39 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 ABSTRAK STRUKTUR POPULASI POHON KERUING (Dipterocarpus cornutus Dyer) PADA HUTAN MUARA KAHUNG DI DESA BELANGIAN KECAMATAN ARANIO KABUPATEN BANJAR Oleh : Norliani Ningsih,Sri Amintarti, Muchyar Pohon keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer) sering digunakan sebagai bahan kayu bakar dan bahan bangunan. Penebangan pohon Keruing yang secara sembarangan yang dapat menyebabkan populasi pohon keruing berkurang bahkan musnah. Dengan demikian masyarakat perlu mengetahui struktur pupulasi pohon Keruing, karena dengan mengetahui struktur populasi dari tumbuhan Keruing, masyarakat dapat mengenal apa itu semai, sapihan, tiang, dan pohon serta mengetahui jumlah tumbuhan keruing apakah termasuk langka, atau berkembang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur populasi tumbuhan Keruing di Hutan Muara Kahung. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan tekhnik pengambilan data secara observasi kelapangan menggunakan metode kuadrat yang ditetapkan secara acak terpilih. Pengamatan yang dilakukan meliputi jumlah bunga, buah, semai, sapihan, tiang, dan pohon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur populasi Keruing di Hutan Muara Kahung terdiri atas jumlah semai adalah 455 semai/ ha, yang mempunyai jumlah yang lebih besar dari pada dibandingkan dengan sapihan yang berjumlah 275 sapihan/ ha, tiang yang berjumlah 250 tiang / ha dan Pohon yang berjumlah 200 pohon/ ha. Dalam keadaan normal suatu populasi yang lebih besar jumlah semai, kemudian sapihan, kemudian tiang lalu pohon, ini menunjukkan bahwa populasi tumbuhan Keruing adalah populasi yang sedang berkembang. Kata Kunci: Struktur populasi, Keruing (Depterocarpus cornutus Dyer) 40 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 Pendahuluan Tumbuhan dari berbagai jenis yang hidup secara alami disuatu tempat membentuk suatu kumpulan yang didalamnya setiap individu menemukan lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam populasi ini terdapat pula kerukunan untuk hidup bersama, toleransi kebersamaan dan hubungan timbal balik yang menguntungkan sehingga dalam kumpulan ini terbentuk suatu derajat keterpaduan. Kelompok- kelompok kecil seperti itu yang secara bersama telah menyesuaikan diri dan memenuhi suatu tempat alami yang disebut komunitas sedangkan berbagai kelompok kecil dalam komunitas tersebut dinamakan populasi. Secara umum populasi dapat dianggap sebagai suatu kelompok organisme yang terdiri atas individu- individu yang tergolong dalam satu jenis atau satu varietas, satu ekotipe atau satu unit taksonomi lain yang terdapat pada suatu tempat ( Karmanan, 1988). Pohon keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer ) sering digunakan sebagai bahan kayu bakar dan sebagai bahan bangunan. Penebangan pohon keruing yang secara sembarangan yang dapat menyebabkan populasi pohon keruing berkurang bahkan musnah (Anonim c, 2007). Dengan demikian para masyarakat perlu mengetahui struktur pupulasi pohon Keruing, karena dengan mengetahui struktur populasi masyarakat dapat mengenal apa itu semai, sapihan, tiang, dan pohon serta mengetahui jumlah pohon keruing apakah termasuk langka, atau berkembang. Selain itu dengan mengetahui struktur populasi pohon Keruing para masyarakat dapat memprediksi jumlah pohon Keruing yang akan datang apakah akan terjadi peningkatan atau penurunan. (Anonim c, 2007). Hutan Muara Kahung termasuk hutan yang dilindungi. Selain itu pada daerah hutan Muara Kahung banyak ditemukan berbagai macam tumbuhan diantaranya pohon Bangkirai, Keruing, Damar, dan Mahirangan. Pohon Keruing banyak sekali manfaatnya disamping sebagai panel kayu, keruing juga sangat banyak dimanfaatkan untuk kayu lapis 41 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 dan selain itu Keruing merupakan salah satu jenis terpenting dalam ekspor kayu Asia tenggara sesudah Meranti. Pohon Keruing dapat tumbuh pada tempat- tempat yang sewaktu- waktu digenangi air tawar dan ditanah rawa, tetapi lebih banyak tumbuh pada tanah daratan kering di punggung bukit pada tanah berpasir, tanah liat, tanah berbatu, latosol atau podsolik merah kuning pada ketinggian samopai 1000 m darai permukaan laut. (Martawijaya, Dkk, 1989). Berkurangnya populasi pohon keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer) dapat berdampak buruk terhadap kestabilan ekosistem. Oleh karena hal itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Struktur Populasi Pohon Keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer) Pada Hutan Muara Kahung Di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabu paten Banjar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Struktur Populasi Pohon Keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer) Pada Hutan Muara Kahung Di Desa Belangian Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar. Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini diantaranya: Memberikan informasi kepada masyarakat tentang struktur populasi pohon keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer) pada Hutan Muara Kahung di desa Belangian Kecamatan Aranio kabupaten Banjar yang berbentuk piramida dengan dasar yang luas yang artinya jumlah individu muda pohon Keruing lebih banyak daripada jumlah pohon Keruing dewasa. Memberikan sumbangan informasi kepada kegiatan penelitian di bidang kajian yang ikut serta dalam ekologi, biografi tumbuhan dan penelitian hutan. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan kepada mahasiswa biologi pengikut mata kuliah ekologi tumbuhan, botani tumbuhan tinggi, morfologi tumbuhan, dan yang berkaitan yang berkaitan dengan pelestarian alam. 42 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan tekhnik pengambilan data secara observasi kelapangan menggunakan metode kuadrat yang ditetapkan secara acak terpilih (Ramli & Hardiansyah, 2000). Penelitian ini berlokasi pada Hutan Muara Kahung di desa Belangian kecamatan Aranio kabupaten Banjar. Populasi dalam penelitian ini adalah pohon Keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer) yang terdapat pada hutan muara kahung di desa belangian kecamatan aranio kabupaten banjar. Sampel dalam penelitian ini adalah populasi pohon Keruing yang ditetapkan secara terpilih dengan menggunakan kuadran ukuran 10 m x 10 m sebanyak 20 kuadran. (Hardiansyah dan Dzaki, 2001). Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap Struktur populasi pohon Keruing Famili Depterocarpaceae Di Hutan Muara Kahung didapatkan hasil seperti pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Struktur populasi pohon Keruing pada 20 plot pada hutan muara Kahung. No Struktur Jumlah individu Kerapatan (pohon/ Ha) 1 Pohon 40 200 2 Tiang 50 250 3 Sapihan 55 275 4. Semai 91 455 43 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 Dari data pada tabel 1. terdapat perbedaan jumlah berdasarkan struktur umur dari populasi Keruing, untuk lebih jelasnya maka struktur populasi Keruing dapat dilihat pada gambaran piramida umur sebagai berikut: , 200 Pohon Tiang 250 Sapihan 275 Semai 455 Gambar 4. Struktur populasi pohon keruing pada Hutan Muara Kahung Untuk melihat perbandingan jumlah dari tiap- tiap fase struktur umur pohon keruing dapat dilihat pada diagram batang berikut 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 455 275 Semai 250 200 Sapihan Tiang Pohon Semai Sapihan Tiang Pohon Gambar 5. Struktur populasi pohon Keruing pada hutan Muara Kahung Kec. Aranio Kab. Banjar. Hasil pengamatan terhadap keadaan lingkungan di daerah penelitian yaitu Hutan Muara Kahung dapat dilihat pada tabel 2. 44 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 Tabel 2. Kisaran pengukuran factor lingkungan terhadap lingkungan didaerah penelitian. No Faktor Lingkungan Kisaran Batasan Optimal 29,35 0C 21- 35 0C (Anonim C, 2007) 1 Suhu Udara ( 0C ) 2 Kelembaban Udara (%) 89 % 84-98 % (Martawijaya, 1989) 3 Intensitas Cahaya (Lux) 4.09 K. Lux 10 K.Lux (Irwanto, 2006) 4 pH Tanah 6,84 6-7 (Anonim b, 2004) 5 Kelembaban Tanah (%) 60- 70 % 80%-kurang 100 % (Michael,1994) 6 Kecepatan Angin (m/s) 0,46 m/s - 128 m.dpl 100-1000 mdpl (Martawijaya,1989) 12,83 12-15 % (Soegiman, 1982) 7 8 Ketinggian Tempat (m.dpl) Tekstur Tanah 9 Pasir 51,91 50- 55 % (Soegiman, 1982) 10 Liat 35,26 35-40 % (Soegiman, 1982) - Nitrogen % 0,21 0,21-0,50%(Soegiman, 1982) - Fosfor (ppm) 20,81 0,01-0,20%(Soegiman, 1982) - Kalium (ppm) 92,46 0,17-3,30%(Soegiman, 1982) Unsur hara tanah 11 Hasil pengamatan yang didapatkan (tabel 1, Gambar 1, Gambar 2) terlihat jumlah semai 455 pohon/ ha, yang mempunyai jumlah yang lebih besar dari pada dibandingkan dengan sapihan yang berjumlah 275 sapihan/ ha, sementara untuk jumlah tiang sekitar 250 tiang / ha dan Pohon berjumlah 200 pohon/ ha. Banyaknya Semai daripada pohon diduga karena pertumbuhan semai yang baik meningkatkan tingkat pertumbuhan pohon Keruing. Dalam keadaan normal suatu populasi yang lebih besar jumlah semai, kemudian sapihan, kemudian Tiang lalu pohon, ini menunjukkan bahwa populasi ini adalah populasi yang sedang berkembang. 45 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 Menurut Barbour dkk (1987) menyatakan bahwa di alam, tumbuhan tidak tersebar begitu saja. Perbedaan kondisi lingkungan, ketersediaan daya dukung atau sumber daya untuk bertahan hidup, ekosistem dan gangguan yang muncul hanyalah beberapa factor yang mempengaruhi jumlah populasi dan pola penyebarannya. Kondisi lingkungan yang berbeda tidak cuma mengubah penyebaran dan keberadaan suatu species tumbuhan saja tetapi juga tingkat pertumbuhan kesuburan, kelebatan, percabangan, sebaran daun, jangkauan akar dan ukuran individu sendiri. Menurut pengamatan kawasan penelitian merupakan suatu kawasan hutan yang berada pada lereng gunung. Pada kawasan ini masih terdapat banyak tanaman- tanaman lain yang tumbuh salah satu yang paling banyak ditemukan adalah pohon keruing dan mendominasi kawasan tersebut. Banyaknya pohon Keruing yang ditemukan di kawasan penelitian diduga karena Keruing dapat beradaptasi dengan baik dengan habitat Hutan Muara Kahung masih kaya akan unsur organik karena hutan tersebut belum berubah fungsi. Menurut Odum (1993) bahwa tumbuh tumbuhan yang langsung kena sinar matahari memiliki suhu rata- rata 20 – 30 0C, pada suhu ini tumbuhan dapat tumbuh dengan optimal. Dari hasil pengukuran, suhu di Muara Kahung berkisar antara 29.350C. Suhu seperti ini berada dalam kondisi normal, sehingga masih dapat ditoleransi oleh pohon keruing sehingga dapat beradaptasi dan dapat berkembangbiak. Pohon Keruing dapat tumbuh optimal sekitar suhu 21 – 35 oC, jadi suhu pada Hutan Muara Kahung cocok untuk pohon Keruing berkembang biak (Anonim a, 2007) Pengukuran pH tanah pada daerah penelitian adalah 6,84. Kisaran pH ini sudah merupakan pH optimal bagi pertumbuhan pohon Keruing. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa derajat keasaman (pH) 46 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 tanah yang dikehendaki dari familia depterocarpaceae adalah pH 6 dengan pH optimal 6-7 (Anonim b, 2004) Menurut Hadjosuwigeno (2003) tanah yang memiliki deajat keasaman antara 4,5 – 5,5 bersifat asam, 5,5 – 6,5 agak asam dan 6,6 – 7,5 netral. Berdasarkan hasil pengukuran yang didapat tersebut berarti kawasan daerah hutan muara Kahung bersifat netral. Kelembaban tanah pada kawasan Hutan Muara Kahung berkisar antara 60 – 70 %. Menurut Michael ( 1994) batas – batas toleransi terhadap kelembaban merupakan salah satu factor penentu utama penyebaran jenis, dimana normalnya berkisar antara 80 % - kurang dari 100%. Menurut Loveless (1989) kelembaban tanah sangat penting pengaruhnya terhadap vegetasi, vegetasi yang paling lebat hanya akan di temukan pada tempat- tempat yang memiliki kelembaban yang cukup. Pengukuran intensitas cahaya didapatkan kisaran 4,09 K.lux. Menurut Odum (1993) menyatakan bahwa tidaklah umum diketahui bahwa sinar matahari dapat membatasi apabila intensitas penuh, demikian juga intensitas rendah. Menurut Irwanto (2006), Intensitas cahaya merupakan faktor yang paling berperan terhadap kecepatan berjalannya fotosintesis pada Familia Dipterocarpaceae yaitu sampai intensitas 10 K.lux. Untuk kecepatan angin pada saat pengukuran, berkisar 0,46 m/s. Penyebaran biji Keruing sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin. Menurut anonim c (2007), tanaman keruing termasuk tanaman yang mempunyai buah bersayap dua sehingga angin sangat mempengaruhi banyaknya jumlah pertumbuhan keruing. Menurut pengamatan ketinggian tempat pada derah penelitian pada Hutan Muara Kahung dengan kisaran 128 m.dpl. Menurut Martawijaya (1989) menyatakan bahwa familia Dipterocarpaceae dapat tumbuh dari dataran rendah sampai 100- 1000 m.dpl. Jadi pohon Keruing dapat tumbuh pada daerah Hutan Muara Kahung tersebut. 47 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 Menurut hasil pengamatam tekstur tanah dalam penelitian ini, tekstur tanahnya berupa pasir 12,83 %, debu 51,91 % dan liat 35,26 %. Tekstur tanah di Muara Kahung termasuk dalam tektur tanah geluh lempung debuan. Menurut soegiman (1982), tanah geluh lempung debuan merupakan tanah yang mengandung kisaran pasir 15 %, debu 55 %, dan pisahan lempung 35 – 40 %. Menurut Foth (1991), tanah dengan kandungan debu yang tinggi mempunyai kapasitas yang tinggi untuk mengikat air yang tersedia untuk pertumnuhan tanaman dan hal ini akan berpengaruh pada kelancaran proses- proses fisiologi yang membutuhkan air. Kesimpulan Dari hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan yaitu: Struktur populasi pohon keruing di kawasan hutan muara Kahung berbentuk piramida dengan dasar yang luas . Struktur populasi Pohon Keruing sedang berkembang karena didukung oleh faktor lingkungan di Hutan Muara Kahung diantaranya yang paling mendukung adalah pH tanah, Intensitas cahaya, dan ketinggian tempat. Daftar Pustaka Anonim a, 1932. Vedemikum Dipterocarpaceae http://indonesiaforest.com /Frameset Anonim b. 2004. Mengenal Tumbuhan Komoditi yang Paling Dominan.http.//www.lapanrs.com/BINUS/SPKBN/ind/BINUSSPBKN-63-ind--laplengkap--lap-%20riau 2004.pdf. Anonim c 2007. Semua Tentang Pohonku. Wikipedia Bahasa Indonesia, Eksilopedia. http://id.wikipedia.org/wiki/Keruing. html. Arief, A. 1994. Hutan. Yayasan Obor Indonesia. Barbour, M.G. Jack, H.B dan Wanna, D.P. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Edisi ke- 2, The Benjamin Cummings Company Inc. California. 48 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 Dasuki,U.A. 1991. Sistematika Tumbuhan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati. ITB Bandung. Dwidjosoeputro. 1994. Ekologi. Erlangga. Jakarta Fitter, A.H dan Hay, R. K. M. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Foth, Henry D. 1991. Dasar- dasar Ilmu Tanah. UGM. Press. Yogyakarta. Hardiansyah, dan Dzaki Ramli.2001. Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan. PMIPA. Unlam. Banjarmasin. Hardiansyah, Dzaki Ramli.2000. Ekologi Tumbuhan. PMIPA. Unlam. Banjarmasin Hardjosuwarno, S., 1990. Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. Hardjosuwigeno. S., 2003. Ilmu Tanah. Akademika pressindo. Jakarta Irwanto. 2006. Pengaruh Perbedaan Naungan Terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di Persemaian. Yogyakarta. http://www.geocities.com/roykapet/ pengaruh-naungan. pdf. Karmanan, O., 1988. Biologi. Geneca Exact Bandung. Lakitan, B., 2000. Dasar- Dasar Fisiologi Tumbuhan.Penerbit Raja Grafindo Persada. Semarang. Loveless. 1989. Prinsip- Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Tumbuhan Daerah Tropik. PT Gramedia. Jakarta. Martawija, Abdurahim, Iding Kartasujada, Soewanda Among Prawira, Kosasi Kana. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid 1. Departemen Kehutanan. Bogor. Mas’ud. 1998. Dasar Umum Ilmu kehutanan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Michael. P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium (Diterjemahkan oleh Yanti. R. K). Universitas Press. Jakarta. Michael. P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium (Diterjemahkan oleh Yanti. R. K). Universitas Press. Jakarta. 49 Jurnal Wahana-Bio Volume V Juni 2011 Moelyadi, A. 1999. Seminar Regional Otonomi Daerah. Banjarmasin ( Tidak dipublikasikan). Nirarita. N. C, Wibowo. P, Susanti. S, Padmawinata. D, Kusmarini, Syarif. M, Hendriani. Y, Kusniangsih, Sinulingga br. Lodiya, 1996. Ekosistem Lahan Basah. Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian. Bogor. Odum E.P., 1993. Dasar- Dasar Ekologi, Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Polunin, N. 1992. PengantarGeografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Richard, B. Primack. 1998. Biologi Konversi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Rohliansyah, P. 2001. Mengenal Buah- buahan Kalimantan. Adi Citra Karya Nusa. Jakarta. Sastamitamiharja, D dan A. Siregar. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Jurusan Biologi FMIPA. ITB. Bandung. Soegiman. 1982. Ilmu Tanah.Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Sutejo, M. M. 1992. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. Syafei, E.S. dan Taufikurahman. 1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Fakultas MIPA, ITB. Bandung.