Uploaded by User87067

08 208Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Spondilitis Tuberkulosis
Zuwanda*, Raka Janitra**
*Dokter Umum di Jakarta, **Dokter Umum di Atambua, Nusa Tenggara Timur
ABSTRAK
Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis memiliki perjalanan penyakit
yang relatif indolen, sehingga sulit untuk didiagnosis secara dini. Seringkali penderita mendapatkan pengobatan pada keadaan lanjut dimana
deformitas kifosis dan kecacatan neurologis sudah relatif ireversibel. Pemberian obat anti-tuberkulosis adalah pilihan pengobatan awal yang
terbaik pada fase awal. Pembedahan pada spondilitis tuberkulosis dilakukan hanya pada kasus melanjut, dengan variasi teknik yang beragam,
bergantung pada jenis kasus yang didapatkan. Pembedahan anterior dengan instrumentasi adalah teknik yang paling sering dilakukan dan
dikaji. Namun, karena diagnosis dini spondilitis tuberkulosis yang sulit, maka pembedahan tetap merupakan penatalaksanaan yang umum.
Kata kunci: tuberkulosis, spondilitis, anti-tuberkulosis, kifosis, instrumentasi, pembedahan anterior
ABSTRACT
Tuberculous spondylitis is M. tuberculosis infection of the spine; its clinical course is relatively indolent. Patient frequently diagnosed at late
phase with irreversible kyphosis and neurological deficit. Oral anti tuberculosis agents are treatment of choice at early phase; surgery is reserved
for advanced cases with various techniques. Anterior approach with instrumentation is the most common procedure. Zuwanda, Raka Janitra.
Diganosis and management of tuberculous spondylitis.
Key words:
PENDAHULUAN
Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa
disebut sebagai spondilitis tuberkulosis (TB),
sangat berpotensi menyebabkan morbiditas
serius, termasuk defisit neurologis dan
deformitas tulang belakang yang permanen,
oleh karena itu diagnosis dini sangatlah
penting. Diagnosis dini spondilitis TB sulit
ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai
neoplasma spinal atau spondilitis piogenik
lainnya.1 Diagnosis biasanya baru dapat
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah
terjadi deformitas tulang belakang yang berat
dan defisit neurologis yang bermakna seperti
paraplegia.2,3
ekstraparu.5 TB ekstraparu dapat berupa TB
otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit,
getah bening, osteoartikular, dan endometrial.
Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB
osteoartikular, dan kurang lebih setengah
penderita TB osteoartikular mengalami infeksi
TB tulang belakang.6
Indonesia menempati peringkat ketiga
setelah India dan China sebagai negara
dengan populasi penderita TB terbanyak.4
Setidaknya hingga 20 persen penderita
TB paru akan mengalami penyebaran TB
EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2005, World Health Organization
(WHO) memperkirakan bahwa jumlah
kasus TB baru terbesar terdapat di Asia
Tenggara (34 persen insiden TB secara global)
Alamat korespondensi
Tata laksana spondilitis TB secara umum
adalah kemoterapi dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT), imobilisasi, dan intervensi
bedah ortopedi/ saraf. Berbagai penelitian
telah dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas
pendekatan penanganan spondilitis TB dengan
hasil dan rekomendasi yang beragam.
termasuk Indonesia.4 Jumlah penderita
diperkirakan akan terus meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penderita
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
oleh infeksi human immunodeficiency virus
(HIV). Satu hingga lima persen penderita TB,
mengalami TB osteoartikular.1,7,8 Separuh dari
TB osteoartikular adalah spondilitis TB.6,8
Di negara berkembang, penderita TB usia
muda diketahui lebih rentan terhadap
spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan
di negara maju, usia munculnya spondilitis
TB biasanya pada dekade kelima hingga
keenam.9 TB osteoartikular banyak ditemukan
pada penderita dengan HIV positif, imigran
dari negara dengan prevalensi TB yang tinggi,
usia tua, anak usia dibawah 15 tahun dan
kondisi-kondisi defisiensi imun lainnya. Pada
pasien-pasien HIV positif, insiden TB diketahui
500 kali lebih tinggi dibanding populasi orang
email: [email protected]
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
661
TINJAUAN PUSTAKA
HIV negatif. Di sisi lain, sekitar 25 – 50 persen
kasus baru TB di Amerika Serikat adalah HIV
positif.10
PATOFISIOLOGI
Patologi TB paru
Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk
melalui saluran napas dan akan menimbulkan
fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini
disebut fokus primer (fokus Ghon). Kuman
kemudian akan menyebar secara limfogen
dan menyebabkan terjadinya limfangitis lokal
dan limfadenitis regional. Gabungan dari
fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis
regional disebut sebagai kompleks primer. Jika
sistem imun penderita tidak cukup kompeten
infeksi akan menyebar secara hematogen/
limfogen dan bersarang di seluruh tubuh
mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital,
kulit, getah bening, osteoartikular, hingga
endometrial.11,12
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah
dengan tekanan terendah hingga kemudian
membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga
di bawah ligamentum inguinal atau regio
gluteal.12
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih
dari satu fokus infeksi vertebra. Hal ini disebut
sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau
“skipping lesion”. Peristiwa ini dianggap
merupakan penyebaran dari lesi secara
hematogen melalui pleksus venosus Batson
dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens
spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada
16 persen kasus spondilitis TB.18
Gambar 1 Gibbus. Tampak penonjolan bagian posterior
tulang belakang ke arah dorsal akibat angulasi kifotik
vertebra.13
Patologi spondilitis TB
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran
secara hematogen/limfogen melalui nodus
limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis
di luar tulang belakang yang sebelumnya
sudah ada. Pada anak, sumber infeksi
biasanya berasal dari fokus primer di paru,
sedangkan pada orang dewasa berasal dari
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).12
Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke
tulang belakang melalui pleksus venosus
paravertebral Batson.8
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah
vertebra yang terlibat, banyaknya ketinggian
dari badan vertebra yang hilang, dan segmen
tulang belakang yang terlibat. Vertebra torakal
lebih sering mengalami deformitas kifotik.14
Pada vertebra servikal dan lumbal, transmisi
beban lebih terletak pada setengah bagian
posterior badan vertebra sehingga bila
segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis
fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal
perlahan-lahan akan menghilang dan mulai
menjadi kifosis.15
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang
dimulai dengan inflamasi paradiskus. Setelah
tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema
sumsum tulang belakang dan osteoporosis
terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi
akibat lisis jaringan tulang, sehingga tulang
menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat
gaya gravitasi dan tarikan otot torakolumbal.
Selanjutnya, destruksi tulang diperberat
oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli,
periarteritis, endarteritis. Karena transmisi
beban gravitasi pada vertebra torakal lebih
terletak pada setengah bagian anterior badan
vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak
ditemukan pada bagian anterior badan
vertebra sehingga badan vertebra bagian
anterior menjadi lebih pipih daripada bagian
posterior.8 Resultan dari hal-hal tersebut
mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas
kifotik inilah yang sering disebut sebagai
gibbus (gambar 1).
Menurut penelitian di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta, lesi vertebra torakal
terlapor pada 71 persen kasus spondilitis TB,
diikuti dengan vertebra lumbal, dan yang
terakhir vertebra servikal. Lima hingga tujuh
persen penderita mengalami lesi di dua hingga
empat badan vertebra dengan rata-rata 2.51.10
Jika pada orang dewasa spondilitis TB banyak
terjadi pada vertebra torakal bagian bawah
dan lumbal bagian atas, khususnya torakal
12 dan lumbal 1, pada anak-anak spondilitis
TB lebih banyak terjadi pada vertebra torakal
bagian atas.16,17
662
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah
menyebar ke otot psoas (disebut juga abses
psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess
dibentuk dari akumulasi produk likuefaksi
dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini
sebagian besar dibentuk dari leukosit, materi
kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil.8
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural
medula spinalis dan radiks terjadi akibat
banyak proses, yaitu: 1) penyempitan
kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan
granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/ vena
spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural
atau 7) invasi duramater secara langsung.
Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga
terjadi secara intradural melalui meningitis
dan tuberkulomata sebagai space occupying
lesion.9,10
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis
TB dengan defisit neurologis dan tanpa
defisit neurologis, maka defisit biasanya
terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal.
Defisit neurologis dan deformitas kifotik
lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat
pada vertebra lumbalis.19 Penjelasan yang
mungkin mengenai hal ini antara lain: 1)
Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri
utama yang mendarahi medula spinalis
segmen torakolumbal paling sering terdapat
pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi
arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan
kerusakan saraf dan paraplegia. 2) Diameter
relatif antara medula spinalis dengan foramen
vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai
melebar kira-kira setinggi vertebra torakal
10, sedangkan foramen vertebrale di daerah
tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis,
foramen vertebralenya lebih besar dan lebih
memberikan ruang gerak bila ada kompresi
dari bagian anterior.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen
(tanpa nyeri).8 Pasien biasanya mengeluhkan
nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
yang terinfeksi. Demam subfebril, menggigil,
malaise, berkurangnya berat badan atau
berat badan tidak sesuai umur pada anak
yang merupakan gejala klasik TB paru juga
terjadi pada pasien dengan spondilitis TB.9
Pada pasien dengan serologi HIV positif,
rata-rata durasi dari munculnya gejala awal
hingga diagnosis ditegakkan adalah selama
28 minggu.20 Apabila sudah ditemukan
deformitas berupa kifosis, maka patogenesis
TB umumnya spinal sudah berjalan selama
kurang lebih tiga sampai empat bulan.15
Defisit neurologis terjadi pada 12 – 50 persen
penderita.10 Defisit yang mungkin antara lain:
paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular
dan/ atau sindrom kauda equina. Nyeri
radikuler menandakan adanya gangguan
pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB
servikal jarang terjadi, namun manifestasinya
lebih berbahaya karena dapat menyebabkan
disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus
terganggu, pernapasan terganggu dan timbul
sesak napas (disebut juga Millar asthma).8
Umumnya gejala awal spondilitis servikal
adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak
spesifik.21
Penelitian di Nigeria melaporkan bahwa
paraplegia terjadi pada 54 persen pasien yang
mengalami gangguan kekuatan motorik.
Sedangkan deformitas tulang belakang
hanya terjadi pada 21 persen pasien-pasien
tersebut. Tingginya angka paraplegia
mungkin disebabkan tingkat sosioekonomi
dan pendidikan yang masih rendah sehingga
pasien baru datang ke layanan kesehatan jika
penyakit sudah melanjut dengan gejala yang
berat.22
DIAGNOSIS
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan
dan sering disalahartikan sebagai neoplasma
spinal atau spondilitis piogenik lainnya.
Ironisnya, diagnosis biasanya baru dapat
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah
terjadi deformitas tulang belakang dan defisit
neurologis.2,3,23
Penegakan diagnosis seperti pada penyakitpenyakit pada umumnya melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, diikuti dengan pemeriksaan
penunjang. Keberhasilan melakukan diagnosis
dini menjanjikan prognosis yang lebih baik.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Nyeri punggung belakang adalah keluhan
yang paling awal, sering tidak spesifik dan
membuat diagnosis yang dini menjadi sulit.
Maka dari itu, setiap pasien TB paru dengan
keluhan nyeri punggung harus dicurigai
mengidap spondilitis TB sebelum terbukti
sebaliknya.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai
gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit
tidak segera ditangani. Menurut salah satu
sumber, insiden paraplegia pada spondilitis
TB (Pott’s paraplegia), sebagai komplikasi yang
paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 – 38
persen penderita.9 Pott’s paraplegia dibagi
menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat
(early-onset) dan paraplegia onset lambat
(late-onset).8 Paraplegia onset cepat terjadi
saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama.
Paraplegia onset cepat disebabkan oleh
kompresi medula spinalis oleh abses atau
proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset
lambat terjadi saat penyakit sedang tenang,
tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis,
umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan
fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang
akibat destruksi tulang sebelumnya.8,10
Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan
adanya riwayat TB paru, atau riwayat gejalagejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal,
batuk lama, penurunan berat badan) jika TB
paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam
lama merupakan keluhan yang paling sering
ditemukan namun cepat menghilang (satu
hingga empat hari) jika diobati secara adekuat.24
Paraparesis adalah gejala yang biasanya
menjadi keluhan utama yang membawa
pasien datang mencari pengobatan. Gejala
neurologis lainnya yang mungkin: rasa kebas,
baal, gangguan defekasi dan miksi.
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu
muncul karena patologi terjadi dari anterior,
sesuai dengan posisi motoneuron di kornu
anterior medula spinalis, kecuali jika ada
keterlibatan bagian posterior medula spinalis,
keluhan sensorik bisa lebih dahulu muncul.
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan
adanya fokus infeksi TB di paru atau di tempat
lain, meskipun pernah dilaporkan banyak
spondilitis TB yang tidak menunjukkan tandatanda infeksi TB ekstraspinal.9,25 Pernapasan
cepat dapat diakibatkan oleh hambatan
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
pengembangan volume paru oleh tulang
belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh
kuman TB. Infiltrat paru akan terdengar
sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai
suara amforik atau bronkial dengan predileksi
di apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang
belakang harus diperiksa secara seksama.
Infeksi TB spinal dapat menyebar membentuk
abses paravertebra yang dapat teraba,
bahkan terlihat dari luar punggung berupa
pembengkakan. Permukaan kulit juga harus
diperiksa secara teliti untuk mencari muara
sinus/fistel hingga regio gluteal dan di bawah
inguinal (trigonum femorale). Tidak tertutup
kemungkinan abses terbentuk di anterior
rongga dada atau abdomen.20
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut, meski masih
dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis
yang teliti sangat penting untuk menunjang
diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan
neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi
motorik, sensorik, dan autonom. Kelumpuhan
berupa kelumpuhan upper motor neuron
(UMN), namun pada presentasi awal akan
didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya
akan muncul spastisitas dan refleks patologis
yang positif. Kelumpuhan lower motor neuron
(LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi
jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika
kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi, yang
biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa
pada tiap dermatom untuk protopatis (raba,
nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas
dan bawah untuk proprioseptif (gerak, arah,
rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi
keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi
saraf autonom.
Pemeriksaan Radiologi
Radiologi hingga saat ini merupakan
pemeriksaan yang paling menunjang
untuk diagnosis dini spondilitis TB karena
memvisualisasi langsung kelainan fisik
pada tulang belakang. Terdapat beberapa
pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan
seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat
menemukan penyempitan jarak antar diskus
intervertebralis, erosi dan iregularitas dari
badan vertebra, sekuestrasi, serta massa para
vertebra.26 Pada keadaan lanjut, vertebra akan
kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai
663
TINJAUAN PUSTAKA
akordion (concertina), sehingga disebut juga
concertina collapse (gambar 3).1
1. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis
awal yang paling sering dilakukan dan berguna
untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral.27
Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik
pada bagian anterior badan vertebra dan
osteoporosis regional. Penyempitan ruang
diskus intervertebralis menandakan terjadinya
kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan
lunak sekitarnya memberikan gambaran
fusiformis.27
Pada fse lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi
kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang
merupakan cold abscess.27 Namun, sayangnya
sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess
dengan baik (gambar 2).28 Dengan proyeksi
lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam (gambar 3).1,29
2. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas
sklerosis tulang, destruksi badan vertebra,
abses epidural, fragmentasi tulang, dan
penyempitan kanalis spinalis (gambar 4).
CT myelography juga dapat menilai dengan
akurat kompresi medula spinalis apabila tidak
tersedia pemeriksaan MRI.26 Pemeriksaan
ini meliputi penyuntikan kontras melalui
punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu
dilanjutkan dengan CT scan.27
Selain hal yang disebutkan di atas, CT
scan dapat juga berguna untuk memandu
tindakan biopsi perkutan dan menentukan
luas kerusakan jaringan tulang.27 Penggunaan
CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan
MRI untuk visualisasi jaringan lunak.
Gambar 5 Pencitraan MRI potongan sagital pasien
spondilitis TB. Pada MRI dapat dilihat destruksi dari badan
vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat (gibbus),
infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis
spinalis, dan penjepitan medula spinalis.19 Gambaran ini
khas menyerupai akordion yang sedang ditekuk.
Gambar 4 Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB
potongan aksial setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat
destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam), edema
jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan
medula spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas (panah
putih besar).26
Gambar 2 Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis
TB. Sinar-X memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya
ketinggian dari badan vertebra T9 (tanda bintang), serta
juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar, yang
merupak cold abscess (panah putih).26
Gambar 3 Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam.
Pertama, tarik garis khayal sejajar end-plate superior badan
vertebra yang sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua garis
tersebut diperpanjang ke anterior sehingga bersilangan.
Sudut K pada gambar adalah sudut Konstam, sedangkan
Sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada contoh
gambar ini, angulasi kifotik adalah sebesar 30º.1,29
664
3. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk
menilai jaringan lunak. Kondisi badan vertebra,
diskus intervertebralis, perubahan sumsum
tulang, termasuk abses paraspinal dapat
dinilai dengan baik dengan pemeriksaan
ini.26,30 Untuk mengevaluasi spondilitis TB,
sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial,
dan sagital yang meliputi seluruh vertebra
untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.8,18
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi
perbaikan jaringan. Peningkatan sinyalT1 pada sumsum tulang mengindikasikan
pergantian jaringan radang granulomatosa
oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini
berkorelasi dengan gejala klinis.31 Bagaimana
membedakan spondilitis TB dari spondilitis
lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada
bagian diagnosis diferensial setelah ini.
4. Pencitraan lainnya
Ultrasonografi dapat digunakan untuk
mencari massa pada daerah lumbar. Dengan
pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak
dan volume abses/massa iliopsoas yang
mencurigakan suatu lesi tuberkulosis.8
Bone scan pada awalnya sering digunakan,
namun pemeriksaan ini hanya bernilai positif
pada awal perjalanan penyakit. Selain itu, bone
scan sangat tidak spesifik dan ber-resolusi
rendah. Berbagai jenis penyakit seperti
degenerasi, infeksi, keganasan dan trauma
dapat memberikan hasil positif yang sama
seperti pada spondilitis TB.
Pencitraan dengan 67Gadolinium diketahui
berguna untuk mendeteksi infeksi TB
diseminata.1 Penggunaan pencitraan ini masih
belum lazim pada spondilitis TB.
Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis
Untuk memastikan diagnosis secara pasti,
perlu dilakukan biopsi tulang belakang atau
aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan
secara perkutan dan dipandu dengan CT
scan atau fluoroskopi.1,19 Spesimen kemudian
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan
histologis, kultur dan pewarnaan basil tahan
asam (BTA), gram, jamur dan tumor. Kultur BTA
positif pada 60–89 persen kasus.1,9
Studi histologi jaringan penting untuk
memastikan diagnosis jika kultur negatif,
pewarnaan
BTA
negatif,
sekaligus
menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
Temuan histologi pada infeksi TB jaringan
adalah akumulasi sel epiteloid (granuloma
epiteloid), sel datia langhans dan nekrosis
kaseosa.27 Sel epiteloid adalah sel
mononuklear yang mem-fagositosis basil
tuberkulosis dengan sisa-sisa lemak kuman
pada sitoplasmanya.8 Granuloma epiteloid
dapat ditemukan pada 89 persen spesimen
yang merupakan gambaran khas histologi
infeksi TB. Superinfeksi kuman piogenik telah
dilaporkan pada beberapa kasus.
Jika biopsi jarum tidak dapat memastikan
diagnosis, biopsi bedah yang diikuti dengan
kultur dapat dipertimbangkan.9 biopsi bedah
umumnya dilakukan pada keadaan dimana
biopsi jarum sangat berbahaya dan tidak
menghasilkan spesimen (dry tap).
Kultur umumnya memerlukan waktu yang
relatif lama, yaitu 2 minggu. Kultur sebaiknya
diikuti dengan uji resistensi OAT.8 Spesimen
yang cocok untuk dijadikan kultur adalah
organ-organ dalam, tulang, pus, cairan
sinovial, atau jaringan sinovial. Media yang
dapat digunakan adalah media berbasis
telur, seperti media Lowenstein-Jensen
dan media berbasis cairan, seperti BectonDickinson dan BACTEC TM. Pajanan pasien
dengan fluorokuinolon sebelumnya akan
memperlambat pertumbuhan kultur hingga
2 minggu.8
Pemeriksaan laboratoris
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat
digunakan untuk mendeteksi DNA kuman
tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang
memerlukan waktu lama, pemeriksaan ini
sangat akurat dan cepat (24 jam), namun
memerlukan biaya yang lebih mahal
dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip
kerja PCR adalah memperbanyak DNA kuman
secara eksponensial sehingga dapat terdeteksi
meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10
hingga 1000 kuman). PCR memiliki sensitivitas
sekitar 80–98 persen dan spesifisitas 98
persen.8
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen
excretory-secretory ES-31 mycobacterial, IgG
anti-TB, IgM anti-TB, IgA anti-TB, dan antigen
31 kDa dikatakan dapat berguna, namun
efektivitasnya masih diuji lebih lanjut.8
dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan
lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan
dengan spondilitis TB yang lebih sering
menyerang vertebra torakolumbal lebih dari
satu vertebra.24
Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi
studi hematologis. Laju endap darah (LED)
biasanya meningkat, namun tidak spesifik
menunjukkan proses infeksi granulomatosa
TB. Peningkatan kadar C-reactive protein
(CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi
abses.10 Uji Mantoux positif pada sebagian
besar pasien (84–95 persen)32 namun hanya
memberi petunjuk tentang paparan kuman
TB sebelumnya atau saat ini. Spesimen
sputum memberikan hasil positif hanya jika
proses infeksi paru sedang aktif. Studi di
Malaysia mengemukakan bahwa kelainan
hematologis yang paling sering ditemukan
pada pasien spondilitis TB adalah anemia
normositik
normokrom,
trombositosis
dengan/tanpa peningkatan LED dan
leukositosis.33
Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah
(LED), jumlah leukosit, dan hitung jenis
dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis
piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna
dibandingkan peningkatan LED, meskipun
pada beberapa kasus dapat normal.24
Telah dilakukan studi untuk membedakan
kedua penyakit melalui MRI. Jung dkk34
menjabarkan beberapa perbedaan temuan
MRI secara rinci yang mengarahkan pada
infeksi TB: 1) sinyal abnormal paraspinal
berbatas tegas. 2) dinding abses tipis dan
halus. 3) adanya abses paraspinal dan
intraoseus. 4) penyebaran subligamen lebih
dari 2 vertebra. 5) keterlibatan vertebra
torakal. 6) lesi multipel. Bila ada temuan
radiologis selain yang disebutkan di atas,
tampaknya diagnosis infeksi piogenik
lebih mungkin. Penelitian oleh Harada
dkk menambahkan bahwa adanya sinyal
abnormal pada sendi faset merupakan
karakteristik infeksi piogenik.30 Kultur dan
pewarnaan Gram spesimen tulang yang
diambil melalui biopsi perkutan/terbuka
dapat memastikan diagnosis, namun
tindakan ini termasuk tindakan invasif.9
Diagnosis Diferensial
Hal yang perlu digarisbawahi pada spondilitis
TB adalah nyeri punggung nonspesifik,
deformitas kifotik, kompresi medula spinalis
yang sering menjadi alasan penderita untuk
datang berobat. Karena itu, pemikirian
kemungkinan diagnosis banding harus
didasarkan pada hal ini. Sangat penting untuk
membedakan spondilitis TB dari penyakit
lainnya, karena terapi dini yang tepat dan
akurat dapat mengurangi angka disabilitas
dan morbiditas pasien.30
Spondilitis piogenik adalah salah satu
penyakit dengan presentasi gejala yang
serupa dengan spondilitis TB dan tidak
mudah untuk membedakan keduanya tanpa
pemeriksaan penunjang yang adekuat.
Spondilitis piogenik umumnya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus,
dan Pneumococcus.30 Secara epidemiologi,
spondilitis piogenik lebih sering menyerang
usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun.
Hingga saat ini, prevalensi spondilitis piogenik
dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya
penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasif
spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak,
jumlah kasus baru spondilitis TB semakin
berkurang dengan penggunaan OAT.
Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang
lebih akut dengan gejala yang hampir sama
Tumor metastatik spinal mencakup 85
persen bagian dari semua tumor tulang
belakang yang mengakibatkan kompresi
medula spinalis. Insiden tertinggi kasus
tumor metastasik spinal pada usia di atas 50
tahun. Urutan segmen yang sering terlibat
yaitu torakal, lumbar dan servikal. Neoplasma
dengan kecenderungan bermetastasis ke
medula spinalis meliputi tumor payudara,
prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan mieloma
multipel. Metastasis keganasan saluran cerna
dan rongga pelvis relatif melibatkan vertebra
lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan
mamae lebih sering melibatkan vertebra
torakal.
Keganasan primer pada pasien anak-anak
yang cukup sering menyebabkan kompresi
medula spinalis meliputi neuroblastoma,
Sarkoma Ewing, dan hemangioma. Formasi
abses dan adanya fragmen tulang adalah
temuan MRI yang dapat membedakan
spondilitis TB dari neoplasma.1
665
TINJAUAN PUSTAKA
Keluhan yang sering berupa nyeri punggung
belakang yang kronis progresif yang tidak
spesifik, hal inilah yang menyebabkan
neoplasma spinal sulit dibedakan dengan
spondilitis TB.24 Adanya riwayat keganasan di
tempat lain dapat membantu penegakkan
diagnosis. Defisit neurologis terjadi tergantung
tingkat lesi, muncul jika tumor sudah menekan
epidural dan medula spinalis. Kolaps vertebra
dengan deformitas kifotik atau skoliotik terjadi
akibat destruksi badan vertebra/ fraktur oleh
invasi tumor dengan diskus yang bebas dari
kerusakan. MRI belum dapat secara pasti
menyingkirkan atau memastikan diagnosis
tumor spinal. Semua temuan-temuan MRI
spondilitis TB bisa ditemukan pada tumor
spinal.
Fraktur kompresi
badan
vertebra
berpotensi menyebabkan deformitas kifotik
disertai gangguan neurologis dengan
derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan
kekuatan yang besar untuk membuat badan
vertebra yang bersangkutan retak, kecuali
jika didapatkan osteoporosis, usia tua atau
penggunaan steroid jangka panjang. Contoh
klasik trauma yang menyebabkan fraktur
kompresi seperti jatuh dari ketinggian
dengan bokong terlebih dahulu. Kecelakaan
mobil juga dapat menyebabkan dampak
serupa. Mekanisme fleksi-kompresi biasanya
menyebabkan fraktur kompresi dengan
bagian anterior mengecil (wedge-shaped)
dengan derajat kerusakan bagian tengah dan
posterior yang bervariasi. Medula spinalis
segmen torakal lebih sering mengalami
cedera karena merupakan segmen yang
paling panjang dibandingkan segmen
lainnya dan juga karena kanalis spinalisnya
yang lebih sempit dengan vaskularisasi
yang tentatif. Diagnosis ditegakkan dengan
temuan klinis dan adanya riwayat trauma
yang bermakna dikombinasikan dengan ada/
tidaknya faktor risiko seperti osteoporosis
atau usia tua.
Pada negara dengan insidens bruselosis
cukup tinggi, spondilitis bruselosis
merupakan diagnosis diferensial yang utama.
Demam, keringat dingin dan nyeri sendi
adalah gejala yang lebih sering ditemukan
pada spondilitis bruselosis, sementara
gangguan neurologis dan deformitas lebih
banyak ditemukan pada spondilitis TB.
Sakroiliitis dan diskitis lebih sering didapatkan pada pasien spondilitis bruselosis.35
666
Tabel 1 Klasifikasi Pott’s paraplegia37
Stadium
Gambaran Klinis
I. Tidak terdeteksi/ terabaikan
(negligible)
Pasien tidak sadar akan gangguan neurologis, klinisi menemukan adanya klonus
pada ekstensor plantaris dan pergelangan kaki.
II. Ringan
Pasien menyadari adanya gangguan neurologis, tetapi masih mampu berjalan
dengan bantuan.
III. Moderat
Tidak dapat berpindah tempat (non-ambulatorik) karena kelumpuhan (dalam
posisi ekstensi) dan defisit sensorik di bawah 50 persen.
IV. Berat
Stadium III + kelumpuhan dalam posisi fleksi, defisit sensorik di atas 50 persen,
dan gangguan sfingter.
Tabel 2 Klasifikasi klinikoradiologis37
Stadium
Gambaran klinikoradiologis
Durasi
perjalanan
penyakit
I. Pre-destruktif
Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral, hiperemia tampak pada skintigrafi, MRI < 3 bulan
menunjukkan edema sumsum tulang.
II. Destruktif awal
Penyempitan ruang diskus, erosi paradiskal. MRI memperlihatkan edema dan 2–4 bulan
kerusakan korteks vertebra, CT scan menunjukkan erosi marginal dan kavitasi.
III. Kifosis ringan
2–3 vertebra terkena (angulasi 10º–30º)
3–9 bulan
IV. Kifosis moderat >3 vertebra terkena (angulasi 30º–60º)
6–24 bulan
V. Kifosis berat
>2 tahun
>3 vertebra (angulasi >60º)
Tabel 3 Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB.
Tipe
Lesi
Penatalaksanaan
IA
Lesi vertebra dan degenerasi
Biopsi perkutan dan
diskus 1 segmen, tanpa kolaps,
kemoterapi
abses, ataupun defisit neurologis.
IB
Adanya cold abscess, degenerasi
diskus 1 atau lebih, tanpa kolaps
ataupun defisit neurologis.
Drainase abses dan
debridemen anterior/ posterior
II
Kolaps vertebra
Cold abscess
Kifosis
Deformitas stabil, dengan/ tanpa
defisit neurologis
Angulasi sagital < 20º
1.
Kolaps vertebra berat
Cold abscess
Kifosis berat
Deformitas tidak stabil, dengan/
tanpa defisit neurologis
Angulasi sagital ≥ 20º
Penatalaksaan no II
+ instrumentasi anterior/
posterior
III
2.
3.
Contoh
debridemen dan fusi
anterior
dekompresi jika terdapat
defisit neurologis
tandur strut kortikal untuk
fusi
Diadaptasi dari: Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro AR. A new classification and
guide for surgical treatment of spinal tuberculosis.38
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
Diagnosis diferensial lainnya yang perlu
dipertimbangkan antara lain: spondilitis
jamur yang dapat ditemukan pada pasienpasien dengan inkompetensi imun36, mielitis
transversa, sarkoidosis, dan reumatoid artritis.9
KLASIFIKASI
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan
beberapa pihak dengan tujuan untuk
menentukan deskripsi keparahan penyakit,
prognosis dan tatalaksana.
Tabel 4 ASIA Impairment Scale 39
Stadium
Gambaran neurologis
A. Complete
Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang utuh pada segmen S4-5
B. Incomplete
Fungsi sensorik utuh, fungsi motorik tidak utuh di bawah segmen lesi neurologis dan segmen S4-5
C. Incomplete
Fungsi motorik masih utuh di bawah segmen lesi neurologis, dan lebih dari separuh otot kunci* di bawah
segmen lesi neurologis setidaknya memiliki kekuatan motorik di bawah 3
D. Incomplete
Sama seperti C, namun dengan kekuatan motorik di atas 3
E. Normal
Fungsi motorik dan sensorik normal
Sindrom Klinis
Sindrom Brown Sequard, Sindrom Kauda Ekuina, Sindrom Medula anterior, Sindrom Medula Sentral,
Sindrom Konus Medularis.
*Otot-otot kunci yang dimaksud antara lain: fleksi siku (C5), ekstensi tangan (C6), ekstensi siku (C7), ekstensi jari tangan (C8),
Klasifikasi Pott’s paraplegia disusun untuk
mempermudah komunikasi antar klinisi
dan mempermudah deskripsi keparahan
gejala klinis pasien spondilitis TB. Klasifikasi
klinikoradiologis untuk memperkirakan durasi
perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis
dan temuan radiologis pasien.
Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip
Akademisi (GATA) baru-baru ini telah disusun
untuk menentukan terapi yang dianggap
paling baik untuk pasien yang bersangkutan.
Sistem klasifikasi ini dibuat berdasarkan kriteria
klinis dan radiologis, antara lain: formasi abses,
degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis,
angulasi sagital, instabilitas vertebra dan
gejala neurologis; membagi spondilitis TB
menjadi tiga tipe (I, II, dan III).38
Untuk menilai derajat keparahan, memantau
perbaikan klinis, dan memprediksi prognosis
pasien spondilitis TB dengan cedera medula
spinalis, dapat digunakan klasifikasi American
Spinal Injury Association (ASIA) impairment
scale. Sistem ini adalah pembaruan dari sistem
klasifikasi Frankel dan telah diterima secara
luas. ASIA impairment scale membagi cedera
medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera
medula spinalis komplit, B – D, cedera medula
spinalis inkomplit, E, normal) (tabel 4).39
Hasil penelitian tentang prognosis pasien
dengan cedera medula spinalis menyatakan
bahwa pasien dengan cedera medula spinalis
ASIA A, hanya memiliki paling tinggi lima
persen kemungkinan menjadi ASIA D, 20 –
50 persen pada ASIA B untuk menjadi ASIA D
dalam 1 tahun, 60 – 75 persen pada ASIA C
untuk menjadi ASIA D dalam 1 tahun.40
PENATALAKSANAAN
Sebelum ditemukannya OAT yang efektif,
penganganan spondilitis TB hanya dengan
metode imobilisasi, yaitu tirah baring dan
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
abduksi kelingking (T1), fleksi tungkai (L2), ekstensi lutut (L3), dorsofleksi kaki (L4), ekstensi ibu jari kaki (L5), plantarfleksi kaki
(S1). Pemeriksaan segmen S4 – 5 adalah dengan menilai kontraksi sfinger ani volunter dan dan sensasi perianal.
Tabel 5 Dosis Rekomendasi OAT pada anak (di bawah 12 tahun) dan dewasa.43
Dosis mg/kgBB (dosis maksimum)
Obat
Harian
Dua kali seminggu
Tiga kali seminggu
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
INH
10–20
5
20–40
15
20–40
15
RIF
10–20
10
10–20
10
10–20
10
PRZ
15–30
15–30
50–70
50–70
50–70
50–70
ETB
15–25
15–25
50
50
25–30
25–30
SM
20–40
12–18
25–30
25–30
25–30
25–30
INH, isoniazid, RIF, rifampisin, PRZ, pirazinamid, ETB, etambutol, SM, streptomisin.Dosis berdasarkan berat badan harus
disesuaikan pertambahan berat badan. Semua pasien yang menerima dosis intermiten harus dipantau langsung terapinya.
PRZ dan SM tidak dipakai pada wanita hamil. ETB tidak disarankan untuk pasien anak karena sulit diobservasi fungsi
visualnya.
korset/bidai. Mortalitas dan angka relaps
sangat tinggi saat itu.1
Sekarang, penanganan spondilitis TB
secara umum dibagi menjadi dua bagian
yang berjalan dapat secara bersamaan,
medikamentosa
dan
pembedahan.
Terapi medikamentosa lebih diutamakan,
sedangkan terapi pembedahan melengkapi
terapi medikamentosa dan disesuaikan
dengan keadaan individual tiap pasien. Pasien
spondilitis TB pada umumnya bisa diobati
secara rawat jalan, kecuali diperlukan tindakan
bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan
pasien. Tujuan penatalaksanaan spondilitis
TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB,
mencegah dan mengobati defisit neurologis,
serta memperbaiki kifosis.9
Parthasarathy dkk melakukan penelitian pada
235 pasien spondilitis TB tanpa paraplegia
dengan tujuan membandingkan efektivitas
kemoterapi OAT dan intervensi bedah.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
pada fase awal, terapi medikamentosa
memberikan hasil yang lebih memuaskan
dibandingkan terapi bedah. Namun, ketika
deformitas kifosis telah melanjut, terapi
medikamentosa justru tidak begitu berguna.
Terapi OAT selama 9 bulan memberikan
angka remisi yang lebih baik (hingga 99
persen) dibandingkan terapi OAT selama 6
bulan.41
Untuk mempermudah klinisi menentukan
tindakan yang cocok untuk pasien, dapat
digunakan klasifikasi GATA.38 Namun,
penulis menyarankan untuk menatalaksana
pasien secara individual, dan juga
mempertimbangkan keahlian ahli bedah,
serta ketersediaan fasilitas rumah sakit.
1. Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna
hanya dengan OAT saja hanya jika diagnosis
ditegakkan awal, dimana destruksi tulang
dan deformitas masih minimal.8,37,42 Seperti
pada terapi TB pada umumnya, terapi infeksi
spondilitis TB adalah multidrug therapy.
Secara umum, regimen OAT yang digunakan
pada TB paru dapat pula digunakan pada
TB ekstraparu, namun rekomendasi durasi
pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga
saat ini masih belum konsisten antarahli.
667
TINJAUAN PUSTAKA
World
Health
Organization
(WHO)
menyarankan
kemoterapi
diberikan
setidaknya selama 6 bulan.43 British Medical
Research Council menyarankan bahwa
spondilitis TB torakolumbal harus diberikan
kemoterapi OAT selama 6 – 9 bulan.2 Untuk
pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat
servikal, dan dengan defisit neurologis
belum dapat dievaluasi, namun beberapa
ahli menyarankan durasi kemoterapi selama
9–12 bulan.2
The Medical Research Council Committee
for Research for Tuberculosis in the Tropics
menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin
harus selalu diberikan selama masa
pengobatan.9 Selama dua bulan pertama
(fase inisial), obat-obat tersebut dapat
dikombinasikan
dengan
pirazinamid,
etambutol dan streptomisin sebagai obat lini
pertama. Hal ini senada dengan penelitian
Karaeminogullari dkk19 yang mengobati
pasien spondilitis TB lumbal dengan rifampisin
dan insoniazid saja selama 9 bulan, dengan
hasil yang memuaskan.
Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus
resisten pengobatan. Yang termasuk sebagai
OAT lini kedua antara lain: levofloksasin,
moksifloksasin,
etionamid,
tiasetazon,
kanamisin, kapreomisin, amikasin, sikloserin,
klaritomisin dan lain-lain.
Adakalanya kuman TB kebal terhadap
berbagai macam OAT. Multidrug resistance TB
(MDR-TB) didefinisikan sebagai basil TB yang
resisten terhadap isoniazid dan rifampisin.44
Spondilitis MDR-TB adalah penyakit yang
agresif karena tidak dapat hanya diterapi
dengan pengobatan OAT baku. Regimen
untuk MDR-TB harus disesuaikan dengan
hasil kultur abses. Perbaikan klinis umumnya
bisa didapatkan dalam 3 bulan jika terapi
berhasil.44 Adapula rekomendasi terbaru
untuk penganganan MDR-TB, yaitu dengan
kombinasi 5 obat, antara lain: 1) salah satu
dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif
melalui hasil kultur resistensi, 2) OAT injeksi
untuk periode minimal selama 6 bulan,
3) kuinolon, 4) sikloserin atau etionamid,
5) antibiotik lainnya seperti amoksisilin
klavulanat dan klofazimin. Durasi pemberian
OAT setidaknya selama 18–24 bulan.45
The United States Centers for Disease Control
merekomendasikan pengobatan spondilitis
668
TB pada bayi dan anak-anak setidaknya harus
selama 12 bulan.43 Durasi kemoterapi pada
pasien imunodefisiensi sama pada pasien
tanpa imunodefisiensi. Namun, adapula
sumber yang mengatakan durasinya harus
diperpanjang.43 Kemoterapi pada pasien
dengan HIV positif harus disesuaikan dan
memerhatikan interaksi OAT dan obat antiretroviral. Zidovudin dapat meningkatkan
efek toksik OAT. Didanosin harus diberikan
selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
penyanggah antasida.11
Perhimpuna Dokter Paru Indonesia telah
merumuskan regimen terapi OAT untuk
pasien TB.11 Untuk kategori I, yaitu kasus baru
TB paru kasus baru dengan TB ekstraparu,
termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS)
fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan, atau
2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3
fase lanjutan, atau 2RHZE(HRZS) fase inisial
dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian
regimen bisa diperpanjang sesuai dengan
respons klinis penderita. Sedangkan untuk
kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan,
relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase
inisial dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau
2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase
lanjutan.11,43
Deksametason jangka pendek dapat
digunakan pada kasus dengan defisit
neurologis yang akut untuk mencegah syok
spinal. Namun, belum ada studi yang menguji
efektivitasnya pada kasus spondilitis TB.9
Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan
dengan kemoterapi OAT telah dicoba pada
beberapa pasien dan dikatakan dapat
meningkatkan proses perbaikan tulang.
Nerindronat 100 mg pada pemberian
pertama, dan 25 mg setiap bulan berikutnya
selama 2 tahun telah diujicobakan dengan
hasil yang memuaskan. Nerindronat disebutkan dapat menghambat aktivitas
resorpsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas
osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas
pada satu pasien dan perlu dievaluasi lebih
lanjut.46
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika
dalam 3–4 minggu, nyeri dan atau defisit
neurologis masih belum menunjukkan
perbaikan setelah pemberian OAT yang
sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau
tirah baring.47
2. Pembedahan
Dengan
berkembangnya
penggunaan
OAT yang efektif, terapi pembedahan relatif
ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama
pada spondilitis TB. Pilihan teknik bedah tulang
belakang pada spondilitis sangat bervariasi,
namun pendekatan tindakan bedah yang baku
dan empiris masih belum ada. Setiap kasus harus
dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien
yang direncanakan dioperasi, kemoterapi tetap
harus diberikan, minimal 10 hari sebelum
operasi OAT harus sudah diberikan.41 Kategori
regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis
kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori
masing-masing.8,11
Tindakan bedah yang dapat dilakukan
pada spondilitis TB meliputi drainase abses;
debridemen radikal; penyisipan tandur
tulang; artrodesis/fusi; penyisipan tandur
tulang; dengan atau tanpa instrumentasi/
fiksasi, baik secara anterior maupun posterior;
dan osteotomi.
a. Indikasi dan Kontraindikasi
Pembedahan
Indikasi pembedahan pada spondilitis TB
secara umum sebagai berikut: 1) defisit
neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia.
2) deformitas tulang belakang yang tidak
stabil atau disertai nyeri, dalam hal ini kifosis
progresif (30º untuk dewasa, 15º untuk anakanak). 3) tidak responsif kemoterapi selama
4 minggu. 4) abses luas. 5) biopsi perkutan
gagal untuk memberikan diagnosis.41,42,48 6)
nyeri berat karena kompresi abses.47
Jika lesi di servikal, intervensi bedah dilakukan
lebih awal mengingat potensi kecacatan yang
akan terjadi. Jika mengikuti klasifikasi GATA
yang telah dijelaskan diatas, maka intervensi
bedah dilakukan pada pasien dengan GATA IB
hingga GATA III.38 Sementara itu, satu-satunya
kontraindikasi pembedahan pada pasien
spondilitis TB adalaha kegagalan jantung dan
paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung dan
paru harus ditangani terlebih dahulu untuk
menyelamatkan jiwa pasien.1
b. Pemilihan pendekatan pembedahan
tulang belakang
Pemilihan pendekatan pembedaan spondilitis
TB bergantung pada banyak hal. Hal-hal tersebut antara lain: kemampuan dan pengalaman ahli bedah, ketersediaan instrumen, personel
anestesi, dan komorbid pasien.
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan secara anterior lebih sering
digunakan karena dapat mencapai abses
yang umumnya berada di anterior vertebra.
Selain itu, dengan pendekatan anterior, ahli
bedah tidak perlu membuang/ memotong
bagian vertebra segmen posterior sehingga
vertebra relatif utuh. Pendekatan anterior
juga baik digunakan jika diputuskan untuk
memasang tandur dari tulang iga, sehingga
tidak perlu melakukan insisi di dua tempat.42
Pendekatan anterior efektif untuk kasus
dengan defisit neurologis, lesi multi-level,
atau abses yang luas.14
Di sisi lain, pendekatan anterior kurang baik
jika dilakukan pada spondilitis TB multi-level
dalam mengoreksi deformitas kifotik.49 Pada
keadaan ini, kombinasi dengan pendekatan
posterior untuk instrumentasi posterior
diperlukan, baik melalui operasi tunggal
atau dua operasi.47 Prosedur operasi tunggal
untuk dua pendekatan dapat dilakukan dan
ditujukan untuk mengurangi durasi operasi
dan mengurangi manipulasi tulang belakang
yang relatif tidak stabil.47
Sementara itu pendekatan posterior lebih
diutamakan pada kasus dimana segmen
posterior vertebra lebih rusak daripada
segmen anterior, kasus dimana thorakotomi
sangat berbahaya mengingat komorbiditas
seperti penyakit jantung/ paru.42 Sumber lain
mengatakan bahwa pendekatan posterior
lebih menguntungkan dari segi koreksi
kifosis dan pemasangan implan, namun
sering tidak adekuat dalam melakukan
dekompresi medula spinalis, debridemen,
dan atau evakuasi abses.49
Pendekatan secara anterolateral ekstrapleural
memberikan paparan lapangan kerja yang
baik secara anterior maupun posterior,
memungkinkan dekompresi secara anterior
dan penyisipan tandur tulang secara anterior/
posterior. Teknik ini memiliki morbiditas
lebih rendah dibandingkan teknik lainnya
yang menggunakan dua kali pembedahan,
namun teknik ini memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi.50
c. Pembedahan drainase abses
Setelah terjadi pembentukan abses (cold
abscess) dan degenerasi setidaknya dua
diskus, maka drainase harus dilakukan. Abses
dapat menekan medula spinalis sehingga
terjadi gangguan neurologis. Tindakan
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
ini dapat mencegah progresi perburukan
gejala neurologis dan mencegah kolaps
vertebra.38
Abses dapat terbentuk di tingkat manapun
sesuai fokus infeksi TB pada vertebra. Pada
tingkat servikal, abses dapat terjadi pada
rongga retrofaringeal dan segitiga posterior
leher. Untuk abses retrofaringeal dapat
dilakukan pendekatan transoral, sedangkan
pada segitiga posterior insisi dilakukan pada
margo posterior m. sternokleidomastoideus.
Pada tingkat torakal, abses dapat dievakuasi
secara kostotransversektomi. Drainase abses
lumbar/ paravertebral dilakukan lewat
insisi longitudinal dorsolateral. Drainase
abses psoas/ pelvis dapat dilakukan melalui
segitiga Petit atau insisi Ludloff.1
d. Pembedahan debridemen dan
koreksi kifosis
Karena lesi TB spinal biasanya di bagian
anterior badan vertebra, dekompresi
anterior sangat direkomendasikan banyak
ahli.1,8 Instrumentasi kemudian dilakukan
untuk stabilisasi tulang belakang, untuk
melindungi tandur anterior yang disisipkan,
dan sekaligus untuk menjaga koreksi kifosis.
Berikut akan dijelaskan berbagai macam
teknik pada pembedahan spondilitis TB.
d.1.
Debridemen anterior dan fusi
tanpa instrumentasi
Debridemen anterior dan fusi tanpa
instrumentasi diseut juga dengan ”Operasi
Hongkong”. Pembedahan ini relatif mudah
dan memerlukan waktu yang singkat.
Tindakan ini meliputi debridemen radikal
pendekatan anterior, diikuti penyisipan
tandur tulang iga otogenik untuk koreksi
deformitas kifosis. Namun, teknik ini
tidak dapat digunakan untuk kasus yang
memerlukan rekonstruksi luas/ setidaknya
dua tingkat diskus.47 Tingkat kegagalan fusi
dan migrasi tandur sangat tinggi, sehingga
sering pasien memerlukan operasi kedua.14
Penelitian oleh El-Deen dkk yang melakukan
reseksi anterior radikal, diikuti fusi anterior
tanpa fiksasi internal yang digantikan dengan
fiksasi eksternal (plaster jacket) mendapatkan
hasil yang cukup memuaskan. Namun, salah
satu kerugiannya adalah durasi mobilisasi
pasien yang lebih lambat dibandingkan
dengan fiksasi internal. Meskipun begitu,
metode ini bisa dipertimbangkan sebagai
alternatif yang memberikan hasil yang cukup
memuaskan.51
d.2.
Debridemen anterior diikuti
dengan instrumentasi anterior atau
posterior
Banyak laporan penelitian yang mengatakan
bahwa metode ini menjanjikan hasil yang
baik. Meskipun begitu, variasi metode ini
sangat banyak dan sangat bergantung
pada kebiasaan dan keahlian ahli bedah
yang bersangkutan. Instrumentasi sangat
direkomendasikan pada kasus yang
memerlukan debridemen radikal setidaknya
dua diskus dan satu badan vertebra.47
Teknik ini adalah metode yang paling sering
dilakukan dan dikaji dalam penelitian.
Benli dkk, melakukan penelitian dengan
melakukan reseksi radikal anterior dengan
fusi anterior dan instrumentasi anterior
pada 63 pasien spondilitis TB mendapatkan
bahwa cara ini memberikan hasil yang cukup
memuaskan. Sebanyak 80 persen pasien
mengalami remisi neurologis secara lengkap,
20 persen mengalami remisi inkomplit.
Dengan tambahan instrumentasi anterior,
kemungkinan koreksi kifosis meningkat
hingga 80 persen dan dapat membantu
menjaga hasil koreksi tersebut.52
Pada penelitian prospektif oleh Cavusoglu
dkk, dilakukan debridemen anterior radikal,
dekompresi dan fusi dengan menggunakan
instrumentasi anterior, tandur alogenik tibia
pada 22 pasien spondilitis TB lebih dari satu
tingkat dan didapatkan hasil yang baik.
Pada pasien-pasien tersebut ditemukan
adanya tanda-tanda fusi pada semua pasien,
berkurangnya rasa nyeri, perbaikan gejala
neurologis yang signifikan, yang dievaluasi
dengan ASIA (American spinal Injury
Association) impairment scale, dan rata-rata
koreksi dari kifosis sebesar 74 persen.53
Penelitan oleh Jain dkk50, menyatakan
bahwa tindakan dekompresi anterior sangat
dianjurkan pada pasien spondilitis TB. Pada
38 pasien dengan spondilitis TB, dekompresi
anterior, instrumentasi posterior, dengan atau
tanpa koreksi kifosis, dan fusi anterior/posterior
dilakukan dalam sekali pembedahan melalui
pendekatan anterolateral ekstrapleural. Pasien
dioperasi dari posisi lateral kiri menggunakan
potongan T, pada apeks kifosis. Beberapa
tulang iga diangkat, dan dekompresi anterior
669
TINJAUAN PUSTAKA
dilaksanakan, kolumna posterior diperpendek
untuk mengoreksi kifosis, jika perlu, distabilisasi
dengan Hartshill rectangle dan sublaminar wire.
Kemudian penyisipan tandur tulang anterior/
posterior dilakukan. Nilai rata-rata kifosis preoperatif sebesar 49,08º dan nilai rata-rata
kifosis post-operatif sebesar 25o. Sebanyak
37 pasien mengalami resolusi sempurna dari
defisit neurologis dalam waktu 11 – 74 bulan.
Fusi spinal terbentuk dalam empat bulan
untuk satu badan vertebra dan delapan
bulan untuk dua badan vertebra.
d.3. Dekompresi transpedikular
Pendekatan transpedikular memungkinkan
akses anterior dan posterior melalui insisi
tunggal. Teknik ini dikatakan tidak cukup
baik untuk kasus dengan destruksi vertebra
yang luas, dimana diperlukan debridemen
anterior luas dan rekonstruksi dengan tandur
tulang.14
d.4.
Pembedahan dengan
pendekatan posterior saja
Pada kasus tertentu, pendekatan posterior saja
dapat digunakan untuk mengangani pasien
spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi
dan instrumentasi posterior operasi tunggal
tanpa debridemen anterior. Teknik ini banyak
bergantung pada pemberian OAT untuk
mengeradikasi lesi spondilitis TB. Teknik ini
tidak dapat digunakan pada kasus dengan
defisit neurologis, abses di bagian anterior,
atau lesi di banyak tingkat.14
d.5.
Osteotomi dan reseksi
kolumna vertebra
Jika telah terjadi deformitas kifotik yang sangat
kaku dan tajam, harus dilakukan osteotomi
untuk meningkatkan fleksibilitas vertebra.
Osteotomi
dekanselasi
transpedikular
dapat mengoreksi deformitas kifotik hingga
20–30 persen pada satu tingkat. Namun
tindakan ini memiliki angka komplikasi yang
tinggi termasuk perdarahan dan gangguan
neurologis. Teknik ini dapat dilakukan dari
anterior dan posterior.
Wang dkk melaporkan penelitian pada
sembilan pasien dengan spondilitis TB,
dengan kifosis hingga 90o dengan tektik
osteotomi transpedikular egg-shell dan reseksi
kolumna vertebra multi-level. Seluruh pasien
mengalami fusi dan perbaikan neurologis,
dengan koreksi rata-rata kifosis 100o menjadi
16o.54
670
e. Pembedahan pada kasus noncontiguous (skipping lesion)
Penelitian oleh Zhang dkk menyimpulkan
bahwa spondilitis TB non-contiguous multilevel dapat ditatalaksana dengan adekuat
dengan metode operasi tunggal pendekatan
posterior
transforaminal,
debridemen
thorasik, dekompresi minimal, fusi vertebra,
dan instrumentasi posterior (modifikasi TTIF
–Transforaminal Thoracic Interbody Fusion).
Metode ini meliputi reseksi sebagian korpus
vertebra, sendi faset, prosesus transversus dan
iga, kemudian tandur tulang disisipkan pada
defek reseksi, dan terakhir dipasang implan
posterior.55
Kekurangan dari modifikasi TTIF adalah: 1)
terdapat risiko kompresi medula spinalis, 2)
debridemen anterolateral sulit dilakukan,
namun dengan pemberian OAT, dapat
mengkompensasi hal ini. Cara ini tidak dapat
dipakai pada keadaan dimana abses luas
terbentuk di anterior korpus.55
f. Pembedahan invasif minimal
Tindakan bedah invasif minimal mulai
menjadi trend dalam segala bidang
pembedahan, termasuk pembedahan tulang
belakang. Pembedahan ini menjanjikan
morbiditas yang lebih rendah, waktu rawat
yang lebih singkat, dan nyeri pasca-operasi
yang lebih ringan. Tidak semua operator
menguasai teknik ini karena memerlukan
keahlian tersendiri.
Belum banyak ahli bedah tulang yang
melakukan pembedahan invasif minimal pada
pasien spondilitis TB. Sejauh yang penulis
ketahui, terdapat dua jenis pembedahan
invasif minimal yang telah dikaji hasilnya,
yaitu 1) fusi dan debridemen anterior dengan
video-assisted thoracoscopic surgery (VATS),
dan 2) pemasangan pedicle screw posterior
secara invasif minimal, diikuti fusi dan
debridemen posterolateral mini-open. Kedua
teknik ini dapat menghasilkan fusi vertebra
yang adekuat, disertai dengan perbaikan
postur, fungsional dan neurologis yang
memuaskan.56
g. Pilihan tandur tulang
Tandur tulang yang dapat digunakan pada
penatalaksanaan bedah spondilitis TB adalah
tandur krista iliaka, tandur iga, tandur tibia,
tandur fibula, hingga tandur humerus, baik
otogenik ataupun alogenik. Tandur krista iliaka
trikortikal adalah pilihan utama untuk seluruh
tingkat vertebra karena tingginya yang dapat
disesuaikan dengan kebutuhan. Namun,
khusus untuk operasi daerah torakal, tandur
iga otogenik juga dapat digunakan. Tandur
fibula, tibia dan humerus digunakan pada
keadaan dimana defek debridemen terlalu
luas untuk ditutup oleh krista iliaka, atau iga
tidak cukup panjang.1
h. Pembedahan pada Pasien Anak
Pada anak-anak, meskipun lesi akibat
spondilitis TB dapat sembuh dengan terapi
non-operatif, namun kifosis cenderung terus
bertambah seiring dengan berjalannya
pertumbuhan, oleh karena itu perlu
dilakukan koreksi kifosis secara cepat dan
stabilisasi vertebra pada fase aktif penyakit.15,57
Penatalaksanaan spondilitis TB anak harus
secara agresif. Koreksi deformitas tulang
belakang pada pasien anak adalah imperatif.
Angulasi 15o saja cukup untuk menyebabkan
gangguan pertumbuhan tinggi.42
Pertumbuhan vertebra setelah pemasangan
instrumen pada anak-anak post-operasi
koreksi kifosis telah dipelajari dan dievaluasi.
Pertumbuhan
unit
vertebra
setelah
pemasangan fiksasi internal vertebra
tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dibanding vetebra yang intak. Di sisi lain,
ditemukan adanya pertumbuhan kolumna
anterior sehingga membentuk sudut lordosis
yang dapat mengkoreksi kifosis secara
sendirinya saat pertumbuhan berlangsung.
Dilaporkan juga bahwa dalam 2 tahun, dapat
terjadi kompresi implan terhadap diskus yang
berpotensi menimbulkan degenerasi diksus
intervertebralis.57
i. Pembedahan pada Pasien Lansia
Pada pasien lansia perlu dipertimbangkan
status nutrisi, komorbiditas yang ada sebelum
naik ke meja operasi. Kondisi vertebra yang
relatif osteoporotik umumnya tidak mampu
menahan instrumen yang dipasang di bagian
anterior. Untuk didapatkan koreksi kifosis
dan stabilisasi spinal yang baik, diperlukan
stabilisasi posterior dengan instrumentasi
segmental panjang. Pemberian antiosteoporosis pre-operatif diperlukan untuk
meningkatkan angka fusi dan stabilisasi
vertebra oleh instrumen.58
Pilihan tandur yang baik adalah tandur
alogenik, mengingat sebagian besar pasien
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
lansia telah mengalami osteoporosis. Pendekatan bedah yang dapat memberikan waktu
operasi lebih singkat sangat direkomendasikan
mengingat toleransi pasien lansia yang lebih
rendah terhadap operasi. Pendekatan posterior
operasi tunggal direkomendasikan oleh Zhang
dkk, jika memang pendekatan anterior tidak
dibutuhkan sekali. Penelitian Zhang dkk
mengungkapkan bahwa pendekatan posterior
operasi tunggal memiliki angka komplikasi
yang lebih rendah.58
3. Imobilisasi Pasca-operasi
Imobilisasi yang singkat akan mengurangi
morbiditas pasien. Dengan instrumentasi,
kebutuhan imobilisasi semakin berkurang
sehingga pasien dapat cepat mencapai
status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal
tergantung pada tingkat lesi. Pada daerah
servikal dapat diimobilisasi dengan jaket
Minerva; pada daerah vertebra torakal,
torakolumbal dan lumbal bagian atas dapat
diimobilisasi menggunakan body cast jacket.
Sedangkan pada lumbal bawah, lumbosakral,
dan sakral dilakukan imobilisasi dengan body
jacket atau korset dari gips yang disertai
dengan fiksasi salah satu sisi panggul.12
a. Tirah baring, Imobilisasi, dan
Fisioterapi
Terapi pada penderita spondilitis TB dapat
pula berupa tirah baring disertai dengan
pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa
imobilisasi. Tindakan ini biasanya dilakukan
pada penyakit yang telah lanjut atau bila tidak
tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup
untuk melakukan operasi tulang belakang,
atau bila terdapat permasalahan teknik
operasi yang dianggap terlalu berbahaya.
Jenis imobilisasi yang dilakukan sama dengan
imobilisasi pasca-operasi yang telah dijelaskan
sebelumnya. Imobilisasi dilakukan setidaknya
selama enam bulan.12
Tirah baring diikuti dengan pemakaian gips
untuk melindungi tulang belakang pada
posisi ekstensi, terutama pada keadaan akut
atau fase aktif. Pemasangan gips ini ditujukan
untuk imobilisasi spinal, mengurangi kompresi
medula spinalis dan progresi deformitas
lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat
berlangsung hingga empat minggu. Alwali
dkk melaporkan bahwa imobilisasi dengan
custom-made spinal jacket bersamaan dengan
kemoterapi dapat menjadi alternatif jika
tindakan bedah tidak bisa dilakukan.29
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
Fisioterapi diperlukan sepanjang ditemukan
adanya gangguan fungsional. Dalam hal
ini gangguan fungsional dikaitkan dengan
cedera medula spinalis yang menimbulkan
kelumpuhan motorik, sensorik, dan autonom.
Intervensi
fisioterapi
yang
diberikan
disesuaikan
dengan
modalitas
yang
terganggu.
Paraplegia yang mengharuskan pasien
untuk terus duduk atau tidur berpotensi
menyebabkan ulkus dekubitus. Maka dari itu,
posisi baring harus sering diganti. Selain itu,
pemeriksaan kulit secara menyeluruh harus
rutin dilakukan. Pasien dengan gangguan
defekasi dan berkemih dapat dibantu dengan
kateterisasi intermiten dan evakuasi feses setiap
hari. Mobilisasi dengan kursi roda (wheelchair)
dianjurkan setidaknya 10 hari setelah dimulai
pengobatan. Jika pasien sudah stabil, dapat
rencanakan untuk pelatihan kemandirian,
kemampuan sosial dan melakukan aktivitas
sehari-hari dan berikutnya dapat diberikan
pelatihan vokasional.
Studi prospektif pada pasien spodilitis TB yang
diterapi secara medikamentosa atau bedah,
direhabilitasi mulai dari masa pre-operasi
hingga 6 bulan pasca-operasi dekompresi dan
fusi spinal, membuktikan bahwa fisioterapi
mampu meningkatkan kualitas hidup pasien
spondilitis TB, terlebih jika dikombinasi
dengan terapi kuratif yang adekuat. Terapi
motorik yang dilakukan antara lain difokuskan
pada otot dada, perut, tungkai bawah,
batang tubuh, dan ekstensor sakrospinal. Skor
Modified Barthel Index (MBI) meningkat secara
bermakna dimana pada saat permulaan hanya
10,6 persen pasien termasuk dalam kategori
mandiri, dan pada akhir studi 70,2 persen
pasien termasuk dalam kategori mandiri.59
PROGNOSIS
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi
oleh: 1) usia, 2) deformitas kifotik, 3) letak
lesi, 4) defisit neurologis, 5) diagnosis dini,
6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8) komorbid, 9)
tingkat edukasi dan sosioekonomi.
Usia muda dikaitkan dengan prognosis
yang lebih baik.12 Namun, Parthasarathy
dkk41 menyimpulkan bahwa pada pasien
usia dibawah 15 tahun dan dengan kifosis
lebih dari 30o cenderung tidak responsif
terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain
memperburuk estetika, dapat mengurangi
kemampuan bernafas. Diagnosis dini
sebelum terjadi destruksi badan vertebra
yang nyata dikombinasi dengan kemoterapi
yang adekuat menjanjikan pemulihan
yang sempurna pada semua kasus. Adanya
resistensi terhadap OAT memperburuk
prognosis spondilitis TB. Komorbid lain
seperti AIDS berkaitan dengan prognosis
yang buruk. Penelitian lain di Nigeria22
mengatakan bahwa tingkat edukasi pasien
mempengaruhi motivasi pasien untuk datang
berobat. Pasien dengan tingkat edukasi yang
rendah cenderung malas datang berobat
sebelum muncul gejala yang lebih berat
seperti paraplegia.
SIMPULAN
Infeksi spinal oleh tuberkulosis diperkirakan
sekitar satu hingga lima persen penderita
tuberkulosis. Spondilitis TB berpotensi
menyebabkan morbiditas serius yaitu
kelumpuhan dan deformitas tulang belakang
yang hebat. Diagnosis dini spondilitis TB masih
terbatas. Keterlambatan diagnosis masih
sering ditemukan dan mampu menyebabkan
perburukan kualitas hidup penderita. MRI
sampai saat ini merupakan sarana pembantu
penegakan diagnosis yang paling baik
sekaligus menyingkirkan diagnosis banding
lainnya. Namun, jika fasilitas tidak memadai,
CT scan, sinar-X, dan pencitraan lainnya dapat
membantu.
Baku emas untuk diagnosis pasti tetap
menggunakan pemeriksaan histologis dan
mikrobiologis dari spesimen biopsi lesi TB.
Namun pemeriksaan terbaru seperti PCR dapat
membantu, tentunya harus dikorelasikan
dengan klinis dan pemeriksaan lainnya.
Kemoterapi OAT adalah pilihan pengobatan
awal yang terbaik, terbukti paling efektif
hingga saat ini. Terapi pembedahan relatif
ditinggalkan sebagai pilihan pengobatan
yang utama. Pembedahan dilakukan hanya
dengan indikasi-indikasi tertentu. Namun
karena diagnosis dini spondilitis TB yang sulit,
maka pembedahan tetap masih merupakan
penatalaksanaan yang umum. Variasi teknik
pembedahan sangat banyak dan belum ada
teknik yang baku yang dianggap paling efektif
mengoreksi defisit neurologis dan deformitas.
Penatalaksanaan secara holistik harus dinilai
setiap pasien secara individual dan kembali
lagi disesuaikan dengan kemampuan tim
medis yang ada.
671
TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1.
Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbell’s Operative Orthopaedics. edisi ke-11. 2008. vol. 2, hal. 2237
2.
Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current difficulties in the diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J 2006; 82: 46-51.
3.
Sinan T, Al-Khawari H, Ismail M, Bennakhi A, Sheikh M. Spinal tuberculosis: CT and MRI feature. Ann Saudi Med 2004; 24: 437-41.
4.
WHO. Global tuberculosis control - epidemiology, strategy, financing. WHO Report 2005. WHO/HTM/TB/2005.411.
5.
Agarwal P, Rathi P, Verma R, Pradhan CG: Tuberculous spondilitis: `Global lesion’. Special issues on Tuberculosis. Bombay Hospital Journal. 1999.
6.
Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN and Garay S, eds. Spinal tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77.
7.
Ozol D, Koktener A, Uyar ME. Active pulmonary tuberculosis with vertebra and rib involvement: case report. South Med J 2006; 99: 171-3.
8.
Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of Spine. Journal of Craniovertebral Junction and Spine 2010, 1: 14.
9.
Infectious and noninfectious inflammatory disease affecting the spine. Dalam: Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. Disease of the Spine and Spinal Cord. Oxford University Press Inc. 2000.
c. 9 h.325 – 335.
10. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No. 137, 2002 29.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Grafika. Jakarta. 2006. hal. 5
12. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo. 2002.
13. Australian Doctors International website. Terserida pada URL: http://poppy.enoch.com.au/adiv2/picture_gallery.php?id_gallery=7.au
14. Issack PS, Boachie-Adjei O. Surgical Correction of kyphotic deformity in spinal tuberculosis. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:353–357. DOI 10.1007/s00264-011-1292-9.
15. Jain AK, Dhammi IK, Jain S, Mishra P. Kyphosis in spinal tuberculosis-Prevention and correction. Indian J Orthop 2010 Apr-Jun; 44(2): 127–136.
16. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Murray and Nadel’s Textbook of Resporatory Medicine. 4th ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005.
17. Wilson J, MacDonald. Current Orthopedics. Elsevier Science; 2003. hal. 468.
18. Polley P, Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and management. Eur Spine J (2009) 18:1096–1101.
19. Karraeminogullari O, Aydinli U, Ozerdemoglu R, Ozturk C. Tuberculosis of the Lumbar Spine: Outcomes after Combined Treatment of Two-drug Therapy and Surgery. Orthopedics. January
2007. Vol. 30. No.1.
20. Papavramidis TS, Papadopoulos VN, Michalopoulos A, Paramythiotis D, Potsi S, Raptou G. Anterior chest wall tuberculous abscess: a case report. J Med Case Reports. 2007; 1: 152.
21. Li YW, Fung YW. A case of cervical tuberculous spondilitis: an uncommon cause of neck pain. Hong Kong j. emerg. med. Vol. 14(2) Apr 2007.
22. Njoku CH, Makusidi MA, Ezunu EO. Experiences in Management of Pott’s paraplegia and Paraparesis in Medical Wards of Usmanu Danfodiyo University Teaching Hospital, Sokoto, Nigeria.
Annals of African Medicine. Vol. 6, No .1; 2007: 22 – 25
23. Savvidou C, Triantopoulou, Chatziioannou, Papailiou, et al. A rare radiological appearance of lumbar tuberculous vertebral osteomyelitis. Eur J Orthop Surg Traumatol (2010) 20:313–316.
DOI 10.1007/s00590-009-0563-2.
24. Ahn JS, Lee JK. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and Pyogenic Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal.Vol. 1, No. 2, pp 75~79, 2007.
25. Pertuiset E, Beaudreuil J, Liote F, et al. Spinal tuberculosis in adults. A study of 103 cases in a developed country, 1980-1994. Medicine (Baltimore). Sep 1999;78(5):309-20.
26. Teo EL, Peh WC. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 2004. Vol 45(9); 439.
27. Moesbar N. Infeksi tuberkulosis pada tulang belakang. Majalah Kedokteran Nusantara. Sept 2006.Vol.39. No.3
28. El- Fiky AM. Surgical management of tuberculous spondilitis in adults. Review in 20 cases. Pan Arab J Otrh Traum. Vol (2)/ No. (2) – 195 – 201.
29. Alwali ANA. Spinal brace in tuberculosis of the spine. Neurosciences 2003; Vol. 8 (1): 17-22.
30. Harada Y, T Osamu, Matsunaga N. Magnetic Resonance Imaging Charasteristics of Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical Imaging 32 (2008) 303–309.
31. Jain AK, Sreenivasan R, Saini NS, Kumar S, et al. Magnetic Resonance evaluation of tubercular lesion in spine. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:261–269.
32. Hidalgo JA. Pott Disease. [Online]. 2008 Aug 29 [cited 2009 Aug 27];[17 screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic
33. Muzaffar T, Shaifuzain AR, Imran Y, Noor Haslina MN. Hematological changes in Tuberculous spondilitis patients at the hospital universiti sains malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public
Health. Vol 39 No. 4 July 2008.
34. Jung NY, Jee WH, Ha KY, Park CK, Byun JY. Discrimination of Tuberculous Spondilitis from Pyogenic Spondilitis on MRI. AJR:182, June 2004. h. 1405 – 1410.
35. Kurtaran B, Sarpel T, Tasova Y, Candevir A, et al. Brucellar and tuberculous spondylitis in 87 Adult patients: a Descriptive and Comparative case series. Infectous Diseases in Clinical Practice.
May 2008. Vol.16,No.3.
36. Son JM, Jee WH, Jung CK, Kim SI, Ha KY. Aspergillus Spondilitis involving the Cervico-Thoraco-Lumbar Spine in an Immunocompromised Patient: a Case Report. Korean J Radiol 8(5),
October 2007.
37. Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y. Comparation Between Operative and Conservative Therapy in Spondylitiis Tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital Bandung. Maj Kedokt
Indon. Vo.60.No.7 (Jul 2010).
38. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro AR. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics
(SICOT) (2008) 32:127–133
39. Young W. Spinal Cord Injury levels and Classification. Page updated: 03/24/2009. Available from: URL:http://wiseyoung.wordpress.com/2008/12/19/spinal-cord-injury-levels-andclassification.
40. McKinley W. Spinal Cord Injury: Neurological examination, Classification and Prognosis. Tersedia pada: URL:http://www.pmr.vcu.edu/presentations/pps/ASIA_pres.pps.
41. Parthasarathy R, et al. A comparison between ambulant treatment and radical surgery - ten-year report. J Bone and Joint Surg 1999; 81B: 464-71.
42. Kaptigau WM, Koiri JB, Kevau IH, Rosenfeld JV. Surgical Management of Spinal tuberculosis in Papua New Guinea. PNG Med J 2007. Mar-Jun;50(1-2):25-32.
43. Hazra A, Laha B. Chemotherapy of Osteoarticular Tuberculosis. Indian J Pharmacol. February 2005, Vol 37, Issue 1:5-12.
44. Cherifi S, Guillaume MP, Peretz A. Multidrug-resistant Tuberculosis Spondilitis. Acta Clinica Belgica, 2000; 55-1.
45. Li L, Zhang Z, Luo F, Xu J, et al. Management of drug-resistant spinal tuberculosis with a combination of surgery and individualised chemotherapy: a retrospective analysis of thirty-five
672
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
patients. International Orthopaedics (SICOT) (2012) 36:277–283.
46. Quarta L, Corrado A, Melillo N, Trotta A, et al. Combined Effect of Nerindronate and spesific antibiotic therapy in a case of tuberculous spondylodiscitis. Rheumatol Int 2008:495–498.
47. Mak KC, Cheung KMC. Surgical treatment of acute TB spondylitis: indications and outcomes. Eur Spine J. DOI 10.1007/s00586-012-2455-0. Publikasi online: 16 August 2012.
48. Jain AK. Tuberculosis of the spine. Clin Orthop Relat Res. Jul 2007;460:2-3.
49. Qureshi MA, Khalique AB, Afzal W, Pasha IF, Aebi M. Surgical Management of contiguous multilevel thoracolumbar tuberculous spondylitis. Eur Spine J. DOI 10.1007/s00586-012-2459-9.
50. Jain AK, Dhammi IK, Prashad B, Sinha S, Mishra P. Simultaneous anterior decompression and posterior instrumentation of the tuberculous spine using an anterolateral extrapleural
approach. J Bone Joint Surg (Br). 2008 Nov; 90(11):1477-81.
51. El-deen MA. Surgical management of Dorsolumber Tuberculous spondilitis in adults. Pan Arab J Orth Trauma. Vol (8) No. (1)/ January 2004.
52. Benli IT, Acaroglu E, Akalin S, Kis M, Dumar E, Un A. Anterior radical debridement and anterior instrumentation in Tuberculosis spondilitis. Eur Spine J (2003)12: 224–234.
53. Cavusoglu H, Kaya RA, Turkmenoglu ON, Tuncer C, Colak I, Aydin Y. A long-term follw up study of anterior tibial allografting and istrumentation in the management of thoracolumbar
tuberculous spondilitis. J Neurosurg spine 2008 8:30-38.
54. Wang Y, Zhang Y, Zhang X, et al. Posterior only multilevel modified vertebral column resection for extremely severe Pott’s kyphotic deformity. Eur Spine J 18(10):1436–1441.
55. Zhang H, Lin M, Shen K, Ge L, et al. Surgical management fot multilevel noncontiguous thoracic spinal tuberculosis by single-stage posterior transforaminal, thoracic debridement, limited
decompression, interbody fusion, and posterior instrumentation (modified TIFF). Arch Orthop Trauma Surg (2012) 132:751–757. DOI: 10.1007/s00402-012-1473-z.
56. Kandwal P, Garg B, Upendra BN, Chowdhury B, Jayaswal A. Outcome of minimally invasive surgery in the management of tuberculous spondylitis. Indian Journal of Orthopedics (March
2012). Vol. 46. Issue 2.
57. Pershin AA, Mushkin AI. Vertebral column growth in children after surgical correction of severe kyphosis in tuberculosis spondilitis. Probl Tuberk Bolezn Legk.2008;(12):45-7.
58. Zhang HQ, Li JS, Zhao SS, Shao YX, et al. Surgical management for thoracic spinal tuberculosis in the elderly: posterior only versus combined posterior and anterior approaches. Arch
Orthop Trauma Surg. DOI 10.1007/s00402-012-1618-0, Published online: 6 October 2012.
60. Nas K , Kemaloglu MS, Çevik R, Ceviz A, Necmioglu S, Bükte Y. The results of rehabilitation on motor and functional improvement of the spinal tuberculosis. Joint Bone Spine. Vol. 71. Issue
4. July 2004. p. 312-316.
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
673
Download