KEBHINNEKAAN DAN TOLERANSI DALAM KERAMAT RADEN AYU SITI KHOTIJAH Adana Presti Ariyanto Prodi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana < [email protected] > Artikel ini akan membahas mengenai hubungan dinamis dari dua agama, yaitu Islam dan Hindu di Bali. Fenomena akulturasi dan hubungan antaragama ini ditemukan di salah satu makam salah satu putri Raja Badung, I Gusti Ngurah Gede Pemecutan yang terletak di Jl. Gunu Batukaru, Pemecutan, Denpasar Barat. Putri kesayangan raja ini bernama Gusti Ayu Made Rai yang terkenal akan kecantikannya hingga semasa hidupnya dipingit di dalam Puri hingga menginjak dewasa. Bali memang memiliki sejarah panjang tersendiri mengenai proses pertukaran kebudayaan dari berbagai macam latar belakang bangsa. Hal ini bukan disertai alasan, karena secara geografis, Bali juga terletak di wilayah strategis jalur perdagangan antar bangsa dan menjadi kawasan transit para pedagang internasional. Di wilayah Bali Utara misalnya, di daerah Julah dahulu menjadi pintu gerbang bandar pelabuhan internasional bali dengan bangsa-bangsa asing seperti Cina, India, dan bangsa Timur Tengah. Hubungan masyarakat Hindu-Bali dengan umat muslim di Nusantara juga sudah banyak tercatat pada bukti-bukti peninggalan arkeologis baik di Bali sendiri maupun luar Bali. Salah satunya adalah Prasasti Sembiran A yang terdapat kata “pasisi” yang merujuk pada komunitas orang yang tinggal di wilayah pesisir, yang kemungkinan besar adalah warga pendatang yang beragama Islam. Menurut sumber lokal, muncul penyebutan “Wong Sunantara” bagi umat muslim Bugis yang tinggal di Karangasem, yang berarti orang-orang Nusantara atau bukan orang yang berasal dari Bali asli. Dari berbagai macam sumber tersebut tidak dipungkiri adanya akulturasi kedua agama ini di tanah Bali sebagai bukti adanya kebhinnekaan yang nyata. Kisah Sang Raden Ayu Siti Khotijah ini berawal dengan ditemukannya makam Islam di daerah Pemecutan dengan juru kunci seorang mangku yang beragama Hindu. Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat topik ini sebagai bukti adanya toleransi yang sangat menarik antar kedua agama serta kebhinnekaan dalam lingkup kerajaan Bali yang seringkali diketahui memiliki keyakinan Hindu yang sungguh kuat. Gusti Ayu Made Rai adalah seorang putri dari Raja Badung yang sekarang dikenal masyarakat sebagai seorang putri muslim di Bali yang disebut-sebut sebagai salah satu dari Wali Pitu. Makamnya yang kini disebut sebagai Keramat Agung Pemecutan, diketahui banyak dikunjungi oleh peziarah dari agama Islam dan Hindu serta dari berbagai daerah di dalam maupun luar negeri. Makam Siti Khotijah berupa sebuah makam tunggal yang terletak di kompleks Setra Pemecutan milik Kerajaan Badung yang merupakan makam atau biasanya menjadi tempat melaksanakan ngaben bagi umat Hindu. Mangku dari keramat ini bernama Jro Mangku I Made Puger, generasi ketiga dari juru kunci kerajaan yang sudah menjaga makam ini. Kisah kematian Raden Ayu Siti Khotijah ini berawal ketika pada saat menginjak dewasa beliau mengidap penyakit kuning atau hepatitis yang sangat sulit disembuhkan di masa itu. Sang Raja telah memerintahkan seluruh balian hebat kerajaan, namun tak satupun dapat meredakan sakit yang diderita Sang Putri. Kemudian beliau melakukan tapa semadi di tempat suci istana atau pamarajaan guna mencari cara yang tepat untuk menyembuhkan putri kesayangannya. Dalam semadi itu, Ia mendapatkan pawisik untuk melaksanakan Sabda Pandita Ratu berupa sayembara ke seluruh penjuru nusantara. Sayembara tersebut berbunyi “barangsiapa dapat menyembuhkan putri raja, apabila ia perempuan akan diangkat anak, dan apabila laki-laki dan berjodoh akan dinikahkan dengan putri raja”. Sayembara tersebut terdengar hingga Tanah Jawa, seorang Syekh yang memiliki ilmu kebatinan tinggi segera mengutus muridnya yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura untuk menuju Bali. Sesampainya di Bali, Pangeran disambut ramah dan menyanggupi untuk menyembuhkan Sang Putri. Singkat cerita, Pangeran Cakraningrat IV berhasil menyembuhkan Gusti Ayu Made Rai dan mereka jatuh cinta sejak pandangan pertama sehingga raja menikahkan anak putrinya dengan Sang Pangeran yang kemudian memboyongnya menuju tanah Madura. Sang Putri pun menjadi mu’alaf dan mengubah namanya menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Bertahun lamanya di tanah Madura membuat Sang Putri rindu dengan keluarganya di Puri Pemecutan. Sesampainya di Puri Pemecutan, ternyata di kerajaan sedang berlangsung Upacara Maligia yang dihadiri oleh seluruh keluarga kerajaan. Karena Ia adalah seorang muslim yang taat, maka ketika memasuki waktu petang beliau melaksanakan ibadah shalat maghrib di tempat suci kerajaan menggunakan mukena berwarna putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Patih kerajaan yang tidak biasa melihat pemandangan tersebut mengira Sang Putri tengah melakukan ajaran ilmu ngeleak yang segera dilaporkan kepada raja. Benar saja, Sang Raja murka dan memerintahkan patih untuk menghabisi nyawa putrinya sendiri. Patih pun menyeret Sang Putri ke tengah Setra Badung yang kemudian disambut pesan dari Siti Khotijah bahwa jika ingin membunuhnya, lebih baik menggunakan tusuk konde dari kepalanya yang diberi daun sirih serta diikat dengan benang tri datu, dan jika nanti beliau telah wafat dan muncul asap berbau busuk maka boleh dikuburkan sembarangan. Tetapi jika muncul asap berbau wangi, maka harus dibuatkan makam yang diberi nama keramat. Sesaat setelah patih melemparkan tusuk konde seperti yang beliau perintahan, Sang Putri segera jatuh tersungkur dan muncul asap yang berbau sangat wangi memenuhi setra. Setelahnya segera dibangunkan keramat bagi Raden Ayu Siti Khotijah yang memiliki keunikan sebuah pohon yang tumbuh hingga saat ini yang diduga berasal dari rambut Sang Putri. Daftar Pustaka Woodward, Mark. 2018. The Apotheosis Of Siti Khotijah: Islam And Muslims In A Balinese Galactic Polity dalam International Journal of Interreligious and Intercultural Studies (IJIIS) Volume I, Number 1, October 2018. Arizona : Arizona State University.