UJIAN AKHIR SEMESTER KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA OLEH: KGS M YURIANSYAH 07031381823134 Dosen Pengampu : Krisna Murti, S.I.Kom., MA PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penggunaan media internet sebagai sarana komunikasi berkembang dengan pesat setelah internet mulai dapat diakses dengan sanagt mudah, bahkan muncul istilah telepon cerdas (Smartphone), dengan hadirnya fasilitas ini maka banyak pula timbul media-media baru untuk berkomunikasi seperti SMS, E-mail, Instagram, Twitter, dan sebagainya. Menurut Nasrullah (2015) media sosial adalah medium di internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain membentuk ikatan sosial secara virtual. Dalam media sosial, tiga bentuk yang merujuk pada makna bersosial adalah pengenalan (cognition), komunikasi (communicate) dan kerjasama (cooperation). Tidak dapat disangkal bahwa pada saat ini sosial media telah menjadi cara baru masyarakat dalam berkomunikasi. Hal ini berdampak pada berbagai sisi kehidupan masyarakat. Kehadiran media sosial telah membawa dampak yang sangat signifikan dalam cara melakukan komunikasi. (Nasrullah, 2015) Hal ini menyebabkan, perubahan ataupun pergeseran dalam berkomunikasi, banyak orang terutama remaja menggunakan media sosial sebagai platform untuk berinteraksi, membagikan unggahan, dan bercerita. Dalam bersosial media di era sekarang, sangat mudah untuk diakses dan memudahkan orang untuk menyalurkan pendapat tanpa khawatir. Maka dari itu, banyak dampak yang dapat ditimbulkan bisa merupakan hal yang positif atau negatif. Dampak- dampak positif yang bisa didapatkan berupa menambah relasi, tempat promosi, dan juga mempermudah dalam berkomunikasi. Adapun dampak negatif yang dapat ditimbulkan bagi remaja, dapat menganggu proses belajar remaja tersebut, lalu bahay kejahatan seperti bully, bodyshaming, verbal abuse, dan bahkan penipuan. Karena hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil tema pergeseran komunikasi antar budaya dengan judul “Pengaruh Likes Instagram dengan Kesehatan Mental Remaja” 1.2 Definisi Komunikasi Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Hal yang senada diungkapkan oleh Hafied Cangara, komunikasi berpangkal pada perkataan Latin communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Secara terminologi, para ahli komunikasi memberikan pengertian komunikasi menurut sudut pandang dan pendapat mereka masing-masing diantaranya: Danil Vardiasnyah mengungkapkan beberapa definisi komunikasi secara istilah yang dikemukakan para ahli 1. Jenis & Kelly menyebutkan “Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk katakata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lainnya (khalayak)” 2. Berelson & Stainer “Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain. Melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-gambar, angka-angka, dan lain- lain” 3. Gode “Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari yang semula yang dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki dua orang atau lebih” 4. Brandlun “Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego” (Dani, 2008) 1.2.1 Bentuk Komunikasi Didalam berhubungan sehari-hari komunikasi dibagi menjadi dua yaitu verbal dan nonverbal. 1. Komunikasi Verbal Komunikasi verbal meliputi Symbol atau pesan yang menggunakan satu kata atau lebih, dari semua interaksi yang disadari termasuk dalam kategori disengaja yang dilakukan dengan sadar ke orang lain baik itu menggunakan lisan. Bahasa juga digunakan dalam kode verbal dan dapat didifinisikan sebagai perangkat simbol, dengan aturan dan yang mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dalam memahami suatu komunitas-komunitas. (Mulyana, 2005). Larry barker dalam Mulyana (2005:243), Bahasa memiliki tiga fungsi penamaan (naming dan labeling), interaksi, tranmisi dan informasi. a. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek,tindakan, atau orasng dengan menyebut namanya sehinggah dapat dirujuk dalam komunikasi. b. Fungsi komunikasi menekankan pada gagasan dan emosi yang bisa mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan serta kebingungan. c. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan pada orang lain, inilah yang dinamakan dengan tranmisi, dari keistimewaan bahasa yang bisa menjadi tranmisi informasiyang melintasi menghubungkan masa lalu, sekarang dan akan datang. waktu dengan 2. Komunikasi non verbal Komunikasi non verbal adalah semua komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata. Komunikasi ini mencangkup semua rangsangan kecuali ransangan verbal dalam suatu sistem komunikasi, yang bagi pengirim atau penerima, dan kita mengirim pesan non verbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain. (Mulyana, 2005:343). 1.2.2 Komunikasi Antar Budaya Beberapa ahli komunikasi antarbudaya mengemukakakn pendapatnya tentang definisi komunikasi antarbudaya sebagai berikut : 1. Andrea L.Rich dan Dennis M.Ogawa menyatakan dalam buku Intercultural Communication,A Reader bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya antara suku 2. Samovar dan Porter (1976:4) juga menyatakan komunikasi antarbudaya 3. terjadi diantara produsen pesan dan penerima pesan yang latar belakang 4. kebudayaannya berbeda. 5. Chaley H.Dood (1991:5) mengungkapkan komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi atau kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (1991). 6. Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif,transaksional, dan kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Lustig dan Koster,1993). 7. Komunikasi antarbudaya (Intercultural Communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya. 8. Gou-Ming Chen dan William J.Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia, dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. (Liliweri, 2015) 1.3 Pergeseran Budaya Seperti halnya menurut Narwoko dan Suyanto (2013) menjelaskan bahwa berbagai perangkat teknologi komunikasi pada kenyataannya membawa nilai atau budaya baru yang berlawanan dengan kultur dan dengan cepat dapat mengubah pola kehidupan serta gaya hidup masyarakat. Teknologi komunikasi seperti televisi, handphone, dan internet, membawa nilai-nilai yang berbeda dengan budaya lokal yang sudah ada sebelumnya. Implikasinya masyarakat dapat terpengaruh atau meniru budaya global yang dibawa oleh perkembangan teknologi komunikasi. (Suyanto, 2013) Sedyawati (2006) menjelaskan bahwa perubahan kebudayaan dalam masyarakat tradisional terjadi karena adanya tarikan budaya asing atau nilai-nilai baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Terdapat beberapa faktor yang dapat menggeser budaya lokal suatu suku bangsa yaitu karena adanya perkembangan teknologi komunikasi, adanya keinginan untuk berubah, kurangnya sosialisasi tentang budaya lokal terhadap generasi muda, atau bahkan adanya nilai-nilai baru yang kontras dengan budaya lokal tersebut. Solusi yang terbaik adalah penguatan kembali pengetahuan tentang budaya lokal pada remaja sebagai bentuk upaya pelestarian kebudayaan tersebut. Sosialisasi yang dilakukan memungkinkan remaja mempunyai bekal pengetahuan sehingga dengan derasnya nilai-nilai global yang dibawa oleh perkembangan teknologi komunikasi, generasi muda sudah bisa memfilter budaya luar yang masuk sehingga tidak dapat merusak identitas suku bangsa (Sedyawati, 2006) 1.4 Media Sosial Van Dijk dalam Nasrullah (2015) menyatakan bahwa media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktifitas maupun berkolaborasi. Karena itu media social dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna sekaligus sebuah ikatan sosial. Meike dan Young dalam Nasrullah (2015) mengartikan kata media sosial sebagai konvergensi antara komunikasi personal dalam arti saling berbagi diantara individu (to be share one-to-one) dan media publik untuk berbagi kepada siapa saja tanpa ada kekhususan individu. Menurut Boyd dalam Nasrullah (2015) media sosial sebagai kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain. Media sosial memiliki kekuatan pada user-generated content (UGC) dimana konten dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di instansi media massa. Pada intinya, dengan sosial media dapat dilakukan berbagai aktifitas dua arah dalam berbagai bentuk pertukaran, kolaborasi, dan saling berkenalan dalam bentuk tulisan, visual maupun audiovisual. Sosial media diawali dari tiga hal, yaitu Sharing, Collaborating dan Connecting (Puntoadi, 2011). BAB II DEFINISI MASALAH 2.1 Contoh Masalah Saya mengambil contoh masalah, dari berita online dengan judul : Kemurungan Remaja Dapat Jadi Pertanda Depresi Menurut data dari Departemen Pendidikan di Inggris yang meneliti 30.000 remaja usia 14-15 tahun, satu dari tiga remaja putri menderita kecemasan atau depresi. Dibanding sepuluh tahun silam, jumlah remaja penderita kecemasan dan depresi di sana naik 10 persen sehingga peneliti menyebutnya sebagai ‘epidemik yang bertumbuh lambat.’Lebih lanjut, sebanyak 37 persen remaja putri yang disurvei mengaku mengalami gejala tekanan psikologis seperti perasaan tak berharga atau kesulitan berkonsentrasi, sementara remaja putra yang mengalami hal ini hanya 15 persen. Manajer kampanye lembaga Young Minds, Nick Harrop, menyatakan kepada The Telegraph, “Remaja putri dewasa ini menghadapi banyak sekali tekanan, mulai dari sekolah, kecemasan terkait citra tubuh, seksualisasi dini, perundungan di ranah offline dan online, serta ketidakpastian akan masa depan selepas sekolah.” Penelitian terhadap remaja di Amerika pun menunjukkan tren yang serupa dengan di Inggris. Seperti dikutip The New York Times, sejak 2005 hingga 2014 tingkat depresi remaja usia 12-20 tahun yang menanjak terdapat dalam temuan riset The National Surveys on Drug Use and Health. Lebih jauh lagi dalam hasil riset mereka, remaja usia 18-20 tahun menunjukkan kenaikan depresi yang signifikan. Ia juga menambahkan, media sosial memegang peranan pula dalam memicu tekanan yang dialami remaja putri. Mereka dituntut untuk menciptakan personal branding sejak usia muda dan mencari penguatan dari orang sekitar dalam bentuk likes dan shares. Akibat terburuk dari sebuah depresi yang dialami siapa pun adalah keinginan bunuh diri. Banyak studi yang telah meneliti mengenai kecenderungan remaja untuk bunuh diri ketika tidak bisa menyelesaikan masalah. Center for Disease Control and Prevention mengumumkan pada November 2016 silam bahwa berdasarkan data tahun 2014, tingkat bunuh diri pada remaja usia 10-14 tahun meningkat hingga angkanya mampu menyaingi jumlah kematian remaja akibat kecelakaan lalu lintas. (tirto.id, 2017) Dimana remaja-remaja era sekarang berusaha menarik perhatian dari lingkungan sekitar, dan ia hidup dalam stigma “Semakin banyak likes yang didapat, maka semakin banyak orang yang menyukaimu” sehingga terkadang hal ini menimbulkan perasaan tertekan, sebelum adanya media sosial, seseorang tidak dapat menghakimi orang lain hanya dengan melihat, ia harus mengenal terlebih dahulu. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi adalah self esteem (Vonderen & Kinnally, 2012). Jika seseorang memiliki self esteem negatif akan meningkatkan body image yang negatif, namun sebaliknya seseorang yang memiliki self esteem yang positif akan mengembangkan evaluasi yang positif terhadap tubuhnya (Cash dan Pruzinsky, 2002 cit., Nurvita & Handayani, 2015). Berdasarkan studi tersebut memungkinkan terjadinya ansietas pada seseorang yang memiliki body image negatif dan self esteem negatif. Dimana keberadaan media sosial ini menyebabkan banyak remaja memiliki body image dan self esteem yang negatif, hal ini pun dapat mempengaruhi dengan kesehatan mental seseorang. BAB III TEORI 3.1 Teori Interaksi Simbolik Konsep teori interaksi simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, idea ini sebenarnya sudah lebih dahulu dikemukakan George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh blumer guna mencapai tujuan tertentu. Teori ini memiliki idea yang baik, tetapi tidak terlalu dalam dan spesifik sebagaimana diajukan G.H. Mead. Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial. Menurut teori Interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlihat dalam interaksi sosial. Secara ringkas Teori Interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: 1. Individu merespon suatu situasi simbolik, mereka merespon lingkungan termasuk obyek fisik (benda) dan Obyek sosial (perilaku manusia) berdasarkan media yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. 2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melihat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa, negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu mewarnai segala sesuatu bukan hanya obyek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran obyek fisik, tindakan atau peristiwa itu ) namun juga gagasan yang abstrak. 3. Makna yang interpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial, perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, Karya tunggal Mead yang amat penting dalam hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Mind, Self dan Society. Mead megambil tiga konsep kritis yang diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menyusun sebuah teori interaksionisme simbolik.Tiga konsep itu dan hubungan di antara ketiganya merupakan inti pemikiran Mead, sekaligus key wordsdalam teori tersebut. Interaksionisme simbolis secara khusus menjelaskan tentang bahasa, interaksi sosial dan reflektivitas. a. Mind Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substantif. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran. Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah. Menurut Mead “manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia melakukan tindakan yang sebenarnya”. Berfikir menurut Mead adalah suatu proses dimana individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu memilih yang mana diantara stimulus yang tertuju kepadanya itu akan ditanggapinya. Simbol juga digunakan dalam (proses) berpikir subyektif, terutama simbol-simbol bahasa. Hanya saja simbol itu tidak dipakai secara nyata, yaitu melalui percakapan internal. Serupa dengan itu, secara tidak kelihatan individu itu menunjuk pada dirinya sendiri mengenai diri atau idenditas yang terkandung dalam reaksi-reaksi orang lain terhadap perilakunya. Maka, kondisi yang dihasilkan adalah konsep diri yang mencakup kesadaran diri yang dipusatkan pada diri sebagai obyeknya. Isyarat sebagai simbol-simbol signifikan tersebut muncul pada individu yang membuat respons dengan penuh makna. Isyarat-isyarat dalam bentuk ini membawa pada suatu tindakan dan respon yang dipahami oleh masyarakat yang telah ada. Melalui simbol-simbol itulah maka akan terjadi pemikiran. Esensi pemikiran dikonstruk dari pengalaman isyarat makna yang terinternalisasi dari proses eksternalisasi sebagai bentuk hasil interaksi dengan orang lain. Oleh karena perbincangan isyarat memiliki makna, maka stimulus dan respons memiliki kesamaan untuk semua partisipan. Makna itu dilahirkan dari proses sosial dan hasil dari proses interaksi dengan dirinya sendiri. Menurut Mead terdapat empat tahapan tindakan yang saling berhubungan yang merupakan satu kesatuan dialektis. Keempat hal elementer inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang meliputi impuls, persepsi, manipulasi dan konsumsi. Pertama, impuls, merupakan dorongan hati yang meliputi rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap stimulasi yang diterima. Tahap yang kedua adalah persepsi, tahapan ini terjadi ketika aktor sosial mengadakan penyelidikan dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls. Ketiga, manipulasi, merupakan tahapan penentuan tindakan berkenaan dengan obyek itu, tahap ini merupakan tahap yang penting dalam proses tindakan agar reaksi terjadi tidak secara spontanitas. Disinilah perbedaan mendasar antara manusia dengan binatang, karena manusia memiliki peralatan yang dapat memanipulasi onyek, setelah melewati ketiga tahapan tersebut maka tibalah aktor mengambil tindakan, tahapan yang keempat disebut dengan tahap konsumsi. b. Self The self atau diri, menurut Mead merupakan ciri khas dari manusia. Yang tidak dimiliki oleh binatang. Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek dari perspektif yang berasal dari orang lain, atau masyarakat. Tapi diri juga merupakan kemampuan khusus sebagai subjek. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas interaksi sosial dan bahasa. Menurut Mead, mustahil membayangkan diri muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Karena itu ia bertentangan dengan konsep diri yang soliter dari Cartesian Picture. The self juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan orang lain karena adanya sharing of simbol. Artinya, seseorang bisa berkomunikasi, selanjutnya menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan atau mengantisipasi apa yang akan dikatakan selanjutnya. Mead menggunakan istilah significant gestures (isyarat-isyarat yang bermakna) dan significant communication dalam menjelaskan bagaimana orang berbagi makna tentang simbol dan merefleksikannya. Ini berbeda dengan binatang, anjing yang menggonggong mungkin akan memunculkan reaksi pada anjing yang lain, tapi reaksi itu hanya sekedar insting, yang tidak pernah diantisipasi oleh anjing pertama. Dalam kehidupan manusia kemampuan mengantisipasi dan memperhitungkan orang lain merupakan cirikhas kelebihan manusia. Jadi the self berkait dengan proses refleksi diri, yang secara umum sering disebut sebagai self control atau self monitoring. Melalui refleksi diri itulah menurut Mead individu mampu menyesuaikan dengan keadaan di mana mereka berada, sekaligus menyesuaikan dari makna, dan efek tindakan yang mereka lakukan. Dengan kata lain orang secara tak langsung menempatkan diri mereka dari sudut pandang orang lain. Dari sudut pandang demikian orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai suatu kesatuan. Mead membedakan antara “I” (saya) dan “me” (aku). I (Saya) merupakan bagian yang aktif dari diri (the self) yang mampu menjalankan perilaku. “Me” atau aku, merupakan konsep diri tentang yang lain, yang harus mengikuti aturan main, yang diperbolehkan atau tidak. I (saya) memiliki kapasitas untuk berperilaku, yang dalam batas-batas tertentu sulit untuk diramalkan, sulit diobservasi, dan tidak terorganisir berisi pilihan perilaku bagi seseorang. Sedangkan “me” (aku) memberikan kepada I (saya) arahan berfungsi untuk mengendalikan I (saya), sehingga hasilnya perilaku manusia lebih bisa diramalkan, atau setidak-tidaknya tidak begitu kacau. Karena itu dalam kerangka pengertian tentangthe self(diri), terkandung esensi interaksi sosial. Interaksi antara “I” (saya) dan “me” (aku). Disini individu secara inheren mencerminkan proses sosial. Seperti namanya, teori ini berhubungan dengan media simbol dimana interaksi terjadi. Tingkat kenyataan sosial sosial yang utama yang menjadi pusat perhatian interaksionisme simbolik adalah pada tingkat mikro, termasuk kesadaran subyektif dan dinamika interaksi antar pribadi. Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain, kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi personal penanggap, tetapi personal stimuli sekaligus. Bagaimana bisa terjadi, kita menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus? Diri (self) atau kedirian adalah konsep yang sangat penting bagi teoritisi interaksionisme simbolik. Rock menyatakan bahwa “diri merupakan skema intelektual interaksionis simbolik yang sangat penting. Seluruh proses sosiologis lainnya, dan perubahan di sekitar diri itu, diambil dari hasil analisis mereka mengenai arti dan organisasi Diri adalah di mana orang memberikan tanggapan terhadap apa yang ia tujukan kepada orang lain dan di mana tanggapannya sendiri menjadi bagian dari tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri, berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada dirinya, sehingga kita mempunyai perilaku di mana individu menjadi objek untuk dirinya sendiri. Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana individu adalah bagiannya. Mead menyadari bahwa manusia sering terlibat dalam suatu aktivitas yang didalamnya terkandung konflik dan kontradiksi internal yang mempengaruhi perilaku yang diharapkan. Mereka menyebut “konflik intrapersonal”, yang menggambarkan konflik antara nafsu, dorongan, dan lain sebagainya dengan keinginan yang terinternalisasi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan self yang juga mempengaruhi konflik intrapersonal, diantaranya adalah posisi sosial. Orang yang mempunyai posisi tinggi cenderung mempunyai harga diri dan citra diri yang tinggi selain mempunyai pengalaman yang berbeda dari orang dengan posisi sosial berbeda. Bagian terpenting dari pembahasan Mead adalah hubungan timbal balik antara diri sebagai objek dan diri sebagai subjek. Diri sebagai objek ditunjukkan oleh Mead melalui konsep “me”, sementara ketika sebagai subjek yang bertindak ditunjukannya dengan konsep “I”. Ciri utama pembeda manusia dan hewan adalah bahasa atau “simbol signifikan”. Simbol signifikan haruslah merupakan suatu makna yang dimengerti bersama, ia terdiri dari dua fase, “me” dan “I”. Dalam konteks ini “me” adalah sosok diri saya sebagaimana dilihat oleh orang lain, sedangkan “I” yaitu bagian yang memperhatikan diri saya sendiri. Dua hal itu menurut Mead menjadi sumber orisinalitas, kreativitas, dan spontanitas.30 Kita tak pernah tahu sama sekali tentang “I” dan melaluinya kita mengejutkan diri kita sendiri lewat tindakan kita. Kita hanya tahu “I” setelah tindakan telah dilaksanakan. Jadi, kita hanya tahu ”I” dalam ingatan kita. Mead menekankan “I” karena empat alasan. Pertama, “I” adalah sumber utama sesuatu yang baru dalam proses sosial. Kedua, Mead yakin, didalam “I” itulah nilai terpenting kita ditempatkan. Ketiga, “I” merupakan sesuatu yang kita semua cari perwujudan diri. Keempat, Mead melihat suatu proses evolusioner dalam sejarah dimana manusia dalam masyarakat primitif lebih didominasi oleh “Me” sedangkan dalam masyarakat modern komponen “I” nya lebih besar. “I” bereaksi terhadap “Me” yang mengorganisir sekumpulan sikap orang lain yang ia ambil menjadi sikapnya sendiri. Dengan kata lain “Me” adalah penerimaan atas orang lain yang di generalisir. Sebagaimana Mead, Blumer berpandangan bahwa seseorang memiliki kedirian (self) yang terdiri dari unsur I dan Me. Unsur I merupakan unsur yang terdiri dari dorongan, pengalaman, ambisi, dan orientasi pribadi. Sedangkan unsur Me merupakan “suara” dan harapan-harapan dari masyarakat sekitar. Pandangan Blumer ini sejalan dengan gurunya, yakni Mead, yang menyatakan bahwa dalam percakapan internal terkandung didalamnya pergolakan batin antara unsur I (pengalaman dan harapan) dengan unsur Me (batas-batas moral). Pemahaman makna dari konsep diri pribadi dengan demikian mempunyai dua sisi, yakni pribadi (self) dan sisi sosial (person). Karakter diri secara sosial dipengaruhi oleh “teori” (aturan, nilai-nilai dan norma) budaya setempat seseorang berada dan dipelajari memalui interaksi dengan orang- orang dalam budaya tersebut. Konsep diri terdiri dari dimensi dipertunjukan sejauh mana unsur diri berasal dari sendiri atau lingkungan sosial dan sejauh mana diri dapat berperan aktif. Dari perspektif ini, tampaknya konsep diri tidak dapat dipahami dari diri sendiri. Dengan demikian, makna dibentuk dalam proses interaksi antar orang dan objek diri, ketika pada saat bersamaan mempengaruhi tindakan sosial. c. Sosial Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri. Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial (social institutions). Secara luas, Mead mendefinisikan pranata sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau “kebiasaan hidup komunitas”. Secara lebih khusus, ia mengatakan bahwa, keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon yang sama dipihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan pranata”. Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam diri aktor. Pendidikan adalah proses yang esensial karena menurut pandangan Mead, aktor tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya sehingga mereka tidak mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama komunitas. Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalu menghancurkan individualitas atau melumpuhkan kreativitas. Mead mengakui adanya pranata sosial yang “menindas, stereotip, ultrakonservatif” yakni, yang dengan kekakuan, ketidaklenturan, dan ketidakprogesifannya menghancurkan atau melenyapkan individualitas. Menurut Mead, pranata sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu dalam pengertian yang sangat luas dan umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup bagi individualitas dan kreativitas. Di sini Mead menunjukkan konsep pranata sosial yang sangat modern, baik sebagai pemaksa individu maupun sebagai yang memungkinkan mereka untuk menjadi individu yang kreatif. Dalam konsep teori Herbert Mead tentang interaksionisme simbolik terdapat prinsip-prinsip dasar yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Manusia dibekali kemampuan berpikir, tidak seperti binatang 2) Kemampuan berpikir ditentukan oleh interaksi sosial individu 3) Dalam berinteraksi sosial, manusia belajar memahami simbol-simbol. Beserta maknanya yang memungkinkan manusia untuk memakai Kemampuan berpikirnya. 4) Makna dan simbol memungkinkan manusia untuk bertindak (khusus dan Sosial) dan berinteraksi 5) Manusia dapat mengubah arti dan simbol yang digunakan saat berinteraksi berdasar penafsiran mereka terhadap situasi 6) Manusia berkesempatan untuk melakukan modifikasi dan perubahan karena berkemampuan berinteraksi dengan diri yang hasilnya adalah peluang tindakan dan pilihan tindakan 7) Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok bahkan masyarakat. Pada intinya perhatian utama dari teori interaksi simbolik adalah tentang terbentuknya kehidupan bermasyarakat melalui proses interaksi serta komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami melalui proses belajar. BAB IV PEMBAHASAN Dengan adanya media baru yaitu media sosial, membuat terjadinya pergeseran dalam berkomunikasi dan memandang sisi kehidupan, terutama bagi remaja. Dimana mereka menggunakan media sosial sebagai tempat berkomunikasi dan berinteraksi yang termasuk dalam komunikasi non verbal. Sehingga mereka cenderung lebih menarik perhatian dunia media sosial terutama instagram. Kalangan remaja yang mempunyai media sosial biasanya memposting tentang kegiatan pribadinya, curhatannya, serta foto-foto bersama teman. Dalam media sosial siapapun dapat dengan bebas berkomentar serta menyalurkan pendapatnya tanpa rasa khawatir. Hal ini dikarenakan dalam internet khususnya media sosial sangat mudah memalsukan jati diri atau melakukan kejahatan. Padahal dalam perkembangannya di sekolah, remaja berusaha mencari identitasnya dengan bergaul bersama teman sebayanya. Namun saat ini seringkali remaja beranggapan bahwa semakin aktif dirinya di media sosial maka mereka akan semakin dianggap keren dan gaul. Sedangkan remaja yang tidak mempunyai media sosial biasanya dianggap kuno atau ketinggalan jaman dan kurang bergaul. Tingginya intensitas penggunaan media sosial di kalangan remaja maupun dewasa memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental secara tidak langsung. Intensitas penggunaan media sosial sendiri adalah kegiatan yang sama yang dilakukan di media sosial secara berulang-ulang. Media sosial didefinisikan sebagai "bentuk komunikasi elektronik yang memungkinkan pengguna membuat komunitas online untuk berbagi informasi, gagasan, pesan pribadi, dan konten lainnya seperti video (Smith, 2011). Penggunaan media sosial yang tinggi dapat menyebabkan kecanduan. Menurut Kumorotomo, (2010) kecanduan media sosial dapat menyebabkan timbulnya masalah psikis. Orang akan menjadi sangat tergantung sehingga akan merasa hidupnya tidak lengkap jika sehari saja tidak membuka akun media sosial. Hoskin (dalam Kumorotomo, 2010) menyebutkan tujuh akibat jika seseorang sudah kecanduan media sosial yaitu rasa malas bekerja, sifat rakus, iri, dengki, takabur, pemarah, dan mengada-ada. Efek psikis lainnya adalah seseorang menjadi malas mengerjakan hal-hal yang produktif, angkuh, dan narsis. BAB V KESIMPULAN Di era media sosial dan perkembangan teknologi, menyebabkan terjadinya pergeseran budaya dan komunikasi. Dimana orang-orang lebih terpaku dengan komunikasi non verbal, dan stigma-stigma orang. Mereka dengan mudah berkomunikasi, berpendapat, dan berbagi momen dengan orang-orang sekitarnya, tetapi hal ini berdampak dengan dengan kurangnya interaksi secara langsung dimana hal ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-sehari. Selain itu, dikarenakan mudahnya akses media sosial, terkadang banyak orang yang kerap menyalah gunakan hal tersebut, serta menyebabkan timbulnya stigma-stigma negatif yang dapat berpengaruh dalam kesehatan mental . DAFTAR PUSTAKA Alo Liliweri. (2015).Komunikasi Antar Personal. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group Cash, T.F & Pruzinsky, T. (2002) Body image: A Hand Book Of Theory, Research, And Clinical Practice. London : The Guilford Press Dwi Narwoko, J., dan Suyanto, Bagong., Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta : Kencana. 2013. Kumorotomo, W. (2010). Menilai situs jejaring sosial secara adil. Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bangdung: Remaja Rosadakarya Nasrullah, Rulli. 2015. Media Sosial; Persfektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. Puntoadi, Danis. 2011. Menciptakan Penjualan Melalui Social Media. Jakarta: Elex Media Komputindo. Edy Sedyawati. 2006. Budaya Indonesia (Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hlm. 317. Smith, A. (2011). Why Americans use social media. Retrieved. Retrieved from http://www.pewinternet.org/2011/11/15/why-americans-use-social-media/ Vonderen, M.S.K.E.V., & Kinnally, W. (2012). Media effects on body image: examining media exposure in the broader context of internal and other social factors. American Communication Journal 2012 SPRING, vol 14 (2), hlm. 41-57.