BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ambiguous genetalia adalah suatu kelainan perkembangan seks yang atipikal secara kromosomal, gonadal, dan anatomis yang umumnya ditandai dengan adanya organ genitalia eksterna yang tidak jelas laki-laki atau perempuan, atau mempunyai gambaran kedua jenis kelamin. Bayi yang lahir dengan abnormalitas perkembangan genitalia cukup sulit didiagnosis dan dirawat oleh dokter pediatric saat perawatan awal kelahiran. Ambiguous genetalia adalah kedaruratan neonates. Sangat penting untuk menegakkan diagnosis secepat mungkin sehingga penatalaksanaan yang tepat dapat segera dilakukan untuk meminimalisasi komplikasi medis, psikologis, dan sosial. Jenis kelamin bayi biasanya tanpa kesulitan dapat diketahui dengan pasti, laki-laki atau perempuan, sesaat setelah dilahirkan. Bahkan dengan ultrasonography (USG), maka jenis kelamin sudah dapat dikenali sejak bayi masih berada di dalam kandungan. Jenis kelamin pada umumnya juga tidak akan berubah selamanya, dan menjadi salah satu identitas personal sejak lahir.(Polk, 2006) Tidak selamanya jenis kelamin bayi mudah untuk dibedakan, kadangkadang ada bayi dengan bentuk alat kelamin luar yang tidak secara jelas menunjukkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Keadaan ini disebut ambiguous genetalia, dan dapat terjadi pada satu dari 4500 kelahiran. (Sultana, 2011) Tetapi karena alasan tertentu, penolong bersama orang tua kerap memaksakan diri untuk menetapkan jenis kelamin sang bayi, dan menjadikannya sebagai identitas bagi bayi tersebut. Penetapan yang tergesa-gesa ini sangat rawan terjadi kesalahan. Kesalahan dapat diketahui ketika anak masih kecil atau bahkan, pada beberapa kasus ketika sudah mencapai usia pubertas, ketika tubuh dan alat genital anak tersebut mulai mengalami perkembangan ke arah jenis kelamin yang 1 semestinya, muncul sifat, sikap, atau perilaku yang cenderung tidak sesuai dengan jenis kelamin yang telah ditetapkan baginya. Pada anak “perempuan” mungkin tidak tumbuh payudara dan tidak menstruasi, dan lain sebagainya. (Sultana, 2011). Kesalahan dalam menetapkan jenis kelamin dapat berdampak terhadap segala aspek kehidupan anak, terhadap orang tua, lingkungan, dan juga hukum karena terkait dengan data pada dokumen kependudukan. Anak telah menjadi “korban kesalahan” pola asih, asuh dan asah orang tua dan lingkungan di masa lalu, yang tentunya cenderung disesuaikan dengan jenis kelamin. Anak laki-laki diberi pakaian dan mainan yang berbeda dari anak perempuan, demikian pula dengan cara mengasuh dan mendidiknya. Dalam hal bersosialisasi, menjalani pendidikan, bermasyarakat dan lain sebagainya juga terdapat perbedaan berdasarkan gender. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi sikap, perilaku, mental dan psikologis anak. Pada anak yang masih kecil mungkin belum terjadi masalah psikososial, tetapi pada anak yang lebih besar dapat terjadi suatu krisis identitas. Orang tua penderita kelainan ini pasti juga akan merasakan keresahan, kesedihan dan kebingungan. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI AMBIGUOUS GENETALIA Ambiguous genitalia atau sex ambiguity adalah suatu kelainan di mana penderita memiliki ciri-ciri genetik, anatomik dan atau fisiologik meragukan antara laki-laki dan perempuan. Dalam bahasa Indonesia hal ini disebut dengan jenis kelamin meragukan atau membingungkan. Disebut pula dengan kelamin ganda karena kadang-kadang klitoris sangat besar sehingga tampak seperti ada dua kelamin (Rudi, 2010). Kelainan ini dikenal juga dalam istilah ilmiah yang lain sebagai interseksual, istilah yang mengacu pada pengertian bahwa jenis kelamin terbagi menjadi dua kutub, laki-laki atau perempuan, jadi bentuk kelamin yang meragukan berada di antara dua kutub tersebut. Namun pada perkembangannya, saat ini para ahli endokrinologi lebih sering menggunakan istilah Disorders of Sexual Development (DSD) (Sultana, 2011). Ambiguous genetalia atau intersex tidak sama dengan transexual atau transgender. Transexual merupakan suatu kelainan psikologis, bentuk alat kelamin pada penderita transexual sangat jelas, laki-laki atau perempuan, tetapi perasaan yang dimiliki tidak sesuai / berlawanan dengan jenis kelaminnya itu sehingga bersikap dan bertingkah laku menurut perasaannya, bahkan beberapa di antaranya berupaya untuk merubah bentuk anatominya (ganti kelamin) agar sesuai dengan perasaan dan keinginannya itu (Sultana,2011). Gambar 1. Pasien dengan Ambiguous Genetalia 3 Terdapat tiga tahapan dalam pembentukan alat kelamin setiap individu, yaitu tahap penentuan jenis kelamin genetic (kromosomal), tahap pembentukan alat kelamin gonadal, dan tahap pembentukan alat kelamin fenotip. Bilamana terjadi kelainan atau gangguan pada salah satu tahapan maka ambiguous genetalia dapat terjadi (Sultana,2011). Setiap manusia normal mempunyai 46 kromosom (diploid, 23 pasang kromosom). Dua puluh dua pasang kromosom adalah kromosom autosom yang mengkode karakteristik manusia secara umum serta sifat-sifat spesifik, misalnya warna mata, bentuk rambut, dan lain sebagainya dan satu pasang kromosom adalah kromosom seks, yang terdiri dari dua jenis yang berbeda secara genetis. Laki-laki secara genetic memiliki satu kromosom X dan satu Y (46,XY), perempuan secara genetik memiliki dua kromosom X, (46,XX). Akibat meiosis selama gametosis, semua pasangan kromosom terpisah sehingga setiap sel anak hanya memiliki satu anggota dari setiap pasangan, termasuk pasangan kromosom seks. Setiap sperma atau ovum menerima hanya satu anggota dari tiaptiap pasangan kromosom. Apabila pasangan kromosom seks XY berpisah selama pembentukan sperma akan menerima kromosom X dan separuh lainnya kromosom Y. Sebaliknya, selama oogenesis, setiap ovum menerima sebuah kromosom X karena pemisahan kromosom XX hanya menghasilkan kromosom X. Jenis kelamin individu ditentukan oleh kombinasi kromosom seks. Saat pembuahan, kombinasi sperma yang mengandung X dengan ovum yang mengandung X menghasilkan perempuan genetik, XX, sementara penyatuan sperma yang membawa kromosom Y dengan ovum pembawa kromosom X menghasilkan laki-laki genetik, XY. Dengan demikian penentuan jenis kelamin (sex determination) secara genetik ditentukan pada saat konsepsi dan bergantung pada jenis kromosom seks apa yang terkandung di dalam sperma yang membuahi. 4 B. KLASIFIKASI AMBIGUOUS GENETALIA The Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society (LWPES) danThe European Society for Paediatric Endocrinology (ESPE) telah mengumumkan usulan perubahan nama dan definisi berdasarkan gangguan perkembangan kromosam, gonad, atau fenotip yang bersifat atipik (Hutcheson et all, 2012). Istilah Disorders of Sexual Development (DSD) pun diusulkan untuk merujuk kondisi kongenital tersebut (Houk et all, 2012) Tabel 1. Istilah yang digunakan sebelumnya dan penamaan hasil revisi dari Disorders of Sexual Development (DSD) (Hutcheson, 2012) 1. Hermaprodit Semu Perempuan (Female Pseudohermaphroditism) Merupakan kelainan ambiguous genetalia pada individu yang memiliki kromosom 46XX (kromosom perempuan), indung telur dan derivate mulleri normal. Ambiguous terbatas pada penampakan alat kelamin bagian luar akibat paparan androgen in utero. Sebab-sebab paling umum dari kelainan ini adalah Congenital adrenal hyperplasia (CAH) yang menyebabkan defisiensi salah satu dari lima gen yang dibutuhkan untuk sintesis kortisol. Gen dan enzim tersebut adalah: - CYP 21 (P450c21), 21α-hidroksilase, - CYP11 (P450c11), 11β-hidroksilase, 18- hydroksilase dan 18-oksidase, - CYP17 (P450c17), 17α-hidroxilase dan 17,20-lyase, - 3b2HSD, 3β-hydroksysteroid dehydrogenase, dan - StAR yang merupakan enzim pembelah rantai samping. CAH merupakan penyakit yang diturunkan dari orang tua secara autosomal resesif. Pada janin perempuan, terjadi maskulinisasi karena 5 androgen adrenal dan prekursornya yang diproduksi berlebihan, sedangkan janin laki-laki tidak tampak.11 CAH digolongkan menjadi tipe yang klasik dan non klasik. Tipe yang klasik timbul sejak dalam kandungan dan sering meninggal pada bulan pertama setelah lahir. Pada perempuan disertai gejala maskulinisasi dan pada laki-laki dengan gejala pubertas dini tanpa disertai gejala keraguan alat kelamin sehingga lakilaki jarang dilaporkan. Penderita perempuan menunjukkan gejala pembesaran (klitoris) yang mirip penis sejak lahir atau pada yang lebih ringan akan muncul setelah lahir. Anak-anak penderita CAH akan tumbuh cepat tapi kemudian berhenti lebih awal, sehingga pada keadaan dewasa mereka lebih pendek dari ukuran normal. Pada tipe yang non klasik gejala muncul setelah umur 5-6 tahun dengan maskulinisasi yang lebih ringan, pembesaran klitoris akan muncul belakangan. Maskulinisasi pada penderita CAH dengan genetik perempuan hanya mungkin terjadi akibat adanya hormon androgen ekstragonad (dari luar gonad) yang dapat berasal dari endogen mau pun eksogen, karena pada penderita ini tidak ditemukan testis yang merupakan penghasil utama hormon androgen. Manifestasi klinik dari hormon androgen yang berlebihan ini terbatas pada alat genital bagian luar dan derajat berat-ringannya kelainan tergantung pada tahap pertumbuhan seksual saat terjadinya paparan hormon androgen tersebut. Pada penderita kelainan ini tidak akan ditemukan organ laki-laki bagian dalam. Pada keadaan ringan sering munculnya pembesaran klitoris (menjadi seperti penis) pada perempuan setelah lahir, sehingga masyarakat menganggap alat kelaminnya berubah dari perempuan menjadi laki-laki. Penyakit ini bisa diobati, untuk menghindari gejala yang lebih berat pengobatan harus dilakukan sedini mungkin dan seumur hidup. Penapisan pada bayi baru lahir seharusnya dilakukan di Indonesia karena prevalensi penyakit ini cukup tinggi. Paparan hormon androgen eksogen bisa disebabkan bahan hormonal yang bersifat androgenik yang dikonsumsi ibu saat mengandung janin perempuan, misalnya preparat hormonal yang mengandung progestogen, testosteron atau danazol. Berat ringannya kelainan alat genital janin 6 tergantung dari usia kehamilan, potensi, dosis serta lama pemakaian obat. Paparan hormon androgen dan progestogen saat usia kehamilan 6-10 minggu dapat berakibat perlekatan pada bagian belakang vagina, skrotalisasi labia dan pembesaran klitoris. Kelainan organ genitalia yang disebabkan oleh paparan hormone androgen eksogen mempunyai ciri khas yaitu proses maskulinisasi tidak berjalan progresif dan tidak didapatkan kelainan biokimiawi (Sultana, 2011). 2. Hermaprodit semu laki-laki (Male Pseudohermaphroditism ) Adalah individu yang memiliki kromosom Y (kromosom laki-laki) namun organ genitalia luarnya gagal bertumbuh menjadi alat genital laki-laki normal. Ada beberapa jenis cacat hormon laki-laki yang menimbulkan gejala hermaprodit semu laki-laki, yang paling sering adalah Sindrom Resistensi Androgen atau Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) atau Testicular Feminization Syndrome. AIS merupakan kelompok kelainan yang sangat heterogen yang disebabkan tidak atau kurang tanggapnya reseptor androgen atau sel target terhadap rangsangan hormon testosteron. AIS dapat terjadi dalam bentuk complete (CAIS/Complete Androgen Insensitivity Syndrome) atau incomplete/partial (PAIS/Partial Androgen Insensitivity Syndrome). Penderita PAIS adalah laki-laki dengan kelainan alat kelamin luar yang sangat bervariasi, bahkan kadang-kadang terdapat pada laki-laki normal yang tidak subur. Penderita PAIS mempunyai penis yang kecil yang tampak seperti pembesaran clítoris, disertai dengan hipospadia berat (uretra tidak melewati penis), yang membelah skrotum sehingga tampak seperti lubang vagina. Skrotum kadang tidak 2 menggantung, testis umumnya berukuran normal tetapi terletak pada abdomen, selakangan atau sudah turun kedalam skrotum. Pada usia dewasa sering tumbuh payudara dan keluarnya jakun, walaupun tidak disertai perubahan suara. Pada CAIS, penderita dengan penampilan seperti perempuan normal, dengan alat kelamin luar seperti perempuan, mempunyai vagina yang lebih pendek dari normal, dan payudara akan tumbuh mulai masa prepubertas dengan hasil pemeriksaan kromosom menunjukkan 46XY (sesuai kromosom pada laki-laki) dan kadar hormon testosteron normal 7 atau sedikit meningkat. Pada pemeriksaan fisik dan USG akan teraba atau tampak dua testis yang umumnya tidak berkembang dan terletak dalam rongga perut atau selakangan, tanpa struktur alat genital dalam perempuan. Individu dengan CAIS sering menunjukkan gejala seperti hernia inguinalis (hernia pada selakangan), oleh karena itu pada anak perempuan prapubertas yang mengalami hernia inguinalis (benjolan pada selakangan) dan gejala tidak menstruasi sejak lahir, perlu pemeriksaan kromosom (Sultana, 2011). 3. Hermaprodit Sebenarnya (True Hermaphroditism) Merupakan kelainan yang jarang dijumpai. Diagnosis True Hermaphroditism ditegakkan apabila pada pemeriksaan jaringan secara mikroskopis ditemukan gonad yang terdiri dari jaringan ovarium (perempuan) dan testis (laki-laki). Kedua jaringan gonad tersebut masingmasing dapat terpisah tetapi lebih sering ditemukan bersatu membentuk jaringan ovotestis. Pada analisis kromosom 70% dari kasus yang dilaporkan dijumpai 46XX, sisanya dengan 46XY, campuran kromosom laki dan perempuan dengan kombinasi 46XX/46XY, 45X/46XY, 46XX/47XXY atau 46XY/47XXY. Manifestasi klinik dan profil hormonal tergantung pada jumlah jaringan gonad yang berfungsi. Jaringan ovarium sering kali berfungsi normal namun sebagian besar infertil. Sekitar 2/3 dari total kasus true hermaphrodite dibesarkan sebagai laki-laki. Meski pun demikian alat genital luar pada penderita kelainan ini biasanya ambigus atau predominan perempuan dan disertai pertumbuhan payudara saat pubertas. Jaringan Gonad dapat ditemukan pada rongga perut, selakangan atau lebih ke bawah pada daerah bibir kemaluan atau skrotum. Jaringan testis atau ovotestis lebih sering tampak di sebelah kanan. Spermatozoa biasanya tidak ditemukan. Sebaliknya oosit normal biasanya ada, bahkan pada ovotestis. Jika pasien memilih jenis kelamin laki-laki, rekontruksi genital dan pemotongan gonad selektif menjadi indikasi. Jika jenis kelamin perempuan yang dipilih, tindakan bedah yang dilakukan akan menjadi lebih sederhana. (Sultana, 2011). 8 4. Dysgenesis Gonad Dysgenesis Gonad adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tidak adanya oosit maupun ovarium, atau gonad terlihat seperti garis (streaky). Penderita secara fenotip adalah perempuan tetapi dapat memiliki beragam komplemen kromosom termasuk XY (laki-laki). Penderita dengan komplemen XY ini tidak menghasilkan testosterone. Pada kebanyakan kasus penderita mempunyai karyotipe 45,X dengan ciri sidroma turner, seperti badan pendek, lengkung palatum tinggi, leher bersayap, dada perisai, anomaly jantung, dll. Tidak adanya oosit pada kasus 45,X adalah akibat meningkatnya kehilangan oosit dan bukan karena kelainan sel benih. Dysgenesis gonad campuran ditandai dengan adanya gonad garis (streaky) dan satu testis yang tidak sempurna. Penderita secara genetic mosaic dengan karyotipe 45,X dan 46,XY dengan alat kelamin ganda dan beberapa bekas duktus mulleri, serta mempunyai uterus. Dysgenesis campuran adalah kelompok ambiguous nomor dua terbanyak setelah CAH. (Langman, 2010) C. EPIDEMIOLOGI AMBIGUOUS GENETALIA Ambigus genitalia merupakan ketidaksesuaian karakteristik yang menentukan jenis kelamin seseorang, secara umum tingkat kejadiannya untuk mendapatkan penyakit ini adalah 1: 2000 (Mirani, 2010). Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit ambiguous genitalia sangat terbatas (Chavhan et all, 2008). Meskipun tidak ada jumlah pasti prevalensi penyakit ambiguous genitalia, pada akhir tahun 2006, di Jerman telah ditemukan 2 kasus dari 10.000 kelahiran (Thyen et all, 2006). Kasus DSD secara umum dapat dialami baik laki-laki, maupun perempuan dan biasanya didiagnosis pada kelahiran bayi dengan ambiguous genitalia Hutcheson et all, 2012). 9 D. ETIOLOGI AMBIGUOUS GENETALIA Ketika genitalia eksternal tidak mempunyai penampakan anatomik yang sesuai dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara normal, maka dikenal sebagai ambiguous genitalia. Keadaan ini dapat disebabkan oleh berbagai DSD. Akan tetapi, tidak semua DSD berupa ambigus genitalia eksternal, beberapa DSD memiliki genital ekterna yang normal (seperti Turner sydrome [45,XO] dengan fenotip wanita, Klinefelter syndrome [47,XXY] dengan fenotip pria (Chavhan et all, 2008). Penyebab terjadinya amibigous genitalia pada laki-laki, di antaranya adalah: 1. Gangguan perkembangan testis. Perkembangan testis pada janin lakilaki dapat terganggu oleh faktor-faktor tertentu, seperti kelainan genetik atau penyebab lain yang tidak diketahui. 2. Kekurangan enzim 5A-Reduktase. Enzim 5A-reduktase berperan dalam pembentukan hormon androgen yang mendorong perkembangan organ kelamin laki-laki. Kekurangan enzim tersebut dapat menyebabkan produksi hormon seksual laki-laki menjadi terganggu dan menyebabkan organ kelamin laki-laki tidak berkembang dengan baik. 3. Sindrom insensitivitas terhadap androgen. Kondisi ini disebabkan oleh respons organ kelamin janin laki-laki yang tidak sensitif terhadap hormon androgen. Meskipun produksi hormon androgen di testis tidak terganggu, namun akibat insensitivitas terhadap androgen, perkembangan organ kelaminnya bisa terganggu. 4. Kelainan pada testis dan testosteron. Testis dan organ kelamin laki-laki lainnya dapat terganggu oleh berbagai faktor, baik berupa gangguan struktur organ, gangguan produksi hormon, maupun gangguan reseptor hormon tersebut. Penyebab terjadinya amibigous genitalia pada perempuan, di antaranya adalah: 1. Konsumsi obat yang mengandung hormon androgen oleh ibu hamil. Beberapa obat-obatan ada yang mengandung hormon androgen sehingga jika dikonsumsi oleh ibu hamil dapat menyebabkan janin perempuan yang 10 sedang dikandung terpapar hormon androgen. Kondisi ini menyebabkan organ kelamin perempuan janin yang sedang berkembang akan mengandung ciri-ciri kelamin laki-laki. Selain itu, ketidakseimbangan hormonal ibu hamil juga dapat menyebabkan janin perempuan terkena hormon yang memicu terjadinya amibigous genitalia. 2. Tumor. Tumor pada ibu hamil yang menghasilkan hormon seksual lakilaki dapat memengaruhi perkembangan organ kelamin perempuan. 3. Hiperplasia adrenal kongenital. Hiperplasia adrenal kongenital merupakan kondisi genetik kongenital yang muncul pada ibu hamil. Hiperplasia adrenal menyebabkan ibu memproduksi hormon androgen yang berlebih sehingga menyebabkan kelainan perkembagan seksual pada janin perempuan. E. PATOFISIOLOGI AMBIGUOUS GENETALIA Untuk mengetahui patofisiologi ambiguous genitalia, harus memahami diferensiasi seksual normal dan abnormal yang merupakan pengertian dasar pada kelainan. 1. Embriologi diferensiasi seksual Penentuan fenotip seks dimulai dari seks genetik yang kemudian diikuti oleh kaskade: kromosom seks menentukan seks gonad, akhirnya menentukan fenotip seks. Tipe gonad menentukan diferensiasi/regresi duktus internal (mulleri dan wolfili). Identitas gender tidak hanya ditentukan oleh fenotip individu, tetapi juga oleh perkembangan otak prenatal dan postnatal (Taswim, 2012). 2. Diferensiasi gonad Dalam bulan kedua kehidupan fetus, gonad indeferen dipandu menjadi testes oleh informasi genetik yang ada pada lengan pendek kromosom Y disebut Testes Determining Factor (TDF), merupakan rangkaian 35-kbp dalam subband 11.3, area ini disebut daerah penentu seks pada kromosom Y 11 (SRY). Bilamana daerah ini tidak ada atau berubah, maka gonad indeferen menjadi ovarium. Gen lain yang penting dalam perkembangan testes antara lain DAX 1 pada kromosom X, SF1 pada 9q33, WT1 pada 11p13, SOX9 pada 17q24-q25, dan AMH pada 19q13.3 (Taswim, 2012). 3. Diferensiasi duktus internal Perkembangan duktus internal akibat efek parakrin gonad ipsilateral. Penelitian klasik Jost pada tahun 1942 dengan kelinci menjelaskan dengan sangat baik peran gonad dalam mengendalikan perkembangan duktus internal dan fenotip genitalia eksterna. Bila ada jaringan testes, maka ada dua substansi produk untuk perkembangan duktus internal laki-laki dan fenotip laki-laki, yaitu testosteron dan substansi penghambat mulleri (MIS) atau hormon anti-mulleri (AMH) (Taswim, 2012). Testosteron diproduksi sel Leydig testes, merangsang duktus wolfii menjadi epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis. Struktur wolfii terletak paling dekat dengan sumber testosteron, duktus wolfii tidak berkembang seperti yang diharapkan bila testes atau gonad disgenetik sehingga tidak memproduksi testosteron. Kadar testosteron lokal yang tinggi penting untuk diferensiasi duktus wolfii namun pada fetus perempuan androgen ibu saja yang tinggi tidak menyebabkan diferensiasi duktus internal alki-laki, hal ini jug atidak terjadi pada bayi perempuan dengan Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) (Taswim, 2012). MIS diproduksi oleh sel Sertoli testes, penting untuk perkembangan duktus internal laki-laki normal, merupakan suatu protein dengan berat molekul 15.000, yang disekresi mulai minggu ke delapan. Peran utamanya adalah represi perkembangan pasif duktus mulleri (tuba falopii, uterus, vagina atas). Testosteron dan estrogen tidak mempengaruhi peran MIS (Taswim, 2012). 4. Diferensiasi genitalia eksterna Genitalia eksterna kedua jenis kelamin masih identik sampai 7 minggu pertama masa gestasi. Tanpa hormon androgen (testosteron dan dihidrotestosteron-DHT), genitalia eksterna secara fenotip perempun. Bila 12 ada gonad laki-laki, diferensiasi terjadi secara aktif setelah minggu ke-8 menjadi fenotip laki-laki. Diferensiasi ini dipengaruhi oleh testosteron, yang berubah menjadi DHT karena pengaruh enzim 5-alfa reduktase dalam sitoplasma sel genitalia eksterna dan sinus urogenital. DHT berikatan dengan reseptor androgen dalam sitoplasma kemudian ditranspor ke nukleus, menyebabkan translasi dan transkripsi material genetik, akhirnya menyebabkan perkembangan genitalia eksterna laki-laki normal, bagian primordial membentuk scrotum , dari pembengkakan genital membentuk batang penis, dari lipatan tuberkel membentuk glans penis, dari sinus urogenitalis menjadi prostat. Maskulinisasi tidak sempurna bila testosteron gagal berubah menjadi DHT atau DHT gagal bekerja dalam sitoplasma atau nukleus sel genitalia eksterna dan sinus urogenital. Kadar testosteron tetap tinggi sampai minggu ke-14. Setelah minggu ke-14, kadar testosteron fetus menetap pada kadar yang lebih rendah dan dipertahankan oleh stimulasi human chorionic gonadotrophin (hCG) maternal daripada oleh LH. Kemudian pada fase gestasi selanjutnya testosteron bertanggung jawab terhadap pertumbuhan falus yang responsif terhadap testosteron dan DHT (Taswim, 2012). F. GAMBARAN KLINIS AMBIGUOUS GENETALIA Gejala dari kelamin ganda (ambigous genitalia), pada bayi yang secara genetika seorang perempuan (kedua chromosome XX), maka : 1. Terlihat clitoris yang membesar yang sering dikira sebagai penis 2. Bibir bawah yang tertutup atau seperti lipatan hingga dikira sebagai scrotum 3. Benjolan dibawah kelamin yang dikira sebagai testis. Pada bayi yang secara genetis adalah laki laki, maka gejalanya adalah: a. Saluran kencing tidak sampai ke depan penis (berhenti dan keluar ditengah atau dipangkal penis) b. Penis sangat kecil dengan lubang saluran kencing dekat dari scrotum c. Testis tidak ada atau hanya ada satu buah (Taswim, 2012). 13 Gambar 2. Ambiguous genitalia, diantaranya adalah true hermaphrodite (A) dan congenital virilizing adrenal hyperplasia (B-E) G. PENEGAKAN DIAGNOSIS AMBIGUOUS GENETALIA Untuk menentukan penyebab terjadinya interseksualitas atau ambiguous genitalia tidak mudah, diperlukan kerja sama interdisipliner/intradisipliner, tersedianya sarana diagnostik dan sarana perawatan. Pada pemeriksaan medis perlu perhatian khusus kepada hal-hal tertentu (Siregar, 2000). 1. Anamnesis Pada ananmnesis perlu diperhatikan mengenai: a. Riwayat kehamilan; adakah pemakian obat-obatan seperti hormonal atau alkohol, terutama pada trimester I kehamilan. b. Riwayat keluarga; adakah anggota keluarga dengan kelainan jenis kelamin. Riwayat kematian neonatal dini c. Riwayat infertilitas dan polikistik ovarii pada saudara sekandung orangtua penderita. d. Perhatikan penampilan ibu; akne, hirsustisme, suara kelaki-lakian. 2. Pemeriksaan Fisik a. Khusus terhadap genitalia eksterna/status lokalis: tentukan apakah testes teraba keduanya, atau hanya satu, atau tidak teraba. Bila teraba di mana lokasinya, apakah di kantong skrotum, di inguinal atau di labia mayora. Tentukan apakah klitoromegali atau mikropenis, hipospadia atau muara uretra luar. Bagaimana bentuk vulva dan adakah hiperpigmentasi. b. Tentukan apakah ada anomali kongenital yang lain. 14 c. Tentukan adakah tanda-tanda renjatan. d. Bagi anak-anak periksalah status pubertas, tentukan apakah ada gagal tumbuh atau tidak. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium 1) Analisis kromosom 2) Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti testosteron, uji HCG, 17-OH progesteron. 3) Pemeriksaan elektrolit seperti natrium dan kalium. b. Pencitraan 1) USG pelvis; untuk memeriksa keadaan genital intern 2) Genitografi; untuk menetukan apakah saluran genital interna perempuan ada atau tidak. Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan terutama untuk menentukan ada/tidaknya organ yang berasal dari saluran Muller. H. PENATALAKSANAAN AMBIGUOUS GENETALIA 1. Pengobatan endokrin Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah mendorong perkembangan maskulisasi dan menekan berkembangnya tanda-tanda seks feminisasi (membesarkan ukuran penis, menyempurnakan distribusi rambut dan massa tubuh) dengan memberikan testosterone (Susanto, 2006). Bila pasien menjadi perempuan, maka tujuan pengobatan adalah mendorong secara simultan perkembangan karakteristik seksual ke arah feminin dan menekan perkembangan maskulin (perkembangan payudara dan menstruasi yang dapat timbul pada beberapa individu setelah pengobatan estrogen) (Susanto,2006). Pada CAH diberikan glukokortikoid dan hormon untuk retensi garam. Glukokortikoid dapat membantu pasien mempertahankan reaksi bila 15 terjadi stres fisik dan menekan perkembangan maskulinisasi pada pasien perempuan (Susanto,2006). Pengobatan dengan hormon seks biasanya mulai diberikan pada saat pubertas dan glukokortikoid dapat diberikan lebih awal bila dibutuhkan, biasanya dimulai pada saat diagnosis ditegakkan. Bilamana pasien diberikan hormon seks laki-laki, hormon seks perempuan atau glukokortikoid, maka pengobatan harus dilanjutkan selama hidup. Misalnya, hormon seks laki-laki dibutuhkan pada saat dewasa untuk mempertahankan karakteristik maskulin, hormon seks perempuan untuk mencegah osteoporosis dan penyakit kardiovaskuler, dan glukokortikoid untuk mencegah hipoglikemia, dan penyakit-penyakit yang menyebabkan stress (Susanto,2006). 2. Pengobatan pembedahan Tujuan pembedahan rekonstruksi pada genitalia perempuan adalah agar mempunyai genitalia eksterna feminin, sedapat mungkin seperti normal dan mengkoreksi agar fungsi seksualnya normal. Tahap pertama adalah mengurangi ukuran klitoris yang membesar dengan tetap mempertahankan persarafan pada klitoris dan menempatkannya tidak terlihat seperti posisi pada wanita normal. Tahap kedua menempatkan vagina keluar agar berada di luar badan di daerah bawah klitoris (Susanto,2006). Tahap pertama biasanya dilakukan pada awal kehidupan. Sedangkan tahap kedua mungkin lebih berhasil bilamana dilakukan pada saat pasien siap memulai kehidupan seksual (Susanto,2006). Pada laki-laki, tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan merubah letak urethra yang tidak berada di tempat normal ke ujung penis. Hal ini dapat dilakukan dalam satu tahapan saja. Namun demikian, pada banyak kasus, hal ini harus dilakukan lebih dari satu tahapan, khususnya bilamana jumlah jaringan kulit yang digunakan terbatas, lekukan pada penis terlalu berat dan semua keadaan-keadaan tersebut bersamaan sehingga mempersulit teknik operasi (Susanto,2006). 16 Bilamana pengasuhan seks sudah jelas ke arah laki-laki, maka dapat dilakukan operasi rekonstruksi antara usia 6 bulan sampai 11,5 tahun. Secara umum, sebaiknya operasi sudah selesai sebelum anak berusia dua dua tahun , jangan sampai ditunda sampai usia pubertas (Susanto,2006). Bilamana pengasuhan seks sudah jelas ke arah perempuan, bilamana pembukaan vagina mudah dilakukan dan klitoris tidak terlalu besar, maka rekonstruksi vagina dapat dilakukan pada awal kehidupan tanpa koreksi klitoris. Bilamana maskulinisasi membuat klitoris sangat besar dan vagina tertutup (atau lokasi vagina sangat tinggi dan sangat posterior), maka dianjurkan untuk menunda rekonstruksi vagina sampai usia remaja. Namun hal ini masih merupakan perdebatan, beberapa ahli menganjurkan agar rekonstruksi dilakukan seawal mungkin atau setidaknya sebelum usia dua tahun, namun ahli yang lain menganjurkan ditunda sampai usia pubertas agar kadar estrogennya tinggi sehingga vagina dapat ditarik ke bawah lebih mudah (Susanto,2006). 3. Pengobatan psikologis Sebaiknya, semua pasien interseks dan anggota keluarganya harus dipertimbangkan untuk diberikan konseling. Konseling dapat diberikan oleh ahli endokrin anak, psikolog, ahli psikiatri, ahli agama (ustadz, pastur, atau pendeta), konselor genetik atau orang lain dimana anggota keluarga lebih dapat berbicara terbuka. Yang sangat penting adalah bahwa yang memberikan konseling harus sangat familier dengan hal-hal yang berhubungan dengan diagnosis dan pengelolaan interseks. Sebagai tambahan, sangat membantu bilamana konselor mempunyai latar belakang terapi seks atau konseling seks. Topik yang harus diberikan selama konseling adalah pengetahuan tentang keadaan anak dan pengobatannya, infertilitas, orientasi seks, fungsi seksual dan konseling genetik. Bilamana pada suatu saat di sepanjang hidupnya, pasien dan orangtuanya mempunyai masalah dengan topik tersebut, maka dianjurkan untuk berkonsultasi (Susanto,2006). 17 I. KOMPLIKASI AMBIGUOUS GENETALIA 1. Infertilitas: Orang dengan kondisi ambiguous genital tetap dapat punya anak bergantung pada spesifik diagnostik. Sebagai contoh, perempuan genetik dengan hiperplasia adrenal kongenital biasanya bisa hamil jika mereka memilih demikian. 2. Peningkatan resiko kanker tertentu: Beberapa gangguan perkembangan jenis kelamin berhubungan dengan peningkatan risiko beberapa jenis kanker. 18 BAB III KESIMPULAN Ambiguous genitalia atau sex ambiguity adalah suatu kelainan di mana penderita memiliki ciri-ciri genetik, anatomik dan atau fisiologik meragukan antara laki-laki dan perempuan. Dalam bahasa Indonesia hal ini disebut dengan jenis kelamin meragukan atau membingungkan. Disebut pula dengan kelamin ganda karena kadang-kadang klitoris sangat besar sehingga tampak seperti ada dua kelamin (Rudi, 2010). Kasus Ambiguous genetalia bisa ditemukan dalam praktek sehari-hari, oleh sebab itu pendekatan diagnostic cukup layak untuk lebih dipahami. Dalam menentukan jenis kelamin seseorang diperlukan minimal 7 sifat, yaitu : susunan kromosom, jenis gonad, morfologi genital interna, morfologi genital eksterna, hormone seks, pengasuhan, serta peranan dan orientasi. Ambiguous genetalia dapat diklasifikasikan dalam 4 kelompok secara umum, yaitu : gangguan pada gonad dan atau kromosom, maskulinisasi pada genetic perempuan, maskulinisasi tak lengkap pada genetik laki-laki, dan gangguan pada embryogenesis yang tidak melibatkan gonad ataupun kromosom. Untuk menentukan penyebab terjadinya diperlukan kerjasama interdisipliner/intradisipliner, tersedianya sarana diagnostik dan sarana perawatan. Petunjuk pada kecurigaan terhadap adanya ambiguous genetalia : 1. Genetalia eskterna yang bersifat 2 atau tak lengkap 2. Genetalia eksterna laki-laki ; skrotum kosong, testes ada tapi kecil, hipospadia, penis kecil. 3. Genetalia eksterna perempuan ; klitoris membesar, bentuk vulva tak sempurna, benjolan-benjolan di inguinal atau labia mayora, dan berperawakan pendek. 4. Pada riwayat keluarga, ada keluarga dengan kelainan jenis kelamin 5. Riwayat ibu sewaktu hamil memperoleh obat androgen/progesterone. 19 DAFTAR PUSTAKA Chavhan, Govind B, et al. Imaging of Ambiguous Genitalia: Calssification and Diagnostic approach. [Online] 2008. [Dikutip 24 Agustus 2019]. Available from: http://radiographics.rsna.org/content/28/7/1891.full Houk, Cristopher P, et al. Summary of Consesus Statement on Intersex Disorders and Their Management. [Online]. 2012 [Dikutip 25 Agustus 2019]. from:http://pediatrics.aappublications.org/content/106/1/138.full Hutcheson, Joel, et al. Journal of Ambiguous Genitalia and Intersexuality. [Online]. 2012 [dikutip pada tanngal 25 Agustus 2019]from: www.emedicine.medscape.com/article/1015520-overview.htm#showall Mirani, erna. Pengaruh Konseling Genetik pada Tingkat Kecemasan dan Depresi Terhadap Penentuan Gender Ambigus Genitalia. [Online]. 2010 [Dikutip pada tanggal 24 Agustus 2019]. Available from: http://eprints.undip.ac.id/17421/ Siregar, Charles Darwin. Pendekatan Diagnostik Interseksualitas pada Anak . Dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 126. Jakarta; 2000. P. 32-6. Sultana. Mh Faradz, (2011) Http://Www.Fk.Undip.Ac.Id/Artikel- Lepas/KelaminGanda-Penyakit-Atau- Penyimpangan-Gender-.Html, [Dikutip pada 25 Agustus 2019] Susanto, Rudi. Ambiguous Genitalia pada Bayi Baru Lahir . [Online].2006. [Dikutip 24 Agustus 2019]. U, Thyen, et al. Epidemiology and Initial Management of Ambiguous Genitalia at Birth in Germany. [Online]. 2006 [Dikutip 24 Agustus 2019]. Available from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16877870