Uploaded by aryamaulana056

[PDF] Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik - Scribd

advertisement
Patofisiologi d an Penatalaksanaan S yo k Anafilaktik
Pendahuluan.
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang
bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi,
pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut
sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu syok anafilaktik adalah
suatu tragedi dalam dunia kedokteran, yang membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.
Tanpa pertolongan yang cepat dan tepat, keadaan ini dapat menimbulkan malapetaka yang
berakibat ganda. Disatu pihak penderita dapat meninggal seketika, dilain pihak dokternya
dapat dikenai sanksi hukum yang digolongkan sebagai kelalaian atau malpratice. Test kulit
yang merupakan salah satu upaya guna menghindari kejadian ini tidak dapat diandalkan,
sebab ternyata dengan test kulit yang negatif tidak menjamin 100 % untuk tidak timbulnya
reaksi anafilaktik dengan pemberian dosis penuh. Selain itu, test kulit sendiri dapat
menimbulkan syok anafilaktik pada penderita yang amat sensitif. Olehnya itu upaya
menghindari timbulnya syok anafilaktik ini hampir tertutup bagi profesi dokter yang selalu
berhadapan dengan suntikan. Satu-satunya jalan yang dapat menolong kita dari malapetaka
ini bukan menghindari penyuntikan, karena itu merupakan senjata ampuh buat kita, tapi
bagaimana kita memberi pertolongan secara lege-artis bila kejadian itu menimpa kita. Untuk
itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik. Makalah
ini akan memberi petunjuk sederhana tentang usaha-usaha yang harus dilakukan dalam
mengelola
syok
anafilaktik.
Insidens
Insidens syok anafilaktik 40 – 60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat
zat kontras radiografi, dan 10 – 20 persen akibat pemberian obat penicillin. Sangat kurang
data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik. Anafilaksis yang
fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun.
Di Amerika Serikat insisidens reaksi alergi dan anafilaksis yang dicatat dari bagian gawat
darurat rumah sakit didapatkan bahwa 0,5persen (5 per 1000) dan 0,02 persen (2 per 10.000)
kejadian. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik
seperti penicillin dan bahan zat radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari
500 kematian akibat reaksi anafilaksis. Secara umum insidens reaksi anafilakis 0,01 %
eksposue di Amerika. Gigitan serangga hymenoptera merupakan penyebab yang terbanyak
dari
syok
anafilaktik.(1)
Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen
tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun
makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap
alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan
basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu
terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain
histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu
sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam
arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini
segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan
prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya
gejala
pernafasan
dan
syok.
(2)
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan
saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner
sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus
dijalan nafas. Rasio H1 – H2 pada jaringan menentukan efek akhirnya. (2,3)
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler.
Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan
granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat
pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata
dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin
(meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat
degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula
rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan
trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada
vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya
obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya
mediator.(2,3,4)
R e ak si
Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang
sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi.
Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum
seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah
kontras radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu
aspirin maupun NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga
sebagai
akibat
terhambatnya
enzim
siklooksgenase.
Manifestasi
klinik
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada
tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi
dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan
yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada
dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.(4,5,6,7)
Sistem
pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang
kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini
menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan
gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya
menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan
bronkospasme
merupakan
pembunuh
utama
pada
syok
anafilaktik.
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan
saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner
sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus
dijalan nafas. Rasio H1 – H2 pada jaringan menentukan efek akhirnya. (2,3)
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler.
Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan
granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat
pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata
dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin
(meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat
degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula
rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan
trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada
vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya
obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya
mediator.(2,3,4)
R e ak si
Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang
sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi.
Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum
seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah
kontras radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu
aspirin maupun NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga
sebagai
akibat
terhambatnya
enzim
siklooksgenase.
Manifestasi
klinik
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada
tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi
dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan
yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada
dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.(4,5,6,7)
Sistem
pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang
kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini
menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan
gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya
menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan
bronkospasme
merupakan
pembunuh
utama
pada
syok
anafilaktik.
Sistem
sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa juga
berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi.
Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi
sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer
dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi
pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel
(terjadi hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa
pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.
Gangguan
kulit.
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun
gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini
mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa
gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa
urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang
lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan
obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.
Gangguan
g a st ro i n t est i n al
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan gastrointestinal
yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan
sirkulasi.
Skema
perubahan
patofisiologi
pada
syok
anafilaktik
S k e ma perubahan patofisiologi p ad a syok anafilaktik
Pengelolaan
Anafilaksis
Secara
umum
terapi
1. Mencegah efek mediator
dan
anafilaksis
syok
Anafilaksis
bertujuan
:
Menghambat sintesis dan pelepasan mediator
Blokade reseptor
2. Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek mediator.
Titik tan g k ap terapi berdasarkan p eru b ah an patofisiologi
Penanganan
syok
anafilaktik
I.
Terapi
medikamentosa
(7,8,9)
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan
pengelolaannya.
1.Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini diseba bkan 3 faktor yaitu
:
Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat
terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat
sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.
Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AM P
sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.
Do si s
dan
cara
p e mb e r i a n n y a .
0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat
diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin
cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara
intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl
fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok
anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit,
sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
2.Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan
pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena.
Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
3. Antihistamin dan kortikosteroid.
Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada
tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators
yang lepas dan tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai
membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged
effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan untuk
golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrocortison 100
– 250 mg IV.
O b a t o b at y a n g d i b u t u h k an :
Adrenalin
Aminofilin
Antihistamin
Kortikosteroid
II.
Terapi
su p po rt i f
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya
dilakukan
secara
bersamaan.
(10,11,12)
1. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 ltr / menit harus
dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi
perlu dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi )
akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
3.Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka
pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan
pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti.
Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan
stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner
segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan
terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang
praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya
juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
Peran gk at y a n g d ib u tu hk an :
Oksigen
Posisi Trendelenburg (kursi)
Infus set dan cairannya
Resusitation kit
Pencegahan
1. Kewaspadaan
Tiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat
antigen (serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi
anfilaktik.Penderita yang tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau
penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan
obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya
mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.
2. Test kulit
Test kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi penderita
yang dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko tapi minimal
kita dapat terlindung dari sanksi hukum. Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat
dicoba dengan stracth test dengan kewaspadaan dan persiapan yang prima.
3. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .
Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman, selain
itu hasilnyapun dapat diandalkan.
4. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.
Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan beserta
perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok anafilaktik yang
mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek dunia kodokteran.
M a sa l a h
hukum
Walaupun test kulit tidak memberi jaminan 100 % namun demi kepentingan, test kulit
sebaiknya dilakukan sebelum menyuntikan obat-obatan yang telah pernah dilaporkan sebagai
obat yang dapat menimbulkan syok anafilaksis.Seandainya test kulit negatif dan pada
pemberian dosis pernah terjadi syok anafilaksis kemudian tak dapat tertolong maka
pertanyaannya adalah :
1. Sudahkah kita melakukan tugas kita dengan baik yakni menggunakan standar profesi
yang optimal ? Disini dituntut pengetahuan dan keterampilan dalam bertindak.
2. Tersediakah obat-obatan perfection dan peralatan yang lengkap untuk melakukan
RKP yang sempurna. Disini dituntut tersedianya obat-obatan perfection dan peralatan
yang lengkap untuk bertindak sesuai dengan standar profesi yang muktahir.
Jika semuanya telah kita lakukan dengan sempurna, maka paling tidak beban moril akan jauh
lebih
rendah
dan
terhindar
dari
tuntutan
hukum.
K e s i mp u l a n
1. Syok anafilaksis merupakan reaksi alergi yang tergolong emergency life-threate ning.
2. Reaksi anafilaksis atau anafilaktoid dapat memberi gejala yang sama, walaupun
mekanismenya berbeda.
3. Test kulit senantiasa diperlukan, pada penggunaan obat-obat yang sangat dicurigai
(untuk kepentingan aspek hukum).
4. Pemberian antihistamin dan steroid pra-exposure dilaporkan sangat bermanfaat.
5. Drug of choise dari syok anafilaktik adalah adrenalin.
6. Keterampilan RKP dan ketersediaan Resusitation kit, emergency drug mutlak pada
tempat-tempat dimana penyuntikan banyak dilakukan.
R eferen si .
1. HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical
care. Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB
Saunders companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56
2. Koury SI, Herfel L U . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In
:International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed
McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6
3. Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9
4. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on
Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga
Surabaya.
5. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies, Med.Exam.
Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.
6. Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965.
7. Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.
8. Petterson,R and Arbor A. Allergic Energencies. The Journal of the American Medical
Association 172 : 4,1960.
9. Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran
Anesthesiology 25: 2, 1964.
10. Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case report,British
Medical Journal June 1966.
11. Kern R,A. Anphylactic Drug Reaction JAMA 6 :1962.
12. Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia :
Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.
Penulis :
Prof dr A.Husni Tanra, PhD, SpAn, KIC
Bagian Anestesiologi dan Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin-Makassar
SYOK ANAFILAKTIK
10 Oktober 2011 2 Komentar
DEFIN ISI
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti
perlindungan . Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru
merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan
arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik
merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif,
ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh
darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya
hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian
anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan
antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak se telah 60 menit penggunaan obat.
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta
penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan
insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan
dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
F A K T O R PR EDISPO SISI D A N E T I O L O G I
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat a lergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan
lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan
susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,
relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGIS
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan
aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama
sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut
kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu t erjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya
respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil
dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema,
sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis
Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis
M A N I F E S T A S I KL INIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar
dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan
alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,
sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat,
rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam
pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala
sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti
jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia
ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau
lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan
saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai
pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan
kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis
alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi
gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda,
misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok
ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan;
allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies,
terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung
diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan
deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema , gatal, urtikaria, kulit terasa hangat ata u
dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume ti dal. Saluran
nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor.
Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi
saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema
mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran
endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa
nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang
terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi
tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari
aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara
histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,
memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau
meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari
suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu
IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji
cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan
dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET)
akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti anali sa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes
fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-la in.
D IA GNOSI S
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah
terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American
Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam)
dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan
salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,
wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah ata u gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala beri kut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu
keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya
sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan
gejala gastrointestinal yang persisten (misaln ya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah set elah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik l ebih dari
30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
DIAGNOSA BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik
dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut s ulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang
memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem
organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast
dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada
setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan
syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi
histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien t ampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark miokard
akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut
sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan
pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasi en
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai
adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan
darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara na pas
mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik,
dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini
menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul,
mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.
P E N A TA LAK SAN AAN
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan ale rgen baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi
dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi a nafilaksis.
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan
resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian
jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit.
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme
kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain
itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilit as otot jantung, tonus
pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam
keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg
BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sa mpai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular un tu k An ak - a n ak
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja
misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien
tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang
benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan
dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan
100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi
dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian
infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko t inggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setia p waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps
yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering
dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin
berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas
vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung
beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis
berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH 2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5
menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari
sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah
dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam s elama 48
jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak
membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga
berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil
(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), at au hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB
selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6
mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin,
salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc -0,5 cc dalam 2-4
ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10
mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter
dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam
secara infus dengan dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama
dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan
tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa
harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah
teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama
selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang
perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi
urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal
nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan
cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard,
aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.2,9,12
G a mb ar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan
cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu
yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap
banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif
pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak
berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif
dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang
sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan
alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan
alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu ter sedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen
spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali
akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari it u perlu dilakukan observasi setelah
terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas
lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan
menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit
kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan
elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval
waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.
K E S I M P UL AN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik
memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obatobatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko
terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan
kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I,
terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang
mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat membantu
menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penunjang yang baik akan membantu se orang dokter dalam mendiagnosis suatu
syok anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mula i dari hentikan allergen yang
menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obatobat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan
terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan
kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.
S y o k Anafilaktik
SYOK ANAFILAKSIS / REAKSI ANAFILAKSIS
Pendahuluan
Syok merupakan suatu kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan tidak adekuatnya perfusi
jaringan, yang secara klinis ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik (< 80 mmHg),
perubahan status mental, oliguria dan akral yang dingin.
Syok berdasaran etiologinya dibagi dalam 4 klasifikasi yaitu :
A. Syok hipovolomik
Yaitu syok akibat menurunnya volume intravaskuler oleh karena hilangnya darah/plasma
(mis:diare, perdarahan)
B. Syok cardiogenik
Yaitu syok akibat gangguan fungsi jantung (aritmia, gangguan fungsi katup, infark miokard
akut dengan komplikasi)
C. Sy o k Obsruktif
Yaitu syok akibat adanya gangguan pengisian ke ventri kel kanan (tamponade jantung, emboli
paru)
D. Syok distributive
Yaitu gangguan distribusi volume vascular akibat perubahan resisten an permeabilitas
pembuluh darah (syok neurogenik, anafilaksis dan septic).
S y o k anafilaksis
Syok anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi tipe yang fatal dan dapat menimbulkan
―bencana‖, yang dapat terjadi dalam beberapa detik -menit, sebagai akibat reaksi antigen
antibody, pada orang-orang yang sensitive setelah pemberian obat-obat secara parentral,
pemberian serum / vaksin atau setelah digigitserangga.
Reaksi ini diperankan oleh IgE antibody yang menyebabkan pelepasan mediator kimia dari
sel mast dan sel basofil yang beredar dalam sirkulasi berupa fistamin, SRS-A, serotonin dll.
Patofisiolo gi
Mekanisme umum terjadinya reaksi anafilaksis dan anafilaktoid adalah berhubungan dengan
degranulasi sel mast dan basophil yang kemudian mengeluarkan mediator kimia yang
selanjutnya bertanggung jawab terhadap symptom. Degranulasi tersebut dapat terjadi melalui
kompleks antigen dan Ig E maupun tanpa kompleks dengan Ig E yaitu melalui pelepasan
histamine secara langsung.
Mekanisme lain adalah adanya gangguan metabolisme asam arachidonat yang akan
menghasilkan leukotrien yang berlebihan kemudian menimbulkan keluhan yang secara klinis
tidak dapat dibedakan dengan meknisme diatas. Hal ini dapat terjadi pada penggunaan obatobat NSAID atau pemberian gama-globulin intramuscular.
A n g k a K ej adi an
Angka kejadian pasti reaksi anafilaksis tidaklah diketahui secara persis, namun beberapa
studi epidemilogik melaporkan di Ontario, Canada angka kejadian berkisar 4 kasus / 10 juta
penduduk, sementara laporan terakhir dari munich terdapat peningkatan sekitar 9,79 kasus /
100.000 penduduk, di Indonesia kita tidak punya data.
Adanya peningkatan kasus tersebut disebabkan banyaknya penggunaan obat-obat baru atau
terjadinya poliparmasi dalam pemberian obat-obat kepada pasien.
Faktor yang mempengaruhi angka kejadian
Beberapa factor yang dapat mempengaruhi kejadian adalah adanya riwayat atopi, cara
pemberian (aoral atau parentral), konstansi pemberian antigen, waktu pemberian terhadap
reaksi terakhir dan usia serta sex.
Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda reaksi anafilaksis termasuk timbul rasa kecemasan, urtikaria, angiodema,
nyeri punggung, rasa tercekik, batuk, bronkospasme atau edema laryng.
Pada beberapa kasus, terjadi hipotensi, hilang kesadaran, dilatasi pupil, kejang hingga
―sudden death‖.
Syok terjadi akibat sekunder dari hipoksia yang berat, vasodilatasi perifer atau adanya
hipovolemia relative akibat adanya ektravasasi cairan dari pembuluh darah. Namun demikian
vascular kolaps dapat terjadi tanpa didahului gejala gangguan respirasi dan dalam hal ini
kematian dapat terjadi dalam beberapa menit.
Jadi gejala syok anfilaktif adalah gabungan gejala anafilaksis dengan adanya tanda-tanda
syok yang secara sistimatis dapat dikelompokan dengan gejala prodromal, kardiovaskuler,
pulmonal, gastrointestinal dan reaksi kulit.
Gejala prodromal pada umumnya adalah perasaan tidak enak, lemah, gatal dihidung atau di
palatum, bersin atau rasa tidak enak didada. Gejala ini merupakan permulaan dari gejala
lainnya.
Gejala pulmoner didahului dengan rhinitis, bersin diikuti dengan spasme bronkus dengan atau
tanpa batuk lalu berlanjut dengan sesak anoksia sampai apneu.
Gejala gastrointestinal berupa mual, muntah, rasa kram diperut sampai diare. Sedangkan
gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria dan angioedema.
Tanda dan Gejala-gejala anfilaksis sesuai urutan tersering :
-Urtikaria da angioedema
-Dyspnea, wheezing Dizzines, syncope, hipotensi
-Nause, vomitus, diarea, kramp abdominal
-Flush
-Edema saluran nafas atas
-Sakit kepala (Headache)
-Rhinitis
-Substernal pain
-Gatal-gatal seluruh tubuh
-Seizure
Diagnosa syok anafilaksis jelas dicurigai bila setelah memberikan suntikan (iv/im) timbul
gejala-gejala diatas.
Penatalaksanaan
Bila kita mencurigai adanya reaksi anafilaksis segera bertindak dan jangan ditunggu-tunggu.
Salah seorang penulis mengatakan ― Do not wait until it is fully developed‖ artinya ―
seg eralah b ertind ak ‖.
Apakah yang harus kita lakukan bila berhadapan dengan penderita syok anafilaksis?
A. Posisi: Segera penderita dibaringkan pada posisi yang nyaman /comfortable dengan posisi
kaki ditinggikan (posisi trendelenberg), dengan ventilasi udara yang baik dan jangan lupa
melonggarkan pakaian.
B. Airways : Jaga jalan nafas dan berikan oksigen nasal/mask 5-10 I/menit, dan jika
penderita tak bernafas disiapkan untuk intubasi.
C. Intravena access : Pasang IV line dengan cairan NacL 0,9% / Dextrose 5% 0,5-1 liter/30
menit
D. Drug : Epinefrin / Adrenalin adalah drug of choice pada syok anafilaksis dan diberikan
sesgera mungkin jika mencurigai syok anafilaksis (TD sistolik turin < 90 MmHg). Namun
harus hati-hati dengan penderita yang dalam sehari-hari memang hipotensi.
Untuk itu perlunya dilakukan pemeriksaan TD sebelum dilakukan tindakan.
Dosis : 0,3-0,5 ml/cc Adrenalin/Epinefrin 1 : 1000 diberikan IM (untuk anak-anak dosis :
0,01 ml/KgBB/.dose dengan maksimal 0,4 ml/dose).
Bila anafilaksis berat atau tidak respon dengan pemberian dengan cara SK/IM pemberian
Epinefrin/adrenalin dapat langsung melalui intavena atau intratekal (bila pasien sudah
dilakukan intubasi melalui ETT) dengan dosis 1-5 ml (Epi 1 : 10.000, dengan cara
membuatnya yaitu mengencerkan epinefrin 1 ml1: 1000 dengan 10 ml NaCl). Dapat diulang
dalam 5-10 menit. Jika belum ada respons diberikan adrenalin perdip dengan dosis ug/menit
(cara membuat : 1 mg Epinefrin1: 1000 dilarutkan dalam DX5% 250 cc).
Selain pemberian Epi/Adrenalin pemberian antihistamin ternyata cukup efektif untuk
mengontrol keluhan yang ditimbulkan pada kulit atau membantu pengobatan hipotensi yang
terjadi. Dapat diberikan antihistamin antagonist H1 yaitu Dipenhidram dengan dosis 25-50
mg IV (untuk anak-anak 2 mg/KgBB) dan bila dik ombinasikan dengan antagonis H2 ternyata
lebih superioar yaitu denagn Ranitidin dosis 1 mg/kgbb IV atau dengan Cimetidine 4
mg/kgbb IV pemberian dilakukan secara lambat.
Pemberian golongan kortikosteroid dapat diberikan walaupun bukan first line therapy. Obat
ini kurang mempunyai efek untuk jangka pendek, lebih berefek untuk jangka panjang. Dapat
diberikan Hidrokortison 250-500 mg IV atau metal prednisolon50-100 mg IV.
Bila terdapat bronkospasme yang tak respon dengan adrenalin dapat diberikan aminophylin
dengan dosis 6 mg/KgBB dala 50 ml NaCL 0.9% diberikan secara Iv dalam 30 menit.
Bila penderita menunjukan tanda-tanda perbaikan hrus diobservasi minimal 6 jam atau
dirujuk ke RS bila belum menujukan respons.
Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya reaksi anfilaksis, sebelum tindakan perlu dilakukan :
1.Lakukanlah anamnesa adanya riwayat alergi terhadap obat-obatan atau adanya riwayat
atopik lainnya ( seperti riwayat asma bronkiale, eksim atau riwayat urtikaria dll.)
Adanya obat-obat yang memberi reaksi silang perlu diwaspadai seperti sesorang yang alergi
terhadap aspirin, maka dia juga kemungkinan alergi terhadap obat-obat yang mempunyai efek
antiprostaglandin. Psien-pasien yang tidak tahan terhadap golongan sepalosporin.
2.Jelaskan kepada penderita bila merasakan adanya rasa yang aneh setelah dilakukan
penyuntikan agar segera memberitahu untuk dapat mengantisipasi terhadap kemungkinan
adanya reaksi anafilaksis (jangan didiamkan saja)
3.Diperlukan adanya emergency kit diruangan tempat dilakukan tindakan yang terdiri dari
obat-obat : adrenalin/epinefrin, dipenfidramin, ranitidine tau cimetidine, dexametason, infuse
Nacl/Dx5% dan infuse set.
4.Bila kita meragukan penderita terhadap kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis setelah
tindakan observasi selama 30 menit setelah tindakan.
5.Jangan lupa mengukur TD sebelum tindakan untuk mengetahui baseline TD sebelum
tindakan.
Daftra Pu stak a
1.Dunagan WC, Ridner ML (editor), Medical Emergencies in Manual Medical
Theraupethics, 26 th Ed, 1989, 483-485.
2.Ho MT, Sauder CE (editor), current Emergency Diagnosis and Treatment, 3 th ed, 1990,
26-41.
3.Liberman PL, Anaphylaxis, University of Tennessee of medicine (internet), 1-16
A N T I B I O T I K Januari 11, 2 011
Filed under: ANTIBIOTIK,Antibiotika Bisa Memicu Alergi — kesaksianhabbatussauda @
11:25 pm
GUNAKAN GAMAT EXTRAC EMULSION DARI BIN MUHSIN GROUP SEBAGAI
ANTIBIOTIK ALAMI ILMIAH TANPA EFEK SAMPING. Dengan ekstrak gamat emas ,
reaksi pengobatan beberapa kali lebih cepat dari gamat biasa.Prof. Madya DR. Hassan
Yaacob dan tim dari Universitas Kebangsaan Malaysia selama 7 tahun telah melakukan
penelitian terhadap khasiat ekstrak gamat. Penelitian dilanjutkan dengan kerja sama dengan
Universitas Kyoto dan Universitas Nihon, Tokyo. Gamat telah terbukti banyak sekali
manfaatnya bagi kesehatan. Penemuan tersebut dipatentkan pada FDA dengan No.
FKY2102Bisa dibeli online di http://www.binmuhsingroup.com. UNTUK PEMESANAN
HUBUNGI BIN MUHSIN HP: 085227044550 Tlp: 021-91913103 SMS ONLY:
081213143797@MyYM @MyFacebook @MyTwitter @MyYuwie @MyFriendster
[email protected]
===
ANTIBIOTIK KIMIAWI SERING KALI MENI MBULKAN EFEK SAMPING ALERGI
KARENANYA SEBAGAI ALTERNATIF GUNAKANLAH ANTIBIOTIK HERBAL
GAMAT EXTRACT EMULSION YANG BEBAS ALERGI.
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek
menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam
proses infeksi oleh bakteri.
Berdasarkan mekanisme kerjanya antibiotik dapat digolongkan menjadi:
I. Antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat
§ Sulfonamid
§ Trimetoprim
§ Quinolon
§ Nitroimidazol
II. Antibakteri yang menghambat sintesis dinding sel
§ Penisillin
§ Cefalosporin
§ Vancomysin
III. Antibakteri yang menghambat sintesis protein
§ Aminoglikosida
§ Tetrasiklin
§ Makrolida
§ Kloramfenikol
SULFONAMIDA
Merupakan antibakteri yang efektif untuk infeksi sistemik yang pertama kali ditemukan. Namun, penggunaannya
sekarang sudah jauh berkurang karena ditemukannya obat-obat baru yang lebih efektif dan kurang toksik.
Sulfanolamida menghambat dihidropteroat sintetase secara kompetitif sehingga akan menghambat produksi folat yang
dibutuhkan untuk sintesis DNA bakteri.
TRIMETOPRIM
Trimetoprim bekerja pada jalur metabolisme yang sama dengan sulfonamid, tetapi enzim yang dihambat adalah
dihidrofolat reduktase. Kombinasi dengan sulfametoksasol bekerja sinergis terhadap bakteri tertentu terutama infeksi
saluran nafas.
QUINOLON
Quinolon menghambat DNAgyrase, enzim yang memampatkan untaian panjang DNA bakteri menjadi bentuk supercoil
yang hemat tempat. Quinolon penetrasinya ke sel dan jaringan bagus, bisa diberikan peroral dan toksisitasnya relatif
rendah. Misalnya siprofloksasin merupakan salah satu anggota quinolon yang berspektrum luas.
NITROIMIDAZOL
Metronidazol bisa diberikan peroral d an intravena, aktif terhadap sebagian besar bakteri anaerob termasuk
spesiesBaacteroides. Metronidasol merupakan obat pilihan untuk beberapa infeksi protozoa seperti Entamoeba
histolytica, Giardia lambia, Trichomonas vaginalis .
P EN IS ILIN
P en isilin s p e k t r u m l u a s
Amoxicillin dan ampicillin efektif terhadap bakteri yang tidak menghasilkan β -laktamase dari gram +, dan karena lebih
bisa menembus dinding bakteri gram- dibanding benzylpenisilin. Absorbsi oral amoxicillin lebih baik dibanding ampicillin.
Merop en e m me ru pa kan sen yawa carbapenem (struktur mirip penisilin) tetapi sangat tahan terhadap β -laktamase.
Spektrum aktivitasnya luas tetapi tidak aktif terhadap beberapa strain Pseudomonas aeruginosa dan MRSA. Obat ini
diberikan secara intravena.
CEFALOSPORIN
Golongan ini digunakan untuk terapi meningitis, septicaemia, dan pnemonia, farmakologi dan mekanismenya serupa
dengan penisilin. Terkadang bisa menimbulkan reaksi alergi, dan sensitivitas silang dengan penisilin dapat terjadi.
Contoh golongan cefalosporin adalah cefadroksil, ceftazidim, ceftriaxon, cefiksim. Ceftriaxon mempunyai waktu paruh
lebih panjang diantara cefalosporin lainnya sehinggz cukup diberikan sekali sehari.
VANCOMYCIN
Merupakan antibiotik bakteridal yang tidak diabsorbsi peroral. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pembentukan
peptidoglikan dan aktif terhadap sebagian besar bakteri gram +. Vancomycin penting untuk pasien septicaemiaa dan
endocarditis karena Methicillin Resisten Staphylococcus aureus (MRSA) dan merupakan antibiotik pilihan yang diberikan
peroral untuk antibiotik associated pseudomembrannous collitis(komplikasi serius penggunaan antibiotik karena
superinfeksi usus besar oleh Clostridium difficale yang menghasilkan toksin yang merusak mukosa kolon).
AMINOGLIKOSIDA
Pemberian harus injeksi karena sangat polar sehingga absorbsi peroralnya sangat jelek, bersifat bakterisidal dan efektif
terhadap banyak bakteri gram – dan gram +. Aminoglikosida index terapinya sempit sehingga potensial
toksik.Gentamisin merupakan aminoglikosida terpenting karena secara empiris bisa mengobati infeksi akut gram –
yang mengancam nyawa. Misalnya infeksi Pseudoonas aeruginosa sebelum hasil kultur tes sensitivitas antibakteri
keluar. Gentamisin diduga memiliki aksi sinergis dengan penisilin dan vancomycin sehingga kadang dikombinasi untuk
streptococal endocarditis. Amikasin lebih tahan terhadap aminoglikosida-inactivating enz ymes dan digunakan bila
gentamisin telah resisten. Netilmicin diklaim kurang toksik dibanding gentamisin. Neomisin terlalu toksik unutk
penggunaan parenteral sehingga hanya dipakai peroral untuk infeksi kulit dan secara oral atau lokal untuk sterilisasi
saluran cerna sebelum operasi. Streptomysin efektif terhadap Mycobacterium tuberculosis, tetapi men yeb abkan
ototoksisitas, terutama pada terapi jangka panjang dan intensif, sehingga sekarang digantikan rifampicin.
TETRASIKLIN
Absorbsi tetrasiklin di saluran cerna menurun dengan pemberian calsium (susu), magnesium, besi dan makanan pada
umumnya. Spektrumnya luas tetapi pada kebanyakan mikroorganisme tetrasiklin sudah digantikan obat lain.
KLORAMFENIKOL
Diberikan peroral atau injeksi intravena, berspektrum luas, tetapi sayangnya efek samping yang berat (aplasi sumsum
tulang), hambatan produksi eritrosit dan leukosit yang reversibel (tergantung dosis), encefalopathy dan neuritis optik
sehingga kloramfenikol jarang digunakan.
MAKROLIDA
Biasanya diberikan peroral tetapi eritromisin dan claritomisin bisa diberikan intravena bila perlu. Spektrum
antimikrobanya serupa benzylpenicillin dan bisa digunakan sebagai obat alternatif pada pasien y ang resisten penicillin.
SYOK ANAFILAKTIK
Pengertian
Anaphylaxis (Yunani, Ana = jauh dari dan phylaxis = perlindungan). Anafilaksis berarti
Menghilangkan perlindungan.
Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama
kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang
didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi.
Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau tanpa
penurunan kesadaran.
Reaksi Anafilaktoid adalah suatu reaksi anafilaksis yang terjadi tanpa melibatkan antigenantibodi kompleks. Karena kemiripan gejala dan tanda biasanya diterapi sebagai anaf ilaksis.
Sejarah
Tahun 2641 SM, seorang Pharao meninggal mendadak Raja Menes meninggal tidak seberapa
lama setelah di sengat tawon (wasp).
Tahun 1902, dua ilmuwan Perancis yang bekerja di Mediterania menemukan phenomena
yang sama dengan yang terjadi pada Pharao itu. Richet dan Portier, menginjeksi anjing
dengan ekstrak anemon laut, setelah beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yang sama
. Hasilnya anjing itu mendadak mati. Phenomena ini me reka sebut ―Anaphylaxis‖. Atas
kerjanya ini, Richet dianugerahi Nobel pada tahun 1913.
Patofisiologi
Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau
reaksi tipe segera (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor
spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit
T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat
pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit
dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang .
Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama
tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
3. Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ
tertentu.
Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler
yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot
polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronchospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang
dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien.
Alergen
Terr menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis,
yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di
golongkan.
Gejala klinis
Anafilaksis merupakan reaksi sistemik, gejala yang timbul juga menyeluruh.
Gejala permulaan :Sakit Kepala, Pusing, Gatal dan perasaan panas
Kulit : Eritema, urticaria, angoedema, conjunctivitis, pallor dan kadang cyanosis
Respirasi : Bronkospasme, rhinitis, edema paru dan batuk, nafas cepatdan pendek, terasa
tercekik karena edema epiglotis, stridor, serak, sua ra hilang, wheezing, dan obstruksi komplit
Cardiovaskular : Hipotensi, diaphoresis, kabur pandangan, sincope, aritmia dan hipoksia
Gastrintestinal : Mual, muntah, cramp perut, diare, disfagia, inkontinensia urin
Haematologi : Kelainan pembekuan darah, trombositopenia, DIC
SSP : Parestesia, konvulsi dan koma
Sendi : Arthralgia
Diagnosis
1. Anamnesis
Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat hewan, makan
sesuatu atau setelah test kulit )
Timbul biduran mendadak, gatal dikulit, suara parau sesak ,sekarnafas, lemas, pusing,
mual,muntah sakit perut setelah terpapar sesuatu.
2. Fisik diagnostik
Keadaan umum : baik sampai buruk
Kesadaran : Composmentis sampai Koma
Tensi :
Hipotensi
Nadi :
Tachycardi
Nafas : Tachypneu
Temperatur : Naik/normal/dingin
Kepala dan leher : Cyanosis, dispneu, conjunctivitis, lacrimasi, edema periorbita,
Thorax : Cor Palpitasi, aritmia sampai arrest
Pulmo Bronkospasme, stridor, rhonki dan wheezing
Abdomen : Nyeri tekan, BU meningkat
Ekstremitas : Urticaria, Edema ekstremitas
3. Pemeriksaan Tambahan
Hematologi : Hitung sel meningkat , Hemokonsentrasi,
trombositopenia
eosinophilia naik/ normal / turun
Penatalaksan aan d a n M a n a g e m e nt syok anafilaktik
1. Tindakan
Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis
Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari kepala (posisi
shock) dengan alas keras.
Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-tracheostomi
Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak bia
persiapkandari mulut kemulut
Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang atau Nacl
fisiologis, 0,5-1liter dalam 30 menit (dosis dewasa) monitoring dengan Tensi dan
produksi urine Pertahankan tekanan darah sistole >100mmHg diberikan 2-3L/m2 luas
tubuh /24 jam Bila< 100mmHg beri Vasopressor (Dopamin) Tensi tak terukur 20
cc/kg ,Apabila sistole < 100 mmHg 500 cc/1/2 jam dan apabila sistole > 100 mmHg
500 cc/ 1 Jam
Bila perlu pasang CVP
2. Medikamentosa
Adrenalin 1:1000, 0,3 –0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi pada venom
.Dapat diulang 2-3 x dengan selang waktu 15-30 menit, Pemberian IV pada stadium
terminal / pemberian dengan dosis1 ml gagal , 1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam
faali diberikan 1-2 ml selama 5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB)
Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB) sampai 50 mg
dosis tunggal, P O dapat dilanjutkan tiap 6 jam selama 48 jam bila tetap sesak +
hipotensi segera rujuk, (anak :1-2 mg /kgBB/ IV) maximal 200mg IV
Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB dilarutkan dalam 10 ml
garam faali atau D5, IV selama 20 menit dilanjutkan 0,2 –1,2 mg/kg/jam
Corticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg selama 4-6 jam, pemberian
selama 72 jam .Hidrocortison IV, beri cimetidin 300mg setelah 3-5 menit
3. Monitoring
Observasi ketat selama 24 jam, 6jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi
membaik
Klinis : keadaan umum, kesadaran, vital sign, produksi urine dan keluhan
Darah : Gas
darah
EKG
Komplikasi (Penyulit)
Kematian karena edema laring , gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler.
Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, Myocard infark, aborsi dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan.
Prevensi (Pencegahan)
Mencegah reaksi ulang
Anamnesa penyakit alergi px sebelum terapi diberikan
(obat,makanan,atopik)
Lakukan skin test bila perlu
Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama
pemberian
Catat obat px pada status yang menyebabkan alergi
Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
Desensitisasi alergen spesifik
Edukasi px supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan
alergi
Bersiaga selalu bila melakukan injeksi dengan emergency kit
Prognosis
Bila penanganan cepat, klinis masih ringan dapat membaik dan tertolong
Algoritme Man ag emen t Penderita S y o k Anafilaktik
1. Ringan
Baringkan dalam posisi syok, Alas
keras
Bebaskan jalan nafas
Tentukan penyebab dan lokasi masuknya
Jika masuk lewat ekstremitas, pasang
torniquet
Injeksi Adrenalin 1:1000 – 0,25 cc
(0,25mg) SC
2. Sedang
Monitor pernafasan dan
hemodinamik
Suplemen Oksigen
Injeksi Adrenalin 1:1000- 0,25cc(0,25mg) IM(Sedang) atau 1:10.000 –2,5-5cc (0,250,5mg) IV(Berat), Berikan sublingual atau trans trakheal bial vena kolaps
Aminofilin 5-6mg/kgBB IV(bolus), diikuti 0,4-0,9mg/kgBB/menit perdrip (untuk
bronkospasme persistent)
Infus cairan (pedoman hematokrit dan produksi urine)
3. Berat
Monitor pernafasan dan hemodinamika
Cairan, Obat Inotropik positif, Obat vasoaktif tergantung
hemodinamik
Bila perlu dan memungkin- rujuk untuk mendapat
perawatan intensif
RJP
Basic dan Advanced Life Support (RJP) ----------- Arrest Nafas dan Jantung
Anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi berat yang terjadi tiba-tiba dan dapat
menyebabkan kematian. [1] Anafilaksis biasanya ditunjukkan oleh beberapa gejala termasuk di
antaranya ruam gatal, pembengkakan tenggorokan, dan tekanan darah rendah. Reaksi ini
umumnya disebabkan oleh gigitan serangga, makanan, dan obat.
Anafilaksis terjadi karena adanya pelepasan protein dari jenis sel darah putih tertentu. Protein
ini merupakan senyawa yang dapat memicu reaksi alergi atau menyebabkan reaksi lebih
berat. Pelepasan protein ini dapat disebabkan oleh reaksi sistem imun ataupun oleh sebab lain
yang tidak berkaitan dengan sistem imun. Anafilaksis didiagnosis berdasarkan gejala dan
tanda pada seseorang. Tata laksana awal adala h suntikan epinefrin yang kadang
dikombinasikan dengan obat lain.
Di seluruh dunia sekitar 0,05–2% orang mengalami anafilaksis pada suatu saat dalam
kehidupannya. Angka ini tampaknya terus meningkat. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani
ἀνά ana, lawan, and φύλαξις phylaxis, pertahanan.
D af t ar isi
1 Gejala dan tanda
o
1.1 Kulit
o
1.2 Saluran napas
o
1.3 Jantung
o
1.4 Lain-lain
2 Penyebab
o
2.1 Makanan
o
2.2 Obat
o
2.3 Bisa
o
2.4 Faktor risiko
3 Mekanisme
o
3.1 Imunologi
o
3.2 Non-imunologi
4 Diagnosis
o
4.1 Klasifikasi
o
4.2 Tes Alergi
o
4.3 Diagnosis Banding
5
Pencegahan
6
Tata laksana
o
6.1 Epinefrin
o
6.2 Tata laksana tambahan
o
6.3 Persiapan
7 Harapan
8 Peluang
Kejadian
9 Sejarah
10
Penelitian
11
Referensi
G ej al a d a n t an da
Gejala dan tanda anafilaksis.
Anafilaksis biasanya memberikan berbagai gejala yang berbeda dalam hitungan menit atau
jam.[2][3] Gejala akan muncul rata-rata dalam waktu 5 sampai 30 menit bila penyebabnya
suatu zat yang masuk ke dalam aliran darah secara langsung (intravena). Rata-rata 2 jam jika
penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi orang tersebut.[4] Daerah yang umumnya
terkena efek adalah: kulit (80–90%), paru-paru dan saluran napas (70%), saluran cerna (30–
45%), jantung dan pembuluh darah (10–45%), dan sistem saraf pusat (10–15%).[3] Biasanya
dua sistem atau lebih ikut terlibat.[5]
Ku lit
Kaligata dan kemerahan pada punggung seorang yang terkena anafilaksis
Gejala khas termasuk adanya tonjolan di kulit (kaligata), gatal -gatal, wajah dan kulit
kemerahan (flushing), atau bibir yang membengkak.[6] Bila mengalami pembengkakan di
bawah kulit (angioedema), mereka tidak merasa gatal tetapi kulitnya terasa seperti terbakar.
<refname=Rosen2010/> Pembengkakan lidah atau tenggorokan dapat terjadi pada hampir
20% kasus.[7] Gejala lain adalah hidung berair dan pembengkakan membran mukosa pada
mata dan kelopak mata (konjungtiva). [8] Kulit mungkin juga kebiruan (sianosis) akibat
kekurangan oksigen.[8]
S a l u r an n a p a s
Gejala saluran napas termasuk napas pendek, sulit bernapas dengan napas berbunyi bernada
tinggi (mengi), atau bernapas dengan napas berbunyi bernada rendah (stridor). [6] Mengi
biasanya disebabkan oleh spasme pada otot saluran napas bawah (otot bronkus). [9] Stridor
disebabkan oleh pembengkakan di bagian atas, yang menyempitkan saluran napas.[8] Suara
serak, nyeri saat menelan, atau batuk juga dapat terjadi.[4]
Jantung
Pembuluh darah jantung dapat berkontraksi secara tiba-tiba (spasme a rteri koroner) karena
adanya pelepasan histamin oleh sel tertentu di jantung. [9] Keadaan ini mengganggu aliran
darah ke jantung, dan dapat menyebabkan kematian sel jantung (infark miokardium), atau
jantung berdetak terlalu lambat atau terlalu cepat (distrimia jantung), atau bahkan jantung
dapat berhenti berdetak sama sekali (henti jantung). [3][5] Seseorang dengan riwayat penyakit
jantung sebelumnya memiliki risiko lebih besar mengalami efek anafilaksis terhadap
jantungnya. [9] Meskipun lebih sering terjadi detak jantung cepat akibat tekanan darah
rendah,[8] 10% orang yang mengalami anafilaksis dapat memiliki detak jantung yang lambat
(bradikardia) akibat tekanan darah rendah. (Kombinasi antara detak j antung lambat dan
tekanan darah rendah dikenal sebagai refleks Bezold–Jarisch). [10] Penderita dapat merasakan
pening atau bahkan kehilangan kesadaran karena turunnya tekanan darah. Turunnya tekanan
darah ini dapat disebabkan oleh melebarnya pembuluh darah (syok distributif) atau karena
kegagalan ventrikel jantung (syok kardiogenik). [9] Pada kasus yang jarang, tekanan darah
yang sangat rendah dapat merupakan satu-satunya tanda anafilaksis. [7]
Lain-lain
Gejala pada perut dan usus dapat berupa nyeri kejang abdomen, diare, dan muntah-muntah . [6]
Penderita mungkin mengalami kebingungan (confusion), tidak dapat mengontrol berkemih,
dan dapat juga merasa nyeri di panggul yang terasa seperti mengalami kontraksi rahim.[6][8]
Melebarnya pembuluh darah di otak dapat menyebabkan sakit kepala.[4] Penderita dapat juga
cemas atau merasa seperti akan mati.[5]
Penyebab
Anafilaksis dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa asing.[11]
Pemicu yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan obatobatan.[10][12] Makanan merupakan pemicu tersering pada anak dan dewasa muda. Obatobatan dan gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang sering ditemukan pada
orang dewasa yang lebih tua.[5] Penyebab yang lebih jarang di antaranya adalah faktor fisik,
senyawa biologi (misalnya air mani), lateks, perubahan hormonal, bahan tambahan makanan
(misalnya monosodium glutamat dan pewarna makanan), dan o bat-obatan yang dioleskan
pada kulit (pengobatan topikal).[8] Olahraga atau suhu (panas atau dingin) dapat juga memicu
anafilaksis dengan membuat sel tertentu (yang dikenal sebagai sel mast) melepaskan senyawa
kimia yang memulai reaksi alergi.[5][13] Anafilaksis karena berolahraga biasanya juga
berkaitan dengan asupan makanan tertentu. [4] Bila anafilaksis timbul saat seseorang sedang
dianestesi (dibius), penyebab tersering adalah obat-obatan tertentu yang ditujukan untuk
memberikan efek melumpuhkan (obat penghambat saraf otot), antibiotik, dan lateks.[14] Pada
32-50% kasus, penyebabnya tidak diketahui (anafilaksis idiopatik). [15]
Makanan
Banyak makanan dapat memicu anafilaksis, bahkan saat makanan tersebut dikonsumsi untuk
pertama kali.[10] Pada kultur Barat, penyebab tersering adalah memakan atau berkontak
dengan kacang-kacangan, gandum, kacang-kacangan dari pohon, kerang, ikan, susu, dan
telur.[3][5] Di Timur Tengah, wijen merupakan makanan pencetus yang sering. Di Asia, nasi
dan kacang Arab sering menyebabkan anafilaksis. [5] Kasus yang berat biasanya disebabkan
karena mengonsumsi makanan tersebut, [10] tetapi beberapa orang mengalami reaksi yang
hebat saat makanan pemicu bersentuhan dengan bagian tubuh. Dengan bertambahnya usia,
alergi dapat mengalami perbaikan. Pada usia 16 tahun, 80% anak dengan anafilaksis terhadap
susu atau telur dan 20% dengan kasus tunggal anafilaksis terhadap kacang dapat
mengonsumsi makanan tersebut tanpa masalah.[11]
Obat
Setiap obat dapat menyebabkan anafilaksis. Yang paling umum adalah antibiotik β -lactam
(seperti penisilin) diikuti oleh aspirin dan OAINS (Obat Antiinflamasi Non
Steroid/NSAID). [3][16] Bila seseorang alergi terhadap salah satu jenis OAINS, biasanya ia
masih dapat menggunakan jenis lainnya tanpa memicu anafilaksis.[16] Penyebab lain
anafilaksis yang sering ditemukan di antaranya adalah kemoterapi, vaksin, protamin (terdapat
pada sperma), dan obat-obatan herbal.[5][16] Sejumlah obat termasuk vankomisin, morfin, dan
obat yang digunakan untuk memperjelas foto sinar–x (agen radiokontras), menyebabkan
anafilaksis karena merusak sel tertentu pada jaringan, yang merangsang terjadinya pelepasan
histamin (degranulasi sel mast).[10]
Frekuensi reaksi terhadap obat sebagian tergantung pada seberapa sering obat diberikan dan
sebagian lagi tergantung pada cara kerja obat di dalam tubuh.[17] Anafilaksis terhadap
penisilin atau sefalosporin hanya terjadi setelah mereka berikatan dengan protein di dalam
tubuh, dan beberapa berikatan lebih mudah dibandingkan dengan yang lainnya. [4] Anafilaksis
terhadap penisilin muncul pada satu di antara 2.000 hingga 10.000 orang yang mendapat
pengobatan. Kematian terjadi pada kurang dari satu dalam setiap 50.000 orang yang
mendapat pengobatan.[4] Anafilaksis terhadap aspirin dan OAINS muncul pada kurang lebih
satu di antara 50.000 orang.[4] Bila seseorang mengalami reaksi terhadap penisilin, risiko
reaksinya terhadap sefalosporin akan lebih besar, tetapi reaksi ini masih lebih kecil dari 1
dalam 1.000. [4] Obat yang dahulu digunakan untuk memperjelas foto sinar -x (agen
radiokontras) menyebabkan reaksi pada 1% dari seluruh kasus. Obat yang lebih baru dengan
agen radiokontras berosmolaritas rendah menimbulkan reaksi pada 0,04% kasus.[17]
Bisa
Bisa dari sengatan atau gigitan serangga seperti lebah dan tawon (Hymenoptera) atau
serangga penghisap darah (Triatominae) dapat menyebabkan anafilaksis. [3][18] Bila seseorang
mengalami reaksi terhadap bisa sebelumnya, dan reaksin ya meluas ke sekitar tempat
sengatan, mereka mempunyai risiko anafilaksis lebih besar di masa yang akan datang.[19][20]
Namun demikian, sebagian dari penderita yang meninggal karena anafilakasis tidak
menunjukkan adanya reaksi yang luas (sistemik) sebelumnya. [21]
F a k t o r risiko
Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi mempunyai risiko
tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen radiokontras. Mereka ini
tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun sengatan. [5][10] Suatu
studi pada anak dengan anafilaksis menemukan bahwa 60% memiliki riwayat penyakit atopi
sebelumnya. Lebih dari 90% dari anak yang meninggal karena anafilaksis menderita asma. [10]
Orang dengan kelainan yang disebabkan oleh jumlah sel mast yang terlalu banyak pada
jaringannya (mastositosis) atau orang dengan status sosioekonomi yang lebih tinggi, memiliki
risiko yang lebih besar. [5][10] Semakin lama waktu sejak terakhir kali terpapar pada agen
penyebab anafilaksis, maka semakin rendah risiko terjadi reaksi yang baru.[4]
Mekanisme
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi berat yang terjadi dengan tiba-tiba da n memengaruhi
banyak sistem tubuh.[1][22] Hal ini disebabkan oleh pelepasan mediator inflamasi dan
sitokinesis dari sel mast dan basofil. Pelepasan ini biasanya merupakan suatu reaksi sistem
imun, tetapi dapat juga disebabkan kerusakan pada sel-sel ini yang tidak berkaitan dengan
reaksi imun.[22]
Imunolo gi
Ketika anafilaksis tidak disebabkan oleh respons imun, imunoglobulin E(IgE) berikatan
dengan materi asing yang menyebabkan reaksi alergi (antigen). Kombinasi antara IgE yang
berikatan dengan antigen mengaktifkan reseptor FcεRI pada sel mast dan basofil. Se l mast
dan basofil bereaksi dengan melepaskan mediator inflamasi s eperti histamin. Mediator ini
meningkatkan kontraksi otot polos bronkus, menyebabkan pelebaran pembuluh darah
(vasodilatasi), meningkatkan kebocoran cairan dar i dinding pembuluh darah, dan menekan
kerja otot jantung. [4][22] Diketahui pula suatu mekanisme imunologi yang tidak ber gantung
pada IgE, tetapi belum diketahui apakah hal ini terjadi pada manusia.[22]
Non-imunologi
Ketika anafilkasis tidak disebabkan oleh respons imun, reaksi ini disebabkan oleh adanya
faktor yang secara langsung merusak sel mast dan basofil, sehingga keduanya melepaskan
histamin dan senyawa lain yang biasanya berkaitan dengan reaksi alergi (degranulasi). Faktor
yang dapat merusak sel ini di antaranya zat kontras untuk sinar-x, opioid, suhu (panas atau
dingin), dan getaran. [13][22]
D i ag n osis
Anafilaksis didiagnosis berdasarkan gejala klinis.[5] Bila muncul salah satu dari tiga gejala di
bawah ini dalam waktu beberapa menit/jam setelah seseorang terpapar suatu alergen,
kemungkinan besar orang tersebut mengalami anafilaksis: [5]
1. Gejala pada kulit atau jaringan m ukosa bersamaan dengan sesak napas atau tekanan darah
rendah
2. Terjadinya dua atau lebih gejala berikut ini:a. Gejala pada kulit atau mukosa
b. Sesak napas
c. Tekanan darah rendah
d. Gejala saluran cerna
3. Tek an an darah r endah setelah terpapar alergen tersebut
Bila seseorang memberikan reaksi berat setelah tersengat serangga atau minum obat tertentu,
pemeriksaan darah untuk menguji kadar tryptase atau histamin (yang dilepaskan oleh sel
mast) akan sangat membantu dalam mendiagnosis anafilaksis. Namun, pemeriksaan ini tidak
akan bermanfaat apabila penyebabnya adalah makanan atau bila tekanan darah tetap
normal, [5] dan pemeriksaan tersebut tidak dapat menyingkirkan diagnosis anafilaksis. [11]
Klasifikasi
Ada tiga klasifikasi utama anafilaksis. Syok anafilaktik terjadi ketika pembuluh darah di
hampir seluruh bagian tubuh melebar (vasodilasi sistemik), sehingga menyebabkan tekanan
darah rendah sampai sedikitnya 30% di bawah tekanan darah normal orang tersebut at au 30%
di bawah standar normal tekanan darah.[7] Diagnosis anafilaksis bifasik ditegakkan ketika
gejala di atas muncul kembali dalam waktu 1–72 jam kemudian meskipun tidak ada kontak
baru antara pasien dengan alergen yang menyebabkan reaksi pertama. [5] Beberapa studi
menyatakan bahwa kasus anafilaksis bifasik mencakup sampai dengan 20% kasus.[23]
Biasanya gejala-gejala tersebut muncul kembali dalam waktu 8 jam.[10] Reaksi kedua tersebut
diatasi dengan cara yang sama dengan anafilaksis awal.[3] Pseudoanafilaksis atau reaksi
anafilaktoid adalah nama lama anafilaksis yang bukan disebabkan oleh reaksi alergi,
melainkan oleh cedera langsung pada sel mast (degranulasi sel mast).[10][24] Nama yang
sekarang digunakan oleh Badan Alergi Dunia/World All ergy Organization adalah
―anafilaksis non-imun‖ [24] . Beberapa orang menyarankan agar istilah lama tersebut tidak
digunakan lagi.[10]
Tes Alergi
Tes alergi kulit yang dilakukan pada lengan sebelah kanan
Tes alergi dapat membantu memastikan apa penyebab anafilaksis pada seseorang. Tes alergi
kulit (misalnya tes tempel) sudah tersedia untuk beberapa jenis makanan dan bisa
binatang. [11] Pemeriksaan darah untuk antibodi spesifik dapat bermanfaat dalam memastikan
alergi susu, telur, kacang, kacang-kacangan pohon, dan ikan.[11] Tes kulit bisa digunakan
untuk mengetahui alergi penisilin, tapi tidak terdapat tes kulit untuk jenis obat lainnya. [11]
Jenis anafilaksis non-imun hanya dapat didiagnosis dengan cara memeriksa riwayat
kesehatan orang yang bersangkutan atau dengan cara memaparkan orang tersebut terhadap
bahan alergen yang pernah menyebabkan reaksi di masa lalu. Tidak ada pemeriksaan darah
maupun tes kulit untuk anafilaksis non-imun.[24]
Diagnosis Banding
Kadangkala sulit untuk membedakan anafilaksis dengan asma, pingsan akibat kekurangan
oksigen (sinkop), dan serangan panik.[5] Penderita asma biasanya tidak menunjukkan gejala
gatal atau gejala saluran cerna. Ketika seseorang pingsan, kulitnya pucat dan tidak beruam.
Seseorang yang mengalami serangan panik mungkin kulitnya kemerahan t api tidak berbentol
merah dan gatal. [5] Kondisi lain yang juga menunjukkan gejala serupa adalah keracunan
makanan yang berasal dari ikan busuk (scombroidosis) dan infeksi akibat parasit tertentu
(anisakiasis).[10]
Pencegahan
Cara yang dianjurkan untuk mencegah anafilaksis adalah menghindari segala sesuatu yang
sebelumnya pernah menyebabkan reaksi. Bila sulit, ada beberapa obat yang mungkin bisa
mencegah tubuh bereaksi terhadap alergen tertentu (desensitisasi ). Pengobatan sistem imun
(imunoterapi) dengan bisa Hymenoptera efektif menurunkan sensitivitas (desensitisasi)
hingga 80–90% pada orang dewasa dan 98% pada anak terhadap alergi lebah, tawon,
tabuhan, tawon yellowjacket, dan semut api. Imunoterapi oral sebenarnya cukup efektif untuk
desensitisasi pasien terhadap makanan tertentu seperti susu, telur, kacang-kacangan dan
kacang; namun cara ini seringkali menyebabkan efek samping yang tidak baik. Desensitisasi
juga mungkin dilakukan untuk berbagai macam obat, namun sebagian besar pasien sebaiknya
cukup menghindari menggunakan obat yang menyebabkan masalah tersebut. Bagi mer eka
yang alergi terhadap lateks, sangat penting menghindari makanan yang mengandung bahanbahan yang menyerupai bahan penyebab reaksi imun (makanan yang dapat bereaksi silang),
antara lain alpukat, pisang, dan kentang, selain makanan lainnya. [5]
Tata laksana
Anafilaksis adalah kondisi darurat medis yang memerlukan tindakan penyelamatan jiwa
seperti penanganan jalan napas, pemberian oksigen, cairan infus intravena dengan volume
besar, serta pengawasan ketat.[3] Epinefrin adalah obat pilihan. Antihistamin dan steroid
seringkali digunakan bersama dengan epinefrin. [5] Bila pasien sudah kembali normal, ia harus
tetap dipantau di rumah sakit selama 2 sampai 24 jam untuk memastikan bahwa gejala tidak
muncul kembali, seperti yang terjadi pada anafilaksis bifasik.[10][23][25][4]
E p in efrin
Versi lama auto-injektor Epipen
Epinefrin (adrenalin) adalah obat pilihan pada anafilaksis. Tidak ada alasan untuk tidak
menggunakan obat ini (tidak ada kontraindikasi mutlak).[3] Cara penggunaan yang dianjurkan
yaitu injeksi larutan epinefrin ke otot di pertengahan paha sisi anterolateral segera setelah
dicurigai terjadi reaksi anafilaksis.[5] Penyuntikan dapat diulang setiap 5 sampai 15 menit bila
orang yang bersangkutan tidak memberikan respons yang baik terhadap obat tersebut. [5]
Dosis kedua biasanya diperlukan pada 16 hingga 35% kasus.[10] Jarang diperlukan pemberian
lebih dari dua dosis.[5] Penyuntikan ke dalam lapisan otot (injeksi intramuskular) lebih
banyak dilakukan ketimbang suntikan ke bawah lapisan kulit (injeksi subkutan), karena
penyerapan obat akan terlalu lama.[26] Gangguan kecil akibat epinefrin antara lain gemetar,
kecemasan, sakit kepala, dan berdebar-debar. [5]
Epinefrin mungkin tidak akan bekerja pada or ang yang minum obat penghambat reseptor
beta.[10] Dalam kondisi demikian, bila epinefrin tidak bekerja efektif, maka suntikan intravena
glukagon bisa diberikan. Glukagon memiliki mekanisme aksi yang tidak melibatkan reseptor
beta.[10]
Bila perlu, epinefrin juga dapat disuntikkan melalui pembuluh vena (injeksi intravena)
dengan larutan pengencer. Meski demikian, suntikan intravena eprinefrin sering dikaitkan
dengan timbulnya irama detak jantung yang tidak teratur (disritmia) dan serangan jantung
(infark miokard).[27] Autoinjektor epinefrin yang bisa digunakan oleh orang dengan
anafilaksis untuk menyuntik ke dalam otot sendiri, biasanya tersedia dalam dua dosis, satu
untuk dewasa atau anak dengan berat badan lebih dari 25 kg dan satu lagi untuk anak dengan
berat badan 10 sampai 25 kg.[28]
Tata laksana tambahan
Antihistamin umumnya digunakan di samping epinefrin. Secara teori , antihistamin diduga
lebih efektif namun sangat sedikit bukti yang menunjukkan bahwa antihistamin efektif dalam
terapi anafilaksis. Kajian Cochrane pada tahun 2007 tidak menemukan adanya penelitian
berkualitas baik yang dapat digunakan sebagai rujukan untuk merekomendasi obat tersebut.
[29] Antihistamin diyakini tidak membantu dalam mengatasi penumpukan cairan atau
spasme/kram otot saluran napas.[10] Kortikosteroid kemungkinan tidak akan berpengaruh apaapa bila orang yang bersangkutan sedang mengalami anafilaksis. Kortikosteroid dapat
digunakan dengan harapan untuk menurunkan risiko anafilaksis bifasik, namun tidak jelas
efektivitasnya dalam mencegah reaksi anafilaksis berikutnya. [23] Salbutamol yang diberikan
melalui terapi inhalasi (nebulizer) mungkin efektif apabila epinefrin tidak berhasil
menghilangkan gejala bronkospasme.[10] Metilen biru juga sudah digunakan pada orang yang
tidak responsif terhadap upaya lain, karena dapat melemaskan otot polos.[10]
P e r s i ap an
Orang yang memiliki risiko anafilaksis disarankan agar memiliki "rencana aksi alergi". Orang
tua harus memberi tahu sekolah perihal alergi ana k-anaknya dan langkah yang harus
dilakukan apabila terjadi kondisi darurat anafilaksis.[30] Rencana aksi tersebut biasanya
mencakup cara penggunaan auto-injektor epinefrin, s aran untuk mengenakan gelang
peringatan medis, serta penyuluhan mengenai bagaimana mencegah pemicunya.[30]
Pengobatan untuk membuat tubuh tidak terlalu sensi tif terhadap bahan yang menyebabkan
reaksi alergi (imunoterapi alergen) sudah ada untuk beberapa pemicu tertentu. Terapi
demikian dapat mencegah timbulnya kejadian anafilaksis di kemudian hari. Rangkaian
desensitisasi subkutan selama beberapa tahun telah diketahui efektif melawan serangga
penyengat, sementara desensitisasi oral efektif untuk berbagai jenis makanan. [3]
Harapan
Peluang kesembuhan cukup besar apabila penyebab anafilaksis diketahui dan orang yang
bersangkutan langsung mendapatkan pengobatan. [31] Meskipun penyebabnya tidak diketahui,
apabila tersedia obat-obatan untuk menghentikan reaksi, maka orang tersebut biasanya cepat
pulih.[4] Bila sampai terjadi kematian, biasanya diakibatkan oleh masalah pernapasan
(umumnya karena sumbatan jalan napas) atau masalah kardiovaskuler (syok).[10][22]
Anafilaksis menyebabkan kematian pada 0,7–20% kasus.[4][9] Beberapa kasus kematian
terjadi dalam hitungan menit. [5] Pada orang yang mengalami anafilaksis akibat aktivitas fisik
umumnya bisa teratasi dengan baik, dan seiring bertambahnya usia, biasanya kejadian
anafilaksis lebih jarang dan lebih ringan.[32]
Peluang Kejadian
Insidens anafilaksis adalah 4–5 per 100.000 orang setiap tahun,[10] dengan risiko kejadian
seumur hidup sebesar 0,5%–2%.[5] Jumlah tersebut tampaknya mengalami peningkatan.
Jumlah orang yang mengalami anafilaksis pada tahun 1980-an kira-kira hanya 20 per 100.000
per tahun, sementara itu pada tahun 1990-an menjadi 50 per 100.000 per tahun.[3]
Peningkatan itu tampaknya terjadi pada kelompok anafilaksis yang terutama disebabkan oleh
makanan.[33] Risikonya lebih besar pada kalangan muda dan wanita.[3][10]
Saat ini, anafilaksis menyebabkan 500–1.000 kematian setiap tahun (2,4 per satu juta) di
Amerika Serikat, 20 kematian per tahun di Inggris (0,33 per satu juta), dan 15 kematian per
tahun di Australia (0,64 satu per juta).[10] Kematian antara tahun 1970-an hingga 2000-an
sudah mengalami penurunan. [34] Di Australia, kematian akibat anafilaksis yang disebabkan
oleh makanan terutama terjadi pada wanita, seme ntara yang disebabkan oleh gigitan serangga
terutama terjadi pada pria.[10] Kematian akibat anafilaksis umumnya dipicu oleh obat.[10]
Sejarah
Istilah "aphylaxis" diciptakan oleh Charles Richet pada tahun 1902 dan kemudian diganti
menjadi "anaphylaxis" karena lebih enak didengar.[11] Ia kemudian dianugerahi Hadiah Nobel
bidang Kedokteran dan Fisiologi pada tahun 1913 berkat hasil karyanya dalam bidang
anafilaksis. [4] Sebenarnya reaksi anafilaksis sudah pernah dilaporkan sejak zaman kuno.[24]
Istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani|Kata dalam bahasa Yunani ἀνά ana, melawan, dan
φύλαξις phylaxis, perlindungan. [35]
Penelitian
Saat ini masih berlangsung usaha mengembangkan epinefrin yang dapat diberikan di bawah
lidah (epinefrin sublingual) untuk mengobati anafilaksis. [10] Injeksi subkutan antibodi antiIgE omalizumab sedang diteliti sebagai metode pencegahan munculnya kembali reaksi
(rekurensi), namun hasil penelitian itu belum menjadi rekomendasi. [5][36]
Selama 3 tahun bekerja sebagai dokter, baru kali ini saya mendapatkan kasus tersebut ketika
saya jaga malam di Puskesmas Tanjung Balai. Kala itu datang seorang nenek umur 70 tahun
dengan keluhan diare, mual, muntah, demam dan tidak mau makan sudah satu minggu,
pasien ini berasal dari salah satu Pulau seberang dan sebelumnya juga pernah berobat disana
tapi belum ada perubahan. Setelah saya periksa nenek ini pun kondisinya sudah lemah karena
dalam beberapa hari ini sudah sulit makan dan minum. Saya menganjurkan untuk dirawat
inap mengingat status dehidrasinya juga agak kurang baik. Setelah keluarga setuju untuk
dirawat maka barulah saya memberikan terapi. Saya memberikan terapi cairan untuk
mengatasi status dehidrasinya, kemudian saya memberikan beberapa obat inje ksi antara lain
Novalgin injeksi untuk demam, Ranitidin injeksi untuk lambungnya dan Metocloperamid
injeksi 1/2 ampul untuk mengobati mual dan muntahnya. Kemudian saya juga memberikan
antibiotik Ceftriaxone inj 2x500mg, sebelum pemberian saya melakukan prosedur skin test
seperti biasa takut-takut ada alergi. Dari awal saya sudah menanyakan apakah pasien ada
alergi obat dan mereka bilang tidak ada karena sel ama ini jarang berobat juga. Akan tetapi
kejadian yang tidak diinginkan terjadi, setelah pemberian Novalgin, Ranitidin,
Metocloperamid (Waktu itu Ceftriaxone masih dilakukan skin test), nenek ini mengeluh gatal
di bokongnya dan waktu itu nenek ini memang memakai diapers karena mencret. Saya pikir
gara2 diapers ini gatal2 dan menyarankan mengganti diapers, akan tetapi tiba-tiba nenek ini
mendadak dingin di tangan dan kaki, mengeluh sesak, dan keluar keringat dingin. Melihat
situasi ini saya langsung memasang oksigen dan saya periksa ABC, pada pemeriksaan
didapatkan ada spasme pada saluran dan nadi melemah dan hingga tidak teraba. Saya pun
langsung teringat bahwa jangan-jangan ini anafilaktik syok karena saya baru saja memas ukan
beberapa obat secara intra vena( saya belum tahu pasti obat mana yang mengakibatkan
anafilaktik syok tapi kemungkinan besar saya menduga Novalgin yang mengakibatkan ini
karena biasanya obat analgetik dan antipiretik yang sering menyebabkan anafilaktik).
Untungnya saya ingat terapi untuk anafilatik ini karena bulan lalu saya pernah membaca
artikel anafilaktik ini dan saya catat di handphone saya tentang penanganannya. Segera
setelah itu saya langsung berikan Epineprine 0,3 cc 1:1000 secara Subkutan, dexamethasone
2 cc IV, dan Diphenhidramine 1 cc IM (karena kebetulan hanya obat ini saj a yang ada di
Puskesmas saya) sambil saya memantau ABC nenek ini. Waktu i tu banyak sekali keluarga
pasien disitu dan panik melihat kondisi ini, dalam situasi seperti ini saya berusaha tenang
walaupun keringat dingin saya bercucuran sebesar jagung :) . Setelah saya pantau terus
keadaannya nenek ini mulai agak stabil dan sesaknya mulai berkurang. Demi keselamatan
pasien saya pun menyarankan membawa pasien ini ke Rumah Sakit Umum. Saya
menjelaskan pada keluarga pasien bahwa ini adalah akibat reaksi alergi obat dan bisa terjadi
pada siapa saja kalau tidak cocok dan untungnya keluarga mengerti, karena saya pun takut ini
disebut malpraktek. Setelah sampai di Rumah Sakit Umum saya langsung laporkan ke dokter
jaga tentang kejadian ini dan kemudian di konsulkan ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam
untuk perawatan selanjutnya. Ketika ruangan emergensi tekanan darah nenek ini sudah bisa
diukur yaitu 70/50 mmHg.
Sungguh pengalaman yang mendebarkan dan tidak akan saya lupa. Untung saja saya ingat
penanganan pertama dan juga tersedia obat-obatannya di ruang emergensi. Mungkin sekedar
berbagi saran, kejadian ini bisa terjadi pada dokter mana saja dan kapan saja, jadi bila akan
melakukan pemberian obat-obat suntikan sediakanlah adrenalin agar bisa menangani kasus
ini. Semoga cerita ini bermanfaat dan jangan sampai ini terjadi pada anda.
Salam
NB : Berikut ini akan saya sampaikan cara-cara singkat penanganan anafilaktik syok.
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada
keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obatobat emerjensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal
ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian
atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi s yok anafilaktik setelah kemasukan
obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka ti ndakan yang perlu dilakukan,
adalah:
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah
jantung dan menaikkan tekanan darah.
2. Segera berikan adrenalin 0,3 – 0,5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau
0,01 μg/kgBB untuk penderita anak -anak, i.m. Pemberian ini dapat diulang tiap 15
menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 2 – 4 μg/menit.
3. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 5 – 6 mg/kgBB i.v dosis awal yang diteruskan
0,4 – 0,9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
4. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5 –
10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari s yok
anafilaktik atau syok yang membandel.
5. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
1. Airway ‗penilaian jalan napas‘. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan
leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jal an napas, yaitu
dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
2. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada
syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderit a yang mengalami sumbatan
jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan
bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
3. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis,
atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang
penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan ata s keuntungan dan kerugian mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan
kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma.
Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20 – 40% dari
volume plasma. Sedangkan bila diberikan la rutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah
yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa
larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu
dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi /
diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi
adrenalin lebih dari 2 – 3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk
observasi.
Pencegahan:
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat,
tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita
lakukan, antara lain:
1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat
alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan
terjadinya syok anafilaktik.
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat
mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti negatif dan
mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1 – 3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60% bila tes kulit positif.
4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat
bantu resusitasi kegawatan. Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan
memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah
kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat
berbahaya.
Pemberian Cairan :
1. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah
atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
2. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang
mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra.
Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
4. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
5. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah
cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan
yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus
diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus
diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan
kristaloid memerlukan volume 3 – 4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah
perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang
dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
6. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang
berlebihan.
7. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan
yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan
untuk menghilangkan nyeri.
8. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada
syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ
Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, ― Swan
Ganz‖ kateter dan pemeriksaan analisa gas darah.
reaksi hipersensitivitas p ad a imunologi
Langkah I : Terminologi
Reaksi Hipersentivitas : Respon imun yang berlebihan di dalam tubuh hingga menyebabkan
kerusakan jaringan
Skin Test : Tes yang dilakukan untuk mengetahui adanya alergi atau tidak, contohnya tes
tusuk kulit, tes gores, Patch test pada punggung, tujuannya merangsang reaksi tubuh dengan
allergen tertentu.
Alergi : Reaksi abnormal aktivitas system imun terhadap bahan yang dalam keadaan normal
tidak berbahaya.
Pre syok : Terjadi pada orang yang tiba-tiba tach ycardia , hipotensi, penurunan kesadaran
yang pada skenario bisa disebabkan oleh reaksi anafilaktik, penurunan volume darah
dikarenakan aliran darah dari pemubuluh darah utama banyak dialirkan ke kapiler.
Langkah II : Identifikasi Masalah
1. Apakah akibat tertusuk paku baik berkarat atau tidak?
2. Apa yang kira-kira disuntikkan pada Pak Widodo dan kenapa harus ditanya dulu dia alergi
atau tidak?
3. Kenapa harus dilakukan skin test terlebih dahulu?
4. Mengapa Pak Widodo tiba-tiba pre syok dan tak sadar setelah disuntik?
5. Apa efeknya jika tidak dilakukan skin test terlebih dahulu?
6. Skin test apa yang paling efektif dilakukan pada kasus Pak Widodo?
7. Kenapa lukanya harus dibersihkan dulu sebelum disuntik?
8. Bagaimana prosedur skin test dan apa keuntungannya kita melakukan hal ini?
9. Apakah hubungan riwayat alergi pada Pak Widodo dengan keadaan pre syok sekarang?
10. Pertolongan apa yang harus pertama kali diberikan?
Langkah III : Analisis masalah
1. Akibat dari tertusuk paku adalah terjadinya sobekan pada kulit kaki dan kemudian terjadi
perdarahan, kemungkinan besar spora dari bakteri tetanus ( Clostridium tetani )bisa masuk
ketubuh melewati celah akibat lubang paku tersebut hingga Pak Widodo bisa saja terkena
tetanus.
2. Kemungkinan Pak Widodo disuntikkan serum Anti Tetanus dan untuk i tu hanya
ditanyakan dahulu apakah ia alergi terhadap ATS itu atau tidak dikarenakan untuk mencegah
terjadi reaksi hipersensitivitas tipe I, disamping itu serum ATS ini juga berasal dari serum
monyet dan ada kemungkinan orang akan alergi terhadap ini. Reaksi alergi dapat ditangani
dengan suntikan anti alergi.
3. Skin test bertujuan untuk pasien alergi terhadap sesuatu atau tidak, sehingga bisa
menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk.
4. Mekanismenya kenapa bisa Pak Widodo tiba-tiba pre syok setelah disuntik adalah ketika
suatu antigen masuk ke dalam tubuh maka secara cepat t ubuh mempertahankan dirinya
dengan proses fagositosis yang kemudian juga mengundang sel plasma menghasilkan sel B
yang akan membentuk antibody IgE hingga sensitive terhadap antigen tersebut, bisa pada
paparan kedua (anafilaksis) atau bahkan sejak paparan pertama (anafilaktoid) antigen memicu
proses degranulasi pada sel mast yang akan mengeluarkan histamine yang menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah, berkurang pasokan darah ke otak, menjadi tidak sadar dan pre
syok.
5. Jika tidak dilakukan skin test, mengakibatkan tidak diketahuinya pasien alergi terhadap apa
dan obat atau antibiotic apa saja yang dibutuhkannya.
6. Skin test yang mudah dan cepat untuk skenario adalah prick test , selain cepat dilakukan
dan diinterpretasikan hasilnya juga biayanya tidak terlalu mahal.
7. Luka Pak Widodo harus dibersihkan terlebih karena menghindari masuknya spora
Clostridium tetani ke dalam tubuh. Caranya dengan dieksplorasi, yaitu luka dibersihkan
sebersih-bersihnya, dikeluarkan atau dikorek kotoran yang melekat dan kemudian
dibersihkan dengan H2O2
8. Prosedur skin test :
- Pertama, bagian lengan bawah volar dibersihkan dengan alcohol, dicari bagian yang tidak
banyak dilalui pembuluh darah perifer yang besar.
- Kemudian diberi allergen yang akan diujikan
- Gores pada tempat allergen dengan lancet se cara gentle, jangan sampai ada perdarahan, 1015 menit kemudian akan terjadi triple respon yaitu bercak merah pada goresan yang sesaat,
flare pada daerah sekitar goresan dan oedema pada goresan.
Keunggulan skin test ini antara lain :
- Murah
- Tidak terlalu sakit
- Umumnya tidak berisiko
9. Riwayat alergi yang diderita Pak Widodo bisa saja turunan dari orangtuanya, jika ibu dan
ayah alergi maka kemungkinan 50 % anaknya alergi dan jika ibu atau ayah yang alergi maka
anaknya berisiko 15 % alergi juga.
10. Pertolongan pertama yang diberikan pada sa at Pak Widodo pre syok adalah diberikan
adrenalin berupa epinephrine untuk mengembalikan keadaan s yoknya dan antihistamin untuk
meredakan gejala alerginya.
Sistematika Masalah
Learning Objective
I. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme reaksi , etiologi
hipersensitivitas, manifestasi klinik, cara mendiagnosis dan tatalaksana dari ;
a. Hipersensitivitas tipe I
b. Hipersensitivitas tipe II
c. Hipersensitivitas tipe III
d. Hipersensitivitas tipe IV
e. Hipersensitivitas tipe V
f. Hipersensitivitas tipe VI
II. Jenis-jenis allergen yang dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas
Penjabaran Learning Objective :
I. Reaksi Hipersensitivitas
a. Reaksi Hipersensitivitas tipe I (Hipersensitifitas Segera (Anafilaksis))
Mekanisme reaksi :
Ditandai dengan reaksi alergi yang terjadi segera s etelah pemaparan dengan allergen. Jenis
reaksi ini penting dan sering ditemui. Biasanya tidak berbahaya untuk pemaparan pertama
kali, tetapi pemaparan berikutnya dapat menimbulkan teaksi local atau sistemik yang kadangkadang demikian hebat dan membahayakan seperti terjadi pada renjatan anfilaktik.
Reaksi ini diperankan oleh IgE yang merupakan factor terpenting, disebut j uga antibody
homostitotropik (reagin), bersifat khas yaitu afinitas yang tinggi pada mast osit dan basofil
melalui reseptor Fc pada permukaan sel yang bersangkutan yang mengikat fragmen Fc pada
IgE, sekalinya IgE ini terikat pada mastosit dan bas ofil bias selama beberapa minggu IgE
yang terikat ini berperan dalam reaksi anafilakt ik. Akibat aktivitas mastosit oleh IgE berbagai
jenis limfokin dan sitokin dengan peran multifungsi dilepaskan pada reaksi ini. IL3&4
mempunyai dampak autokrin pada sel mastosit dan bersama dengan substansi sitokin yang
lain meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL8 dan IL9 berperan dalam kemotaksis dan
aktivitas sel inflamasi di daerah alergi.
Apabila IgE yang melekat pada mastosit atau basofil mengalami pemaparan ulang pada
allergen spe sifik yang dikenalnya, maka allergen akan diikat oleh IgE sede mikian rupa
sehingga allergen membentuk jembatan antara molekul IgE pada permukaan sel (cross
linking ). Cross linking terjadi hanya pada antigen bivalen/multivalent, tidak pada univalent.
Crosslinking yang sama terjadi bila fragmen Fc IgE bereaksi dengan anti Ig E atau rseptor Fc
dihubungkan satu dengan sinyal awal degranulasi sel mast atau basofil. Setela h ada sinyal
pada membrane sel, terjadi serangkaian reaksi biokimia intraseluler secara berurutan
menyerupai cascade, dimulai dengan aktivasi enzim metal tranferase dan serine estrase,
diikuti pembentukan diaserilgliserid dan meningkatkan ion kalsium intrasitoplasmik. Reaksi
biokimia menyebabkan terbentuknya zat-zat yang memudahkan fusi merman granul sehingga
terjadi degranulasi yang mengakibatkan pelepasan mediator-mediator yang sebelumnya ada
di dalam sel, seperti histamine, heparin, factor kemotaktik eosinofil, platelet activating factor
(PAF), maupun pembentukan mediator baru ( slow reacting substance of anaphylaxis ) yang
terdiri dari substansi-substansi dengan potensi spasmogenik dan vasodilatasi yang kuat yaitu
leukotrien LTB4, LTC4, LTD4 sel;ain prostaglandin dan tromboksan.
Penyakit – penyakit yang mengalami reaksi hipersensitivitas tipe I ini antara lain;
• Asma bronchial
Merupakan serangan berulang dispnea paroksimal dengan radang jalan nafas dan mengi
akibatn kontaksi spasmodic bronkus yang disebabkan alergi dengan allergen tertentu.
Faktor risiko :
a. Jenis kelamin, ratio kekerapan kejadian pada laki-laki disbanding perempuan adalah 1,5 : 1
b. Umur
c. Factor keturunan dan lingkungan
Manifestasi klinis :
a. Obstruksi saluran nafas yang reversible (balik s pontan atau dengan pengobatan)
b. Batuk mengi
c. Sesak nafas
d. Diameter lumen mengecil karena edema dinding bronkus , peradangan mukus, kontaksi
dan hipertropo otot polos mukus
e. Inflamasi saluran nafas
f. Peningkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsangan (hiperaktivitas)
Patogenesis :
Masuknya alergen berupa debu, zat kimia (histamin, metakolin) ke dalam tubuh akan diolah
oleh APC untuk selanjutnya akan dikomunikasikan kepada sel Th yang akan memberikan
instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE dan sel-sel
radang lainnya yang mengeluarkan mediator inflamasi (histamin, prostaglandin, leukotrin,
platelet activating factor, bradikinin, tromboksin , dll) yang akan membuat obstruksi saluran
nafas, kerusakan epitel dan gangguan pada otot polos saluran nafas.
Diagnosis :
Berdasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Yang
membedakan asma dengan penyakit paru lainnya yaitu serangan asma dapat hilang dengan
sendirinya dengan atau tanpa obat, gejalanya bervariasi tergantung individu
Pemeriksaan penunjang :
a) Spirometri untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan dengan bronkodilator.
b) Uji provokasi bronkus untuk menunjukkan adanya hiperaktivitas bronkus. Di uji dengan
pemberian histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik dan
aqua destilata.
c) Pemeriksaan sputum, untuk asma khasnya adalah eosinofil yang dominan. Dan juga
pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya mycelium Aspergillus fumigatus.
d) uji kulit
e) Foto dada , untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
f) Analisis gas darah pada asma berat.
Pengobatan :
Ditinjau dari beberapa pendekatan ;
a) Mencegah ikatan alergen – IgE
b) Menghindari alergen dan mencoba untuk desentisisasi
c) Mencegah pelepasan mediator dengan natrium kromolin
d) Melebarkan sluran nafas dengan bronkodilator
e) Dengan Agonis beta 2(salbutamol, tetrabulin, fenoterol, prokaterol) dengan inhalasi
melalui MDI (Metere Dosed Inhaler). Untuk yang diperlukan reaksi tidak la ngsung bisa
digunakan kortikosteroid yang bukan termasuk golongan bronkodilator tapi bisa melebarkan
saluran nafas.
f) Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran nafas dengan kortikosteroid.
• Urtikaria dan angiodema
Urtikaria : suatu kelainan yang terbats pada bagian superficial kulit berupa bintul (wheal)
yang berbatas jelas dengan dikelilingi daerah yang eritematous. Pada bagian t engah bintul
tampak kepucatan. Biasanya kelainan ini bersifat sementara (transient), gatal dan bisa terjadi
di mana pun di seluruh permukaan kulit.
Angiodema : edema local dengan batas jelas yang melibatkan lapisan kulit yang lebih dalam
(jaringan subkutan), bila dibandingkan pada urtikaria dan terasa nyeri bukannya gatal. Bisa
terjadi dimanapun tapi paling sering pada daerah mulut, kelopak mata dan genitalia.
Etiologi
a. Dicetuskan bahan-bahan inhalan seperti tepung sari, serpihan kulit hewan dan spora jamur
b. Dicetuskan bahan-bahan makanan tertentu seperti buah-buahan, udang, ikan, produk susu,
coklat, kacang-kacangan dan obat
c. Pressure urticaria, disebabkan membawa tas yang cukup berat di bahu, berlari atau
mengangkat beban pada kaki dan lengan.
d. Urtikaria kolinergik disebabkan demam, madi air hangat atau olahraga yang meningkatkan
suhu tubuh
e. Cold urticaria, terpajan udara dingin dan es batu.
f. Solar urticaria, disebabkan cahaya
g. Aquagenic urticaria
h. Contact urticaria, kontak dengan bahan kimia (lateks)
i. Angiodema dengan kadar C1 inhibitor normal biasanya idopatik, tetapi bisa
dipertimbangkan efek dari penggunaan obat (aspirin, ACE inhibitor, OAINS) atau episodic
angiodema with eosinophilia (EAAE)
j. Angiodema dengan kadar C1 inhibitor di bawah normal, mungkin disebabkan factor yang
didapat (limfoma, SLE) atau bawaan yang sifatnya diturunkan secara autosomal dominan.
Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga
terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan local. Sehingga secara
klinis tampak edema local disertai eritem. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler
dapat terjadi akibat pelepasan mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting
substance of anafilacsis (SRSA) dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Patogenesis
angidema sama dengan urtikaria.
Diagnosis
Diagnosis urtikaria ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis
harus dilakukan dengan lengkap dan teliti serta lebih menekankan pada faktor-faktor etiologi
yang dapat menimbulkan urtikaria.2
Diagnosis Banding
Beberapa penyakit mempunyai lesi yang mirip dengan urtikaria sehingga perlu dibuat
diagnosis banding. Edema pada kulit yang mirip urtikaria dapat terjadi pada pemfigoid
bulosa, herpes gestasiones, penyakit bula kronik pada anak.
Beberapa penyakit lain yang didiagnosis banding dengan urtikaria kronik adalah : dermatitis
atopik, pemfigoid bulosa, dermatitis kontak alergi, mastocytosis, gigitan kutu busuk, eritema
multiforme, gigitan serangga, scabies, dan urtikaria vasculitis.
Pemeriksaan fisik
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya debu, tungau
debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan
bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum
khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya
dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu
akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
o Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin (obat anti
alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
o Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
2. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit dermatitis atau
eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam.
Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada
kulit.
Syarat tes ini :
o Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi, posisi tidur
tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
o 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti bengkak.
Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini memerlukan
sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses dengan mesin
komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
4. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi te rhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan di
kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes di lapisan bawah kulit.
Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.
5. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi te rhadap obat yang diminum, makanan, dapat juga
untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup dinamakan tes
provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi
bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko
tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi makanan
sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo Control) atau
uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara bertahap, lalu
ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30 menit.
Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat
lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi tipe
lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus benar, dan
cara melakukan tes harus tepat dan benar.
Pengobatan
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya , cara-cara sederhana
mengurangi gejala dan kemudian pengobatan yang mungkin dapat dilakukan, antara lain ;
1. Pengobatan lini pertama dengan antihistamin klasik, tetapi ini bersifat sedative. Untuk
antihistamin generasi berikutnya yang dari golongan Piperion tidak menimbulkan efek
sedative tersebut, yaitu;
Terfenadin
Astemizol
Loratadin
Untuk Loratadin, dapat diberikan dengan dosis 10mg, sekali sehari dan cukup efektif dalam
beberapa jam setelah ditelan dan mempunyai lama kerja 12-48 jam.
2. Pengobatan lini kedua
Pemberian kortikosteroid untuk menghambat fenomena inflamasi dini, oedema, dilatasi
kapiler. Bisa diberikan peroral, parenteral, topical dan aeorosol. Harus diperhatikan untuk
pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dengan jangka panjang untuk penyakit mata dan
penyakit dalam dan penghentiannya pun harus secara tapering off, secara bertahap.
3. Pengobatan lini ketiga
Pemberian adrenalin jika kondisi akut angiodema berat, digunakan untuk konstriksi
pembuluh darah. Untuk urtikaria kronik dapat diberikan obat imunosupresan seperti
siklosporin A yang evaluasinya dilakukan secara ketat.
• Syok anafilaktik
Reaksi syok anafilaksis adalah terjadinya reaksi renjatan (syok) yang memerlukan tindakan
emergency karena bisa terjadi keadaan yang gawat bahkan bisa menimbulkan kematian.
Kalangan awam menerjemahkan keracunan, padahal sesungguhnya adalah resiko dari
tindakan medis atau penyebab lain yang disebabkan faktor imunologi. Reaksi alergi tidak
semata ditentukan oleh jumlah alergen, namun pada kenyataannya setiap pemberian obat
tertentu (umumnya antibiotika secara parenteral) dilakukan test kulit untuk melihat ada
tidaknya reaksi alergi.
Dikatakan ―medical error‖ apabila nyata -nyata seseorang yang mempunyai riwayat alergi
obat tertentu tetapi masih diberikan obat sejenis. Karena itu penting untuk memberikan
penjelasan dan cacatan kepada penderita yang mempunyai riwayat alergi, agar tidak terjadi
reaksi syok anafilaksis. Berikut ini adalah penyebab, reaksi tubuh, derajat dan
penatalaksanaan reaksi syok anafilaksis.
Penyebab:
• Obat-obatan:
1. Protein: Serum heterolog, vaksin,ektrak alergen
2. Non Protein: Antibiotika,sulfonamid, anestesi lokal, salisilat.
• Makanan: Kacang-kacangan, mangga, jeruk, tomat, wijen, ikan laut, putih telor, susu,
coklat, zat pengawet.
• Lain-lain: Olah raga, berlari, sengatan (tawon, semut)
Reaksi Tubuh:
• Lokal: Urtikaria, angio-edema
• Sistemik:
1. Kulit/mukosa: konjungtivitis,rash,urtikaria
2. Saluran napas: edema laring, spasme bronkus
3. Kardiovaskuler: aritmia
4. Saluran cerna: mual, muntah, nyeri perut, diare
Derajat Alergi:
Ringan:
Rasa tidak enak, rasa penuh di mulut, hidung tersumbat, edema pre-orbita, kulit gatal, mata
berair.
Sedang:
Seperti di atas, ditambah bronkospasme
Berat (syok):
• Gelisah, kesadaran menurun
• Pucat, keringat banyak, acral dingin
• Jantung berdebar, nyeri dada, takikardi, takipneu
• Tekanan darah menurun, oliguri
Penatalaksanaan Reaksi Alergi:
Ringan:
Stop alergen, beri Antihistamin
Sedang:
• Seperti di atas di tambah: aminofilin atau inj. Adrenalin 1/1000 0,3 ml sc/im, dapat diulang
tiap 10-15 menit sampai sembuh, maksimal 3 kali.
• Amankan jalan nafas, Oksigenasi.
Berat:
• Seperti sedang ditambah: posisi terlentang, kaki di atas
• Infus NaCl 0,9% / D5%
• Hidrokortison 100 mg atau deksametason iv tiap 8 jam
• Bila gagal: beri difenhidramin HCl 60 -80 mg iv secara pelan > 3 menit
• Jika alergen adalah suntikan, pasang manset di atas bekas suntikan (dilepas tiap 10 -15
menit) dan beri adrenalin 0,1-0,5 ml im pada bekas suntikan
• Awasi tensi, nadi, suhu tiap 30 menit
• Setelah semua upaya dilakukan, jika dalam 1 j am tidak ada perbaikan rujuk ke RSUD.
b. Reaksi hipersensitivitas tipe II
Antibody yang terdapat dalam serum bereaksi dengan antigen yang berada pada permukaan
suatu sel yang merupakan komponen membran sel. Substansi mikroba atau molekul kecil lain
(hapten) melekat pada permukaan sel dan bersifat sebgai antigen kompleks Ag-Ab
dihancurkan melalui sel efektor seperti makrofag atau netrofil dan monosit atau limfosit T
sitotoxic dan sel NK sehingga mungkin dapat menyebabkan kerusakan sel itu sendiri. Pada
keadaan ini sulit membedakan respon imun normal dengan reaksi hipersensitivitas sitotoksik
ini.
Mekanisme kerusakan jaringan :
- Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
- Proses sitolisis oleh C1g menempel pada kompleks imun lalu C3 menjadi aktif
dan komplemen C5b-C9 yang melisis sel target
- Proses sitolisis oleh sel efektor yang menjadi reseptor dengan bantuan komplemen
Antibodi (IgG atau IgM) melekat pada atigen lewat daerah Fab dan bekerja sebagai suatu
jembatan ke komplemen lewat daerah Fc. Akibatnya dapat terjadi lisis yang berperantarakomplemen, seperti yang terjadi pada ;
Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O.
Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B ber upa Ig M) yang
mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A
berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak
mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi
(Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut
disebut isohemaglutinin.
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa s ensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling
sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO.
Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi
alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane
sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.
Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir
dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang
dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya
ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk
anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini
karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit
fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi s el yang ditutupi Ig tersebut
mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan
sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering
diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap
sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia
yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas a tau dingin, tergantung dari
suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan
pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang
dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura.
Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel
darah merah.
Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal
glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan
endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Perjala nannya
sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid,
imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi. Jadi, sindrom ini
merupakan penyakit auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane basal. Sindrom
ini sering ditemukan setelah mengalami infeksi streptococ.
Myasthenia gravis
Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler,
sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.
Pempigus
Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang
menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.
c.. Reaksi hipersensitivitas tipe III (kompleks imun)
Kompleks imun sebenarnya terbentuk setiap antibody bertemu antigen, tetapi didalam
keadaan normal pada umumnya kompleks segera disingkirkan secara efektif oleh jaringan
retikuloendotelial tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan reaksi
hipersentivitas.
Pemaparan antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembetukan antibody yang
umumnya tergolong IgG. Antibodi bereaksi dengan antigen membentuk kompleks Ag- Ab
yang kemudian dapat mengendap di salah satu tempat di jaringan. Pembentukan kompleks
menyebabkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen menyebabkan pelepasan
anafilatoksin yang kemudian merangsang pelapasan berbagai mediator oleh mastosit.
Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks, di
pihak lain proses itu juga merangsang PMN sehingga melepaskan granul berupa enzim
proteolitik ,yaitu proteinase, kolagenase dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks AgAb mengendap di jaringan, proses di atas bersama-sama dengan aktivasi komplemen dapat
sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1. Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ
yang diinfektif dan ginjal.
2. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal,
sendi, dan pembuluh darah.
3. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi
dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat,
anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan
menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktorfaktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN
yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga
mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf
yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral),
enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini
akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.
Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisi s dimana C567 yang telah diaktifkan
menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan
menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat -zat
amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia
setempat.
Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1. Aktivasi komplemen
a. Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine
b. Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim
proteolitik dan enzim polikationik
2. Menimbulkan agregasi trombosit
a. Menimbulkan mikrotrombi
b. Melepas amin vasoaktif
3. Mengaktifkan makrofag
Melepas IL-1 dan produk lainnya
Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdapat dua bentuk reaksi, yaitu :
1. Reaksi Arthus
Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada
kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan
reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3 -8 jam dan kemudian menghilang.
Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut
fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding
bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam
setelah inhalasi antigen.
Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen
yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau
mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan.
C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema.
Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai
menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah.
Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang
digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif.
2. Reaksi serum sickness
Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi
imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal
kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam
tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan m enimbulkan keadaan yang dikenal sebagai
penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai
kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendisendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum
rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.
Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan
reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan
reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah :
1. Demam reuma
Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan i nflamasi dan kerusakan jantung, sendi,
dan ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silan g dengan antigen dari
otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap streptococ
mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.
2. Artritis rheumatoid
Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM)
dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.
3. Infeksi lain
Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan
membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.
4. Farmer‘s lung
Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora
actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi
6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik
terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang
mengendap di paru-paru.
d. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Berperantara Sel (Delayed Type Hypersensitivity (DTH))
Merupakan fungsi limfosit T, bukan fungsi antibodi dan dapat dipindahkan oleh sel T yang
terlibat secara imunologik pasif tetapi tidak oleh serum. Sel limfosit T dengan reseptor
spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat
Limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti
Limfoblast yang mampu merusak sel target yang mengendung antigen dipermukaannya.
Respon lambat yang dimulai beberapa jam (atau hari) setelah kontak (hipersensitivitas
Kontak) dengan antigen dan sering berlangsung selama beberapa hari. Respon ini terutama
terdiri atas infiltrasi sel berinti satu dan indurasi jaringan seperti yang terlihat pada uji kulit
tuberkulin (Hipersensitivitas Tipe-Tuberkulin). Hipersensitifitas lambat dan imunitas
berperantara-sel saling berkaitan erat.
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:
1. Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya
ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap
siklofosfamid.
Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH) merupakan bentuk CMI yang
tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal yang
berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa
indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil.
Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui.
Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang berat di tempat tungau
menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang farmakologik aktif dari granulanya
yang dapat mematikan dan melepaskan tungau tersebut.
Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan allergen seperti poison
ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas
menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan dalam penyakit hipersensitivitas.
2. Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak
Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat
kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi
epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada
reaksi ini.
Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi
sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang
dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru.
Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-oran g yang menjadi peka
karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil klorida dan
kromat.
Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel -T yang mampu mengenal antigen
tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain
yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini
menimbulkan dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.
3. Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan
terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier
(50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah
besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam
beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan. Dilain hal
terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI.
Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh karena
CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel -Tc.
4. Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan
menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel
mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel plasma yang
memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
Dalam inflamasi kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting sebagai
berikut:
1. Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.
2. Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin.
3. Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin.
Gambaran morfologis dari respon tersebut dapat berupa pembentukan granuloma (agregat
fagosit mononuklier yang dikelilingi limfosit dan sel plasma). Fagosit terdiri at as monosit
yang baru dikerahkan serta sedikit dari makrofag yang sudah ada dalam jaringan.
Reaksi granulomata merupakan reaksi tipe IV yang paling penting karena menimbulkan
banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam
makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau
kompleks imun yang menetap, misalnya pada alveolitis alergik.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten dalam
tubuh, sedangkan reaksi tuberkolin merupakan respon imun seluler yang terbatas. Kedua
reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi oleh antigen mikroorganisme yang sama,
misalnya M. Tuberculosis dan M. Leprae. Granuloma juga terjadi pada hipersensitivita s
terhadap zarkonium, sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talkum).
Dalam hal-hal tersebut makrofag tidak dapat memusnahkan benda anorganik.
Granuloma non-immunologic dapat dibedakan dari yang immunologic, karena yang pertama
tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga
berasal dari sel-sel makrofag dan sel datia Langhans (jangan dikaburkan dengan sel
Langerhans yang telah dibicarakan).
Granuloma immunologic ditandai dengan inti yang terdiri atas sel epiteloid dan makrofag.
Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau timbunan serat kolagen yang terjadi akibat
proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen.
e. Reaksi hipersensitivitas tipe V (Hipersensitivitas ter-Stimulus)
Ada banyak sel didalam badan yang fungsinya tergantung dari instruksi yang diterima
melalui zat tertentu, misalnya hormon yang menempel pada permukaan sel melalui reseptor
khas. Apabila auto-antibodi terhadap antigen menempel di permukaan sel maka akan terjadi
kelainan yang merangsang sel itu sehingga tidak terkontrol.
f. Reaksi hipersensitivitas tipe VI (innate hypersensitivity reaction)
Tidak ditemukan literatur terkait dengan reaksi tipe VI ini.
II. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan tentang jenis – jenis alergen
a. Alergen inhalatif : alergen yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : serbuk sari, spora jamur (Aspergillus sp., Clodosporium sp., Penecillium, dsb), debu
atau bahan-bahan kimia atau dari jenis padi-padian, gandum-ganduman dan uap formalin.
b. Alergen ingestif : alergen yang masuk melalui saluran pencernaan
Contoh : susu, putih telur, ikan laut atau ikan air tawar, udang, kepiting, makanan asal
tumbuhan (kacang-kacangan, arbei, madu), obat-obatan telan.
c. Alergen kontak : alergen yang menimbulkan reaksi waktu bersentuhan dengan kulit atau
selaput lendir
Contoh : zat-zat kimia, zat-zat sintetik (plastik, obat-obatan, bahan desinfektan) , bahan yang
berasal dari hewan (sutera, wol), atau dari tumbuh-tumbuhan (jamur, getah atau damar)
d. Alergen yang memasuki tubuh melalui suntikan atau sengatan
Contoh : obat-obatan, vaksin, racun atau bisa serangga seperti lebah atau semut merah besar.
e. Autoaergen : alergen yang berasal dari zat organisme itu sendiri yang keluar dari sel-s el
yang rusak atau pada proses nekrosis jaringan akibat injeksi at au reaksi toxic atau keracunan.
Jenis- jenis alergen berdasarkan tipe hipersensitivitas :
a. Tipe I
Penisilin
Protamin
Enzim
Antiserum
β-laktam
heparin antibodi monoklonal
ekstrak alergen
b. Tipe II
Metamizol
Fenotiazin
Penisilin
Sefalosporin
Kinidin
Metildopa
Antikonvulsan
Parasetol
Sulfonamid
c. Tipe III
Download