BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kusta bukan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit menular ini pada umumnya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas (CDC, 2003). Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung dan mulut, kontak yang lama dan sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah satu-satunya yang diketahui merupakan sumber Mycobacterium leprae. Kusta menular dari penderita yang tidak diobati ke orang lainnya melalui pernapasan dan kontak kulit (Ditjend PPM & PL, 2002). Morbus Hansen atau lepra atau kusta merupakan penyakit tertua sekaligus penyakit menular yang sangat menakutkan. Penyakit ini ditemukan oleh GH Armauer Hansen (Norwegia) pada tahun 1873, dengan menemukan Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab. Sampai datangnya AIDS, leprae adalah penyakit yang paling menakutkan daripada penyakit menular lainnya. Penyakit ini menyesatkan hidup berjuta-juta orang, terutama di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Penyakit ini di Indonesia lebih dikenal dengan penyakit Kusta. Menurut Sub Direktorat Kusta dan Frambusia Direktorat P2M Ditjen PPM& PL (2010), penyakit kusta merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di Indonesia, dimana Indonesia merupakan negera ke tiga terbesar penyumbang kasus kusta. Adapun situasi kusta di DKI Jakarta yaitu,saat ini jumlah penduduk DKI Jakarta yaitu: 9.604.329 jiwa, Prevalensi penyakit kusta: 0,98/10.000 jiwa. 2. Tujuan Penulisan A. Tujuan Umum Mahasiswa dapat memahami peran perawat di Puskesmas sebagai upaya Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Kusta B. Tujuan Khusus Mampu memahami pengertian penyakit kusta “P2M KUSTA” | 1 Mampu memahami penyebab penyakit kusta Mampu memahami patogenesis penyakit kusta Mampu memahami manifestasi klinis penyakit kusta Mampu memahami klasifikasi penyakit kusta Mampu memahami cara menegakkan diagnosa penyakit kusta Mampu memahami pencegahan penyakit kusta Mampu memahami penanggulangan penyakit kusta Mampu memahami pengobatan penyakit kusta “P2M KUSTA” | 2 BAB II PEMBAHASAN I. Penyakit Kusta A. Pengertian Penyakit Kusta Istilah kusta berasal dari Bahasa sansekerta, yaitu ‘kushtha” berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Marwali Harahap, 2000). B. Etiologi Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. C. Patogenesis Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan (SelSchwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) pasien, bila sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. Mycobacterium leprae berprediksi di daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat “P2M KUSTA” | 3 infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular dari pada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik (Arif Mansjoer, 2000). D. Manifestasi Klinis Penyakit Kusta Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek) adalah sebagai berikut: 1. Tanda-tanda pada kulit a. Bercak/kelainan kulit yang merah/putih dibagian tubuh b. Kulit mengkilat c. Bercak yang tidak gatal d. Adanya bagian-bagian yang tidak berkeringat atau tidak berambut e. Lepuh tidak nyeri 2. Tanda-tanda pada syaraf a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan b. Gangguan gerak anggota badan c. Adanya cacat (deformitas) d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A. Kosasih (2008), antara lain adalah : a. N. fasialis Lagoftalmus b. N. ulnaris 1) Anastesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis 2) Clawing kelingking dan jari manis c. N. medianus 1) Anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah “P2M KUSTA” | 4 2) Tidak mampu aduksi ibu jari 3) Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah 4) Ibu jari kontraktur d. N. radialis 1) Anastesia dorsum manus 2) Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan e. N. poplitea lateralis Kaki gantung (foot drop) f. N.tibialis posterior 1) Anastesia telapak kaki 2) Clow toes E. Klasifikasi Penyakit Kusta Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP dan WHO membagi tipe menjadi tipe Pause Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB). Perbedaan kedua tipe ini dapat dilihat pada tabel di bawah (Arif Mansjoer, 2000). Tabel 2.1 Klasifikasi/ Tipe Penyakit Kusta Menurut WHO No. Tanda Utama PB MB 1. Lesi kulit(makula datar, 1-5 lesi 5 lesi papul yangmeninggi, nodus) Hipopigmentasi/eritema Distribusi Distribusi tidak simetris lebihsimetris Hilangnya sensasiyang Hilangnya jelas sensasi Kerusakan Hanya satu cabang Banyak saraf(menyebabkan saraf cabangsaraf BTA (-) BTA (+) 2. hilangnyasensasi/kelemahan ototyangdipersarafi oleh sarafyang terkena) Sumber: dikutip dari WHO dalam Arif Mansjoer (2000) “P2M KUSTA” | 5 F. Cara Menegakkan Diagnosis Berdasarkan WHO pada tahun 1997 yang dikutip dari buku Pedoman Diagnosis danTerapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya, diagnosis didasarkan adanya tanda utama atau Cardinal Sign berupa : 1. Kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi yang jelas. 2. Kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf dengan anastesi. 3. Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam. Diagnosis ditegakkan bila dijumpai satu tanda utama tersebut diatas. Tujuan utama pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegah timbulnya cacat. Sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Pada tahun 1981 WHO Study Group on Chemotherapyof Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy). (Marwali Harahap, 2000) Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya adalah sebagai berikut : 1. Pausibasiler Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi) DSS 100 mg/hari Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 19 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) 2. Multibasiler Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi Lamprene 300 mg/hari, dosis supervise ditambahkan “P2M KUSTA” | 6 Lamprene 50 mg/hari DDS 100 mg/hari Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan BTA (+). II. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Kusta A. Pencegahan Penyakit Kusta Upaya pencegahan dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan patologis penyakit atau dengan kata lain sesuai dengan riwayat alamiah penyakit tersebut.Ada 3 tingkat utama pencegahan : 1. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) 2. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) 3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention) Tingkatan pencegahan ini membantu memelihara keseimbangan yang terdiri dari pencegahan primer, sekunder dan tersier: 1. Pencegahan Primer (Primary Prevention) Adalah Upaya pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit belum mulai (pd periode pre-patogenesis) dengan tujuan agar tidak terjadi proses penyakit.Tujuannya mengurangi insiden penyakit dengan cara mengendalikan penyebab penyakit dan faktor risikonya.Upaya yang dilakukan adalah untuk memutus mata rantai infeksi “agent – host - environment”.Terdiri dari: a. Health promotion (promosi kesehatan) b. Specific protection (perlindungan khusus) Kegiatan yang dilakukan dalam upaya tersebut adalah: a. Health promotion (promosi kesehatan) Pendidikan kesehatan, penyuluhan Gizi yang cukup sesuai dengan perkembangan Penyediaan perumahan yg sehat “P2M KUSTA” | 7 Konseling perkawinan Genetika Pemeriksaan kesehatan berkala b. Specific protection (perlindungan khusus ) 2. Kebersihan perorangan imunisai Sanitasi lingkungan Penggunaan gizi tertentu Perlindungan terhadap zat yang dapat menimbulkan kanker Menghindari zat-zat alergenik Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention) Adalah Upaya pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit sudah berlangsung namun belum timbul tanda/gejala sakit (patogenesis awal) dengan tujuan proses penyakit tidak berlanjut. Tujuannya menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi. Terdiri dari : a. deteksi dini b. pemberian pengobatan (yang tepat) Kegiatan yang dilakukan dalam upaya terebut adalah: a. Deteksi dini Penemuan kasus (individu atau masal) Skrining Pemeriksaan khusus dengan tujuan: Menyembuhkan dan mencegah penyakit berlanjut Mencegah penyebaran penyakit menular Mencegah komplikasi dan akibat lanjutan Memperpendek masa ketidakmampuan b. Pemberian pengobatan Pengobatan yang cukup untuk menghentikan proses penyakit mencegah komplikasi yg lebih parah “P2M KUSTA” | 8 Penyediaan fasilitas khusus untuk membatasi ketidakmampuan dan mencegah kematian 3. Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention) Adalah Pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah lanjut (akhir periode patogenesis) dengan tujuan untuk mencegah cacat dan mengembalikan penderita ke status sehat. Tujuannya menurunkan kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan dan membantu penderita-penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi. Terdiri dari: a. Disability limitation b. Rehabilitation Kegiatan yang dilakukan dalam upaya tersebut adalah : a. Disability limitation Penyempurnaan dan intensifikasi pengobatan lanjutan agar tidak terjadi komplikasi. Pencegahan terhadap komplikasi maupun cacat setelah sembuh. Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk pengobatan dan perawatan yang lebih intensif. mengusahakan pengurangan beban beban non medis ( sosial ) pada penderita untuk memungkinkan meneruskan pengobatan dan perawatannya. b. Rehabilitasi Mempekerjakan sepenuh mungkin penyediaan fasilitas untuk pelatihan hingga fungsi tubuh dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya Pendidikan pada masyarakat dan industriawan agar menggunakan mereka yang telah direhabilitasi “P2M KUSTA” | 9 Penyuluhan dan usaha usaha kelanjutan yang harus tetap dilakukan seseorang setelah ia sembuh. Peningkatan terapi kerja untuk memungkinkan pengembangan kehidupan sosial setelah ia sembuh. Mengusahakan suatu perkampungan rehabilitasi sosial. Penyadaran masyarakat untuk menerima mereka dalam fase rehabilitasi. Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi B. Penanggulangan Penyakit Kusta Melalui Pengobatan Dilihat dari sejarahnya pengobatan kusta telah melalui beberapa fase perkembangan yaitu sampai ditemukannya obat-obat baru yang bersifat mikobakterisidal yang lebih efektif. Sampai tahun 1950 belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit kusta, satu-satunya cara untuk menangani penderita kusta adalah dengan mengisolasi penderita ketempat perawatan khusus. Kemudian ditemukan dapson, yaitu obat anti penyakit kusta yang pertama. Namun dalam dua dekade berikutnya, ternyata dapson menjadi kurang efektif karena bakteri penyebab kusta yaitu Mycobacterium leprae menjadi resisten, sehingga pengobatan gagal dan penyakit akan kambuh lagi. Di-samping itu pengobatan yang berlangsung lama sering mengakibatkan penderita menjadi putus asa dan malas berobat. Pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI), yaitu pengobatan baku terhadap pasien dengan kusta multibasil dan pasien dengan kusta paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua pasien; sampai saat ini telah diterima se-bagai pengobatan standar untuk penyakit kusta. Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak “P2M KUSTA” | 10 pelita I). Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia. Meskipun obat-obat baru ditemukan tampaknya memberi harapan yang lebih cerah, namun karena masih dalam evaluasi uji klinis maka regimen MDT masih dianjurkan dalam program pemberantasan kusta di seluruh dunia termasuk di indonesia. 1. Program MDT Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai regimen MDTWHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan klofasimin.Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurnkan angka putus-obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Obat dalam rejimen MDT-WHO: a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit. b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel. c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita. d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta “P2M KUSTA” | 11 Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg bersisik). Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan dinyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus: 1) Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara teliti. Semua bercak masih nampak. Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan. Semua syaraf yang masih tebal. Semua cacat yang masih ada. 2) Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar). 3) Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register. Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu : Pengobatan telah selesai. Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar janga sampai luka. Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk periksaan ulang. 2. Obat kusta baru. Dalam plekasanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin dan lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam regimen MDT- “P2M KUSTA” | 12 WHO saat ini. Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Beberapa macam obat baru yang telah berhasil diidentifikasi untuk pengobatan penyakit kusta adalah derivat dan rifamisin, antibiotik beta-lactam, aminoglikosid, kuinolon(8) (pefloxacin, ofloxacin dan sparfioxacin) minosiklin, klarithromisin, serta kombinasi antara ofloxacin dan rifamPisin. Diantara yang sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin. a. Ofloxacin Dan Rifampicin Pada tahun 1992 telah dilakukan percobaan obat dalam skala besar yang dilaksanakan di tujuh negara yaitu: Brazil, Kenya, Mali, Myanmar, Pakistan, Filipina dan Vietnam. Pengobatan ini diberikan secara oral, yang merupakan gabungan antibiotik baru yaitu ofloxacin dengan rifampisin. Dalam percobaan yang me-libatkan 4000 pasien tersebut, dibandingkan penggunaan regi-men baru dengan regimen MDT standar, hasilnya dapat dilihat setelah 4 sampai 5 tahun kemudian. Kombinasi dengan obat ini ternyata dapat memperpendek waktu penyembuhan menjadi 1 bulan dibandingkan dengan standar pengobatan yang sudah ada yaitu 6 bulan sampai 4 tahun. Cara kerja antibiotik ofloxacin ini adalah membunuh baksil lepra dengan menghambat enzim yang mengontrol jalannya DNA coils yang masuk ke dalam baksil. Ofloxacin menjadi alternatif kedua setelah rifampisin karena kecepatan dan efikasi-nya dalam membunuh baksil lepra yang telah dilakukan pada percobaan dengan teknik foot pad pada mencit. Konsentrasi minimum ofloxacin yang dibutuhkan untuk menghambat per-tumbuhan Myco bacterium leprae adalah 50 mg/kg berat badan, sedangkan untuk rifampisin dan rifabutin adalah 0.003% dan 0.00l%. Penelitian saat ini ditekankan pada anggapan bahwa ofloxacin dapat lebih membunuh baksil mutan yang resistan terhadap rifampisin. Akan tetapi karena kombinasi rifampisin dan ofloxacin lebih mahal daripada dapson dan “P2M KUSTA” | 13 clofazimine, pengobatan baru yang lamanya 4 minggu menjadi sama besar biayanya dengan standar pengobatan yang 6 bulan atau 2 tahun. Namun dengan penggunaan yang lebih luas maka biaya pengobatan dengan ofloxacin dapat ditekan sehingga tujuan untuk eliminasi lepra pada tahun 2000 dapat cepat tercapai. b. Minosiklin Diantara turunan tetrasiklin, monosiklin merupakan satu-satunya yang aktif terhadap M.leprae.hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus dinding sel M.leprae dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis prorein melalui mekenisme yang berbeda dengan obat antikusta yang lain. c. Klaritromisin Dibandingkan obat lain golongan makrolid, klaritromisin mempunyai aktivitas bakterisidal setara dengan ofloksasin dan minosiklin. Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui mekanisme yang lain daripada minosiklin. C. Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi 1. Rehabilitasi Medik Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat pada penyakit kusta merupakan salah satu hal yang paling penting ditakuti. Walaupun dengan pengobatan yang benar dan teratur penyakit kusta dapat disembuhkan, akan tetapi cacat yang telah timbul atau mungkin yang akan timbul merupakan persoalan yang cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal. Makin berat keadaan suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan memburuk. Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah “P2M KUSTA” | 14 rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna. Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu : Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis, dan kontraktur. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan. Kontrol nyeri. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit. Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah: a. Pemeliharaan kulit harian cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun (jangan detergen) Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas. “P2M KUSTA” | 15 kulit digosok dengan minyak. secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka dan lain-lain) b. Proteksi tangan dan kaki 1) Tangan : pakai sarung tangan waktu bekerja stop jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut 2) Kaki selalu pakai alas kaki c. Latihan fisioterapi Tujuan latihan adalah : 1) Cegah kontraktur Peninkatan fungsi gerak Peningkatan kekuatan otot Peningkatan daya tahan (endurance) Latihan lingkup gerak sendi: secara pasif meluruskan jari-jari menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5 – 10 kali per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak. 2) Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri 3) Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak. 4) Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan. “P2M KUSTA” | 16 d. Bidai Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan tangan agar tidak terjadi deformitas.Bidai dipasang pada anggiota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup gerak sendi. e. Dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi. f. Program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien. 1) Latihan reedukasi motorik Diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan peregangan. Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan motorik tangan dan jari-jari, sekaligus melatih koordinasi gerak dengan bagian ekstremitas yang sehat. Gerak terampil tangan dan jari Latihan posisi dan postur pasif dan aktif. 2) Latihan reedukasi sensorik Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien, dan menolong pasien untuk mencari alternatif lain untuk meningkatkan sensibilitas sehingga kapasitas fungsional juga meningkat Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar, sampai halus, dingin dan hangat. Latihan pengenalan bentuk berbagai benda. 3) Latihan aktivitas menolong diri 4) Latihan aktivitas rumah tangga 5) Latihan aktivitas kerja 6) atihan daya tahan kerja “P2M KUSTA” | 17 g. Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal yang harus dilaksanakan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat dijadikan titik tolak program terapi psikososial. 2. Rehabilitasi Nonmedik Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini termasuk penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia.Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks bagi penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat.Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat fisik. Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisk yang menimbukan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisinya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya. Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tidak dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya aka nada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah laku penderita.Ia akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan keadaannya sebagai seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya kan memperbesar resiko timbulnya caca bagi penderita itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk menghindari salah diagnosis, karena setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis akan dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social yang tidak hanya dapat dialami oleh penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya. Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri.Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negative terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan “P2M KUSTA” | 18 penderita kusta tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya. Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus menerus secara paripurna sampai ia dapat mencapai kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita itu sendiri. Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktif dari penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara tuntas program pengobatan yang telah dianjurkan. Cacat psikososial ini mulai dirasakan oleh penderita sejak saat ia dinyatakan menderita penyakit kusta dan bila hal tersebut mulai diketahui oleh keluarganya maupun oleh masyarakar di sekitarnya. Hal ini akan bertambah berat bila ia merupakan tumpuan hidup dan sumber nafkah bagi keluarganya. Dalam banyak hal ia dapat kehilangan sumber penghasilannya dan memperburuk keadaannya beserta keluarga. Untuk mengindari terjadinya hal-hal tersebut, maka bila ada keragu-raguan meskipun sedikit saja, sebaiknya segera merujuk penderita kepada mereka yang dianggap lebih berpengalaman. Setelah diagnosis kusta ditegakkan, maka pengobatan harus segera dimulai, disertai upaya rehabilitasi mental terhadap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila seseorang belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau penyakitnya masih diragukan. Komplikasi antara lain seperti penyakit kusta, harus ditangani sedini mungkin dan secara adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta. Andaikata cacat kusta te lah terjadi, maka upaya rehabilitasi untuk mencegah berlanjutnya cacat harus segera dilakukan. Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis menyatakan bahwa penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka pengobatan tidak diperlukan lagi dan hanya “P2M KUSTA” | 19 dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita harus ditekankan bahwa obatobat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik yang telah ada, supaya ia tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah digariskan oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif, dengan atau tanpa cacat kusta. 3. Rehabilitasi Mental Seperti telah dijelaskan, setiap penderita yang dinyatakan menderita penyakit kusta akan mengalami kegoncangan jiwa dan masing-masing mempunyai cara sendiri untuk bereaksi terhadap keadaan ini. Ada yang segera dapat menerima keadaan inidan segera mancari pertolongan medis, adapula yang berusaha menolak kenyataan dengan mencari pertolongan alternative termasuk berobat pada dukun, tabib dan sebagainya.Dan adapula yang merasa rendah diri mengalami depresi, menyendiri, menyembunyikan dirinya karena malu, dan ada pula yang berfikir untuk melakukan tindakan bunuh diri. Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan yang sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik akibat penyakit ini. Suatu hal yang perlu kita sadari bahwa tidak seorang sehatpun ingin mendapatkan cacat dalam kehidupannya. Hal ini merupakan dasar bagi setiap petugas kesehatan dalam melakukan penyuluhan kusta.dengan menekankan bahwa sebenarnya penyakit kusta bila diobati secara dini dan benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya cacat semaksimal mungkin. Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderitadapat segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang perlu disampaikan antara lain sebagai berikut: Tentang penyakit kusta dan pengobatannya Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi Masalah psikososial kusta “P2M KUSTA” | 20 Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah pengobatan selesai Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat tersebut. Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta. Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan. Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi, berbagai upaya kesehatan terhadap penyakit kusta. Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan kepada penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara sederhana dan mudah dimengerti oleh mereka.Hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan keberhasilan penanggulangan penyakit kusta secara paripurna. Petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedic harus dibekali dengan pengatahuan kusta yang memadai supaya terampil dalam memberikan penyuluhan kusta dengan baik dan bermanfaat.Bimbingan mental ini harus didukung juga oleh partisipasi aktif dari pemuka masyarakat dan pemuka agama pada setiap kesempatan yang ada. Tanpa dibekali informasi yang tepat tentang hal-hal tersebut, maka penderita cenderung memnjadi bosan menghadapi masa pengobatan yang panjang dan itu-itu saja, sehingga ia akan berobat semaunya secara tidak teratur. Lebih celaka lagi bila selama mmasa pengobatan timbul komplikasi berupa neuritis atau reaksi yang memperburuk kondisi tubuhnya, sehingga timbul pikiran negative untuk menghentikan saja pengobatan yang telah berjalan dengan baik dan mencari pertolongan pengobatan secara alternatif. Ketidakteraturan berobat, dan menghilangnya penderita tanpa melanjutkan pengobatannya menimbulkan banyak masalah dalam keberhasilan upaya penanggulangan penyakit kusta. Hal ini akan memperbesar risiko kecacatan dan resistensi terhadap obat kusta. Dengan timbulnya cacat kusta, upaya penanggulangan penyakit kusta akan menjadi bertambah berat karena diperlukan rehabilitasi medis dan nonmedis yang lebih komleks dan biaya yang lebih besar. Hal ini akan menjadi beban bagi Negara dan bangsa. “P2M KUSTA” | 21 Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya rehabilitasi ini berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya stigma dan leprofobi akan timbul banyak kendala dalam memasyarakatkan kembali penderita dan bekas penderita kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang benar tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang baik, maka stigma dan leprofobi dapat dikurangi dan ditekan hingga seminimal mungkin. Dengan demikian penyakit kusta dapat dianggap sama seperti penyakit menular lainnya dan penderita kusta dapat diterima dan diperlakukan secara wajar oleh masyarakat dengan hak yang sama seperti orang sehat yang lain. 4. Rehabilitasi Karya Tidak semua penderita kusta bila sembuh data kmbali bekerja pada pekerjaan semula, apalagi bila pekerja terlanjur mengalam cacat fisik. Walaupun telah diupayakan rehabilitasi medis dan dinyatakan sembuh dari penyaitnya, mantan penderita tidak data melaukan pekerjaan yang sama seperti sediakala. Dalam banyak hal adanya stigma atau leprofobia akan menyebabkan penderita (mantan) kerap kali menghadapi kendala social, sehingga perlu mengganti jenis pekerjaan untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau dan plantar menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari. Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya. Disampng itu penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta. 5. Rehabilitasi Sosial Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pernderita.Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya.Rehabilitasi social bukanlah bantuan sosia yang “P2M KUSTA” | 22 harus diberikan secara terus menerus, melaikan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini dapat berupa : Memberikan bimbingan social. Memberikan peralatan kerja. Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan. Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan keadaan cacatnya. Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha mereka Membantu pemasaran hasil-hasil usaha mereka. Memberi bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan, sandang, papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya. Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta. Member bantuan pemulangan ke daerah asal. Memberikan bimbingan mental/spiritual. Memberikan pelatihan ketrampilan/magang kerja dan sebagainya. Dari segala upaya tersebut , sangat diharapkan peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua akan dapat terlaksana dengan baik apabila stigma dan leprofobi dapat ditekan hingga seminimal mungkin. Dengan demikian kehadiran mereka dapatditerima oleh masyarakat, hasil karya dan usaha mereka mau dibeli serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa partisipasi, maka segala usaha tersebut tidak akan berhasil. D. Upaya Pencegahan Penyakit Kusta Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta.Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh.Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah.Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup “P2M KUSTA” | 23 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut.Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati.Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta.Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa : Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati “P2M KUSTA” | 24 BAB III PENUTUP Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang sulit diketahui awal penyakitnya, maka para medis dan medis hendaknya perlu informasi yang lebih banyak tentang penyakit kusta ini. Agar terhindar dari penyakit kusta ini perlu dilakukan pencegahan penyakit dengan tiga tahap pencegahan penyakit yaitu primary prevention, secondary prevention, tertiery pervention. Penderita penyakit kusta bisa sembuh dengan melakukan pencegahan dan pengobatan yang teratur.Penderita kusta sebagai manusia yang juga mendapat perlakuan secara manusia, sehingga tidak perlu untuk dijauhi jadi keluarga dan masyarakat tidak perlu mendorong untuk mengasingkan penderita kusta tersebut, karena kesembuhan dari penderita kusta tersebut juga memerlukan dukungankeluarga dan masyarakat sekitar. “P2M KUSTA” | 25 DAFTAR PUSTAKA Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta. Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta. Djuanda.A., Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN. (1997). Kusta: diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Djuanda. A.,Djuanda. S., Hamzah. M., dan Aisah.A. (1993). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penrbit FKUI Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Jakarta : Erlangga “P2M KUSTA” | 26