BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan. Syari’at Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong-menolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya. Gadai-menggadai sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. Gadai sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan Rasulullah sendiri pun telah mempraktikkannya. Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam gadai itu sendiri, seperti Pegadaian dan sekarang muncul pula Pegadaian Syariáh. Di dalam Islam, pegadaian itu tidak dilarang, namun harus sesuai dengan syariát islam, seperti tidak memungut bunga dalam praktik yang dijalankan. Selanjutnya dalam makalah ini akan dijelaskan gadai menurut pandangan islam, yang meliputi pengertian gadai yang ditinjau menurut syariah islam, landasan hukum gadai, rukun dan syarat gadai, memanfaatkan barang yang sedang digadaikan, implementasi gadai dalam perbankan, riba dalam gadai, serta penyelesaian gadai. BAB II PEMBAHASAAN A. Pengertian Gadai (Rahn) Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Sedangkan gadai atau Rahn menurut syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syari’ah sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya semua atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan hutang sebagai gantinya. Menurut ulama Syafi’iyah gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. Sedangkan menurut ulama hanabilah gadai adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi jaminan. Dalam pendapat lain dijelaskan pula bahwa gadai adalah : 1. 2. 3. 4. 5. menjadikan suatu barang yang bernilai menurut syara’, sebagai jaminan atas piutang, yang memungkinkan terbayarnya hutang si peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman. Gadai adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Gadai adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan utang. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utangpiutang. B. Landasan Hukum Rahn Sebagaimana halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah ditetapkan dalam Al-qur’an, Hadits dan Ijma’. 1. Al-Qur’an Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 282 dan 283, diantaranya adalah: Artinya: 282 :Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 283.Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 2. Hadits a) Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan. (shahih muslim) b) Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Asy-Syafii, alDaraquthni dan Ibnu Majah). c) Nabi bersabda : Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR. Jamaah kecuali Muslin dan An-Nasa’i) d) Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda : apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatannya). (HR. jamaah kecuali Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i) 3. Ijma’ Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyari’atkan pada waktu tidak epergian maupun pada waktu bepergian, berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits di atas. C. Rukun dan Syarat Rahn Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun yang harus dipenuhi yaitu: 1. Ijab Qabul (sighat) Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. 2. Orang yang bertransaksi (Aqid) Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu Rahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri. 3. Adanya barang yang digadaikan (Marhun) Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh Rahin (pemberi gadai) adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, milik Rahin secara sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang tidak dapat diperjualbelikan tidak dapat digadaikan. 4. Hutang (Marhun Bih) Menurut ulama Hanafiah dan Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijaadikan alas hak atas gadai adalah berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang tersebut harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh Rahin dan Murtahin. Adapun syarat dalam gadai adalah : Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai adalah orang yang boleh melakukan transaksi jualbeli. 2. Orang yang berakal. 3. Baligh (dewasa). 4. Bukan orang gila dan anak-anak. Sedangkan menurut aturan dasar pegadaian di Indonesia, barang-barang yang dapat digadaikan di lembaga itu hanyalah berupa barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata hanyalah berbentuk barang-barang bergerak), tentunya dengan beberapa pengecualian. Pengecualian disini artinya barang yang tidak dapat digadaikan. Barang-barang tersebut antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Barang milik Negara, seperti sepeda motor dinas, mesin tik kantor. Hewan yang hidup dan tanaman. Segala makanan dan benda yang mudah busuk. Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat disimpan dalam gadaian. Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat memberikan keterenganketerangan tentang barang yang digadaikan. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 25/DSN-MUI/III/2002 yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2002 oleh ketua dan sekretaris DSN tentang Rahn, menentukan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai barang jaminan hutang dalam bentuk Rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Penerima gadai (Murtahin) mempunyai hak untuk menahan barang jaminan (Marhun bih) sampai semua utang nasabah (Rahin) dilunasi. 2. Barang jaminan (Marhun bih) dan manfaatnya tetap menjadi milik nasabah (Rahin). 3. Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai pada dasarnya menjadi kewajiban nasabah, namun dapat dilakukan juga oleh penerima gadai, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban nasabah. 4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan barang gadai a) apabila jatuh tempo, pihak pegadaian harus memperingatkan nasabahnya untuk segera melunasi hutangnya b) apabila nasabah tetap tidak melunasi hutangnya, maka barang gadai dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai dengan syariah c) hasil penjulan barang gadai tersebut digunakan untuk melunasi hutangnya nasabah, yakni melunasi biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjulan d) kelebihan hasil penjulan barag gadai tersebut menjadi milik nasabah dan kekuarangannya menjadi kewajiban nasbah pula 6. Jika terjadi perselisihan antar kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Indonesia, setelah tercapai kesepakatan musyarakah. D. APLIKASI AKAD RAHN DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Dalam implementasi akad rahn di lembaga keuangan syariah ada dua jenis, yaitu akad rahn dijadikan produk turunan berupa agungan atas pembiayaan, dan kedua akad rahn sebagai produk utama, dalam bentuk gadai. 1. Akad Rahn sebagai Produk Turunan (Jaminan Pembiayaan) Harta yang digunakan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (almurtahin). Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain. Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul saw. telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita. Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi. Akad ar-rahn (agunan) merupakan tawtsîq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn, maka tidak lagi memenuhi makna tawtsîq itu. Dengan demikian, ar-rahn dalam kondisi ini secara syar‘i tidak ada maknanya lagi. Pada masa Jahiliah, jika ar-râhin tidak bisa membayar utang (pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah itu dibatalkan oleh Islam. Rasul saw. bersabda: ا ُ اْ اا ُ ْ ُ اا ُ ي ُ َْ ُ ا «َ ُهنا ُ ِ ََّ اِهِِا ْ َر ُ ُنه ُر ُُقلغ،»ُ ان ُْا اِهل َلا ُن ُما ا ا Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya. (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni) Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh ar-râhin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni ar-râhin. Sebaliknya, jika masih kurang, kekurangan itu menjadi kewajiban ar-râhin. Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al- murtahin untuk menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-râhin, tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-râhin gagal membayar utang pada saat jatuh temponya. Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik, dsb saat ini—yang jika pembeli (debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh dilakukan. Pemanfaatan al-marhun oleh al-Murtahin Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-râhin. Karena itu, arrâhin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan. Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu). Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama.6 Dalam kasus utang jenis qardh ini, al-murtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram. Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya,8 maka al-murtahin boleh memanfaatkan barang agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik ar-râhin. Tidak terdapat nash yang melarang hal itu karena tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahin dari kebolehan itu. Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti ar-râhin menyewakan agunan itu kepada almurtahin, maka al-murtahin boleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin. 2. Akad Rahn sebagai Produk Utama (Gadai Syariah). Konsep operasional pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Perbedaan Pegadauan Syariah dengan Pegadaian Konvensional Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan, yaitu dengan cara memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvesional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan. Berikut disajikan tabel perbedaan teknis antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional : Operasional Pegadaian Syariah Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam operasionalnya menggunakan metode Fee Based Income. Sesuai dengan konsep rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah, yaitu : a. b. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman (qardh) yang diterimanya. Pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagaian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian syariah menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah. Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian syariah untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad. Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya ditempat yang telah disediakan. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan kesuluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian syariah mengenakan biaya sewa (ijarah) kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi : a. b. c. d. e. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas. Marhun Bih (Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanaan, dan biaya pengelolaan dan administrasi E. Memanfaatkan Barang yang Digadaikan Dalam memanfaatkan barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Sedangkan menurut Imam Ahmad, Ishak, Al-Laits dan Al-Hasan berpendapat bahwa jika barang gadaiaan berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya : “Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”. Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai diatas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang diperbolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya. G. Penerapan Rahn dalam Perbankan Syari’ah Rahn atau gadai tidak hanya diterapkan oleh perusahaan penggadaian saja, tetapi perbankan syariah juga menyediakan produk berupa rahn dalam operasionalnya. Rahn dalam perbankan syariah dapat diartikan sebagai menahan asset nasabah sebagai jaminan tambahan pada pinjaman yang dikucurkan oleh pihak bank. Rahn termasuk dalam satu jenis akad pelengkap, sedangkan dalam konteks perusahaan umum pegadaian rahn merupakan produk utama. Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah. H. Riba dalam Gadai Perjanjian dalam gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya. Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka dalam transaksi gadai yang seperti ini juga terdapat riba. I. Penyelesaian Gadai Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syaratsyarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai) tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun (barang yang digadaikan) menjadi milik murtahin (orang yang menerima gadai) sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin. Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi syaratsyaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada Al-qur’an surah AlBaqarah ayat 282-283, Hadits dan ijma’. Adapun rukun dalam gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi (penerima dan pemberi gadai), adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang. Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal dan baligh (dewasa). Para jumhur ulama berbeda pendapat tentang pemanfaatan barang yang digadaikan. Para imam madzhab selain imam hanbali melarang barag yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai meskipun mendapat izin dari rahin. Namun demikian ada sebagian ulama yang memperbolehkan barang yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai, jika barang tersebut berupa kendaraan atau binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya dan memerlukan biaya perawatan maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang tersebut dan disesuaikan dengan biaya perawatannya selama barang tersebut ada padanya. Rahn tidak hanya digunakan dalam perusahaan umum pegadaian saja, namun juga praktik rahn ini telah diterapkan atau diaplikasikan dalam perbankan syari’ah, tetapi bukan menjadi produk utama melainkan sebagai pelengkap. Salah satu manfaat yang dapat diambil pihak bank dari praktik rahn ini adalah Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank. Selanjutanya penyelesaian terhadap rahn, yaitu apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya. B. Saran Demikian makalah yang dapat kami sajikan, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan untuk penyempurnaan penyusunan makalah selanjutnya. Jika ada kesalahan atau kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon ma’af sebesar-besarnya DAFTAR PUSTAKA Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007. Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Muhammad Uwaidah, Syaikh Kamil. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008. Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. Syafei, Rahmat. Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006. Ya’qub, Hamzah. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Bandung: DIPONEGORO, 1984. Yanggo, Chuzaimah T.Hafiz Anshary, Problematika Hukum islam Kontemporer (III). Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995.