Uploaded by User86937

PENGAYAAN KLP 21 Pasenggo Trifena Alviera dr. ZAR Hypersomnia

advertisement
TUGAS PENGAYAAN
KEPANITERAAN KLINIK MADYA
Current Management of Hypersomnia
Disusun oleh:
Pasenggo Trifena Alviera
190070200011124
Periode 21 Desember 2020 – 3 Januari 2021
Pembimbing:
dr. Zamroni Afif, Sp.S(K)
LABORATORIUM / SMF NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2020
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... 1
DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi Hipersomnia.................................................................. 3
1.2 Epidemiologi Hipersomnia ......................................................... 4
1.3 Etiolopatofisiologi Hipersomnia .................................................. 5
1.4 Pembagian / Klasifikasi Hipersomnia ......................................... 8
1.5 Gejala dan Klinis ..................................................................... 10
1.6 Pemeriksaan Penunjang.......................................................... 15
1.7 Diagnosis Hipersomnia ............................................................ 21
1.8 Diagnosis Banding .................................................................. 23
1.9 Terapi Hipersomnia ................................................................. 24
1.10 Prognosis Hipersomnia.......................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 27
2
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi Hipersomnia
Hipersomnia merupakan sebuah istilah di bidang Sleep Medicine yang
merujuk kepada sekelompok gangguan (disorder) yang ditandai dengan
adanya peningkatan kecenderungan untuk tidur dengan ciri utamanya berupa
Excessive Daytime Sleepiness (EDS) atau mengantuk berlebihan di siang hari
(During et al., 2017). Hipersomnia dan hipersomnolensi merupakan istilah
yang kadang digunakan secara bergantian dengan EDS (Chervin, 2019).
EDS, juga disebut "hipersomnolensi", merupakan gejala umum yang perlu
dibedakan dari kelelahan di siang hari dan peningkatan waktu tidur. Kelelahan
dideskripsikan sebagai suatu kelemahan umum, kapasitas yang berkurang
untuk mempertahankan kinerja, atau gangguan kapasitas mental, sedangkan
hipersomnolens atau EDS mengacu secara khusus pada ketidakmampuan
untuk tetap terjaga atau waspada saat episode bangun, dengan periode
kebutuhan tidur yang tak tertahankan atau ketidaksengajaan kantuk atau jatuh
pada kondisi tidur yang tidak diinginkan (Miner et al., 2019). EDS dicirikan tidak
hanya oleh adanya ketidakmampuan untuk tetap terjaga, namun juga oleh
adanya perasaan subjektif kantuk yang terwujudkan dalam bentuk adanya
kesulitan dalam berkonsentrasi dan dalam mempertahankan perhatian,
sehingga mengakibatkan gangguan kinerja atau performa seseorang saat
tampaknya sedang terjaga. Penurunan performa dan rasa kantuk ini biasanya
terjadi selama aktivitas monoton, namun pada kasus yang parah, serangan
tidur dapat terjadi ketika pasien cenderung aktif (Chokroverty dan FeriniStrambi, 2017).
3
1.2 Epidemiologi Hipersomnia
Gangguan tidur pada umumnya merupakan gangguan yang cukup banyak
terjadi pada populasi umum. Antara 10 dan 30% orang dewasa pernah
mengalami insomnia setidaknya beberapa malam setiap bulannya. EDS
dilaporkan terjadi pada 4-21% pada populasi. Gangguan tidur berhubungan
secara signifikan dengan morbiditas dan kesehatan mental seseorang. Meski
pun prevalensinya cukup tinggi dan berdampak pada kesehatan secara umum,
gangguan tidur terkadang masih jarang dikenali dan ditatalaksana (Trosman
dan Ivanenko, 2017).
Prevalensi hipersomnia adalah sekitar 4-6% pada populasi umum, dan 1530% pada orang-orang yang mengalami gangguan tidur (Miner et al., 2019).
EDS dilaporkan menurun seiring meningkatnya usia, namun pada beberapa
studi didapatkan meningkat. Berdasarkan gender, sebagian besar studi
menunjukkan adanya rasio kejadian yang sama antara laki-laki dan
perempuan, atau adanya dominasi wanita dengan rasio 2:1 (Chervin, 2019).
Secara spesifik, narkolepsi tipe-1 merupakan kelainan langka dengan
estimasi prevalensi 0,02 – 0,18% di AS dan Eropa Barat, dengan distribusi usia
mencapai puncaknya pada remaja dan usia 35 tahun. Distribusi pada kedua
gender diperkirakan sama, namun prevalensi sedikit lebih tinggi pada pria telah
dilaporkan. Sedangkan, prevalensi pasti narkolepsi tipe-2 tidak diketahui,
namun diperkirakan mencapai 15-25% dari seluruh populasi pasien dengan
narkolepsi. Beberapa penelitian telah menunjukkan prevalensi 20,5 kasus per
100.000 populasi (Trosman dan Ivanenko, 2017).
Ada pun studi epidemiologi sistematis mengenai idiopathic hypersomnia
(IH) juga masih sangat terbatas dan prevalensi tepatnya tidak diketahui.
Berdasarkan literatur yang tersedia saat ini, diperkirakan prevalensi IH pada
populasi umum antara 2-8 per 100.000 individu (Trosman dan Ivanenko, 2017).
4
1.3 Etiopatofisiologi Hipersomnia
Penyebab terjadinya daytime sleepiness secara umum dapat dikategorikan
menjadi dua, yakni adanya tidur yang kurang atau terfragmentasi pada malam
sebelumnya serta adanya gangguan dorongan untuk tidur (sleep drive)
(Pavlova, 2017).
Dorongan intrinsik untuk tidur dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni: (a)
faktor homeostatik, yang ditentukan oleh periode bangun sebelumnya, dan (b)
sirkardian, yang ditentukan oleh fase ritme sirkardian individu saat itu. Di
bawah kondisi normal, kedua faktor ini berperan secara bersamaan untuk
memastikan kondisi terjaga pada siang hari (biological day) dan tidur yang
kontinu pada malam hari (biological night). Ketepatan waktu tidur dalam
hubungan dengan periode ideal ini dimodulasi oleh cahaya sekitar, kondisi
sekitar yang mendukung atau menghambat tidur, obat-obatan, dan bangun
elektif atau yang dipaksakan (Pavlova, 2017).
Kurang tidur merupakan penyebab paling umum dari rasa kantuk
berlebihan di siang hari. Hal ini bisa karena adanya restriksi tidur yang dibuat
sendiri oleh seseorang dalam rangka meningkatkan produktivitas, oleh karena
faktor lingkungan lainnya, atau karena waktu yang disediakan untuk tidur
bukanlah waktu di mana dorongan untuk tidur tinggi (misalnya pada kondisi jet
lag, shift work, dll). Hal ini dapat mengakibatkan kantuk dan segala
konsekuensi lainnya, termasuk konsentrasi yang buruk, berkurangnya
produktivitas, serta penurunan kekebalan dan fungsi metabolik. Fragmentasi
tidur dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, medis atau penyakit neurologis,
dan gangguan tidur primer (Pavlova, 2017).
5
Secara fisiologis, orang dewasa memerlukan waktu tidur 7-9 jam. Apabila
didapatkan rasa kantuk bahkan jika cukup tidur, dan tidak didapatkan adanya
gangguan fragmentasi tidur (sleep apnea, movement disorder, dll), maka
kemungkinan terdapat dorongan tidur tinggi yang tidak normal. Hal ini dapat
disebabkan oleh: (a) obat-obatan, (b) gangguan medis atau neurologis, (c)
gangguan irama sirkardian (misal jetlag, dll), (d) gangguan dorongan tidur
primer (misal narkolepsi dan hipersomnia idiopatik) (Pavlova, 2017).
Gambar 1.1 Berbagai penyebab EDS (Vaughn dan Cruz, 2017)
Pada awalnya, studi mengasumsikan bahwa keadaan ‘tidur’ secara
sederhana disebabkan oleh karena penghentian dari sistem arousal, namun
penemuan terbaru mengindikasikan bahwa terdapat area / regio tertentu pada
otak yang berperan secara spesifik dalam siklus tidur-bangun (Chokroverty
dan Ferini-Strambi, 2017). Dalam model “flip-flop switch”, yakni sebuah model
yang meregulasi sistem tidur-bangun, terdapat sirkuit yang terdiri dari 2
komponen yang saling menghambat. Pada sisi “tidur” meliputi area
ventrolateral preoptik (VLPO), sedangkan pada sisi “bangun” meliputi neuron
histaminergik tuberomamilari (TMN), sertotonergik dorsal raphe nuclei (DRN),
dopaminergik ventrotegmental area (VTA), dan noradrenergik locus coeruleus
(LC). Setiap sisi pada model ini akan menghambat sisi yang lain, misalnya, jika
6
terjadi aktivasi salah satu sisi, maka sisi yang lebih lemah akan terinhibisi,
sehingga akan semakin mengarahkan keseimbangan ke sisi yang lebih kuat.
Selain itu, neuron orexinergik hipotalamus lateral menstabilkan keadaan
bangun melalui proyeksinya ke TMN, DRN, dan LC, dan saat tidur mereka
akan diinhibisi oleh neuron VLPO (Gambar 1.2) (Chokroverty dan FeriniStrambi, 2017; Chawla, 2020).
Gambar 1.2 Flip-flow switch model GABAergik / histaminergik TMN,
serotonergik DRN, dan noradrenergik LC aktif saat bangun, dan
menghambat neuron VLPO. Neuron VLPO aktif saat tidur, dan
menghambat TMN, DR, dan LC melalui proyeksi inhibisi GABAergik /
galaninergik. Neuron orexinergik lateral hypothalamus (LH) berperan
dalam stabilisasi pada saat bangun melalui proyeksi ke TMN, DR, dan
LC, dan dihambat oleh neuron VLPO saat tidur (Chokroverty dan
Ferini-Strambi, 2017)
7
Narkolepsi dengan cataplexy menggambarkan adanya gangguan pada
sistem ini. HLA genotip DQB1*0602 banyak ditemukan pada pasien narkolepsi
(85%). Pasien-pasien narkolepsi juga mengalami kehilangan lebih dari 90%
neuron hipotalamus yang berperan dalam menghasilkan hipokretin / orexin.
Dengan demikian mereka juga mengalami ketidakstabilan keadaan tidurbangun dengan serangan tidur yang mengganggu pada saat keadaan terjaga
(Pavlova, 2017; Chawla, 2020).
1.4 Pembagian / Klasifikasi Hipersomnia
Hipersomnia merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
sekelompok gangguan yang ditandai dengan peningkatan kecendrungan
untuk tidur, yang ciri utamanya adalah EDS. EDS didefinisikan sebagai
ketidakmampuan untuk tetap terjaga atau waspada saat episode bangun,
dengan periode kebutuhan tidur yang tak tertahankan atau ketidaksengajaan
kantuk atau jatuh pada kondisi tidur yang tidak diinginkan (During et al., 2017).
International Classification of Sleep Disorder 3 (ICSD-3) menjelaskan
gangguan hipersomnolens sentral (Central Disorder of Hypersomnolence)
sebagai sebuah kelompok yang terdiri dari delapan gangguan atau situasi
yang mengakibatkan EDS (Tabel 1.1) (During et al., 2017).
Tabel 1.1 Gangguan Hipersomnolens Sentral
berdasarkan ICSD-3 (During et al., 2017)
Narcolepsy type 1
Narcolepsy type 2
Idiopathic hypersomnia
Kleine-Levine Syndrome
Hypersomnia due to a medical disorder
Hypersomnia due to a medication or
substance
Hypersomnia associated with a psychiatric
condition
Insufficient sleep syndrome
8
Pada klasifikasi terbaru ini, narkolepsi mengalami revisi besar dengan
adanya eliminasi istilah nama gangguan, dengan atau tanpa cataplexy.
Narkolepsi tipe 1 diduga terjadi karena adanya defisiensi hipokretin yang
dibuktikan baik dengan pengukuran penurunan hipokretin pada CSF, atau
cataplexy dengan temuan elektrofisiologi terkait. Narkolepsi tipe 2 ditegakkan
oleh studi elektrofisiologi tanpa adanya cataplexy, atau dengan kadar
hipokretin CSF normal. Perubahan besar pada kriteria narkolepsi adalah
dimasukkannya SOREMP pada PSG nokturnal sebagai satu dari dua kriteria
yang harus ada untuk memenuhi kriteria MSLT dari dua SOREMP untuk
diagnosis. Termuan ini didasarkan pada studi yang menunjukkan bahwa nilai
prediksi positif dari SOREMP di PSG nokturnal untuk narkolepsi adalah 92%.
Kira-kira, 50% penderita narkolepsi akan memiliki SOREMP kurang dari 15
menit di PSG nokturnal (Thorpy, 2017).
Idiopathic hypersomnia sekarang menjadi suatu entitas tunggal, dengan
penghapusan dua istilah berdasarkan durasi tidur yang sebelumnya ada pada
ICSD-2. Pada IH, diperlukan kantuk selama minimial tiga bulan, rata-rata
MSLT rerata latensi tidur 8 menit atau kurang, atau durasi tidur malam hari
minimal 660 menit (Thorpy, 2017).
Kategori reccurent hypersomnia pada ICSD-2 telah direduksi menjadi
sebuah entitas tunggal yakni Kleine-Levine syndrome dengan subtipe
menstrual-related Kleine-Levin syndrome. Kantuk harus terjadi secara
persisten selama 2 hari s.d. 5 minggu, dan minimal satu kali setiap 18 bulan
(Thorpy, 2017).
Hypersomnia due to a medical disorder, yakni adanya kantuk yang
disebabkan oleh gangguan medis atau neurologis yang mendasari.
Hypersomnia due to a medication or substance, yakni adanya kantuk yang
terjadi sebagai konsekuensi dari pengobatan atau zat tertentu saat ini, atau
9
efek dari putus obat tertentu. Hypersomnia associated with a psychiatric
condition, yakni rasa kantuk yang berhubungan dengan gangguan kejiwaan
saat ini. Insufficient sleep syndrome merupakan klasifikasi baru yang
dimasukkan, yakni sindroma tidak cukup tidur oleh karena adanya kegagalan
untuk memperoleh jumlah tidur yang dibutuhkan (Thorpy, 2017).
1.5 Gejala dan Klinis
1) Narkolepsi
Prevalensi narkolepsi adalah 0.05% pada populasi dewasa.
Narkolepsi biasanya terjadi pada onset dekade kedua, tetapi sering juga
didapatkan pada usia 30-an. Narkolepsi ditandai dengan adanya EDS dan
disregulasi proses REM, dan memiliki 4 gejala khusus yang disebut tetrad
klasik, antaralain: (1) Sleepiness, (2) Sleep paralysis, (3) Cataplexy, (4)
Halusinasi hipnagogik atau hipnopompik (Pavlova, 2017).
Sleepiness, yakni pasien mengeluhkan adanya episode kebutuhan
tidur yang tidak bisa tertahankan (serangan tidur) atau adanya
kecendrungan utnuk tertidur dalam situasi pasif apa pun. Selain itu, pasien
juga sering mengeluhkan adanya tidur malam yang terfragmentasi, dan
tidur siang yang biasanya pendek dan menyegarkan (Pavlova, 2017).
Sleep paralysis, yakni atonia REM pada stadium awal tidur atau
bangun.
Pasien biasanya mengeluhkan adanya ketakutan, serta
ketidakmampuan untuk menggerakkan otot baik ketika bangun atau saat
periode transisi dari bangun ke tidur (Pavlova, 2017).
Cataplexy, yakni merupakan episode hilangnya tonus otot
sementara, dan biasanya terjadi oleh karena rangsangan emosi (misal
tertawa).
Biasanya
episode
ini
berlangsung
singkat
(<2
menit).
Berdasarkan ada atau tidaknya gejala ini, narkolepsi diklasifikasikan lebih
10
jauh sebagai narkolepsi tipe 1 (dengan cataplexy) dan narkolepsi tipe 2
(tanpa cataplexy) (Pavlova, 2017).
Gejala keempat adalah adanya halusinasi saat bangun, baik pada
onset akan tidur yang disebut hipnagogik, atau saat akan bangun yang
disebut hipnopompik. Biasanya halusinasi yang terjadi bersifat singkat dan
terfragmentasi, berupa halusinasi auditorik atau visual (Pavlova, 2017).
2) Idiopathic hypersomnia
Pada gangguan ini dikarakterisikkan dengan adanya EDS seperti
pada narkolepsi namun tidak terdapat adanya gejala terkait REM. Berbeda
dengan narkolepsi, keluhan biasanya berupa adanya tidur malam yang
normal namun seringkali terdapat kesulitan bangun pada pagi atau saat
tidur siang. Pasien biasanya juga memiliki waktu tidur siang yang lebih
lama namun tidak menyegarkan (Pavlova, 2017).
Sebelumnya,
di
tahun
2005,
ICSD-2
membagi
idiopathic
hypersomnia menjadi 2 yakni IH dengan dan tanpa tidur panjang. Namun,
pada tahun 2014 saat ICSD-3 diterbitkan, menunggu adanya penemuan
biomarker yang konsisten. Pembagian ini kemudian ditinggalkan karena
tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok.
Konsenstrasi hipokretin 1 di CSF pada pasien ditemukan normal (Bollu et
al., 2018).
11
Gambar 1.3 Perbandingan antara
narkolepsi dan idiopathic hypersomnia
3) Kleine-Levine Syndrome
Kleine-Levine syndrome merupakan kelainan yang ditandai dengan
adanya hipersomnia periodik dan kebanyakan terjadi pada anak usia
remaja.
Ciri-cinya
meliputi
EDS,
hiperfagia,
sikap
agresif,
dan
hiperseksualitas, dan terjadi dalam hitungan hari sampai minggu dengan
remisi komplit lalu berselang hitungan minggu dan bulan untuk serangan
selanjutnya. Selama periode simptomatik didapatkan EDS lebih dari 18 jam
per hari dan didapatkan rasa kantuk bingung dan mudah terganggu pada
waktu pasien bangun (Pavlova, 2017).
4) Hypersomnia due to a medical disorder
EDS yang terjadi disebabkan langsung oleh gangguan medis lain
yang terjadi. Pada sebagian besar kasus, EDS hanya merupakan suatu
12
gejala
terkait,
dan
terkadang
sering
terabaikan
sejauh
tidak
membahayakan prognosis vital (Chokroverty dan Ferini-Strambi, 2017).
Beberapa kondisi medis yang dapat menyebabkan EDS, baik
dengan mengganggu faktor homeostasis atau dengan mengganggu waktu
tidur malam sebelumnya seperti gangguan neurologis: tumor otak, stroke,
penyakit neurodegeneratif, penyakit neuromuskular, post-trauma, epilepsi,
multiple sclerosis; penyakit infeksi : infeksi EBV dan virus lain, ensefalitis
virus, AIDS, trypanosomiasis; penyakit multisistem: sarkoidosis, SLE;
penyakit endokrin : hipotiroid, akromegali, diabetes; kelainan genetik :
kelainan autosom (misal. Down Syndrome) dan kelainan kromosom (misal.
sindrom Prader-Willi, dll) (Chokroverty dan Ferini-Strambi, 2017).
5) Hypersomnia due to a medication or substance
Kelainan ini ditandai dengan adanya waktu tidur pasien yang
berlebihan pada malam atau siang hari, yang disebabkan oleh sedasi,
alkohol, atau penyalahgunaan obat, atau sebagai sindroma putus obat dari
amfetamin atau obat lainnya. Gangguan tidur ini cukup menjadi perhatian
masyarakat, oleh karena adanya konsekuensi rasa kantuk tidak hanya
pada saat mengemudi, namun juga pada saat aktivitas kerja dan terkait
produktivitas seseorang (Chokroverty dan Ferini-Strambi, 2017). Tabel 1.2
menunjukkan beberapa contoh obat terkait dengan Excessive Daytime
Sleepiness (Pavlova, 2017).
13
Tabel 1.2 Obat-obatan terkait Excessive Daytime Sleepiness
(sedating medication) (Pavlova, 2017).
6) Hypersomnia associated with a psychiatric condition
EDS dapat menjadi gejala gangguan psikiatri yang termasuk dalam
diagnosis lain berdasarkan DSM-5 seperti: gangguan depresi mayor,
gangguan depresi persisten, gangguan disforik, dan gangguan depresi
lainnya; gangguan bipolar I dan II; serta gangguan skizoafektif pada
spektrum skizofrenia dan gangguan psikatri lainnya (Chokroverty dan
Ferini-Strambi, 2017).
Prevalensi gejala depresi pada NT1 berkisar antara 15% -37%
22,23 sedangkan pada IH berkisar antara 15% hingga 25%, dan pada
gangguan depresi mayor (MDD) terlihat pada lebih dari dua pertiga pasien
dewasa. Gejala hipersomnia dapat berkisar dari 23% hingga 78% pada
pasien dengan depresi bipolar (BD). Hipersomnolensi merupakan salah
satu ciri utama pada gangguan afektif musiman dan terlihat pada hingga
dua pertiga pasien. Pasien dengan MDD memiliki REM sleep latency yang
pendek dan meningkatnya durasi REM yang mungkin terkait dengan
peningkatan aktivitas kolinergik sentral. Penderita BD dapat menunjukkan
14
adanya gangguan ritme sirkadian, terutama keterlambatan pada fase tidur
(Bollu et al., 2018).
7) Insufficient sleep syndrome
Setiap orang mempunyai kebutuhan tidur biologis untuk berada
pada kondisi terjaga dan tingkat kewaspadaan normal. Insufficient sleep
syndrome terjadi ketika seorang individu terus menerus gagal untuk
memperoleh jumlah tidur yang dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi
terjaga dan berada pada tingkat kewaspadaan normal tersebut. Pasienpasien ini tidak memiliki masalah dengan memulai atau mempertahankan
periode tidur, pada pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan alasan dari rasa
kantuk tersebut (Bollu et al., 2018).
Akibat kebutuhan tidur biologis yang tidak terpenuhi, seseorang
akan mengantuk secara tidak normal, dengan periode kebutuhan tidur
yang tak tertahankan atau jatuh pada kondisi tidur di siang hari. Waktu tidur
pasien, yang diperoleh dari anamnesis, sleep diary, dan actigraphy,
biasanya lebih pendek dibandingkan kebutuhan tidur yang diharapkan
berdasarkan usianya. Pasien beresiko besar mengalami defisit atensi,
menurunnya fungsi kognitif, mood depresi, dan kelelahan berdasarkan
derajat kurangnya tidur yang dialami (Chokroverty dan Ferini-Strambi,
2017).
1.6 Pemeriksaan Penunjang
Anamnesis sangatlah penting saat mengevaluasi pasien dengan
keluhan EDS, namun seringkali penilaian subjektif atau objektif sangat
membantu dalam membuat diagnosis yang benar atau dalam menentukan
derajat keparahan pasien dari waktu ke waktu untuk menilai keberhasilan
terapi. Evaluasi secara subjektif cenderung lebih cepat dan hemat biaya,
15
meskipun mungkin tidak sepenuhnya memberikan spesifisitas dalam
membuat diagnosis yang akurat. Evaluasi objektif mungkin cenderung
memakan waktu dan mahal, namun dapat membantu dokter secara efektif
kepada strategi pengobatan yang tepat (Kirsch, 2015).
1. Pemeriksaan Subjektif
Terdapat beberapa kuesioner yang dapat digunakan untuk
menscreening pasien dengan gangguan tidur dan hipersomnia. Berikut
adalah beberapa yang sering digunakan pada praktik klinis (Kirsch,
2015):
a. Sleep diary
Setelah kunjungan dokter yang pertama, pasien dengan
keluhan hipersomnia harus diberikan sleep diary (diari tidur) untuk
diisi. Sleep diary adalah sebuah instrumen yang mana pasien dapat
merekam pola tidur harian mereka. Informasinya meliputi obatobatan yang diminum, waktu tidur, waktu mencapai onset tidur,
jumlah terbangun, waktu bangun, dan waktu dan durasi tidur siang.
Sleep diary diberikan selama 1-2 minggu, namun dapat juga
digunakan dalam jangka panjang untuk menilai waktu tidur pasien.
Gambar 1.4 Contoh Sleep log / diary (Kirsch, 2015)
16
b.
Epworth Sleepiness Scale (ESS)
ESS menilai derajat rasa kantuk pasien berdasarkan
laporan mandiri pasien itu sendiri dengan menanyakan 8 situasi
berbeda dan kemungkinan pasien untuk jatuh tertidur selama
situasi tersebut. Respon diberi nilai berkiras 0 hingga 3, diberi nilai
0 yakni tidak ada rasa kantuk sama sekali, sampai dengan 3 yakni
rasa kantuk yang sangat. Nilai maksimal adalah 24, bila nilai>10
dipertimbangkan kemungkinan adanya EDS, dan bila nilai>15
maka disimpulkan bahwa terdapat EDS berat. Nilai ESS >15
biasanya ditemukan pada pasien dengan narkolepsi.
Gambar 1.5 Epworth Sleepiness Scale (ESS)
(Vaughn dan Cruz, 2017)
17
c. Stanford Sleepiness Scale (SSS)
Jika Epworth Sleepiness Scale digunakan untuk mengukur
kecendrungan untuk tertidur secara keseluruhan selama berbagai
aktivitas, Standford Sleepiness Scale digunakan untuk mengukur
keadaan kantuk pada saat itu. Skala yang digunakan meliputi 7 poin
statement, dari paling terjaga sampai dengan sangat mengantuk.
Gambar 1.6 Stanford Sleepiness Scale
(SSS) (Vaughn dan Cruz, 2017)
2. Pemeriksaan Objektif
a. Polysomnography
Polisomnogram (PSG) dipertimbangkan sebagai gold
standard pengukuran objektif dari tidur itu sendiri, dengan
mengevaluasi
electroencephalogram
(electro-oculogram),
gerakan
dagu
(EEG),
gerakan
mata
dan
motorik
kaki
(electromyogram), electrocardiogram, respiratory channels and
saturasi oksigen. Biasanya, PSG digunakan untuk mengekslusi
obstructive sleep apnea sebagai penyebab kantuk. Adanya Apneahypopnea index (AHI) 5kali/jam terkait gejala (EDS, gangguan
kognisi, gangguan mood, insomnia, hipertensi, penyakit jantung
iskemik, atau riwayat stroke) atau AHI 15x/jam tanpa gejala terakit
18
merupakan diagnostik dari OSA. Meski tidak diindikasikan untuk
Restless leg syndrome secara spesifik, PSG dapat membantu
mengidentifikasi
adanya
gerakan
tungkai
periodik
sebagai
penyebab gangguan tidur.
Pelaksanaan PSG biasanya dilakukan pada malam hari lalu
diikuti pemeriksaan MSLT. PSG dilakukan pada pasien bebas obat
pada jadwal regular dan sesudah mendapatkan tidur yang cukup
selama 10-21 hari. PSG pada pasien narkolepsi didapatkan adanya
gangguan tidur, bangun berulang,
dan penurunan latensi
tidur.SOREMP (sleep-onset REM period) pada malam hari
merupakan indikator penting pada pasien narkolepsi (Kirsch, 2015).
b. Mean Sleep Latency Time (MSLT)
MSLT masih merupakan pemeriksaan gold standard untuk
penilaian EDS secara objektif. Pemeriksaan ini mengukur
kecendrungan fisiologis dari pasien untuk tertidur di situasi
lingkungan yang tenang dan untuk secara objektif menentukan
tingkat kantuk seseorang.
Persiapan
merupakan
hal
yang
penting
sebelum
pelaksanaan MSLT. Direkomendasikan pasien harus memiliki
jadwal tidur regular 2 minggu sebelum pelaksanaan tes. Obatobatan
stimulan
dan
obat-obatan
penekan
REM
(seperti
antidepresan) harus dihentikan sebelum pelaksanaan tes (minimal
15 hari). Malam sebelum MSLT, dilakukan PSG untuk mencatat
kualitas dan durasi tidur pasien.
MSLT dilakukan selama periode bangun dan dibuat untuk
menilai kecendrungan pasien untuk jatuh tertidur. Pada tes ini
pasien diberi kesempatan tidur singkat (20 menit) sebanyak 5 kali
19
dengan jarak masing-masing 2 jam, dan dimulai 2 jam setelah
bangun. Hasilnya meliputi 2 hal yakni: Mean sleep latency (MSL),
yakni rerata seberapa cepat pasien memiliki masa yang dinilai
sebagai ‘tidur’ pada setiap tidur singkatnya, dan jumlah periode
sleep-onset REM (SOREM), yakni jumlah tidur singkat yang mana
pasien memiliki setidaknya 1 masa tidur REM. Sleep latency >11
menit adalah normal. Sleep latency <8 menit biasanya ditemukan
pada pasien dengan idiopathic hypersomnia. Adanya sleep latency
<8
menit
dan
adanya
minimal
2
SOREMPS
sangat
mengindikasikan adanya narkolepsi (Kirsch, 2015).
c. Maintenance of Wakefulness Test (MWT)
Berkebalikan dengan MSLT, MWT mengukur kemampuan
pasien untuk tetap terbangun. Protokol MWT adalah 40 menit
dengan 4 sesi dengan interval 2 jam, di mana pasien akan diminta
untuk mencoba tetap terbangun. Pada orang normal tanpa EDS
akan tetap terjaga dan tidak akan jatuh tertidur dengan rata rata 15
menit dalam 4 atau 5 sesi (Kirsch, 2015).
d. Actigraphy
Aktivitas dan periode tidur/bangun seseorang dapat
dimonitor melalui actigraphy. Alat ini mampu memproduksi sinyal
jika mendeteksi adanya pergerakan. Actigraphy dipasang pada
pergelangan tangan, dan oleh karena sifatnya yang bersifat
portabel, maka dapat mengevaluasi pola tidur pasien selama
beberapa hari hingga minggu (Kirsch, 2015).
e. Tes laboratorium
Skrining obat obatan stimulan, opiate, dan benzodiazepine
dapat dipertimbangkan. Bergantung pada presentasi klinisnya, tes
20
laboratorium juga dapat digunakan sesuai indikasi misalnya pada
kasus restless leg syndrome (seperti serum ferritin) dan hipotiroid
(Kirsch, 2015).
1.7 Diagnosis Hipersomnia
Evaluasi pasien dengan EDS pada prinsipnya meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Kirsch, 2015).
1. Anamnesis
Beberapa pasien tidak dapat mengenali keparahan mengantuk
mereka secara tepat. Sering kali keluarga atau rekan kerja menjadi orang
yang pertama kali mengenali keparahan masalah ini dan dapat menjadi
sumber yang baik bagi klinisi dibandingkan pasien itu sendiri. Biasanya
pasien sendiri baru mulai mengenali masalah ini ketika sudah
mempengaruhi produktivitas kerja mereka atau setelah mengalami
kecelakaan tertentu. Gejala mengantuk yang dirasakan seringkali terjadi
scara kronis dan bertahun-tahun, sehingga seringkali sulit bagi pasien
untuk menentukan tingkat kesadaran dan energi normal yang seharusnya
(Kirsch, 2015).
Perlu ditanyakan pada pasien dan keluarganya mengenai
keparahan gejala yang dirasakan dan bagaimana efeknya terhadap aspek
kehidupannya. Beberapa kuesioner yang telah distandarisasi dapat
digunakan untuk mengukur gejala mengantuk secara subjektif, seperti
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Beberapa pertanyaan yang bisa ditanyakan pada riwayat penyakit
sekarang, seperti: waktu tidur, waktu bangun, tidur siang/singkat, frekuensi
pergi bekerja/sekolah, hari off, kebiasaan tidur: latensi untuk tidur,
terbangun pada malam hari, aktivitas motorik selama tidur, kebiasaan
21
menekan tombol “snooze” pada alarm, dan adanya faktor resiko paparan
seperti cahaya (hp, komputer,dll), dan lingkungan (kebisingan, temperatur,
dll). Klinisi juga perlu mencari tahu apakah ada kemungkinan etiologi
tersering pada hipersomnia, seperti OSA, restless leg syndrome,
narkolepsi, dan sindrom insufusiensi tidur. Dapat ditanyakan pada pasien
dan keluarganya adakah riwayat mengorok, nafas yang berbunyi, atau
episode jeda bernafas saat tidur yang mungkin dapat mengindikasikan
suatu OSA. Tanyakan juga adakah rasa ketidaknyamanan pada kaki atau
keinginan kuat untuk menggerakan kaki mereka pada malam hari sehingga
mengganggu tidur mereka untuk mengevaluasi kemungkinan restless leg
syndrome. Perlu ditanyakan juga apakah terdapat gejala paralisis saat
tidur, halusinasi, dan cataplexy (kehilangan tonus mendadak) yang dapat
terlihat pada pasien dengan narkolepsi (Kirsch, 2015).
Pada riwayat penyakit sebelumnya, ditanyakan apakah pasien
memiliki riwayat medis atau psikiatrik, mengingat beberapa gangguan ini
dapat menyebabkan keluhan EDS. Tanyakan juga apakah ada riwayat
operasi jalan nafas sebelumnya; riwayat sosial yang meliputi: penggunaan
tembakau, alkohol, obat-obatan, kafein, pekerjaan; riwayat keluarga
dengan diagnosis gangguan tidur atau dengan tanda/gejala seperti sleep
apnea, restless leg syndrome, atau narkolepsi; serta menanyakan
pertanyaan sistematis untuk review multiorgan pada pasien (Kirsch, 2015).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada banyak kasus, pasien dengan hipersomnia mungkin tidak
menunjukkan adanya temuan pemeriksaan fisik yang spesifik. Namun,
terdapat beberapa temuan pemeriksaan fisik yang dapat membantu klinisi
dalam mengevaluasi pasien. Pasien mungkin tertidur ketika dokter
memasuki
ruang
pemeriksaan,
22
dan
beberapa
pasien
mungkin
menunjukkan tanda-tanda kantuk kronis, seperti lingkaran hitam di bawah
mata (Vaughn dan Cruz, 2017).
Pemeriksaan fisik pada pasien dapat dimulai dari KU dan TTV.
Evaluasi saturasi oksigen, tanda-tanda respirasi, BMI yang dapat
mengindikasikan adanya gangguan tidur-terkait pernafasan. Pada
pemeriksaan status lokalis kepala-leher dievaluasi apakah terdapat lingkar
leher yang besar, kelopak mata terjatuh,maloklusi gigi, abnormalitas
kraniofasial, dan ukuran jalan nafas (skor Mallampati) terkait kemungkinan
resiko OSA. Pemeriksaan lainnya meliputi: jantung, paru, abdomen, dan
ekstremitas. Pemeriksaan neurologis mungkin menghasilkan temuan
kurangnya perhatian atau bahkan microsleep (Kirsch, 2015).
Gambar 1.7 Algoritma Pendekatan untuk Evaluasi
Excessive Daytime Sleepiness (Jain dan Kothare, 2018)
1.8 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding pada hipersomnia, meliputi :
23
1. Narkolepsi Tipe 1 dan 2
2. Idiopatik
3. Kleine-Levin Syndrome (KLS)
4. Hipersomnia Sekunder: Kondisi medis, psikiatri, dan obat-obatan
1.9 Terapi Hipersomnia
Tatalaksana hipersomnia tergantung dan harus diarahkan pada penyakit
dasarnya (underlying cause), jika memang ada. Segala faktor yang dapat
memengaruhi kuantitas dan kualitas tidur perlu diatasi sebelum memulai
terapi. Oleh sebab itu, tatalaksana hipersomnia dilakukan melalui pendekatan
farmakologis dan nonfarmakologis. Ada pun pendekatan nonfarmakologis
meliputi sleep hygiene yang baik, tidur siang yang terjadwal, dan aktivitas fisik
yang teratur (Bollu et al., 2017).
Edukasi sleep hygiene yang baik, termasuk di antaranya menghindari
stimulan seperti kafein, nikotin dan makanan berat serta alkohol sebelum tidur,
menjaga lingkungan tidur tetap tenang dan nyaman agar kondusif, serta
menerapkan jadwal tidur yang teratur. Pasien juga perlu diedukasi untuk
melakukan tidur siang terjadwal dengan durasi yang direkomendasikan adalah
sekitar 15-20 menit, karena tidur siang lebih dari 30 menit dapat menyebabkan
sleep inertia. Adanya tidur siang yang terjadwal ini diketahui dapat mengurangi
kantuk di siang hari tanpa memberikan dampak buruk pada kualitas tidur di
malam hari (Bollu et al., 2017).
Bila rasa mengantuk menetap setelah penyakit atau penyebab dasar
diatasi dengan adekuat, maka pendekatan farmakolgis dengan obat-obatan
stimulan dapat diberikan (Bollu et al., 2017). Beberapa pilihan medikasi yang
sering digunakan pada hipersomnia dapat dilihat pada Tabel 1.3.
24
Tabel 1.3 Pilihan medikasi yang sering digunakan pada hipersomnia
(Singhi et al., 2019)
Terapi EDS pada narkolepsi tipe-1 meliputi penggunaan stimulan sistem
saraf pusat seperti amfetamin, modafinil, dan R-enantiomer armodafinil.
Methylphenidate adalah stimulan mirip amfetamin yang paling sering
diresepkan di Amerika Serikat dan dinilai berkhasiat dan ditoleransi baik oleh
sebagian besar pasien narkolepsi. Karena keamanan dan profil efek samping
yang rendah, modafinil menjadi pengobatan lini pertama pilihan untuk EDS
terkait dengan narkolepsi. Namun senyawa ini, bagaimana pun juga tidak
memperbaiki gejala cataplexy dan gejala terkait REM, sehingga antidepresan
(monoamine uptake inhibitor) seringkali ditambahkan untuk mengatasi hal
tersebut. Sodium oxybate, ketika diberikan pada malam hari, dapat
memperbaiki gejala EDS dan cataplexy, oleh karena itu, jumlah pasien yang
diterapi dengan sodium oxybate meningkat, dan kemudian terapi ini menjadi
terapi lini pertama pada pasien narcolepsy. Kombinasi terapi dengan stimulan
lain juga direkomendasikan apabila dengan pemberian stimulan tunggal tidak
efektif dalam mengatasi keluhan EDS pada pasien narkolepsi (Takenoshita
dan Nishino, 2017).
Terkait terapi EDS pada IH, tidak ada terapi yang telah diterima oleh FDA
hingga saat ini. Namun, pada setting klinis, modafinil juga digunakan sebagai
25
terapi EDS pada IH. Jika EDS resisten terhadap modafinil, methylphenidate
dan substans amphetamine-like lainnya juga dapat digunakan (Takenoshita
dan Nishino, 2017).
Terapi EDS terkait hypersomnia simptomatik (seperti hypersomnia due to
medical disorder) cenderung lebih kompleks karena kondisinya heterogen, dan
keterlibatan hipokretin terlihat pada beberapa penyakit, namun tidak
semuanya. Struktur otak yang mengalami kerusakan dan mekanisme yang
berperan dalam EDS pun bervariasi, sehingga seringkali tidak memberi respon
terhadap terapi stimulan yang diberikan. Oleh karena itu, telah dikembangkan
beberapa
jenis
senyawa
baru
yang
mungkin
kedepannya
dapat
menguntungkan bagi pasien-pasien seperti ini. Beberapa senyawa yang masih
dalam penelitian saat ini meliputi senyawa histaminergik (pitolisant, H3 inverse
agonis), TRH agonis, DP1 antagonis, dan suplementasi hipokretin / hipokretin
replacement therapy, dan imunomodulasi sebagai langkah prevensi juga
masih dikembangkan saat ini (Takenoshita dan Nishino, 2017).
1.10
Prognosis Hipersomnia
Prognosis
hipersomnia
bergantung
pada
penyebab
gangguan
yang
mendasarinya. Meskipun hipersomnia itu sendiri tidak mengancam nyawa, namun
hipersomnia dapat mengakibatkan konsekuensi yang cukup serius, misalnya
kecelakaan oleh karena tertidur saat mengemudikan kendaraan. Hipersomnia juga
sering diketahui berkormibiditas dengan depresi, ansietas, kelelahan kronik, serta
gangguan atensi (Lammers et al., 2020).
26
DAFTAR PUSTAKA
Bollu, P.C., Manjamalai, S., Thakkar, M. & Sahota, P. 2018. Hypersomnia.
Missouri Medicine, 115(1): 85–91.
Chawla,
Jasvinder.
2020.
Insomnia.
Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article/1187829-overview
Tersedia
di:
Chervin, R.D. 2019. Approach to the patient with excessive daytime sleepiness.
UpToDate. Tersedia di: https://www.uptodate.com/contents/approach-to-thepatient-with-excessive-daytime-sleepines
Chokroverty, S. & Ferini-Strambi, L. 2017. Oxford textbook of sleep disorders.
Oxford University Press
During, E., Dimitriu, A. & Guilleminault, C. 2017. Hypersomnia: Etiologies. The
Curated Reference Collection in Neuroscience and Biobehavioral
Psychology, (December): 377–382.
Jain, S. V & Kothare, S. V 2017. Disorders of Excessive Daytime Sleepiness. K.
Swaiman, ed., Swaiman’s Pediatric Neurology : Principles and Practice, 6
ed. New York: Elsevier, hal.1539–1549.
Kirsch, D. 2015. Diagnostic Tools and Testing in the Sleepy Patient. R.K. Malhotra,
ed., Sleepy or Sleepless : Clinical Approach to the Sleep Patient. New York:
Springer, hal.13–28.
Lammers, G.J., Bassetti, C.L.A., Dolenc-Groselj, L., Jennum, P.J., Kallweit, U.,
Khatami, R., Lecendreux, M., Manconi, M., Mayer, G., Partinen, M., Plazzi,
G., Reading, P.J., Santamaria, J., Sonka, K. & Dauvilliers, Y. 2020. Diagnosis
of central disorders of hypersomnolence: A reappraisal by European experts.
Sleep
Medicine
Reviews,
52:
101306.
Tersedia
di
https://doi.org/10.1016/j.smrv.2020.101306.
Miner, B., Jiwa, N. & Koo, B. 2019. Treatment of Sleep-Related Movement and
Circadian Rhythm Disorders, Hypersomnolence, and Parasomnias.
Handbook of Sleep Disorders in Medical Conditions. Elsevier Inc. Tersedia di:
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-813014-8.00004-4.
Pavlova, M. 2017. Sleep Disorder. M. Samuels & A.H. Ropper, ed.9, Samuels’s
Manual of Neurologic Therapeutic, 9 ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins a Woltes Kluwer Business, hal.183–216.
Singhi, S., Steinhart, E. and Maski, K., 2019. Hypersomnia. Sleep in Children with
Neurodevelopmental Disabilities (pp. 97-109). Springer, Cham.
Takenoshita, S. & Nishino, S. 2017. Pharmacologic Management of Excessive
Daytime Sleepiness. Sleep Medicine Clinics, 12(3): 461–478. Tersedia di
http://dx.doi.org/10.1016/j.jsmc.2017.03.019.
27
Thorpy, M. 2017. Current Classifications of Sleep Disorders. S.R.P. Perumal, ed.,
Synopsis of Sleep Medicine. New Jersey: Apple Academic Press, Inc, hal.83–
98.
Trosman, I. & Ivanenko, A. 2017. Epidemiology of Sleep Disorder. S.R.P. Perumal,
ed., Synopsis of Sleep Medicine. New Jersey: Apple Academic Press, Inc,
hal.65–82.
Vaughn, B. V & Cruz, O.F. 2017. Cardinal Manifestations of Sleep Disorders. M.
Kryger, T. Roth & W.C. Dement, ed., Principles and Practice of Sleep
Medicine, 6 ed. Philadelphia: Elsevier, hal.576–586.
28
Download