Tugas Mata Kuliah: Aswaja I Nama Dosen: Dr. H. M. Arfah Shiddiq, MA KEDUDUKAN AKAL TERHADAP IMAN SERTA IMAN MENURUT AHLUSUNNAH WAL JAMAAH Disusun Oleh: KELOMPOK II Maria Efrasi Tauran 19081014032 Dwi Kartika Putri 19081014033 Hasmawati 19081014016 Qisthi Ainan 19081014017 Sandra Amelia 19081014018 JURUSAN PG PAUD FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP) UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR 2020 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Agama Islam merupakan agama terakhir yang memiliki ajaran yang sangat lengkap. Ajaran tersebut meliputi kehidupan individu, masyarakat, tata cara bernegara yang baik sampai kepada persoalan yang menyangkut ekonomi, politik dan lain sebagainya. Maka tidak heran jika dalam sejarahnya, Islam pernah menduduki posisi yang sangat penting dalam memperkenalkan peradaban yang kosmopolitan kepada bangsa-bangsa yang lainnya. Pernah pada masanya, Islam begitu jaya, mulai dari perpolitikan sampai kepada persoalan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terkait kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, kita mengenal banyak ilmuwanilmuwan besar Islam yang tampil sambil menorehkan prestasi mengagumkan dan pengaruhnya sampai menembus lintas daerah, agama dan lain sebagainya. Tokohtokoh besar seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Thusi dan lain sebagainya turut mewarnai peradaban Islam dengan tinta emas yang terbaik. Di bidang agama sendiri, muncul tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Syafii, Imam Ghozali dan lain sebagainya, belum lagi lahirnya ulama-ulama ahli tafsir seperti al-Thabari, al-Qurthubi dan yang lainnya serta ulama-ulama hadits (rijal al-hadits) seperti Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lainnya. Semua pencapaian itu tentu tidak datang dengan sendirinya, melainkan disebabkan oleh ajaran al-Qur‟an dan al-Hadits itu sendiri yang memang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup mendetail dalam sejarah perkembangan manusia. Banyak cabang pembahasan yang dibahas didalamnya, diantaranya: apakah definisi akal menurut para ilmuan islam, bagaimana kedudukan akal dalam islam, dalam bidang-bidang apakah akal itu bisa di fungsikan, dan masih banyak lagi hal-hal yang akan dibahas didalamnya mengenai kedudukan akal. Kesemuanya itu juga sangat berkaitan erat dengan iman, menyangkut tentang keyakinan kita terhadap eksisitensi Allah SWT. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui dalil akal dan akal memberikan peran penting didalamnya? Ataukah sudah merupakan hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri diluar garis tatanan akal dan tidak saling terkait? Semua itu akan kami jelaskan dalam karya tulis kami ini. Pembicaraan tentang masalah iman merupakan salah satu perkara penting yang mendasar. Bahkan ini merupakan dasar aqidah seorang muslim. Salah dalam memahami keimanan bisa menyebabkan seseorang terjerumus dalam keharaman, kebid‟ahan, bahkan bisa berujung kekafiran. Semoga sekelumit pembahasan masalah iman ini dapat bermanfaat bagi kita semua. B. RUMUSAN MASALAH 1. Jelaskan tentang Kedudukan akal terhadap iman? 2. Jelaskan tentang Iman Menurut Ahlusunnah Wal Jamaah? C. TUJUAN 1. Untuk mengetahui tentang kedudukan akal terhadap iman 2. Untuk mengetahui tentang iman menurut ahlusunnah wal jamaah BAB II PEMBAHASAN 2.1. KEDUDUKAN AKAL TERHADAP IMAN 2.1.1 Definisi dan hakikat akal Akal adalah suatu daya yang diciptakan Allah Ta‟ala bagi manusia untuk memikir, mengkaji dan memahami sesuatu mengikut syarat-syaratnya yang tertentu. Ini adalah makna umumnya. Dari segi kewujudannya, ia adalah satu jisim halus yang menjadi rahasia Allah Ta‟ala. Dalam Al-Qur‟an Allah Ta‟ala telah menjelaskan jisim halus ini dengan firmanNya yang bermaksud “Apabila mereka bertanya kepada engkau (wahai Muhammad) tentang roh, katakanlah: Roh itu urusan Tuhan. Dan kamu hanya bisa diberitahu sedikit saja” (QS. Al-Isra‟ : 85). Maka jisim halus itu berfungsi kepada empat fungsi yaitu sebagai hati, roh, nafsu dan akal. Maka akal itu adalah sebangsa dengan hati, roh dan nafsu cuma berlainan fungsi. Ada dari kalangan pendebat kristen membuat dakwah bahwa muslim tidak mengetahui tentang roh, karena ayat diatas mengatakan roh itu rahasia Tuhan. Memang benar bahwa roh itu rahasia Allah SWT. Dapatkah sesiapa menerangkan hakikat roh? Tidak sama sekali. Namun jangan lupa dengan ujung ayat “...kamu hanya diberitahu sedikit saja”. Maka dengan ini muslim masih mendapat ilmu untuk membicarakan tentang roh. Ilmu ini dikaruniakan Allah SWT kepada muslim pilihan dari kalangan ahli tasawuf. Mereka inilah yang banyak membicarakan tentang roh, nafsu, hati dan akal. Ia dijelaskan secara ibarat karena hakikat jisim halus itu hanyalah yang diketahui oleh Allah SWT saja. Tentang hakikat roh, hati dan nafsu ini akan dijelaskan dalam bab tasawuf kelak. Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibandingan dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusai dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. 2.1.2. FUNGSI DAN KEDUDUKAN AKAL Akal memiliki fungsi yang sangat besar sekali didalam eksistensi manusia. Karena akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang kongkrit dan juga abstrak. Karena kekuatan akal manusia bisa bertahan hidup didalam dunia ini. Oleh sebab itu kita biasa klasifikasikan kedudukan akal dalam islam sebagai berikut: 1. Kedudukan Akal Dalam Al-Qur‟an Kedudukan Akal di Dalam Hadits Nabi Jika akal begitu diagungkan di dalam alQur‟an, bagaimana dengan Hadits, apakah akal memiliki kedudukan yang juga istimewa? Jika memang demikian, akal yang bagaimanakah yang menduduki posisi istimewa dalam perspektif hadis?. Sebagaimana diketahui bersama bahwa hadis merupakan salah satu warisan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Sebagai pengulas al-Qur‟an, posisi hadis sangatlah penting. Allah berfirman di dalam Surat al-Nisa ayat 26: “Allah hendak menerangkan (hukum syari‟at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Nisa [4] 26). Menurut Imam Qurtubi, ayat ini memberikan petunjuk mengenai tata cara hidup orang saleh sebelum Nabi Muhammad. Ada yang berpendapat bahwa memberikan petunjuk di situ berarti menerangkan tata cara orang-orang sebelum Nabi Muhammad. Bahkan menurut Ibn Katsir, kata “sunan” di situ berarti tata cara yang baik dan terpuji dari orang-orang sebelum Nabi yang telah mengikuti syariat Allah. 2. Kedudukan akal sebagai pengijtihad Kedudukan akal dalam dunia islam adalah sebagai pengijtihad. Maksudnya para mujtahid menggunakan akal fikiran mereka untuk mencari satu keputusan dalam syariat. Sesuai dengan difinisinya juga ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (Al-Faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari‟at. Jadi bagi para mujtahid akal sangatlah penting peranannya, dalam memikirkan sesuatu masalah membutuhkan akal yang cemerlang supaya mendapatkan hasil yang maksimal dalam menentukan hukum. Ijtihad didalam islam telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang menggambarkan kecemerlangan akal pemikiran, namun fiqh pun masih membutuhkan pemikiran lebih lanjut tentang hukum-hukum yang ada didalamnya. Dengan menggunakan akal yang cemerlang para mujitahid akal memutuskan segala perkara dengan maksima dan tanpa mengada-ada. Karena itu seorang mujitahid jika hendap mengijtihadkan suatu perkara maka akalnay harus tenang dan tidak semerautan. Karena ketenangan akal mempengaruhi hasil dari ijtihad itu sendiri. Seorang mujitahid bahkan tidak akan mampu mengijtihadkan suatu perkara jika akal fikirannya belum tenang. Jika akal fikirannnya sudah tenanga maka para mujitahid akan mampu memecahkan segala perkara dengan mudah dan maksimal. Dari itu sangat luarbiasa sekali fungsi dan peranan akal dalam islam. Denga menggunakan akal fikiran para mujitahid bisa memutuskan suatu perkara dengan baik dan maksimal. Jadi akal dapat difungsikan sebagai pengijtihad atau kedudukannya sebagai pengijtihad. 3. Kedudukan akal untuk mengenal diri manusia sendiri. Otak dan akal dapat menjadi jalan masuk untuk mengenal diri manusia. Buka saja karena akal merupakan komponen tubuh tertinggi dari manusia, karena juga karena akal mencitrakan dan memberikan ciri khas dari manusia. Dalam hadits dinyatakan bahwa: ُف َربَّه َ ف نَ ْف َ سهُ فَقَ ْد ع ََر َ َم ْن ع ََر Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sudah mengenal Tuhannya. Dari hadits ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa jika jika seseorang sudah mengenal dirinya maka dia sudah mengenal tuhannya. Mengenal diri sendiri bagi manusia bukan hanya mengenal dari fisiknya saja tapi harus mengenal dari mana ia datang dan kemana ia kembali. Semua itu mutlak menggunakan akal fikiran. Seseorang menggunakan akalnya untuk memikirkan dirinya darimana mereka datang. Dengan akal mereka akan menerawang jauh sejauh aklanya bisa berfikir darimana dia datang. Setelah mnggunakan akal fikirannya dengan maksimal maka seseorang akan dapat mengenal jati dirinya bahwa kita semua itu datang karena ada yang menciptakan. Seseorang akal mengambil contoh dari benda-benda disekelilingnya yang dapat mereka buat, benda tersebut ada karena ada yang membaut atau ada yang menciptakan. Dari itu seseorang akan berfikir dirinya ada karena ada yang menciptakannya. Tapi siapa yang bisa menciptakan dirinya yang begitu sempurna bagi pengelihatan mereka? Dari penikiran itu seseorang pasti akan berfikir kepada tuhan yang bisa menciptakan segala sesuatu denga kekuasaannya. Maka haidits diatas sangatalah benar sekali jika seseorang sudah mengenal dirinya maka sungguh mereka suda mengenal tuhannya. Namun jika seseorng hanya bisa mengenal dirinya sendiri, maka mereka belum bisa mengunkan akal fikiran mereka untuk memikirkan adanya Dzat yang telah menciptakan dia. Atau karena mereka mengelak dari kebenaran itu, mereka tidak mau mengakui tentang adanya sang pencipta yang maha kuasa yang mampu menciptkan segala sesuatu denan hanya mengucapkan “Kunfaakun” maka jadilah. Akal manusia sangatlah terbatas sekali, karena itu ada batasan-batasan kemampuan untuk berfikir yang dijelaskan oleh Rsulallah SAW. Karena tu Rasulallah SAW. telah memberikan suatu batasan didalam hadits yang berbunyi: ََ ف ذَك ِ ق ِ هلل ِب ِخ ََل ُ هللا َو ََل تَفَك َُّر ْوا ِفى هللا َو ُك ُّل َما َو َر َد ِفى بَا ِلكَ فَا ِ تَفَك َُّر ْوا ِف ْي َخ ْل Artinya: Berfikirlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah berfikir tentang Dzat Allah. Setiap yang terlintas dibenakmu tentang Allah, sungguh dia berbeda dari hal itu. Dari hadits diatas jelas sekali bahwa akal manusia itu sangatlah terbatas. Akal manusia yang diberikan oleh Allah hanya mampu memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT. Akan tetapi akal manusia tidak akan pernah mampu memikirkan tentang Dzat Allah. Karena keterbatasan akal yang digariskan oleh Allah yang maha kuasa lagi maha bijaksana. Memikirkan tentang Dzat Allah adalah kegilaan yang tidak sesuai dengan metode yang sehat, sebab bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (mkhluk) memikirkan yang tidak terbatas (kholik), yang fana memikirkan yang maha kekal, yang lemah memikirkan yang maha kuat, yang bakal mati memikirkan yang maha hidup. Sebenarnya akal pun tidak akan dapat menjangkau seluruh makhluk yang memenuhui alam kosmos ini, baik matahari, bintang-bintang, bulan, pelanet dan semua peristiwa yang terjadi didalamnya. Lalau bagaimana mampu mengenal atau memikirkan Dzat pencipta makhluk-makhluk itu. Sesumggunya dia: 301 : ْف الْ َخبِي ُْر (االنعام ُ ََلتُد ِْر ُكهُ ْاَل َ ْبص َُر َو ُه َو يُد ِْركُ ْاَل َ ْبص َُر َو ُه َو اللَّ ِطي Artinya: “Tidak dapatt dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. AlAn‟am : 103). Islam meletakkan tangan manusia diatas papan alam raya agar dengan akalnya menggapai iktibar dan pelajaran dari penomena-penomena kosmik ini. Namun apabila akal melampaui batas-batasnya akan terjerat didalam pemikiran yang dipaksakan, rancu dan terjatuh. Islam membina akal berdasarkan makna tersebut. Didalam banyak tempat islam menjelaskan berbagai persoalan berdasarkan sebab akibat, premis dan konklusi. Metode ini tidak mudah ditempuh oleh akal tanpa menyelaminya lebih dahulu. Pembinaan ini dimaksudkan agar akal mengetahui bahwa kekuasaan Allah SWT tidak terbatas, namun dapat dipahami dengan menguraikan antara premis dan konklusi, dan merajut hubungan antara sebab dan akibat. 4. Kedudukan akal untuk meyakini alam gaib atau mahluk gaib. Akal diberikan kepada manusia untuk kehidupan ini. Ia menciptakan gerak dan kegiatan hidup didalamnya. Apakah ia dapat menembus semua rashasia kehidupan dan misteri alam raya ini? Dibidang alam nyata saja, bagaimanakah akal menafsirkan bahwa langit dibangun tanpa tiang, dan sistem tata surya yang teratur ini? Bagaimanakah akal menafsirkan rahasia kehidupan yang timbul dari benda mati? Itulah yang harus dijawab oleh akal. Sangat mudah menebaknya, karena secara intuitif akal adalah mahluk yang terbatas. Bagaimanapun kehebatan dan kesempurnaan temuan-temuan akal, pada puncak tertentu, namun jarak atara yang ada (wujud) dan tiada („adam) adalah jarak yang tidak dapat digambarkan oleh akal manusia. Akal akan sulut menjawabnya karena jarak ini berhubungan dengan kehendak pencipta. Kalaulah akal tidak mengakui kehendak pencipta ini, ia akan kehilangan dirinya, atau akan terjatuh sepanjang masa. Abu Al-Hasan al-Nadwi mencoba menganalisis kelemahan akal manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan bidang-bidang gaib. Didalam analisisnya Al-Nadwi meletakkan akal pada bentuka alamiah dan ruang materialnya: “kalau kita lakukan kritik terhadap akal secara logika dan cermat. Terlepas dari dominasi akal atas akal, kita akan melihat kelemahan akal menjalankan tugas alamiahnya, dan bahkan keterpaksaannya mencari bantuan dari sesuatu yang tidak lebih berarga daripadanya. Misalnya untuk mengenal seseuatu yang belum pernah diketahui, akal membutuhkan data-data yang telah dihasilkan sebelumnya. Premispremis ini tidak lain hanyalah obyek-obyek inderawi (mahsusat). Kalau kita melilhat pada obyek-obyek akal (ma‟kulat) dan pengembaraannya yang panjang, nampak bahwa sarana yang dipergunakan oleh akal untuk mengungkapkan dunia-dunia baru dan menyelam didalam lautan majhul (tidak nampak) adalah obyek inderawi yang muncul secara tidak sempurna. Data-data permulaan yang sangat membantu akal mencapai konklusi, mempunyai nilai yang tinggi karena indera manusia lemah dan manusia sendiri tidak mempunyai simpanan data”. Disitulah akal tidak akan mampu menerobos jalan kedepan untuk sampai kepada sesuatu konklusi didalam masalah metafisik (gaib), sebagaimana tidak seorangpun diantara kita yang lemah dapat mengarungi lautan tanpa perahu, atau hendak terbang tanpa pesawat Jelas sekarang persoalan yang dikemukakan diatas, disekitar kemungkinan akal untuk memecahkan misteri langit dan bumi, misteri bermula dan berakhirnya alam, misteri alam ghaib, dan misteri di luar medan akal yang sempit. Akal tidak mungkin akan mampu mencapainya, sebab kalau mungkin tentu unta dapat mampu masuk kedalam lubang jarum. Karena itu, sebaiknya akal berdiam diri mengenai masalah-masalah tersebut. Abu Bakar ibn Al-„Arabi melepaskan akal dari obyek-obyek tidak dapat dijangkau oleh pemikiran, karena obyek-obyek ini jauh lebih besar daripada akal sendiri. Dia membantah filsuf-filsuf yang meletakkan akal pada kedudukan dan medan diluar jangklauannya, disamping menyatakan sebagai klaim-klaim mereka tentang akal sebagai suatu ketololan. “ Sulit untuk dipertanggungjawabkan, asumsi bahwa akal berkuasa mutlak untuk atau mencapai semua obyek. Kami tidak mengklailm bahwa akal dapat mengetahui segala sesuatu dengan sendirinya dan secara bebas. Ia terikat dan terbatas pada persepsinya sendiri, sedangakan medan siluar lintasannya tidak mungkin dicapai. Adapun orang-orang yang dapat mengertuk pintunya dalam menembusnya adalah para nabi yang memang dianugrahi sarana untuk mengetahui hakikatnya dan mengungkapkan aturan-aturannya. 5. Kedudukan akal untuk memikirkan penciptaan Allah SWT Sudah pasti bahwa akal adalah anugrah yang palaing mulia yang Allah berikan kepada manusia. Dengan akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT. Bagaimana langit dibentangkan tanpa adanya tiang yang menyanggahnya, bagaimana bergulirnya waktu hingga terjadinya pergantian siang dan malam, semua itu bisa manusia ketahui dengan akal yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur‟an Allah SWT berfirman: ْ ض َو َلل ِِيَما َّوُِعُ ْودا َّوعَلَى ُجنُ ُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّك ُر ْونَ ِف ْى ٍ َف اَّلل ْي ِل َوالنَّه َِار ََلَي ِ س َم َوا ِ َ اختِل َّ ق ال ِ ت َو ْاَل َ ْر ِ ت َِلُو ِلى ْاَل َ ْلبَا َ َ َبَُ اَلَّ ِذ ْينَ يَ ْذك ُُر ْون ِ اِنَّ فِ ْى َخ ْل َ َ 393- 390 :ال عمران...ض َربَّنا َما َخلَ ْقتَ َهذا بَاطَل ِ س َم َوا َّ ق ال ِ ت َو ْْل ْر ِ َخ ْل Artinya: sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orangorang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. (QS. Ali Imran: 190-191) Demikianlah yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur‟an. Bahwasanya dari semua apa yang diciptakan Allah adalah ada tanda-tanda bagi orang yang berakal. Dari itu sebagai manusia hendaknya mempergunakan akal kita untuk memikirkan apa yang telah Allah ciptakan, bagaimana terjadinya penciptaan langit dan bumi yang begitu luas dan besar ini, bagaimana sang pencipta bisa merancang sedemikiran rupa apa yang ada didalamnya. Dan bagaimana pula langit yang begitu luas dan panjang yang dibentangkan dari masyrik ila magrib yang tidak ada satupun tiang yang menyanggannya. Inilah kebesara yang Allah perlihatkan kepada kita semua. Inilah kebesaran kekuasaan yang dipertontonkan Allah kepada semua mahluknya, agar supaya mau berfikir bahwa dari yang demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Demikian pula dijelaskan didalam ayat diatas bahwa bagaiman silih bergantinya siang dan malam. Bagaiman pada pagi hari matahari mulai memancarkan sinarnya yang keemasan, dan pasa sore hari matahari itu akan tenggelam dengan sendirinya. Akankah kita memungkiri semua kebenaran yang diperlihatkan oleh Alllah kepada setiap mahluknya? Siapakah yang mampu memutar dunia ini sehingga terjadinya pergantian singa dan malam? Lagi-lagi kita disuruh mempergunakan akal kita untuk memikirkan semua itu. Hanya Allahlah yang mampu mengatur semua itu, hanya Allahlah yang mempunyai kekuasaan mengatur sulih bergantinya siang dan malam. Didalam akhir ayat diatas diterangakan yang artinya.....”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptkan ini dengan sia-sia”. Dari ayat diatas sudah jelas sekali bahwa apapun yang Allah ciptakan tidak ada yang sia-sia. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk mempergunakan akal mereka untuk memikirkan setiap apa yang terjadi di alam ini. Jikalau manusia telah menggungakan akal mereka, maka semua yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia. Karena Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. 2.2. Iman Menurut Ahlusunnah Wal Jamaah 2.2.1 Definisi Iman Para ulama mendefinisikan iman yaitu. Inilah makna iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama‟ah. ucapan dengan lisan, keyakinan hati, serta pengamalan dengan anggota badan, bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Mayoritas Ahlus Sunnah mengartikan iman mencakup i‟tiqad (keyakinan), perkataan, dan perbuatan. Imam Muhammad bin Isma‟il bin Muhammad bin al Fadhl at Taimi al Asbahani mengatakan : “ Iman menurut pandangan syariat adalah pembenaran hati, dan amalan anggota badan”. Imam Al Baghawi mengatakan : ” Para sahabat, tabi‟in, dan ulama ahlis sunnah sesudah mereka bahwa amal termasuk keimanan… mereka mengatakan bahwa iman adalah perkataan, amalan, dan aqidah” Al Imam Asy Syafi‟i berkata dalam kitab Al Umm : “ Telah terjadi ijma‟ (konsesus) di kalangan para sahabat, para tabi‟in, dan pengikut sesudah mereka dari yang kami dapatkan bahwasanya iman adalah perkataan, amal, dan niat. Tidaklah cukup salah satu saja tanpa mencakup ketiga unsur yang lainnya” Al Imam Al Laalikaa-i meriwayatkan dari Imam Bukhari : “ Aku telah bertemu lebih dari seribu ulama dari berbagai negeri. Tidak aku dapatkan satupun di antara mereka berselisih bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan,bisa bertambah dan berkurang “ Kesimpulannya menurut definisi syariat tentang iman bahwasanya iman mencakup perkataan dan perbuatan. Perkataan mencakup dua hal : perkataan hati, yaitu i‟tiqad (keyakinan) dan perkataan lisan. Perbuatan juga mencakup dua hal yati perbuatan hati, yaitu niat dan ikhlas, serta perbuatan anggota badan. Sehingga tidak ada perbedaan makna dari ucapan para ulama di atas, yang ada hanya sebatas perbedaan istilah saja. 2.2.2. Iman Mencakup Keyakinan, Perkataan, dan Perbuatan Berikut dalil-dalil yang menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan hati, perkataan, dan perbuatan. Dalil tentang keyakinan hati : Allah Ta‟ala berfirman : “karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” (Al Hujurat:14) “Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka” (Al Mujaadilah:22) Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya”[2] Dalil tentang perkataan lisan : Firman Allah Ta‟ala : 136} “Katakanlah (hai orang-orang mu‟min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma‟il, Ishaq, Ya‟qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Al Baqarah:136) Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan, „Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah‟, maka barangsiapa yang mengucapkan, „Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah‟, maka sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari (seranganku) kecuali dengan hak Islam, dan hisabnya diserahkan kepada Allah”[3] Dalil tentang amalan anggota badan : Allah Ta‟ala berfirman : … {143 “dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (shalatmu)” (Al Baqarah:143) Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina” Dan masih banyak dalil-dalil lain dari al Quran dan hadist yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan, perkataan, dan perbuatan. 2.2.3. Iman Bisa Bertambah dan juga Berkurang. Di antara keyakinan yang benar tentang iman adalah bahwasanya iman dapat bertambah dan juga dapat berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah Ta‟ala : “maka perkataan itu menambah keimanan mereka” (Ali Imran :173) 4} “supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)” (Al Fath:4) Nabi Shalallahu „alihi wa sallam bersabda : “akan keluar dari neraka, orang yang mengucapkan, „Laa Ilaaha Illaahu (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) „, dan di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji sawi” Dalam hadist di atas nabi menjelaskan bahwa iman bertingkat-tingkat. Jika sesuatu bisa mengalami penambahan, maka bisa juga berkurang, karena konsekuensi dari penambahan adalah sesuatu yang diberi tambahan itu lebih kurang daripada yang bartambah. Iman dapat bertambah disebabkan karena bebrapa hal : 1. Mengenal Allah Ta‟ala melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin seseorang mengenal Allah, keimanannya semkain bertambah. 2. Memperhatikan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kauniyah maupun ayat syar‟iyah. 3. Banyak melakukan ketaaatan. 4. Meninggalkan kemakisatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Adapun ha-hal yang dapat mengurangi keimanan di antaranya : 1. Berpaling dari mengenal Allah dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya 2. Tidak mau memperhatikan ayat-ayat kauniyah dan syar‟iyah 3. Sedikitnya amal shalih 4. Melakukan kemaksiatan kepada Allah 2.2.4. Iman Memiliki Banyak “Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan, Laa illaaha illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.” Hadist ini diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan hati dan amalan hati, perkataan lisan, dan juga perbuatan anggota badan .Selain itu, hadist ini juga menunjukkan bahwa iman itu memiliki cabang-cabang. Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam bersabda : Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “ Pokok keimanan memiliki cabang yang banyak. Setiap cabang adalah bagian dari iman. Shalat adalah cabang keimanan, begitu pula zakat, haji, puasa, dan amalan-amalan hati seperti malu, tawakal. Di antara cabang-cabang tersebut adacabang yang jika hilang maka akan membatalkan keimanan seperti cabang syahadat. Ada pula cabang yang jika hilang tidak membatalkan keimanan seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara dua cabang tersebut terdapat cabang-cabang keimanan lain yang bertingkat-tingkat. Ada cabang yang mengikuti dan lebih dekat ke cabanag syahadat. Ada pula yang mengikuti dan lebih dekat ke cabang menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula kekafiran, memiliki pokok dan cabng-cabang. Sebagaimana cabang iman adalah termasuk keimanan, maka cabang kekafiran juga termasuk kekafiran. Malu adalah cabang iman, maka berkurangnya rasa malu merupakan cabang dari kekafiran. Jujur adalah cabang iman, sedangkan dusta adalah cabang kekafiran. Maksiat seluruhnya adalah cabang kekafiran, sebgaiaman semua ketaatan adalah cabang keimanan”. 2.2.5. Keimanan Betingkat-Tingkat. Syaikh Ibnu Baaz ketika mengomentari perkataan Imam at Thahawi “ Iman adalah satu kesatuan dan pemiliknya memiliki keimanan yang sama” mengatakan : “Perkataan Imam at Thahawi ini perlu ditinjau lagi, bahkan ini merupakan perkataan yang batil. Orang yang beriman tidaklah sama dalam keimanannya. Justru sebaliknya, mereka memiliki keimanan yang bertingkat-tingkat dengan perbedaan yang mencolok. Iman para rasul tidaklah dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian pula iman para al khulafaur rasyidin beserta para sahabat yang lain, tidaklah sama dengan yang lainnya. Iman orang-orang yang betul-betul beriman juga tidak sama dengan iman orang yang fasik. Hal ini didasari pada perbedaan yang ada dalam hati, berupa pengenalan terhadap Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan segala yang disyariatkan bagi hamba-Nya. Inilah pendapat Ahlus sunnah wal jama‟ah, berbeda dengan pendapat murjiah dan yang sepaham dengan mereka.Wallahul musta‟an “Permasalahan ini sangat jelas jika kita melihat dalil-dalil yang ada dalam al Quran dan as Sunnah serta realita yang terjadi bahwa keimanan itu bertingkat-tingkat. Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul yang lainnya. Allah Ta‟ala berfirman: … {253 “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. …” (Al Baqarah:253). Pemberian keutamaan sebgaian rasul dibandingkan yang lain disebabkan perbedaan tingkat keimanan mereka. Demikian pula di antara para rasul ada yang termasuk ulul „azmi. Mereka adalah rasul-rasul yang memiliki kedudukan yang paling agung dan derajat yang paling tinggi. Para rasul tidak sama semua kedudukannaya di sisi Allah. Allah Ta‟ala berfirman : … {35 “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul …” (Al Ahqaf:35. Demikian pula keimanan para sahabat. Keimanan mereka berbeda-beda. Keimanan yang paling tingggi adalah keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar radhiyallahu „anhu. Rasulullah sahalallhu „alaihi wa sallam bersabda :“Seandainya keimaanan seluruh umat ditimbang dengan keimanan Abu bakar, maka keimanan Abu Bakar lebih berat”. Abu Bakar Su‟bah al Qaari berkata : “Tidaklah Abu Bakar mendhaului kalian dengan banyaknya sholat dan shodaqoh, namun dengan iman yang menancap di hatinya”. 2.2.6. Pelaku Dosa Besar Tetaplah Seorang Mukmin. Termasuk pembahasan penting dalam masalah iman adalah dalam menghukumi pelaku dosa besar. Pada dasarnya, seorang mukmin yang melakukan kemaksiatan yang tidak sampai derajat kekafiran tetap dihukumi sebagai seorang mukmin. Inilah madzab ahlus sunnah wal jama‟ah. Di antara dalilnya yaitu ayat qishos dalam firman Allah : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema‟afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema‟afkan) mengikuti dengan cara yang baik” (Al Baqarah:178). Mereka (pelaku maksiat) tetap dianggap saudara seiman dengan kemksiatan yang mereka lakukan. Allah juga berfirman : 9 … {10} “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (Al Hujurat:9-10). Dalam ayat ini Allah menyifati dua kelompok yang berperang dengan predikat mukmin walaupun mereka saling berperang. Allah juga memberitakan bahwa mereka adalah saudara, dan persaudaraan tidaklah terwujud kecuali antara sesama kaum mukminin, bukan antara mukmin dan kafir. Adapun orang-orang fasik yang berbuat kemakisatan, keimanan mereka tidak hilang secara total Dalil-dalil syariat terkadang menetapkan keimanan pada mereka, seperti firman Allah : “(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya (budak) yang beriman” (An Nisaa‟:92). Budak beriman yang dimaksud termasuk juga budak yang fasik. Terkadang juga dalil-dalil syariat menafikan keimanan pada mereka, seperti dalam hadist: “Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”[13] Madzab ahlussunnah dalam menyikapi pelaku maksiat adalah tidak mengkafirkannya, namun juga tidak memutlakkan keimanan pada diri mereka. Oleh akarena itu kita katakan sebgaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “ Mereka (orang-orang fasik) adalah mukmin dengan keimanan yang kurang (tidak sempurna), atau bisa juga dikatakan mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya. Mereka tidak mendapat predikat iman secara mutlak, tidak pula hilang keimanan (secara total) dengan dosa besarnya” (Matan al „Aqidah al Washitiyah). 2.2.7. Antara Iman dan Islam. Apa perbedaan antara iman dan islam? Kata iman dan islam terkadang disebutkan bersamaan dalam satu kalimat, namun terkadang disebutkan salah satunya saja. Jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup makna keduanya. Dan bila disebutkan kedua-duanya, maka iman dan islam memiliki makna yang berbeda. Jika disebutkan iman saja, maka tercakup di dalamnya makna iman dan islam. Demikian pula sebaliknya. Namun, jika desebutkan iman dan islam, maka masing-masing memilki makna sendiri-sendiri. Iman mencakup malan-amalan hati, sedangkan islam mencakup amalan-amalan lahir. Imam Ibnu Rajab al Hambali menjelaskan : “Jika masing-masing islam dan iman disebutkan secara sendiri-sendiri (disebutkan iman saja atau islam saja) maka tidak ada perbedaan di antara keduanya. Namun, apabila disebutkan secra bersaamaan, di antara keduanya ada perbedaan. Iman adalah keyakinan hati, pengakuan dan pengenalan. Sedangkan islam adalah berserah diri kepada Allah, tunduk kepadan-Nya dengan melakukan amlan ketaatan “. 2.2.8. Kadar Minimal Rukun Iman. Pokok-pokok keimanan terdapat dalam rukun iman yang enam, sebagaimana diterangkan Nabi shalallahu „alaihi wa sallam dalam hadist Jibril : “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.”. Masing-masing rukun iman memiliki kadar minimal sehingga dikatakan sah keimanan seseorang terhadap rukun tersebut. Secara umum, kadar minimal untuk keenam rukun iman tersebut adalah sebagai beikut Iman kepada Allah: Beriman dengan wujud Allah Beriman dengan rububiyah Allah Beriman dengan uluhiyah Allah Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah Iman kepada para malaikat Allah: Beriman dengan keberadaan para malaikat Allah Mengimani secara rinci nama-nama malaikat yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui Mengimani secara rinci sifat-sifat mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui Mengimani secara rinci tugas-tugas mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui Iman kepada kitab-kitab Allah : Mengimanai bahwa seluruh kitab berasal dari Allah. Mengimani secara rinci nama-nama kitab Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui. Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Beramal dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya selama belum dihapus. Iman kepada para rasul Allah : Mengimani bahwa seluruh risalah para rasul berasal dari Allah. Mengimani secra rinci nama para nabi dan rasul Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui. Membenarkan berita yang shahih yang datang dari mereka. Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita (yaitu Muhammad shalallhu „alaihi wa sallam). Iman kepada hari akhir : Beriman dengan hari kebangkitan. Beriman dengan hari perhitungan dan pembalasan (al hisaab wal jazaa‟) Beriman dengan surga dan neraka Beriman dengan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian Iman kepada takdir Allah : Beriman bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi Beriman bahwasanya Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh mahfudz Beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah Beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan makhluk Allah. Barangsiapa yang tidak mengimani pokok-pokok yang ada pada kadar minimal rukun iman, maka batal rukun iman tersebut. Dan barangsiapa yang batal salah satu rukun iman, maka batal pula seluruh keimanannya. 2.2.9. Hukum Mengatakan “ Saya Mukmin InsyaAllah Bolehkah mengucapkan perkataan “Saya mukmin InsyaAllah?”. Perkataan ini diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa‟ fil iman (pengecualian dalam keimanan). Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam masalah ini. Ada yang mengharamkannya secara mutlak, ada yang membolehkannya secara mutlak, dan ada yang merinci hukumnya. Syaikh Muhammad bin Shalih al „Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum perkataan : Saya mukmin Insya Allah”. Beliau menjelaskan : “ Perkataan seseorang „Saya mukmin Insya Allah‟ diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa‟ fil iman (pengecualian dalam keimanan). Masalah ini perlu perincian : a. Jika istisna‟ muncul karena ragu dengan adanya pokok keimanan maka ini merupakan keharaman bahkan kekafiran.. Karena iman adalah sesuatu yang pasti (yakin) sedangkan keraguan membatalkan keimanan. b. Jika istisna‟ muncul karena khawatir terjatuh dalam tazkiyatun nafsi (menyucikan diri), namun tetap disertai penerapan iman secara perkataan, perbuatan, dan keyakinan, maka hal ini sesuatu yang wajib karena adanya rasa khawatir terhadap sesuatu yang berbahaya yang dapat merusak iman. c. Jika maksud istisna‟ adalah bertabaruk dengan menyebut masyiah (kehendak Allah) atau untuk menjelaskan alasan, dan iman yang ada dalam hati tetap tergantung kehendak Allah, maka hal ini diperbolehkan. Dan penjelasan untuk penyebutan alasan (bayaani ta‟lil) tidaklah meniadakan pembenaran iman. Telah terdapat penjelasan hal ini seperti dalam firman Allah : …{27 “bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut…” (Al Fath :27). Dan juga dalam do‟a Nabi ketika ziarah kubur : “ dan kami insya Allah akan menyusul kalian” Dengan penjelasan di atas, maka tidak boleh memutlakkan hukum dalam masalah al istisna‟ fil iman. Yang benar adalah merinci masalah ini. BAB I Penutup A. Kesimpulan Akal adalah anugrah yang sangat mulia yang Allah berikan kepada manusia, dengan akal manusia dapat membedakannya dengan mahluk yang lain. Dengan akal manusia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, dapat membedakan yang lurus dengan yang berliku-liku. Akal sangatlah bannyak perannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama didunia islam. Dengan akal manusia dapat memikirkan tentang penciptaan Allah SWT. Bagaimana langit yang ditinggikan diciptakan dengan tanpa tiang yang menyangganya, bagaimana terjadimya siang dan malam yang terus menerus bergulir. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang akal, menjelaskan supaya manusia menggunakan akalnya dengan baik. Sedangkan Iman Sendiri Mencakup Sebagai Keyakinan, Perbuatan dan Perkataan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.