Uploaded by ndioindri

makalah kelompok agama

advertisement
Tugas Mata Kuliah: Aswaja I
Nama Dosen: Dr. H. M. Arfah Shiddiq, MA
KEDUDUKAN AKAL TERHADAP IMAN SERTA IMAN MENURUT
AHLUSUNNAH WAL JAMAAH
Disusun Oleh:
KELOMPOK II
Maria Efrasi Tauran
19081014032
Dwi Kartika Putri
19081014033
Hasmawati
19081014016
Qisthi Ainan
19081014017
Sandra Amelia
19081014018
JURUSAN PG PAUD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama Islam merupakan agama terakhir yang memiliki ajaran yang sangat
lengkap. Ajaran tersebut meliputi kehidupan individu, masyarakat, tata cara bernegara
yang baik sampai kepada persoalan yang menyangkut ekonomi, politik dan lain
sebagainya. Maka tidak heran jika dalam sejarahnya, Islam pernah menduduki posisi
yang sangat penting dalam memperkenalkan peradaban yang kosmopolitan kepada
bangsa-bangsa yang lainnya. Pernah pada masanya, Islam begitu jaya, mulai dari
perpolitikan sampai kepada persoalan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Terkait kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, kita mengenal banyak ilmuwanilmuwan besar Islam yang tampil sambil menorehkan prestasi mengagumkan dan
pengaruhnya sampai menembus lintas daerah, agama dan lain sebagainya. Tokohtokoh besar seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Thusi
dan lain sebagainya turut
mewarnai peradaban Islam dengan tinta emas yang terbaik. Di bidang agama sendiri,
muncul tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Syafii, Imam Ghozali dan lain sebagainya,
belum lagi lahirnya ulama-ulama ahli tafsir seperti al-Thabari, al-Qurthubi dan yang
lainnya serta ulama-ulama hadits (rijal al-hadits) seperti Imam Bukhari, Imam Muslim
dan lain-lainnya.
Semua pencapaian itu tentu tidak datang dengan sendirinya, melainkan
disebabkan oleh ajaran al-Qur‟an dan al-Hadits itu sendiri yang memang menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan. Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup
mendetail dalam sejarah perkembangan manusia. Banyak cabang pembahasan yang
dibahas didalamnya, diantaranya: apakah definisi akal menurut para ilmuan islam,
bagaimana kedudukan akal dalam islam, dalam bidang-bidang apakah akal itu bisa di
fungsikan, dan masih banyak lagi hal-hal yang akan dibahas didalamnya mengenai
kedudukan akal. Kesemuanya itu juga sangat berkaitan erat dengan iman, menyangkut
tentang keyakinan kita terhadap eksisitensi Allah SWT. Apakah keimanan atau
kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui dalil akal dan akal memberikan
peran penting didalamnya? Ataukah sudah merupakan hal yang jelas sehingga tidak
butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri diluar garis tatanan akal dan
tidak saling terkait? Semua itu akan kami jelaskan dalam karya tulis kami ini.
Pembicaraan tentang masalah iman merupakan salah satu perkara penting yang
mendasar. Bahkan ini merupakan dasar aqidah seorang muslim. Salah dalam
memahami keimanan bisa menyebabkan seseorang terjerumus dalam keharaman,
kebid‟ahan, bahkan bisa berujung kekafiran. Semoga sekelumit pembahasan masalah
iman ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan tentang Kedudukan akal terhadap iman?
2. Jelaskan tentang Iman Menurut Ahlusunnah Wal Jamaah?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui tentang kedudukan akal terhadap iman
2. Untuk mengetahui tentang iman menurut ahlusunnah wal jamaah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. KEDUDUKAN AKAL TERHADAP IMAN
2.1.1 Definisi dan hakikat akal
Akal adalah suatu daya yang diciptakan Allah Ta‟ala bagi manusia untuk
memikir, mengkaji dan memahami sesuatu mengikut syarat-syaratnya yang tertentu. Ini
adalah makna umumnya. Dari segi kewujudannya, ia adalah satu jisim halus yang
menjadi rahasia Allah Ta‟ala. Dalam Al-Qur‟an Allah Ta‟ala telah menjelaskan jisim
halus ini dengan firmanNya yang bermaksud “Apabila mereka bertanya kepada engkau
(wahai Muhammad) tentang roh, katakanlah: Roh itu urusan Tuhan. Dan kamu hanya
bisa diberitahu sedikit saja” (QS. Al-Isra‟ : 85).
Maka jisim halus itu berfungsi kepada empat fungsi yaitu sebagai hati, roh, nafsu
dan akal. Maka akal itu adalah sebangsa dengan hati, roh dan nafsu cuma berlainan
fungsi. Ada dari kalangan pendebat kristen membuat dakwah bahwa muslim tidak
mengetahui tentang roh, karena ayat diatas mengatakan roh itu rahasia Tuhan. Memang
benar bahwa roh itu rahasia Allah SWT. Dapatkah sesiapa menerangkan hakikat roh?
Tidak sama sekali. Namun jangan lupa dengan ujung ayat
“...kamu hanya diberitahu sedikit saja”.
Maka dengan ini muslim masih mendapat ilmu untuk membicarakan tentang roh.
Ilmu ini dikaruniakan Allah SWT kepada muslim pilihan dari kalangan ahli tasawuf.
Mereka inilah yang banyak membicarakan tentang roh, nafsu, hati dan akal. Ia
dijelaskan secara ibarat karena hakikat jisim halus itu hanyalah yang diketahui oleh
Allah SWT saja. Tentang hakikat roh, hati dan nafsu ini akan dijelaskan dalam bab
tasawuf kelak.
Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibandingan
dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusai dapat membuat hal-hal
yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun segala yang dimiliki
manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak
boleh dilewati.
2.1.2. FUNGSI DAN KEDUDUKAN AKAL
Akal memiliki fungsi yang sangat besar sekali didalam eksistensi manusia.
Karena akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang kongkrit dan juga abstrak. Karena
kekuatan akal manusia bisa bertahan hidup didalam dunia ini. Oleh sebab itu kita biasa
klasifikasikan kedudukan akal dalam islam sebagai berikut:
1. Kedudukan Akal Dalam Al-Qur‟an
Kedudukan Akal di Dalam Hadits Nabi Jika akal begitu diagungkan di dalam alQur‟an, bagaimana dengan Hadits, apakah akal memiliki kedudukan yang juga
istimewa? Jika memang demikian, akal yang bagaimanakah yang menduduki posisi
istimewa dalam perspektif hadis?. Sebagaimana diketahui bersama bahwa hadis
merupakan salah satu warisan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Sebagai pengulas
al-Qur‟an, posisi hadis sangatlah penting.
Allah berfirman di dalam Surat al-Nisa ayat 26:
“Allah hendak menerangkan (hukum syari‟at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu
kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak)
menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Nisa [4]
26).
Menurut Imam Qurtubi, ayat ini memberikan petunjuk mengenai tata cara hidup
orang saleh sebelum Nabi Muhammad. Ada yang berpendapat bahwa memberikan
petunjuk di situ berarti menerangkan tata cara orang-orang sebelum Nabi Muhammad.
Bahkan menurut Ibn Katsir, kata “sunan” di situ berarti tata cara yang baik dan terpuji
dari orang-orang sebelum Nabi yang telah mengikuti syariat Allah.
2. Kedudukan akal sebagai pengijtihad
Kedudukan akal dalam dunia islam adalah sebagai pengijtihad. Maksudnya para
mujtahid menggunakan akal fikiran mereka untuk mencari satu keputusan dalam syariat.
Sesuai dengan difinisinya juga ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang
ahli hukum (Al-Faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari‟at. Jadi bagi para
mujtahid akal sangatlah penting peranannya, dalam memikirkan sesuatu masalah
membutuhkan akal yang cemerlang supaya mendapatkan hasil yang maksimal dalam
menentukan hukum.
Ijtihad didalam islam telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang
menggambarkan kecemerlangan akal pemikiran, namun fiqh pun masih membutuhkan
pemikiran lebih lanjut tentang hukum-hukum yang ada didalamnya. Dengan
menggunakan akal yang cemerlang para mujitahid akal memutuskan segala perkara
dengan maksima dan tanpa mengada-ada. Karena itu seorang mujitahid jika hendap
mengijtihadkan suatu perkara maka akalnay harus tenang dan tidak semerautan.
Karena ketenangan akal mempengaruhi hasil dari ijtihad itu sendiri. Seorang mujitahid
bahkan tidak akan mampu mengijtihadkan suatu perkara jika akal fikirannya belum
tenang. Jika akal fikirannnya sudah tenanga maka para mujitahid akan mampu
memecahkan segala perkara dengan mudah dan maksimal. Dari itu sangat luarbiasa
sekali fungsi dan peranan akal dalam islam. Denga menggunakan akal fikiran para
mujitahid bisa memutuskan suatu perkara dengan baik dan maksimal. Jadi akal dapat
difungsikan sebagai pengijtihad atau kedudukannya sebagai pengijtihad.
3. Kedudukan akal untuk mengenal diri manusia sendiri.
Otak dan akal dapat menjadi jalan masuk untuk mengenal diri manusia. Buka
saja karena akal merupakan komponen tubuh tertinggi dari manusia, karena juga karena
akal mencitrakan dan memberikan ciri khas dari manusia. Dalam hadits dinyatakan
bahwa:
ُ‫ف َربَّه‬
َ ‫ف نَ ْف‬
َ ‫سهُ فَقَ ْد ع ََر‬
َ ‫َم ْن ع ََر‬
Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sudah mengenal Tuhannya.
Dari hadits ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa jika jika seseorang sudah
mengenal dirinya maka dia sudah mengenal tuhannya. Mengenal diri sendiri bagi
manusia bukan hanya mengenal dari fisiknya saja tapi harus mengenal dari mana ia
datang dan kemana ia kembali. Semua itu mutlak menggunakan akal fikiran. Seseorang
menggunakan akalnya untuk memikirkan dirinya darimana mereka datang. Dengan akal
mereka akan menerawang jauh sejauh aklanya bisa berfikir darimana dia datang.
Setelah mnggunakan akal fikirannya dengan maksimal maka seseorang akan dapat
mengenal jati dirinya bahwa kita semua itu datang karena ada yang menciptakan.
Seseorang akal mengambil contoh dari benda-benda disekelilingnya yang dapat mereka
buat, benda tersebut ada karena ada yang membaut atau ada yang menciptakan. Dari
itu seseorang akan berfikir dirinya ada karena ada yang menciptakannya. Tapi siapa
yang bisa menciptakan dirinya yang begitu sempurna bagi pengelihatan mereka? Dari
penikiran itu seseorang pasti akan berfikir kepada tuhan yang bisa menciptakan segala
sesuatu denga kekuasaannya. Maka haidits diatas sangatalah benar sekali jika
seseorang sudah mengenal dirinya maka sungguh mereka suda mengenal tuhannya.
Namun jika seseorng hanya bisa mengenal dirinya sendiri, maka mereka belum bisa
mengunkan akal fikiran mereka untuk memikirkan adanya Dzat yang telah menciptakan
dia. Atau karena mereka mengelak dari kebenaran itu, mereka tidak mau mengakui
tentang adanya sang pencipta yang maha kuasa yang mampu menciptkan segala
sesuatu denan hanya mengucapkan “Kunfaakun” maka jadilah.
Akal manusia sangatlah terbatas sekali, karena itu ada batasan-batasan
kemampuan untuk berfikir yang dijelaskan oleh Rsulallah SAW. Karena tu Rasulallah
SAW. telah memberikan suatu batasan didalam hadits yang berbunyi:
ََ ‫ف ذَك‬
ِ ‫ق‬
ِ ‫هلل ِب ِخ ََل‬
ُ ‫هللا َو ََل تَفَك َُّر ْوا ِفى هللا َو ُك ُّل َما َو َر َد ِفى بَا ِلكَ فَا‬
ِ ‫تَفَك َُّر ْوا ِف ْي َخ ْل‬
Artinya: Berfikirlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah berfikir tentang Dzat
Allah. Setiap yang terlintas dibenakmu tentang Allah, sungguh dia berbeda dari hal itu.
Dari hadits diatas jelas sekali bahwa akal manusia itu sangatlah terbatas. Akal
manusia yang diberikan oleh Allah hanya mampu memikirkan apa-apa yang menjadi
ciptaan Allah SWT. Akan tetapi akal manusia tidak akan pernah mampu memikirkan
tentang Dzat Allah. Karena keterbatasan akal yang digariskan oleh Allah yang maha
kuasa lagi maha bijaksana. Memikirkan tentang Dzat Allah adalah kegilaan yang tidak
sesuai dengan metode yang sehat, sebab bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas
(mkhluk) memikirkan yang tidak terbatas (kholik), yang fana memikirkan yang maha
kekal, yang lemah memikirkan yang maha kuat, yang bakal mati memikirkan yang maha
hidup.
Sebenarnya akal pun tidak akan dapat menjangkau seluruh makhluk yang
memenuhui alam kosmos ini, baik matahari, bintang-bintang, bulan, pelanet dan semua
peristiwa yang terjadi didalamnya. Lalau bagaimana mampu mengenal atau memikirkan
Dzat pencipta makhluk-makhluk itu. Sesumggunya dia:
301 : ‫ْف الْ َخبِي ُْر (االنعام‬
ُ ‫ََلتُد ِْر ُكهُ ْاَل َ ْبص َُر َو ُه َو يُد ِْركُ ْاَل َ ْبص َُر َو ُه َو اللَّ ِطي‬
Artinya: “Tidak dapatt dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. AlAn‟am : 103).
Islam meletakkan tangan manusia diatas papan alam raya agar dengan akalnya
menggapai iktibar dan pelajaran dari penomena-penomena kosmik ini. Namun apabila
akal melampaui batas-batasnya akan terjerat didalam pemikiran yang dipaksakan, rancu
dan terjatuh. Islam membina akal berdasarkan makna tersebut. Didalam banyak tempat
islam menjelaskan berbagai persoalan berdasarkan sebab akibat, premis dan konklusi.
Metode ini tidak mudah ditempuh oleh akal tanpa menyelaminya lebih dahulu.
Pembinaan ini dimaksudkan agar akal mengetahui bahwa kekuasaan Allah SWT
tidak terbatas, namun dapat dipahami dengan menguraikan antara premis dan konklusi,
dan merajut hubungan antara sebab dan akibat.
4. Kedudukan akal untuk meyakini alam gaib atau mahluk gaib.
Akal diberikan kepada manusia untuk kehidupan ini. Ia menciptakan gerak dan
kegiatan hidup didalamnya. Apakah ia dapat menembus semua rashasia kehidupan dan
misteri alam raya ini? Dibidang alam nyata saja, bagaimanakah akal menafsirkan bahwa
langit dibangun tanpa tiang, dan sistem tata surya yang teratur ini? Bagaimanakah akal
menafsirkan rahasia kehidupan yang timbul dari benda mati?
Itulah yang harus dijawab oleh akal. Sangat mudah menebaknya, karena secara
intuitif akal adalah mahluk yang terbatas. Bagaimanapun kehebatan dan kesempurnaan
temuan-temuan akal, pada puncak tertentu, namun jarak atara yang ada (wujud) dan
tiada („adam) adalah jarak yang tidak dapat digambarkan oleh akal manusia. Akal akan
sulut menjawabnya karena jarak ini berhubungan dengan kehendak pencipta.
Kalaulah akal tidak mengakui kehendak pencipta ini, ia akan kehilangan dirinya,
atau akan terjatuh sepanjang masa. Abu Al-Hasan al-Nadwi mencoba menganalisis
kelemahan akal manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan bidang-bidang
gaib. Didalam analisisnya Al-Nadwi meletakkan akal pada bentuka alamiah dan ruang
materialnya: “kalau kita lakukan kritik terhadap akal secara logika dan cermat. Terlepas
dari dominasi akal atas akal, kita akan melihat kelemahan akal menjalankan tugas
alamiahnya, dan bahkan keterpaksaannya mencari bantuan dari sesuatu yang tidak
lebih berarga daripadanya. Misalnya untuk mengenal seseuatu yang belum pernah
diketahui, akal membutuhkan data-data yang telah dihasilkan sebelumnya. Premispremis ini tidak lain hanyalah obyek-obyek inderawi (mahsusat). Kalau kita melilhat pada
obyek-obyek akal (ma‟kulat) dan pengembaraannya yang panjang, nampak bahwa
sarana yang dipergunakan oleh akal untuk mengungkapkan dunia-dunia baru dan
menyelam didalam lautan majhul (tidak nampak) adalah obyek inderawi yang muncul
secara tidak sempurna. Data-data permulaan yang sangat membantu akal mencapai
konklusi, mempunyai nilai yang tinggi karena indera manusia lemah dan manusia sendiri
tidak mempunyai simpanan data”. Disitulah akal tidak akan mampu menerobos jalan
kedepan untuk sampai kepada sesuatu konklusi didalam masalah metafisik (gaib),
sebagaimana tidak seorangpun diantara kita yang lemah dapat mengarungi lautan tanpa
perahu, atau hendak terbang tanpa pesawat
Jelas sekarang persoalan yang dikemukakan diatas, disekitar kemungkinan akal
untuk memecahkan misteri langit dan bumi, misteri bermula dan berakhirnya alam,
misteri alam ghaib, dan misteri di luar medan akal yang sempit. Akal tidak mungkin akan
mampu mencapainya, sebab kalau mungkin tentu unta dapat mampu masuk kedalam
lubang jarum. Karena itu, sebaiknya akal berdiam diri mengenai masalah-masalah
tersebut. Abu Bakar ibn Al-„Arabi melepaskan akal dari obyek-obyek tidak dapat
dijangkau oleh pemikiran, karena obyek-obyek ini jauh lebih besar daripada akal sendiri.
Dia membantah filsuf-filsuf yang meletakkan akal pada kedudukan dan medan diluar
jangklauannya, disamping menyatakan sebagai klaim-klaim mereka tentang akal
sebagai suatu ketololan. “ Sulit untuk dipertanggungjawabkan, asumsi bahwa akal
berkuasa mutlak untuk atau mencapai semua obyek. Kami tidak mengklailm bahwa akal
dapat mengetahui segala sesuatu dengan sendirinya dan secara bebas. Ia terikat dan
terbatas pada persepsinya sendiri, sedangakan medan siluar lintasannya tidak mungkin
dicapai. Adapun orang-orang yang dapat mengertuk pintunya dalam menembusnya
adalah para nabi yang memang dianugrahi sarana untuk mengetahui hakikatnya dan
mengungkapkan aturan-aturannya.
5. Kedudukan akal untuk memikirkan penciptaan Allah SWT
Sudah pasti bahwa akal adalah anugrah yang palaing mulia yang Allah berikan
kepada manusia. Dengan akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan
Allah SWT. Bagaimana langit dibentangkan tanpa adanya tiang yang menyanggahnya,
bagaimana bergulirnya waktu hingga terjadinya pergantian siang dan malam, semua itu
bisa manusia ketahui dengan akal yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur‟an
Allah SWT berfirman:
ْ ‫ض َو‬
‫َلل ِِيَما َّوُِعُ ْودا َّوعَلَى ُجنُ ُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّك ُر ْونَ ِف ْى‬
ٍ َ‫ف اَّلل ْي ِل َوالنَّه َِار ََلَي‬
ِ ‫س َم َوا‬
ِ َ ‫اختِل‬
َّ ‫ق ال‬
ِ ‫ت َو ْاَل َ ْر‬
ِ ‫ت َِلُو ِلى ْاَل َ ْلبَا‬
َ َ َ‫بَُ اَلَّ ِذ ْينَ يَ ْذك ُُر ْون‬
ِ ‫اِنَّ فِ ْى َخ ْل‬
َ
َ
393- 390 :‫ال عمران‬...‫ض َربَّنا َما َخلَ ْقتَ َهذا بَاطَل‬
ِ ‫س َم َوا‬
َّ ‫ق ال‬
ِ ‫ت َو ْْل ْر‬
ِ ‫َخ ْل‬
Artinya: sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orangorang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. (QS. Ali Imran: 190-191)
Demikianlah yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur‟an. Bahwasanya dari
semua apa yang diciptakan Allah adalah ada tanda-tanda bagi orang yang berakal. Dari
itu sebagai manusia hendaknya mempergunakan akal kita untuk memikirkan apa yang
telah Allah ciptakan, bagaimana terjadinya penciptaan langit dan bumi yang begitu luas
dan besar ini, bagaimana sang pencipta bisa merancang sedemikiran rupa apa yang
ada didalamnya. Dan bagaimana pula langit yang begitu luas dan panjang yang
dibentangkan dari masyrik ila magrib yang tidak ada satupun tiang yang
menyanggannya. Inilah kebesara yang Allah perlihatkan kepada kita semua. Inilah
kebesaran kekuasaan yang dipertontonkan Allah kepada semua mahluknya, agar
supaya mau berfikir bahwa dari yang demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah
SWT.
Demikian pula dijelaskan didalam ayat diatas bahwa bagaiman silih bergantinya
siang dan malam. Bagaiman pada pagi hari matahari mulai memancarkan sinarnya yang
keemasan, dan pasa sore hari matahari itu akan tenggelam dengan sendirinya. Akankah
kita memungkiri semua kebenaran yang diperlihatkan oleh Alllah kepada setiap
mahluknya? Siapakah yang mampu memutar dunia ini sehingga terjadinya pergantian
singa dan malam?
Lagi-lagi kita disuruh mempergunakan akal kita untuk memikirkan semua itu.
Hanya Allahlah yang mampu mengatur semua itu, hanya Allahlah yang mempunyai
kekuasaan mengatur sulih bergantinya siang dan malam. Didalam akhir ayat diatas
diterangakan yang artinya.....”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptkan ini dengan
sia-sia”. Dari ayat diatas sudah jelas sekali bahwa apapun yang Allah ciptakan tidak ada
yang sia-sia. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk mempergunakan akal mereka
untuk memikirkan setiap apa yang terjadi di alam ini. Jikalau manusia telah
menggungakan akal mereka, maka semua yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia.
Karena Allah Maha Tahu atas segala sesuatu.
2.2. Iman Menurut Ahlusunnah Wal Jamaah
2.2.1 Definisi Iman
Para ulama mendefinisikan iman yaitu. Inilah makna iman menurut Ahlus
Sunnah wal Jama‟ah. ucapan dengan lisan, keyakinan hati, serta pengamalan dengan
anggota badan, bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Mayoritas Ahlus Sunnah mengartikan iman mencakup i‟tiqad (keyakinan), perkataan,
dan perbuatan. Imam Muhammad bin Isma‟il bin Muhammad bin al Fadhl at Taimi al
Asbahani mengatakan : “ Iman menurut pandangan syariat adalah pembenaran hati,
dan amalan anggota badan”. Imam Al Baghawi mengatakan : ” Para sahabat, tabi‟in,
dan ulama ahlis sunnah sesudah mereka bahwa amal termasuk keimanan… mereka
mengatakan bahwa iman adalah perkataan, amalan, dan aqidah”
Al Imam Asy Syafi‟i berkata dalam kitab Al Umm : “ Telah terjadi ijma‟
(konsesus) di kalangan para sahabat, para tabi‟in, dan pengikut sesudah mereka dari
yang kami dapatkan bahwasanya iman adalah perkataan, amal, dan niat. Tidaklah
cukup salah satu saja tanpa mencakup ketiga unsur yang lainnya” Al Imam Al
Laalikaa-i meriwayatkan dari Imam Bukhari : “ Aku telah bertemu lebih dari seribu
ulama dari berbagai negeri. Tidak aku dapatkan satupun di antara mereka berselisih
bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan,bisa bertambah dan berkurang “
Kesimpulannya menurut definisi syariat tentang iman bahwasanya iman mencakup
perkataan dan perbuatan. Perkataan mencakup dua hal : perkataan hati, yaitu i‟tiqad
(keyakinan) dan perkataan lisan. Perbuatan juga mencakup dua hal yati perbuatan
hati, yaitu niat dan ikhlas, serta perbuatan anggota badan. Sehingga tidak ada
perbedaan makna dari ucapan para ulama di atas, yang ada hanya sebatas perbedaan
istilah saja.
2.2.2.
Iman Mencakup Keyakinan, Perkataan, dan Perbuatan
Berikut dalil-dalil yang menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan hati,
perkataan, dan perbuatan. Dalil tentang keyakinan hati :
Allah Ta‟ala berfirman :
“karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” (Al Hujurat:14)
“Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka” (Al Mujaadilah:22)
Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun keimanannya belum
masuk ke dalam hatinya”[2]
Dalil tentang perkataan lisan :
Firman Allah Ta‟ala :
136}
“Katakanlah (hai orang-orang mu‟min): “Kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma‟il, Ishaq,
Ya‟qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Al Baqarah:136)
Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan,
„Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah‟, maka barangsiapa yang
mengucapkan, „Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah‟, maka
sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari (seranganku) kecuali dengan hak
Islam, dan hisabnya diserahkan kepada Allah”[3]
Dalil tentang amalan anggota badan :
Allah Ta‟ala berfirman :
… {143
“dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (shalatmu)” (Al Baqarah:143)
Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”
Dan masih banyak dalil-dalil lain dari al Quran dan hadist yang menunjukkan
bahwa iman mencakup keyakinan, perkataan, dan perbuatan.
2.2.3. Iman Bisa Bertambah dan juga Berkurang.
Di antara keyakinan yang benar tentang iman adalah bahwasanya iman dapat
bertambah dan juga dapat berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah Ta‟ala :
“maka perkataan itu menambah keimanan mereka” (Ali Imran :173)
4}
“supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah
ada)” (Al Fath:4) Nabi Shalallahu „alihi wa sallam bersabda :
“akan keluar dari neraka, orang yang mengucapkan, „Laa Ilaaha Illaahu (Tidak ada
tuhan yang berhak disembah selain Allah) „, dan di dalam hatinya terdapat kebaikan
seberat biji sawi”
Dalam hadist di atas nabi menjelaskan bahwa iman bertingkat-tingkat. Jika
sesuatu bisa mengalami penambahan, maka bisa juga berkurang, karena konsekuensi
dari penambahan adalah sesuatu yang diberi tambahan itu lebih kurang daripada yang
bartambah. Iman dapat bertambah disebabkan karena bebrapa hal :
1. Mengenal Allah Ta‟ala melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin seseorang
mengenal Allah, keimanannya semkain bertambah.
2. Memperhatikan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kauniyah maupun ayat syar‟iyah.
3. Banyak melakukan ketaaatan.
4. Meninggalkan kemakisatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
Adapun ha-hal yang dapat mengurangi keimanan di antaranya :
1. Berpaling dari mengenal Allah dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya
2. Tidak mau memperhatikan ayat-ayat kauniyah dan syar‟iyah
3. Sedikitnya amal shalih
4. Melakukan kemaksiatan kepada Allah
2.2.4. Iman Memiliki Banyak
“Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga
sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan, Laa illaaha
illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.”
Hadist ini diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan hati
dan amalan hati, perkataan lisan, dan juga perbuatan anggota badan .Selain itu, hadist
ini juga menunjukkan bahwa iman itu memiliki cabang-cabang.
Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam bersabda :
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “ Pokok keimanan memiliki cabang
yang banyak. Setiap cabang adalah bagian dari iman. Shalat adalah cabang keimanan,
begitu pula zakat, haji, puasa, dan amalan-amalan hati seperti malu, tawakal. Di antara
cabang-cabang tersebut adacabang yang jika hilang maka akan membatalkan
keimanan seperti cabang syahadat. Ada pula cabang yang jika hilang tidak
membatalkan keimanan seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara dua
cabang tersebut terdapat cabang-cabang keimanan lain yang bertingkat-tingkat. Ada
cabang yang mengikuti dan lebih dekat ke cabanag syahadat. Ada pula yang mengikuti
dan lebih dekat ke cabang menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula kekafiran,
memiliki pokok dan cabng-cabang. Sebagaimana cabang iman adalah termasuk
keimanan, maka cabang kekafiran juga termasuk kekafiran. Malu adalah cabang iman,
maka berkurangnya rasa malu merupakan cabang dari kekafiran. Jujur adalah cabang
iman, sedangkan dusta adalah cabang kekafiran. Maksiat seluruhnya adalah cabang
kekafiran, sebgaiaman semua ketaatan adalah cabang keimanan”.
2.2.5. Keimanan Betingkat-Tingkat.
Syaikh Ibnu Baaz ketika mengomentari perkataan Imam at Thahawi “ Iman
adalah satu kesatuan dan pemiliknya memiliki keimanan yang sama” mengatakan :
“Perkataan Imam at Thahawi ini perlu ditinjau lagi, bahkan ini merupakan perkataan
yang batil. Orang yang beriman tidaklah sama dalam keimanannya. Justru sebaliknya,
mereka memiliki keimanan yang bertingkat-tingkat dengan perbedaan yang mencolok.
Iman para rasul tidaklah dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian pula
iman para al khulafaur rasyidin beserta para sahabat yang lain, tidaklah sama dengan
yang lainnya. Iman orang-orang yang betul-betul beriman juga tidak sama dengan iman
orang yang fasik. Hal ini didasari pada perbedaan yang ada dalam hati, berupa
pengenalan terhadap Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan segala yang
disyariatkan bagi hamba-Nya. Inilah pendapat Ahlus sunnah wal jama‟ah, berbeda
dengan pendapat murjiah dan yang sepaham dengan mereka.Wallahul musta‟an
“Permasalahan ini sangat jelas jika kita melihat dalil-dalil yang ada dalam al
Quran dan as Sunnah serta realita yang terjadi bahwa keimanan itu bertingkat-tingkat.
Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul yang lainnya. Allah Ta‟ala
berfirman:
… {253
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain.
Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya
Allah meninggikannya beberapa derajat. …” (Al Baqarah:253). Pemberian keutamaan
sebgaian rasul dibandingkan yang lain disebabkan perbedaan tingkat keimanan
mereka. Demikian pula di antara para rasul ada yang termasuk ulul „azmi. Mereka
adalah rasul-rasul yang memiliki kedudukan yang paling agung dan derajat yang paling
tinggi. Para rasul tidak sama semua kedudukannaya di sisi Allah.
Allah Ta‟ala berfirman :
… {35
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati
dari rasul-rasul …” (Al Ahqaf:35.
Demikian pula keimanan para sahabat. Keimanan mereka berbeda-beda.
Keimanan yang paling tingggi adalah keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar
radhiyallahu „anhu. Rasulullah sahalallhu „alaihi wa sallam bersabda :“Seandainya
keimaanan seluruh umat ditimbang dengan keimanan Abu bakar, maka keimanan Abu
Bakar lebih berat”. Abu Bakar Su‟bah al Qaari berkata : “Tidaklah Abu Bakar mendhaului
kalian dengan banyaknya sholat dan shodaqoh, namun dengan iman yang menancap di
hatinya”.
2.2.6. Pelaku Dosa Besar Tetaplah Seorang Mukmin.
Termasuk pembahasan penting dalam masalah iman adalah dalam menghukumi
pelaku dosa besar. Pada dasarnya, seorang mukmin yang melakukan kemaksiatan
yang tidak sampai derajat kekafiran tetap dihukumi sebagai seorang mukmin. Inilah
madzab ahlus sunnah wal jama‟ah. Di antara dalilnya yaitu ayat qishos dalam firman
Allah :
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema‟afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema‟afkan) mengikuti dengan cara yang baik” (Al Baqarah:178).
Mereka (pelaku maksiat) tetap dianggap saudara seiman dengan kemksiatan yang
mereka lakukan. Allah juga berfirman :
9
…
{10}
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.
Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (Al
Hujurat:9-10). Dalam ayat ini Allah menyifati dua kelompok yang berperang dengan
predikat mukmin walaupun mereka saling berperang. Allah juga memberitakan bahwa
mereka adalah saudara, dan persaudaraan tidaklah terwujud kecuali antara sesama
kaum mukminin, bukan antara mukmin dan kafir.
Adapun orang-orang fasik yang berbuat kemakisatan, keimanan mereka tidak hilang
secara total Dalil-dalil syariat terkadang menetapkan keimanan pada mereka, seperti
firman Allah :
“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya (budak) yang beriman”
(An Nisaa‟:92). Budak beriman yang dimaksud termasuk juga budak yang fasik.
Terkadang juga dalil-dalil syariat menafikan keimanan pada mereka, seperti
dalam hadist:
“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”[13]
Madzab ahlussunnah dalam menyikapi pelaku maksiat adalah tidak
mengkafirkannya, namun juga tidak memutlakkan keimanan pada diri mereka. Oleh
akarena itu kita katakan sebgaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah: “ Mereka (orang-orang fasik) adalah mukmin dengan keimanan yang
kurang (tidak sempurna), atau bisa juga dikatakan mukmin dengan keimanannya dan
fasik dengan dosa besarnya. Mereka tidak mendapat predikat iman secara mutlak, tidak
pula hilang keimanan (secara total) dengan dosa besarnya” (Matan al „Aqidah al
Washitiyah).
2.2.7. Antara Iman dan Islam.
Apa perbedaan antara iman dan islam? Kata iman dan islam terkadang
disebutkan bersamaan dalam satu kalimat, namun terkadang disebutkan salah satunya
saja. Jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup makna keduanya. Dan bila
disebutkan kedua-duanya, maka iman dan islam memiliki makna yang berbeda. Jika
disebutkan iman saja, maka tercakup di dalamnya makna iman dan islam. Demikian
pula sebaliknya. Namun, jika desebutkan iman dan islam, maka masing-masing memilki
makna sendiri-sendiri. Iman mencakup malan-amalan hati, sedangkan islam mencakup
amalan-amalan lahir.
Imam Ibnu Rajab al Hambali menjelaskan : “Jika masing-masing islam dan iman
disebutkan secara sendiri-sendiri (disebutkan iman saja atau islam saja) maka tidak ada
perbedaan di antara keduanya. Namun, apabila disebutkan secra bersaamaan, di antara
keduanya ada perbedaan. Iman adalah keyakinan hati, pengakuan dan pengenalan.
Sedangkan islam adalah berserah diri kepada Allah, tunduk kepadan-Nya dengan
melakukan amlan ketaatan “.
2.2.8. Kadar Minimal Rukun Iman.
Pokok-pokok keimanan terdapat dalam rukun iman yang enam, sebagaimana
diterangkan Nabi shalallahu „alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari
akhir, dan takdir baik dan buruk.”. Masing-masing rukun iman memiliki kadar minimal sehingga
dikatakan sah keimanan seseorang terhadap rukun tersebut. Secara umum, kadar minimal
untuk keenam rukun iman tersebut adalah sebagai beikut
Iman kepada Allah:




Beriman dengan wujud Allah
Beriman dengan rububiyah Allah
Beriman dengan uluhiyah Allah
Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah
Iman kepada para malaikat Allah:
 Beriman dengan keberadaan para malaikat Allah
 Mengimani secara rinci nama-nama malaikat yang kita ketahui, dan mengimani
secara global yang tidak kita ketahui
 Mengimani secara rinci sifat-sifat mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara
global yang tidak kita ketahui
 Mengimani secara rinci tugas-tugas mereka yang kita ketahui, dan mengimani
secara global yang tidak kita ketahui
Iman kepada kitab-kitab Allah :
 Mengimanai bahwa seluruh kitab berasal dari Allah.
 Mengimani secara rinci nama-nama kitab Allah yang kita ketahui dan mengimani
secara global yang tidak kita ketahui.
 Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut.
 Beramal dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya selama belum dihapus.
Iman kepada para rasul Allah :
 Mengimani bahwa seluruh risalah para rasul berasal dari Allah.
 Mengimani secra rinci nama para nabi dan rasul Allah yang kita ketahui dan
mengimani secara global yang tidak kita ketahui.
 Membenarkan berita yang shahih yang datang dari mereka.
 Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita (yaitu Muhammad shalallhu
„alaihi wa sallam).
Iman kepada hari akhir :




Beriman dengan hari kebangkitan.
Beriman dengan hari perhitungan dan pembalasan (al hisaab wal jazaa‟)
Beriman dengan surga dan neraka
Beriman dengan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian
Iman kepada takdir Allah :




Beriman bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi
Beriman bahwasanya Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh mahfudz
Beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah
Beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan makhluk Allah.
Barangsiapa yang tidak mengimani pokok-pokok yang ada pada kadar minimal
rukun iman, maka batal rukun iman tersebut. Dan barangsiapa yang batal salah satu
rukun iman, maka batal pula seluruh keimanannya.
2.2.9. Hukum Mengatakan “ Saya Mukmin InsyaAllah
Bolehkah mengucapkan perkataan “Saya mukmin InsyaAllah?”. Perkataan ini
diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa‟ fil iman (pengecualian dalam keimanan).
Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam masalah ini. Ada yang
mengharamkannya secara mutlak, ada yang membolehkannya secara mutlak, dan ada
yang merinci hukumnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al „Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang
hukum perkataan : Saya mukmin Insya Allah”. Beliau menjelaskan : “ Perkataan
seseorang „Saya mukmin Insya Allah‟ diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa‟ fil
iman (pengecualian dalam keimanan). Masalah ini perlu perincian :
a. Jika istisna‟ muncul karena ragu dengan adanya pokok keimanan maka ini
merupakan keharaman bahkan kekafiran.. Karena iman adalah sesuatu yang pasti
(yakin) sedangkan keraguan membatalkan keimanan.
b. Jika istisna‟ muncul karena khawatir terjatuh dalam tazkiyatun nafsi (menyucikan
diri), namun tetap disertai penerapan iman secara perkataan, perbuatan, dan
keyakinan, maka hal ini sesuatu yang wajib karena adanya rasa khawatir terhadap
sesuatu yang berbahaya yang dapat merusak iman.
c. Jika maksud istisna‟ adalah bertabaruk dengan menyebut masyiah (kehendak Allah)
atau untuk menjelaskan alasan, dan iman yang ada dalam hati tetap tergantung
kehendak Allah, maka hal ini diperbolehkan. Dan penjelasan untuk penyebutan
alasan (bayaani ta‟lil) tidaklah meniadakan pembenaran iman. Telah terdapat
penjelasan hal ini seperti dalam firman Allah :
…{27
“bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah
dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya,
sedang kamu tidak merasa takut…” (Al Fath :27). Dan juga dalam do‟a Nabi ketika
ziarah kubur :
“ dan kami insya Allah akan menyusul kalian”
Dengan penjelasan di atas, maka tidak boleh memutlakkan hukum dalam
masalah al istisna‟ fil iman. Yang benar adalah merinci masalah ini.
BAB I
Penutup
A. Kesimpulan
Akal adalah anugrah yang sangat mulia yang Allah berikan kepada manusia,
dengan akal manusia dapat membedakannya dengan mahluk yang lain. Dengan akal
manusia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, dapat membedakan
yang lurus dengan yang berliku-liku. Akal sangatlah bannyak perannya dalam kehidupan
sehari-hari, terutama didunia islam. Dengan akal manusia dapat memikirkan tentang
penciptaan Allah SWT. Bagaimana langit yang ditinggikan diciptakan dengan tanpa tiang
yang menyangganya, bagaimana terjadimya siang dan malam yang terus menerus
bergulir. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang akal, menjelaskan
supaya manusia menggunakan akalnya dengan baik. Sedangkan Iman Sendiri Mencakup
Sebagai Keyakinan, Perbuatan dan Perkataan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Download