Uploaded by User75594

Paper UAS Kristologi Frumensius Arwan

advertisement
Nama : Frumensius Arwan
Prodi : Teologi
NPM : 0248603218
Penderitaan Manusia dan Solidaritas Allah
Pengantar
Sejak penghujung 2019 lalu, dunia menghadapi sebuah pandemi mematikan yang
disebabkan oleh virus corona baru berjenis SARS-CoV-2. Dalam sekejab, jutaan orang mati dan
lenyap. Kita semua lantas bertanya, mengapa virus mematikan ini menyerang kita? Sebagai
orang beriman, tantangan terbesar kita adalah menjawab pertanyaan: Apa sebabnya Allah
mengijinkan adanya penderitaan (baca: wabah Covid-19) di dunia? Pertanyaan ini tidak bisa
dihindari karena kita memandang Tuhan sebagai Pribadi Yang Mahabaik, Mahakuasa, dan
Mahaadil. Sehingga kalaupun kita percaya bahwa Tuhan tidak bertanggung jawab atas berbagai
penderitaan di muka bumi ini, kita tidak bisa menghindarkan diri dari pertanyaan: Apakah Tuhan
tidak bisa menghentikan semuanya?
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini hendak menawarkan bagaimana kristologi salib
menjawab pertanyaan mengenai intervensi Allah dalam penderitaan yang melanda kehidupan
manusia. Tesis tulisan ini adalah bahwasannya melalui persitiwa salib, Allah menunjukkan
solidaritas-Nya kepada manusia dengan menebusnya dan lalu manusia, melalui tebusan itu,
dengan penuh keberanian mempercayakan diri dan penderitaannya kepada Allah. Sebelum
sampai kepada uraian itu, tulisan ini terlebih dahulu akan menguraikan pandangan yang umum
dalam agama Kristen mengenai penderitaan dan intervensi Allah di dalamnya. Dengan demikian,
tulisan ini mencoba memberikan jawaban mengenai bagaimana keadilan dan kebaikan Allah
disesuaikan dengan penderitaan yang ada di dunia.
Beberapa sudut pandang Kristiani
Agama Kristen telah mencoba memberikan beberapa pandangan khasnya mengenai
penderitaan. Berikut ini penulis akan memberikan beberapa pandangan yang khas Katolik
berkenaan dengan masalah penderitaan dan intervensi Allah di dalamnya. Sebagai catatan awal
di bagian ini, penulis melihat bahwa peristiwa salib adalah pusat untuk mengerti bagaiaman
Allah terlibat di dalam penderitaan manusia.
1
a.
Allah yang menderita dan penderitaan yang tetap menjadi misteri
Salah satu jawaban Kristiani yang khas adalah pandangan yang mengakui kehadiran
Allah yang menderita bersama manusia tetapi di sisi lain menerima bahwa penderitaan itu tetap
menjadi sebuah misteri. Menurut pandangan ini, Allah datang dan menerima kondisi terburuk
dari manusia. Agama Kristen adalah agama satu-satunya di mana Tuhan menderita. Agama
Yahudi, misalnya, mengajarkan bahwa Tuhan bersukacita dan kadang-kadang merasa jengkel,
tetapi Dia tidak menderita. Sebaliknya dalam agama Kristen, Tuhan menderita bersama kita dan
untuk kita.1 Dengan demikian, Kristus yang mati di salib demi menebus manusia
memperlihatkan bahwa penderitaan adalah bagian dari dunia yang butuh untuk ditebus.2
Kenyataan bahwa Allah sendiri menderita bersama kita dan untuk kita menguatkan kita dalam
penderitan itu. Di sisi lain, misteri mengapa penderitaan itu terjadi belum dapat dijelaskan.
b.
Penderitaan adalah jawaban atas cinta Allah
Kita kerap kali menerima pandangan yang mengatakan bahwa bencana alam dan
sejenisnya—meskipun merupakan sumber penderitaan—merupakan alasan keberadaan manusia
di dunia ini.3 Dikatakan di sana bahwa bencana alam dan sejenisnya adalah cara bumi tempat
kita tinggal memperbaharui dirinya. Akan tetapi, jawaban semacam itu belum menyentuh level
spiritual. Kita tidak bisa mengatakan kepada orang yang tertimpa bencana alam bahwa musibah
yang tengah mereka hadapi adalah bagian dari alam semesta yang sedang berproses. Jadi di
manakah Tuhan dalam semua ini?
Menurut George Coyne dalam Can God Intervene?, kita harus mencari apa yang alam
semesta katakan mengenai Tuhan? Pertama, “Tuhan tidak menyebabkan hal-hal dalam
bagaimana kita secara sederhana memahami apa yang disebut penyebab. Tuhan adalah pencipta
dan ciptaan bukanlah penyebabnya.”4 Jadi apa peran Tuhan? Kedua, Tuhan menciptakan alam
semesta karena cinta. Cinta pada dasarnya adalah sebuah proses timbal balik. Untuk mencintai
seseorang, mislanya, seseorang berharap akan dicintai. Hubungan Tuhan dengan semesta
ciptaan-Nya berlangsung seperti itu. Dia ingin agar alam semesta memiliki kreativitas untuk
1
Bdk. Gary Stern, Can God intervene?How Religion Explains Natural Disasters, (Westport: Praeger Publishers,
2007), 67-68.
2
Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 68.
3
Bdk. Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 69.
4
Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 71.
2
mencintainya dan untuk mewujudkan itu alam semesta perlu berevolusi, menjadi dinamis dan
kreatif melalui adanya penderitaan.5
c.
Penderitaan Mengukuhkan Iman
Pandangan lain mengatakan bahwa teologi yang sama dapat memiliki hasil yang sangat
berbeda dalam memahami penderitaan. Hal ini ditentukan dengan bagaimana korban memahami
hubungannya dengan Allah. Seseorang yang percaya akan kehadiran Tuhan sebelum bencana
mungkin masih percaya bahwa Tuhan menyertai mereka melalui kehancuran. Sementara yang
lain mungkin merasa tiba-tiba ditinggalkan.6
Berdasarkan pemahaman akan hubungan dengan Allah yang berbeda itu, kita kemudian
mengambil kesimpulan bahwasannya ada pelajaran di balik setiap penderitaan untuk dipelajari.
Akan tetapi, haruskah para korban bencana dikorbankan agar Tuhan mengajar manusia? Jawaban
yang tepat barangkali adalah bahwa penderitaan membuat kita mampu mengukuhkan kembali
iman kita kepada Tuhan. Lewat penderitaan kita mengukuhkan kembali kepercayaan kita kepada
Allah dengan membuat makna dari pengalaman yang bahkan di mata beberapa orang sama sekali
tidak berarti.
d.
Penderitaan mengubah keputusasaan menjadi keselamatan
Beberapa pandangan Kristen beranggapan bahwa Tuhan mengijinkan kejahatan,
kehancuran, kekecewaan, masalah, untuk mendekatkan kita kepada-Nya dan menciptakan lebih
banyak keputus-asaan di dalam diri kita agar kita dapat menemukan Penyelamat dan Kerajaan
Allah yang bertahan selamanya.7 Bagi orang Kristen, ada satu jalan menuju pemahaman akhir:
Yesus. Dia adalah penyelamat, jalan, kebenaran dan cahaya.
8
Yesus inilah yang kita pegang
secara teguh setiap kali kita mengalami penderitaan di dunia ini. Roh Kudus-Nya memberi kita
hikmat untuk percaya kepadanya dan mengetahui bahwa ia adalah sumber dari semua yang baik.
Lantas, bagaimana Allah mengizinkan bencana menimpa kita? Michael Scanlan dalam
Can God Intervene? menjelaskan bahwa Tuhan memiliki kehendak aktif dan pasif. Kehendak
akti-Nya akan memulai, menentukan, dan bertindak. Kehendak pasif-Nya memungkinkan kita
untuk hidup dengan konsekuensi dari dosa-dosa kita.9 Bencana alam dimengerti sebagai akibat
5
Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 71.
Bdk. Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 74.
7
Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 76.
8
Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 79.
9
Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 78.
6
3
dari keberdosaan.10 Dengan demikian, kehendak aktif Allah terwujud dalam bentuk kematian
Yesus di salib untuk menebus dosa-dosa manusia, sementara kehendak pasif Allah
memungkinkan manusia menanggung penderitaan sebagai akibat dari keberdosaannya. Sebagai
tanggapan pribadi, kiranya kehendak aktif Allah ini jauh lebih dahsyat dari penderitaan manusia
sehingga keselamatan dalam nama Allah tetap dimungkinkan.
e.
Penderitaan Menguduskan Kita
Pandangan lain mengatakan bahwa bencana alam hanya dapat dilihat hanya dengan
memperhitungkan sifat berdosa dan kejatuhan dunia. Dunia akan menjadi sebuah hunian yang
ramah andai saja dosa tidak pernah memasuki dunia. Dosa manusia telah mempengaruhi bukan
hanya hubungan manusia dengan sesamanya, melainkan juga telah membawa bencana alam.
Setelah kedatangan Kristus kembali dan penebusan umat manusia melalui peristiwa salib, tidak
hanya orang akan bangkit dari kematian dan hidup di surga, tetapi alam semesta fisik akan
diubah.11
Kesimpulan: Salib dan Solidaritas Allah
Kita telah melihat beberapa pandangan khas Katolik di atas yang mencoba memahami
penderitaan dan bagaimana Allah ikut campur di dalamnya. Penulis berkesimpulan bahwasannya
pandangan-pandangan itu menempatkan peristiwa salib, di mana Allah menderita bersama dan
untuk manusia, sebagai pusat untuk dapat memahami intervensi Allah atas penderitaan manusia.
Lantas, bagaimana salib mengajarkan kita untuk memahami penderitaan dan intervensi Allah
atas penderitaan itu?
Pertama, peristiwa salib harus dimengerti sebagai tanda solidaritas Allah kepada
manusia. Allah, melalui Kristus yang mati di salib, “telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat
dengan jalan menjadi kutuk karena kita.”12 Dengan menderita, Allah membangun sebuah
solidaritas dengan manusia yang berdosa bahkan mengidentifikasikan dirinya dengan manusia
yang tidak taat. Solidaritas Allah dengan manusia dalam peristiwa salib juga dapat sebagai
pendamaian Allah dengan ciptaan-Nya melalui Kristus yang mati di kayu salib. Melalui Kristus,
hubungan antara pencipta dan ciptaan-Nya dipulihkan kembali.13
10
Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 78
Gary Stern, Can God intervene? How Religion Explains Natural Disasters, 81.
12
Adrianus Sunarko, Kristologi. Tinjauan Hitoris-Sistematik, (Jakarta: Obor, 2017), 15.
13
Adrianus Sunarko, Kristologi. Tinjauan Hitoris-Sistematik, 16-17.
11
4
Kita telah melihat bagaimana salib melambangkan solidaritas Allah yang mau menderita
bagi dan untuk manusia. Selain Allah yang bersolider dengan manusia, kedua, peristiwa salib
juga membuka jalan bagi manusia untuk melakukan protes dengan Allah berkenaan dengan
penderitaan yang dialaminya. Di salib, Yesus berteriak: “Allahku, Allahku mengapa Engkau
meninggalkan Aku? (Mat 27:46).” Menurut Franz Magnis-Suseno, “protes Yesus di salib
membuka jalan bagi orang Kristen untuk melakukan protes terhadap Allah.”14 Protes manusia ini
juga ditunjukkan Ayub ketika ia berkata: “Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan
keluhanku, aku hendak berbicara dalam kepahitan jiwaku. Aku akan berkata kepada Allah:
Jangan mempersalahkan aku; beritahukanlah aku, mengapa Engkau beperkara dengan aku.
(Ayub 10:1-2)” Dengan demikian, Allah memberi kepada manusia untuk meneriakan
penderitaannya dan di sisi lain menjadi Allah yang solider dengan membiarkan diri-Nya menjadi
sasaran teriakan manusia itu.
Salib, di mana Putra Allah dikurbankan demi dosa-dosa manusia, mengajarkan kepada
manusia untuk dengan berani menyandarkan penderitaannya kepada Allah. Yang menarik dari
peristiwa salib adalah sangkalan Yesus sendiri terhadap protes-Nya: “Ya Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan nyawa-Ku (Luk 23: 46).” Franz Magnis-Suseno menguraikan dengan tepat hal
ini dengan mengatakan bahwa,
“Yesus di salib memberikan kepada manusia keberanian untuk
mempercayakan diri kepada Allah, untuk percaya bahwa Allah, meskipun tidak
dapat dipahami, mengetahui betul segala keburukan dan penderitaan dan menjamin
bahwa segala apa akan menjadi baik dan bahwa betul-betul setetes tangisan pun
tidak akan percuma.” Orang beriman mesti percaya bahwa protesnya didengar dan
dijawab. Kapan dan bagaimana, tidak diketahuinya. “Ia menerima bahwa ia harus
mengikuti Allah dalam kegelapan ketidak-pengertiannya karena ia dapa mengikuti
jejak Yesus yang sudah menjalani dan melewati segala kengerian dan tahu bahwa
non confundar in aeternum, “sampai untuk selamanya saya tidak akan hancur.”15
Sumber
Magniz-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Stern, Gary. 2007. Can God intervene?How Religion Explains Natural Disasters. Westport:
Praeger Publishers.
Sunarko, Adrianus. 2017. Kristologi. Tinjauan Hitoris-Sistematik. Jakarta: Obor.
14
15
Franz Magniz-Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 232.
Franz Magniz-Suseno, Menalar Tuhan, 233.
5
6
Download