1 JURNAL SKRIPSI PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI PERILAKU KEKERASAN MENGGUNAKAN METODE RUFA DI IGD RSJ DR RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG MALANG ANGGIT SANDYSUKMA 1724201052 PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO 2018 2 HALAMAN PENGESAHAN JURNAL SKRIPSI PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI PERILAKU KEKERASAN MENGGUNAKAN METODE RUFA DI IGD RSJ DR RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG MALANG ANGGIT SANDYSUKMA 1724201052 3 PERNYATAAN Dengan ini kami selaku mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto Nama : Anggit Sandysukma NIM : 1724201052 Program Studi : S1 Ilmu Keperawatan Setuju naskah jurnal ilmiah yang disusun oleh yang bersangkutan setelah mendapat rahan dari pembimbing, dipublikasikan dengan mencantumkan nama tim pembimbing sebagai contoh author. Demikian harap maklum. Mojokerto, 19 Juli 2018 Anggit Sandysukma 1724201052 Mengetahui, 4 PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI PERILAKU KEKERASAN MENGGUNAKAN METODE RUFA DI IGD RSJ DR RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG MALANG Anggit Sandysukma Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto Tahun 2018 Email: [email protected] Abstrak Metode RUFA digunakan RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang sejak tahun 2015 sampai sekarang, tetapi belum dapat dilakukan 100% sesuai teori dikarenakan adanya kebijakan rumah sakit bahwa semua pasien yang menjalani rawat inap melalui IGD harus masuk ruangan IPCU terlebih dahulu, dikarenakan perawatan intensif I, II dan ketebatasan jumlah tempat tidur atau tidak adanya ruangan observasi khusus di IGD.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Variabel yang digunakan adalah Penanganan Kegawatdaruratan Psikiatri Perilaku Kekerasan Menggunakan Metode RUFA. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 11 responden. Data yang sudah terkumpul diolah melalui editing, coding, scoring dan dianalisa dengan menggunakantabulasi data.Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 11 responden sebagian besar harus menjalani tindakan intensif 2 yaitu sebanyak 7 responden (63.6%) dan sebagian kecil harus menjalani tindakan intensif 1 dan 3 yaitu masing-masing sebanyak 2 responden (18.2%).Fase intensif II fase perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam. Berdasarkan hasil evaluasi, maka pasien pada fase ini memiliki empat kemungkinan yaitu dipulangkan, dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke ruang fase intensif I. Pengkajian pada pasien perilaku kekerasan fase intensif II meliputi; Perilaku: menentang, mengancam, mata melotot. Verbal: bicara kasar, intonasi sedang, menghina orang lain, menuntut, berdebat. Emosi: labil, mudah tersinggung, ekspresi tegang, dendam, merasa tidak aman. Fisik: pandangan tajam, tekanan darah meningkat.Hasil dari penelitian agar dapat memberikan masukan khususnya pada instansi rumah sakit agar manajemen memberikan fasilitas yang menunjang sesuai dengan teori RUFA guna melakukan penanganan kegawatdaruratan psikiatri perilaku kekerasan. Kata Kunci : Kegawatdaruratan, Psikiatri, Perilaku, Kekerasan, RUFA 5 Abstract RUFA method used RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang since 2015 until now, but it can not be done 100% according to theory due to hospital policy that all patients undergoing hospitalization through IGD must first enter IPCU room, due to intensive care I, II and the limited number of beds or the absence of special observation room in the ER. This research is a descriptive research. The variable used is Psychiatric Emergency Management of Violence Behavior Using RUFA Method. The sample in this study were 11 respondents. Collected data is processed through editing, coding, scoring and analyzed by using tabulation data. The results showed that from 11 respondents most had to undergo intensive action 2 that is 7 respondents (63.6%) and a small part must undergo intensive action 1 and 3 that is 2 respectively (18.2%). Intensive phase II phase of patient care with less rigorous observation up to 72 hours. Based on the results of the evaluation, the patients in this phase have four possibilities of being repatriated, transferred to the intensive phase III chamber, or returning to the intensive phase space I. Assessment of patients with intensive phase II violence includes; Behavior: opposed, threatening, eyes bulging. Verbal: rough speaking, moderate intonation, insulting others, demanding, arguing. Emotions: labile, irritable, tense expression, resentment, insecurity. Physical: sharp eyes, increased blood pressure. The results of the research in order to provide input, especially on the institution of the hospital for management to provide facilities that support in accordance with the theory of RUFA in order to handle the emergency psychiatric emergency behavior violence. Keywords: Emergency, Psychiatry, Violence, Behavior, RUFA PENDAHULUAN Kegawatdaruratan psikiatri adalah suatu gangguan IGD pada pikiran, perasaan, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen Foster, Zealberg & Currier, 2002). Kondisi ini menuntut intervensi psikiatri seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Di RS Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang tempat rujukan pertama pasien dengan kegawatdaruratan psikiatri adalah Instalasi Rawat Darurat dan Ruang Unit Perawatan Intensif Psikiatri Care Unit (IPCU). Lebih lanjut dijelaskan di ruang 6 IGD RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang dengan cara observasi bahwa untuk menangani pasien perilaku kekerasan adalah dengan melakukan pendekatan dengan pasien menggunakan komunikasi terapeutik, bila pasien tidak kooperatif maka dilakukan isolasi. Upaya pemberian pelayanan gawat darurat tidak lepas dari peranan perawat sebagai ujung tombak dalam penanganan kasus kegawatdaruratan dengan kompetensi khusus. Keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktik keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat. Lebih lanjut, kemampuan minimal perawat yang harus dimiliki adalah Asuhan Keperawatan Intensif Kegawatdaruratan Psikiatri (Keliat 2010). Menurut Yosep (2009), secara epidemiologi angka kejadian kegawatdaruratan psikiatri antara laki – laki dan perempuan sama, lebih banyak pada orang yang tidak menikah, 20 % klien perilaku percobaan bunuh diri, 70% kasusdenganperlakukekerasan, 10% Skizofrenia, 5% Dementia / Delirium, 5 % diagnosa ganda yang berkaitan dengan ketergantungan alkohol.Fakta yang terjadi saat ini adalah bahwa penanganan kegawatdaruratan psikiatri di RS Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang masihadasebagian yang belum sesuai dengan yang diharapkan tidak sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ada (Survey kepuasan pelayanan dan laporan SPM tahun 2017). Berdasarkan data yang didapat dari rekam medik RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat, didapatkan data bahwa daftar urutan kasus di ruang perawatan IGD, setiap bulannya terdapat penderita skizofrenia dengan masalah keperawatan perilaku kekerasan sebesar 40 %, halusinasi 35 %, 5 % penyalahgunaan zat dan sisanya terdiri dari waham, isolasi sosial, harga diri rendah dan defisit perawatan diri.. Dapat kita lihat bahwa perilaku kekerasan menempati peringkat tertinggi masalah keperawatan, tentunya di ruang ini akan sering menemui masalah perilaku kekerasan dan seharusnya menangani pasien dengan perilaku kekerasan sesuai prosedur dan teori yang berlaku. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis dalam Yosep, 2009). Berdasarkan prinsip tindakan intensif segera, maka penanganan kedaruratan dibagi dalam beberapa 7 fase.Rentangskor 1-10 skala RUFA masukfasetindakanintensif I (24jam pertama), rentangskor 11-20 skala RUFA masuktindakanintensif II (24 – 72 jam pertama), dan rentangskor 21-30 skala RUFA masuktindakan intensif III (72 jam – 10 hari). Fase intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosa, tritmen dan evaluasi yang ketat. Fase intensif II fase perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam. Sejaktahun 2015 di RS JiwaDr.Wediodiningrat Lawang menggunakan metode RUFA diuji coba penentuan tindakan intensif (Respon Umum Fungsi Adaptif).Metode ini sementara diaplikasikan di ruang Intensive Psychiatry Care Unit, di IGD penentuan tindakan berdasarkan hasil triase menggunakan NICE dan masalah keperawatan yang actual atau muncul saat itu. Dari hasil survey pendahuluan pada bulan Maret 2018 didapatkan data bahwa angka kejadian PK adalah 133, dengan metode RUFA didapatkan 87 orang dengan kondisi stabil masuk dalam tindakan intensif I, 42 orang terjadi perubahan kondisi dari fase intensif II berubah ke fase intensif I dan 5 orang terjadi perubahan dari fase intensif I berubah ke fase intensif II.Denga adanya perubahan kondisi tersebuat dilakukan penilaian skala atau pengkajian ulang skala RUFA. Hal ini berbenturan dengan “Prinsip dari kedaruratan psikiatri adalah kondisi darurat dan tindakan intensif yang segera.” Di IGD RS Jiwa Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang dalam pelaksanaan penggunaan metode RUFA ini belum bisa 100 %. Hal ini disebabkan oleh karena di IGD RS JiwaDr. Radjiman WediodiningratLawang belum memiliki ruangan khusus untuk observasi tindakan intensif 72 jam pertama. Jadi penangan kasus gangguan jiwa di IGD lama layanan rata – rata 55 menit sampai dengan 65 menit klien harus dipindah ke ruang IPCU untuk observasi lebih lanjut. Jika tidak segera dipindah ke ruang IPCU akan terjadi penumpukan pasien di IGD karena jumlah tempat tidur pemeriksaan hanya 7 tempat tidur. Berdasarkan dari fenomena yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang PenangananKegawadaruratanPsikiatriPerilakuKekerasanMenggunakanMetode RUFA di IGD RSJ Dr.RadjimanWediodiningratLawang 8 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di IGD RSJ DrRadjimanWediodiningratLawang Malang pada tanggal 01 Mei sampaidengan 31 Mei 2018.Penelitian ini menggunakan desaindeskriptif. Variabel penelitian ini Penanganan Kegawatdaruratan Psikiatri Perilaku Kekerasan Menggunakan Metode RUFA di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang. Populasi dalam penelitian iniadalah klien yang berkunjung di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat dengan kasus Perilaku Kekerasan sebanyak 11 responden, seluruhnya digunakan sebagai sampel sebanyak 11 responden yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah lembar penilaian skala RUFA.Data yang sudah terkumpul diolah melalui editing, coding, scoring, tabulating. HASIL PENELITIAN Penelitian berjudul “Penanganan Kegawatdaruratan Psikiatri Perilaku Kekerasan Menggunakan Metode RUFA di IGD Wediodiningrat Lawang Malang” dilaksanakan RSJ Dr Radjiman pada tanggal 01 Mei sampaidengan 31 Mei 2018. 1. Data Umum a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang Tanggal 1 – 31 Mei 2018 No 1 2 3 Umur 18 – 40 tahun 40 – 60 tahun > 60 tahun Jumlah Frekuensi (f) 10 1 0 11 Prosentase (%) 90.9 9.1 0 100 Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 11 responden hampir seluruhnya berusia 18 – 40 tahun yaitu sebanyak 10 responden (90.9%). 9 b. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang Tanggal 1 – 31 Mei 2018 No Frekuensi (f) 7 4 11 JenisKelamin 1 2 Laki-laki Perempuan Jumlah Prosentase (%) 63.6 36.4 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 11 responden sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 7 responden (63.6%). 2. Data Khusus Berikut ini dijabarkan penanganan kegawatdaruratan psikiatri perilaku kekerasan menggunakan metode RUFA di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang yaitu sebagai berikut : Tabel 3 No 1 2 3 Penanganan Kegawatdaruratan Psikiatri Perilaku Kekerasan Menggunakan Metode RUFA di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang MalangTanggal 1 – 31 Mei 2018 Penanganan Kegawadaruratan Psikiatri Intensif 1 Intensif 2 Intensif 3 Jumlah Tabel3 Jumlah ( f ) 2 7 2 11 menunjukkanbahwadari Persentase (%) 18.2 63.6 18.2 100 11 respondensebagianbesarharusmenjalanitindakanintensif 2 yaitusebanyak 7 responden (63.6%). PEMBAHASAN Penanganan Kegawatdaruratan Psikiatri Perilaku Kekerasan Menggunakan Metode RUFA di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang. Hasil penelitian Penanganan Kegawatdaruratan Psikiatri Perilaku Kekerasan Menggunakan Metode RUFA di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malangmenunjukkan bahwa dari 11 responden sebagian besar harus menjalani 10 tindakan intensif 2 yaitu sebanyak 7 responden (63.6%) dan sebagian kecil harus menjalani tindakan intensif 1 dan 3 yaitu masing-masing sebanyak 2 responden (18.2%). Kegawatdaruratan psikiatri adalah suatu gangguan IGD pada pikiran, perasaan, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen Foster, Zealberg & Currier, 2002). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis dalam Yosep, 2009). Perilaku kekerasan adalah bentuk perilaku atau agresi fisik dan verbal yang dapat melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara fisik, emosional dan psikologis. Jadi tindak kekerasan merupakan perilaku kekerasan pada diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal. Perilaku kekerasan dapat terjadi karena rasa curiga pada orang lain, halusinasi yang mengendalikan perilaku, respon marah karena ada keinginan yang tidak terpenuhi. (Keliat, 2010). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan. Pasien yang dibawa ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan kekerasan di rumah. Perawat harus jeli dalam melakukan pengkajian untuk menggali penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan selama di rumah. Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kedaruratan pasien adalah skala General Adaptive Function (GAF) dengan rentang skor 1–30 skala GAF. Kondisi pasien dikaji setiap sif dengan menggunakan skor GAF. Keperawatan memberikan intervensi kepada pasien berfokus pada respons, sehingga kategori pasien dibuat dengan skor Respons Umum Fungsi Adaptif (RUFA) atau General Adaptive Function Response (GAFR) yang merupakan modifikasi dari skor GAF.Berdasarkan prinsip segera, penanganan kedaruratan dibagi dalam fase intensif I (24 jam pertama), fase intensif II (24–72 jam 11 pertama), dan fase intensif III (72 jam–10 hari) (Yusuf, Fitriyasari, dan Nihayati, 2014). Hasil penelitian penanganan kegawatdaruratan psikiatri perilaku kekerasan menggunakan metode RUFA di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malangmenunjukkan bahwa dari 11 responden sebagian besar harus menjalani tindakan intensif 2 yaitu sebanyak 7 orang. Dari 11 orang responden sebagian besar jenis kelamin laki – laki yaitu7 orang, kemungkinan disebakan karena adanya perbedaan hormon antara pria dan wanita, tanggung jawab dan tekanan hidup pria lebih berat, pria kurang bisa mengekspresikan kondisi psikologi. Menurut psikiater dari RSCM Kencana dr Agung Kusumawardhana SpKJ(K) mengatakan, hal ini karena wanita memiliki hormon yang dapat memproteksi gangguan ini. "Wanita memiliki hormon estrogen, yang membuat mereka baru merasakan gejala dari skizofrenia di usia 20-30 tahun," kata Agung ditulis Health Liputan6.com. Hampir seluruhnya usianya antara 18 sampai dengan 40 tahun, penggolongan usia di sini peneliti memakai rata – rata. Gangguan jiwa pada golongsan usia ini kemungkinan disebabkan karena pada rentang usia ini manusia mempunyai keinginan untuk mewujudkan cita - cita, mencari kerja dan mencari pasangan hidup kemungkinan pasien yang mengalami gangguan jiwa pada usia ini karena mengalami kegagalan dalam mencapainya dan dipengaruhi oleh pola hidup yang buruk. Hasil penelitian dari 11 responden sebagian besar 7 orang berada pada fase intensifII.Fase intensif II fase perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam. Menurut Ns. Anisah Ardiana, S.Kep tahap perkembangan dewasa muda (20-40 tahun): - Gaya hidup personal berkembang, Membina hubungan dengan orang lain, Ada komitmen dan kompetensi, Membuat keputusan tentang karir, pernikahan, dan peran sebagai orang tua, Individu berusaha mencapai dan menguasai dunia, kebiasaan berpikir rasional meningkat, Pengalaman pendidikan, pengalaman hidup dan kesempatan dalam pekerjaan meningkat. Berdasarkan hasil evaluasi, maka pasien pada fase ini memiliki beberapa kemungkinan yaitu: pertama dipulangkan, hal ini terjadi bila pasien ada indikasi rawat inap tetapi keluarga menolak atau keberatan rata - rata alasan keluarga adalah masalah biaya dan rasa tidak tega jika pasien dirawat inap di RS Jiwa, karena orang yang pernah dirawat di RS Jiwa imagenya jelek di masyarakat. 12 Kemungkinan ke dua dipindahkan ke ruang fase intensif III, jika kondisi pasien tenang. Hasil penelitian, hal inibelum bisa dilaksanakan sesuai teori yang ada. Sementara ini yang bisa terfasilitasi dari intensif II pindah ke intensif III adalah pasien usia lanjut, pasien anak remaja, di luar itu pasien harus diobservasi di ruang IPCU. Hal ini disebakan karena lama layanan di IGD RSJ dr Radjiman 5565 menit pasien sudah dipindah ke ruang IPCU, tidak bisa dilakukan observasi 24-72 jam di IGD karena keterbatasan jumlah tempat tidur periksa di IGD 7 tempat tidur, jika tidak segera dipindah akan terjadi penumpukan pasien di IGD karena rata-rata kunjungan pasien di IGD adalah 10-15 pasien perhari, dari segi jumlah tenaga perawat tiap shift jaga terbatas 3 orang untuk sore-malam dan belum adanya ruangan tersendiri untuk observasi pasien jiwa, sehinga muncul kebijakan: pasien yang baru masuk dianggap belum stabil sehingga perlu pemantauan lebih lanjut yaitu di ruang IPCU dan dilakukan penilaian perilaku tiap 3 hari sekali. Hal ini menyesuaikan dengan teori rentang waktu tindakan fase intensif II adalah 24–72 jam pertama. Kemungkinan selanjutnya adalah kembali ke ruang fase intensif I. Kondisi ini terjadi disebabkan karena saat datang klien pada kondisi fase intensif II tetapi terjadi perubahan perilaku pasien menjadi intensif I karena pasien tidak mau untuk dirawat inap. Perilaku yang menonjol pada intensif II ini adalah: menentang, mengancam, mata melotot.Verbal: bicara kasar, intonasi sedang, menghina orang lain, menuntut, berdebat. Emosi: labil, mudah tersinggung, ekspresi tegang, dendam, merasa tidak aman. Fisik:pandangan tajam, tekanan darah meningkat. Hasil penelitian pada fase intensifII ini dari 7 responden sebagian besar pasien dengan diagnosa medis F 20.1 skizofrenia hebefrenik plus Z91.1 ketidak patuhan minum obat yaitu 5 responden dan F 20.0 skizofrenia paranoid. Rata – rata pasien pernah dirawat di RSJ dr Radjiman Wediodiningrat Lawang saat pulang tidak teratur minum obat dan tidak teratur kontrol hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, internal: muncul kebosanan untuk minum obat pada pasien, pasien yang sudah bisa bekerja dan kerjanya di luar kota sehingga keluarga tidak bisa memantau keteraturan kontrol, pasien merasa dirinya tidak sakit, pada pasien paranoid pasien tidak mau minum obat karena merasa takut diracun, merasa obat obatan jiwa 13 adalah obat-obatan terlarang. Faktor eksternal: keluarga takut karena saat diajak kontrol pasien marah-marah, pasien di rumah tinggal sendirian karena tempat tinggal saudaranya jauh, orang tua yang biasa mengantar pasien meninggal dunia, jadi tidak ada yang mengantar kontrol. Menurut hasil penelitian Mega Iriani Putri, Vista Nurasti Pradanita tentang Faktor yang Mempengaruhi Kekambuhan Pasien Skizofrenia di RS Jiwa Grhasia Jogjakarta, faktor ekspresi emosi menjadi faktor yang paling berpengaruh dengan nilai p= 0,47 (p<0,05) dibandingkan dengan faktor lainnya. Ekspresi emosi, dukungan keluarga dan faktor kepatuhan minum obat ternyata memiliki hubungan untuk mempengaruhi kekambuhan skizofrenia. Ekspresi emosi (selanjutnya akan dituliskan dengan singkatan EE) adalah suatu penilaian kualitatif dari jumlah emosi yang ditampakkan, terutama dalam lingkungan keluarga ataupun saat pasien tida berada di rumah sakit. EE adalah salah satu faktor dalam proses penyembuhan bagi orang yang terdiagnosa dengan penyakit psikologis. Tiga macam perilaku yang dapat menggambarkan EE adalah hostilitas, kritik dan keterlibatan emosional yang berlebihan dan ketiga hal ini yang akan menetukan ke arah mana pasien akan dilakukan terapi (Donagh, 2005). Hostilitas dari EE adalah hal yang negatif terhadap orang yang menderita gangguan. Anggota keluarga menganggap gangguan sebagai kesalahan dari pasien. Keluarga beranggapan pasien adalah orang yang paling mampu untuk mengendalikan penyakitnya. Dan keluarga memperhitungkan pasien sebagai penyebab insiden negatif yang timbul dalam keluarga dan selalu dislahkan (Yang, 2003). Dari segi diagnosa perawatan, rata-rata pada fase intensifII adalah pasien dengan diagnosa perawatan Resiko Perilaku Kekerasan, pasien dengan Gangguan sensori persepsi: Halusinasi pada fase 3. Fase-fase Halusinasi(Stuart dan Laraia, 2005) Fase III Controling, perilaku pasien: Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti, Kesukaran berhubungan dengan orang lain, Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit, Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat: berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi perintah, Isi halusinasi menjadi atraktif, Perintah halusinasi ditaati, Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat. Hasil penelitian penanganan kegawatdaruratan psikiatri perilaku kekerasan menggunakan metodeRUFA di IGD RSJ Dr 14 Radjiman Wediodiningrat Lawang menunjukkan bahwa dari 11 responden sebagian kecil harus menjalani tindakan intensif 1.Fase intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosis, perawatan, dan evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien, maka pasien memiliki tiga kemungkinan yaitu dipulangkan/ dirujuk ke Rumah Sakit lain, kondisi ini terjadi jika keluarga menolak untuk rawat inap dengan menandatangani surat penolakan, dirujuk ke Rumah Sakit lain jika pasien gangguan jiawa datang dengan disertai sakit fisik yang termasuk dalam keterbatasan layanan di RSJ dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, misalkan pasien jiwa dengan sakit jantung yang membutuhkan perawatan di ruang ICU, pasien jiwa dengan fraktur dan membutuhkan tindakan operasi bedah tulang, pasien dengan gangguan gagal ginjal dan membutuhkan tindakan cuci darah/ hemodialis. Dilanjutkan ke fase intensif II, observasi lebih lanjut dilakukan di ruang IPCU, atau dirujuk ke rumah sakit jiwa lain apabila di RSJ dr Radjiman Wediodiningrat over kapasitas/ penuh. Hasil penelitian Penanganan Kegawatdaruratan Psikiatri Perilaku Kekerasan Menggunakan Metode RUFA di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang menunjukkan bahwa dari 11 responden sebagian kecil harus menjalani tindakan intensif III. Pada fase intensif III, pasien dikondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi menjadi lebih berkurang dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada tindakan rehabilitasi. Fase ini berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari. Merujuk kepada hasil evaluasi maka pasien pada fase ini dapat dipulangkan, pengobatan dilanjutkan rawat jalan di Poli Kesehatan Jiwa, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau unit psikiatri di rumah sakit umum, jika tempat tinggal pasien terlalu jauh dari RS Jiwa dr Radjiman Wediodiningrat Lawangdan jenis obat tersedia di rumah sakit umum terdekat dengan tempat tinggal pasien, ataupun kembali ke ruang fase intensif I atau II. Jika dalam proses pemeriksaan terjadi perubahan kondisi pada pasien. 15 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Penanganan Kegawatdaruratan Psikiatri Perilaku Kekerasan Menggunakan Metode RUFA di IGD RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang menunjukkan dari 11 responden sebagian besar harus menjalani tindakan intensif 2 yaitu sebanyak 7 responden (63.6%) dan sebagian kecil harus menjalani tindakan intensif 1 dan 3 yaitu masing-masing sebanyak 2 responden (18.2%). Hasil penelitian ini hendaknya bisa sebagai tambahan informasi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kegawatdaruratan psikiatri khususnya kasus Perilaku Kekerasan dan sebagai acuan dalam membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di Ruang IGD RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, terutama SPO tentang observasi fase intensif II dilanjutkan di ruang IPCU serta Metode RUFA ini dapat diplikasikan secara efektif sesuai teori pada ruang IPCU, di IGD belum bias diaplikasikan. DAFTAR PUSTAKA Allen Foster, Zealberg & Currion. (2002). Emergency Psychiatry.Wangshington, DC. American Psychiatric Publishing,Inc. Kaplan dan Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri :Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta : Bina Rupa Aksara. Keliat, Budi Anna. (2010). Asuhan Keperawatan Intensif Kegawatdaruratan Psikiatri. Jakarta : EGC. Keliat Budi Anna, Wiyono Akemat Prawiro & Susanti Herni. (2011). Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC. Puspitasari, Puji (2013). Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Gangguan Perilaku Kekerasan Di Ruang Sumbadra Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Skripsi : Program Studi Diploma Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta 16 Stuart, G.W & Laraia, M.T. (2005). Principles And Practice Of Psychiatric Nursing (Edisi 8). St Louis : Elsevier Mosby. Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung : PT Refika Aditama. Yosep, I & Sutini, T. (2007).KeperawatanJiwa. Edisi 1.Bandung :Revika Aditama. Yusuf, A, Fitriyasari,P.K, & Nihayati, H.E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.