LAPORAN TUTORIAL A BLOK 26 TAHUN 2020 KELOMPOK B3 Tutor: dr. Hardians K.P, SpOG Anggota: Havivi Rizky Adinda (04011181722005) Winni Indah Putri (04011181722011) Ikhsan Nurhaliq Hanafi (04011181722013) Fafirra Lailfasha (04011181722035) Afiahana Andatia (04011181722045) Fathia Daffa Putri (04011181722047) M Fariz Al Hakim (04011281722075) Cipta Jaya Setiawan (04011281722077) Ridho Ilham Fajri (04011281722079) Siti Shafa Indah Safira (04011281722103) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA KATA PENGANTAR Puji Syukur selalu kami curahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Skenario A Blok 25 Tahun 2020” ini dengan baik sebagai tugas kelompok. Terima kasih juga kami ucapkan kepada tutor yang telah membimbing kami selama tutorial, semua teman sekelompok, dan semua pihak yang terkait dalam penyelesaian laporan tutorial ini. Kami menyadari bahwa dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan. Karena itulah kami mengharapkan kritik dan saran dari tutor maupun pembaca lain yang bersifat membangun supaya ke depannya laporan tutorial ini dapat menjadi lebih baik lagi, baik dari segi sistematika, penulisan, ataupun yang lain-lain. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk membuka wawasan yang lebih luas lagi. Semoga kita selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin. Palembang, September 2020 Kelompok B3 DAFTAR ISI Kata Pengantar…………………………………………………………………… 2 Daftar Isi………………………………………………………………………… 3 Skenario………………………………………………………………………… 4 I. Klarifikasi Istilah……………………………………………………… II. Identifikasi Masalah…………………………………………………… III. Analisis Masalah…………………………………………………… IV. Learning Issues……………………………………………………… V. Sintesis……………………………………………………………… VI. Kerangka Konsep…………………………………………………… VII. Kesimpulan…………………………………………………………. Daftar Pustaka…………………………………………………………………… SKENARIO Tn. Agus, 30 tahun, seorang buruh bangunan, sedang menyelesaikan pekerjaan di lantai 2 tibatiba terjadi kebakaran dilantai tersebut, dan api menyambar muka dan lengan Tn. Agus, Tn. Agus kemudian menyelamatkan diri dengan cara melompat dari lantai 2. Tn. Agus terjatuh dengan panggul kiri membentur benda keras. Lengan kanan dan kiri mengalami luka bakar dan terasa nyeri. Tn. Agus juga mengeluh nyeri di panggul kiri dan paha kiri atas. 15 menit kemudian ia dibawa ke UGD RS tipe C dalam keadaan sadar dan mengeluh suaranya menjadi parau dan waktu batuk keluar dahak berwarna kehitaman. Menurut istrinya, berat badan Tn. Agus 60 Kg. Hasil Pemeriksaan Dokter di UGD Pemeriksaan Fisik: Primary Survey: • Airway: bisa berbicara parau, terdapat sputum berwarna kehitaman (carbonaceous sputum) • Breathing: RR 26x/menit, suara napas kanan dan kiri vesikuler, bunyi jantung tidak menjauh • Circulation: Tekanan darah 100/60 mmHg, Nadi 114x/menit, ekstremitas terlihat pucat dan teraba dingin, sumber perdarahan tidak tampak. • Setelah dokter melakukan penatalaksanaan berupa tindakan terhadap airway dan sirkulasi didapatkan: TD 110/70 mmHg, nadi 100x/menit. • Disability: membuka mata secara spontan, bisa menggerakkan ekstremitas sesuai perintah. Pupil isokor, refleks cahaya (+). • Exposure: § Hematom di daerah panggul dan paha kiri. § Tampak luka bakar pada lengan kanan dan kiri, bullae (+) terasa sakit § Alis dan bulu hidung terbakar. § Suhu: 36,7o C Secondary Survey: • Kepala: § Tidak terdapat jejas • Mata:Alis terbakar • Telinga dan hidung: bulu hidung terbakar • Mulut: terpasang ETT • Leher: dalam batas normal, vena jugularis datar (tidak distensi) • Thoraks: § Inspeksi : tidak ada jejas, frekuensi 26x/menit, gerak nafas simetris. § Palpasi : nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada, stem fremitus sama kanan dan kiri. • • § Perkusi : sonor kanan dan kiri. § Auskultasi : suara paru vesikuler, suara jantung jelas, reguler Abdomen: § Inspeksi :datar § Palpasi : lemas, nyeri tekan (+) dibagian bawah kiri § Perkusi :timpani § Auskultasi : bising usus normal terdengar diseluruh bagian abdomen Pelvis: § Inspeksi: tampak jejas didaerah perut bawah kiri dan panggul kiri § Palpasi: nyeri tekan (+) didaerah panggul kanan dan abdomen kanan bawah o ROM: pergerakan panggul terbatas karena sangat sakit • Genitalia: OUE darah (-), skrotum tidak tampak hematom dan edema • Colok dubur: sphincter ani menjepit, ampula kosong, prostat teraba, tidak teraba tonjolan tulang • Ekstremitas superior : Terdapat luka bakar pada lengan anterior atas dan bawah di bagian kanan dan kiri. • Ditemukan warna kulit kemerahan dan terdapat bullae dan terasa nyeri • Ekstremitas inferior : • Regio Femur sinistra Inspeksi: tampak deformitas, soft tissue swelling. Palpasi : Nyeri tekan, arteri dorsalis pedis teraba • ROM : Aktif terbatas di daerah sendi lutut dan panggul. I. KLARIFIKASI ISTILAH a. Carbonaceous sputum : merupakan sputum berwarna kehitaman yang mengandung karbon dan dihasilkan akibat pembakaran tidak sempurna senyawa organik. b. Jejas : lecet (tergores, luka sedikit, dan sebagiannya) pada kulit. c. Pupil isokor : keadaan dimana kedua pupil sama besar. d. Hematom : kumpulan darah yang abnormal berada diluar pembuluh. e. Bullae : lepuhan yang besar, struktur anatomis yang bulat dan mencuat, ukurannya > 1cm. f. Krepitasi : suara berderak, seperti bila kita menggesekan ujung ujung tulang yang patah. g. Tissue swelling : pembesaran abnormal sementara pada jaringan lunak bukan disebabkan oleh proliferasi sel. h. ETT : endotracheal tube yang merupakan tabung kecil yangdimasukan kedalam trachea melalui mulut atau hidung untuk menjaga menghantarkan oksigen. II. IDENTIFIKASI MASALAH 1. Tn. Agus, 30 tahun, seorang buruh bangunan, sedang menyelesaikan pekerjaan di lantai 2 tiba-tiba terjadi kebakaran dilantai tersebut, dan api menyambar muka dan lengan Tn. Agus, Tn. Agus kemudian menyelamatkan diri dengan cara melompat dari lantai 2. 2. Tn. Agus terjatuh dengan panggul kiri membentur benda keras. Lengan kanan dan kiri mengalami luka bakar dan terasa nyeri. Tn. Agus juga mengeluh nyeri di panggul kiri dan paha kiri atas. 15 menit kemudian ia dibawa ke UGD RS tipe C dalam keadaan sadar dan mengeluh suaranya menjadi parau dan waktu batuk keluar dahak berwarna kehitaman. Menurut istrinya, berat badan Tn. Agus 60 Kg. 3. Pemeriksaan Fisik: Primary Survey: • Airway: bisa berbicara parau, terdapat sputum berwarna kehitaman (carbonaceous sputum) • Breathing: RR 26x/menit, suara napas kanan dan kiri vesikuler, bunyi jantung tidak menjauh • Circulation: Tekanan darah 100/60 mmHg, Nadi 114x/menit, ekstremitas terlihat pucat dan teraba dingin, sumber perdarahan tidak tampak. • Setelah dokter melakukan penatalaksanaan berupa tindakan terhadap airway dan sirkulasi didapatkan: TD 110/70 mmHg, nadi 100x/menit. • Disability: membuka mata secara spontan, bisa menggerakkan ekstremitas sesuai perintah. Pupil isokor, refleks cahaya (+). • Exposure: Hematom di daerah panggul dan paha kiri. Tampak luka bakar pada lengan kanan dan kiri, bullae (+) terasa sakit § Alis dan bulu hidung terbakar. Suhu: 36,7o C. 4. Secondary Survey: • Kepala: Tidat terdapat jejas • Mata: Alist erbakar • Telinga dan hidung: bulu hidung terbakar o Mulut: terpasang ETT • Leher: dalam batas normal, vena jugularis datar (tidak distensi) • Thoraks: § Inspeksi: tidak ada jejas, frekuensi 26x/menit, gerak nafas simetris § Palpasi: nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada, stem fremitus sama kanan dan kiri o Perkusi: sonor kanan dan kiri Auskultasi: suara paru vesikuler, suara jantung jelas, reguler § • • Abdomen: § Inspeksi:datar § Palpasi: lemas, nyeri tekan (+) dibagian bawah kiri § Perkusi:timpani § Auskultasi: bising usus normal terdengar diseluruh bagian abdomen. Pelvis: § Inspeksi: tampak jejas didaerah perut bawah kiri dan panggul kiri § Palpasi: nyeri tekan (+) didaerah panggul kanan dan abdomen kanan bawah. • ROM: pergerakan panggul terbatas karena sangat sakit • Genitalia: OUE darah (-), skrotum tidak tampak hematom dan edema • Colok dubur: sphincter ani menjepit, ampula kosong, prostat teraba, tidak teraba tonjolan tulang . • Ekstremitas superior : Terdapat luka bakar pada lengan anterior atas dan bawah di bagian kanan dan kiri. • Ditemukan warna kulit kemerahan dan terdapat bullae dan terasa nyeri • Ekstremitas inferior : • Regio Femur sinistra • § Inspeksi : tampak deformitas, soft tissue swelling. § Palpasi : Nyeri tekan, arteri dorsalis pedis teraba ROM : Aktif terbatas di daerah sendi lutut dan panggul III. ANALISIS MASALAH 1. Tn. Agus, 30 tahun, seorang buruh bangunan, sedang menyelesaikan pekerjaan di lantai 2 tiba-tiba terjadi kebakaran dilantai tersebut, dan api menyambar muka dan lengan Tn. Agus, Tn. Agus kemudian menyelamatkan diri dengan cara melompat dari lantai 2. a. Apa saja kemungkinan trauma pada kasus? • Trauma musculoskeletal (fraktur femur dan fraktur pelvis) • Trauma inhalasi • Luka bakar b. Apa tatalaksana awal luka bakar yang harus diberikan kepada tuan agus? • Tetap tenang dan jangan panik. • Alirkan air bersih dengan suhu normal ke daerah yang terkena luka bakar. Bila ada bahan kimia alirkan air terus menerus selama 20 menit atau lebih. • Lepaskan pakaian dan perhiasan. Jika pakaian melekat pada luka bakar, gunting pakaian di sekitarnya yang tidak menempel, dan jangan memaksa untuk melepasnya. • Tutup luka bakar, gunakan penutup luka steril (jika ada gunakan kasa steril). • Jangan memecahkan gelembung. • Jangan meniup luka, karena hal ini dapat memindahkan bakteri dari dalam mulut ke luka. • Jangan menggunakan mentega, odol, kecap, kopi, air es atau dedaunan untuk menutup luka. • Minum obat pereda sakit untuk mengurangi rasa nyeri seperti parasetamol. • Segera rujuk ke fasilitas kesehatan. 2. Tn. Agus terjatuh dengan panggul kiri membentur benda keras. Lengan kanan dan kiri mengalami luka bakar dan terasa nyeri. Tn. Agus juga mengeluh nyeri di panggul kiri dan paha kiri atas. 15 menit kemudian ia dibawa ke UGD RS tipe C dalam keadaan sadar dan mengeluh suaranya menjadi parau dan waktu batuk keluar dahak berwarna kehitaman. Menurut istrinya, berat badan Tn. Agus 60 Kg. a. Bagaimana anatomi regio pelvic dan ekstremitas bawah? EKSTRIMITAS BAWAH A. PELVIS Pelvis terdiri dari sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang pipih. Tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan ischium. Ilium terletak di bagian superior dan membentuk artikulasi dengan vertebra sakrum, ischium terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis terletak di bagian inferior-anterior-medial. Bagian ujung ilium disebut sebagai puncak iliac (iliac crest). Pertemuan antara pubis dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut simfisis pubis. Terdapat suatu cekungan di bagian pertemuan ilium-ischium-pubis disebut acetabulum, fungsinya adalah untuk artikulasi dengan tulang femur. Stabilitas yang diberikan SI ligamen posterior harus dapat menahan kekuatan weight-bearing yang ditransmisikan melalui SI ligamen ke ekstremitas bawah. Simfisis berfungsi sebagai penopang saat weightbearing untuk mempertahankan struktur cincin pelvis. Ligamentum posterior SI dibagi menjadi komponen yang pendek dan panjang. Komponen pendek berjalan oblique dari posterior sacrum ke spina iliaca posterior superior dan posterior inferior. Komponen panjang berjalan longitudinal dari aspek lateral sacrum ke spina iliaca posterior superior dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberous. Simfisis pubis terdiri dari 2 permukaan kartilago hialin yang saling berhadapan. Permukaan ini dilingkupi dan dikelilingi oleh jaringan fibrosa yang cukup tebal. Simfisis didorong inferior oleh otot yang berinsersi pada ligamentum arcuatum. Posisi yang paling tebal adalah pada sisi superior dan anterior. Beberapa ligamen berjalan dari spine ke pelvis. Ligamentum iliolumbaris mengamankan pelvis ke vertebra lumbalis. Ligamentum ini berasal dari processus transversus L4 dan L5 dan berinsersi pada posterior dari crista iliaca. Ligamentum lumbosacral berjalan dari processus L5 ke ala sacrum. Ligamentum ini membentuk pegangan yang kuat dan menempel pada akar N.spinalis L5. B. OS FEMUR Os femur Pada bagian proksimal berartikulasi dengan pelvis dan dibagian distal berartikulasi dengan tibia melalui condyles. Di daerah proksimal terdapat prosesus yang disebut trochanter mayor dan trochanter minor, yang dihubungkan oleh garis intertrochanteric. Di bagian distal anterior terdapat condyle lateral dan condyle medial untuk artikulasi dengan tibia, serta permukaan untuk tulang patella. Di bagian distal posterior terdapat fossa intercondylar. C. OS TIBIA Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding dengan fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di mana keduanya merupakan facies untuk artikulasi dengan condyle femur. Terdapat juga facies untuk berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral. Selain itu, tibia memiliki tuberositas untuk perlekatan ligamen. Di daerah distal tibia membentuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal dan malleolus medial D. OS FIBULA Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding dengan tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan tibia. Sedangkan di bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal. E. OSSA PEDIS 1. OSSA TARSAL Tarsal merupakan 7 tulang yang membentuk artikulasi dengan fibula dan di proksimal dan dengan metatarsal di distal.Terdapat 7 tulang tarsal, yaitu calcaneus (berperan sebagai tulang penyanggah berdiri), talus, cuboid, navicular, dan cuneiform (1, 2, 3). 2. OS METATARSAL Metatarsal merupakan 5 tulang yang berartikulasi dengan tarsal di proksimal dan dengan tulang phalangs di distal. Khusus di tulang metatarsal 1 (ibu jari) terdapat 2 tulang sesamoid. 3. OSSA PHALANGES Phalangs merupakan tulang jari-jari kaki.Terdapat 2 tulang phalangs di ibu jari dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada sendi pelana di ibu jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel ibu jari tangan. b. Bagaimana mekanisme suara parau dan batuk berdahak kehitaman? • Terjadi kebakaran (trauma termal) à proses pembakaran à pembakaran tidak sempurna à menghasilkan zat CO à terhirup ke saluran pernapasan à trauma inhalasi à kegagalan fungsi dari mukosiliar à memicu proses inflamasi à pelepasan mediator inflamasi à perubahan mukosa saluran pernapasan à iritasi saluran napas à edema saluran napas atas à obstruksi saluran pernapasan bagian atas à suara parau. • Terjadi kebakaran (trauma termal) à proses pembakaran à pembakaran tidak sempurna à menghasilkan zat CO à terhirup ke saluran pernapasanà trauma inhalasi à respon sel goblet meningkat à peningkatan sekresi mucus à CO bercampur dengan sputum à Carbonaceous sputum. c. Apa saja derajat luka bakar? A. Berdasarkan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan, sebuah luka bakar dapat dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu: 1. Luka bakar superfisial (derajat satu) Luka bakar ini hanya meliputi lapisan kulit paling atas saja (lapisan epidermis). Luka bakar ini biasanya ditandai dengan kemerahan, terasa nyeri akibat ujung saraf sensoris teriritasi, tidak dijumpapai bullae, dan terkadang membengkak. 2. Luka bakar derajat dua (sedikit lebih dalam dari derajat satu) Luka bakar ini meliputi kerusakan lapisan paling luar kulit dan mengganggu lapisan di bawahnya dengan ditandai munculnya gelembung-gelembung yang berisi cairan di bawah kulit, bengkak di sekitar luka, kulit berwarna kemerahan atau bahkan menjadi putih, kulit lembap, dan rusak. Pada tingkatan ini, ciri yang paling khas adalah rasa nyeri yang hebat. 3. Luka bakar derajat tiga Pada luka bakar tingkat ini, lapisan yang terkena luka bakar tidak terbatas, bahkan bisa sampai ke tulang dan organ dalam. Luka bakar ini merupakan tingkat yang paling berat. Biasanya ditandai dengan kulit menjadi kering, pucat atau bahkan putih, namun bisa juga gosong dan hitam. Berbeda dengan derajat satu dan dua, luka bakar derajat tiga ini tidak menimbulkan nyeri. Kedalaman Penyebab Ketebalan Jilatan api, sinar Kering tidak ada Bertambah partial ultra superfisial (terbakar (tingkat I) matahari). Penampilan violet gelembung. oleh Oedem minimal atau tidak ada. Pucat bila ditekan dengan ujung jari, Warna merah. Perasaan Nyeri berisi kembali bila tekanan dilepas. Lebih dalam Kontak dari ketebalan bahan dengan Blister besar dan Berbintikair atau lembab partial bahan padat. (tingkat II) Jilatan api kepada -Superfisia -Dalam pakaian. Jilatan yang bintik langsung kimiawi. kurang jelas, bertambah besar. putih, coklat, dengan ujung jari, bila dilepas Sinar ultra violet. yang ukurannya Pucat bial ditekan Sangat nyeri pink, daerah merah coklat. tekanan berisi kembali. Ketebalan Kontak sepenuhnya bahan cair atau kulit mengelupas. hitam, coklat sedikit sakit. padat. tua. (tingkat III) Nyala api. Kimia. dengan Kering disertai Putih, kering, Tidak sakit, Pembuluh darah seperti arang Hitam. terlihat kulit dibawah yang Merah. Rambut mudah lepas bila dicabut. Kontak dengan mengelupas. arus listrik. Gelembung jarang, dindingnya sangat tipis, tidak membesar. Tidak pucat bila ditekan. B. Berdasarkan lokasi luka bakar dan luas permukaan tubuh yang mengalami luka bakar, terdapat 3 jenis luka bakar: 1. Luka bakar ringan o Luka bakar derajat tiga kurang dari 2% luas, kecuali pada wajah, tangan, kaki, kemaluan, dan saluran napas o Luka bakar derajat dua kurang dari 15% luas o Luka bakar derajat satu kurang dari 50% luas 2. Luka bakar sedang o Luka bakar derajat tiga antara 2%-10% luas, kecuali pada wajah, tangan, kaki, kemaluan, dan saluran napas o Luka bakar derajat dua antara 15%-30% luas o Luka bakar derajat satu lebih dari 50% 3. Luka bakar berat o Semua luka bakar yang disertai cedera pada saluran napas, cedera jaringan lunak, dan cedera tulang o Luka bakar derajat dua atau tiga pada wajah, tangan, kaki, kemaluan, atau saluran napas o Luka bakar derajat dua di atas 10% o Luka bakar derajat dua lebih dari 30% o Luka bakar yang disertai cedera alat gerak o Luka bakar mengelilingi alat gerak d. Bagaimana tatalaksan awal fraktur yang harus diberikan kepada tuan agus? Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Pada anak-anak reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan remodeling. Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri, menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, agar terjadi penyatuan tulang kembali, untuk mengembalikan fungsi seperti semula. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat dilakukan imobilisasi, (tidak menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak dapat pempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksteral, atau fiksasi internal. 3. Pemeriksaan Fisik: Primary Survey: • Airway: bisa berbicara parau, terdapat sputum berwarna kehitaman (carbonaceous sputum) • Breathing: RR 26x/menit, suara napas kanan dan kiri vesikuler, bunyi jantung tidak menjauh • Circulation: Tekanan darah 100/60 mmHg, Nadi 114x/menit, ekstremitas terlihat pucat dan teraba dingin, sumber perdarahan tidak tampak. • Setelah dokter melakukan penatalaksanaan berupa tindakan terhadap airway dan sirkulasi didapatkan: TD 110/70 mmHg, nadi 100x/menit. • Disability: membuka mata secara spontan, bisa menggerakkan ekstremitas sesuai perintah. Pupil isokor, refleks cahaya (+). • Exposure: Hematom di daerah panggul dan paha kiri. Tampak luka bakar pada lengan kanan dan kiri, bullae (+) terasa sakit § Alis dan bulu hidung terbakar. Suhu: 36,7o C. a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik primary survey? Primary Survey Interpretasi Airway: • Bisa berbicara parau • Trauma Inhalasi • Terdapat sputum berwarna kehitaman • Trauma Inhalasi (carbonaceous sputum) Breathing: • RR 26x/menit • Takipneu • Suara napas kanan dan kiri vesikuler • Normal • Bunyi jantung tidak menjauh • Normal Circulation: • Tekanan darah 100/60 mmHg • Hipotensi • Nadi 114x/menit • Takikardia • Ekstremitas terlihat pucat dan teraba • Hipoperfusi jaringan perifer dingin Disability: • Membuka mata secara spontan • Skor GCS: 4 • Bisa menggerakkan ekstremitas sesuai • Skor GCS: 6 perintah • Pupil isokor • Normal • Refleks cahaya (+) • Normal Exposure: • Hematom di daerah panggul dan paha • Ekstravasasi darah ke dalam jaringan kiri. • Tampak luka bakar pada lengan kanan • Luka bakar derajat 2 dan kiri, bullae (+) terasa sakit • Alis dan bulu hidung terbakar. • Indikasi trauma inhalasi • Suhu: 36,7o C • Normal b. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik primary survey? Primary Survey Airway: • Bisa berbicara parau • Terdapat sputum berwarna kehitaman (carbonaceous sputum) Breathing: • RR 26x/menit • Suara napas kanan dan kiri vesikuler • Bunyi jantung tidak menjauh Circulation: • Tekanan darah 100/60 mmHg • Nadi 114x/menit • Ekstremitas terlihat pucat dan teraba dingin Disability: • Membuka mata secara spontan • Bisa menggerakkan ekstremitas sesuai perintah • Pupil isokor • Refleks cahaya (+) Exposure: • Hematom di daerah panggul dan paha kiri. • Tampak luka bakar pada lengan kanan dan kiri, bullae (+) terasa sakit • Alis dan bulu hidung terbakar. • Suhu: 36,7o C c. Apa saja yang harus dilakukan pada primary survey? A. Airway dengan kontrol servikal 1. Penilaian a. Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi) b. Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi 2. Pengelolaan airway a. Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi b. Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid c. Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal d. Pasang airway definitif sesuai indikasi. 3. Fiksasi leher 4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula. 5. Evaluasi B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi 1. Penilaian a. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi b. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan c. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya. d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor e. Auskultasi thoraks bilateral 2. Pengelolaan a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (nonrebreather mask 11-12 liter/menit) b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask c. Menghilangkan tension pneumothorax d. Menutup open pneumothorax e. Memasang pulse oxymeter 3. Evaluasi C. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan 1. Penilaian a. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal b. Mengetahui sumber perdarahan internal c. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera. d. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis. e. Periksa tekanan darah 2. Pengelolaan a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah. c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA). d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat. e. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa. f. Cegah hipotermia 3. Evaluasi D. Disability 1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS 2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tandatanda lateralisasi 3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation. E. Exposure/Environment 1. Buka pakaian penderita 2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat. d. apa saja tanda-tanda syok dan apakah tuan agus mengalami syok? 1) Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensasi dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan refilling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedikit cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam keadaan normal. 2) Syok hipovolemik stadium-II adalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refilling kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas. 3) Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat hingga di atas 120 kali per menit, peningkatan frekuensi nafas hingga di atas 30 kali per menit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refilling kapiler yang sangat lambat. 4) Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali per menit dengan pengisian lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan penurunan kesadaran atau letargi. Selengkapnya stadium dan tanda-tanda klinis pada syok hemoragik dapat dilihat pada tabel di bawah ini. e. Bagaimana tatalaksana awal syok jika tuan agus mengalami syok? 1.Airway dan cervical protection, langsung koreksi jika ada gangguan (pada kasus ini ada gangguan airway) -Airway Jika terdapat sumbatan, harus dibersihkan terlebih dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan jari telunjuk yang dibengkokkan. -Membuka jalan napas Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, lakukan pembebasan jalan napas oleh lidah dengan cara tengadah kepala topang dagu (head tild-chin lift) dan maneuver pendorongan mandibular (jawthrust). Pada kasus ini, dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal untuk membebaskan jalan napas, proteksi servikal dilakukan untuk mencegah kerusakan servikal akibat trauma. o Breathing Jika korban tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung, dan mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan). Jika korban mengalami kesulitan bernapas, berikan Oksigen 10-12 L/menit menggunakan masker non-rebreathing. o Hentikan perdarahan, pada kasus ini perdarahan mungkin terjadi akibat fraktur pelvis dan fraktur femur, maka untuk menghentikan perdarahannya dengan imobilisasi menggunakan pelvic sling atau traksi skeletal (pada fraktur pelvis), imobilisasi dengan hisspica pada posisi fleksi, adduksi, dan rotasi interna (pada dislokasi articulatio sacroiliaca), imobilisasi menggunakan BUCK’s extension traction atau balanced traction (pada fraktur femur). o Cuci luka bakar menggunakan NaCl fisiologis. o Berikan analgesik IV untuk mengurangi rasa nyeri. o Berikan anti tetanus serum 1500 U dan toksoid 3x1 ml. o Berikan obat anti inflamasi. o Berikan antiseptik atau antibakteri topikal dengan silver sulfadiazine pada kulit yang mengalami luka bakar. o Rujuk, ke dokter bedah untuk menangani frakturnya serta luka bakar dan syok hipovolemiknya. 4. Secondary Survey: • Kepala: Tidat terdapat jejas • Mata: Alist erbakar • Telinga dan hidung: bulu hidung terbakar o Mulut: terpasang ETT • Leher: dalam batas normal, vena jugularis datar (tidak distensi) • Thoraks: § Inspeksi: tidak ada jejas, frekuensi 26x/menit, gerak nafas simetris § Palpasi: nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada, stem fremitus sama kanan dan kiri o Perkusi: sonor kanan dan kiri Auskultasi: suara paru vesikuler, suara jantung jelas, reguler § • • Abdomen: § Inspeksi:datar § Palpasi: lemas, nyeri tekan (+) dibagian bawah kiri § Perkusi:timpani § Auskultasi: bising usus normal terdengar diseluruh bagian abdomen. Pelvis: § Inspeksi: tampak jejas didaerah perut bawah kiri dan panggul kiri § Palpasi: nyeri tekan (+) didaerah panggul kanan dan abdomen kanan bawah. • ROM: pergerakan panggul terbatas karena sangat sakit • Genitalia: OUE darah (-), skrotum tidak tampak hematom dan edema • Colok dubur: sphincter ani menjepit, ampula kosong, prostat teraba, tidak teraba tonjolan tulang . • Ekstremitas superior : Terdapat luka bakar pada lengan anterior atas dan bawah di bagian kanan dan kiri. • Ditemukan warna kulit kemerahan dan terdapat bullae dan terasa nyeri • Ekstremitas inferior : • Regio Femur sinistra • § Inspeksi : tampak deformitas, soft tissue swelling. § Palpasi : Nyeri tekan, arteri dorsalis pedis teraba ROM : Aktif terbatas di daerah sendi lutut dan panggul a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik secondary survey? Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi Kepala Tidak terdapat jejas Normal Mata Alis terbakar Trauma inhalasi Telinga dan hidung Bulu hidung terbakar Trauma inhalasi Mulut Terpasang ETT Kemungkinan terjadi gangguan pada airway. Leher Dalam batas normal, vena Normal jugularis distensi) datar (tidak Thorax : tidak ada Frekuensi nafas à Takipnea Inspeksi jejas, frekuensi 26x/menit, gerak nafas simetris. Normal Palpasi : nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada, stem fremitus sama kanan dan kiri. Perkusi : sonor kanan dan kiri. Auskultasi : suara paru vesikuler, suara jantung jelas, reguler Abdomen Inspeksi : datar Nyeri tekan (+) dibagian bawah Palpasi : lemas, nyeri tekan (+) dibagian bawah kiri kiri menandakan terdapat trauma, dalam kasus ini terjadi fraktur dan dislokasi pada area pelvis. Perkusi : timpani Auskultasi : bising usus normal terdengar diseluruh bagian abdomen Pelvis Inspeksi: tampak jejas Terjadi reaksi inflamasi pada didaerah perut bawah kiri daerah trauma (fraktur pelvis dan panggul kiri Palpasi: nyeri dan femur) tekan (+) didaerah panggul kanan dan abdomen kanan bawah. Genitalia OUE darah (-), skrotum tidak Normal tampak hematom dan edema Colok Dubur Sphincter ampula ani kosong, menjepit, Normal prostat teraba, tidak teraba tonjolan tulang Ekstremitas Superior Terdapat luka bakar pada Terdapat luka bakar derajat lengan anterior atas dan II bawah di bagian kanan dan kiri. Ditemukan warna kemerahan dan kulit terdapat bullae dan terasa nyeri Ekstremitas Inferior Regio Femur sinistra Terjadi fraktur pada regio Inspeksi: tampak deformitas, femur sinistra. soft tissue swelling. Soft tissue swelling à terjadi Palpasi : Nyeri tekan, arteri inflamasi dan jaringan lunak. dorsalis pedis teraba ROM Aktif terbatas di daerah sendi Abnormal, lutut dan panggul kerusakan kemungkinan akibat fraktur. b. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan radiologi? No 1. Hasil Pemeriksaan Secondary Survey Interpretasi Foto thoraks AP : dalam batas normal tidak ada trauma pada dada 2. Foto pelvis AP : tampak fraktur ramus Fraktur pelvis dextra dan superior inferior pubis sinistra dan dislokasi dislokasi sendi sacroiliaca (articulation sacroiliaca sinistra) articulatio kiri sacroiliaca sisnitra. 3. Foto femur AP/LAT : tampak fraktur Fraktur femur dextra femur 1/3 proximal transversal,cum contractionum 4. pada saat dipasang kateter: urin keluar Menunjukkan tidak ada jernih sebanyak 50 cc trauma atau obstruksi pada saluran kemih dan keberhasilan resusitasi. c. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik primary survey? - Akibat dari fraktur mengakibatkan fragmen tulang fraktur mencederai daerah sekitar sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menyebabkan pengeluaran mediator inflamasi (histamin dll) oleh sel imun sehingga mediator tersebut mengiritasi ujung-ujung saraf bebas menyebapkan nyeri abdomen, paha dan panggul. Sehingga terjadi ROM. - Akibat dari fraktur mengakibatkan fragmen tulang fraktur mencederai daerah sekitar sehingga terbentuk deformitas - Akibat dari fraktur mengakibatkan fragmen tulang fraktur mencederai daerah sekitar sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menyebapkan peningkatan permiabilitas sehingga terjadi migrasi sel-sel dan cairan dan vaskuler ke jaringan injury sehingga terjadi soft tissue swelling d. Apa saja yang harus dilakukan pada secondary survey? 1. Anamnesis : penting untuk menanyakan mekanisme trauma, tempat kejadian, keadaan sebelum trauma, observasi dan penanganan pra rumah sakit. 2. Pemeriksaan fisik menyeluruh (head to toe) Pada trauma pelvis, perhatikan apakah terdapat pembengkakkan, ekimosis, dan nyeri tekan pada pinggul, selangkang, dan punggunh bagian bawah; periksa spina iliaca anterior posterior; serta periksa kulut, daerah genitalia, anus, dan peritoneum. 3. Adjunct pemeriksaan secondary survey: - Radiografi à foto polos AP lateral (thorax, pelvis, dan femur) Pada foto polos pelvis, lebar symphysis < 5 mm dan terpisah jarak < 2 mm dari rami pubis dextra dan sinistra. Lebar art. sacroiliaca tidak lebih dari 2-4 mm. - Pemeriksaan laboratorium Dilakukan pemeriksaan karboksihemoglobin, pemeriksaan golongan darah, crossmatch, Hb, Ht, platelet, PT/PTT serial. - Pemeriksaan lain : Jika terdapat tanda dan gejala trauma abdomen, serta ada curiga trauma abdomen dapat dilakukan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) karena 47% pasien dengan trauma pelvis juga mengalami cedera abdominal. e. Bagaimana cara pemeriksaan ROM? Pinggul Gerakan Penjelasan Rentang Fleksi Mengerakkan tungkai kedepan dan atas, rentang 90-120° Ekstensi Menggerakan kembali kesamping tungkai rentang 90-120° yang lain Hiperekstensi Menggerakkan tungkai kebelakang tubuh, rentang 30-50° Abduksi Menggerakkan tungkai kesamping rentang 30-50° menjauhi tubuh, Adduksi Menggerakkan tungkai kembali keposisi rentang 30-50° media dan melebihi jika mungkin, Rotasidalam Memutar kaki dan tungkai kearah tungkai rentang 90° lain, Rotasiluar Memutar kaki dan tungkai menjauhi rentang 90° tungkai lain Sirkumduksi Menggerakkan tungkai melingkar - Penjelasan Rentang Lutut Gerakan Fleksi Menggerakkan tumit kearah belakang rentang 120-130° paha, Ekstensi Mengembalikan tungkai ke lantai rentang 120-130° 5. HIPOTESIS Tuan Agus, 30 tahun, buruh bangunan, mengalami luka bakar dan trauma musculoskeletal. a. Bagaimana algoritma penegakaan diagnosis dari luka bakar? Penilaian pasien mulai dengan anamnesis, dan disusul penilaian luas dan dalamnya luka bakar. 1. Anamnesis Riwayat trauma a. Sewaktu menyelamatkan diri dari tempat kebakaran, mungkin terjadi cedera penyerta. Ledakkan dapat melemparkan pasien, mengakibatkan misalnya cedera kepala, jantung, paru-paru/trauma abdomen dan fraktur. b. Catat waktu terjadinya trauma. c. Luka bakar yang terjadi pada ruangan tertutup harus dicurigai terjadinya trauma inhalasi. Anamnesis dari pasien sendiri atau keluarga, juga mencakup a. Riwayat singkat penyakit yang diderita sekarang (seperti diabetes, hipertensi, jantung, paru-paru dan/atau ginjal) dan b. Obat yang sedang dipakai untuk terapi. c. Riwayat alergi dan status imunisasi tetanus. 2. Luas Luka Bakar Grafik Lund-Browder digunakan sesuai dengan umur pasien, mulai 0 – 1 – 5 – 10 – 15 – Dewasa. Gambar 2. Lund-Browder Diagram (Wyatt et al., 2020) 3. Kedalaman Luka Bakar Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui kedalaman luka bakar: a. Kemerahan/campuran b. Bula dan epidermis yang rusak c. Bengkak d. Permukaan basah, berair e. Nyeri f. Sensitif pada udara 1) Pucat, putih, kaku, kemerahan 2) Kulit rusak, tampak jaringan lemak 3) Permukaan kering 4) Tidak nyeri 5) Edema Karakteristik Luka Bakar menurut Derajatnya a. Luka bakar derajat I, mengenai lapisan epidermis, ditandai dengan adanya eritema, nyeri, dan tidak ada bulla. Karena tidak berbahaya dan tidak memerlukan pemberian cairan intravena, luka bakar derajat I selanjutnya tidak akan dibahas. b. Luka bakar derajat II atau partial thickness burns yang mengenai lapisan epidermis dan dermis, ditandai dengan warna kemerahan atau campuran disertai pembengkakan dan bulla. Permukaannya basah, berair serta nyeri hebat meskipun hanya tersapu aliran udara. c. Luka bakar derajat III atau full thickness burns yang mengenai seluruh lapisan kulit (epidermis, dermis, dan subkutan)menyebabkan luka kehitaman dan kaku. Warna kulit bisa terlihat putih seperti lilin, merah sampai kehitaman. Warna kulit merah ini tidak berubah menjadi pucat dengan penekanan, tidak merasa nyeri dan kering b. Bagaimana algoritma penegakaan diagnosis dari trauma musculoskeletal? Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnose fraktur dapat ditegakkan walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan. Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi / look: deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi / feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis c. Apa definisi dari luka bakar? Burn injury atau luka bakar didefinisikan sebagai cidera pada kulit dan jaringan disekitarnya sebagian atau seluruhnya yang dapat disebabkan akibat suhu, bahan kimia, listrik, dan radiasi, salah satu yang paling sering adalah akibat energy panas. d. Apa definisi dari trauma musculoskeletal? Trauma musculoskeletal adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang, e. Bagaimana etiologi luka bakar? Luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi 6 kelompok terpisah berdasarkan mekanisme cedera: luka bakar akibat panas (melepuh), luka bakar akibat kontak langsung dengan benda panas, luka bakar akibat api, akibat bahan kimia, akibat sengatan listrik, dan akibat radiasi. Luka bakar melepuh bisa disebabkan oleh cairan, minyak, atau uap bisa akibat tumpahan atau terendam. Luka bakar api dapat dibagi menjadi luka bakar karena kilatan dan nyala api. f. Bagaimana etiologi trauma musculoskeletal? A. Trauma langsung Trauma langsung ialah trauma yang menyebabkan tekanan langsung pada tulang sehingga terjadi fraktur pada daerah tekanan. Frakur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena trauma yang tiba tiba mengenaii tulang dengan kekuatan dengan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah. B. Trauma tidak langsung Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini jaringan lunak tetap utuh, tekanan membengok yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik. C. Fraktur Patologik Fraktur patologik merupakan kerusakan tulang akibat proses suatu penyakit, seperti: osteoporosis, osteoarthritis, osetomielitis, tumor tulang dan stress pada tulang yang terus menerus. g. Bagaimana epidemiologi luka bakar? Luka bakar masih menjadi masalah besar yang mengancam seluruh kalangan usia, lebih dari 60% pasien luka bakar terjadi dalam kisaran usia produktif, dimana pria lebih sering daripada wanita. 55% disebabkan oleh api, 40% karena air mendidih, dan selebihnya oleh bahan kimia dan listrik h. Bagaimana epidemiologi trauma musculoskeletal? Menurut penelitian pada tahun diperkirakan 150.000 kematian sebagai akibat dari trauma dengan 2,6 juta penderita harus dirawat di rumah sakit dari 37 juta orang yang datang berobat ke Bagian Gawat Darurat akibat trauma dan didominasi oleh kecelakaan naik sepeda motor sebagai penyebab kematian serta merupakan urutan kedua kecelakaan nonfatal. Faktor utama adalah kecepatan kendaraan, pengendara peminum alkohol atau karena intoksikasi obat. Kecelakaan jatuh dari ketinggian akibat memperbaiki atap rumah merupakan faktor utama kecelakaan nonfatal yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit di Amerika, dan di Asia penyebab kematian utama ialah pada trauma karena jatuh dari pohon. Pada umur kurang dari 5 tahun yang datang ke bagian gawat darurat akibat kecelakaan jatuh dari ketinggian; 95% tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada anak diatas 5 tahun umumnya akibat kecelakaan bermain, umur dewasa akibat jatuh dari pekerjaan, dan umur tua (di atas 65 tahun) kecelakaan jatuh merupakan penyebab utama kematian. Kecelakan nonfatal pada orang ini umumya terjadi fraktur pada sendi panggul dan radius distal. Fraktur sendi panggul akan menurunkan kualitas hidup penderita tersebut. i. Bagaimana patofisiologi luka bakar? Cedera luka bakar memicu nekrosis koagulatif pada berbagai lapisan kulit serta jaringan di bawahnya. Gravitasi kerusakan ditentukan oleh energi yang dibawa oleh agen penyebab, mantra pemaparan, selain suhu kulit yang terpapar. Cedera termal dikategorikan berdasarkan etiologi dan kedalaman cedera. Agen penyebab termasuk api, melepuh dan kontak dengan benda panas / dingin. Mereka berkontribusi pada nekrosis koagulatif dengan menginduksi kerusakan jaringan melalui transfer energi. Agen penyebab lainnya termasuk paparan bahan kimia dan konduksi listrik. Selain perpindahan panas, luka bakar kimiawi dan listrik juga menyebabkan kerusakan langsung pada membran sel. Berkat fungsi utamanya sebagai penghalang yang dapat diandalkan yang mengurangi perpindahan panas ke jaringan di bawahnya, kulit biasanya membatasi penyebaran kerusakan ke lapisan dalam; namun, cedera jaringan di bawahnya masih terjadi akibat respons jaringan lokal. Ada tiga metode perpindahan panas yang berbeda: konduksi, konveksi, dan radiasi. Metode transfer panas yang paling sederhana adalah konduksi, yang terjadi ketika benda padat panas bersentuhan langsung dengan kulit. Perpindahan panas di dalam kulit dipengaruhi oleh konduktivitas termal dari bahan yang dipanaskan, area di mana panas ditransfer, dan gradien suhu di dalam bahan tersebut. Kandungan air, minyak alami atau sekresi kulit, dan adanya bahan isolasi (misalnya, lapisan keratin kulit yang terkornifikasi) mempengaruhi konduktivitas jaringan. Selain itu, perubahan aliran darah jaringan lokal menghasilkan efek yang besar pada perpindahan panas dan distribusi. Ketidakmampuan untuk menghantarkan panas dari titik kontak secara efisien menyebabkan berbagai tingkat cedera jaringan. Karena kulit adalah konduktor panas yang relatif buruk, kulit menjadi penghalang yang luas untuk cedera akibat panas 1. Respon lokal Segera setelah cedera, luka bakar dapat dibagi menjadi tiga zona: zona koagulasi (dengan kerusakan terbesar di bagian tengah); zona stasis atau zona iskemia (ditandai dengan penurunan perfusi yang berpotensi dapat diselamatkan); dan zona hiperemia (daerah terluar luka yang ditandai dengan peningkatan vasodilatasi inflamasi). Derajat cedera seluler bervariasi tergantung pada zona cedera dan mencakup spektrum dari autofagi seluler langsung dalam 24 jam pertama setelah cedera, apoptosis onset tertunda 24-48 jam setelah cedera luka bakar dan adanya stres oksidatif reversibel. Penyembuhan alami luka ini melibatkan fase dinamis dan tumpang tindih yang mencakup fase inflamasi, yang dimulai oleh neutrofil dan monosit yang menuju ke lokasi cedera melalui vasodilatasi lokal. a. Zona koagulasi: Zona pusat koagulasi memiliki kontak paling dekat dengan sumber panas. Ini terdiri dari sel-sel mati (kehilangan jaringan secara ireversibel) akibat nekrosis koagulasi dan aliran darah tidak ada. Biasanya tampak putih atau hangus b. Zona statis: Zona antara stasis biasanya berwarna merah dan dapat memucat karena tekanan, tampak memiliki sirkulasi yang utuh; namun, setelah 24 jam, sirkulasi melalui pembuluh superfisialnya sering berhenti. Mungkin ada perdarahan petekie. Pada hari ketiga, zona antara stasis menjadi putih karena dermis superfisialisnya bersifat avaskular dan nekrotik. Sehingga sering disebut dengan area hipoperfusi yang terkadang masih bisa diselamatkan. Pada area ini adalah target utama resusitasi untuk meningkatkan perfusi dan mencegah kerusakan baru yang ireversibel. Apabila keadaan hipotensi berlanjutan, infeksi, ataupun edema terjadi maka area ini bisa rusak ireversibel akibat proses iskemia yang terjadi. Kerusakan yang ireversibel ditandai dengan luka yang lebih dalam dan lebar (luka bakar ketebalan penuh) c. Zona hyperemia: Zona terluar yaitu zona hyperemia adalah zona berwarna merah yang memucat karena tekanan, menandakan sirkulasi yang utuh. Pada hari keempat, zona ini memiliki warna merah yang lebih pekat. Penyembuhan hadir pada hari ketujuh. Kecuali apabila terdapat sepsis berat atau hipoperfusi berkepanjangan. Haemostasis terjadi segera setelah cedera dan melibatkan vasokonstriksi, aktivasi dan agregasi platelet, dan pelepasan faktor pembekuan dan pertumbuhan (seperti faktor pertumbuhan yang diturunkan dari platelet (PDGF), faktor pertumbuhan epidermal (EGF) dan transformasi faktor pertumbuhan-β (TGFβ)) oleh trombosit, keratinosit, makrofag, dan fibroblas, mengakibatkan pengendapan bekuan fibrin di tempat cedera, yang berfungsi sebagai matriks sementara untuk tahap penyembuhan selanjutnya. Monosit (dan makrofag) dan neutrofil direkrut ke lokasi cedera karena vasodilatasi lokal dan memulai fase inflamasi. Peradangan dimulai dalam 24 jam setelah cedera dan berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan tergantung pada tingkat keparahan cedera. Fase inflamasi ini secara alami berfungsi untuk menurunkan jaringan nekrotik dan memulai aliran sinyal yang diperlukan untuk perbaikan luka. Mengikuti respons inflamasi, aktivasi keratinosit dan fibroblas melalui berbagai sitokin dan faktor pertumbuhan membantu mengantarkan fase proliferasi yang bertujuan untuk memulihkan perfusi vaskular dan lebih lanjut meningkatkan penyembuhan luka. Fase terakhir penyembuhan melibatkan renovasi luka, di mana kolagen dan elastin disimpan dan secara terus menerus mengubah fibroblas menjadi miofibroblas. Seiring waktu, keseimbangan yang halus antara kontraksi myofibroblast dan reepitelisasi menentukan kualitas dan kelenturan luka yang diperbaiki, dan menentukan luasnya pembentukan bekas luka, yang ditandai dengan malposisi fibrosa dari serat kolagen. Secara umum, respons penyembuhan kompleks ditujukan untuk regenerasi dermal dan epidermal dengan tujuan memulihkan penutupan pelindung kulit serta kelenturan dan fungsionalitas kulit. Namun, luka bisa sembuh dengan bekas luka abnormal yang khas aktif, merah, gatal, nyeri dan menodai - disebut bekas luka hipertrofi atau keloid. 2. Respon sistemik Pada pasien yang luka bakarnya melebihi 30% dari TBSA atau setidaknya 15-30% dari TBSA, sitokin dan mediator lain dilepaskan di wilayah lesi yang berakibat ke sirkulasi sistemik, menyebabkan respon inflamasi sistemik. a. Perubahan kardiovaskular: Karena pembuluh pada jaringan yang terbakar menunjukkan peningkatan permeabilitas vaskular, maka terjadi ekstravasasi cairan ke dalam jaringan yang terbakar. Hipovolemia adalah konsekuensi langsung dari kehilangan cairan ini, yang menyebabkan penurunan perfusi dan pengiriman oksigen. Pada pasien dengan luka bakar serius, pelepasan katekolamin, vasopresin, dan angiotensin menyebabkan vasokonstriksi perifer dan splanknikus yang dapat mengganggu perfusi organ. Kontraktilitas miokard juga dapat dikurangi dengan pelepasan TNF alfa. Akibat banyaknya cairan yang keluar dari intravascular, maka terjadilah hipotensi sistemik dan berujung pada hipoperfusi organ lalu dehidrasi. b. Perubahan respiratorik: Penurunan fungsi paru dapat terjadi pada pasien luka bakar berat tanpa bukti adanya cedera pernafasan akibat bronkokonstriksi yang disebabkan oleh faktor humoral, seperti histamin, serotonin, dan tromboksan A2. Penurunan komplains paru-paru dan jaringan adalah manifestasi dari penurunan fungsi paru ini. Kulit yang terbakar menunjukkan peningkatan penguapan air yang terkait dengan kehilangan panas bersamaan, yang dapat menyebabkan hipotermia dan dapat menyebabkan RDS. c. Perubahan metabolic: Proporsi yang signifikan dari morbiditas dan mortalitas luka bakar parah disebabkan oleh respon hipermetabolik berikutnya. Respon ini dapat berlangsung selama satu tahun setelah cedera dan berhubungan dengan gangguan penyembuhan luka, peningkatan risiko infeksi, erosi massa tubuh tanpa lemak, gangguan rehabilitasi, dan keterlambatan integrasi pasien luka bakar ke dalam masyarakat. j. Bagaimana patofisiologi trauma musculoskeletal? Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang. k. Bagaimana klasifikasi luka bakar? Luka bakar derajat satu adalah cedera superfisial yang terbatas pada epidermis dan ditandai dengan kemerahan, hipersensitivitas, nyeri, dan tidak ada pengelupasan kulit. Luka bakar derajat dua melibatkan epidermis dan sebagian dermis. Kulit mungkin merah dan melepuh, basah, berair atau lebih putih, namun edematous. Kelangsungan hidup dermis yang terluka dan pelengkap epidermis yang terkait berada dalam bahaya kecuali kondisi optimal untuk pelestarian elemen-elemen ini dapat dipertahankan. Luka bakar dengan ketebalan penuh/full thickness (luka bakar derajat tiga) melibatkan penghancuran seluruh ketebalan epidermis dan dermis, termasuk pelengkap kulit. Cedera ini menghasilkan tampilan kulit yang keputihan atau hangus dan pembuluh darah yang menggumpal terkadang terlihat. Jaringan kulit yang terbakar dengan penampilan yang kering dan kasar disebut “eschar”. Meskipun area luka bakar ketebalan penuh tidak tampak edema, cairan sub-eschar dapat berkembang. Luka Bakar Tingkat Keempat. Luka yang menembus di bawah kulit ke dalam lemak subdermal diklasifikasikan sebagai luka bakar derajat empat. Luka bakar ini juga memiliki eschar di permukaannya, tetapi adanya pembuluh darah subdermal yang terkoagulasi, dan kadang-kadang bentuk luka berlekuk dibandingkan dengan kulit yang berdekatan menunjukkan keterlibatan di bawah lapisan dermal. Cedera yang lebih dalam yang melibatkan fasia, otot dan / atau tulang yang mendasari digambarkan sebagai "dengan kehilangan jaringan dalam". Dampak fisiologis dari luka bakar sebanding dengan luas permukaan tubuh yang terkena luka bakar derajat dua, tiga, dan empat. Derajat berdasarkan derajat TSBA 1. Luka bakar ringan Kriteria luka bakar ringan: a. TBSA =15% pada dewasa b. TBSA =10% pada anak c. Luka bakar full-thickness dengan TBSA =2% pada anak maupun dewasa tanpa mengenai daerah mata, telinga, wajah, tangan, kaki, atau perineum. 2. Luka bakar sedang Kriteria luka bakar sedang: a. TBSA 15–25% pada dewasa dengan kedalaman luka bakar full thickness <10% b. TBSA 10-20% pada luka bakar partial thickness pada pasien anak dibawah 10 tahun dan dewasa usia diatas 40 tahun, atau luka bakar full-thickness <10% c. TBSA =10% pada luka bakar full-thickness pada anak atau dewasa tanpa masalah kosmetik atau mengenai daerah mata, wajah, telinga, tangan, kaki, atau perineum 3. Luka bakar berat Kriteria luka bakar berat: a. TBSA =25% b. TBSA =20% pada anak usia dibawah 10 tahun dan dewasa usia diatas 40 tahun c. TBSA =10% pada luka bakar full-thickness d. Semua luka bakar yang mengenai daerah mata, wajah, telinga, tangan, kaki, atau perineum yang dapat menyebabkan gangguan fungsi atau kosmetik. e. Semua luka bakar listrik f. Semua luka bakar yang disertai trauma berat atau trauma inhalasi g. Semua pasien luka bakar dengan kondisi buruk l. Bagaimana klasifikasi trauma musculoskeletal? Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion, delayed union, nounion dan infeksi tulang. Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi. Tipe I: luka kecil kurang dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat tandatanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel, tranversal, oblik pendek atau komunitif. Tipe II: laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan jaringan. Tipe III: terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe lagi tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah, tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan lunak, tulang tidak dapat di tutup jaringan lunak dan tipe IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera. Menurut Apley Solomon fraktur diklasifikasikan berdasarkan garis patah tulang dan berdasarkan bentuk patah tulang. Berdasarkan garis patah tulangnya: greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok, transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang, spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang, obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tulang. Berdasarkan bentuk patah tulangnya, komplet, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen tulang biasanya tergeser, inkomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang, fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang lain avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligament, communited (segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian. simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh, fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat yang patah, fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal, fraktur komplikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang terlihat. Berdasarkan lokasinya fraktur dapat mengenai bagian proksimal (plateau), diaphyseal (shaft), maupun distal. Berdasarkan proses osifikasinya, tulang panjang tediri dari diafisis (corpul/shaft) yang berasal dari pusat penulangan sekunder. Epifisis, terletak di ujung tulang panjang. Bagian dari diafisis yang terletak paling dekat dengan epifisis disebut metafisis, yaitu bagian dari korpus yang melebar. Fraktur dapat terjadi pada bagian-bagian tersebut. m. Bagaimana manifestasi klinik luka bakar? Kedalaman dan Bagian penyebab kulit Gejala Penampilan luka luka yang terkena Perjalanan kesembuhan bakar Derajat satu Epidermis (superfisial): Kesemutan, Memerah, menjadi Kesembuhan hiperestesia putih ketika ditekan lengkap dalam tersengat (supersensivi minimal atau tanpa waktu matahari, tas), terkena api rasa edema satu minggu, nyeri mereda terjadi dengan jika pengelupasan intensitas rendah didinginkan kulit Derajat-dua Epidermis dan Nyeri, Melepuh, dasar luka Kesembuhan (partial- bagian dermis hiperestesia, berbintik-bintik sensitif merah, terhadap retak, thickness): tersiram air mendidih, udara terbakar oleh dalam epidermis 2-3 waktu minggu, permukaan pembentukan yang luka basah, terdapat parut dingin edema nyala api dan depigmentasi, infeksi dapat mengubahnya menjadi derajat-tiga Derajat-tiga Epidermis, Tidak terasa Kering, luka bakar Pembentukan (full- keseluruhan nyeri, syok, berwarna thickness): dermis terbakar api, dan hematuria nyala kadang-kadang terkena jaringan (adanya darah dalam retak dengan bagian , pembentukan urin) dalam waktu kemungkina yang lama, n listrik arus seperti bahan kulit diperlukan atau gosong, kulit pencangkokan cairan mendidih subkutan tersengat putih eskar, dan lemak yang tampak, parut hilangnya kontur serta hemolisis fungsi kulit, (destruksi sel hilangnya jari darah tangan merah), ekstrenitas kemungkina dapat terjadi n pula terdapat edema dan terdapat luka masuk dan keluar atau (pada luka bakar listrik) n. Bagaimana manifestasi klinik trauma musculoskeletal? Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien dengan fraktur adalah Pemeriksaan rontgen dengan tujuan untuk menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma. Scan tulang (fomogram, scan CT / MRI) untuk memperlihatkan fraktur dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak. Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat (hemo konsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple) Hb, leukosit, LED, golongan darah dan lain-lain. o. Bagaimana pemeriksaan penunjang luka bakar? Menurut Doenges M.E (2000) pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah : 1. Hitung darah lengkap : Peningkatan Hematokrit menunjukkan hemokonsentrasi sehubungan dengan perpindahan cairan. Menurutnya Hematokrit dan sel darah merah terjadi sehubungan dengan kerusakan oleh panas terhadap pembuluh darah. 2. Leukosit akan meningkat sebagai respon inflamasi 3. Analisa Gas Darah (AGD) : Untuk kecurigaan cidera inhalasi 4. Elektrolit Serum. Kalium meningkat sehubungan dengan cidera jaringan, hipokalemia terjadi bila diuresis. 5. Albumin serum meningkat akibat kehilangan protein pada edema jaringan 6. Kreatinin meningkat menunjukkan perfusi jaringan 7. EKG : Tanda iskemik miokardial dapat terjadi pada luka bakar 8. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar selanjutnya. p. Bagaimana pemeriksaan penunjang trauma musculoskeletal? A. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi. Teknik khusus membaca pemeriksaan radiologi, yaitu: 1. Tomografi yang berfungsi untuk melihat kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga. 2. Myelografi yang dapat menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. 3. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. 4. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. B. Pemeriksaan Laboratorium 1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat 3. Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang 4. Hematokrit dan leukosit akan meningkat C. Pemeriksaan lainnya 1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. 2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi. 3. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. 4. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. 5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. 6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. q. Bagaimana tatalaksana luka bakar? 1. Dalam 24 jam pertama Prinsip-prinsip Primary Survey dan Secondary Survey pada trauma (ATLS) dan resusitasi secara simultan harus diterapkan. 2. Setelah 24 jam pertama Luas luka bakar dikalkulasi menggunakan rule of nines. Jika memungkinkan timbang berat badan pasien atau tanyakan saat anamnesis. Data-data ini sangat diperlukan untuk menghitung menggunakan formula resusitasi cairan yaitu Parkland formula. Perhitungan kebutuhan cairan dilalukan pada waktu pasien mengalami trauma luka bakar, bukan saat pasien datang. Disarankan menggunakan cairan RL, 50% total perhitungan cairan dibagi menjadi 2 tahap dalam waktu 24 jam pertama. Tahap I diberikan 8 jam dan tahap 2 diberikan 16 jam setelahnya. Cairan harus diberikan menggunakan 2 jalur IV line (ukuran 16 G untuk dewasa), diutamakan untuk dipasang pada kulit yang tidak terkena luka bakar. Penggunaan yang cukup popular dan direkomendasikan yaitu cairan Ringer Lactate (RL) yang mengandung 130 meq/L sodium. d. Jalur pemberian cairan Rute oral, dengan larutan-garam-seimbang dapat diberikan jika peralatan untuk resusitasi formal (intravena) terbatas, tidak lupa untuk memperhatikan kondisi saluran cerna pasien. Resusitasi dengan rute oral dapat dilakukan juga pada TBSA < 20% (17). Cairan rumatan harus diberikan pada pasien anak sebagai tambahan, diluar dari perhitungan cairan awal yang berdasarkan KgBB dan % TBSA. e. Monitor kecukupan cairan dan elektrolit Pemantauan 1) Lakukan pemantauan intake dan output setiap jam 2) Lakukan pemantauan gula darah, elektrolit Na, K, Cl, Hematokrit, albumin Urine Output (UO) harus dipertahankan dalam level 0.5-1.0 ml/kgBB/jam pada dewasa dan 1.0-1.5 ml/kgBB/jam pada anak untuk menjaga perfusi organ. Lakukan pemeriksaan diagnosis laboratorium: Darah perifer lengkap, analisis gas darah, elektrolit serum, serum lactate, albumin, SGOT, SGPT, Ureum/ Creatinin, glukosa darah, urinalisa, dan foto toraks. Asidosis yang jelas (pH <7.35) pada analisis gas darah menunjukkan adanya perfusi jaringan yang tidak adekuat yang menyebabkan asidosis laktat, maka harus dilakukan pemantauan hemodinamik dan titrasi cairan resusitasi/jam jika diperlukan, sampai tercapai target Urine Output (UO) harus dipertahankan dalam level 0.5-1.0 ml/kgBB/jam pada dewasa dan 1.0-1.5 ml/kgBB/jam pada anak. Hemoglobinuria: kerusakan jaringan otot akibat termal trauma listrik tegangan tinggi, iskemia menyebabkan terlepasnya mioglobin dan hemoglobin. Urine yang mengandung hemochromogen ini berupa warna merah gelap. Ringkasan resusitasi cairan pada luka bakar: r. Bagaimana tatalaksana trauma musculoskeletal? Manajemen Tujuan tindakan setiap penderita trauma pada umumnya adalah life saving dan life limb dalam art memaksimalkan survival penderita, dan save joint agar outcome fungsinya tercapai optimal juga. Kebutuhan oksigen penderita adalah prioritas utama dan sangat diperlukan secepatnya sebagai save life, bila ini tidak tercapai maka kerusakan otak penderita menjadi irreversible. Oleh karena itu tindakan memperbaiki jalan napas, respirasi penderita dan sirkulasi darah yang akan mendistribusi oksigen ke organ-organ atau ke jaringan perifer merupakan tindakan utama dan sangat diperlukan ( ABC / air way, breathing dan circulation). 1. Jalan Napas (Air way) Jalan napas di mulai dari hidung dan mulut sampai ke paru-paru penderita. Jalan inilah yang perlu Anda kontrol dengan melakukan pemasangan endotracheal intubation bila ada obstruksi, atau kemungkinan terjadi hambatan seperti edema di leher. Ketrampilan pemasangan tube tersebut perlu Anda punyai dan perlu diingat banwa penderita dalam keadaan koma selalu dipikirkan trauma servikal sampai pada pemeriksaan sekunder tidak terbukti. Artinya pemasangan endotracheal tersebut kepaia dan leher penderita harus diimobilisasi dengan collar brace atau bantalan pasir yang diletakkan kanan-kiri leher penderita. 2. Pernafasan (Breathing) Trauma pada torak yang menimbulkan, hemotorak, pneumotorak, flail chest atau fraktur tulang iga ( fraktur kosta ) akan mengakibatkan penurunan ventilasi. Gangguan difusi oksigen di paru-paru karena berkurangnya fungsi paru-paru atau menurunkan frekuensi respirasi karena ada rasa nyeri. Oleh karena itu yang perlu Anda pikirkan adalah melakukan evakuasi pneumotorak dengan memasang WSD ( water seal drainage ), menutup luka pada flail chest dan stabilisasi floating segmenfdinding torak tersebut. 3. Sirkulasi (Circulation) Berkurangnya jumlah oksigen di perifer akibat gangguan distribusi / sirkulasi akan mengakibatkan sok Pulsus penderita akan melemah, kecil sampai tidak teraba, palltor, kulit terasa dingin, dan berkeringat. Permulaan penderita gelisah sampai tidak sadar. Periu Anda ketahui bahwa adanya takhikardi seperti denyut nadi lebih dan 120 permenit pada penderita dewasa, anak-anak dua kali lipat dan orang dewasa merupakan tanda awal akan terjadinya sok. Penyebab sok pada trauma umumnya akibat perdarahan. Perdarahan ekstemal Anda harus menghentikan perdarahan tersebut dengan bebat menekan pada survei awal ( primary survey ). Jangan melakukan pengikatan atau alat hemostat untuk hal tersebut. Bila tidak ada perdarahan ekstemal maka Anda memikirkan perdarahan internal yang biasanya perdarahan di rongga pelvis, abdomen atau rongga torak. Tapi pada fraktur tertutup seperti fraktur femur atau fraktur terbuka dapat menimbulkan sok. Resusitasi: Ketiga tindakan diatas, jalan napas, pernafasan dan sirkulasi disebut resusitasi yang dikerjakan pada survei awal sehingga objektifnya adalah mempertahan dan menjamin akan kebutuhan oksigen penderita. Setelah jalan napas terjamin dan ventilasi 100% telah dimulai maka dilakukan resusitasi cairan dengan memasang infus jarum nomer 16 atau lebih besar lagi secara intravenous. Bila terjadi kesukaran pada anak-anak dapat menggunakan kanalis medularis tibia atau femur. Penderita hipotensi dan takhikardi diberikan cairan laktat 2 liter ( 20 ml/kg berat badan untuk anak-anak ) secepat mungkin. Bila vital sign terkoreksi baik maka cairan perinfus dipertahankan, tapi bila tidak terkoreksi maka ditambah lagi 2 liter dan tranfusi darah harus segera dipikirkan. Tatalaksana • Emergency 1. ABC/ ATLS 2. RICE (Sprain-strain) 3. Splinting 4. C-clamp 5. fasciotomy (compartment syndrome) 6. tourniquet (kontroversi) • Definitif 1. ORIF 2. OREF 3. Tendon, nerve and vascular anastomosis • splinting/pembidaian 1. mengurangi nyeri 2. mencegah kerusakan lanjut 3. mengontrol perdarahan s. Bagaimana komplikasi trauma musculoskeletal? A. Sindrom kompartemen Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen. Gips yang ketat atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan sensasi kesemutanatau rasa terbakar (parestesia) pada otot. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu: 1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. 2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut. 3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi) 4. Parestesia (rasa kesemutan) 5. Paralisis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom. B. Fraktur Pelvis Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan oleh fraktur sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang membuka pelvic ring akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek sistem, arteri iliakainterna (trauma kompresi anterior-posterior). Rongga pelvis terdapat organ-organ seperti vesika urinaria, bagian distal traktus digestivus, pleksus pudendus, arteria iliaka, saraf skiatik dan lain sebagainya. Pada trauma energi berat akan mengakibatkan fraktur pelvis dengan komplikasi perdarahan disamping trauma di organ lain. Darah dapat tertimbun dalam rongga tersebut akibat perdarahan dan tulang pelvis atau akibat tusukan fragmen sehingga terjadi robekan pembuluh darah. Tanda klinis yang paing penting adalah adanya pembengkakan atau hematom yang progresif pada daerah panggul, skrotum dan perianal. Tandatanda trauma pelvic ring yang tidak stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah pelvik (terutama daerah perineum, rectum atau bokong), high riding prostate (prostate letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan didapatkannya instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari pelvic ring diperiksa dengan manipulasi manual dari pelvis. Petunjuk awalnya adalah dengan ditemukannya perbedaan panjang tungkai atau rotasi tungkai (biasanya rotasi eksternal) tanpa adanya fraktur pada ekstremitas tersebut. Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan memerlukan penghentian perdarahan dan resusitasi cairan dengan cepat. Penghentian perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan eksternal counter pressure. Teknik sederhana dapat dilakukan untuk stabilisasi pelvis sebelum penderita dirujuk. Traksi kulit longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama. Prosedur ini dapat ditambah dengan memasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi sebagai siling atau vacuum type long spine splinting device atau PASG. Cara-cara sementara ini dapat membantu stabilisasi awal. Fraktur pelvis terbuka dengan perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan tampon untuk menghentikan perdarahan. C. Fraktur tulang panjang Fraktur tulang panjang umumnya disebabkan oleh trauma dengan energi berat sehingga harus juga dipikirkan kemungkinan terjadi trauma di daerah lain (organ lain) yang dapat mengancam jiwa penderita disamping kehilangan darah yang akan menimbulkan sok hipovolemik walaupun sangat jarang. Komplikasi awal ialah adanya sindrom emboli lemak (fat embolism syndrome) dengan karakteristik adanya penurunan respirasi, panas, perubahan mental dan trombositopenia. Hal ini disebabkan butiran-butiran lemak masuk ke dalam sirkulasi darah. Manajemen fraktur tulang panjang pertama melakukan pemasangan bidai (temporary splinting) dengan menjaga kelurusan (alignment) karena tindakan ini sebagai imobilisasi, dapat menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa nyeri. Kedua adalah pemberian obat menghilang rasa nyeri dan terakhir segera berkonsultasi dengan ahli bedah orthopaedi untuk terapi definitif. D. Perdarahan besar arterial Trauma dapat menyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek arteri. Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau perdarahan di dalam jaringan lunak. Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya pulsasi nadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan perubahan pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskuler. Pengelolaan perdarahan besar arteri berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic secara bijaksana mungkin akan menolong menyelamatkan nyawa. Jika fraktur disertai luka terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan dan dipasang bidai serta balut tekan diatas luka. E. Crush Syndrome (Rabdomiolisis Traumatik) Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha dan betis. Trauma crush adalah trauma kompresi pada ekstremitas dalam waktu lama sehingga dapat mengakibatkan jaringan lunak yang terkena mengalami iskhemi dan hilangnya integritas sel sehingga potasium dan mioglobin yang ada di datam sel itu keluar. Sodium, chloride, kalsium, dan air masuk ke dalam sel itu. Masuknya kalsium ke dalam sel akan mengakibatkan kerusakan seluler yang bersifat irreversibel. Pergeseran cairan akan menimbulkan sok hipovolemik. Kerusakan vaskular akan menimbulkan edema / swelling dan gangguan keluamya ion-ion dan cairan. Pengeluaran komponen-komponen di otot tersebut akan mengakibatkan hiperkalemia, mioglobinemia, hipokalsemia, hiperuresemia, hiperfostamia dan asidosis metabolik. Mioglobin menimbulkan urin berwarna kuning gelap yang akan positif bila diperiksa untuk adanya hemoglobin. Pemberian cairan IV selama ekstrikasi untuk meningkatkan isi tubulus dan aliran urine sangat penting agar tidak terjadi gagal ginjal. Dianjurkan untuk mempertahankan output urine 100ml/jam sampai bebasdari mioglobin uria. F. Patah Tulang Terbuka Adanya luka pada fraktur terbuka menyebabkan tingginya potensi terjadi infeksi, maka tindakan debridemen dan irigasi segera dilakukan. Tindakan ini sangat membantu kerja sel fagosit ( macrophage ) dalam mencegah terjadi kejadian infeksi. Bersamaan tindakan itu juga diberikan antibiotika spektrum luas dan anti tetanus. G. Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatik Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi vaskuler yang menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau trauma tembus ekstremitas. Trauma vaskuler parsial menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pulsasi melemah dan ankle/brachial index abnormal. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan nadi tidak teraba. Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan aliran darah pada ekstermitas distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan memasang bidai. Amputasi traumatik merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan kehilangan ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah. Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf dan kerusakan otot mungkin memerlukan amputasi. Anggota tubuh yang teramputasi dicuci dengan larutan isotonic dan dibungkus kasa steril dan dibasahi larutan penisilin (100.000 unit dalam 50 ml RL) dan dibungkus kantong plastik. Kantong plastik ini dimasukkan dalam termos berisi pecahan es, lalu dikirimkan bersama penderita. H. Cedera Syaraf akibat Fraktur – Dislokasi Fraktur atau dislokasi dapat menimbulkan teregangnya neurovaskular di sekitar sendi, dan iskhemia permukaan sendi Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita dengan trauma musculoskeletal. Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi, fungsi saraf di reavaluasi dan ekstremitas dipasang bidai. t. Bagaimana prognosis luka bakar? 1. Luka Bakar Pada pasien yang telah sembuh dari luka, jaringan parut yang timbul mampu berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapa mengganggu fungsi dan menyebabkan kekakuan sendi, atau menimbulkan cacat estetis yang jelek sekali, terutama bila jaringan parut tersebut adalah keloid. Program intensif fisioterapi diperlukan pada kekakuan sendi dan kontraktur perlu tindakan bedah. Selain itu, mungkin saja orang dengan cacat estetik berat mengalami kerusakan mental yang berat seperti kehilangan rasa percaya pada diri penderita, ansietas, dan depresi. Pasien seperti ini perlu bantuan dari psikiater dan jika terkena pada bagian wajah atau tangan perlu ahli bedah rekonstruksi wajah. 2. Trauma Inhalasi Pasien trauma inhalasi asap berisiko tinggi mengalami komplikasi. Mayoritas kasus luka bakar yang fatal disebabkan oleh gagal napas, baik akibat cedera langsung maupun komplikasi seperti pneumonia. Cedera parah seringkali akan menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti bronkiektasis, bronchiolitis obliterans, dan kebutuhan akan saluran napas buatan; Namun, banyak pasien tidak akan mengalami gejala sisa jangka panjang dari satu episode cedera inhalasi asap. Atelektasis, pneumonia, atau insufisiensi fungsi paru pascatrauma bisa terjadi setelah trauma inhalasi. u. Bagaimana SKDI dari luka bakar? v. Bagaimana SKDI dari trauma musculoskeletal? IV. LEARNING ISSUE A. Anatomi pelvic dan ekstremitas bawah B. Luka bakar C. Trauma musculoskeletal D. Primary survey (syok) E. Secondary survey V. SINTESIS A. Anatomi kulit, pelvic, dan ekstremitas bawah KULIT Kulit adalah organ terbesar tubuh dan terdiri dari tiga lapisan utama: epidermis, dermis, dan lapisan subkutan. Epidermis menyediakan lapisan anti air dan bakteri, sedangkan dermis (bersama dengan lapisan subkutan) memberikan ketangguhan dan daya tahan pada kulit. Dermis dan lapisan subkutan juga merupakan sumber penting dari sel induk yang membantu meregenerasi epidermis setelah cedera termal. Fungsi utama kulit adalah berfungsi sebagai penghalang antara lingkungan internal dan eksternal meminimalkan kehilangan cairan dan invasi mikroba. Fungsi penting lain dari kulit termasuk termoregulasi, deteksi sensorik, dan pengawasan kekebalan. Ketika sebagian besar kulit hilang atau rusak, ada risiko syok hipovolemik dan sepsis, dan hilangnya seluruh kulit tidak sesuai dengan kehidupan. EKSTRIMITAS BAWAH F. PELVIS Pelvis terdiri dari sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang pipih. Tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan ischium. Ilium terletak di bagian superior dan membentuk artikulasi dengan vertebra sakrum, ischium terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis terletak di bagian inferior-anterior-medial. Bagian ujung ilium disebut sebagai puncak iliac (iliac crest). Pertemuan antara pubis dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut simfisis pubis. Terdapat suatu cekungan di bagian pertemuan ilium-ischium-pubis disebut acetabulum, fungsinya adalah untuk artikulasi dengan tulang femur. Stabilitas yang diberikan SI ligamen posterior harus dapat menahan kekuatan weight-bearing yang ditransmisikan melalui SI ligamen ke ekstremitas bawah. Simfisis berfungsi sebagai penopang saat weight-bearing untuk mempertahankan struktur cincin pelvis. Ligamentum posterior SI dibagi menjadi komponen yang pendek dan panjang. Komponen pendek berjalan oblique dari posterior sacrum ke spina iliaca posterior superior dan posterior inferior. Komponen panjang berjalan longitudinal dari aspek lateral sacrum ke spina iliaca posterior superior dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberous. Simfisis pubis terdiri dari 2 permukaan kartilago hialin yang saling berhadapan. Permukaan ini dilingkupi dan dikelilingi oleh jaringan fibrosa yang cukup tebal. Simfisis didorong inferior oleh otot yang berinsersi pada ligamentum arcuatum. Posisi yang paling tebal adalah pada sisi superior dan anterior. Beberapa ligamen berjalan dari spine ke pelvis. Ligamentum iliolumbaris mengamankan pelvis ke vertebra lumbalis. Ligamentum ini berasal dari processus transversus L4 dan L5 dan berinsersi pada posterior dari crista iliaca. Ligamentum lumbosacral berjalan dari processus L5 ke ala sacrum. Ligamentum ini membentuk pegangan yang kuat dan menempel pada akar N.spinalis L5. G. OS FEMUR Os femur Pada bagian proksimal berartikulasi dengan pelvis dan dibagian distal berartikulasi dengan tibia melalui condyles. Di daerah proksimal terdapat prosesus yang disebut trochanter mayor dan trochanter minor, yang dihubungkan oleh garis intertrochanteric. Di bagian distal anterior terdapat condyle lateral dan condyle medial untuk artikulasi dengan tibia, serta permukaan untuk tulang patella. Di bagian distal posterior terdapat fossa intercondylar. H. OS TIBIA Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding dengan fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di mana keduanya merupakan facies untuk artikulasi dengan condyle femur. Terdapat juga facies untuk berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral. Selain itu, tibia memiliki tuberositas untuk perlekatan ligamen. Di daerah distal tibia membentuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal dan malleolus medial I. OS FIBULA Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding dengan tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan tibia. Sedangkan di bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal. J. OSSA PEDIS 4. OSSA TARSAL Tarsal merupakan 7 tulang yang membentuk artikulasi dengan fibula dan di proksimal dan dengan metatarsal di distal.Terdapat 7 tulang tarsal, yaitu calcaneus (berperan sebagai tulang penyanggah berdiri), talus, cuboid, navicular, dan cuneiform (1, 2, 3). 5. OS METATARSAL Metatarsal merupakan 5 tulang yang berartikulasi dengan tarsal di proksimal dan dengan tulang phalangs di distal. Khusus di tulang metatarsal 1 (ibu jari) terdapat 2 tulang sesamoid. 6. OSSA PHALANGES Phalangs merupakan tulang jari-jari kaki.Terdapat 2 tulang phalangs di ibu jari dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada sendi pelana di ibu jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel ibu jari tangan. B. Luka bakar A. Diagnosis Banding B. Algoritma Penegakkan Diagnosis Penilaian pasien mulai dengan anamnesis, dan disusul penilaian luas dan dalamnya luka bakar. 1. Anamnesis Anamnesis riwayat trauma sangat penting dalam penanganan pasien luka bakar. Sewaktu menyelamatkan diri dari tempat kebakaran, mungkin terjadi cedera penyerta. Ledakkan dapat melemparkan pasien, mengakibatkan misalnya cedera kepala, jantung, paru-paru/trauma abdomen dan fraktur. Catat waktu terjadinya trauma. Luka bakar yang terjadi pada ruangan tertutup harus dicurigai terjadinya trauma inhalasi. Anamnesis dari pasien sendiri atau keluarga, hendaknya juga mencakup riwayat singkat penyakit yang diderita sekarang (seperti diabetes, hipertensi, jantung, paru-paru dan/atau ginjal) dan obat yang sedang dipakai untuk terapi. Penting pula diketahui riwayat alergi dan status imunisasi tetanus. 2. Luas Luka Bakar Ada 2 cara untuk menghitung luas luka bakar tubuh, yaitu grafik Lund-Browder dan Rule of 9 untuk dewasa (10-15-20 untuk anak-anak dan 10 untuk bayi). a. Grafik Lund-Browder digunakan sesuai dengan umur pasien, mulai 0 – 1 – 5 – 10 – 15 – Dewasa. Grafik Lund-Brower dengan diagram yang sesuai dengan usia dapat digunakan untuk memperkirakan dengan lebih baik area luka bakar pada anak-anak; biasanya pada usia < 10 tahun. Gambar 2. Lund-Browder Diagram (Wyatt et al., 2020) b. Rule of nine adalah teknik praktis untuk memperkirakan sejauh mana TBSA terlibat dalam cedera luka bakar. Pendekatan ini membagi area anatomi utama tubuh menjadi persentase TBSA. Untuk orang dewasa, ia mengalokasikan 9% dari TBSA ke kepala dan leher dan ke setiap ekstremitas atas, 18% masing-masing ke bagian anterior dan posterior batang tubuh, 18% untuk setiap ekstremitas bawah, dan 1% ke perineum dan genitalia. . Area telapak tangan pasien mewakili sekitar 1% dari TBSA dan dapat membantu dalam menghitung area keterlibatan yang tersebar. 3. Kedalaman Luka Bakar Kedalaman luka bakar penting untuk menilai beratnya luka bakar, merencanakan perawatan luka, dan memprediksi hasil dari segi fungsional maupun kosmetik. g. Kemerahan/campuran h. Bula dan epidermis yang rusak i. Bengkak j. Permukaan basah, berair k. Nyeri l. Sensitif pada udara 6) Pucat, putih, kaku, kemerahan 7) Kulit rusak, tampak jaringan lemak 8) Permukaan kering 9) Tidak nyeri 10) Edema Luka bakar derajat I (misalnya sengatan matahari) ditandai dengan adanya eritema, nyeri, dan tidak ada bulla. Karena tidak berbahaya dan tidak memerlukan pemberian cairan intravena, luka bakar derajat I selanjutnya tidak akan dibahas. Luka bakar derajat II atau partial thickness burns ditandai dengan warna kemerahan atau campuran disertai pembengkakan dan bulla. Permukaannya basah, berair serta nyeri hebat meskipun hanya tersapu aliran udara. Luka bakar derajat III atau full thickness burns menyebabkan luka kehitaman dan kaku. Warna kulit bisa terlihat putih seperti lilin, merah sampai kehitaman. Warna kulit merah ini tidak berubah menjadi pucat dengan penekanan, tidak merasa nyeri dan kering C. Definisi Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti kobaran api ditubuh (flame), jilatan api ketubuh (flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat bahanbahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn) D. Etiologi Penyebab terbanyak luka bakar pada dewasa berdasarkan data pasien yang di rawat di unit luka bakar RSCM tahun 2012-2016 adalah: Tabel 1. Penyebab Luka Bakar pada Dewasa Tabel 2. Penyebab Luka Bakar pada Anak E. Epidemiologi Data yang diperoleh dari WHO menyebutkan bahwa wanita di wilayah Asia Tenggara memiliki angka kejadian luka bakar yang tertinggi, 27% dari angka keseluruhan secara global meninggal dunia dan hampir 70% diantaranya adalah wanita. Data Nasional mengenai angka mortalitas atau data kejadian luka bakar di seluruh Indonesia masih belum ada. Umumnya pusat luka bakar di level RSUP atau RSUD yang ada bedah plastik mempunyai data pasien yang dirawat di unit luka bakar RSUP / RSUD tersebut. F. Patofisiologi Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energy dari sumber panas ke tubuh. Panas tersebut dapat dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik, derajat luka bakar yang berhubungan dengan beberapa faktor penyebab, konduksi jaringan yang terkena dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas. Kulit dengan luka bakar mengalami keruskan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan tergantung pada penyebabnya. Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Menigkatnya permeabilitas menyebabkan udem dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat dua, dan pengeluaran cairan ke keropeng luka bakar derajat tiga. Bila luas bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bilalebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. (Wim De Jong, 2004) Pada awalnya tubuh menanggapi dengan memirau (shunting) darah ke otak dan jantung menjauh dari organ-organ tubuh lainnya. Kekurangan aliran darah yang berkepanjangan ke organ-organ tersebut bersifat merugikan. Kerusakan yang dihasilkan bergantung pada keburuhan dasar organ tubuh. Beberapa organ dapat bertahan hanya untuk beberapa jam tanpa pasokan darah yang menyediakan sumber gizi. Setelah resusitasi, tubuh mulai menyerap kembali cairan edema dan membuangnya lewat pembentukan urine (diuresis). (Black & Hawk, 2009) Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. walaupun demikian, beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan sangat memengaruhi prognosis. (Wim De Jong, 2004) Untuk luka bakar yang lebih kecil, tanggapan tubuh terhadap cedera terlokalisasi pada area yang terbakar. Namun, pada luka yang lebih luas (misalnya, meliputi 25% atau lebih total area permukaan tubuh [total body surface area-TBSA]), tanggapan tubuh terhadap cedera bersifat sistemik dan sebanding dengan luasnya cedera. Tanggapan sistemik terhadap cedera luka bakar biasanya bifasik, ditandai oleh penurunan fungsi (hipofungsi) yang diikuti dengan peningkatan fungsi (hiperfungsi) setiap sistem organ. (Black & Hawk, 2009) 1. Respons Sistemik Perubahan patofisiologi yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal periode syok luka bakar mencangkup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase hiperdinamik serta hipermetabolik. Kejadian sistemik awal sesudah luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat hilangnya integritas kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan natrium serta protein dari ruang intravaskuler ke dalam ruang interstisial. Ketidakstabilan hemodinamika bukan hanya melibatkan mekanisme kardiovaskuler tetapi juga keseimbangan cairan serta elektrolit, volume darah, mekanisme pulmoner dan mekanisme lainnya. 2. Respons Kardiovaskuler Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan pada volume darah terlihat dengan jelas. Karena berkelanjutnya kehilangan cairan dan berkurangnya volume vaskuler, maka curah jantung akan terus menurun dan terjadi penurunan tekanan darah. Sebagai respon, system saraf simpatik akan melepaskan katekolamin yang meningkatkan resistensi perifer dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya vasokontriksi pembuluh darah perifer menurunkan curah jantung. Resusitasi cairan yang segera dilakukan memungkinkan dipertahankannya tekanan darah dalam kisaran normal yang rendah sehingga curah jantung membaik. Umumnya jumlah kebocoran cairan yang terbesar terjadi dalam 24-36 jam pertama sesudah luka bakar dan mencapai puncaknya dalam tempo 6 hingga 8 jam. Pada luka bakar yang kurang dari 30% luas total permukaan tubuh, maka gangguan integritas kapiler dan perpindahan cairan akan terbatas pada luka bakar itu sendiri sehingga pembentukkan lepuh dan edema hanya terjadi di daerah luka bakar. Pasien luka bakar yang lebih parah akan mengalami edema sistemik yang masif. karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar (sirkumferensial), tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstermitas distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia. 3. Respons Pulmonal Volume pernapasan sering kali normal atau hanya menurun sedikit setelah cedera luka bakar yang luas. Setelah resusitasi cairan, peningkatan volume pernapasan-dimanifestasikan sebagai hiperventilasi-dapat terjadi, terutama bila klien ketakutan, cemas, atau merasa nyeri. Hiperventilasi ini adalah hasil peningkatan baik laju respirasi dan volume tidal dan muncul sebagai hasil hipermetabolisme yang terlihat setelah cedera luka bakar. Biasanya hal tersebut memuncak pada minggu kedua pascacedera dan kemudian secara bertahap kembali ke normal seiring menyembuhnya luka bakar atau ditutupnya luka dengan tandur kulit. 4. Cedera Inhalasi Paparan terhadap gas asfiksian merupakan penyebab paling sering mortalitas dini akibat cedera inhalasi. Karbon monoksida (CO), asfiksian yang paling sering ditemui, dihasilkan ketika zat organik (misalnya: kayu atau batu bara) terbakar. Ia adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa yang memiliki afinitas terhadap hemoglobin tubuh 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan oksigen. Dengan menghirup gas CO, molekul oksigen tergeser, dan CO berikatan dengan hemoglobin untuk membentuk karboksihemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan terjadi akibat penurunan kemampuan pengantaran oksigen oleh darah secara keseluruhan. 5. Depresi Miokardium Beberapa investigator penelitian telah mengemukakan bahwa factor depresi miokardium terjadi pada cedera yang lebih luas dan bersirkulasi pada periode pascacedera dini. Depresi pada curah jantung yang signifikan dan serta-merta terjadi, bahkan sebelum volume plasma yang beredar berkurang, menunjukkan respons neurogenic terhadap beberapa zat yang beredar. Penurunan curah jantung ini sering berlanjut dalam beberapa hari bahkan setelah volume plasma telah kembali dan keluaran urine kembali normal. Baru-baru ini, kombinasi mediator inflamasi dan hormone disebutkan sebagai penyebab depresi miokardium yang terjadi setelah cedera. 6. Berubahnya Integritas Kulit Luka bakar itu sendiri menampilkan perubahan patofisiologi yang disebabkan akibat gangguan kulit dan perubahan jaringan di bawah permukaannya. Kulit, ujung saraf, kelenjar keringat, dan folikel rambut yang cedera akibat terbakar kehilangan fungsi normalnya. Hal yang terpenting, fungsi barrier kulit hilang. Kulit yang utuh dalam keadaan normal menjaga agar bakteri tidak memasuki tubuh dan agar cairan tubuh tidak merembes keluar, mengendalikan penguapan, dan menjaga kehangatan tubuh. Dengan rusaknya kulit mekanisme untuk menjaga suhu normal tubuh dapat terganggu, dan risiko infeksi akibat invasi bakteri meningkat, serta kehilangan air akibat penguapan meningkat. 7. Imunosupresi Fungsi sistem imun tertekan setelah cedera luka bakar. Penurunan aktivitas limfosit, dan penurunan pembentukan immunoglobulin, serta perubahan fungsi neutrofil dan makrofag terjadi secara nyata setelah cedera luka bakar luas terjadi. sebagai tambahan, cedera luka bakar mengganggu barrier primer terhadap infeksikulit. Secara bersama, perubahan-perubahan ini menghasilkan peningkatan risiko infeksi dan sepsis yang mengancam nyawa. 8. Respons Psikologis Berbagai respons psikologis dan emosional terhadap cedera luka bakar telah dikenali, berkisar mulai dari ketakutan hingga psikosis. Respons korban dipengaruhi usia, kepribadian, latar belakang budaya dan etnik, luas dan lokasi cedera, dampak pada citra tubuh, dan kemampuan koping pracedera. Sebagai tambahan, pemisahan dari keluarga dan teman-teman selama perawatan di rumah sakit dan perubahan pada peran normal dan tanggung jawab klien memengaruhi reaksi terhadap trauma luka bakar. G. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Luka bakar dapat diklasifikasikan menurut dalamnya jaringan yang rusak dan disebut sebagai luka bakar superfisial partial thickness, deep partial thickness dan full thickness. Istilah deskriptif yang sesuai adalah luka bakar derajat-satu, -dua, -tiga. Kedalaman dan Bagian penyebab kulit Gejala Penampilan luka luka yang terkena Perjalanan kesembuhan bakar Derajat satu Epidermis Kesemutan, Memerah, (superfisial): hiperestesia putih ketika ditekan lengkap dalam tersengat (supersensivi minimal atau tanpa waktu matahari, tas), terkena api menjadi Kesembuhan rasa edema satu minggu, nyeri mereda terjadi dengan jika pengelupasan intensitas rendah didinginkan kulit Derajat-dua Epidermis dan Nyeri, Melepuh, dasar luka Kesembuhan (partial- bagian dermis hiperestesia, berbintik-bintik sensitif merah, terhadap retak, thickness): tersiram air mendidih, udara terbakar oleh dalam epidermis 2-3 waktu minggu, permukaan pembentukan yang luka basah, terdapat parut dingin edema nyala api dan depigmentasi, infeksi dapat mengubahnya menjadi derajat-tiga Derajat-tiga Epidermis, Tidak terasa Kering, luka bakar Pembentukan (full- keseluruhan nyeri, syok, berwarna thickness): dermis terbakar api, dan hematuria nyala kadang-kadang terkena jaringan (adanya putih eskar, seperti bahan kulit diperlukan atau gosong, kulit pencangkokan darah dalam retak dengan bagian , pembentukan cairan mendidih subkutan urin) dan lemak yang tampak, parut dalam waktu kemungkina yang lama, n pula hemolisis terdapat edema dan hilangnya kontur serta fungsi kulit, tersengat arus listrik (destruksi sel hilangnya jari darah tangan merah), ekstrenitas kemungkina dapat terjadi n atau terdapat luka masuk dan (pada keluar luka bakar listrik) H. Pemeriksaan Penunjang Menurut Doenges M.E (2000) pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah : 9. Hitung darah lengkap : Peningkatan Hematokrit menunjukkan hemokonsentrasi sehubungan dengan perpindahan cairan. Menurutnya Hematokrit dan sel darah merah terjadi sehubungan dengan kerusakan oleh panas terhadap pembuluh darah. 10. Leukosit akan meningkat sebagai respon inflamasi 11. Analisa Gas Darah (AGD) : Untuk kecurigaan cidera inhalasi 12. Elektrolit Serum. Kalium meningkat sehubungan dengan cidera jaringan, hipokalemia terjadi bila diuresis. 13. Albumin serum meningkat akibat kehilangan protein pada edema jaringan 14. Kreatinin meningkat menunjukkan perfusi jaringan 15. EKG : Tanda iskemik miokardial dapat terjadi pada luka bakar 16. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar selanjutnya. I. Tatalaksana 3. Dalam 24 jam pertama Prinsip-prinsip Primary Survey dan Secondary Survey pada trauma (ATLS) dan resusitasi secara simultan harus diterapkan. 4. Setelah 24 jam pertama Luas luka bakar dikalkulasi menggunakan rule of nines. Jika memungkinkan timbang berat badan pasien atau tanyakan saat anamnesis. Data-data ini sangat diperlukan untuk menghitung menggunakan formula resusitasi cairan yaitu Parkland formula. Perhitungan kebutuhan cairan dilalukan pada waktu pasien mengalami trauma luka bakar, bukan saat pasien datang. Disarankan menggunakan cairan RL, 50% total perhitungan cairan dibagi menjadi 2 tahap dalam waktu 24 jam pertama. Tahap I diberikan 8 jam dan tahap 2 diberikan 16 jam setelahnya. Cairan harus diberikan menggunakan 2 jalur IV line (ukuran 16 G untuk dewasa), diutamakan untuk dipasang pada kulit yang tidak terkena luka bakar. Penggunaan yang cukup popular dan direkomendasikan yaitu cairan Ringer Lactate (RL) yang mengandung 130 meq/L sodium. a. Jalur pemberian cairan Rute oral, dengan larutan-garam-seimbang dapat diberikan jika peralatan untuk resusitasi formal (intravena) terbatas, tidak lupa untuk memperhatikan kondisi saluran cerna pasien. Resusitasi dengan rute oral dapat dilakukan juga pada TBSA < 20% (17). Cairan rumatan harus diberikan pada pasien anak sebagai tambahan, diluar dari perhitungan cairan awal yang berdasarkan KgBB dan % TBSA. b. Monitor kecukupan cairan dan elektrolit Pemantauan 3) Lakukan pemantauan intake dan output setiap jam 4) Lakukan pemantauan gula darah, elektrolit Na, K, Cl, Hematokrit, albumin Urine Output (UO) harus dipertahankan dalam level 0.5-1.0 ml/kgBB/jam pada dewasa dan 1.0-1.5 ml/kgBB/jam pada anak untuk menjaga perfusi organ. Lakukan pemeriksaan diagnosis laboratorium: Darah perifer lengkap, analisis gas darah, elektrolit serum, serum lactate, albumin, SGOT, SGPT, Ureum/ Creatinin, glukosa darah, urinalisa, dan foto toraks. Asidosis yang jelas (pH <7.35) pada analisis gas darah menunjukkan adanya perfusi jaringan yang tidak adekuat yang menyebabkan asidosis laktat, maka harus dilakukan pemantauan hemodinamik dan titrasi cairan resusitasi/jam jika diperlukan, sampai tercapai target Urine Output (UO) harus dipertahankan dalam level 0.5-1.0 ml/kgBB/jam pada dewasa dan 1.0-1.5 ml/kgBB/jam pada anak. Hemoglobinuria: kerusakan jaringan otot akibat termal trauma listrik tegangan tinggi, iskemia menyebabkan terlepasnya mioglobin dan hemoglobin. Urine yang mengandung hemochromogen ini berupa warna merah gelap. Ringkasan resusitasi cairan pada luka bakar: 3 J. Edukasi dan Pencegahan Luka bakar biasanya banyak terjadi di perumahan. Untuk mencegah hal tersebut, dapat melakukan hal berikut. • Jangan pernah meninggalkan makanan yang dimasak di atas kompor tanpa pengawasan. • Putar gagang panci ke arah belakang kompor. • Jangan menggendong atau menggendong anak saat memasak di atas kompor. • Jauhkan cairan panas dari jangkauan anak-anak dan hewan peliharaan. • Jauhkan peralatan listrik dari air. • Periksa suhu makanan sebelum menyajikannya kepada anak-anak. Jangan panaskan botol bayi di microwave. • Jangan pernah memasak dengan pakaian longgar yang bisa menyebabkan api di atas kompor. • Jika ada anak kecil, halangi aksesnya ke sumber panas seperti kompor, pemanggang luar ruangan, perapian, dan pemanas ruangan. • Sebelum menempatkan anak di kursi mobil, periksa hot strap atau gesper. • Cabut setrika dan perangkat serupa jika tidak digunakan. • Simpan jauh dari jangkauan anak kecil. Tutupi outlet listrik yang tidak terpakai dengan tutup pengaman. • Jauhkan kabel listrik dan kabel agar tidak dapat digigit anak-anak. • Jika Anda merokok, jangan pernah merokok di tempat tidur. • Pastikan Anda memiliki detektor asap yang berfungsi di setiap lantai rumah Anda. • Periksa dan ganti baterai mereka setidaknya setahun sekali. • Simpan alat pemadam kebakaran di setiap lantai rumah Anda. • Saat menggunakan bahan kimia, selalu kenakan kacamata dan pakaian pelindung. • Jauhkan bahan kimia, pemantik api, dan korek api dari jangkauan anak-anak. • Gunakan kait pengaman. • Dan jangan gunakan pemantik yang terlihat seperti mainan. • Setel termostat pemanas air Anda ke di bawah 120 F (48,9 C) untuk mencegah panas. • Uji air mandi sebelum memasukkan anak ke dalamnya. K. Komplikasi 1. Luka Bakar • Infeksi bakteri, yang dapat menyebabkan infeksi aliran darah (sepsis) • Kehilangan cairan, termasuk volume darah rendah (hipovolemia) • Suhu tubuh yang sangat rendah (hipotermia) • Masalah pernapasan akibat asupan udara panas atau asap • Bekas luka atau daerah bergerigi yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebih jaringan parut (keloid) • Masalah tulang dan sendi, seperti ketika jaringan parut menyebabkan pemendekan dan pengetatan kulit, otot atau tendon (kontraktur) • Kematian 2. Trauma Inhalasi Sebagian besar kasus cedera inhalasi asap ringan sampai sedang. Keparahan umumnya berkorelasi dengan waktu pemaparan. Cedera yang lebih serius terjadi dengan eksposur yang lebih lama dan lebih intens. Cedera ringan sampai sedang sebagian besar sembuh sendiri dengan pasien yang tidak mengalami komplikasi. Gejala pasien akan sering sembuh dalam 2 sampai 3 hari. Komplikasi jangka pendek terlihat pada cedera yang lebih parah dalam 4 sampai 5 hari, dan masalah yang paling umum adalah pneumonia. Sindrom gangguan pernapasan akut dan edema paru juga terlihat dalam jangka pendek. Pasien ini akan sering menunjukkan perubahan dalam pengujian fungsi paru dan mungkin memerlukan dukungan ventilasi. Tingkat komplikasi lebih tinggi pada orang dengan riwayat penyakit paru-paru, seperti COPD dan asma. Komplikasi jangka panjang dari cedera menghirup asap jauh lebih jarang terjadi. Mereka termasuk stenosis subglottic, bronkiektasis, dan bronchiolitis obliterans. Pasien yang terpapar karbon monoksida juga diketahui memiliki komplikasi neurologis jangka panjang. Kerusakan otak yang parah dapat terjadi dengan keracunan karbon monoksida tetapi jarang terjadi. Lebih umum pasien akan menggambarkan gejala neurologis yang menetap atau tertunda setelah keracunan karbon monoksida. Gejala-gejala ini seringkali subjektif tetapi akan mencakup suasana hati yang tertekan, konsentrasi yang buruk, dan masalah dengan ingatan jangka pendek. Gejala sisa neurologis setelah paparan karbon monoksida tampaknya lebih sering terjadi pada pasien yang kehilangan kesadaran. Gejala sering berkembang 1 hingga 3 minggu setelah keracunan. Terapi oksigen hiperbarik sedang diselidiki sebagai terapi yang mungkin untuk gejala sisa neurologis ini, tetapi diperlukan lebih banyak penelitian di bidang ini. L. Prognosis 3. Luka Bakar Pada pasien yang telah sembuh dari luka, jaringan parut yang timbul mampu berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapa mengganggu fungsi dan menyebabkan kekakuan sendi, atau menimbulkan cacat estetis yang jelek sekali, terutama bila jaringan parut tersebut adalah keloid. Program intensif fisioterapi diperlukan pada kekakuan sendi dan kontraktur perlu tindakan bedah. Selain itu, mungkin saja orang dengan cacat estetik berat mengalami kerusakan mental yang berat seperti kehilangan rasa percaya pada diri penderita, ansietas, dan depresi. Pasien seperti ini perlu bantuan dari psikiater dan jika terkena pada bagian wajah atau tangan perlu ahli bedah rekonstruksi wajah. 4. Trauma Inhalasi Pasien trauma inhalasi asap berisiko tinggi mengalami komplikasi. Mayoritas kasus luka bakar yang fatal disebabkan oleh gagal napas, baik akibat cedera langsung maupun komplikasi seperti pneumonia. Cedera parah seringkali akan menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti bronkiektasis, bronchiolitis obliterans, dan kebutuhan akan saluran napas buatan; Namun, banyak pasien tidak akan mengalami gejala sisa jangka panjang dari satu episode cedera inhalasi asap. Atelektasis, pneumonia, atau insufisiensi fungsi paru pascatrauma bisa terjadi setelah trauma inhalasi. M. SKDI Luka Bakar Kimia dan Termal: 3B (Gawat Darurat) Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/ atau kecacatan pada pasien dalam konteks penilaian mahasiswa. Lulusan dokter mampu menentukan usulan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. C. Trauma musculoskeletal I. Definisi Fraktur merupakan gangguan sistem muskuloskeletal, dimana terjadi pemisahan atau patahnya tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang,fraktur patologis terjadi tanpa trauma pada tulang yang lemah karena dimineralisasi yang berlebihan. II. Algoritma penegakan diagnosis Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnose fraktur dapat ditegakkan walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan. Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi / look: deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi / feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. III. Etiologi D. Trauma langsung Trauma langsung ialah trauma yang menyebabkan tekanan langsung pada tulang sehingga terjadi fraktur pada daerah tekanan. Frakur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena trauma yang tiba tiba mengenaii tulang dengan kekuatan dengan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah. E. Trauma tidak langsung Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini jaringan lunak tetap utuh, tekanan membengok yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik. F. Fraktur Patologik Fraktur patologik merupakan kerusakan tulang akibat proses suatu penyakit, seperti: osteoporosis, osteoarthritis, osetomielitis, tumor tulang dan stress pada tulang yang terus menerus. IV. Epidemiologi Menurut penelitian pada tahun diperkirakan 150.000 kematian sebagai akibat dari trauma dengan 2,6 juta penderita harus dirawat di rumah sakit dari 37 juta orang yang datang berobat ke Bagian Gawat Darurat akibat trauma dan didominasi oleh kecelakaan naik sepeda motor sebagai penyebab kematian serta merupakan urutan kedua kecelakaan nonfatal. Faktor utama adalah kecepatan kendaraan, pengendara peminum alkohol atau karena intoksikasi obat. Kecelakaan jatuh dari ketinggian akibat memperbaiki atap rumah merupakan faktor utama kecelakaan nonfatal yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit di Amerika, dan di Asia penyebab kematian utama ialah pada trauma karena jatuh dari pohon. Pada umur kurang dari 5 tahun yang datang ke bagian gawat darurat akibat kecelakaan jatuh dari ketinggian; 95% tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada anak diatas 5 tahun umumnya akibat kecelakaan bermain, umur dewasa akibat jatuh dari pekerjaan, dan umur tua (di atas 65 tahun) kecelakaan jatuh merupakan penyebab utama kematian. Kecelakan nonfatal pada orang ini umumya terjadi fraktur pada sendi panggul dan radius distal. Fraktur sendi panggul akan menurunkan kualitas hidup penderita tersebut. V. Manifestasi Klinis A. Bengkak dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar. B. Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur. C. Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur. D. Nyeri. Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya. E. Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi. F. Deformitas. Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata. G. Kehilangan fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf. H. Gerakan abnormal dan krepitasi terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur. I. Perubahan neurovascular terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur J. Syok. Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi dapat menyebabkan syok. VI. Patofisiologi Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang. VII. Klasifikasi Fraktur A. Fraktur tertutup Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan bagian luar. B. Fraktur terbuka Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya: 1. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal 2. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang 3. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi. C. Fraktur kompleksitas Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi. D. Fraktur transversal Fraktur transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai gips. E. Fraktur kuminutif Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari dua fragmen tulang. F. Fraktur oblik Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut (> 30o) terhadap tulang. G. Fraktur segmental Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur jenis ini biasanya sulit ditangani. H. Fraktur impaksi Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang yang berada diantara vertebra. I. Fraktur spiral Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi. Gambar 1: Jenis fraktur tulang VIII. Komplikasi B. Sindrom kompartemen Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi iskemia. Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen. Gips yang ketat atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut. Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme anaerob dan peningkatan aliran darah yang menyebabakn peningkatan tekanan jaringan. Hal ini akan mnyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan kompartemen. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan sensasi kesemutanatau rasa terbakar (parestesia) pada otot. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu: 6. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anakanak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. 7. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut. 8. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi) 9. Parestesia (rasa kesemutan) 10. Paralisis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom. Sedangkan pada sindrom kompartemen akan timbul beberapa gejala khas, antara lain: 1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit. 2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit. 3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot. I. Fraktur Pelvis Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan oleh fraktur sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang membuka pelvic ring akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek sistem, arteri iliakainterna (trauma kompresi anterior-posterior). Rongga pelvis terdapat organ-organ seperti vesika urinaria, bagian distal traktus digestivus, pleksus pudendus, arteria iliaka, saraf skiatik dan lain sebagainya. Pada trauma energi berat akan mengakibatkan fraktur pelvis dengan komplikasi perdarahan disamping trauma di organ lain. Darah dapat tertimbun dalam rongga tersebut akibat perdarahan dan tulang pelvis atau akibat tusukan fragmen sehingga terjadi robekan pembuluh darah. Tanda klinis yang paing penting adalah adanya pembengkakan atau hematom yang progresif pada daerah panggul, skrotum dan perianal. Tanda-tanda trauma pelvic ring yang tidak stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah pelvik (terutama daerah perineum, rectum atau bokong), high riding prostate (prostate letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan didapatkannya instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari pelvic ring diperiksa dengan manipulasi manual dari pelvis. Petunjuk awalnya adalah dengan ditemukannya perbedaan panjang tungkai atau rotasi tungkai (biasanya rotasi eksternal) tanpa adanya fraktur pada ekstremitas tersebut. Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan memerlukan penghentian perdarahan dan resusitasi cairan dengan cepat. Penghentian perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan eksternal counter pressure. Teknik sederhana dapat dilakukan untuk stabilisasi pelvis sebelum penderita dirujuk. Traksi kulit longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama. Prosedur ini dapat ditambah dengan memasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi sebagai siling atau vacuum type long spine splinting device atau PASG. Caracara sementara ini dapat membantu stabilisasi awal. Fraktur pelvis terbuka dengan perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan tampon untuk menghentikan perdarahan. J. Fraktur tulang panjang Fraktur tulang panjang umumnya disebabkan oleh trauma dengan energi berat sehingga harus juga dipikirkan kemungkinan terjadi trauma di daerah lain (organ lain) yang dapat mengancam jiwa penderita disamping kehilangan darah yang akan menimbulkan sok hipovolemik walaupun sangat jarang. Komplikasi awal ialah adanya sindrom emboli lemak (fat embolism syndrome) dengan karakteristik adanya penurunan respirasi, panas, perubahan mental dan trombositopenia. Hal ini disebabkan butiranbutiran lemak masuk ke dalam sirkulasi darah. Manajemen fraktur tulang panjang pertama melakukan pemasangan bidai (temporary splinting) dengan menjaga kelurusan (alignment) karena tindakan ini sebagai imobilisasi, dapat menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa nyeri. Kedua adalah pemberian obat menghilang rasa nyeri dan terakhir segera berkonsultasi dengan ahli bedah orthopaedi untuk terapi definitif. K. Perdarahan besar arterial Trauma dapat menyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek arteri. Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau perdarahan di dalam jaringan lunak. Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya pulsasi nadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan perubahan pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskuler. Pengelolaan perdarahan besar arteri berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic secara bijaksana mungkin akan menolong menyelamatkan nyawa. Jika fraktur disertai luka terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan dan dipasang bidai serta balut tekan diatas luka. L. Crush Syndrome (Rabdomiolisis Traumatik) Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha dan betis. Trauma crush adalah trauma kompresi pada ekstremitas dalam waktu lama sehingga dapat mengakibatkan jaringan lunak yang terkena mengalami iskhemi dan hilangnya integritas sel sehingga potasium dan mioglobin yang ada di datam sel itu keluar. Sodium, chloride, kalsium, dan air masuk ke dalam sel itu. Masuknya kalsium ke dalam sel akan mengakibatkan kerusakan seluler yang bersifat irreversibel. Pergeseran cairan akan menimbulkan sok hipovolemik. Kerusakan vaskular akan menimbulkan edema / swelling dan gangguan keluamya ion-ion dan cairan. Pengeluaran komponen-komponen di otot tersebut akan mengakibatkan hiperkalemia, mioglobinemia, hipokalsemia, hiperuresemia, hiperfostamia dan asidosis metabolik. Mioglobin menimbulkan urin berwarna kuning gelap yang akan positif bila diperiksa untuk adanya hemoglobin. Pemberian cairan IV selama ekstrikasi untuk meningkatkan isi tubulus dan aliran urine sangat penting agar tidak terjadi gagal ginjal. Dianjurkan untuk mempertahankan output urine 100ml/jam sampai bebasdari mioglobin uria. M. Patah Tulang Terbuka Adanya luka pada fraktur terbuka menyebabkan tingginya potensi terjadi infeksi, maka tindakan debridemen dan irigasi segera dilakukan. Tindakan ini sangat membantu kerja sel fagosit ( macrophage ) dalam mencegah terjadi kejadian infeksi. Bersamaan tindakan itu juga diberikan antibiotika spektrum luas dan anti tetanus. N. Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatik Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi vaskuler yang menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau trauma tembus ekstremitas. Trauma vaskuler parsial menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pulsasi melemah dan ankle/brachial index abnormal. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan nadi tidak teraba. Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan aliran darah pada ekstermitas distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan memasang bidai. Amputasi traumatik merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan kehilangan ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah. Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf dan kerusakan otot mungkin memerlukan amputasi. Anggota tubuh yang teramputasi dicuci dengan larutan isotonic dan dibungkus kasa steril dan dibasahi larutan penisilin (100.000 unit dalam 50 ml RL) dan dibungkus kantong plastik. Kantong plastik ini dimasukkan dalam termos berisi pecahan es, lalu dikirimkan bersama penderita. O. Cedera Syaraf akibat Fraktur – Dislokasi Fraktur atau dislokasi dapat menimbulkan teregangnya neurovaskular di sekitar sendi, dan iskhemia permukaan sendi Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita dengan trauma musculoskeletal. Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi, fungsi saraf di reavaluasi dan ekstremitas dipasang bidai. IX. Tatalaksana Tujuan tindakan setiap penderita trauma pada umumnya adalah life saving dan life limb dalam arti memaksimalkan survival penderita, dan save joint agar outcome fungsinya tercapai optimal juga. Kebutuhan oksigen penderita adalah prioritas utama dan sangat diperlukan secepatnya sebagai save life, bila ini tidak tercapai maka kerusakan otak penderita menjadi irreversible. Oleh karena itu tindakan memperbaiki jalan napas, respirasi penderita dan sirkulasi darah yang akan mendistribusi oksigen ke organ-organ atau ke jaringan perifer merupakan tindakan utama dan sangat diperlukan ( ABC / air way, breathing dan circulation). 4. Jalan Napas (Air way) Jalan napas di mulai dari hidung dan mulut sampai ke paru-paru penderita. Jalan inilah yang perlu dikontrol dengan melakukan pemasangan endotracheal intubation bila ada obstruksi, atau kemungkinan terjadi hambatan seperti edema di leher. Penderita dalam keadaan koma selalu dipikirkan trauma servikal sampai pada pemeriksaan sekunder tidak terbukti. Artinya pemasangan endotracheal tersebut kepaia dan leher penderita harus diimobilisasi dengan collar brace atau bantalan pasir yang diletakkan kanan-kiri leher penderita. 5. Pernafasan (Breathing) Trauma pada torak yang menimbulkan hemotorak, pneumotorak, flail chest atau fraktur tulang iga ( fraktur kosta ) akan mengakibatkan penurunan ventilasi. Gangguan difusi oksigen di paru-paru karena berkurangnya fungsi paru-paru atau menurunkan frekuensi respirasi karena ada rasa nyeri. Oleh karena itu yang perlu dilakukan ialah evakuasi pneumotorak dengan memasang WSD ( water seal drainage ), menutup luka pada flail chest dan stabilisasi floating segmen dinding torak tersebut. 6. Sirkulasi (Circulation) Berkurangnya jumlah oksigen di perifer akibat gangguan distribusi / sirkulasi akan mengakibatkan syok pulsusasi penderita akan melemah, kecil sampai tidak teraba, pallor, kulit terasa dingin, dan berkeringat. Pada awalnya penderita akan merasa gelisah sampai tidak sadar. Adanya takhikardi seperti denyut nadi lebih dan 120 permenit pada penderita dewasa, anak-anak dua kali lipat dan orang dewasa merupakan tanda awal akan terjadinya syok. Penyebab syok pada trauma umumnya akibat perdarahan. Perdarahan harus dihentikan dengan bebat menekan pada survei awal ( primary survey). Jangan melakukan pengikatan atau alat hemostat untuk hal tersebut. Bila tidak ada perdarahan eksternal maka pikirkan perdarahan internal yang biasanya terjadi perdarahan di rongga pelvis, abdomen atau rongga torak. Tapi pada fraktur tertutup seperti fraktur femur atau fraktur terbuka dapat menimbulkan syok. Resusitasi: Ketiga tindakan diatas, jalan napas, pernafasan dan sirkulasi disebut resusitasi yang dikerjakan pada survei awal sehingga objektifnya adalah mempertahan dan menjamin akan kebutuhan oksigen penderita. Setelah jalan napas terjamin dan ventilasi 100% telah dimulai maka dilakukan resusitasi cairan dengan memasang infus jarum nomer 16 atau lebih besar lagi secara intravenous. Bila terjadi kesukaran pada anak-anak dapat menggunakan kanalis medularis tibia atau femur. Penderita hipotensi dan takhikardi diberikan cairan laktat 2 liter ( 20 ml/kg berat badan untuk anak-anak ) secepat mungkin. Bila vital sign terkoreksi baik maka cairan perinfus dipertahankan, tapi bila tidak terkoreksi maka ditambah lagi 2 liter dan tranfusi darah harus segera dipikirkan. 7. Pemeriksaan Nerologi (Neurologic Disability) Pada pemeriksaan neurologis bertujuan untuk membuktikan adanya trauma kepala sejak survei awal dilakukan dengan cara pemeriksaan Glasgow Coma Scale ( tabel 1 ) dan pemeriksaan neurologis keempat anggota gerak. Terakhir pada survei awal ini adalah melepaskan seluruh pakaian penderita agar tidak ada kelainan yang teriupakan dengan istilah exposure dan setelah itu penderita diberi selimut agar tidak terjadi hipotermi. 8. Pemeriksaan sekunder (Secondary Survey) Setelah dilakukan tindakan resusitasi pada primary survey maka akan dilakukan pemeriksaan sekunder secara teliti dan rinci yang dimulai dari kepala sampai ujung kaki. Pada leher selalu curigai adakah trauma servikal apalagi penderita tidak sadar. Lihat apakah ada hematoma, edema atau luka yang akan mengakibatkan gangguan jalan napas. Pemeriksaan gerakan leher harus hatihati karena trauma tulang servikal. Kelainan neurologis dan gangguan fungsi otot hams dicatat. Pemeriksaan pelvis bertujuan untuk menilai stabilitas dengan cara menekan tulang tersebut. Pemeriksaan plain radiograph akan meperjelas diagnosis fraktur pelvis, sehingga sok penderita diperkirakan akibat perdarahan pelvis. Pemasangan pelvic damp dapat menghentikan perdarahan, tapi trauma vaskular akibat penusukan firagmen fraktur tulang pelvis merupakan masalah besar karena repair arteri disana sangat sukar. Oleh karena itu dipikirkan tindakan embolisasi. Pemeriksaan ekstremitas juga meliputi tangan dan kaki yaitu melihat apakah ada deformitas, luka dengan tujuan membuktikan fraktur (lihat pada halaman fraktur). Pemeriksaan gangguan neurovaskular bagian distal lesi secara otomatis harus dikerjakan dan bila perlu dibandingkan dengan sisi normal. X. Pemeriksaan Penunjang D. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi. Teknik khusus membaca pemeriksaan radiologi, yaitu: 5. Tomografi yang berfungsi untuk melihat kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga. 6. Myelografi yang dapat menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. 7. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. 8. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. E. Pemeriksaan Laboratorium 5. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 6. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat 7. Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang 8. Hematokrit dan leukosit akan meningkat F. Pemeriksaan lainnya 7. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. 8. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi. 9. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. 10. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. 11. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. 12. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. XI. SKDI VI. KERANGKA KONSEP Tn. Agus (30), buruh bangunan, alami multiple trauma Hasilkan CO (akibat pembakaran tak sempurna) Trauma Inhalasi Gas CO bercampur dengan sputum Carbonaceus Sputum (+) (Fraktur Pelvis & Femur) (Luka Bakar) Grade II Pelepasan mediator inflamasi dalam sirkulasi pulmonal Produksi Mukus ­ Trauma Tumpul Combustio Pelepasan mediator inflamasi Kerusakan dan Permeabilitas kapiler ­ nNOS ROS Cairan dari sel berpindah ke intravascular-interstitial Nyeri abd, paha, panggul NO Vesikulasi RNS Permeabilitas kapiler ­ Aktivasi PARP Disfungsi seluler Pulmonary Edema Edema pada Sel Kerusakan Perfusi Jaringan Gangguan Integritas Kulit Volume cairan ¯ Dehidrasi Suara Parau Hipotensi Takipneu Permeabilitas kapiler ­ Migrasi sel dan cairan dari vascular - jaringan Soft Tissue Swelling (+) Syok Hipovolemik Takikardi Obstruksi sal. Nafas atas ROM Deformitas VII. KESIMPULAN Tn. Agus, 30 tahun mengalami gangguan airway dan syok hipovolemik akibat multiple trauma (trauma inhalasi, fraktur pelvis disertai fraktur femur sinistra dan combustio grade II ekstremitas superior). VIII. DAFTAR PUSTAKA Armis, MD, SpB, S., 2018. Buku Ajar Trauma Muskuloskeletal. Yogyakarta. Rastu, G., Mahartha, A., Maliawan, S., Kawiyana, K.S., Program, M., Pendidikan, S., Fakultas, D., Universitas, K., Umum, S., Sanglah, P., 2015. Manajemen Fraktur Pada Trauma Management of Fracture of Musculosceletal Trauma 1–13. Widiyawati, A., 2018. Fraktur. Yogyakarta. https://doi.org/10.1515/9783110860481-111