Sandwich
Programme selama kurun waktu Februari-Maret 2012.
Kepada suami beserta anak-anakkku
tersayang, terima kasih atas
kerelaannya berbagi waktu dan perhatian selama penyelesaian penulisan karya
ilmiah ini. Kepada seluruh keluarga, terima kasih atas dukungan dan doa yang
senantiasa diberikan selama penulis menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian
Bogor. Tidak lupa kepada teman-temanku di TIP-S3-08, semoga kebersamaan dan
kekompakan kita tidak berhenti dengan selesainya pendidikan S3 ini.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Evi Savitri Iriani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 16 Januari 1968 sebagai anak
sulung dari empat bersaudara putri pasangan Sanusi dan Saniah. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000, penulis
diterima kembali di Program Studi Magister Teknologi Industri Pertanian dan
menamatkannya pada tahun 2005. Kesempatan melanjutkan program Doktor
diperoleh pada tahun 2008 pada program studi yang sama melalui beasiswa Badan
Litbang Pertanian.
Penulis bekerja sebagai Peneliti Muda pada Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian sejak tahun 2004 setelah sebelumnya bekerja
pada Balai Penelitian Tanaman Hias sejak tahun 1994. Adapun bidang penelitian
yang ditekuni penulis adalah pengolahan hasil pertanian.
Selama mengikuti program S3, penulis telah mengikuti berbagai seminar
nasional maupun internasional khususnya yang berhubungan dengan topik disertasi.
Adapun karya ilmiah yang telah dan akan diterbitkan serta merupakan bagian dari
disertasi penulis antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
Effect of Polyvinyl Alcohol and Corn Hominy on Improvement of Physical and
Mechanical Properties of Cassava Starch-Based Foam dimuat pada European
Journal of Scientific Research volume 81(1):47-58 tahun 2012.
Utilization of Corn Hominy as a New Source Material forThermoplastic Starch
Production dimuat pada Procedia Chemistry 4 : 245-253 tahun 2012
Pengembangan Biodegradable Foam Berbahan Baku Pati (Review) dimuat pada
Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Volume 7(1):30-40 tahun 2011
Corn hominy, a Potential Raw Material for Biodegradable Foam disampaikan
pada International Maize Conference 2012 bertempat di Gorontalo 22-24
November 2012.
Cassava Based Biodegradable Foam: Effect of Modified Starch, Sizing Agent
and Plasticizer on Improving Hydrophobicity and Viscoelasticity terpilih sebagai
salah satu makalah Badan Litbang yang akan dipublikasikan pada Jurnal
Internasional
Penulis juga mendapatkan kesempatan melakukan penelitian di Kasetsart
University pada Fakultas Agroindustri selama Februari-Maret 2012. Selain itu,
penelitian ini juga dibiayai oleh Badan Litbang Pertanian melalui Program KKP3T
selama 3 tahun berturut-turut. Adapun hasil penelitian ini juga telah diapresiasi dan
mendapatkan penghargaan sebagai salah satu dari 104 Inovasi Prospektif Indonesia
2012 dari Kementrian Riset dan Teknologi.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
ix
xi
xiv
I
PENDAHULUAN ...............................................................
1
1.1
Latar Belakang ......................................................................
1
1.2
Tujuan Penelitian .................................................................
6
1.3
Manfaat Penelitian ...............................................................
6
1.4
Ruang Lingkup Penelitian ....................................................
6
II
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................
7
2.1
Pemanfaatan Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku
Pembuatan Biofoam ...........................................................
7
2.2
Teknologi Proses Produksi Biofoam ...................................
14
2.3
Karakteristik Biofoam .........................................................
17
III
BAHAN DAN METODE ..................................................
23
3.1
Bahan dan Alat ....................................................................
23
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................
23
3.3
Kerangka Pemikiran ............................................................
24
3.4
Tahapan Penelitian ..............................................................
25
3.5
Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan
Baku Pembuatan Biofoam ...................................................
33
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................
35
4.1
Karakteristik Bahan Baku ....................................................
35
4.2
Pengembangan Produk Biofoam ........................................
53
4.3
Perbaikan Karakteristik Biofoam ........................................
92
4.4. Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan
Baku Biofoam ......................................................................
117
Halaman
V
SIMPULAN DAN SARAN .................................................
119
5.1
Simpulan ..............................................................................
119
5.2
Saran .....................................................................................
121
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................
123
LAMPIRAN .................................................................................
133
DAFTAR TABEL
1.
Komposisi Biji Jagung dan Fraksinya ............................................
2.
Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Ampok dalam
100 g Bahan Kering.........................................................................
Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat,
Sizing Agent dan Gliserol ................................................................
Model Perhitungan Nilai Tambah ....................................................
3.
4.
5.
6.
7.
Karakteristik Fisikokimia Tapioka, Ampok , Pati Hidrofobik dan
Pati Asetat .......................................................................................
Karakteristik Amilograph Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan
Pati Asetat.........................................................................................
Korelasi antara Komposisi Kimia dengan Suhu Gelatinisasi ..........
Titik Transisi gelas (Tg) dan Titik Leleh (Tm) dari Tapioka,
Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat .........................................
9. Ukuran dan Bentuk Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik
dan Pati Asetat........ .........................................................................
10. Pengaruh Suhu Proses terhadap Penampakan Visual Biofoam .......
Halaman
12
29
33
34
35
42
44
8.
11. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar air (%) Biofoam .
12. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Daya Serap Air (%)
Biofoam ..........................................................................................
13. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Densitas (g/cm3)
Biofoam ...........................................................................................
14. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan
Biofoa................................................................................................
15. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Nilai 0Hue Biofoam .....
16. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tekan (N/mm2)
Biofoam ...........................................................................................
17. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tarik (N/mm2)
Biofoam ..........................................................................................
18. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Pertumbuhan Kapang
(%) Pada Permukaan Biofoam .......................................................
19. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Gula Pereduksi
(%) Biofoam ....................................................................................
20. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar air (%) Biofoam ......
21. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air (%)
Biofoam ...........................................................................................
22. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam .
46
51
54
57
59
61
63
65
66
68
72
74
76
78
79
Halaman
23. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan
Biofoam ...........................................................................................
24. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Nilai 0Hue Biofoam ..........
25. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan (N/mm2)
Biofoam ..........................................................................................
26. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik ( N/mm2)
Biofoam ............................................................................................
27. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang (%)
pada Permukaan Biofoam ..............................................................
28. Uji-T untuk Formulasi Terbaik (P1K3) dibandingkan dengan
Styrofoam .........................................................................................
29. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap
Karakteristik Sifat Fisik Biofoam............................................. ......
30. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap
Karakteristik Sifat Mekanis dan Biodegrabilitas Biofoam .............
31. Nilai Tg dan Tm pada pengukuran DSC Biofoam dengan
Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol .....................
32. Uji-T untuk Formulasi Terbaik P2S1G2 dibandingkan dengan
Styrofoam ........................................................................................
33. Hasil Perhitungan Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai
Bahan Baku Pembuatan Biofoam ...................................................
81
82
82
84
87
92
93
93
113
116
118
DAFTAR GAMBAR
1
Struktur Biji Jagung ......................................................................
Halaman
10
2
Tahapan Penelitian Biofoam Berbahan Baku Campuran
Tapioka dan Ampok ......................................................................
Diagram Alir Penelitian Biofoam ..................................
26
27
5
Profil Viskoamilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati
Asetat .............................................................................................
Profil DSC Ampok ..........................................................
42
47
6
Profil DSC Tapioka ......................................................................
47
7
Profil DSC Pati Hidrofobik ..........................................................
48
8
Profil DSC Pati Asetat ..................................................................
48
9
Penampakan sifat birefringent pada Ampok dan Tapioka............
49
10
14
Hasil SEM Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati
Asetat ..............................................................................
Penampakan Serat pada Ampok Hasil SEM dengan Perbesaran
1000 X ............................................................................
Aneka Bentuk Produk Biofoam yang Dihasikan dari Berbagai
Proses..............................................................................................
Pengaruh Jumlah Adonan terhadap Penampakan Biofoam
dengan Penambahan Ampok .........................................................
Pengaruh Kadar Serat terhadap Kadar Air Biofoam ...................
15
Pengaruh Kadar Serat terhadap Daya Serap Air Biofoam ............
59
16
Pengaruh Kadar Serat terhadap Densitas Biofoam .......................
Korelasi antara Densitas dan Daya Serap Air Biofoam..................
61
3
4
11
12
13
17
18
50
52
53
55
58
62
19
Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan
Biofoam ............ ............................................................................
Pengaruh Kadar Serat terhadap Kuat Tekan Biofoam...................
64
67
20
Pengaruh Kadar Serat terhadap Kuat Tarik Biofoam ..................
68
21
Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Struktur Morfologi
Irisan Melintang Biofoam ...................................................
Pengaruh Penambahan PVOH terhadap Struktur Morfologi Irisan
Melintang Biofoam ............................................................
22
69
70
Halaman
23
25
Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Penambahan PVOH
terhadap Pertumbuhan Kapang Aspergillus niger pada
Permukaan Biofoam Pengamatan Hari ke-5 .........................
Pengaruh Kadar Serat terhadap Pertumbuhan Kapang pada
Permukaan Biofoam ............................................... ...........
Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Air Biofoam ........
26
Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air Biofoam.
78
27
Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas Biofoam ........
80
28
29
Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan
Biofoam ..........................................................................
Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan Biofoam ....
81
83
30
Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik Biofoam.....
84
31
Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan Biofoam dengan
Penambahan PVOH ............................................................
Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tarik Biofoam dengan
Penambahan PVOH ...........................................................
Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang
pada Permukaan Biofoam ...................................................
Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang A.
niger pada permukaan Biofoam pada Pengamatan Hari ke-5......
Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kemampuan
Biodegradabilitas Biofoam Secara Enzimatis ..............................
Pengaruh Konsentrasi PVOH dan Rasio Tapioka:Ampok
terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam ........
Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Konsentrasi PVOH
terhadap Hasil Polarized Microscope Biofoam (Perbesaran 10X)
24
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
Korelasi antara Densitas terhadap Daya Serap Air Biofoam
dengan Penambahan Pati Hidrofobik.... ........................................
Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan dan Kuat Tarik
Biofoam dengan Penambahan Pati Hidrofobik .............................
Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Pertumbuhan
Kapang A.niger pada Permukaan Biofoam ................................
Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Struktur
Morfologi Irisan Melintang Biofoam ....................................
71
73
77
86
86
87
88
88
89
90
94
94
95
96
Halaman
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Struktur
Morfologi Permukaan Biofoam .........................................
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Kadar Air Biofoam ...........................................
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Daya Serap Air Biofoam ...................................
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Densitas Biofoam ....................................... ....
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol
terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam ..........
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam ......................
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Nilai Contact Angle Biofoam ..................... ....
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol
terhadap Bentuk Permukaan Tetesan Air pada Pengukuran
Contact Angle ..............................................................................
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol
terhadap Storage Modulus untuk Kuat Tekan Biofoam pada
Berbagai Tingkat Suhu .................................................................
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol
terhadap Storage Modulus untuk 3 Bending Biofoam pada
Berbagai Tingkat Suhu ..................................................................
97
99
100
102
103
104
105
106
108
109
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol
terhadap Tangen δ untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai
Tingkat Suhu .................................................................................
110
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol
terhadap Tangen δ untuk 3 Bending Biofoam pada Berbagai
Tingkat Suhu .................................................................................
111
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan
Biofoam ...........................................................................
Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Biodegradabilitas Biofoam secara Enzimatis ....
114
115
DAFTAR LAMPIRAN
1
Prosedur Analisis ............................................................................
2
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap
Kadar Air (%) Biofoam .................................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap
Daya Serap Air (%) Biofoam..........................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap
Densitas (g/cm3) Biofoam ..............................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap
Tingkat Kecerahan Biofoam ..........................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap
Nilai 0Hue Biofoam .........................................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap
Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam ......................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap
Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam........................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap
Pertumbuhan Kapang A. niger(%) pada Permukaan Biofoam .....
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap
Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam .............................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Kadar Air (%) Biofoam...................................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Daya Serap Air (%) Biofoam .........................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Densitas (g/cm3) Biofoam .............................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Tingkat Kecerahan Biofoam ..........................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Nilai 0Hue Biofoam .........................................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam .......................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam .........................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam ......................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam ..............................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik
terhadap Karakteristik Fisik Biofoam ...........................................
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Halaman
135
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
Halaman
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik
terhadap Karakteristik Mekanis dan Biodegradabilitas Biofoam....
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Kadar Air (%) Biofoam ..................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam ..........
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam ............
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Nilai 0Hue Biofoam .......................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam .......
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam .........
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Besaran Contact Angle (0) Biofoam
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada
Permukaan Biofoam .........................................................................
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Konsentrasi Gliserol terhadap Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam.
Perhitungan Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam .............
166
167
168
169
170
172
174
176
178
180
182
183
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Gaya hidup manusia yang kian praktis mendorong makin meningkatnya
konsumsi plastik dalam berbagai sisi kehidupan. Akibatnya ketergantungan
manusia terhadap kemasan plastik dalam kehidupan sehari-hari sangat tinggi.
Saat ini produksi plastik dunia diperkirakan mencapai 100 juta ton setiap
tahunnya (Anonymous, 2010). Padahal bahan baku pembuatan plastik berasal
dari minyak bumi yang persediaannya semakin menipis dan harganya terus
meningkat. Plastik juga sulit untuk terdegradasi secara alami sehingga bila tidak
ditangani dengan baik dapat mencemari lingkungan.
Salah satu jenis plastik yang sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari
hari adalah styrofoam yang sebenarnya merupakan nama dagang dari polistirena.
Pada awalnya polistirena digunakan
absorber untuk melindungi
produk
sebagai bahan pelindung
atau shock
yang bersifat fragile seperti produk
elektronik dan juga sebagai bahan insulasi karena memiliki kemampuan menahan
panas dan dingin yang baik (Sulchan dan Endang, 2007). Kemampuan untuk
menahan suhu tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menjadikan styrofoam
sebagai wadah kemasan pangan siap saji. Kelebihan styrofoam lainnya adalah
tidak mudah bocor dan berubah bentuk bila digunakan untuk menyimpan cairan,
mampu mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, memiliki
harga murah serta
memiliki bobot yang ringan.
Semua kelebihan tersebut
mendorong meningkatnya penggunaan styrofoam sebagai kemasan siap saji.
Namun demikian di balik semua keunggulan ini, penggunaan styrofoam
ternyata menyimpan bahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia maupun
merusak lingkungan. Proses pembuatan styrofoam umumnya dilakukan dengan
mencampurkan bahan utama berupa stirena dengan bahan lain yaitu seng dan
butadiena. Untuk meningkatkan kelenturannya, ditambahkan zat plastisizer seperti
dioctyl phthalate (DOP), butil hidroksi toluen atau n-butil stearat. Campuran
bahan tersebut kemudian ditiup dengan menggunakan blowing agent berupa gas
klorofluorokarbon (CFC) hingga terbentuk foam (Manurung, 2008).
2
Menurut beberapa hasil penelitian, stirena berpengaruh negatif terhadap
kesehatan manusia.
Paparan terhadap stirena dalam jangka panjang dapat
menyebabkan gangguan syaraf seperti kelelahan, sulit tidur, dan rasa gelisah.
Selain itu gangguan terhadap darah berupa penurunan kadar hemoglobin hingga
menyebabkan anemia, gangguan sitogenetik (gangguan kromosom dan kelenjar
limfa) serta efek karsinogenik (Dowly et al., 1976).
menunjukkan bahwa stirena juga berpengaruh terhadap
Penelitian lain juga
ketidakseimbangan
hormon yang berakibat pada timbulnya masalah reproduksi termasuk tingkat
kesuburan serta dapat mempengaruhi kualitas ASI dari ibu menyusui (Brown,
1991).
Styrofoam sebenarnya tidak cocok digunakan untuk mengemas produk
makanan atau minuman karena kemungkinan terjadinya migrasi bahan kimia yang
terkandung dalam styrofoam ke dalam makanan atau minuman tersebut. Migrasi
ini dipengaruhi oleh suhu, lama kontak, dan tipe pangan. Semakin tinggi suhu,
lama kontak dan kadar lemak suatu pangan, maka migrasinya juga akan semakin
besar.
Hal tersebut didukung oleh penelitian Lickly et al. (1995) yang
menyebutkan bahwa terjadi peningkatan migrasi sebesari 1,9X pada minyak
goreng dan etanol yang disimpan pada kemasan styrofoam pada pengamatan hari
ke empat. Sementara pada hari ke-10, migrasi akan meningkat menjadi 3,1X
dibandingkan saat awal penyimpanan.
Selain berdampak negatif terhadap kesehatan, styrofoam juga berpengaruh
buruk terhadap lingkungan
karena sifatnya yang tidak bisa diuraikan secara
alami. Data dari Environment Protection Agency (EPA) menyebutkan bahwa
limbah hasil pembuatan styrofoam ditetapkan sebagai limbah berbahaya ke lima
terbesar di dunia. Bau yang timbul selama proses produksinya mampu menganggu
pernapasan dan melepaskan 57 zat berbahaya ke udara. Kemasan styrofoam
umumnya digunakan hanya dalam waktu singkat terutama bila digunakan sebagai
wadah kemasan restoran cepat saji. Namun demikian membutuhkan waktu yang
sangat lama atau bahkan sama sekali tidak bisa diuraikan oleh alam sehingga akan
menumpuk dalam jumlah besar dan mencemari lingkungan (Anonymous, 2009).
Pengolahan limbah styrofoam dengan model pembakaran juga akan menghasilkan
senyawa berbahaya yaitu dioksin yang juga bersifat karsinogen.
3
Mengingat besarnya dampak buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan
styrofoam, maka harus dilakukan upaya untuk mencari alternatif bahan pengemas
lain yang lebih ramah lingkungan serta tidak berbahaya terhadap kesehatan
manusia disamping melakukan kegiatan 3R yaitu reuse, reduce dan recycle
terhadap kemasan styrofoam yang sudah ada.
Banyak penelitian yang telah
dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber
biologis seperti tanaman,
hewan atau mikroba. Adapun bahan yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai
bahan baku biopolimer adalah produk atau limbah pertanian seperti pati dan
selulosa dengan alasan sifatnya yang dapat diperbaharui, tersedia melimpah dan
harganya murah (Davis dan Song, 2006).
Untuk dapat menggantikan styrofoam sebagai kemasan pangan khususnya
pangan siap saji maka karakteristik biofoam yang dihasilkan bisa mendekati
karakteristik styrofoam seperti mudah dibentuk, memiliki bobot ringan, tahan
terhadap air, dapat menahan suhu panas maupun dingin, serta harga produksinya
cukup murah. Selain itu, kemasan alternatif tersebut haruslah bersumber dari
bahan baku yang dapat diperbaharui, dapat terurai secara alami serta tidak toksik
atau berbahaya bagi kesehatan.
Di antara berbagai produk maupun limbah pertanian, tampaknya pati serta
selulosa merupakan bahan yang potensial mengingat keberadaannya yang
melimpah serta harganya yang murah. Salah satu sumber pati yang produksinya
cukup tinggi adalah tapioka mengingat harganya yang lebih murah bila
dibandingkan dengan sumber pati lainnya.
Tapioka memilliki kadar protein,
kadar lemak serta amilosa yang lebih rendah dibandingkan jenis pati lainnya
(Breuninger et al., 2009). Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap proses
gelatinisasi maupun proses ekspansinya. Tapioka juga memiliki suhu gelatinisasi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Selain itu, tapioka
juga menghasilkan pasta yang jernih bila dipanaskan pada jumlah air berlebih.
Semua kelebihan tersebut mendorong peneliti untuk menggunakan tapioka
sebagai bahan baku pembuatan kemasan biodegradable foam (Cinelli et al., 2006;
Chiellini et al., 2009; Sin et al., 2010).
4
Namun demikian, mengingat produk yang dihasilkan dari pati tersebut
umumnya bersifat rapuh, kaku dan hidrofilik maka harus dilakukan penambahan
beberapa aditif untuk menghasilkan produk kemasan sesuai dengan karakteristik
yang diinginkan.
Selain itu, penggunaan pati adakalanya harus berbenturan
dengan kepentingan pangan sehingga harus dicari alternatif bahan berpati yang
tidak atau belum dijadikan konsumsi pangan agar program pemerintah untuk
ketahanan pangan tetap terwujud. Karena itu penggunaan limbah atau produk
samping industri pati tampaknya menjadi pilihan yang menarik.
Salah satu sumber bahan baku yang potensial adalah
ampok yang
merupakan hasil samping industri penggilingan jagung. Adapun alasan pemilihan
ampok adalah karena komposisinya yang masih mengandung pati 56.9% pati,
25.2% neutral detergent fiber, 11.1% protein dan 5.3% lemak (Sharma et al.,
2007).
Peneliti lain yaitu Shroder dan Heiman (1970) menyebutkan bahwa
kandungan ampok terdiri atas protein 10,47%, serat 5 %, lemak 6,5 % dan pati
66 %. Walaupun terdapat perbedaan dalam komposisinya, namun secara umum
ampok memiliki kandungan serat, pati serta protein yang masih cukup tinggi
sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofoam.
Ampok sendiri terdiri dari campuran beberapa bagian jagung berupa lembaga
(germ), kulit ari (bran), tip cap, dan sebagian endosperma yang keras (horny
endosperm).
Ampok memiliki potensi yang besar karena pencanangan swasembada
jagung tahun 2014 oleh pemerintah, telah mendorong meningkatnya produksi
jagung selama 5 tahun terakhir, yaitu sekitar 10,9 juta ton pada tahun 2003
meningkat menjadi 17,3 juta ton pada tahun 2011 (Kementan, 2012). Dengan
peningkatan produksi yang cukup besar ini maka pemerintah berharap pada tahun
2014, Indonesia mampu berubah dari Negara pengimpor jagung menjadi Negara
pengekspor dengan target produksi sekitar 30 juta ton.
Saat ini pengolahan jagung di Indonesia hanya terbatas pada penyediaan
jagung pipilan untuk kebutuhan industry pakan dan grits atau tepung jagung untuk
industri pangan. Ampok (corn hominy) adalah produk samping yang jumlahnya
cukup besar mencapai 35% dari total biji jagung yang digiling. Dengan makin
5
tingginya produksi jagung maka produksi ampok jagung juga akan meningkat
sehingga harus dicari alternatif pemanfaatannya. Saat ini harga ampok di pasaran
Indonesia relatif murah yaitu sekitar Rp. 1.800/kg, sedangkan menurut Sharma et
al. (2007) harga ampok dunia hanya sekitar US$ 83.7 per ton setara dengan
sekitar Rp.800,- per kg. Dengan demikian, pemanfaatan ampok sebagai bahan
baku pembuatan biofoam diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari
ampok tersebut disamping memberi manfaat lain yaitu meningkatkan kualitas
lingkungan dengan mengurangi pencemaran lingkungan serta meningkatkan
kesehatan masyarakat serta kesejahteraan petani jagung.
Selain itu dengan
penggunaan produk dan limbah pertanian, maka ketergantungan terhadap minyak
bumi sebagai bahan baku pembuatan styrofoam juga dapat dikurangi.
Pemanfaatan ampok yang tidak saja berfungsi sebagai sumber serat tetapi
sekaligus sebagai sumber pati, lemak dan protein pada pembuatan biofoam
merupakan suatu hal baru karena beberapa penelitian sebelumnya umumnya
menggunakan pati dan ditambahkan serat. Selain itu, penggunaan sizing agent
untuk memodifikasi permukaan sehingga dapat meningkatkan hidrofobisitas
biofoam juga belum banyak dilakukan. Umumnya penggunaan bahan tersebut
dilakukan pada industri kertas atau tekstil.
Penelitian ini sendiri berusaha
mengkaji fenomena penambahan komponen bahan baku terhadap karakteristik
produk biofoam yang dihasilkan baik dari sifat fisik, mekanis, termal dan
biodegradabilitas.
Produk biofoam sebenarnya sangat beragam bentuk dan kegunaannya. Ada
yang berbentuk butiran, lembaran, maupun cetakan. Teknologi proses pembuatan
biofoam juga sangat beragam dan teknologinya semakin bervariasi dengan
dikembangkannya berbagai metode untuk pembuatan biofoam dengan bentuk dan
fungsi tertentu. Pada penelitian ini, produk biofoam yang dihasilkan berbentuk
tray dan pot yang dibuat dengan menggunakan teknologi thermopressing.
Adapun aplikasi dari produk yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat
digunakan untuk mengemas produk segar maupun produk olahan dengan kadar air
sedang seperti buah-buahan utuh, sayuran atau produk pangan siap saji seperti
ayam goreng dan kue-kue.
6
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan produk
kemasan ramah lingkungan berbentuk foam berbahan baku tapioka dan ampok
yang memiliki sifat fisik dan mekanis mendekati styrofoam dengan tingkat
biodegradabilitas yang lebih tinggi. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, maka
penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan penelitian dengan tujuan masingmasing adalah 1) mengetahui karakteristik bahan baku, 2) memperoleh kondisi
proses dan formula terbaik pembuatan biofoam serta 3) mengetahui nilai tambah
tapioka dan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam.
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri
untuk menghasilkan kemasan yang ramah lingkungan sekaligus aman bagi
kesehatan.
Selain itu, penggunaan produk pertanian seperti pati dan limbah
pertanian, selain meningkatkan nilai tambah juga sekaligus meningkatkan
kesejahteraan petani.
Penggunaan bahan baku alami juga akan mengurangi
ketergantungan terhadap minyak bumi sehingga dapat menghemat devisa negara.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup dari penelitian ini agar dapat mencapai tujuan yang
diharapkan adalah :
1.
Bahan baku ampok yang digunakan berasal dari Industri Penggilingan
Jagung dengan ukuran 100 mesh. Polimer sintetik yang digunakan adalah
PVOH. Pati modifikasi yang digunakan terdiri dari pati hidrofobik dan pati
asetat dengan DS 0,3.
2.
Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan teknik thermopressing.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemanfaatan Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Pembuatan
Biofoam
Pati merupakan produk pertanian yang memiliki potensi tinggi untuk
bahan baku pembuatan kemasan ramah lingkungan. Pati dapat diperoleh dari
berbagai hasil pertanian baik dari umbi, batang maupun biji-bijian, tersedia
melimpah, dapat diperbaharui, dapat dimodifikasi serta memiliki kemampuan
mengembang atau berekspansi.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya menunjukkan bahwa ada peluang untuk menghasilkan kemasan
pangan yang mampu menjadi alternatif pengganti styrofoam yang disebut dengan
biofoam. Produk ini terbuat dari campuran pati, serat dan air yang diperoleh
melalui proses ekstrusi dan menghasilkan produk pelet yang disebut dengan
peanut foam atau loose fill foam (Bhatnagar dan Hanna, 1996; Fang dan Hanna,
2000). Selain itu, pembuatan biofoam juga dapat dilakukan dengan teknik lain
yaitu dengan thermopressing (Glenn dan Orts, 2001; Glenn et al., 2001; Shey et
al., 2006; Shogren et al., 1998; Shogren et al., 2002; Soykeabkaew et al., 2004).
Proses lain yang juga dapat digunakan untuk menghasilkan biofoam adalah
dengan teknologi microwave-assisted moulding.
Penggunaan microwave untuk
membantu proses pembuatan moulded starch foam sudah mulai dilakukan dengan
menggunakan pelet hasil ekstrusi (Zhou, 2004). Proses ini meliputi perubahan
bentuk dari pati menjadi pelet dengan proses ekstrusi dan selanjutnya pelet
tersebut digelembungkan dengan menggunakan microwave.
Pati merupakan bahan yang heterogen yang secara kimia terdiri dari
amilosa yang berantai lurus serta amilopektin yang memiliki rantai bercabang.
Secara fisik, pati memiliki daerah yang bersifat kristalin dan amorf (French,
1984). Struktur linier dari amilosa menyebabkan pati memiliki karakteristik yang
mendekati polimer sintetis.
Sementara struktur bercabang pada amilopektin
cenderung mengurangi mobilitas dari rantai polimer dan berhubungan dengan
semakin kuatnya ikatan hidrogen yang ada. Hampir semua pati alami merupakan
semi kristalin dengan tingkat kristalinitas 20-45%. Amilosa dan titik percabangan
8
dari amilopektin membentuk daerah amorf, sementara percabangan pendek dari
amilopektin membentuk daerah kristalin (Yu dan Chen, 2009).
Biodegradable foam yang dihasilkan dengan menggunakan pati sebagai
bahan bakunya dilaporkan memiliki sifat fisik dan mekanis yang belum
menggembirakan. Produk biofoam tersebut sangat sensitif terhadap kelembaban
serta memiliki sifat mekanis yang rendah (Glenn et al., 2001). Hal tersebut
disebabkan karena sifat alami pati yang bersifat hidrofilik sehingga mudah
menyerap air dari lingkungan sekitarnya. Air yang terserap tersebut selanjutnya
akan menyerang ikatan hidrogen sehingga kekuatan ikatan tersebut berkurang
dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kekuatan mekanis dari biofoam
(Guan dan Hanna, 2006).
Beberapa peneliti lain mencoba untuk memperbaiki karakteristik biofoam
dengan melakukan penambahan serat (Shogren et al., 2002); Cinelli et al., 2006;
Pimpa et al., 2007; Carmen et al.,2009; Canigueral et al., 2009; Mali et al., 2010
serta Benezet et al., 2011). Menurut Averous et al. (2001), penambahan serat
selulosa hingga 15% dapat meningkatkan ketahanan terhadap air sekaligus
meningkatkan kekuatan tariknya. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian
Streekumar et al. (2010) yang menyatakan bahwa penambahan serat sisal dapat
meningkatkan sifat mekanik dari biokomposit.
berpengaruh terhadap peningkatan
Penambahan serat juga
sifat hidrofobik biofoam seperti yang
dilaporkan oleh Lawton et al. (2004); Guan dan Hanna ( 2006) ; serta Salgado et
al.(2008).
Penurunan tingkat sensitivitas terhadap air ini disebabkan oleh
kemampuan serat dalam menyerap air yang lebih kecil dibandingkan dengan pati
(Benezet et al., 2011).
2.1.1. Tapioka
Salah satu sumber pati potensial di Indonesia adalah tapioka yang berasal
dari tanaman ubi kayu (Manihot esculenta). Berbeda dengan jenis pati lainnya,
tapioka memiliki kandungan lemak, protein, abu serta kadar amilosa yang rendah.
Kandungan protein dan lemak yang sangat rendah tersebut yang membedakan
tapioka dari pati serealia (Breuninger et al., 2009). Pada saat proses gelatinisasi,
tapioka akan membentuk pasta yang kental dengan warna yang jernih sehingga
9
banyak digunakan sebagai pengental pada industri pangan (Muadklay dan
Charoenrein, 2008). Selain itu, dengan berkembangnya teknologi modifikasi pati
maka penggunaan tapioka juga sudah meluas sebagai bahan baku pembuatan
kemasan ramah lingkungan, lapisan film, maupun bahan termoplastik (Biliaderis,
1992).
Tapioka umumnya memiliki kandungan amilosa yang hampir sama untuk
semua jenis yaitu berkisar 17-20%. Hal ini agak berbeda dengan jagung maupun
beras yang memilliki variasi kandungan amilosa cukup besar (0-70%) untuk
jagung dan (0-40%) untuk beras.
Tapioka umumnya memiliki granula yang
mulus permukaannya, berbentuk bulat dengan diameter (4-35µm).
Bila
dipanaskan dengan kondisi air berlebih, tapioka akan mengalami proses
gelatinisasi pada suhu sekitar 64,30C dan viskositas puncak akan dicapai pada
suhu sekitar 67,60C.
Komposisi pati yang cukup tinggi pada tapioka yang
dikombinasikan dengan berat molekul amilosa yang tinggi menyebabkan tapioka
menjadi sumber pati yang unik yang dapat langsung digunakan sebagai bahan
baku industri, namun juga merupakan bahan baku yang baik untuk dilakukan
proses modifikasi (Breuninger et al., 2009).
Tapioka memiliki kemampuan untuk berkontribusi pada proses puffing dan
popping bila dipanaskan menggunakan microwave.
Kemampuan tersebut
dimanfaatkan untuk menghasilkan produk pangan berupa snack melalui proses
ekstrusi.
Menurut Seibel dan Hu (1994), suhu die dan lama waktu tinggal
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi
tapioka. Pada tahapan selanjutnya, kemampuan ekspansi tersebut dimanfaatkan
untuk menghasilkan produk biofoam baik yang berbentuk butiran maupun
cetakan. Beberapa penelitian sebelumnya telah mencoba memanfaatkan tapioka
sebagai bahan baku pembuatan biofoam (Bhatnagar dan Hanna, 1996;
Soykeabkaew et al., 2004). Namun demikian, penggunaan tapioka yang belum
dimodifikasi sebagai bahan baku biofoam belum menghasilkan karakteristik
biofoam yang memuaskan.
Oleh sebab itu, peneliti selanjutnya mencoba
memodifikasi tapioka tersebut ataupun dengan menambahkan serat serta polimer
sintetis (Salgado et al., 2008; Schmidt dan Laurindo, 2010; Vercelheze et al.,
2012).
10
2.1.2. Ampok
Serat dapat diperoleh dari produk maupun limbah pertanian. Salah satu
sumber serat yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku biofoam
adalah ampok. Ampok merupakan produk samping industri penggilingan jagung
yang terdiri dari pericarp, tipcap, lembaga dan sebagian endosperm. Bagianbagian tersebut masih memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga umumnya
digunakan sebagai campuran pakan ternak.
Ampok sebenarnya juga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif dengan terlebih dahulu melakukan
modifikasi. Adapun bentuk produk yang dapat dihasilkan dengan memanfaatkan
ampok antara lain produk cereal breakfast ataupun juga berbentuk wafer.
Biji jagung umumnya terdiri atas tiga bagian utama yaitu 1) pericarp yang
merupakan lapisan luar yang tipis dan berfungsi mencegah embrio dari organisme
pengganggu dan kehilangan air, 2) endosperm yang merupakan cadangan
makanan dan beratnya mencapai 75% dari bobot biji jagung. Endosperm ini
mengandung 90% pati dan 10% protein, 3) lembaga atau germ yang merupakan
embrio tanaman yang terdiri dari plamule, akar radikal, scutelum dan koleoptil
(Hardman dan Gunsolus, 1998 dalam Nur Aini, 2009. Selain itu biji jagung juga
mengandung tip cap yaitu bagian yang menghubungkan biji dengan tongkol
(Gambar 1).
Gambar 1. Struktur biji jagung
Pericarp atau sering pula disebut sebagai hull atau bran, merupakan
lapisan pelindung biji serta mencegahnya dari penetrasi air. Pada saat pericarp ini
11
rusak maka air akan masuk dengan cepat ke dalam biji. Pericarp ini mengalami
perubahan yang cepat selama proses pembentukan biji. Pada waktu masih muda,
pericarp memiliki sel-sel yang kecil dan tipis tetapi dengan bertambahnya umur
biji lapisan tersebut menjadi semakin menebal dan membentuk membran yang
kemudian dikenal sebagai kulit biji atau pericarp. Menurut Hoseney (1998)
berat pericarp ini mencapai 5-6% dari bobot kernel. Pericarp tersebut selain
terdiri dari selulosa juga masih mengandung protein sebesar 10% (Subekti et al.,
2007).
Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung yang hampir
seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury endosperm) dan
bagian yang keras (horny endosperm). Proporsi amilosa dan amilopektin pada biji
jagung sangat bervariasi tergantung kepada varietasnya. Jagung dengan kadar
amilopektin tinggi dikenal dengan nama waxy corn sedangkan yang kadar amilosa
tinggi disebut dengan non waxy corn.
Pada endosperm yang transparan, granula pati berbentuk poligonal dan
saling berikatan satu sama lain oleh matrik protein yang mengandung zein,
sedangkan pada endosperm yang berwarna keruh atau opak, granula pati
berbentuk lonjong dan diliputi oleh matrik protein yang tidak mengandung zein
(Hoseney, 1998). Zein merupakan fraksi protein dengan proporsi terbesar pada
endosperm jagung (Laszrity, 1986).
Lembaga atau germ merupakan bagian biji jagung dengan proporsi yang
cukup besar. Pada jagung tipe dent, lembaga, meliputi 11,5% dari bobot biji
jagung keseluruhan. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu scutelum dan poros
embrio. Lembaga memiliki kadar lemak yang tinggi yaitu 33,2%, protein 18,4%
dan mineral 10,5% (Shukla dan Cheryan, 2001). Adapun komposisi biji jagung
dan fraksinya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai aneka produk pangan
dan non pangan diantaranya tepung jagung, minyak jagung, pati jagung dan
bioetanol. Bahkan limbahnya seperti tangkai, tongkol, daun dan juga klobot atau
kulit jagung juga sudah mulai dimanfaatkan.
12
Tabel 1. Komposisi Biji Jagung dan Fraksinya
Fraksi
Kernel
(%)
Biji utuh
Pati
(%)
Protein
(%)
Lemak
(%)
Gula
(%)
Abu
(%)
71.5
10.3
4.8
2.0
1.4
Endosperm
82.3
86.4
9.4
0.8
0.6
0.3
Germ
11.5
8.2
18.8
34.5
10.8
10.1
Bran
5.3
7.3
3.7
1.0
0.3
0.8
Tipcap
0.8
5.3
9.1
3.8
1.6
1.6
Sumber : Inglett, 1970
Jagung terdiri dari beberapa jenis tergantung pada komposisi bahan
penyusunnya. Jagung dengan soft endosperm umumnya digunakan dalam proses
wet milling untuk menghasilkan pati jagung yang dapat digunakan sebagai bahan
baku pembuatan pemanis, produk pangan, dan bioetanol. Jagung dengan hard
endosperm umumnya digunakan dalam proses dry milling dimana dihasilkan
bahan baku untuk pembuatan produk ekstrusi dan pakan (Rooney dan Suhendro,
2001).
Proses pembuatan tepung jagung biasanya dilakukan dengan cara
penggilingan kering (dry milling) (Yuan dan Flores, 1996). Penggilingan jagung
metode kering ini sendiri dibedakan lagi menjadi tiga metode yaitu 1) proses
degerming tempering; 2) stone ground process atau non degerming dan 3) proses
pemasakan secara alkali (nixtamalization).
Ketiga proses tersebut akan
menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik dan nilai gizi yang berbeda.
Proses degerming tempering merupakan metode yang paling umum digunakan
karena menghasilkan tepung jagung yang berukuran paling halus (Hansen dan
Van der Sluis, 2004 dalam Nur Aini, 2009).
Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung jagung adalah
proses pemisahan pericarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan
proses pengecilan ukuran. Pericarp harus dipisahkan karena kandungan seratnya
yang tinggi sehingga menyebabkan tepung jagung bertekstur kasar. Pemisahan
lembaga juga dilakukan karena lembaga mengandung kadar lemak yang tinggi
yang dapat menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap juga harus dipisahkan
13
karena dapat membuat tepung menjadi kasar dan terlihat bintik-bintik hitam yang
merusak warna tepung jagung.
Proses penggilingan jagung dengan metode kering menghasilkan limbah
yang terdiri dari campuran pericarp, sebagian endosperm, lembaga dan tip cap.
Pada proses penggilingan, bagian-bagian tersebut sebagian menjadi hancur dan
kemudian dipisahkan melalui proses penampian.
Sisa tampian yang disebut
dengan ampok biasanya digunakan sebagai campuran pakan ternak dan dijual
dengan harga yang sangat murah.
Bila dianalisa kandungan gizinya, sebenarnya ampok masih dapat
dimanfaatkan sebagai sumber pangan maupun diolah lebih lanjut sehingga dapat
diperoleh nilai tambah yang lebih tinggi. Kandungan protein dan karbohidrat
yang masih tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan bergizi tinggi seperti
cereal breakfast atau sebagai sumber dietary fibre karena kandungan seratnya
juga cukup tinggi. Namun demikian tentunya masih diperlukan proses modifikasi
untuk memperbaiki sifat fisikokimianya.
Kandungan serat yang ada pada ampok terutama berasal dari bagian
pericarp dan tipcap. Menurut Hu et al. (2008) kandungan pericarp atau bran ini
40% terdiri dari hemiselulosa, disusul selulosa, asam fenolik, lignin dan bahan
lainnya (protein, abu, dan lain lain). Hemiselulosa ini umumnya tidak larut air
dan terikat dengan kuat pada dinding sel dan selulosa oleh ikatan hidrogen.
Hemiselulosa yang umumnya terdapat pada jagung adalah arabinoxilan yang
memiliki lima dan enam atom karbon.
Arabinoxilan ini biasanya berbentuk
polimer yang lengket sehingga dapat digunakan sebagai bahan perekat, pengental
maupun bahan tambahan pada pembuatan plastik (Gaspar et al., 2005). Ampok
yang masih mengandung karbohidrat, protein berupa zein dan serat juga punya
potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan bioplastik dan
biofoam pengganti plastik dan styrofoam yang bersumber dari minyak bumi.
14
2.2. Teknologi Proses Produksi Biofoam
Pati memiliki beberapa sifat khas atau unik yang timbul karena pengaruh
panas atau gesekan seperti pembengkakan (swelling), gelatinisasi, melting,
kristalisasi dan dekomposisi (Paes et al., 2008). Pati juga memiliki kemampuan
untuk mengembang atau berekspansi. Sifat ini terlihat jelas pada produk-produk
ekstrusi seperti yang biasa digunakan sebagai makanan selingan.
Fenomena
ekspansi pati kemudian mendorong para peneliti untuk memanfaatkan pati untuk
menghasilkan biofoam berbentuk butiran atau sering disebut dengan loose fill
foam atau peanut foam ( Lacourse dan Altieri, 1989 )
Proses pembuatan loose fill foam atau peanut foam dilakukan dengan
menggunakan prinsip pembuatan produk ekstrudat seperti produk snack.
Penggunaan ekstruder akan menghasilkan panas dan gaya gesek yang
mengakibatkan pati mengalami gelatinisasi dan mencair.
Pati yang mencair
tersebut akan mendapat tekanan yang besar saat melewati lubang kecil pada die
sehingga uap air yang ada akan menimbulkan bubble effect yang menyebabkan
cairan pati tersebut mengembang. Selanjutnya kontak dengan udara luar yang
lebih rendah suhunya akan menyebabkan produk yang sudah mengembang
tersebut mengeras hingga diperoleh produk yang mengembang jauh lebih besar
dibandingkan bahan bakunya (Lawton et al., 2004).
Energi panas yang dihasilkan pada proses ekstrusi yang disertai dengan
gesekan akan menyebabkan pati beserta bahan campuran lainnya akan mengalami
perubahan fisikokimia. Menurut Kaletunc dan Breslauer (2003), suhu tinggi dan
gesekan selama proses ekstrusi mampu mengubah campuran pati dan protein pada
pati jagung menjadi bahan yang bersifat viskoelastis. Bahan ini selanjutnya akan
mengembang dan mengeras membentuk partikel padat berbentuk busa atau foam.
Kemampuan ekspansi produk ekstrusi ditentukan oleh banyak faktor yang
merupakan kombinasi antara kondisi proses dan kualitas bahan baku. Beberapa
penelitian sebelumnya telah mencoba melihat pengaruh dari variabel kondisi
proses seperti suhu tangki, kecepatan screw, dimensi die nozzle, konfigurasi
screw, ukuran tangki dan kelembaban (Bhattacharyya dan Hanna, 1987; Barres et
al., 1990).
Beberapa penelitian mengenai karakteristik bahan baku dan
15
pengaruhnya terhadap karakteristik bahan baku juga sudah banyak dilakukan
(.Shogren et al., 1998; Salgado et al., 2008; Benezet et al., 2011; Vercelheze et
al., 2012.). Adapun karakteristik bahan baku yang diamati antara lain komposisi
bahan baku, komposisi lemak, protein, serat dan pati serta rasio amilosa terhadap
amilopektin.
Hal tersebut dilakukan karena semua faktor tersebut akan
mempengaruhi reologi dan kekentalan dari pati (Chinnaswamy dan Hanna, 1988).
Aplikasi teknologi ekstrusi pada pembuatan biofoam
diawali oleh.
Chinnaswamy dan Hanna (1993) yang mengembangkan biofoam dengan
mencampurkan 70% pati dengan plastik.
Sementara itu, Neumann dan Seib
(1993) juga mencoba menghasilkan biofoam dengan menggunakan bahan baku
yang berasal dari pati jagung. Namun demikian, produk biofoam yang dihasilkan
memiliki sifat hidrofilik dan rapuh sehingga harus ditambahkan dengan beberapa
bahan lainnya.
Selanjutnya, beberapa peneliti lain juga mencoba melakukan hal yang sama
dengan menggunakan berbagai sumber pati dan mencampurkannya dengan
polimer sintetik (Bhatnagar dan Hanna, 1996; Wang et al.,1995; Wang dan
Shogren, 1997; Fang dan Hanna, 2000; Peng et al., 2005; Jiang et al., 2006;
Pushpadass et al., 2010). Namun, kurangnya kompatibilitas antara pati dengan
polimer sintetik akibat perbedaan tingkat polaritas menyebabkan produk biofoam
yang dihasilkan belum memuaskan. Untuk itu, beberapa peneliti lainnya mencoba
menambahkan plastisizer, agen pendispersi dan kompatibilizer serta cross linking
agent (Wang et al., 2004; Zou et al., 2007).
Seiiring dengan berkembangnya gaya hidup, kebutuhan akan biofoam yang
dapat
dibentuk
thermopressing.
sesuai
fungsinya
mendorong
berkembangnya
teknologi
Teknologi tersebut menggunakan prinsip pembuatan wafer
dimana adonan dicetak pada suhu dan tekanan tertentu. Kadar air yang ada pada
adonan akan menguap karena adanya panas yang kemudian berfungsi sebagai
blowing agent. Selama proses pencetakan, uap air tersebut akan mendorong
proses ekspansi dari adonan pati hingga terbentuk biofoam sesuai dengan bentuk
cetakan yang digunakan (Shogren et al., 1998).
16
Teknologi ini pertama kali diperkenalkan melalui penelitian Tiefenbacher
(1993) dan dilanjutkan oleh Shogren et al. (1998) yang menghasilkan biofoam
dengan bahan baku pati jagung dan pati gandum yang ditambahkan dengan guar
gum dan magnesium stearat.
Bila diamati struktur morfologinya dengan
menggunakan SEM, terlihat bahwa biofoam memiliki struktur seperti sandwich
dimana pada bagian luar memiliki struktur yang lebih padat sedang bagian
dalamnya berongga. Menurut Shogren et al.(1998), bagian luar dari biofoam
berbentuk lebih padat karena bagian tersebut yang menempel pada cetakan yang
memiliki tingkat panas lebih tinggi. Akibatnya adonan akan mengering dengan
cepat sehingga proses ekspansi tidak berjalan sempurna. Sementara itu, bagian
dalam berbentuk rongga besar dengan sel yang terbuka yang merupakan jalan
keluar dari uap panas yang bertekanan tinggi pada pembuatan biofoam. Seperti
halnya biofoam berbentuk butiran, biofoam yang dihasilkan dengan teknologi
wafer ini juga masih memillki sifat mekanis yang rendah serta tingkat sensitivitas
yang tinggi terhadap kelembaban.
Teknologi lainnya yang dapat digunakan untuk membuat biofoam adalah
proses puffing dengan menggunakan bahan baku pati dengan kelembaban rendah.
Proses ini seperti halnya pada pembuatan popcorn, dimana jagung dengan kadar
air 10-15% dipanaskan pada suhu sekitar 1770C hingga mencapai ukuran
maksimum (Hoseney et al., 1983). Proses puffing dengan sistem eksplosi ini juga
dapat dikembangkan untuk produk biji-bijian yang tidak bisa mengembang secara
alami ketika dipanaskan (Sullivan dan Craig, 1984).
Teknologi ini dapat
menghasilkan biofoam berbasis pati dengan densitas yang rendah dalam beberapa
detik saja. Namun demikian, teknologi ini kurang sesuai untuk membuat produk
biofoam dengan bentuk tertentu seperti yang diinginkan.
Selanjutnya dalam perkembangannya, teknologi lain yang juga dapat
digunakan untuk menghasilkan biofoam adalah dengan microwave assisted
moulded.
Saat ini penggunaan microwave untuk membantu proses pembuatan
moulded starch foam sudah mulai dilakukan dengan menggunakan pelet hasil
ekstrusi (Zhou, 2004). Proses ini meliputi perubahan bentuk dari pati menjadi
pelet dengan proses ekstrusi dan selanjutnya pelet tersebut digelembungkan
dengan menggunakan bantuan microwave.
17
Dari berbagai teknik serta jenis produk yang dapat dihasilkan pada
pembuatan biofoam, tampaknya teknologi thermopressing yang paling mudah
aplikasinya karena tidak memerlukan peralatan yang canggih seperti ekstruder.
Namun demikian, umumnya semua produk yang dihasilkan dengan berbagai
teknik tersebut masih memiliki sifat fisik dan mekanis yang belum
menggembirakan. Produk biofoam yang dihasilkan memiliki sifat rapuh, kaku,
dengan sifat mekanis yang rendah (Glenn et al., 2001).
2.3. Karakteristik Biofoam
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memperbaiki karakteristik
biofoam diantaranya seperti yang dilakukan oleh Cinelli et al. (2006), dengan
membuat kemasan habis pakai berupa piring yang dibuat dari pati kentang yang
dicampur dengan serat jagung dan PVOH. Penambahan serat jagung ternyata
dapat meningkatkan ketahanan terhadap airnya (water resistance), namun
demikian sifat serat jagung tersebut juga dapat menurunkan kekuatan mekanis
dari kemasan biofoam yang dihasilkan.
Penambahan serat pada pembuatan tray biofoam juga dilakukan oleh
Shogren et al.( 2002) dengan menggunakan serat yang berasal kayu lunak sebagai
reinforcing fillers. Adapun bahan baku utama yang digunakan yaitu pati kentang
dengan kadar amilopektin tinggi yang ditambahkan dengan pati jagung amilosa
tinggi. Selain itu ditambahkan pula dengan polimer sintetik PVOH dan aspen
fiber serta monostearil sitrat. Penambahan monostearil sitrat dimaksudkan untuk
meningkatkan ketahanan terhadap air. Sementara untuk mencegah adonan lengket
pada cetakan dilakukan penambahan magnesium stearat.
Beberapa penelitian lain yang juga menambahkan serat dalam pembuatan
biofoam diantaranya dilakukan oleh Mali et al. (2010) dengan menambahkan
serat yang berasal dari ampas bagas tebu. Sementara itu, Benezet et al. (2011)
menggunakan serat yang berasal dari tangkai gandum dan kapas.
Menurut
Ruggiero et al. (2006), penambahan serat selain berfungsi meningkatkan sifat
mekanis juga berkontribusi besar pada kelestarian lingkungan mengingat sifatnya
yang tidak mengandung bahan berbahaya, mudah didaur ulang serta murah.
Penambahan serat juga dapat mempercepat proses degradasi oleh mikroorganisme
18
yang menyukai komponen lignoselulosik yang ada pada serat (Chiellini et al.
(2009).
Selanjutnya Pimpa et al. (2007) menggunakan pati sagu yang ditambahkan
dengan PVOH dan PVP kemudian diiradiasi.
Hasilnya menunjukkan bahwa
campuran sagu dan PVOH hasil iradiasi lebih baik dibandingkan campuran sagu
dan PVP karena produk foam yang dihasilkan lebih fleksibel. Upaya perbaikan
lainnya dilakukan oleh Salgado et al. (2008) dengan menggunakan tapioka
sebagai bahan utamanya dengan campuran protein bunga matahari dan serat
selulosa. Penambahan protein dan serat tersebut untuk memperbaiki sifat fisik
dan mekanis biofoam yang dihasilkan.
Peningkatan konsentrasi serat dapat
meningkatkan sifat mekanis produk serta mengurangi kadar air produk setelah di
proses pencetakan. Peningkatan konsentrasi protein dapat mengurangi kadar air
setelah pencetakan, kapasitas penyerapan air serta laju kerusakan. Hasil terbaik
dari penelitian ini adalah dengan menggunakan campuran serat 20% dan protein
10%.
Selain penambahan serat, penambahan polimer sintetik
salah satunya
PVOH sebagai bahan campuran dalam pembuatan kemasan ramah lingkungan
semakin meningkat karena PVOH memiliki kompatibilitas yag tinggi dengan
polimer alami seperti pati.
Penambahan PVOH akan mempermudah proses
pembuatan kemasan ramah lingkungan serta hasil pencampurannya dapat
meningkatkan karakteristik biokomposit yang dihasilkan (Follain et al., 2005;
Russo et al., 2009).
Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa
pencampuran PVOH dengan pati akan menghasilkan komposit yang sinergis dan
kuat. Hal tersebut disebabkan karena adanya gugus hidroksil yang ada akan
membentuk ikatan hidrogen diantara molekul pati dan PVOH ( He et al., 2004;
Rahmat et al., 2009). Campuran ini juga akan terdispersi secara homogen dalam
larutan pada pembuatan film bila diamati dengan Scanning Electron Microscope
(SEM) (Tudorachi et al., 2000).
Pencampuran antara pati, serat serta polimer sintetik seringkali terkendala
oleh rendahnya kompatibilitas di antara ke tiga bahan tersebut. Hal ini akan
berakibat pada rendahnya sifat mekanis dari biofoam tersebut. Oleh karena itu
19
beberapa peneliti mencoba menambahkan kompatibilizer, agen pendispersi, dan
plastisizer.
Menurut Wang et al. (2004), plastisizer dapat berperan sebagai
pendispersi yang mampu mengurangi terjadinya aglomerasi sehingga dapat
meningkatkan kuat tarik pada komposit pati dan plastik LDPE. Sementara itu,
menurut Zhou et al. (2007), penambahan gliserol juga mampu menurunkan daya
serap air sehingga dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas komposit. Penambahan
plastisizer juga akan membantu pergerakan inter dan antar rantai molekul (Willet
et al., 1995) sehingga viskoelastisitas bahan akan meningkat..
Upaya selanjutnya yang dilakukan untuk memperbaiki karakteristik
biofoam adalah dengan penambahan bahan hidrofobik seperti wax, atau polimer
sintetik untuk meningkatkan hidrofobisitasnya (Shogren et al., 1998; Andersen et
al., 1999).
Selain itu,
penggunaan pati modifikasi juga dapat memperbaiki
karakteristik biofoam yang dihasilkan seperti yang telah dilakukan oleh Matsui et
al. (2004); Laratonda et al. (2005); Xu et al. (2005); Schmidt dan Laurindo
(2009). Pati yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan kemasan
biodegradable adalah pati asetat dengan nilai DS >1
karena memiliki
kemampuan termoplastis dan juga bersifat hidrofobik (Aburto et al., 1999; Guan
et al., 2004).
Asetilasi merupakan salah satu jenis modifikasi pati yang dilakukan secara
kimia dan tergolong pada proses esterifikasi. Esterifikasi pati yang dilakukan
bertujuan untuk meningkatkan suhu gelatinisasi, stabilitas termal dan mengurangi
kecenderungan retrogradasi.
Pati
asetat banyak dimanfaatkan pada berbagai
macam aplikasi seperti bahan pengental pada berbagai produk pangan, sebagai
bahan pengisi pada industri tekstil dan kertas serta sebagai bahan perekat.
Umumnya untuk produk pangan dibutuhkan Derajat Substitusi (DS) yang rendah
berkisar 0,01-0,2, namun untuk aplikasi sebagai bahan kemasan dibutuhkan pati
asetat dengan nilai DS yang cukup tinggi (>2) (Junistia et al., 2008).
Pati asetilasi DS rendah biasanya diperoleh melalui proses esterifikasi pati
alami dengan asetat anhidrat pada medium air dengan katalis dari golongan alkali.
Sementara itu, pati asetilasi DS tinggi umumnya memiliki kemampuan
termoplastis dan juga bersifat hidrofobik. Pati asetilasi DS tinggi ini umumnya
20
digunakan untuk pengikat tablet, perekat panas, filter rokok dan bahan kemasan
Aburto et al. (1999). Sementara menurut Guan et al. (2004), pati asetilasi bernilai
DS tinggi (>1) umumnya bersifat hidrofobik sehingga dapat digunakan sebagai
bahan kemasan seperti biofoam.
Nilai DS pati modifikasi sangat bervariasi tergantung pada sumber pati,
rasio amilosa dan amilopektin, jumlah bahan kimia yang ditambahkan serta
lamanya waktu reaksi. Proses asetilasi merupakan upaya untuk menghasilkan
material yang bersifat tahan air.
Namun demikian, proses asetilasi tersebut
tergolong mahal dan menyebabkan kemampuan bioplastik untuk terurai menjadi
berkurang (Rivard et al., 1995). Dengan demikian penggunaan pati asetat harus
dilakukan seoptimum mungkin agar tidak mengurangi kemampuan degradasi dari
biofoam.
Selain pati dan selulosa, produk pertanian lain juga menghasikan berbagai
bentuk polisakarida lain seperti guar gum, tepung konjac, yang dapat berfungsi
sebagai pengikat atau binder pada proses pembuatan biofoam.
Menurut
Poovarodom (2006), penambahan binder dapat mengurangi penyerapan air serta
meningkatkan ketahanan terhadap minyak.
Penambahan protein dapat meningkatkan sifat fisik dan mekanis dari
biofoam mengingat protein sendiri juga merupakan polimer alami yang mampu
membentuk matrik polimer. Beberapa protein alami yang untuk meningkatkan
sifat mekanis biofoam diantaranya penambahan zein (Gaspar et al., 2005); putih
telur (Wongsasulak et al., 2006; 2007) serta protein biji matahari (Salgado et al.,
2008) . Salgado juga menyebutkan bahwa penambahan protein tidak hanya
meningkatkan sifat mekanis tetapi juga dapat mengurangi sensitivitas terhadap air.
Namun demikian menurut Poovarodom (2006), penambahan protein >5% dapat
menyebabkan produk biofoam yang dihasilkan menjadi rusak akibat menjadi
gosong dan lengket pada cetakan.
Produk pertanian lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
biofoam adalah lemak. Walaupun bukan digunakan sebagai bahan baku utama,
lemak umumnya dibutuhkan sebagai bahan pembantu khususnya sebagai
demolding agent, untuk membantu mempermudah produk tidak lengket pada
21
cetakan.
Penambahan lemak juga diyakini mampu menurunkan sensitivitas
terhadap air mengingat sifat lemak yang hidrofobik.
Lemak dan produk
turunannya juga dapat berfungsi sebagai plastisizer yang berguna untuk
meningkatkan fleksibilitas produk serta memudahkan pada proses pelepasan dari
cetakan. Bahan lainnya lagi adalah lateks. Bahan ini digunakan sebagai bahan
tambahan untuk meningkatkan viskoelastisitas dari foam sehingga produk yang
dihasilkan memiliki tingkat kelenturan yang tinggi yang dibutuhkan apabila foam
digunakan sebagai shock absorber. Selain itu penambahan lateks juga mampu
meningkatkan ketahanan terhadap air karena sifatnya yang hidrofobik ( Cienelli et
al., 2009; Shey et al., 2006)
Sebenarnya masih banyak produk pertanian lain yang juga bisa
dimanfaatkan dalam pembuatan biofoam seperti chitosan yang merupakan hasil
perikanan (Kaisangsri et al., 2011); putih telur yang merupakan hasil ternak
(Wongsasulak et al., 2006) serta wax yang diperoleh dari peternakan madu.
Belum lagi bila ke dalam adonan biofoam ditambahkan bahan aktif yang diekstrak
dari berbagai tanaman untuk meningkatkan ketahanannya terhadap kerusakan
akibat mikroorganisme ataupun sebagai pewarna alami.
Bahan aditif lain yang umumnya digunakan pada pembuatan biofoam
adalah demolding agent atau lubricant untuk memudahkan pengeluaran produk
dari cetakan. Umumnya bahan yang digunakan adalah magnesium stearat seperti
yang dilakukan pada penelitian (Onteniente et al., 2000.).
Penambahan
hidrokoloid seperti guar gum dapat berfungsi sebagai nucleating agent ataupun
penstabil. Sementara penambahan agar berfungsi sebagai binder.
Meski sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan
produk biofoam, namun yang sudah komersial dan dipasarkan masih terbatas. Hal
ini disebabkan karena produk biofoam masih memiliki beberapa kelemahan
seperti tidak kedap air, serta sifat mekanik yang rendah. Untuk itu penelitian ini
masih terus dilanjutkan dengan menggunakan berbagai sumber pati, serat, polimer
serta melakukan modifikasi pati agar dapat menghasilkan produk biofoam yang
dapat bersaing dengan styrofoam.
22
23
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Bahan dan Alat
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini tapioka merek GA
yang diproduksi oleh industri tapioka di Lampung, sedangkan ampok diperoleh
dari salah satu perusahaan penggilingan jagung di Sidoarjo, JawaTimur. Pati
hidrofobik diperoleh dari salah satu perusahaan pati modifikasi lokal sedangkan
pati asetat diperoleh dari PT National Starch, Bangkok, Thailand. Polimer sintetik
PVOH merek Celvol. Bahan tambahan magnesium stearat, gliserol diperoleh dari
toko bahan kimia di kota Bogor. Sizing agent diperoleh dari Lab Packaging,
Kasetsart University. Agar dari PT Finechem dan NaOH dari Merck.
Adapun peralatan yang digunakan antara lain berupa mixer, mesin cetak
thermopressing, untuk pembuatan biofoam, serta peralatan lain yang digunakan
dalam analisis bahan baku maupun produk jadi seperti Scanning Electrone
Microscopy (SEM) merek Zeiss tipe Evo 50, Differential Scanning Calorymeter
(DSC) merek Shimadzu TA-50WSI, X Ray Diffractometer merek Shimadzu type
Maxima 7000, Texture Analyzer, Dynamic Mechanical Thermal Analysis (DMTA)
merek Gabo, Contact Angle Goneometer merek OCA20, Data Physic,
Chromameter, Amilograf merek Brabender, oven, desikator, dan alat gelas untuk
analisa.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada beberapa laboratorium diantaranya di
Laboratorium Balai Besar Pascapanen, Laboratorium TIN, dan Laboratorium
Polimer Pertamina Jakarta, serta Laboratorium Packaging and Materials
Technology, Kasetsart University, Thailand. Selain itu beberapa analisa juga
dilakukan di Laboratorium Sentra Teknologi Polimer, Serpong, Laboratorium
Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan serta Laboratorium Kimia Terpadu, IPB.
Adapun waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada kurun waktu November
2010 hingga Mei 2012.
24
3.3. Kerangka Pemikiran
Ketergantungan manusia terhadap styrofoam yang sudah sangat tinggi,
padahal banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian styrofoam
tersebut baik terhadap kesehatan maupun kelestarian lingkungan. Untuk itu perlu
dilakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap styrofoam dengan
menyediakan kemasan alternatif yang aman bagi kesehatan serta ramah terhadap
lingkungan. Salah satu bahan yang memiliki potensi adalah pati, karena memiliki
kemampuan ekspansi serta bersifat termoplastis. Sayangnya menurut beberapa
hasil penelitian sebelumnya, biofoam yang dihasilkan oleh bahan berpati memiliki
beberapa kelemahan diantaranya, rapuh serta hidrofilik sehingga aplikasi
penggunaannya masih sangat terbatas.
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk memperbaiki karakteristik pati
tersebut antara lain dengan melakukan modifikasi pati, menambahkan bahan
hidrofobik, polimer sintetis ataupun aditif lainnya.
Penelitian ini dilakukan
sebagai upaya untuk mengembangkan produk kemasan yang aman bagi kesehatan
dan ramah lingkungan yang dapat menggantikan penggunaan styrofoam,
khususnya sebagai wadah kemasan pangan sekali pakai.
Hal ini mengingat
pemakaian kemasan styrofoam sekali pakai yang sangat banyak padahal hanya
digunakan satu kali saja dan langsung dibuang.
Sementara itu, waktu yang
dibutuhkan untuk mendegradasi styrofoam tersebut lebih dari 500 tahun.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengurangi kelemahan yang ada pada
biofoam berbasis pati dengan menambahkan beberapa bahan tambahan yang
diharapkan akan menghasilkan biofoam dengan karakteristik fisik, mekanis dan
biodegradabilitas yang baik.
Menurut beberapa literatur, karakteristik biofoam dipengaruhi oleh
komposisi bahan baku terutama sumber pati serta kondisi proses pembuatannya.
Komposisi bahan baku meliputi komposisi kimia, rasio amilosa/amilopektin,
ukuran partikel yang semuanya akan berpengaruh terhadap sifat fungsional dari
pati tersebut dan pada akhirnya berpengaruh terhadap karakteristik biofoam.
Sementara itu, kondisi proses baik suhu, tekanan, waktu proses thermopressing
25
juga akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi dari bahan baku yang pada
akhirnya akan mempengaruhi karakteristik produk yang dihasilkan.
Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan menggunakan thermopressing
dimana adonan dicetak dan dipanaskan pada suhu dan tekanan tertentu selama
beberapa waktu.
Penentuan kondisi proses sendiri ditentukan oleh formulasi
bahan yang digunakan. Formulasi dan kondisi proses ini sangat mempengaruhi
karakteristik biofoam yang dihasilkan.
Dengan penggunaan bahan baku yang sedapat mungkin bersifat alami maka
diharapkan biofoam yang dihasilkan
dapat menyediakan kemasan alternatif
pengganti styrofoam yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Dengan
penggunaan bahan alami seperti tapioka dan ampok maka diharapkan
ketergantungan terhadap minyak bumi untuk bahan baku styrofoam dapat
dikurangi. Selain itu penggunaan ampok sebagai bahan baku juga diharapkan
dapat meningkatkan nilai tambah bagi ampok itu sendiri serta membuka lapangan
kerja baru bagi masyarakat.
3.4. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahapan yaitu (1) Karakterisasi bahan
baku pembuatan biofoam, (2) Pengembangan produk biofoam berbahan baku
tapioka dan ampok, (3) Perbaikan karakteristik biofoam dan (4) Analisis nilai
tambah tapioka dan ampok sebagai bahan baku biofoam, sebagaimana tersaji pada
Gambar 2.
3.4.1. Karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional bahan baku.
Tahapan awal penelitian ini adalah melakukan karakterisasi bahan baku
utama yang digunakan dalam penelitian yaitu ampok, tapioka, pati hidrofobik dan
pati asetat. Karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis komposisi kimia bahan
yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat (by
difference), kadar pati serta rasio amilosa dan amilopektin. Analisis sifat termal
meliputi suhu gelatinisasi, suhu maksimum, viskositas maksimum, viskositas
breakdown, viskositas setback dan viskositas akhir dengan menggunakan
26
Viscoamylograph Analyzer. Selain itu juga dilakukan pengukuran titik transisi
gelas dan titik leleh (melting point) dengan menggunakan alat Differential
Scanning Calorymeter (DSC). Analisis sifat fungsional meliputi daya serap air
dari masing-masing sumber pati serta pengamatan terhadap struktur morfologi
dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Polarized
microscope. Prosedur evaluasi karakteristik bahan baku disajikan pada Lampiran
1.
Karakterisasi Bahan
Baku
Pengembangan Produk
Biofoam
Penambahan Serat
Penambahan Polimer
Sintetik
Perbaikan Karakteristik
Biofoam
Penambahan Pati
Hidrofobik
Penambahan Pati Asetat,
Sizing Agent dan Gliserol
Biofoam
Karakterisasi
Biofoam
Analisis Nilai
TambahTapioka dan
Ampok,
Gambar 2 . Tahapan Penelitian Biofoam Berbahan Baku Campuran
Tapioka dan Ampok
27
3.4.2. Pengembangan Produk Biofoam
3.4.2.1. Penentuan Kondisi Proses
Pengembangan produk biofoam diawali dengan penentuan kondisi proses
thermopressing yang meliputi penentuan suhu proses dan lama waktu proses serta
volume adonan yang digunakan pada pembuatan biofoam. Adapun selang suhu
yang diujikan pada tahapan ini berkisar 140-1800C, sedangkan lama waktu proses
diujikan 2-4 menit. Jumlah adonan yang dimasukkan ke dalam cetakan dilakukan
dengan variasi 50-80. Karakterisasi biofoam pada tahapan ini dilakukan secara
visual dengan melihat warna dan penampakan biofoam yang dihasilkan. Diagram
alir selengkapnya seperti tersaji pada Gambar 3.
Bahan Baku
Tapioka:Ampok
(3 : 1)
Pencampuran bahan kering
menggunakan mixer selama 5 menit
Air
(1 : 1)
Pembuatan adonan menggunakan
mixer selama 5 menit
Pencetakan menggunakan
thermopressing machine
Pendinginan 30 menit
Biofoam
Karakterisasi melalui Penampakan
Visual
Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Biofoam
28
3.4.2.2. Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Ampok sebagai Sumber
Serat
Sebagaimana telah disebutkan pada beberapa literatur bahwa pembuatan
biofoam dengan hanya menggunakan bahan baku pati akan menghasilkan produk
yang sensitif terhadap kelembaban, rapuh dan kaku sehingga pada tahapan awal
ini dilakukan penambahan serat yang bersumber dari ampok untuk menutupi
kelemahan tersebut. Sumber serat tersebut diperoleh dari penambahan ampok
yang memiliki kandungan serat sekitar 25%. Adapun perlakuan yang digunakan
dalam tahapan ini adalah rasio tapioka:ampok terdiri dari empat taraf yaitu (4:0);
(3:1); (2:2) dan (1:3). Perlakuan lain adalah konsentrasi penambahan PVOH yang
terdiri atas dua taraf yaitu 0% dan 30% sebagai kelompok. Penelitian dilakukan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga kali yang dilanjutkan
dengan uji Duncan.
Model matematik rancangan percobaan tersebut adalah
sebagai berikut :
Yijk = µ + Ai + Bj + Ɛijk
Dimana :
i = 1,2,3,4 (taraf rasio tapioka:ampok)
j = 1,2 ( kelompok)
k = 1,2,3 (taraf ulangan)
Keterangan
Yijk=
Hasil pengamatan karena pengaruh taraf ke-i dari rasio tapioka:ampok,
pada kelompok ke-j dari konsentrasi PVOH serta taraf ke-k dari
ulangan
Ai =
Pengaruh rasio tapioka:ampok ke-i
Bj
Pengaruh kelompok konsentrasi PVOH ke-j
Ɛijk
=
=
Galat percobaan pada ulangan ke-k
Formula untuk pembuatan biofoam pada tahapan pertama ini adalah
seperti tersaji pada Tabel 2. Penambahan air dilakukan dengan perbandingan 1:1
terhadap bahan kering. Pada pembuatan biofoam, selain penambahan tapioka,
ampok dan PVOH, juga dilakukan penambahan bahan lain seperti air dan Mg
stearat dalam jumlah yang sama.
29
Pengamatan yang dilakukan terhadap kadar air, densitas, warna, daya
serap air, struktur morfologi, sifat termal, kuat tarik, kuat tekan dan
biodegradabilitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Adapun prosedur
karakterisasi produk biofoam sebagaimana tersaji pada Lampiran 1. Dua hasil
terbaik berdasarkan sifat hidrofobisitas, sifat mekanis dan biodegradabilitasnya
akan digunakan pada tahapan selanjutnya untuk menentukan formula pembuatan
biofoam.
Tabel 2. Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Ampok dalam 100 g
Bahan Kering
Rasio Tapioka
Ampok
(4 : 0)
(3 : 1)
(2 : 2)
(1 ; 3)
(4 : 0)
(3 : 1)
(2 : 2)
(1 ; 3)
Kelompok
(Konsentrasi
PVOH)
0%
30 %
Tapioka
(%)
Ampok
(%)
PVOH
(%)
100
75
50
25
70
52,5
35
17,5
0
25
50
75
0
17,5
35
52,5
0
0
0
0
30
30
30
30
3.4.2.3. Pembuatan Biofoam dengan Penambahan PVOH Sebagai Sumber
Polimer Sintetik
Biofoam yang terbuat hanya dari polimer alami (pati dan serat), umumnya
memiliki sifat mekanis yang rendah sehingga harus diperbaiki dengan
penambahan polimer sintetik antara lain dengan penambahan PVOH. Perlakuan
yang digunakan pada tahapan ini adalah konsentrasi PVOH yang bervariasi dari
0-50 % dari bobot bahan kering yang digunakan. Sebagai kelompok, dipilih dua
perlakuan terbaik dari tahapan sebelumnya. Penelitian dilakukan dengan
Rancangan Acak Kelompok dengan tiga kali ulangan yang dilanjutkan dengan uji
Duncan. Model matematik rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + Pi + Kj + Ɛijk
30
Dimana
i = 1,2 (kelompok)
j = 1,2,3,4,5,6 (taraf konsentrasi PVOH)
k = 1,2,3 (taraf ulangan)
Keterangan
Yijk =
Hasil pengamatan karena pengaruh kelompok ke-i dari rasio
tapioka:ampok, taraf ke-j dari konsentrasi PVOH serta taraf ke-k dari
ulangan
Pi =
Pengaruh kelompok rasio tapioka:ampok ke-i
Kj
Pengaruh konsentrasi PVOH ke-j
Ɛijk
=
=
Galat percobaan pada ulangan ke-k
Untuk memudahkan pengeluaran produk biofoam dari cetakan maka
dilakukan penambahan Mg stearat dengan jumlah 1,5% dari berat bahan kering.
Penambahan air pada pembuatan adonan dilakukan dengan rasio 1:1 terhadap
bahan kering. Hasil terbaik pada tahapan ini akan digunakan sebagai formula
pembuatan biofoam.
3.4.3. Perbaikan Karakteristik Biofoam
3.4.3.1. Peningkatan Hidrofobisitas Biofoam dengan Penambahan Pati
Hidrofobik
Biofoam yang terbuat hanya dari bahan berpati, selain memiliki sifat
mekanis yang rendah tetapi juga bersifat hidrofilik yang memang berasal dari sifat
polimer alami yang sensitif terhadap kelembaban. Pada tahapan ini dilakukan
upaya perbaikan sifat hidrofilik
agar biofoam yang dihasilkan mampu
menggantikan fungsi kemasan styrofoam sebagai wadah kemasan siap saji
termasuk pangan dengan kadar air tinggi. Upaya perbaikan yang dilakukan pada
tahapan ini adalah dengan menggantikan sebagian atau seluruh proporsi tapioka
dengan pati hidrofobik. Adapun perlakuan yang digunakan pada tahapan ini
hanya satu faktor yaitu rasio tapioka:pati hidrofobik yang terdiri dari lima taraf
yaitu : (4:0), (3:1), (2:2), (1:3) dan (0:4). Untuk formulasi lainnya seperti ampok,
PVOH, air dan Mg stearat adalah tetap sesuai dengan hasil terbaik pada tahapan
sebelumnya. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga
31
kali ulangan yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Model matematik rancangan
percobaan tersebut adalah sebagai berikut :
Yij = µ + Xi + Ɛij
Dimana
i = 1,2,3,4,5 (taraf rasio tapioka:pati hidrofobik)
j = 1,2,3 (taraf ulangan)
Keterangan
Yijk = Hasil pengamatan karena pengaruh taraf ke-i dari rasio tapioka:pati
hidrofobik serta taraf ke-j dari ulangan
Xi = Pengaruh rasio tapioka:pati hidrofobik ke-i
Ɛij
=
Galat percobaan pada ulangan ke-j
Pengamatan yang dilakukan terhadap biofoam yang dihasilkan meliputi
kadar air, densitas, warna, daya serap air, struktur morfologi, sifat termal, kuat
tarik, kuat tekan dan biodegradabilitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
3.4.3.2. Peningkatan Hidrofobisitas dan Viskoelastisitas Biofoam dengan
Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Plastisizer
Peningkatan sifat hidrofobik biofoam juga dapat dilakukan dengan
penambahan pati asetat maupun penambahan sizing agent. Sizing agent
umumnya digunakan pada industri kertas atau tekstil untuk meningkatkan
hidrofobisitas pada permukaan bahan. Adapun jenis sizing agent yang digunakan
adalah dari jenis alkyl ketene dimer (AKD) dan produk coating yang merupakan
hasil penelitian Kasetsart University berupa campuran pati hidrofobik dengan
bahan aktif carvacrol.
Pada tahapan ini juga dilakukan upaya peningkatan viskoelastisitas biofoam
dengan penambahan gliserol yang berfungsi sebagai plastisizer. Selain itu, juga
dilakukan beberapa tambahan seperti NaOH untuk membantu proses pelunakan
serat serta agar yang berfungsi sebagai perekat.
Adapun perlakuan yang digunakan pada tahapan ini ada tiga faktor yaitu:
rasio tapioka:pati asetat dengan 2 taraf (4:1) dan (3:2); jenis sizing agent yang
digunakan dengan dua taraf yaitu sizing agent A (AKD) dan sizing agent B (pati
32
hidrofobik dan carvacrol) serta konsentrasi gliserol dengan tiga taraf yaitu 0; 5
dan 10%.
Sementara itu, penambahan ampok, PVOH, NaOH, agar dan air
dilakukan dalam jumlah yang tetap untuk semua perlakuan. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap Faktorial
dengan tiga kali
ulangan yang diikuti dengan uji Duncan. Adapun pengamatan yang dilakukan
sama seperti tahapan sebelumnya namun ditambahkan pengamatan sifat termal
dengan menggunakan Dynamic Mechanical Thermal Analyisis (DMTA) untuk
mengetahui viskoelastisitasnya serta pengamatan terhadap contact angle untuk
mengetahui tingkat hidrofobisitas permukaan biofoam.
Model matematik rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut :
Yijkl = µ + Pi + Sj + Gk + (PS)ij + (PG)ik + (SG)jk + (PSG)ijk + Ɛijkl
Dimana
i = 1,2 (taraf rasio tapioka:pati asetat)
j = 1,2 (taraf jenis sizing agent)
k = 1,2,3 (taraf konsentrasi gliserol)
l = 1,2,3 (taraf ulangan)
Keterangan
Yijkl =
Hasil pengamatan karena pengaruh taraf ke-i dari rasio tapioka:pati
asetat, tarah ke-j dari jenis sizing agent, taraf ke-k dari konsentrasi
gliserol serta taraf ke-l dari ulangan
Pi
=
Pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i
Sj
=
Pengaruh jenis sizing agent ke-j
Gk =
Pengaruh konsentrasi gliserol ke-k
(PS)ij = Interaksi pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i dengan jenis sizing agent
ke-j
(PG)ik= Interaksi pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i dengan konsentrasi
gliserol ke-k
(SG)jk= Interaksi pengaruh jenis sizing agent ke-j dengan konsentrasi gliserol kek
(PSG)ijk= Interaksi pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i dengan jenis sizing
agent ke-j serta konsentrasi gliserol ke-k
Ɛijkl
= Galat percobaan pada ulangan ke-l
33
Formula bahan yang dilakukan pada tahapan ini tersaji pada Tabel 3
Sementara itu, pada tahapan ini, jumlah cairan yang ditambahkan adalah sekitar
44% dari total adonan. Bahan cair ini meliputi gliserol, NaOH, sizing agent dan
Air.
Tabel 3. Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat, Sizing
Agent dan Gliserol
Perlakuan
Tapioka
(%)
PA
(%)
28
21
28
21
28
21
28
21
28
21
28
21
7
14
7
14
7
14
7
14
7
14
7
14
P1S1G0
P2S1G0
P1S1G1
P2S1G1
P1S1G2
P2S1G2
P1S2G0
P2S2G0
P1S2G1
P2S2G1
P1S2G2
P2S2G2
Ampok PVOH
(%)
(%)
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
Agar
(%)
SA
(%)
NaOH
(%)
Gliserol
(%)
Air
(%)
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0
0
5
5
10
10
0
0
5
5
10
10
41,5
41,5
36,5
36,5
31,5
31,5
41,5
41,5
36,5
36,5
31,5
31,5
Keterangan :
PA
SA
P
S
G
: Pati Asetat
: Sizing Agent
: Rasio Tapioka:Pati Asetat; P1(4:1) dan P2 (3:2)
: Jenis Sizing Agent; S1 (AKD); S2(Carvacrol)
: Konsentrasi gliserol; G0(0%); G1(5%) dan G2(10%)
3.5.
Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok Sebagai Bahan Baku
Pembuatan Biofoam
Perhitungan nilai tambah dilakukan dengan menggunakan metode Hayami
dan Kawagoe (1993) sebagaimana tersaji pada Tabel 4, dimana pengukuran nilai
tambah dilakukan dengan menghitung nilai tambah yang diakibatkan oleh adanya
proses pengolahan tapioka dan ampok menjadi kemasan biodegradable foam.
Selain itu juga dilakukan perhitungan rasio nilai tambah (%), imbalan tenaga
kerja (Rp./kg), bagian tenaga kerja (%), tingkat keuntungan (%), marjin
keuntungan (Rp/kg) dan pendapatan tenaga kerja (%).
34
Tabel 4. Model Perhitungan Nilai Tambah
No
Variabel
I
Output, input dan harga
II
III
Perhitungan
1. Output (kg/produksi)
a
2. Bahan baku (kg/produksi)
b
3. Tenaga kerja (HOK/produksi)
c
4. Faktor konversi (1:2)
d = a/b
5. Koefisien tenaga kerja (HOK/kg)
e = c/b
6. Harga output (Rp/kg)
f
7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK)
g
Pendapatan dan Keuntungan
1. Harga bahan baku (Rp/kg)
h
2. Sumbangan input lain (Rp/kg)
i
3. Nilai output (Rp/kg)
j=dxf
4. Nilai tambah (Rp/kg)
k=j–i–h
5. Nisbah nilai tambah (%)
l = k/j x 100%
6. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg)
m=exg
7. Bagian tenaga kerja (%)
n = m/k x 100%
8. Keuntungan (Rp/kg)
o=k–m
9. Tingkat keuntungan (%)
p = o/j x 100%
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
Marjin keuntungan
q=j–h
-
Pendapatan tenaga kerja (%)
r = m/q x 100%
-
Sumbangan input lain (%)
s = i/q x 100%
-
Keuntungan perusahaan (%)
t = o/q x 100%
Sumber : Hayami dan Kawagoe, 1993
35
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Bahan Baku
Kemampuan ekspansi suatu produk ditentukan oleh banyak faktor yang
merupakan kombinasi antara kondisi proses dan karakteristik bahan baku.
Karakteristik bahan baku meliputi komposisi air, pati, lemak, protein, serat serta
rasio amilosa terhadap amilopektin akan berpengaruh terhadap aliran dan
kekentalan dari pati atau tepung (Chinnaswamy dan Hanna, 1988).
Karakteristik bahan baku dilakukan terhadap sifat fisikokimia dari bahan
baku utama yang digunakan pada penelitian ini yaitu tapioka, ampok, pati
hidrofobik dan pati asetat. Khusus untuk ampok, sebelum digunakan sebagai bahan
baku pembuatan biofoam, terlebih dahulu dilakukan pengecilan ukuran hingga 100
mesh. Adapun hasil pengamatan terhadap karakteristik bahan baku tersebut seperti
tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik Fisiko Kimia Ampok, Tapioka, Pati Hidrofobik dan Pati
Asetat
Parameter
Ampok
Tapioka
Pati
Pati Asetat
Hidrofobik
Kadar air (% bb)
8,74±0,27
12,33±0,39
5,21±0,21
10,50±0,44
Kadar abu (% bk)
2,71±0,02
0,10±0,01
1,14±0,02
0,17±0,02
Kadar lemak (% bk)
8,90±0,56
0,19±0,03
0,17±0,02
0,13±0,01
Kadar protein (% bk)
11,18±0,22
0,55±0,02
0,24±0,03
0,22±0,04
Kadar pati (% bk)
69,26±1,09
97,89±1,46
97,86±0,88
99,08±0,17
Kadar Serat (% bk)
7,96±0,23
1,27±0,04
0,59±0,02
0,39±0,04
Amilosa (% bk)
25,09±0,42
26,61±0,21
26,20+0,15
30,09±0,31
Daya Serap Air (%)
215,41±5,07
65,81±2,65
13,31±0,84
96,21±4,90
Pemilihan tapioka sebagai bahan baku pembuatan biofoam didasarkan atas
beberapa hal yaitu ketersediaannya di pasaran dan harganya yang lebih murah
dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Selain itu, tapioka juga memiliki kadar
protein, kadar lemak dan kadar amilosa yang lebih rendah dibandingkan pati
lainnya sehingga akan berpengaruh
terhadap kemampuan ekspansinya untuk
36
menghasilkan biofoam. Beberapa peneliti sebelumnya telah berhasil memproduksi
kemasan biofoam berbahan baku tapioka yang ditambahkan dengan bahan
tambahan lain, baik dengan teknik ekstrusi (Salgado et al., 2008; Mali et al., 2010)
maupun dengan thermopressed (Shogren et al., 1998; 2002;Soykeabkaew et al.
(2004).
Namun demikian, tapioka saja tampaknya belum cukup untuk
menghasilkan biofoam yang memiliki karakteristik mendekati styrofoam.
Ampok sebagai bahan baku tambahan untuk pembuatan biofoam memiliki
kandungan pati pada ampok yang masih tinggi. Pati yang berasal dari serealia
umumnya memiliki kemampuan ekspansi yang lebih tinggi dibandingkan yang
berasal dari umbi (Schmidt dan Laurindo, 2010).
Namun demikian, pati serealia
di Indonesia umumnya lebih mahal serta jumlahnya terbatas sehingga dilakukan
pencampuran antara tapioka dengan produk serealia. Selain itu, ampok juga
mengandung serat yang berasal dari pericarp serta tipcap yang diharapkan bisa
memperkuat matriks polimer yang dihasilkan oleh tapioka.
Ampok juga
mengandung protein yaitu zein yang cukup tinggi kadar lemak yang cukup tinggi
yang berasal dari bagian germ.
Penambahan pati hidrofobik dan pati asetat ditujukan untuk meningkatkan
sifat hidrofobik biofoam. Menurut beberapa penelitian sebelumnya (Miladinov dan
Hanna, 1999; Guan dan Hanna, 2006), sifat hidrofobik biofoam dapat ditingkatlan
dengan penggunaan pati termodifikasi.
Hasil analisis terhadap komposisi kimia bahan baku menunjukkan bahwa
ampok masih mengandung kadar pati sekitar 69,26% dengan kadar amilosa 25,09%
dan amilopektin 74,91%.
Nilai ini agak berbeda
dengan literatur yang
dikemukakan oleh Sharma et al (2007), yaitu kadar pati pada ampok sebesar 57%.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ukuran ampok yang digunakan. Pada
penelitian ini, ampok yang digunakan adalah yang berukuran 100 mesh sehingga
komponen yang lebih dominan adalah bagian endosperm, sementara bagian lain
seperti pericarp dan tipcap yang lebih banyak mengandung serat tidak bisa
melewati saringan 100 mesh tersebut. Hal ini juga terlihat pada rendahnya kadar
serat ampok yang hanya berkisar 7,96% bila dibandingkan dengan hasil penelitian
Sharma et al. (2007) yang berkisar 25%.
37
Jagung, bila dilihat dari kandungan amilosanya terbagi atas beberapa jenis
yaitu normal, amilosa tinggi dan jenis waxy atau pulut. Jagung yang digunakan
pada penelitian ini tergolong jenis normal karena memiliki amilosa sekitar 25%
yang berarti memiliki amilopektin sekitar 75%. Jagung jenis normal mengandung
74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa, sementara jenis waxy mengandung 99%
amilopektin, jenis amilomaize mengandung 20% amilopektin atau 40-70%amilosa,
dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa di samping pati (Richana dan
Suarni, 2009).
Tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat memiliki kadar pati dan amilosa yang
tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan karena bahan baku pati hidrofobik maupun
pati asetat adalah tapioka yang sudah mengalami modifikasi. Diantara ketiga jenis
sumber pati ini, pati asetat memiliki kadar pati serta rasio amilosa:amilopektin
tertinggi diikuti tapioka dan pati hidrofobik.
Kadar pati berperan terhadap
kemampuan
dihasilkan
ekspansi
dari
produk
yang
disamping
rasio
amilosa:amilopektin. Menurut hasil penelitian Fritz (1994), amilosa akan
berekspansi secara maksimal pada suhu 2250C sementara amilopektin pada suhu
1350C. Dengan demikian pati dengan kadar amilosa tinggi membutuhkan suhu
proses yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati yang mengandung amilopektin
tinggi.
Selain itu, amilosa cenderung mengembang secara longitudinal atau
memanjang sementara amilopektin akan mengembang secara radial sehingga
produknya cenderung memiliki diameter yang lebih besar.
Biofoam yang
dihasilkan oleh bahan baku pati dengan kadar amilopektin tinggi memiliki poripori yang lebih kecil serta densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
biofoam yang menggunakan bahan baku pati dengan kadar amilosa tinggi. Kadar
amilosa yang tinggi juga cenderung kurang mengembang dan kaku, namun
memiliki sensitivitas terhadap air yang lebih rendah.
Selain kadar pati serta rasio amilosa dan amilopektin, parameter lain yang
juga penting diperhatikan adalah kadar air bahan karena kadar air yang ada pada
bahan baku akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi produk biofoam yang
dihasilkan.
Air dapat berfungsi sebagai blowing agent
ataupun juga sebagai
plastisizer pada pembuatan biofoam. Saat proses pemanasan, air yang ada pada
adonan akan mendidih dan menjadi uap yang kemudian mendorong pati untuk
38
mengembang serta menghasilkan struktur yang berongga (Sjoqvist and Gatenholm,
2007). Namun demikian, bila peningkatan kadar air selama proses ekspansi terlalu
besar maka dapat mengurangi kemampuan ekspansi radial (Singh et al., 2007)
maupun
ekspansi
volumetriknya
(Alvarez-Martinez
et
al.,
1988)
serta
meningkatkan densitas dari ekstrudat (Lin et al., 2000). Air juga dapat berfungsi
sebagai plastisizer selama proses termoplastisasi pati dan akan berpengaruh
terhadap sifat mekanis dari biofoam yang dihasilkan.
Hasil pengukuran terhadap kadar air ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati
asetat menunjukkan bahwa ampok jagung dan pati hidrofobik memiliki kadar air
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tapioka dan pati asetat. Nilai kadar air
ampok masih berada di bawah SNI yaitu maksimal 10%, sedang untuk tapioka
ternyata melebihi standar yang ditetapkan. Kadar air yang terdapat di dalam bahan
berpati ditentukan oleh kondisi proses pengeringan pati. Besaran kadar air ini akan
sangat menentukan mutu pati yang dihasilkan. Apabila pengeringan pati tidak
dilakukan secara optimal, makakadar air yang tinggi dapat memicu tumbuhnya
jamur yang akan mempercepat kerusakan pati.
Proses pengecilan ukuran yang dilakukan pada ampok diawali dengan
pengeringan bahan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penggumpalan
pada saat penggilingan karena masih pengaruh kadar lemak serta kadar air yang
tinggi ada ampok. Hal ini sejalan dengan penelitian Azudin dan Noor (1992), yang
menyatakan bahwa kadar air yang berlebihan akan menyebabkan pati teraglomerasi
sehingga akan berpengaruh terhadap stabilitasnya selama penyimpanan. Sementara
itu, pati hidrofobik memiliki kadar air yang terendah dibandingkan ketiga jenis pati
lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena granula pati tersebut diselubungi oleh
bahan hidrofobik sehingga air sulit menembus ke dalam granulanya.
Perbedaan kadar air yang terkandung pada ampok, tapioka serta bahan
lainnya membutuhkan penyeragaman pada saat formulasi adonan dilakukan. Dalam
pembuatan biofoam, pengetahuan mengenai kadar air masing-masing bahan akan
menentukan jumlah air yang harus ditambahkan agar dapat dihasilkan biofoam
yang memiliki sifat fisik dan kimia yang baik. Penambahan air perlu dilakukan
mengingat kadar air pada ampok maupun tapioka yang sekitar 5-12% masih terlalu
39
rendah untuk dapat membantu proses ekspansi. Menurut penelitian Cinelli et al.
(2006), total padatan pada adonan pembuatan biofoam berkisar 30% sehingga
untuk mencapai kondisi tersebut harus dilakukan penambahan air sesuai dengan
proporsi bahan baku yang digunakan. Sementara peneliti lain menyebutkan total
padatan pada adonan untuk pembuatan foam berkisar 60-70% (Poovarodom, 2006).
Perbedaan ini akan berpengaruh terhadap bentuk serta karakteristik produk biofoam
yang dihasilkan.
Komponen lain yang berperan penting dalam mempengaruhi sifat fisik dan
mekanis produk biofoam adalah kadar serat. Menurut Lee (2009), penambahan
serat berpotensi memberikan perbaikan pada sifat mekanis pada produk pati
termoplastik. Penambahan serat sebagai bahan pengisi pada pembuatan biofoam
dapat meningkatkan fleksibilitas dan kekuatannya (Andersen dan Hodson, 1996).
Penambahan serat juga dapat meningkatkan sifat hidrofobik
seperti yang
dilaporkan oleh Lawton et al. (2004); Guan dan Hanna (2006); Salgado et al.
(2008) dan (Benezet et al. (2011). Selain memberikan dampak positif, penambahan
serat ternyata dapat berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam. Menurut
Guy dan Horne (1988), penambahan serat yang berasal dari kulit ari gandum
(wheat bran)
menyebabkan proses ekspansi akan terhenti lebih awal dan
menghasilkan foam yang lebih padat.
Hasil analisa kadar serat menunjukkan bahwa ampok memiliki kadar serat
tertinggi (7,96%) diikuti tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat.
Menurut
penelitian Salgado et al. (2008), penambahan serat yang optimal pada pembuatan
biofoam dengan bahan baku tapioka adalah 20%, sedangkan jumlah protein yang
ditambahkan maksimal 10%.
Kadar protein dan kadar lemak bahan baku juga merupakan parameter
penting yang turut berpengaruh terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan.
Protein yang merupakan polimer alami diharapkan dapat membantu memperkuat
matriks polimer yang dihasilkan oleh pati. Namun demikian, menurut Poovarodom
(2006), kadar protein bahan yang terlalu tinggi (>5%) akan menyebabkan produk
biofoam yang dihasilkan tidak terbentuk sempurna karena protein akan
terdenaturasi pada suhu tinggi menyebabkan kerak yang akan membuat biofoam
40
sulit dilepaskan dari cetakan. Adapun hasil pengukuran terhadap kadar protein
menunjukkan bahwa kadar protein ampok cukup tinggi yaitu 11,18% sangat jauh
bila dibandingkan ketiga jenis pati lainnya. Dengan demikian, penggunaan ampok
harus dibatasi tidak melebihi 50% supaya kadar proteinnya tidak lebih besar dari
5%.
Sementara itu, pengukuran terhadap kadar lemak juga menunjukkan bahwa
kadar lemak ampok cukup tinggi sebesar 8,90%. Kadar lemak yang tinggi dapat
berdampak positif karena lemak dapat berfungsi sebagai lubricant yang dapat
membantu memudahkan pelepasan biofoam dari cetakan. Namun demikian, kadar
lemak yang tinggi juga dapat menyebabkan produk mudah terhidrolisis hingga
menjadi tengik.
Penambahan lemak maupun turunannya seperti monogliserida, trigliserida
juga dapat berfungsi sebagai plastisizer (Poovarodom, 2006). Lemak yang bersifat
hidrofobik juga
dapat meningkatkan hidrofobisitas dari biofoam.
Dengan
demikian adanya kandungan lemak diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik dan
mekanis dari biofoam.
Selain analisis terhadap komponen kimia bahan baku, pengamatan terhadap
sifat fisik juga turut berperan terhadap karakteristik biofoam diantaranya daya serap
air (DSA). Pengukuran DSA dilakukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah
air yang dapat diserap oleh bahan selama selang waktu tertentu. Hasil analisa
sebagaimana terdapat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ampok memiliki daya
serap air yang paling tinggi yaitu 215,41%, sedangkan yang terendah adalah pati
hidrofobik dengan nilai 13,31%. Tingginya daya serap air pada ampok disebabkan
karena sebagian besar serat yang ada pada ampok berasal dari golongan
hemiselulosa.
Menurut Madsen (2004), hemiselulosa merupakan bagian dari
dinding sel tanaman yang paling banyak menyerap air. Hal ini disebabkan karena
hemiselulosa memiliki daerah amorf yang lebih besar dibandingkan dengan
selulosa ( Westman et al., 2010).
Pati alami yang belum mengalami gelatinisasi umumnya memiliki sifat semi
kristalin dimana amilosa dan percabangan amilopektin memiliki sifat amorf,
sementara rantai lurus amilopektin memiliki sifat kristalin.
Dengan demikian,
41
semakin tinggi rasio amilosa maka sifat amorfnya semakin besar yang berakibat
pada peningkatan sifat hidrofilik.
Hal ini menjelaskan mengapa pati asetat
memiliki daya serap air yang lebih besar dibandingkan tapioka walaupun gugus
hidroksilnya sebagian sudah digantikan dengan gugus asetil.
Sementara untuk pati hidrofobik, lapisan atau coating yang menutupi
permukaan granula pati menyebabkan air sulit masuk sehingga daya serap airnya
juga sangat rendah.
Parameter daya serap air menjadi hal yang penting
diperhatikan pada pembuatan biofoam agar adonan tersebut memiliki tingkat
viskositas yang tepat untuk mendukung proses ekspansi.
Komposisi kimia khususnya kadar pati, rasio amilosa-amilopektin serta
kadar air berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam, sementara kadar
serat, kadar lemak serta rasio amilosa akan berpengaruh terhadap daya serap air.
Kadar serat serta protein juga akan berpengaruh terhadap sifat mekanis produk
biofoam yang dihasilkan. Ampok memiliki kadar serat, protein dan lemak tertinggi
dibandingkan bahan lain sehingga diharapkan akan meningkatkan kekuatan
mekanis produk biofoam. Sementara, penambahan tapioka yang memiliki kadar
pati tinggi diharapkan akan meningkatkan kemampuan ekspansinya. Penambahan
pati hidrofobik diharapkan dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam karena
pati hidrofobik memiliki daya serap air yang sangat rendah.
Karakterisasi bahan baku tidak hanya melihat pada komposisi kimianya tetapi
juga beberapa sifat lain seperti sifat viskoamilograf. Pengamatan ini dilakukan
untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap perubahan karakteristik pati.
Pati
dengan kadar air tertentu bila dipanaskan akan mengalami proses gelatinisasi yang
diawali dengan penyerapan air ke dalam granula pati sehingga terjadi peningkatan
viskositas. Selanjutnya dengan bertambahnya panas maka granula pati tersebut
akan pecah hingga sebagian amilosa yang ada akan keluar. Tahapan selanjutnya
bila larutan tersebut didinginkan kembali maka akan terjadi proses retrogradasi.
Viskositas larutan pati setelah proses akan berbeda-beda, ada yang akan menjadi
lebih kental, ada yg tetap dan ada juga yang menjadi lebih cair (Eliasson and
Gudmundsson, 1996). Selama proses gelatinisasi terutama saat pembengkakan
granula pati serta proses keluarnya amilosa (leaching), akan berpengaruh terhadap
42
perubahan reologi dari larutan pati. Untuk mengamati semua perubahan tersebut
maka dilakukan analisis dengan menggunakan amilograph atau viscograph.
Adapun hasil analisis profil viskoamilograf pada masing-masing bahan baku
seperti tersaji pada Gambar 4 dan Tabel 6.
Viskositas puncak diperoleh saat
granula pati mengalami pembengkakan secara penuh sehingga saling melekat satu
sama lain.
Sementara itu, viskositas breakdown diperoleh dari nilai viskositas
puncak dikurangi viskositas terendah yang dicapai pada saat pemanasan.
Selanjutnya nilai viskositas setback diperoleh dari selisih nilai viskositas minimal
dengan viskositas akhir (Thomas dan Atwell, 1999).
1800
1600
Viskositas (BU)
1400
1200
1000
Tapioka
800
Ampok
600
Pati Hidrofobik
400
Pati Asetat
200
0
-200 0
20
40
60
Waktu (menit)
Gambar 4. Profil Viskoamilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati
Asetat
Tabel 6. Karakteristik Amilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat
Parameter
Suhu Gelatinisasi (0C)
Suhu Puncak (0C)
Viskositas Maksimum (BU)
Breakdown Viskositas (BU)
Setback Viskositas (BU)
Final Viskositas (BU)
Ampok
Tapioka
93
0
30
+30
67,5
76,5
1550
1080
500
+500
Pati
Hidrofobik
72
78
170
160
10
-10
Pati
Asetat
60
72
590
90
460
+420
43
Bila kita membandingkan hasil yang diperoleh terhadap sifat viskoamilograf
pada tapioka, ampok dan pati hidrofobik maupun pati asetat terlihat bahwa
komposisi kimia dari masing-masing bahan baku sangat berpengaruh terhadap sifat
viskoamilografnya.
Hal ini jelas terlihat pada ampok yang memiliki kadar pati
terendah sedang kadar protein dan lemaknya paling tinggi dibandingkan pati
lainnya. Kadar protein dan lemak yang tinggi pada ampok menyebabkan suhu
gelatinisasinya
lebih tinggi dibandingkan ke tiga jenis pati lainnya.
Hal ini
disebakan karena granula pati tertutup oleh protein dan lemak sehingga air sulit
meresap ke dalam granula pati sehingga menyebabkan proses gelatinisasi juga
terhambat. Selain itu, tingginya kadar serat juga menyebabkan sebagian besar air
yang ditambahkan diserap oleh serat sehingga jumlah air yang meresap pada
granula pati juga berkurang Dengan berkurangnya jumlah air yang menyerap pada
granula pati maka proses gelatinisasi menjadi terhambat. Akibatnya proses yang
mengikuti terjadinya proses gelatinisasi seperti peningkatan viskositas tidak terjadi.
Hal ini sejalan dengan penelitian Tester dan Morrison (1990) serta Vandeputte et
al.(2003) yang menyebutkan bahwa adanya protein dan lemak dapat menghambat
proses penetrasi air ke dalam granula pati sehingga berpengaruh terhadap profil
viskoamilograf dari pati. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis korelasi antara
komposisi kimia bahan dengan suhu gelatinisasinya.
Semua parameter komposisi kimia seperti kadar pati, protein, lemak dan serat
berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi,
khusus untuk kadar pati, korelasinya
negatif. Dengan demikian, semakin tinggi kadar pati maka suhu gelatinisasinya
cenderung berkurang. Sementara, semakin tinggi kadar protein, lemak maupun
serat maka suhu gelatinisasinya akan bertambah. Nilai korelasi antara komponen
kimia bahan baku dengan profil viskoelastisitasnya khususnya suhu gelatinisasi
seperti tersaji pada Tabel 7.
Sementara itu, baik pati hidrofobik dan pati asetat yang merupakan pati
modifikasi sebenarnya juga menggunakan tapioka sebagai bahan bakunya sehingga
sebagian besar komposisi kimianya mirip dengan tapioka. Namun demikian,
viskoamilograf pati hidrofobik sangat berbeda bila dibandingkan dengan tapioka
maupun pati asetat seperti pada Gambar 4. Proses pembuatan pati hidrofobik
dilakukan dengan melapisi permukaan granula pati dengan bahan yang bersifat
44
hidrofobik sehingga air sulit masuk ke dalam granula pati tersebut. Akibatnya
proses gelatinisasi akan terhambat sehingga fenomena seperti swelling, peningkatan
viskositas maupun leaching, tidak terjadi seperti pada tapioka.
Tabel 7. Korelasi antara Komposisi Kimia dengan Suhu Gelatinisasi
Parameter
Nilai Korelasi
Kadar Protein VS Suhu gelatinisasi
0,938
Kadar Lemak VS Suhu gelatinisasi
0.938
Kadar Pati VS Suhu gelatinisasi
-0,949
Kadar Serat VS Suhu gelatinisasi
0,944
Profil viskoamilograf dari pati asetat hampir menyerupai tapioka, namun
viskositas puncak yang dicapai lebih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian,
tingkat hidrofobisitasnya sangat dipengaruhi oleh nilai DS nya, semakin tinggi nilai
DS maka hidrofobisitasnya akan meningkat. Adapun pati asetat yang digunakan
pada penelitian ini adalah yang memiliki nilai
Derajat Substitusi (DS) = 0,3
sehingga peluang air masuk ke dalam granula pati asetat masih memungkinkan dan
proses gelatinisasi masih dapat berlangsung. Menurut Guan et al.(2004)., pati hasil
proses esterifikasi dengan nilai DS >1 akan memiliki sifat hidrofobik karena gugus
hidroksilnya yang bersifat hidrofilik digantikan dengan gugus asetil yang bersifat
hidrofobik
Pati bila dipanaskan dengan kondisi air berlebih akan mengalami perubahan
yang bersifat irreversible sehingga berakibat pada hilangnya sifat birefringent dan
hilangnya sifat kristalin. Pada kondisi ini, granula pati akan membengkak dan lebih
banyak menyerap air, hal ini akan berpengaruh terhadap sifat reologinya.
Tapioka
sendiri bila dipanaskan akan mencapai viskositas maksimal pada suhu sekitar
75,50C.
Namun bila dipanaskan terus hingga 930C, viskositasnya justru akan
menurun karena terjadinya proses leaching amilosa. Selanjutnya pada saat proses
pendinginan, viskositas tapioka cenderung meningkat kembali dan kembali turun
pada saat setback karena proses retrogradasi. Kondisi ini akan berpengaruh pada
kondisi proses yang dibutuhkan serta karakteristik produk yang dihasilkan.
45
Sementara itu, ampok bila dipanaskan tidak memiliki suhu puncak dan
viskositasnya cenderung stabil selama analisis amilograf.
Kenaikan viskositas
hanya terjadi dalam jumlah kecil pada saat pendinginan.
Kondisi serupa juga
terdapat pada pati hidrofobik. Diduga hal ini karena terhambatnya penyerapan air
ke dalam granula pati sehingga proses gelatinisasi terhambat.
Peningkatan viskositas selama proses pemanasan akan berpengaruh
terhadap besarnya gesekan atau shear yang terjadi. Semakin besar gesekan yang
terjadi maka ekspansi dari pati tersebut juga akan semakin tinggi (Chaisawang dan
Suphantharika, 2006). Hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi
tapioka yang lebih besar dibandingkan dengan ampok maupun pati hidrofobik.
Semakin banyak proporsi tapioka yang digunakan diharapkan kemampuan ekspansi
biofoam juga semakin besar sehingga densitasnya juga akan berkurang.
Selain pengukuran terhadap viskoamilograf dari masing-masing bahan
baku, dilakukan pula analisis sifat termal untuk mengetahui titik transisi gelas dan
titik leleh dari masing-masing bahan. Pengukuran dilakuan dengan menggunakan
Differential Scanning Colorymeter (DSC). Perilaku termal pada pati sebenarnya
lebih kompleks dibandingkan dengan
bahan termoplastik konvensional seperti
polietilen karena beragamnya perubahan fisik dan kimia yang terjadi selama proses
pemanasan.
Proses tersebut meliputi gelatinisasi, pelelehan, transisi gelas,
kristalisasi, peningkatan volume, degradasi molekul dan pergerakan air (Yu dan
Christie, 2001).
Pengamatan terhadap sifat termal bahan baku pembuatan biofoam meliputi
titk transisi gelas (Tg) dan titik leleh (Tm) dengan hasil seperti tersaji pada Tabel 8.
Pada tabel tersebut terlihat bahwa ampok memiliki 2 titik transisi gelas yaitu
24,130C dan 54,460C. Adanya 2 titik transisi gelas ini menunjukkan bahwa ampok
merupakan senyawa kompleks yang terdiri dari beberapa bahan yang memiliki titik
transisi gelas yang berbeda. Ampok umumnya terdiri dari sebagian besar pati dan
serat yang masing-masing memiliki titik transisi gelas yang berbeda.
Tapioka
sendiri memiliki titik transisi gelas 61,150C, sementara literatur menyebutkan titik
transisi gelas tapioka berada di kisaran 60-700C (Breuninger et al., 2009). Pati
asetat memiliki titik transisi gelas 56,820C, lebih rendah dibandingkan dengan
46
bahan bakunya yaitu tapioka. Hal ini disebabkan karena proses modifikasi dengan
menggantikan gugus hidroksil dengan asetil menyebabkan struktur granula menjadi
tidak stabil sehingga mempercepat proses swelling dan menurunkan suhu
gelatinisasi (Singh et al., 2004). Sementara itu untuk pati hidrofobik, titik transisi
gelasnya tidak dapat terdeteksi dengan pengukuran menggunakan DSC.
Tabel 8. Titik Transisi gelas (Tg) dan Titik Leleh (Tm) dari Tapioka, Ampok, Pati
Hidrofobik dan Pati Asetat
Titik Transisi gelas (0C)
Bahan
Titik Leleh (0C)
Ampok
24,13 dan 54,46
146,60
Tapioka
61,15
102,95
Tidak terdeteksi
148,67
56,82
94,78
Pati Hidrofobik
Pati Asetat
Selain mengukur titik transisi gelas, pengukuran menggunakan DSC juga
dapat menentukan titik leleh maupun entalpi yang dibutuhkan atau dilepaskan
selama proses pemanasan. Semakin kompleks senyawa yang diukur maka besaran
entalpinya juga akan semakin besar karena semakin banyak energi yang dibutuhkan
untuk proses degradasi bahan tersebut. Adapun hasil pengukuran terhadap titik
leleh ampok berada pada 145,60C, tapioka di kisaran 102,950C sementara pati
hidrofobik di suhu 148,570C. Tingginya titik leleh ampok disebabkan tingginya
bahan non pati seperti serat, protein dan lemak yang berpengaruh terhadap proses
melting.
Sementara itu, pati hidrofobik memiliki lapisan coating pada
permukaannya yang dapat menghambat proses melting sehingga titik lelehnya juga
lebih tinggi dibandingkan tapioka. Pati asetat memiliki Tm terendah dibandingkan
sumber pati lainnya yaitu 94,780C. Hal tersebut disebabkan karena adanya gugus
asetil yang dapat meningkatkan kemampuan swelling serta kelarutan pati yang
berdampak pada penurunan suhu Tg dan juga Tm ( Singh et al., 2004) .
Hasil pengukuran sifat termal dengan menggunakan DSC menunjukkan
bahwa bahan baku pembuatan biofoam yang mengandung pati akan menghasilkan
proses endotermis dengan selang suhu yang cukup lebar seperti tersaji pada
Gambar 5, 6, 7, dan 8.
Proses endotermis tersebut menunjukkan terjadinya
47
pelepasan energi yang kemungkinan besar merupakan proses melting dari bahan
berpati tersebut.
Dengan mengetahui sifat termal dari bahan baku maka kondisi
proses pembuatan biofoam dapat ditentukan. Pati asetat memiliki titik leleh
terendah sebesar 94,780 C sementara pati hidrofobik memiliki titik leleh yang
paling tinggi sebesar 148,670 C.
Dengan mempertimbangkan titik leleh pada
masing-masing bahan serta titik leleh dari PVOH yang sebesar 1480C, maka suhu
proses yang digunakan untuk pembuatan biofoam harus lebih besar dari 148,670 C
agar semua bahan tersebut sudah meleleh sehingga bisa tercampur dengan baik.
Gambar 5. Profil DSC Ampok
Gambar 6. Profil DSC Tapioka
48
Gambar 7. Profil DSC Pati Hidrofobik
Gambar 8. Profil DSC Pati Asetat
Karakteristik bahan baku lainnya yang diamati adalah bentuk dan ukuran
dari granula pati. Pengamatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan
Polarized Microscope untuk melihat sifat birefringent yang ada pada granula pati
tersebut sehingga dapat ditentukan apakah proses gelatinisasi sudah terjadi atau
belum.
Selain itu juga dilakukan pengamatan dengan menggunakan Scanning
Electrone Microscope untuk melihat secara lebih detail ukuran dan bentuk granula,
struktur dan tekstur dari permukaan sampel. Adapun hasil pengamatan dapat
dilihat pada Gambar 9 dan 10.
49
(a) Ampok
(b) Tapioka
Gambar 9. Penampakan Sifat Birefringent pada Ampok dan Tapioka
Hasil analisa dengan menggunakan polarized microscope menunjukkan
bahwa ampok masih memilliki kandungan pati yang cukup tinggi, yang ditandai
dengan masih banyaknya granula berwarna biru kuning yang meruppakan ciri sifat
birefringent. Namun demikian bila diamati. Sebagian dari granula tersebut sudah
pecah dan tidak utuh lagi, diduga hal tersebut disebabkan
karena proses
pengeringan bahan yang bertujuan untuk pengecilan ukuran. Selain granula pati
yang terlihat jelas dengan warnanya yang biru kuning, terlihat juga beberapa bentuk
tidak beraturan yang diduga merupakan serat.
Granula tapioka tampak lebih jelas bentuk dan warnanya dibandingkan
ampok. Granula tapioka memiliki bentuk bulat dengan perbedaan warna kuning
biru yang tegas yang menunjukkan bahwa tapioka tersebut belum mengalami
modifikasi, ataupun mengalami gelatinisasi.
Pengamatan menggunakan SEM tidak hanya memberi gambaran bentuk
ataupun struktur morfologi dari bahan baku tetapi juga ukurannya. Gambar 10 dan
11 menggambarkan bentuk dari granula ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati
asetat, sementara Tabel 9 memberikan informasi mengenai ukuran dari granula pati
tersebut. Adapun hasil seperti yang terlihat pada Gambar 10 menunjukkan adanya
perbedaan bentuk dari struktur morfologi permukaan bahan baku yang digunakan.
50
Ampok (Perbesaran 50X)
Ampok (Perbesaran 500X)
Tapioka (Perbesaran 50X)
Tapioka (Perbesaran 500X)
Pati Hidrofobik (Perbesaran 50X)
Pati Hidrofobik (Perbesaran 500X)
Pati Asetat (Perbesaran 50X)
Pati Asetat (Perbesaran 500X)
Gambar 10. Hasil SEM Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat
51
Tabel 9. Ukuran dan Bentuk Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati
Asetat
Jenis Pati
Ukuran
Granula
12,06 µm
16,29 µm
21,67 µm
22,53 µm
Ampok
Tapioka
Pati Hidrofobik
Pati Modifikasi
*Sumber : Blanchard (1987)
Literatur*
Bentuk Granula
Literatur*
5-25 µm
5-35 µm
Tidak beraturan
Bulat
Bulat
Bulat
Poly hedric
Semi spherical
Granula tapioka umumnya berbentuk bulat, sementara granula jagung
umumnya berbentuk agak persegi. Pati hidrofobik dan pati asetat yang bahan
bakunya menggunakan tapioka juga memiliki bentuk granula yang bulat walaupun
pada sebagian sisinya ada yang sudah tidak mulus lagi. Hal tersebut kemungkinan
besar disebabkan oleh proses coating atau asetilasi dalam proses pembuatannya.
Proses pembuatan pati hidrofobik yang menggunakan teknik pelapisan
dengan bahan hidrofobik membuat hasil SEM
granula pati hidrofobik seperti
diselubungi oleh lapisan tipis. Sebagian granula patinya ada yang sudah tidak bulat
lagi seperti terpecah, karena pengaruh panas maupun bahan kimia yang digunakan
untuk melapisi pati tersebut agar bersifat hidrofobik. Sementara itu, hasil SEM
pati asetat menunjukkan adanya pendar sinar pada granula pati yang kemungkinan
besar disebabkan oleh senyawa asetil yang terikat pada molekul pati.
Adapun hasil SEM pada
ampok menunjukkan adanya bentuk yang
bervariasi, sebagian bulat dan sebagian lagi tidak beraturan. Pada beberapa bagian
tampak ada yang menggumpal serta serpihan serat terlihat cukup jelas diantara
granula pati. Proses pemanasan pada saat pengecilan ukuran tampaknya menjadi
penyebab sebagian granula pati yang ada pada ampok mengalami deformasi dan
permukaannya menjadi kasar yang menyebabkan satu sama lain saling menempel.
Sementara itu pada Gambar 11 dengan perbesaran 1000 X, terlihat bahwa
serat yang ada pada ampok berbentuk memanjang dan dikelilingi oleh beberapa
granula pati.
52
Gambar 11. Penampakan Serat pada Ampok Hasil SEM dengan Perbesaran 1000X
Dari beberapa parameter yang diamati untuk mengetahui karakteristik bahan
baku terlihat bahwa komposisi kimia bahan baku berpengaruh terhadap terjadinya
proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi ini sendiri nantinya akan mempengaruhi
reologi adonan selama proses pencampuran antara pati, serat serta polimer sintetis
yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam dan
selanjutnya berpengaruh terhadap karakteristik biofoam khususnya densitas, daya
serap air, maupun kuat tekan pada produk biofoam. Semakin besar kemampuan
ekspansi maka densitas umumnya semakin rendah, namun demikian porositas akan
meningkat yang berakibat pada meningkatnya daya serap air serta menurunnya kuat
tekan.
Ampok yang memiliki kandungan serat, protein dan lemak yang cukup
tinggi memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi. Selain itu, ampok juga memiliki
kandungan serat yang tinggi yang
berpengaruh terhadap viskositas adonan,
sehingga semakin banyak ampok yang ditambahkan maka kemampuan ekspansi
akan berkurang yang berdampak pada peningkatan densitas. Penambahan tapioka
yang memiliki kadar pati yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kemampuan
ekspansi. Sementara itu penambahan pati hidrofobik yang memiliki daya serap air
sangat rendah dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam yang dihasilkan.
Hasil pengamatan terhadap sifat termal menunjukkan bahwa melting point
ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat berkisar 94-1490C yang berarti
kondisi proses pembuatan biofoam sebaiknya di atas 1500C agar semua bahan bisa
tercampur sempurna selama proses pencetakan biofoam.
53
4.2. Pengembangan Produk Biofoam
4.2.1. Penentuan Kondisi Proses
Pengembangan produk biofoam berbahan baku pati diawali dengan
menentukan jenis biofoam yang akan dikerjakan. Pada tahap awal ini, berbagai
metode pembuatan biofoam dilakukan antara lain dengan metode ekstrusi,
thermopressing, microwave assisted moulding dan melalui proses termoplastisasi.
Proses pembuatan biofoam tersebut dilakukan dengan mencampurkan tapioka,
ampok, dan PVOH dengan penambahan air dalam jumlah tertentu. Hasil penelitian
pendahuluan ini menunjukkan bahwa adanya
potensi untuk pengembangan
kemasan ramah lingkungan sebagai pengganti styrofoam.
Adapun bentuk dari
masing-masing jenis biofoam seperti tersaji pada Gambar 12.
(a) Ekstrusi
(b) Termoplastisasi
(c) Termoplastisasi dan Microwave
(d) Thermopressing
Gambar 12. Aneka Bentuk Produk Biofoam yang Dihasilkan dari Berbagai Proses
Dari beberapa jenis biofoam tersebut tampaknya biofoam dengan teknologi
thermopressing yang paling potensial digunakan sebagai kemasan alternatif untuk
wadah produk pangan sekali pakai. Hal ini disebabkan karena pada penggunaan
teknologi thermopressing, bentuk dan ukuran biofoam dapat disesuaikan dengan
kebutuhan.
Selain itu,
proses termoplastisasi yang biasa digunakan pada
pembuatan bioplastik ternyata tidak dapat diterapkan pada pembuatan biofoam
54
karena proses foaming akan terhambat. Oleh karena itu, pada tahapan penelitian
selanjutnya diputuskan bahwa teknologi yang digunakan adalah thermopressing.
Setelah ditentukan bahwa teknologi yang digunakan adalah menggunakan
teknik thermopressing, selanjutnya dilakukan penelitian untuk menentukan kondisi
prosesnya.
Adapun peralatan thermopressing yang digunakan adalah hasil
gabungan dari hydraulic press yang bagian ujungnya diberi cetakan berbentuk
tray. Alat ini memiliki kontrol suhu namun tidak memiliki kontrol tekanan maupun
waktu. Pengukuran waktu dilakukan secara manual dan tekanan yang diberikan
setara dengan bobot dari cetakan yang mencapai 5 kg.
Penentuan kondisi proses pencetakan dilakukan dengan berdasarkan sifat
termal bahan baku yang diperoleh pada tahap karakterisasi bahan baku. Pada
tahapan tersebut diperoleh melting point dari bahan baku umumnya berada di
kisaran 95-1500C, sedangkan melting point dari PVOH berkisar 1380C.
Oleh
karena itu, penentuan suhu proses dilakukan pada suhu antara 140-1800C.
Pengamatan pada tahapan ini dilakukan secara visual dengan melihat kondisi serta
warna dari biofoam yang dihasilkan. Adapun hasil pengamatan tersebut seperti
tersaji pada Tabel 10.
Tabel 10. Pengaruh Suhu Proses terhadap Penampakan Visual Biofoam
Suhu Proses (0C)
Penampakan Visual Biofoam
140
150
160
170
180
Warna putih, tekstur agak lunak
Warna putih kecoklatan, tekstur agak keras
Warna kuning kecoklatan, tekstur cukup keras
Warna kuning kecoklatan, tekstur keras
Warna kecoklatan, tekstur keras
Pada Tabel 10 terlihat bahwa semakin tinggi suhu proses maka warna
biofoam yang dihasilkan semakin gelap. Hal ini disebabkan karena terjadinya
proses denaturasi protein ataupun karamelisasi gula karena panas yang terlalu tinggi
(Poovarodom, 2006), khususnya pada bahan dengan kadar protein tinggi seperti
ampok. Pada suhu proses yang lebih rendah, biofoam yang dihasilkan berwarna
putih kekuningan, namun memiliki kadar air yang cukup tinggi.
Selain itu, suhu
rendah menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk proses pencetakan dan
pengeringan juga menjadi lebih lama serta belum semua bahan lumer sehingga
55
proses pencampuran tidak berjalan sempurna dan akan menghambat proses
foaming. Kondisi suhu terbaik untuk pembuatan biofoam adalah sekitar 1700C
dengan lama proses 2,5 hingga 3 menit bergantung pada komposisi adonan.
Penentuan lama waktu proses ditentukan oleh kadar air campuran dan juga
suhu proses. Semakin tinggi kadar air adonan maka waktu yang diperlukan juga
semakin lama. Selain itu, penambahan rasio ampok juga berpengaruh terhadap
lamanya waktu proses. Hal ini disebabkan karena daya serap air pada ampok yang
lebih besar dibandingkan tapioka (Tabel 5) sehingga jumlah air yang ditambahkan
pada adonan juga lebih besar untuk mencapai viskositas tertentu. Semakin tinggi
suhu proses yang digunakan maka waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan juga
semakin cepat. Namun demikian suhu yang terlalu tinggi akan berpengaruh
terhadap terjadinya burned effect.
Setelah diperoleh suhu proses selanjutnya juga dilakukan penelitian untuk
menentukan jumlah adonan yang harus dimasukkan ke dalam cetakan. Apabila
adonan terlalu sedikit maka biofoam tidak akan terbentuk dengan sempurna seperti
tersaji pada Gambar 13a.
Namun bila adonan terlalu banyak, maka akan
menyebabkan tekanan di dalam cetakan terlalu besar sehingga biofoam akan
mengalami ekspansi secara maksimal dan akhirnya retak atau pecah sehingga
produk biofoam tidak terbentuk (Gambar 13b).
Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Lawton et al., (2004). Untuk mengisi cetakan berukuran 10 x 6 x 1 cm
dengan ketebalan 2 cm dibutuhkan volume adonan sekitar 60 g. Semakin banyak
ampok yang ditambahkan maka volume yang ditambahkan juga meningkat karena
kemampuan ekspansi adonan berkurang dengan adanya serat (Cinelli et al., 2006).
(a) Volume adonan < 60 g
(b) Volume adonan > 60 g
Gambar 13. Pengaruh Jumlah Adonan terhadap Penampakan Biofoam
56
Kondisi proses lainnya yang juga harus diperhatikan adalah kadar air adonan.
Adonan untuk pembuatan biofoam harus memiliki karakteristik aliran tertentu yang
dapat mencegah terjadinya pengempesan dini gelembung uap air pada saat proses
foaming. Kadar air yang terlalu rendah akan menghasilkan produk biofoam dengan
densitas yang tinggi karena proses ekspansi terhambat karena uap air yang
dibutuhkan untuk pembentukan foam juga terbatas. Sebaliknya, kadar air yang
terlalu tinggi akan menyebabkan tekanan yang terlalu tinggi sehingga foam tidak
terbentuk. Kadar air yang tinggi juga menyebabkan sifat aliran adonan menjadi
terlalu encer sehingga tidak sesuai untuk proses pembentukan foam (Cinelli et al.,
2006; Shogren et al., 1998).
Dari beberapa penelitian pendahuluan untuk penentuan kondisi proses ideal
pembuatan biofoam diperoleh suhu proses 1700C dengan lama waktu proses 2,5-3
menit. Volume adonan yang digunakan sekitar 60 g disesuaikan dengan komposisi
bahan.
Adapun tahapan selanjutnya adalah penentuan komposisi optimum
pembuatan biofoam secara bertahap, untuk mengetahui pengaruh dari masingmasing bahan terhadap karakteristik biofoam.
4.2.2. Pengaruh Penambahan Ampok sebagai Sumber Serat Terhadap
Karakteristik Biofoam
Proses pembuatan biofoam umumnya dilakukan dengan menggunakan pati
sebagai
bahan baku
utamanya.
Namun
demikian untuk
memperbaiki
kelemahannya, dilakukan penambahan berbagai aditif seperti serat, lemak, protein,
polimer sintetik, plastisizer, bahan pengikat (binder), anti lengket (demolding
agent), nucleating agent, dan cross-linking agent.
Pada tahap awal, pembuatan biofoam dilakukan untuk menentukan rasio
tapioka dan ampok yang paling optimum, baik tanpa menggunakan tambahan
PVOH ataupun yang menggunakan PVOH. Pengamatan dilakukan untuk melihat
pengaruh penambahan serat yang ada pada ampok terhadap karakteristik produk
yang dihasilkan.
Karakteristik yang diamati pada produk biofoam meliputi sifat fisik,
mekanis, biodegradabilitas dan sifat termalnya.
Pada pengamatan sifat fisik,
parameter yang diamati meliputi kadar air, densitas, warna dan daya serap air. Pada
57
parameter kadar air, hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air biofoam berkisar
antara 6,21-8,40% (Tabel 11). Nilai ini jauh lebih tinggi dari styrofoam yang
kurang dari 1%, namun demikian, nilai yang diperoleh masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan biofoam yang dihasilkan oleh Salgado et al (2008) yang
berkisar 9,74-10,81% dan Kaisangsri et al. (2011) yang berkisar 9,32-9,81%.
Perbedaan nilai kadar air ini dapat disebabkan oleh komposisi bahan, proses dan
kondisi penyimpanan. Bila dibandingkan dengan styrofoam maka kadar air foam
berbasis pati ini jauh lebih tinggi karena produk biofoam memang secara alami
bersifat hidrofilik yang berasal dari sifat alami pati yang bersifat higroskopis
sehingga akan menyerap kelembaban dari lingkungannya (Glenn dan Hsu, 1997;
Soykeabkaew et al., 2004).
Dengan penambahan ampok mulai dari 0 hingga 75% dari berat bahan kering
adonan, maka jumlah serat yang terkandung pada adonan berkisar 0-6 % karena
kadar serat ampok sekitar 8% (Tabel 7). Penambahan konsentrasi ampok tidak
hanya meningkatkan kadar serat tetapi juga berarti meningkatkan kadar protein dan
lemak yang bersifat lebih hidrofobik dibandingkan pati.
Hasil uji statistik seperti tersaji pada Tabel 11 dan Lampiran 2 menunjukkan
bahwa peningkatan kadar serat berpengaruh terhadap penurunan kadar air pada
kelompok biofoam yang tidak ditambahkan PVOH. Hal tersebut kemungkinan
besar disebabkan karena semakin banyak ampok yang ditambahkan berarti semakin
tinggi kadar serat yang terkandung dalam adonan pembuatan biofoam.
Tabel 11. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Air (%) Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok
Penambahan PVOH
(4:0)
(3:1)
(2;2)
(1:3)
0%
8,01ab
8,40a
7,28ab
6,21b
30%
6,85a
6,29a
6,29a
7,32a
Rata-rata Kelompok
7,48 A
6,69 A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
58
Menurut penelitian Benezet et al. (2011), peningkatan konsentrasi serat dapat
mengurangi kadar air biofoam yang dihasilkan. Hal tersebut juga didukung oleh
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lawton et al. (2004), Guan dan Hanna
(2006), Salgado et al. (2008).
Hal sebaliknya, peningkatan rasio tapioka:ampok cenderung meningkatkan
kadar air pada kelompok biofoam yang ditambahkan dengan PVOH 30%. Diduga
hal tersebut disebabkan karena PVOH juga memiliki gugus hidroksil bebas yang
tinggi sehingga akan turut mengikat molekul air yang ada. Akibatnya, molekul air
tidak hanya terikat pada pati dan serat tetapi juga pada PVOH ( Sin et al., 2010).
Hal ini juga jelas terlihat pada Gambar 14 yang menunjukkan hubungan antara
rasio tapioka:ampok serta konsentrasi PVOH terhadap kadar air biofoam.
y = -0,088x2 + 0,197x + 8,132
R² = 0,959
9,00
8,00
Kadar Air (%)
7,00
6,00
5,00
y = 0,099x2 - 0,524x + 6,873
R² = 0,985
4,00
PVOH 0%
3,00
PVOH 30%
2,00
Styrofoam
1,00
0,00
0
2
4
6
Kadar Serat (%)
Gambar 14. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Kadar air Biofoam
Parameter lain yang menjadi hal penting yang menentukan sifat hidrofobisitas
bahan adalah daya serap air. Adapun hasil pengamatan terhadap daya serap air
seperti tersaji pada Tabel 12 dan Gambar 15, menunjukkan bahwa penambahan
ampok hingga 50%, dapat menurunkan daya serap air pada biofoam yang tidak
ditambahkan PVOH. Namun, pada biofoam yang ditambahkan dengan PVOH
sebesar 30%, peningkatan proporsi ampok ternyata tidak berpengaruh pada
penurunan daya serap air (Lampiran 3).
59
Tabel 12. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok
Penambahan PVOH
0%
59,48b
40,03a
36,80a
44,71a
45,26B
(4:0)
(3:1)
(2;2)
(1:3)
Rata-rata Kelompok
30%
35,67a
26,05a
35,39a
30,57a
31,92A
Keterangan :
- Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Penambahan serat mampu meningkatkan kristalinitas dari produk biofoam
yang dihasilkan. Diduga, hal ini disebabkan karena serat yang kandungan utamanya
selulosa, memiliki daerah kristalin yang lebih besar dibandingkan pati disamping
struktur mikrofibril yang lebih rapat sehingga proses penyerapan air akan terhambat
dan kondisi ini akan berimbas pada daya serap air produk biofoam yang dihasilkan
yang juga akan berkurang (Ban et al., 2006; Yu dan Chen, 2009).
Penambahan PVOH sebesar 30%
mampu menurunkan daya serap air
biofoam hingga 25% pada biofoam yang tidak ditambahkan serat. Namun
demikian, penambahan PVOH menjadi tidak berpengaruh terhadap penurunan daya
serap air pada biofoam dengan kadar serat yang tinggi. Hal ini disebabkan karena
sebagian air yang ditambahkan pada adonan tidak hanya terikat pada PVOH tetapi
juga pada serat yang ada.
70,00
Daya Serap Air (%)
60,00
y = 1,709x2 - 12,63x + 59,23
R² = 0,995
50,00
40,00
PVOH 0%
30,00
PVOH 30%
y = -0,298x + 32,81
R² = 0,028
20,00
Styrofoam
10,00
0,00
0
2
4
Kadar Serat (%)
6
Gambar 15. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Daya Serap Air Biofoam
60
Adapun perlakuan terbaik pada parameter ini adalah yang memiliki daya
serap air terendah yaitu perlakuan dengan penambahan ampok 25% dan
ditambahkan PVOH 30%. Dengan nilai serap air sebesar 26,05%. Nilai ini bila
dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, lebih kecil dibandingkan
dengan penelitian Vercelheze et al.(2011) yang berkisar 50-100%. Selanjutnya bila
dibandingkan dengan styrofoam maka nilai DSA biofoam ini tidak berbeda dengan
nilai DSA pada styrofoam yang juga berkisar 26%.
Penambahan ampok dan PVOH selain berdampak positif terhadap
peningkatan hidrofobisitas biofoam, ternyata cenderung berpengaruh negatif
terhadap sifat fisik lainnya yaitu densitas seperti yang tersaji pada Tabel 13 dan
Gambar 16. Namun demikian, hasil analisa statistik menunjukkan perbedaan rasio
tapioka:ampok tidak berpengaruh signifikan terhadap densitas (Lampiran 4).
Penambahan ampok dan PVOH ke dalam adonan akan meningkatkan
viskositas adonan karena ampok dan PVOH akan menyerap sebagian besar air yang
ditambahkan pada adonan sehingga adonan menjadi kental dan menghambat
kemampuan untuk mengembang karena jumlah air yang dibutuhkan sebagai
blowing agent juga berkurang. Dengan berkurangnya kemampuan ekspansi maka
produk biofoam yang dihasilkan akan lebih padat dengan densitas yang tinggi.
Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan apa yang diperoleh oleh Cinelli et al.
(2006) dengan menambahkan serat jagung pada pati kentang. Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa penambahan serat akan menyebabkan robeknya dinding sel
dari gelembung udara yang terbentuk pada proses ekspansi, Akibatnya proses
ekspansi tidak berjalan sempurna (Lue et al., 1990). Terganggunya proses ekspansi
ini akan berdampak pada porositas biofoam sehingga berakibat pada meningkatnya
densitas pada biofoam yang dihasilkan. Sementara itu menurut Nabar et al. (2005),
peningkatan densitas biofoam karena
penambahan serat
disebabkan karena
campuran pati dan serat menghasilkan adonan yang kaku yang tidak mendukung
timbulnya gelembung udara yang dibutuhkan untuk proses ekspansi.
Bila dibandingkan dengan densitas styrofoam yang sebesar 0,035 g/cm3
maka densitas biofoam yang dihasilkan pada penelitian ini masih cukup tinggi.
Densitas biofoam pada penelitian ini berkisar 0,26-0,45 g/cm3. Densitas biofoam
61
ini juga masih lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Cinelli et al. (2006) yang
berkisar 0,13-0,23 g/cm3 dengan menggunakan tepung kentang yang dicampur
dengan serat jagung dan polivinil alkohol. Namun bila dibandingkan dengan
penelitian Salgado et al. (2007) yang juga menggunakan tapioka sebagai bahan
bakunya, maka nilai densitas biofoam ini masih lebih rendah. Salgado et al
menggunakan bahan baku tambahan berupa selulosa dan isolat protein dari bunga
matahari, dan menghasilkan biofoam dengan densitas 0,45-0,58 g/cm3. Sementara
itu, Scmidt dan Laurindo (2010) yang juga menggunakan bahan baku tapioka, serat
selulosa dan CaCO3 menghasilkan foam dengan densitas 0,63-1,3 g/cm3.
Tabel 13. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok
Penambahan PVOH
0%
0,26a
0,33ab
0,37ab
0,42b
0,34A
(4:0)
(3:1)
(2;2)
(1:3)
Rata-rata Kelompok
30%
0,42a
0,42a
0,45a
0,45a
0,43B
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
0,60
y = 0,006x + 0,413
R² = 0,809
0,50
Densitas (g/cm3)
-
0,40
PVOH 0%
0,30
y = 0,026x + 0,265
R² = 0,986
0,20
PVOH 30%
Styrofoam
0,10
0,00
0
2
Kadar Serat (%)
4
6
Gambar 16. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Densitas Biofoam
62
Sebagai produk kemasan, biofoam diharapkan memiliki densitas yang
rendah karena akan berpengaruh terhadap bobot produk secara keseluruhan. Selain
itu, densitas juga berpengaruh terhadap beberapa parameter lainnya seperti daya
serap air dan sifat mekanisnya. Pada Gambar 17 terlihat bahwa semakin tinggi
densitas biofoam maka daya serap airnya akan semakin rendah.
70
Daya Serap Air (%)
60
50
40
y = 866,9x2 - 740,4x + 192,0
R² = 0,719
30
20
10
0
0,20
0,25
0,30
0,35
0,40
0,45
0,50
Densitas (g/cm3)
Gambar 17. Korelasi antara Densitas dan Daya Serap Air pada Biofoam
Pada proses pembuatan biofoam, proses ekspansi yang terjadi akan
menghasilkan struktur yang berongga. Apabila biofoam tersebut dicelupkan ke
dalam air, maka air yang ada akan mengisi rongga-rongga tersebut, akibatnya daya
serap air akan meningkat. Namun bila ke dalam adonan ditambahkan serat maka
rongga yang terbentuk akan mengecil karena terhambatnya proses ekspansi.
Akibatnya air yang terserap mengisi rongga tersebut juga semakin sedikit sehingga
nilai DSA juga berkurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Sjoqvist et al. (2010)
yang menyebutkan bahwa jumlah air yang diserap pada tahap awal berhubungan
dengan porositas biofoam, makin tinggi porositas makin banyak air yang akan
diserap untuk mengisi rongga-rongga yang terbentuk selama proses ekspansi.
Namun demikian, untuk biofoam yang ditambahkan dengan PVOH
sebanyak 30%, kondisi tersebut tidak terjadi karena sebagian besar rongga yang
terbentuk akan terisi oleh lelehan polimer sehingga biofoam menjadi padat dan air
63
akan sulit menyerap ke dalam biofoam.
Vercelheze et al. (2012)
Hal ini didukung oleh penelitian
yang menyatakan bahwa penambahan serat akan
menyebabkan densitas meningkat dan porositas menurun sehingga penyerapan air
juga akan menurun.
Parameter berikutnya yang diamati adalah warna yang meliputi tingkat
kecerahan dan nilai 0Hue. Tingkat kecerahan diperoleh dari pengukuran nilai L
dengan menggunakan chromameter. Nilai L berkisar dari 0 hingga 100, dimana 0
menggambarkan warna hitam sementara 100 menggambarkan warna putih.
Sementara itu, pengukuran nilai 0Hue diperoleh dari perhitungan nilai a dan b,
dimana nilai a menggambarkan warna merah (a+) hingga hijau (a-) dan nilai b
menggambarkan warna kuning (b+) hingga biru (b-).
Pada Tabel 14 dan Gambar 18 terlihat bahwa peningkatan rasio ampok
berpengaruh terhadap penurunan tingkat kecerahan biofoam. Namun demikian,
hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:ampok tidak
berpengaruh terhadap tingkat kecerahan biofoam (Lampiran 5).
Tabel 14. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok
(4:0)
(3:1)
(2;2)
(1:3)
Rata-rata Kelompok
Penambahan PVOH
0%
88,16a
79,86a
79,92a
78,15a
81,52A
30%
87,18a
85,36a
81,99a
79,67a
83,55A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Ampok memiliki pigmen beta karoten berwarna kuning yang dapat menjadi
salah satu faktor penyebab perubahan warna. Selain itu, ampok juga mengandung
protein dan lemak yang cukup tinggi sehingga berpengaruh terhadap warna produk
yang dihasilkan karena kadar protein yang terlalu tinggi dapat menimbulkan burned
effect akibat proses denaturasi protein selama proses pemanasan. Hal ini juga
64
dijelaskan oleh penelitian Glenn et al. (2001) yang menyatakan bahwa biofoam
yang mengandung protein akan menghasilkan biofoam dengan warna kecoklatan
bila proses pembakarannya dilakukan pada suhu di atas 2000C.
Selain pengukuran tingkat kecerahan, parameter warna lain yang juga diukur
adalah nilai 0Hue yang menggambarkan tingkat intensitas warna. Hasil pengukuran
dengan menggunakan chromameter menghasilkan nilai a dan b yang kemudian
dihitung dan diplotkan pada diagram Munsell untuk mengetahui kategori warna
yang dihasilkan. Adapun hasil perhitungan nilai 0Hue seperti tersaji pada Tabel 15
menunjukkan bahwa kisaran nilai 0Hue biofoam berkisar 89,520 hingga 98,750 atau
berada pada wilayah berwarna kekuningan yang memiliki kisaran 75-1050. Hasil
uji statitistik pada Lampiran 6, juga menunjukkan bahwa perbedaan rasio
tapioka:ampok tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan nilai 0Hue biofoam.
A2B1
A1B1
A4B1
A3B1
Gambar 18. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam
65
Tabel 15. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Nilai 0Hue Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok
(4:0)
(3:1)
(2;2)
(1:3)
Rata-rata Kelompok
Penambahan PVOH
0%
98,75a
89,94a
91,88a
90,51a
92,77A
30%
94,50a
98,17a
90,50a
89,52a
93,17A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Selain berpengaruh terhadap sifat fisik, penambahan ampok juga berpengaruh
terhadap karakteristik lainnya seperti sifat mekanik dan biodegradabilitas (Lawton
et al., 2004; Shogren et al., 2002 dan Soykeabkaew et al., 2004) . Pengamatan sifat
mekanis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi kuat tekan dan kuat tarik. Hal
tersebut dilakukan untuk mengetahui kekuatan biofoam untuk melindungi produk
yang akan dikemas. Sebagai kemasan alternatif yang diharapkan dapat
menggantikan fungsi styrofoam maka biofoam harus memiliki elastisitas yang
cukup baik agar kuat menahan benturan dari luar tanpa melukai produk yang
dikemasnya. Selain itu, biofoam juga harus mampu mempertahankan bentuknya
selama digunakan sebagai wadah kemasan.
Pengukuran terhadap kuat tekan dan kuat tarik dilakukan dengan
menggunakan texture analyzer. Pada Tabel 16 dan Gambar 19 terlihat bahwa
biofoam yang tidak ditambahkan ampok memiliki kuat tekan yang setara dengan
styrofoam. Namun demikian, upaya penambahan serat untuk meningkatkan kuat
tekannya menghasilkan kondisi sebaliknya yaitu penurunan kuat tekan. Oleh karena
itu dilakukan penambahan polimer sintetik PVOH untuk menekan penurunan kuat
tekan tersebut. Penurunan kuat tekan karena penambahan serat ini sedikit
bertentangan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
penambahan serat dapat memperkuat struktur biofoam. Menurut Gaspar et al.
(2005), penambahan serat hingga 15% dapat bersifat sebagai reinforcing filler
karena serat yang ditambahkan akan
mengisi celah pada
matriks pati yang
66
terbentuk.
Namun demikian, jumlah serat yang terlalu besar (> 30%)
akan
menyebabkan serat tidak terdistribusi secara merata pada matriks pati dan
menyebabkan penurunan kekuatan (Lawton et al., 2004).
Diduga hal ini
disebabkan karena perbedaan kompatibilitas antara tapioka dengan ampok yang
semakin besar dengan peningkatan rasio ampok.
Oleh karena itu, untuk
mengurangi perbedaan kompatibilitas yang cukup besar tersebut maka tapioka dan
ampok harus dicampur secara merata baik saat sebelum pencetakan maupun saat
pencetakan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi beda fasa adalah
dengan pengecilan ukuran, penambahan kompatibiliser, proses pengadukan yang
intensif serta penentuan kondisi proses yang tepat.
Tabel 16. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok
Penambahan PVOH
(4:0)
(3:1)
(2;2)
(1:3)
0%
27,31c
10,94b
5,40a
6,14a
30%
32,51b
13,35a
15,19a
19,07a
Rata-rata Kelompok
12,45A
20,03B
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Serat alami seperti selulosa, umumnya mengalami dekomposisi tanpa atau
sebelum mencapai titik cairnya ketika dipanaskan. Akibatnya, dengan kondisi suhu
yang cukup tinggi kemungkinan sebagian serat sudah mengalami degradasi
sehingga tidak dapat berfungsi sebagai reinforcing filler. Selain itu, biofoam yang
ditambahkan selulosa dalam jumlah yang cukup besar akan menghasilkan produk
dengan lubang-lubang (cavities) yang dapat mempengaruhi sifat mekanisnya
(Schmidt, 2006).
Penambahan serat dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan serat
tidak terdistribusi secara merata pada permukaan biofoam. Hal ini disebabkan
karena rendahnya kompatibilitas antara pati dan selulosa. Hal ini berakibat pada
67
menumpuknya serat pada bagian tertentu yang menyebabkan berkurangnya kuat
tekan dari biofoam.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
pengecilan ukuran serat, dengan penambahan kompatibilizer, dan dengan proses
pencampuran yang intensif agar campuran kedua bahan lebih homogen.
Menurut
Takagi dan Ichihara (2004), ukuran serat berpengaruh terhadap kemampuannya
untuk meningkatkan sifat mekanik biofoam.
merupakan nilai kritis.
Serat dengan ukuran 15 mm
Serat yang terlalu panjang akan menyulitkan proses
pendispersian ke dalam adonan. Sementara itu Cinelli et al. (2006), menyebutkan
bahwa serat jagung yang berbentuk bulat cenderung tidak mampu memperbaiki
Kuat Tekan (N/mm2)
kuat tekan biofoam.
40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
y = 0,814x2 - 7,314x + 33,06
R² = 0,963
PVOH 0%
PVOH 30%
y=
1,069x2
0
- 9,869x + 27,08
R² = 0,996
2
Styrofoam
4
6
Kadar Serat (%)
Gambar 19 Pengaruh Kadar Serat Terhadap Kuat Tekan Biofoam
Penambahan PVOH menurut beberapa penelitian mampu meningkatkan sifat
mekanis biofoam. Menurut Rahmat et al. (2009), pati dan PVOH masing-masing
memiliki gugus hidroksil yang besar yang akan saling berinteraksi melalui ikatan
hidrogen. Adanya penambahan PVOH akan memperkuat struktur yang lemah dari
pati serta meningkatkan ketahanannya terhadap suhu proses yang tinggi (Fishman
et al., 2006).
Parameter sifat mekanis lain yang diamati pada penelitian ini adalah kuat
tarik.
Seperti halnya kuat tekan, penambahan serat diharapkan mampu
memperbaiki kuat tarik.
Namun demikian, hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa penambahan serat cenderung menurunkan kuat tariknya seperti tersaji pada
Tabel 17 dan Gambar 20. Adapun hasil analisis statistik tersaji pada Lampiran 8.
68
Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa ada korelasi negatif antara antara
kadar serat terhadap kuat tarik biofoam. Semakin tinggi kadar serat maka kuat
tariknya cenderung juga berkurang. Seperti halnya pada kuat tekan, penurunan
kuat tarik ini kemungkinan besar disebabkan karena tidak terdisribusinya serat
secara merata pada matriks polimer. Selain itu, penyebab lainnya adalah rendahnya
gaya adhesi antara serat dengan pati sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan
fasa antara pati dan serat (Buzarovska et al., 2008). Namun demikian, penurunan
kekuatan tarik tersebut dapat dicegah dengan menambahkan polimer sintetik
PVOH. Hal ini tampak pada Gambar 20, dimana pada kadar serat yang sama,
penambahan PVOH dapat meningkatkan kuat tarik biofoam Hal ini sejalan dengan
penelitian Siddaramaiah et al. (2003) yang melaporkan bahwa penambahan PVOH
akan meningkatkan sifat mekanis khususnya tensile dan elongasi.
Tabel 17. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok
Penambahan PVOH
0%
41,00c
38,98bc
32,32ab
27,91a
35,05A
(4:0)
(3:1)
(2;2)
(1:3)
Rata-rata Kelompok
30%
43,24a
41,82a
38,47a
37,63a
40,29A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Kuat Tarik (N/mm2)
-
60,00
y = 0,036x2 - 1,226x + 43,46
R² = 0,954
50,00
40,00
30,00
y = -0,148x2 - 1,403x + 41,34
R² = 0,978
20,00
10,00
PVOH 0%
PVOH 30%
Styrofoam
0,00
0
2
4
6
Kadar Serat (%)
Gambar 20. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Kuat Tarik Biofoam
69
Selanjutnya, bila kita membandingkan nilai kuat tarik biofoam terhadap
styrofoam, terlihat bahwa kuat tarik biofoam ini masih lebih tinggi. Namun,
sejalan dengan peningkatan kadar serat akibat penambahan ampok maka kuat
tariknya akan terus berkurang bila tidak dilakukan penambahan polimer sintetik
yaitu PVOH.
(a) Tapioka:Ampok = 4: 0
(Perbesaran 16 X)
(b) Tapioka:Ampok = 1:3
(Perbesaran 12 X)
Gambar 21. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Struktur Morfologi Irisan
Melintang Biofoam
Tampaknya, sifat mekanis dari biofoam dipengaruhi oleh struktur
morfologinya, hal tersebut dapat dilihat dari hasil SEM irisan melintang dari
biofoam seperti tersaji pada Gambar 21. Struktur biofoam dengan rongga yang
besar dan dinding sel yang tipis akan berpengaruh terhadap kuat tekan dari biofoam
tersebut.
Semakin banyak dan besar ukuran rongga yang terbentuk akan
menyebabkan
menurunnya
kekuatan
biofoam
untuk
menerima
tekanan.
Penambahan serat umumnya menyebabkan rongga yang terbentuk semakin besar
dengan bentuk tidak beraturan seperti terlihat pada Gambar 21b di atas. Pada
gambar tersebut terlihat penampang melintang dari permukaan biofoam
menunjukkan bentuk sandwich dimana pada bagian luar atau permukaan terdiri dari
sel berukuran kecil dan rapat sedangkan pada bagian tengahnya terdiri dari sel
berukuran besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Cinelli et al. (2006) yang juga
menggambarkan adanya bentuk sandwich pada pengamatan melintang biofoam.
Selain itu, tampak pula lubang-lubang yang terbentuk sebagai tempat keluar uap air
selama proses ekspansi. Semakin banyak lubang-lubang yang terbentuk maka kuat
tekan dari biofoam akan berkurang karena tidak ada yang dapat menahan besarnya
tekanan yang diberikan pada permukaan biofoam. Hal ini sejalan dengan penelitian
70
Soykeabkaew et al. (2004) yang menyebutkan bahwa struktur berongga umumnya
memiliki kuat tekan yang rendah karena rongga yang ada terbentuk umumnya
memiliki dinding sel yang tipis sehingga akan mudah hancur bila diberi tekanan.
Struktur morfologi juga akan berpengaruh terhadap karakteristik fisik
biofoam khususnya densitas dan daya serap air. Struktur dengan ukuran rongga
yang besar dan banyak akan menghasilkan biofoam dengan densitas yang rendah.
Namun demikian, hal tersebut juga akan berpengaruh pada daya serap airnya.
Semakin banyak rongga maka kemampuan daya serap airnya juga akan semakin
besar.
Hal ini sejalan dengan penelitian Milladinov dan Hanna (2001) yang
menyatakan semakin banyak sel yang terbentuk selama prtoses ekspansi maka luas
permukaan area juga akan bertambah dan hal tersebut akan berpengaruh terhadap
daua serap airnya. Penambahan serat akan menghasilkan struktur morfologi yang
lebih padat karena serat yang ada akan menyerap air lebih besar dan berakibat pada
peningkatan viskositas adonan. Hal ini akan berdampak pada kemampuan ekspansi
biofoam tersebut. Semakin kental maka kemampuan ekspansi akan semakin rendah
dan biofoam yang dihasilkan semakin padat dengan densitas yang rendah.
Penambahan PVOH juga akan meningkatkan densitas biofoam, namun
demikian penambahan PVOH malahan akan meningkatkan kuat tekan biofoam.
Hal ini disebabkan karena selama proses pencetakanran, PVOH akan meleleh dan
lelehannya tersebut akan mengisi rongga-rongga yang terbentuk selama proses
ekspansi.
Kondisi ini juga didukung hasil SEM pada Gambar 22 yang
menunjukkan struktur morfologi biofoam dengan dan tanpa penambahan PVOH.
(a) PVOH 0% (Perbesaran 16 X)
(b) PVOH 30% (Perbesaran 15 X)
Gambar 22. Pengaruh Penambahan PVOH terhadap Struktur Morfologi Irisan
Melintang Biofoam
71
Pada Gambar 22 terlihat bahwa biofoam yang tidak ditambahkan PVOH
cenderung memiliki lubang yang cukup besar. Namun demikian bila ditambahkan
PVOH sebanyak 30%, rongga tersebut menjadi terisi oleh lelehan PVOH. Selain
itu, tampaknya sel-sel yang dihasilkan juga menjadi lebih padat sehingga
menyebabkan kuat tekannya akan bertambah dengan penambahan PVOH tersebut.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian He et al. (2004) yang menyebutkan bahwa
bila PVOH dan pati dicampurkan maka gugus hidroksil yang ada akan membentuk
ikatan hidrogen yang kuat sehingga menghasilkan struktur yang stabil kompak dan
akan berpengaruh pada peningkatan kuat tekannya.
Dengan demikian, penambahan serat pada pembuatan biofoam
harus
dilakukan dalam jumlah yang tepat serta diikuti dengan penambahan polimer
sintetik agar dapat berfungsi sebagai reinforcing filler. Selain itu, penambahan
compatibilizer, pengecilan ukuran serat serta proses pengadukan yang lebih intensif
harus dilakukan agar perbedaan kompatibilitas dapat dikurangi.
Sebagai kemasan ramah lingkungan, tentunya produk biofoam harus mudah
didegradasi secara alamiah sehingga perlu dilakukan pengamatan terhadap tingkat
biodegradabilitas biofoam tersebut.
Adapun cara pengukuran yang digunakan
adalah secara kualitatif dan kuantitatif. Adapun hasil pengamatan serta analisis
statistik terhadap pertumbuhan kapang sebagaimana terdapat pada Tabel 18,
Gambar 23 dan 24 serta pada Lampiran 9.
A2B1
A1B1
A3B1
A4B1
A2B2
A1B2
A3B2
A4B2
Gambar 23 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Penambahan PVOH terhadap
Pertumbuhan Kapang Aspergillus niger pada Permukaan Biofoam
Pengamatan Hari ke-5
72
Tabel 18. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada
Permukaan Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok
(4:0)
(3:1)
(2;2)
(1:3)
Rata-rata Kelompok
Penambahan PVOH
0%
6,67a
33,33b
86,67c
90,00c
54,17B
30%
5,00a
43,33b
53,33bc
63,33c
41,25A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Pada Gambar 23 terlihat bahwa secara visual, pertumbuhan kapang akan
meningkat sejalan dengan peningkatan rasio serat pada adonan biofoam.
Disamping itu, penambahan PVOH tampaknya berpengaruh dalam menekan
pertumbuhan kapang walau dalam jumlah kecil. Hasil ini didukung oleh hasil
analisis statistik yang menunjukkan bahwa pertumbuhan kapang dipengaruhi oleh
faktor rasio tapioka:ampok, penambahan PVOH dan interaksi diantara kedua faktor
tersebut.
Pada Gambar 24, terlihat bahwa peningkatan rasio ampok akan mempercepat
pertumbuhan kapang A. niger pada permukaan biofoam. Namun demikian,
penambahan PVOH mampu menekan laju pertumbuhan kapang tersebut.
Hal ini
kemungkinan besar disebabkan karena semakin banyak ampok yang ditambahkan,
maka semakin banyak sumber makanan berupa serat, lemak dan protein yang
tersedia bagi pertumbuhan kapang. Umumnya A. niger tumbuh dengan baik pada
media yang mengandung senyawa sederhana, namun menurut Acharya et al.
(2008), kapang Aspergilus niger juga tumbuh dengan baik pada media yang
mengandung lignoselulosa. Sementara itu, PVOH walaupun bersifat biodegradable
namun bahan bakunya berasal dari minyak bumi seperti polimer sintetik lainnya.
Dengan demikian, PVOH bukan merupakan media tumbuh yang baik bagi kapang.
73
Pertumbuhan Kapang (%)
120,00
100,00
80,00
y = -1,597x3 + 12,91x2 - 6,111x + 6,666
R² = 1
PVOH 0%
PVOH 30%
60,00
Styrofoam
40,00
y = -0,243x3 - 0,833x2 + 21,80x + 5
R² = 1
20,00
0,00
0
2
4
6
Kadar Serat (%)
Gambar 24. Pengaruh Kadar Serat terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan
Biofoam
Bila dibandingkan dengan styrofoam, maka pertumbuhan kapang dengan
adanya penambahan ampok akan berjalan lebih cepat. Kandungan serat, protein
dan lemak yang ada pada ampok menjadi faktor utama yang mendorong
pertumbuhan kapang tersebut. Dengan demikian dengan penambahan ampok maka
biodegradabilitas biofoam akan meningkat.
Namun yang harus menjadi
pertimbangan adalah pertumbuhan kapang yang terlalu cepat juga akan
menyebabkan umur pakai dari biofoam tersebut juga berkurang.
Analisis biodegradabilitas lainnya yang dilakukan adalah analisa secara
kuantitatif yang dilakukan dengan mengamati kadar gula pereduksi pada media
yang ditambahkan dengan biofoam dan enzim amilase dan selulase.
Adapun
hasilnya seperti terdapat pada Tabel 19 dan Lampiran 10 menunjukkan bahwa
perbedaan rasio tapioka:ampok dan penambahan PVOH tidak berpengaruh terhadap
perubahan gula pereduksi yang terbentuk selama proses hidrolisis biofoam dengan
menggunakan enzim amilase dan selulase. Kemungkinan besar hal tersebut terjadi
karena kedua enzim tersebut bekerja secara sinergis untuk menghidrolisis pati
maupun selulosa yang ada pada ampok.
74
Tabel 19. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Gula Pereduksi (%)
Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok
(4:0)
(3:1)
(2;2)
(1:3)
Rata-rata Kelompok
Penambahan PVOH
0%
12,20a
15,46a
14,02a
13,37a
12,46A
30%
12,95a
13,64a
12,22a
11,00a
13,76A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Dari beberapa parameter yang diamati tampaknya penambahan ampok
berpengaruh positif
terhadap peningkatan hidrofobisitas serta biodegradabilitas
biofoam. Namun demikian, penambahan ampok juga berpengaruh negatif terhadap
karakteristik biofoam karena dapat meningkatkan densitas, menurunkan sifat
mekanis serta mengurangi tingkat kecerahan.
Tampaknya upaya penambahan polimer sintetik PVOH mampu mengurangi
pengaruh negatif penambahan ampok terhadap karakteristik biofoam. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan konsentrasi PVOH
terbaik yang dapat meningkatkan karakteristik biofoam khususnya perbaikan sifat
mekanisnya.
Untuk perlakuan terbaik yang diperoleh pada tahap ini dipilih berdasarkan
hasil terbaik terutama pada parameter daya serap air yang menunjukan
hidrofobisitas, kuat tekan dan kuat tarik yang mewakili sifat mekanis dan
pertumbuhan kapang yang mewakili sifat biodegradabilitas. Untuk daya serap air
dan biodegradabilitas perlakuan terbaik adalah rasio tapioka:ampok (3:1) dengan
penambahan PVOH 30%, sedangkan untuk sifat mekanis, perlakuan terbaik adalah
rasio tapioka:ampok (4:0). Namun karena tingkat pertumbuhan kapangnya terlalu
rendah, maka perlakuan tersebut tidak terpilih. Oleh karena itu dipilih perlakuan
dengan rasio tapioka:ampok (2:2) karena memiliki hasil yang cukup baik untuk
beberapa parameter. Selanjutnya kedua perlakuan ini yaitu rasio tapioka:ampok
75
(3:1) dan (2:2)
digunakan sebagai dasar pembuatan biofoam untuk tahap
selanjutnya.
4.2.3. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Perbaikan Karakteristik
Biofoam
Biofoam yang dihasilkan dengan menggunakan bahan baku tapioka dan
ampok ternyata belum mampu menghasilkan produk biofoam dengan hidrofobisitas
yang tinggi serta
sifat mekanik yang baik.
Pada penelitian tahap I tampak
beberapa parameter tidak hanya dipengaruhi oleh penambahan serat tetapi juga
karena pengaruh dari penambahan PVOH. Oleh sebab itu, pada tahap ke dua ini
dilakukan perbaikan formula dengan memperbesar selang konsentrasi
polimer
sintetik yaitu PVOH mulai dari 0% hingga 50%. Menurut Lee et al. (2004),
pencampuran dengan polimer sintetik yang dapat terdegradasi secara alami
merupakan cara lain untuk memperbaiki hidrofobisitas dan sifat mekanis bioplastik.
Adapun polimer sintetik yang umumnya ditambahkan adalah polilactid acid (PLA),
polivinil alkohol (PVOH) dan policaprolakton (PCL).
Pemilihan PVOH sebagai bahan tambahan pada pembuatan biofoam
dilakukan mengingat PVOH merupakan polimer sintetik yang paling mudah
terdegradasi secara alamiah oleh mikroba yang ada di alam diantara berbagai
polimer vinil lainnya (Chandra dan Rustgi, 1998). Selain itu, PVOH juga mudah
larut dalam air dan dapat dicerna oleh sebagian mikroorganisme dan enzim
(Chiellini et al., 2009).
Sifat atau karakteristik PVOH ditentukan oleh derajat hidrolisa, berat
molekul, kadar air dan plastisizer yang digunakan pada proses pembuatannya (Tang
dan Alavi, 2011).
Umumnya PVOH dengan tingkat hidrolisa sebagian masih
memiliki gugus asetat yang dapat mengurangi tingkat kristalinitasnya. Selain itu
PVOH ini juga memiliki titik leleh yang lebih rendah, lebih mudah diproses,
kekuatan yang lebih rendah serta tingkat kelarutan dalam air yang juga rendah
dibandingkan yang terhidrolisa sempurna.
Pada Tahap ke-2 ini, rasio tapioka:ampok yang digunakan adalah hasil terbaik
pada tahapan sebelumnya yaitu 3:1 dan 2:2.
Selanjutnya ditambahkan PVOH
dengan konsentrasi 0,10,20,30,40 dan 50% dari berat bahan kering yang digunakan.
76
Selain itu juga ditambahkan beberapa bahan lain seperti magnesium stearat yang
berfungsi sebagai demolding agent untuk memudahkan biofoam terlepas dari
cetakan.
Adapun karakterisasi yang dilakukan terhadap biofoam yang dihasilkan sama
halnya dengan yang dilakukan pada tahapan sebelumnya yaitu meliputi sifat fisik,
mekanik, dan biodegradabilitas dari biofoam
Pengamatan terhadap parameter kadar air menunjukkan adanya penurunan
kadar air dibandingkan dengan hasil pada tahap pertama. Pada tahapan ke dua ini,
kadar air biofoam berkisar antara 5,72-7,73% sementara pada tahap pertama
berkisar 6,28-8,06%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi PVOH
berpengaruh terhadap kadar air biofoam (Tabel 20 dan Lampiran 11). Hal ini
sejalan dengan penelitian Salgado et al. (2008) yang menyatakan bahwa penurunan
kadar air dipengaruhi oleh penambahan polimer sintetik, protein dan serat. Pada
Gambar 25 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi PVOH maka kadar air akan
semakin berkurang. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena PVOH bersifat
lebih hidrofobik dibandingkan pati.
Hal ini didukung penelitian Cinelli et al.
(2006) yang menyatakan bahwa penambahan PVOH 10-30% pada campuran pati
kentang dapat meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan terhadap air dari biofoam.
Tabel 20. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Air (%) Biofoam
Konsentrasi PVOH
(%)
0
10
20
30
40
50
Rata-rata Kelompok
Rasio Tapioka : Ampok
3:1
2:2
b
6,82
7,41c
7,73c
6,84bc
7,15b
6,33ab
6,28a
6,29ab
6,92b
5,91a
6,66ab
5,72a
6,93B
6,42A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
77
Selain itu, pengaruh dari rasio tapioka:ampok juga turut berpengaruh terhadap
kadar air biofoam pada tahapan ini. Peningkatan rasio ampok dari 25% menjadi
50% dapat menurunkan kadar air kurang lebih sebesar 1%. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Benezet et al. (2011), yang menyebutkan bahwa penambahan serat
akan memperbaiki sensitivitas pati terhadap air.
9,00
y = -0,001x2 + 0,025x + 7,058
R² = 0,612
8,00
Kadar Air (%)
7,00
6,00
y = 0,001x2 - 0,073x + 7,434
R² = 0,944
5,00
4,00
Rasio 2:2
3,00
Rasio 3:1
2,00
Styrofoam
1,00
0,00
0
10
20
30
40
50
Konsentrasi PVOH (%)
Gambar 25. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Air Biofoam
Penambahan polimer sintetik umumnya mampu meningkatkan hidrofobisitas
biofoam, namun pada penelitian ini peningkatan konsentrasi PVOH tidak
berpengaruh terhadap penurunan daya serap air sebagaimana tersaji pada Tabel 21,
Gambar 26. Hasil uji statistik pada Lampiran 12 juga menunjukkan hal yang
serupa. Tampaknya penggunaan polimer sintetik PVOH yang juga mengandung
gugus hidroksil menyebabkan penyerapan air pada produk biofoam tersebut tetap
tinggi. Shogren et al. (1998), menyatakan bahwa penambahan PVOH dalam
konsentrasi tinggi baru mampu meningkatkan ketahanan foam terhadap kontak
langsung dengan air.
Daya serap air umumnya dipengaruhi oleh komposisi bahan baku,
kristalinitas, serta mikrostruktur biofoam tersebut. Perbedaan mikrostruktur sendiri
dipengaruhi oleh kemampuan biofoam untuk melakukan ekspansi yang
berpengaruh pada ketebalan dinding sel dan ukuran selnya (Benezet et al., 2011).
78
Tabel 21. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam
Konsentrasi PVOH
(%)
0
10
20
30
40
50
Rata-rata Kelompok
Rasio Tapioka : Ampok
3:1
2:2
a
40,63
36,80a
40,45a
36,56a
34,12a
40,94a
28,72a
34,04a
39,18a
44,22a
34,99a
30,19a
36,81A
38,46A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
60
y = -0,001x2 + 0,116x + 36,47
R² = 0,122
Daya Serap Air (%)
50
40
30
Rasio 2:2
y=
0,007x2
20
- 0,492x + 41,33
R² = 0,387
Rasio 3:1
Styrofoam
10
0
0
10
20
30
40
50
Konsentrasi PVOH (%)
Gambar 26. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air Biofoam
Tidak seperti halnya tapioka, PVOH
berekspansi tanpa adanya blowing agent.
tidak memiliki kemampuan untuk
Dengan demikian, peningkatan
prosentase PVOH akan mengurangi kemampuan ekspansi biofoam karena
berkurangnya jumlah pati pada adonan sehingga proses ekspansi menjadi
terhambat.
Selain itu, penambahan PVOH juga akan meningkatkan viskositas
adonan karena gugus hidroksil yang ada pada pati akan dengan mudah mengikat
79
air. Akibatnya proses ekspansi menjadi terhambat yang berdampak pada
meningkatnya densitas biofoam.
Hasil penelitian seperti tersaji pada Tabel 22 menunjukkan bahwa densitas
foam berbahan baku tapioka dan ampok berkisar 0,33-0,55 g/cm3, di mana foam
yang dihasilkan dari campuran tapioka:ampok 2:2 dengan konsentrasi PVOH 40%
memiliki densitas tertinggi (0,55 g/cm3).
Nilai densitas yang diperoleh pada
tahapan ini meningkat dibandingkan dengan hasil penelitian pada tahapan
sebelumnya dimana densitas biofoam berkisar antara 0,25-0,45 g/cm3. Diduga
peningkatan konsentrasi PVOH
tersebut.
berpengaruh terhadap peningkatan densitas
Sementara itu, bila dibandingkan dengan styrofoam maka densitas
biofoam jauh lebih tinggi dibandingkan styrofoam yang memiliki densitas 0,050,09 g/cm3 (Shogren et al, 1998;. Glenn dan Orts, 2001).
Tabel 22. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam
Konsentrasi PVOH
(%)
0
10
20
30
40
50
Rata-rata Kelompok
Rasio Tapioka : Ampok
3:1
2:2
a
0,38
0,33a
0,37a
0,46ab
0,44a
0,49b
0,45a
0,42ab
0,47a
0,55b
0,48a
0,48b
0,43A
0,45B
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Hasil uji statistik pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa pada biofoam
dengan rasio tapioka:ampok (3:1), peningkatan konsentrasi PVOH tidak
berpengaruh terhadap densitas.
Namun pada rasio tapioka:ampok (2:2),
peningkatan konsentrasi PVOH akan meningkatkan densitas.
Hal ini diduga
disebabkan karena kedua bahan baku yaitu serat dan PVOH dapat meningkatkan
kekentalan adonan sehingga interaksi antara keduanya secara kumulatif akan
80
menekan kemampuan ekspansi sehingga menghasilkan biofoam yang lebih padat
dengan densitas yang lebih tinggi.
0,7
y = -0,000x2 + 0,008x + 0,351
R² = 0,603
Densitas (g/cm3)
0,6
0,5
0,4
Rasio 2:2
y = -2E-05x2 + 0,003x + 0,369
R² = 0,857
0,3
0,2
Rasio 3:1
Styrofoam
0,1
0
0
10
20
30
Konsentrasi PVOH (%)
40
50
Gambar 27. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas Biofoam
Seperti halnya pada penelitian Tahap I, pengukuran warna juga dilakukan
terhadap biofoam yang dihasilkan.
Pengukuran meliputi nilai L*, a* dan b*
selanjutnya dilakukan penghitungan nilai 0Hue dari biofoam.
Adapun hasil
pengukuran warna yang meliputi tingkat kecerahan dan 0Hue seperti tersaji pada
Tabel 23 dan Gambar 28. Pada Gambar 28 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi
PVOH dapat menurunkan tingkat kecerahan dari biofoam. Hasil uji statistik seperti
tersaji pada Lampiran 14 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
PVOH yang ditambahkan maka nilai tingkat kecerahan akan semakin berkurang
atau dengan kata lain, biofoam akan semakin berwarna gelap. Diduga hal tersebut
disebabkan karena penambahan PVOH akan meningkatkan viskositas adonan,
akibatnya waktu yang dibutuhkan untuk proses pembakaran juga akan meningkat.
Hal ini disebabkan karena meningkatnya viskositas akan mengurangi pergerakan
air selama proses pengeringan (Cinelli et al., 2006). Proses pembakaran yang
semakin lama akan berpengaruh terhadap warna dari biofoam yang dihasilkan.
Peningkatan konsentrasi PVOH juga berpengaruh terhadap nilai 0Hue biofoam
seperti tersaji pada Tabel 24 dan didukung hasil uji statistik pada Lampiran 15.
81
Tabel 23. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam
Konsentrasi PVOH
Rasio Tapioka : Ampok
(%)
3:1
2:2
0
87,18b
84,52c
10
86,49b
83,18bc
20
85,13b
80,51abc
30
81,84a
80,48ab
40
82,75a
81,87bc
50
83,58ab
78,41a
Rata-rata Kelompok
84,50B
81,66A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
90
y = 0,003x2 - 0,242x + 87,81
R² = 0,816
Tingkat Kecerahan
88
86
84
82
Ampok 50%
80
Ampok 25%
y = 0,000x2 - 0,116x + 84,29
R² = 0,801
78
76
0
10
20
30
40
50
Konsentrasi PVOH (%)
Gambar 28. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam
82
Tabel 24. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Nilai 0Hue Biofoam
Konsentrasi PVOH
(%)
0
10
20
30
40
50
Rata-rata Kelompok
Rasio Tapioka : Ampok
3:1
2:2
b
87,18
84,52c
86,49b
83,18bc
85,13b
80,51abc
81,84a
80,48ab
82,75a
81,87bc
83,58ab
78,41a
84,50B
81,66A
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Selain berpengaruh terhadap sifat fisik biofoam, penambahan PVOH juga
dimaksudkan untuk memperbaiki sifat mekanis dari biofoam. Menurut Fishman et
al. (2010), penambahan PVOH dapat memperkuat struktur pati yang lemah
sekaligus meningkatkan kemampuannya terhadap
proses pemanasan. Hal ini
terjadi karena pati dan PVOH sama sama memiliki gugus hidroksil yang dapat
saling berikatan melalui ikatan hidrogen (Rahmat et al., 2009). Adapun pengaruh
dari penambahan PVOH terhadap kuat tekan biofoam tersaji pada Tabel 25,
Gambar 29 serta Lampiran 16 untuk analisis statistiknya.
Tabel 25. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam
Konsentrasi PVOH
(%)
0
10
20
30
40
50
Rata-rata Kelompok
Rasio Tapioka : Ampok
3:1
2:2
a
10,94
5,40a
10,39a
8,50a
15,44a
18,25b
23,35a
15,19b
29,33b
36,49c
33,29b
50,43d
18,79A
22,46B
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
83
Pada Tabel 25 dan Gambar 29 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi PVOH
akan meningkatkan kuat tekan biofoam baik pada rasio ampok 25% ataupun 50%.
Penambahan ampok 50%, akan meningkatkan kuat tekan biofoam lebih besar bila
dibandingkan penambahan ampok 25%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Cinelli et al. (2006), yang menyebutkan bahwa penambahan PVOH pada
pembuatan foam berbasis pati akan mendorong terbentuknya struktur yang lebih
resisten dan lebih kaku terhadap adanya tekanan. PVOH dan pati masing-masing
memiliki gugus hidroksil yang akan saling berikatan membentuk ikatan hidrogen
yang kuat.
Hal ini diduga yang menyebabkan kekuatan biofoam mengalami
peningkatan, sedang menurut Shogren et al. (1998), penambahan PVOH 10-30% ke
dalam adonan dapat meningkatkan fleksibilitas, kekuatan dan ketahanan terhadap
air.
60
Kuat Tekan (N/mm2)
50
y = 0,018x2 - 0,036x + 6,541
R² = 0,950
40
30
Rasio 2:2
Rasio 3:1
20
y = 0,004x2 + 0,269x + 9,414
R² = 0,966
10
Styrofoam
0
0
10
20
30
40
50
Konsentrasi PVOH (%)
Gambar 29. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan Biofoam
Selain berpengaruh terhadap peningkatan kuat tekan biofoam, peningkatan
konsentrasi PVOH juga berpengaruh terhadap peningkatan kuat tarik biofoam
dengan penambahan ampok 25%. Sebaliknya, pada biofoam yang ditambahkan
ampok 50%, peningkatan konsentrasi PVOH malahan akan menurunkan kuat
tariknya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 26, Gambar 30 dan Lampiran 17.
84
Tabel 26. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam
Konsentrasi PVOH
(%)
Rasio Tapioka : Ampok
3:1
2:2
ab
38,98
32,32ab
35,74a
32,06ab
45,23ab
45,69c
41,83ab
38,47bc
46,45ab
34,53ab
48,85b
27,52a
42,84A
35,10A
0
10
20
30
40
50
Rata-rata Kelompok
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
60
y = -0,000x3 + 0,009x2 - 0,007x + 38,12
R² = 0,732
Kuat Tarik (N/mm2)
50
40
30
Rasio 3:1
y = -0,000x3 - 0,01x2 + 0,703x + 30,95
R² = 0,694
20
Rasio 2:2
Styrofoam
10
0
0
10
20
30
40
50
60
Konsentrasi PVOH (%)
Gambar 30. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik Biofoam
Penambahan serat dalam jumlah besar akan menyebabkan berkurangnya
kompatibilitas antara pati, serat dan PVOH. Perbedaan kompatibilitas ini akan
menyebabkan semua bahan tidak dapat tercampur merata sehingga pada saat
pencetakan, serat maupun polimer tidak terdistribusi secara merata pada permukaan
biofoam. Menurut Hanna dan Xu (2009), penambahan serat melebihi 10% akan
85
menyebabkan pendispersian serat menjadi sulit sehingga menghasilkan gumpalan
serta lubang-lubang pada permukaan biofoam. Sementara itu, Lawton et al. (2004)
menyebutkan bahwa tray foam dengan kandungan serat melebihi 30% kekuatannya
akan berkurang.
Selain jumlah serat, tampaknya arah serat pada matriks berperan penting
dalam meningkatkan sifat mekanis biofoam. Kemampuan serat dalam memperkuat
matriks akan rendah bila arah serat berlawanan dengan arah saat penuangan adonan
ke dalam cetakan.
Hal ini disebabkan karena arah yang berlawanan akan
menghambat penyebaran tekanan yang diberikan terhadap matriks (Alvarez et al.,
2006).
Sebaliknya bila arah serat searah maka kekuatan yang diperoleh oleh
matriks akan berlipat ganda (Romhany et al., 2003).
Seperti telah dibahas pada tahapan sebelumnya, tampaknya hubungan antara
struktur morfologi biofoam, sifat fisik dan sifat mekanis saling berhubungan.
Pada Gambar 31 terlihat bahwa ada hubungan antara densitas biofoam dengan kuat
tekannya.
Pada biofoam dengan rasio tapioka:ampok (3:1) maupun (2:2),
peningkatan konsentrasi PVOH akan meningkatkan densitasnya.
Kenaikan
densitas tersebut diikuti pula oleh kenaikan kuat tekannya karena rongga-rongga
yang ada pada foam akan terisi oleh lelehan polimer. Akibatnya produk biofoam
menjadi lebih padat yang dapat menahan beban yang diberikan pada
permukaannya. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Chiellini et al. (2009)
yang menyatakan bahwa penambahan PVOH dapat berfungsi sebagai reinforcing
agent yang akan menambah kekuatan biofoam serta mengurangi brittleness atau
kerapuhan pada biofoam. Selain itu adanya ikatan yang kuat antara gugus hidroksil
yang ada pada PVOH dan tapioka akan menyebabkan terbentuknya struktur yang
resisten, kompak dan sinergis (He et al., 2004; Rahmat et al., 2009).
Sementara itu, untuk sifat kuat tarik sebagaimana terdapat pada Gambar 32
terlihat ada perbedaan dengan fenomena yang
terjadi pada kuat tekan. Pada
biofoam dengan rasio tapioka:ampok (3:1), peningkatan densitas biofoam diikuti
oleh peningkatan kuat tariknya.
Namun demikian, pada biofoam yang rasio
tapioka:ampok yang lebih tinggi (2:2), peningkatan densitas karena peningkatan
konsentrasi PVOH tidak diikuti dengan peningkatan kuat tariknya tetapi cenderung
86
menurunkan kuat tariknya. Hal ini diduga disebabkan karena serat ampok bukan
termasuk serat panjang yang dapat membantu meningkatkan fleksibilitas biofoam
Kuat Tekan (N/mm2)
seperti halnya serat rami, bambu.
60
50
40
30
20
Rasio 3:1
10
Rasio 2:2
0
0,3
0,35
0,4
0,45
0,5
0,55
0,6
Densitas (g/cm3)
Kuat Tarik (N/mm2)
Gambar 31 Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan Biofoam dengan
Penambahan PVOH
60
50
40
30
20
10
0
Rasio 3:1
Rasio 2:2
0,3
0,35
0,4
0,45
0,5
0,55
0,6
Densitas (g/cm3)
Gambar 32. Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tarik Biofoam dengan
Penambahan PVOH
Penambahan serat yang terlalu banyak akan menyebabkan berkurangnya
kompatibilitas antara tapioka dan PVOH. Selain itu, penambahan serat juga dapat
menyebabkan menurunnya kemampuan ekspansi biofoam sehingga biofoam tidak
memiliki rongga-rongga yang cukup sehingga akan lebih mudah dipatahkan atau
dibengkokkan (Cinelli et al., 2006).
Penambahan PVOH tampaknya lebih berpengaruh terhadap perbaikan sifat
mekanis biofoam dibandingkan dengan penambahan serat. Selain itu, penambahan
PVOH juga dapat berpengaruh terhadap peningkatan hidrofobisitas khususnya
kadar air sementara untuk daya serap air tidak berpengaruh. Penambahan PVOH
87
juga tidak berpengaruh terhadap kemampuan biodegradabilitas biofoam seperti
tersaji pada Tabel 27, Gambar 33 maupun Lampiran 18. Pada Gambar 33 terlihat
bahwa peningkatan biodegradabilitasnya lebih dipengaruhi oleh peningkatan rasio
ampok dari 25% menjadi 50%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena PVOH
merupakan polimer sintetik yang berasal dari turunan minyak bumi sehingga
kurang disukai oleh kapang.
Dengan demikian walaupun konsentrasi PVOH
ditambahkan, jumlah kapang yang tumbuh pada permukaan biofoam cenderung
tetap. Penambahan rasio ampok dari 25% menjadi 50% dapat meningkatkan
pertumbuhan kapang sekitar 40% seperti tersaji pada Gambar 34.
Tabel 27. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada
Permukaan Biofoam
Konsentrasi PVOH
(%)
0
10
20
30
40
50
Rata-rata Kelompok
Rasio Tapioka : Ampok
3:1
2:2
a
33,33
86,67b
46,67a
83,33b
46,67a
73,33ab
43,33a
63,33a
46,67a
70,00ab
33,33a
83,33b
48,67A
76,67B
Keterangan :
-
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
antar perlakuan
Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Pertumbuhan Kapang (%)
-
y = 0,026x2 - 1,529x + 90,35
R² = 0,784
100
80
60
Rasio 2:2
40
Rasio 3:1
y = -0,021x2 + 1,061x + 34,76
R² = 0,791
20
Styrofoam
0
0
10
20
30
40
50
Konsentrasi PVOH (%)
Gambar 33. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang
pada Permukaan Biofoam
88
B
A
F
C
A
A
D
E
G
H
A
A
I
J
A
Keterangan :
A: tapioka:ampok (3:1): PVOH 10%
B: tapioka:ampok (3:1): PVOH 20%
C: tapioka:ampok (3:1): PVOH 30%
D: tapioka:ampok (3:1): PVOH 40%
E: tapioka:ampok (3:1): PVOH 50%
A
F: tapioka:ampok (2:2): PVOH 10%
G: tapioka:ampok (2:2): PVOH 20%
H: tapioka:ampok (2:2): PVOH 30%
I : tapioka:ampok (2:2): PVOH 40%
J : tapioka:ampok (2:2): PVOH 50%
Gambar 34. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang A. niger
pada Permukaan Biofoam pada Pengamatan Hari ke-5
Sementara itu, pada pengamatan biodegradabilitas secara kuantitatif,
peningkatan konsentrasi PVOH, rasio ampok maupun interaksinya juga tidak
berpengaruh terhadap perubahan gula pereduksi seperti tersaji pada Gambar 35 dan
Lampiran 19.
Hal ini diduga karena enzim selulase maupun amilase yang
ditambahkan tidak mampu mendegradasi PVOH menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Selain itu jumlah selulase yang ditambahkan jumlahnya tetap padahal
jumlah ampok bertambah, akibatnya tidak semua selulosa yang ada dapat diuraikan.
y = -0,004x + 12,57
R² = 0,004
Biodegradabilitas Enzimatis
(Kadar Gula Pereduksi (%)
14,00
12,00
10,00
y = -0,011x + 12,97
R² = 0,016
8,00
Rasio 2:2
6,00
Rasio 3:1
4,00
Styrofoam
2,00
0,00
0
10
20
30
40
50
Konsentrasi PVOH (%)
Gambar 35. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kemampuan
Biodegradabilitas Biofoam Secara Enzimatis
89
Pengamatan terhadap struktur permukaan biofoam karena pengaruh
penambahan PVOH seperti terlihat pada Gambar 36 menunjukkan bahwa
peningkatan konsentrasi PVOH cenderung menurunkan kemampuan ekspansi
biofoam.
Hal ini terlihat dari ukuran sel pada bagian interior biofoam yang
cenderung mengecil dibandingkan denganyang tanpa penambahan PVOH. Lelehan
polimer tampak memenuhi rongga yang terbentuk akibat proses ekspansi. Hal ini
menyebabkan kuat tekan dari biofoam akan bertambah. Densitas yang bertambah
besar juga terlihat dari semakin padatnya sel-sel pada permukaan biofoam.
P1K0 (16 X)
P1K2 (20 X)
P1K4 (14 X)
P2K0 (15 X)
P2K2 (20 X)
P2K4 (20 X)
Keterangan:
P1K0:Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 0% P2K0:Tapioka:Ampok (2:2):PVOH 0%
P1K2:Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 20% P2K2:Tapioka:Ampok (2:2):PVOH 20%
P1K4:Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 40% P2K4:Tapioka:Ampok (2:2):PVOH 40%
Gambar 36. Pengaruh Konsentrasi PVOH dan Rasio Tapioka:Ampok terhadap
Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam
Sementara itu bila dilihat dari gambar hasil pengamatan dengan
menggunakan mikroskop terpolarisasi seperti tersaji pada Gambar 37, terlihat
bahwa biofoam tanpa penambahan ampok dan PVOH, granula pati mengalami
gelatinisasi sempurna yang ditandai dengan hilangnya sifat birefringent.
Pada
biofoam dengan rasio tapioka:ampok (3:1) dengan penambahan PVOH 30%. Sifat
90
birefringent tersebut masih ada yang berarti belum semua bahan tersebut
mengalami gelatinisasi secara sempurna.
Tapioka:Ampok (4:0):PVOH 0%
Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 50%
Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 30%
Tapioka:Ampok (2:2):PVOH 50%
Gambar 37. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Konsentrasi PVOH terhadap
Hasil Polarized Microscope Biofoam (Perbesaran 10 X)
Pada biofoam dengan konsentrasi PVOH 50%, baik pada rasio
tapioka:ampok 3:1 maupun 2:2, sifat birefringent pada granula pati juga masih ada
walaupun prosentasenya lebih kecil bila dibandingkan dengan biofoam dengan
konsentrasi PVOH 30%. Ampok memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tapioka yaitu sekitar 930C sedang tapioka 67,50C. Perbedaan
suhu gelatinisasi tersebut menyebabkan tidak semua granula pati yang ada pada
ampok mengalami gelatinisasi. Tampaknya dengan adanya penambahan ampok
yang banyak mengandung serat, protein dan lemak menyebabkan proses
gelatinisasi pati menjadi terhambat sehingga tidak semua granula pati mengalami
gelatinisasi secara sempurna (Vercelheze et al., 2012).
Sampai tahapan ini, beberapa perbaikan karakteristik sifat fisik, mekanis
maupun biodegradabilitas sudah berhasil dilakukan, namun demikian bila
dibandingkan dengan styrofoam, masih banyak karakteristik biofoam yang masih
91
harus ditingkatkan lagi khususnya hidrofobisitasnya karena daya serap airnya masih
cukup tinggi. Oleh karena itu dilakukan penelitian lanjutan untuk perbaikan sifat
hidrofobik tersebut.
Dari semua parameter yang diamati hingga tahapan penelitian ini terlihat
bahwa penambahan PVOH berpengaruh terhadap peningkatan sifat mekanis yaitu
kuat tekan dan kuat tarik. Namun demikian peningkatan sifat mekkanis ini harus
diikuti dengan penambahan serat dalam jumlah yang tepat.
Untuk penentuan komposisi terbaik pada tahapan ini adalah dengan melihat
parameter kunci yang ingin dicapai pada tahapan penelitian ini. Pada tahap ke dua
ini, penambahan PVOH dimaksudkan untuk meningkatkan sifat mekanis sehingga
dengan demikian yang menjadi parameter utama adalah peningkatan sifat mekanis
yaitu kuat tekan serta kuat tarik dengan diimbangi dengan parameter lain yaitu
hidrofobisitas, biodegradabilitas dan densitas. Sebenarnya bila dilihat dari
parameter kuat tekan, semakin tinggi PVOH yang ditambahkan maka kuat tekan
akan semakin meningkat. Namun demikian, perlakuan P2K5 memiliki kuat tarik
yang rendah serta tingkat pertumbuhan kapang yang terlalu cepat. Oleh sebab itu
maka, perlakuan terpilih adalah yang memiliki kuat tekan dan kuat tarik cukup
tinggi dengan pertumbuhan kapang yang tidak terlalu tinggi agar umur pakai
kemasan tersebut bisa lebih panjang. Adapun komposisi terpilih adalah perlakuan
P1K3 dengan alasan memiliki kuat tekan dan kuat tarik
cukup tinggi (23,35
N/mm2; 41,82 N/mm2) dengan tingkat biodegradabilitas sedang (43,33%) serta
hidrofobisitas tertinggi dibanding perlakuan lainnya yaitu 28,72%.
Apabila dibandingkan dengan styrofoam, maka karakteristik biofoam yang
dihasilkan dengan perlakuan ini tidak berbeda khususnya untuk parameter kuat
tekan dan daya serap air.
Bahkan untuk parameter kuat tarik maupun
biodegradabilitasnya khususnya pertumbuhan kapang, hasil yang diperoleh lebih
baik dibandingkan styrofoam seperti tersaji pada hasil uji-T pada Tabel 28.
92
Tabel 28. Uji-T untuk Formulasi Terbaik (P1K3) dibandingkan Styrofoam
Parameter
Kadar air (%)
Densitas (g/cm3)
Kecerahan
Nilai Hue (0)
Daya Serap Air (%)
Kuat Tekan (N/mm2)
Kuat Tarik (N/mm2)
Pertumbuhan Kapang (%)
Gula pereduksi (%)
P1K3
6,28
0,44
81,84
90,50
28,72
23,35
41,82
43,33
15,46
Styrofoam
0,83
0,04
89,83
93,18
26,12
29,12
29,16
6,67
2,21
Signifikansi
0,0001
0,0011
0,0385
0,001
0,1375
0,1786
0,0034
0,0043
0,0012
Keterangan : Angka yang dicetak tebal pada kolom signifikansi menunjukkan tidak
ada perbedaan nyata antara perlakuan dengan styrofoam.
4.3. Perbaikan Karakteristik Biofoam
4.3.1. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Karakteristik
biofoam
Karakteristik biofoam yang dihasilkan pada tahap ke 2 sudah mampu
mendekati karakteristik styrofoam. Namun demikian, untuk lebih meningkatkan
hidrofobisitasnya maka dirasa perlu untuk menambahkan bahan hidrofobik untuk
mengurangi penyerapan air pada permukaan biofoam. Adapun penambahan bahan
hidrofobik dilakukan dengan menambahkan pati hidrofobik, yaitu pati modifikasi
yang diberi lapisan hidrofobik pada permukaan granula patinya sehingga bila
ditetesi air tidak mudah basah. Bahan ini biasanya digunakan pada industri cat
untuk menngurangi penyerapan air ke dalam dinding yang dilapisi cat.
Adapun pengaruh dari penambahan pati hidrofobik terhadap sifat fisik dan
mekanis biofoam seperti terdapat pada Tabel 29 dan 30. Pada tabel tersebut terlihat
bahwa penambahan pati hidrofobik pada formula pembuatan biofoam tampaknya
tidak berpengaruh terhadap karakteristik biofoam.
Sifat hidrofobik yang ada pada pati tersebut
menyebabkan air yang
ditambahkan pada adonan sulit menyerap dengan baik ke dalam granula pati.
Akibatnya air yang seharusnya dapat berfungsi sebagai blowing agent tidak dapat
dimanfaatkan pada proses ekspansi sehingga biofoam yang dihasilkan cenderung
lebih padat dengan densitas yang lebih tinggi dibandingkan bila menggunakan pati
alami.
Hal ini dapat terlihat pada Gambar 38, dimana peningkatan rasio pati
93
hidrofobik cenderung meningkatkan densitas biofoam. Namun demikian hasil
analisis statistik menunjukkan peningkatan densitas tersebut tidak berbeda nyata
(Lampiran 21).
Tabel 29. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap Karakteristik Sifat
Fisik Biofoam
Rasio
Tapioka: PH
4:0
3:1
2:2
1:3
0:4
Kadar
Air (%)
Densitas
(g/cm3)
Tingkat
Nilai
Kecerahan 0Hue
6,54a
6,40a
6,51a
6,49a
7,18a
0,54a
0,56a
0,61a
0,66a
0,66a
85,36a
85,03a
84,80a
84,31a
83,63a
99,70a
98,17a
98,57a
100,97a
97,80a
Daya
Serap Air
(%)
34,43a
36,18a
35,42a
39,35a
37,35a
Catatan : Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
Tabel 30. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap Karakteristik Sifat
Mekanis dan Biodegradabilitas Biofoam
Rasio
Tapioka:
PH
4:0
3:1
2:2
1:3
0:4
Kuat
Tekan
(N/mm2)
23,91a
24,14a
17,61a
17,17a
21,15a
Kuat
Tarik
(N/mm2)
43,36a
41,49a
44,23a
34,56a
30,92a
Pertumbuhan
Kapang (%)
Gula Pereduksi
(%)
50,00a
46,67a
45,00a
40,00a
30,00a
11,99a
13,16a
13,83a
11,91a
11,81a
Catatan : Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan
Penambahan pati hidrofobik sebenarnya diharapkan dapat menurunkan nilai
daya serap air dari biofoam, namun demikian data hasil penelitian menunjukkan
bahwa penambahan pati hidrofobik tidak berpengaruh terhadap densitas biofoam
maupun daya serap airnya seperti tersaji pada Gambar 38 serta hasil analisis
statistik pada Lampiran 24.
Biofoam tanpa penambahan pati hidrofobik justru
memiliki daya serap air terendah dibandingkan biofoam yang ditambahkan dengan
pati hidrofobik walaupun secara statistik tidak berbeda nyata.
Daya Serap Air (%)
94
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
0,5
0,55
0,6
0,65
0,7
Densitas (g/cm3)
Gambar 38. Korelasi antara Densitas terhadap Daya Serap Air Biofoam dengan
Penambahan Pati Hidrofobik
Penambahan pati hidrofobik juga tidak berpengaruh pada perbaikan sifat
mekanis biofoam yang dihasilkan. Hasil pengujian terhadap kuat tekan dan kuat
tarik seperti tampak pada Gambar 39 menunjukkan bahwa penambahan pati
hidrofobik tidak berpengaruh terhadap kuat tekan tetapi berpengaruh negatif
terhadap kuat tarik biofoam.
Namun demikian, hasil uji statistik menunjukkan
bahwa penambahan pati hidrofobik tidak berpengaruh baik terhadap kuat tekan
Kuat Tekan/Kuat Tarik (N/mm2)
maupun kuat tarik (Lampiran 25 dan 26).
50
45
40
35
30
25
20
Kuat Tekan
15
Kuat Tarik
10
5
0
0,5
0,55
0,6
0,65
0,7
Densitas (g/cm3)
Gambar 39. Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan dan Kuat Tarik
Biofoam dengan Penambahan Pati Hidrofobik
95
Hasil pengamatan terhadap tingkat biodegradabilitas biofoam dengan
penambahan pati hidrofobik terlihat dapat menurunkan tingkat pertumbuhan
kapang A.niger pada permukaan biofoam seperti tersaji pada Gambar 40. Namun
demikian hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan pati hidrofobik tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan kapang (Lampiran 27).
Sementara itu, pengamatan biodegradabilitas secara kuantitatif dengan
menggunakan enzim selulase dan amilase juga menunjukkan bahwa peningkatan
rasio pati hidrofobik terhadap tapioka tidak berpengaruh terhadap perubahan kadar
gula pereduksi (Lampiran 28). Hal ini berarti kemampuan biodegradabilitas
biofoam secara enzimatis juga tidak terpengaruh dengan penambahan pati
hidrofobik. Penggunaan pati hidrofobik yang berasal dari tapioka
memiliki
komposisi kimia tidak jauh berbeda dengan pati alami menyebabkan tidak ada
perbedaan pada kadar gula pereduksi yang dihasilkan dari penambahan enzim
selulase dan amilase pada sampel yang diamati.
X1
X2
X3
X5
X4
Keterangan :
X1= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 4 : 0
X2= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 3 : 1
X3= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 2 : 2
X4= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 1 : 3
X5= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 0 : 4
Gambar 40. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Pertumbuhan Kapang
A.niger pada Permukaan Biofoam
Hasil
pengamatan
terhadap
struktur
morfologi
biofoam
dengan
menggunakan SEM seperti tersaji pada Gambar 41 memperlihatkan bahwa tidak
96
semua granula pati khususnya pati hidrofobik mengalami dekstrusi akibat proses
gelatinisasi. Beberapa granula pati dapat terlihat dengan jelas dan tidak mengalami
dekstrusi akibat proses gelatinisasi. Diduga hal tersebut disebabkan karena lapisan
bahan hidrofobik yang menyebabkan penetrasi cairan sulit menembus ke dalam
granula pati, sehingga proses gelatinisasi tidak berjalan sempurna.
X1 ( 20X)
X2 (20 X)
X4 (20 X)
X3 (20 X)
X5 (14 X)
Keterangan :
X1= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 4 : 0
X2= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 3 : 1
X3= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 2 : 2
X4= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 1 : 3
X5= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 0 : 4
Gambar 41. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Struktur Morfologi
Irisan Melintang Biofoam
Sementara itu, bila diamati pada permukaan biofoam yang dihasilkan,
penambahan pati hidrofobik cenderung menyebabkan permukaan biofoam lebih
banyak memiliki lubang-lubang kecil (Gambar 42). Lubang-lubang ini diduga
disebabkan oleh dorongan uap air yang mendesak keluar selama proses pemanasan.
Adanya lubang-lubang tersebut dapat meningkatkan sensitifitas biofoam terhadap
air karena lubang tersebut menjadi pintu masuk penetrasi air ke dalam dinding
97
biofoam sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan daya serap air pada
biofoam.
Pati Hidrofobik 20% (15 X)
Pati Hidrofobik 0% (15 X)
Gambar 42. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Struktur Morfologi
Permukaan Biofoam
Dari beberapa parameter yang diamati, ternyata penambahan pati hidrofobik
tidak terlalu berpengaruh terhadap perbaikan karakteristik biofoam sehingga
komposisi terbaik tetap komposisi terbaik yang dihasilkan pada
Tahapan
sebelumnya yaitu perlakuan P1K3.
4.3.2. Perbaikan Sifat Hidrofobisitas serta Viskoelastisitas Biofoam melalui
Penambahan Pati Modifikasi, Sizing agent serta Plastisizer.
Upaya peningkatan hidrofobisitas pada tahap ke tiga dengan penambahan
pati hidrofobik ternyata tidak berpengaruh terhadap perbaikan karakteristik
biofoam. Oleh karena itu, pada tahapan ke-4 ini, upaya perbaikan hidrofobisitas
dilakukan dengan menambahkan pati asetat.
Pada tahapan ini dilakukan pula
penambahan sizing agent yang merupakan bahan hidrofobik yang umum digunakan
pada industri kertas atau tekstil. Selain itu, juga dilakukan penambahan gliserol
untuk meningkatkan viskoelastisitasnya
mengingat produk biofoam yang
dihasilkan pada tahapan sebelumnya masih cukup kaku dan keras. Bahan lain yang
juga ditambahkan pada tahapan ini adalah agar sebagai bahan pengikat atau binder
serta NaOH untuk membantu proses hidrolisis serat.
Pembuatan biofoam pada tahapan ini dilakukan dengan menggunakan mesin
cetak yang berbeda dimana mesin tersebut bisa diatur tekanan, suhu dan lama
waktu proses secara otomatis, sehingga hasil yang diperoleh juga sedikit berbeda
98
dengan yang dilakukan pada tahapan sebelumnya.
Untuk penyesuaian dengan
peralatan yang digunakan maka pada tahapan ini juga dilakukan penyesuaian
komposisi bahan agar dapat diperoleh produk biofoam seperti yang diinginkan.
Penyesuaian yang paling berpengaruh adalah kadar air adonan karena apabila
penambahan air sebanyak 50% maka produk biofoam akan pecah karena tingginya
tekanan yang ada pada cetakan. Namun demikian, bila tekanan tersebut dikurangi
maka biofoam tidak dapat terbentuk sempurna. Oleh karena hal tersebut maka
penambahan air yang dilakukan pada tahapan ini adalah sebesar 42%.
Selain
perbaikan formula juga dilakukan penyesuaian terhadap kondisi proses seperti lama
waktu proses menjadi lebih singkat yaitu 2 menit dan suhu proses ditingkatkan
menjadi 1900C.
Perubahan pada formula dengan mengurangi jumlah air yang ditambahkan
berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar air biofoam. Kadar air biofoam
yang diperoleh pada tahapan sebelumnya berkisar 7% menurun menjadi sekitar 24%. Pada biofoam yang menggunakan sizing agent A, penambahan kadar gliserol
dapat menurunkan kadar air biofoam. Sebaliknya biofoam yang menggunakan
sizing agent B, penambahan gliserol dapat meningkatkan kadar airnya (Gambar
43). Hal ini diduga penggunaan sizing agent A dapat berinteraksi dengan gliserol
untuk mengurangi penyerapan air ke dalam adonan sehingga biofoam yang
dihasilkan juga akan lebih kering. Selain itu, penggunaan suhu proses yang lebih
tinggi dan kadar air awal adonan yang lebih rendah juga berpengaruh terhadap
penurunan kadar air tersebut.
Penambahan pati modifikasi khususnya pati asetat yang memiliki sifat
hidrofobik yang lebih tinggi dibandingkan pati alami tampaknya juga berpengaruh
terhadap penurunan kadar air karena sebagian gugus hidroksil pada pati alami yang
bersifat hidrofilik digantikan dengan gugus asetil yang bersifat hidrofobik (Chi et
al., 2008).
99
4
Kadar Air (%)
3,5
3
2,5
P2S2
2
P1S1
1,5
P2S1
1
P1S2
0,5
0
0
5
10
Konsentrasi Gliserol (%)
P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
S1
S2
: Sizing agent A
: Sizing agent B
Gambar 43. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Kadar Air Biofoam
Hasil uji statistik terhadap parameter kadar air (Lampiran 22) menunjukkan
bahwa perbedaan rasio tapioka:pati asetat berpengaruh nyata terhadap kadar air
biofoam yang dihasilkan, sementara perbedaan jenis sizing agent dan konsentrasi
gliserol tidak berpengaruh terhadap kadar air biofoam. Interaksi antara ke tiga
faktor yaitu rasio tapioka:pati asetat, jenis sizing agent maupun konsentrasi gliserol
berpengaruh terhadap kadar air biofoam. Adapun hasil uji lanjut menunjukkan pada
biofoam dengan penambahan pati asetat yang lebih besar, peningkatan kadar
gliserol dapat menurunkan kadar air biofoam. Hal ini berarti, penambahan rasio
pati asetat yang bersifat hidrofobik belum mampu menurunkan kadar air biofoam.
Diduga hal tersebut disebabkan karena nilai DS dari pati asetat yang digunakan
rendah (0,3) sehingga sifat hidrofobiknya juga rendah.
Pada Gambar 43 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi gliserol akan
berpengaruh terhadap penurunan kadar air pada biofoam dengan konsentrasi pati
asetat 20%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena gugus hidroksil pada tapioka
akan lebih banyak berikatan dengan gliserol dibandingkan mengikat air. Akibatnya
kadar air biofoam juga cenderung berkurang.
Sebaliknya pada biofoam dengan
konsentrasi pati asetat yang lebih tinggi berarti jumlah tapioka berkurang sehingga
100
lebih sedikit gugus hidroksil bebas yang dapat mengikat gliserol. Semakin banyak
gliserol yang ditambahkan maka akan semakin besar peluang untuk menarik air.
Pada pengamatan terhadap daya serap air seperti tersaji pada Gambar 44
terlihat bahwa peningkatan konsentrasi gliserol 5% dapat meningkatkan daya serap
air biofoam, sedangkan peningkatan gliserol hingga 10% akan menurunkan daya
serap air. Namun demikian, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan
rasio tapioka:pati asetat, jenis sizing agent maupun konsentrasi gliserol tidak
berpengaruh terhadap daya serap air biofoam (Lampiran 23).
80,00
Daya Serap Air (%)
70,00
60,00
50,00
P2S2
40,00
30,00
P1S1
20,00
P2S1
10,00
P1S2
0,00
0
5
10
Konsentrasi Gliserol
P1
P2
: Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
: Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
S1
S2
: Sizing agent A
: Sizing agent B
Gambar 44. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol
terhadap Daya Serap Air Biofoam
Dibandingkan dengan daya serap air biofoam berbahan baku hanya tapioka,
ampok dan PVOH maka daya serap air biofoam pada tahapan ini cenderung lebih
tinggi. Hal ini kemungkinan besar lebih disebabkan oleh peningkatan porositas
biofoam akibat penambahan beberapa bahan yang membantu proses foaming.
Penambahan pati asetat menurut Guan et al. (2005), dapat meningkatkan
kemampuan ekspansi pada loose fill foam. Semakin tinggi nilai DS yang dimiliki
oleh pati asetat maka kemampuan ekspansinya juga semakin tinggi.
101
Kemampuan ekspansi yang semakin besar menyebabkan rongga-rongga yang
terbentuk selama proses ekspansi juga semakin besar dan menyebabkan
berkurangnya densitas biofoam sehingga air mudah masuk mengisi rongga yang
terbentuk.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sjoqvist et al (2010), yang
menyatakan bahwa proses foaming akan mengurangi bobot dari bahan dan
menghasilkan material yang bersifat porous dan mudah menyerap air. Umumnya
penyerapan air pada menit-menit awal berhubungan dengan tingkat porositas
bahan. Semakin porous bahan maka jumlah air yang diserap juga semakin besar.
Porositas biofoam tentunya berhubungan dengan densitasnya. Pengamatan
terhadap densitas biofoam pada tahapan ini seperti tersaji pada Gambar 45
menunjukkan terjadi penurunan densitas yang cukup signifikan dari 0,54-0,66
g/cm3 pada biofoam tahapan sebelumnya menjadi 0,33-0,47 g/cm3pada tahapan ini.
Selain disebabkan oleh penggunaan pati asetat yang mampu meningkatkan
kemampuan ekspansi, diduga penggunaan peralatan yang berbeda menjadi salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan densitas tersebut.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada tahapan ini, suhu proses
lebih tinggi yaitu sekitar 1850C dibandingkan dengan suhu proses 1700C yang
dilakukan pada tahapan sebelumnya.
Peningkatan suhu ini akan berpengaruh
terhadap kemampuan ekspansi produk karena semakin tinggi suhu maka semakin
banyak air yang dapat diuapkan dan ini berarti semakin banyak blowing agent yang
tersedia.
Akibatnya produk akan lebih mengembang dan menghasilkan foam
dengan densitas yang lebih rendah. Selain itu adanya tekanan yang diberikan pada
saat pemanasan menyebabkan tekanan pada cetakan tersebut semakin tinggi yang
berdampak pada peningkatan kemampuan ekspansi dan berkurangnya densitas
biofoam.
Densitas (g/cm3)
102
0,50
0,45
0,40
0,35
0,30
0,25
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00
P2S2
P1S1
P2S1
P1S2
0
5
10
Konsentrasi Gliserol (%)
Keterangan
P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
S1
S2
: Sizing agent A
: Sizing agent B
Gambar 45. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Konsentrasi
Gliserol terhadap Densitas Biofoam
Walaupun terjadi penurunan densitas biofoam yang cukup signifikan
dibandingkan hasil tahapan sebelumnya, namun demikian pengaruh dari pati asetat,
sizing agent maupun gliserol tidak berpengaruh terhadap densitas biofoam yang
dihasilkan (Lampiran 24).
Selanjutnya bila diamati pada struktur morfologi biofoam dengan
penggunaan SEM, terlihat bahwa pori-pori atau lubang yang terbentuk selama
proses ekspansi lebih banyak dengan ukuran yang lebih kecil
seragam (Gambar 46).
Diduga penambahan
dan besarnya
pati asetat yang juga berfungsi
sebagai nucleating agent dapat membantu menghasilkan pori yang berukuran lebih
kecil namun homogen (Ardanuy et al., 2012) sehingga dapat menurunkan densitas
biofoam. Pernyataan ini juga sejalan dengan penelitian Benezet et al. (2011) yang
menyatakan bahwa pengurangan ukuran sel akan menyebabkan penurunan densitas.
Namun kondisi ini hanya terjadi bila diikuti oleh pengurangan ketebalan dinding
sel serta peningkatan jumlah sel.
103
P1S1G0 (20 X)
P1S1G1 (17 X)
P1S2G2 (16 X)
P2S1G0 (15 X)
P2S1G1 (17 X)
P2S2G2 (17 X)
Keterangan
P1: Rasio Tapioka:Pati Asetat = 80:20
P2: Rasio Tapioka:Pati Asetat =:60:40
S1: Sizing agent A
S2: Sizing agent B
G0: Gliserol 0%
G1: Gliserol 5%
G2: Gliserol 10%
Gambar 46. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol
terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam.
Pengamatan sifat fisik lainnya adalah terhadap warna baik tingkat kecerahan
maupun nilai 0Hue dari biofoam.
Adapun hasil pengamatan terhadap tingkat
kecerahan dan nilai 0Hue menunjukkan bahwa penambahan pati asetat, sizing agent
serta gliserol dan interaksi diantara semua faktor tersebut berpengaruh terhadap
tingkat kecerahan maupun nilai 0Hue biofoam (Lampiran 25 dan 26). Hal ini juga
dapat dilihat pada Gambar 47, dimana penambahan gliserol cenderung menurunkan
tingkat kecerahan biofoam, khususnya pada biofoam dengan rasio pati asetat yang
lebih tinggi. Gliserol merupakan trigliserida turunan dari asam lemak yang sensitif
terhadap pengaruh panas. Dengan demikian, semakin banyak gliserol yang
ditambahkan maka biofoam yang dihasilkan cenderung berwarna gelap karena
pengaruh panas yang diterima oleh biofoam tersebut.
104
90,00
Tingkat Kecerahan
85,00
80,00
75,00
P2S2
70,00
P1S1
65,00
P2S1
60,00
P1S2
55,00
50,00
0
5
10
Konsentrasi Gliserol (%)
Keterangan
P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
S1
S2
: Sizing agent A
: Sizing agent B
Gambar 47. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol
terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam
Parameter penting lain
yang juga digunakan untuk mengetahui tingkat
hidrofobisitas suatu bahan adalah dengan pengamatan contact angle. Pengamatan
ini dilakukan dengan mengamati perubahan sudut kontak antara permukaan
biofoam dengan tetesan air yang diteteskan pada permukaannya
dengan
menggunakan peralatan khusus yang disebut dengan goneometer contact angle.
Adapun hasil pengukuran tersebut sebagaimana terdapat pada Gambar 48 dan 49.
Tingkat hidrofobisitas yang diperoleh dari pengukuran contact angle
berbeda dengan hasil pengukuran daya serap air. Pada pengukuran contact angle,
hidrofobisitas bahan dilihat pada seberapa cepat penyeraan air pada permukaan
bahan saja. Sementara pada daya serap air, yang diukur adalah banyaknya air yang
dapat diserap oleh seluruh bagian sampel sehingga faktor porositas bahan turut
berpengaruh. Dengan demikian, upaya pelapisan dengan bahan hidrofobik seperti
sizing agent dapat meningkatkan nilai contact angle dengan mengisi celah atau
lubang-lubang yang ada pada permukaan bahan.
105
90,00
Contact Angle (0)
80,00
70,00
60,00
50,00
P2S2
40,00
P1S1
30,00
P2S1
20,00
P1S2
10,00
0,00
0
5
10
Konsentrasi Gliserol (%)
Keterangan
P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
S1
S2
: Sizing agent A
: Sizing agent B
Gambar 48. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol
terhadap Nilai Contact angle Biofoam
Hasil pengukuran tingkat hidrofobisitas dilakukan dengan menggunakan
instrumen contact angle goneometer seperti tersaji pada Gambar 48, menunjukkan
bahwa peningkatan konsentrasi
gliserol hingga 5% dapat meningkatkan nilai
contact angle terutama pada biofoam dengan yang menggunakan sizing agent
carvacrol. Sementara untuk biofoam yang menggunakan sizing agent AKD, nilai
maksimum diperoleh pada penambahan gliserol 10%. Pengunaan sizing agent
carvacrol juga lebih besar pengaruhnya dalam peningkatan contact angle
dibandingkan jenis AKD. Selain itu, pada gambar tersebut juga terlihat bahwa
peningkatan rasio pati asetat juga dapat meningkatkan contact angle. Diduga hal
ini disebabkan oleh adanya gugus asetat yang bersifat hidrofobik. Pada pati alami,
terdapat banyak gugus hidroksil pada permukaan pati yang akan menyebabkan air
yang diteteskan pada permukaan biofoam akan segera terikat pada gugus hidroksil
tersebut.
Adapun hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan pati asetat,
sizing agent, gliserol serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap perbedaan nilai
contact angle (Lampiran 27).
106
P1S1G0
P1S1G1
P1S1G2
P1S2G0
P1S2G1
P1S2G2
P2S1G0
P2S1G1
P2S1G2
P2S2G0
P2S2G1
P2S2G2
S1: Sizing agent A
S2: Sizing agent B
G0: Gliserol 0%
G1: Gliserol 5%
G2: Gliserol 10%
Keterangan
P1: Rasio Tapioka:Pati Asetat = 80:20
P2: Rasio Tapioka:Pati Asetat =:60:40
Gambar 49. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol
terhadap Bentuk Permukaan Tetesan Air pada Pengukuran Contact
Angle
Penambahan pati asetat akan merubah polaritas permukaan biofoam
sehingga lebih bersifat hidrofobik. Hal tersebut terlihat pada Gambar 49 yang
menggambarkan terjadinya peningkatan contact angle dari 460 menjadi 690 dengan
menambahkan jumlah pati asetat dari 20% menjadi 40%. Nilai tersebut tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian Chi et al. (2008), yang menyebutkan bahwa
asetilasi pati alami dapat menaikkan contact angle dari 43,10 menjadi 68,20.
107
Namun demikian, suatu bahan bisa dikatakan bersifat hidrofobik apabila memiliki
sudah memiliki nilai sudut >900, sedangkan bila sudutnya melebihi 1200 disebut
dengan superhidrofobik (Stanssens et al., 2011 ).
Pada Gambar 48 dan 49 juga terlihat bahwa penambahan gliserol hingga
10% dapat meningkatkan nilai contact angle pada biofoam yang ditambahkan
sizing agent A, namun pada sizing agent B, contact angle yang optimal adalah
dengan penambahan gliserol 5%.
Peningkatan gliserol hingga 10% dapat
menurunkan nilai contact angle. Dengan demikian, untuk penggunaan sizing agent
A, gliserol yang ditambahkan harus mencapai 10% agar biofoam lebih hidrofobik,
sementara untuk sizing agent B, penambahan gliserol cukup 5% saja.
Upaya perbaikan karakteristik biofoam dengan penambahan pati asetat,
sizing agent dan gliserol ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan
hidrofobisitas tetapi juga berpengaruh terhadap kemampuan mekanis dan
biodegradabilitasnya.
Peningkatan sifat mekanis biofoam dengan penambahan
serat dan polimer sintetik sudah berhasil dilakukan pada tahapan sebelumnya.
Namun demkian, parameter penting lainnya bagi kemasan foam adalah kemampuan
viskoelastisitasnya. Viskoelastisitas merupakan parameter yang menggambarkan
kemampuan reologi dari suatu bahan. Viskoelastisitas terdiri dari dua kata yaitu
viskositas dan elastisitas. Viskositas mengukur kemampuan bahan untuk tidak
mengalir, sementara elastisitas menggambarkan kemampuan bahan untuk kembali
ke bentuk semula setelah diberi gaya atau tekanan.
Menurut Alves et al. (2007), penambahan gliserol dapat meyebabkan
terjadinya perubahan struktur jaringan dimana matriks polimer akan berkurang
densitasnya sehingga memudahkan pergerakan pada rantai polimer sehingga dapat
meningkatkan viskoelastisitas dan fleksibilitas polimer. Hal ini dapat terlihat pada
Gambar 50 dan 51 yang menunjukkan bahwa penambahan gliserol
berpengaruh
terhadap
peningkatan
sifat
viskoelastisitas
pada
lebih
biofoam.
dibandingkan dengan penambahan pati asetat. Hal ini sesuai dengan fungsi gliserol
sebagai plastisizer yang dapat meningkatkan viskoelastisitas polimer.
Pengukuran terhadap viskoelastisitas penting dilakukan karena foam yang
dihasilkan akan digunakan sebagai kemasan pengganti styrofoam.
Sebagai
108
kemasan, foam tersebut harus mampu melindungi produk yang dikemasnya
terhadap benturan. Kemasan tersebut harus fleksibel, namun tidak mudah patah
maupun berubah bentuk. Untuk mengetahui sifat viskoelastisitasnya umumnya
digunakan
Dynamic Mechanical Thermal Analysis (DMTA) dimana terdapat
perbedaan prinsip pengukuran dengan Texture Analyzer. Pada pengukuran DMTA,
perubahan sifat mekanis diamati pada selang suhu tertentu sementara Texture
Analyzer hanya mengukur sifat mekanis bahan pada suhu tertentu.
Pengukuran terhadap viskoelastisitas dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu
compressibility dan 3 bending. Pengukuran viskoelastisitas terhadap menggunakan
mode compressibility dilakukan untuk mengetahui kekuatan tekan dari biofoam,
sementara 3 bending dilakukan untuk mengetahui kekuatan patahnya. Pengukuran
ke dua parameter ini dilakukan dengan meggunakan DMTA pada selang suhu -70
-800C.
Storage Modulus (E') MPa
90
80
70
60
50
P1G0
40
P2G0
30
P1G1
20
P2G1
10
0
-70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 0
10 20 30 40 50 60 70 80
Suhu (0C)
Keterangan
P1 :
P2 :
G0:
G1 :
Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
Konsentrasi gliserol 0%
Konsentrasi gliserol 5%
Gambar 50. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap
Storage Modulus untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai Tingkat
Suhu
Storage Modulus (E’) menggambarkan tingkat kekakuan dari suatu material
dan nilainya proporsional terhadap beban maksimal yang diperoleh.
Semakin
109
tinggi nilai storage modulusnya menandakan semakin kaku benda tersebut.
Umumnya sebuah benda memiliki storage modulus yang tinggi pada suhu di bawah
00C. Benda tersebut dikatakan memiliki sifat elastis apabila pada suhu kamar
memiliki nilai storage modulus yang rendah . Penurunan nilai storage modulus
yang cukup drastis pada pengukuran DMTA menunjukkan suhu transisi gelas dari
bahan tersebut. Hasil pengamatan terhadap nilai storage modulus biofoam baik
untuk mode compression maupun 3 bending tersaji pada Gambar 50 dan 51.
Pada Gambar 50 terlihat bahwa peningkatan suhu akan menurunkan storage
modulus dari bahan hingga titik tertentu yang merupakan suhu transisi gelas
biofoam tersebut. Selanjutnya proses pemanasan akan menaikkan lagi storage
modulusnya. Ini berarti pada kisaran suhu 10-300C, foam tersebut bersifat elastis
namun bila digunakan untuk suhu yang lebih rendah atau lebih tinggi, biofoam
tersebut bersifat lebih kaku sehingga dalam aplikasinya sebagai kemasan pangan
Modulus Storage (MPa)
harus disesuaikan dengan kisaran suhu yang diperoleh.
600
500
400
300
P1G0
200
P2G0
100
P1G1
0
P2G1
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Suhu ( 0C)
Keterangan
P1
: Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
P2
: Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
G0
: Konsentrasi gliserol 0%
G1
: Konsentrasi gliserol 5%
Gambar 51. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol
terhadap Storage Modulus untuk 3 bending Biofoam pada Berbagai
Tingkat Suhu
Hasil pengamatan terhadap 3 bending sebagaimana tersaji pada Gambar 51
menunjukkan trend yang sama seperti pada kuat tekan yaitu nilai modulus storage
cenderung menurun selama proses perubahan suhu. Biofoam yang ditambahkan
110
gliserol pada biofoam dengan rasio tapioka:pati asetat (3:2) memiliki perubahan
nilai storage modulus yang lebih signifikan dibandingkan biofoam dengan rasio
tapioka:pati asetat (4:1). Ini berarti ada interaksi antara penambahan pati asetat
dengan gliserol. Sementara itu, biofoam yang mengandung pati asetat lebih sedikit
tanpa penambahan gliserol (P1G0) nilainya cenderung stabil tidak terpengaruh oleh
perubahan suhu.
Tampaknya penambahan gliserol lebih berpengaruh dalam
mengurangi kekakuan biofoam dibandingkan dengan pengaruh dari penambahan
pati asetat.
Tangen δ menggambarkan seberapa baik sebuah material dalam menyerap
atau meredam energi yang diberikan. Nilainya biasanya bergantung kepada kondisi
bahan, suhu dan frekuensi yang digunakan. Semakin tinggi nilai tangen δ maka
berarti material atau bahan tersebut lebih banyak meredam energi (Gambar 52 dan
53).
0,25
Tangen δ (MPa)
0,2
0,15
P1G0
P2G0
0,1
P1G1
P2G1
0,05
0
-70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 80
Suhu ( 0C)
Keterangan
P1
P2
G0
G1
:
:
:
:
Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
Konsentrasi gliserol 0%
Konsentrasi gliserol 5%
Gambar 52. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap
Nilai Tangen δ untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai Tingkat
Suhu
Untuk pengamatan terhadap nilai tangen δ untuk mode compression
(Gambar 52) menunjukkan bahwa penambahan gliserol 5% mampu meningkatkan
111
nilai tangen δ biofoam secara drastis dibandingkan dengan biofoam yang tidak
ditambahkan gliserol. Hal ini berarti kemampuan biofoam untuk menyerap energi
atau meredam benturan juga meningkat dengan adanya penambahan gliserol.
Sementara itu pada pengamatan nilai tangen δ mode 3 bending (Gambar
53), penambahan gliserol pada adonan biofoam dengan pati asetat 40%, dapat
meningkatkan nilai tangen δ jauh lebih besar dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Hal ini berarti untuk parameter 3 bending, selain pengaruh penambahan
gliserol,
pengaruh
penambahan
pati
asetat
juga
mampu
meningkatkan
Tangen δ
viskoelastisitas biofoam.
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
P1G0
P2G0
P1G1
P2G1
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Suhu ( 0C)
Keterangan
P1
P2
G0
G1
:
:
:
:
Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
Konsentrasi gliserol 0%
Konsentrasi gliserol 5%
Gambar 53. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap
Nilai Tangen δ untuk 3 bending Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu
Selain melakukan pengukuran terhadap kemampuan viskoelastisitas bahan,
pengukuran menggunakan DMTA juga dapat membantu untuk menentukan suhu
transisi gelas dari suatu bahan. Nilai Tg tersebut umumnya dapat dilihat penurunan
nilai storage modulus yang cukup tajam atau dari nilai maksimum atau titik puncak
dari nilai tangen δ.
Penambahan gliserol selain meningkatkan kemampuan
viskoelastisitas juga berfungsi menurunkan titik transisi gelas dari biofoam. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 51 atau 53, bahwa Tg dari perlakuan P1G0 maupun
112
P2G0 yang tidak mengandung gliserol berada pada kisaran 30-400C. Sementara
pada perlakuan P1G1 maupun P2G1 yang mengandung gliserol, Tg menurun
menjadi sekitar 10-200C. Penurunan Tg hingga di bawah suhu kamar membuat
biofoam lebih fleksibel bila digunakan sebagai kemasan pada suhu ruang.
Pengukuran suhu transisi gelas (Tg) menggunakan DMTA umumnya lebih
mudah diamati dibandingkan dengan menggunakan DSC.
Hasil analisis sifat
termal menggunakan DSC sering menimbulkan kesulitan untuk menentukan titik
transisi gelas karena tidak terbaca oleh instrumen yang ada. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh kondisi proses DSC yang kurang tepat sehingga Tg tidak
terdeteksi.
Sementara itu pengukuran DSC mampu menghitung melting point, titik
kristalisasi maupun degradasi yang tidak mampu dilakukan oleh DMTA. Adapun
Titik leleh atau Melting Temperature (Tm) untuk formulasi biofoam dapat terbaca
dengan jelas di kisaran 135-1910C. Pada biofoam dengan kandungan pati asetat
40%, penambahan gliserol mampu menurunkan Tm dari 158,420C menjadi
135,510C.
Sementara itu pada biofoam dengan kandungan pati asetat 20%,
penambahan gliserol dari 0% menjadi 10% malahan meningkatkan Tm dari
162,790C menjadi 188,790C (Tabel 31).
Menurut Arvanitoyannis dan Kassaveti (2009), seringkali sulit untuk
menentukan titik transisi gelas pada polimer komposit khususnya pati termoplastis
dengan menggunakan DSC. Hal ini disebabkan karena perubahan kapasitas panas
yang sangat kecil sehingga tidak terdeteksi oleh DSC. Oleh karena itu biasanya
digunakan metode lain dengan menggunakan DMTA yang lebih jelas
menggambarkan titik transisi gelas dari puncak tangen δ (Averous dan Boquillon,
2004). Sementara itu beberapa peneliti lain (Biliaderis, 1992 dan Chinachoti, 1996)
menyatakan bahwa DSC kurang cocok digunakan untuk mempelajari suhu transisi
glass dari bahan berpati karena kapasitas panas saat transisi tersebut terlalu lemah
dan tertutup oleh proses endotermi saat gelatinisasi.
Bila diamati nilai ΔH atau entalpi yang diperoleh, terlihat bahwa
peningkatan konsentrasi gliserol berpengaruh terhadap penurunan nilai entalpi.
Adapun pengaruh dari perbedaan rasio pati asetat maupun jenis sizing agent yang
113
digunakan tampaknya kurang berpengaruh terhadap perbedaan nilai entalpi
tersebut. Nilai entalpi akan semakin tinggi bila terdapat interaksi yang kuat antara
bahan-bahan yang dicampurkan (Hourston dan Song, 2006). Hal ini disebabkan
karena lebih banyak energi yang dibutuhkan untuk memisahkan ikatan tersebut agar
proses melting dapat terjadi. Penambahan plastisizer tampaknya mampu
mengurangi energi tersebut karena plastisizer dapat mengurangi kekuatan ikatan
hidrogen yang ada sehingga energi yang dibutuhkan juga akan berkurang. Hal ini
sejalan dengan penelitian Xie et al. (2011) yang menyatakan bahwa penambahan
plastisizer akan berpengaruh terhadap proses transformasi granula, degradasi
molekul serta melemahkan interaksi antar molekul pati.
Tabel 31. Nilai Tg dan Tm pada pengukuran DSC Biofoam dengan Penambahan
Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol
No
Perlakuan
ΔH Entalpi
Tg (0C)
Tm1(0C)
Tm2 (0C)
(mJ)
1
P1S1G0
-663,66
td
162,79
-
2
P1S1G1
-300,42
td
191,46
-
3
P1S1G2
-286,71
td
188,79
-
4
P1S2G0
-422,16
td
175,61
-
5
P1S2G2
-322,04
td
172,59
199,25
6
P2S1G0
-600,02
td
158,42
-
7
P2S2G1
-300,68
td
176,55
-
8
P2S2G2
-333,53
td
135,51
-
td: tidak terdeteksi
Keterangan :
P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
S1 : Sizing agent A
S2 : Sizing agent B
G0 : Gliserol 0%
G1 : Gliserol 5%
G2 : Gliserol 10%
Parameter terakhir yang diamati untuk menentukan kualitas biofoam adalah
biodegradabilitasnya. Karakterisasi sifat biodegradabilitas biofoam ini seperti pada
tahapan sebelumnya meliputi biodegradabilitas secara kualitatif dan kuantitatif.
Pada Gambar 54 terlihat bahwa persentase pati asetat yang lebih tinggi cenderung
114
lebih sulit ditumbuhi kapang, hal ini disebabkan karena gugus asetil yang ada pada
pati asetat sulit didegradasi oleh kapang. Sementara itu penambahan gliserol pada
biofoam yang lebih banyak mengandung pati asetat cenderung akan menekan
pertumbuhan kapang, karena kapang A. niger tidak mampu mendegradasi gliserol
seperti halnya pati. Hasil uji statistik menunjukan bahwa penambahan pati asetat
dan konsentrasi gliserol berpengaruh terhadap pertumbuhan kapang, sementara
sizing agent tidak berpengaruh (Lampiran 30).
Pertumbuhan Kapang (%)
60,00
50,00
40,00
P2S2
30,00
P1S1
20,00
P2S1
P1S2
10,00
0,00
0
5
10
Konsentrasi Gliserol (%)
Keterangan :
P1
: Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
P2
: Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
S1
S2
: Sizing agent A
: Sizing agent B
Gambar 54. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol
terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam
Analisis biodegradabilitas lainnya adalah secara kuantitatif dengan
mengukur kadar gula pereduksi yang ada pada biofoam. Analisis gula pereduksi ini
dilakukan untuk mengetahui kemampuan biofoam untuk didegradasi oleh enzim
khususnya enzim amilase dan selulase. Semakin tinggi kadar gula pereduksi yang
dapat diperoleh berarti kemampuan enzim amilase dan selulase semakin besar
untuk mendegradasi biofoam tersebut yang berarti biodegradabilitasnya juga
meningkat.
Adapun hasil pengukuran sebagaimana tersaji pada Gambar 55
menunjukkan bahwa penambahan pati asetat, sizing agent dan gliserol tidak
115
berpengaruh terhadap kadar gula pereduksi. Hal tersebut juga didukung oleh hasil
analisa statistik yang juga menyimpulkan bahwa semua faktor perlakuan dan
interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi (Lampiran 31).
Biodegradabilitas Enzimatis
(Gula Pereduksi (%))
20,00
18,00
16,00
14,00
12,00
P1S2
10,00
8,00
P2S2
6,00
P1S1
4,00
P2S1
2,00
0,00
0
5
10
Konsentrasi Gliserol (%)
Keterangan :
P1
: Rasio tapioka:pati asetat: 80:20
P2
: Rasio tapioka:pati asetat: 60:40
S1
S2
: Sizing agent A
: Sizing agent B
Gambar 55. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol
terhadap Biodegradabilitas Biofoam Secara Enzimatis
Dari semua parameter yang diamati pada tahap ini terlihat bahwa terdapat
beberapa perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan hasil pada tahapan
sebelumnya, khususnya densitas dan kadar air yang cukup jauh menurun.
Sementara itu bila dibandingkan semua perlakuan yang dicobakan pada tahapan ini,
maka perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P2S2G1, dimana komposisinya
adalah rasio tapioka:pati asetat (3:2), dengan menggunakan sizing agent carvacrol
dan konsentrasi gliserol 5%. Dipilihnya formula ini karena hasil pengamatan
terhadap karakteristiknya memberikan nilai contact angle dan kuat tarik yang
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun demikian bila dilihat dari
pertumbuhan kapang maka formula tersebut cenderung menghambat pertumbuhan
kapang, sehingga berakibat pada penurunan
kemampuan biodegradabilitasnya.
Sebaliknya, bila kita menginkan kemasan yang 100% biodegradable, harus
diimbangi dengan rendahnya hidrofobisitas atau sifat mekanisnya. Oleh karena itu,
116
pemilihan formula terbaik dari semua tahapan penelitian bergantung pada tujuan
utama apakah menghasilkan kemasan yang dapat terurai 100% ataukah tidak 100%
tetapi memiliki sifat mekanis serta ketahanan terhadap air yang cukup tinggi.
Produk biofoam hasil penelitian terbaik pada tahapan ini (P2S2G1)
dibandingkan dengan styrofoam seperti tersaji pada Tabel 32, memiliki kuat tekan
dan daya serap air yang tidak berbeda nyata dengan styrofoam. Sedangkan untuk
parameter kuat tarik dan pertumbuhan kapang, nilainya lebih baik. Ini berarti
kemasan biofoam dapat digunakan sebagai kemasan alternatif pengganti styrofoam
karena memiliki sifat mekanis maupun sifat fisik yang mendekati styrofoam.
Penggunaan biofoam dapat mengurangi pemakaian styrofoam sebagai wadah
kemasan pangan yang lebih ramah lingkungan.
Tabel 32.
Uji T untuk Formulasi Terbaik (P2S2G1) Dibandingkan dengan
Styrofoam
Parameter
Styrofoam
P2S2G1
Signifikansi
0,83
3,03
0.033
Densitas (g/cm )
0,04
0,42
0.000
Kecerahan
89,83
77,70
0,001
93,18
82,84
0,000
Kadar air (%)
3
0
Nilai Hue ( )
Daya Serap Air (%)
26,12
42,95
0.095
2
29,12
31,80
0.173
Kuat Tarik (N/mm )
29,16
52,64
0.002
Pertumbuhan Kapang (%)
6,67
15,00
0,038
Gula pereduksi (%)
2,21
14,91
0.002
Kuat Tekan (N/mm )
2
Catatan : angka yang dicetak tebal menunjukkan tidak ada beda yang signifikan
antara styrofoam dan biofoam P2S2G1
4.4. Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Biofoam
Perhitungan nilai tambah dilakukan untuk mengetahui nilai tambah dari
tapioka dan ampok sebagai bahan baku utama pembuatan biofoam.
Adapun
formula yang digunakan adalah hasil terbaik dari penelitian ini yaitu P2S2G1.
Perhitungan nilai tambah dilakukan dengan menggunakan beberapa asumsi yaitu :
117
1.
Kebutuhan bahan baku berupa campuran tapioka, ampok, PVOH, pati asetat,
dan bahan tambahan lainnya yang jumlahnya 120 kg/hari
2.
Harga bahan baku tapioka Rp. 6.000/kg sedangkan ampok Rp. 1.500/kg
3.
Jumlah produksi 2000 tray per hari atau setara 120 kg adonan
4.
Harga jual biofoam Rp. 400/buah atau Rp. 6666,67/kg
5.
Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan 4 HOK/hari
6.
Upah tenaga kerja Rp 48.000/HOK
Hasil perhitungan nilai tambah pada industri kemasan biofoam berbahan
baku tapioka dan ampok seperti tersaji pada Tabel 33 menunjukkan bahwa
industri biofoam dapat memberi nilai tambah pada tapioka sebesar 14,33%
sedangkan pada ampok mencapai 71,44%. Adapun tingkat keuntungan yang
diperoleh sebesar 8,57% untuk tapioka dan 65,68% bila dilihat dari sisi penggunaan
ampok.
Dengan demikian, industri kemasan biofoam ini dapat memberikan manfaat
dan nilai tambah yang besar bagi tapioka dan ampok (produk samping industri
tepung jagung). Selain itu hal yang utama adalah menyediakan kemasan alternatif
pengganti styrofoam yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Manfaat
lainnya adalah membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar.
118
Tabel 33. Hasil Perhitungan Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan
Baku Pembuatan Biofoam
No
Variabel
Tapioka
I
Output, input dan harga
Ampok
1. Output (tray/per produksi)
2000
2000
2. Bahan baku (kg/produksi)
28,8
9,6
4
4
69,44
208,33
0,16
0,26
6666,67
6666,67
48.000
48.000
1. Harga bahan baku (Rp/kg)
172.800
14.400
2. Sumbangan input lain (Rp/kg)
223.800
382.200
3. Nilai output (Rp/kg)
462.963
1.388.890
66.363,19
992.289,58
14,33
71,44
26.666.667
80.000.000
40,18
8,06
39.696,53
912.289,58
8,57
65,68
290.163,1944
1.374.489,58
9,19
5,82
- Sumbangan input lain (%)
77,13
27,81
- Keuntungan perusahaan (%)
13,68
66,37
3. Tenaga kerja (HOK)
4. Faktor konversi
5. Koefisien tenaga kerja (HOK/kg)
6. Harga output (Rp/kg)
7. Upah
rata-rata
tenaga
kerja
(Rp/HOK)
II
Pendapatan dan Keuntungan
4. Nilai tambah (Rp/kg)
5. Nisbah nilai tambah (%)
6. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg)
7. Bagian tenaga kerja (%)
8. Keuntungan (Rp/kg)
9. Tingkat keuntungan (%)
III
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
Marjin keuntungan
- Pendapatan tenaga kerja (%)
V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN
Biofoam berbahan baku tapioka dan ampok berpotensi digunakan sebagai
kemasan alternatif ramah lingkungan pengganti styrofoam.
Biofoam ini memiliki
keunggulan yaitu sifat hidrofobisitas dan sifat mekanis yang setara dengan styrofoam
serta memiliki kemampuan biodegradabilitas yang lebih tinggi.
biofoam dilakukan dengan teknik thermopressing pada suhu
Proses pembuatan
1700C, yaitu di atas
melting point semua bahan baku sehingga semua bahan dapat tercampur dengan baik.
Waktu proses berkisar 2,5-3 menit, dengan volume adonan yang digunakan 60 g.
Karakteristik biofoam dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku dan kondisi
proses pembuatannya. Tapioka memiliki kadar pati lebih tinggi (97,89%) dibandingkan
ampok (69,26%), sebaliknya ampok memiliki kadar lemak, protein dan serat (8,90%,
11,18% dan 7,96%) yang lebih besar dibandingkan tapioka (0,19%, 0,55% dan 1,27%).
Perbedaan komposisi ini berpengaruh terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan.
Penambahan
ampok
hingga
75%
berpengaruh
terhadap
peningkatan
hidrofobisitas biofoam dengan menurunkan daya serap airnya dari 59,49% menjadi
44,17%. Selain itu, penambahan ampok juga meningkatkan biodegradabilitas biofoam
khususnya pertumbuhan kapang yang meningkat dari 6,67% menjadi 90%. Namun
demikian, penambahan ampok berpengaruh negatif terhadap sifat mekanis dengan
menurunkan kuat tekan dari 27,31 N/mm2 menjadi 6,14 N/mm2.
Penambahan polimer sintetik PVOH hingga 50% dapat membantu perbaikan
sifat mekanis biofoam dengan meningkatkan kuat tekan dari 10,94 N/mm2 menjadi
33,29 N/mm2, sementara untuk kuat tarik, meningkat dari 25,67 N/mm2 menjadi 48,85
N/mm2.
Penambahan PVOH juga dapat meningkatkan hidrofobisitas dengan
menurunkan daya serap air dari 54% menjadi 35%.
Penambahan pati hidrofobik, ternyata tidak berpengaruh terhadap perbaikan
karakteristik biofoam. Penambahan pati asetat dan sizing agent berpengaruh terhadap
peningkatan sifat hidrofobisitas dilihat pada peningkatan nilai contact angle dari
120
30,110 menjadi 79,790 untuk perlakuan terbaik. Penambahan pati asetat dan sizing
agent juga berpengaruh terhadap perbaikan sifat mekanis dilihat dari peningkatan kuat
tekan ( 19,11 N/mm2 menjadi 31,80 N/mm2) dan kuat tarik (48,72 N/mm2 menjadi
52,64 N/mm2). Penambahan gliserol sebesar 5% berpengaruh terhadap perbaikan sifat
mekanis khususnya peningkatan viskoelastisitas biofoam yang ditandai dengan
penurunan nilai storage modulus yang cukup tajam pada saat suhu kamar yaitu dari 530
Mpa pada 00C menjadi 170 Mpa pada 200C.
Pemilihan formulasi terbaik untuk pembuatan biofoam disesuaikan dengan
aplikasi atau peruntukan biofoam tersebut. Formula terbaik adalah perlakuan P1K3
yaitu rasio tapioka:ampok 3:1 dengan penambahan PVOH 30% dari berat bahan kering.
Karakteristik biofoam yang dihasilkan memiliki daya serap air 39%, densitas 0,48
g/cm3, kuat tekan 19,11 N/mm2, kuat tarik 48,72 N/mm2 dan biodegradabilitas 36,67%.
Biofoam ini dapat digunakan untuk mengemas produk dengan kadar air rendah karena
permukaannya masih sensitif terhadap air.
Untuk produk hasil pertanian ataupun
produk olahan dengan kadar air yang lebih tinggi, dilakukan perbaikan formula dengan
perlakuan terbaik P2S2G1 yang memiliki komposisi tapioka 21%, pati asetat 7%,
ampok 12% dan PVOH 8%. Sizing agent yang ditambahkan dari jenis carvacrol serta
penambahan gliserol sebesar 5%. Formula ini memiliki karakteristik yang lebih baik
dibandingkan P1K3 untuk sifat mekanisnya yaitu kuat tekan 31,80 N/mm2 dan kuat
tarik 51,60 N/mm2, namun daya serap airnya lebih tinggi yaitu
62,95% dan
biodegradabilitas yang lebih rendah 0%. Kelebihan formula ini memiliki permukaan
yang hidrofobik dengan nilai contact angle 79,790. Pemanfaatan tapioka dan ampok
sebagai bahan baku pembuatan biofoam dapat memberikan nilai tambah
sebesar
14,33% untuk tapioka dan 71,44% untuk ampok.
5.2. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan biofoam yang dapat
digunakan untuk wadah produk pangan dengan kadar air dan suhu yang tinggi. Hal ini
121
dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi baik pada pati maupun sumber serat
yang digunakan sebagai bahan baku.
Selain itu, penelitian dengan memanfaatkan
berbagai sumber pati maupun serat lainnya juga perlu dilakukan untuk mendapatkan
produk dengan karakteristik yang sebanding dengan styrofoam namun tetap ramah
lingkungan dengan harga yang murah.
123
DAFTAR PUSTAKA
AburtoJ, Alric I, Thiebaud S, Borredon E, Bikiaris D, Prinos J, Panayiotou C. 1999.
Synthesis, characterization, and biodegradability of fatty-acid esters of amylose
and starch.J ApplPolymSci.74 : 1440–1451.
Acharya PB, Acharya DK, Modi HA. 2008. Optimization for cellulase production by
Aspergillusniger using saw dust as substrate. African J Biotechnol. 7(22): 4147–
4152
Alvarez-Martinez L, Kondury KP, Harper JM. 1988. A general model for expansion of
extruded products. J. Food Sci. 53(2):609-615
Alvarez V, Vazquez A, Bernal C. 2006. Effect of microstructure on the tensile and
fracture properties of sisal fiber/starch based composites. JCompos Mater.
40(1):21-35
Andersen PJ, Hodson SK. 1996. Molded articles having in inorganically filled organic
polymer matrix. US Patent No. 5,545,450, 1996.
Andersen P, Kumar A, Hodson S. 1999. Inorganically filled starch based reinforced
composite foam materials for food packaging. Matter Res Innov. 3:2-8.
Anonymous. 2009. Info Sehat. http://informasisehat.wordpress.com. Akses tanggal 19
Mei 2009.
Anonymous. 2010. Bioplastic at a glance. www.european-bioplastics.org. Akses
tanggal 18 Februari 2010.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2007.
Analysis 18th Edition. Gaitherburg, AOAC International.
Official Methods of
Ardanuy M, Antunes M, Velasco JI. 2012. Vegetable fibres from agricultural residues
as thermo-mechanical reinforcement in recycled polypropylene-based green
foams. Waste Mgmt 32(2): 256-263
Arvanitoyannis IS, Kassaveti A. 2009. Starch-Cellulose Blends. Di dalam Yu L,
editor.
Biodegradable Polymer Blends and Composites from Renewable
Resources. New Jersey: John Wiley. Hlm 19-54.
[ASTM] American Society for Testing and Materials . Standard Test Methods for
Flexural Properties of Unreinforced and Reinforced Plastics and Electrical
Insulating Material. Philadelpia, USA, ASTM (Annual Book of ASTM
Standards)
Averous LC, Boquillon N. 2004. Biocomposites based on plasticized starch:thermal
and mechanical behaviours. Carbohydr Polym. 56:111-122.
AvérousLC, Fringant L, Moro. 2001. Plasticized starch-cellulose interactions in
polysaccharide composites. Polym. 42(15): 6571-6578.
Azudin MN, Noor N. 1992. Effects of processing technology on the quality of sago
starch. Asian JSciTechnol Dev. 9(1):127-132
124
Ban WP, Song JG, Argyropolous DS, Lucia LA. 2006. Improved the physical dan
chemical functionality of starch-derived films with biopolymer. JAppl Polym
Sci.100:2542-2548.
Barres C, Vergnes B, Tayeb J, Valle GD. 1990. Transformation of wheat flour by
extrusion cooking: Influence of screw configuration and operating conditions.
Cereal Chem. 67:427-433
Benezet JC, Davidovic AS, Bergeret A, Ferry L, Crespy A. 2011. Mechanical and
physical properties of expanded starch, reinforced by natural fibres. Ind Crops
Prod. 37 (1): 435-440
Bhatnagar S, Hanna MA. 1996. Effect of talc on properties of cornstarch extrudates.
Starch-Starke. 48:94-101.
Bhattacharyya M, Hanna MA. 1987. Textural properties of extrusion cooked corn
starch. Lebensm-WissTechnol.20:195-201
Biliaderis CG. 1992. Structures and phase transitions of starch in food systems. Food
Technol. 46: 98–145.
Blanchard JMV. 1987. Starch granule structure and function: A physicochemical
approach. Di dalam Galliard T, editor. Starch: Properties and Potential, 1st
Edition. New York: , J Wiley. Hlm 14 – 54 , Chapter 2 .
Brown NA. 1991. Reproductive and developmental toxicity of styrene. ReprodToxicol.
5:3-29.
Breuninger WF, Piyachomkwan K,Sriroth K. 2009. Tapioca/Cassava Starch :
Production and Use. Di dalam Starch : Chemistry and Technology. Elsevier, hlm
541-566.
Buzarovska A, Gaceva B, Grozdanov A, Avella M, Gentile G, Errico M. 2008.
Potential use of rice straw as filler in ecocomposite materials. Aust J Crop Sci.
1(2): 37-45
Canigueral N, Vilaseca F, Mendez JA, Lopez JP, Barbera L, Puig J. 2009. Behavior of
biocomposite materials from flax strands and starch-based biopolymer. Chem Eng
Sci. 64:2651–2658.
Carmen MO, Muller JBL, Fabio Y.2009. Effect of cellulose fibers on the crystallinity
and mechanical properties of starch-based films at different relative humidity
values. Carbohydr Polym 77:293–299
Chaisawang M, Suphantharika M. 2006. Pasting and rheological properties of native
and anionic tapioca starches as modified by guar gum and xanthan gum. Food
Hydrocoll. 20:641–649.
Chandra R, Rustgi R. 1998. Biodegradable polymers. Prog Polym Sci 23:1273-1335.
Chi H., Xu K., Wu X, Chen Q, Xue D, Song C, Zhang W, Wang P. 2008. Effect of
acetylation on the properties of corn starch. Food Chem. 106:923-928.
Chiellini E, Cinelli P, Ilieva VI Imam SH, Lawton JW. 2009. Enviromentally
compatible foamed articles based on potato starch, corn fiber and poly(vinyl)
alcohol. JCell Plast.45:17-32
125
Chinnaswamy R, Hanna MA. 1988. Relationship between amylose content and
extrusion-expansion properties of corn starches. Cereal Chem. 65:138-143.
Chinnaswamy R, Hanna MA. 1993. Macromolecular and functional properties of
native and extrusion cooked corn starch. Cereal Chem. 67:490-499
Chinachoti P. 1996. Characterization of thermomechanical properties in starch and
cereal products. J Therm Anal Calorim. 47, 195–213.
Cinelli P, Chiellini E, Lawton JW, Imam SH. 2005. Foamed articles based on potato
starch, corn fibers and poly(vinylalcohol). PolymDegradStabil.91:1147-1155.
Davis G, Song JH. 2006. Biodegradable packaging based on raw material from crops
and their impact on waste management. IndCrops Prod. 23:147-161.
Dowly,BJ, Laseter JL, Storet J. 1976. Transplacental migration and accumulation in
blood of volatile organic constituents. JPediatr Res.10: 696–701
Eliasson AC, Gudmundsson, M. 1996. Starch:physicochemical and functional aspect.
Di dalam Eliasson AC, editor. Carbohydrate Food.New York: Marcel Dekker
hlm 431-503.
Fang Q, Hanna MA. 2000. Functional properties of polylactic acid starch based loose
fill packaging foams. Cereal Chem. 77(6):779-783.
FishmanML, Coffin DR, Onwulata CI, Willet JL. 2006. Two stage extrusion of
plasticized pectin/polyvinyl alcohol blends. Carbohydr Polym. 65:421-429.
Fishman ML, Cooke P, Hotchkiss A. 2010. Extraction and characterization of sugar
beet polysaccharides. Di dalam Chang H et al., editors. Green Polymer
Chemistry:biocatalysis and biomaterials. ACSSymposium Series, Washington,
D.C., 1043:71-86.
Follain N, Joly C, Dole P, Bliard C. 2005. Properties of starch based blends. Part
2:Influence of polyvinyl alcohol addition and crosslinking on starch based
materials mechanical properties. Carbohydr Polym. 60:185-192
French D. 1984. Fractination of Starch Di dalam :Whistler RL, Be Miller JN, Paschall
EF, editors. Starch : Chemistry and Technology. London : Academic Press. Hlm
183-247.
Fritz HG, Seidenstucker T, Bolz U, Juza M. 1994. Study On Production of
Thermoplastics and Fibres Based Mainly on Biological Materials. University
Stuttgrat, German. Hlm 350.
Gaspar M., Benko Z, Dogossy G, Reczey K, Czigany T. 2005. Reducing water
absorption in compotable starch-based plastics. PolymDegradStabil. 90:563-569.
GlennGM, Hsu J.
Prod.7:37–44
1997.
Compression-formed starch-based plastic. Ind Crops
Glenn GM, Orts WJ. 2001. Properties of starch-based foam formed by compression/
explosion processing. Ind Crop Prod. 13:135-143.
Glenn GM, Orts WJ, Nobes GAR. 2001. Starch, fiber and CaCO3 effects on the
physical properties of foam made by baking process. IndCrop Prod. 14:201-212.
126
Guan, J, Fang Q, Hanna MA. 2004. Functional properties of extruded starch acetate
blends. J. Polym. Environ. 12(2):57-63
Guan J, Hanna MA. 2006. Selected Morphological and fuctional properties of
extruded acetylated starch cellulose foams. Bioresour Technol.97(14):1716-1726.
Guy RCE, Horne AW. 1988. Extrusion cooking and co-extrusion. Di dalam: Blanshard
JMV, Mitchell JR, editors. Food Structure: Its Creation and Evaluation.
London: Butterworths, hlm 331-349.
Hanna MA, Xu YX. 2009. Starch-fiber composites. Di dalam :Yu L, editor.
Biodegradable Polymer Blends and Composites from Renewable Resources. New
Jersey: John Wiley, hlm 349-366.
Hayami Y, Kawagoe T. 1993. The Agrarian Origin of Commerce and Industry (a
Study of Peasant Marketing in Indonesia). St Martin’s Press
He Y, Zhu B, Inoue Y. 2004. Hydrogen bonds in polymer blends. Prog polym Sci.
29:1021–1051.
HoseneyRC, Zeleznak K, Abdelrahman A. 1983. Mechanism of popping popcorn.
JCereal Sci.1 : 43–52
Hoseney RC. 1998. Principles of Cereal Science and Technology.
Association of Cereal Chemist, Inc., St Paul, Minnesota.
American
Hu YB, Wang Z, Xu SY. 2008. Treatment of corn bran dietary fiber with xylanase
increases its ability to bind bile salts, in vitro. Food Chem.106 : 113–121.
Inglett GE. 1970. Kernel, Structure, Composition and Quality. Di dalam: Inglet GE,
editor. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publicshing Co.
Jiang W, Qiao XY, Sun K. 2006. Mechanical and thermal properties of thermoplastics
acetylated starch/poly(ethylene-co-vinyl alcohol) blends. Carbohydr Polym.
65:139-145
JunistiaL, Sugih AK, Manurung R, Picchioni F, Janssen L, Heeres HJ. 2008.
Synthesis of higher fatty acid starch esters using vinyl laurate and stearate as
reactants. Starch-Starke.60 : 667-675
Kaisangsri N, Kerdchoechuan O, Laohakunjit N. 2012.Biodegradable foam tray from
cassava starch blended with natural fiber and chitosan. Ind Crops Prod.
37(1):542-546.
Kaletunc G, Breslauer KJ. 2003. Characterization of Cereals and Flours : Food
Science and Technology. New York: Marcell Dekker, Inc.
Kementerian Pertanian.
2012.
Produksi Tanaman Pangan 2010.
http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. Akses 10 September 2012.
Lacourse NL, Altieri PA. 1989. Biodegradable packaging material andthe method of
preparation thereof. US Patent No. 4.863.655.
Laratonda FDS, Matsui KN, Sobral PJA, Laurindo JB. 2005. Hygroscopy and water
vapor permeability of kraft paper impregnated with starch acetate. J Food
Eng.71(4):394-402.
127
Lawton JW, Shogren RL, Tiefenbacher KF. 2004. Aspen fiber addition improves the
mechanical properties of baked cornstarch foams. Ind Crop Prod. 19, 41–48.
Laszrity R. 1986. Maize Protein. Di dalam:The Chemistry of Cereal Proteins. New
York: CRC Press.
Lee SY, Eskridge KM, Koh WY, Hanna MA. 2009. Evaluation of ingredient effects
on extruded starch based foams using a supersaturated split-plot design. Ind Crop
Prod. 29:427-436.
Lee SH, et al. 2004. Compatibilization and properties of modified starch-poly(lactid
acid) blend, Polym-Korea. 28(6):519-523.
Lickly TD, Lehr KM, Welsh GC. 1995. Migration of styrene from polystyrene foam
food-contact articles. Food Chem Toxic. 33(6):475-481.
Lin Y, Hsieh F, Heymann H, Huff HE. 2000. Effect of process conditions on the
physical and sensory properties of extruded oat-corn puff. J Food Sci. 65: 1253–
1259
Lue S, Hsieh F, Peng IC, Huff HE. 1990. Expansion of corn extrudates containing
dietary fibre: a microstructure study. Lebens Wiss Technol. 23: 165-173.
Madsen B. 2004. Properties of Plant Fiber Yarn Polymer Composites: An
Experimental Study. BYU-DTU. Report R-082, Denmark. hlm 75
Manurung B.
2008.
PenggunaanStyrofoamsebagaikemasanpangan.www.hariananalisa.com. akses 18 Februari 2010
Mali S, Debiagi F, Grossmann MVE, Yamashita F. 2010. Starch, sugarcane bagasse
fibre and polyvinyl alcohol effects on extruded foam properties: a mixture design
approach. Ind Crop Prod. 32, 353–359.
Matsui KN, Larotonda FDS, Pae SS, Luiz DB, Pires ATN, Laurindo JB. 2004.
Cassava bagasse-Kraft paper composites: analysis of influenceof impregnation
with starch acetate on tensile strength and waterabsorption properties.Carbohydr
Polym. 55 : 237–243
Miladinov VD, Hanna MA. 2001, Temperatures and ethanol effects on the properties
of extruded modified starches.Ind Crop Prod.13: 21-28
Muadklay J, Charoenrein S. 2008. Effects of hydrocolloids and freezing rates on
freeze–thaw stability of tapioca starch gels. Food Hydrocoll. 22(7):1268-1272
Nabar Y, Raquez JM, Dubois P, Narayan R. 2005. Production of starch foams by twinscrew extrusion: effect of maleated poly (butylene adipate-coterephthalate) as a
compatibilizer. Biomacromol. 6:807–817.
Neumann PE, Seib PA. 1993. Starch based biodegradable packaging filler and method
of preparing same. US Patent Number 5.165.383
Onteniente JP, Abbes B, Safa LH. 2000. Fully biodegradable lubricated thermoplastics
wheat starch: mechanical and reological properties of an injection grade. StarchStarke. 52:112-117
Paes SS, Yakimets I, Mitchell JR. 2008. Influence of gelatinization process on
functional properties of cassava starch films . Food Hydrocoll. 22(5): 788-797
128
Peng J, Wei K, Lui WB. 2005. Response surface optimization of the feed compositions
of biodegradable packaging foams. Packag Technol Sci. 18:321-330.
Pimpa Bet al. 2007. Optimization of conditions for production of sago starch-based
foam. Carbohydr Polym. 68:751-760.
Poovarodom N. 2006. Non-synthetic biodegradable starch-based composition for
production of shaped bodies.US Patents7067651, 2006.
Pushpadass HA, Weber RW, Dumais JJ, Hanna MA. 2010. Biodegradation
characteristics of starch-polystyrene loose-fill foams in composting medium.
BioresTechnol.101(19):7258-7264
Rahmat AR, RahmanWA, Lee TS, Yussuf AA. 2009. Approaches to improve
compatibility of starch filled polymer system: A review. Mater Sci Eng C.29(8),
2370-2377
Richana N, Suarni, 2009. Teknologi PengolahanJagung. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan PascaPanen Pertanian. Bogor.
Rivard C, Moens L, Roberts K, Brigham J, Kelley S. 1995. Starch esters as
biodegradable plastics: Effects of ester group chain length and degree of
substitution on anaerobic biodegradation. Enzyme Microb Tech.17(9):848-852
Romhany G, Karger-Kocsis J, Czigany T. 2003. Tensile fracture and failure behaviour
of thermoplastics starch with unidirectional and cross ply flax fiber
reinforcements. Macromol Mater Eng. 288:699-707.
Rooney LW, Suhendro EL. 2001. Food quality of corn. Di dalam:Lusas RW, Rooney
LW, editors. Snack Foods Processing. Boca Raton, Florida: CRC Press.
Ruggiero R, Machado AEH, Hoareau W, Gardrat C, Nourmamode A, Grelier S,
Castellan A. 2006. Photodegradation of sugarcane bagasse fibers:influence of
acetylation or grafting UV-absorber and/or hindered nitroxide radical on their
photostability. JBraz ChemSoc. 17(4):763-770
Russo MAL, O’Sullivan C, Rounsefell B, Halley PJ, Truss R, Clarke WP. 2009. The
anaerob degradability of thermoplastic starch:polyvinyl alcohol blends:potential
biodegradable food packaging materials. Biores Technol. 100:1705-1710 .
Salgado PR, Schmidt VC, Ortiz SEM, Mauri AN, Laurindo JB. 2008. Biodegradable
foams based on cassava starch, sunflower proteins and cellulose fibers obtained
by baking process. J Food Eng. 85: 435-443.
Schmidt VC, Laurindo JB. 2010. Characterization of foam obtained from cassava
starch, cellulose fibres and dolomitic limestone by a thermopressing process.
Braz Arch BiolTechnol.53(1):185-192.
Seibel W, Hu R. 1994. Gelatinization Characteristics of a Cassava/Corn Starch Based
Blend during Extrusion Cooking Employing Response Surface Methodology.
Starch/Starke. 46(6):217-224
Sharma V, Moreau RA, Singh V. 2007. Increasing the Value of Hominy Feed as
Coproduct by Fermentation. ApplBiochem Biotech. 149(2): 145-153
Shey J, Imam SH, Glenn GM, Orts WJ. 2006. Properties of baked starch foam with
natural rubber latex. Ind Crop Prod. 24:34-40.
129
Shogren RL, Lawton JW, Doane WM, Tiefenbacher KF. 1998.
morphology of baked starch foams. Polym. 39(25):6649-6655.
Structure and
ShogrenRL, Lawton JW, Tiefenbacher KF. 2002. Baked starch foam: Starch
modification and additives improve process parameters, structure and properties.
Ind Crop Prod. 16: 69-79.
Shukla R, Cheryan M. 2001. Zein : The industrial protein from corn. IndCrop
Prod.13(3) : 171-192
Siddaramaiah, Raj B, Somashekar R. 2003. Structure–property relation in polyvinyl
alcohol/starch composites. J App Polym Sci. 91: 630–635.
Sin LT, Rahman WAWA, Rahmat AR, Samad AA. 2010. Computational modelling
and experimental infrared spectroscopy of hydrogen bonding interactions in
polyvinyl alcohol-starch blends. Polym. 51:1206-1211.
Singh N, SinghJ, Kaur L, SodhiNS, Gill BS. 2004. Morphological, thermal
andrheological properties of starches from different botanical sources.Food
Chem.81(2): 219-231.
Singh B, Sekhon KS, Singh N. 2007. Effects of moisture, temperature and levelof pea
grits on extrusion behaviour and product characteristics of rice. Food Chem. 100:
198–202
Sjoqvist M, Gatenholm P. 2007. Effect of water content in potato amylopectin starch
on microwave foaming process. J Polym Environ. 15(1): 43-50
Sjöqvist M, Boldizar A,Rigdahl M. 2010. Processing and water absorption behaviour
of foamed potato starch. J Cell Plastics. 1:15–22
Soykeabkaew N, Supaphol P, Rujiravanit R. 2004. Preparation and characterization of
jute and flax reinforced starch-based composite foams. Carbohydr Polym. 58:5363.
Stanssens D, et al. 2011. Creating water-repellent and super-hydrophobic cellulose
substrates by depositionof organic nanoparticles. Mater Lett. 65:1781–1784
Streekumar PA, Gopalakrishnan P, Leblanc N,Saiter JM. 2010. Effect of glycerol and
short sisal fibers on the viscoelastic behavior of wheat flour based thermoplastic.
Composites: Part A. 41: 991–996
Subekti NA, SyarifudinR, Efendi, Sunarti S. 2007. Morfologi tanaman dan fase
pertumbuhanjagung.
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind//bjagung/
empat.pdf. Akses 8 Januari 2010.
Sulchan M, Endang NW. 2007. Keamanan pangan kemasan plastic dan styrofoam.
Majalah Kedokteran Indonesia 57(2):54-59.
Sullivan JF, Craig JC. 1984. The development of explosion puffing,
Technol.38(2): 52–55.
Food
Takagi H, Ichihara Y. 2004. Effect of fiber length on mechanical properties of green
composite using a starch based resin and short bamboo fibers. JMSE Int J Series
A. 47(4):551-555
130
Tang X, Alavi S. 2011. Recent advances in starch, polyvinyl alcohol based polymer
blends, nanocomposites and their biodegrability. Carbohydr Polym 85:7-16.
Tester RF, Morrison WR. 1990. Swelling and gelatinisation of cereal starches I: Effects
of amylopectin, amylose and lipids. Cereal Chem. 67: 551–557
Thomas DS, Atwell WA.1999.Starch Structure. Di dalam: Critical Guides for the Food
Industry. ThomasDS, Atwell WA (Eds.). Eagan Press, Minnesota, pp: 25-30.
Tiefenbacher KF. 1993. Starch-based foamed material– use and degradation properties.
JMacromolSciPureA.30:727-731.
Tudorachi N, Cascaval CN, Rusu M, Pruteanu M. 2000. Testing polyvinyl alcohol and
starch mixtures as biodegradable polymeric materials. Polym Test. 19:785-799
Vandeputte GE, Derycke V, Geeroms J, Delcour JA. 2003. Rice starches. II. Structural
aspects provide insight into swelling and pasting properties. J Cereal Sci. 38: 53–
59.
Vercelheze AES, Fakhouri FM, Antonia LHD, Urbano A, Youssef EY, Yamashita F,
Mali S. 2012. Properties of baked foams based on cassava starch, sugarcane
bagasse, fibers and montmorillonite. Carbohydr Polym. 87:1302-1310.
Wang S, Yu J, Yu J. 2004. Influence of maleic anhydride on the compatibility of
thermal plasticized starch and linear low-density polyethylene.J Polym Sci.
93:686-695
Wang XJ, Gross RA, Mc Carthy SP. 1995. Reological study of biodegradable blends
of starch and polyvinyl alcohol. J. Polym Environ.3:161-167
Wang L, Shogren RL. 1997. Preparation and properties of corn based loose fill foams.
Di dalam: Proceeding of the 6th Annual Meeting of BioEnviron.
DegradPolymSci. St Paul-USA.
Westman MP, Fified LS, Simmons KL, Laddha SL and Kafentzis KA. 2010. Natural
Fiber Composites : A Review. Pasific Northwest National Laboratory for US
Department of Energy.
Willet JL, Jasberg BK, Swanson CL. 1995. Rheology of thermoplastics starch:effects
of temperature, moisture content and additives on melt viscosity. Polym Eng Sci.
35:202-210
Wongsasulak S, Yoovidhya T, Bhumiratana S, Hongsprabhas P, McClements DJ,
Weiss J. 2006. Thermo-mechanical properties of egg albumen–cassava starch
composite films containing sunflower-oil droplets as influenced by moisture
content.Food Res Int.39(1):277-284
Xie F, Halley PJ, Averous L. 2012. Rheology to understand and optimize
processibility, sytructures and properties of starch polymeric materials. Prog
Polym Sci. 37(4):595-623
Xu YX, Dzenis Y, Hanna MA. 2005. Water solubility, thermal characteristics and
biodegradability of extruded starch acetate foams. Ind Crop Prod. 21:361-368.
Yuan J, Flores RA. 1996. Laboratory dry milling performance of white corn: effect of
physical and chemical corn characteristics. Cereal Chem. 73:574-578.
131
Yu L, Chen GL. 2009. Self-aggregated nanoparticles from linoleic acid modified
carboxymethyl chitosan: synthesis, characterization and application in vitro. Coll
SurfB. 69(2): 178-182
Yu L, Christie G. 2001. Measurement of thermal transition using differential scanning
calorymeter. Carbohydr Polym. 46:179-184.
Zhou J. 2004. Microwave assisted moulding of starch-based foams. [Dissertation].
.Brunell University, UK.
Zou GX, Jin PQ, Xin LZ. 2007. Extruded starch/PVA composites:Water resistance,
thermal properties and morphology. J Elast Plast. 40:303-316.
.
132
133
LAMPIRAN
135
Lampiran 1. Prosedur Analisis
1. Analisis Sifat Fisiko Kimia Bahan Baku
a) Kadar Air (AOAC, 2005)
Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven.
Prinsipnya adalah menguapkan molekul air (H2O) bebas yang ada dalam
sampel. Kemudian sampel ditimbang sampai didapat bobot konstan yang
diasumsikansemua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan.Selisih
bobot sebelum dan sesudah pengeringan merupakan banyaknya air yang
diuapkan. Prosedur analisis kadar air sebagai berikut: cawan yang akan
digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-1050C,
kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan
ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah
dikeringkan (B) kemudian dioven pada suhu 100-1050C selama 6 jam lalu
didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C). Tahap
inidiulangi hingga dicapai bobot yang konstan. Kadar air dihitung dengan
rumus:
Kadar Air (%) = B-C x 100%
B-A
b) Kadar Abu (AOAC, 2005)
Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven. Prinsipnya
adalah pembakaran atau pengabuan bahan-bahan organik yang diuraikan
menjadi air (H2O) dan karbondioksida (CO2) tetapi zat anorganik tidak
terbakar. Zat anorganik ini disebut abu. Prosedur analisis kadar abu sebagai
berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit
pada suhu 100-1050C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk
menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g
dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dibakar di atas nyala
pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam
tanur bersuhu 550-6000C sampai pengabuan sempurna.Sampel yang sudah
diabukan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C).Tahap pembakaran
136
dalam tanur diulangi sampai didapat bobot yang konstan. Kadar abu dihitung
dengan rumus:
Kadar Abu (%) = C-A x 100%
B-A
c) Kadar Protein (AOAC, 2005)
Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Prinsipnya
adalah oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia
oleh asam sulfat, selanjutnya amonia bereaksi dengan kelebihan asam
membentuk amonium sulfat. Amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dan
larutan dijadikan basa dengan NaOH. Amonia yang diuapkan akan diikat
dengan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan ditentukan
jumlahnya dengan titrasi menggunakan larutan baku asam
Prosedur analisis kadar protein sebagai berikut: sampel ditimbang
sebanyak 0,1-0,5 g, dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, ditambahkan
dengan 1/4 buah tablet kjeltab, kemudian didekstruksi (pemanasan dalam
keadaan mendidih) sampai larutan menjadi hijau jernih dan SO2 hilang.
Larutan dibiarkan dingin dan dipindahkan ke labu 50 ml dan diencerkan
dengan akuades sampai tanda tera, dimasukkan ke dalam alat destilasi,
ditambahkan dengan 5-10 ml NaOH 30-33% dan dilakukan destilasi. Destilat
ditampung dalam larutan 10 ml asam borat 3% dan beberapa tetes indikator
(larutan bromcresol green 0,1% dan larutan metil merah 0,1% dalam alkohol
95% secara terpisah dan dicampurkan antara 10 ml bromcresol green dengan
2 ml metil merah) kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai
larutan berubah warnanya menjadi merah muda. Kadar protein dihitung
dengan rumus:
Kadar Protein (%) = (B-A) x C x 14,007x 100 x FK x 100%
D
Keterangan:
A = volume HCl untuk titrasi blanko
B = volume HCl untuk titasi sampel (ml)
C = normalitas HCl yang digunakan (0,02374 N)
137
D = bobot sampel (mg)
FK = faktor konversi (6,25 )
d) Kadar Lemak (Metode Sokhlet) (AOAC, 2005)
Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode Sokhlet. Prinsipnya
adalah lemak yang terdapat dalam sampel diekstrak dengan menggunakan
pelarut lemak non polar.
Prosedur analisis kadar lemak sebagai berikut: labu lemak yang akan
digunakan dioven selama 30 menit pada suhu 100-1050C, kemudian
didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A).
Sampel ditimbang sebanyak 2 g (B) lalu dibungkus dengan kertas saring,
ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi
sokhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dioven dan
diketahui bobotnya. Pelarut heksan atau pelarut lemak lain dituangkan sampai
sampel terendam dan dilakukan refluks atau ektraksi lemak selama 5-6 jam
atau sampai palarut lemak yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut
lemak yang telah digunakan, disuling dan ditampung setelah itu ekstrak lemak
yang ada dalam labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100-1050C selama
1 jam, lalu labu lemak didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Tahap
pengeringan labu lemak diulangi sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar
lemak dihitung dengan rumus:
Kadar Lemak (%) = C-A x 100%
B
e) Kadar Serat Kasar (AOAC, 2005)
Prinsip : Serat kasar adalah semua zat-zat organik yang tidak dapat larut dalam
H2SO4 0.325 N dan dalam NaOH 1.25 N yang berturut-turut
dipanaskan selama 30 menit. Serat kasar terdiri dari selulosa,
hemisellulosa, lignin dan silika serta sebagian pentosan-pentosan.
Cara Kerja :

Sampel ditimbang seberat 2-5 g (x) dan dimasukkan ke dalam
erlenmayer 500 ml. Sampel ditambahkan 100 ml H2SO4 0.325 N dan
dihidrolisis dengan otoklaf bersuhu 1050C selama 15 menit.
138

Bahan didingikan, selanjutnya ke dalam erlenmayer ditambahkan juga
50 ml NaOH 1.25 N

Selanjutnya dihidrolisis kembali dengan otoklaf bersuhu 105 oC selama
15 menit.

Sebuah kertas saring ditimbang seberat ( a ) gram.

Cairan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring yang sudah
ditimbang sebelumnya dan dilakukan penyaringan dengan pompa
vakum. Proses penyaringan berturut-turut dicuci dengan : 50 ml air
panas; 25 ml H2SO4 0.325 N; 50 ml air panas ; 25 ml Aceton/alkohol.

Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselin dan
dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105°C.

Kertas saring dan isisnya yang telah dikeringkan didinginkan dalam
desikator selama 1 jam dan timbang ( y ) gram.

Adapun rumus penentuan kadar serat kasar sebagai berikut:
Kadar Serat Kasar =
y–a
a
x 100%
f) Kadar Karbohidrat (by difference)
Kadar karbohidrat secara (by difference) dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
Kadar karbohidrat (%) = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar protein +
kadar lemak + kadar serat kasar )
g) Kadar Pati (AOAC, 2005)
Pengukuran kadar pati didahului dengan menimbang sampel sebanyak 1 g
kemudian dimasukkan ke dalam elenmeyer 500 ml. Selanjutnya sampel
tersebut dihidrolisis menggunakan H2SO4 selama 1 jam pada otoklaf bersuhu
1150C. Setelah dingin, sampel tersebut dinetralkan dengan NaOH 40%
139
kemudian dimasukkan dalam labu ukur 250 ml. Selanjutnya sebanyak 10 ml
dipipet dan dimasukkan dalam elenmeyer 250 ml untuk ditambahkan larutan
Luff Schroll 25 ml. Kemudian dididihkan di bawah pendingin tegak tepat
selama 10 menit lalu sampel secara perlahan dititrasi dengan larutan sodium
tiosulfat 0,1 N dengan menggunakan indikator kanji. Blanko dibuat dengan
menggunakan akuades sebagai pengganti sampel. Kadar pati dihitung dengan
rumus:
Kadar pati (%) = 0,9 x pengenceran x mg monosakarida x 100%
Bobot awal sampel
h) Kadar Amilosa (AOAC, 2005)
Pengukuran kadar amilosa dilakukan dengan menetapkan kurva standar
terlebih dahulu. Amilosa murni diukur sebanyak 40 mg, dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml
NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit
sampai membentuk gel. Setelah didinginkan campuran dipindahkan ke dalam
labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan menggunakan
akuades.
Larutan tersebut masing-masing 1,2,3,4, dan 5 ml dimasukkan ke dalam
labu takar 100 ml, kemudian ke dalam setiap labu takar ditepatkan sampai
tanda tera dengan akuades dan dibiarkan selama 20 menit. Intensitas warna
biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
625 nm, kemudian dibuat kurva standar antara konsentrasi amilosa murni
dengan absorbansi.
Setelah kurva standar dibuat, dilaukan penetapan sampel dengan
memasukkan 100 mg sampel dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 ml
etanol 95% dan 9 ml NaOH 0,1N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih
selama 10 menit sampai membentuk gel Setelah didinginkan sampuran
tersebut dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda
tera dengan menggunakan akuades.
140
Larutan tersebut sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi 100
ml, lalu ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Campuran
dalam labu takar ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades, dikocok, dan
dibiarkan selama 30 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa
sampel dapat dihitung dengan rumus;
Kadar amilosa (%) = A x 100 x 100/5 x 100%
W
Keterangan : A = konsentrasi amilosa dari persamaan kurva standar
(mg/ml)
B = bobot sampel (mg)
i) Water absorption index (WAI)
WAI diukur berdasarkan prosedur yang terdapat pada Metode AACC 56-20
(1983). Pati sebanyak 1 g didispersikan dalam 30 ml air destilasi di dalam
tabung sentrifus.Tabung sentrifus selanjutnya diletakkan pada water bath 300C
dan digoyang selama 30 menit. Tahapan selanjutnya dilakukan sentrifus 5000
x g selama 10 menit . Supernatan yang diperoleh selanjutnya diletakkan pada
piringan aluminium dan dikeringkan pada suhu 1030C selama 12 jam dan
kemudian ditimbang. Sedimen yang tersisa beserta tabungnya juga ditimbang.
Nilai WAI dihitung berdasarkan rumus sbb:
WAI = berat tabung beserta sedimen – berat tabung x 100%
Berat sampel
2. Analisis Sifat Thermal Bahan Baku
a) Analisis Suhu transisi gelas dan Titik Leleh Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik
dan Pati Asetat (Yu dan Christie 2001, Wang et al. 2008)
Alat yang digunakan adalah Differential Scanning Colorymetermerk
Shimadzu, Japan. DSC dikalibrasi menggunakan indium dan pan alumunium
kosong digunakan sebagai referens. 2,5 mg sampel ditimbang dalam
alumunium pan. Selanjutnya pan yang berisi sampel diseal secara hermetis
141
kemudian disimpan pada suhu ruang selama 24 jam. Kemudian pan
dipanaskan dalam alat DSC dari suhu 0-2000C dengan kenaikan suhu yang
telah discan 100C/menit. To, Tp, Tc, (T onset, T peak, T conclusion) dan ΔH
dihitung dari area peak pada thermogram.
b)
Analisis Sifat Amilograf
Pengamatan sifat amilografi tepung dilakukan dengan menggunakan
Amilograph Brabender®. Tahapan yang dilakukan sebagai berikut: larutan
tepung jagung dibuat dengan konsentrasi 10% (b/v), sehingga setiap 400ml
aquades diperlukan tepung jagung sebanyak 40 g. Sebanyak 40 g tepung
jagung dimasukkan dalam gelas piala 500 ml dan ditambah 300 ml aquades,
kemudian diaduk selama 1,5 menit. Campuran tersebut dipindahkan ke dalam
mangkuk amilograf yang sudah dipasang pada alat tersebut, sisa yang
tertinggal dalam gelas dicuci dengan 100 ml aquades dan air bilasan tersebut
dimasukkan dalam mangkok amilograf. Mangkok tersebut kemudan diputar
dengan kecepatan 75 rpm dan suhunya ditingkatkan dari 300C hingga 950C
dengan laju kenaikan 1,50C per menit. Suhu dipertahankan 950C selama 20
menit dan kemudian diturunkan sampai 500C dengan laju penurunan suhu
1,50C per menit. Perubahan viskositas sampel tepung dicatat pada kertas
grafik kontinyu.
3. Analisis Struktur Morfologi Bahan Baku
a) Bentuk dan ukuran granula pati (Metode Mikroskop Polarisasi)
Bentuk granula pati dilihat dengan menggunakan mikroskop polarisasi
cahaya dan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan kamera. Untuk
pengamatan dengan mikroskop polarisasi cahaya, suspensi pati disiapkan
dengan mencampurkan sampel ke dalam akuades kemudian diaduk hingga
merata. Suspensi yang terbentuk kemudian diteteskan di atas gelas obyek dan
ditutup dengan gelas penutup. Obyek kemudian diuji dengan meneruskan
cahaya pada polarisator. Selama pengamatan, alat analisator diputar sehingga
cahaya terpolarisasi sempurna ditunjukkan oleh butir-butir pati yang belum
mengalami gelatinisasi dengan sifat birefringence. Bentuk dan ukuran diamati
bersama dengan berkas cahaya yang terpolarisasi.
142
b) Bentuk dan Ukuran pati (Metode SEM)
Analisa untuk melihat bentuk dan ukuran dari granula pati dapat
dilakukan pula dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM).
Analisa ini dilakukan dengan menggunakan SEM Evo 50- Zeiss dengan
menggunakan voltase akselerasi 1 KV. Sampel dipotong berkuran 5x5 mm2
dan kemudian diletakkan pada stubs yang tersedia untuk selanjutnya dianalisa
menggunakan SEM.
4. Karakterisasi Biofoam
a) Analisis Sifat Mekanis (ASTM D-638, 1991)
Sampel yang akan diuji terlebih dahulu dikondisikan dalam ruang dengan
suhu dan kelembaban relatif standar (230C, 52%) selama minimal 24 jam.
Sampel yang akan diuji dipotong sesuai standar (tipe I). Disiapkan sebanyak
5 lembar sampel dan dihitung rata-rata tebalnya. Pengujian dilakukan dengan
cara kedua ujung sampel dijepit mesin penguji. Kemudian dicatat panjang
awalnya sementara ujung tinta pencatat diletakkan pada posisi 0 grafik.
Tombol ‘start’ dinyalakan dan alat akan menarik sampel hingga putus dan
dicatat gaya kuat tarik (F) serta panjang setelah putus. Selanjutnya dilakukan
pengujian lembar berikutnya.
Ketahanan tarik (N/mm2) = Gaya kuat tarik (F) / Luas permukaan (A)
b). Analisis Morfologi Permukaan dengan SEM (ASTM E-2015, 1991)
Sampel diletakkan pada holder dengan perekat ganda dan dilapisi dengan
logam panas pada kondisi vakum. Sampel selanjutnya dimasukkan dalam
alat SEM, lalu gambar permukaan diamati dan dilakukan pembesaran sesuai
yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan pemotretan menggunakan film hitam
putih.
c) Bulk density
Pengukuran densitas untuk kemasan berbentuk tray dilakukan dengan
menggunakan seed displacement (Bhatnagar dan Hanna, 1995). Pengukuran
densitas dilakukan dengan memotong sampel dengan ukuran 2x2 cm2 dan
143
kemudian ditimbang. Kacang hijau sebagai media pengganti digunakan untuk
mengisi celah kosong pada gelas ukur 500 ml yang sudah diisi potongan foam.
Berat dari kacang hijau ditimbang dan unit densitas dihitung dengan membagi
berat dengan volume. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali.
d) Compressibility
Compressibility adalah tekanan yang dibutuhkan untuk menghancurkan
sampel biofoam dengan ketebalan 2 mm dengan UTM. Ekstrudat sepanjang 2
cm ditempatkan pada piringan datar.
Ekstrudat kemudian ditekan
menggunakan piringan lainnya dengan laju 1 cm/ menit.
Nilai kompresi
adalah hasil pembagian nilai gaya yang diberikan (kN) dibagi dengan luas
permukaan sampel yang diuji. Menurut Bhatnagar dan Hanna (1995), nilai
compressibility yang baik untuk produk biofoam berkisar 229-340 kPa. Nilai
yang tinggi menggambarkan bahwa sampel relatif keras sedangkan nilai
rendah menunjukkan sampel lunak dan mudah ditekan.
e). Water absorption index (WAI)
Pengukuran water absorption index (WAI) dilakukan mengikuti standar
prosedur ABNT NBR NM ISO 535(1999) Dalam Matsui et al. (2004) dimana
sampel foam dipotong berukuran 25 x 50 mm2 dan kemudian ditimbang.
Selanjutnya sampel dicelupkan ke dalam air selama 1 menit dan sisa air pada
permukaan dikeringkan menggunakan tissu.
Sampel kemudian ditimbang
kembali dan dihitung pertambahan berat sampel.
WAI = berat sampel setelah dicelup – berat sampel awal x 100%
Berat sampel awal
f). Warna (Tingkat Kecerahan dan Nilai Hue, Metode Hunter, 1999)
Sampel ditempatkan di wadah transparan.
Pengukuran menggunakan
Chromameter menghasilkan nilai L, a dan b. Nilai L menyatakan tingkat
kecerahan dimana nilai 0 mewakili warna hitam dan 100 putih. Nilai a positif
menunjukkan warna merah sedangkan a negatif menunjukkan warna hijau.
144
Sementara itu, nilai b positif menggambarkan warna kuning dan nilai b negatif
menggambarkan warna biru. Selain itu dilakukan juga perhitungan Nilai Hue
yang menggambarkan kecenderungan warna dari sampel. Adapun nilai hue
diperoleh dari nilai a dan b yang diperoleh hasil pengukuran chromamter
dengan rumus sebagai berikut :
Nilai Hue0 = Tangen-1 b/a
Selanjutnya nilai hue yang diperoleh dikonversikan dengan nilai yang
ada pada tabel berikut untuk mengetahui kisaran warna dari sampel yang
diujikan.
Nilai Hue
0
18-54
54-900
90-1260
126-1620
162-1980
198-2340
234-2700
270-3060
306-3430
342-180
Warna Produk
Merah
Kuning merah
Kuning
Kuning hijau
Hijau
Biru hijau
Biru
Biru ungu
Ungu
Merah ungu
g) Contact Angle
Pengukuran contact angle dilakukan dengan menggunakan contact
angle goniometer. Sampel dipotong ukuran 2 x 10 cm2. Sampel kemudian
diletakkan di bawah syring dan selanjutnya dilakukan proses penetesan pada
permukaan biofoam. Besaran contact angle dihitung berdasarkan besar sudut
antara tetesan air dengan permukaan biofoam.
h) Viskoelastisitas
Pengukuran viskoelastisitas dilakukan dengan menggunakan Dynamic
Mechanical Thermal Analysis (DMTA) merek Gabo.
Pengukuran
145
dilakukan dengan single cantilever pada 2 mode yaitu compression dan 3
bending.
Untuk mode Compression, sampel dipotong berukuran 10x10
2
mm sedang untuk 3-bending berukuran 10x50 mm2. Sebelum dilakukan
pengukuran terlebih dahulu sampel dikondisikan pada chamber dengan suhu
500C.
Analisis menggunakan DMTA dilakukan dengan menggunakan
frekuensi 1 Hz dengan amplitudo 0,1%. Sampel dipanaskan dari suhu -20800C dengan laju kenaikan suhu 20C/menit. Perhitungan modulus storage,
loss modulus, tangen δ diperoleh dengan menggunakan software khusus
yang sudah termasuk pada alat DMTA.
i) Analisis Termal (ASTM D-3418, 1991)
Sampel sebanyak 10 mg dimasukkan dalam test cell. Selanjutnya
sampel di seal dan dilakukan pencatatan berat sampel. Pengujian mengacu
kepada ASTM D-3418 menggunakan alat Differential Scanning Calorimeter
(DSC). Analisa dilakukan dengan temperatur tinggi dari 300C hingga 2000C.
Kecepatan pemanasan adalah 100C/min. Transisi gelas (Tg) dihitung
berdasarkan midpoint dari peningkatan kapasitas panas, sedangkan titik leleh
(Tm) dihitung pada saat terjadi reaksi eksotermis.
j)
Biodegradability
Analisis Kualitatif
Pengujian biodegradabilitas dilakukan dengan dua cara yaitu secara kualitatif
dan kuantitatif. Pengujian biodegradabilitas plastik komposit secara kualitatif
dilakukan berdasarkan ASTM G-2170. Dalam metode ini, sampel berukuran
3x3 cm2 ditempatkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dan
diinokulasikan dengan kapang Penicilium sp. dan Aspergillus niger. Sebagai
pembanding juga diletakkan lembaran plastik sintetis (polystryrene). Sampel
diinkubasikan pada suhu 290C selama 2 pekan. Pertumbuhan kapang
dilakukan pada hari ke-5 dengan mengamati luasan permukaan kapang yang
ditumbuhi oleh kapang.
146
Analisis Kuantitatif
Pengujian biodegradabilitas pada termoplastik secara kuantitatif dilakukan
dengan mereaksikan 10 mg sampel dengan 1 ml enzim a-amilase (Novo
theramyl 26087, 09 IU) dalam 9 ml buffer fosfat ph 7,0. Inkubasi dilakukan
selama 17 jam pada wadah shaker waterbath berkecepatan 150 rpm pada
temperatur 360C. Cairan yang diperoleh dilakukan pengujian gula pereduksi
dengan metode DNS.
Nilai gula pereduksi atau nilai pati yang terhidrolisis akan diasumsikan
sebagai bagian yang terdegradasi sehingga akan diperoleh persentase
biodegradabilitas termoplastik.
Pengurangan bobot plastik (%) = Abs x 20 x0,9 x 100% / bobot sampel
147
Lampiran 2. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Air
(%) Biofoam
Kelompok PVOH 0%
Sumber Keragaman
Jumlah
Kuadrat
8.306a
670.582
8.306
6.765
685.653
15.071
Derajat Nilai Kuadrat
Bebas
rata-rata
3
2.769
1
670.582
3
2.769
8
.846
12
11
Kelompok PVOH 30%
Sumber
Jumlah
Keragaman
Kuadrat
Model Terkoreksi
2.264a
Intersep
536.939
PERLAKUAN
2.264
Galat
4.509
Total
543.713
Total Terkoreksi
6.773
Derajat Nilai Kuadrat
Bebas
rata-rata
3
.755
1
536.939
3
.755
8
.564
12
11
Model Terkoreksi
Intersep
PERLAKUAN
Galat
Total
Total Terkoreksi
F
3.274
793.055
3.274
F
1.339
952.633
1.339
Sig.
.080
.000
.080
Sig.
.328
.000
.328
148
Lampiran 3. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Daya
Serap Air (%) Biofoam
Kelompok PVOH 0%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
.090
3
.030
Intersep
2.458
1
2.458
PERLAKUAN
.090
3
.030
Galat
.016
8
.002
Total
2.564
12
Total Terkoreksi
.106
11
a. R Squared = ,852 (Adjusted R Squared = ,797)
Duncan
PERLAKUAN
A3
A2
A4
A1
Sig.
N
3
3
3
3
F
15.354
1251.187
15.354
Sig.
.001
.000
.001
Subset
1
2
.368024
.400321
.447051
.594883
.069
1.000
Kelompok PVOH 30%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
.019a
3
.006
Intersep
1.223
1
1.223
PERLAKUAN
.019
3
.006
Galat
.073
8
.009
Total
1.314
12
Total Terkoreksi
.092
11
a. R Squared = ,204 (Adjusted R Squared = -,095)
F
.683
133.902
.683
Sig.
.587
.000
.587
149
Lampiran 4. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Densitas
(g/cm3) Biofoam
Kelompok PVOH 0%
Sumber
Jumlah
Keragaman
Kuadrat
Model Terkoreksi
.041a
Intersep
1.418
PERLAKUAN
.041
Galat
.043
Total
1.503
Total Terkoreksi
.085
Derajat Nilai Kuadrat
Bebas
rata-rata
3
.014
1
1.418
3
.014
8
.005
12
11
Kelompok PVOH 30%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
.003
3
.001
Intersep
2.247
1
2.247
PERLAKUAN
.003
3
.001
Galat
.032
8
.004
Total
2.282
12
Total Terkoreksi
.035
11
a. R Squared = ,084 (Adjusted R Squared = -,260)
F
2.558
262.942
2.558
F
.244
564.418
.244
Sig.
.128
.000
.128
Sig.
.863
.000
.863
150
Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat
Kecerahan Biofoam
Kelompok PVOH 0%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
51.295
3
17.098
Intersep
89198.039
1
89198.039
PERLAKUAN
51.295
3
17.098
Galat
36.392
8
4.549
Total
89285.727
12
Total Terkoreksi
87.687
11
a. R Squared = ,585 (Adjusted R Squared = ,429)
F
3.759
19608.166
3.759
Sig.
.060
.000
.060
Kelompok PVOH 30%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
46.953a
3
15.651
Intersep
79254.504
1
79254.504
PERLAKUAN
46.953
3
15.651
Galat
46.540
8
5.818
Total
79347.997
12
Total Terkoreksi
93.493
11
a. R Squared = ,502 (Adjusted R Squared = ,316)
F
2.690
13623.386
2.690
Sig.
.117
.000
.117
151
Lampiran 6. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Nilai
0
Hue Biofoam
Kelompok PVOH 0%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
148.689
3
49.563
Intersep
109074.680
1
109074.680
PERLAKUAN
148.689
3
49.563
Galat
315.628
8
39.454
Total
109538.998
12
Total Terkoreksi
464.318
11
a. R Squared = ,320 (Adjusted R Squared = ,065)
F
1.256
2764.635
1.256
Sig.
.352
.000
.352
Kelompok PVOH 30%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
8.520a
3
2.840
Intersep
98502.132
1
98502.132
PERLAKUAN
8.520
3
2.840
Galat
75.099
8
9.387
Total
98585.751
12
Total Terkoreksi
83.619
11
a. R Squared = ,102 (Adjusted R Squared = -,235)
F
.303
10493.034
.303
Sig.
.823
.000
.823
152
Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat
Tekan (N/mm2) Biofoam
Kelompok PVOH 0%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
938.077
3
312.692
Intersep
1859.358
1
1859.358
PERLAKUAN
938.077
3
312.692
Galat
24.288
8
3.036
Total
2821.722
12
Total Terkoreksi
962.364
11
a. R Squared = ,975 (Adjusted R Squared = ,965)
Duncan
PERLAKUAN
N
A3
A4
A2
A1
Sig.
3
3
3
3
1
5.397000
6.140000
Subset
2
F
102.995
612.439
102.995
Sig.
.000
.000
.000
3
10.942667
27.311333
1.000
1.000
.616
Kelompok PVOH 30%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
674.422a
3
224.807
Intersep
4814.411
1
4814.411
PERLAKUAN
674.422
3
224.807
Galat
329.698
8
41.212
Total
5818.531
12
Total Terkoreksi
1004.120
11
a. R Squared = ,672 (Adjusted R Squared = ,549)
Duncan
PERLAKUAN
A2
A3
A4
A1
Sig.
N
Subset
3
3
3
3
1
13.351667
15.189000
19.065667
.326
2
32.513667
1.000
F
5.455
116.820
5.455
Sig.
.025
.000
.025
153
Lampiran 8. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat
Tarik (N/mm2) Biofoam
Kelompok PVOH 0%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
327.769
3
109.256
Intersep
14745.290
1
14745.290
PERLAKUAN
327.769
3
109.256
Galat
128.953
8
16.119
Total
15202.011
12
Total Terkoreksi
456.721
11
a. R Squared = ,718 (Adjusted R Squared = ,612)
Duncan
PERLAKUAN
A4
A3
A2
A1
Sig.
N
3
3
3
3
1
27.913667
32.319833
.216
Subset
2
F
6.778
914.773
6.778
Sig.
.014
.000
.014
3
32.319833
38.979000 38.979000
41.003000
.077
.554
Kelompok PVOH 30%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
64.325
3
21.442
Intersep
19480.336
1
19480.336
PERLAKUAN
64.325
3
21.442
Galat
1351.929
8
168.991
Total
20896.590
12
Total Terkoreksi
1416.254
11
a. R Squared = ,045 (Adjusted R Squared = -,313)
F
.127
115.274
.127
Sig.
.942
.000
.942
154
Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap
Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam
Kelompok PVOH 0%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
15091.667
3
5030.556
Intersep
35208.333
1
35208.333
PERLAKUAN
15091.667
3
5030.556
Galat
150.000
8
18.750
Total
50450.000
12
Total Terkoreksi
15241.667
11
a. R Squared = ,990 (Adjusted R Squared = ,986)
Duncan
PERLAKUAN
N
A1
A2
A3
A4
Sig.
3
3
3
3
1
6.67
Subset
2
F
268.296
1877.778
268.296
Sig.
.000
.000
.000
3
33.33
1.000
1.000
86.67
90.00
.373
Kelompok PVOH 30%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
5856.250
3
1952.083
Intersep
20418.750
1
20418.750
PERLAKUAN
5856.250
3
1952.083
Galat
250.000
8
31.250
Total
26525.000
12
Total Terkoreksi
6106.250
11
a. R Squared = ,959 (Adjusted R Squared = ,944)
Duncan
PERLAKUAN
A1
A2
A4
A3
Sig.
N
3
3
3
3
1
5.00
Subset
2
43.33
53.33
1.000
.060
3
53.33
63.33
.060
F
62.467
653.400
62.467
Sig.
.000
.000
.000
155
Lampiran 10. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Gula
Pereduksi (%) Biofoam
Kelompok PVOH 0%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
16.658a
3
5.553
Intersep
2273.354
1
2273.354
PERLAKUAN
16.658
3
5.553
Galat
80.101
8
10.013
Total
2370.113
12
Total Terkoreksi
96.759
11
a. R Squared = ,172 (Adjusted R Squared = -,138)
F
.555
227.050
.555
Sig.
.659
.000
.659
Kelompok PVOH 30%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
11.493a
3
3.831
Intersep
1861.526
1
1861.526
PERLAKUAN
11.493
3
3.831
Galat
28.058
8
3.507
Total
1901.077
12
Total Terkoreksi
39.552
11
a. R Squared = ,291 (Adjusted R Squared = ,025)
F
1.092
530.760
1.092
Sig.
.407
.000
.407
156
Lampiran 11. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH
Kadar Air (%) Biofoam
Kelompok Ampok 25%
Sumber Keragaman
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
3.593a
5
.719
Intersep
863.755
1
863.755
PERLAKUAN
3.593
5
.719
Galat
.928
12
.077
Total
868.276
18
Total Terkoreksi
4.521
17
a. R Squared = ,795 (Adjusted R Squared = ,709)
Duncan
PERLAKUAN
N
K3
K5
K0
K4
K2
K1
Sig.
3
3
3
3
3
3
1
6.283333
6.660000
.123
Subset
2
F
9.295
11171.658
9.295
terhadap
Sig.
.001
.000
.001
3
6.660000
6.816667
6.920000
7.150000
.068
7.733333
1.000
Kelompok Ampok 50%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
5.793a
5
1.159
Intersep
741.253
1
741.253
PERLAKUAN
5.793
5
1.159
Galat
2.159
12
.180
Total
749.205
18
Total Terkoreksi
7.952
17
a. R Squared = ,729 (Adjusted R Squared = ,615)
Duncan
PERLAKUAN
K5
K4
K3
K2
K1
K0
Sig.
N
3
3
3
3
3
3
1
5.716667
5.910000
6.293333
6.333333
.124
Subset
2
6.293333
6.333333
6.843333
.156
3
6.843333
7.406667
.130
F
6.440
4120.109
6.440
Sig.
.004
.000
.004
157
Lampiran 12. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH
Daya Serap Air (%) Biofoam
Kelompok Ampok 25%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
195.921
5
39.184
Intersep
26623.740
1
26623.740
PERLAKUAN
195.921
5
39.184
Galat
447.299
12
37.275
Total
27266.960
18
Total Terkoreksi
643.220
17
a. R Squared = ,305 (Adjusted R Squared = ,015)
Kelompok Ampok 50%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
185.925
5
37.185
Intersep
24391.876
1
24391.876
PERLAKUAN
185.925
5
37.185
Galat
345.236
12
28.770
Total
24923.037
18
Total Terkoreksi
531.161
17
a. R Squared = ,350 (Adjusted R Squared = ,079)
F
1.051
714.254
1.051
F
1.293
847.832
1.293
terhadap
Sig.
.433
.000
.433
Sig.
.330
.000
.330
158
Lampiran 13. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH
Densitas (g/cm3) Biofoam
Kelompok Ampok 25%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
.032
5
.006
Intersep
3.345
1
3.345
PERLAKUAN
.032
5
.006
Galat
.042
12
.004
Total
3.419
18
Total Terkoreksi
.074
17
a. R Squared = ,433 (Adjusted R Squared = ,197)
Kelompok Ampok 50%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
.085
5
.017
Intersep
3.726
1
3.726
PERLAKUAN
.085
5
.017
Galat
.071
12
.006
Total
3.883
18
Total Terkoreksi
.156
17
a. R Squared = ,546 (Adjusted R Squared = ,357)
F
1.834
955.556
1.834
F
2.889
629.901
2.889
terhadap
Sig.
.180
.000
.180
Sig.
.061
.000
.061
159
Lampiran 14. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH
Tingkat Kecerahan Biofoam
Kelompok Ampok 25%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
67.571
5
13.514
Intersep
128510.980
1
128510.980
PERLAKUAN
67.571
5
13.514
Galat
43.652
12
3.638
Total
128622.204
18
Total Terkoreksi
111.223
17
a. R Squared = ,608 (Adjusted R Squared = ,444)
Duncan
PERLAKUAN
N
K3
K4
K5
K2
K1
K0
Sig.
3
3
3
3
3
3
K5
K3
K2
K4
K1
K0
Sig.
N
3
3
3
3
3
3
3.715
35327.860
3.715
Sig.
.029
.000
.029
Subset
1
2
81.836667
82.753333
83.583333 83.583333
85.130000 85.130000
86.490000
87.180000
.073
.053
Kelompok Ampok 50%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
67.535
5
13.507
Intersep
120038.567
1
120038.567
PERLAKUAN
67.535
5
13.507
Galat
36.846
12
3.071
Total
120142.948
18
Total Terkoreksi
104.381
17
a. R Squared = ,647 (Adjusted R Squared = ,500)
Duncan
PERLAKUAN
F
terhadap
1
78.410000
80.483333
81.513333
.061
Subset
2
F
4.399
39093.860
4.399
3
80.483333
81.513333 81.513333
81.870000 81.870000
83.176667 83.176667
84.523333
.106
.074
Sig.
.017
.000
.017
160
Lampiran 15. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Nilai 0Hue Biofoam
Kelompok Ampok 25%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
194.308
5
38.862
Intersep
168513.346
1
168513.346
PERLAKUAN
194.308
5
38.862
Galat
41.868
12
3.489
Total
168749.522
18
Total Terkoreksi
236.176
17
a. R Squared = ,823 (Adjusted R Squared = ,749)
Duncan
PERLAKUAN
N
K3
K0
K5
K4
K2
K1
Sig.
3
3
3
3
3
3
1
90.4967
Subset
2
94.4967
97.7900
1.000
.052
K0
K3
K5
K4
K2
K1
Sig.
N
3
3
3
3
3
3
Subset
1
2
89.9367
90.5067
91.6100
95.5133
96.0100
97.1933
.359
.357
11.138
48298.927
11.138
Sig.
.000
.000
.000
3
97.7900
98.5667
99.5000
99.6900
.270
Kelompok Ampok 50%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
147.645a
5
29.529
Intersep
157231.496
1
157231.496
PERLAKUAN
147.645
5
29.529
Galat
50.153
12
4.179
Total
157429.294
18
Total Terkoreksi
197.798
17
a. R Squared = ,746 (Adjusted R Squared = ,641)
Duncan
PERLAKUAN
F
F
7.065
37620.691
7.065
Sig.
.003
.000
.003
161
Lampiran 16. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam
Kelompok Ampok 50%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
1482.730
5
296.546
Intersep
6354.252
1
6354.252
PERLAKUAN
1482.730
5
296.546
Galat
182.648
12
15.221
Total
8019.630
18
Total Terkoreksi
1665.378
17
a. R Squared = ,890 (Adjusted R Squared = ,845)
Duncan
PERLAKUAN
N
K1
K0
K3
K2
K4
K5
Sig.
F
Sig.
19.483
417.476
19.483
.000
.000
.000
Subset
3
3
3
3
3
3
1
10.385333
10.942667
13.351667
15.437000
2
29.330000
33.285333
.167
.238
Kelompok Ampok 50%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
4691.405
5
938.281
Intersep
9079.230
1
9079.230
PERLAKUAN
4691.405
5
938.281
Galat
43.284
12
3.607
Total
13813.919
18
Total Terkoreksi
4734.689
17
a. R Squared = ,991 (Adjusted R Squared = ,987)
Duncan
PERLAKUAN
K0
K1
K3
K2
K4
K5
Sig.
N
F
Sig.
260.131
2517.142
260.131
Subset
3
3
3
3
3
3
1
5.397000
8.497333
2
3
4
15.189000
18.254333
36.489667
.069
.072
1.000
50.926000
1.000
.000
.000
.000
162
Lampiran 17. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat
Tarik (N/mm2) Biofoam
Kelompok Ampok 25%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
363.377
5
72.675
Intersep
33041.593
1
33041.593
PERLAKUAN
363.377
5
72.675
Galat
502.507
12
41.876
Total
33907.476
18
Total Terkoreksi
865.883
17
a. R Squared = ,420 (Adjusted R Squared = ,178)
Kelompok Ampok 50%
Sumber Keragaman
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model Terkoreksi
594.951a
5
118.990
Intersep
22173.021
1
22173.021
PERLAKUAN
594.951
5
118.990
Galat
281.351
12
23.446
Total
23049.324
18
Total Terkoreksi
876.303
17
a. R Squared = ,679 (Adjusted R Squared = ,545)
PERLAKUAN
K5
K1
K0
K4
K3
K2
Sig.
N
3
3
3
3
3
3
1
27.519000
32.057333
32.319833
34.529667
.126
Subset
2
F
1.736
789.043
1.736
F
5.075
945.708
5.075
3
32.057333
32.319833
34.529667
38.466833 38.466833
45.692333
.158
.093
Sig.
.201
.000
.201
Sig.
.010
.000
.010
163
Lampiran18. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Pertumbuhan Kapang (%) pada permukaan Biofoam
Kelompok Ampok 25%
Sumber Keragaman
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Kuadrat
Bebas
rata-rata
a
Model Terkoreksi
650.000
5
130.000
Intersep
31250.000
1
31250.000
PERLAKUAN
650.000
5
130.000
Galat
1800.000
12
150.000
Total
33700.000
18
Total Terkoreksi
2450.000
17
a. R Squared = ,265 (Adjusted R Squared = -,041)
Kelompok Ampok 50%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model
1266.667a
5
253.333
Terkoreksi
Intersep
105800.000
1
105800.000
PERLAKUAN
1266.667
5
253.333
Galat
1133.333
12
94.444
Total
108200.000
18
Total Terkoreksi
2400.000
17
a. R Squared = ,528 (Adjusted R Squared = ,331)
F
.867
208.333
.867
F
Sig.
.531
.000
.531
Sig.
2.682
.075
1120.235
2.682
.000
.075
164
Lampiran 19. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap
Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam
Kelompok Ampok 25%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model
40.452a
5
8.090
Terkoreksi
Intersep
2901.536
1
2901.536
PERLAKUAN
40.452
5
8.090
Galat
100.167
12
8.347
Total
3042.156
18
Total Terkoreksi
140.620
17
a. R Squared = ,288 (Adjusted R Squared = -,009)
Kelompok Ampok 50%
Sumber
Jumlah
Derajat Nilai Kuadrat
Keragaman
Kuadrat
Bebas
rata-rata
Model
25.714a
5
5.143
Terkoreksi
Intersep
2793.745
1
2793.745
PERLAKUAN
25.714
5
5.143
Galat
18.488
12
1.541
Total
2837.946
18
Total Terkoreksi
44.202
17
a. R Squared = ,582 (Adjusted R Squared = ,407)
Duncan
PERLAKUAN
N
Subset
1
K4
K2
K0
K5
K1
K3
Sig.
3
3
3
3
3
3
2
10.847455
11.083364
12.218490 12.218490
12.969939 12.969939
13.609264
14.021001
.075
.125
F
Sig.
.969
.474
347.602
.969
.000
.474
F
Sig.
3.338
.040
1813.355
3.338
.000
.040
165
Lampiran 20. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Pati Hidrofobik terhadap
terhadap Karakteristik Fisik Biofoam
Kadar Air (%)
Sumber
Rasio Pati
Hidrofobik
Galat
Total
Corrected Total
Jumlah Kuadrat
Kuadrat
Rata-rata
db
1.197
4
.299
3.302
662.926
4.500
10
15
14
.330
F
Sig.
.906
.496
Daya Serap Air (%)
Sumber
Rasio Pati
Hidrofobik
Galat
Total
Corrected Total
Jumlah Kuadrat
Kuadrat
Rata-rata
db
.026
4
.007
.095
2.350
.121
10
15
14
.010
F
Sig.
.687
.617
Densitas (g/cm3)
Sumber
Rasio Pati
Hidrofobik
Galat
Total
Corrected Total
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Rata-rata
db
.038
4
.010
.122
5.660
.160
10
15
14
.012
F
Sig.
.784
.561
Tingkat Kecerahan
Sumber
Rasio Pati
Hidrofobik
Galat
Total
Corrected Total
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Rata-rata
db
5.468
4
1.367
10.247
107439.113
15.715
10
15
14
1.025
F
Sig.
1.334
.323
Nilai 0Hue
Sumber
Rasio Pati
Hidrofobik
Galat
Total
Corrected Total
Jumlah Kuadrat
Kuadrat
Rata-rata
db
20.018
4
5.004
34.176
147193.961
54.194
10
15
14
3.418
F
Sig.
1.464
.284
166
Lampiran 21. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Pati Hidrofobik terhadap
terhadap Karakteristik Mekanis dan Biodegradabilitas Biofoam
Kuat Tekan (N/mm2)
Sumber
PH
Error
Total
Corrected Total
Jumlah
Kuadrat
132.784
133.960
6753.225
266.745
db
4
10
15
14
Kuadrat Ratarata
33.196
13.396
F
Kuadrat Ratarata
F
Sig.
2.478
.111
Kuat Tarik (N/mm2)
Sumber
Jumlah
Kuadrat
Rasio Pati
Hidrofobik
Galat
Total
Corrected Total
db
412.315
4
103.079
524.409
23649.347
936.723
10
15
14
52.441
Sig.
1.966
.176
Pertumbuhan Kapang (%)
Sumber
Rasio Pati
Hidrofobik
Galat
Total
Corrected Total
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat Ratarata
db
726.667
4
181.667
4616.667
32225.000
5343.333
10
15
14
461.667
F
Sig.
.394
.809
Gula Pereduksi (%)
Sumber
Rasio Pati
Hidrofobik
Error
Total
Corrected Total
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat Ratarata
db
9.843
4
2.461
60.274
2428.437
70.116
10
15
14
6.027
F
Sig.
.408
.799
167
Lampiran 22. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing agent dan
Gliserol terhadap Kadar Air (%) Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Hasil Uji Lanjut Duncan
Perlakuan
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
P1
P2
Interaksi PA*G
P1G1
P2G0
P1G2
P2G1
P1G0
P2G2
Jumlah
Kuadrat
1.478
.008
.170
.034
.027
5.763
.120
2.751
179.101
10.350
Kadar air
(%)
2,40 a
2,90 b
2,13
2,31
2,46
2,49
3,14
3,45
a
ab
ab
ab
b
c
db
1
1
2
1
2
2
2
12
24
23
Kuadrat
F
Tengah
1.478 6.450
.008
.033
.085
.370
.034
.149
.014
.059
2.881 12.571
.060
.262
.229
Sig.
.026
.859
.698
.706
.943
.001
.774
168
Lampiran 23. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Jumlah
Db
Kuadrat
440.321
1
102.499
1
777.411
2
1.558
1
39.746
2
182.405
2
195.511
2
3007.784 12
84111.881 24
4747.235 23
Kuadrat
Tengah
440.321
102.499
388.706
1.558
19.873
91.203
97.755
250.649
F
1.757
.409
1.551
.006
.079
.364
.390
Sig.
.210
.535
.252
.938
.924
.702
.685
169
Lampiran 24. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Jumlah
Kuadrat
.009
.002
.020
.001
.000
.006
.002
.046
4.172
.087
Db
1
1
2
1
2
2
2
12
24
23
Kuadrat
Tengah
.009
.002
.010
.001
.000
.003
.001
.004
F
2.205
.561
2.639
.303
.056
.775
.205
Sig.
.163
.468
.112
.592
.946
.482
.817
170
Lampiran 25. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Jumlah
Kuadrat
21.188
13.756
158.242
17.187
39.478
48.591
58.019
6.583
153516.968
363.044
Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Faktor
Perlakuan
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
P2
P1
Sizing Agent (SA)
S1
S2
Gliserol (G)
G2
G1
G0
Tingkat
Kecerahan
78,94 a
80,82 b
79,13 a
80,64 b
77,15 a
79,17 b
83,32 c
db
1
1
2
1
2
2
2
12
24
23
Kuadrat
F
Sig.
Tengah
21.188 38.624 .000
13.756 25.077 .000
79.121 144.233 .000
17.187 31.332 .000
19.739 35.983 .000
24.295 44.289 .000
29.010 52.883 .000
.549
171
Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi
Perlakuan
Tingkat
Kecerahan
Interaksi PA*SA
P1S1
2,34
P1S2
2,46
P2S2
2,88
P2S1
2,92
Interaksi PA*G
P2G2
74,24
P2G1
78,89
P1G1
79,47
P1G2
80,07
P1G0
82,94
P2G0
83,71
Interaksi SA*G
S1G1
2,12
S2G1
2,56
S2G2
2,67
S1G0
2,67
S1G2
2,72
S2G0
2,78
Interaksi PA*SA *G
P2S1G2
72,86
P2S2G2
75,63
P2S2G1
77,7
P1S1G2
78,45
P1S1G1
79,64
P2S1G1
80,08
P1S2G0
81,31
P1S2G2
83,24
P2S2G0
83,25
P2S1G0
84,17
P1S2G1
84,29
P1S1G0
84,57
a
a
b
b
a
b
bc
bc
bc
c
a
b
bc
bc
c
c
a
b
c
cd
de
ef
fg
h
h
h
h
h
172
Lampiran 26. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Nilai 0Hue Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Jumlah
Kuadrat
22.446
11.496
107.119
6.966
28.416
14.972
54.686
4.039
174026.044
250.140
Uji Lanjut Duncan untuk masing-masing Faktor
Perlakuan
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
P2
P1
Sizing Agent (SA)
S1
S2
Gliserol (G)
G2
G1
G0
Nilai
0
Hue
84,13 a
86,06 b
84,40 a
85,78 b
82,81 a
84,57 b
87,9 c
Db
1
1
2
1
2
2
2
12
24
23
Kuadrat
Tengah
22.446
11.496
53.559
6.966
14.208
7.486
27.343
.337
F
66.680
34.150
159.109
20.694
42.208
22.239
81.228
Sig.
.000
.000
.000
.001
.000
.000
.000
173
Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi
Perlakuan
Interaksi PA*SA
P2S1
P2S2
P1S1
P1S2
Interaksi PA*G
P2G2
P2G1
P1G2
P1G1
P1G0
P2G0
Interaksi SA*G
S1G2
S1G1
S2G2
S2G1
S2G0
S1G0
Interaksi PA* SA*G
P2S1G2
P1S1G1
P2S2G2
P2S2G1
P1S1G2
P2S1G1
P1S2G0
P1S2G2
P2S1G0
P2S2G0
P1S2G1
P1S1G0
Nilai
0
Hue
83,97
84,28
84,83
87,29
a
ab
ab
b
80,86
83,63
84,76
85,50
87,92
87,89
a
ab
bc
bc
c
c
81,60
85,50
84,02
86,25
87,08
88,73
a
ab
abc
bcd
cd
d
80,98
81,33
81,74
82,83
83,22
84,43
85,9
86,30
87,51
88,26
89,66
89,94
a
a
ab
b
bc
c
d
de
ef
fg
gh
h
174
Lampiran 27. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Contact Angle (0) Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F
Sig.
556.999
1
556.999
444.485
.000
2338.400
1
2338.400
1866.043
.000
440.078
2
220.039
175.591
.000
38.355
1
38.355
30.607
.000
486.524
2
243.262
194.123
.000
186.002
2
93.001
74.215
.000
98.634
2
49.317
39.355
.000
15.038
12
1.253
93842.631
24
4160.030
23
Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing
Faktor
Contact
Angle
(0)
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
P1
56,31
P2
65,95
Sizing Agent (SA)
S1
51,26
S2
71,00
Gliserol (G)
G0
55,67
G1
64,09
G2
64,22
db
Perlakuan
a
b
a
b
a
b
b
175
Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi
Perlakuan
Interaksi PA*SA
P1S1
P2S1
P1S2
P2S2
Interaksi PA*G
P1G0
P1G2
P1G1
P2G0
P2G1
P2G2
Interaksi SA*G
S1G0
S1G1
S1G2
S2G2
S2G0
S2G1
Interaksi PA*SA*G
P1S1G0
P1S1G1
P2S1G1
P2S1G0
P1S1G2
P1S2G0
P1S2G2
P2S1G2
P2S2G2
P2S2G0
P1S2G1
P2S2G1
Contact
Angle
(0)
45,18
57,34
67,45
74,55
a
ab
b
c
46,87
59,36
62,71
63,28
65,48
69,08
a
b
bc
bc
bc
c
41,97
62,71
60,72
67,72
68,18
77,10
a
ab
bc
cd
cd
d
30,10
51,01
51,18
53,82
54,41
63,63
64,30
67,01
71,14
72,73
74,40
79,78
a
b
b
c
c
d
d
e
f
fg
g
h
176
Lampiran 28. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol
terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Jumlah
db
Kuadrat
40.344
1
15.227
1
592.749
2
6.915
1
14.341
2
459.171
2
63.621
2
8.671 12
25833.584 24
1201.039 23
Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Faktor
Perlakuan
Kuat
Tekan
(N/mm2)
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
P1
P2
Sizing Agent (SA)
S1
S2
Gliserol (G)
G1
G2
G0
30,80
33,43
a
b
31,37
32,86
a
b
25,63
32,75
37,74
a
b
c
Kuadrat
F
Sig.
Tengah
40.344 55.833 .000
15.227 21.073 .001
296.374 410.154 .000
6.915
9.570 .009
7.170
9.923 .003
229.585 317.724 .000
31.810 44.023 .000
.723
177
Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi
Perlakuan
Kuat Tekan
(N/mm2)
Interaksi PA*SA
P1S1
30,54
P1S2
31,06
P2S1
32,20
P2S2
34,66
Interaksi PA*G
P1G1
22,56
P1G2
27,36
P2G1
28,83
P2G0
33,13
P2G2
38,32
P1G0
42,47
Interaksi SA*G
S1G1
22,56
S2G1
27,19
S1G2
31,83
S2G2
33,85
S2G0
37,53
S1G0
38,07
Interaksi PA*SA*G
22,55
P1S1G1
22,57
P1S2G1
25,86
P2S1G1
26,59
P1S2G2
28,12
P1S1G2
31,06
P2S2G0
31,80
P2S2G1
35,20
P2S1G0
35,54
P2S1G2
40,94
P1S1G0
41,10
P2S2G2
44,01
P1S2G0
a
a
a
b
a
b
b
c
d
e
a
ab
abc
bc
c
c
a
a
b
b
c
d
d
e
e
f
f
g
178
Lampiran 29. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Jumlah
Db Kuadrat
F
Kuadrat
Tengah
38.768
1 38.768 568.860
1.606
1
1.606
23.570
62.525
2 31.262 458.727
.533
1
.533
7.814
15.073
2
7.536 110.586
319.839
2 159.920 2346.567
33.784
2 16.892 247.864
.818 12
.068
56760.907 24
472.946 23
Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Perlakuan
Perlakuan
Kuat Tarik
(N/mm2)
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
P1
P2
Sizing Agent (SA)
S1
S2
Gliserol (G)
G0
G2
G1
47,16
49,70
a
b
48,69
49,17
a
b
46,4
48,54
50,35
a
b
c
Sig.
.000
.000
.000
.016
.000
.000
.000
179
Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi
Perlakuan
Interaksi PA*SA
P1S2
P1S1
P2S1
P2S2
Interaksi PA*G
P1G0
P2G2
P1G1
P1G2
P2G0
P2G1
Interaksi SA*G
S2G0
S1G0
S2G2
S1G2
S1G1
S2G1
Interaksi PA*SA*G
P1S2G0
P1S1G0
P2S2G2
P2S1G1
P2S1G2
P1S2G1
P1S1G2
P1S1G1
P1S2G2
P2S1G0
P2S2G0
P2S2G1
Kuat
Tarik
(N/mm2)
46,75
47,57
49,81
49,59
a
ab
b
b
40,21
45,99
50,18
51,09
52,59
50,52
a
ab
b
b
b
b
45,75
47,05
47,57
49,51
50,18
51,19
a
ab
ab
b
b
b
38,89
41,52
43,52
48,39
48,45
49,75
50,56
50,60
51,60
52,57
52,60
52,63
a
b
c
d
d
e
f
f
g
h
h
h
180
Lampiran 30. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan
Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Jumlah
db
Kuadrat
551.042
1
26.042
1
1706.250
2
1.042
1
1477.083
2
64.583
2
1102.083
2
587.500 12
21275.000 24
5515.625 23
Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Faktor
Perlakuan
Pertumbuhan
Kapang (%)
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
P2
20,83 a
P1
30,42 b
Gliserol (G)
G2
18,75 a
G1
20,63 a
G0
37,50 b
Kuadrat
Tengah
551.042
26.042
853.125
1.042
738.542
32.292
551.042
48.958
F
Sig.
11.255
.532
17.426
.021
15.085
.660
11.255
.006
.480
.000
.886
.001
.535
.002
181
Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Perlakuan dan Interaksinya
Perlakuan
Pertumbuhan
Kapang ( %)
Interaksi SA*G
S2G2
11,25
S2G1
15,00
S1G1
26,25
S1G2
26,25
S1G0
27,50
S2G0
47,50
Interaksi PA*SA*Gl
P2S2G2
10,00
P1S2G2
12,50
P2S2G1
15,00
P2S1G2
15,00
P1S1G1
22,50
P1S2G1
25,00
P2S1G0
25,00
P2S1G1
30,00
P1S1G0
35,00
P1S1G2
37,50
P1S2G0
40,00
P2S2G0
45,00
a
a
b
b
b
c
a
ab
ab
ab
bc
bcd
bcd
cde
cdef
def
fg
g
182
Lampiran 31. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan
Gliserol terhadap Gula Pereduksi (%) Biofoam
Sumber
Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA)
Sizing Agent (SA)
Gliserol (G)
PA * SA
SA * G
PA * G
PA* SA * G
Galat
Total
Total Terkoreksi
Jumlah
db
Kuadrat
.115
1
12.266
1
13.972
2
1.553
1
5.679
2
1.386
2
1.714
2
74.131 12
4191.403 24
110.817 23
Kuadrat
F
Tengah
.115 .019
12.266 1.986
6.986 1.131
1.553 .251
2.839 .460
.693 .112
.857 .139
6.178
Sig.
.894
.184
.355
.625
.642
.895
.872
183
Lampiran 32. Perhitungan Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam
Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam Formula I
Bahan baku
Tapioka
Komposisi Kebutuhan/bulan
(%)
(Kg)
24
720,00
Harga
(Rp)
6.000,00
Biaya/bulan
(Rp)
4.320.000
Ampok
8
240,00
1.500,00
360.000
PVOH
15
450,00
7.000,00
3.150.000
Magnesium
Stearat
Air
3
90,00
16.500,00
1.485.000
50
1.500,00
400,00
600.000
Total
100
3.000,00
9.915.000
Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam Formula II
Bahan baku
Tapioka
Komposisi Kebutuhan/bulan
(%)
(Kg)
21
630,00
Harga
(Rp)
6.000,00
Biaya/bulan
(Rp)
3.780.000
Ampok
12
390,00
1.500,00
585.000
PVOH
8
240,00
7.000,00
1.680.000
Pati Asetat
14
360,00
40.000,00
14.400.000
Magnesium
Stearat
Agar
1
30,00
16.500,00
495.000
3
90,00
125.000,00
11.250.000
0,1
3,00
450.000,00
1.350.000
5
6,,00
70.000,00
3.150.000
0,4
12,00
20.000,00
240.000
Air
35,5
1.200,00
400,00
480.000
Total
100
3.000,00
NaOH
Gliserol
Sizing agent
37.410.000
Download