Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Kanji Singkong Kanji atau yang sering dikenal sebagai pati kanji sebenarnya merupakan polimer karbohidrat yang terdiri dari banyak hydroglucose. Kanji biasanya terdiri oleh campuran dari dua biopolymer di dominasi oleh amilosa linier dan amilopektin bercabang. Kanji merupakan karbohidrat yang fungsional pada keadaan dasarnya, serta merupakan karbohidrat yang sangat reaktif yang memungkinkan sifat fisiknya dapat dimodifikasi secara kimia atau enzimatik sesuai dengan kebutuhan. Struktur dari kanji bergantung pada amilosa dan amilopektin yang bereaksi (Nawangratri dkk., 2017). Bahan biopolimer seperti kanji dapat menggantikan minyak bumi karena kanji memiliki beberapa kelebihan seperti berlimpah, murah, mudah dicari, terbarukan, dan biodegradable (Tang dan Alavi, 2008). Kanji singkong atau yang biasa tepung kanji adalah tepung dari yang terbuat singkong. Tepung kanji juga sering disebut tepung tapioka atau aci dalam bahasa Sunda. Tepung kanji atau tapioka sekilas mirip dengan tepung sagu karena memang keduanya bahan substitutif. Tepung kanji memiliki sifat-sifat yang mirip dengan tepung sagu, keduanya mampu merekatkan bahan-bahan sehingga banyak digunakan sebagai perekat pada makanan dan dijadikan sebagai lem. Tepung kanji memiliki bentuk serbuk berwarna putih dan tepung kanji berbeda bila dirasakan dengan jari tangan sebab memiliki tekstur yang kesat, ringan, dan mudah melekat. Selain itu tepung kanji di gunakan untuk sebagai bahan perekat pupuk pelet organik (Buckle dkk., 1987). Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), nilai pH tepung tapioka tidak dipersyaratkan. Namun demikian, beberapa institusi mensyaratkan nilai pH untuk mengetahui mutu tepung tapioka berkaitan dengan proses pengolahan. Salah satu proses pengolahan tepung tapioka yang berkaitan dengan pH adalah pada proses pembentukan pasta. Pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Sebaliknya, bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan (Rahman, 2007). Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel II.1. Tabel II.1 Standar Nasional Indonesia Tapioka SNI 01-3451-1994 (Rahman, 2007) Persyaratan No. Jenis uji Satuan Mutu 1 Mutu 2 Mutu 3 1. Kadar air % Maks. 15,0 Maks. 15,0 Maks. 15,0 2. Kadar abu % Maks. 0,60 Maks. 0,60 Maks. 0,60 3. Serat dan benda % Maks. 0,60 Maks. 0,60 Maks. 0,60 Min. 94,5 Min. 92,0 <92 Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3 mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0 Maks. 1,0 mg/kg Maks. 10,0 Maks. 10,0 Maks. 10,0 mg/kg Maks.40,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 mg/kg Maks.0,05 Maks. 0,05 Maks. 0,05 mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5 Maks. 0,5 Koloni/g Maks. 1,0 × asing 4. Derajat putih % 5. Derajat asam Volume NaOH 1N/100g 6. Cemaran logam - Timbal - Tembaga - Seng - Raksa - Arsen 7. Cemaran mikroba - Angka lempeng total Koloni/g - E. coli - Kapang Koloni/g 106 Maks. 1,0 × Maks. 1,0 × Maks. 1,0 × 106 106 - - Maks. 1,0 × Maks. 1,0 × 104 104 104 II.2 Bentonit Bentonit atau clay adalah istilah yang digunakan untuk sejenis lempung yang mengandung mineral monmorilonit. Pada tahun 1960 Billson mendefinisikan bentonite sebagai mineral lempung yang terdiri dari 85% monmorilonit dan mempunyai rumus kimia (Al2O3 4 SiO2 x H2O). nama monmorilonit ini berasal dari jenis lempung plastis yang ditemukan di Montmorillonite, Perancis pada tahun 1847 (Barleany dkk., 2011). Bentonit merupakan salah satu mineral batuan yang memiliki kemampuan menyerap zat disekitarnya yang berupa larutan, gas dan penukar kation. Bentonit biasa digunakan sebagai bahan penyerap dalam bidang peternakan, perikanan maupun pertanian (Aziz, 2009). Bentonit banyak diaplikasikan sebagai adsorben karena sifat dari luas permukaannya yang luas, berpori dan emiliki situs aktif sehingga bentonite mempunyai sifat sebagai adsorben dan banyak diaplikasikan dalam proses adsorpsi (Prasetiowati dan Koestiari, 2014). Bentonit atau bias disebut monmorilonit memiliki 2 layer tetrahedral dengan pusatnya berupa silika dan 1 layer oktahedral dengan pusatnya aluminium dimana alumina akan bertukar dengan silika pada tetrahedral, sedangkan Fe atau Mg akan bertukar dengan Al pada layer oktahedral (Oluwaseyi, 2016). Si4O10 pada layer tetrahedral dihubungkan dengan oksigen dan memiliki ion-ion hidroksil (bermuatan negatif) (Seredych dkk., 2008). Gambar II.1 Struktur kristal monmorilonit (Nurhayati, 2010) Bentonit sebagai adsorben memiliki kemampuan untuk mengikat ion-ion ammonia masuk ke dalam pori-pori bentonit yang kosong (Kosim dkk., 2015). Bentonit mempunyai sifat plastis dan koloidal yang tinggi serta dapat mengalami perluasan kisi. Munculnya sifat adsorben karena pada kisi bentonite disubtitusi oleh muatan yang tidak setimbang, contoh: Mg2+ menggantikan Al3+ dan Al3+ menggantikan Si4+. Ketidaksetimbangan ini muncul karena subtitusi ion dengan valensi yang berbeda pada tetrahedral, octahedral atau keduanya (Nurhayati, 2010). II.3 Kalium Kalium (K) merupakan hara utama ketiga setelah N dan P. Kalium tergolong hara mobile dalam tanaman baik dalam sel, dalam jaringan tanaman maupun dalam xylem dan floem. Umumnya bila penyerapan K tinggi menyebabkan penyerapan unsur Ca, Mg, dan Na menjadi turun (Fatimah, 2018). Di dalam tanah unsur K berfungsi sebagai media transportasi yang membawa hara-hara dari akar ke daun dan mentranslokasi asimilat dari daun ke seluruh jaringan tanaman. Kurangnya hara K dalam tanaman dapat menghambat proses transportasi dalam tanaman. Oleh karena itu, agar proses transportasi unsur hara maupun asimilat dalam tanaman dapat berlangsung optimal maka unsur K dalam tanaman harus optimal (Kaya, 2012). Kalium dapat bertambah kedalam tanah melalui berbagai sumber sisa tanaman, hewan, pupuk kandang dan pelapukan mineral kalium. Pertambahan kalium dari sisa tanaman dan hewan merupakan sumber yang penting dalam menjaga keseimbangan kadar kalium didalam tanah (Damanik dkk., 2011). Secara fisik bahan organik dapat meningkatkan daya tahan untuk menahan air sehingga hara K+ yang terfiksasi oleh koloid akan terlepas memenuhi permukaan koloid liat dan larutan tanah yang mengakibatkan K+ lebih mudah diserap oleh bulu akar (Putra dan Hanum, 2018). II.4 Pupuk Slow Release Pupuk slow release atau yang sering disebut dengan pupuk lepas lambat akan melepaskan unsur hara yang dikandungnya sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan tanaman. Dengan demikian, manfaat yang dirasakan dari satu kali aplikasi lebih lama bila dibandingkan dengan pupuk fast release. Mekanisme ini dapat terjadi karena unsur hara yang dikandung pupuk slow release dilindungi secara kimiawi dan mekanis. Perlindungan secara mekanis berupa pembungkus bahan pupuk dengan selaput polimer atau selaput yang mirip dengan bahan pembungkus kapsul. Contohnya polimer coated urea dan sulfur coated urea. Perlindungan secara kimiawi dilakukan dengan cara mencampur bahan pupuk menggunakan zat kimia, sehingga bahan tersebut lepas secara terkendali. Contohnya methylin urea, urea formaldehide dan isobutilidern diurea. Pupuk jenis ini harganya sangat mahal sehingga hanya digunakan untuk tanaman-tanaman yang bernilai ekonomis tinggi (Novizan, 2005). Pupuk slow release biasanya melepaskan unsur hara dilepaskannya dengan sistem coated atau binder. Sistem coated, yaitu unsur hara keluar secara perlahan setelah bahan pembungkus retak. Sementara sistem binder yaitu unsur hara dilepaskan sesuai dengan ketersediaan air di lapangan karena adanya pengikat. Tanah dengan kondisi kelembapan tinggi, unsur hara dikeluarkan akan semakin banyak dan semakin cepat dan sistem yang kedua ini disebut juga sistem hidrolisa (penyerapan air) (Musnamar, 2003). Pupuk slow release dapat dibuat dengan mengubah senyawanya menjadi bahan yang memiliki kelarutan rendah karena pupuk slow release memiliki bobot, molekul yang tinggi, pelapisan (coating), pembungkusan (encapsulasi), pembungkusan dengan mencampurkan dalam matriks pupuk, memperbesar ukuran butir pupuk (memperkecil permukaan kontak) dan menambahkan penghambat amonifikasi dan nitrifikasi (Trenkel, 1997). Komposit pupuk slow release sudah lama diaplikasikan pada bidang pertanian guna mengefisienkan penggunaan pupuk. Komposit pupuk slow release merupakan kombinasi antara dua atau lebih material untuk mendapat sifat antara kedua atau lebih dari bahan tersebut. Komposit memiliki kelebihan antara lain ringan, kaku dan tahan lama. Unsur pembentuk komposit adalah matrik dan penguat (reinforce). Matrik yang umum digunakan adalah polimer berbahan resin, cairan atau granul dan penguat serat sintetis berbahan dasar serat. Namun, penggunaan kedua jenis material diatas akan mengakibatkan masalah bagi lingkungan karena sulitnya terdegradasi oleh alam. Penggunaan matrik dan serat alami merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak lingkungan karena mudah terurai di lingkungan secara alami. Selain itu penggunaan matrik alam ini mempunyai beberapa kelebihan antara lain mudah didapatkan, jumlahnya berlimpah dan dapat diperbaharui (Rodiawan dkk., 2016). II.5 Pengujian Fourier Transform Infrared (FTIR) Fourier Transform Infrared (FTIR) merupakan teknik yang digunakan untuk mendapat spectrum inframerah dari absorbansi, emisi, foto konduktivitas atau Raman Scattering dari sampel padat, cair, dan gas. Karakterisasi dengan menggunakan FTIR Bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis vibrasi antar atom. FTIR juga digunakan untuk menganalisa senyawa organic dan anorganik serta analisa kualitatif dan analisa kuantitatif dengan melihat kekuatan absorpsi senyawa pada panjang gelombang tertentu (Hindrayawati dkk., 2010). Fourier Transform Infrared (FTIR) dapat mengukur secara cepat gugus fungsi tanpa merusak dan mampu menganalisis beberapa komponen secara serentak. Pada dasarnya spektroskopi FTIR adalah sama dengan spektroskopi IR dispersi, yang membedakannya adalah pengembangan pada sistem optiknya sebelum berkas sinar infra-merah melewati sampe (Rohaet dkk., 2011). Berikut hasil gambar karakterisasi FTIR dari penelitian (Hidayat dan Nugraha, 2018) mengenai gugus fungsional yang ada pada Ca-Bentonit alam dan Ca-Bentonit teraktivasi H2SO4 1 M yang disajikan dalam bentuk spektra dengan alat uji spektrofotometer FTIR. karakterisasi FTIR bertujuan untuk mengetahui gugus fungsional yang ada pada Ca-Bentonit alam dan Ca-Bentonit teraktivasi H2SO4 1 M yang disajikan dalam bentuk spektra pada Gambar II.2. Gambar II.2 Spektra FTIR: (a) Ca-Bentonit alam dan (b) Ca-Bentonit teraktivasi H2SO4 1 M (Hidayat dan Nugraha, 2018) II.6 Pengujian Microwave Plasma Atomic Emission Spectrometer (MP-AES) DAFTAR PUSTAKA Aziz M. (2009): Ruang lingkup penelitian pengolahan dan pemanfaatan mineral dalam menunjang prioritas kebutuhan nasional, Jurnal Bahan Galian Industri, 5, 1–14. Barleany D.R., Hartono R., dan Santoso. (2011): Pengaruh Komposisi Montmorillonite Pada Pembuatan Polipropilen-Nanokomposit Terhadap Kekuatan Tarik dan Kekerasannya, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Keujangan”, Yogyakarta, Indonesia, Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia ed., 1-6. Buckle K.A., Edwards R.A., Fleet G.H., dan Wooton M. (1987): Ilmu Pangan, 161-189 dalam Buckle K.A., 1st ed., Tapioka, 365 hal, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Damanik M.M.B., Efend B., Fauzi B., dan Sarifuddin, Hanum H. (2011): Kesuburan Tanah Dan Pemupukan, USU Press, Medan, 40 hal. Fatimah S. (2018): Pemberian Abu Sekam Dan Pupuk Kalium: Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai Pada Regosol, Skripsi, Universitas Mercu Buana. Hidayat M.T., dan Nugraha I. (2018): Kajian Kinerja Ca-Bentonit Kabupaten Pacitan-Jawa Timur Teraktivasi Asam Sulfat Sebagai Material Lepas Lambat (Slow Release Material) Pupuk Organik Urin Sapi, Indonesian Journal of Materials Chemistry, 1, 27-37. Hindrayawati N., dan Alimuddin. (2010): Sintetis dan Karakterisasi Silika Gel Dari Abu Sekam Padi Dengan Menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH), Jurnal Kimia Mulawarman, 7, 75-77. Kosim H., Arita S., dan Hermansyah. (2015): Pengurangan kadar ammonia dari limbah cair pupuk urea dengan proses adsorpsi menggunakan adsorben bentonite, Jurnal Penelitian Sains, 2, 66–71. Musnamar E.I. (2003): Pupuk Organik Padat: Pembuatan Dan Aplikasinya, Penebar Swadaya, Jakarta. Nawangratri A.Z., dan Khairudin., Purnawan C. (2017): Pengaruh Berbagai Tipe Tanah Lempung Pada Karakteristik Komposit Kanji, Artikel, Universitas Sebelas Maret. Novizan. (2005): Petunjuk Pemupukan Yang Efektif, Agro Media Pustaka, Jakarta, 114 hal. Nurhayati H. (2010): Pemanfaatan Bentonit Teraktivasi Dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu, Skripsi, Universitas Sebelas Maret. Oluwaseyi A. M., (2016): Application of Dietary Bentonite Clay as Feed Additive on Feed Quality, Water Quality and Production Performance of Catfish (Clarias gariepinus), Faculty of Agriscience, Stellenbosch University. Prasetiowati Y., dan Koestiari T. (2014): Kapasitas Adsorpsi Bentonit Teknis Sebagai Adsorben Ion Cd2+, UNESA Journal of Chemistry, 3, 194-200. Putra I., dan Hanum H. (2018): Kajian Antagonisme Hara K, Ca, Dan Mg Pada Tanah Inceptisol yang Diaplikasi Pupuk Kandang, Dolomit Dan Pupuk KCl Terhadap Pertumbuhan Jagung Manis (Zea Mays Saccharata L.), Journal Of Islamic Science and Technology, 4, 23-44 Rahman A.D. (2007): Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut, Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Rodiawan, Suhdi, dan Rosa F. (2016): Analisa Sifat-Sifat Serat Alam Sebagai Penguat Komposit Ditinjau Dari Kekuatan Mekanik, Jurnal Teknik Mesin, 5, 39-43. Seredych M.A., Tamashausky A.V., dan Bandosz T.J. (2008): Surface features of exfoliated graphite/bentonite composites and their importance for ammonia adsorption, 46, 1241–1252. Sudrajat A., Haryadim D.P.H.,Arifin M., Suhendar R.S., Mandalawanto T.S.Y., dan Suhala S. (1997): Bahan Galian Industri, 10-124 dalam Arfin, M. dan Sudrajat, A., TitanIsys ed., Bentonit, 348 hal, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung. Tang X., dan Alavi S. (2008): Barrier And Mechanical Propoperties Of StrachClay Nanocomposite Films, Cereal Chemistry, 85, 433-439 Trenkel M.E. (1997): Controled Release And Stabilized Fertilizer In Agriculture, IFA Press, Germany.