Politik Tubuh Perempuan dalam Media (Studi Analisis Wacana Politik Tubuh Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Sri Sumarah Karya Umar Kayam) Nurike Pudyastiwi Ghaniy Prahastiwi Utari Mahfud Anshori Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Nurike Pudyastiwi Ghaniy, D1211057. Body Politics of Women in Media (Studies of Discourse Analysis of Body Politics of Women in Novels Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari and Sri Sumarah by Umar Kayam). Thesis, Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta. November 2014. In general, the aims of this research is to determine the political discourse of women's bodies in the novel Ronggeng Dukuh Paruk and Sri Sumarah. In keeping with the theme, researchers used the approach of how the political culture of the female body and how woman face it. This research is a qualitative research that aims to propose how the body politics of women represented in both novels. Selection of data is done by purposive sampling, that accordance with the purposes of research and formulation of the problem. In the analysis, the researchers used a model of discourse analysis techniques Sara Mills. Sara Mills method of discourse analysis to see how the text is built through four positions, namely the position of the object, subject, author and reader. In the position of the object and subject, the authors analyze how the female body politics described in the text. In the position of the authors, researchers looked at the background of the discourse of the author. While the position of the reader, the researchers looked at how the text is received by the reader novel lovers. Body politics is the way of women to relinquish power to her body. In this research, described the female body is controlled by the culture so that women can not act in accordance with their wishes and even tend to be forced to engage in activities that harm women. However, the strength of their own empowerment, women can finally be separated from the power. Keywords : Woman, body politics, discourse analysis, Sara Mills 1 2 Pendahuluan Literatur tentang gender dan media menyingkapkan ketidaksetaraan yang mendasar dalam frekuensi pemuatan wanita dan pria di media. Misalnya dalam televisi, lebih banyak menggambarkan pria sebagai pemimpin daripada wanita. Media bisa menjadi saluran mitos dan sekaligus sarana pengukuhan mitos tertentu tentang gender, wanita dan pria. Gender merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang berbeda-beda dipengaruhi faktor-faktor seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama, adat istiadat, golongan, sejarah serta perkembangan teknologi. Tidak jarang alasan kultural memberikan legitimasi yang kuat kemudian dimasukkan kedalam berbagai pranata sosial dan adat istiadat yang kemudian mendarah daging (Ibrahim, 2007: 3-7). Penggambaran wanita dalam media massa, seperti iklan, tabloid, ataupun majalah tidak jauh dari bentuk badan sebagai daya tariknya. Mulai dari cara berbusana, bentuk tubuh dan ekploitasi tubuh itu sendiri, yaitu simbol-simbol menggunakan tubuh untuk pengabdian dan seks dimana pengabdian tersebut kembali lagi yaitu untuk laki-laki (Siregar, 2001: 73). Eksploitasi tubuh perempuan dalam pencitraan media massa menjadi bagian refleksi realitas sosial masyarakat bahwa perempuan selalu menjadi subordinat kebudayaan laki-laki. Perempuan di media massa menjadi “perempuannya lelaki” dalam realitas sosial (Aziz, 2010: 115). Tubuh secara biologis terdiri dari dada, paha, bibir, mata, perut, pusar, penis, puting, anus, otak, usus dan jantung. Tetapi tubuh tidak hanya berhenti pada pandangan sistem biologis tersebut. Tubuh dengan bagian-bagiannya dimuati oleh simbol kultural, positif, negatif, politik, ekonomi, seksual dan moral. Tinggi dan berat badan, aktivitas makan minum, bercinta, bentuk tubuh dan bahasa tubuh bukan sekedar fenomena fisik, tetapi juga berdimensi sosial. Bagian tubuh dan atribut tubuh sesungguhnya bersifat sosial. Usia, gender, dan warna kulit menjadi identitas sosial dan konsep diri. Tubuh menjadi suatu hal penting yang mempengaruhi kehidupan sosial. Seperti memperhatikan kecantikan, kegemukan, wajah, dan seks yang menjadi berpengaruh untuk bekerja atau berteman. Tubuh menampung sebuah wilayah yang luas dari makna yang terus menerus berubah. Ia 3 menjadi unsur pokok identitas personal dan sosial (Synnott, 1993: 1-4). Dalam pandangan Barat, tubuh dianggap sebagai mikrokosmos atau semesta kecil. Namun, dalam pengertian Jawa, tubuh merupakan makrokosmos atau semesta besar, karena tubuh atau jasad manusia dikuasai oleh nafsu dan dorongan naluriah (Handayani & Novianti, 2004: 54). Politik tubuh, menurut Foucault dalam Jurnal Penelitian Humaniora, adalah prosedur, teknik dan taktik dari kekuasaan dalam menjadikan suatu bentuk lunak, yaitu tubuh, untuk bergerak dan tampil seolah-olah natural sehingga secara tidak sadar telah dikonstruksi, digolongkan, dikonstitusikan, ditematisasikan dan dimanipulasi serta terperangkap dalam suatu hubungan prosedural yang terjadi karena adanya pemaksaan hak dan kewajiban (Purwahida & Sayuti, 2011: 115). Sastra adalah ungkapan pribadi manusia, berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semngat keyakinan, ke dalam suatu bentuk gambaran konkret dengan alat bahasa. Melalui karya sastra, seorang pengarang ingin menyampaikan pandangannya tentang kehidupan. Oleh sebab itu, mengapresiasi karya sastra artinya belajar tentang nilai kehidupan yang tercermin dalam karya sastra tersebut (Rokhmansyah, 2014: 2). Karya sastra merupakan dunia rekaan yang diciptakan oleh pembuatnya. Dunia rekaan yang di terima oleh pembacanya, membuat proses tersebut menjadi proses komunikasi. Dalam proses komunikasi semacam ini, sastrawan adalah pengirim pesan, pembaca adalah penerima pesan dan karya sastranya adalah pesan (Taryadi, 1999: 238-239). Ahmad Tohari dan Umar Kayam adalah sastrawan Indonesia yang mengangkat perempuan ke dalam karya sastranya. Keduanya merupakan sastrawan yang karyanya tidak hanya diakui di Indonesia, tapi telah diapresiasi oleh masyarakat dunia. Keduanya pernah mendapatkan SEA Write Award, yaitu penghargaan penulis se-Asia Tenggara. Umar Kayam mendapatkannya pada tahun 1987 sedang Ahmad Tohari pada tahun. Tokoh-tokoh perempuan dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah merupakan dua perempuan Jawa yang hidupnya tidak lepas dari apa yang mereka dapat atau yang mereka alami karena tubuh mereka. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti cerita fiksi Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah karena keduanya menggambarkan 4 perempuan yang bergolak untuk melakukan kontrol atas kuasa pada tubuh mereka sendiri. Untuk mengetahui representasi politik tubuh perempuan dalam cerita fiksi Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah, perlu menggunakan analisis. penulis menggunakan konsep analisis wacana dari Sara Mills. Sara Mills merupakan seorang teoris wacana yang titik perhatiannya lebih banyak pada wacana-wacana feminisme. Seperti bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik novel, gambar, foto ataupun berita. Titik perhatian analisis wacana model Sara Mills adalah bagaimana wanita digambarkan dan dimarjinalkan dalam teks. Sara Mills melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks, serta bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam penceritaan teks (Eriyanto, 2001: 199-204). Penulis memutuskan untuk menggunakan analisis wacana model Sara Mills, karena selain model ini sering digunakan untuk wacana feminisme, model ini sesuai dengan tema yang penulis angkat, yaitu politik tubuh. Bagaimana perempuan menjadi objek dan bagaimana perempuan menjadi subjek. Terdapat kesamaan konsep berfikir antara Sara Mills dan feminisme radikal tentang penindasan terhadap perempuan. Rumusan Masalah Penelitian ini dilakukan dengan bantuan rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimanakah wacana politik tubuh perempuan direpresentasikan secara kontekstual dalam cerita fiksi Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah?” Selanjutnya secara khusus penelitian ini ingin mengetahui politik tubuh perempuan dalam posisi-posisi sebagai berikut: 1. Bagaimanakah wacana politik tubuh perempuan dilihat dari posisi objeksubjek dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah? 2. Bagaimanakah wacana politik tubuh perempuan dilihat dari posisi penulis dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah? 3. Bagaimanakah wacana politik tubuh perempuan dilihat dari posisi pembaca dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah? 5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wacana politik tubuh perempuan direpresentasikan secara kontekstual dalam cerita fiksi Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah. Selanjutnya secara khusus penelitian ini ingin mendeskripsikan dan menganalisis: 1. Wacana politik tubuh perempuan dilihat dari posisi objek-subjek dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah. 2. Wacana politik tubuh perempuan dilihat dari posisi penulis dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah. 3. Wacana politik tubuh perempuan dilihat dari posisi pembaca dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah. Tinjauan Pustaka A. Komunikasi sebagai Proses Produksi dan Pertukaran Makna Ilmu komunikasi adalah fenomena yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang yang konteksnya luas, mencakup aspek sosial, budaya, ekonomi dan politik dari kehidupan manusia. Ilmu komunikasi menjadi seni memproduksi sistem-sitem tanda dan lambang untuk kepentingan yang luas. Sedangkan menurut Stephen W. Littlejohn, komunikasi adalah sebuah ilmu pengetahuan sosial yang berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana orang berperilaku dalam menciptakan, mempertukarkan serta menginterpretasikan pesan-pesan (Sendjaja, 2005: 9). Dalam sebuah proses komunikasi, masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Pandangan ini disebut paradigma konstruksionis. Pesan dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Dalam proses ini, pesan diciptakan oleh komunikator kemudian secara aktif ditafsirkan oleh individu penerimanya. Pesan disini bukan dipandang sebagai mirror of reality yang menampilkan apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, komunikator menyusun citra tertentu untuk memberi gambaran tentang suatu realitas. 6 Dengan realitas yang ada, seorang komunikator menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dengan pengalaman dan pengetahuannya sendiri. Paradigma konstruksionis melihat komunikasi bukan sebagai penyebaran pesan, tetapi proses pembentukan individu sebagai anggota dari dari kebudayaan masyarakat. Komunikan akan menggunakan referensi budayanya dalam menafsirkan pesan. Hal ini memungkinkan tafsir berbeda dari berbagai komunikan (Eriyanto, 2002: 40-45). B. Pesan Pesan dalam ilmu komunikasi adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan memiliki tema yang menjadi pengarah dalam usaha mempengaruhi komunikan. Pesan merupakan hal yang sangat penting dalam proses komunikasi, karena pesan merupakan arah tujuan akhir proses komunikasi tersebut (Widjaja, 2000: 32). Pesan disusun dan disampaikan melalui kata-kata (bahasa) dan simbol. Bagaimana komunikan mengartikan pesan juga ikut menyusun arti pesan itu sendiri. Sedangkan manusia sendiri juga didominasi oleh konsepsi, bahasa dan simbol. Simbol digunakan manusia untuk membuat konsep tentang suatu hal. Kumpulan simbol-simbol yang dihubungkan akan membuat suatu konsep, ide, pola atau bentuk. Konsep, ide, pola atau bentuk inilah yang kemudian dikirim dalam proses komunikasi menjadi pesan. Menurut langer dalam Littlejohn, konsep adalah makna yang disepakati bersama antar pelaku komunikasi. Kombinasi simbol bersama dengan bahasa kemudian akan membentuk wacana (Littlejohn & Foss, 2009: 153-154). C. Novel Sebagai Media Komunikasi Massa Secara sederhana, Chris, dalam jurnal The Mass Media, menyatakan, a mass medium is generally classified as ‘one-to-many’ communication. Secara umum, media massa adalah komunikasi dari satu pihak ke banyak pihak. ‘one 7 person’ disini seperti penulis buku, tim kreatif televisi atau sutradara film. ‘one person’ tersebut mengkomunikasikan ide mereka kepada banyak orang, dalam hal ini adalah penonton (Chris, 2011). Melihat novel sebagai media komunikasi massa adalah dengan melihat novel tidak lain adalah salah satu bentuk pengkomunikasian ide. Melihat novel sebagai media komunikasi massa tidaklah melihatnya dari pandangan sastra dan nilai sakralnya. Bentuk novel sama dengan media komunikasi lain. yaitu diciptakan oleh komunikator, dibuat dalam bentuk massal, sehingga diterima oleh khalayak banya. Hanya saja, novel memiliki karakteristiknya sendiri. Sepeti media lain yang juga memiliki karakteristik masing-masing (Siregar, 1978: 1-2). D. Feminisme dan Politik Tubuh Perempuan Feminisme radikal merupakan salah satu paham feminisme yang menekankan kepada permasalahan-permasalahan patriarkis yang fokus pada politics of the “private” sphere atau hal-hal yang bersifat privasi seperti seksualitas, motherhood, dan tubuh. Tujuan utama mereka adalah agar perempuan dapat memiliki kuasa sepenuhnya terhadap tubuh mereka sendiri untuk meningkatkan nilai tubuh mereka. Untuk mendapatkan tujuan mereka, feminis radikal akan menggunakan ide, sikap dan nilai-nilai budaya daripada menggunakan dominasi laki-laki. Feminisme radikal tidak memperhatikan urusan perempuan dalam hal ekonomi, seperti gaji dan lain-lain. Feminisme radikal fokus pada tubuh sebagai hal utama terjadinya penindasan terhadap kaum perempuan (Beasley, 1999: 57-58). Politik tubuh, menurut Foucault dalam Jurnal Penelitian Humaniora, adalah prosedur, teknik dan taktik dari kekuasaan dalam menjadikan suatu bentuk lunak, yaitu tubuh, untuk bergerak dan tampil seolah-olah natural sehingga secara tidak sadar telah dikonstruksi, digolongkan, dikonstitusikan, ditematisasikan dan dimanipulasi serta terperangkap dalam suatu hubungan prosedural yang terjadi karena adanya pemaksaan hak dan kewajiban. (Purwahida & Sayuti, 2011: 115). 8 Metodologi Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif yakni tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran (descriptions) dan atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. Penelitian kualitatif tidak didasarkan pada bukti-bukti empirik pada logika matematik, prinsip bilangan, atau teknik analisis statistik. Penelitian kualitatif lebih didasarkan pada hal-hal yang bersifat diskursif, seperti transkip dokumen, wawancara, catatan lapangan, dan data dari materi nondiskursif, seperti candi, patung, monumen, arsitektur bangunan, foto, musik, tari atau makanan yang kemudian dikonversikan ke dalam bentuk narasi yang bersifat deskriptif sebelum dianalisis, diinterpretasi, dan kemudian disimpulkan (Pawito, 2007: 35-37). Penelitian ini dapat dimasukkan kedalam penelitian kualitatif karena dimaksudkan untuk memahami fenomena mengenai politik tubuh perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah secara mendalam. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah kehidupan manusia atau masyarakat yang dinamis atau tidak konsisten. Oleh karena itu penelitian kualitatif dianggap lebih cocok digunakan untuk penelitian ini. Wacana dikonstruksi oleh individu yang pasti terlibat dalam suatu situasi sosial atau lingkungan. Begitu pula, hasil konstruksinya juga merupakan individu atau sekelompok masyarakat dalam situasi tertentu. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk dan cerpen panjang Sri Sumarah, yang menggambarkan politik tubuh perempuan. Analisis penelitian difokuskan pada beberapa halaman yang mengarah pada penelitian. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu halaman 13, 15, 16, 18, 37, 38, 41, 43, 44, 45, 51, 55, 63, 76, 77, 81, 83, 89, 90, 105, 107, 114, 116, 119, 125, 132, 141, 143, 147, 161, 165, 166, 196, 217, 231, 234, 240, dan 366. Untuk cerpen panjang Sri Sumarah, peneliti mengambil dari kumpulan cerpen Umar Kayam Sri Sumarah, dan yang dijadikan objek penelitian adalah halaman 185, 187, 188, 189, 193, 225, 226, 227, 228, 229 dan 239. Pemilihan tersebut 9 dilakukan dengan cara purposive sampling yang dianggap dapat menggambarkan masalah dan tujuan penelitian. Digunakan purposive sampling yaitu memilih data dengan sengaja yang sesuai dengan fokus penelitian (Bungin, 2005: 53). Sumber utama yang digunakan peneliti, yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk dan cerpen panjang Sri Sumarah. Dari kedua novel tersebut, peneliti memilih beberapa halaman yang sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Sumber sekunder yang peneliti gunakan yaitu sumber-sumber yang dari kepustakaan, jurnal, artikel dan data dari situs internet, yang peneliti gunakan untuk mendapatkan bahan lebih mendalam sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep analisis wacana dari Sara Mills. Titik perhatian analisis wacana model Sara Mills adalah bagaimana wanita digambarkan dan dimarjinalkan dalam teks. Sara Mills melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks, serta bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Dalam posisi subjek-objek, Mills menekankan bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan atau peristiwa ditempatkan dalam teks. Posisi-posisi tersebut pada akhirnya menentukan bagaimana bentuk teks yang hadir di tengah khalayak. Posisi pembaca menurut Sara Mills juga sangat penting dan harus dipertimbangkan dalam pembentukan teks. Mills berpandangan bahwa teks merupakan hasil negosiasi antara penulis dan pembaca (Eriyanto, 2001: 199-209). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi data. Triangulasi data menunjuk pada upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan topik penelitian. Dengan triangulasi data, peneliti dapat menguji data penelitian dengan data yang diperoleh dari sumber lain. Dari sini peneliti akan menemukan kemungkinan apakah data yang ia dapatkan konsisten, tidak konsisten, atau berlawanan. Dengan cara ini, peneliti dapat memberikan gambaran dari beragam perpesktif mengenai gejala yang diteliti (Pawito, 2007: 97-98). Oleh karena itu, untuk meningkatkan pemahaman terhadap objek penelitian yang sesuai rumusan masalah, peneliti melakukan teknik triangulasi 10 dengan cara menggunakan acuan buku, artikel, internet dan jurnal yang menjelaskan tentang masalah yang diteliti. Dengan cara ini peneliti kemudian dapat mengungkapkan gambaran yang lebih beragam mengenai politik tubuh perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah. Sajian dan Analisis Data Tubuh perempuan tidak hanya dimiliki oleh dirinya sendiri. Salah satu kuasa besar yang dapat mengendalikan tubuh perempuan adalah budaya. Dalam kategori ini merupakan analisis mengenai kuasa budaya terhadap tubuh perempuan dan bagaimana cara-cara atau politik yang dilakukan perempuan untuk keluar dari kekuasaan tersebut. Politik budaya atau kuasa-kuasa budaya terhadap tubuh perempuan akan dianalisis melalui model Sara Mills bahwa perempaun menjadi objek dan belum memiliki kuasa terhadap dirinya sendiri. Sedangkan politik tubuh yang dilakukan perempuan akan dianalisa dimana perempuan dianggap sebagai subjek. Pengertian budaya sendiri menurut Raymond Williams, Budaya adalah “suatu cara hidup tertentu” yang dibentuk oleh nilai, tradisi, kepercayaan, obyek material dan wilayah (territory). Budaya adalah suatu ekologi yang kompleks dan dinamis dari orang, benda, pandangan tentang dunia, kegiatan dan latar belakang (setting) yang secara fundamental bertahan lama tetapi juga berubah dalam komunikasi dan interaksi sosial yang rutin. Budaya adalah konteks. Budaya adalah cara kita berbicara dan berpakaian, makanan yang kita makan dan cara yang kita ciptakan dan cara kita memujanya, cara kita membagi waktu dan ruang, cara kita menari, nilai-nilai yang kita sosialisasikan kepada anakanak kita, dan semua detail lainnya yang membentuk kehidupan seharihari (Lull, 1998: 27). Kebudayaan bersifat politis karena ia mengekspresikan relasi sosial kuasa kelas dengan membuat tatanan sosialnya sebagai suatu fakta. Kebudayaan mengklaim dirinya sebagai kebenaran universal (Barker, 2000: 52). Hall menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan lingkungan aktual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa, dan adat istiadat tertentu. Kebudayaan membentuk nalar umum pada kehidupan orang banyak mengenai makna sosial dan bagaimana cara manusia memahami dunia. Makna disini dibangun melalui tanda, khususnya tanda bahasa. 11 Analisis poin pertama adalah melihat perempuan dalam posisi objek. Dalam posisi ini, perempuan ditampilkan sebagai pihak yang dimarjinalkan dan mengalami ketidakadilan. Dalam teks, perempuan tidak memiliki posisi yang tinggi sehingga perempuan tersebut ditampilkan tidak memiliki kekuatan. Posisi ini tidaklah “mendefinisikan” atau “menjadikan”, melainkan “dijadikan”. Artinya, perempuan menjadi objek yang banyak dipengaruhi oleh orang lain. Perempuan didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan, dan ia tidak bisa menampilkan dirinya sendiri (Eriyanto, 2001: 199). Dalam teks, bagaimana posisi perempuan, dikatakan bagaimana oleh siapa, diceritakan oleh siapa, dipengaruhi oleh siapa, dikuasai oleh siapa, dan bagaimana akibatnya. Tabel 1. Perempuan Sebagai Tokoh Simbolis dalam Budaya (Posisi Objek) Kasus Novel Ronggeng Dukuh Paruk Kasus Novel Sri Sumarah 1. Perempuan Sebagai Ronggeng Tubuh ronggeng sebagai bagian dari warisan budaya Ronggeng sebagai simbol cabul dan vulgar 2. Ronggeng sebagai pusat perhatian dan milik umum Tubuh ronggeng boleh dibicarakan siapa saja Tubuh ronggeng boleh dipegang siapa saja Tubuh ronggeng boleh ditiduri siapa saja 1. Sri Sumarah Sebagai Simbol Sumarah Perempuan Jawa Menyesuaikan karakter dengan nama yang diberikan 2. Perempuan Sebagai Seorang Istri Dibentuk menjadi karakter istri sempurna menurut budaya Jawa Dibentuk menjadi simbol kecantikan ragawi oleh budaya Diatur melayani suami 3. Perempuan Sebagai Tukang Pijit Pijit untuk kesenangan, bukan kesehatan Citra tukang pijit yang berubah menjadi pelayan keinginan seksual pelanggannya Sumber : Diolah penulis 12 Tabel 2. Penggunaan Tubuh Perempuan dalam Ritual Budaya (Posisi Objek) Kasus Ronggeng Dukuh Paruk Kasus Sri Sumarah 1. Ritual untuk menjadi ronggeng 1. Ritual bagi perempuan merawat tubuh Penggunaan tubuh perempuan dalam ritual pemandian ronggeng di depan umum Ritual bukak-klambu (sayembara keperawanan) bagi ronggeng untuk Sumber : Diolah penulis Setelah posisi objek, analisis selanjutnya yaitu melihat politik tubuh perempuan ketika perempuan dalam posisi subjek. Dalam posisi ini, adalah posisi dimana aktor dalam teks memiliki posisi tinggi. Dalam posisi ini. Perempuan memiliki kekuasaan, kekuatan dan pengaruh dalam bagaimana menampilkan dirinya dalam teks dan juga menentukan posisi orang lain. Posisi ini menentukan semua bangunan unsur teks yang kemudian tampil sebagai struktur wacana (Eriyanto, 2001: 201). Tabel 3. Perempuan Sebagai Tokoh Simbolis dan Tokoh Sentral dalam Budaya (Posisi Subjek) Kasus Novel Ronggeng Dukuh Paruk Kasus Novel Sri Sumarah 1. Perempuan Sebagai Ronggeng a. Mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari status ronggengnya Mendapatkan bayaran berupa uang, emas dan ternak Mendapatkan barang secara cuma-cuma dengan menggunakan tubuhnya Mendapatkan barang secara cuma-cuma karena status ronggengnya b. Mendapatkan keuntungan 1. Perempuan sebagai Tukang Pijit a. Mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari kemampuan tubuhnya Mendapatkan bayaran dengan memijit 13 secara sosial dari status ronggengnya Menolak meronggeng Menolak melayani laki-laki Menunjukkan karisma dan ketetapan hati dalam dirinya Menunjukkan kemarahan ketika ada laki-laki dengan seenaknya menyentuh tubuhnya c. Mendapatkan keuntungan secara psikologis Menemukan jati diri dan percaya diri Mendapatkan perhatian dari laki-laki yang disukainya Bisa merasakan kebahagian hubungan seksual dengan lakilaki yang dicintainya 2. Dukun Ronggeng a. Mendapatkan keuntungan sosial Menguasai tubuh ronggeng b. Keuntungan ekonomis Sumber : Diolah penulis Dalam sosiologi sastra, yaitu bidang terdisipliner ilmu sastra dengan teori ilmu sosial yang melakukan pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi kemasyarakatan, sosiologi pengarang merupakan salah satu aspek yang harus dipertimbangkan. Menurut Wellek dan Warren, sosiologi pengarang meliputi profesi pengarang, dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Informasi tentang latar belakang keluarga atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Rokhmansyah, 2014: 147-148). Dalam sebuah tulisan di Kompasiana, Ahmad Tohari disebut sebagai juru bicara Banyumas. Hal ini dikarenakan, jika membaca novel Ronggeng Dukuh 14 Paruk, akan ada dua hal paling kerkesan yang ditangkap pembaca pada umumnya. Yaitu budaya lokal dan keagamaan (Islam). Ahmad Tohari memiliki konsentrasi pada isu masyarakat desa, lokalitas, hal-hal mistis dan religiusitas. Jika ditilik dari latar belakang Ahmad Tohari, maka hal ini tidak akan mengherankan karena Ahmad Tohari lahir di Banyumas. Selain itu, kesan keagamaan amat halus terasa karena latar belakang Ahmad Tohari yang seorang santri (Ali, 2013). Dukuh Paruk sendiri memang sebuah dukuh fiksi yang diciptakan Ahmad Tohari. Namun, berdasarkan budaya-budaya yang ia wacanakan, seperti ronggeng dan calung, dapat kita interpretasikan bahwa Dukuh Paruk berada di Kabupaten Banyumas, tempat kelahiran Ahmad Tohari. Ahmad Tohari berkeyakinan bahwa karya sastra juga merupakan pilihan untuk berdakwah dan mencerahkan hati manusia. Ahmad tohari berharap dapat ikut membangun moral masyarakat. Karya sastra dijadikannya ikut berperan dalam keagamaan. Sastra dibuat untuk melakukan peringatan (Yudiono, 2009: 176-177). Pembaca secara perlahan akan menyadari kereligiusitasan novel Ronggeng Dukuh Paruk. Yang paling terlihat adalah pada akhir cerita novel tersebut. Dimana ending yang dipilih Ahmad Tohari sangat menenangkan pembaca, karena Rasus menjadi pemuda saleh yang taat sembahyang dan menjadi lebih bijaksana. Keterbelakangan pola pikir dan gaya hidup Dukuh Paruk yang sangat terasa di awal cerita langsung menghilang dan berubah menjadi akhir yang sejatinya kehidupan adalah baik jika bijaksana menghindari tindakan-tindakan yang melanggar asusila. Umar Kayam adalah seorang novelis, cerpenis, sosiolog, dan budayawan, yang tidak hanya mengentas pendidikan di Indonesia, namun juga Amerika Serikat. Besar di dua tempat yang berbeda budaya dan pengetahuan, yaitu Jawa dan Amerika, tentu saja sangat berpengaruh bagi pemikirannya. Tulisannya selalu tidak jauh dari orang Jawa atau kehidupan mereka di Amerika. Meskipun mengentas pendidikan hingga ke Amerika, Umar Kayam tidak setuju mengenai pernyataan yang menyebutkan bahwa sastra Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh universalisme atau sikap kebarat-baratan. Menurutnya, sastra Indonesia tetap beranjak dari konteks kehidupannya sendiri yang nyata 15 (Faruk, Soemanto, & Purwanto, 2000: 82). Dalam novel Sri Sumarah, budaya Jawa sangat kental terasa terutama melalui neneknya Sri. Seperti diwacanakan pada poin pertama, bahwa Sri menjadi wanita yang sumarah, menurut pada budaya melalui nenek dan suaminya. Hal ini memang benar bahwa perempuan Jawa seperti yang digambarkan Umar Kayam pada Sri. Umar Kayam adalah budayawan yang sangat aktif dibidang pendidikan. Profesinya sebagai dosen ternyata sangat mempengaruhi karyanya. Dalam karyanya, tidak hanya budaya yang menjadi titik perhatian utama pembaca. Pendidikan menjadi fokus lain Umar Kayam dalam karyanya. Umar Kayam selalu membawa pendidikan kedalam tokoh perempuan yang ia ciptakan dengan menganggapnya sebagai hal yang penting. Sara Mills berpandangan bahwa dalam suatu teks, posisi pembaca merupakan posisi penting dan harus diperhitungkan dalam pembangunan teks tersebut. Menurut Sara Mills, teks merupakan hasil negosiasi antara penulis dengan pembaca. Dengan pemahaman seperti ini, teks dilihat tidak hanya dari produksi nya, tetapi juga resepsi, bagaimana teks diterima oleh pembaca (Eriyanto, 2001: 203). Menganalisis teks melalui posisi pembaca adalah dengan melihat bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks, bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan dan kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasikan dirinya (Eriyanto, 2001: 211). Dalam menciptakan makna yang ada dalam teks, pembaca membawa beberapa aspek yang mempengaruhi, yaitu pengalaman, sikap dan emosinya (Fiske, 2010: 61). Dalam hal ini, banyak hal yang akan mempengaruhi ketiga hal tersebut juga. Seperti gender, ekonomi, pekerjaan dan lain-lain. Karena keterbatasan waktu, maka penelitian ini memiliki beberapa kekurangan, yakni tidak bisa menganalisis dari berbagai aspek tersebut. Peneliti mengambil beberapa tulisan yang memberikan respon atau komentar tentang novel Ronggeng Dukuh Paruk terutama tentang keperempuannya. Respon pembaca peneliti bagi menjadi dua. Yang pertama respon negatif yaitu respon yang menginterpretasikan perempuan dimarjinalkan dan dijadikan objek. Dalam Ronggeng Dukuh Paruk pembaca melihat bahwa tubuh dan 16 seksualitas perempuan yang dijadikan simbol budaya, perempuan menjadi milik umum dan perempuan dieksploitasi tubuhnya. Sedang dalam Sri Sumarah pembaca melihat perempuan “dibentuk” oleh budaya. Yang kedua adalah respon positif, yaitu respon pembaca yang mengiterpretasikan bahwa perempuan memiliki kekuatan dan memiliki posisi subjek. Peneliti belum menemukan tulisan dengan tanggapan yang melihat perempuan dalam posisi subjek dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Sedang dalam Sri Sumarah, pembaca melihat Sri Sumarah sebagai representasi perempuan Jawa yang dinamis, sehingga dapat mengatasi permasalahan ekonomi keluarganya. Kesimpulan Setelah mengamati dan menganalisa novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah, peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sri Sumarah menggambarkan wacana politik tubuh perempuan secara kontekstual. Menurut peneliti, kedua penulis berhasil mengkonstruksikan realitas dengan nyata. Berbagai keadaan lingkungan dan masyarakat yang penulis wacanakan dalam masa tahun 1960-an menjadikan teks seperti nyata dan pembaca mampu membayangkan apa yang benar-benar terjadi pada masa itu. Dalam posisi objek, peneliti melihat ketika perempuan tidak memiliki kekuatan dan keputusan atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan dijadikan untuk kesenangan pihak lain, seakan-akan tubuh tersebut tidak ada pemiliknya. Kemudian, posisi subjek adalah ketika perempuan akhirnya memiliki kekuatan baik secara psikis atau fisik untuk menguasai tubuhnya sendiri dan menggunakannya untuk kepentingan sendiri. Perempuan mampu melawan apa-apa yang menguasainya, yang dalam wacana ini adalah budaya. Selain itu, ketika dalam posisi ini, perempuan juga dapat memperoleh keuntungan dengan tubuhnya. Perempuan dapat bertahan hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam kedua wacana tersebut, ditampilkan tokoh dengan masalah yang menyebabkan perempuan dibawah sebuah aturan atau kewajiban budaya. Srintil tumbuh menjadi perempuan yang dilekati label ronggeng sehingga hidupnya 17 adalah untuk masyarakat luas, karena pada masanya, masyarakat mempercayai hal-hal yang turun temurun didapat dari nenek moyang mereka. Secara teknologi, mereka juga belum modern, sehingga tidak ada hiburan lain. Sedangkan Sri Sumarah tumbuh menjadi perempuan yang sepenuhnya diatur oleh budaya. cara beretika, berbicara, bersikap dan bertindak diatur sepenuhnya oleh budaya. Sri Sumarah dilekati sosok pewayangan Drupadi sebagai wanita sempurna. Karena situasi tersebut tidak mudah, maka kedua perempuan tersebut harus mengalami berbagai masalah. Saran Penelitian tentang pemberdayaan perempuan dalam budaya Indonesia sesungguhnya sangat menarik dan dapat menjadi bahan motivasi yang baik bagi perempuan Indonesia. Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada akademia selanjutnya untuk lebih perhatian terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan budaya Indonesia, masalah pemberdayaan perempuan khususnya. Selain itu, metode analisis wacana yang peneliti gunakan, yaitu metode Sara Mills merupakan metode analisis wacana kritis yang sesuai dengan kasus perempuan. Metode ini melihat wacana dari berbagai aspek, yakni dari posisi penulis, level teks itu sendiri hingga bagaimana ia diterima pembaca. Peneliti memberi masukan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat melanjutkan penelitian serupa, namun lebih mendalam. Dengan melakukan penelitian pada beberapa tulisan pembaca pula, peneliti juga menemukan bahwa pembaca atau komunikan melakukan interpretasi pada wacana media. Peneliti memberi saran penikmat novel dan media komunikasi massa yang lain, agar selalu melihat lebih dalam ketika menginterpretasi sebuah wacana. Secara umum, citra perempuan memang sering dikonstruksi media semata-mata sebagai konsumsi mata laki-laki akan merugikan pihak perempuan khususnya. Media membentuk citra sistem gender dalam masyarakat menjadi tidak seimbang. Pemberian label tersebut akan melekat pada hampir semua perempuan dan seakan-akan harus menjadi umum. Oleh karena itu, dalam menginterpretasi wacana, peneliti menyarankan agar tidak mengacu pada 18 stereotipe yang berkembang dalam masyarakat. Perempuan juga bisa memiliki kekuatan dan peran dalam kehidupan tidak berhenti pada gender, laki-laki atau perempuan. Baik laki-laki ataupun perempuan dapat melakukan tugas dengan hak dan kewajiban yang setara. Daftar Pustaka Ali, Iryan. (2013). Ahmad Tohari sebagai Juru Bicara. (http://media.kompasiana.com/buku/2013/01/24/ahmad-tohari-sebagaijuru-bicara-527389.html diakses pada tanggal 26 Maret 2014). Aziz, Zuhdan. (2010). Konstruksi Erotisme dalam Karya Eksperimental Media Audio-Visual dalam Jurnal Komunikator. ISSN 1979-6765 Vol. 2 No. 2 Yogyakarta. Barker, Chris. (2000). Cultural Studies: Teori & Praktik. Terjemahan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Beasley, Chris. (1999). What Is Feminism?. London: SAGE Publication. Bungin, Burhan. (2005). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Chris, Livesey. (2011). Defining the Mass Media. Sociology Central, The Mass Media. (www.sociology.urk.uk) Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara. -----------. (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara. Faruk, Soemanto, Bakdi & Purwanto, Bambang. (2000). Perlawanan atas Diskriminasi Rasial-Etnik, Konteks Sosial-Ideologis Kritik Sastra Peranakan Tionghoa. Magelang: IndonesiaTera. Handayani, Christina S. & Novianti, Ardhian. (2004). Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LkiS. Ibrahim, Idi Subandy. (2007). Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Littlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A. (2009). Teori Komunikasi, Edisi 9. Terjemahan Theories of Human Communication, 9th ed oleh Muhammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Lull, James. (1998). Media Komunikasi Kebudayaan. Terjemahan oleh Setiawan Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS. 19 Purwahida, Rahmah & Sayuti, Suminto A. (2011). Korelasi Politik Tubuh, Kekerasan Simbolik, dan Pelanggaran Hak Asasi Anak dalam NovelNovel Indonesia Modern. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 12, No. 2, Agustus 2011. Universitas Negeri Yogyakarta. Rokhmansyah, Alfian. (2014). Studi dan Pengkajian Sastra; Perkenalan Awal terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sendjaja, S. Djuarsa. (2005). Teori Komunikasi. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Siregar, Ashadi. (1978). Untuk Siapa Saya Menulis (Melihat Novel sebagai Medium Komunikasi Sosial). Majalah Budaya Jaya No. 117, 11 Februari 1978. Siregar, Hetty. (2001). Menuju Dunia Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Synnott, Anthony. (1993). Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat. Terjemahan: Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra. Taryadi, Alfons. (1999). Buku dalam Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Widjaja, H.A.W. (2000). Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Yudiono, K.S. (2009). Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.