Uploaded by User86091

filaria

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filariasis yang dikenal umum sebagai penyakit kaki gajah atau
elephantiasis termasuk salah satu penyakit menular yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia (1.WHO, 2001). Filariasis Limfatik (FL)
merupakan penyakit yang banyak ditemukan di daerah tropis, yang disebabkan oleh
cacing filaria, dan ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk (Simonsen &
Mwakitalu, 2013).(Irawan et al., 2018). Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing
filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (3.WHO,
2013). Filariasis jarang menimbulkan kematian, tetapi dapat menimbulkan
cacat menetap (4.Ditjen PP & PL, 2010). ). Saat ini penyakit filariasis ini telah
menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk dieliminasi. Word
Health Organization (WHO) telah mendeklarasikan “The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year
2020”. Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari
eliminasi filariasis global karena Indonesia merupakan negara dengan
endemisitas Brugia terbesar di dunia (5.Kemenkes, 2016).
Data WHO menunjukkan bahwa terdapat 1,1 milyar lebih penduduk
beresiko menderita filariasis di 73 negara dan 632 juta (57%) negara tersebut
berada di Asia Tenggara termasuk Indonesia (6.WHO, 2016). Di Indonesia,
jumlah kabupaten/kota endemis filaria sebanyak 335 kabupaten/kota (67%), 3
kabupaten/kota tidak endemis (0,6 %), dan 176 kabupaten/kota belum
dilakukan survei endemisitas filariasis. Pada tahun 2009 yang endemis
meningkat menjadi 356 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di Indonesia
atau sebesar 71,9 % sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak endemis
(7.Erlan A, 2014).
Salah satu upaya eliminasi filariasis yaitu melakukan Pemberian Obat
Pencegahan Massal (POPM). Pengobatan massal dilaksanakan didaerah
endemis filariasis yaitu daerah dengan angka Mikrofilaria rate (Mf rate) >1%.
Tujuan pengobatan massal yakni untuk mematikan mikrofilaria secara serentak
kepada penduduk sasaran di wilayah endemis filariasis dan untuk memutus
transmisi filariasis dengan menurunkan Mf rate menjadi < 1 % serta
menurunkan kepadatan rata-rata mikrofilaria. Mf
rate 1% atau lebih
merupakan indikator suatu kabupaten/kota menjadi daerah endemis filariasis
(8.Depkes, 2006).
Kegiatan pengobatan massal perlu dilakukan evaluasi untuk menilai
efektivitas pelaksanaan pengobatan massal. Pengobatan massal filariasis
dilakukan dengan pemberian obat Diethylcarbamazine Citrate (DEC) dan
Albendazole yang terbukti efektif dalam memutus rantai penularan pada daerah
yang endemis filariasis. DEC bersama Albendazole digunakan untuk
mengontrol Filariasis limfatik, yang dapat menurunkan mikrofilaria dengan
baik selama setahun. Pemberian sekali setahun selama minimal lima tahun
berturut-turut bertujuan untuk mempertahankan kadar mikrofilaria dalam
darah tetap rendah sehingga tidak memungkinkan terjadinya penularan
(9.Hendri et al, 2018).
Cara diagnosis penyakit filariasis di antaranya adalah pemeriksaan
klinis, pemeriksaan darah jari/vena dengan pewarnaan atau SDJ (Sediaan
Darah jari), pemeriksaan darah dengan Quantitatif Buffy Coat (QBC),
pemeriksaan ultrasound (Filaría Dance Sign) terutama untuk evaluasi hasil pengobatan dan hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh W.bancrofti,
deteksi antigen beredar dengan teknik ELISA Sandwich menggunakan antibodi
monoclonal, Rapid Diagnostic Test (RDT) dan deteksi DNA dengan metoda
(PCR) Polymerase Chain Reaction (12.Soeyoko, 1998).
Diagnosis filariasis untuk menentukan prevalensi filariasis di suatu
daerah endemis merupakan salah satu komponen terpenting dalam The
Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis (GPELF). Pemeriksaan secara
mikroskopis pada sediaan darah tebal menggunakan darah tepi pasien pada
malam hari merupakan teknik konvensional. Pemeriksaan darah tebal
merupakan pemeriksaan kualitatif yang menentukan positif atau negatif.
untuk pemeriksaan kuantitatif diperlukan teknik diagnostik yang di sebut
membran filtrasi. Teknik ini juga memerlukan darah malam dan pemeriksaan
mikroskopis. Kedua teknik diagnostik tersebut memerlukan tenaga kerja yang
terampil, memerlukan waktu lama dan cukup sulit jika dilakukan di daerah
terpencil (13.Henri C, 2009).
Oleh karena itu diperlukan teknik diagnostik yang cepat, mudah, dan
akurat untuk mendeteksi keberadaan parasit dalam tubuh pasien. Untuk
mengatasi masalah tersebut di atas maka mulai dikembangkan berbagai
teknik baru dalam mendiagnosis filariasis ini. Dalam program eliminasi
filariasis global, WHO menganjurkan penggunaan metode serodiagnosis.
Untuk filariasis Brugia, metode serodiagnosis terbaik yang ada saat ini adalah
deteksi antibodi IgG4 anti-filaria. Deteksi tersebut telah dikembangkan dalam
bentuk dipstik (disebut Brugia Rapid Test) yang pengerjaannya sangat mudah
dan singkat. Salah satu bentuk Rapid yang sudah tersedia secara komersial
adalah Brugia Rapid yang digunakan untuk mendeteksi adanya IgG4 pada
orang yang terinfeksi Filariasis. IgG4 merupakan Marker infeksi filariasis
Brugia. Keuntungan penggunaan Brugia rapid adalah tidak memerlukan
peralatan khusus, bisa dilakukan siang hari dan hasil bisa diperoleh dalam
waktu 15 menit. Berdasarkan sebuah studi di Malaysia Brugia Rapid Test
memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 95% dan 99%
baik dalam percobaan di laboratorium maupun di lapangan (14.Noordin et al,
2004). Disebutkan juga Brugia Rapid mendeteksi kasus positif sebanyak 10 kali
lebih banyak dibandingkan pemeriksaan parasitologi. Dari hasil beberapa
penelitian sensitivitas dan spesifisitas menunjukan hasil yang berbeda-beda
untuk wilayah Indonesia. Di Pulau Alor NTT, didapatkan prevalensi filariasis
berdasarkan teknik membran filtrasi adalah 25,9%, sedangkan dengan
menggunakan teknik Brugia Rapid, ditemukan 79,8% responden menderita
filariasis (15/13Hendri C., 2009). Kemudian dari hasil penelitian yang
dilakukan di Desa Mainang didapatkan bahwa sensitifitas teknik Brugia Rapid
sangat tinggi yaitu 95,4% (16.Ardra, 2009). Hasil uji diagnostic Brugia malayi
dengan metoda BRT dibandingkan dengan metoda mikroskopis didapatkan
sensitivitas 0%, spesifisitas 72,5%.(Kumalasari, 2019)
Ardra. (2009). Perbandingan Prevalensi Mikrofilaria antara Pemeriksaan
Mikroskopik dengan Brugia Rapid. Skripsi fakultas kedokteran. Universitas
Indonesia.
Noordin. R, Shenoy. R.K, Nutman T. B, Weiss. N, Gilmour. K, Maizels. R. M, et
al. (2004). Multicentre evaluation of two new rapid IgG4 test for detection of
lymphatic filariasis. Filaria Journal : 6:9. Diakses dari
http ://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed tanggal 22 desember 2012.
Hendri, C. (2009). Prevalensi IgG4 dengan Brugia Rapid pada Anak Sekolah
Dasar setelah lima tahun Program eliminasi di Daerah Brugia Timori,
Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Skripsi fakultas kedokteran. Universitas
Indonesia.
Soeyoko. (1998). Pengembangan Antinodi Monoklonal Spesifik Terhadap Antigen
Beredar Brugia malayi Untuk Diagnosis Filariasis Malayi. Universitas
Gadjah Mada.
Hendri, J., Ipa, M., Ginanjar, A., Yuliasih, Y., & Astuti, E. P. (2018). Intervensi
Kader Dalam Mendukung Program Pemberian Obat Massal Pencegahan
(Pomp) Filariasis Di Kecamatan Cibeureum Dan Cibingbin, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Ekologi Kesehatan, 17(1), 31–40.
https://doi.org/10.22435/jek.17.1.138.31-40
Depkes RI. (2006). Pedoman Penentuan dan Evaluasi Daerah Endemis
Filariasis. Jakarta: Depkes RI.
Erlan, A. (2014). Promosi Kesehatan dalam Pengendalian Filariasis Balaba, 10
(02), pp.
WHO. (2016). Global Health Obsevatory (GHO) Data : Lymphatic Filariasis
Situation and Trend [Internet]. Switzerland ; Available from: http:
//www.who.int /gho/neglected.lis eases/lymphatic_filariasis/en/.
Kementerian Kesehatan RI. (2016). . Rencana Nasional Program Akselerasi
Eliminasi Filariasis di Indonesia 2010 – 2014. Subdit Filariasis dan
Schistomiasis Direktorat P2B2, Ditjen PP dan PL. Kemenkes RI.
Ditjen PP & PL. (2010). Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi
Filariasis ; Jakarta.
WHO. (2013). Lymphatic filariasis: a handbook of practical entomology for
national lymphatic filariasis elimination programmes. Global Programme to
Eliminate Lymphatic Filariasis.
Irawan, A. S., Boesri, H., & Nugroho, S. S. (2018). Program Nasional Untuk
Eliminasi Filariasis Limfatik: Studi Kasus Di Kabupaten Pekalongan, Jawa
Tengah. Vektora : Jurnal Vektor Dan Reservoir Penyakit, 10(2), 95–102.
Kumalasari, T. N. (2019). Sensitivitas dan Spesifisitas Metode Brugia Rapid Test
pada Pemeriksaan Brugia Malayi. Biomedical Journal of Indonesia: Jurnal
Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 5(2), 62–71.
https://doi.org/10.32539/bji.v5i1.7983
World Health Organization. (2001). Regional Office for south-east asia : Regional
strategic plan for elimination of lymphatic filariasis (2000-2004).
Download