PENGEMBANGAN PRODUK BIODEGRADABLE FOAM BERBAHANBAKU CAMPURAN TAPIOKA DAN AMPOK EVI SAVITRI IRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan ProdukBiodegradable Foam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2013 Evi Savitri Iriani NIM F 361080121 ABSTRACT EVI SAVITRI IRIANI. Product Developmentof Cassava and Corn Hominy Based Biodegradable Foam.Under Direction of TUN TEDJA IRAWADI, TITI C. SUNARTI, NUR RICHANA AND INDAH YULIASIH. Starch based foam is a packaging material made from renewable resources which are very prospective to substitute synthetic polystyrene foam. Tapioca is one of potential materials for starch based foam production due to availability and cheap price compared to other starch. Unfortunately, the foam produced only with starch is brittle, poor mechanical properties and highly sensitive to moisture. Fiber reinforcement and blending with synthetic polymer and hydrophobic materials are the way to improve foam’s properties. Corn hominy, a by product of corn dry milling industry, is a potential source to be used as fiber reinforcement due to its composition that still contained high fiber, starch, protein and fat that needed for producing starch-based foam. The objective of this research wasto develop biodegradable foam made from tapioca and corn hominy. Four steps formulation was conducted to get the best characteristics of biodegradable foam. Starch, corn hominy, modified starch, PVOH and other dry materials were mixed with various concentration. Water, plasticizer and other liquid materials were added to get total solid 50-60% and then baked with thermopressing machine at 150-1700C for 2-3 minutes. The results showed that, addition of corn hominy increased hydrophobicity and biodegradability of biofoam. On the other hand, increasing corn hominy proportion also decreased mechanical properties and brightness of biofoam and increased density. Addition of PVOHincreasedhydrophobicity and mechanical properties of biofoam but decrease biodegradability and increased density. Addition of hydrophobic starch did not make satisfying improvement on hydrophobicity or mechanical properties of biofoam, but decreased biodegradability of biofoam. Starch acetate and sizing agentaddition could increase hydrophobicity, marked by increasing of contact angle value. Meanwhile, addition of plasticizer not only improved viscoelasticity of biofoam but also increased biofoam’s hydrophobicity. Utilization of tapioca and corn hominy as biodegradable materials could increase value added of tapioca by 14,33% meanwhile for corn hominy almost71,44%. Keywords : biodegradable foam, biodegradability, corn hominy, hydrophobicity, mechanical properties RINGKASAN EVI SAVITRI IRIANI. Pengembangan ProdukBiodegradable Foam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok. Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI, TITI C. SUNARTI, NUR RICHANA dan INDAH YULIASIH. Pemanfaatan produk dan limbah pertanian sebagai bahan baku kemasan ramah lingkungan belum banyak dilakukan, khususnya sebagai pengganti styrofoam. Beberapa penelitian terdahulutelah mencoba memanfaatkan pati sebagai bahan baku pembuatan biofoam, namun demikianproduk yang dihasilkan masihmemiliki sifat mekanis rendahdan hidrofilik. Penambahan serat yang bersumber dari limbah pertanian mampu memperbaiki kelemahan biofoam tersebut. Salah satu hasil pertanian yang berpotensi sebagai bahan baku biofoam adalah ampokkarena selain sebagai sumber serat juga masih mengandung pati, protein dan lemak yang dibutuhkan dalam pembuatan biofoam. Tujuan penelitian ini adalah mengembangan produkkemasan ramah lingkungan berbentuk foam berbahan baku tapioka dan ampok yang memiliki sifat fisik dan mekanis mendekati styrofoam dengan tingkat biodegradabilitas yang lebih tinggi.Adapun tujuan masing-masing tahapan adalah: 1) mengetahui karakteristik bahan baku, 2) memperoleh kondisi proses dan formula terbaik pembuatan biofoam serta 3) mengetahui nilai tambah tapioka dan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam. Biofoam berbahan baku tapioka dan ampok berpotensi digunakan sebagai kemasan alternatif ramah lingkungan pengganti styrofoam. Biofoam ini memiliki keunggulan yaitu sifat hidrofobisitas dan sifat mekanis yang setara dengan styrofoam serta memiliki kemampuan biodegradabilitas yang lebih tinggi. Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan teknik thermopressing pada suhu 1700C, yaitu di atas melting point semua bahan baku sehingga semua bahan dapat tercampur dengan baik. Waktu proses berkisar 2,5-3 menit, dengan volume adonan yang digunakan 60 g. Karakteristik biofoam dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku dan kondisi proses pembuatannya. Tapioka memiliki kadar pati lebih tinggi (97,89%) dibandingkan ampok (69,26%), sebaliknya ampok memiliki kadar lemak, protein dan serat (8,90%, 11,18% dan 7,96%) yang lebih besar dibandingkan tapioka (0,19%, 0,55% dan 1,27%). Perbedaan komposisi ini berpengaruh terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan. Penambahan ampokhingga 75% berpengaruh terhadap peningkatan hidrofobisitas biofoam dengan menurunkan daya serap airnya dari 59,49% menjadi 44,17%. Selain itu, penambahan ampok juga meningkatkan biodegradabilitas biofoam khususnya pertumbuhan kapang yang meningkat dari 6,67% menjadi 90%. Namun demikian, penambahan ampok berpengaruh negatif terhadap sifat mekanis dengan menurunkan kuat tekan dari 27,31 N/mm2 menjadi 6,14 N/mm2. Penambahan polimer sintetik PVOH hingga 50% dapat membantu perbaikan sifat mekanis biofoam dengan meningkatkan kuat tekan dari 10,94 N/mm2 menjadi 33,29 N/mm2, sementara untuk kuat tarik, meningkat dari 25,67 N/mm2 menjadi 48,85 N/mm2. Penambahan PVOH juga dapat meningkatkan hidrofobisitas dengan menurunkan daya serap air dari 54% menjadi 35%. Penambahan pati hidrofobik, ternyata tidak berpengaruh terhadap perbaikan karakteristik biofoam. Penambahan pati asetat dan sizing agentberpengaruh terhadap peningkatan sifat hidrofobisitas dilihat pada peningkatan nilai contactangle dari 30,110 menjadi 79,790untuk perlakuan terbaik. Penambahan pati asetat dan sizing agent juga berpengaruh terhadap perbaikan sifat mekanis dilihat dari peningkatan kuat tekan ( 19,11 N/mm2 menjadi 31,80 N/mm2) dan kuat tarik (48,72 N/mm2 menjadi 52,64 N/mm2). Penambahan gliserol sebesar 5% berpengaruh terhadap perbaikan sifat mekanis khususnya peningkatan viskoelastisitas biofoam yang ditandai dengan penurunan nilai storage modulus yang cukup tajam mendekati suhu kamar yaitu dari 530 Mpa pada 00C menjadi 170 Mpa pada 200C. Pemilihan formulasi terbaik untuk pembuatan biofoam disesuaikan dengan aplikasi atau peruntukan biofoam tersebut. Formula terbaik adalah perlakuan P1K3 yaitu rasio tapioka:ampok 3:1 dengan penambahan PVOH 30% dari berat bahan kering. Karakteristik biofoam yang dihasilkan memiliki daya serap air 39%, densitas 0,48 g/cm3, kuat tekan 19,11 N/mm2, kuat tarik 48,72 N/mm2 dan biodegradabilitas 36,67%. Biofoam ini dapat digunakan untuk mengemas produk dengan kadar air rendah karena permukaannya masih sensitif terhadap air. Untuk produk hasil pertanian ataupun produk olahan dengan kadar air yang lebih tinggi, dilakukan perbaikan formula dengan perlakuan terbaik P2S2G1 yang memiliki komposisi tapioka 21%, pati asetat 7%, ampok 12% dan PVOH 8%. Sizing agent yang ditambahkan dari jenis carvacrol serta penambahan gliserol sebesar 5%. Formula ini memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan P1K3 untuk sifat mekanisnya yaitu kuat tekan 31,80 N/mm2 dan kuat tarik 51,60 N/mm2, namun daya serap airnya lebih tinggi yaitu 62,95% dan biodegradabilitas yang lebih rendah 0%. Kelebihan formula ini memiliki permukaan yang hidrofobik dengan nilai contact angle 79,790. Pemanfaatan tapioka dan ampok sebagaibahanbakupembuatanbiofoam dapat memberikan nilai tambah sebesar14,33% untuk tapioka dan 71,44% untuk ampok. Kata Kunci : ampok, biodegradabilitas, biofoam, hidrofobisitas, sifat mekanis, © Hak Cipta IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. PENGEMBANGAN PRODUK BIODEGRADABLE FOAM BERBAHAN BAKU CAMPURAN TAPIOKA DAN AMPOK EVI SAVITRI IRIANI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS Dr. Ir. Soetrisno, M.Sc Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Muhammad. Romli, MSc. St Prof (Riset) Dr. Ridwan Thahir Judul Disertasi : Pengembangan Produk Biodegradable Foam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok Nama : Evi Savitri Iriani NIM : F 361080121 Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si Anggota Prof. Dr. Ir.Tun Tedja Irawadi, MS. Ketua Prof (Riset) Dr.Ir. Nur Richana, M.Si Anggota Dr. Indah Yuliasih, STP,M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 16 Januari 2013 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga penelitian dan penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian berjudul “ Pengembangan Produk Biodegradable Foam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok” telah dilaksanakan sejak bulan November 2010 hingga selesai pada Mei 2012. Penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan kepada Prof. Dr. Tun Tedja Irawadi, MS; Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSc; Prof (Riset) Dr. Ir. Nur Richana, MSi dan Dr. Indah Yuliasih, STP, MSi yang telah memberikan bimbingan dan arahan sejak awal penyusunan proposal penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS, Dr.Ir. Soetrisno MSc, Prof. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St. dan Prof (Riset) Dr. Ridwan Thahir yang telah bersedia menjadi dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka serta memberikan saran perbaikan untuk kesempurnaan karya tulis ini. Tidak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan beserta staf Badan Litbang Pertanian dan Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor serta memberikan dukungan pendanaan penelitian melalui proyek KKP3T. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Departemen beserta staf pada Packaging Department, Faculty of Agroindustry, Kasetsart University, Bangkok, Thailand yang telah menyediakan fasilitas penelitian melalui Sandwich Programme selama kurun waktu Februari-Maret 2012. Kepada suami beserta anak-anakkku tersayang, terima kasih atas kerelaannya berbagi waktu dan perhatian selama penyelesaian penulisan karya ilmiah ini. Kepada seluruh keluarga, terima kasih atas dukungan dan doa yang senantiasa diberikan selama penulis menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa kepada teman-temanku di TIP-S3-08, semoga kebersamaan dan kekompakan kita tidak berhenti dengan selesainya pendidikan S3 ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Januari 2013 Evi Savitri Iriani RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 16 Januari 1968 sebagai anak sulung dari empat bersaudara putri pasangan Sanusi dan Saniah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000, penulis diterima kembali di Program Studi Magister Teknologi Industri Pertanian dan menamatkannya pada tahun 2005. Kesempatan melanjutkan program Doktor diperoleh pada tahun 2008 pada program studi yang sama melalui beasiswa Badan Litbang Pertanian. Penulis bekerja sebagai Peneliti Muda pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian sejak tahun 2004 setelah sebelumnya bekerja pada Balai Penelitian Tanaman Hias sejak tahun 1994. Adapun bidang penelitian yang ditekuni penulis adalah pengolahan hasil pertanian. Selama mengikuti program S3, penulis telah mengikuti berbagai seminar nasional maupun internasional khususnya yang berhubungan dengan topik disertasi. Adapun karya ilmiah yang telah dan akan diterbitkan serta merupakan bagian dari disertasi penulis antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. Effect of Polyvinyl Alcohol and Corn Hominy on Improvement of Physical and Mechanical Properties of Cassava Starch-Based Foam dimuat pada European Journal of Scientific Research volume 81(1):47-58 tahun 2012. Utilization of Corn Hominy as a New Source Material forThermoplastic Starch Production dimuat pada Procedia Chemistry 4 : 245-253 tahun 2012 Pengembangan Biodegradable Foam Berbahan Baku Pati (Review) dimuat pada Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Volume 7(1):30-40 tahun 2011 Corn hominy, a Potential Raw Material for Biodegradable Foam disampaikan pada International Maize Conference 2012 bertempat di Gorontalo 22-24 November 2012. Cassava Based Biodegradable Foam: Effect of Modified Starch, Sizing Agent and Plasticizer on Improving Hydrophobicity and Viscoelasticity terpilih sebagai salah satu makalah Badan Litbang yang akan dipublikasikan pada Jurnal Internasional Penulis juga mendapatkan kesempatan melakukan penelitian di Kasetsart University pada Fakultas Agroindustri selama Februari-Maret 2012. Selain itu, penelitian ini juga dibiayai oleh Badan Litbang Pertanian melalui Program KKP3T selama 3 tahun berturut-turut. Adapun hasil penelitian ini juga telah diapresiasi dan mendapatkan penghargaan sebagai salah satu dari 104 Inovasi Prospektif Indonesia 2012 dari Kementrian Riset dan Teknologi. DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman ix xi xiv I PENDAHULUAN ............................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ................................................................. 6 1.3 Manfaat Penelitian ............................................................... 6 1.4 Ruang Lingkup Penelitian .................................................... 6 II TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 7 2.1 Pemanfaatan Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam ........................................................... 7 2.2 Teknologi Proses Produksi Biofoam ................................... 14 2.3 Karakteristik Biofoam ......................................................... 17 III BAHAN DAN METODE .................................................. 23 3.1 Bahan dan Alat .................................................................... 23 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 23 3.3 Kerangka Pemikiran ............................................................ 24 3.4 Tahapan Penelitian .............................................................. 25 3.5 Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam ................................................... 33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................... 35 4.1 Karakteristik Bahan Baku .................................................... 35 4.2 Pengembangan Produk Biofoam ........................................ 53 4.3 Perbaikan Karakteristik Biofoam ........................................ 92 4.4. Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Biofoam ...................................................................... 117 Halaman V SIMPULAN DAN SARAN ................................................. 119 5.1 Simpulan .............................................................................. 119 5.2 Saran ..................................................................................... 121 DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 123 LAMPIRAN ................................................................................. 133 DAFTAR TABEL 1. Komposisi Biji Jagung dan Fraksinya ............................................ 2. Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Ampok dalam 100 g Bahan Kering......................................................................... Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol ................................................................ Model Perhitungan Nilai Tambah .................................................... 3. 4. 5. 6. 7. Karakteristik Fisikokimia Tapioka, Ampok , Pati Hidrofobik dan Pati Asetat ....................................................................................... Karakteristik Amilograph Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat......................................................................................... Korelasi antara Komposisi Kimia dengan Suhu Gelatinisasi .......... Titik Transisi gelas (Tg) dan Titik Leleh (Tm) dari Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat ......................................... 9. Ukuran dan Bentuk Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat........ ......................................................................... 10. Pengaruh Suhu Proses terhadap Penampakan Visual Biofoam ....... Halaman 12 29 33 34 35 42 44 8. 11. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar air (%) Biofoam . 12. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam .......................................................................................... 13. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam ........................................................................................... 14. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoa................................................................................................ 15. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Nilai 0Hue Biofoam ..... 16. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam ........................................................................................... 17. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam .......................................................................................... 18. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Pertumbuhan Kapang (%) Pada Permukaan Biofoam ....................................................... 19. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam .................................................................................... 20. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar air (%) Biofoam ...... 21. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam ........................................................................................... 22. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam . 46 51 54 57 59 61 63 65 66 68 72 74 76 78 79 Halaman 23. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam ........................................................................................... 24. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Nilai 0Hue Biofoam .......... 25. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam .......................................................................................... 26. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik ( N/mm2) Biofoam ............................................................................................ 27. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam .............................................................. 28. Uji-T untuk Formulasi Terbaik (P1K3) dibandingkan dengan Styrofoam ......................................................................................... 29. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap Karakteristik Sifat Fisik Biofoam............................................. ...... 30. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap Karakteristik Sifat Mekanis dan Biodegrabilitas Biofoam ............. 31. Nilai Tg dan Tm pada pengukuran DSC Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol ..................... 32. Uji-T untuk Formulasi Terbaik P2S1G2 dibandingkan dengan Styrofoam ........................................................................................ 33. Hasil Perhitungan Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam ................................................... 81 82 82 84 87 92 93 93 113 116 118 DAFTAR GAMBAR 1 Struktur Biji Jagung ...................................................................... Halaman 10 2 Tahapan Penelitian Biofoam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok ...................................................................... Diagram Alir Penelitian Biofoam .................................. 26 27 5 Profil Viskoamilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat ............................................................................................. Profil DSC Ampok .......................................................... 42 47 6 Profil DSC Tapioka ...................................................................... 47 7 Profil DSC Pati Hidrofobik .......................................................... 48 8 Profil DSC Pati Asetat .................................................................. 48 9 Penampakan sifat birefringent pada Ampok dan Tapioka............ 49 10 14 Hasil SEM Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat .............................................................................. Penampakan Serat pada Ampok Hasil SEM dengan Perbesaran 1000 X ............................................................................ Aneka Bentuk Produk Biofoam yang Dihasikan dari Berbagai Proses.............................................................................................. Pengaruh Jumlah Adonan terhadap Penampakan Biofoam dengan Penambahan Ampok ......................................................... Pengaruh Kadar Serat terhadap Kadar Air Biofoam ................... 15 Pengaruh Kadar Serat terhadap Daya Serap Air Biofoam ............ 59 16 Pengaruh Kadar Serat terhadap Densitas Biofoam ....................... Korelasi antara Densitas dan Daya Serap Air Biofoam.................. 61 3 4 11 12 13 17 18 50 52 53 55 58 62 19 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam ............ ............................................................................ Pengaruh Kadar Serat terhadap Kuat Tekan Biofoam................... 64 67 20 Pengaruh Kadar Serat terhadap Kuat Tarik Biofoam .................. 68 21 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam ................................................... Pengaruh Penambahan PVOH terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam ............................................................ 22 69 70 Halaman 23 25 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Penambahan PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang Aspergillus niger pada Permukaan Biofoam Pengamatan Hari ke-5 ......................... Pengaruh Kadar Serat terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam ............................................... ........... Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Air Biofoam ........ 26 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air Biofoam. 78 27 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas Biofoam ........ 80 28 29 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam .......................................................................... Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan Biofoam .... 81 83 30 Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik Biofoam..... 84 31 Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan Biofoam dengan Penambahan PVOH ............................................................ Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tarik Biofoam dengan Penambahan PVOH ........................................................... Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam ................................................... Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang A. niger pada permukaan Biofoam pada Pengamatan Hari ke-5...... Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kemampuan Biodegradabilitas Biofoam Secara Enzimatis .............................. Pengaruh Konsentrasi PVOH dan Rasio Tapioka:Ampok terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam ........ Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Konsentrasi PVOH terhadap Hasil Polarized Microscope Biofoam (Perbesaran 10X) 24 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Korelasi antara Densitas terhadap Daya Serap Air Biofoam dengan Penambahan Pati Hidrofobik.... ........................................ Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan dan Kuat Tarik Biofoam dengan Penambahan Pati Hidrofobik ............................. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Pertumbuhan Kapang A.niger pada Permukaan Biofoam ................................ Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam .................................... 71 73 77 86 86 87 88 88 89 90 94 94 95 96 Halaman 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Struktur Morfologi Permukaan Biofoam ......................................... Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Kadar Air Biofoam ........................................... Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Daya Serap Air Biofoam ................................... Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Densitas Biofoam ....................................... .... Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam .......... Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam ...................... Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Nilai Contact Angle Biofoam ..................... .... Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol terhadap Bentuk Permukaan Tetesan Air pada Pengukuran Contact Angle .............................................................................. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Storage Modulus untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu ................................................................. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Storage Modulus untuk 3 Bending Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu .................................................................. 97 99 100 102 103 104 105 106 108 109 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Tangen δ untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu ................................................................................. 110 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Tangen δ untuk 3 Bending Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu ................................................................................. 111 Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam ........................................................................... Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Biodegradabilitas Biofoam secara Enzimatis .... 114 115 DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur Analisis ............................................................................ 2 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap Kadar Air (%) Biofoam ................................................................. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam.......................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam .............................................................. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam .......................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap Nilai 0Hue Biofoam ......................................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam ...................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam........................................................ Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap Pertumbuhan Kapang A. niger(%) pada Permukaan Biofoam ..... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:ampok terhadap Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam ............................................. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Air (%) Biofoam................................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam ......................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam ............................................................. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam .......................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Nilai 0Hue Biofoam ......................................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam ....................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam ......................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam ...................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam .............................................. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Karakteristik Fisik Biofoam ........................................... 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Halaman 135 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 Halaman 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Karakteristik Mekanis dan Biodegradabilitas Biofoam.... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Kadar Air (%) Biofoam .................. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam .......... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam................ Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam ............ Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Nilai 0Hue Biofoam ....................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam ....... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam ......... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Besaran Contact Angle (0) Biofoam Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam ......................................................................... Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam. Perhitungan Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam ............. 166 167 168 169 170 172 174 176 178 180 182 183 I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Gaya hidup manusia yang kian praktis mendorong makin meningkatnya konsumsi plastik dalam berbagai sisi kehidupan. Akibatnya ketergantungan manusia terhadap kemasan plastik dalam kehidupan sehari-hari sangat tinggi. Saat ini produksi plastik dunia diperkirakan mencapai 100 juta ton setiap tahunnya (Anonymous, 2010). Padahal bahan baku pembuatan plastik berasal dari minyak bumi yang persediaannya semakin menipis dan harganya terus meningkat. Plastik juga sulit untuk terdegradasi secara alami sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mencemari lingkungan. Salah satu jenis plastik yang sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari hari adalah styrofoam yang sebenarnya merupakan nama dagang dari polistirena. Pada awalnya polistirena digunakan absorber untuk melindungi produk sebagai bahan pelindung atau shock yang bersifat fragile seperti produk elektronik dan juga sebagai bahan insulasi karena memiliki kemampuan menahan panas dan dingin yang baik (Sulchan dan Endang, 2007). Kemampuan untuk menahan suhu tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menjadikan styrofoam sebagai wadah kemasan pangan siap saji. Kelebihan styrofoam lainnya adalah tidak mudah bocor dan berubah bentuk bila digunakan untuk menyimpan cairan, mampu mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, memiliki harga murah serta memiliki bobot yang ringan. Semua kelebihan tersebut mendorong meningkatnya penggunaan styrofoam sebagai kemasan siap saji. Namun demikian di balik semua keunggulan ini, penggunaan styrofoam ternyata menyimpan bahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia maupun merusak lingkungan. Proses pembuatan styrofoam umumnya dilakukan dengan mencampurkan bahan utama berupa stirena dengan bahan lain yaitu seng dan butadiena. Untuk meningkatkan kelenturannya, ditambahkan zat plastisizer seperti dioctyl phthalate (DOP), butil hidroksi toluen atau n-butil stearat. Campuran bahan tersebut kemudian ditiup dengan menggunakan blowing agent berupa gas klorofluorokarbon (CFC) hingga terbentuk foam (Manurung, 2008). 2 Menurut beberapa hasil penelitian, stirena berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia. Paparan terhadap stirena dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan syaraf seperti kelelahan, sulit tidur, dan rasa gelisah. Selain itu gangguan terhadap darah berupa penurunan kadar hemoglobin hingga menyebabkan anemia, gangguan sitogenetik (gangguan kromosom dan kelenjar limfa) serta efek karsinogenik (Dowly et al., 1976). menunjukkan bahwa stirena juga berpengaruh terhadap Penelitian lain juga ketidakseimbangan hormon yang berakibat pada timbulnya masalah reproduksi termasuk tingkat kesuburan serta dapat mempengaruhi kualitas ASI dari ibu menyusui (Brown, 1991). Styrofoam sebenarnya tidak cocok digunakan untuk mengemas produk makanan atau minuman karena kemungkinan terjadinya migrasi bahan kimia yang terkandung dalam styrofoam ke dalam makanan atau minuman tersebut. Migrasi ini dipengaruhi oleh suhu, lama kontak, dan tipe pangan. Semakin tinggi suhu, lama kontak dan kadar lemak suatu pangan, maka migrasinya juga akan semakin besar. Hal tersebut didukung oleh penelitian Lickly et al. (1995) yang menyebutkan bahwa terjadi peningkatan migrasi sebesari 1,9X pada minyak goreng dan etanol yang disimpan pada kemasan styrofoam pada pengamatan hari ke empat. Sementara pada hari ke-10, migrasi akan meningkat menjadi 3,1X dibandingkan saat awal penyimpanan. Selain berdampak negatif terhadap kesehatan, styrofoam juga berpengaruh buruk terhadap lingkungan karena sifatnya yang tidak bisa diuraikan secara alami. Data dari Environment Protection Agency (EPA) menyebutkan bahwa limbah hasil pembuatan styrofoam ditetapkan sebagai limbah berbahaya ke lima terbesar di dunia. Bau yang timbul selama proses produksinya mampu menganggu pernapasan dan melepaskan 57 zat berbahaya ke udara. Kemasan styrofoam umumnya digunakan hanya dalam waktu singkat terutama bila digunakan sebagai wadah kemasan restoran cepat saji. Namun demikian membutuhkan waktu yang sangat lama atau bahkan sama sekali tidak bisa diuraikan oleh alam sehingga akan menumpuk dalam jumlah besar dan mencemari lingkungan (Anonymous, 2009). Pengolahan limbah styrofoam dengan model pembakaran juga akan menghasilkan senyawa berbahaya yaitu dioksin yang juga bersifat karsinogen. 3 Mengingat besarnya dampak buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan styrofoam, maka harus dilakukan upaya untuk mencari alternatif bahan pengemas lain yang lebih ramah lingkungan serta tidak berbahaya terhadap kesehatan manusia disamping melakukan kegiatan 3R yaitu reuse, reduce dan recycle terhadap kemasan styrofoam yang sudah ada. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber biologis seperti tanaman, hewan atau mikroba. Adapun bahan yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biopolimer adalah produk atau limbah pertanian seperti pati dan selulosa dengan alasan sifatnya yang dapat diperbaharui, tersedia melimpah dan harganya murah (Davis dan Song, 2006). Untuk dapat menggantikan styrofoam sebagai kemasan pangan khususnya pangan siap saji maka karakteristik biofoam yang dihasilkan bisa mendekati karakteristik styrofoam seperti mudah dibentuk, memiliki bobot ringan, tahan terhadap air, dapat menahan suhu panas maupun dingin, serta harga produksinya cukup murah. Selain itu, kemasan alternatif tersebut haruslah bersumber dari bahan baku yang dapat diperbaharui, dapat terurai secara alami serta tidak toksik atau berbahaya bagi kesehatan. Di antara berbagai produk maupun limbah pertanian, tampaknya pati serta selulosa merupakan bahan yang potensial mengingat keberadaannya yang melimpah serta harganya yang murah. Salah satu sumber pati yang produksinya cukup tinggi adalah tapioka mengingat harganya yang lebih murah bila dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Tapioka memilliki kadar protein, kadar lemak serta amilosa yang lebih rendah dibandingkan jenis pati lainnya (Breuninger et al., 2009). Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap proses gelatinisasi maupun proses ekspansinya. Tapioka juga memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Selain itu, tapioka juga menghasilkan pasta yang jernih bila dipanaskan pada jumlah air berlebih. Semua kelebihan tersebut mendorong peneliti untuk menggunakan tapioka sebagai bahan baku pembuatan kemasan biodegradable foam (Cinelli et al., 2006; Chiellini et al., 2009; Sin et al., 2010). 4 Namun demikian, mengingat produk yang dihasilkan dari pati tersebut umumnya bersifat rapuh, kaku dan hidrofilik maka harus dilakukan penambahan beberapa aditif untuk menghasilkan produk kemasan sesuai dengan karakteristik yang diinginkan. Selain itu, penggunaan pati adakalanya harus berbenturan dengan kepentingan pangan sehingga harus dicari alternatif bahan berpati yang tidak atau belum dijadikan konsumsi pangan agar program pemerintah untuk ketahanan pangan tetap terwujud. Karena itu penggunaan limbah atau produk samping industri pati tampaknya menjadi pilihan yang menarik. Salah satu sumber bahan baku yang potensial adalah ampok yang merupakan hasil samping industri penggilingan jagung. Adapun alasan pemilihan ampok adalah karena komposisinya yang masih mengandung pati 56.9% pati, 25.2% neutral detergent fiber, 11.1% protein dan 5.3% lemak (Sharma et al., 2007). Peneliti lain yaitu Shroder dan Heiman (1970) menyebutkan bahwa kandungan ampok terdiri atas protein 10,47%, serat 5 %, lemak 6,5 % dan pati 66 %. Walaupun terdapat perbedaan dalam komposisinya, namun secara umum ampok memiliki kandungan serat, pati serta protein yang masih cukup tinggi sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofoam. Ampok sendiri terdiri dari campuran beberapa bagian jagung berupa lembaga (germ), kulit ari (bran), tip cap, dan sebagian endosperma yang keras (horny endosperm). Ampok memiliki potensi yang besar karena pencanangan swasembada jagung tahun 2014 oleh pemerintah, telah mendorong meningkatnya produksi jagung selama 5 tahun terakhir, yaitu sekitar 10,9 juta ton pada tahun 2003 meningkat menjadi 17,3 juta ton pada tahun 2011 (Kementan, 2012). Dengan peningkatan produksi yang cukup besar ini maka pemerintah berharap pada tahun 2014, Indonesia mampu berubah dari Negara pengimpor jagung menjadi Negara pengekspor dengan target produksi sekitar 30 juta ton. Saat ini pengolahan jagung di Indonesia hanya terbatas pada penyediaan jagung pipilan untuk kebutuhan industry pakan dan grits atau tepung jagung untuk industri pangan. Ampok (corn hominy) adalah produk samping yang jumlahnya cukup besar mencapai 35% dari total biji jagung yang digiling. Dengan makin 5 tingginya produksi jagung maka produksi ampok jagung juga akan meningkat sehingga harus dicari alternatif pemanfaatannya. Saat ini harga ampok di pasaran Indonesia relatif murah yaitu sekitar Rp. 1.800/kg, sedangkan menurut Sharma et al. (2007) harga ampok dunia hanya sekitar US$ 83.7 per ton setara dengan sekitar Rp.800,- per kg. Dengan demikian, pemanfaatan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari ampok tersebut disamping memberi manfaat lain yaitu meningkatkan kualitas lingkungan dengan mengurangi pencemaran lingkungan serta meningkatkan kesehatan masyarakat serta kesejahteraan petani jagung. Selain itu dengan penggunaan produk dan limbah pertanian, maka ketergantungan terhadap minyak bumi sebagai bahan baku pembuatan styrofoam juga dapat dikurangi. Pemanfaatan ampok yang tidak saja berfungsi sebagai sumber serat tetapi sekaligus sebagai sumber pati, lemak dan protein pada pembuatan biofoam merupakan suatu hal baru karena beberapa penelitian sebelumnya umumnya menggunakan pati dan ditambahkan serat. Selain itu, penggunaan sizing agent untuk memodifikasi permukaan sehingga dapat meningkatkan hidrofobisitas biofoam juga belum banyak dilakukan. Umumnya penggunaan bahan tersebut dilakukan pada industri kertas atau tekstil. Penelitian ini sendiri berusaha mengkaji fenomena penambahan komponen bahan baku terhadap karakteristik produk biofoam yang dihasilkan baik dari sifat fisik, mekanis, termal dan biodegradabilitas. Produk biofoam sebenarnya sangat beragam bentuk dan kegunaannya. Ada yang berbentuk butiran, lembaran, maupun cetakan. Teknologi proses pembuatan biofoam juga sangat beragam dan teknologinya semakin bervariasi dengan dikembangkannya berbagai metode untuk pembuatan biofoam dengan bentuk dan fungsi tertentu. Pada penelitian ini, produk biofoam yang dihasilkan berbentuk tray dan pot yang dibuat dengan menggunakan teknologi thermopressing. Adapun aplikasi dari produk yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengemas produk segar maupun produk olahan dengan kadar air sedang seperti buah-buahan utuh, sayuran atau produk pangan siap saji seperti ayam goreng dan kue-kue. 6 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan produk kemasan ramah lingkungan berbentuk foam berbahan baku tapioka dan ampok yang memiliki sifat fisik dan mekanis mendekati styrofoam dengan tingkat biodegradabilitas yang lebih tinggi. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, maka penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan penelitian dengan tujuan masingmasing adalah 1) mengetahui karakteristik bahan baku, 2) memperoleh kondisi proses dan formula terbaik pembuatan biofoam serta 3) mengetahui nilai tambah tapioka dan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam. 1.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri untuk menghasilkan kemasan yang ramah lingkungan sekaligus aman bagi kesehatan. Selain itu, penggunaan produk pertanian seperti pati dan limbah pertanian, selain meningkatkan nilai tambah juga sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Penggunaan bahan baku alami juga akan mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi sehingga dapat menghemat devisa negara. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup dari penelitian ini agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan adalah : 1. Bahan baku ampok yang digunakan berasal dari Industri Penggilingan Jagung dengan ukuran 100 mesh. Polimer sintetik yang digunakan adalah PVOH. Pati modifikasi yang digunakan terdiri dari pati hidrofobik dan pati asetat dengan DS 0,3. 2. Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan teknik thermopressing. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam Pati merupakan produk pertanian yang memiliki potensi tinggi untuk bahan baku pembuatan kemasan ramah lingkungan. Pati dapat diperoleh dari berbagai hasil pertanian baik dari umbi, batang maupun biji-bijian, tersedia melimpah, dapat diperbaharui, dapat dimodifikasi serta memiliki kemampuan mengembang atau berekspansi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa ada peluang untuk menghasilkan kemasan pangan yang mampu menjadi alternatif pengganti styrofoam yang disebut dengan biofoam. Produk ini terbuat dari campuran pati, serat dan air yang diperoleh melalui proses ekstrusi dan menghasilkan produk pelet yang disebut dengan peanut foam atau loose fill foam (Bhatnagar dan Hanna, 1996; Fang dan Hanna, 2000). Selain itu, pembuatan biofoam juga dapat dilakukan dengan teknik lain yaitu dengan thermopressing (Glenn dan Orts, 2001; Glenn et al., 2001; Shey et al., 2006; Shogren et al., 1998; Shogren et al., 2002; Soykeabkaew et al., 2004). Proses lain yang juga dapat digunakan untuk menghasilkan biofoam adalah dengan teknologi microwave-assisted moulding. Penggunaan microwave untuk membantu proses pembuatan moulded starch foam sudah mulai dilakukan dengan menggunakan pelet hasil ekstrusi (Zhou, 2004). Proses ini meliputi perubahan bentuk dari pati menjadi pelet dengan proses ekstrusi dan selanjutnya pelet tersebut digelembungkan dengan menggunakan microwave. Pati merupakan bahan yang heterogen yang secara kimia terdiri dari amilosa yang berantai lurus serta amilopektin yang memiliki rantai bercabang. Secara fisik, pati memiliki daerah yang bersifat kristalin dan amorf (French, 1984). Struktur linier dari amilosa menyebabkan pati memiliki karakteristik yang mendekati polimer sintetis. Sementara struktur bercabang pada amilopektin cenderung mengurangi mobilitas dari rantai polimer dan berhubungan dengan semakin kuatnya ikatan hidrogen yang ada. Hampir semua pati alami merupakan semi kristalin dengan tingkat kristalinitas 20-45%. Amilosa dan titik percabangan 8 dari amilopektin membentuk daerah amorf, sementara percabangan pendek dari amilopektin membentuk daerah kristalin (Yu dan Chen, 2009). Biodegradable foam yang dihasilkan dengan menggunakan pati sebagai bahan bakunya dilaporkan memiliki sifat fisik dan mekanis yang belum menggembirakan. Produk biofoam tersebut sangat sensitif terhadap kelembaban serta memiliki sifat mekanis yang rendah (Glenn et al., 2001). Hal tersebut disebabkan karena sifat alami pati yang bersifat hidrofilik sehingga mudah menyerap air dari lingkungan sekitarnya. Air yang terserap tersebut selanjutnya akan menyerang ikatan hidrogen sehingga kekuatan ikatan tersebut berkurang dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kekuatan mekanis dari biofoam (Guan dan Hanna, 2006). Beberapa peneliti lain mencoba untuk memperbaiki karakteristik biofoam dengan melakukan penambahan serat (Shogren et al., 2002); Cinelli et al., 2006; Pimpa et al., 2007; Carmen et al.,2009; Canigueral et al., 2009; Mali et al., 2010 serta Benezet et al., 2011). Menurut Averous et al. (2001), penambahan serat selulosa hingga 15% dapat meningkatkan ketahanan terhadap air sekaligus meningkatkan kekuatan tariknya. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Streekumar et al. (2010) yang menyatakan bahwa penambahan serat sisal dapat meningkatkan sifat mekanik dari biokomposit. berpengaruh terhadap peningkatan Penambahan serat juga sifat hidrofobik biofoam seperti yang dilaporkan oleh Lawton et al. (2004); Guan dan Hanna ( 2006) ; serta Salgado et al.(2008). Penurunan tingkat sensitivitas terhadap air ini disebabkan oleh kemampuan serat dalam menyerap air yang lebih kecil dibandingkan dengan pati (Benezet et al., 2011). 2.1.1. Tapioka Salah satu sumber pati potensial di Indonesia adalah tapioka yang berasal dari tanaman ubi kayu (Manihot esculenta). Berbeda dengan jenis pati lainnya, tapioka memiliki kandungan lemak, protein, abu serta kadar amilosa yang rendah. Kandungan protein dan lemak yang sangat rendah tersebut yang membedakan tapioka dari pati serealia (Breuninger et al., 2009). Pada saat proses gelatinisasi, tapioka akan membentuk pasta yang kental dengan warna yang jernih sehingga 9 banyak digunakan sebagai pengental pada industri pangan (Muadklay dan Charoenrein, 2008). Selain itu, dengan berkembangnya teknologi modifikasi pati maka penggunaan tapioka juga sudah meluas sebagai bahan baku pembuatan kemasan ramah lingkungan, lapisan film, maupun bahan termoplastik (Biliaderis, 1992). Tapioka umumnya memiliki kandungan amilosa yang hampir sama untuk semua jenis yaitu berkisar 17-20%. Hal ini agak berbeda dengan jagung maupun beras yang memilliki variasi kandungan amilosa cukup besar (0-70%) untuk jagung dan (0-40%) untuk beras. Tapioka umumnya memiliki granula yang mulus permukaannya, berbentuk bulat dengan diameter (4-35µm). Bila dipanaskan dengan kondisi air berlebih, tapioka akan mengalami proses gelatinisasi pada suhu sekitar 64,30C dan viskositas puncak akan dicapai pada suhu sekitar 67,60C. Komposisi pati yang cukup tinggi pada tapioka yang dikombinasikan dengan berat molekul amilosa yang tinggi menyebabkan tapioka menjadi sumber pati yang unik yang dapat langsung digunakan sebagai bahan baku industri, namun juga merupakan bahan baku yang baik untuk dilakukan proses modifikasi (Breuninger et al., 2009). Tapioka memiliki kemampuan untuk berkontribusi pada proses puffing dan popping bila dipanaskan menggunakan microwave. Kemampuan tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan produk pangan berupa snack melalui proses ekstrusi. Menurut Seibel dan Hu (1994), suhu die dan lama waktu tinggal merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi tapioka. Pada tahapan selanjutnya, kemampuan ekspansi tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan produk biofoam baik yang berbentuk butiran maupun cetakan. Beberapa penelitian sebelumnya telah mencoba memanfaatkan tapioka sebagai bahan baku pembuatan biofoam (Bhatnagar dan Hanna, 1996; Soykeabkaew et al., 2004). Namun demikian, penggunaan tapioka yang belum dimodifikasi sebagai bahan baku biofoam belum menghasilkan karakteristik biofoam yang memuaskan. Oleh sebab itu, peneliti selanjutnya mencoba memodifikasi tapioka tersebut ataupun dengan menambahkan serat serta polimer sintetis (Salgado et al., 2008; Schmidt dan Laurindo, 2010; Vercelheze et al., 2012). 10 2.1.2. Ampok Serat dapat diperoleh dari produk maupun limbah pertanian. Salah satu sumber serat yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku biofoam adalah ampok. Ampok merupakan produk samping industri penggilingan jagung yang terdiri dari pericarp, tipcap, lembaga dan sebagian endosperm. Bagianbagian tersebut masih memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga umumnya digunakan sebagai campuran pakan ternak. Ampok sebenarnya juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif dengan terlebih dahulu melakukan modifikasi. Adapun bentuk produk yang dapat dihasilkan dengan memanfaatkan ampok antara lain produk cereal breakfast ataupun juga berbentuk wafer. Biji jagung umumnya terdiri atas tiga bagian utama yaitu 1) pericarp yang merupakan lapisan luar yang tipis dan berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air, 2) endosperm yang merupakan cadangan makanan dan beratnya mencapai 75% dari bobot biji jagung. Endosperm ini mengandung 90% pati dan 10% protein, 3) lembaga atau germ yang merupakan embrio tanaman yang terdiri dari plamule, akar radikal, scutelum dan koleoptil (Hardman dan Gunsolus, 1998 dalam Nur Aini, 2009. Selain itu biji jagung juga mengandung tip cap yaitu bagian yang menghubungkan biji dengan tongkol (Gambar 1). Gambar 1. Struktur biji jagung Pericarp atau sering pula disebut sebagai hull atau bran, merupakan lapisan pelindung biji serta mencegahnya dari penetrasi air. Pada saat pericarp ini 11 rusak maka air akan masuk dengan cepat ke dalam biji. Pericarp ini mengalami perubahan yang cepat selama proses pembentukan biji. Pada waktu masih muda, pericarp memiliki sel-sel yang kecil dan tipis tetapi dengan bertambahnya umur biji lapisan tersebut menjadi semakin menebal dan membentuk membran yang kemudian dikenal sebagai kulit biji atau pericarp. Menurut Hoseney (1998) berat pericarp ini mencapai 5-6% dari bobot kernel. Pericarp tersebut selain terdiri dari selulosa juga masih mengandung protein sebesar 10% (Subekti et al., 2007). Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Proporsi amilosa dan amilopektin pada biji jagung sangat bervariasi tergantung kepada varietasnya. Jagung dengan kadar amilopektin tinggi dikenal dengan nama waxy corn sedangkan yang kadar amilosa tinggi disebut dengan non waxy corn. Pada endosperm yang transparan, granula pati berbentuk poligonal dan saling berikatan satu sama lain oleh matrik protein yang mengandung zein, sedangkan pada endosperm yang berwarna keruh atau opak, granula pati berbentuk lonjong dan diliputi oleh matrik protein yang tidak mengandung zein (Hoseney, 1998). Zein merupakan fraksi protein dengan proporsi terbesar pada endosperm jagung (Laszrity, 1986). Lembaga atau germ merupakan bagian biji jagung dengan proporsi yang cukup besar. Pada jagung tipe dent, lembaga, meliputi 11,5% dari bobot biji jagung keseluruhan. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu scutelum dan poros embrio. Lembaga memiliki kadar lemak yang tinggi yaitu 33,2%, protein 18,4% dan mineral 10,5% (Shukla dan Cheryan, 2001). Adapun komposisi biji jagung dan fraksinya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai aneka produk pangan dan non pangan diantaranya tepung jagung, minyak jagung, pati jagung dan bioetanol. Bahkan limbahnya seperti tangkai, tongkol, daun dan juga klobot atau kulit jagung juga sudah mulai dimanfaatkan. 12 Tabel 1. Komposisi Biji Jagung dan Fraksinya Fraksi Kernel (%) Biji utuh Pati (%) Protein (%) Lemak (%) Gula (%) Abu (%) 71.5 10.3 4.8 2.0 1.4 Endosperm 82.3 86.4 9.4 0.8 0.6 0.3 Germ 11.5 8.2 18.8 34.5 10.8 10.1 Bran 5.3 7.3 3.7 1.0 0.3 0.8 Tipcap 0.8 5.3 9.1 3.8 1.6 1.6 Sumber : Inglett, 1970 Jagung terdiri dari beberapa jenis tergantung pada komposisi bahan penyusunnya. Jagung dengan soft endosperm umumnya digunakan dalam proses wet milling untuk menghasilkan pati jagung yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pemanis, produk pangan, dan bioetanol. Jagung dengan hard endosperm umumnya digunakan dalam proses dry milling dimana dihasilkan bahan baku untuk pembuatan produk ekstrusi dan pakan (Rooney dan Suhendro, 2001). Proses pembuatan tepung jagung biasanya dilakukan dengan cara penggilingan kering (dry milling) (Yuan dan Flores, 1996). Penggilingan jagung metode kering ini sendiri dibedakan lagi menjadi tiga metode yaitu 1) proses degerming tempering; 2) stone ground process atau non degerming dan 3) proses pemasakan secara alkali (nixtamalization). Ketiga proses tersebut akan menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik dan nilai gizi yang berbeda. Proses degerming tempering merupakan metode yang paling umum digunakan karena menghasilkan tepung jagung yang berukuran paling halus (Hansen dan Van der Sluis, 2004 dalam Nur Aini, 2009). Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung jagung adalah proses pemisahan pericarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran. Pericarp harus dipisahkan karena kandungan seratnya yang tinggi sehingga menyebabkan tepung jagung bertekstur kasar. Pemisahan lembaga juga dilakukan karena lembaga mengandung kadar lemak yang tinggi yang dapat menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap juga harus dipisahkan 13 karena dapat membuat tepung menjadi kasar dan terlihat bintik-bintik hitam yang merusak warna tepung jagung. Proses penggilingan jagung dengan metode kering menghasilkan limbah yang terdiri dari campuran pericarp, sebagian endosperm, lembaga dan tip cap. Pada proses penggilingan, bagian-bagian tersebut sebagian menjadi hancur dan kemudian dipisahkan melalui proses penampian. Sisa tampian yang disebut dengan ampok biasanya digunakan sebagai campuran pakan ternak dan dijual dengan harga yang sangat murah. Bila dianalisa kandungan gizinya, sebenarnya ampok masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan maupun diolah lebih lanjut sehingga dapat diperoleh nilai tambah yang lebih tinggi. Kandungan protein dan karbohidrat yang masih tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan bergizi tinggi seperti cereal breakfast atau sebagai sumber dietary fibre karena kandungan seratnya juga cukup tinggi. Namun demikian tentunya masih diperlukan proses modifikasi untuk memperbaiki sifat fisikokimianya. Kandungan serat yang ada pada ampok terutama berasal dari bagian pericarp dan tipcap. Menurut Hu et al. (2008) kandungan pericarp atau bran ini 40% terdiri dari hemiselulosa, disusul selulosa, asam fenolik, lignin dan bahan lainnya (protein, abu, dan lain lain). Hemiselulosa ini umumnya tidak larut air dan terikat dengan kuat pada dinding sel dan selulosa oleh ikatan hidrogen. Hemiselulosa yang umumnya terdapat pada jagung adalah arabinoxilan yang memiliki lima dan enam atom karbon. Arabinoxilan ini biasanya berbentuk polimer yang lengket sehingga dapat digunakan sebagai bahan perekat, pengental maupun bahan tambahan pada pembuatan plastik (Gaspar et al., 2005). Ampok yang masih mengandung karbohidrat, protein berupa zein dan serat juga punya potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan bioplastik dan biofoam pengganti plastik dan styrofoam yang bersumber dari minyak bumi. 14 2.2. Teknologi Proses Produksi Biofoam Pati memiliki beberapa sifat khas atau unik yang timbul karena pengaruh panas atau gesekan seperti pembengkakan (swelling), gelatinisasi, melting, kristalisasi dan dekomposisi (Paes et al., 2008). Pati juga memiliki kemampuan untuk mengembang atau berekspansi. Sifat ini terlihat jelas pada produk-produk ekstrusi seperti yang biasa digunakan sebagai makanan selingan. Fenomena ekspansi pati kemudian mendorong para peneliti untuk memanfaatkan pati untuk menghasilkan biofoam berbentuk butiran atau sering disebut dengan loose fill foam atau peanut foam ( Lacourse dan Altieri, 1989 ) Proses pembuatan loose fill foam atau peanut foam dilakukan dengan menggunakan prinsip pembuatan produk ekstrudat seperti produk snack. Penggunaan ekstruder akan menghasilkan panas dan gaya gesek yang mengakibatkan pati mengalami gelatinisasi dan mencair. Pati yang mencair tersebut akan mendapat tekanan yang besar saat melewati lubang kecil pada die sehingga uap air yang ada akan menimbulkan bubble effect yang menyebabkan cairan pati tersebut mengembang. Selanjutnya kontak dengan udara luar yang lebih rendah suhunya akan menyebabkan produk yang sudah mengembang tersebut mengeras hingga diperoleh produk yang mengembang jauh lebih besar dibandingkan bahan bakunya (Lawton et al., 2004). Energi panas yang dihasilkan pada proses ekstrusi yang disertai dengan gesekan akan menyebabkan pati beserta bahan campuran lainnya akan mengalami perubahan fisikokimia. Menurut Kaletunc dan Breslauer (2003), suhu tinggi dan gesekan selama proses ekstrusi mampu mengubah campuran pati dan protein pada pati jagung menjadi bahan yang bersifat viskoelastis. Bahan ini selanjutnya akan mengembang dan mengeras membentuk partikel padat berbentuk busa atau foam. Kemampuan ekspansi produk ekstrusi ditentukan oleh banyak faktor yang merupakan kombinasi antara kondisi proses dan kualitas bahan baku. Beberapa penelitian sebelumnya telah mencoba melihat pengaruh dari variabel kondisi proses seperti suhu tangki, kecepatan screw, dimensi die nozzle, konfigurasi screw, ukuran tangki dan kelembaban (Bhattacharyya dan Hanna, 1987; Barres et al., 1990). Beberapa penelitian mengenai karakteristik bahan baku dan 15 pengaruhnya terhadap karakteristik bahan baku juga sudah banyak dilakukan (.Shogren et al., 1998; Salgado et al., 2008; Benezet et al., 2011; Vercelheze et al., 2012.). Adapun karakteristik bahan baku yang diamati antara lain komposisi bahan baku, komposisi lemak, protein, serat dan pati serta rasio amilosa terhadap amilopektin. Hal tersebut dilakukan karena semua faktor tersebut akan mempengaruhi reologi dan kekentalan dari pati (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Aplikasi teknologi ekstrusi pada pembuatan biofoam diawali oleh. Chinnaswamy dan Hanna (1993) yang mengembangkan biofoam dengan mencampurkan 70% pati dengan plastik. Sementara itu, Neumann dan Seib (1993) juga mencoba menghasilkan biofoam dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari pati jagung. Namun demikian, produk biofoam yang dihasilkan memiliki sifat hidrofilik dan rapuh sehingga harus ditambahkan dengan beberapa bahan lainnya. Selanjutnya, beberapa peneliti lain juga mencoba melakukan hal yang sama dengan menggunakan berbagai sumber pati dan mencampurkannya dengan polimer sintetik (Bhatnagar dan Hanna, 1996; Wang et al.,1995; Wang dan Shogren, 1997; Fang dan Hanna, 2000; Peng et al., 2005; Jiang et al., 2006; Pushpadass et al., 2010). Namun, kurangnya kompatibilitas antara pati dengan polimer sintetik akibat perbedaan tingkat polaritas menyebabkan produk biofoam yang dihasilkan belum memuaskan. Untuk itu, beberapa peneliti lainnya mencoba menambahkan plastisizer, agen pendispersi dan kompatibilizer serta cross linking agent (Wang et al., 2004; Zou et al., 2007). Seiiring dengan berkembangnya gaya hidup, kebutuhan akan biofoam yang dapat dibentuk thermopressing. sesuai fungsinya mendorong berkembangnya teknologi Teknologi tersebut menggunakan prinsip pembuatan wafer dimana adonan dicetak pada suhu dan tekanan tertentu. Kadar air yang ada pada adonan akan menguap karena adanya panas yang kemudian berfungsi sebagai blowing agent. Selama proses pencetakan, uap air tersebut akan mendorong proses ekspansi dari adonan pati hingga terbentuk biofoam sesuai dengan bentuk cetakan yang digunakan (Shogren et al., 1998). 16 Teknologi ini pertama kali diperkenalkan melalui penelitian Tiefenbacher (1993) dan dilanjutkan oleh Shogren et al. (1998) yang menghasilkan biofoam dengan bahan baku pati jagung dan pati gandum yang ditambahkan dengan guar gum dan magnesium stearat. Bila diamati struktur morfologinya dengan menggunakan SEM, terlihat bahwa biofoam memiliki struktur seperti sandwich dimana pada bagian luar memiliki struktur yang lebih padat sedang bagian dalamnya berongga. Menurut Shogren et al.(1998), bagian luar dari biofoam berbentuk lebih padat karena bagian tersebut yang menempel pada cetakan yang memiliki tingkat panas lebih tinggi. Akibatnya adonan akan mengering dengan cepat sehingga proses ekspansi tidak berjalan sempurna. Sementara itu, bagian dalam berbentuk rongga besar dengan sel yang terbuka yang merupakan jalan keluar dari uap panas yang bertekanan tinggi pada pembuatan biofoam. Seperti halnya biofoam berbentuk butiran, biofoam yang dihasilkan dengan teknologi wafer ini juga masih memillki sifat mekanis yang rendah serta tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kelembaban. Teknologi lainnya yang dapat digunakan untuk membuat biofoam adalah proses puffing dengan menggunakan bahan baku pati dengan kelembaban rendah. Proses ini seperti halnya pada pembuatan popcorn, dimana jagung dengan kadar air 10-15% dipanaskan pada suhu sekitar 1770C hingga mencapai ukuran maksimum (Hoseney et al., 1983). Proses puffing dengan sistem eksplosi ini juga dapat dikembangkan untuk produk biji-bijian yang tidak bisa mengembang secara alami ketika dipanaskan (Sullivan dan Craig, 1984). Teknologi ini dapat menghasilkan biofoam berbasis pati dengan densitas yang rendah dalam beberapa detik saja. Namun demikian, teknologi ini kurang sesuai untuk membuat produk biofoam dengan bentuk tertentu seperti yang diinginkan. Selanjutnya dalam perkembangannya, teknologi lain yang juga dapat digunakan untuk menghasilkan biofoam adalah dengan microwave assisted moulded. Saat ini penggunaan microwave untuk membantu proses pembuatan moulded starch foam sudah mulai dilakukan dengan menggunakan pelet hasil ekstrusi (Zhou, 2004). Proses ini meliputi perubahan bentuk dari pati menjadi pelet dengan proses ekstrusi dan selanjutnya pelet tersebut digelembungkan dengan menggunakan bantuan microwave. 17 Dari berbagai teknik serta jenis produk yang dapat dihasilkan pada pembuatan biofoam, tampaknya teknologi thermopressing yang paling mudah aplikasinya karena tidak memerlukan peralatan yang canggih seperti ekstruder. Namun demikian, umumnya semua produk yang dihasilkan dengan berbagai teknik tersebut masih memiliki sifat fisik dan mekanis yang belum menggembirakan. Produk biofoam yang dihasilkan memiliki sifat rapuh, kaku, dengan sifat mekanis yang rendah (Glenn et al., 2001). 2.3. Karakteristik Biofoam Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memperbaiki karakteristik biofoam diantaranya seperti yang dilakukan oleh Cinelli et al. (2006), dengan membuat kemasan habis pakai berupa piring yang dibuat dari pati kentang yang dicampur dengan serat jagung dan PVOH. Penambahan serat jagung ternyata dapat meningkatkan ketahanan terhadap airnya (water resistance), namun demikian sifat serat jagung tersebut juga dapat menurunkan kekuatan mekanis dari kemasan biofoam yang dihasilkan. Penambahan serat pada pembuatan tray biofoam juga dilakukan oleh Shogren et al.( 2002) dengan menggunakan serat yang berasal kayu lunak sebagai reinforcing fillers. Adapun bahan baku utama yang digunakan yaitu pati kentang dengan kadar amilopektin tinggi yang ditambahkan dengan pati jagung amilosa tinggi. Selain itu ditambahkan pula dengan polimer sintetik PVOH dan aspen fiber serta monostearil sitrat. Penambahan monostearil sitrat dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan terhadap air. Sementara untuk mencegah adonan lengket pada cetakan dilakukan penambahan magnesium stearat. Beberapa penelitian lain yang juga menambahkan serat dalam pembuatan biofoam diantaranya dilakukan oleh Mali et al. (2010) dengan menambahkan serat yang berasal dari ampas bagas tebu. Sementara itu, Benezet et al. (2011) menggunakan serat yang berasal dari tangkai gandum dan kapas. Menurut Ruggiero et al. (2006), penambahan serat selain berfungsi meningkatkan sifat mekanis juga berkontribusi besar pada kelestarian lingkungan mengingat sifatnya yang tidak mengandung bahan berbahaya, mudah didaur ulang serta murah. Penambahan serat juga dapat mempercepat proses degradasi oleh mikroorganisme 18 yang menyukai komponen lignoselulosik yang ada pada serat (Chiellini et al. (2009). Selanjutnya Pimpa et al. (2007) menggunakan pati sagu yang ditambahkan dengan PVOH dan PVP kemudian diiradiasi. Hasilnya menunjukkan bahwa campuran sagu dan PVOH hasil iradiasi lebih baik dibandingkan campuran sagu dan PVP karena produk foam yang dihasilkan lebih fleksibel. Upaya perbaikan lainnya dilakukan oleh Salgado et al. (2008) dengan menggunakan tapioka sebagai bahan utamanya dengan campuran protein bunga matahari dan serat selulosa. Penambahan protein dan serat tersebut untuk memperbaiki sifat fisik dan mekanis biofoam yang dihasilkan. Peningkatan konsentrasi serat dapat meningkatkan sifat mekanis produk serta mengurangi kadar air produk setelah di proses pencetakan. Peningkatan konsentrasi protein dapat mengurangi kadar air setelah pencetakan, kapasitas penyerapan air serta laju kerusakan. Hasil terbaik dari penelitian ini adalah dengan menggunakan campuran serat 20% dan protein 10%. Selain penambahan serat, penambahan polimer sintetik salah satunya PVOH sebagai bahan campuran dalam pembuatan kemasan ramah lingkungan semakin meningkat karena PVOH memiliki kompatibilitas yag tinggi dengan polimer alami seperti pati. Penambahan PVOH akan mempermudah proses pembuatan kemasan ramah lingkungan serta hasil pencampurannya dapat meningkatkan karakteristik biokomposit yang dihasilkan (Follain et al., 2005; Russo et al., 2009). Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pencampuran PVOH dengan pati akan menghasilkan komposit yang sinergis dan kuat. Hal tersebut disebabkan karena adanya gugus hidroksil yang ada akan membentuk ikatan hidrogen diantara molekul pati dan PVOH ( He et al., 2004; Rahmat et al., 2009). Campuran ini juga akan terdispersi secara homogen dalam larutan pada pembuatan film bila diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM) (Tudorachi et al., 2000). Pencampuran antara pati, serat serta polimer sintetik seringkali terkendala oleh rendahnya kompatibilitas di antara ke tiga bahan tersebut. Hal ini akan berakibat pada rendahnya sifat mekanis dari biofoam tersebut. Oleh karena itu 19 beberapa peneliti mencoba menambahkan kompatibilizer, agen pendispersi, dan plastisizer. Menurut Wang et al. (2004), plastisizer dapat berperan sebagai pendispersi yang mampu mengurangi terjadinya aglomerasi sehingga dapat meningkatkan kuat tarik pada komposit pati dan plastik LDPE. Sementara itu, menurut Zhou et al. (2007), penambahan gliserol juga mampu menurunkan daya serap air sehingga dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas komposit. Penambahan plastisizer juga akan membantu pergerakan inter dan antar rantai molekul (Willet et al., 1995) sehingga viskoelastisitas bahan akan meningkat.. Upaya selanjutnya yang dilakukan untuk memperbaiki karakteristik biofoam adalah dengan penambahan bahan hidrofobik seperti wax, atau polimer sintetik untuk meningkatkan hidrofobisitasnya (Shogren et al., 1998; Andersen et al., 1999). Selain itu, penggunaan pati modifikasi juga dapat memperbaiki karakteristik biofoam yang dihasilkan seperti yang telah dilakukan oleh Matsui et al. (2004); Laratonda et al. (2005); Xu et al. (2005); Schmidt dan Laurindo (2009). Pati yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan kemasan biodegradable adalah pati asetat dengan nilai DS >1 karena memiliki kemampuan termoplastis dan juga bersifat hidrofobik (Aburto et al., 1999; Guan et al., 2004). Asetilasi merupakan salah satu jenis modifikasi pati yang dilakukan secara kimia dan tergolong pada proses esterifikasi. Esterifikasi pati yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan suhu gelatinisasi, stabilitas termal dan mengurangi kecenderungan retrogradasi. Pati asetat banyak dimanfaatkan pada berbagai macam aplikasi seperti bahan pengental pada berbagai produk pangan, sebagai bahan pengisi pada industri tekstil dan kertas serta sebagai bahan perekat. Umumnya untuk produk pangan dibutuhkan Derajat Substitusi (DS) yang rendah berkisar 0,01-0,2, namun untuk aplikasi sebagai bahan kemasan dibutuhkan pati asetat dengan nilai DS yang cukup tinggi (>2) (Junistia et al., 2008). Pati asetilasi DS rendah biasanya diperoleh melalui proses esterifikasi pati alami dengan asetat anhidrat pada medium air dengan katalis dari golongan alkali. Sementara itu, pati asetilasi DS tinggi umumnya memiliki kemampuan termoplastis dan juga bersifat hidrofobik. Pati asetilasi DS tinggi ini umumnya 20 digunakan untuk pengikat tablet, perekat panas, filter rokok dan bahan kemasan Aburto et al. (1999). Sementara menurut Guan et al. (2004), pati asetilasi bernilai DS tinggi (>1) umumnya bersifat hidrofobik sehingga dapat digunakan sebagai bahan kemasan seperti biofoam. Nilai DS pati modifikasi sangat bervariasi tergantung pada sumber pati, rasio amilosa dan amilopektin, jumlah bahan kimia yang ditambahkan serta lamanya waktu reaksi. Proses asetilasi merupakan upaya untuk menghasilkan material yang bersifat tahan air. Namun demikian, proses asetilasi tersebut tergolong mahal dan menyebabkan kemampuan bioplastik untuk terurai menjadi berkurang (Rivard et al., 1995). Dengan demikian penggunaan pati asetat harus dilakukan seoptimum mungkin agar tidak mengurangi kemampuan degradasi dari biofoam. Selain pati dan selulosa, produk pertanian lain juga menghasikan berbagai bentuk polisakarida lain seperti guar gum, tepung konjac, yang dapat berfungsi sebagai pengikat atau binder pada proses pembuatan biofoam. Menurut Poovarodom (2006), penambahan binder dapat mengurangi penyerapan air serta meningkatkan ketahanan terhadap minyak. Penambahan protein dapat meningkatkan sifat fisik dan mekanis dari biofoam mengingat protein sendiri juga merupakan polimer alami yang mampu membentuk matrik polimer. Beberapa protein alami yang untuk meningkatkan sifat mekanis biofoam diantaranya penambahan zein (Gaspar et al., 2005); putih telur (Wongsasulak et al., 2006; 2007) serta protein biji matahari (Salgado et al., 2008) . Salgado juga menyebutkan bahwa penambahan protein tidak hanya meningkatkan sifat mekanis tetapi juga dapat mengurangi sensitivitas terhadap air. Namun demikian menurut Poovarodom (2006), penambahan protein >5% dapat menyebabkan produk biofoam yang dihasilkan menjadi rusak akibat menjadi gosong dan lengket pada cetakan. Produk pertanian lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan biofoam adalah lemak. Walaupun bukan digunakan sebagai bahan baku utama, lemak umumnya dibutuhkan sebagai bahan pembantu khususnya sebagai demolding agent, untuk membantu mempermudah produk tidak lengket pada 21 cetakan. Penambahan lemak juga diyakini mampu menurunkan sensitivitas terhadap air mengingat sifat lemak yang hidrofobik. Lemak dan produk turunannya juga dapat berfungsi sebagai plastisizer yang berguna untuk meningkatkan fleksibilitas produk serta memudahkan pada proses pelepasan dari cetakan. Bahan lainnya lagi adalah lateks. Bahan ini digunakan sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan viskoelastisitas dari foam sehingga produk yang dihasilkan memiliki tingkat kelenturan yang tinggi yang dibutuhkan apabila foam digunakan sebagai shock absorber. Selain itu penambahan lateks juga mampu meningkatkan ketahanan terhadap air karena sifatnya yang hidrofobik ( Cienelli et al., 2009; Shey et al., 2006) Sebenarnya masih banyak produk pertanian lain yang juga bisa dimanfaatkan dalam pembuatan biofoam seperti chitosan yang merupakan hasil perikanan (Kaisangsri et al., 2011); putih telur yang merupakan hasil ternak (Wongsasulak et al., 2006) serta wax yang diperoleh dari peternakan madu. Belum lagi bila ke dalam adonan biofoam ditambahkan bahan aktif yang diekstrak dari berbagai tanaman untuk meningkatkan ketahanannya terhadap kerusakan akibat mikroorganisme ataupun sebagai pewarna alami. Bahan aditif lain yang umumnya digunakan pada pembuatan biofoam adalah demolding agent atau lubricant untuk memudahkan pengeluaran produk dari cetakan. Umumnya bahan yang digunakan adalah magnesium stearat seperti yang dilakukan pada penelitian (Onteniente et al., 2000.). Penambahan hidrokoloid seperti guar gum dapat berfungsi sebagai nucleating agent ataupun penstabil. Sementara penambahan agar berfungsi sebagai binder. Meski sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan produk biofoam, namun yang sudah komersial dan dipasarkan masih terbatas. Hal ini disebabkan karena produk biofoam masih memiliki beberapa kelemahan seperti tidak kedap air, serta sifat mekanik yang rendah. Untuk itu penelitian ini masih terus dilanjutkan dengan menggunakan berbagai sumber pati, serat, polimer serta melakukan modifikasi pati agar dapat menghasilkan produk biofoam yang dapat bersaing dengan styrofoam. 22 23 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini tapioka merek GA yang diproduksi oleh industri tapioka di Lampung, sedangkan ampok diperoleh dari salah satu perusahaan penggilingan jagung di Sidoarjo, JawaTimur. Pati hidrofobik diperoleh dari salah satu perusahaan pati modifikasi lokal sedangkan pati asetat diperoleh dari PT National Starch, Bangkok, Thailand. Polimer sintetik PVOH merek Celvol. Bahan tambahan magnesium stearat, gliserol diperoleh dari toko bahan kimia di kota Bogor. Sizing agent diperoleh dari Lab Packaging, Kasetsart University. Agar dari PT Finechem dan NaOH dari Merck. Adapun peralatan yang digunakan antara lain berupa mixer, mesin cetak thermopressing, untuk pembuatan biofoam, serta peralatan lain yang digunakan dalam analisis bahan baku maupun produk jadi seperti Scanning Electrone Microscopy (SEM) merek Zeiss tipe Evo 50, Differential Scanning Calorymeter (DSC) merek Shimadzu TA-50WSI, X Ray Diffractometer merek Shimadzu type Maxima 7000, Texture Analyzer, Dynamic Mechanical Thermal Analysis (DMTA) merek Gabo, Contact Angle Goneometer merek OCA20, Data Physic, Chromameter, Amilograf merek Brabender, oven, desikator, dan alat gelas untuk analisa. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada beberapa laboratorium diantaranya di Laboratorium Balai Besar Pascapanen, Laboratorium TIN, dan Laboratorium Polimer Pertamina Jakarta, serta Laboratorium Packaging and Materials Technology, Kasetsart University, Thailand. Selain itu beberapa analisa juga dilakukan di Laboratorium Sentra Teknologi Polimer, Serpong, Laboratorium Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan serta Laboratorium Kimia Terpadu, IPB. Adapun waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada kurun waktu November 2010 hingga Mei 2012. 24 3.3. Kerangka Pemikiran Ketergantungan manusia terhadap styrofoam yang sudah sangat tinggi, padahal banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian styrofoam tersebut baik terhadap kesehatan maupun kelestarian lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap styrofoam dengan menyediakan kemasan alternatif yang aman bagi kesehatan serta ramah terhadap lingkungan. Salah satu bahan yang memiliki potensi adalah pati, karena memiliki kemampuan ekspansi serta bersifat termoplastis. Sayangnya menurut beberapa hasil penelitian sebelumnya, biofoam yang dihasilkan oleh bahan berpati memiliki beberapa kelemahan diantaranya, rapuh serta hidrofilik sehingga aplikasi penggunaannya masih sangat terbatas. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk memperbaiki karakteristik pati tersebut antara lain dengan melakukan modifikasi pati, menambahkan bahan hidrofobik, polimer sintetis ataupun aditif lainnya. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan produk kemasan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan yang dapat menggantikan penggunaan styrofoam, khususnya sebagai wadah kemasan pangan sekali pakai. Hal ini mengingat pemakaian kemasan styrofoam sekali pakai yang sangat banyak padahal hanya digunakan satu kali saja dan langsung dibuang. Sementara itu, waktu yang dibutuhkan untuk mendegradasi styrofoam tersebut lebih dari 500 tahun. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengurangi kelemahan yang ada pada biofoam berbasis pati dengan menambahkan beberapa bahan tambahan yang diharapkan akan menghasilkan biofoam dengan karakteristik fisik, mekanis dan biodegradabilitas yang baik. Menurut beberapa literatur, karakteristik biofoam dipengaruhi oleh komposisi bahan baku terutama sumber pati serta kondisi proses pembuatannya. Komposisi bahan baku meliputi komposisi kimia, rasio amilosa/amilopektin, ukuran partikel yang semuanya akan berpengaruh terhadap sifat fungsional dari pati tersebut dan pada akhirnya berpengaruh terhadap karakteristik biofoam. Sementara itu, kondisi proses baik suhu, tekanan, waktu proses thermopressing 25 juga akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi dari bahan baku yang pada akhirnya akan mempengaruhi karakteristik produk yang dihasilkan. Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan menggunakan thermopressing dimana adonan dicetak dan dipanaskan pada suhu dan tekanan tertentu selama beberapa waktu. Penentuan kondisi proses sendiri ditentukan oleh formulasi bahan yang digunakan. Formulasi dan kondisi proses ini sangat mempengaruhi karakteristik biofoam yang dihasilkan. Dengan penggunaan bahan baku yang sedapat mungkin bersifat alami maka diharapkan biofoam yang dihasilkan dapat menyediakan kemasan alternatif pengganti styrofoam yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Dengan penggunaan bahan alami seperti tapioka dan ampok maka diharapkan ketergantungan terhadap minyak bumi untuk bahan baku styrofoam dapat dikurangi. Selain itu penggunaan ampok sebagai bahan baku juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi ampok itu sendiri serta membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. 3.4. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam empat tahapan yaitu (1) Karakterisasi bahan baku pembuatan biofoam, (2) Pengembangan produk biofoam berbahan baku tapioka dan ampok, (3) Perbaikan karakteristik biofoam dan (4) Analisis nilai tambah tapioka dan ampok sebagai bahan baku biofoam, sebagaimana tersaji pada Gambar 2. 3.4.1. Karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional bahan baku. Tahapan awal penelitian ini adalah melakukan karakterisasi bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian yaitu ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat. Karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis komposisi kimia bahan yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat (by difference), kadar pati serta rasio amilosa dan amilopektin. Analisis sifat termal meliputi suhu gelatinisasi, suhu maksimum, viskositas maksimum, viskositas breakdown, viskositas setback dan viskositas akhir dengan menggunakan 26 Viscoamylograph Analyzer. Selain itu juga dilakukan pengukuran titik transisi gelas dan titik leleh (melting point) dengan menggunakan alat Differential Scanning Calorymeter (DSC). Analisis sifat fungsional meliputi daya serap air dari masing-masing sumber pati serta pengamatan terhadap struktur morfologi dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Polarized microscope. Prosedur evaluasi karakteristik bahan baku disajikan pada Lampiran 1. Karakterisasi Bahan Baku Pengembangan Produk Biofoam Penambahan Serat Penambahan Polimer Sintetik Perbaikan Karakteristik Biofoam Penambahan Pati Hidrofobik Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol Biofoam Karakterisasi Biofoam Analisis Nilai TambahTapioka dan Ampok, Gambar 2 . Tahapan Penelitian Biofoam Berbahan Baku Campuran Tapioka dan Ampok 27 3.4.2. Pengembangan Produk Biofoam 3.4.2.1. Penentuan Kondisi Proses Pengembangan produk biofoam diawali dengan penentuan kondisi proses thermopressing yang meliputi penentuan suhu proses dan lama waktu proses serta volume adonan yang digunakan pada pembuatan biofoam. Adapun selang suhu yang diujikan pada tahapan ini berkisar 140-1800C, sedangkan lama waktu proses diujikan 2-4 menit. Jumlah adonan yang dimasukkan ke dalam cetakan dilakukan dengan variasi 50-80. Karakterisasi biofoam pada tahapan ini dilakukan secara visual dengan melihat warna dan penampakan biofoam yang dihasilkan. Diagram alir selengkapnya seperti tersaji pada Gambar 3. Bahan Baku Tapioka:Ampok (3 : 1) Pencampuran bahan kering menggunakan mixer selama 5 menit Air (1 : 1) Pembuatan adonan menggunakan mixer selama 5 menit Pencetakan menggunakan thermopressing machine Pendinginan 30 menit Biofoam Karakterisasi melalui Penampakan Visual Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Biofoam 28 3.4.2.2. Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Ampok sebagai Sumber Serat Sebagaimana telah disebutkan pada beberapa literatur bahwa pembuatan biofoam dengan hanya menggunakan bahan baku pati akan menghasilkan produk yang sensitif terhadap kelembaban, rapuh dan kaku sehingga pada tahapan awal ini dilakukan penambahan serat yang bersumber dari ampok untuk menutupi kelemahan tersebut. Sumber serat tersebut diperoleh dari penambahan ampok yang memiliki kandungan serat sekitar 25%. Adapun perlakuan yang digunakan dalam tahapan ini adalah rasio tapioka:ampok terdiri dari empat taraf yaitu (4:0); (3:1); (2:2) dan (1:3). Perlakuan lain adalah konsentrasi penambahan PVOH yang terdiri atas dua taraf yaitu 0% dan 30% sebagai kelompok. Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga kali yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Model matematik rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Ai + Bj + Ɛijk Dimana : i = 1,2,3,4 (taraf rasio tapioka:ampok) j = 1,2 ( kelompok) k = 1,2,3 (taraf ulangan) Keterangan Yijk= Hasil pengamatan karena pengaruh taraf ke-i dari rasio tapioka:ampok, pada kelompok ke-j dari konsentrasi PVOH serta taraf ke-k dari ulangan Ai = Pengaruh rasio tapioka:ampok ke-i Bj Pengaruh kelompok konsentrasi PVOH ke-j Ɛijk = = Galat percobaan pada ulangan ke-k Formula untuk pembuatan biofoam pada tahapan pertama ini adalah seperti tersaji pada Tabel 2. Penambahan air dilakukan dengan perbandingan 1:1 terhadap bahan kering. Pada pembuatan biofoam, selain penambahan tapioka, ampok dan PVOH, juga dilakukan penambahan bahan lain seperti air dan Mg stearat dalam jumlah yang sama. 29 Pengamatan yang dilakukan terhadap kadar air, densitas, warna, daya serap air, struktur morfologi, sifat termal, kuat tarik, kuat tekan dan biodegradabilitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Adapun prosedur karakterisasi produk biofoam sebagaimana tersaji pada Lampiran 1. Dua hasil terbaik berdasarkan sifat hidrofobisitas, sifat mekanis dan biodegradabilitasnya akan digunakan pada tahapan selanjutnya untuk menentukan formula pembuatan biofoam. Tabel 2. Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Ampok dalam 100 g Bahan Kering Rasio Tapioka Ampok (4 : 0) (3 : 1) (2 : 2) (1 ; 3) (4 : 0) (3 : 1) (2 : 2) (1 ; 3) Kelompok (Konsentrasi PVOH) 0% 30 % Tapioka (%) Ampok (%) PVOH (%) 100 75 50 25 70 52,5 35 17,5 0 25 50 75 0 17,5 35 52,5 0 0 0 0 30 30 30 30 3.4.2.3. Pembuatan Biofoam dengan Penambahan PVOH Sebagai Sumber Polimer Sintetik Biofoam yang terbuat hanya dari polimer alami (pati dan serat), umumnya memiliki sifat mekanis yang rendah sehingga harus diperbaiki dengan penambahan polimer sintetik antara lain dengan penambahan PVOH. Perlakuan yang digunakan pada tahapan ini adalah konsentrasi PVOH yang bervariasi dari 0-50 % dari bobot bahan kering yang digunakan. Sebagai kelompok, dipilih dua perlakuan terbaik dari tahapan sebelumnya. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga kali ulangan yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Model matematik rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Pi + Kj + Ɛijk 30 Dimana i = 1,2 (kelompok) j = 1,2,3,4,5,6 (taraf konsentrasi PVOH) k = 1,2,3 (taraf ulangan) Keterangan Yijk = Hasil pengamatan karena pengaruh kelompok ke-i dari rasio tapioka:ampok, taraf ke-j dari konsentrasi PVOH serta taraf ke-k dari ulangan Pi = Pengaruh kelompok rasio tapioka:ampok ke-i Kj Pengaruh konsentrasi PVOH ke-j Ɛijk = = Galat percobaan pada ulangan ke-k Untuk memudahkan pengeluaran produk biofoam dari cetakan maka dilakukan penambahan Mg stearat dengan jumlah 1,5% dari berat bahan kering. Penambahan air pada pembuatan adonan dilakukan dengan rasio 1:1 terhadap bahan kering. Hasil terbaik pada tahapan ini akan digunakan sebagai formula pembuatan biofoam. 3.4.3. Perbaikan Karakteristik Biofoam 3.4.3.1. Peningkatan Hidrofobisitas Biofoam dengan Penambahan Pati Hidrofobik Biofoam yang terbuat hanya dari bahan berpati, selain memiliki sifat mekanis yang rendah tetapi juga bersifat hidrofilik yang memang berasal dari sifat polimer alami yang sensitif terhadap kelembaban. Pada tahapan ini dilakukan upaya perbaikan sifat hidrofilik agar biofoam yang dihasilkan mampu menggantikan fungsi kemasan styrofoam sebagai wadah kemasan siap saji termasuk pangan dengan kadar air tinggi. Upaya perbaikan yang dilakukan pada tahapan ini adalah dengan menggantikan sebagian atau seluruh proporsi tapioka dengan pati hidrofobik. Adapun perlakuan yang digunakan pada tahapan ini hanya satu faktor yaitu rasio tapioka:pati hidrofobik yang terdiri dari lima taraf yaitu : (4:0), (3:1), (2:2), (1:3) dan (0:4). Untuk formulasi lainnya seperti ampok, PVOH, air dan Mg stearat adalah tetap sesuai dengan hasil terbaik pada tahapan sebelumnya. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga 31 kali ulangan yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Model matematik rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut : Yij = µ + Xi + Ɛij Dimana i = 1,2,3,4,5 (taraf rasio tapioka:pati hidrofobik) j = 1,2,3 (taraf ulangan) Keterangan Yijk = Hasil pengamatan karena pengaruh taraf ke-i dari rasio tapioka:pati hidrofobik serta taraf ke-j dari ulangan Xi = Pengaruh rasio tapioka:pati hidrofobik ke-i Ɛij = Galat percobaan pada ulangan ke-j Pengamatan yang dilakukan terhadap biofoam yang dihasilkan meliputi kadar air, densitas, warna, daya serap air, struktur morfologi, sifat termal, kuat tarik, kuat tekan dan biodegradabilitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. 3.4.3.2. Peningkatan Hidrofobisitas dan Viskoelastisitas Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Plastisizer Peningkatan sifat hidrofobik biofoam juga dapat dilakukan dengan penambahan pati asetat maupun penambahan sizing agent. Sizing agent umumnya digunakan pada industri kertas atau tekstil untuk meningkatkan hidrofobisitas pada permukaan bahan. Adapun jenis sizing agent yang digunakan adalah dari jenis alkyl ketene dimer (AKD) dan produk coating yang merupakan hasil penelitian Kasetsart University berupa campuran pati hidrofobik dengan bahan aktif carvacrol. Pada tahapan ini juga dilakukan upaya peningkatan viskoelastisitas biofoam dengan penambahan gliserol yang berfungsi sebagai plastisizer. Selain itu, juga dilakukan beberapa tambahan seperti NaOH untuk membantu proses pelunakan serat serta agar yang berfungsi sebagai perekat. Adapun perlakuan yang digunakan pada tahapan ini ada tiga faktor yaitu: rasio tapioka:pati asetat dengan 2 taraf (4:1) dan (3:2); jenis sizing agent yang digunakan dengan dua taraf yaitu sizing agent A (AKD) dan sizing agent B (pati 32 hidrofobik dan carvacrol) serta konsentrasi gliserol dengan tiga taraf yaitu 0; 5 dan 10%. Sementara itu, penambahan ampok, PVOH, NaOH, agar dan air dilakukan dalam jumlah yang tetap untuk semua perlakuan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan tiga kali ulangan yang diikuti dengan uji Duncan. Adapun pengamatan yang dilakukan sama seperti tahapan sebelumnya namun ditambahkan pengamatan sifat termal dengan menggunakan Dynamic Mechanical Thermal Analyisis (DMTA) untuk mengetahui viskoelastisitasnya serta pengamatan terhadap contact angle untuk mengetahui tingkat hidrofobisitas permukaan biofoam. Model matematik rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut : Yijkl = µ + Pi + Sj + Gk + (PS)ij + (PG)ik + (SG)jk + (PSG)ijk + Ɛijkl Dimana i = 1,2 (taraf rasio tapioka:pati asetat) j = 1,2 (taraf jenis sizing agent) k = 1,2,3 (taraf konsentrasi gliserol) l = 1,2,3 (taraf ulangan) Keterangan Yijkl = Hasil pengamatan karena pengaruh taraf ke-i dari rasio tapioka:pati asetat, tarah ke-j dari jenis sizing agent, taraf ke-k dari konsentrasi gliserol serta taraf ke-l dari ulangan Pi = Pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i Sj = Pengaruh jenis sizing agent ke-j Gk = Pengaruh konsentrasi gliserol ke-k (PS)ij = Interaksi pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i dengan jenis sizing agent ke-j (PG)ik= Interaksi pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i dengan konsentrasi gliserol ke-k (SG)jk= Interaksi pengaruh jenis sizing agent ke-j dengan konsentrasi gliserol kek (PSG)ijk= Interaksi pengaruh rasio tapioka:pati asetat ke-i dengan jenis sizing agent ke-j serta konsentrasi gliserol ke-k Ɛijkl = Galat percobaan pada ulangan ke-l 33 Formula bahan yang dilakukan pada tahapan ini tersaji pada Tabel 3 Sementara itu, pada tahapan ini, jumlah cairan yang ditambahkan adalah sekitar 44% dari total adonan. Bahan cair ini meliputi gliserol, NaOH, sizing agent dan Air. Tabel 3. Formula Pembuatan Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol Perlakuan Tapioka (%) PA (%) 28 21 28 21 28 21 28 21 28 21 28 21 7 14 7 14 7 14 7 14 7 14 7 14 P1S1G0 P2S1G0 P1S1G1 P2S1G1 P1S1G2 P2S1G2 P1S2G0 P2S2G0 P1S2G1 P2S2G1 P1S2G2 P2S2G2 Ampok PVOH (%) (%) 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 Agar (%) SA (%) NaOH (%) Gliserol (%) Air (%) 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0 0 5 5 10 10 0 0 5 5 10 10 41,5 41,5 36,5 36,5 31,5 31,5 41,5 41,5 36,5 36,5 31,5 31,5 Keterangan : PA SA P S G : Pati Asetat : Sizing Agent : Rasio Tapioka:Pati Asetat; P1(4:1) dan P2 (3:2) : Jenis Sizing Agent; S1 (AKD); S2(Carvacrol) : Konsentrasi gliserol; G0(0%); G1(5%) dan G2(10%) 3.5. Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok Sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam Perhitungan nilai tambah dilakukan dengan menggunakan metode Hayami dan Kawagoe (1993) sebagaimana tersaji pada Tabel 4, dimana pengukuran nilai tambah dilakukan dengan menghitung nilai tambah yang diakibatkan oleh adanya proses pengolahan tapioka dan ampok menjadi kemasan biodegradable foam. Selain itu juga dilakukan perhitungan rasio nilai tambah (%), imbalan tenaga kerja (Rp./kg), bagian tenaga kerja (%), tingkat keuntungan (%), marjin keuntungan (Rp/kg) dan pendapatan tenaga kerja (%). 34 Tabel 4. Model Perhitungan Nilai Tambah No Variabel I Output, input dan harga II III Perhitungan 1. Output (kg/produksi) a 2. Bahan baku (kg/produksi) b 3. Tenaga kerja (HOK/produksi) c 4. Faktor konversi (1:2) d = a/b 5. Koefisien tenaga kerja (HOK/kg) e = c/b 6. Harga output (Rp/kg) f 7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) g Pendapatan dan Keuntungan 1. Harga bahan baku (Rp/kg) h 2. Sumbangan input lain (Rp/kg) i 3. Nilai output (Rp/kg) j=dxf 4. Nilai tambah (Rp/kg) k=j–i–h 5. Nisbah nilai tambah (%) l = k/j x 100% 6. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) m=exg 7. Bagian tenaga kerja (%) n = m/k x 100% 8. Keuntungan (Rp/kg) o=k–m 9. Tingkat keuntungan (%) p = o/j x 100% Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi Marjin keuntungan q=j–h - Pendapatan tenaga kerja (%) r = m/q x 100% - Sumbangan input lain (%) s = i/q x 100% - Keuntungan perusahaan (%) t = o/q x 100% Sumber : Hayami dan Kawagoe, 1993 35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Bahan Baku Kemampuan ekspansi suatu produk ditentukan oleh banyak faktor yang merupakan kombinasi antara kondisi proses dan karakteristik bahan baku. Karakteristik bahan baku meliputi komposisi air, pati, lemak, protein, serat serta rasio amilosa terhadap amilopektin akan berpengaruh terhadap aliran dan kekentalan dari pati atau tepung (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Karakteristik bahan baku dilakukan terhadap sifat fisikokimia dari bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini yaitu tapioka, ampok, pati hidrofobik dan pati asetat. Khusus untuk ampok, sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofoam, terlebih dahulu dilakukan pengecilan ukuran hingga 100 mesh. Adapun hasil pengamatan terhadap karakteristik bahan baku tersebut seperti tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Fisiko Kimia Ampok, Tapioka, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Parameter Ampok Tapioka Pati Pati Asetat Hidrofobik Kadar air (% bb) 8,74±0,27 12,33±0,39 5,21±0,21 10,50±0,44 Kadar abu (% bk) 2,71±0,02 0,10±0,01 1,14±0,02 0,17±0,02 Kadar lemak (% bk) 8,90±0,56 0,19±0,03 0,17±0,02 0,13±0,01 Kadar protein (% bk) 11,18±0,22 0,55±0,02 0,24±0,03 0,22±0,04 Kadar pati (% bk) 69,26±1,09 97,89±1,46 97,86±0,88 99,08±0,17 Kadar Serat (% bk) 7,96±0,23 1,27±0,04 0,59±0,02 0,39±0,04 Amilosa (% bk) 25,09±0,42 26,61±0,21 26,20+0,15 30,09±0,31 Daya Serap Air (%) 215,41±5,07 65,81±2,65 13,31±0,84 96,21±4,90 Pemilihan tapioka sebagai bahan baku pembuatan biofoam didasarkan atas beberapa hal yaitu ketersediaannya di pasaran dan harganya yang lebih murah dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Selain itu, tapioka juga memiliki kadar protein, kadar lemak dan kadar amilosa yang lebih rendah dibandingkan pati lainnya sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansinya untuk 36 menghasilkan biofoam. Beberapa peneliti sebelumnya telah berhasil memproduksi kemasan biofoam berbahan baku tapioka yang ditambahkan dengan bahan tambahan lain, baik dengan teknik ekstrusi (Salgado et al., 2008; Mali et al., 2010) maupun dengan thermopressed (Shogren et al., 1998; 2002;Soykeabkaew et al. (2004). Namun demikian, tapioka saja tampaknya belum cukup untuk menghasilkan biofoam yang memiliki karakteristik mendekati styrofoam. Ampok sebagai bahan baku tambahan untuk pembuatan biofoam memiliki kandungan pati pada ampok yang masih tinggi. Pati yang berasal dari serealia umumnya memiliki kemampuan ekspansi yang lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari umbi (Schmidt dan Laurindo, 2010). Namun demikian, pati serealia di Indonesia umumnya lebih mahal serta jumlahnya terbatas sehingga dilakukan pencampuran antara tapioka dengan produk serealia. Selain itu, ampok juga mengandung serat yang berasal dari pericarp serta tipcap yang diharapkan bisa memperkuat matriks polimer yang dihasilkan oleh tapioka. Ampok juga mengandung protein yaitu zein yang cukup tinggi kadar lemak yang cukup tinggi yang berasal dari bagian germ. Penambahan pati hidrofobik dan pati asetat ditujukan untuk meningkatkan sifat hidrofobik biofoam. Menurut beberapa penelitian sebelumnya (Miladinov dan Hanna, 1999; Guan dan Hanna, 2006), sifat hidrofobik biofoam dapat ditingkatlan dengan penggunaan pati termodifikasi. Hasil analisis terhadap komposisi kimia bahan baku menunjukkan bahwa ampok masih mengandung kadar pati sekitar 69,26% dengan kadar amilosa 25,09% dan amilopektin 74,91%. Nilai ini agak berbeda dengan literatur yang dikemukakan oleh Sharma et al (2007), yaitu kadar pati pada ampok sebesar 57%. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ukuran ampok yang digunakan. Pada penelitian ini, ampok yang digunakan adalah yang berukuran 100 mesh sehingga komponen yang lebih dominan adalah bagian endosperm, sementara bagian lain seperti pericarp dan tipcap yang lebih banyak mengandung serat tidak bisa melewati saringan 100 mesh tersebut. Hal ini juga terlihat pada rendahnya kadar serat ampok yang hanya berkisar 7,96% bila dibandingkan dengan hasil penelitian Sharma et al. (2007) yang berkisar 25%. 37 Jagung, bila dilihat dari kandungan amilosanya terbagi atas beberapa jenis yaitu normal, amilosa tinggi dan jenis waxy atau pulut. Jagung yang digunakan pada penelitian ini tergolong jenis normal karena memiliki amilosa sekitar 25% yang berarti memiliki amilopektin sekitar 75%. Jagung jenis normal mengandung 74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa, sementara jenis waxy mengandung 99% amilopektin, jenis amilomaize mengandung 20% amilopektin atau 40-70%amilosa, dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa di samping pati (Richana dan Suarni, 2009). Tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat memiliki kadar pati dan amilosa yang tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan karena bahan baku pati hidrofobik maupun pati asetat adalah tapioka yang sudah mengalami modifikasi. Diantara ketiga jenis sumber pati ini, pati asetat memiliki kadar pati serta rasio amilosa:amilopektin tertinggi diikuti tapioka dan pati hidrofobik. Kadar pati berperan terhadap kemampuan dihasilkan ekspansi dari produk yang disamping rasio amilosa:amilopektin. Menurut hasil penelitian Fritz (1994), amilosa akan berekspansi secara maksimal pada suhu 2250C sementara amilopektin pada suhu 1350C. Dengan demikian pati dengan kadar amilosa tinggi membutuhkan suhu proses yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati yang mengandung amilopektin tinggi. Selain itu, amilosa cenderung mengembang secara longitudinal atau memanjang sementara amilopektin akan mengembang secara radial sehingga produknya cenderung memiliki diameter yang lebih besar. Biofoam yang dihasilkan oleh bahan baku pati dengan kadar amilopektin tinggi memiliki poripori yang lebih kecil serta densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan biofoam yang menggunakan bahan baku pati dengan kadar amilosa tinggi. Kadar amilosa yang tinggi juga cenderung kurang mengembang dan kaku, namun memiliki sensitivitas terhadap air yang lebih rendah. Selain kadar pati serta rasio amilosa dan amilopektin, parameter lain yang juga penting diperhatikan adalah kadar air bahan karena kadar air yang ada pada bahan baku akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi produk biofoam yang dihasilkan. Air dapat berfungsi sebagai blowing agent ataupun juga sebagai plastisizer pada pembuatan biofoam. Saat proses pemanasan, air yang ada pada adonan akan mendidih dan menjadi uap yang kemudian mendorong pati untuk 38 mengembang serta menghasilkan struktur yang berongga (Sjoqvist and Gatenholm, 2007). Namun demikian, bila peningkatan kadar air selama proses ekspansi terlalu besar maka dapat mengurangi kemampuan ekspansi radial (Singh et al., 2007) maupun ekspansi volumetriknya (Alvarez-Martinez et al., 1988) serta meningkatkan densitas dari ekstrudat (Lin et al., 2000). Air juga dapat berfungsi sebagai plastisizer selama proses termoplastisasi pati dan akan berpengaruh terhadap sifat mekanis dari biofoam yang dihasilkan. Hasil pengukuran terhadap kadar air ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat menunjukkan bahwa ampok jagung dan pati hidrofobik memiliki kadar air yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tapioka dan pati asetat. Nilai kadar air ampok masih berada di bawah SNI yaitu maksimal 10%, sedang untuk tapioka ternyata melebihi standar yang ditetapkan. Kadar air yang terdapat di dalam bahan berpati ditentukan oleh kondisi proses pengeringan pati. Besaran kadar air ini akan sangat menentukan mutu pati yang dihasilkan. Apabila pengeringan pati tidak dilakukan secara optimal, makakadar air yang tinggi dapat memicu tumbuhnya jamur yang akan mempercepat kerusakan pati. Proses pengecilan ukuran yang dilakukan pada ampok diawali dengan pengeringan bahan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penggumpalan pada saat penggilingan karena masih pengaruh kadar lemak serta kadar air yang tinggi ada ampok. Hal ini sejalan dengan penelitian Azudin dan Noor (1992), yang menyatakan bahwa kadar air yang berlebihan akan menyebabkan pati teraglomerasi sehingga akan berpengaruh terhadap stabilitasnya selama penyimpanan. Sementara itu, pati hidrofobik memiliki kadar air yang terendah dibandingkan ketiga jenis pati lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena granula pati tersebut diselubungi oleh bahan hidrofobik sehingga air sulit menembus ke dalam granulanya. Perbedaan kadar air yang terkandung pada ampok, tapioka serta bahan lainnya membutuhkan penyeragaman pada saat formulasi adonan dilakukan. Dalam pembuatan biofoam, pengetahuan mengenai kadar air masing-masing bahan akan menentukan jumlah air yang harus ditambahkan agar dapat dihasilkan biofoam yang memiliki sifat fisik dan kimia yang baik. Penambahan air perlu dilakukan mengingat kadar air pada ampok maupun tapioka yang sekitar 5-12% masih terlalu 39 rendah untuk dapat membantu proses ekspansi. Menurut penelitian Cinelli et al. (2006), total padatan pada adonan pembuatan biofoam berkisar 30% sehingga untuk mencapai kondisi tersebut harus dilakukan penambahan air sesuai dengan proporsi bahan baku yang digunakan. Sementara peneliti lain menyebutkan total padatan pada adonan untuk pembuatan foam berkisar 60-70% (Poovarodom, 2006). Perbedaan ini akan berpengaruh terhadap bentuk serta karakteristik produk biofoam yang dihasilkan. Komponen lain yang berperan penting dalam mempengaruhi sifat fisik dan mekanis produk biofoam adalah kadar serat. Menurut Lee (2009), penambahan serat berpotensi memberikan perbaikan pada sifat mekanis pada produk pati termoplastik. Penambahan serat sebagai bahan pengisi pada pembuatan biofoam dapat meningkatkan fleksibilitas dan kekuatannya (Andersen dan Hodson, 1996). Penambahan serat juga dapat meningkatkan sifat hidrofobik seperti yang dilaporkan oleh Lawton et al. (2004); Guan dan Hanna (2006); Salgado et al. (2008) dan (Benezet et al. (2011). Selain memberikan dampak positif, penambahan serat ternyata dapat berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam. Menurut Guy dan Horne (1988), penambahan serat yang berasal dari kulit ari gandum (wheat bran) menyebabkan proses ekspansi akan terhenti lebih awal dan menghasilkan foam yang lebih padat. Hasil analisa kadar serat menunjukkan bahwa ampok memiliki kadar serat tertinggi (7,96%) diikuti tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat. Menurut penelitian Salgado et al. (2008), penambahan serat yang optimal pada pembuatan biofoam dengan bahan baku tapioka adalah 20%, sedangkan jumlah protein yang ditambahkan maksimal 10%. Kadar protein dan kadar lemak bahan baku juga merupakan parameter penting yang turut berpengaruh terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan. Protein yang merupakan polimer alami diharapkan dapat membantu memperkuat matriks polimer yang dihasilkan oleh pati. Namun demikian, menurut Poovarodom (2006), kadar protein bahan yang terlalu tinggi (>5%) akan menyebabkan produk biofoam yang dihasilkan tidak terbentuk sempurna karena protein akan terdenaturasi pada suhu tinggi menyebabkan kerak yang akan membuat biofoam 40 sulit dilepaskan dari cetakan. Adapun hasil pengukuran terhadap kadar protein menunjukkan bahwa kadar protein ampok cukup tinggi yaitu 11,18% sangat jauh bila dibandingkan ketiga jenis pati lainnya. Dengan demikian, penggunaan ampok harus dibatasi tidak melebihi 50% supaya kadar proteinnya tidak lebih besar dari 5%. Sementara itu, pengukuran terhadap kadar lemak juga menunjukkan bahwa kadar lemak ampok cukup tinggi sebesar 8,90%. Kadar lemak yang tinggi dapat berdampak positif karena lemak dapat berfungsi sebagai lubricant yang dapat membantu memudahkan pelepasan biofoam dari cetakan. Namun demikian, kadar lemak yang tinggi juga dapat menyebabkan produk mudah terhidrolisis hingga menjadi tengik. Penambahan lemak maupun turunannya seperti monogliserida, trigliserida juga dapat berfungsi sebagai plastisizer (Poovarodom, 2006). Lemak yang bersifat hidrofobik juga dapat meningkatkan hidrofobisitas dari biofoam. Dengan demikian adanya kandungan lemak diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik dan mekanis dari biofoam. Selain analisis terhadap komponen kimia bahan baku, pengamatan terhadap sifat fisik juga turut berperan terhadap karakteristik biofoam diantaranya daya serap air (DSA). Pengukuran DSA dilakukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah air yang dapat diserap oleh bahan selama selang waktu tertentu. Hasil analisa sebagaimana terdapat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ampok memiliki daya serap air yang paling tinggi yaitu 215,41%, sedangkan yang terendah adalah pati hidrofobik dengan nilai 13,31%. Tingginya daya serap air pada ampok disebabkan karena sebagian besar serat yang ada pada ampok berasal dari golongan hemiselulosa. Menurut Madsen (2004), hemiselulosa merupakan bagian dari dinding sel tanaman yang paling banyak menyerap air. Hal ini disebabkan karena hemiselulosa memiliki daerah amorf yang lebih besar dibandingkan dengan selulosa ( Westman et al., 2010). Pati alami yang belum mengalami gelatinisasi umumnya memiliki sifat semi kristalin dimana amilosa dan percabangan amilopektin memiliki sifat amorf, sementara rantai lurus amilopektin memiliki sifat kristalin. Dengan demikian, 41 semakin tinggi rasio amilosa maka sifat amorfnya semakin besar yang berakibat pada peningkatan sifat hidrofilik. Hal ini menjelaskan mengapa pati asetat memiliki daya serap air yang lebih besar dibandingkan tapioka walaupun gugus hidroksilnya sebagian sudah digantikan dengan gugus asetil. Sementara untuk pati hidrofobik, lapisan atau coating yang menutupi permukaan granula pati menyebabkan air sulit masuk sehingga daya serap airnya juga sangat rendah. Parameter daya serap air menjadi hal yang penting diperhatikan pada pembuatan biofoam agar adonan tersebut memiliki tingkat viskositas yang tepat untuk mendukung proses ekspansi. Komposisi kimia khususnya kadar pati, rasio amilosa-amilopektin serta kadar air berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam, sementara kadar serat, kadar lemak serta rasio amilosa akan berpengaruh terhadap daya serap air. Kadar serat serta protein juga akan berpengaruh terhadap sifat mekanis produk biofoam yang dihasilkan. Ampok memiliki kadar serat, protein dan lemak tertinggi dibandingkan bahan lain sehingga diharapkan akan meningkatkan kekuatan mekanis produk biofoam. Sementara, penambahan tapioka yang memiliki kadar pati tinggi diharapkan akan meningkatkan kemampuan ekspansinya. Penambahan pati hidrofobik diharapkan dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam karena pati hidrofobik memiliki daya serap air yang sangat rendah. Karakterisasi bahan baku tidak hanya melihat pada komposisi kimianya tetapi juga beberapa sifat lain seperti sifat viskoamilograf. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap perubahan karakteristik pati. Pati dengan kadar air tertentu bila dipanaskan akan mengalami proses gelatinisasi yang diawali dengan penyerapan air ke dalam granula pati sehingga terjadi peningkatan viskositas. Selanjutnya dengan bertambahnya panas maka granula pati tersebut akan pecah hingga sebagian amilosa yang ada akan keluar. Tahapan selanjutnya bila larutan tersebut didinginkan kembali maka akan terjadi proses retrogradasi. Viskositas larutan pati setelah proses akan berbeda-beda, ada yang akan menjadi lebih kental, ada yg tetap dan ada juga yang menjadi lebih cair (Eliasson and Gudmundsson, 1996). Selama proses gelatinisasi terutama saat pembengkakan granula pati serta proses keluarnya amilosa (leaching), akan berpengaruh terhadap 42 perubahan reologi dari larutan pati. Untuk mengamati semua perubahan tersebut maka dilakukan analisis dengan menggunakan amilograph atau viscograph. Adapun hasil analisis profil viskoamilograf pada masing-masing bahan baku seperti tersaji pada Gambar 4 dan Tabel 6. Viskositas puncak diperoleh saat granula pati mengalami pembengkakan secara penuh sehingga saling melekat satu sama lain. Sementara itu, viskositas breakdown diperoleh dari nilai viskositas puncak dikurangi viskositas terendah yang dicapai pada saat pemanasan. Selanjutnya nilai viskositas setback diperoleh dari selisih nilai viskositas minimal dengan viskositas akhir (Thomas dan Atwell, 1999). 1800 1600 Viskositas (BU) 1400 1200 1000 Tapioka 800 Ampok 600 Pati Hidrofobik 400 Pati Asetat 200 0 -200 0 20 40 60 Waktu (menit) Gambar 4. Profil Viskoamilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Tabel 6. Karakteristik Amilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Parameter Suhu Gelatinisasi (0C) Suhu Puncak (0C) Viskositas Maksimum (BU) Breakdown Viskositas (BU) Setback Viskositas (BU) Final Viskositas (BU) Ampok Tapioka 93 0 30 +30 67,5 76,5 1550 1080 500 +500 Pati Hidrofobik 72 78 170 160 10 -10 Pati Asetat 60 72 590 90 460 +420 43 Bila kita membandingkan hasil yang diperoleh terhadap sifat viskoamilograf pada tapioka, ampok dan pati hidrofobik maupun pati asetat terlihat bahwa komposisi kimia dari masing-masing bahan baku sangat berpengaruh terhadap sifat viskoamilografnya. Hal ini jelas terlihat pada ampok yang memiliki kadar pati terendah sedang kadar protein dan lemaknya paling tinggi dibandingkan pati lainnya. Kadar protein dan lemak yang tinggi pada ampok menyebabkan suhu gelatinisasinya lebih tinggi dibandingkan ke tiga jenis pati lainnya. Hal ini disebakan karena granula pati tertutup oleh protein dan lemak sehingga air sulit meresap ke dalam granula pati sehingga menyebabkan proses gelatinisasi juga terhambat. Selain itu, tingginya kadar serat juga menyebabkan sebagian besar air yang ditambahkan diserap oleh serat sehingga jumlah air yang meresap pada granula pati juga berkurang Dengan berkurangnya jumlah air yang menyerap pada granula pati maka proses gelatinisasi menjadi terhambat. Akibatnya proses yang mengikuti terjadinya proses gelatinisasi seperti peningkatan viskositas tidak terjadi. Hal ini sejalan dengan penelitian Tester dan Morrison (1990) serta Vandeputte et al.(2003) yang menyebutkan bahwa adanya protein dan lemak dapat menghambat proses penetrasi air ke dalam granula pati sehingga berpengaruh terhadap profil viskoamilograf dari pati. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis korelasi antara komposisi kimia bahan dengan suhu gelatinisasinya. Semua parameter komposisi kimia seperti kadar pati, protein, lemak dan serat berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi, khusus untuk kadar pati, korelasinya negatif. Dengan demikian, semakin tinggi kadar pati maka suhu gelatinisasinya cenderung berkurang. Sementara, semakin tinggi kadar protein, lemak maupun serat maka suhu gelatinisasinya akan bertambah. Nilai korelasi antara komponen kimia bahan baku dengan profil viskoelastisitasnya khususnya suhu gelatinisasi seperti tersaji pada Tabel 7. Sementara itu, baik pati hidrofobik dan pati asetat yang merupakan pati modifikasi sebenarnya juga menggunakan tapioka sebagai bahan bakunya sehingga sebagian besar komposisi kimianya mirip dengan tapioka. Namun demikian, viskoamilograf pati hidrofobik sangat berbeda bila dibandingkan dengan tapioka maupun pati asetat seperti pada Gambar 4. Proses pembuatan pati hidrofobik dilakukan dengan melapisi permukaan granula pati dengan bahan yang bersifat 44 hidrofobik sehingga air sulit masuk ke dalam granula pati tersebut. Akibatnya proses gelatinisasi akan terhambat sehingga fenomena seperti swelling, peningkatan viskositas maupun leaching, tidak terjadi seperti pada tapioka. Tabel 7. Korelasi antara Komposisi Kimia dengan Suhu Gelatinisasi Parameter Nilai Korelasi Kadar Protein VS Suhu gelatinisasi 0,938 Kadar Lemak VS Suhu gelatinisasi 0.938 Kadar Pati VS Suhu gelatinisasi -0,949 Kadar Serat VS Suhu gelatinisasi 0,944 Profil viskoamilograf dari pati asetat hampir menyerupai tapioka, namun viskositas puncak yang dicapai lebih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian, tingkat hidrofobisitasnya sangat dipengaruhi oleh nilai DS nya, semakin tinggi nilai DS maka hidrofobisitasnya akan meningkat. Adapun pati asetat yang digunakan pada penelitian ini adalah yang memiliki nilai Derajat Substitusi (DS) = 0,3 sehingga peluang air masuk ke dalam granula pati asetat masih memungkinkan dan proses gelatinisasi masih dapat berlangsung. Menurut Guan et al.(2004)., pati hasil proses esterifikasi dengan nilai DS >1 akan memiliki sifat hidrofobik karena gugus hidroksilnya yang bersifat hidrofilik digantikan dengan gugus asetil yang bersifat hidrofobik Pati bila dipanaskan dengan kondisi air berlebih akan mengalami perubahan yang bersifat irreversible sehingga berakibat pada hilangnya sifat birefringent dan hilangnya sifat kristalin. Pada kondisi ini, granula pati akan membengkak dan lebih banyak menyerap air, hal ini akan berpengaruh terhadap sifat reologinya. Tapioka sendiri bila dipanaskan akan mencapai viskositas maksimal pada suhu sekitar 75,50C. Namun bila dipanaskan terus hingga 930C, viskositasnya justru akan menurun karena terjadinya proses leaching amilosa. Selanjutnya pada saat proses pendinginan, viskositas tapioka cenderung meningkat kembali dan kembali turun pada saat setback karena proses retrogradasi. Kondisi ini akan berpengaruh pada kondisi proses yang dibutuhkan serta karakteristik produk yang dihasilkan. 45 Sementara itu, ampok bila dipanaskan tidak memiliki suhu puncak dan viskositasnya cenderung stabil selama analisis amilograf. Kenaikan viskositas hanya terjadi dalam jumlah kecil pada saat pendinginan. Kondisi serupa juga terdapat pada pati hidrofobik. Diduga hal ini karena terhambatnya penyerapan air ke dalam granula pati sehingga proses gelatinisasi terhambat. Peningkatan viskositas selama proses pemanasan akan berpengaruh terhadap besarnya gesekan atau shear yang terjadi. Semakin besar gesekan yang terjadi maka ekspansi dari pati tersebut juga akan semakin tinggi (Chaisawang dan Suphantharika, 2006). Hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi tapioka yang lebih besar dibandingkan dengan ampok maupun pati hidrofobik. Semakin banyak proporsi tapioka yang digunakan diharapkan kemampuan ekspansi biofoam juga semakin besar sehingga densitasnya juga akan berkurang. Selain pengukuran terhadap viskoamilograf dari masing-masing bahan baku, dilakukan pula analisis sifat termal untuk mengetahui titik transisi gelas dan titik leleh dari masing-masing bahan. Pengukuran dilakuan dengan menggunakan Differential Scanning Colorymeter (DSC). Perilaku termal pada pati sebenarnya lebih kompleks dibandingkan dengan bahan termoplastik konvensional seperti polietilen karena beragamnya perubahan fisik dan kimia yang terjadi selama proses pemanasan. Proses tersebut meliputi gelatinisasi, pelelehan, transisi gelas, kristalisasi, peningkatan volume, degradasi molekul dan pergerakan air (Yu dan Christie, 2001). Pengamatan terhadap sifat termal bahan baku pembuatan biofoam meliputi titk transisi gelas (Tg) dan titik leleh (Tm) dengan hasil seperti tersaji pada Tabel 8. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ampok memiliki 2 titik transisi gelas yaitu 24,130C dan 54,460C. Adanya 2 titik transisi gelas ini menunjukkan bahwa ampok merupakan senyawa kompleks yang terdiri dari beberapa bahan yang memiliki titik transisi gelas yang berbeda. Ampok umumnya terdiri dari sebagian besar pati dan serat yang masing-masing memiliki titik transisi gelas yang berbeda. Tapioka sendiri memiliki titik transisi gelas 61,150C, sementara literatur menyebutkan titik transisi gelas tapioka berada di kisaran 60-700C (Breuninger et al., 2009). Pati asetat memiliki titik transisi gelas 56,820C, lebih rendah dibandingkan dengan 46 bahan bakunya yaitu tapioka. Hal ini disebabkan karena proses modifikasi dengan menggantikan gugus hidroksil dengan asetil menyebabkan struktur granula menjadi tidak stabil sehingga mempercepat proses swelling dan menurunkan suhu gelatinisasi (Singh et al., 2004). Sementara itu untuk pati hidrofobik, titik transisi gelasnya tidak dapat terdeteksi dengan pengukuran menggunakan DSC. Tabel 8. Titik Transisi gelas (Tg) dan Titik Leleh (Tm) dari Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Titik Transisi gelas (0C) Bahan Titik Leleh (0C) Ampok 24,13 dan 54,46 146,60 Tapioka 61,15 102,95 Tidak terdeteksi 148,67 56,82 94,78 Pati Hidrofobik Pati Asetat Selain mengukur titik transisi gelas, pengukuran menggunakan DSC juga dapat menentukan titik leleh maupun entalpi yang dibutuhkan atau dilepaskan selama proses pemanasan. Semakin kompleks senyawa yang diukur maka besaran entalpinya juga akan semakin besar karena semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk proses degradasi bahan tersebut. Adapun hasil pengukuran terhadap titik leleh ampok berada pada 145,60C, tapioka di kisaran 102,950C sementara pati hidrofobik di suhu 148,570C. Tingginya titik leleh ampok disebabkan tingginya bahan non pati seperti serat, protein dan lemak yang berpengaruh terhadap proses melting. Sementara itu, pati hidrofobik memiliki lapisan coating pada permukaannya yang dapat menghambat proses melting sehingga titik lelehnya juga lebih tinggi dibandingkan tapioka. Pati asetat memiliki Tm terendah dibandingkan sumber pati lainnya yaitu 94,780C. Hal tersebut disebabkan karena adanya gugus asetil yang dapat meningkatkan kemampuan swelling serta kelarutan pati yang berdampak pada penurunan suhu Tg dan juga Tm ( Singh et al., 2004) . Hasil pengukuran sifat termal dengan menggunakan DSC menunjukkan bahwa bahan baku pembuatan biofoam yang mengandung pati akan menghasilkan proses endotermis dengan selang suhu yang cukup lebar seperti tersaji pada Gambar 5, 6, 7, dan 8. Proses endotermis tersebut menunjukkan terjadinya 47 pelepasan energi yang kemungkinan besar merupakan proses melting dari bahan berpati tersebut. Dengan mengetahui sifat termal dari bahan baku maka kondisi proses pembuatan biofoam dapat ditentukan. Pati asetat memiliki titik leleh terendah sebesar 94,780 C sementara pati hidrofobik memiliki titik leleh yang paling tinggi sebesar 148,670 C. Dengan mempertimbangkan titik leleh pada masing-masing bahan serta titik leleh dari PVOH yang sebesar 1480C, maka suhu proses yang digunakan untuk pembuatan biofoam harus lebih besar dari 148,670 C agar semua bahan tersebut sudah meleleh sehingga bisa tercampur dengan baik. Gambar 5. Profil DSC Ampok Gambar 6. Profil DSC Tapioka 48 Gambar 7. Profil DSC Pati Hidrofobik Gambar 8. Profil DSC Pati Asetat Karakteristik bahan baku lainnya yang diamati adalah bentuk dan ukuran dari granula pati. Pengamatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan Polarized Microscope untuk melihat sifat birefringent yang ada pada granula pati tersebut sehingga dapat ditentukan apakah proses gelatinisasi sudah terjadi atau belum. Selain itu juga dilakukan pengamatan dengan menggunakan Scanning Electrone Microscope untuk melihat secara lebih detail ukuran dan bentuk granula, struktur dan tekstur dari permukaan sampel. Adapun hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. 49 (a) Ampok (b) Tapioka Gambar 9. Penampakan Sifat Birefringent pada Ampok dan Tapioka Hasil analisa dengan menggunakan polarized microscope menunjukkan bahwa ampok masih memilliki kandungan pati yang cukup tinggi, yang ditandai dengan masih banyaknya granula berwarna biru kuning yang meruppakan ciri sifat birefringent. Namun demikian bila diamati. Sebagian dari granula tersebut sudah pecah dan tidak utuh lagi, diduga hal tersebut disebabkan karena proses pengeringan bahan yang bertujuan untuk pengecilan ukuran. Selain granula pati yang terlihat jelas dengan warnanya yang biru kuning, terlihat juga beberapa bentuk tidak beraturan yang diduga merupakan serat. Granula tapioka tampak lebih jelas bentuk dan warnanya dibandingkan ampok. Granula tapioka memiliki bentuk bulat dengan perbedaan warna kuning biru yang tegas yang menunjukkan bahwa tapioka tersebut belum mengalami modifikasi, ataupun mengalami gelatinisasi. Pengamatan menggunakan SEM tidak hanya memberi gambaran bentuk ataupun struktur morfologi dari bahan baku tetapi juga ukurannya. Gambar 10 dan 11 menggambarkan bentuk dari granula ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat, sementara Tabel 9 memberikan informasi mengenai ukuran dari granula pati tersebut. Adapun hasil seperti yang terlihat pada Gambar 10 menunjukkan adanya perbedaan bentuk dari struktur morfologi permukaan bahan baku yang digunakan. 50 Ampok (Perbesaran 50X) Ampok (Perbesaran 500X) Tapioka (Perbesaran 50X) Tapioka (Perbesaran 500X) Pati Hidrofobik (Perbesaran 50X) Pati Hidrofobik (Perbesaran 500X) Pati Asetat (Perbesaran 50X) Pati Asetat (Perbesaran 500X) Gambar 10. Hasil SEM Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat 51 Tabel 9. Ukuran dan Bentuk Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Jenis Pati Ukuran Granula 12,06 µm 16,29 µm 21,67 µm 22,53 µm Ampok Tapioka Pati Hidrofobik Pati Modifikasi *Sumber : Blanchard (1987) Literatur* Bentuk Granula Literatur* 5-25 µm 5-35 µm Tidak beraturan Bulat Bulat Bulat Poly hedric Semi spherical Granula tapioka umumnya berbentuk bulat, sementara granula jagung umumnya berbentuk agak persegi. Pati hidrofobik dan pati asetat yang bahan bakunya menggunakan tapioka juga memiliki bentuk granula yang bulat walaupun pada sebagian sisinya ada yang sudah tidak mulus lagi. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh proses coating atau asetilasi dalam proses pembuatannya. Proses pembuatan pati hidrofobik yang menggunakan teknik pelapisan dengan bahan hidrofobik membuat hasil SEM granula pati hidrofobik seperti diselubungi oleh lapisan tipis. Sebagian granula patinya ada yang sudah tidak bulat lagi seperti terpecah, karena pengaruh panas maupun bahan kimia yang digunakan untuk melapisi pati tersebut agar bersifat hidrofobik. Sementara itu, hasil SEM pati asetat menunjukkan adanya pendar sinar pada granula pati yang kemungkinan besar disebabkan oleh senyawa asetil yang terikat pada molekul pati. Adapun hasil SEM pada ampok menunjukkan adanya bentuk yang bervariasi, sebagian bulat dan sebagian lagi tidak beraturan. Pada beberapa bagian tampak ada yang menggumpal serta serpihan serat terlihat cukup jelas diantara granula pati. Proses pemanasan pada saat pengecilan ukuran tampaknya menjadi penyebab sebagian granula pati yang ada pada ampok mengalami deformasi dan permukaannya menjadi kasar yang menyebabkan satu sama lain saling menempel. Sementara itu pada Gambar 11 dengan perbesaran 1000 X, terlihat bahwa serat yang ada pada ampok berbentuk memanjang dan dikelilingi oleh beberapa granula pati. 52 Gambar 11. Penampakan Serat pada Ampok Hasil SEM dengan Perbesaran 1000X Dari beberapa parameter yang diamati untuk mengetahui karakteristik bahan baku terlihat bahwa komposisi kimia bahan baku berpengaruh terhadap terjadinya proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi ini sendiri nantinya akan mempengaruhi reologi adonan selama proses pencampuran antara pati, serat serta polimer sintetis yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam dan selanjutnya berpengaruh terhadap karakteristik biofoam khususnya densitas, daya serap air, maupun kuat tekan pada produk biofoam. Semakin besar kemampuan ekspansi maka densitas umumnya semakin rendah, namun demikian porositas akan meningkat yang berakibat pada meningkatnya daya serap air serta menurunnya kuat tekan. Ampok yang memiliki kandungan serat, protein dan lemak yang cukup tinggi memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi. Selain itu, ampok juga memiliki kandungan serat yang tinggi yang berpengaruh terhadap viskositas adonan, sehingga semakin banyak ampok yang ditambahkan maka kemampuan ekspansi akan berkurang yang berdampak pada peningkatan densitas. Penambahan tapioka yang memiliki kadar pati yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kemampuan ekspansi. Sementara itu penambahan pati hidrofobik yang memiliki daya serap air sangat rendah dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam yang dihasilkan. Hasil pengamatan terhadap sifat termal menunjukkan bahwa melting point ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat berkisar 94-1490C yang berarti kondisi proses pembuatan biofoam sebaiknya di atas 1500C agar semua bahan bisa tercampur sempurna selama proses pencetakan biofoam. 53 4.2. Pengembangan Produk Biofoam 4.2.1. Penentuan Kondisi Proses Pengembangan produk biofoam berbahan baku pati diawali dengan menentukan jenis biofoam yang akan dikerjakan. Pada tahap awal ini, berbagai metode pembuatan biofoam dilakukan antara lain dengan metode ekstrusi, thermopressing, microwave assisted moulding dan melalui proses termoplastisasi. Proses pembuatan biofoam tersebut dilakukan dengan mencampurkan tapioka, ampok, dan PVOH dengan penambahan air dalam jumlah tertentu. Hasil penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa adanya potensi untuk pengembangan kemasan ramah lingkungan sebagai pengganti styrofoam. Adapun bentuk dari masing-masing jenis biofoam seperti tersaji pada Gambar 12. (a) Ekstrusi (b) Termoplastisasi (c) Termoplastisasi dan Microwave (d) Thermopressing Gambar 12. Aneka Bentuk Produk Biofoam yang Dihasilkan dari Berbagai Proses Dari beberapa jenis biofoam tersebut tampaknya biofoam dengan teknologi thermopressing yang paling potensial digunakan sebagai kemasan alternatif untuk wadah produk pangan sekali pakai. Hal ini disebabkan karena pada penggunaan teknologi thermopressing, bentuk dan ukuran biofoam dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu, proses termoplastisasi yang biasa digunakan pada pembuatan bioplastik ternyata tidak dapat diterapkan pada pembuatan biofoam 54 karena proses foaming akan terhambat. Oleh karena itu, pada tahapan penelitian selanjutnya diputuskan bahwa teknologi yang digunakan adalah thermopressing. Setelah ditentukan bahwa teknologi yang digunakan adalah menggunakan teknik thermopressing, selanjutnya dilakukan penelitian untuk menentukan kondisi prosesnya. Adapun peralatan thermopressing yang digunakan adalah hasil gabungan dari hydraulic press yang bagian ujungnya diberi cetakan berbentuk tray. Alat ini memiliki kontrol suhu namun tidak memiliki kontrol tekanan maupun waktu. Pengukuran waktu dilakukan secara manual dan tekanan yang diberikan setara dengan bobot dari cetakan yang mencapai 5 kg. Penentuan kondisi proses pencetakan dilakukan dengan berdasarkan sifat termal bahan baku yang diperoleh pada tahap karakterisasi bahan baku. Pada tahapan tersebut diperoleh melting point dari bahan baku umumnya berada di kisaran 95-1500C, sedangkan melting point dari PVOH berkisar 1380C. Oleh karena itu, penentuan suhu proses dilakukan pada suhu antara 140-1800C. Pengamatan pada tahapan ini dilakukan secara visual dengan melihat kondisi serta warna dari biofoam yang dihasilkan. Adapun hasil pengamatan tersebut seperti tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Pengaruh Suhu Proses terhadap Penampakan Visual Biofoam Suhu Proses (0C) Penampakan Visual Biofoam 140 150 160 170 180 Warna putih, tekstur agak lunak Warna putih kecoklatan, tekstur agak keras Warna kuning kecoklatan, tekstur cukup keras Warna kuning kecoklatan, tekstur keras Warna kecoklatan, tekstur keras Pada Tabel 10 terlihat bahwa semakin tinggi suhu proses maka warna biofoam yang dihasilkan semakin gelap. Hal ini disebabkan karena terjadinya proses denaturasi protein ataupun karamelisasi gula karena panas yang terlalu tinggi (Poovarodom, 2006), khususnya pada bahan dengan kadar protein tinggi seperti ampok. Pada suhu proses yang lebih rendah, biofoam yang dihasilkan berwarna putih kekuningan, namun memiliki kadar air yang cukup tinggi. Selain itu, suhu rendah menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk proses pencetakan dan pengeringan juga menjadi lebih lama serta belum semua bahan lumer sehingga 55 proses pencampuran tidak berjalan sempurna dan akan menghambat proses foaming. Kondisi suhu terbaik untuk pembuatan biofoam adalah sekitar 1700C dengan lama proses 2,5 hingga 3 menit bergantung pada komposisi adonan. Penentuan lama waktu proses ditentukan oleh kadar air campuran dan juga suhu proses. Semakin tinggi kadar air adonan maka waktu yang diperlukan juga semakin lama. Selain itu, penambahan rasio ampok juga berpengaruh terhadap lamanya waktu proses. Hal ini disebabkan karena daya serap air pada ampok yang lebih besar dibandingkan tapioka (Tabel 5) sehingga jumlah air yang ditambahkan pada adonan juga lebih besar untuk mencapai viskositas tertentu. Semakin tinggi suhu proses yang digunakan maka waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan juga semakin cepat. Namun demikian suhu yang terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap terjadinya burned effect. Setelah diperoleh suhu proses selanjutnya juga dilakukan penelitian untuk menentukan jumlah adonan yang harus dimasukkan ke dalam cetakan. Apabila adonan terlalu sedikit maka biofoam tidak akan terbentuk dengan sempurna seperti tersaji pada Gambar 13a. Namun bila adonan terlalu banyak, maka akan menyebabkan tekanan di dalam cetakan terlalu besar sehingga biofoam akan mengalami ekspansi secara maksimal dan akhirnya retak atau pecah sehingga produk biofoam tidak terbentuk (Gambar 13b). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Lawton et al., (2004). Untuk mengisi cetakan berukuran 10 x 6 x 1 cm dengan ketebalan 2 cm dibutuhkan volume adonan sekitar 60 g. Semakin banyak ampok yang ditambahkan maka volume yang ditambahkan juga meningkat karena kemampuan ekspansi adonan berkurang dengan adanya serat (Cinelli et al., 2006). (a) Volume adonan < 60 g (b) Volume adonan > 60 g Gambar 13. Pengaruh Jumlah Adonan terhadap Penampakan Biofoam 56 Kondisi proses lainnya yang juga harus diperhatikan adalah kadar air adonan. Adonan untuk pembuatan biofoam harus memiliki karakteristik aliran tertentu yang dapat mencegah terjadinya pengempesan dini gelembung uap air pada saat proses foaming. Kadar air yang terlalu rendah akan menghasilkan produk biofoam dengan densitas yang tinggi karena proses ekspansi terhambat karena uap air yang dibutuhkan untuk pembentukan foam juga terbatas. Sebaliknya, kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan tekanan yang terlalu tinggi sehingga foam tidak terbentuk. Kadar air yang tinggi juga menyebabkan sifat aliran adonan menjadi terlalu encer sehingga tidak sesuai untuk proses pembentukan foam (Cinelli et al., 2006; Shogren et al., 1998). Dari beberapa penelitian pendahuluan untuk penentuan kondisi proses ideal pembuatan biofoam diperoleh suhu proses 1700C dengan lama waktu proses 2,5-3 menit. Volume adonan yang digunakan sekitar 60 g disesuaikan dengan komposisi bahan. Adapun tahapan selanjutnya adalah penentuan komposisi optimum pembuatan biofoam secara bertahap, untuk mengetahui pengaruh dari masingmasing bahan terhadap karakteristik biofoam. 4.2.2. Pengaruh Penambahan Ampok sebagai Sumber Serat Terhadap Karakteristik Biofoam Proses pembuatan biofoam umumnya dilakukan dengan menggunakan pati sebagai bahan baku utamanya. Namun demikian untuk memperbaiki kelemahannya, dilakukan penambahan berbagai aditif seperti serat, lemak, protein, polimer sintetik, plastisizer, bahan pengikat (binder), anti lengket (demolding agent), nucleating agent, dan cross-linking agent. Pada tahap awal, pembuatan biofoam dilakukan untuk menentukan rasio tapioka dan ampok yang paling optimum, baik tanpa menggunakan tambahan PVOH ataupun yang menggunakan PVOH. Pengamatan dilakukan untuk melihat pengaruh penambahan serat yang ada pada ampok terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Karakteristik yang diamati pada produk biofoam meliputi sifat fisik, mekanis, biodegradabilitas dan sifat termalnya. Pada pengamatan sifat fisik, parameter yang diamati meliputi kadar air, densitas, warna dan daya serap air. Pada 57 parameter kadar air, hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air biofoam berkisar antara 6,21-8,40% (Tabel 11). Nilai ini jauh lebih tinggi dari styrofoam yang kurang dari 1%, namun demikian, nilai yang diperoleh masih lebih rendah bila dibandingkan dengan biofoam yang dihasilkan oleh Salgado et al (2008) yang berkisar 9,74-10,81% dan Kaisangsri et al. (2011) yang berkisar 9,32-9,81%. Perbedaan nilai kadar air ini dapat disebabkan oleh komposisi bahan, proses dan kondisi penyimpanan. Bila dibandingkan dengan styrofoam maka kadar air foam berbasis pati ini jauh lebih tinggi karena produk biofoam memang secara alami bersifat hidrofilik yang berasal dari sifat alami pati yang bersifat higroskopis sehingga akan menyerap kelembaban dari lingkungannya (Glenn dan Hsu, 1997; Soykeabkaew et al., 2004). Dengan penambahan ampok mulai dari 0 hingga 75% dari berat bahan kering adonan, maka jumlah serat yang terkandung pada adonan berkisar 0-6 % karena kadar serat ampok sekitar 8% (Tabel 7). Penambahan konsentrasi ampok tidak hanya meningkatkan kadar serat tetapi juga berarti meningkatkan kadar protein dan lemak yang bersifat lebih hidrofobik dibandingkan pati. Hasil uji statistik seperti tersaji pada Tabel 11 dan Lampiran 2 menunjukkan bahwa peningkatan kadar serat berpengaruh terhadap penurunan kadar air pada kelompok biofoam yang tidak ditambahkan PVOH. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan karena semakin banyak ampok yang ditambahkan berarti semakin tinggi kadar serat yang terkandung dalam adonan pembuatan biofoam. Tabel 11. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Air (%) Biofoam Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH (4:0) (3:1) (2;2) (1:3) 0% 8,01ab 8,40a 7,28ab 6,21b 30% 6,85a 6,29a 6,29a 7,32a Rata-rata Kelompok 7,48 A 6,69 A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok 58 Menurut penelitian Benezet et al. (2011), peningkatan konsentrasi serat dapat mengurangi kadar air biofoam yang dihasilkan. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lawton et al. (2004), Guan dan Hanna (2006), Salgado et al. (2008). Hal sebaliknya, peningkatan rasio tapioka:ampok cenderung meningkatkan kadar air pada kelompok biofoam yang ditambahkan dengan PVOH 30%. Diduga hal tersebut disebabkan karena PVOH juga memiliki gugus hidroksil bebas yang tinggi sehingga akan turut mengikat molekul air yang ada. Akibatnya, molekul air tidak hanya terikat pada pati dan serat tetapi juga pada PVOH ( Sin et al., 2010). Hal ini juga jelas terlihat pada Gambar 14 yang menunjukkan hubungan antara rasio tapioka:ampok serta konsentrasi PVOH terhadap kadar air biofoam. y = -0,088x2 + 0,197x + 8,132 R² = 0,959 9,00 8,00 Kadar Air (%) 7,00 6,00 5,00 y = 0,099x2 - 0,524x + 6,873 R² = 0,985 4,00 PVOH 0% 3,00 PVOH 30% 2,00 Styrofoam 1,00 0,00 0 2 4 6 Kadar Serat (%) Gambar 14. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Kadar air Biofoam Parameter lain yang menjadi hal penting yang menentukan sifat hidrofobisitas bahan adalah daya serap air. Adapun hasil pengamatan terhadap daya serap air seperti tersaji pada Tabel 12 dan Gambar 15, menunjukkan bahwa penambahan ampok hingga 50%, dapat menurunkan daya serap air pada biofoam yang tidak ditambahkan PVOH. Namun, pada biofoam yang ditambahkan dengan PVOH sebesar 30%, peningkatan proporsi ampok ternyata tidak berpengaruh pada penurunan daya serap air (Lampiran 3). 59 Tabel 12. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH 0% 59,48b 40,03a 36,80a 44,71a 45,26B (4:0) (3:1) (2;2) (1:3) Rata-rata Kelompok 30% 35,67a 26,05a 35,39a 30,57a 31,92A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan - Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Penambahan serat mampu meningkatkan kristalinitas dari produk biofoam yang dihasilkan. Diduga, hal ini disebabkan karena serat yang kandungan utamanya selulosa, memiliki daerah kristalin yang lebih besar dibandingkan pati disamping struktur mikrofibril yang lebih rapat sehingga proses penyerapan air akan terhambat dan kondisi ini akan berimbas pada daya serap air produk biofoam yang dihasilkan yang juga akan berkurang (Ban et al., 2006; Yu dan Chen, 2009). Penambahan PVOH sebesar 30% mampu menurunkan daya serap air biofoam hingga 25% pada biofoam yang tidak ditambahkan serat. Namun demikian, penambahan PVOH menjadi tidak berpengaruh terhadap penurunan daya serap air pada biofoam dengan kadar serat yang tinggi. Hal ini disebabkan karena sebagian air yang ditambahkan pada adonan tidak hanya terikat pada PVOH tetapi juga pada serat yang ada. 70,00 Daya Serap Air (%) 60,00 y = 1,709x2 - 12,63x + 59,23 R² = 0,995 50,00 40,00 PVOH 0% 30,00 PVOH 30% y = -0,298x + 32,81 R² = 0,028 20,00 Styrofoam 10,00 0,00 0 2 4 Kadar Serat (%) 6 Gambar 15. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Daya Serap Air Biofoam 60 Adapun perlakuan terbaik pada parameter ini adalah yang memiliki daya serap air terendah yaitu perlakuan dengan penambahan ampok 25% dan ditambahkan PVOH 30%. Dengan nilai serap air sebesar 26,05%. Nilai ini bila dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, lebih kecil dibandingkan dengan penelitian Vercelheze et al.(2011) yang berkisar 50-100%. Selanjutnya bila dibandingkan dengan styrofoam maka nilai DSA biofoam ini tidak berbeda dengan nilai DSA pada styrofoam yang juga berkisar 26%. Penambahan ampok dan PVOH selain berdampak positif terhadap peningkatan hidrofobisitas biofoam, ternyata cenderung berpengaruh negatif terhadap sifat fisik lainnya yaitu densitas seperti yang tersaji pada Tabel 13 dan Gambar 16. Namun demikian, hasil analisa statistik menunjukkan perbedaan rasio tapioka:ampok tidak berpengaruh signifikan terhadap densitas (Lampiran 4). Penambahan ampok dan PVOH ke dalam adonan akan meningkatkan viskositas adonan karena ampok dan PVOH akan menyerap sebagian besar air yang ditambahkan pada adonan sehingga adonan menjadi kental dan menghambat kemampuan untuk mengembang karena jumlah air yang dibutuhkan sebagai blowing agent juga berkurang. Dengan berkurangnya kemampuan ekspansi maka produk biofoam yang dihasilkan akan lebih padat dengan densitas yang tinggi. Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan apa yang diperoleh oleh Cinelli et al. (2006) dengan menambahkan serat jagung pada pati kentang. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa penambahan serat akan menyebabkan robeknya dinding sel dari gelembung udara yang terbentuk pada proses ekspansi, Akibatnya proses ekspansi tidak berjalan sempurna (Lue et al., 1990). Terganggunya proses ekspansi ini akan berdampak pada porositas biofoam sehingga berakibat pada meningkatnya densitas pada biofoam yang dihasilkan. Sementara itu menurut Nabar et al. (2005), peningkatan densitas biofoam karena penambahan serat disebabkan karena campuran pati dan serat menghasilkan adonan yang kaku yang tidak mendukung timbulnya gelembung udara yang dibutuhkan untuk proses ekspansi. Bila dibandingkan dengan densitas styrofoam yang sebesar 0,035 g/cm3 maka densitas biofoam yang dihasilkan pada penelitian ini masih cukup tinggi. Densitas biofoam pada penelitian ini berkisar 0,26-0,45 g/cm3. Densitas biofoam 61 ini juga masih lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Cinelli et al. (2006) yang berkisar 0,13-0,23 g/cm3 dengan menggunakan tepung kentang yang dicampur dengan serat jagung dan polivinil alkohol. Namun bila dibandingkan dengan penelitian Salgado et al. (2007) yang juga menggunakan tapioka sebagai bahan bakunya, maka nilai densitas biofoam ini masih lebih rendah. Salgado et al menggunakan bahan baku tambahan berupa selulosa dan isolat protein dari bunga matahari, dan menghasilkan biofoam dengan densitas 0,45-0,58 g/cm3. Sementara itu, Scmidt dan Laurindo (2010) yang juga menggunakan bahan baku tapioka, serat selulosa dan CaCO3 menghasilkan foam dengan densitas 0,63-1,3 g/cm3. Tabel 13. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH 0% 0,26a 0,33ab 0,37ab 0,42b 0,34A (4:0) (3:1) (2;2) (1:3) Rata-rata Kelompok 30% 0,42a 0,42a 0,45a 0,45a 0,43B Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok 0,60 y = 0,006x + 0,413 R² = 0,809 0,50 Densitas (g/cm3) - 0,40 PVOH 0% 0,30 y = 0,026x + 0,265 R² = 0,986 0,20 PVOH 30% Styrofoam 0,10 0,00 0 2 Kadar Serat (%) 4 6 Gambar 16. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Densitas Biofoam 62 Sebagai produk kemasan, biofoam diharapkan memiliki densitas yang rendah karena akan berpengaruh terhadap bobot produk secara keseluruhan. Selain itu, densitas juga berpengaruh terhadap beberapa parameter lainnya seperti daya serap air dan sifat mekanisnya. Pada Gambar 17 terlihat bahwa semakin tinggi densitas biofoam maka daya serap airnya akan semakin rendah. 70 Daya Serap Air (%) 60 50 40 y = 866,9x2 - 740,4x + 192,0 R² = 0,719 30 20 10 0 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 Densitas (g/cm3) Gambar 17. Korelasi antara Densitas dan Daya Serap Air pada Biofoam Pada proses pembuatan biofoam, proses ekspansi yang terjadi akan menghasilkan struktur yang berongga. Apabila biofoam tersebut dicelupkan ke dalam air, maka air yang ada akan mengisi rongga-rongga tersebut, akibatnya daya serap air akan meningkat. Namun bila ke dalam adonan ditambahkan serat maka rongga yang terbentuk akan mengecil karena terhambatnya proses ekspansi. Akibatnya air yang terserap mengisi rongga tersebut juga semakin sedikit sehingga nilai DSA juga berkurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Sjoqvist et al. (2010) yang menyebutkan bahwa jumlah air yang diserap pada tahap awal berhubungan dengan porositas biofoam, makin tinggi porositas makin banyak air yang akan diserap untuk mengisi rongga-rongga yang terbentuk selama proses ekspansi. Namun demikian, untuk biofoam yang ditambahkan dengan PVOH sebanyak 30%, kondisi tersebut tidak terjadi karena sebagian besar rongga yang terbentuk akan terisi oleh lelehan polimer sehingga biofoam menjadi padat dan air 63 akan sulit menyerap ke dalam biofoam. Vercelheze et al. (2012) Hal ini didukung oleh penelitian yang menyatakan bahwa penambahan serat akan menyebabkan densitas meningkat dan porositas menurun sehingga penyerapan air juga akan menurun. Parameter berikutnya yang diamati adalah warna yang meliputi tingkat kecerahan dan nilai 0Hue. Tingkat kecerahan diperoleh dari pengukuran nilai L dengan menggunakan chromameter. Nilai L berkisar dari 0 hingga 100, dimana 0 menggambarkan warna hitam sementara 100 menggambarkan warna putih. Sementara itu, pengukuran nilai 0Hue diperoleh dari perhitungan nilai a dan b, dimana nilai a menggambarkan warna merah (a+) hingga hijau (a-) dan nilai b menggambarkan warna kuning (b+) hingga biru (b-). Pada Tabel 14 dan Gambar 18 terlihat bahwa peningkatan rasio ampok berpengaruh terhadap penurunan tingkat kecerahan biofoam. Namun demikian, hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:ampok tidak berpengaruh terhadap tingkat kecerahan biofoam (Lampiran 5). Tabel 14. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam Rasio Tapioka:Ampok (4:0) (3:1) (2;2) (1:3) Rata-rata Kelompok Penambahan PVOH 0% 88,16a 79,86a 79,92a 78,15a 81,52A 30% 87,18a 85,36a 81,99a 79,67a 83,55A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Ampok memiliki pigmen beta karoten berwarna kuning yang dapat menjadi salah satu faktor penyebab perubahan warna. Selain itu, ampok juga mengandung protein dan lemak yang cukup tinggi sehingga berpengaruh terhadap warna produk yang dihasilkan karena kadar protein yang terlalu tinggi dapat menimbulkan burned effect akibat proses denaturasi protein selama proses pemanasan. Hal ini juga 64 dijelaskan oleh penelitian Glenn et al. (2001) yang menyatakan bahwa biofoam yang mengandung protein akan menghasilkan biofoam dengan warna kecoklatan bila proses pembakarannya dilakukan pada suhu di atas 2000C. Selain pengukuran tingkat kecerahan, parameter warna lain yang juga diukur adalah nilai 0Hue yang menggambarkan tingkat intensitas warna. Hasil pengukuran dengan menggunakan chromameter menghasilkan nilai a dan b yang kemudian dihitung dan diplotkan pada diagram Munsell untuk mengetahui kategori warna yang dihasilkan. Adapun hasil perhitungan nilai 0Hue seperti tersaji pada Tabel 15 menunjukkan bahwa kisaran nilai 0Hue biofoam berkisar 89,520 hingga 98,750 atau berada pada wilayah berwarna kekuningan yang memiliki kisaran 75-1050. Hasil uji statitistik pada Lampiran 6, juga menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:ampok tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan nilai 0Hue biofoam. A2B1 A1B1 A4B1 A3B1 Gambar 18. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam 65 Tabel 15. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Nilai 0Hue Biofoam Rasio Tapioka:Ampok (4:0) (3:1) (2;2) (1:3) Rata-rata Kelompok Penambahan PVOH 0% 98,75a 89,94a 91,88a 90,51a 92,77A 30% 94,50a 98,17a 90,50a 89,52a 93,17A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Selain berpengaruh terhadap sifat fisik, penambahan ampok juga berpengaruh terhadap karakteristik lainnya seperti sifat mekanik dan biodegradabilitas (Lawton et al., 2004; Shogren et al., 2002 dan Soykeabkaew et al., 2004) . Pengamatan sifat mekanis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi kuat tekan dan kuat tarik. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kekuatan biofoam untuk melindungi produk yang akan dikemas. Sebagai kemasan alternatif yang diharapkan dapat menggantikan fungsi styrofoam maka biofoam harus memiliki elastisitas yang cukup baik agar kuat menahan benturan dari luar tanpa melukai produk yang dikemasnya. Selain itu, biofoam juga harus mampu mempertahankan bentuknya selama digunakan sebagai wadah kemasan. Pengukuran terhadap kuat tekan dan kuat tarik dilakukan dengan menggunakan texture analyzer. Pada Tabel 16 dan Gambar 19 terlihat bahwa biofoam yang tidak ditambahkan ampok memiliki kuat tekan yang setara dengan styrofoam. Namun demikian, upaya penambahan serat untuk meningkatkan kuat tekannya menghasilkan kondisi sebaliknya yaitu penurunan kuat tekan. Oleh karena itu dilakukan penambahan polimer sintetik PVOH untuk menekan penurunan kuat tekan tersebut. Penurunan kuat tekan karena penambahan serat ini sedikit bertentangan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa penambahan serat dapat memperkuat struktur biofoam. Menurut Gaspar et al. (2005), penambahan serat hingga 15% dapat bersifat sebagai reinforcing filler karena serat yang ditambahkan akan mengisi celah pada matriks pati yang 66 terbentuk. Namun demikian, jumlah serat yang terlalu besar (> 30%) akan menyebabkan serat tidak terdistribusi secara merata pada matriks pati dan menyebabkan penurunan kekuatan (Lawton et al., 2004). Diduga hal ini disebabkan karena perbedaan kompatibilitas antara tapioka dengan ampok yang semakin besar dengan peningkatan rasio ampok. Oleh karena itu, untuk mengurangi perbedaan kompatibilitas yang cukup besar tersebut maka tapioka dan ampok harus dicampur secara merata baik saat sebelum pencetakan maupun saat pencetakan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi beda fasa adalah dengan pengecilan ukuran, penambahan kompatibiliser, proses pengadukan yang intensif serta penentuan kondisi proses yang tepat. Tabel 16. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH (4:0) (3:1) (2;2) (1:3) 0% 27,31c 10,94b 5,40a 6,14a 30% 32,51b 13,35a 15,19a 19,07a Rata-rata Kelompok 12,45A 20,03B Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Serat alami seperti selulosa, umumnya mengalami dekomposisi tanpa atau sebelum mencapai titik cairnya ketika dipanaskan. Akibatnya, dengan kondisi suhu yang cukup tinggi kemungkinan sebagian serat sudah mengalami degradasi sehingga tidak dapat berfungsi sebagai reinforcing filler. Selain itu, biofoam yang ditambahkan selulosa dalam jumlah yang cukup besar akan menghasilkan produk dengan lubang-lubang (cavities) yang dapat mempengaruhi sifat mekanisnya (Schmidt, 2006). Penambahan serat dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan serat tidak terdistribusi secara merata pada permukaan biofoam. Hal ini disebabkan karena rendahnya kompatibilitas antara pati dan selulosa. Hal ini berakibat pada 67 menumpuknya serat pada bagian tertentu yang menyebabkan berkurangnya kuat tekan dari biofoam. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pengecilan ukuran serat, dengan penambahan kompatibilizer, dan dengan proses pencampuran yang intensif agar campuran kedua bahan lebih homogen. Menurut Takagi dan Ichihara (2004), ukuran serat berpengaruh terhadap kemampuannya untuk meningkatkan sifat mekanik biofoam. merupakan nilai kritis. Serat dengan ukuran 15 mm Serat yang terlalu panjang akan menyulitkan proses pendispersian ke dalam adonan. Sementara itu Cinelli et al. (2006), menyebutkan bahwa serat jagung yang berbentuk bulat cenderung tidak mampu memperbaiki Kuat Tekan (N/mm2) kuat tekan biofoam. 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 y = 0,814x2 - 7,314x + 33,06 R² = 0,963 PVOH 0% PVOH 30% y= 1,069x2 0 - 9,869x + 27,08 R² = 0,996 2 Styrofoam 4 6 Kadar Serat (%) Gambar 19 Pengaruh Kadar Serat Terhadap Kuat Tekan Biofoam Penambahan PVOH menurut beberapa penelitian mampu meningkatkan sifat mekanis biofoam. Menurut Rahmat et al. (2009), pati dan PVOH masing-masing memiliki gugus hidroksil yang besar yang akan saling berinteraksi melalui ikatan hidrogen. Adanya penambahan PVOH akan memperkuat struktur yang lemah dari pati serta meningkatkan ketahanannya terhadap suhu proses yang tinggi (Fishman et al., 2006). Parameter sifat mekanis lain yang diamati pada penelitian ini adalah kuat tarik. Seperti halnya kuat tekan, penambahan serat diharapkan mampu memperbaiki kuat tarik. Namun demikian, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan serat cenderung menurunkan kuat tariknya seperti tersaji pada Tabel 17 dan Gambar 20. Adapun hasil analisis statistik tersaji pada Lampiran 8. 68 Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa ada korelasi negatif antara antara kadar serat terhadap kuat tarik biofoam. Semakin tinggi kadar serat maka kuat tariknya cenderung juga berkurang. Seperti halnya pada kuat tekan, penurunan kuat tarik ini kemungkinan besar disebabkan karena tidak terdisribusinya serat secara merata pada matriks polimer. Selain itu, penyebab lainnya adalah rendahnya gaya adhesi antara serat dengan pati sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan fasa antara pati dan serat (Buzarovska et al., 2008). Namun demikian, penurunan kekuatan tarik tersebut dapat dicegah dengan menambahkan polimer sintetik PVOH. Hal ini tampak pada Gambar 20, dimana pada kadar serat yang sama, penambahan PVOH dapat meningkatkan kuat tarik biofoam Hal ini sejalan dengan penelitian Siddaramaiah et al. (2003) yang melaporkan bahwa penambahan PVOH akan meningkatkan sifat mekanis khususnya tensile dan elongasi. Tabel 17. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH 0% 41,00c 38,98bc 32,32ab 27,91a 35,05A (4:0) (3:1) (2;2) (1:3) Rata-rata Kelompok 30% 43,24a 41,82a 38,47a 37,63a 40,29A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Kuat Tarik (N/mm2) - 60,00 y = 0,036x2 - 1,226x + 43,46 R² = 0,954 50,00 40,00 30,00 y = -0,148x2 - 1,403x + 41,34 R² = 0,978 20,00 10,00 PVOH 0% PVOH 30% Styrofoam 0,00 0 2 4 6 Kadar Serat (%) Gambar 20. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Kuat Tarik Biofoam 69 Selanjutnya, bila kita membandingkan nilai kuat tarik biofoam terhadap styrofoam, terlihat bahwa kuat tarik biofoam ini masih lebih tinggi. Namun, sejalan dengan peningkatan kadar serat akibat penambahan ampok maka kuat tariknya akan terus berkurang bila tidak dilakukan penambahan polimer sintetik yaitu PVOH. (a) Tapioka:Ampok = 4: 0 (Perbesaran 16 X) (b) Tapioka:Ampok = 1:3 (Perbesaran 12 X) Gambar 21. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam Tampaknya, sifat mekanis dari biofoam dipengaruhi oleh struktur morfologinya, hal tersebut dapat dilihat dari hasil SEM irisan melintang dari biofoam seperti tersaji pada Gambar 21. Struktur biofoam dengan rongga yang besar dan dinding sel yang tipis akan berpengaruh terhadap kuat tekan dari biofoam tersebut. Semakin banyak dan besar ukuran rongga yang terbentuk akan menyebabkan menurunnya kekuatan biofoam untuk menerima tekanan. Penambahan serat umumnya menyebabkan rongga yang terbentuk semakin besar dengan bentuk tidak beraturan seperti terlihat pada Gambar 21b di atas. Pada gambar tersebut terlihat penampang melintang dari permukaan biofoam menunjukkan bentuk sandwich dimana pada bagian luar atau permukaan terdiri dari sel berukuran kecil dan rapat sedangkan pada bagian tengahnya terdiri dari sel berukuran besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Cinelli et al. (2006) yang juga menggambarkan adanya bentuk sandwich pada pengamatan melintang biofoam. Selain itu, tampak pula lubang-lubang yang terbentuk sebagai tempat keluar uap air selama proses ekspansi. Semakin banyak lubang-lubang yang terbentuk maka kuat tekan dari biofoam akan berkurang karena tidak ada yang dapat menahan besarnya tekanan yang diberikan pada permukaan biofoam. Hal ini sejalan dengan penelitian 70 Soykeabkaew et al. (2004) yang menyebutkan bahwa struktur berongga umumnya memiliki kuat tekan yang rendah karena rongga yang ada terbentuk umumnya memiliki dinding sel yang tipis sehingga akan mudah hancur bila diberi tekanan. Struktur morfologi juga akan berpengaruh terhadap karakteristik fisik biofoam khususnya densitas dan daya serap air. Struktur dengan ukuran rongga yang besar dan banyak akan menghasilkan biofoam dengan densitas yang rendah. Namun demikian, hal tersebut juga akan berpengaruh pada daya serap airnya. Semakin banyak rongga maka kemampuan daya serap airnya juga akan semakin besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Milladinov dan Hanna (2001) yang menyatakan semakin banyak sel yang terbentuk selama prtoses ekspansi maka luas permukaan area juga akan bertambah dan hal tersebut akan berpengaruh terhadap daua serap airnya. Penambahan serat akan menghasilkan struktur morfologi yang lebih padat karena serat yang ada akan menyerap air lebih besar dan berakibat pada peningkatan viskositas adonan. Hal ini akan berdampak pada kemampuan ekspansi biofoam tersebut. Semakin kental maka kemampuan ekspansi akan semakin rendah dan biofoam yang dihasilkan semakin padat dengan densitas yang rendah. Penambahan PVOH juga akan meningkatkan densitas biofoam, namun demikian penambahan PVOH malahan akan meningkatkan kuat tekan biofoam. Hal ini disebabkan karena selama proses pencetakanran, PVOH akan meleleh dan lelehannya tersebut akan mengisi rongga-rongga yang terbentuk selama proses ekspansi. Kondisi ini juga didukung hasil SEM pada Gambar 22 yang menunjukkan struktur morfologi biofoam dengan dan tanpa penambahan PVOH. (a) PVOH 0% (Perbesaran 16 X) (b) PVOH 30% (Perbesaran 15 X) Gambar 22. Pengaruh Penambahan PVOH terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam 71 Pada Gambar 22 terlihat bahwa biofoam yang tidak ditambahkan PVOH cenderung memiliki lubang yang cukup besar. Namun demikian bila ditambahkan PVOH sebanyak 30%, rongga tersebut menjadi terisi oleh lelehan PVOH. Selain itu, tampaknya sel-sel yang dihasilkan juga menjadi lebih padat sehingga menyebabkan kuat tekannya akan bertambah dengan penambahan PVOH tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian He et al. (2004) yang menyebutkan bahwa bila PVOH dan pati dicampurkan maka gugus hidroksil yang ada akan membentuk ikatan hidrogen yang kuat sehingga menghasilkan struktur yang stabil kompak dan akan berpengaruh pada peningkatan kuat tekannya. Dengan demikian, penambahan serat pada pembuatan biofoam harus dilakukan dalam jumlah yang tepat serta diikuti dengan penambahan polimer sintetik agar dapat berfungsi sebagai reinforcing filler. Selain itu, penambahan compatibilizer, pengecilan ukuran serat serta proses pengadukan yang lebih intensif harus dilakukan agar perbedaan kompatibilitas dapat dikurangi. Sebagai kemasan ramah lingkungan, tentunya produk biofoam harus mudah didegradasi secara alamiah sehingga perlu dilakukan pengamatan terhadap tingkat biodegradabilitas biofoam tersebut. Adapun cara pengukuran yang digunakan adalah secara kualitatif dan kuantitatif. Adapun hasil pengamatan serta analisis statistik terhadap pertumbuhan kapang sebagaimana terdapat pada Tabel 18, Gambar 23 dan 24 serta pada Lampiran 9. A2B1 A1B1 A3B1 A4B1 A2B2 A1B2 A3B2 A4B2 Gambar 23 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Penambahan PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang Aspergillus niger pada Permukaan Biofoam Pengamatan Hari ke-5 72 Tabel 18. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam Rasio Tapioka:Ampok (4:0) (3:1) (2;2) (1:3) Rata-rata Kelompok Penambahan PVOH 0% 6,67a 33,33b 86,67c 90,00c 54,17B 30% 5,00a 43,33b 53,33bc 63,33c 41,25A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Pada Gambar 23 terlihat bahwa secara visual, pertumbuhan kapang akan meningkat sejalan dengan peningkatan rasio serat pada adonan biofoam. Disamping itu, penambahan PVOH tampaknya berpengaruh dalam menekan pertumbuhan kapang walau dalam jumlah kecil. Hasil ini didukung oleh hasil analisis statistik yang menunjukkan bahwa pertumbuhan kapang dipengaruhi oleh faktor rasio tapioka:ampok, penambahan PVOH dan interaksi diantara kedua faktor tersebut. Pada Gambar 24, terlihat bahwa peningkatan rasio ampok akan mempercepat pertumbuhan kapang A. niger pada permukaan biofoam. Namun demikian, penambahan PVOH mampu menekan laju pertumbuhan kapang tersebut. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena semakin banyak ampok yang ditambahkan, maka semakin banyak sumber makanan berupa serat, lemak dan protein yang tersedia bagi pertumbuhan kapang. Umumnya A. niger tumbuh dengan baik pada media yang mengandung senyawa sederhana, namun menurut Acharya et al. (2008), kapang Aspergilus niger juga tumbuh dengan baik pada media yang mengandung lignoselulosa. Sementara itu, PVOH walaupun bersifat biodegradable namun bahan bakunya berasal dari minyak bumi seperti polimer sintetik lainnya. Dengan demikian, PVOH bukan merupakan media tumbuh yang baik bagi kapang. 73 Pertumbuhan Kapang (%) 120,00 100,00 80,00 y = -1,597x3 + 12,91x2 - 6,111x + 6,666 R² = 1 PVOH 0% PVOH 30% 60,00 Styrofoam 40,00 y = -0,243x3 - 0,833x2 + 21,80x + 5 R² = 1 20,00 0,00 0 2 4 6 Kadar Serat (%) Gambar 24. Pengaruh Kadar Serat terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam Bila dibandingkan dengan styrofoam, maka pertumbuhan kapang dengan adanya penambahan ampok akan berjalan lebih cepat. Kandungan serat, protein dan lemak yang ada pada ampok menjadi faktor utama yang mendorong pertumbuhan kapang tersebut. Dengan demikian dengan penambahan ampok maka biodegradabilitas biofoam akan meningkat. Namun yang harus menjadi pertimbangan adalah pertumbuhan kapang yang terlalu cepat juga akan menyebabkan umur pakai dari biofoam tersebut juga berkurang. Analisis biodegradabilitas lainnya yang dilakukan adalah analisa secara kuantitatif yang dilakukan dengan mengamati kadar gula pereduksi pada media yang ditambahkan dengan biofoam dan enzim amilase dan selulase. Adapun hasilnya seperti terdapat pada Tabel 19 dan Lampiran 10 menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:ampok dan penambahan PVOH tidak berpengaruh terhadap perubahan gula pereduksi yang terbentuk selama proses hidrolisis biofoam dengan menggunakan enzim amilase dan selulase. Kemungkinan besar hal tersebut terjadi karena kedua enzim tersebut bekerja secara sinergis untuk menghidrolisis pati maupun selulosa yang ada pada ampok. 74 Tabel 19. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam Rasio Tapioka:Ampok (4:0) (3:1) (2;2) (1:3) Rata-rata Kelompok Penambahan PVOH 0% 12,20a 15,46a 14,02a 13,37a 12,46A 30% 12,95a 13,64a 12,22a 11,00a 13,76A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Dari beberapa parameter yang diamati tampaknya penambahan ampok berpengaruh positif terhadap peningkatan hidrofobisitas serta biodegradabilitas biofoam. Namun demikian, penambahan ampok juga berpengaruh negatif terhadap karakteristik biofoam karena dapat meningkatkan densitas, menurunkan sifat mekanis serta mengurangi tingkat kecerahan. Tampaknya upaya penambahan polimer sintetik PVOH mampu mengurangi pengaruh negatif penambahan ampok terhadap karakteristik biofoam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan konsentrasi PVOH terbaik yang dapat meningkatkan karakteristik biofoam khususnya perbaikan sifat mekanisnya. Untuk perlakuan terbaik yang diperoleh pada tahap ini dipilih berdasarkan hasil terbaik terutama pada parameter daya serap air yang menunjukan hidrofobisitas, kuat tekan dan kuat tarik yang mewakili sifat mekanis dan pertumbuhan kapang yang mewakili sifat biodegradabilitas. Untuk daya serap air dan biodegradabilitas perlakuan terbaik adalah rasio tapioka:ampok (3:1) dengan penambahan PVOH 30%, sedangkan untuk sifat mekanis, perlakuan terbaik adalah rasio tapioka:ampok (4:0). Namun karena tingkat pertumbuhan kapangnya terlalu rendah, maka perlakuan tersebut tidak terpilih. Oleh karena itu dipilih perlakuan dengan rasio tapioka:ampok (2:2) karena memiliki hasil yang cukup baik untuk beberapa parameter. Selanjutnya kedua perlakuan ini yaitu rasio tapioka:ampok 75 (3:1) dan (2:2) digunakan sebagai dasar pembuatan biofoam untuk tahap selanjutnya. 4.2.3. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Perbaikan Karakteristik Biofoam Biofoam yang dihasilkan dengan menggunakan bahan baku tapioka dan ampok ternyata belum mampu menghasilkan produk biofoam dengan hidrofobisitas yang tinggi serta sifat mekanik yang baik. Pada penelitian tahap I tampak beberapa parameter tidak hanya dipengaruhi oleh penambahan serat tetapi juga karena pengaruh dari penambahan PVOH. Oleh sebab itu, pada tahap ke dua ini dilakukan perbaikan formula dengan memperbesar selang konsentrasi polimer sintetik yaitu PVOH mulai dari 0% hingga 50%. Menurut Lee et al. (2004), pencampuran dengan polimer sintetik yang dapat terdegradasi secara alami merupakan cara lain untuk memperbaiki hidrofobisitas dan sifat mekanis bioplastik. Adapun polimer sintetik yang umumnya ditambahkan adalah polilactid acid (PLA), polivinil alkohol (PVOH) dan policaprolakton (PCL). Pemilihan PVOH sebagai bahan tambahan pada pembuatan biofoam dilakukan mengingat PVOH merupakan polimer sintetik yang paling mudah terdegradasi secara alamiah oleh mikroba yang ada di alam diantara berbagai polimer vinil lainnya (Chandra dan Rustgi, 1998). Selain itu, PVOH juga mudah larut dalam air dan dapat dicerna oleh sebagian mikroorganisme dan enzim (Chiellini et al., 2009). Sifat atau karakteristik PVOH ditentukan oleh derajat hidrolisa, berat molekul, kadar air dan plastisizer yang digunakan pada proses pembuatannya (Tang dan Alavi, 2011). Umumnya PVOH dengan tingkat hidrolisa sebagian masih memiliki gugus asetat yang dapat mengurangi tingkat kristalinitasnya. Selain itu PVOH ini juga memiliki titik leleh yang lebih rendah, lebih mudah diproses, kekuatan yang lebih rendah serta tingkat kelarutan dalam air yang juga rendah dibandingkan yang terhidrolisa sempurna. Pada Tahap ke-2 ini, rasio tapioka:ampok yang digunakan adalah hasil terbaik pada tahapan sebelumnya yaitu 3:1 dan 2:2. Selanjutnya ditambahkan PVOH dengan konsentrasi 0,10,20,30,40 dan 50% dari berat bahan kering yang digunakan. 76 Selain itu juga ditambahkan beberapa bahan lain seperti magnesium stearat yang berfungsi sebagai demolding agent untuk memudahkan biofoam terlepas dari cetakan. Adapun karakterisasi yang dilakukan terhadap biofoam yang dihasilkan sama halnya dengan yang dilakukan pada tahapan sebelumnya yaitu meliputi sifat fisik, mekanik, dan biodegradabilitas dari biofoam Pengamatan terhadap parameter kadar air menunjukkan adanya penurunan kadar air dibandingkan dengan hasil pada tahap pertama. Pada tahapan ke dua ini, kadar air biofoam berkisar antara 5,72-7,73% sementara pada tahap pertama berkisar 6,28-8,06%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa konsentrasi PVOH berpengaruh terhadap kadar air biofoam (Tabel 20 dan Lampiran 11). Hal ini sejalan dengan penelitian Salgado et al. (2008) yang menyatakan bahwa penurunan kadar air dipengaruhi oleh penambahan polimer sintetik, protein dan serat. Pada Gambar 25 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi PVOH maka kadar air akan semakin berkurang. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena PVOH bersifat lebih hidrofobik dibandingkan pati. Hal ini didukung penelitian Cinelli et al. (2006) yang menyatakan bahwa penambahan PVOH 10-30% pada campuran pati kentang dapat meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan terhadap air dari biofoam. Tabel 20. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Air (%) Biofoam Konsentrasi PVOH (%) 0 10 20 30 40 50 Rata-rata Kelompok Rasio Tapioka : Ampok 3:1 2:2 b 6,82 7,41c 7,73c 6,84bc 7,15b 6,33ab 6,28a 6,29ab 6,92b 5,91a 6,66ab 5,72a 6,93B 6,42A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok 77 Selain itu, pengaruh dari rasio tapioka:ampok juga turut berpengaruh terhadap kadar air biofoam pada tahapan ini. Peningkatan rasio ampok dari 25% menjadi 50% dapat menurunkan kadar air kurang lebih sebesar 1%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Benezet et al. (2011), yang menyebutkan bahwa penambahan serat akan memperbaiki sensitivitas pati terhadap air. 9,00 y = -0,001x2 + 0,025x + 7,058 R² = 0,612 8,00 Kadar Air (%) 7,00 6,00 y = 0,001x2 - 0,073x + 7,434 R² = 0,944 5,00 4,00 Rasio 2:2 3,00 Rasio 3:1 2,00 Styrofoam 1,00 0,00 0 10 20 30 40 50 Konsentrasi PVOH (%) Gambar 25. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Air Biofoam Penambahan polimer sintetik umumnya mampu meningkatkan hidrofobisitas biofoam, namun pada penelitian ini peningkatan konsentrasi PVOH tidak berpengaruh terhadap penurunan daya serap air sebagaimana tersaji pada Tabel 21, Gambar 26. Hasil uji statistik pada Lampiran 12 juga menunjukkan hal yang serupa. Tampaknya penggunaan polimer sintetik PVOH yang juga mengandung gugus hidroksil menyebabkan penyerapan air pada produk biofoam tersebut tetap tinggi. Shogren et al. (1998), menyatakan bahwa penambahan PVOH dalam konsentrasi tinggi baru mampu meningkatkan ketahanan foam terhadap kontak langsung dengan air. Daya serap air umumnya dipengaruhi oleh komposisi bahan baku, kristalinitas, serta mikrostruktur biofoam tersebut. Perbedaan mikrostruktur sendiri dipengaruhi oleh kemampuan biofoam untuk melakukan ekspansi yang berpengaruh pada ketebalan dinding sel dan ukuran selnya (Benezet et al., 2011). 78 Tabel 21. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam Konsentrasi PVOH (%) 0 10 20 30 40 50 Rata-rata Kelompok Rasio Tapioka : Ampok 3:1 2:2 a 40,63 36,80a 40,45a 36,56a 34,12a 40,94a 28,72a 34,04a 39,18a 44,22a 34,99a 30,19a 36,81A 38,46A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok 60 y = -0,001x2 + 0,116x + 36,47 R² = 0,122 Daya Serap Air (%) 50 40 30 Rasio 2:2 y= 0,007x2 20 - 0,492x + 41,33 R² = 0,387 Rasio 3:1 Styrofoam 10 0 0 10 20 30 40 50 Konsentrasi PVOH (%) Gambar 26. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Daya Serap Air Biofoam Tidak seperti halnya tapioka, PVOH berekspansi tanpa adanya blowing agent. tidak memiliki kemampuan untuk Dengan demikian, peningkatan prosentase PVOH akan mengurangi kemampuan ekspansi biofoam karena berkurangnya jumlah pati pada adonan sehingga proses ekspansi menjadi terhambat. Selain itu, penambahan PVOH juga akan meningkatkan viskositas adonan karena gugus hidroksil yang ada pada pati akan dengan mudah mengikat 79 air. Akibatnya proses ekspansi menjadi terhambat yang berdampak pada meningkatnya densitas biofoam. Hasil penelitian seperti tersaji pada Tabel 22 menunjukkan bahwa densitas foam berbahan baku tapioka dan ampok berkisar 0,33-0,55 g/cm3, di mana foam yang dihasilkan dari campuran tapioka:ampok 2:2 dengan konsentrasi PVOH 40% memiliki densitas tertinggi (0,55 g/cm3). Nilai densitas yang diperoleh pada tahapan ini meningkat dibandingkan dengan hasil penelitian pada tahapan sebelumnya dimana densitas biofoam berkisar antara 0,25-0,45 g/cm3. Diduga peningkatan konsentrasi PVOH tersebut. berpengaruh terhadap peningkatan densitas Sementara itu, bila dibandingkan dengan styrofoam maka densitas biofoam jauh lebih tinggi dibandingkan styrofoam yang memiliki densitas 0,050,09 g/cm3 (Shogren et al, 1998;. Glenn dan Orts, 2001). Tabel 22. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam Konsentrasi PVOH (%) 0 10 20 30 40 50 Rata-rata Kelompok Rasio Tapioka : Ampok 3:1 2:2 a 0,38 0,33a 0,37a 0,46ab 0,44a 0,49b 0,45a 0,42ab 0,47a 0,55b 0,48a 0,48b 0,43A 0,45B Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Hasil uji statistik pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa pada biofoam dengan rasio tapioka:ampok (3:1), peningkatan konsentrasi PVOH tidak berpengaruh terhadap densitas. Namun pada rasio tapioka:ampok (2:2), peningkatan konsentrasi PVOH akan meningkatkan densitas. Hal ini diduga disebabkan karena kedua bahan baku yaitu serat dan PVOH dapat meningkatkan kekentalan adonan sehingga interaksi antara keduanya secara kumulatif akan 80 menekan kemampuan ekspansi sehingga menghasilkan biofoam yang lebih padat dengan densitas yang lebih tinggi. 0,7 y = -0,000x2 + 0,008x + 0,351 R² = 0,603 Densitas (g/cm3) 0,6 0,5 0,4 Rasio 2:2 y = -2E-05x2 + 0,003x + 0,369 R² = 0,857 0,3 0,2 Rasio 3:1 Styrofoam 0,1 0 0 10 20 30 Konsentrasi PVOH (%) 40 50 Gambar 27. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Densitas Biofoam Seperti halnya pada penelitian Tahap I, pengukuran warna juga dilakukan terhadap biofoam yang dihasilkan. Pengukuran meliputi nilai L*, a* dan b* selanjutnya dilakukan penghitungan nilai 0Hue dari biofoam. Adapun hasil pengukuran warna yang meliputi tingkat kecerahan dan 0Hue seperti tersaji pada Tabel 23 dan Gambar 28. Pada Gambar 28 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi PVOH dapat menurunkan tingkat kecerahan dari biofoam. Hasil uji statistik seperti tersaji pada Lampiran 14 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi PVOH yang ditambahkan maka nilai tingkat kecerahan akan semakin berkurang atau dengan kata lain, biofoam akan semakin berwarna gelap. Diduga hal tersebut disebabkan karena penambahan PVOH akan meningkatkan viskositas adonan, akibatnya waktu yang dibutuhkan untuk proses pembakaran juga akan meningkat. Hal ini disebabkan karena meningkatnya viskositas akan mengurangi pergerakan air selama proses pengeringan (Cinelli et al., 2006). Proses pembakaran yang semakin lama akan berpengaruh terhadap warna dari biofoam yang dihasilkan. Peningkatan konsentrasi PVOH juga berpengaruh terhadap nilai 0Hue biofoam seperti tersaji pada Tabel 24 dan didukung hasil uji statistik pada Lampiran 15. 81 Tabel 23. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam Konsentrasi PVOH Rasio Tapioka : Ampok (%) 3:1 2:2 0 87,18b 84,52c 10 86,49b 83,18bc 20 85,13b 80,51abc 30 81,84a 80,48ab 40 82,75a 81,87bc 50 83,58ab 78,41a Rata-rata Kelompok 84,50B 81,66A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok 90 y = 0,003x2 - 0,242x + 87,81 R² = 0,816 Tingkat Kecerahan 88 86 84 82 Ampok 50% 80 Ampok 25% y = 0,000x2 - 0,116x + 84,29 R² = 0,801 78 76 0 10 20 30 40 50 Konsentrasi PVOH (%) Gambar 28. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam 82 Tabel 24. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Nilai 0Hue Biofoam Konsentrasi PVOH (%) 0 10 20 30 40 50 Rata-rata Kelompok Rasio Tapioka : Ampok 3:1 2:2 b 87,18 84,52c 86,49b 83,18bc 85,13b 80,51abc 81,84a 80,48ab 82,75a 81,87bc 83,58ab 78,41a 84,50B 81,66A Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Selain berpengaruh terhadap sifat fisik biofoam, penambahan PVOH juga dimaksudkan untuk memperbaiki sifat mekanis dari biofoam. Menurut Fishman et al. (2010), penambahan PVOH dapat memperkuat struktur pati yang lemah sekaligus meningkatkan kemampuannya terhadap proses pemanasan. Hal ini terjadi karena pati dan PVOH sama sama memiliki gugus hidroksil yang dapat saling berikatan melalui ikatan hidrogen (Rahmat et al., 2009). Adapun pengaruh dari penambahan PVOH terhadap kuat tekan biofoam tersaji pada Tabel 25, Gambar 29 serta Lampiran 16 untuk analisis statistiknya. Tabel 25. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam Konsentrasi PVOH (%) 0 10 20 30 40 50 Rata-rata Kelompok Rasio Tapioka : Ampok 3:1 2:2 a 10,94 5,40a 10,39a 8,50a 15,44a 18,25b 23,35a 15,19b 29,33b 36,49c 33,29b 50,43d 18,79A 22,46B Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok 83 Pada Tabel 25 dan Gambar 29 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi PVOH akan meningkatkan kuat tekan biofoam baik pada rasio ampok 25% ataupun 50%. Penambahan ampok 50%, akan meningkatkan kuat tekan biofoam lebih besar bila dibandingkan penambahan ampok 25%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Cinelli et al. (2006), yang menyebutkan bahwa penambahan PVOH pada pembuatan foam berbasis pati akan mendorong terbentuknya struktur yang lebih resisten dan lebih kaku terhadap adanya tekanan. PVOH dan pati masing-masing memiliki gugus hidroksil yang akan saling berikatan membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Hal ini diduga yang menyebabkan kekuatan biofoam mengalami peningkatan, sedang menurut Shogren et al. (1998), penambahan PVOH 10-30% ke dalam adonan dapat meningkatkan fleksibilitas, kekuatan dan ketahanan terhadap air. 60 Kuat Tekan (N/mm2) 50 y = 0,018x2 - 0,036x + 6,541 R² = 0,950 40 30 Rasio 2:2 Rasio 3:1 20 y = 0,004x2 + 0,269x + 9,414 R² = 0,966 10 Styrofoam 0 0 10 20 30 40 50 Konsentrasi PVOH (%) Gambar 29. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan Biofoam Selain berpengaruh terhadap peningkatan kuat tekan biofoam, peningkatan konsentrasi PVOH juga berpengaruh terhadap peningkatan kuat tarik biofoam dengan penambahan ampok 25%. Sebaliknya, pada biofoam yang ditambahkan ampok 50%, peningkatan konsentrasi PVOH malahan akan menurunkan kuat tariknya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 26, Gambar 30 dan Lampiran 17. 84 Tabel 26. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam Konsentrasi PVOH (%) Rasio Tapioka : Ampok 3:1 2:2 ab 38,98 32,32ab 35,74a 32,06ab 45,23ab 45,69c 41,83ab 38,47bc 46,45ab 34,53ab 48,85b 27,52a 42,84A 35,10A 0 10 20 30 40 50 Rata-rata Kelompok Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok 60 y = -0,000x3 + 0,009x2 - 0,007x + 38,12 R² = 0,732 Kuat Tarik (N/mm2) 50 40 30 Rasio 3:1 y = -0,000x3 - 0,01x2 + 0,703x + 30,95 R² = 0,694 20 Rasio 2:2 Styrofoam 10 0 0 10 20 30 40 50 60 Konsentrasi PVOH (%) Gambar 30. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik Biofoam Penambahan serat dalam jumlah besar akan menyebabkan berkurangnya kompatibilitas antara pati, serat dan PVOH. Perbedaan kompatibilitas ini akan menyebabkan semua bahan tidak dapat tercampur merata sehingga pada saat pencetakan, serat maupun polimer tidak terdistribusi secara merata pada permukaan biofoam. Menurut Hanna dan Xu (2009), penambahan serat melebihi 10% akan 85 menyebabkan pendispersian serat menjadi sulit sehingga menghasilkan gumpalan serta lubang-lubang pada permukaan biofoam. Sementara itu, Lawton et al. (2004) menyebutkan bahwa tray foam dengan kandungan serat melebihi 30% kekuatannya akan berkurang. Selain jumlah serat, tampaknya arah serat pada matriks berperan penting dalam meningkatkan sifat mekanis biofoam. Kemampuan serat dalam memperkuat matriks akan rendah bila arah serat berlawanan dengan arah saat penuangan adonan ke dalam cetakan. Hal ini disebabkan karena arah yang berlawanan akan menghambat penyebaran tekanan yang diberikan terhadap matriks (Alvarez et al., 2006). Sebaliknya bila arah serat searah maka kekuatan yang diperoleh oleh matriks akan berlipat ganda (Romhany et al., 2003). Seperti telah dibahas pada tahapan sebelumnya, tampaknya hubungan antara struktur morfologi biofoam, sifat fisik dan sifat mekanis saling berhubungan. Pada Gambar 31 terlihat bahwa ada hubungan antara densitas biofoam dengan kuat tekannya. Pada biofoam dengan rasio tapioka:ampok (3:1) maupun (2:2), peningkatan konsentrasi PVOH akan meningkatkan densitasnya. Kenaikan densitas tersebut diikuti pula oleh kenaikan kuat tekannya karena rongga-rongga yang ada pada foam akan terisi oleh lelehan polimer. Akibatnya produk biofoam menjadi lebih padat yang dapat menahan beban yang diberikan pada permukaannya. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Chiellini et al. (2009) yang menyatakan bahwa penambahan PVOH dapat berfungsi sebagai reinforcing agent yang akan menambah kekuatan biofoam serta mengurangi brittleness atau kerapuhan pada biofoam. Selain itu adanya ikatan yang kuat antara gugus hidroksil yang ada pada PVOH dan tapioka akan menyebabkan terbentuknya struktur yang resisten, kompak dan sinergis (He et al., 2004; Rahmat et al., 2009). Sementara itu, untuk sifat kuat tarik sebagaimana terdapat pada Gambar 32 terlihat ada perbedaan dengan fenomena yang terjadi pada kuat tekan. Pada biofoam dengan rasio tapioka:ampok (3:1), peningkatan densitas biofoam diikuti oleh peningkatan kuat tariknya. Namun demikian, pada biofoam yang rasio tapioka:ampok yang lebih tinggi (2:2), peningkatan densitas karena peningkatan konsentrasi PVOH tidak diikuti dengan peningkatan kuat tariknya tetapi cenderung 86 menurunkan kuat tariknya. Hal ini diduga disebabkan karena serat ampok bukan termasuk serat panjang yang dapat membantu meningkatkan fleksibilitas biofoam Kuat Tekan (N/mm2) seperti halnya serat rami, bambu. 60 50 40 30 20 Rasio 3:1 10 Rasio 2:2 0 0,3 0,35 0,4 0,45 0,5 0,55 0,6 Densitas (g/cm3) Kuat Tarik (N/mm2) Gambar 31 Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan Biofoam dengan Penambahan PVOH 60 50 40 30 20 10 0 Rasio 3:1 Rasio 2:2 0,3 0,35 0,4 0,45 0,5 0,55 0,6 Densitas (g/cm3) Gambar 32. Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tarik Biofoam dengan Penambahan PVOH Penambahan serat yang terlalu banyak akan menyebabkan berkurangnya kompatibilitas antara tapioka dan PVOH. Selain itu, penambahan serat juga dapat menyebabkan menurunnya kemampuan ekspansi biofoam sehingga biofoam tidak memiliki rongga-rongga yang cukup sehingga akan lebih mudah dipatahkan atau dibengkokkan (Cinelli et al., 2006). Penambahan PVOH tampaknya lebih berpengaruh terhadap perbaikan sifat mekanis biofoam dibandingkan dengan penambahan serat. Selain itu, penambahan PVOH juga dapat berpengaruh terhadap peningkatan hidrofobisitas khususnya kadar air sementara untuk daya serap air tidak berpengaruh. Penambahan PVOH 87 juga tidak berpengaruh terhadap kemampuan biodegradabilitas biofoam seperti tersaji pada Tabel 27, Gambar 33 maupun Lampiran 18. Pada Gambar 33 terlihat bahwa peningkatan biodegradabilitasnya lebih dipengaruhi oleh peningkatan rasio ampok dari 25% menjadi 50%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena PVOH merupakan polimer sintetik yang berasal dari turunan minyak bumi sehingga kurang disukai oleh kapang. Dengan demikian walaupun konsentrasi PVOH ditambahkan, jumlah kapang yang tumbuh pada permukaan biofoam cenderung tetap. Penambahan rasio ampok dari 25% menjadi 50% dapat meningkatkan pertumbuhan kapang sekitar 40% seperti tersaji pada Gambar 34. Tabel 27. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam Konsentrasi PVOH (%) 0 10 20 30 40 50 Rata-rata Kelompok Rasio Tapioka : Ampok 3:1 2:2 a 33,33 86,67b 46,67a 83,33b 46,67a 73,33ab 43,33a 63,33a 46,67a 70,00ab 33,33a 83,33b 48,67A 76,67B Keterangan : - Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok Pertumbuhan Kapang (%) - y = 0,026x2 - 1,529x + 90,35 R² = 0,784 100 80 60 Rasio 2:2 40 Rasio 3:1 y = -0,021x2 + 1,061x + 34,76 R² = 0,791 20 Styrofoam 0 0 10 20 30 40 50 Konsentrasi PVOH (%) Gambar 33. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam 88 B A F C A A D E G H A A I J A Keterangan : A: tapioka:ampok (3:1): PVOH 10% B: tapioka:ampok (3:1): PVOH 20% C: tapioka:ampok (3:1): PVOH 30% D: tapioka:ampok (3:1): PVOH 40% E: tapioka:ampok (3:1): PVOH 50% A F: tapioka:ampok (2:2): PVOH 10% G: tapioka:ampok (2:2): PVOH 20% H: tapioka:ampok (2:2): PVOH 30% I : tapioka:ampok (2:2): PVOH 40% J : tapioka:ampok (2:2): PVOH 50% Gambar 34. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang A. niger pada Permukaan Biofoam pada Pengamatan Hari ke-5 Sementara itu, pada pengamatan biodegradabilitas secara kuantitatif, peningkatan konsentrasi PVOH, rasio ampok maupun interaksinya juga tidak berpengaruh terhadap perubahan gula pereduksi seperti tersaji pada Gambar 35 dan Lampiran 19. Hal ini diduga karena enzim selulase maupun amilase yang ditambahkan tidak mampu mendegradasi PVOH menjadi senyawa yang lebih sederhana. Selain itu jumlah selulase yang ditambahkan jumlahnya tetap padahal jumlah ampok bertambah, akibatnya tidak semua selulosa yang ada dapat diuraikan. y = -0,004x + 12,57 R² = 0,004 Biodegradabilitas Enzimatis (Kadar Gula Pereduksi (%) 14,00 12,00 10,00 y = -0,011x + 12,97 R² = 0,016 8,00 Rasio 2:2 6,00 Rasio 3:1 4,00 Styrofoam 2,00 0,00 0 10 20 30 40 50 Konsentrasi PVOH (%) Gambar 35. Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kemampuan Biodegradabilitas Biofoam Secara Enzimatis 89 Pengamatan terhadap struktur permukaan biofoam karena pengaruh penambahan PVOH seperti terlihat pada Gambar 36 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi PVOH cenderung menurunkan kemampuan ekspansi biofoam. Hal ini terlihat dari ukuran sel pada bagian interior biofoam yang cenderung mengecil dibandingkan denganyang tanpa penambahan PVOH. Lelehan polimer tampak memenuhi rongga yang terbentuk akibat proses ekspansi. Hal ini menyebabkan kuat tekan dari biofoam akan bertambah. Densitas yang bertambah besar juga terlihat dari semakin padatnya sel-sel pada permukaan biofoam. P1K0 (16 X) P1K2 (20 X) P1K4 (14 X) P2K0 (15 X) P2K2 (20 X) P2K4 (20 X) Keterangan: P1K0:Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 0% P2K0:Tapioka:Ampok (2:2):PVOH 0% P1K2:Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 20% P2K2:Tapioka:Ampok (2:2):PVOH 20% P1K4:Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 40% P2K4:Tapioka:Ampok (2:2):PVOH 40% Gambar 36. Pengaruh Konsentrasi PVOH dan Rasio Tapioka:Ampok terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam Sementara itu bila dilihat dari gambar hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop terpolarisasi seperti tersaji pada Gambar 37, terlihat bahwa biofoam tanpa penambahan ampok dan PVOH, granula pati mengalami gelatinisasi sempurna yang ditandai dengan hilangnya sifat birefringent. Pada biofoam dengan rasio tapioka:ampok (3:1) dengan penambahan PVOH 30%. Sifat 90 birefringent tersebut masih ada yang berarti belum semua bahan tersebut mengalami gelatinisasi secara sempurna. Tapioka:Ampok (4:0):PVOH 0% Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 50% Tapioka:Ampok (3:1):PVOH 30% Tapioka:Ampok (2:2):PVOH 50% Gambar 37. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Konsentrasi PVOH terhadap Hasil Polarized Microscope Biofoam (Perbesaran 10 X) Pada biofoam dengan konsentrasi PVOH 50%, baik pada rasio tapioka:ampok 3:1 maupun 2:2, sifat birefringent pada granula pati juga masih ada walaupun prosentasenya lebih kecil bila dibandingkan dengan biofoam dengan konsentrasi PVOH 30%. Ampok memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tapioka yaitu sekitar 930C sedang tapioka 67,50C. Perbedaan suhu gelatinisasi tersebut menyebabkan tidak semua granula pati yang ada pada ampok mengalami gelatinisasi. Tampaknya dengan adanya penambahan ampok yang banyak mengandung serat, protein dan lemak menyebabkan proses gelatinisasi pati menjadi terhambat sehingga tidak semua granula pati mengalami gelatinisasi secara sempurna (Vercelheze et al., 2012). Sampai tahapan ini, beberapa perbaikan karakteristik sifat fisik, mekanis maupun biodegradabilitas sudah berhasil dilakukan, namun demikian bila dibandingkan dengan styrofoam, masih banyak karakteristik biofoam yang masih 91 harus ditingkatkan lagi khususnya hidrofobisitasnya karena daya serap airnya masih cukup tinggi. Oleh karena itu dilakukan penelitian lanjutan untuk perbaikan sifat hidrofobik tersebut. Dari semua parameter yang diamati hingga tahapan penelitian ini terlihat bahwa penambahan PVOH berpengaruh terhadap peningkatan sifat mekanis yaitu kuat tekan dan kuat tarik. Namun demikian peningkatan sifat mekkanis ini harus diikuti dengan penambahan serat dalam jumlah yang tepat. Untuk penentuan komposisi terbaik pada tahapan ini adalah dengan melihat parameter kunci yang ingin dicapai pada tahapan penelitian ini. Pada tahap ke dua ini, penambahan PVOH dimaksudkan untuk meningkatkan sifat mekanis sehingga dengan demikian yang menjadi parameter utama adalah peningkatan sifat mekanis yaitu kuat tekan serta kuat tarik dengan diimbangi dengan parameter lain yaitu hidrofobisitas, biodegradabilitas dan densitas. Sebenarnya bila dilihat dari parameter kuat tekan, semakin tinggi PVOH yang ditambahkan maka kuat tekan akan semakin meningkat. Namun demikian, perlakuan P2K5 memiliki kuat tarik yang rendah serta tingkat pertumbuhan kapang yang terlalu cepat. Oleh sebab itu maka, perlakuan terpilih adalah yang memiliki kuat tekan dan kuat tarik cukup tinggi dengan pertumbuhan kapang yang tidak terlalu tinggi agar umur pakai kemasan tersebut bisa lebih panjang. Adapun komposisi terpilih adalah perlakuan P1K3 dengan alasan memiliki kuat tekan dan kuat tarik cukup tinggi (23,35 N/mm2; 41,82 N/mm2) dengan tingkat biodegradabilitas sedang (43,33%) serta hidrofobisitas tertinggi dibanding perlakuan lainnya yaitu 28,72%. Apabila dibandingkan dengan styrofoam, maka karakteristik biofoam yang dihasilkan dengan perlakuan ini tidak berbeda khususnya untuk parameter kuat tekan dan daya serap air. Bahkan untuk parameter kuat tarik maupun biodegradabilitasnya khususnya pertumbuhan kapang, hasil yang diperoleh lebih baik dibandingkan styrofoam seperti tersaji pada hasil uji-T pada Tabel 28. 92 Tabel 28. Uji-T untuk Formulasi Terbaik (P1K3) dibandingkan Styrofoam Parameter Kadar air (%) Densitas (g/cm3) Kecerahan Nilai Hue (0) Daya Serap Air (%) Kuat Tekan (N/mm2) Kuat Tarik (N/mm2) Pertumbuhan Kapang (%) Gula pereduksi (%) P1K3 6,28 0,44 81,84 90,50 28,72 23,35 41,82 43,33 15,46 Styrofoam 0,83 0,04 89,83 93,18 26,12 29,12 29,16 6,67 2,21 Signifikansi 0,0001 0,0011 0,0385 0,001 0,1375 0,1786 0,0034 0,0043 0,0012 Keterangan : Angka yang dicetak tebal pada kolom signifikansi menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan dengan styrofoam. 4.3. Perbaikan Karakteristik Biofoam 4.3.1. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Karakteristik biofoam Karakteristik biofoam yang dihasilkan pada tahap ke 2 sudah mampu mendekati karakteristik styrofoam. Namun demikian, untuk lebih meningkatkan hidrofobisitasnya maka dirasa perlu untuk menambahkan bahan hidrofobik untuk mengurangi penyerapan air pada permukaan biofoam. Adapun penambahan bahan hidrofobik dilakukan dengan menambahkan pati hidrofobik, yaitu pati modifikasi yang diberi lapisan hidrofobik pada permukaan granula patinya sehingga bila ditetesi air tidak mudah basah. Bahan ini biasanya digunakan pada industri cat untuk menngurangi penyerapan air ke dalam dinding yang dilapisi cat. Adapun pengaruh dari penambahan pati hidrofobik terhadap sifat fisik dan mekanis biofoam seperti terdapat pada Tabel 29 dan 30. Pada tabel tersebut terlihat bahwa penambahan pati hidrofobik pada formula pembuatan biofoam tampaknya tidak berpengaruh terhadap karakteristik biofoam. Sifat hidrofobik yang ada pada pati tersebut menyebabkan air yang ditambahkan pada adonan sulit menyerap dengan baik ke dalam granula pati. Akibatnya air yang seharusnya dapat berfungsi sebagai blowing agent tidak dapat dimanfaatkan pada proses ekspansi sehingga biofoam yang dihasilkan cenderung lebih padat dengan densitas yang lebih tinggi dibandingkan bila menggunakan pati alami. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 38, dimana peningkatan rasio pati 93 hidrofobik cenderung meningkatkan densitas biofoam. Namun demikian hasil analisis statistik menunjukkan peningkatan densitas tersebut tidak berbeda nyata (Lampiran 21). Tabel 29. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap Karakteristik Sifat Fisik Biofoam Rasio Tapioka: PH 4:0 3:1 2:2 1:3 0:4 Kadar Air (%) Densitas (g/cm3) Tingkat Nilai Kecerahan 0Hue 6,54a 6,40a 6,51a 6,49a 7,18a 0,54a 0,56a 0,61a 0,66a 0,66a 85,36a 85,03a 84,80a 84,31a 83,63a 99,70a 98,17a 98,57a 100,97a 97,80a Daya Serap Air (%) 34,43a 36,18a 35,42a 39,35a 37,35a Catatan : Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan Tabel 30. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik (PH) terhadap Karakteristik Sifat Mekanis dan Biodegradabilitas Biofoam Rasio Tapioka: PH 4:0 3:1 2:2 1:3 0:4 Kuat Tekan (N/mm2) 23,91a 24,14a 17,61a 17,17a 21,15a Kuat Tarik (N/mm2) 43,36a 41,49a 44,23a 34,56a 30,92a Pertumbuhan Kapang (%) Gula Pereduksi (%) 50,00a 46,67a 45,00a 40,00a 30,00a 11,99a 13,16a 13,83a 11,91a 11,81a Catatan : Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan Penambahan pati hidrofobik sebenarnya diharapkan dapat menurunkan nilai daya serap air dari biofoam, namun demikian data hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pati hidrofobik tidak berpengaruh terhadap densitas biofoam maupun daya serap airnya seperti tersaji pada Gambar 38 serta hasil analisis statistik pada Lampiran 24. Biofoam tanpa penambahan pati hidrofobik justru memiliki daya serap air terendah dibandingkan biofoam yang ditambahkan dengan pati hidrofobik walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Daya Serap Air (%) 94 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0,5 0,55 0,6 0,65 0,7 Densitas (g/cm3) Gambar 38. Korelasi antara Densitas terhadap Daya Serap Air Biofoam dengan Penambahan Pati Hidrofobik Penambahan pati hidrofobik juga tidak berpengaruh pada perbaikan sifat mekanis biofoam yang dihasilkan. Hasil pengujian terhadap kuat tekan dan kuat tarik seperti tampak pada Gambar 39 menunjukkan bahwa penambahan pati hidrofobik tidak berpengaruh terhadap kuat tekan tetapi berpengaruh negatif terhadap kuat tarik biofoam. Namun demikian, hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan pati hidrofobik tidak berpengaruh baik terhadap kuat tekan Kuat Tekan/Kuat Tarik (N/mm2) maupun kuat tarik (Lampiran 25 dan 26). 50 45 40 35 30 25 20 Kuat Tekan 15 Kuat Tarik 10 5 0 0,5 0,55 0,6 0,65 0,7 Densitas (g/cm3) Gambar 39. Korelasi antara Densitas terhadap Kuat Tekan dan Kuat Tarik Biofoam dengan Penambahan Pati Hidrofobik 95 Hasil pengamatan terhadap tingkat biodegradabilitas biofoam dengan penambahan pati hidrofobik terlihat dapat menurunkan tingkat pertumbuhan kapang A.niger pada permukaan biofoam seperti tersaji pada Gambar 40. Namun demikian hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan pati hidrofobik tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan kapang (Lampiran 27). Sementara itu, pengamatan biodegradabilitas secara kuantitatif dengan menggunakan enzim selulase dan amilase juga menunjukkan bahwa peningkatan rasio pati hidrofobik terhadap tapioka tidak berpengaruh terhadap perubahan kadar gula pereduksi (Lampiran 28). Hal ini berarti kemampuan biodegradabilitas biofoam secara enzimatis juga tidak terpengaruh dengan penambahan pati hidrofobik. Penggunaan pati hidrofobik yang berasal dari tapioka memiliki komposisi kimia tidak jauh berbeda dengan pati alami menyebabkan tidak ada perbedaan pada kadar gula pereduksi yang dihasilkan dari penambahan enzim selulase dan amilase pada sampel yang diamati. X1 X2 X3 X5 X4 Keterangan : X1= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 4 : 0 X2= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 3 : 1 X3= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 2 : 2 X4= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 1 : 3 X5= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 0 : 4 Gambar 40. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Pertumbuhan Kapang A.niger pada Permukaan Biofoam Hasil pengamatan terhadap struktur morfologi biofoam dengan menggunakan SEM seperti tersaji pada Gambar 41 memperlihatkan bahwa tidak 96 semua granula pati khususnya pati hidrofobik mengalami dekstrusi akibat proses gelatinisasi. Beberapa granula pati dapat terlihat dengan jelas dan tidak mengalami dekstrusi akibat proses gelatinisasi. Diduga hal tersebut disebabkan karena lapisan bahan hidrofobik yang menyebabkan penetrasi cairan sulit menembus ke dalam granula pati, sehingga proses gelatinisasi tidak berjalan sempurna. X1 ( 20X) X2 (20 X) X4 (20 X) X3 (20 X) X5 (14 X) Keterangan : X1= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 4 : 0 X2= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 3 : 1 X3= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 2 : 2 X4= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 1 : 3 X5= Rasio Tapioka:Pati Hidrofobik = 0 : 4 Gambar 41. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam Sementara itu, bila diamati pada permukaan biofoam yang dihasilkan, penambahan pati hidrofobik cenderung menyebabkan permukaan biofoam lebih banyak memiliki lubang-lubang kecil (Gambar 42). Lubang-lubang ini diduga disebabkan oleh dorongan uap air yang mendesak keluar selama proses pemanasan. Adanya lubang-lubang tersebut dapat meningkatkan sensitifitas biofoam terhadap air karena lubang tersebut menjadi pintu masuk penetrasi air ke dalam dinding 97 biofoam sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan daya serap air pada biofoam. Pati Hidrofobik 20% (15 X) Pati Hidrofobik 0% (15 X) Gambar 42. Pengaruh Penambahan Pati Hidrofobik terhadap Struktur Morfologi Permukaan Biofoam Dari beberapa parameter yang diamati, ternyata penambahan pati hidrofobik tidak terlalu berpengaruh terhadap perbaikan karakteristik biofoam sehingga komposisi terbaik tetap komposisi terbaik yang dihasilkan pada Tahapan sebelumnya yaitu perlakuan P1K3. 4.3.2. Perbaikan Sifat Hidrofobisitas serta Viskoelastisitas Biofoam melalui Penambahan Pati Modifikasi, Sizing agent serta Plastisizer. Upaya peningkatan hidrofobisitas pada tahap ke tiga dengan penambahan pati hidrofobik ternyata tidak berpengaruh terhadap perbaikan karakteristik biofoam. Oleh karena itu, pada tahapan ke-4 ini, upaya perbaikan hidrofobisitas dilakukan dengan menambahkan pati asetat. Pada tahapan ini dilakukan pula penambahan sizing agent yang merupakan bahan hidrofobik yang umum digunakan pada industri kertas atau tekstil. Selain itu, juga dilakukan penambahan gliserol untuk meningkatkan viskoelastisitasnya mengingat produk biofoam yang dihasilkan pada tahapan sebelumnya masih cukup kaku dan keras. Bahan lain yang juga ditambahkan pada tahapan ini adalah agar sebagai bahan pengikat atau binder serta NaOH untuk membantu proses hidrolisis serat. Pembuatan biofoam pada tahapan ini dilakukan dengan menggunakan mesin cetak yang berbeda dimana mesin tersebut bisa diatur tekanan, suhu dan lama waktu proses secara otomatis, sehingga hasil yang diperoleh juga sedikit berbeda 98 dengan yang dilakukan pada tahapan sebelumnya. Untuk penyesuaian dengan peralatan yang digunakan maka pada tahapan ini juga dilakukan penyesuaian komposisi bahan agar dapat diperoleh produk biofoam seperti yang diinginkan. Penyesuaian yang paling berpengaruh adalah kadar air adonan karena apabila penambahan air sebanyak 50% maka produk biofoam akan pecah karena tingginya tekanan yang ada pada cetakan. Namun demikian, bila tekanan tersebut dikurangi maka biofoam tidak dapat terbentuk sempurna. Oleh karena hal tersebut maka penambahan air yang dilakukan pada tahapan ini adalah sebesar 42%. Selain perbaikan formula juga dilakukan penyesuaian terhadap kondisi proses seperti lama waktu proses menjadi lebih singkat yaitu 2 menit dan suhu proses ditingkatkan menjadi 1900C. Perubahan pada formula dengan mengurangi jumlah air yang ditambahkan berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar air biofoam. Kadar air biofoam yang diperoleh pada tahapan sebelumnya berkisar 7% menurun menjadi sekitar 24%. Pada biofoam yang menggunakan sizing agent A, penambahan kadar gliserol dapat menurunkan kadar air biofoam. Sebaliknya biofoam yang menggunakan sizing agent B, penambahan gliserol dapat meningkatkan kadar airnya (Gambar 43). Hal ini diduga penggunaan sizing agent A dapat berinteraksi dengan gliserol untuk mengurangi penyerapan air ke dalam adonan sehingga biofoam yang dihasilkan juga akan lebih kering. Selain itu, penggunaan suhu proses yang lebih tinggi dan kadar air awal adonan yang lebih rendah juga berpengaruh terhadap penurunan kadar air tersebut. Penambahan pati modifikasi khususnya pati asetat yang memiliki sifat hidrofobik yang lebih tinggi dibandingkan pati alami tampaknya juga berpengaruh terhadap penurunan kadar air karena sebagian gugus hidroksil pada pati alami yang bersifat hidrofilik digantikan dengan gugus asetil yang bersifat hidrofobik (Chi et al., 2008). 99 4 Kadar Air (%) 3,5 3 2,5 P2S2 2 P1S1 1,5 P2S1 1 P1S2 0,5 0 0 5 10 Konsentrasi Gliserol (%) P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S1 S2 : Sizing agent A : Sizing agent B Gambar 43. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Kadar Air Biofoam Hasil uji statistik terhadap parameter kadar air (Lampiran 22) menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:pati asetat berpengaruh nyata terhadap kadar air biofoam yang dihasilkan, sementara perbedaan jenis sizing agent dan konsentrasi gliserol tidak berpengaruh terhadap kadar air biofoam. Interaksi antara ke tiga faktor yaitu rasio tapioka:pati asetat, jenis sizing agent maupun konsentrasi gliserol berpengaruh terhadap kadar air biofoam. Adapun hasil uji lanjut menunjukkan pada biofoam dengan penambahan pati asetat yang lebih besar, peningkatan kadar gliserol dapat menurunkan kadar air biofoam. Hal ini berarti, penambahan rasio pati asetat yang bersifat hidrofobik belum mampu menurunkan kadar air biofoam. Diduga hal tersebut disebabkan karena nilai DS dari pati asetat yang digunakan rendah (0,3) sehingga sifat hidrofobiknya juga rendah. Pada Gambar 43 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi gliserol akan berpengaruh terhadap penurunan kadar air pada biofoam dengan konsentrasi pati asetat 20%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena gugus hidroksil pada tapioka akan lebih banyak berikatan dengan gliserol dibandingkan mengikat air. Akibatnya kadar air biofoam juga cenderung berkurang. Sebaliknya pada biofoam dengan konsentrasi pati asetat yang lebih tinggi berarti jumlah tapioka berkurang sehingga 100 lebih sedikit gugus hidroksil bebas yang dapat mengikat gliserol. Semakin banyak gliserol yang ditambahkan maka akan semakin besar peluang untuk menarik air. Pada pengamatan terhadap daya serap air seperti tersaji pada Gambar 44 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi gliserol 5% dapat meningkatkan daya serap air biofoam, sedangkan peningkatan gliserol hingga 10% akan menurunkan daya serap air. Namun demikian, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:pati asetat, jenis sizing agent maupun konsentrasi gliserol tidak berpengaruh terhadap daya serap air biofoam (Lampiran 23). 80,00 Daya Serap Air (%) 70,00 60,00 50,00 P2S2 40,00 30,00 P1S1 20,00 P2S1 10,00 P1S2 0,00 0 5 10 Konsentrasi Gliserol P1 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S1 S2 : Sizing agent A : Sizing agent B Gambar 44. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Daya Serap Air Biofoam Dibandingkan dengan daya serap air biofoam berbahan baku hanya tapioka, ampok dan PVOH maka daya serap air biofoam pada tahapan ini cenderung lebih tinggi. Hal ini kemungkinan besar lebih disebabkan oleh peningkatan porositas biofoam akibat penambahan beberapa bahan yang membantu proses foaming. Penambahan pati asetat menurut Guan et al. (2005), dapat meningkatkan kemampuan ekspansi pada loose fill foam. Semakin tinggi nilai DS yang dimiliki oleh pati asetat maka kemampuan ekspansinya juga semakin tinggi. 101 Kemampuan ekspansi yang semakin besar menyebabkan rongga-rongga yang terbentuk selama proses ekspansi juga semakin besar dan menyebabkan berkurangnya densitas biofoam sehingga air mudah masuk mengisi rongga yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sjoqvist et al (2010), yang menyatakan bahwa proses foaming akan mengurangi bobot dari bahan dan menghasilkan material yang bersifat porous dan mudah menyerap air. Umumnya penyerapan air pada menit-menit awal berhubungan dengan tingkat porositas bahan. Semakin porous bahan maka jumlah air yang diserap juga semakin besar. Porositas biofoam tentunya berhubungan dengan densitasnya. Pengamatan terhadap densitas biofoam pada tahapan ini seperti tersaji pada Gambar 45 menunjukkan terjadi penurunan densitas yang cukup signifikan dari 0,54-0,66 g/cm3 pada biofoam tahapan sebelumnya menjadi 0,33-0,47 g/cm3pada tahapan ini. Selain disebabkan oleh penggunaan pati asetat yang mampu meningkatkan kemampuan ekspansi, diduga penggunaan peralatan yang berbeda menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan densitas tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada tahapan ini, suhu proses lebih tinggi yaitu sekitar 1850C dibandingkan dengan suhu proses 1700C yang dilakukan pada tahapan sebelumnya. Peningkatan suhu ini akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi produk karena semakin tinggi suhu maka semakin banyak air yang dapat diuapkan dan ini berarti semakin banyak blowing agent yang tersedia. Akibatnya produk akan lebih mengembang dan menghasilkan foam dengan densitas yang lebih rendah. Selain itu adanya tekanan yang diberikan pada saat pemanasan menyebabkan tekanan pada cetakan tersebut semakin tinggi yang berdampak pada peningkatan kemampuan ekspansi dan berkurangnya densitas biofoam. Densitas (g/cm3) 102 0,50 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 P2S2 P1S1 P2S1 P1S2 0 5 10 Konsentrasi Gliserol (%) Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S1 S2 : Sizing agent A : Sizing agent B Gambar 45. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Densitas Biofoam Walaupun terjadi penurunan densitas biofoam yang cukup signifikan dibandingkan hasil tahapan sebelumnya, namun demikian pengaruh dari pati asetat, sizing agent maupun gliserol tidak berpengaruh terhadap densitas biofoam yang dihasilkan (Lampiran 24). Selanjutnya bila diamati pada struktur morfologi biofoam dengan penggunaan SEM, terlihat bahwa pori-pori atau lubang yang terbentuk selama proses ekspansi lebih banyak dengan ukuran yang lebih kecil seragam (Gambar 46). Diduga penambahan dan besarnya pati asetat yang juga berfungsi sebagai nucleating agent dapat membantu menghasilkan pori yang berukuran lebih kecil namun homogen (Ardanuy et al., 2012) sehingga dapat menurunkan densitas biofoam. Pernyataan ini juga sejalan dengan penelitian Benezet et al. (2011) yang menyatakan bahwa pengurangan ukuran sel akan menyebabkan penurunan densitas. Namun kondisi ini hanya terjadi bila diikuti oleh pengurangan ketebalan dinding sel serta peningkatan jumlah sel. 103 P1S1G0 (20 X) P1S1G1 (17 X) P1S2G2 (16 X) P2S1G0 (15 X) P2S1G1 (17 X) P2S2G2 (17 X) Keterangan P1: Rasio Tapioka:Pati Asetat = 80:20 P2: Rasio Tapioka:Pati Asetat =:60:40 S1: Sizing agent A S2: Sizing agent B G0: Gliserol 0% G1: Gliserol 5% G2: Gliserol 10% Gambar 46. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam. Pengamatan sifat fisik lainnya adalah terhadap warna baik tingkat kecerahan maupun nilai 0Hue dari biofoam. Adapun hasil pengamatan terhadap tingkat kecerahan dan nilai 0Hue menunjukkan bahwa penambahan pati asetat, sizing agent serta gliserol dan interaksi diantara semua faktor tersebut berpengaruh terhadap tingkat kecerahan maupun nilai 0Hue biofoam (Lampiran 25 dan 26). Hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 47, dimana penambahan gliserol cenderung menurunkan tingkat kecerahan biofoam, khususnya pada biofoam dengan rasio pati asetat yang lebih tinggi. Gliserol merupakan trigliserida turunan dari asam lemak yang sensitif terhadap pengaruh panas. Dengan demikian, semakin banyak gliserol yang ditambahkan maka biofoam yang dihasilkan cenderung berwarna gelap karena pengaruh panas yang diterima oleh biofoam tersebut. 104 90,00 Tingkat Kecerahan 85,00 80,00 75,00 P2S2 70,00 P1S1 65,00 P2S1 60,00 P1S2 55,00 50,00 0 5 10 Konsentrasi Gliserol (%) Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S1 S2 : Sizing agent A : Sizing agent B Gambar 47. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam Parameter penting lain yang juga digunakan untuk mengetahui tingkat hidrofobisitas suatu bahan adalah dengan pengamatan contact angle. Pengamatan ini dilakukan dengan mengamati perubahan sudut kontak antara permukaan biofoam dengan tetesan air yang diteteskan pada permukaannya dengan menggunakan peralatan khusus yang disebut dengan goneometer contact angle. Adapun hasil pengukuran tersebut sebagaimana terdapat pada Gambar 48 dan 49. Tingkat hidrofobisitas yang diperoleh dari pengukuran contact angle berbeda dengan hasil pengukuran daya serap air. Pada pengukuran contact angle, hidrofobisitas bahan dilihat pada seberapa cepat penyeraan air pada permukaan bahan saja. Sementara pada daya serap air, yang diukur adalah banyaknya air yang dapat diserap oleh seluruh bagian sampel sehingga faktor porositas bahan turut berpengaruh. Dengan demikian, upaya pelapisan dengan bahan hidrofobik seperti sizing agent dapat meningkatkan nilai contact angle dengan mengisi celah atau lubang-lubang yang ada pada permukaan bahan. 105 90,00 Contact Angle (0) 80,00 70,00 60,00 50,00 P2S2 40,00 P1S1 30,00 P2S1 20,00 P1S2 10,00 0,00 0 5 10 Konsentrasi Gliserol (%) Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S1 S2 : Sizing agent A : Sizing agent B Gambar 48. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol terhadap Nilai Contact angle Biofoam Hasil pengukuran tingkat hidrofobisitas dilakukan dengan menggunakan instrumen contact angle goneometer seperti tersaji pada Gambar 48, menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi gliserol hingga 5% dapat meningkatkan nilai contact angle terutama pada biofoam dengan yang menggunakan sizing agent carvacrol. Sementara untuk biofoam yang menggunakan sizing agent AKD, nilai maksimum diperoleh pada penambahan gliserol 10%. Pengunaan sizing agent carvacrol juga lebih besar pengaruhnya dalam peningkatan contact angle dibandingkan jenis AKD. Selain itu, pada gambar tersebut juga terlihat bahwa peningkatan rasio pati asetat juga dapat meningkatkan contact angle. Diduga hal ini disebabkan oleh adanya gugus asetat yang bersifat hidrofobik. Pada pati alami, terdapat banyak gugus hidroksil pada permukaan pati yang akan menyebabkan air yang diteteskan pada permukaan biofoam akan segera terikat pada gugus hidroksil tersebut. Adapun hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan pati asetat, sizing agent, gliserol serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap perbedaan nilai contact angle (Lampiran 27). 106 P1S1G0 P1S1G1 P1S1G2 P1S2G0 P1S2G1 P1S2G2 P2S1G0 P2S1G1 P2S1G2 P2S2G0 P2S2G1 P2S2G2 S1: Sizing agent A S2: Sizing agent B G0: Gliserol 0% G1: Gliserol 5% G2: Gliserol 10% Keterangan P1: Rasio Tapioka:Pati Asetat = 80:20 P2: Rasio Tapioka:Pati Asetat =:60:40 Gambar 49. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Bentuk Permukaan Tetesan Air pada Pengukuran Contact Angle Penambahan pati asetat akan merubah polaritas permukaan biofoam sehingga lebih bersifat hidrofobik. Hal tersebut terlihat pada Gambar 49 yang menggambarkan terjadinya peningkatan contact angle dari 460 menjadi 690 dengan menambahkan jumlah pati asetat dari 20% menjadi 40%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Chi et al. (2008), yang menyebutkan bahwa asetilasi pati alami dapat menaikkan contact angle dari 43,10 menjadi 68,20. 107 Namun demikian, suatu bahan bisa dikatakan bersifat hidrofobik apabila memiliki sudah memiliki nilai sudut >900, sedangkan bila sudutnya melebihi 1200 disebut dengan superhidrofobik (Stanssens et al., 2011 ). Pada Gambar 48 dan 49 juga terlihat bahwa penambahan gliserol hingga 10% dapat meningkatkan nilai contact angle pada biofoam yang ditambahkan sizing agent A, namun pada sizing agent B, contact angle yang optimal adalah dengan penambahan gliserol 5%. Peningkatan gliserol hingga 10% dapat menurunkan nilai contact angle. Dengan demikian, untuk penggunaan sizing agent A, gliserol yang ditambahkan harus mencapai 10% agar biofoam lebih hidrofobik, sementara untuk sizing agent B, penambahan gliserol cukup 5% saja. Upaya perbaikan karakteristik biofoam dengan penambahan pati asetat, sizing agent dan gliserol ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan hidrofobisitas tetapi juga berpengaruh terhadap kemampuan mekanis dan biodegradabilitasnya. Peningkatan sifat mekanis biofoam dengan penambahan serat dan polimer sintetik sudah berhasil dilakukan pada tahapan sebelumnya. Namun demkian, parameter penting lainnya bagi kemasan foam adalah kemampuan viskoelastisitasnya. Viskoelastisitas merupakan parameter yang menggambarkan kemampuan reologi dari suatu bahan. Viskoelastisitas terdiri dari dua kata yaitu viskositas dan elastisitas. Viskositas mengukur kemampuan bahan untuk tidak mengalir, sementara elastisitas menggambarkan kemampuan bahan untuk kembali ke bentuk semula setelah diberi gaya atau tekanan. Menurut Alves et al. (2007), penambahan gliserol dapat meyebabkan terjadinya perubahan struktur jaringan dimana matriks polimer akan berkurang densitasnya sehingga memudahkan pergerakan pada rantai polimer sehingga dapat meningkatkan viskoelastisitas dan fleksibilitas polimer. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 50 dan 51 yang menunjukkan bahwa penambahan gliserol berpengaruh terhadap peningkatan sifat viskoelastisitas pada lebih biofoam. dibandingkan dengan penambahan pati asetat. Hal ini sesuai dengan fungsi gliserol sebagai plastisizer yang dapat meningkatkan viskoelastisitas polimer. Pengukuran terhadap viskoelastisitas penting dilakukan karena foam yang dihasilkan akan digunakan sebagai kemasan pengganti styrofoam. Sebagai 108 kemasan, foam tersebut harus mampu melindungi produk yang dikemasnya terhadap benturan. Kemasan tersebut harus fleksibel, namun tidak mudah patah maupun berubah bentuk. Untuk mengetahui sifat viskoelastisitasnya umumnya digunakan Dynamic Mechanical Thermal Analysis (DMTA) dimana terdapat perbedaan prinsip pengukuran dengan Texture Analyzer. Pada pengukuran DMTA, perubahan sifat mekanis diamati pada selang suhu tertentu sementara Texture Analyzer hanya mengukur sifat mekanis bahan pada suhu tertentu. Pengukuran terhadap viskoelastisitas dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu compressibility dan 3 bending. Pengukuran viskoelastisitas terhadap menggunakan mode compressibility dilakukan untuk mengetahui kekuatan tekan dari biofoam, sementara 3 bending dilakukan untuk mengetahui kekuatan patahnya. Pengukuran ke dua parameter ini dilakukan dengan meggunakan DMTA pada selang suhu -70 -800C. Storage Modulus (E') MPa 90 80 70 60 50 P1G0 40 P2G0 30 P1G1 20 P2G1 10 0 -70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Suhu (0C) Keterangan P1 : P2 : G0: G1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 Konsentrasi gliserol 0% Konsentrasi gliserol 5% Gambar 50. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Storage Modulus untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu Storage Modulus (E’) menggambarkan tingkat kekakuan dari suatu material dan nilainya proporsional terhadap beban maksimal yang diperoleh. Semakin 109 tinggi nilai storage modulusnya menandakan semakin kaku benda tersebut. Umumnya sebuah benda memiliki storage modulus yang tinggi pada suhu di bawah 00C. Benda tersebut dikatakan memiliki sifat elastis apabila pada suhu kamar memiliki nilai storage modulus yang rendah . Penurunan nilai storage modulus yang cukup drastis pada pengukuran DMTA menunjukkan suhu transisi gelas dari bahan tersebut. Hasil pengamatan terhadap nilai storage modulus biofoam baik untuk mode compression maupun 3 bending tersaji pada Gambar 50 dan 51. Pada Gambar 50 terlihat bahwa peningkatan suhu akan menurunkan storage modulus dari bahan hingga titik tertentu yang merupakan suhu transisi gelas biofoam tersebut. Selanjutnya proses pemanasan akan menaikkan lagi storage modulusnya. Ini berarti pada kisaran suhu 10-300C, foam tersebut bersifat elastis namun bila digunakan untuk suhu yang lebih rendah atau lebih tinggi, biofoam tersebut bersifat lebih kaku sehingga dalam aplikasinya sebagai kemasan pangan Modulus Storage (MPa) harus disesuaikan dengan kisaran suhu yang diperoleh. 600 500 400 300 P1G0 200 P2G0 100 P1G1 0 P2G1 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Suhu ( 0C) Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 G0 : Konsentrasi gliserol 0% G1 : Konsentrasi gliserol 5% Gambar 51. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Storage Modulus untuk 3 bending Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu Hasil pengamatan terhadap 3 bending sebagaimana tersaji pada Gambar 51 menunjukkan trend yang sama seperti pada kuat tekan yaitu nilai modulus storage cenderung menurun selama proses perubahan suhu. Biofoam yang ditambahkan 110 gliserol pada biofoam dengan rasio tapioka:pati asetat (3:2) memiliki perubahan nilai storage modulus yang lebih signifikan dibandingkan biofoam dengan rasio tapioka:pati asetat (4:1). Ini berarti ada interaksi antara penambahan pati asetat dengan gliserol. Sementara itu, biofoam yang mengandung pati asetat lebih sedikit tanpa penambahan gliserol (P1G0) nilainya cenderung stabil tidak terpengaruh oleh perubahan suhu. Tampaknya penambahan gliserol lebih berpengaruh dalam mengurangi kekakuan biofoam dibandingkan dengan pengaruh dari penambahan pati asetat. Tangen δ menggambarkan seberapa baik sebuah material dalam menyerap atau meredam energi yang diberikan. Nilainya biasanya bergantung kepada kondisi bahan, suhu dan frekuensi yang digunakan. Semakin tinggi nilai tangen δ maka berarti material atau bahan tersebut lebih banyak meredam energi (Gambar 52 dan 53). 0,25 Tangen δ (MPa) 0,2 0,15 P1G0 P2G0 0,1 P1G1 P2G1 0,05 0 -70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Suhu ( 0C) Keterangan P1 P2 G0 G1 : : : : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 Konsentrasi gliserol 0% Konsentrasi gliserol 5% Gambar 52. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Nilai Tangen δ untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu Untuk pengamatan terhadap nilai tangen δ untuk mode compression (Gambar 52) menunjukkan bahwa penambahan gliserol 5% mampu meningkatkan 111 nilai tangen δ biofoam secara drastis dibandingkan dengan biofoam yang tidak ditambahkan gliserol. Hal ini berarti kemampuan biofoam untuk menyerap energi atau meredam benturan juga meningkat dengan adanya penambahan gliserol. Sementara itu pada pengamatan nilai tangen δ mode 3 bending (Gambar 53), penambahan gliserol pada adonan biofoam dengan pati asetat 40%, dapat meningkatkan nilai tangen δ jauh lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini berarti untuk parameter 3 bending, selain pengaruh penambahan gliserol, pengaruh penambahan pati asetat juga mampu meningkatkan Tangen δ viskoelastisitas biofoam. 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 P1G0 P2G0 P1G1 P2G1 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Suhu ( 0C) Keterangan P1 P2 G0 G1 : : : : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 Konsentrasi gliserol 0% Konsentrasi gliserol 5% Gambar 53. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Nilai Tangen δ untuk 3 bending Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu Selain melakukan pengukuran terhadap kemampuan viskoelastisitas bahan, pengukuran menggunakan DMTA juga dapat membantu untuk menentukan suhu transisi gelas dari suatu bahan. Nilai Tg tersebut umumnya dapat dilihat penurunan nilai storage modulus yang cukup tajam atau dari nilai maksimum atau titik puncak dari nilai tangen δ. Penambahan gliserol selain meningkatkan kemampuan viskoelastisitas juga berfungsi menurunkan titik transisi gelas dari biofoam. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 51 atau 53, bahwa Tg dari perlakuan P1G0 maupun 112 P2G0 yang tidak mengandung gliserol berada pada kisaran 30-400C. Sementara pada perlakuan P1G1 maupun P2G1 yang mengandung gliserol, Tg menurun menjadi sekitar 10-200C. Penurunan Tg hingga di bawah suhu kamar membuat biofoam lebih fleksibel bila digunakan sebagai kemasan pada suhu ruang. Pengukuran suhu transisi gelas (Tg) menggunakan DMTA umumnya lebih mudah diamati dibandingkan dengan menggunakan DSC. Hasil analisis sifat termal menggunakan DSC sering menimbulkan kesulitan untuk menentukan titik transisi gelas karena tidak terbaca oleh instrumen yang ada. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi proses DSC yang kurang tepat sehingga Tg tidak terdeteksi. Sementara itu pengukuran DSC mampu menghitung melting point, titik kristalisasi maupun degradasi yang tidak mampu dilakukan oleh DMTA. Adapun Titik leleh atau Melting Temperature (Tm) untuk formulasi biofoam dapat terbaca dengan jelas di kisaran 135-1910C. Pada biofoam dengan kandungan pati asetat 40%, penambahan gliserol mampu menurunkan Tm dari 158,420C menjadi 135,510C. Sementara itu pada biofoam dengan kandungan pati asetat 20%, penambahan gliserol dari 0% menjadi 10% malahan meningkatkan Tm dari 162,790C menjadi 188,790C (Tabel 31). Menurut Arvanitoyannis dan Kassaveti (2009), seringkali sulit untuk menentukan titik transisi gelas pada polimer komposit khususnya pati termoplastis dengan menggunakan DSC. Hal ini disebabkan karena perubahan kapasitas panas yang sangat kecil sehingga tidak terdeteksi oleh DSC. Oleh karena itu biasanya digunakan metode lain dengan menggunakan DMTA yang lebih jelas menggambarkan titik transisi gelas dari puncak tangen δ (Averous dan Boquillon, 2004). Sementara itu beberapa peneliti lain (Biliaderis, 1992 dan Chinachoti, 1996) menyatakan bahwa DSC kurang cocok digunakan untuk mempelajari suhu transisi glass dari bahan berpati karena kapasitas panas saat transisi tersebut terlalu lemah dan tertutup oleh proses endotermi saat gelatinisasi. Bila diamati nilai ΔH atau entalpi yang diperoleh, terlihat bahwa peningkatan konsentrasi gliserol berpengaruh terhadap penurunan nilai entalpi. Adapun pengaruh dari perbedaan rasio pati asetat maupun jenis sizing agent yang 113 digunakan tampaknya kurang berpengaruh terhadap perbedaan nilai entalpi tersebut. Nilai entalpi akan semakin tinggi bila terdapat interaksi yang kuat antara bahan-bahan yang dicampurkan (Hourston dan Song, 2006). Hal ini disebabkan karena lebih banyak energi yang dibutuhkan untuk memisahkan ikatan tersebut agar proses melting dapat terjadi. Penambahan plastisizer tampaknya mampu mengurangi energi tersebut karena plastisizer dapat mengurangi kekuatan ikatan hidrogen yang ada sehingga energi yang dibutuhkan juga akan berkurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Xie et al. (2011) yang menyatakan bahwa penambahan plastisizer akan berpengaruh terhadap proses transformasi granula, degradasi molekul serta melemahkan interaksi antar molekul pati. Tabel 31. Nilai Tg dan Tm pada pengukuran DSC Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol No Perlakuan ΔH Entalpi Tg (0C) Tm1(0C) Tm2 (0C) (mJ) 1 P1S1G0 -663,66 td 162,79 - 2 P1S1G1 -300,42 td 191,46 - 3 P1S1G2 -286,71 td 188,79 - 4 P1S2G0 -422,16 td 175,61 - 5 P1S2G2 -322,04 td 172,59 199,25 6 P2S1G0 -600,02 td 158,42 - 7 P2S2G1 -300,68 td 176,55 - 8 P2S2G2 -333,53 td 135,51 - td: tidak terdeteksi Keterangan : P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S1 : Sizing agent A S2 : Sizing agent B G0 : Gliserol 0% G1 : Gliserol 5% G2 : Gliserol 10% Parameter terakhir yang diamati untuk menentukan kualitas biofoam adalah biodegradabilitasnya. Karakterisasi sifat biodegradabilitas biofoam ini seperti pada tahapan sebelumnya meliputi biodegradabilitas secara kualitatif dan kuantitatif. Pada Gambar 54 terlihat bahwa persentase pati asetat yang lebih tinggi cenderung 114 lebih sulit ditumbuhi kapang, hal ini disebabkan karena gugus asetil yang ada pada pati asetat sulit didegradasi oleh kapang. Sementara itu penambahan gliserol pada biofoam yang lebih banyak mengandung pati asetat cenderung akan menekan pertumbuhan kapang, karena kapang A. niger tidak mampu mendegradasi gliserol seperti halnya pati. Hasil uji statistik menunjukan bahwa penambahan pati asetat dan konsentrasi gliserol berpengaruh terhadap pertumbuhan kapang, sementara sizing agent tidak berpengaruh (Lampiran 30). Pertumbuhan Kapang (%) 60,00 50,00 40,00 P2S2 30,00 P1S1 20,00 P2S1 P1S2 10,00 0,00 0 5 10 Konsentrasi Gliserol (%) Keterangan : P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S1 S2 : Sizing agent A : Sizing agent B Gambar 54. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam Analisis biodegradabilitas lainnya adalah secara kuantitatif dengan mengukur kadar gula pereduksi yang ada pada biofoam. Analisis gula pereduksi ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan biofoam untuk didegradasi oleh enzim khususnya enzim amilase dan selulase. Semakin tinggi kadar gula pereduksi yang dapat diperoleh berarti kemampuan enzim amilase dan selulase semakin besar untuk mendegradasi biofoam tersebut yang berarti biodegradabilitasnya juga meningkat. Adapun hasil pengukuran sebagaimana tersaji pada Gambar 55 menunjukkan bahwa penambahan pati asetat, sizing agent dan gliserol tidak 115 berpengaruh terhadap kadar gula pereduksi. Hal tersebut juga didukung oleh hasil analisa statistik yang juga menyimpulkan bahwa semua faktor perlakuan dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi (Lampiran 31). Biodegradabilitas Enzimatis (Gula Pereduksi (%)) 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 P1S2 10,00 8,00 P2S2 6,00 P1S1 4,00 P2S1 2,00 0,00 0 5 10 Konsentrasi Gliserol (%) Keterangan : P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S1 S2 : Sizing agent A : Sizing agent B Gambar 55. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol terhadap Biodegradabilitas Biofoam Secara Enzimatis Dari semua parameter yang diamati pada tahap ini terlihat bahwa terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan hasil pada tahapan sebelumnya, khususnya densitas dan kadar air yang cukup jauh menurun. Sementara itu bila dibandingkan semua perlakuan yang dicobakan pada tahapan ini, maka perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P2S2G1, dimana komposisinya adalah rasio tapioka:pati asetat (3:2), dengan menggunakan sizing agent carvacrol dan konsentrasi gliserol 5%. Dipilihnya formula ini karena hasil pengamatan terhadap karakteristiknya memberikan nilai contact angle dan kuat tarik yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun demikian bila dilihat dari pertumbuhan kapang maka formula tersebut cenderung menghambat pertumbuhan kapang, sehingga berakibat pada penurunan kemampuan biodegradabilitasnya. Sebaliknya, bila kita menginkan kemasan yang 100% biodegradable, harus diimbangi dengan rendahnya hidrofobisitas atau sifat mekanisnya. Oleh karena itu, 116 pemilihan formula terbaik dari semua tahapan penelitian bergantung pada tujuan utama apakah menghasilkan kemasan yang dapat terurai 100% ataukah tidak 100% tetapi memiliki sifat mekanis serta ketahanan terhadap air yang cukup tinggi. Produk biofoam hasil penelitian terbaik pada tahapan ini (P2S2G1) dibandingkan dengan styrofoam seperti tersaji pada Tabel 32, memiliki kuat tekan dan daya serap air yang tidak berbeda nyata dengan styrofoam. Sedangkan untuk parameter kuat tarik dan pertumbuhan kapang, nilainya lebih baik. Ini berarti kemasan biofoam dapat digunakan sebagai kemasan alternatif pengganti styrofoam karena memiliki sifat mekanis maupun sifat fisik yang mendekati styrofoam. Penggunaan biofoam dapat mengurangi pemakaian styrofoam sebagai wadah kemasan pangan yang lebih ramah lingkungan. Tabel 32. Uji T untuk Formulasi Terbaik (P2S2G1) Dibandingkan dengan Styrofoam Parameter Styrofoam P2S2G1 Signifikansi 0,83 3,03 0.033 Densitas (g/cm ) 0,04 0,42 0.000 Kecerahan 89,83 77,70 0,001 93,18 82,84 0,000 Kadar air (%) 3 0 Nilai Hue ( ) Daya Serap Air (%) 26,12 42,95 0.095 2 29,12 31,80 0.173 Kuat Tarik (N/mm ) 29,16 52,64 0.002 Pertumbuhan Kapang (%) 6,67 15,00 0,038 Gula pereduksi (%) 2,21 14,91 0.002 Kuat Tekan (N/mm ) 2 Catatan : angka yang dicetak tebal menunjukkan tidak ada beda yang signifikan antara styrofoam dan biofoam P2S2G1 4.4. Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Biofoam Perhitungan nilai tambah dilakukan untuk mengetahui nilai tambah dari tapioka dan ampok sebagai bahan baku utama pembuatan biofoam. Adapun formula yang digunakan adalah hasil terbaik dari penelitian ini yaitu P2S2G1. Perhitungan nilai tambah dilakukan dengan menggunakan beberapa asumsi yaitu : 117 1. Kebutuhan bahan baku berupa campuran tapioka, ampok, PVOH, pati asetat, dan bahan tambahan lainnya yang jumlahnya 120 kg/hari 2. Harga bahan baku tapioka Rp. 6.000/kg sedangkan ampok Rp. 1.500/kg 3. Jumlah produksi 2000 tray per hari atau setara 120 kg adonan 4. Harga jual biofoam Rp. 400/buah atau Rp. 6666,67/kg 5. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan 4 HOK/hari 6. Upah tenaga kerja Rp 48.000/HOK Hasil perhitungan nilai tambah pada industri kemasan biofoam berbahan baku tapioka dan ampok seperti tersaji pada Tabel 33 menunjukkan bahwa industri biofoam dapat memberi nilai tambah pada tapioka sebesar 14,33% sedangkan pada ampok mencapai 71,44%. Adapun tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar 8,57% untuk tapioka dan 65,68% bila dilihat dari sisi penggunaan ampok. Dengan demikian, industri kemasan biofoam ini dapat memberikan manfaat dan nilai tambah yang besar bagi tapioka dan ampok (produk samping industri tepung jagung). Selain itu hal yang utama adalah menyediakan kemasan alternatif pengganti styrofoam yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Manfaat lainnya adalah membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. 118 Tabel 33. Hasil Perhitungan Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Pembuatan Biofoam No Variabel Tapioka I Output, input dan harga Ampok 1. Output (tray/per produksi) 2000 2000 2. Bahan baku (kg/produksi) 28,8 9,6 4 4 69,44 208,33 0,16 0,26 6666,67 6666,67 48.000 48.000 1. Harga bahan baku (Rp/kg) 172.800 14.400 2. Sumbangan input lain (Rp/kg) 223.800 382.200 3. Nilai output (Rp/kg) 462.963 1.388.890 66.363,19 992.289,58 14,33 71,44 26.666.667 80.000.000 40,18 8,06 39.696,53 912.289,58 8,57 65,68 290.163,1944 1.374.489,58 9,19 5,82 - Sumbangan input lain (%) 77,13 27,81 - Keuntungan perusahaan (%) 13,68 66,37 3. Tenaga kerja (HOK) 4. Faktor konversi 5. Koefisien tenaga kerja (HOK/kg) 6. Harga output (Rp/kg) 7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) II Pendapatan dan Keuntungan 4. Nilai tambah (Rp/kg) 5. Nisbah nilai tambah (%) 6. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) 7. Bagian tenaga kerja (%) 8. Keuntungan (Rp/kg) 9. Tingkat keuntungan (%) III Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi Marjin keuntungan - Pendapatan tenaga kerja (%) V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. SIMPULAN Biofoam berbahan baku tapioka dan ampok berpotensi digunakan sebagai kemasan alternatif ramah lingkungan pengganti styrofoam. Biofoam ini memiliki keunggulan yaitu sifat hidrofobisitas dan sifat mekanis yang setara dengan styrofoam serta memiliki kemampuan biodegradabilitas yang lebih tinggi. biofoam dilakukan dengan teknik thermopressing pada suhu Proses pembuatan 1700C, yaitu di atas melting point semua bahan baku sehingga semua bahan dapat tercampur dengan baik. Waktu proses berkisar 2,5-3 menit, dengan volume adonan yang digunakan 60 g. Karakteristik biofoam dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku dan kondisi proses pembuatannya. Tapioka memiliki kadar pati lebih tinggi (97,89%) dibandingkan ampok (69,26%), sebaliknya ampok memiliki kadar lemak, protein dan serat (8,90%, 11,18% dan 7,96%) yang lebih besar dibandingkan tapioka (0,19%, 0,55% dan 1,27%). Perbedaan komposisi ini berpengaruh terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan. Penambahan ampok hingga 75% berpengaruh terhadap peningkatan hidrofobisitas biofoam dengan menurunkan daya serap airnya dari 59,49% menjadi 44,17%. Selain itu, penambahan ampok juga meningkatkan biodegradabilitas biofoam khususnya pertumbuhan kapang yang meningkat dari 6,67% menjadi 90%. Namun demikian, penambahan ampok berpengaruh negatif terhadap sifat mekanis dengan menurunkan kuat tekan dari 27,31 N/mm2 menjadi 6,14 N/mm2. Penambahan polimer sintetik PVOH hingga 50% dapat membantu perbaikan sifat mekanis biofoam dengan meningkatkan kuat tekan dari 10,94 N/mm2 menjadi 33,29 N/mm2, sementara untuk kuat tarik, meningkat dari 25,67 N/mm2 menjadi 48,85 N/mm2. Penambahan PVOH juga dapat meningkatkan hidrofobisitas dengan menurunkan daya serap air dari 54% menjadi 35%. Penambahan pati hidrofobik, ternyata tidak berpengaruh terhadap perbaikan karakteristik biofoam. Penambahan pati asetat dan sizing agent berpengaruh terhadap peningkatan sifat hidrofobisitas dilihat pada peningkatan nilai contact angle dari 120 30,110 menjadi 79,790 untuk perlakuan terbaik. Penambahan pati asetat dan sizing agent juga berpengaruh terhadap perbaikan sifat mekanis dilihat dari peningkatan kuat tekan ( 19,11 N/mm2 menjadi 31,80 N/mm2) dan kuat tarik (48,72 N/mm2 menjadi 52,64 N/mm2). Penambahan gliserol sebesar 5% berpengaruh terhadap perbaikan sifat mekanis khususnya peningkatan viskoelastisitas biofoam yang ditandai dengan penurunan nilai storage modulus yang cukup tajam pada saat suhu kamar yaitu dari 530 Mpa pada 00C menjadi 170 Mpa pada 200C. Pemilihan formulasi terbaik untuk pembuatan biofoam disesuaikan dengan aplikasi atau peruntukan biofoam tersebut. Formula terbaik adalah perlakuan P1K3 yaitu rasio tapioka:ampok 3:1 dengan penambahan PVOH 30% dari berat bahan kering. Karakteristik biofoam yang dihasilkan memiliki daya serap air 39%, densitas 0,48 g/cm3, kuat tekan 19,11 N/mm2, kuat tarik 48,72 N/mm2 dan biodegradabilitas 36,67%. Biofoam ini dapat digunakan untuk mengemas produk dengan kadar air rendah karena permukaannya masih sensitif terhadap air. Untuk produk hasil pertanian ataupun produk olahan dengan kadar air yang lebih tinggi, dilakukan perbaikan formula dengan perlakuan terbaik P2S2G1 yang memiliki komposisi tapioka 21%, pati asetat 7%, ampok 12% dan PVOH 8%. Sizing agent yang ditambahkan dari jenis carvacrol serta penambahan gliserol sebesar 5%. Formula ini memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan P1K3 untuk sifat mekanisnya yaitu kuat tekan 31,80 N/mm2 dan kuat tarik 51,60 N/mm2, namun daya serap airnya lebih tinggi yaitu 62,95% dan biodegradabilitas yang lebih rendah 0%. Kelebihan formula ini memiliki permukaan yang hidrofobik dengan nilai contact angle 79,790. Pemanfaatan tapioka dan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam dapat memberikan nilai tambah sebesar 14,33% untuk tapioka dan 71,44% untuk ampok. 5.2. SARAN Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan biofoam yang dapat digunakan untuk wadah produk pangan dengan kadar air dan suhu yang tinggi. Hal ini 121 dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi baik pada pati maupun sumber serat yang digunakan sebagai bahan baku. Selain itu, penelitian dengan memanfaatkan berbagai sumber pati maupun serat lainnya juga perlu dilakukan untuk mendapatkan produk dengan karakteristik yang sebanding dengan styrofoam namun tetap ramah lingkungan dengan harga yang murah. 123 DAFTAR PUSTAKA AburtoJ, Alric I, Thiebaud S, Borredon E, Bikiaris D, Prinos J, Panayiotou C. 1999. Synthesis, characterization, and biodegradability of fatty-acid esters of amylose and starch.J ApplPolymSci.74 : 1440–1451. Acharya PB, Acharya DK, Modi HA. 2008. Optimization for cellulase production by Aspergillusniger using saw dust as substrate. African J Biotechnol. 7(22): 4147– 4152 Alvarez-Martinez L, Kondury KP, Harper JM. 1988. A general model for expansion of extruded products. J. Food Sci. 53(2):609-615 Alvarez V, Vazquez A, Bernal C. 2006. Effect of microstructure on the tensile and fracture properties of sisal fiber/starch based composites. JCompos Mater. 40(1):21-35 Andersen PJ, Hodson SK. 1996. Molded articles having in inorganically filled organic polymer matrix. US Patent No. 5,545,450, 1996. Andersen P, Kumar A, Hodson S. 1999. Inorganically filled starch based reinforced composite foam materials for food packaging. Matter Res Innov. 3:2-8. Anonymous. 2009. Info Sehat. http://informasisehat.wordpress.com. Akses tanggal 19 Mei 2009. Anonymous. 2010. Bioplastic at a glance. www.european-bioplastics.org. Akses tanggal 18 Februari 2010. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2007. Analysis 18th Edition. Gaitherburg, AOAC International. Official Methods of Ardanuy M, Antunes M, Velasco JI. 2012. Vegetable fibres from agricultural residues as thermo-mechanical reinforcement in recycled polypropylene-based green foams. Waste Mgmt 32(2): 256-263 Arvanitoyannis IS, Kassaveti A. 2009. Starch-Cellulose Blends. Di dalam Yu L, editor. Biodegradable Polymer Blends and Composites from Renewable Resources. New Jersey: John Wiley. Hlm 19-54. [ASTM] American Society for Testing and Materials . Standard Test Methods for Flexural Properties of Unreinforced and Reinforced Plastics and Electrical Insulating Material. Philadelpia, USA, ASTM (Annual Book of ASTM Standards) Averous LC, Boquillon N. 2004. Biocomposites based on plasticized starch:thermal and mechanical behaviours. Carbohydr Polym. 56:111-122. AvérousLC, Fringant L, Moro. 2001. Plasticized starch-cellulose interactions in polysaccharide composites. Polym. 42(15): 6571-6578. Azudin MN, Noor N. 1992. Effects of processing technology on the quality of sago starch. Asian JSciTechnol Dev. 9(1):127-132 124 Ban WP, Song JG, Argyropolous DS, Lucia LA. 2006. Improved the physical dan chemical functionality of starch-derived films with biopolymer. JAppl Polym Sci.100:2542-2548. Barres C, Vergnes B, Tayeb J, Valle GD. 1990. Transformation of wheat flour by extrusion cooking: Influence of screw configuration and operating conditions. Cereal Chem. 67:427-433 Benezet JC, Davidovic AS, Bergeret A, Ferry L, Crespy A. 2011. Mechanical and physical properties of expanded starch, reinforced by natural fibres. Ind Crops Prod. 37 (1): 435-440 Bhatnagar S, Hanna MA. 1996. Effect of talc on properties of cornstarch extrudates. Starch-Starke. 48:94-101. Bhattacharyya M, Hanna MA. 1987. Textural properties of extrusion cooked corn starch. Lebensm-WissTechnol.20:195-201 Biliaderis CG. 1992. Structures and phase transitions of starch in food systems. Food Technol. 46: 98–145. Blanchard JMV. 1987. Starch granule structure and function: A physicochemical approach. Di dalam Galliard T, editor. Starch: Properties and Potential, 1st Edition. New York: , J Wiley. Hlm 14 – 54 , Chapter 2 . Brown NA. 1991. Reproductive and developmental toxicity of styrene. ReprodToxicol. 5:3-29. Breuninger WF, Piyachomkwan K,Sriroth K. 2009. Tapioca/Cassava Starch : Production and Use. Di dalam Starch : Chemistry and Technology. Elsevier, hlm 541-566. Buzarovska A, Gaceva B, Grozdanov A, Avella M, Gentile G, Errico M. 2008. Potential use of rice straw as filler in ecocomposite materials. Aust J Crop Sci. 1(2): 37-45 Canigueral N, Vilaseca F, Mendez JA, Lopez JP, Barbera L, Puig J. 2009. Behavior of biocomposite materials from flax strands and starch-based biopolymer. Chem Eng Sci. 64:2651–2658. Carmen MO, Muller JBL, Fabio Y.2009. Effect of cellulose fibers on the crystallinity and mechanical properties of starch-based films at different relative humidity values. Carbohydr Polym 77:293–299 Chaisawang M, Suphantharika M. 2006. Pasting and rheological properties of native and anionic tapioca starches as modified by guar gum and xanthan gum. Food Hydrocoll. 20:641–649. Chandra R, Rustgi R. 1998. Biodegradable polymers. Prog Polym Sci 23:1273-1335. Chi H., Xu K., Wu X, Chen Q, Xue D, Song C, Zhang W, Wang P. 2008. Effect of acetylation on the properties of corn starch. Food Chem. 106:923-928. Chiellini E, Cinelli P, Ilieva VI Imam SH, Lawton JW. 2009. Enviromentally compatible foamed articles based on potato starch, corn fiber and poly(vinyl) alcohol. JCell Plast.45:17-32 125 Chinnaswamy R, Hanna MA. 1988. Relationship between amylose content and extrusion-expansion properties of corn starches. Cereal Chem. 65:138-143. Chinnaswamy R, Hanna MA. 1993. Macromolecular and functional properties of native and extrusion cooked corn starch. Cereal Chem. 67:490-499 Chinachoti P. 1996. Characterization of thermomechanical properties in starch and cereal products. J Therm Anal Calorim. 47, 195–213. Cinelli P, Chiellini E, Lawton JW, Imam SH. 2005. Foamed articles based on potato starch, corn fibers and poly(vinylalcohol). PolymDegradStabil.91:1147-1155. Davis G, Song JH. 2006. Biodegradable packaging based on raw material from crops and their impact on waste management. IndCrops Prod. 23:147-161. Dowly,BJ, Laseter JL, Storet J. 1976. Transplacental migration and accumulation in blood of volatile organic constituents. JPediatr Res.10: 696–701 Eliasson AC, Gudmundsson, M. 1996. Starch:physicochemical and functional aspect. Di dalam Eliasson AC, editor. Carbohydrate Food.New York: Marcel Dekker hlm 431-503. Fang Q, Hanna MA. 2000. Functional properties of polylactic acid starch based loose fill packaging foams. Cereal Chem. 77(6):779-783. FishmanML, Coffin DR, Onwulata CI, Willet JL. 2006. Two stage extrusion of plasticized pectin/polyvinyl alcohol blends. Carbohydr Polym. 65:421-429. Fishman ML, Cooke P, Hotchkiss A. 2010. Extraction and characterization of sugar beet polysaccharides. Di dalam Chang H et al., editors. Green Polymer Chemistry:biocatalysis and biomaterials. ACSSymposium Series, Washington, D.C., 1043:71-86. Follain N, Joly C, Dole P, Bliard C. 2005. Properties of starch based blends. Part 2:Influence of polyvinyl alcohol addition and crosslinking on starch based materials mechanical properties. Carbohydr Polym. 60:185-192 French D. 1984. Fractination of Starch Di dalam :Whistler RL, Be Miller JN, Paschall EF, editors. Starch : Chemistry and Technology. London : Academic Press. Hlm 183-247. Fritz HG, Seidenstucker T, Bolz U, Juza M. 1994. Study On Production of Thermoplastics and Fibres Based Mainly on Biological Materials. University Stuttgrat, German. Hlm 350. Gaspar M., Benko Z, Dogossy G, Reczey K, Czigany T. 2005. Reducing water absorption in compotable starch-based plastics. PolymDegradStabil. 90:563-569. GlennGM, Hsu J. Prod.7:37–44 1997. Compression-formed starch-based plastic. Ind Crops Glenn GM, Orts WJ. 2001. Properties of starch-based foam formed by compression/ explosion processing. Ind Crop Prod. 13:135-143. Glenn GM, Orts WJ, Nobes GAR. 2001. Starch, fiber and CaCO3 effects on the physical properties of foam made by baking process. IndCrop Prod. 14:201-212. 126 Guan, J, Fang Q, Hanna MA. 2004. Functional properties of extruded starch acetate blends. J. Polym. Environ. 12(2):57-63 Guan J, Hanna MA. 2006. Selected Morphological and fuctional properties of extruded acetylated starch cellulose foams. Bioresour Technol.97(14):1716-1726. Guy RCE, Horne AW. 1988. Extrusion cooking and co-extrusion. Di dalam: Blanshard JMV, Mitchell JR, editors. Food Structure: Its Creation and Evaluation. London: Butterworths, hlm 331-349. Hanna MA, Xu YX. 2009. Starch-fiber composites. Di dalam :Yu L, editor. Biodegradable Polymer Blends and Composites from Renewable Resources. New Jersey: John Wiley, hlm 349-366. Hayami Y, Kawagoe T. 1993. The Agrarian Origin of Commerce and Industry (a Study of Peasant Marketing in Indonesia). St Martin’s Press He Y, Zhu B, Inoue Y. 2004. Hydrogen bonds in polymer blends. Prog polym Sci. 29:1021–1051. HoseneyRC, Zeleznak K, Abdelrahman A. 1983. Mechanism of popping popcorn. JCereal Sci.1 : 43–52 Hoseney RC. 1998. Principles of Cereal Science and Technology. Association of Cereal Chemist, Inc., St Paul, Minnesota. American Hu YB, Wang Z, Xu SY. 2008. Treatment of corn bran dietary fiber with xylanase increases its ability to bind bile salts, in vitro. Food Chem.106 : 113–121. Inglett GE. 1970. Kernel, Structure, Composition and Quality. Di dalam: Inglet GE, editor. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publicshing Co. Jiang W, Qiao XY, Sun K. 2006. Mechanical and thermal properties of thermoplastics acetylated starch/poly(ethylene-co-vinyl alcohol) blends. Carbohydr Polym. 65:139-145 JunistiaL, Sugih AK, Manurung R, Picchioni F, Janssen L, Heeres HJ. 2008. Synthesis of higher fatty acid starch esters using vinyl laurate and stearate as reactants. Starch-Starke.60 : 667-675 Kaisangsri N, Kerdchoechuan O, Laohakunjit N. 2012.Biodegradable foam tray from cassava starch blended with natural fiber and chitosan. Ind Crops Prod. 37(1):542-546. Kaletunc G, Breslauer KJ. 2003. Characterization of Cereals and Flours : Food Science and Technology. New York: Marcell Dekker, Inc. Kementerian Pertanian. 2012. Produksi Tanaman Pangan 2010. http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. Akses 10 September 2012. Lacourse NL, Altieri PA. 1989. Biodegradable packaging material andthe method of preparation thereof. US Patent No. 4.863.655. Laratonda FDS, Matsui KN, Sobral PJA, Laurindo JB. 2005. Hygroscopy and water vapor permeability of kraft paper impregnated with starch acetate. J Food Eng.71(4):394-402. 127 Lawton JW, Shogren RL, Tiefenbacher KF. 2004. Aspen fiber addition improves the mechanical properties of baked cornstarch foams. Ind Crop Prod. 19, 41–48. Laszrity R. 1986. Maize Protein. Di dalam:The Chemistry of Cereal Proteins. New York: CRC Press. Lee SY, Eskridge KM, Koh WY, Hanna MA. 2009. Evaluation of ingredient effects on extruded starch based foams using a supersaturated split-plot design. Ind Crop Prod. 29:427-436. Lee SH, et al. 2004. Compatibilization and properties of modified starch-poly(lactid acid) blend, Polym-Korea. 28(6):519-523. Lickly TD, Lehr KM, Welsh GC. 1995. Migration of styrene from polystyrene foam food-contact articles. Food Chem Toxic. 33(6):475-481. Lin Y, Hsieh F, Heymann H, Huff HE. 2000. Effect of process conditions on the physical and sensory properties of extruded oat-corn puff. J Food Sci. 65: 1253– 1259 Lue S, Hsieh F, Peng IC, Huff HE. 1990. Expansion of corn extrudates containing dietary fibre: a microstructure study. Lebens Wiss Technol. 23: 165-173. Madsen B. 2004. Properties of Plant Fiber Yarn Polymer Composites: An Experimental Study. BYU-DTU. Report R-082, Denmark. hlm 75 Manurung B. 2008. PenggunaanStyrofoamsebagaikemasanpangan.www.hariananalisa.com. akses 18 Februari 2010 Mali S, Debiagi F, Grossmann MVE, Yamashita F. 2010. Starch, sugarcane bagasse fibre and polyvinyl alcohol effects on extruded foam properties: a mixture design approach. Ind Crop Prod. 32, 353–359. Matsui KN, Larotonda FDS, Pae SS, Luiz DB, Pires ATN, Laurindo JB. 2004. Cassava bagasse-Kraft paper composites: analysis of influenceof impregnation with starch acetate on tensile strength and waterabsorption properties.Carbohydr Polym. 55 : 237–243 Miladinov VD, Hanna MA. 2001, Temperatures and ethanol effects on the properties of extruded modified starches.Ind Crop Prod.13: 21-28 Muadklay J, Charoenrein S. 2008. Effects of hydrocolloids and freezing rates on freeze–thaw stability of tapioca starch gels. Food Hydrocoll. 22(7):1268-1272 Nabar Y, Raquez JM, Dubois P, Narayan R. 2005. Production of starch foams by twinscrew extrusion: effect of maleated poly (butylene adipate-coterephthalate) as a compatibilizer. Biomacromol. 6:807–817. Neumann PE, Seib PA. 1993. Starch based biodegradable packaging filler and method of preparing same. US Patent Number 5.165.383 Onteniente JP, Abbes B, Safa LH. 2000. Fully biodegradable lubricated thermoplastics wheat starch: mechanical and reological properties of an injection grade. StarchStarke. 52:112-117 Paes SS, Yakimets I, Mitchell JR. 2008. Influence of gelatinization process on functional properties of cassava starch films . Food Hydrocoll. 22(5): 788-797 128 Peng J, Wei K, Lui WB. 2005. Response surface optimization of the feed compositions of biodegradable packaging foams. Packag Technol Sci. 18:321-330. Pimpa Bet al. 2007. Optimization of conditions for production of sago starch-based foam. Carbohydr Polym. 68:751-760. Poovarodom N. 2006. Non-synthetic biodegradable starch-based composition for production of shaped bodies.US Patents7067651, 2006. Pushpadass HA, Weber RW, Dumais JJ, Hanna MA. 2010. Biodegradation characteristics of starch-polystyrene loose-fill foams in composting medium. BioresTechnol.101(19):7258-7264 Rahmat AR, RahmanWA, Lee TS, Yussuf AA. 2009. Approaches to improve compatibility of starch filled polymer system: A review. Mater Sci Eng C.29(8), 2370-2377 Richana N, Suarni, 2009. Teknologi PengolahanJagung. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan PascaPanen Pertanian. Bogor. Rivard C, Moens L, Roberts K, Brigham J, Kelley S. 1995. Starch esters as biodegradable plastics: Effects of ester group chain length and degree of substitution on anaerobic biodegradation. Enzyme Microb Tech.17(9):848-852 Romhany G, Karger-Kocsis J, Czigany T. 2003. Tensile fracture and failure behaviour of thermoplastics starch with unidirectional and cross ply flax fiber reinforcements. Macromol Mater Eng. 288:699-707. Rooney LW, Suhendro EL. 2001. Food quality of corn. Di dalam:Lusas RW, Rooney LW, editors. Snack Foods Processing. Boca Raton, Florida: CRC Press. Ruggiero R, Machado AEH, Hoareau W, Gardrat C, Nourmamode A, Grelier S, Castellan A. 2006. Photodegradation of sugarcane bagasse fibers:influence of acetylation or grafting UV-absorber and/or hindered nitroxide radical on their photostability. JBraz ChemSoc. 17(4):763-770 Russo MAL, O’Sullivan C, Rounsefell B, Halley PJ, Truss R, Clarke WP. 2009. The anaerob degradability of thermoplastic starch:polyvinyl alcohol blends:potential biodegradable food packaging materials. Biores Technol. 100:1705-1710 . Salgado PR, Schmidt VC, Ortiz SEM, Mauri AN, Laurindo JB. 2008. Biodegradable foams based on cassava starch, sunflower proteins and cellulose fibers obtained by baking process. J Food Eng. 85: 435-443. Schmidt VC, Laurindo JB. 2010. Characterization of foam obtained from cassava starch, cellulose fibres and dolomitic limestone by a thermopressing process. Braz Arch BiolTechnol.53(1):185-192. Seibel W, Hu R. 1994. Gelatinization Characteristics of a Cassava/Corn Starch Based Blend during Extrusion Cooking Employing Response Surface Methodology. Starch/Starke. 46(6):217-224 Sharma V, Moreau RA, Singh V. 2007. Increasing the Value of Hominy Feed as Coproduct by Fermentation. ApplBiochem Biotech. 149(2): 145-153 Shey J, Imam SH, Glenn GM, Orts WJ. 2006. Properties of baked starch foam with natural rubber latex. Ind Crop Prod. 24:34-40. 129 Shogren RL, Lawton JW, Doane WM, Tiefenbacher KF. 1998. morphology of baked starch foams. Polym. 39(25):6649-6655. Structure and ShogrenRL, Lawton JW, Tiefenbacher KF. 2002. Baked starch foam: Starch modification and additives improve process parameters, structure and properties. Ind Crop Prod. 16: 69-79. Shukla R, Cheryan M. 2001. Zein : The industrial protein from corn. IndCrop Prod.13(3) : 171-192 Siddaramaiah, Raj B, Somashekar R. 2003. Structure–property relation in polyvinyl alcohol/starch composites. J App Polym Sci. 91: 630–635. Sin LT, Rahman WAWA, Rahmat AR, Samad AA. 2010. Computational modelling and experimental infrared spectroscopy of hydrogen bonding interactions in polyvinyl alcohol-starch blends. Polym. 51:1206-1211. Singh N, SinghJ, Kaur L, SodhiNS, Gill BS. 2004. Morphological, thermal andrheological properties of starches from different botanical sources.Food Chem.81(2): 219-231. Singh B, Sekhon KS, Singh N. 2007. Effects of moisture, temperature and levelof pea grits on extrusion behaviour and product characteristics of rice. Food Chem. 100: 198–202 Sjoqvist M, Gatenholm P. 2007. Effect of water content in potato amylopectin starch on microwave foaming process. J Polym Environ. 15(1): 43-50 Sjöqvist M, Boldizar A,Rigdahl M. 2010. Processing and water absorption behaviour of foamed potato starch. J Cell Plastics. 1:15–22 Soykeabkaew N, Supaphol P, Rujiravanit R. 2004. Preparation and characterization of jute and flax reinforced starch-based composite foams. Carbohydr Polym. 58:5363. Stanssens D, et al. 2011. Creating water-repellent and super-hydrophobic cellulose substrates by depositionof organic nanoparticles. Mater Lett. 65:1781–1784 Streekumar PA, Gopalakrishnan P, Leblanc N,Saiter JM. 2010. Effect of glycerol and short sisal fibers on the viscoelastic behavior of wheat flour based thermoplastic. Composites: Part A. 41: 991–996 Subekti NA, SyarifudinR, Efendi, Sunarti S. 2007. Morfologi tanaman dan fase pertumbuhanjagung. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind//bjagung/ empat.pdf. Akses 8 Januari 2010. Sulchan M, Endang NW. 2007. Keamanan pangan kemasan plastic dan styrofoam. Majalah Kedokteran Indonesia 57(2):54-59. Sullivan JF, Craig JC. 1984. The development of explosion puffing, Technol.38(2): 52–55. Food Takagi H, Ichihara Y. 2004. Effect of fiber length on mechanical properties of green composite using a starch based resin and short bamboo fibers. JMSE Int J Series A. 47(4):551-555 130 Tang X, Alavi S. 2011. Recent advances in starch, polyvinyl alcohol based polymer blends, nanocomposites and their biodegrability. Carbohydr Polym 85:7-16. Tester RF, Morrison WR. 1990. Swelling and gelatinisation of cereal starches I: Effects of amylopectin, amylose and lipids. Cereal Chem. 67: 551–557 Thomas DS, Atwell WA.1999.Starch Structure. Di dalam: Critical Guides for the Food Industry. ThomasDS, Atwell WA (Eds.). Eagan Press, Minnesota, pp: 25-30. Tiefenbacher KF. 1993. Starch-based foamed material– use and degradation properties. JMacromolSciPureA.30:727-731. Tudorachi N, Cascaval CN, Rusu M, Pruteanu M. 2000. Testing polyvinyl alcohol and starch mixtures as biodegradable polymeric materials. Polym Test. 19:785-799 Vandeputte GE, Derycke V, Geeroms J, Delcour JA. 2003. Rice starches. II. Structural aspects provide insight into swelling and pasting properties. J Cereal Sci. 38: 53– 59. Vercelheze AES, Fakhouri FM, Antonia LHD, Urbano A, Youssef EY, Yamashita F, Mali S. 2012. Properties of baked foams based on cassava starch, sugarcane bagasse, fibers and montmorillonite. Carbohydr Polym. 87:1302-1310. Wang S, Yu J, Yu J. 2004. Influence of maleic anhydride on the compatibility of thermal plasticized starch and linear low-density polyethylene.J Polym Sci. 93:686-695 Wang XJ, Gross RA, Mc Carthy SP. 1995. Reological study of biodegradable blends of starch and polyvinyl alcohol. J. Polym Environ.3:161-167 Wang L, Shogren RL. 1997. Preparation and properties of corn based loose fill foams. Di dalam: Proceeding of the 6th Annual Meeting of BioEnviron. DegradPolymSci. St Paul-USA. Westman MP, Fified LS, Simmons KL, Laddha SL and Kafentzis KA. 2010. Natural Fiber Composites : A Review. Pasific Northwest National Laboratory for US Department of Energy. Willet JL, Jasberg BK, Swanson CL. 1995. Rheology of thermoplastics starch:effects of temperature, moisture content and additives on melt viscosity. Polym Eng Sci. 35:202-210 Wongsasulak S, Yoovidhya T, Bhumiratana S, Hongsprabhas P, McClements DJ, Weiss J. 2006. Thermo-mechanical properties of egg albumen–cassava starch composite films containing sunflower-oil droplets as influenced by moisture content.Food Res Int.39(1):277-284 Xie F, Halley PJ, Averous L. 2012. Rheology to understand and optimize processibility, sytructures and properties of starch polymeric materials. Prog Polym Sci. 37(4):595-623 Xu YX, Dzenis Y, Hanna MA. 2005. Water solubility, thermal characteristics and biodegradability of extruded starch acetate foams. Ind Crop Prod. 21:361-368. Yuan J, Flores RA. 1996. Laboratory dry milling performance of white corn: effect of physical and chemical corn characteristics. Cereal Chem. 73:574-578. 131 Yu L, Chen GL. 2009. Self-aggregated nanoparticles from linoleic acid modified carboxymethyl chitosan: synthesis, characterization and application in vitro. Coll SurfB. 69(2): 178-182 Yu L, Christie G. 2001. Measurement of thermal transition using differential scanning calorymeter. Carbohydr Polym. 46:179-184. Zhou J. 2004. Microwave assisted moulding of starch-based foams. [Dissertation]. .Brunell University, UK. Zou GX, Jin PQ, Xin LZ. 2007. Extruded starch/PVA composites:Water resistance, thermal properties and morphology. J Elast Plast. 40:303-316. . 132 133 LAMPIRAN 135 Lampiran 1. Prosedur Analisis 1. Analisis Sifat Fisiko Kimia Bahan Baku a) Kadar Air (AOAC, 2005) Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsipnya adalah menguapkan molekul air (H2O) bebas yang ada dalam sampel. Kemudian sampel ditimbang sampai didapat bobot konstan yang diasumsikansemua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan.Selisih bobot sebelum dan sesudah pengeringan merupakan banyaknya air yang diuapkan. Prosedur analisis kadar air sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-1050C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dioven pada suhu 100-1050C selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C). Tahap inidiulangi hingga dicapai bobot yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus: Kadar Air (%) = B-C x 100% B-A b) Kadar Abu (AOAC, 2005) Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven. Prinsipnya adalah pembakaran atau pengabuan bahan-bahan organik yang diuraikan menjadi air (H2O) dan karbondioksida (CO2) tetapi zat anorganik tidak terbakar. Zat anorganik ini disebut abu. Prosedur analisis kadar abu sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-1050C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur bersuhu 550-6000C sampai pengabuan sempurna.Sampel yang sudah diabukan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C).Tahap pembakaran 136 dalam tanur diulangi sampai didapat bobot yang konstan. Kadar abu dihitung dengan rumus: Kadar Abu (%) = C-A x 100% B-A c) Kadar Protein (AOAC, 2005) Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Prinsipnya adalah oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia oleh asam sulfat, selanjutnya amonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk amonium sulfat. Amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dan larutan dijadikan basa dengan NaOH. Amonia yang diuapkan akan diikat dengan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan ditentukan jumlahnya dengan titrasi menggunakan larutan baku asam Prosedur analisis kadar protein sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 0,1-0,5 g, dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, ditambahkan dengan 1/4 buah tablet kjeltab, kemudian didekstruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) sampai larutan menjadi hijau jernih dan SO2 hilang. Larutan dibiarkan dingin dan dipindahkan ke labu 50 ml dan diencerkan dengan akuades sampai tanda tera, dimasukkan ke dalam alat destilasi, ditambahkan dengan 5-10 ml NaOH 30-33% dan dilakukan destilasi. Destilat ditampung dalam larutan 10 ml asam borat 3% dan beberapa tetes indikator (larutan bromcresol green 0,1% dan larutan metil merah 0,1% dalam alkohol 95% secara terpisah dan dicampurkan antara 10 ml bromcresol green dengan 2 ml metil merah) kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai larutan berubah warnanya menjadi merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus: Kadar Protein (%) = (B-A) x C x 14,007x 100 x FK x 100% D Keterangan: A = volume HCl untuk titrasi blanko B = volume HCl untuk titasi sampel (ml) C = normalitas HCl yang digunakan (0,02374 N) 137 D = bobot sampel (mg) FK = faktor konversi (6,25 ) d) Kadar Lemak (Metode Sokhlet) (AOAC, 2005) Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode Sokhlet. Prinsipnya adalah lemak yang terdapat dalam sampel diekstrak dengan menggunakan pelarut lemak non polar. Prosedur analisis kadar lemak sebagai berikut: labu lemak yang akan digunakan dioven selama 30 menit pada suhu 100-1050C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g (B) lalu dibungkus dengan kertas saring, ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dioven dan diketahui bobotnya. Pelarut heksan atau pelarut lemak lain dituangkan sampai sampel terendam dan dilakukan refluks atau ektraksi lemak selama 5-6 jam atau sampai palarut lemak yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut lemak yang telah digunakan, disuling dan ditampung setelah itu ekstrak lemak yang ada dalam labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100-1050C selama 1 jam, lalu labu lemak didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Tahap pengeringan labu lemak diulangi sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar lemak dihitung dengan rumus: Kadar Lemak (%) = C-A x 100% B e) Kadar Serat Kasar (AOAC, 2005) Prinsip : Serat kasar adalah semua zat-zat organik yang tidak dapat larut dalam H2SO4 0.325 N dan dalam NaOH 1.25 N yang berturut-turut dipanaskan selama 30 menit. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemisellulosa, lignin dan silika serta sebagian pentosan-pentosan. Cara Kerja : Sampel ditimbang seberat 2-5 g (x) dan dimasukkan ke dalam erlenmayer 500 ml. Sampel ditambahkan 100 ml H2SO4 0.325 N dan dihidrolisis dengan otoklaf bersuhu 1050C selama 15 menit. 138 Bahan didingikan, selanjutnya ke dalam erlenmayer ditambahkan juga 50 ml NaOH 1.25 N Selanjutnya dihidrolisis kembali dengan otoklaf bersuhu 105 oC selama 15 menit. Sebuah kertas saring ditimbang seberat ( a ) gram. Cairan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring yang sudah ditimbang sebelumnya dan dilakukan penyaringan dengan pompa vakum. Proses penyaringan berturut-turut dicuci dengan : 50 ml air panas; 25 ml H2SO4 0.325 N; 50 ml air panas ; 25 ml Aceton/alkohol. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105°C. Kertas saring dan isisnya yang telah dikeringkan didinginkan dalam desikator selama 1 jam dan timbang ( y ) gram. Adapun rumus penentuan kadar serat kasar sebagai berikut: Kadar Serat Kasar = y–a a x 100% f) Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat secara (by difference) dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar karbohidrat (%) = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak + kadar serat kasar ) g) Kadar Pati (AOAC, 2005) Pengukuran kadar pati didahului dengan menimbang sampel sebanyak 1 g kemudian dimasukkan ke dalam elenmeyer 500 ml. Selanjutnya sampel tersebut dihidrolisis menggunakan H2SO4 selama 1 jam pada otoklaf bersuhu 1150C. Setelah dingin, sampel tersebut dinetralkan dengan NaOH 40% 139 kemudian dimasukkan dalam labu ukur 250 ml. Selanjutnya sebanyak 10 ml dipipet dan dimasukkan dalam elenmeyer 250 ml untuk ditambahkan larutan Luff Schroll 25 ml. Kemudian dididihkan di bawah pendingin tegak tepat selama 10 menit lalu sampel secara perlahan dititrasi dengan larutan sodium tiosulfat 0,1 N dengan menggunakan indikator kanji. Blanko dibuat dengan menggunakan akuades sebagai pengganti sampel. Kadar pati dihitung dengan rumus: Kadar pati (%) = 0,9 x pengenceran x mg monosakarida x 100% Bobot awal sampel h) Kadar Amilosa (AOAC, 2005) Pengukuran kadar amilosa dilakukan dengan menetapkan kurva standar terlebih dahulu. Amilosa murni diukur sebanyak 40 mg, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit sampai membentuk gel. Setelah didinginkan campuran dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan menggunakan akuades. Larutan tersebut masing-masing 1,2,3,4, dan 5 ml dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ke dalam setiap labu takar ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dibiarkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm, kemudian dibuat kurva standar antara konsentrasi amilosa murni dengan absorbansi. Setelah kurva standar dibuat, dilaukan penetapan sampel dengan memasukkan 100 mg sampel dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 0,1N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit sampai membentuk gel Setelah didinginkan sampuran tersebut dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan menggunakan akuades. 140 Larutan tersebut sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi 100 ml, lalu ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Campuran dalam labu takar ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades, dikocok, dan dibiarkan selama 30 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa sampel dapat dihitung dengan rumus; Kadar amilosa (%) = A x 100 x 100/5 x 100% W Keterangan : A = konsentrasi amilosa dari persamaan kurva standar (mg/ml) B = bobot sampel (mg) i) Water absorption index (WAI) WAI diukur berdasarkan prosedur yang terdapat pada Metode AACC 56-20 (1983). Pati sebanyak 1 g didispersikan dalam 30 ml air destilasi di dalam tabung sentrifus.Tabung sentrifus selanjutnya diletakkan pada water bath 300C dan digoyang selama 30 menit. Tahapan selanjutnya dilakukan sentrifus 5000 x g selama 10 menit . Supernatan yang diperoleh selanjutnya diletakkan pada piringan aluminium dan dikeringkan pada suhu 1030C selama 12 jam dan kemudian ditimbang. Sedimen yang tersisa beserta tabungnya juga ditimbang. Nilai WAI dihitung berdasarkan rumus sbb: WAI = berat tabung beserta sedimen – berat tabung x 100% Berat sampel 2. Analisis Sifat Thermal Bahan Baku a) Analisis Suhu transisi gelas dan Titik Leleh Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat (Yu dan Christie 2001, Wang et al. 2008) Alat yang digunakan adalah Differential Scanning Colorymetermerk Shimadzu, Japan. DSC dikalibrasi menggunakan indium dan pan alumunium kosong digunakan sebagai referens. 2,5 mg sampel ditimbang dalam alumunium pan. Selanjutnya pan yang berisi sampel diseal secara hermetis 141 kemudian disimpan pada suhu ruang selama 24 jam. Kemudian pan dipanaskan dalam alat DSC dari suhu 0-2000C dengan kenaikan suhu yang telah discan 100C/menit. To, Tp, Tc, (T onset, T peak, T conclusion) dan ΔH dihitung dari area peak pada thermogram. b) Analisis Sifat Amilograf Pengamatan sifat amilografi tepung dilakukan dengan menggunakan Amilograph Brabender®. Tahapan yang dilakukan sebagai berikut: larutan tepung jagung dibuat dengan konsentrasi 10% (b/v), sehingga setiap 400ml aquades diperlukan tepung jagung sebanyak 40 g. Sebanyak 40 g tepung jagung dimasukkan dalam gelas piala 500 ml dan ditambah 300 ml aquades, kemudian diaduk selama 1,5 menit. Campuran tersebut dipindahkan ke dalam mangkuk amilograf yang sudah dipasang pada alat tersebut, sisa yang tertinggal dalam gelas dicuci dengan 100 ml aquades dan air bilasan tersebut dimasukkan dalam mangkok amilograf. Mangkok tersebut kemudan diputar dengan kecepatan 75 rpm dan suhunya ditingkatkan dari 300C hingga 950C dengan laju kenaikan 1,50C per menit. Suhu dipertahankan 950C selama 20 menit dan kemudian diturunkan sampai 500C dengan laju penurunan suhu 1,50C per menit. Perubahan viskositas sampel tepung dicatat pada kertas grafik kontinyu. 3. Analisis Struktur Morfologi Bahan Baku a) Bentuk dan ukuran granula pati (Metode Mikroskop Polarisasi) Bentuk granula pati dilihat dengan menggunakan mikroskop polarisasi cahaya dan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan kamera. Untuk pengamatan dengan mikroskop polarisasi cahaya, suspensi pati disiapkan dengan mencampurkan sampel ke dalam akuades kemudian diaduk hingga merata. Suspensi yang terbentuk kemudian diteteskan di atas gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup. Obyek kemudian diuji dengan meneruskan cahaya pada polarisator. Selama pengamatan, alat analisator diputar sehingga cahaya terpolarisasi sempurna ditunjukkan oleh butir-butir pati yang belum mengalami gelatinisasi dengan sifat birefringence. Bentuk dan ukuran diamati bersama dengan berkas cahaya yang terpolarisasi. 142 b) Bentuk dan Ukuran pati (Metode SEM) Analisa untuk melihat bentuk dan ukuran dari granula pati dapat dilakukan pula dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Analisa ini dilakukan dengan menggunakan SEM Evo 50- Zeiss dengan menggunakan voltase akselerasi 1 KV. Sampel dipotong berkuran 5x5 mm2 dan kemudian diletakkan pada stubs yang tersedia untuk selanjutnya dianalisa menggunakan SEM. 4. Karakterisasi Biofoam a) Analisis Sifat Mekanis (ASTM D-638, 1991) Sampel yang akan diuji terlebih dahulu dikondisikan dalam ruang dengan suhu dan kelembaban relatif standar (230C, 52%) selama minimal 24 jam. Sampel yang akan diuji dipotong sesuai standar (tipe I). Disiapkan sebanyak 5 lembar sampel dan dihitung rata-rata tebalnya. Pengujian dilakukan dengan cara kedua ujung sampel dijepit mesin penguji. Kemudian dicatat panjang awalnya sementara ujung tinta pencatat diletakkan pada posisi 0 grafik. Tombol ‘start’ dinyalakan dan alat akan menarik sampel hingga putus dan dicatat gaya kuat tarik (F) serta panjang setelah putus. Selanjutnya dilakukan pengujian lembar berikutnya. Ketahanan tarik (N/mm2) = Gaya kuat tarik (F) / Luas permukaan (A) b). Analisis Morfologi Permukaan dengan SEM (ASTM E-2015, 1991) Sampel diletakkan pada holder dengan perekat ganda dan dilapisi dengan logam panas pada kondisi vakum. Sampel selanjutnya dimasukkan dalam alat SEM, lalu gambar permukaan diamati dan dilakukan pembesaran sesuai yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan pemotretan menggunakan film hitam putih. c) Bulk density Pengukuran densitas untuk kemasan berbentuk tray dilakukan dengan menggunakan seed displacement (Bhatnagar dan Hanna, 1995). Pengukuran densitas dilakukan dengan memotong sampel dengan ukuran 2x2 cm2 dan 143 kemudian ditimbang. Kacang hijau sebagai media pengganti digunakan untuk mengisi celah kosong pada gelas ukur 500 ml yang sudah diisi potongan foam. Berat dari kacang hijau ditimbang dan unit densitas dihitung dengan membagi berat dengan volume. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali. d) Compressibility Compressibility adalah tekanan yang dibutuhkan untuk menghancurkan sampel biofoam dengan ketebalan 2 mm dengan UTM. Ekstrudat sepanjang 2 cm ditempatkan pada piringan datar. Ekstrudat kemudian ditekan menggunakan piringan lainnya dengan laju 1 cm/ menit. Nilai kompresi adalah hasil pembagian nilai gaya yang diberikan (kN) dibagi dengan luas permukaan sampel yang diuji. Menurut Bhatnagar dan Hanna (1995), nilai compressibility yang baik untuk produk biofoam berkisar 229-340 kPa. Nilai yang tinggi menggambarkan bahwa sampel relatif keras sedangkan nilai rendah menunjukkan sampel lunak dan mudah ditekan. e). Water absorption index (WAI) Pengukuran water absorption index (WAI) dilakukan mengikuti standar prosedur ABNT NBR NM ISO 535(1999) Dalam Matsui et al. (2004) dimana sampel foam dipotong berukuran 25 x 50 mm2 dan kemudian ditimbang. Selanjutnya sampel dicelupkan ke dalam air selama 1 menit dan sisa air pada permukaan dikeringkan menggunakan tissu. Sampel kemudian ditimbang kembali dan dihitung pertambahan berat sampel. WAI = berat sampel setelah dicelup – berat sampel awal x 100% Berat sampel awal f). Warna (Tingkat Kecerahan dan Nilai Hue, Metode Hunter, 1999) Sampel ditempatkan di wadah transparan. Pengukuran menggunakan Chromameter menghasilkan nilai L, a dan b. Nilai L menyatakan tingkat kecerahan dimana nilai 0 mewakili warna hitam dan 100 putih. Nilai a positif menunjukkan warna merah sedangkan a negatif menunjukkan warna hijau. 144 Sementara itu, nilai b positif menggambarkan warna kuning dan nilai b negatif menggambarkan warna biru. Selain itu dilakukan juga perhitungan Nilai Hue yang menggambarkan kecenderungan warna dari sampel. Adapun nilai hue diperoleh dari nilai a dan b yang diperoleh hasil pengukuran chromamter dengan rumus sebagai berikut : Nilai Hue0 = Tangen-1 b/a Selanjutnya nilai hue yang diperoleh dikonversikan dengan nilai yang ada pada tabel berikut untuk mengetahui kisaran warna dari sampel yang diujikan. Nilai Hue 0 18-54 54-900 90-1260 126-1620 162-1980 198-2340 234-2700 270-3060 306-3430 342-180 Warna Produk Merah Kuning merah Kuning Kuning hijau Hijau Biru hijau Biru Biru ungu Ungu Merah ungu g) Contact Angle Pengukuran contact angle dilakukan dengan menggunakan contact angle goniometer. Sampel dipotong ukuran 2 x 10 cm2. Sampel kemudian diletakkan di bawah syring dan selanjutnya dilakukan proses penetesan pada permukaan biofoam. Besaran contact angle dihitung berdasarkan besar sudut antara tetesan air dengan permukaan biofoam. h) Viskoelastisitas Pengukuran viskoelastisitas dilakukan dengan menggunakan Dynamic Mechanical Thermal Analysis (DMTA) merek Gabo. Pengukuran 145 dilakukan dengan single cantilever pada 2 mode yaitu compression dan 3 bending. Untuk mode Compression, sampel dipotong berukuran 10x10 2 mm sedang untuk 3-bending berukuran 10x50 mm2. Sebelum dilakukan pengukuran terlebih dahulu sampel dikondisikan pada chamber dengan suhu 500C. Analisis menggunakan DMTA dilakukan dengan menggunakan frekuensi 1 Hz dengan amplitudo 0,1%. Sampel dipanaskan dari suhu -20800C dengan laju kenaikan suhu 20C/menit. Perhitungan modulus storage, loss modulus, tangen δ diperoleh dengan menggunakan software khusus yang sudah termasuk pada alat DMTA. i) Analisis Termal (ASTM D-3418, 1991) Sampel sebanyak 10 mg dimasukkan dalam test cell. Selanjutnya sampel di seal dan dilakukan pencatatan berat sampel. Pengujian mengacu kepada ASTM D-3418 menggunakan alat Differential Scanning Calorimeter (DSC). Analisa dilakukan dengan temperatur tinggi dari 300C hingga 2000C. Kecepatan pemanasan adalah 100C/min. Transisi gelas (Tg) dihitung berdasarkan midpoint dari peningkatan kapasitas panas, sedangkan titik leleh (Tm) dihitung pada saat terjadi reaksi eksotermis. j) Biodegradability Analisis Kualitatif Pengujian biodegradabilitas dilakukan dengan dua cara yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Pengujian biodegradabilitas plastik komposit secara kualitatif dilakukan berdasarkan ASTM G-2170. Dalam metode ini, sampel berukuran 3x3 cm2 ditempatkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dan diinokulasikan dengan kapang Penicilium sp. dan Aspergillus niger. Sebagai pembanding juga diletakkan lembaran plastik sintetis (polystryrene). Sampel diinkubasikan pada suhu 290C selama 2 pekan. Pertumbuhan kapang dilakukan pada hari ke-5 dengan mengamati luasan permukaan kapang yang ditumbuhi oleh kapang. 146 Analisis Kuantitatif Pengujian biodegradabilitas pada termoplastik secara kuantitatif dilakukan dengan mereaksikan 10 mg sampel dengan 1 ml enzim a-amilase (Novo theramyl 26087, 09 IU) dalam 9 ml buffer fosfat ph 7,0. Inkubasi dilakukan selama 17 jam pada wadah shaker waterbath berkecepatan 150 rpm pada temperatur 360C. Cairan yang diperoleh dilakukan pengujian gula pereduksi dengan metode DNS. Nilai gula pereduksi atau nilai pati yang terhidrolisis akan diasumsikan sebagai bagian yang terdegradasi sehingga akan diperoleh persentase biodegradabilitas termoplastik. Pengurangan bobot plastik (%) = Abs x 20 x0,9 x 100% / bobot sampel 147 Lampiran 2. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Air (%) Biofoam Kelompok PVOH 0% Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat 8.306a 670.582 8.306 6.765 685.653 15.071 Derajat Nilai Kuadrat Bebas rata-rata 3 2.769 1 670.582 3 2.769 8 .846 12 11 Kelompok PVOH 30% Sumber Jumlah Keragaman Kuadrat Model Terkoreksi 2.264a Intersep 536.939 PERLAKUAN 2.264 Galat 4.509 Total 543.713 Total Terkoreksi 6.773 Derajat Nilai Kuadrat Bebas rata-rata 3 .755 1 536.939 3 .755 8 .564 12 11 Model Terkoreksi Intersep PERLAKUAN Galat Total Total Terkoreksi F 3.274 793.055 3.274 F 1.339 952.633 1.339 Sig. .080 .000 .080 Sig. .328 .000 .328 148 Lampiran 3. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam Kelompok PVOH 0% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi .090 3 .030 Intersep 2.458 1 2.458 PERLAKUAN .090 3 .030 Galat .016 8 .002 Total 2.564 12 Total Terkoreksi .106 11 a. R Squared = ,852 (Adjusted R Squared = ,797) Duncan PERLAKUAN A3 A2 A4 A1 Sig. N 3 3 3 3 F 15.354 1251.187 15.354 Sig. .001 .000 .001 Subset 1 2 .368024 .400321 .447051 .594883 .069 1.000 Kelompok PVOH 30% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi .019a 3 .006 Intersep 1.223 1 1.223 PERLAKUAN .019 3 .006 Galat .073 8 .009 Total 1.314 12 Total Terkoreksi .092 11 a. R Squared = ,204 (Adjusted R Squared = -,095) F .683 133.902 .683 Sig. .587 .000 .587 149 Lampiran 4. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam Kelompok PVOH 0% Sumber Jumlah Keragaman Kuadrat Model Terkoreksi .041a Intersep 1.418 PERLAKUAN .041 Galat .043 Total 1.503 Total Terkoreksi .085 Derajat Nilai Kuadrat Bebas rata-rata 3 .014 1 1.418 3 .014 8 .005 12 11 Kelompok PVOH 30% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi .003 3 .001 Intersep 2.247 1 2.247 PERLAKUAN .003 3 .001 Galat .032 8 .004 Total 2.282 12 Total Terkoreksi .035 11 a. R Squared = ,084 (Adjusted R Squared = -,260) F 2.558 262.942 2.558 F .244 564.418 .244 Sig. .128 .000 .128 Sig. .863 .000 .863 150 Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam Kelompok PVOH 0% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 51.295 3 17.098 Intersep 89198.039 1 89198.039 PERLAKUAN 51.295 3 17.098 Galat 36.392 8 4.549 Total 89285.727 12 Total Terkoreksi 87.687 11 a. R Squared = ,585 (Adjusted R Squared = ,429) F 3.759 19608.166 3.759 Sig. .060 .000 .060 Kelompok PVOH 30% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi 46.953a 3 15.651 Intersep 79254.504 1 79254.504 PERLAKUAN 46.953 3 15.651 Galat 46.540 8 5.818 Total 79347.997 12 Total Terkoreksi 93.493 11 a. R Squared = ,502 (Adjusted R Squared = ,316) F 2.690 13623.386 2.690 Sig. .117 .000 .117 151 Lampiran 6. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Nilai 0 Hue Biofoam Kelompok PVOH 0% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 148.689 3 49.563 Intersep 109074.680 1 109074.680 PERLAKUAN 148.689 3 49.563 Galat 315.628 8 39.454 Total 109538.998 12 Total Terkoreksi 464.318 11 a. R Squared = ,320 (Adjusted R Squared = ,065) F 1.256 2764.635 1.256 Sig. .352 .000 .352 Kelompok PVOH 30% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi 8.520a 3 2.840 Intersep 98502.132 1 98502.132 PERLAKUAN 8.520 3 2.840 Galat 75.099 8 9.387 Total 98585.751 12 Total Terkoreksi 83.619 11 a. R Squared = ,102 (Adjusted R Squared = -,235) F .303 10493.034 .303 Sig. .823 .000 .823 152 Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam Kelompok PVOH 0% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 938.077 3 312.692 Intersep 1859.358 1 1859.358 PERLAKUAN 938.077 3 312.692 Galat 24.288 8 3.036 Total 2821.722 12 Total Terkoreksi 962.364 11 a. R Squared = ,975 (Adjusted R Squared = ,965) Duncan PERLAKUAN N A3 A4 A2 A1 Sig. 3 3 3 3 1 5.397000 6.140000 Subset 2 F 102.995 612.439 102.995 Sig. .000 .000 .000 3 10.942667 27.311333 1.000 1.000 .616 Kelompok PVOH 30% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi 674.422a 3 224.807 Intersep 4814.411 1 4814.411 PERLAKUAN 674.422 3 224.807 Galat 329.698 8 41.212 Total 5818.531 12 Total Terkoreksi 1004.120 11 a. R Squared = ,672 (Adjusted R Squared = ,549) Duncan PERLAKUAN A2 A3 A4 A1 Sig. N Subset 3 3 3 3 1 13.351667 15.189000 19.065667 .326 2 32.513667 1.000 F 5.455 116.820 5.455 Sig. .025 .000 .025 153 Lampiran 8. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam Kelompok PVOH 0% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 327.769 3 109.256 Intersep 14745.290 1 14745.290 PERLAKUAN 327.769 3 109.256 Galat 128.953 8 16.119 Total 15202.011 12 Total Terkoreksi 456.721 11 a. R Squared = ,718 (Adjusted R Squared = ,612) Duncan PERLAKUAN A4 A3 A2 A1 Sig. N 3 3 3 3 1 27.913667 32.319833 .216 Subset 2 F 6.778 914.773 6.778 Sig. .014 .000 .014 3 32.319833 38.979000 38.979000 41.003000 .077 .554 Kelompok PVOH 30% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 64.325 3 21.442 Intersep 19480.336 1 19480.336 PERLAKUAN 64.325 3 21.442 Galat 1351.929 8 168.991 Total 20896.590 12 Total Terkoreksi 1416.254 11 a. R Squared = ,045 (Adjusted R Squared = -,313) F .127 115.274 .127 Sig. .942 .000 .942 154 Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam Kelompok PVOH 0% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 15091.667 3 5030.556 Intersep 35208.333 1 35208.333 PERLAKUAN 15091.667 3 5030.556 Galat 150.000 8 18.750 Total 50450.000 12 Total Terkoreksi 15241.667 11 a. R Squared = ,990 (Adjusted R Squared = ,986) Duncan PERLAKUAN N A1 A2 A3 A4 Sig. 3 3 3 3 1 6.67 Subset 2 F 268.296 1877.778 268.296 Sig. .000 .000 .000 3 33.33 1.000 1.000 86.67 90.00 .373 Kelompok PVOH 30% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 5856.250 3 1952.083 Intersep 20418.750 1 20418.750 PERLAKUAN 5856.250 3 1952.083 Galat 250.000 8 31.250 Total 26525.000 12 Total Terkoreksi 6106.250 11 a. R Squared = ,959 (Adjusted R Squared = ,944) Duncan PERLAKUAN A1 A2 A4 A3 Sig. N 3 3 3 3 1 5.00 Subset 2 43.33 53.33 1.000 .060 3 53.33 63.33 .060 F 62.467 653.400 62.467 Sig. .000 .000 .000 155 Lampiran 10. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Gula Pereduksi (%) Biofoam Kelompok PVOH 0% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi 16.658a 3 5.553 Intersep 2273.354 1 2273.354 PERLAKUAN 16.658 3 5.553 Galat 80.101 8 10.013 Total 2370.113 12 Total Terkoreksi 96.759 11 a. R Squared = ,172 (Adjusted R Squared = -,138) F .555 227.050 .555 Sig. .659 .000 .659 Kelompok PVOH 30% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi 11.493a 3 3.831 Intersep 1861.526 1 1861.526 PERLAKUAN 11.493 3 3.831 Galat 28.058 8 3.507 Total 1901.077 12 Total Terkoreksi 39.552 11 a. R Squared = ,291 (Adjusted R Squared = ,025) F 1.092 530.760 1.092 Sig. .407 .000 .407 156 Lampiran 11. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH Kadar Air (%) Biofoam Kelompok Ampok 25% Sumber Keragaman Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi 3.593a 5 .719 Intersep 863.755 1 863.755 PERLAKUAN 3.593 5 .719 Galat .928 12 .077 Total 868.276 18 Total Terkoreksi 4.521 17 a. R Squared = ,795 (Adjusted R Squared = ,709) Duncan PERLAKUAN N K3 K5 K0 K4 K2 K1 Sig. 3 3 3 3 3 3 1 6.283333 6.660000 .123 Subset 2 F 9.295 11171.658 9.295 terhadap Sig. .001 .000 .001 3 6.660000 6.816667 6.920000 7.150000 .068 7.733333 1.000 Kelompok Ampok 50% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi 5.793a 5 1.159 Intersep 741.253 1 741.253 PERLAKUAN 5.793 5 1.159 Galat 2.159 12 .180 Total 749.205 18 Total Terkoreksi 7.952 17 a. R Squared = ,729 (Adjusted R Squared = ,615) Duncan PERLAKUAN K5 K4 K3 K2 K1 K0 Sig. N 3 3 3 3 3 3 1 5.716667 5.910000 6.293333 6.333333 .124 Subset 2 6.293333 6.333333 6.843333 .156 3 6.843333 7.406667 .130 F 6.440 4120.109 6.440 Sig. .004 .000 .004 157 Lampiran 12. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH Daya Serap Air (%) Biofoam Kelompok Ampok 25% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 195.921 5 39.184 Intersep 26623.740 1 26623.740 PERLAKUAN 195.921 5 39.184 Galat 447.299 12 37.275 Total 27266.960 18 Total Terkoreksi 643.220 17 a. R Squared = ,305 (Adjusted R Squared = ,015) Kelompok Ampok 50% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 185.925 5 37.185 Intersep 24391.876 1 24391.876 PERLAKUAN 185.925 5 37.185 Galat 345.236 12 28.770 Total 24923.037 18 Total Terkoreksi 531.161 17 a. R Squared = ,350 (Adjusted R Squared = ,079) F 1.051 714.254 1.051 F 1.293 847.832 1.293 terhadap Sig. .433 .000 .433 Sig. .330 .000 .330 158 Lampiran 13. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH Densitas (g/cm3) Biofoam Kelompok Ampok 25% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi .032 5 .006 Intersep 3.345 1 3.345 PERLAKUAN .032 5 .006 Galat .042 12 .004 Total 3.419 18 Total Terkoreksi .074 17 a. R Squared = ,433 (Adjusted R Squared = ,197) Kelompok Ampok 50% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi .085 5 .017 Intersep 3.726 1 3.726 PERLAKUAN .085 5 .017 Galat .071 12 .006 Total 3.883 18 Total Terkoreksi .156 17 a. R Squared = ,546 (Adjusted R Squared = ,357) F 1.834 955.556 1.834 F 2.889 629.901 2.889 terhadap Sig. .180 .000 .180 Sig. .061 .000 .061 159 Lampiran 14. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH Tingkat Kecerahan Biofoam Kelompok Ampok 25% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 67.571 5 13.514 Intersep 128510.980 1 128510.980 PERLAKUAN 67.571 5 13.514 Galat 43.652 12 3.638 Total 128622.204 18 Total Terkoreksi 111.223 17 a. R Squared = ,608 (Adjusted R Squared = ,444) Duncan PERLAKUAN N K3 K4 K5 K2 K1 K0 Sig. 3 3 3 3 3 3 K5 K3 K2 K4 K1 K0 Sig. N 3 3 3 3 3 3 3.715 35327.860 3.715 Sig. .029 .000 .029 Subset 1 2 81.836667 82.753333 83.583333 83.583333 85.130000 85.130000 86.490000 87.180000 .073 .053 Kelompok Ampok 50% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 67.535 5 13.507 Intersep 120038.567 1 120038.567 PERLAKUAN 67.535 5 13.507 Galat 36.846 12 3.071 Total 120142.948 18 Total Terkoreksi 104.381 17 a. R Squared = ,647 (Adjusted R Squared = ,500) Duncan PERLAKUAN F terhadap 1 78.410000 80.483333 81.513333 .061 Subset 2 F 4.399 39093.860 4.399 3 80.483333 81.513333 81.513333 81.870000 81.870000 83.176667 83.176667 84.523333 .106 .074 Sig. .017 .000 .017 160 Lampiran 15. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Nilai 0Hue Biofoam Kelompok Ampok 25% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 194.308 5 38.862 Intersep 168513.346 1 168513.346 PERLAKUAN 194.308 5 38.862 Galat 41.868 12 3.489 Total 168749.522 18 Total Terkoreksi 236.176 17 a. R Squared = ,823 (Adjusted R Squared = ,749) Duncan PERLAKUAN N K3 K0 K5 K4 K2 K1 Sig. 3 3 3 3 3 3 1 90.4967 Subset 2 94.4967 97.7900 1.000 .052 K0 K3 K5 K4 K2 K1 Sig. N 3 3 3 3 3 3 Subset 1 2 89.9367 90.5067 91.6100 95.5133 96.0100 97.1933 .359 .357 11.138 48298.927 11.138 Sig. .000 .000 .000 3 97.7900 98.5667 99.5000 99.6900 .270 Kelompok Ampok 50% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi 147.645a 5 29.529 Intersep 157231.496 1 157231.496 PERLAKUAN 147.645 5 29.529 Galat 50.153 12 4.179 Total 157429.294 18 Total Terkoreksi 197.798 17 a. R Squared = ,746 (Adjusted R Squared = ,641) Duncan PERLAKUAN F F 7.065 37620.691 7.065 Sig. .003 .000 .003 161 Lampiran 16. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam Kelompok Ampok 50% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 1482.730 5 296.546 Intersep 6354.252 1 6354.252 PERLAKUAN 1482.730 5 296.546 Galat 182.648 12 15.221 Total 8019.630 18 Total Terkoreksi 1665.378 17 a. R Squared = ,890 (Adjusted R Squared = ,845) Duncan PERLAKUAN N K1 K0 K3 K2 K4 K5 Sig. F Sig. 19.483 417.476 19.483 .000 .000 .000 Subset 3 3 3 3 3 3 1 10.385333 10.942667 13.351667 15.437000 2 29.330000 33.285333 .167 .238 Kelompok Ampok 50% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 4691.405 5 938.281 Intersep 9079.230 1 9079.230 PERLAKUAN 4691.405 5 938.281 Galat 43.284 12 3.607 Total 13813.919 18 Total Terkoreksi 4734.689 17 a. R Squared = ,991 (Adjusted R Squared = ,987) Duncan PERLAKUAN K0 K1 K3 K2 K4 K5 Sig. N F Sig. 260.131 2517.142 260.131 Subset 3 3 3 3 3 3 1 5.397000 8.497333 2 3 4 15.189000 18.254333 36.489667 .069 .072 1.000 50.926000 1.000 .000 .000 .000 162 Lampiran 17. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam Kelompok Ampok 25% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 363.377 5 72.675 Intersep 33041.593 1 33041.593 PERLAKUAN 363.377 5 72.675 Galat 502.507 12 41.876 Total 33907.476 18 Total Terkoreksi 865.883 17 a. R Squared = ,420 (Adjusted R Squared = ,178) Kelompok Ampok 50% Sumber Keragaman Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Kuadrat Bebas rata-rata Model Terkoreksi 594.951a 5 118.990 Intersep 22173.021 1 22173.021 PERLAKUAN 594.951 5 118.990 Galat 281.351 12 23.446 Total 23049.324 18 Total Terkoreksi 876.303 17 a. R Squared = ,679 (Adjusted R Squared = ,545) PERLAKUAN K5 K1 K0 K4 K3 K2 Sig. N 3 3 3 3 3 3 1 27.519000 32.057333 32.319833 34.529667 .126 Subset 2 F 1.736 789.043 1.736 F 5.075 945.708 5.075 3 32.057333 32.319833 34.529667 38.466833 38.466833 45.692333 .158 .093 Sig. .201 .000 .201 Sig. .010 .000 .010 163 Lampiran18. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada permukaan Biofoam Kelompok Ampok 25% Sumber Keragaman Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Kuadrat Bebas rata-rata a Model Terkoreksi 650.000 5 130.000 Intersep 31250.000 1 31250.000 PERLAKUAN 650.000 5 130.000 Galat 1800.000 12 150.000 Total 33700.000 18 Total Terkoreksi 2450.000 17 a. R Squared = ,265 (Adjusted R Squared = -,041) Kelompok Ampok 50% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model 1266.667a 5 253.333 Terkoreksi Intersep 105800.000 1 105800.000 PERLAKUAN 1266.667 5 253.333 Galat 1133.333 12 94.444 Total 108200.000 18 Total Terkoreksi 2400.000 17 a. R Squared = ,528 (Adjusted R Squared = ,331) F .867 208.333 .867 F Sig. .531 .000 .531 Sig. 2.682 .075 1120.235 2.682 .000 .075 164 Lampiran 19. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Konsentrasi PVOH terhadap Kadar Gula Pereduksi (%) Biofoam Kelompok Ampok 25% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model 40.452a 5 8.090 Terkoreksi Intersep 2901.536 1 2901.536 PERLAKUAN 40.452 5 8.090 Galat 100.167 12 8.347 Total 3042.156 18 Total Terkoreksi 140.620 17 a. R Squared = ,288 (Adjusted R Squared = -,009) Kelompok Ampok 50% Sumber Jumlah Derajat Nilai Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas rata-rata Model 25.714a 5 5.143 Terkoreksi Intersep 2793.745 1 2793.745 PERLAKUAN 25.714 5 5.143 Galat 18.488 12 1.541 Total 2837.946 18 Total Terkoreksi 44.202 17 a. R Squared = ,582 (Adjusted R Squared = ,407) Duncan PERLAKUAN N Subset 1 K4 K2 K0 K5 K1 K3 Sig. 3 3 3 3 3 3 2 10.847455 11.083364 12.218490 12.218490 12.969939 12.969939 13.609264 14.021001 .075 .125 F Sig. .969 .474 347.602 .969 .000 .474 F Sig. 3.338 .040 1813.355 3.338 .000 .040 165 Lampiran 20. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Pati Hidrofobik terhadap terhadap Karakteristik Fisik Biofoam Kadar Air (%) Sumber Rasio Pati Hidrofobik Galat Total Corrected Total Jumlah Kuadrat Kuadrat Rata-rata db 1.197 4 .299 3.302 662.926 4.500 10 15 14 .330 F Sig. .906 .496 Daya Serap Air (%) Sumber Rasio Pati Hidrofobik Galat Total Corrected Total Jumlah Kuadrat Kuadrat Rata-rata db .026 4 .007 .095 2.350 .121 10 15 14 .010 F Sig. .687 .617 Densitas (g/cm3) Sumber Rasio Pati Hidrofobik Galat Total Corrected Total Jumlah Kuadrat Kuadrat Rata-rata db .038 4 .010 .122 5.660 .160 10 15 14 .012 F Sig. .784 .561 Tingkat Kecerahan Sumber Rasio Pati Hidrofobik Galat Total Corrected Total Jumlah Kuadrat Kuadrat Rata-rata db 5.468 4 1.367 10.247 107439.113 15.715 10 15 14 1.025 F Sig. 1.334 .323 Nilai 0Hue Sumber Rasio Pati Hidrofobik Galat Total Corrected Total Jumlah Kuadrat Kuadrat Rata-rata db 20.018 4 5.004 34.176 147193.961 54.194 10 15 14 3.418 F Sig. 1.464 .284 166 Lampiran 21. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Rasio Pati Hidrofobik terhadap terhadap Karakteristik Mekanis dan Biodegradabilitas Biofoam Kuat Tekan (N/mm2) Sumber PH Error Total Corrected Total Jumlah Kuadrat 132.784 133.960 6753.225 266.745 db 4 10 15 14 Kuadrat Ratarata 33.196 13.396 F Kuadrat Ratarata F Sig. 2.478 .111 Kuat Tarik (N/mm2) Sumber Jumlah Kuadrat Rasio Pati Hidrofobik Galat Total Corrected Total db 412.315 4 103.079 524.409 23649.347 936.723 10 15 14 52.441 Sig. 1.966 .176 Pertumbuhan Kapang (%) Sumber Rasio Pati Hidrofobik Galat Total Corrected Total Jumlah Kuadrat Kuadrat Ratarata db 726.667 4 181.667 4616.667 32225.000 5343.333 10 15 14 461.667 F Sig. .394 .809 Gula Pereduksi (%) Sumber Rasio Pati Hidrofobik Error Total Corrected Total Jumlah Kuadrat Kuadrat Ratarata db 9.843 4 2.461 60.274 2428.437 70.116 10 15 14 6.027 F Sig. .408 .799 167 Lampiran 22. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol terhadap Kadar Air (%) Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Hasil Uji Lanjut Duncan Perlakuan Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) P1 P2 Interaksi PA*G P1G1 P2G0 P1G2 P2G1 P1G0 P2G2 Jumlah Kuadrat 1.478 .008 .170 .034 .027 5.763 .120 2.751 179.101 10.350 Kadar air (%) 2,40 a 2,90 b 2,13 2,31 2,46 2,49 3,14 3,45 a ab ab ab b c db 1 1 2 1 2 2 2 12 24 23 Kuadrat F Tengah 1.478 6.450 .008 .033 .085 .370 .034 .149 .014 .059 2.881 12.571 .060 .262 .229 Sig. .026 .859 .698 .706 .943 .001 .774 168 Lampiran 23. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Daya Serap Air (%) Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Jumlah Db Kuadrat 440.321 1 102.499 1 777.411 2 1.558 1 39.746 2 182.405 2 195.511 2 3007.784 12 84111.881 24 4747.235 23 Kuadrat Tengah 440.321 102.499 388.706 1.558 19.873 91.203 97.755 250.649 F 1.757 .409 1.551 .006 .079 .364 .390 Sig. .210 .535 .252 .938 .924 .702 .685 169 Lampiran 24. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Densitas (g/cm3) Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Jumlah Kuadrat .009 .002 .020 .001 .000 .006 .002 .046 4.172 .087 Db 1 1 2 1 2 2 2 12 24 23 Kuadrat Tengah .009 .002 .010 .001 .000 .003 .001 .004 F 2.205 .561 2.639 .303 .056 .775 .205 Sig. .163 .468 .112 .592 .946 .482 .817 170 Lampiran 25. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Jumlah Kuadrat 21.188 13.756 158.242 17.187 39.478 48.591 58.019 6.583 153516.968 363.044 Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Faktor Perlakuan Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) P2 P1 Sizing Agent (SA) S1 S2 Gliserol (G) G2 G1 G0 Tingkat Kecerahan 78,94 a 80,82 b 79,13 a 80,64 b 77,15 a 79,17 b 83,32 c db 1 1 2 1 2 2 2 12 24 23 Kuadrat F Sig. Tengah 21.188 38.624 .000 13.756 25.077 .000 79.121 144.233 .000 17.187 31.332 .000 19.739 35.983 .000 24.295 44.289 .000 29.010 52.883 .000 .549 171 Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi Perlakuan Tingkat Kecerahan Interaksi PA*SA P1S1 2,34 P1S2 2,46 P2S2 2,88 P2S1 2,92 Interaksi PA*G P2G2 74,24 P2G1 78,89 P1G1 79,47 P1G2 80,07 P1G0 82,94 P2G0 83,71 Interaksi SA*G S1G1 2,12 S2G1 2,56 S2G2 2,67 S1G0 2,67 S1G2 2,72 S2G0 2,78 Interaksi PA*SA *G P2S1G2 72,86 P2S2G2 75,63 P2S2G1 77,7 P1S1G2 78,45 P1S1G1 79,64 P2S1G1 80,08 P1S2G0 81,31 P1S2G2 83,24 P2S2G0 83,25 P2S1G0 84,17 P1S2G1 84,29 P1S1G0 84,57 a a b b a b bc bc bc c a b bc bc c c a b c cd de ef fg h h h h h 172 Lampiran 26. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Nilai 0Hue Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Jumlah Kuadrat 22.446 11.496 107.119 6.966 28.416 14.972 54.686 4.039 174026.044 250.140 Uji Lanjut Duncan untuk masing-masing Faktor Perlakuan Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) P2 P1 Sizing Agent (SA) S1 S2 Gliserol (G) G2 G1 G0 Nilai 0 Hue 84,13 a 86,06 b 84,40 a 85,78 b 82,81 a 84,57 b 87,9 c Db 1 1 2 1 2 2 2 12 24 23 Kuadrat Tengah 22.446 11.496 53.559 6.966 14.208 7.486 27.343 .337 F 66.680 34.150 159.109 20.694 42.208 22.239 81.228 Sig. .000 .000 .000 .001 .000 .000 .000 173 Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi Perlakuan Interaksi PA*SA P2S1 P2S2 P1S1 P1S2 Interaksi PA*G P2G2 P2G1 P1G2 P1G1 P1G0 P2G0 Interaksi SA*G S1G2 S1G1 S2G2 S2G1 S2G0 S1G0 Interaksi PA* SA*G P2S1G2 P1S1G1 P2S2G2 P2S2G1 P1S1G2 P2S1G1 P1S2G0 P1S2G2 P2S1G0 P2S2G0 P1S2G1 P1S1G0 Nilai 0 Hue 83,97 84,28 84,83 87,29 a ab ab b 80,86 83,63 84,76 85,50 87,92 87,89 a ab bc bc c c 81,60 85,50 84,02 86,25 87,08 88,73 a ab abc bcd cd d 80,98 81,33 81,74 82,83 83,22 84,43 85,9 86,30 87,51 88,26 89,66 89,94 a a ab b bc c d de ef fg gh h 174 Lampiran 27. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Contact Angle (0) Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Sig. 556.999 1 556.999 444.485 .000 2338.400 1 2338.400 1866.043 .000 440.078 2 220.039 175.591 .000 38.355 1 38.355 30.607 .000 486.524 2 243.262 194.123 .000 186.002 2 93.001 74.215 .000 98.634 2 49.317 39.355 .000 15.038 12 1.253 93842.631 24 4160.030 23 Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Faktor Contact Angle (0) Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) P1 56,31 P2 65,95 Sizing Agent (SA) S1 51,26 S2 71,00 Gliserol (G) G0 55,67 G1 64,09 G2 64,22 db Perlakuan a b a b a b b 175 Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi Perlakuan Interaksi PA*SA P1S1 P2S1 P1S2 P2S2 Interaksi PA*G P1G0 P1G2 P1G1 P2G0 P2G1 P2G2 Interaksi SA*G S1G0 S1G1 S1G2 S2G2 S2G0 S2G1 Interaksi PA*SA*G P1S1G0 P1S1G1 P2S1G1 P2S1G0 P1S1G2 P1S2G0 P1S2G2 P2S1G2 P2S2G2 P2S2G0 P1S2G1 P2S2G1 Contact Angle (0) 45,18 57,34 67,45 74,55 a ab b c 46,87 59,36 62,71 63,28 65,48 69,08 a b bc bc bc c 41,97 62,71 60,72 67,72 68,18 77,10 a ab bc cd cd d 30,10 51,01 51,18 53,82 54,41 63,63 64,30 67,01 71,14 72,73 74,40 79,78 a b b c c d d e f fg g h 176 Lampiran 28. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Kuat Tekan (N/mm2) Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Jumlah db Kuadrat 40.344 1 15.227 1 592.749 2 6.915 1 14.341 2 459.171 2 63.621 2 8.671 12 25833.584 24 1201.039 23 Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Faktor Perlakuan Kuat Tekan (N/mm2) Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) P1 P2 Sizing Agent (SA) S1 S2 Gliserol (G) G1 G2 G0 30,80 33,43 a b 31,37 32,86 a b 25,63 32,75 37,74 a b c Kuadrat F Sig. Tengah 40.344 55.833 .000 15.227 21.073 .001 296.374 410.154 .000 6.915 9.570 .009 7.170 9.923 .003 229.585 317.724 .000 31.810 44.023 .000 .723 177 Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi Perlakuan Kuat Tekan (N/mm2) Interaksi PA*SA P1S1 30,54 P1S2 31,06 P2S1 32,20 P2S2 34,66 Interaksi PA*G P1G1 22,56 P1G2 27,36 P2G1 28,83 P2G0 33,13 P2G2 38,32 P1G0 42,47 Interaksi SA*G S1G1 22,56 S2G1 27,19 S1G2 31,83 S2G2 33,85 S2G0 37,53 S1G0 38,07 Interaksi PA*SA*G 22,55 P1S1G1 22,57 P1S2G1 25,86 P2S1G1 26,59 P1S2G2 28,12 P1S1G2 31,06 P2S2G0 31,80 P2S2G1 35,20 P2S1G0 35,54 P2S1G2 40,94 P1S1G0 41,10 P2S2G2 44,01 P1S2G0 a a a b a b b c d e a ab abc bc c c a a b b c d d e e f f g 178 Lampiran 29. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Kuat Tarik (N/mm2) Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Jumlah Db Kuadrat F Kuadrat Tengah 38.768 1 38.768 568.860 1.606 1 1.606 23.570 62.525 2 31.262 458.727 .533 1 .533 7.814 15.073 2 7.536 110.586 319.839 2 159.920 2346.567 33.784 2 16.892 247.864 .818 12 .068 56760.907 24 472.946 23 Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Perlakuan Perlakuan Kuat Tarik (N/mm2) Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) P1 P2 Sizing Agent (SA) S1 S2 Gliserol (G) G0 G2 G1 47,16 49,70 a b 48,69 49,17 a b 46,4 48,54 50,35 a b c Sig. .000 .000 .000 .016 .000 .000 .000 179 Uji Lanjut Duncan untuk Interaksi Perlakuan Interaksi PA*SA P1S2 P1S1 P2S1 P2S2 Interaksi PA*G P1G0 P2G2 P1G1 P1G2 P2G0 P2G1 Interaksi SA*G S2G0 S1G0 S2G2 S1G2 S1G1 S2G1 Interaksi PA*SA*G P1S2G0 P1S1G0 P2S2G2 P2S1G1 P2S1G2 P1S2G1 P1S1G2 P1S1G1 P1S2G2 P2S1G0 P2S2G0 P2S2G1 Kuat Tarik (N/mm2) 46,75 47,57 49,81 49,59 a ab b b 40,21 45,99 50,18 51,09 52,59 50,52 a ab b b b b 45,75 47,05 47,57 49,51 50,18 51,19 a ab ab b b b 38,89 41,52 43,52 48,39 48,45 49,75 50,56 50,60 51,60 52,57 52,60 52,63 a b c d d e f f g h h h 180 Lampiran 30. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang (%) pada Permukaan Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Jumlah db Kuadrat 551.042 1 26.042 1 1706.250 2 1.042 1 1477.083 2 64.583 2 1102.083 2 587.500 12 21275.000 24 5515.625 23 Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Faktor Perlakuan Pertumbuhan Kapang (%) Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) P2 20,83 a P1 30,42 b Gliserol (G) G2 18,75 a G1 20,63 a G0 37,50 b Kuadrat Tengah 551.042 26.042 853.125 1.042 738.542 32.292 551.042 48.958 F Sig. 11.255 .532 17.426 .021 15.085 .660 11.255 .006 .480 .000 .886 .001 .535 .002 181 Uji Lanjut Duncan untuk Masing-masing Perlakuan dan Interaksinya Perlakuan Pertumbuhan Kapang ( %) Interaksi SA*G S2G2 11,25 S2G1 15,00 S1G1 26,25 S1G2 26,25 S1G0 27,50 S2G0 47,50 Interaksi PA*SA*Gl P2S2G2 10,00 P1S2G2 12,50 P2S2G1 15,00 P2S1G2 15,00 P1S1G1 22,50 P1S2G1 25,00 P2S1G0 25,00 P2S1G1 30,00 P1S1G0 35,00 P1S1G2 37,50 P1S2G0 40,00 P2S2G0 45,00 a a b b b c a ab ab ab bc bcd bcd cde cdef def fg g 182 Lampiran 31. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Gula Pereduksi (%) Biofoam Sumber Rasio Tapioka:Pati Asetat (PA) Sizing Agent (SA) Gliserol (G) PA * SA SA * G PA * G PA* SA * G Galat Total Total Terkoreksi Jumlah db Kuadrat .115 1 12.266 1 13.972 2 1.553 1 5.679 2 1.386 2 1.714 2 74.131 12 4191.403 24 110.817 23 Kuadrat F Tengah .115 .019 12.266 1.986 6.986 1.131 1.553 .251 2.839 .460 .693 .112 .857 .139 6.178 Sig. .894 .184 .355 .625 .642 .895 .872 183 Lampiran 32. Perhitungan Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam Formula I Bahan baku Tapioka Komposisi Kebutuhan/bulan (%) (Kg) 24 720,00 Harga (Rp) 6.000,00 Biaya/bulan (Rp) 4.320.000 Ampok 8 240,00 1.500,00 360.000 PVOH 15 450,00 7.000,00 3.150.000 Magnesium Stearat Air 3 90,00 16.500,00 1.485.000 50 1.500,00 400,00 600.000 Total 100 3.000,00 9.915.000 Kebutuhan Bahan Baku Pembuatan Biofoam Formula II Bahan baku Tapioka Komposisi Kebutuhan/bulan (%) (Kg) 21 630,00 Harga (Rp) 6.000,00 Biaya/bulan (Rp) 3.780.000 Ampok 12 390,00 1.500,00 585.000 PVOH 8 240,00 7.000,00 1.680.000 Pati Asetat 14 360,00 40.000,00 14.400.000 Magnesium Stearat Agar 1 30,00 16.500,00 495.000 3 90,00 125.000,00 11.250.000 0,1 3,00 450.000,00 1.350.000 5 6,,00 70.000,00 3.150.000 0,4 12,00 20.000,00 240.000 Air 35,5 1.200,00 400,00 480.000 Total 100 3.000,00 NaOH Gliserol Sizing agent 37.410.000