Fenomena Apoteker “GAIB” Dewi Hapit Sopana, Fariz Muhammad, Ernawati, Siti hadijah , Putri Apriani Simangunsong, Vivi Indriyantika Prodi Farmasi Fakultas Teknologi dan Ilmu Komputer UBP Karawang, kelompok 8 FM15C 24 Oktober 2018 Abstrak Proses pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada phamaceutical care. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Beberapa fakta menunjukkan bahwa tidak semua apoteker melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar di apotek. Sering dijumpai bahwa apoteker tidak berada pada tempat prakteknya yaitu Apotek. Masyarakat lebih mengenal apoteker di apotek sebagai penjual obat. Sebanyak 64% apoteker hanya mengandalkan petugas di apotek dan 3% apotek yang pelayanan kefarmasiannya belum optimal dan pelayanan kefarmasian sebagian apotek dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian bukan apoteker. Hal inilah yang memunculkan fenomena apoteker “Gaib”, numpang nama apoteker, atau apoteker yang hanya datang saat mengambil gaji. Keluhan paling utama adalah kesejahteraan apoteker yang rendah dimana kurangnya upah/gaji apoteker. Kendala lain yang terjadi adalah 1) beban kerja yang banyak; 2) kurangnya tenaga kefarmasian; 3) tidak adanya petunjuk yang jelas dalam praktek kefarmasian; 4) kurangnya komunikasi dengan dokter / tenaga kesehatan lainnya, dan lain sebagainya. Banyaknya kendala yang terjadi tersebut harus dilakukan perubahan agar eksistensi Apoteker tetap bertahan dan citra farmasi Apoteker di masyarakat tidak buruk. Kata kunci : Pharmaceutical Care, Apoteker Gaib, Eksistensi Apoteker Pendahuluan Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Permenkes No. 9 tahun 2017). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004, pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung apoteker dalam pekerjaan kefarmasian un- Fenomena Apoteker “GAIB” Fenomena Apoteker “GAIB” kefarmasian dapat diketahui sebagai bahan [Type the Document Subtitle] pertimbangan bagi peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Apoteker tuk meningkatkan kualitas hidup pasien. harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan Proses pelayanan kefarmasian pada saat pengobatan dalam proses pelayanan. Menurut ini telah bergeser orientasinya dari obat ke Rubiyanto, 2003, terdapat kecenderungan pasien yang mengacu kepada phamaceutical apoteker care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang perhatian terhadap pelaksanaan tugasnya semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai pemberi informasi obat. Padahal sebagai komoditi menjadi pelayanan yang pemberian pelayanan informasi bukan hanya komprehensif untuk meningkatkan citra apoteker semata, yang bertujuan untuk di Indonesia belum memberi meningkatkan kualitas hidup dari pasien. namun Sebagai konsekuensi perubahan orientasi kembali pada kewajiban yang menyertai tersebut, keberadaan apoteker dituntut untuk bertujuan untuk apoteker mengingatkan sebagai penyedia meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan informasi dan pelayanan. Kecenderungan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi seperti ini juga sering terjadi di wilayah langsung dengan pasien. Bentuk interaksi Indonesia lainnya. tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberitahuan informasi, monitoring penggunaan obat dan mengetahui tujuajn Perubahan dan Perkembangan Praktek Kefarmasian akhir sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Mengingat pentingnya pelayanan kefarmasian dalam suatu pelayanan kesehatan Proses penyerahan obat diapotek tidak rasional yang tepat sasaran, pengaruhnya selalu diberikan oleh apoteker pengelola sangat besar menunjang fungsi apotek sebagai apotek. tempat pelayanan kefarmasian, membangun Pelayanan macamnya, kefarmasian konsumen banyak membutuhkan peran apotek sebagai pusat pelayanan kepuasan sehingga perlu dite-liti bagaimana informasi obat di tengah masyarakat serta hubungan dan pengaruh masing-masing hal menumbuhkan eksistensi apoteker sebagai tersebut. Hal yang sebenarnya diinginkan salah satu tenaga kesehatan, maka perlu konsumen untuk kepuasan dalam pelayanan dilakukan suatu penelitian yang mengarah Page 1 Fenomena Apoteker kepada kinerja pelayanan kefarmasian di apotek. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, desakan untuk melaksanakan pharmaceutical care dengan mengutamakan praktik kefarmasian oleh apoteker semakin menguat. Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian tahun 2009, telah melegalkan pekerjaan kefarmasian oleh apoteker dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran dan pelayanan sediaan farmasi. Praktik Kefarmasian dapat dilakukan di sarana distribusi, produksi dan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Praktik kefarmasian dilakukan berdasarkan standar pelayanan kefarmasian di Apotek, yang ditetapkan sebagai acuan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Page 2 “GAIB”, Sopana, Dewi Hapit, dkk. 2018 Fakta-Fakta yang Terjadi dilapangan Beberapa fakta menunjukkan bahwa tidak semua apoteker melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar di apotek. Sering dijumpai bahwa apoteker tidak berada pada tempat prakteknya yaitu Apotek. Masyarakat lebih mengenal apoteker di apotek sebagai penjual obat. Pada penelitian-penelitian di kota Surabaya Timur, pasien sering dilayani oleh asisten apoteker (42,21%), pegawai apotek (24,30%), baru kemudian apoteker (13,20%), dan lain-lain. Menurut penelitian Herman dkk, 2003, bahwa sebanyak 64% apoteker hanya mengandalkan petugas di apotek dan 3% apotek yang pelayanan kefarmasiannya belum optimal dan pelayanan kefarmasian sebagian apotek dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian bukan apoteker. Selain itu sebagian besar rumah sakit belum sepenuhnya melaksanakan peraturan pemerintah tentang apoteker yang melakukan visite ke pasien, karena program ini hanya berlaku bagi Rumah Sakit yang menjalankan Farmasi Klinis dimana Apoteker berkolaborasi dengan dokter untuk melakukan visite ke pasien dan melakukan monitoring penggunaan obat. Apoteker masih belum dikenal dimasyarakat dibandingkan tenaga profesi lainnya seperti dokter. Belum ada istilah Apoteker Cilik yang mampu Fenomena Apoteker “GAIB” memberikan positif citra bagi profesi adalah sebesar 30.000. Dengan demikian, apoteker, berbeda dengan program Dokter tersedia lebih kurang 1,18 apoteker per 10.000 Kecil yang diperkenalkan terutama pada siswa penduduk. Jumlah apoteker yang sampai saat tingkat dasar. ini telah tersedia belum dapat memenuhi, baik Supardi dkk., menjelaskan bahwa pada umumnya apoteker pengelola apotek telah mengetahui dan mempunyai dokumen standar pelayanan kefarmasian di apotek (SPKA), tetapi pelaksanaannya belum baik. Hal ini karena keterbatasan kemampuan apoteker dalam farmasi klinis dan ilmu manajemen, sehingga dibutuhkan materi pelatihan untuk melaksanakan kualitas, maupun pemerataan. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan tenaga farmasi perlu terus menerus dilakukan melalui berbagai strategi, misalnya inovasi kurikulum pendidikan tinggi dan menengah farmasi, penentuan standar kompetensi profesi, dan pelatihan-pelatihan dalam lingkungan kerja. Apoteker sebagai salah satu tenaga kefarmasian dan ilmu manajemen. Menurut kesehatan telah diakui eksistensinya di Herman Indonesia susyanty mencakup kuantitas, ilmu dan SPKA secara bahwa standar melalui No.51 Pharmacy Practice menuntut peran yang kefarmasian. Profesi ini memiliki tanggung dominan dari apoteker di farmasi komunitas jawab dalam pencapaian hal-hal tersebut di dalam hal waktu dan kemampuan. Pelatihan atas. Apoteker mempunyai keahlian dan dan juga kewenangan dibidang kefarmasian baik di dibutuhkan, antara lain melalui penataran, apotek, rumah sakit, industri, pendidikan, dan seminar, sosialisasi dan supervisi praktik bidang farmasi di farmasi komunitas yang mungkin kefarmasian. Sayangnya, profesi ini kurang melibatkan kerja sama dengan organisasi diakui profesi dan PT Farmasi. dibandingkan dengan negara lain. Banyak Data berkelanjutan yang dikumpulkan oleh tim evaluasi Konas menunjukkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 40.181 tenaga farmasi lain 2009 Pemerintah pelayanan farmasi di apotek dan Good pendidikan tahun Peraturan yang keberadaannya tentang pekerjaan berkaitan oleh dengan masyarakat yang mengatakan kesejahteraan apoteker di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan dibanding sepuluh tahun yang lalu. terdaftar, dan dari jumlah tenaga farmasi yang terdaftar jumlah apoteker yang berpraktik Page 3 Fenomena Apoteker Munculnya Fenomena Apoteker “GAIB” Dilandasi oleh kesejahteraan Apoteker yang memprihatinkan inilah timbul fenomena apoteker “GAIB”. Apoteker gaib adalah apoteker yang keberadaan nya tidak pernah berada dia apotek namun SIK nya terpampang sebagai apoteker penanggung jawab apotik. Ditengah santernya pemerintah menggalakan peran apoteker dengan praktik apoteker di apotik yang mewajibkan apoteker datang tiap hari ke apotek untuk melakukan pharmaceutical care tidak diiringi dengan mengimbangi gaji / sellery apoteker. Bayangkan bahkan ada apoteker yang di gaji hanya 1,5 juta/bulan sangat jauh sekali dengan UMR kabupaten Karawang. Hal ini pula yang memunculkan istilah numpang nama apoteker, apoteker “Gaib”, atau apoteker yang hanya datang saat mengambil gaji. Melihat “GAIB”, Sopana, Dewi Hapit, dkk. 2018 Keluhan paling utama adalah kesejahteraan apoteker yang rendah dimana kurangnya upah/gaji apoteker. Kendala lain yang terjadi adalah 1) beban kerja yang banyak; 2) kurangnya tenaga kefarmasian; 3) tidak adanya petunjuk yang jelas dalam praktek kefarmasian; 4) kurangnya komunikasi dengan dokter / tenaga kesehatan lainnya; 5) persediaan obat yang tidak memadai; 6) pasien yang tidak datang sendiri sehingga sulit melakukan konseling dengan pasien yang bersangkutan; 7) Pasien yang sering bergonta-ganti apotek juga menjadi kendala bagi apoteker untuk dapat melakukan konseling dengan pasien; 8) Kesadaran yang rendah akan tanggung jawab dari apoteker untuk melakukan pelayanan di apotek; dan 9) Kurangnya kemampuan komunikasi sehingga menghambat proses konseling. fenomena ini di masyarakat menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi para calon apoteker, membayangkan bagaimana saat sekolah apoteker yang lumayan menguras Solusi untuk Mempertahankan Eksistensi Apoteker otak dan uang namun setelah menjadi Banyaknya kendala yang terjadi tersebut apoteker tawaran kerja dari pemilik sarana harus dilakukan perubahan agar eksistensi apotek sangat minim sellery nya, hal ini juga Apoteker tetap bertahan dan citra farmasi yang menyebabkan profesi apoteker tidak Apoteker di masyarakat tidak buruk. Beberapa begitu terkenal dimasyarakat. solusi yang dapat dilakukan adalah 1) Meningkatkan kesejahteraan apoteker dengan meningkatkan standar gaji; 2) Meningkatkan Page 4 Fenomena Apoteker “GAIB” frekuensi kehadiran apoteker di apotek agar Daftar Pustaka dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang 1. Anidya, Citra Maula dkk. 2013. Acil “Apoteker Cilik” : Upaya Membangkitkan Eksistensi Profesi Apoteker dan Sistem Interpersonal Education Profesi Kesehatan Sejak Dini. Program Studi Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 2. Departemen Kesehatan RI. 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. 3. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027/Menkes / SK / IX /2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta 4. Kepmenkes RI. 2017. Permenkes No. 9 tahun 2017 tentang Apotek. Jakarta. 5. Kwando, Rendi Ricky. 2014. Pemetaan Peran APoteker dalam Pelayanan Kefarmasian Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek di Surabaya Timur. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. nyata; 3) Meningkatkan kualitas apoteker dari segi kompetensi keterampilan / kemampuan dan serta komunikasi sehingga apoteker mampu melakukan pharmaceutical care (konseling); 4) pemerintah menerapkan kehadiran apoteker di apotek dengan bukti kehadiran, memberikan konseling kepada pasien dan memberi penghargaan bagi Apoteker yang rajin datang dan memberikan konseling di Apotek. Kesimpulan Fenomena apoteker “Gaib” sampai saat ini belum terpecahkan, namun penulis berharap dengan ditulisnya artikel ini ada harapan yang lebih baik untuk profesi apoteker dengan mumpuni, perlu kesejahteraan adanya peraturan yang dari pemerintah yang mengatur tentang upah/gaji Apoteker, atau mengeluarkan kebijakan untuk pemilik sarana apotek untuk melimpahkan pengelolaan apotek kepada apoteker dengan sistem bagi hasil. Page 5