Laporan Kasus INDIKASI MASUK ICU DAN TATALAKSANA PASIEN Disusun Oleh: Faadhillah Muhammad Yusuf, S.Ked 04084821921064 Pembimbing: DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2020 HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus INDIKASI MASUK ICU DAN TATALAKSANA PASIEN Oleh: Faadhillah Muhammad Yusuf, S.Ked 04084821921064 Dosen Pembimbing: Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode September - September 2020. Palembang, Agustus 2020 dr. , Sp.An ii KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur hanya bagi Allah Subhana wa Ta’Ala, karena atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “INDIKASI MASUK ICU DAN TATALAKSANA PASIEN” sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. , Sp.An Selaku pembimbing laporan kasus ini yang telah memberikan bimbingan dan nasihat dalam penyusunan telaah ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar laporan kasus ini menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga laporan kasus ini bias membawa manfaat bagi semua orang dan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Palembang, Agustus 2020 Penulis iii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 BAB II STATUS PASIEN..................................................................................... 2 2.1 Identitas ............................................................................................ 2 2.2 Survei Primer ................................................................................... 2 2.3 Survei Sekunder ............................................................................... 3 2.3.1 Anamnesis .............................................................................. 3 2.3.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................... 4 2.3.3 Pemeriksaan Laboratorium ..................................................... 5 2.3.4 Pemeriksaan Radiologi ........................................................... 6 2.4 Diagnosis.......................................................................................... 6 2.5 Tindakan ........................................................................................... 6 2.6 Persiapan Pre-operasi ....................................................................... 6 2.7 Teknik Anestesi ................................................................................ 6 BAB III ANALISIS KASUS ............................................................................... 11 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20 iv BAB I PENDAHULUAN Deviasi septum nasi merupakan bentuk septum yang letaknya tidak lurus di tengah karena pertumbuhan tulang dan tulang rawan tidak seimbang. Normalnya bentuk septum berada lurus di tengah. Keluhan yang paling sering timbul dari deviasi septum nasi ialah sumbatan hidung, rasa nyeri di kepala, penciuman terganggu, dan apabila menyumbat ostium sinus dapat mengganggu aliran udara dan berpotensi menyebabkan rhinosinusitis. Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip sehingga deviasi septum perlu ditatalaksana. Tatalaksana septum deviasi dapat berupa pembedahan yaitu septoplasty. Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. 1,2 Pasien yang akan menjalani pembedahan dan anestesi (elektif atau darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu preanestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi. Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dan pemantauan fungsifungsi vital tubuh selama prosedur anestesi.3,4 Anastesi dapat di klasifikasikan berdasarkan daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhinya, yaitu : 1). Anestesi lokal, terbatas pada tempat penggunaan dengan pemberian secara topikal, spray, salep atau tetes, dan infiltrasi. 2). Anestesi regional, mempengaruhi pada daerah atau regio tertentu dengan pemberian secara perineural, epidural, dan intratekal atau subaraknoid. 3). Anestesi umum, mempengaruhi seluruh sistem tubuh secara umum dengan pemberian secara injeksi, inhalasi, atau gabungan. Pada penulisan ini akan membahas mengenai persiapan anastesi yang diperlukan pada pasien yang akan melakukan tindakan anastesi umum. 1 BAB II STATUS PASIEN 2.1 Identitas Nama : Ny. RA No RM : 1180691 Umur : 19 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan 2.2 Pekerjaan : Pelajar BB/TB : 56 kg / 156 cm Alamat : Pemulutan, kab. Ogan Ilir MRS tanggal : 16 Agustus 2020 Survei Primer Tabel 2.1 Survei primer Klinis Masalah Tindakan Gurgling (-), snoring (-), stridor (-), perdarahan (), muntah (-), keluar Airway clear busa dari mulut (-), cedera servikal (-) Pertahankan patensi jalan napas dengan triple airway manuver (head tilt, chin lift atau jaw thrust jika curiga cedera servikal) Breathing Nafas spontan (+), RR = 20 x/menit, WOB normal, retraksi dinding dada (-), retraksi intercostal (-), SpO2 98% Normal Pertahankan patensi pernapasan pasien. Circulation Warna kulit sianosis(-), akral pucat (-), TD: 120/80 mmHg, HR :80 x/menit Normal Pasang IV line 1 jalur. Pemberian cairan dengan kristaloid 500 mL. Airway 2 Environment 2.3 Pasien sadar penuh. AVPU: alert Disability T: 36,7°C normal Lakukan manajemen breathing dan circulation dengan baik sehingga perfusi jaringan adekuat. Selimuti pasien untuk mencegah hipotermia Survei Sekunder 2.3.1 Anamnesis Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2020 a. Keluhan utama Penurunan kesadaran secara tiba-tiba saat aktivitas b. Riwayat perjalanan penyakit ± Sejak 1 hari yang lalu, penderita mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba saat aktivitas. Sebelum mengalami penurunan kesadaran pasien mengeluh nyeri kepala hebat dan mendadak ada, muntah tidak ada, kejang ada, frekuensi 1x, durasi < 5 menit berupa kaku pada lengan kiri. Sebelum, sesaat, dan setelah kejang pasien masih tidak sadar. Kelamahan sesisi tubuh kiri, mulut menggot ke kanan, bicara pelo belum dapat dinilai. Gangguan sensibilitas berupa rasa baal dan kesmutan belum dapat dinilai. Kemampuan penderita untuk mengungkapkan isi pikirannya maupun memahami isi pikiran orang lain baik secara lisan, tulisan maupun isyarat belum dapat dinilai. Kondisi seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien. c. Riwayat Penyakit Dahulu - Riwayat hipertensi disangkal - Riwayat diabetes melitus disangkal - Riwayat nyeri kepalam lama disangkal - Riwayat trauma kepala ada 1 tahun yang lalu, kecelakaan motor namun pasien tetap sadarkan diri. - Riwayat sakit ginjal disangkal 3 - Riwayat sakit jantung tidak ada - Riwayat demam ada selama 4 hari d. Riwayat Operasi - Tidak ada e. Riwayat Konsumsi Obat - Riwayat pengobatan sebelumnya disangkal f. Riwayat Alergi - Riwayat alergi disangkal 2.3.2 Pemeriksaan Fisik a. Status generalis - Sensorium : E3M5V2, - TD : 135/95 mmhg - N : 120 x/menit - RR : 20 x/menit - T : 36,8 °C - SpO2 : 99% b. Keadan spesifik Kepala : konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, diameter 3 mm/3mm, RC (+), Hidung : KND : kavum sempit, sekret (+), konka inferior eutrpfi, tampak masa warna putih keabuan seperti kolang-kaling, tidak mudah berdarah, septum deviasi (+) kekanan KNS : Kavum lapang, sekret (+), konka inferior eutrofi, tampak masa warna putih keabuan seperti kolang-kaling, mudah berdarah. Leher : pembesaran KGB (-),pembesaran kelenja tiroid () Thorax Pulmo I : statis dan dinamis simetris, kanan sama dengan kiri P : stem fremitus kanan sama dengan kiri P : sonor dikedua hemithorax 4 A : vesikuler (+) normal di kedua hemithorax, ronkhi (-), wheezing (-) Cor Abdomen : BJ I-II normal, HR: 80 x/m, murmur (-) gallop (-) : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) timpani, BU(+) normal. Genitalia : tidak diperiksa Ekstremitas : edema pretibial (-), akral pucat (-), CRT < 2” 2.3.3 Pemeriksaan Laboratorium Tabel 2.2 Pemeriksaan laboratorium tanggal 22 Agustus 2020 Jenis Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin RBC WBC Hematokrit PLT Hitung Jenis Faal hemostasis Waktu pendarahan (BT) Waktu Pembekuan (CT) INR Kimia Klinik Glukosa Sewaktu Hasil Rujukan 12,8 4,07 8,23 11,4 – 15.0 g/dL 4 – 5,7 x 106/mm3 4,73 – 10,89 x 103 /mm3 35 – 45 % 189 – 436 x 103/mL 0 – 1/1 – 6/50 – 70/ 2040/2-8 35 190 0/3/59/30/8 2.0” 10.0” 1,05 1 – 3” 9 – 15” 112 <200 mg/dL Ginjal Ureum Kreatinin 21 0.8 16.6 – 48.5 mg/dL 0.5 – 0.9 mg/dL Elektrolit Na+ K+ 144 3,6 135 – 155 mEq/L 3.5 – 5.5 mEq/L Non reaktif Non reaktif Immunoserologi HbsAG 5 2.3.4 Pemeriksaan Radiologi Gambar 2.2: Hasil Pemeriksaan Rhontgen Toraks Kesan: - Tidak tampak kardiomegali - Pulmo dalam batas normal 2.4 Diagnosis Rhinosinusitis Kronik dengan Polip + Septum Deviasi 2.5 Tindakan Septoplasty 2.6 Persiapan Pre-operasi Non Farmakologis : - Observasi TTV - Oksigenasi dengan nasal canul 3 L/m - Informed consent operasi dan informed consent pembiusan - Puasa 6 jam sebelum operasi - Edukasi 2.7 Teknik Anestesi a. Pre Anestesi Tanggal tindakan : 24 Agustus 2020 TB : 156 cm 6 BB : 56 kg IMT : 23, 04 Riwayat operasi : Tidak ada Riwayat obat-obatan : Tidak ada Alergi : Tidak ada Sistem Organ Penyakit Kardiovaskuler : Tidak ada Penyakit Respirasi : Tidak ada Penyakit Neurologis : Tidak ada Diabetes : Tidak ada Masalah Tiroid : Tidak ada Masalah Ginjal/Buli/Prostat : Tidak ada Masalah Gastro-intestinal : Tidak ada Kelainan Darah : Tidak ada Penyakit Mata : Tidak ada Penyakit Telinga : Tidak ada Kanker/Kemoterapi : Tidak ada Kelainan Psikiatri : Tidak ada Penyakit atau kelainan lain : Tidak ada Riwayat Anestesi : Tidak ada Interaksi obat-obatan : Tidak ada Psikologis dan Kultural Psikologis : Tenang Kultural : Tidak ada Tanda Vital Kesadaran : Compos Mentis TD : 130/90 mmHg Nadi : 80 x/menit 7 Suhu : 36,7oC Respiratory Rate : 20 x/menit SpO2 : 99% dengan nasal kanul 3L/m Evaluasi Jalan Nafas Gigi : Lengkap Buka Mulut : 3 jari Jarak Thyro-Mental : 3 jari Mallampati :I ROM Leher : Baik Kelainan Jalan Nafas Lain : Tidak Ada Paru : Normal Jantung : Irama regular, Normal Pemeriksaan Penunjang Tanggal 22 januari 2020 Darah Hemoglobin :12.8 g/dL Hematokrit : 35 % Leukosit : 8,23 106/mm3 Trombosit : 190 103/mm3 DC : 0/3/59/30/8 Bleeding Time : 2” Clotting Time :10” GDS : 150 mg/dL Ureum : 21 mg/dL Natrium : 144 mEq/L Kalium : 3,4 mEq/L HBsAg : non reaktif Rontgen Toraks : jantung dan paru dalam batas normal 8 Diagnosa : Rhinosinusitis kronik dengan polik + septum deviasi b. Tindakan : Septoplasty Status Fisik : ASA I Anestesi Evaluasi Pre Induksi Kesadaran : Compos Mentis Respirasi : Spontan, RR 18 x/menit,udara bebas SpO2 : 99 % Tekanan darah : 128/72 mmHg Nadi : 68 x/menit, regular Status fisik : ASA I Co induksi : Midazolam 2 mg iv Induksi : fentanyl 100 mcg; propofol 100 mg; Rocuronium 30 mg Jenis anestesi : Anestesi umum Pengaturan nafas : Controlled Monitoring : EKG, SpO2, NIBP Keadaan Selama Operasi Posisi : Supine Ventilasi : Single lumen ETT cuff no 7.0 Cairan Total Asupan Cairan 1. Kristaloid : RL 500 cc 2. Koloid :- 3. Darah :- 4. Komponen darah :- Total keluar cairan : 1. Perdarahan : 60 cc 9 c. Post Anestesi Monitoring Pasca bedah Pasien pindah ke Ruang Pemulihan pukul 09.55 Kesadaran : E4M6V5 Tekanan Darah : 110/70 mmHg HR : 90 x/menit, reguler RR : 22 x / menit SpO2 : 98% Manajemen Postoperatif Monitoring tanda vital di ruang pemulihan Monitoring tanda vital di bangsal selama 24 jam (TD,N,RR, Temp, SpO2) selama 24 jam Bed rest dan posisi head up 30 ͦ Oksigenasi 3L/m Analgetik Ketorolac 30 mg iv telah diberikan pukul 08.45 intraoperatif Jika ada mual muntah, dapat diberikan ondansetron 8 mg iv Bila sadar penuh, boleh makan dan minum 2.9 Prognosis Quo ad vitam : bonam Quo ad fungsionam : bonam Quo ad sanationam : bonam 10 BAB III ANALISIS KASUS Ny. HBM, 51 tahun datang dengan keluhan 1 tahun yang lalu kedua hidung tersumbat, tidak dipengaruhi oleh cuaca, aktivitas, penurunan penciuman ada, bersin 5x terutama bila terkena debu, asap, dingin, hidung berair jernih, nyeri di pipi tidak ada, mimisan tidak ada, rasa lender mengalir di tenggorakan ada, mimisan tidak ada. Pasien berobat ke dokter umum dan diberikan obat tapi pasien lupa nama obatnya. 1 bulan yang lalu kedua hidung makin tersumbat, tidak dipengaruhi oleh cuaca, aktivitas, penurunan penciuman ada, pasien mengaku makin sulit bernapas melalui hidung. Pasien kemudian berobat ke rumah sakit swasta dan kemudian dirujuk ke RSMH lalu disarankan operasi. Evaluasi pre-operatif terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala America Society of Anaesthesiology (ASA).5 Pada anamnesis, terdapat lima poin penting untuk ditanyakan yaitu Alergi, Medikasi, Past Illness, Last Meal, Event (AMPLE). Pasien ini tidak memiliki alergi dan tidak memiliki riwayat konsumsi obat sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit dahulu yang melibatkan fungsi jantung dan paru, penyakit ginjal, penyakit endokrin dan metabolik, masalah pada muskuloskeletal dan anatomi jalan napas. Pasien menjalani puasa selama 6 jam. Puasa preoperatif pada pasien yang akan menjalani operasi elektif merupakan suatu keharusan sebelum tindakan operatif, hal ini berguna untuk mengurangi volume dan keasaman lambung serta mengurangi risiko regurgitasi atau aspirasi yang lebih dikenal dengan Mendelson’s syndrome selama anestesi terutama pada saat induksi.6 Sewaktu dilakukan induksi anestesi, refleks batuk dan menelan akan dihambat, sedangkan makanan di dalam lambung meningkatkan risiko aspirasi. Isi lambung dengan pH + 1,5–3,5, regurgitasi sekitar 50 mL dari asam lambung dapat menyebabkan iritasi serta inflamasi pada paru dan dapat mengakibatkan komplikasi mengganggu pertukaran gas kematian.6,7 puasa sehingga pada akhirnya yang berlebihan perioperatif yang 11 dapat menyebabkan berbahaya.8 Setelah dilakukan anamnesis lengkap, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik untuk mengkonfirmasi dan mendeteksi kemungkinan abnormalitas yang tidak didapatkan dari anamnesis. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien sehat seperti pada kasus meliputi pemeriksaan tanda vital (Tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan dan suhu), pemeriksaan jalan napas, jantung, paru dan mukuloskeletal dengan teknik inspeksi, palpasi, perkusi serta auskultasi. Pada pasien ini tanda vital dalam batas normal, sedangkan pada keadaan spesifik terdapat benjolan di regio preaurikula, berwarna kemerahan, ukuran ± 6x5x5 cm, konsistensi lembut, immobile, dan tidak nyeri tekan. Evaluasi jalan napas wajib dilakukan pada pasien dengan rencana dilakukan intubasi. Untuk menilai hal-hal yang berpotensi menjadi penyulit saat prosedur intubasi, sering digunakan kriteria manajemen jalan nafas “LEMON”:9 a. L: Look externally Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan tindakan ventilasi atau intubasi mengalami kesulitan seperti macrognathia, bukti operasi kepala dan leher sebelumnya atau iradiasi, kumis tebal, kelainan gigi geligi (gigi palsu, gigi besar), leher pendek atau leher yang tebal, dan trauma wajah atau leher. b. E = Evaluate 3 – 3 – 2 rule Penilaian 3 – 3 – 2 adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa besar bukaan mulut. Gambar 3.1: Evaluasi Jari 3-3-2 12 c. M = Mallampati score Mallampati score digunakan sebagai alat klasifikasi untuk menilai visualisasi hipofaring, caranya pasien berbaring dalam posisi supine, membuka mulut sambil menjulurkan lidah. Gambar 3.2 Skor Mallampati d. O = Obstruction/Obesity Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan abses peritonsil, trauma. Obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena memperberat ketika melakukan laringoskop dan mengurangi visualisasi laring. e. N = Neck deformity Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi menjadi sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan ekstensi dengan bebas ketika laringoskopi atau intubasi, Ektensi leher "normal" adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint). Pada penilaian jalan napas, pasien ini memiliki gigi geligi lengkap, daat membuka mulut 3 jari dan memiliki jarak thyro-mental 3 jari. Pasien ini memiliki 13 skor mallampati 1 dengan ROM leher baik dan tidak memiliki kelainan jalan napas lainnya. Pemeriksaan laboratorium kurang direkomendasikan untuk pasien dengan kondisi tubuh sehat namun dokter biasanya melakukan pemeriksaan darah rutin.4 Pasien didiagnosis kista preaurikula dan direncanakan untuk tindakan ekstirpasi kista. Berdasarkan evaluasi preoperatif pasien masuk dalam kategori ASA I. ASA Physical Status Classification System digunakan untuk melakukan assessment pasien preanestesi. Klasifikasi ini tidak dapat memprediksi risiko operasi, namun dapat digunakan untuk menentukan faktor-faktor lainnya untuk membantu memprediksi risiko perioperatif. Tabel 3.1 Klasifikasi status fisik psien berdasarkan ASA7 Klasifikasi Status Contoh ASA Kesehatan Preoperatif ASA I Pasien Normal Tidak ada gangguan organik, fisiologis maupun dan Sehat ASA II Pasien psikiatri, dengan Tidak ada halangan fungsional. Penyakit yang penyakit terkontrol dengan baik pada satu system organ sistemik ringan (hipertensi terkontrol atau diabetes tanpa efek sistemik), pasien merokok tanpa PPOK, Wanita hamil, obesitas ringan ASA III Pasien dengan Ada gangguan fungsional. Penyakit yang terkontrol penyakit pada beberapa system organ, tidak dalam bahaya sistemik berat kematian (Penyakit jantung kongestif terkontrol, angina stabil, riwayat penyakit jantung, hipertensi tidak terkontrol, obesitas morbid, gagal ginjal kronis, penyakit bronkospastik dengan gejala intermitten. ASA IV Pasien dengan Memiliki paling tidak 1 penyakut berat yang tidak penyakit terkontrol atau pada stadium akhir, memiliki resiko sistemik berat kematian (angina tidak stabil, PPOK simptomatik, yang penyakit 14 jantung kongestif simptomatik, gagal mengancam hepatorenal. jiwa ASA V Pasien sakit Kemungkinan tidak bertahan hidup >24 jam tanpa berat yang tindakan operasi, kemungkinan meninggal dalam kemungkinan tidak selamat keadaan hemodinamik yang tidak stabil, hipotermia, tanpa operasi ASA VI Pasien waktu dekat (kegagalan multiorgan, sepsis dengan koagulopati tidak terkontrol) dengan mati batang otak yang organya akan diambil untuk didonorkan Pasien ini diberikan midazolam 3mg iv sebagai premedikasi. Midazolam diindikasikan untuk mengurangi kecemasan, memproduksi kantuk atau anestesi sebelum menjalani prosedur medis tertentu atau operasi. Midazolam adalah benzodiazepin yang bekerja di sistem saraf pusat (otak) untuk menyebabkan rasa kantuk, relaksasi otot, dan kehilangan ingatan jangka pendek, dan untuk mengurangi kecemasan.4 Pukul 13.00 pasien masuk ruang operasi, dilakukan pemasangan monitor EKG, tensimeter dan saturasi oksigen. jenis anestesi yang dilakukan adalah anestesi umum. Anestesi umum bertujuan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan, hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks, serta hilangnya kesadaran. 4 Induksi dimulai menggunakan Fentanyl 100 mcg, propofol 100 mg, rocuronium 30 mg. Induksi merupakan rangkaian proses transisi dari sadar penuh sampai hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan.4 15 Tabel 3.2 dosis obat anestesi intravena6 Obat Penggunaan Rute Dosis Propofol Induksi IV 1-2,5 mg/kg Pemeliharaan IV 50-200 mcg/kg/mrnit Sedasi IV 25-100mcg/kg/menit Anestesi intraoperasi IV 2-50 mcg/kg Analgesik pascaoperas IV 0,5-1,5 mcg/kg Intubasi IV 0,8 mg/kg Fentanyl Rocuronium Propofol bekerja dengan memfasilitasi neurotransmisi penghambat yang dimediasi oleh pengikatan reseptor GABA-A. Propofol hanya tersedia untuk pemberian intravena pada induksi anestesi umum memiliki onset aksi yang cepat karena memiliki waktu paruh distribusi yang sangat singkat (2-8 menit). Pemulihan dari propofol lebih cepat dibandingkan pemulihan dari metoheksital, tiopental, ketamin, atau etomidat sehingga obat ini menjadi anestesi yang baik untuk operasi rawat jalan.4 Propofol secara dose dependent menurunkan tekanan darah lebih signifikan dibanding thiopental. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah dan depresi minimal kontraksi miokard. propofol menghasilkan depresi pernapasan yang lebih tinggi dibandingkan thiopental. Pasien dengan propofol harus dimonitor untuk memastikan adekuasi oksigen dan ventilasi.4 Fentanyl merupakan golongan agonis opioid yang memberikan efeknya melalui ikatan dengan reseptor opioid. Obat ini mempengaruhi sistem fisiologis secara luas. Obat ini menyebabkan perubahan fungsi saraf (analgesia, mempengaruhi mood dan perilaku), fungsi pernapasan, (depresi pernapasan), kardiovaskular (menurunkan denyut jantung dan dapat sedikit menurunkan tekanan darah.), gastrointestinal dan neuroendokrin. Fentanyl sangat larut lemak dan mudah menembus sawar darah–otak dengan waktu paruh untuk mencapai kesetimbangan antara plasma dan cairan serebrospinal sekitar 5 menit. Rocuronium adalah neuromouskular blocker (obat pelumpuh otot golongan nondepolarisasi, penggunaan klinis utama bloker neuromuskular adalah sebagai adjuvan 16 pada anestesia pembedahan untuk menghasilkan relaksasi otot rangka, khususnya pada dinding abdomen, sehingga berbagai manipulasi pembedahan lebih mudah dilakukan.4 Untuk manajemen jalan napas dilakukan prosedur intubasi dengan menggunakan Endo tracheal tube (ETT) cuff no7.0. Tindakan intubasi endotrakeal selama anestesi umum berfungsi sebagai sarana untuk menyediakan oksigen (O2) ke paru-paru dan sebagai saluran untuk obat-obat anestesi yang mudah menguap. Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan memposisikan pasien. Alat yang perlu disiapkan adalah “STATICS”: 10,11 Gambar 3.3 persiapan alat untuk prosedur intubasi endotrakeal; STATICS10,11 1. Scope :Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. 2. Tube : Pipa trakea dipilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed). 3. Airways : Pipa mulut-faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa hidungfaring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas. 4. Tape : Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut. 17 5. Introducer : Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokan untuk memandu pipa trakea agar mudah dimasukkan. 6. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi. 7. Suction : penyedot lendir, ludah, darah dan lain-lain. Sebelum dilakukan intubasi terlebih dahulu dilakukan oksigenasi dengan menggunakan orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag valve kurang lebih selama 30 detik. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.11 Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.11 Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup. 18 DAFTAR PUSTAKA 1. Soepardi.E.A, N.Iskandar, J.Bashiruddin, R.D.Restuti.2011.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Vol VI(6). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Investigation O, Health KN.2015. Prevalence and Risk Factors of Chronic Rhinosinusitus, Allergic Rhinitis, and Nasal Septal Deviation Results of the Korean National Health and Nutrition Survey 2008-2012. 2016;142(2):162- 167. doi:10.1001/jamaoto. 3. Muhardi, M, dkk. Anestesiologi, bagian Anastesiologi dan TerapiIntensif, FKUI. CV Infomedia. Jakarta. 4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2018.Morgan and Mikhail’s clinical anesthesiology. McGraw-Hill Education 5. Daabiss M. American Society of Anaesthesiologists physical status classification. Indian journal of anaesthesia. 2011 Mar;55(2):111. 6. Hata TM, Moyers JR. Preoperative patient assessment and management. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK, Stock MC, penyunting. Clinical anesthesiology. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2009. hlm. 569–97. 7. Apfelbaum JL, Caplan RA, Connis RT, Epsteinn B, Nickinovich DG, Warner MA, dkk. American Society of Anesthesiologist Committee on Standards and Practice Parameter. Practice guidelines for preoperative fasting and the use of pharmacological agents to reduce the risk of pulmonary aspiration: application to healthy patients undergoing elective procedures-an update. Anesthesiology. 2011;114:495–511. 8. Pimenta GPP, de Aguilar-Nascimento JE. Prolonged preoperative fasting in elective surgical patients: why should we reduce it?. Nutr Clin Prac. 2013;20(10):1–30. 9. Birnbaumer DM. Airway Assessment Using "LEMON" Score Predicts Difficult ED Intubation. Emerg Med 19 J 2005. Available at: http://www.jwatch.org/em200502160000001/2005/02/16/airway-assessmentusing-lemon-score-predicts#sthash.E216Wqd6.dpufA 10. A Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI: Jakarta. Universitas Indonesia. 2007; 2.p:3-45. 11. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE, M ikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGraw‐ Hill Companies, Inc.2006, p. 98‐06. 20