Uploaded by filchanovirman

Cidera Kepala

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisitas untuk
mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur benda tumpul. Namun pada benturan, beberapa
mili detik akan terjadi depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat
menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak atau kulit seperti
kontusio/memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang bervariasi tergantung
pada luas daerah trauma. Menurut Mansjoer (2000) bahwa cedera kepala adalah trauma yang
mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tembus. Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit
gawat darurat suatu rumah sakit. Menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang
perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan yang
dapat kita abaikan.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Nasional Trauma Project Republik Islam di Iran, bahwa diantara semua jenis trauma
tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak
juga disebabkan oleh trauma kepala (Rouzrokh dkk, 2009). Salah satu tindakan pemeriksaan
yang penting adalah melalui pemeriksaan tingkat kesadaran dengan skala koma glasgow
(Glasgow Coma Scale).
Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
merupakan cara praktis untuk dokter dan perawat, karena memiliki kriteria / patokan yang
lebih jelas dan sistematis dibanding dengan sistem lama. GCS disamping untuk menetukan
tingkat kesadaran, juga berguna untuk menentukan tingkat prognosis suatu penyakit
(Juwono, l996) dan memonitor terjadinya disfungsi neorologis (Godner, 1995). Bahkan
Priharjo (1996) mengatakan bahwa GCS dapat digunakan untuk menilai atau menguji
kewaspadaan pasien khususnya pasien yang mengalami cedera berat atau pasien yang
mengalami kemunduran kesadaran dengan cepat. Cidera kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok umur produktif dan sebagian besar
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
1
Cidera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur dibawah
45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2:1. Penyebab paling sering adalah
kecelakaan kendaraan dan motor sekitar 70%. Insiden cidera kepala dari tahun ke tahun
makin meningkat seiring dengan meningkatnya mobilisasi penduduk. Di Amerika data
statistik menunjukkan setiap tahun cedera kepala terjadi pada 600.000 orang dengan porsi
2:1 dimana pria lebih sering mengalami cedera kepala dibandingkan wanita. Di Indonesia
kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500 ribu kasus. Dari jumlah
tersebut 10 % penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit, 80% dari penderita yang
sampai di rumah sakit dikelompokan sebagai cidera kepala ringan, 10% termasuk cidera
kepala sedang dan 10% sisanya cidera kepala berat lebih dari 100 ribu penderita menderita
berbagai tingkat kecacatan akibat cidera kepala setiap tahunnya di Indonesia. Pada tahun
2006 penderita cidera kepala di Indonesia berada di urutan 6 dari total kasus yang masuk
rumah sakit di seluruh Indonesia dengan jumlah mencapai 340.000 kasus, namun belum ada
data pasti mengenai porsi cedera kepala.
Data dari ruangan bedah RSUP dr. M.Djamil Padang tentang jumlah penderita cidera
kepala dari bulan Januari 2014 – Maret 2014 berjumlah 312 orang. Berdasarkan data
tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat pada seminar kelompok “Asuhan Keperawatan
pada Nn. I dengan Cidera Kepala”.
1.2. Tujuan
1.2.1.
Tujuan Umum
Mampu melakukan asuhan keperawatan gawat pada pasien dengan cidera kepala
sedang di Ruang bedah RSUP dr. M. Djamil Padang
1.2.2.
Tujuan Khusus
Setelah dilakukan seminar diharapkan mahasiswa mampu:
a.
Memahami tentang konsep dasar cidera kepala meliputi; defenisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi
klinis, komplikasi, penatalaksanaan medis,
penatalaksanaan keperawatan dan pemeriksaan laboratorium.
b.
Melakukan pengkajian pada pasien yang menderita cidera kepala sedang.
c.
Menegakkan diagnosa keperawatan pasien yang menderita cidera kepala
sedang.
d.
Menetapkan intervensi keperawatan pada pasien yang menderita cidera
kepala sedang.
2
e.
Melakukan implementasi keperawatan pada pasien yang menderita cidera
kepala sedang.
f.
Melakukan evaluasi keperawatan yang telah dilakukan pada pasien yang
menderita cidera kepala sedang.
g.
Melakukan pendokumentasian keperawatan pada pasien yang menderita
cidera kepala sedang.
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi mahasiswa
Dapat menambah wawasan dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di
kampus tentang asuhan keperawatan pada kasus dengan cidera kepala
1.3.2. Bagi Rumah Sakit
Dapat membantu meningkatkan pengetahuan perawat di RSUP dr. M.
Djamil Padang dalam memberikan asuhan keperawatan gawat darurat pada
pasien cidera kepala sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kasus
kematian akibat cidera kepala..
1.3.3. Bagi Stikes Syedza Saintika Padang
Dapat dijadikan sebagai bahan bacaan di perpustakan STIKes Syedza
Saintika Padang, khususnya Prodi S1 Keperawatan tentang penatalaksanaan
asuhan keperawatan pada kasus cidera kepala sehingga menambah pengetahuan
dan wawasan mahasiswa mengenai asuhan keperawatan pada pasien cidera
kepala.
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1.1 Definisi
Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mepunyai daya elastisitas untuk
mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur benda tumpul. Namun pada benturan, beberapa
mili detik akan terjadi depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat
menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak atau kulit seperti
kontusio/memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang bervariasi tergantung
pada luas daerah trauma. (Evelyn, 2002)
Menurut Manjoer Arief (2000), cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit
kepala, tengkorak, dan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus,
sedangkan menurut, Sunaryo (2001) bahwa cedera kepala adalah komplikasi segera setelah
trauma biomekanik pada otak, lapisan yang menutupinya atau organ-organ ekstra kranial
penopang otak.
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala (Suriadi 2001). Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma fungsi yang
disertai/ tanpa disertai perdarahan intestitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontuinitas otak (Syamsu Hidayat & De Jong, 1997). Sedangkan menurut Susan Martin
(1999) Cedera kepala merupakan adanya pukulan/benturan mendadak pada kepala dengan
atau tanpa kehilangan kesadaran.
1
1.2 Anatomi Fisiologi
(Hidayat. 2009)
Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh lebih kurang 100 triliun
neuron. Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum (otak besar), serebelum (otak
kecil), brainstem (batang otak) dan diensifalon. Serebri terdiri dari dua bemisfer serebri,
korpus kolosum dan korteks serebri. Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus
frontalis yang merupakan area motorik primer yang bertanggungjawab untuk gerak-gerakan
voluntary. Lobus paretalis yang berperan pada kegiatan memproses dan mengintegritasi
informasi sensorik yang lebih tinggi tingkatnya, lobus temporalis yang merupakan ares
sensorik untuk implus pendengaran dan lobus okspitalis yang mengandung kortelis
penglihatan primer, menerima informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna.
Serebrum terletak di dalam fora kranii posterior dan ditutupi oleh durameter yang
menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior
serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagai pusat reflek yang mengkoordinasi dan
memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk
mempertahankan keseimbangan sikap tubuh. Bagian-bagian batang otak dari bawah keatas
adalah medulla oblongata, pons, dan mensefalon (otak tengah). Medulla oblongata
merupakan pusat reflek yang penting untuk jantung, vasokonstrikor, pernafasan, bersin,
batuk, menelan, dan pengeluaran air liur dan muntah. Pons merupakan mata rantai
penghubung yang penting pada jaras kortikoserebralis yang menyatukan hemisfer serebri
dan sereblum.
2
Mesenfalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi apndikus, sylvius,
beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran
dan penglihatan. Diensefalon dapat di bagi menjadi 4 wilayah: thalamus, subtalamus,
epitalamus dan hipotalus. Thalamus merupakan stasiun penerima dan pengintegritasi
subkotrikal yang penting. Subtalamus fungsi belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi
pada subtalamus akan menimbulkan hemibolismus yang ditandai dengan gerakan kaki atau
tangan yang terhempas kuat pada satu sisi tubuh. Epitalamus berperan pada beberapa
dorongan emosi pada seseorang. Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari
system sususnan saraf otonom perifer yang menyertai tingkah dan emosi.
Tekanan Intra Kranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah
intra cranial dan cairan serebrospiral di dalam tengkorak pada satu satuan waktu keadaan
normal TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang
kalau berisi jaringan otak (1400 gr), darah (75 ml), cairan serebrospinal ( 75 ml) terhadap
dua tekanan pada tiga komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan
hipotesa Monro-Kellie menyatakan karena keterbatasan uang ini untuk ekspansi di dalam
tengkorak, adanya peningkatan salah satu dari komponen ini menyebabkan perubahan pada
volume darah serebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup
tinggi, menyebabkan turunya batang otak (herniasi batang otak) yang berakibat kematian.
(Sylvia A Price, 2000)
1.3 Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :
1. Benda tajam
Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat.
2. Benda tumpul
Dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan
diteruskan kepada otak.
Penyebab lain:
-
Kecelakaan lalulintas
-
Pukulan
-
Kecelakaan kerja / industri
-
Luka tembak
- Jatuh
- Kejatuhan benda
- Cidera lahir
3
3. Penyakit patologis lanjutan
Penyakit patologis lanjutan seperti edema serebral menyebabkan terjadinya penekanan
pada otak.
(Cholik dan Saiful, 2007)
Mekanisme cidera kepala
1.
Ekselerasi
Ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam.
Contoh : akibat pukulan lemparan.
2.
Deselerasi
Akibat kepala membentur benda yang tidak bergerak.
Contoh : kepala membentur aspal.
3.
Deformitas
Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagian tubuh yang
dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
Berdasarkan berat ringannya :
Penyebab terbesar cedera kepala adalah kecelakaan kendaraan bermotor.jatuh dan
terpeleset. Biomekanika cedera kepala ringan yang utama adalah akibat efek
ekselarasi/deselerasi
atau
rotasi
dan
putaran.
Efek
ekselerasi/deselerasi
akan
menyebabkan kontusi jaringan otak akibat benturan dengan tulang tengkorak, terutama di
bagian frontal dan frontal temperol. Gaya benturan yag menyebar dapat menyebabkan
cedera aksonal difus (diffuse axonal injury).
(Hoffman,dkk, 1996)
1.4 Klasifikasi Cidera Kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang muncul
setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam
penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendifinisikan
berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma scale).
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow / GCS:
1. Minor
• GCS 13 – 15
• Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
• Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
4
2. Sedang
• GCS 9 – 12
• Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
• Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
• GCS 3 – 8
• Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
• Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
System GCS, yaitu metode EMV (Eyes, Verbal, Movement)
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
 Secara spontan
4
 Atas perintah
3
 Rangsangan nyeri
2
 Tidak bereaksi
1
2. Kemampuan komunikasi (V)
 Orientasi baik
5
 Jawaban kacau
4
 Kata-kata tidak berarti
3
 Mengerang
2
 Tidak bersuara
1
3. Kemampuan motorik (M)
 Kemampuan menurut perintah
6
 Reaksi setempat
5
 Menghindar
4
 Fleksi abnormal
3
 Ekstensi
2
 Tidak bereaksi
1
(Hidayat, 2009)
5
1.5 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi,
energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi.
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan
menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh,
sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini
akan menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow
(CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac
output. Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.
Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia,
fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi. Akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
(Hoffman,dkk, 1996)
1.6 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang timbul berdasarkan klasifikasi cidera kepala yaitu :
A. Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri

Skor GCS 13-15

Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit

Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
neurologist.
6
B. Cedera Kepala Sedang (CKS)

Skor GCS 9-12

Pingsan lebih dari 10 menit

Sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
C. Cedera Kepala Berat (CKB)

Skor GCS <8

Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat

Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif

Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
(Harsono, 2003)
1.7 Komplikasi
Komplikasi pada Trauma Kapitis :
1. Kebocoran cairan Serebrospinal
Akibat fraktor pada Fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktor tengkorak
bagian petrous dari tulang temporol.
2. Kejang
Kejang pasca trauma dapat terjadi secara (dalam 24 jam pertama) dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus
Hal ini disebabkan oleh kerusakan traumatik pada rangkai hipofisis menyebabkan
penghentian sekresi hormon antideuretik.
4. Infeksi pada luka atau sepsis akibat perawatan pada luka yang tidak steril.
Komplikasi yang serius tetapi relatif jarang terjadi adalah perdarahan diantara
lapisan selaput yang membungkus otak atau perdarahan di dalam otak:
1. Hematoma epidural adalah suatu perdarahan diantara tulang tengkorak dan
selaputnya/duramater. Perdarahan ini terjadi akibat kerusakan pada arteri atau vena
pada tulang tengkorak. Perdarahan menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam otak
sehingga lama-lama kesadaran anak akan menurun.
2. Hematoma subdural adalah perdarahan dibawah durameter, biasanya disertai dengan
cedera pada jaringan otak. Gejalanya berupa rasa ngantuk sampai hilangnya
kesadaran, hilangnya sensasi atau kekuatan dan pergerakan abnormal (termasuk
kejang).
7
3. Hematoma intraventrikuler (perdarahan di dalam rongga internal/ventrikel),
hematoma intraparenkimal (perdarahan di dalam jaringan otak) maupun hematoma
subaraknoid (perdarahan di dalam selaput pembungkus otak), merupakan pertanda
dari cedera kepala yang berat dan biasanya menyebabkan kerusakan otak jangka
panjang.
(Hudak & Gallo, 1996)
1.8 Penatalaksanaan
Pedoman penanganan, resusitasi dan penilaian awal pada pasien cedera kepala adalah:
a. Menilai jalan napas (Air Way Control) dengan membersihkan jalan napas dari debris dan
muntahan, lepaskan gigi palsu, pemasangan kolar sevikal, pasang oropangeal atau
nasoparengeal, dan bila perlu lakukan intubasi.
b. Menilai pernapasan (Breathing Support) dengan cara menentukan pakah pasien napas
denga spontan atau tidak, jika tidak lakukan oksigenasi. Jika napas spontan nilai dan
atasi adanya cedera thorak berat seperti; pneumothorsks, pneumothorak tensif, dan
hemopneumotoraks.
c. Menilai sirkulasi (Circulation Support), otak yang rusak tidak mentoliler hopotensi,
dengan cara hentikan perdarahan, perhatikan secara khusus adanya perdarahan dada
atau abdomen, pasang jalur intravena untuk pemberian cairan pada vena besar, pantau
tanda-tanda syok.
Sedangkan penanganan cedera kepala sesuai derajat keparahan pasien cedera
kepala adalah:
A. Cedera kepala ringan.
Pasien dengan cedera kepala sedang pada umumnya dapat dipulangkan
kerumah tanpa perlu pemeriksaan CT-Scan bila memenuhi kriteria sebagai
berikut: hasil pemeriksaan neurologis (terutamastatus mini mental dan gaya
berjalan) dalam batas normal, foto sevikal tidak ada tanda patah tulang, ada
orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasie selam 24 jam pertama,
dengan intruksi segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala
perburukan.
B. Cedera kepala sedang.
Pasien yang mengalami konkusi otak (komosio otak), dengan GCS 15 dan
hasil CT-Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien dipulangkan untuk observasi
8
di rumah, meskipun terdapat keluhan nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau
amnesia.
C. Cedera kepala berat.
Pasien denga cedera kepala berat, setelah penilaian awal dan stabilisasi
tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi
intervensi bedah saraf (hematoma intrakranial besar). Jika ada indikasi segera
laporkan atau konsultasikan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.
Menurut Tarwoto, dkk (2007: 130) Penatalaksanaan Umum adalah sebagai berikut :
1. Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan
tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal.
2. Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi, pemeriksaan
AGD, bahkan oksigen bila perlu.
3. Monitor tekanan intrakranial.
4. Atasi syok bila ada.
5. Kontrol tanda-tanda vital.
6. Keseimbangan cairan elektrolit.
Pasien dengan trauma kepala berat sering mengalami gangguan pernapasan,
syock hipovolemik, gangguan kesimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial
yang tinggi, kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler. Perlu mendapat penanganan yang
tepat, baik secara medik maupun non medic.
Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengelolaan Pernapasan:

Pasien ditempatkan dalam posisi miring atau seperti posisi koma.

Periksa mulut, keluarkan gigi palsu bila ada.

Jika banyak ludah atau lendir atau sisa muntahan lakukan penghisapan.

Hindari flexi leher yang berlebihan karena bias menyebabkan terganggunya jalan
napas/peningkatan TIK.

Trakeostomi dilakukan bila lesi di daerah mulut atau faring parah.

Perawat mengkaji Frekuensi dan upaya pernapasan pasien, warna kulit, bunyi
pernapasan dan ekspansi dada.

Berikan penenang diazepam.

Posisi pasien selalu diubah setiap 3 jam dan lakukan fisioterapi dada 2x/sehari.
9
2. Gangguan Mobilitas Fisik

Posisikan tubuh pasien dengan posisi opistotonus; perawatan harus dilakukan
dengan tujuan untuk menghentikan pola refleksif dan penurunan tonus otot
abnormal.

Perawat menghindarkan terjadinya kontraktur dengan melakukan ROM pasif
dengan merenggangkan otot dan mempertahankan mobilitas fisik.
3. Masalah Hidrasi
Pada cidera kepala terjadi kontriksi arteri-arteri renalis sehingga pembentukan urine
berkurang dan garam ditahan didalam tubuh akibat peningkatan tonus ortosimpatik
sehingga diperlukan intake cairan yang lebih. Dapat diberikan dengan asupan oral jika
pasien sadar atau melalui parenteral.
4. Nutrisi pada Trauma otak berat
a. Memerlukan jumlah kalori 2 kali lipat dengan meningkatnya aktivitas system saraf
ortosimpatik yang tampak pada hipertensi dan takikardi.
b. Kegelisahan dan tonus otot yang meningkat menambah kebutuhan kalori.
c. Bila kebutuhan kalori tidak terpenuhi maka jaringan tubuh dan lemak akan diurai,
penyembuhan luka akan lebih lama, timbul dekubitus, daya tahan menurun.
(Cholik dan Saiful, 2007)
2.9 Pemeriksaan Diagnostik & Penunjang
1. CT Scan
Dapat mengetahui adanya perdarahan extrakranial dan menghitung volumenya serta
mengetahui adanya kelaianan intrakranial/perdarahan intracranial. CT Scan juga
sangat bermanfaat untuk memantau perkembangan pasien mulai dari awal trauma,
post trauma, akan operasi , post operasi serta perawatan pasca operasi sehingga
perkembangan pasien senantiasa dapat dipantau.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Gunanya sama dengan CT Scan dengan atau tanpa menggunakan kontras.
3. Angiografi serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti: pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan & trauma.
10
4. EEG (Elektro Enselografi)
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
5. Sinar X
Untuk mendeteksi adanya perubahan struktur hilang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah, adanya frogmentulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
BAER merupakan Tes pendengaran yang dikenal sebagai batang otak pendengaran
yang membangkitkan respon atau pendengaran batang otak dan mendeteksi aktivitas
listrik di jalur koklea dan pendengaran di otak. Dalam hal ini antena mendeteksi
sinyal radio atau TV atau EKG mendeteksi aktivitas listrik jantung.
7. Kimia/elektrolit darah
Untuk mengetahui ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat meningkakan
TIK perubahan mental.
(Manjoer, Arif.2001)
1.10 Asuhan Keperawatan Teoritis
I. Pengkajian
1. Biodata
Identitas klien
: Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk rumah sakit.
Identitas penanggung jawab
: Nama, no.telepon, hubungan dengan klien
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien menderita keluhan tergantung pada klasifikasi cederanya seperti:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
 Skor GCS 13-15
 Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
 Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
 Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS)
 Skor GCS 9-12
 Pingsan lebih dari 10 menit
11
 Sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
 Pemeriksaan neurologis terdapat kelumpuhan saraf dan anggota gerak.
3. Cedera Kepala Berat (CKB)
 Skor GCS <8
 Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
 Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
 Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah sebelumnya klien pernah mengalami kecelakaan lalulintas, jatuh,
pukulan, kejatuhan benda, kecelakaan kerja/industry, cidera lahir, atau luka
tembak.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti DM
(karena dikhawatirkan lamanya penyembuhan luka akibat mengentalnya aliran
darah akibat hiperglikemia), Hipertensi (karena dikhawatirkan terjadinya
peningkatan curah jantung yang menyebabkan tingginya tekanan aliran darah
dalam tubuh) sehingga akan memperburuk kondisi klien.
3. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
 Kesadaran
:
Apakah jenis cidera kepala ringan berarti dengan GCS : 13-15
Apakah jenis cidera kepala sedang berarti dengan GCS : 9-12
Apakah jenis cidera kepala berat berarti dengan GCS : 3-8
 Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan
Tekanan darah : Menurun (siostole < 100 dan diastole < 60 mmHg)
Nadi
: Meningkat (> 80x/i)
Suhu
: Dalam batas normal (36,5° - 37,5°C)
Pernapasan
: Meningkat (>24x/i)
a. Kepala
Inspeksi
: Apakah ada perdarahan dikepala, luka ataupun memar, benjolan
dan apakah hygiene nya terjaga
Palpasi
: Terdapat nyeri tekan, apakah terdapat edema
12
b. Wajah
Inspeksi
Palpasi
: Apakah ada luka atau memar diwajah serta edema pada wajah
: Apakah ada terdapat nyeri tekan dan edema pada diwajah
c. Mata
Inspeks
: Apakah sklera ikterik atau tidak, apakah konjungtiva anemis atau
tidak, apakah ada edema palpebra, apakah ada perdarahan pada
mata atau lebam.
Palpasi
: Apakah ada nyeri tekan dan apakah ada benjolan pada mata
d. Hidung
Inspeksi
: Apakah terdapat polip, sekret, perdarahan, luka dan apakah
kebersihannya terjaga
Palpasi
: Apakah ada nyeri tekan dan edema, bagaimana fungsi pernapasan
dan penciuman nya apakah baik.
e. Telinga
Inspeksi
: Apakah ada perdarahan, peradangan dan kebersihan terjaga
Palpasi
: Apakah ada nyeri tekan dan edema, apakah fungsi pendengaran
terganggu.
f. Mulut
Inspeksi
: Apakah ada keluar darah, apakah mukosa bibir klien anemis
Palpasi
: Apakah ada nyeri tekan dan apakah nafas nya bau?
g. Leher
Inspeksi
: Apakah ada kelenjer tiroid dan limfe?
Palpasi
: Apakah ada nyeri tekan dan pembesaran kelenjer tiroid atau
limfe, apakah kekuatan nadi carotis.
Pemeriksaan dada
h. Paru
Inspeksi
: Apakah simetris kiri dan kanan, bagaimana pergerakan dinding
dada, apakah terdapat retraksi dinding dada?
Palpasi
: Apakah fremitus taktil simetris kiri dan kanan dan terdapat nyeri
tekan
Perkusi
: Apakah sonor/hiper sonor seluruh lapang paru.
13
Auskultasi
: Bagaimana frekuensi dan irama pernafasan, apakah pernafasan
vesikuler, bronko vesikuler atau bronkial.
i. Jantung
Inspeksi
: Apakah terlihat detak ictus kordis di RIC V mid klavikula
sinistra.
Palpasi
: Apakah teraba detak ictus kordis di RIC V midklavikula sinistra
dan apakah terdapat nyeri tekan.
Perkusi peka pada batas jantung:
Batas atas
: RIC II mid klavikula sinistra.
Batas bawah : RIC V mid klavikula sinistra
Batas kiri
: linea axila anterior
Batas kanan : 1 jari mid klavikula dextra
Auskultasi
: Bagaimana irama, frekuensi, apakah ada bunyi tambahan
j. Abdomen
Inspeksi
: Apakah ada luka ataupun memar, dan apakah ada pembesaran
organ.
Auskultasi
: Frekuensi bising usus
Palpasi
: Apakah ada nyeri tekan, nyeri lepas dan apakah ada pembesaran
pada hati dan limfe?
Perkusi
: Hipertimpani atau Timphani
k. Ekstermitas atas
Inspeksi
: Apakah ada luka robekan atau memar, apakah terdapat fraktur
Palpasi
: Apakah ada nyeri tekan dan benjolan
Motorik
: Untuk mengamati bentuk dan besar otot dan tes keseimbangan
Sensori
: Apakah kien dapat membedakan nyeri, sentuhan, temperature,
gerak dan tekan
l. Ekstremitas bawah
Inspeksi
: Apakah ada luka robekan atau memar, apakah terdapat fraktur
Palpasi
: Apakah ada nyeri tekan dan benjolan
Motorik
: Untuk mengamati bentuk dan besar otot dan tes keseimbangan
Sensori
: Apakah kien dapat membedakan nyeri, sentuhan, temperature,
gerak dan tekan
14
II.
Masalah Keperawatan
1. Penurunan curah jantung
2. Gangguan rasa nyaman nyeri
3. Gangguan pola nafas
4. Gangguan nutrisi
5. Intoleransi aktivitas
6. Perubahan persepsi sensori
7. Resti infeksi
8. Perubahan perfusi serebral
9. Kerusakan Integritas kulit
III.
Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
1. Gg.Pola Nafas b/d Ketidak adekuatan Hantaran O2
2. Perubahan Perfusi Jaringan Serebral b/d Hematom epidural
3. Penurunan Curah Jantung b/ d Ketidak Adekuatan Kerja Jantung
4. Perubahan Persepsi Sensori b/d Konpresi Nervus Okulomotoris
5. Gg. Rasa Nyaman Nyeri b/d Hematom
6. Gg. Nutrisi b/d Mual, Muntah
7. Intoleransi Aktivitas b/d Kelemahan Motorik
8. Resti Infeksi b/d Rusak nya Aliran Meningen Otak
9. Kerusakan integritas kulit b/d terputusnya kontunuitas jaringan.
15
IV.
Rencana Asuhan Keperawatan
No
Dx keperawatan
1.
Gangguan pola
NOC
NIC
Tujuan:
napas b/d
Setelah dilakukan asuhan
ketidakkuatan
keperawatan selam 1 x 5 menit
hantara O2 ke otak
diharapkan pola nafas kembali
Mandiri:
1. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau
jaw thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
efektif
ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
jalan nafas buatan
Kriteria Hasil:
4. Pasang mayo bila perlu
1. Mendemonstrasikan batuk efektif
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
dan suara nafas yang bersih, tidak
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
ada sianosis dan dyspneu (mampu
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
mengeluarkan sputum, mampu
tambahan
bernafas dengan mudah, tidak ada
8. Lakukan suction pada mayo
pursed lips)
9. Berikan bronkodilator bila perlu
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten
(klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam
rentang normal, tidak ada suara
10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
nafas abnormal)
12. Monitor respirasi dan status O2
16
3. Tanda Tanda vital dalam rentang
Terapi Oksigen
normal

13. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
Tekanan darah
14. Pertahankan jalan nafas yang paten
Sistole ( 100-120 ) mmHg
15. Atur peralatan oksigenasi
Diastole ( 60-80 ) mmHg
16. Monitor aliran oksigen

Nadi : (60-80 ) x/i
17. Pertahankan posisi pasien

Pernafasan : (16-24) x/i
18. Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi

Suhu : ( 36,5 o C – 37,5 oC)

Tidak terdapat atau keluar darah
oksigenasi
pada telinga, mulut, dan hidung.
Vital sign Monitoring
19. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
20. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
21. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
22. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk,
atau berdiri
23. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
24. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
25. Monitor kualitas dari nadi
26. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
27. Monitor suara paru
17
28. Monitor pola pernapasan abnormal
29. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
30. Monitor sianosis perifer
31. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi
yang melebar, bradikardi, peningkatan
sistolik)
32. Identifikasi penyebab dari perubahan vital
sign
2
Gg.perfusi
Tujuan :
Peripheral Sensation Management
jaringan serebral
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
(Manajemen sensasi perifer)
b/d Hematom
selama 1 x 5 menit diharapkan
1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
epidural
gg.perfusi jaringan kembali adekuat
peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
Kriteria Hasil :
2. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
1. Mendemonstrasikan status sirkulasi
yang ditandai dengan :
kulit jika ada lesi atau laserasi
3. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
 Tekanan systole dan diastole dalam 4. Batasi gerakan pada kepala, leher dan
rentang yang diharapkan (systole:
punggung
100-120 mmHg, diastole: 70-
5. Kolaborasi pemberian analgetik
90mmHg)
6. Monitor adanya tromboplebitis
 Frekuensi Nadi dalam batas normal
7. Diskusikan mengenai penyebab perubahan
sensasi
(60-80 x/i)
18
 Kapilary refling < 2 detik
Vital sign Monitoring
 Tidak terdapat sianosis pada perifer 8.
2. Menunjukkan fungsi sensori motori
cranial yang utuh : tingkat kesadaran
mambaik (dengan GCS dalam batas
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
9. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
10. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk,
atau berdiri
11. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
normal : 15), tidak ada gerakan
bandingkan
gerakan involunter.
12. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
3. Mendemonstrasikan kemampuan
setelah aktivitas
kognitif yang ditandai dengan:
 Berkomunikasi dengan jelas dan
13. Monitor kualitas dari nadi
14. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
sesuai dengan kemampuan
 Menunjukkan perhatian, konsentrasi
15. Monitor suara paru
16. Monitor pola pernapasan abnormal
dan orientasi
 Memproses informasi
17. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
 Membuat keputusan dengan benar
18. Monitor sianosis perifer
19. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi
yang melebar, bradikardi, peningkatan
sistolik)
20. Identifikasi penyebab dari perubahan vital
sign
19
3.
Penurunan Curah
Tujuan :
1. Kaji dan dokumentasikan tekanan darah,
Jantung b/d
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
Pendarahan
selama 1 x 10 menit diharapkan
sianosis, status pernafasan, dan status mental.
2. Pantau tanda kelebihan cairan, misalnya
penurunan curah jantung teratasi.
edema pada tubuh bagian bawah
3. Kaji toleransi aktivitas pasien dengan
Kriteria Hasil :
memperhatikan awal nafas pendek, nyeri, atau
1. Mendemonstrasikan status sirkulasi
pusing.
yang ditandai dengan :
4. Pantau denyut nadi perifer waktu pengisian
 Tekanan systole dan diastole dalam
5. Pantau dan dokumentasikan denytu jantung,
rentang yang diharapkan
 Tidak ada ortostatikhipertensi
1. Mendemonstrasikan
kapiler, suhu dan warna ekstremitas
irama dan nadi.
status 6. Ubah posisi ke posisi terlentang atau
sirkulasi yang ditandai dengan :
 Tekanan systole dan diastole
trendelenburg pada saat tekanan darah pasien
berada pada rentang lebih rendah
dalam rentang yang diharapkan
dibandingkan daripada biasanya.
7. Pasang IVFD atau berikan pengobatan untuk
Sistolik (100-120) mmHg
meningkatkan tekanan darah pada hipotensi
Diastolik (60-90) mmHg
 Tidak ada ortostatik hipertensi
yang tiba-tiba
8. Pindahkan posisi pasien setiap 2 jam atau
 Tidak ada perdarahan
pertahankan aktivitas yang dibutuhkan untuk
 Kapilary refling < 2 detik
menurunkan stasis sirkulasi perifer.
20
2. TTV dalam batas normal
TD :
Sistolik
9. Minimalkan atau hilangkan stressor
(100-120)
mmHg
Diastolik (60-90) mmHg
Suhu : 36,5 o C – 37,5 o C
Nadi : ( 60-80 ) x/i
Pernapasan : ( 16-24 ) x/i
3. Memperlihatkan
irama
dan
frekuensi jantung stabil dalam
rentang normal pasien
21
lingkungan
26
Download